prakarsa

advertisement
PR A KA RSA
COMPENDIUM
JILID 3
PR AKA RSA
COMPENDIUM
JILID 3
Kumpulan Artikel Pilihan dari Jurnal
Prakarsa Infrastruktur Indonesia
2014-2015
02
Prakarsa Compendium, Jilid 3
Prakarsa Compendium Jilid 3
Disunting oleh Carol S. Walker, Eleonora Bergita dan Mira Renata
Diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia
Prakarsa Infrastruktur Indonesia adalah proyek yang didanai oleh Pemerintah Australia dan dirancang untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi infrastruktur. Proyek ini
dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)
Gedung Perkantoran Ratu Plaza, Lantai 20
Jl. Jenderal Sudirman No. 9
Jakarta 10270 Indonesia
SMEC
220–226 Sharp Street
(PO Box 356)
Cooma NSW 2630 Australia
© Persemakmuran Australia
Semua kekayaan intelektual asli yang terkandung dalam dokumen ini adalah milik Persemakmuran Australia yang diwakili
oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia. Dokumen ini hanya dapat digunakan, disalin,
disebarluaskan, atau diperbanyak oleh kontraktor dan konsultan yang menyusun dokumen, laporan, rancangan, rencana,
dan saran untuk IndII atau DFAT.
Pendapat para penulis yang dikemukakan dalam terbitan ini tidak selalu mencerminkan pendapat pemerintah Australia.
Segala upaya telah ditempuh untuk menjamin bahwa dokumen yang diacu dalam terbitan ini telah disampaikan secara
benar. Meskipun demikian, IndII akan menghargai setiap masukan untuk perbaikan yang diperlukan, atau pemberitahuan
mengenai dokumen sumber dan/ atau data terkini.
Isi dari edisi ini, tidak termasuk pengantar, pada awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia oleh IndII
dalam jurnal Prakarsa edisi Januari 2014; April 2014; Juli 2014; Oktober 2014; Januari-April 2015; Juli 2013; dan Juli 2015.
Foto Cover:
Foto pertama dari atas (jalanan di Jakarta) – Foto oleh Rahmad Gunawan
Foto kedua dari atas (proyek konstruksi jalan di Flores) – Atas perkenan Pino Iskandar
Foto ketiga dari atas (menenun) – Atas perkenan Eleonora Bergita
Foto bawah (konstruksi saluran air limbah) – Foto oleh YCCP
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
UCAPAN TERIMA KASIH
Terbitan ini merupakan himpunan artikel fitur dan kolom dari Prakarsa, jurnal triwulanan kebijakan infrastruktur yang
diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didukung oleh Pemerintah Australia. Wawasan yang diperoleh
melalui kerjasama dengan para mitra IndII – Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Perhubungan – serta para pejabat pemerintah
daerah yang bekerjasama dengan konsultan IndII, telah memungkinkan adanya materi pada halaman-halaman ini.
Kami sangat berhutang budi kepada setiap penulis artikel fitur. Tanpa mereka, jurnal ini tidak akan ada, dan dengan
sendirinya buku ini pun juga tidak akan ada. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang menyumbangkan
pemikiran mereka dalam kolom “Pandangan Para Ahli”, yang berisi pendapat profesional mewakili pemerintah pusat dan
daerah, BUMN, asosiasi, serta akademisi.
IndII juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada David Ray, Direktur IndII; Jeff Bost, Wakil Direktur IndII; Jim
Coucouvinis, Direktur Teknis bidang Air Minum dan Sanitasi; John Lee, Direktur Teknis bidang Transportasi; Robert Hardy,
Direktur Teknis bidang Transportasi; dan Lynton Ulrich, Kepala Konsultan Keuangan Infrastruktur; atas dukungan, nasihat,
dan masukan teknis mereka untuk setiap edisi Prakarsa maupun compendium ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim komunikasi IndII, Pooja Punjabi dan Annetly Ngabito untuk
masukan editorialnya. ●
Carol S. Walker, Eleonora Bergita, dan Mira Renata
Penyunting
January 2016
Prakarsa Compendium | Jilid 3
03
04
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI
Edisi 17: Menggerakkan Orang di Jakarta
Prakata
Deputi Bidang Koordinasi Percepatan
Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian
08
Pengantar
Direktur IndII
09
Edisi 16: Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Sistem Transportasi Umum Jakarta:
Sebuah Tinjauan
61
TransJakarta: Janji Kinerja
69
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
74
Memahami Struktur Tarif dan Sistem
Tiket Transportasi Umum di Jakarta
79
Melibatkan Sektor Swasta
dalam Penyediaan Layanan
Transportasi Umum
83
Tema dan Prioritas Lintas
Sektoral Untuk Rencana
Pembangunan 2015–2019
13
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana
Penyandang Disabilitas Mengakses
Sistem Transportasi Jakarta
87
Sektor Transportasi Indonesia:
Tantangan dan Strategi
23
Mengelola Pembiayaan Transportasi
Perkotaan: Tantangan bagi
Pemimpin Daerah
93
Arah Baru untuk Sektor Air Minum
dan Sanitasi Indonesia
39
Uraian Kegiatan
98
105
Uraian Kegiatan
46
Kerja Keras untuk Menyediakan
Air Minum di Klaten
Rencana Pembangunan dalam Angka
55
Menggerakkan Orang di Jakarta
dalam Angka
109
Pandangan Para Ahli
56
Pandangan Para Ahli
110
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI
Edisi 18: Penyelenggaraan Layanan Daerah
di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Edisi 19: Mentransformasi Jalan di Indonesia
Krisis Infrastruktur Jalan di Indonesia
158
Membiayai Pembangunan Jalan
Nasional Indonesia
162
Jalan Bebas Hambatan
166
Jalan Arteri Non Tol
170
Menggunakan Insentif untuk
Meningkatkan Jalan Daerah
172
137
Keselamatan Jalan di Indonesia
176
146
Mentransformasi Jalan di
Indonesia dalam Angka
179
Uraian Kegiatan
Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
149
Pandangan Para Ahli
180
Penyelenggaraan Layanan Daerah
di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dalam Angka
153
Pandangan Para Ahli
154
Penyelenggaraan Layanan Daerah
di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Indonesia: Sebuah Dasar untuk
Modalitas Saat Ini
115
Kontribusi untuk Penanggulangan
Kemiskinan melalui Penyelenggaraan
Layanan Daerah dalam Sektor
Air Minum
121
Pembiayaan Business-to-Business:
Model Pembiayaan Proyek KPS
Berskala Kecil di Sektor Air Minum
127
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk
Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Prakarsa Compendium | Jilid 3
05
06
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI
Edisi 20: Suara dari Sektor Swasta
Edisi 21: Kampanye Sanitasi Publik
Keadaan Darurat di Bidang
Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
184
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye
Sanitation Public Diplomacy IndII
236
Mendanai Infrastruktur:
Pandangan Sektor Perbankan
192
Apa Yang Membuat Remaja
Peduli Terhadap Sanitasi?
243
Ukuran Memang Penting, dan Demikian
Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas
dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
200
Pemenang Kompetisi Esai
Pendek untuk Pelajar
247
Angkutan Umum Perlu Investasi
dan Keahlian Pihak Swasta
208
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan
dan Kesehatan
250
Peran Sektor Swasta dalam
Penyediaan Air Minum di Indonesia
214
Impian Kota 1000 Sungai
253
256
Peran Sektor Swasta dalam
Mengembangkan Pelabuhan
di Indonesia
220
Indonesia dan “Gengsinya”
tentang Sanitasi
Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
258
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang
Pembangunan Infrastruktur
224
Hidup yang Lebih Sehat Melalui
Sambungan ke Sistem Air Limbah
262
Suara dari Sektor Swasta
dalam Angka
233
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI
Edisi 21: Kampanye Sanitasi Publik (bersambung)
Ciptakan Lingkungan Sehat
dan Bersih
266
Menciptakan Kebutuhan
akan Sanitasi yang Lebih Baik:
Mengambil Langkah-Langkah Awal
271
Meningkatkan Kesadaran tentang
Buang Air Besar Sembarangan di
Indonesia melalui Media Sosial
279
Kampanye Sanitasi Publik
dalam Angka
283
Pandangan Para Ahli
284
Prakarsa Compendium | Jilid 3
07
08
Prakarsa Compendium, Jilid 3
PRAKATA
Dr. Ir. Luky Eko Wuryanto
Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur
dan Pengembangan Wilayah
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Pembelanjaan kami di bidang
infrastruktur seketika mendorong perekonomian, baik langsung maupun tidak langsung, dan dapat menambah sampai
0.6 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) setelah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terserap
semua. Dalam jangka panjang, pembelanjaan kami akan membantu Indonesia untuk menduduki tempat sebagaimana
mestinya sebagai salah satu pemimpin ekonomi di antara negara-negara ASEAN.
Namun memenuhi kebutuhan Indonesia akan infrastruktur melibatkan jauh lebih banyak hal daripada sekadar dana
dari APBN. Tugas kami jauh lebih kompleks. Kami hari memastikan bahwa dana dialokasikan pada proyek-proyek
dengan prioritas tertinggi yang memiliki dampak jangka panjang terbesar. Kami harus melanjutkan upaya kami untuk
menanggulangi kendala yang menghambat investasi, seperti perlu adalah lingkungan peraturan yang sehat dan transparan,
kesulitan dalam pembebasan tanah, dan penempatan risiko yang risiko. Kami harus senantiasa meningkatkan kemampuan
lembaga-lembaga kami dan mutu tata kelola pemerintahan. Kami harus memastikan ketersediaan kerangka kerja untuk
mendorong investasi dari sektor swasta, mengingat bahwa Pemerintah sendiri tidak mampu membiayai semua proyek
infrastruktur yang diperlukan. Kami juga harus memerhatikan kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya diperkaya
secara signifikan dengan adanya akses pada air bersih, sanitasi yang sehat, dan jalan yang aman agar membawa mereka
menuju kesejahteraan.
Hampir semua negara maju pernah menghadapi tantangan yang sama. Itu sebabnya kami menegaskan penghargaan kami
pada kemitraan kami dengan Australia. Sebagai proyek yang didukung oleh Australia, Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) membantu kami dalam menggali dan mengevaluasi strategi dan modalitas yang akan membawa kami menuju
pembangunan infrastruktur yang paling efisien.
Kami mencita-citakan masa depan yang gemilang bagi Indonesia dengan jalan-jalan nasional dan subnasional,
pelabuhan, kereta api, dan sistem penerbangan yang akan menarik investasi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kami menyambut baik partisipasi tetangga kami, Australia, dalam meraih cita-cita tersebut. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
PENGANTAR
David Ray
Direktur IndII
Jilid ketiga Prakarsa Compendium mencakup edisi Prakarsa selama periode Januari 2014 sampai April 2015. Diterbitkan
oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didukung oleh Pemerintah Australia, Prakarsa memberikan wawasan
berlatar belakang kebijakan serta menguraikan tentang kendala, praktik terbaik, dan strategi inovatif yang dapat membantu
menyumbang pada pembangunan bangsa.
Isu-isu yang tercakup dalam jilid ini meliputi pandangan umum tentang permasalahan mendesak yang perlu
ditanggulangi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); masalah TransJakarta, khususnya
dalam hal tarif dan tiket, pembiayaan, peran sektor swasta, serta disabilitas dan angkutan umum; penyediaan layanan
Air Minum dan Sanitasi di daerah yang mencakup kajian tentang modalitas saat ini, bagaimana air minum dan sanitasi
dapat menyumbang pada pengentasan kemiskinan, penyusunan indeks untuk meningkatkan tata kelola, dan pembiayaan
business-to-business untuk mentransformasi jalan raya nasional di Indonesia yang meliputi serangkaian “Road Advisory
Notes” (Catatan Saran untuk Jalan) tentang kebutuhan kritis dalam pembiayaan pembangunan jalan; dan ulasan tentang
Kampanye Diplomasi Sanitasi Publik dari IndII.
Sebagaimana ditunjukkan oleh isu-isu yang tampil dalam kumpulan jilid ini, pendekatan Australia dalam kerja sama dengan
Indonesia tidak sekadar untuk membangun jalan atau menyambung pipa. Lebih-lebih, tujuannya adalah untuk mendorong
pemikiran baru tentang cara mencapai pembangunan yang berkelanjutan - apakah dengan memperbaiki tata kelola di sektor
air minum pada tatanan lokal, memperagakan bagaimana insentif dapat mendorong peningkatan dalam pemeliharaan
jalan, atau memperjuangkan partisipasi swasta dalam membiayai dan membangun infrastruktur.
Prakarsa adalah salah satu sarana penting bagi IndII untuk memastikan agar masalah gender dan disabilitas tidak terlupakan
oleh para pengambil keputusan di bidang kebijakan infrastruktur. Dalam Compendium jilid tiga ini, kami menyoroti masalah
mobilitas perkotaan dengan berbagi kisah tangan pertama dari para perempuan dan orang-orang penyandang disabilitas
tentang pengalaman mereka menggunakan angkutan umum, dan mengangkat berbagai sudut pandang dan pendapat
masyarakat tentang kualitas angkutan umum, serta layanan air minum dan sanitasi.
Kini, para pemangku kepentingan dan pembaca kami sudah kenal dekat dengan ciri khas Prakarsa. Intinya adalah untuk
memajukan dan melanjutkan dialog guna membantu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang pemerintah
Indonesia di sektor infrastruktur. Compendium ini dimaksudkan sebagai dokumen acuan yang dapat diakses dan relevan
bagi semua pemangku kepentingan yang bekerja erat dalam penanggulangan tantangan infrastruktur di Indonesia. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
09
Perencanaan
Pembangunan
2015–2019
Edisi 16, Januari 2014
• Tema dan Prioritas Lintas
Sektoral Untuk Rencana
Pembangunan 2015–2019
• Sektor Transportasi Indonesia:
Tantangan dan Strategi
• Arah Baru untuk Sektor Air Minum
dan Sanitasi Indonesia
• Uraian Kegiatan
POIN-POIN UTAMA
Apabila Indonesia bermaksud mencapai tujuannya secara matang dalam sektor infrastruktur pada tahun
2025, maka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Indonesia tahun 2015–2019 (RPJMN) harus melampaui
pendekatan “melakukan bisnis seperti biasa” (business as usual). Struktur kelembagaan saat ini menggunakan
pendekatan sektoral untuk mengatasi berbagai masalah. Tetapi penanganan empat tema lintas sektoral –
manajemen aset, desentralisasi, partisipasi sektor swasta, dan insentif berbasis kinerja – dapat meningkatkan
efektivitas RPJMN secara signifikan.
Manajemen aset memberikan pedoman perencanaan, akuisisi, pengoperasian dan pemeliharaan,
pembaharuan dan penjualan aset, dengan tujuan untuk memaksimalkan penyelenggaraan layanan sekaligus
mengelola risiko dan meminimalkan biaya selama umur manfaat aset. Secara umum, keputusan tentang
penganggaran, perencanaan, dan investasi pada saat ini tidak mencakup strategi manajemen aset yang tepat,
khususnya terkait dengan pemeliharaan dan pembaharuan. Akibatnya, upaya-upaya untuk meningkatkan aset
infrastruktur yang produktif terkikis oleh depresiasi dan kegagalan prematur yang begitu cepat dari aset tersebut.
Pemerintah dan khususnya para pengguna menanggung biaya yang tinggi. Di semua sektor, manajemen
aset yang buruk sebagian besar disebabkan oleh dua hal, yaitu kurangnya struktur insentif yang memberi
penghargaan kepada pengelolaan yang baik dan kurangnya akuntabilitas yang memberikan hukuman kepada
pengelolaan yang buruk.
Desentralisasi pada umumnya dipandang sebagai tantangan yang harus diatasi daripada sebagai sebuah
kesempatan – sebuah pandangan yang dapat dipahami mengingat kondisi jaringan jalan yang semakin buruk,
tidak adanya peningkatan layanan air minum, dan fokus Pemerintah Daerah yang lebih kepada pengeluaran
administrasi. Akan tetapi, model penyediaan aset dari Pemerintah Pusat tidak selalu efektif, khususnya apabila
aset tersebut disediakan oleh Pemerintah Pusat tetapi diabaikan atau tidak digunakan oleh Pemerintah Daerah
yang tidak memiliki aset tersebut. Hibah infrastruktur yang didanai oleh Australian Aid yang dilaksanakan oleh
IndII dapat membantu mengubah persepsi tentang efektivitas instrumen pendanaan terdesentralisasi. Hibah
tersebut menyelaraskan insentif di semua tingkat pemerintahan dan telah menunjukkan bahwa Pemerintah
Daerah memiliki keinginan kuat untuk memperoleh kepemilikan atas investasi daripada sekedar menerima aset
dari Pemerintah Pusat yang cenderung dipaksakan.
Partisipasi sektor swasta Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) telah mendapat dorongan selama beberapa tahun
terakhir, tetapi keterlibatan sektor swasta tidak menunjukkan kemajuan yang berarti dengan berbagai alasan.
Tulisan ini memberi perhatian pada dua isu penting yang seringkali diabaikan, yaitu dinamika pengalihan risiko
dan kebutuhan untuk menekankan prinsip sesuai dengan nilai uang ekonomis dan manfaat (value-for-money).
Idealnya, risiko harus dialihkan kepada para pihak yang paling mampu menanganinya. Namun demikian,
masalah umum yang dihadapi di Indonesia adalah bahwa instansi yang mengeluarkan kontrak cenderung
memberikan terlalu banyak pembatasan, persyaratan dan harapan terhadap pengalihan risiko kepada sektor
swasta sehingga menyulitkan pengaturan transaksi yang layak secara finansial. Hal ini berkaitan dengan isu
kedua, yaitu bahwa fokus pemerintah terhadap sektor swasta hanya sebagai sumber pendanaan daripada
sebagai alat untuk memberikan insentif kepada penyelenggaraan dan kinerja pelayanan yang lebih baik.
Insentif berbasis kinerja memiliki potensi yang sangat besar. Sistem perencanaan dan penyelenggaraan yang
diterapkan saat ini berbasis masukan dan seringkali diwarnai oleh inefisiensi dan pemborosan. Persyaratan
bahwa indikator kinerja atau keluaran harus dicapai terlebih dahulu sebelum pembayaran dilakukan merupakan
perangkat yang sangat berguna untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan transparansi. Insentif kinerja
dapat diarus-utamakan ke dalam sebagian besar proses perencanaan dan penyelenggaraan infrastruktur,
termasuk dalam hibah antar-lembaga pemerintah untuk meningkatkan efisiensi investasi publik. Kontrakkontrak berbasis kinerja yang diberikan secara kompetitif dalam berbagai bidang penting seperti pengoperasian
dan pemeliharaan menjanjikan sesuatu yang penting untuk meningkatkan penyelenggaraan layanan.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
TEMA DAN PRIORITAS LINTAS
SEKTORAL UNTUK RENCANA
PEMBANGUNAN 2015–2019
Perencanaan infrastruktur untuk rencana pembangunan lima
tahun umumnya dilakukan dengan pendekatan per sektor.
Namun ada baiknya juga mempertimbangkan masalah lintas
sektoral, seperti meningkatkan manajemen aset, secara efektif
melaksanakan desentralisasi, mendorong partisipasi sektor
swasta, dan memanfaatkan insentif berbasis hasil.
Oleh David Ray
Rencana pembangunan lima tahun Indonesia (RPJMN)
untuk periode 2015–2019 saat ini sedang disusun dan
akan memuat kerangka kebijakan Pemerintah Pusat untuk
pemerintahan nasional mendatang, yang akan diterapkan
setelah pemilihan presiden bulan Oktober 2014.
RPJMN mendatang ini merupakan segmen lima tahun
ketiga dari rencana pembangunan jangka panjang 20
tahun (RPJPN). Pada tahun 2025, RPJPN menguraikan
rencana ambisius untuk sebuah sektor infrastruktur
yang mapan dan matang, yang mampu mendukung
sepenuhnya kebutuhan sosial dan perekonomian
nasional. Dengan batas waktu 10 tahun untuk mencapai
tujuan tersebut, saat ini berkembang pandangan bahwa
pendekatan “melakukan bisnis seperti biasa” (business
as usual) tidak lagi menjadi pilihan. Defisit infrastruktur
di Indonesia semakin tinggi dan diperlukan perubahan
penting dalam kerangka kebijakan, perencanaan dan
penyelenggaraan. RPJMN dapat memberikan visi dan alasan
untuk perubahan tersebut.
Tulisan ini disusun tidak dengan maksud memberikan
penilaian komprehensif terhadap dokumen-dokumen
RPJMN sebelumnya maupun mengidentifikasi setiap
kesenjangan dan langkah perbaikan terkait yang diperlukan.
Namun demikian, tulisan ini akan menyoroti satu bidang
dalam RPJMN sehingga topik Infrastruktur dalam dokumen
RPJMN dapat diperkuat: dengan menekankan sejumlah
tema dan prioritas lintas sektoral utama.
Ada berbagai masalah dan isu yang berdampak terhadap
semua sektor infrastruktur di Indonesia, mulai dari akses
lahan, ketidakpastian peraturan, dominasi BUMN yang terus
berlangsung hingga hambatan kapasitas kelembagaan.
Hal tersebut, dan juga berbagai isu lintas sektoral lainnya
cenderung ditangani di tingkat sektoral oleh bagian terkait
di dalam garis kementerian dan/atau divisi khusus di
dalam garis kementerian koordinasi, seperti Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas. Ini
tidak berarti bahwa tidak ada keinginan untuk membahas
isu-isu tersebut secara lebih terpadu dalam lingkungan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
13
14
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
lintas sektoral. Akan tetapi, struktur kelembagaan saat
ini cenderung menerapkan penanganan vertikal daripada
horisontal terhadap masalah-masalah infrastruktur.
Hal ini juga berlaku dalam proses RPJMN. Bab-bab
terkait infrastruktur dalam dokumen RPJMN cenderung
memiliki fokus sektoral yang kuat tanpa memberikan
pembahasan yang memadai terhadap masalah dan isu
dari sudut pandang lintas sektoral. Pada setiap bagian
utama dokumen, ditampilkan berbagai pembahasan
di tingkat sektoral, yang mencakup sumber daya air
minum, transportasi, perumahan dan pemukiman,
telekomunikasi dan energi.
Berdasarkan pembelajaran penting yang diperoleh dari
pengalaman IndII, makalah ini mengusulkan empat
tema lintas sektoral utama yang berpotensi membingkai
sebagian besar pembahasan tentang topik infrastruktur
dalam RPJMN, yaitu:
• Manajemen aset
• Desentralisasi
• Partisipasi sektor swasta
• Insentif berbasis kinerja
Pembahasan ini mencakup berbagai isu kebijakan dan
merupakan tantangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah
Pusat yang akan datang. Walaupun bukan merupakan
daftar lengkap, keempat tema tersebut harus mendapat
prioritas karena keempatnya dapat dilaksanakan, dapat
dicapai, dan secara signifikan meningkatkan efektivitas
RPJMN. Lebih lanjut, sebagaimana akan dapat dilihat
dalam pembahasan di bawah ini, tema-tema tersebut agak
saling terkait dan saling menguatkan. Misalnya, penerapan
sistem penyelenggaraan berbasis kinerja melalui
keterlibatan sektor swasta dapat menjadi perangkat
kebijakan penting untuk meningkatkan manajemen aset
oleh instansi-instansi Pemerintah Daerah.
Manajemen Aset
Manajemen aset adalah suatu proses sistematik yang
berfungsi sebagai pedoman perencanaan, pengadaan,
pengoperasian dan pemeliharaan, pembaharuan dan
penjualan aset. Tujuan utama manajemen aset adalah
untuk memaksimalkan potensi penyediaan jasa dan
mengelola risiko-risiko dan biaya-biaya terkait selama
umur manfaat aset1.
Manajemen aset, khususnya dimensi pemeliharaan dan
pembaharuannya, dapat dikatakan sebagai materi penting
yang hilang dalam berbagai wacana kebijakan dan publik
mengenai infrastruktur Indonesia. Kurang ada kesadaran
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Hibah Berbasis Kinerja untuk
Pemeliharaan Jalan Daerah?
Sejak desentralisasi, kondisi jalan daerah semakin
memburuk. Sebagian masalah timbul karena pengaturan
tata kelola pemerintahan saat ini yang tidak menuntut
pertanggungjawaban instansi-instansi Pemerintah Daerah
atas kinerja mereka dalam pemeliharaan jaringan jalan
daerah. Seringkali penilaian terhadap hasil cenderung
dilakukan berdasarkan visibilitas proyek-proyek lepas, bukan
kinerja jaringan jalan secara keseluruhan. Pada era pasca
desentralisasi, keputusan perencanaan dan penganggaran
cenderung diambil berdasarkan sejumlah kecil kriteria objektif
tetapi dengan tekanan dan manipulasi politik yang besar.
Akibatnya, kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala yang
relatif sederhana, tetapi sangat penting menjadi terabaikan.
Instansi daerah bukan saja kurang memiliki kerangka
pedoman, melainkan juga kemampuan untuk mengidentifikasi
kebutuhan pemeliharaan, merencanakan dan menyusun
program pekerjaan yang diperlukan secara objektif. Sebelum
desentralisasi, kerangka pedoman untuk penganggaran
dan perencanaan, termasuk kajian mitra (peer review) yang
penting disediakan melalui proses yang dikenal dengan
SK77 dari Pemerintah Pusat. Namun demikian, proses ini
tidak lagi dipatuhi. Direktorat Jenderal Bina Marga (Ditjen
Bina Marga) tetap mencantumkan peningkatan fasilitasi
dan dukungan untuk jalan daerah sebagai salah satu tujuan
strategis utamanya, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk
melaksanakan tujuan ini. Lebih lanjut, Dirjen Bina Marga
menegaskan rencana satuan kerja dan dana pemeliharaan jalan
sebagai insentif bagi Pemerintah Daerah untuk mengupayakan
praktik-praktik pemeliharaan yang efektif. Program seperti
itu dapat dilaksanakan melalui Hibah berbasis kinerja yang
mewajibkan penerima hibah untuk memenuhi standar
penganggaran dan perencanaan.
dan pemahaman yang memadai tentang manfaat ekonomi
dari manajemen aset selama masa umur manfaatnya.
Akibatnya, keputusan tentang penganggaran, perencanaan,
dan investasi biasanya diambil tanpa memberikan perhatian
yang memadai terhadap pemeliharaan yang akan dilakukan
atas aset yang diperoleh. Kerangka peraturan dasar untuk
manajemen aset telah tersedia2. Selain kepatuhan terhadap
kerangka ini, hanya ada sedikit komitmen nyata. Bila ada,
hanya sedikit instansi, di setiap tingkat pemerintahan, yang
memiliki kebijakan, rencana, dan strategi manajemen aset
yang diuraikan dan/atau berfungsi dengan baik. Selain itu,
kebanyakan pernyataan kebijakan penting dari Pemerintah
Pusat tidak dilengkapi dengan prinsip-prinsip pedoman
manajemen aset. Bagi banyak pejabat, baik di tingkat Pusat
maupun Daerah, manajemen aset hanya memaparkan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Struktur kelembagaan saat ini cenderung menerapkan
penanganan vertikal daripada horisontal terhadap
masalah-masalah infrastruktur.
pengembangan daftar aset, dan banyak instansi pemerintah
(mungkin sebagian besar) yang menghadapi kesulitan untuk
mengidentifikasi daftar aset mereka.
Sebagian besar cerita umum tentang masalah infrastruktur
di Indonesia terpusat pada kebutuhan akan investasi baru.
Tetapi, upaya utama untuk meningkatkan persediaan
infrastruktur produktif terkikis oleh depresiasi dan
kegagalan prematur yang demikian cepat dari aset yang
telah terpasang. Dengan meminjam istilah setempat,
infrastruktur Indonesia sebagian besar jalan di tempat
(tidak menunjukkan kemajuan): secepat infrastruktur
baru terpasang, secepat itu pula kapasitas aset yang
ada hilang entah kemana. Sebagaimana dicatat dalam
tulisan tentang air minum dan sanitasi berikut ini, selama
satu setengah dekade terakhir, walaupun terdapat
peningkatan investasi yang substansial – khususnya di
tingkat nasional – hanya terdapat sedikit perubahan dalam
jumlah kapasitas produksi terpasang di sektor air minum
(diukur dengan liter air per detik).
Keputusasaan masyarakat akibat standar penyediaan
infrastruktur yang buruk seringkali lebih berkaitan dengan
cepat rusaknya infrastruktur yang ada, daripada kebutuhan
investasi baru. Contoh penting adalah protes yang terjadi
setiap tahun terhadap buruknya standar jalan daerah
dan nasional untuk mengakomodasi besarnya pergerakan
manusia ke/dari berbagai kota selama Hari Raya Idul Fitri,
serta kejadian bencana seperti runtuhnya jembatan Kutai
Kartanegara pada tahun 2011, hanya 10 tahun setelah
pembangunan awalnya.
Manajemen aset yang buruk berarti biaya tinggi bagi
pemerintah dan para pengguna. Tidak adanya pemeliharaan
aset yang efektif (biasanya ditambah dengan pekerjaan
konstruksi awal yang buruk dan seringkali standar rancangan
yang tidak tepat) mempersingkat usia ekonomis, sehingga
mengakibatkan pengeluaran yang tidak efisien dan boros
untuk konstruksi baru dan rehabilitasi. Dalam hal jalan di
daerah, misalnya, perkerasan biasanya mulai rusak dalam
jangka waktu dua hingga tiga tahun, bukan 10 tahun atau
lebih sebagaimana asumsi normal apabila jalan tersebut
dikelola dengan lebih baik. Selain itu, kurangnya investasi
dalam pemeliharaan membuat konstruksi jalan pada
akhirnya menjadi tiga hingga lima kali lipat lebih mahal.
Tetapi biaya tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan
biaya yang ditanggung para pengguna jalan, khususnya
apabila jalan dibiarkan terbengkalai selama jangka waktu
panjang. Analisis IndII menunjukkan bahwa apabila waktu
tanggap untuk memperbaiki jalan diperpanjang hingga 12
bulan, bukannya dua bulan, seluruh biaya tambahan yang
ditanggung para pengguna jalan dapat meningkat 10 kali
lipat dibandingkan biaya tambahan yang harus ditanggung
oleh instansi pengelola jalan.
Temuan tersebut berlaku untuk sebagian besar sektor
infrastruktur lainnya. Studi yang dilakukan pada tahun
2008 terhadap manajemen aset PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) di 15 lokasi menemukan kurangnya
komitmen kelembagaan dan kapasitas organisasi terkait
dengan manajemen aset. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa rata-rata setiap USD 100 yang diinvestasikan dalam
peningkatan manajemen aset akan menghasilkan
penghematan di masa yang akan datang sebesar kurang
lebih USD 900 (bergantung pada tingkat pelaksanaan
manajemen aset dan persetujuan oleh manajemen PDAM
dan badan lembaga pemerintah lainnya).
Berbagai faktor ikut memberikan andil dalam masalah
manajemen aset infrastruktur di Indonesia, yang sebagian
besar terkait secara spesifik terhadap sektor tersebut,
misalnya dalam bidang jalan: beban berlebih dan standar
rancangan yang tidak sesuai. Di bawah ini dibahas dua tema
umum, yang diambil dari konteks teknik yang berbeda, yang
berkaitan dengan insentif dan akuntabilitas.
Pertama, struktur insentif saat ini memainkan peran penting
dalam menjelaskan mengapa aset infrastruktur cenderung
tidak dikelola dengan baik. Konstruksi awal seringkali
dilakukan oleh satu pihak, dan pemeliharaan dan pekerjaan
pembaharuan lainnya di bagian hilir dilakukan oleh pihak
lain. Hal ini memberikan potongan insentif selama masa
konstruksi, karena risiko hilir akan ditanggung oleh pihak
lain, sehingga menghasilkan apa yang disebut masalah
“bahaya moral” (moral hazard). Selain itu, seringkali aset
utama seperti jalan raya dipelihara oleh para manajer
dan pekerja yang dipekerjakan secara swakelola oleh
masyarakat yang secara keseluruhan tidak memiliki insentif
produktivitas dan kinerja untuk menjamin praktik-praktik
pemeliharaan yang efektif.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
15
16
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
Suatu strategi untuk mewujudkan umur-manfaat ekonomis
yang lebih baik dari investasi infrastruktur adalah dengan
mempertimbangkan modalitas penyelenggaraan berbasis
kinerja, termasuk menunjuk satu pihak tertentu yang
bertanggung jawab terhadap perancangan, pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaan aset, dan memberikan
remunerasi berkala kepada pihak tersebut berdasarkan
kinerja aset. Untuk aset yang sudah ada, pengaturan kontrak
berbasis kinerja dapat dieksplorasi untuk tugas-tugas
pengoperasian dan pemeliharaan. Selain itu, insentif kinerja
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
melalui pengadaan sektor publik yang lebih tradisional,
misalnya memberikan remunerasi untuk unit jalan
swakelola per unit keluaran, seperti panjang saluran yang
dibersihkan atau jumlah lubang yang diperbaiki.
Selain itu, insentif untuk peningkatan kebijakan dan
praktik manajemen aset dapat diarusutamakan menjadi
persyaratan hibah antar-lembaga pemerintah. Secara
khusus, DAK (Dana Alokasi Khusus, yang saat ini merupakan
sumber utama pendanaan hibah infrastruktur yang
dilaksanakan secara lokal dari Pemerintah Pusat) tidak
mencakup investasi dalam pemeliharaan rutin dan berkala.
Kedua, kurangnya akuntabilitas dan tanggung jawab
atas kondisi aset, pemanfaatan dan kinerja merupakan
masalah penting lainnya yang memperlemah manajemen
aset. Instansi terkait infrastruktur pada umumnya tidak
dimintai pertanggungjawaban atas kinerja mereka terkait
manajemen aset. Berbagai pilihan berbasis pengaturan
dan insentif dapat digunakan untuk meningkatkan
akuntabilitas, termasuk penalti bagi para manajer
infrastruktur yang lalai mengambil tindakan yang masuk
akal untuk memelihara kapasitas produktif aset yang
berada di bawah pengawasan langsung mereka. Pengukuran
berbasis transparansi yang melibatkan masyarakat dan
kelompok pengguna mungkin dapat juga membantu
prakarsa untuk mendorong akuntabilitas.
Kesimpangsiuran atau ketidakpastian terkait instansi mana
yang bertanggungjawab terhadap sebuah aset tertentu
turut mengurangi akuntabilitas. Hal ini berlaku baik secara
horisontal antar instansi di lingkungan lembaga pemerintah
yang sama maupun secara vertikal antar tingkat lembaga
pemerintah yang berbeda. Sebagaimana dapat dilihat
dalam contoh sebelumnya, terdapat ketidakpastian
mengenai instansi mana yang menguasai kepemilikan dan
dengan demikian bertanggung jawab atas sebagian besar
infrastruktur koridor TransJakarta, seperti halte, jembatan
pejalan kaki dan trotoar. Hal ini dapat mengurangi insentif
untuk pemeliharaan aset tersebut.
Secara vertikal, masalah umum terjadi apabila suatu aset
infrastruktur disediakan oleh Pemerintah Pusat, tetapi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan sejumlah kecil keterlibatan atau kepemilikan
Pemerintah Daerah yang menerimanya. Selain itu, status
pengalihan seringkali cukup jelas bahwa pada dasarnya aset
tersebut tidak menjadi milik instansi manapun. Pemerintah
Daerah seringkali mengeluhkan tentang adanya aset
infrastruktur yang tidak diinginkan atau tidak sesuai, yang
diberikan Pemerintah Pusat kepada mereka, dan cenderung
tidak memberikan dukungan dari anggaran tahun berjalan
untuk pemeliharaan dan perawatannya. Pendekatan umum
yang digunakan adalah dengan membiarkan aset tersebut
menjadi rusak dan kemudian memperoleh penggantian
yang diberikan dari Pemerintah Pusat, mungkin hanya
dalam waktu beberapa tahun. Sebagaimana akan dibahas
pada bagian di bawah ini, penerusan hibah berbasis kinerja
telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk membangun
kepemilikan dan keterlibatan Pemerintah Daerah dan
memberikan alternatif terhadap model penyediaan “dari
atas ke bawah” (top-down).
Desentralisasi
Di negara besar dan beragam seperti Indonesia, logika
tentang desentralisasi cukup menarik. Instansi-instansi
yang beroperasi di daerah harus lebih transparan dan
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Hal
ini terutama terjadi dalam penyelenggaraan layanan
infrastruktur, yang tanggung jawab penyelenggaraan
layanan air minum, sanitasi, jalan umum, dan transportasi
serta layanan lainnya telah dialihkan ke daerah sebagai
bagian dari upaya desentralisasi secara besar-besaran di
Indonesia pada awal tahun 2000-an.
Namun demikian, dalam berbagai cerita seputar masalah
infrastruktur di Indonesia, desentralisasi pada umumnya
dipandang sebagai “tantangan” lain yang harus diatasi.
Jarang sekali kita mendengar tentang peluang yang
dihadirkan sebagai akibat penerapan desentralisasi dalam
meningkatkan penyelenggaraan layanan infrastruktur. Hal
ini cukup dapat dipahami, mengingat apa yang telah terjadi
sejak desentralisasi diluncurkan. Jaringan jalan di daerah
telah mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan,
jumlah keluarga yang memiliki jaringan air minum menurun
tajam, dan investasi dalam bidang sanitasi di daerah
tetap rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Selain
itu, walaupun sesungguhnya pengeluaran untuk layanan
Pemerintah Daerah mengalami peningkatan, tidak cukup
bukti adanya peningkatan yang sepadan dalam kualitas
layanan yang diberikan. Belanja daerah tampak didominasi
oleh pengeluaran administrasi.
Berbekal hasil observasi tersebut, mudah untuk
menyimpulkan bahwa desentralisasi telah gagal dalam
menyediakan infrastruktur dan lebih lanjut, argumentasinya
adalah bahwa diperlukan resentralisasi di tingkat yang lebih
tinggi (yaitu, penyediaan infrastruktur melalui pendekatan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Jatuhnya jembatan Kutai Kartanegara di tahun 2011, yang terjadi hanya berjarak sepuluh
tahun setelah jembatan itu dibangun, menunjukkan dengan jelas masalah kemunduran
terus-menerus aset infrastruktur yang ada.
top-down). Semakin sering kita mendengar adanya
keengganan dari Kementerian Pusat untuk meningkatkan
pengalihan kepada Pemerintah Daerah. Bahkan dalam
bidang-bidang yang biasanya Pemerintah Pusat lebih
mendukung desentralisasi, timbul kekuatan yang pro- dan
anti-desentralisasi. Kekuatan yang disebut terakhir ini
didorong oleh kekecewaan terhadap Pemerintah Daerah
yang telah gagal dalam penyelenggaraan infrastruktur
meskipun pendanaan telah ditingkatkan.
Atas perkenan Arief Rahman Saan (Ezagren)
Instansi lini utama yang menangani masalah infrastruktur
biasanya mendukung sentralisasi yang lebih besar.
Jelas terdapat insentif kelembagaan yang kuat untuk
mempertahankan kekuasaan atas anggaran nasional yang
besar untuk infrastruktur daerah, daripada mengalihkan
tanggung jawab pelaksanaan kepada daerah. Biasanya
hal ini dibenarkan dengan alasan bahwa Pemerintah
Daerah tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk
melakukan
penyelenggaraan
infrastruktur.
Namun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
17
18
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
demikian, model penyediaan oleh Pemerintah Pusat
tidak selalu efektif, khususnya apabila aset disediakan
oleh Pemerintah Pusat tetapi dengan sedikit atau tanpa
kepemilikan atau keterlibatan dari pihak Pemerintah
Daerah sebagai penerima, sehingga mengakibatkan
depresiasi aset yang cepat atau – yang lebih buruk lagi –
aset tersebut tidak digunakan.
Dalam hal ini, sektor air minum dan sanitasi merupakan
kasus yang menarik. Walaupun sektor air minum dan
sanitasi ditetapkan sebagai fungsi daerah, anggaran
untuk pelaksanaan Pemerintah Pusat telah mengalami
peningkatan tajam selama beberapa tahun terakhir dan hal
ini tidak seimbang dengan pertumbuhan pengalihan dari
Pemerintah Pusat untuk infrastruktur yang dilaksanakan
secara lokal (yaitu, melalui DAK). Dalam sektor sanitasi,
IndII memperkirakan bahwa rata-rata Pemerintah Pusat
membelanjakan kurang lebih delapan sampai dengan
sembilan kali jumlah yang dialihkan kepada Pemerintah
Daerah untuk tujuan pelaksanaan di daerah. Kasus ini dan
kasus-kasus yang menunjukkan fungsi “daerah” sebagian
besar didanai di tingkat pusat, menimbulkan pertanyaan
bagi para pembuat kebijakan tentang peran Pemerintah
Daerah di masa yang akan datang dalam penyelenggaraan
layanan infrastruktur daerah.
Pada situasi ini mungkin hibah untuk infrastruktur yang
didanai oleh Pemerintah Australia yang dilaksanakan
oleh IndII dapat memainkan peran penting: hibah
tersebut dapat mengubah persepsi tentang efektivitas
instrumen pendanaan terdesentralisasi serta mengubah
sikap Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah
terkait infrastruktur.
Pelajaran penting terkait kebijakan dari program Hibah
infrastruktur yang didanai oleh Pemerintah Australia melalui
IndII adalah bahwa Hibah tersebut dapat menyelaraskan
insentif kelembagaan di seluruh tingkat pemerintahan
untuk peningkatan investasi infrastruktur daerah. Hibah
berbasis hasil (output-based-aid) telah menunjukkan
bahwa Pemerintah Daerah memiliki keinginan kuat untuk
memperoleh kepemilikan atas investasi tersebut daripada
menerima aset yang dipaksakan dari Pemerintah Pusat.
Selain itu, analisis dampak awal menunjukkan bahwa hibah
tersebut telah mendorong investasi modal Pemerintah
Daerah dalam PDAM dan bahwa investasi yang dilakukan
oleh penerima Hibah secara signifikan lebih efisien daripada
investasi yang dilakukan oleh pihak non-penerima hibah.
Secara keseluruhan, hibah tersebut juga telah terbukti
merupakan instrumen yang bermanfaat untuk meningkatkan
komitmen Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
layanan air minum daerah, dan mendorong kebijakan dan
prioritas terkait air minum nasional di tingkat daerah.
Namun demikian, temuan tersebut tidak perlu dibatasi
pada sektor air minum. Hibah berbasis kinerja dapat juga
digunakan untuk mencapai tujuan nasional dalam bidang
jalan daerah (lihat kotak di hal. 14). Tema-tema kebijakan
lintas sektoral utama seperti peningkatan komitmen
Pemerintah Daerah terhadap manajemen aset dapat juga
dicapai melalui hibah berbasis kinerja.
Begitu banyak tulisan tentang insentif yang kurang
terstruktur dalam transfer fiskal antar-lembaga pemerintah
di Indonesia. Dominasi pengeluaran administrasi dan
pegawai dalam belanja daerah, sebagaimana disebutkan di
atas, sebagian besar terjadi akibat pengaturan pendanaan
antar-lembaga pemerintah saat ini yang mendukung
belanja modal yang berulang (yaitu, gaji untuk investasi
dalam infrastruktur). Hibah menunjukkan bahwa insentif
kinerja dalam pengalihan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah cukup efektif dalam meningkatkan hasil
di tingkat daerah, yaitu menarik investasi dalam infrastruktur
produktif. Langkah berikutnya adalah meningkatkan Hibah
tersebut dari perangkat penyelenggaraan yang bermanfaat
untuk para donor menjadi mekanisme pengalihan multi
sektor yang baru yang menjadi arus utama dalam proses
penganggaran nasional.
Partisipasi Sektor Swasta
Selain sejumlah kebijakan penting terkait Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) dan upaya-upaya pengembangan
kelembagaan yang dilakukan beberapa tahun terakhir,
keterlibatan sektor swasta dalam penyelenggaraan
layanan infrastruktur di sektor-sektor utama, seperti
transportasi, air minum dan sanitasi tidak menunjukkan
kemajuan yang berarti. Banyak pendapat terkait faktorfaktor yang menghambat KPS, seperti isu-isu koordinasi
kelembagaan dan kepemimpinan, masalah pembebasan
lahan, identifikasi dan persiapan proyek yang buruk, dan
ketidakpastian peraturan yang terus berlanjut.
Untuk memperluas diskusi lebih jauh, fokus kami dalam
makalah ini terletak pada dua isu penting lainnya yang
seringkali terabaikan dalam upaya berkelanjutan yang
dilakukan oleh Indonesia untuk mendorong KPS.
Isu pertama berkaitan dengan pengalihan risiko. KPS
memberikan manfaat penting untuk memungkinkan
pengalihan sejumlah risiko utama kepada pihak swasta.
Faktor utama yang membedakan berbagai model KPS
adalah tingkat dan sifat risiko yang dialihkan kepada sektor
swasta. Salah satu yang cukup ekstrim adalah kontrakkontrak layanan dan pengelolaan yang hanya mengalihkan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
risiko secara terbatas. Hal ekstrim lainnya adalah konsesi
Bangun-Milik-Kelola (Build-Own-Operate) dengan investor
yang memperoleh remunerasi secara keseluruhan melalui
penagihan tarif atau retribusi. Situasi ini mengalihkan risiko
yang substansial, khususnya risiko permintaan/pendapatan,
dari pemerintah kepada sektor swasta.
Peraturan utama dalam KPS adalah bahwa risiko dialihkan
kepada para pihak yang paling mampu menanganinya.
Namun demikian, masalah umum yang terjadi di Indonesia
(dan tentu saja di banyak negara berkembang lainnya)
adalah bahwa instansi yang memberikan kontrak cenderung
mengenakan terlalu banyak pembatasan, ketentuan dan
harapan terhadap pengalihan risiko kepada sektor swasta
sehingga menyulitkan pengaturan transaksi yang cukup
layak secara finansial.
Faktor penting yang turut memberikan andil dalam masalah
kelebihan risiko adalah persepsi umum di Indonesia bahwa
KPS hanya merupakan instrumen pembiayaan. Peluang
untuk investasi sektor swasta biasanya hanya dilihat
sebatas konteks kesenjangan pendanaan, yaitu kesenjangan
antara kebutuhan infrastruktur dan kapasitas pembiayaan
pemerintah. Dengan demikian, apabila modalitas KPS
dipertimbangkan, maka standar pengaturannya dirancang
dengan mengasumsikan model konsesi penuh, dengan
sebagian besar – jika tidak semua – permintaan dan risiko
lainnya dialihkan kepada sektor swasta.
Hal ini membawa kita pada isu utama kedua – isu ini
menitik-beratkan pada pendanaan kesenjangan yang selalu
berarti kurangnya penekanan terhadap dimensi value-formoney (VfM atau nilai ekonomis dan manfaat) dari KPS.
Pengalaman internasional telah menunjukkan bahwa KPS
yang direncanakan, dirancang dan disusun dengan baik
dapat memberikan insentif pada penyelenggaraan dan
kinerja yang lebih efisien daripada dengan cara lain yang
melalui modalitas pengadaan yang lebih tradisional. Potensi
peningkatan VfM melalui KPS mencakup kesempatan yang
lebih besar dari penyelenggaraan layanan tepat waktu
dan sesuai anggaran dan tentu saja, peningkatan standar
layanan. Selain itu, dengan mengalihkan risiko rancangan,
konstruksi, operasional dan pemeliharaan (tetapi tidak
semua risiko lainnya) kepada sektor swasta, KPS dapat
bekerja untuk mengurangi seluruh biaya terkait umur
manfaat aset. Dan pada akhirnya, umur manfaat yang
ekonomis tersebut menjadi lebih penting daripada biaya
tambahan keuangan pihak swasta.
Kunci keberhasilan untuk memberikan VfM melalui KPS
adalah keselarasan insentif pada berbagai pihak. Sektor
swasta menyelenggarakan layanan dengan standar yang
disepakati dan memperoleh remunerasi berdasarkan
kinerja, biasanya melalui beberapa jenis satuan biaya
secara berkala. Kegagalan untuk memenuhi indikator
kinerja utama dapat berakibat pada pengurangan
pembayaran. Dengan demikian, tekanan hilir dari para
pemilik modal dan pemberi pinjaman juga mendorong
kinerja umur manfaat aset yang optimal. Di sektor hulu,
persaingan dalam proses pengadaan memberikan insentif
tambahan bagi peningkatan VfM.
Bagi pemerintah, risiko berkurang karena pekerjaan hanya
dibayar apabila spesifikasi telah terpenuhi. Selain itu,
tarif pekerjaan telah diketahui, sehingga mempermudah
penganggaran dan perencanaan. KPS memungkinkan
sektor publik untuk mendistribusikan biaya investasi
infrastruktur publik selama umur manfaat aset, bukan
mewajibkan pembayaran di muka dalam jumlah besar.
Dengan demikian, proyek-proyek dapat dilaksanakan
dengan lebih cepat, sehingga memungkinkan para
pengguna untuk memperoleh manfaat lebih cepat.
Yang terpenting adalah bahwa KPS memungkinkan
pemerintah untuk memanfaatkan dinamika dan kapasitas
inovatif sektor swasta untuk meningkatkan efisiensi dan
mengurangi pemborosan.
Namun demikian, akibat tekanan untuk mendanai
kesenjangan infrastruktur, pesan utama dari VfM
ini sebagian besar telah hilang dalam pembahasan
tentang KPS di Indonesia. Pandangan yang tetap berlaku
adalah bahwa sektor swasta hanya berperan pada saat
pemerintah tidak memiliki dana yang memadai dan
kemitraan dengan sektor swasta terutama berkaitan dengan
pendanaan dan bukan peningkatan penyelenggaraan.
Selanjutnya, pendekatan yang lebih realistis dan kurang
ambisius terhadap pengalihan risiko ditambah dengan
fokus yang lebih besar terhadap isu-isu VfM akan
menawarkan sejumlah kesempatan bagi peningkatan
partisipasi sektor swasta dalam infrastruktur di
Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pengaturan
standar dibuat dengan memberikan fokus pada proyekproyek besar, yang secara politis dianggap kompleks,
yang biasanya mencakup pengalihan risiko yang besar
kepada sektor swasta. Walaupun hal ini mungkin akan
berlanjut3, dalam jangka pendek hingga jangka menengah,
pendekatan tersebut dapat juga didiversifikasikan
menjadi fokus terhadap beberapa “pekerjaan yang paling
sederhana” dengan pengalihan risiko diminimalkan dan
terbuka kesempatan penting bagi sektor swasta untuk
menunjukkan VfM melalui penyelenggaraan layanan
superior. Hal ini mencakup pemberian kontrak-kontrak
layanan dan pengelolaan untuk bandar udara/pelabuhan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
19
20
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
kecil, penyediaan layanan pemeliharaan jalan secara rutin
dan berkala melalui pengaturan kontrak berbasis kinerja
atau mungkin penyelenggaraan infrastruktur penting yang
baru seperti jalan nasional atau bahkan jalan tol melalui
skema ketersediaan atau anuitas (di Indonesia lebih dikenal
dengan sebutan PBAS: performance based annuity schemes
[skema anuitas berbasis kinerja]).
Insentif Berbasis Kinerja
Hingga saat ini, pelajaran terpenting yang dapat dipetik
dari pengalaman IndII adalah potensi yang besar dari
hibah berbasis kinerja, seperti Hibah Air Minum, untuk
meningkatkan penyelenggaraan layanan infrastruktur di
tingkat daerah. Dalam skema semacam ini, persyaratan
pembayaran merupakan perangkat yang ampuh untuk
menjamin terpenuhinya persyaratan/hasil kinerja yang
diperlukan. Risiko-risiko diminimalkan dan pelaksanaan
menjadi lebih transparan. Oleh karena itu, diberikan
rekomendasi sebagaimana tersebut di atas, untuk
mengarusutamakan insentif kinerja ke dalam pengalihan
antar-lembaga pemerintah lainnya untuk infrastruktur.
Selain transfer fiskal, insentif kinerja dapat memainkan peran
yang jauh lebih besar dalam peningkatan penyelenggaraan
infrastruktur di Indonesia. Sistem perencanaan dan
penyelenggaraan yang berlaku saat ini tetap berbasis
masukan dan seringkali diwarnai dengan inefisiensi dan
pemborosan. Bagian sebelumnya menekankan peran
utama insentif kinerja dalam penyelenggaraan layanan
sektor swasta. Dalam hal ini, remunerasi bergantung
pada spesifikasi layanan atau standar yang dipenuhi, dan
risiko dialihkan kepada para pihak yang paling mampu
mengelolanya. Mengingat adanya kebutuhan mendesak
untuk mengembangkan infrastruktur baru, muncul peluang
penting untuk menggabungkan pembiayaan, rancangan,
konstruksi, operasi, dan pemeliharaan berdasarkan
kontrak-kontrak tahun jamak berbasis kinerja. Fokus
terhadap peningkatan manajemen aset dan layanan yang
diselenggarakan melalui kontrak-kontrak berbasis kinerja
(performance-based contracts, PBC) untuk pengoperasian
dan pemeliharaan merupakan hal yang sama pentingnya
dan mungkin lebih dapat dicapai dalam jangka pendek
hingga jangka menengah.
PBC adalah sebuah konsep yang relatif baru di Indonesia.
Konsep ini dapat memberikan manfaat penting, khususnya
bagi instansi-instansi terkait jalan raya. Manfaat tersebut
mencakup kemampuan untuk memperoleh pendanaan
dalam jangka lebih panjang untuk jaringan jalan
tertentu, dengan pemahaman bahwa jaringan ini akan
dipelihara dengan tingkat layanan yang telah ditentukan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sebelumnya. Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Bina Marga
melakukan uji coba PBC sebagai modalitas pengadaan
untuk dua segmen jalan arteri utama di pantai utara
Jawa (Pantura). Hingga saat ini, kajian terhadap uji coba
tersebut menunjukkan bahwa PBC bukanlah pilihan optimal
dalam metode pengadaan, karena pekerjaan tersebut
lebih menyerupai upaya rekonstruksi besar (dengan
perpanjangan garansi). Dengan demikian, salah satu proyek
dianggap berhasil karena profesionalisme berbagai pihak
(para kontraktor, pengawas, dan pejabat pengadaan).
Dirjen Bina Marga sedang mempertimbangkan untuk
memperluas konsep PBC di lokasi-lokasi lainnya. Idealnya,
untuk memperoleh manfaat kinerja dalam jangka waktu
yang lebih panjang yang dapat dicapai oleh PBC, segmen
jalan harus memenuhi persyaratan panjang minimum
(sebaiknya merupakan jaringan, bukan koridor panjang);
segmen tersebut sebagian besar harus cukup stabil (yaitu,
rekonstruksi yang memerlukan tidak lebih dari 40 persen
dari nilai kontrak); dan jangka waktu kontrak harus tidak
kurang dari lima tahun.
Selain jalan, PBC yang diberikan secara kompetitif dapat
digunakan dalam berbagai situasi untuk meningkatkan
baik efisiensi maupun kualitas penyelenggaraan layanan
infrastruktur. Misalnya, PBC tersebut dapat menjadi alat
yang bermanfaat untuk melaksanakan subsidi angkutan
(misalnya, untuk rute rintisan dan rute Kewajiban Layanan
Publik, dengan permintaan pasar yang belum memadai
secara ekonomis). Hal ini akan memungkinkan perubahan
dari pendekatan berbasis masukan yang saat ini diterapkan,
yang cenderung menguntungkan para penyedia layanan
milik negara yang saat ini berkuasa dan sebagian besar tidak
efisien, menjadi pengaturan berbasis keluaran. Misalnya,
layanan rintisan dapat menerima remunerasi berdasarkan
ketersediaan tempat duduk dan/atau ruang kargo untuk
rute khusus, dan bukan berdasarkan subsidi masukan
langsung seperti penyediaan feri.
Peluang lain untuk PBC dapat dieksplorasi untuk
manajemen aset transportasi, seperti bandar udara,
pelabuhan, dan terminal bis; penyediaan layanan
transportasi kota; pasokan air minum hulu untuk PDAM;
dan bahkan mungkin distribusi hilir atas nama PDAM.
Secara singkat, PBC dapat digunakan dalam berbagai
situasi. Konsep ini cocok untuk diterapkan pada saat
pemerintah hendak menyediakan sebuah layanan (sebagai
kebalikan dari aset); apabila terdapat kesempatan untuk
meningkatkan penyeleggaraan melalui insentif berbasis
kinerja, dan apabila ada kemauan politik (political will) untuk
memungkinkan penyelenggaraan layanan infrastruktur
garis depan yang lebih besar oleh sektor swasta.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Kesimpulan
Penyusunan RPJMN membuka kesempatan penting untuk
menguraikan sejumlah tema dan prioritas Pemerintah
Indonesia dalam sektor infrastruktur secara keseluruhan.
Dengan memetik pelajaran dari pengalaman IndII, makalah
ini mengusulkan empat pesan utama lintas sektoral, yaitu:
• Penerapan upaya-upaya insentif dan akuntabilitas
yang tepat dan komitmen yang lebih kuat terhadap
manajemen aset di semua tingkat pemerintahan akan
menghasilkan umur manfaat aset secara ekonomis
yang lebih baik dalam investasi infrastruktur.
• Penggunaan perangkat dan sistem desentralisasi yang
berlaku saat ini secara lebih luas akan memungkinkan
Pemerintah Daerah untuk lebih terlibat dan
memperoleh insentif dalam penyelenggaraan
layanan infrastruktur daerah.
• Pendekatan yang lebih realistis terhadap pengalihan
risiko, serta fokus terhadap nilai uang secara ekonomis
dan dari segi value-for-money akan membuka
kesempatan yang lebih besar bagi sektor swasta
dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur.
• Pengarusutamaan insentif berbasis kinerja ke dalam
sistem perencanaan dan penyelenggaraan, termasuk
transfer fiskal antar-lembaga pemerintah akan semakin
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas investasi
publik dalam infrastruktur. ●
Tentang Penulis:
Sebagai Direktur Program IndII, David Ray bertanggung jawab
atas kepemimpinan teknis dan strategis secara keseluruhan.
Ia adalah seorang ekonom dengan lebih dari 10 tahun
pengalaman kerja dalam konteks pembangunan, terutama
di Indonesia dan Vietnam. Sebelum bergabung dengan IndII
pada bulan April 2009, David adalah Wakil Direktur proyek
SENADA yang didanai oleh USAID, dengan fokus pada daya
saing industri manufaktur Indonesia. Selama periode 2003–
06, ia bekerja untuk The Asia Foundation di Vietnam tempat
ia mengelola program tata kelola ekonomi dari USAID, untuk
memperbaiki iklim investasi di tingkat lokal. Sebelumnya,
ia merupakan seorang penasihat dengan dana USAID di
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia, terutama di bidang perdagangan, investasi, dan
isu-isu reformasi regulasi.
David memiliki keterampilan teknis dan latar belakang
dengan cakupan bidang yang luas termasuk pengaturan
dan reformasi ekonomi mikro, kebijakan infrastruktur
(khususnya transportasi dan air minum/sanitasi), perdagangan
internasional dan domestik, desentralisasi dan pemberian
pelayanan pemerintah daerah, metode penelitian dan
statistik, serta manajemen proyek.
David memiliki sejumlah gelar akademis, termasuk PhD yang
berfokus pada pembangunan ekonomi dan kelembagaan
di Indonesia. Ia merupakan penulis sejumlah artikel
jurnal akademik dengan penilaian dari rekan sejawat dan
sejumlah bab mengenai pembangunan Indonesia. Ia fasih
membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia,
dan telah menulis dan menerbitkan banyak buku dalam
bahasa Indonesia.
CATATAN
1. Sustaining Local Asets: Local Government Aset Management Policy Statement (Melestarikan Aset Daerah: Pernyataan Kebijakan
Manajemen Aset Pemerintah Daerah), Department for Victorian Communities, Desember 2003.
2. Misalnya: Peraturan Pemerintah No. 6/2006 dan No. 38/2008 tentang pengelolaan aset negara dan peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 17/2007 tentang pengelolaan aset Pemerintah Daerah.
3. Perhatikan pengumuman baru-baru ini bahwa pemerintah akan menawarkan hingga 30 proyek infrastruktur besar berjumlah
USD 33 miliar (Sumber: “Govt set to roll out Rp 380t infrastructure project,” Jakarta Post November 14, 2013 hal. 3.).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
21
POIN-POIN UTAMA
Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur di bidang transportasi, rencana Pemerintah Indonesia dalam lima tahun
ke depan sebaiknya lebih mendorong investasi swasta dengan lebih efektif; memberikan insentif yang layak; dan
menggunakan mekanisme berbasis kinerja untuk mendapatkan value-for-money (VfM, nilai ekonomis dan manfaat).
Perlu panduan jelas untuk persaingan, peran masyarakat dan sektor swasta, dan organisasi fungsi sektor publik.
Pemerintah harus mempertimbangkan aturan yang dikenakan pada investasi swasta dan kriteria yang diberlakukan
untuk investasi publik. Peraturan ini harus mengakui nilai peran investasi asing dalam mendorong layanan yang lebih
baik untuk masyarakat, meningkatkan standar industri dalam negeri, dan menawarkan VfM yang lebih baik. Investasi
publik juga harus didorong oleh VfM, termasuk keputusan mengenai bagaimana cara terbaik untuk menerapkan
investasi non-ekonomis penting untuk alasan keamanan nasional.
Daripada mencoba untuk merebut kembali fungsi-fungsi yang telah disentralisasi, pemerintah pusat sebaiknya
mencari cara untuk memberikan insentif untuk pengambilan keputusan dan kinerja daerah yang lebih baik.
Peraturan harus dirancang untuk memfasilitasi investasi swasta, mendorong persaingan yang sehat dan melindungi
keselamatan dan lingkungan.
Harga yang dibayarkan oleh pengguna untuk infrastruktur dan layanan transportasi secara umum mencerminkan
biaya yang dikeluarkan. Jika subsidi diperlukan, subsidi perlu dibatasi oleh kontrak berbasis kinerja yang dilelang
secara kompetitif.
Hasil harus dapat diukur dalam hal hasil yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi (misalnya, meningkatnya
akses dan berkurangnya waktu tempuh) dan bukan, seperti yang telah dilakukan di masa lalu, berdasarkan masukan
(misalnya, berapa meter dermaga yang telah dibangun).
Insentif-insentif yang ada saat ini menyimpang, mengabaikan pemeliharaan, dan memotong biaya kualitas, dan
memaksakan keterlambatan pada pengguna justru menguntungkan pihak penyedia layanan. Standar kinerja dan
pemberian kontrak berbasis kinerja akan menawarkan insentif untuk meningkatkan kualitas infrastruktur.
Persaingan yang lebih besar, yang dapat digalakan dengan memberantasan monopoli, menghapus hambatan untuk
masuk pasar, akan mendukung efisiensi sehingga tercapainya perkembangan ekonomi. BUMN harus siap untuk
bersaing dengan swasta.
Untuk mengatasi kemacetan perkotaan, memperkenalkan disinsentif untuk menggunakan kendaraan pribadi selama
jam sibuk, meningkatkan efisiensi lalu lintas, menyediakan pilihan transportasi publik yang lebih menarik, dan
mendorong kepemimpinan yang kuat di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda).
Meningkatkan infrastruktur dan layanan transportasi di daerah kurang berkembang biasanya akan berkaitan dengan
subsidi, yang seharusnya diberikan apabila hasil yang ditargetkan dapat tercapai dengan biaya minimum melalui
beberapa alternatif termasuk melakukan kontrak kerja dengan pihak swasta.
Untuk menarik investor terhadap peluang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Indonesia harus menawarkan peluang
yang dapat bersaing dengan apa yang ditawarkan negara lain. Ini dapat dilakukan melalui model penyelenggaraan
yang transparan, dapat diprediksi, dan sesuai dengan praktik terbaik.
RPJMN harus mengakui adanya isu-isu keselamatan transportasi yang serius di Indonesia dan berkomitmen untuk
meningkatkan jejak Indonesia, khususnya dalam hal keselamatan jalan raya. Lima pilar dari Rencana Umum
Keselamatan (RUNK) Indonesia (manajemen keselamatan jalan raya yang lebih terpadu, jalan raya yang lebih
aman, kendaraan yang lebih aman, keselamatan pengguna jalan raya yang lebih baik, dan respon pasca kecelakaan
yang lebih baik) merupakan awal yang bagus. Apa yang dibutuhkan adalah tingkat pemahaman yang lebih tinggi
mengenai urgensi permasalahannya, komitmen yang lebih kuat, dan profil yang lebih tinggi untuk kegiatan
keselamatan jalan raya.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk pengembangan dan perencanaan nasional, Bappenas (dengan
dukungan dari seorang presiden yang memiliki visi dan keberanian) dapat memimpin kebijakan dan strategi reformasi
untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan infrastruktur dan layanan transportasi.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
SEKTOR TRANSPORTASI
INDONESIA: TANTANGAN
DAN STRATEGI
Kesenjangan infrastruktur transportasi Indonesia harus dibenahi
apabila negara ini ingin mencapai target perkembangan ekonomi.
Rencana Strategis 2015–2019 dapat mendukung hal ini melalui
beberapa metode, termasuk membangun kerangka kerja
keseluruhan yang kuat, mendorong keterlibatan sektor swasta,
dan menggunakan insentif berbasis kinerja.
Oleh John Lee dan Suyono Dikun
Ada kesenjangan penyediaan infrastruktur yang signifikan
dalam sektor transportasi di Indonesia: permintaan melebihi
pasokan dalam margin yang besar, dan ini kemungkinan akan
memburuk. Peningkatan kemacetan jalan raya, pelabuhan,
dan bandara; inefisiensi layanan; dan pemburukan aset
menaikkan biaya transportasi dan menurunkan daya
saing (lihat Gambar 1), yang mungkin mengikis satu poin
persentase dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Indonesia
tertinggal jauh dari pesaing regionalnya.
Investasi infrastruktur yang didorong sektor swasta dan
penyediaan layanan yang kompetitif yang telah ditetapkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN 2005–2025) belum terwujud – faktanya, di sektor
transportasi ini hampir belum mulai sama sekali. Beberapa
kerangka hukum untuk perkeretaapian dan pelabuhan telah
tersedia, tetapi implementasinya telah berjalan lambat.
Insentif yang tidak memadai, alokasi risiko yang tidak
terkelola, peraturan yang membatasi, ketidakpercayaan,
serta kepentingan-kepentingan terselubung, semuanya
membatasi minat investor dan kemauan pemerintah untuk
melakukan reformasi. Pemerintah masih harus belajar
bahwa penyediaan infrastruktur oleh sektor swasta, dengan
insentif yang tepat, menawarkan value-for-money (VfM,
nilai ekonomis dan manfaat) yang signifikan: itulah manfaat
utamanya, bukan sekedar menyediakan dana tambahan.
Dengan tidak adanya sektor swasta, pemerintah belum
mengisi kesenjangan infrastruktur. Tingkat investasi yang
telah ada terlalu rendah (dibuktikan dengan kapasitas
yang tidak memadai di sebagian besar sub-sektor) atau
salah arah (dihabiskan untuk rekonstruksi atau rehabilitasi
tambahan, misalnya, dan bukan untuk membangun
fasilitas-fasilitas berkinerja tinggi, yang baru, yang akan
menawarkan VfM yang lebih baik). Dampak-dampaknya
termasuk produktivitas pelabuhan yang rendah (Lihat
Gambar 2), penundaan di bandara, kemacetan jalan raya
yang parah, siklus rehabilitasi dengan frekuensi tinggi dan
mahal, serta harga-harga yang lebih tinggi bagi pengguna
akhir baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
23
24
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 1: Perbandingan Indeks Kinerja Logistik
4.5
2007
4.0
2010
3.5
2012
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
5.0
0
Singapore
Malaysia
Thailand
Philippines
Vietnam
Indonesia
Laos
Cambodia
Myanmar
Sumber: Bank Dunia, Status Logistik Indonesia, 2013
Gambar 2: Waktu Tunggu Kapal (Hari) di Pelabuhan Tanjung Priok, Januari 2011 sampai November 2012
7.0
Hari
6.7
6.6
6.5
6.3
5.5
5.8
5.2
5.4
5.4
6.0
5.8
6.3
6.1
6.4
6.3
6.1
5.8
5.5
5.4
5.0
5.0
4.5
6.1
6.0
6.0
6.4
6.2
4.7
1.11
2.11
3.11
4.11
5.11
6.11
7.11
8.11
9.11 10.11 11.11 12.11 1.12
2.12
3.12
4.12
5.12
6.12
7.12
8.12
9.12 10.12 11.12
Sumber: Jakarta International Container Terminal, dikutip dalam Bank Dunia, Status Logistik Indonesia, 2013
Khusus untuk jalan raya, total biaya siklus-hidup
(termasuk biaya pengguna) tinggi, namun ini belum
mendorong pemerintah untuk mengambil pendekatan
siklus-hidup untuk mengoptimalkan pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur. Pengawasan konstruksi dan
perencanaan pemeliharaan juga lemah. Ketergantungan
pada Lembaga Usaha Milik Negara (BUMN), yang
seringkali diarahkan oleh pemerintah (model penyelesaian
“tugas”), menghalangi keputusan-keputusan investasi
penting dari sinyal pasar, menekan perkembangan dari
alternatif sektor swasta yang kompetitif, dan biasanya
menghasilkan fasilitas dan pelayanan berkualitas lebih
rendah. Operasi BUMN (misalnya, kereta api, feri,
dan pelabuhan) cenderung tidak efisien, tidak cukup
memberikan tekanan pasar yang kompetitif.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Urbanisasi yang cepat, motorisasi yang tak terkendalikan,
perencanaan tata guna lahan yang lemah, kontrol
pembangunan yang tidak efektif, serta tidak memadainya
transportasi publik membatasi mobilitas dan menurunkan
kualitas hidup di kota-kota yang padat. Keputusan
mendesak mengenai pengelolaan permintaan puncak dan
meningkatkan transportasi umum ditunda, menjadikan
kehidupan kota tidak menyenangkan dan solusi jangka
panjang jauh lebih sulit untuk diterapkan.
Kesenjangan antardaerah dalam penghasilan dan
aksesibilitas tidak adil dan merusak kebersatuan. Harga
barang-barang kebutuhan dari pabrik atau yang diimpor di
provinsi-provinsi terpencil bisa sampai sepuluh kali lebih
mahal daripada di Jawa. Transportasi jalan raya disubsidi
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
secara besar-besaran, lebih mengutamakan daerahdaerah pusat yang berpenghasilan lebih tinggi, sementara
transportasi laut, jalur kehidupan bagi Indonesia bagian
timur, tidak demikian. Moda-moda lain – khususnya kereta
api – juga menderita akibat tidak konsistennya penentuan
harga antarmoda. Tanpa manajemen komersial, modamoda tersebut gagal untuk menawarkan alternatif yang
menarik dari angkutan darat untuk penumpang dan barang.
Pengguna transportasi tidak dapat banyak berperan dalam
penentuan respon atas kekurangan dari infrastruktur:
sementara transparansi dan konsultasi didorong pada
tingkat kebijakan, itu belum efektif dalam mempengaruhi
keputusan perencanaan, maupun dalam pemberian sanksi
atas buruknya kinerja pelaksanaan.
Hal terakhir tetapi tidak kalah penting: tingkat keselamatan
di moda-moda transportasi rendah dan di sektor jalan
raya tingkat tersebut sangat mengagetkan, dengan 32.000
kematian di jalan raya setiap tahun. Keikutsertaan Indonesia
dalam Dekade Aksi Keselamatan Jalan Raya PBB belum
menghasilkan perubahan yang signifikan.
Apakah semua ini menyajikan sebuah gambar hitam
yang tidak masuk akal? Dapat dikatakan memang ada
beberapa titik terang, tetapi lebih baik untuk memenuhi
kebutuhan dari 5, 10, atau 50 tahun mendatang dengan
mengakui dan memperbaiki apa yang salah daripada
berharap bahwa melakukan hal yang sama dengan lebih
banyak sudah akan mencukupi.
Kerangka Kebijakan Yang Menyeluruh
Rencana pembangunan jangka menengah ketiga di
Indonesia (RPJMN III) seharusnya tidak hanya menjadi
strategi untuk memperbaiki kekurangan yang telah ada
selama lima tahun ke depan, namun juga harus mulai
menangani kebutuhan selama 30, 40, atau bahkan 50 tahun
yang akan datang. RPJMN I dan RPJMN II gagal melakukan hal
ini secara memadai (Lihat Boks 1). Oleh karena itu, RPJMN
III mempunyai peran yang lebih besar dan lebih mendesak
untuk dijalankan. Agar efektif, strateginya harus dipandu
oleh satu set prinsip-prinsip kebijakan yang menyeluruh.
Apabila prinsip-prinsip tersebut tidak memandu semua
keputusan, inkonsistensi yang merusak di antara lembaga,
moda, dan program akan tetap ada.
Prinsip-Prinsip Kelembagaan: Salah satu kebutuhan yang
penting adalah pedoman yang jelas mengenai persaingan,
peran masing-masing dari sektor publik dan swasta, serta
pengaturan fungsi dari sektor publik. Sebagian besar dari
permasalahan di atas dapat ditelusuri pada penataan
kelembagaan dan pengambilan keputusan yang lemah,
kurangnya kejelasan mengenai peran sektor swasta, dan
Beban biaya untuk pengguna jalan yang kurang terpelihara
sangat tinggi. Jarak tempuh memakan waktu yang
lebih lama, kerusakan pada kendaraan lebih besar,
dan keamanan dipertaruhkan.
Atas perkenan IndII
Boks 1: Kekurangan RPJMN I dan RPJMN II
RPJMN I dan RPJMN II diarahkan untuk melihat terjadinya
akselerasi pembangunan infrastruktur transportasi melalui
partisipasi sektor swasta dan Kerjasama PemerintahSwasta (KPS). Kerangka kebijakan, hukum, pengaturan, dan
kelembagaan yang terkait akan dibenahi dan direstrukturisasi.
Pemerintah menjalankan beberapa reformasi hukum dan
pengaturan serta menentukan pengaturan kelembagaan
untuk KPS, namun tidak berhasil untuk mewujudkan transaksi
proyek KPS secara signifikan.
Sumber: Dukungan IndII untuk RPJMN III, Draf Laporan
Sementara, Oktober 2013
Prakarsa Compendium | Jilid 3
25
26
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 3: Manfaat dari Model-Model Pelaksanaan Berbasis Kinerja
25
Konstruksi
O&M
20
Risiko
Pengadaan Konvensional:
Pemerintah memenuhi semua
kebutuhan pengeluaran ketika muncul
15
10
5
0
1
2
3
4
5
6
7
25
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pengeluaran Pemerintah
20
Pengadaan Berbasis Kinerja:
Pemerintah membayar hanya
untuk layanan yang diberikan
15
10
5
biaya
0
1
2 3 4
waktu
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
ketidakpercayaan atas manfaat dari kompetisi. Untuk
RPJMN III, para pengambil keputusan pemerintah perlu
menjawab dua pertanyaan kelembagaan yang mendasar:
• Apa peranan masing-masing dari sektor publik dan
swasta dalam menyediakan dan mengoperasikan
infrastruktur dan layanan transportasi?
• Bagaimana cara terbaik agar fungsi-fungsi yang tetap
berada pada pemerintah dapat diatur?
Negara sebanding yang sukses telah menemukan bahwa
cara terbaik untuk memberikan kebanyakan infrastruktur
dan layanan transportasi adalah melalui sektor swasta
yang kompetitif, dan terfokus secara komersial. Dengan
persaingan yang efektif, tujuan mencari laba memberikan
insentif atas kualitas, efisiensi, dan kinerja yang jauh lebih
kuat daripada insentif yang terdapat di sektor publik.
Pelajaran: fasilitasi persaingan sektor swasta; hindari atau
hilangkan peraturan yang secara tidak perlu menghambat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pengadaan Konvensional:
• Pemerintah membayar untuk
masukan, bukan keluaran
• Kontrak-kontrak D/C/O/M
terpisah – tidak ada
optimalisasi siklus-hidup
• Tidak ada standar kinerja
sepanjang masa proyek
• Kontraktor mempunyai insentif
untuk menambah beban
kerja mereka
• Risiko perpanjangan waktu/
pembengkakan biaya
ditanggung oleh Pemerintah
Pengadaan Berbasis Kinerja:
• Pemegang konsesi
menyediakan layanan
sepanjang siklus hidup proyek
• Pemegang konsesi mengelola
risiko D/C/O/M melalui subkontrak – perpanjangan/
pembengkakan biaya tidak
mempengaruhi Pemerintah
• Optimalisasi siklus-hidup
• Pemerintah membayar hanya
untuk yang diterimanya
• Pemegang konsesi mendapat
insentif melalui mekanisme
pembayaran untuk menjaga
standar kinerja tinggi
• Belanja Pemerintah yang
dapat diprediksi menjangkau
masa depan
Boks 2: Kondisi Jalan Raya pada Tingkat
Nasional dan Daerah
• Jalan menanggung 70 persen dari semua ton-km
beban angkutan barang dan 82 persen dari
km-angkutan penumpang
• Dari jaringan sepanjang 477.000 km pada tahun
2010, 49.000 km merupakan jalan raya provinsi dan
385.000 km jalan kabupaten
• Jalan provinsi menanggung 19 persen beban km-kendaraan
dan menyediakan sambungan vital antara jaringan-jaringan
kabupaten dan nasional
• 86 persen dari jalan nasional berada dalam kondisi baik/
cukup baik (stabil) pada tahun 2010, tetapi proporsi
untuk jalan raya provinsi hanya 63 persen. Kondisi jalan
tersebut tidak membaik – dan memang, di banyak provinsi
keadaannya memburuk setelah desentralisasi
Sumber: Dokumen Rancangan Program PRIM
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Boks 3: Persaingan dan Tingkat Responsivitas
atas Permintaan
Kompetisi mendorong kinerja dan inovasi. Para penyedia jasa
yang saling bersaing berupaya menarik pelanggan dengan
meningkatkan kualitas dan mengikis biaya. Jika mereka tidak
melakukan itu, mereka akan bangkrut. Tekanan seperti ini
tidak terjadi pada kinerja para operator milik negara atau
perusahaan yang memegang monopoli di pasar. Sebagai akibat,
konsumen yang dirugikan.
Kompetisi dapat mendorong kinerja dan tingkat responsivitas
atas permintaan, bahkan ketika layanan-layanan yang diberikan
tidak bersifat komersial. Sebuah contoh yang baik adalah
penyediaan layanan perintis – para penyedia yang berkompetisi
dapat mengajukan tawaran berdasarkan harga pemberian jasa
yang memenuhi Indikator Kinerja Utama (KPI, Key Performance
Indicators) yang ditentukan oleh pemerintah.
investasi dan kegiatan operasional swasta; pertimbangkan
secara sangat hati-hati apakah berpihak pada BUMN
menunjang efisiensi, fleksibilitas, dan tingkat responsif
terhadap permintaan; serta jangan selalu berasumsi bahwa
pemerintah telah mengetahui solusi yang terbaik.
Bagaimana dengan fasilitas dan layanan non-komersial?
Tidak ada alasan mengapa seharusnya tidak juga
disediakan oleh sektor swasta yang kompetitif di bawah
model penyediaan berbasis kinerja (lihat Gambar 3).
Daripada memberikan layanan seperti itu oleh mereka
sendiri, pemerintah harus menetapkan standar kinerja
dan memperbolehkan operator swasta mengajukan
tawaran untuk menyediakannya. Ini dapat diharapkan akan
menjamin bahwa target-target layanan dan kualitas akan
terpenuhi dengan biaya terendah, dan memungkinkan
untuk menilai apakah manfaat yang dirasakan melebihi
subsidi eksplisit yang terlibat.
Terakhir, Pemerintah Pusat harus mengadopsi posisi
yang lebih jelas dalam perannya di bidang infrastruktur
dibandingkan dengan sistem transportasi daerah. UU no.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang diterapkan
pada tahun 2001, menyerahkan tanggung jawab atas
infrastruktur daerah kepada administrasi pada tingkat
yang lebih rendah. Ini merupakan hal yang baik – karena
membawa keputusan mengenai persoalan lokal lebih
dekat kepada rakyat – tetapi karena beberapa alasan,
ini telah memunculkan infrastruktur yang berkualitas
rendah (lihat Boks 2).
Pertimbangan-pertimbangan
ini
menyoroti
peran
pemerintah yang paling penting: perencanaan strategis,
penetapan standar teknis dan kinerja, menjamin persaingan
yang efektif, serta melindungi keselamatan masyarakat dan
lingkungan. Di mana pemerintah terlibat dalam penyediaan
pelayanan, pemisahan dengan jarak agak jauh harus
dilakukan antara fungsi-fungsi kebijakan/perencanaan/
regulasi, dan peran layanan-pemasok: dengan demikian
pemerintah akan lebih dapat memastikan penyedia layanan
bertanggung jawab atas kualitas dan kinerja dan akhirnya
melakukan divestasi atas operasi komersialnya kepada
sektor swasta, jika diperlukan.
Prinsip-Prinsip Investasi: Dalam hal investasi, pertanyaanpertanyaan utama terkait kebijakan adalah:
• Aturan apa yang harus diberlakukan pemerintah
terhadap investasi sektor swasta?
• Kriteria apa yang harus diterapkan untuk investasi
oleh pemerintah?
Di mana terdapat pasar yang kompetitif, investasi sektor
swasta harus didorong. Bahkan mendorong investasi
asing akan bermanfaat dalam jangka panjang, karena
perubahan-perubahan terbaru dalam hukum mengakui:
pengguna akan menikmati layanan yang lebih baik, dan
standar industri dalam negeri akan meningkat melalui
kompetisi serta ketersambungan dengan usaha patungan.
Alasan utama untuk mendorong investasi sektor swasta
adalah kualitas dan VfM. Penyedia swasta, bertindak dalam
kompetisi, termotivasi untuk memberikan layanan efisien,
yang terfokus pada pelanggan (lihat Boks 3). Investasi
swasta tidak seharusnya dipandang sebagai cara untuk
menjembatani kesenjangan pendanaan.
Jika, karena alasan apapun, investasi sektor publik dipandang
perlu – katakanlah, untuk jalan raya, perluasan jaringan rel
kereta api, infrastruktur dasar pelabuhan – semuanya juga
harus didorong oleh VfM. Dana publik akan terbuang sia-sia
jika manfaat tidak melebihi biaya, dan biaya siklus-hidupnya
– termasuk biaya pengguna – tidak diminimalisir.
Bagaimana dengan investasi non-ekonomi yang dianggap
sangat penting karena alasan strategis, ekuitas, politik,
atau alasan lainnya? Ini tentu saja juga harus tunduk
pada penilaian manfaat/biaya sehingga biaya yang
diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuan non-ekonomi
teridentifikasi dengan jelas.
Ada banyak pembicaraan baru-baru ini mengenai peran
“penugasan” BUMN (perusahaan kontraktor besar milik
Prakarsa Compendium | Jilid 3
27
28
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
negara, seperti PT Hutama Karya, PT KAI, PT Pelindo I dan
II, serta Angkasa Pura I dan II). Proposal untuk membangun
sistem jalan tol Trans-Sumatera, misalnya, melibatkan
kontraktor BUMN untuk bertanggung jawab atas
pengelolaan struktur yang mirip Kerjasama PemerintahSwasta (KPS) dengan masukan sektor swasta, seperti
halnya Pelindo II menggunakan operator swasta untuk
mengembangkan pelabuhan Kalibaru melalui pengaturan
KPS yang kompetitif.
Dapat dikatakan, BUMN-BUMN ini bertindak sebagai agen
pemerintah dalam mendapatkan investasi swasta dan
manajemen siklus-hidup yang efisien. Tapi pasar swasta
akan memandang pendekatan ini sebagai penambah risiko
terhadap suatu proposisi investasi yang sudah berisiko.
Kejelasan yang lebih baik diperlukan pada pengaturan
tata kelola pemerintahan dan transparansi, prosedur
pengadaan, langkah-langkah anti-korupsi, dan tingkat
kompetensi teknis, sebelum pasar dapat merasa yakin
dalam mengelola risiko-risiko yang terkait.
Selain peran mereka dalam memberikan panduan
teknis, lembaga-lembaga pusat harus mencari cara
memberikan insentif untuk pengambilan keputusan
dan kinerja daerah yang lebih baik, daripada mencoba
untuk merebut kembali kewenangan yang telah
didesentralisasi. Salah satu cara yang jelas adalah
menjadikan transfer dana hibah Pemerintah Pusat
tergantung pada hasil kinerja dan pengawasan publik,
seperti yang sedang diuji coba dalam proyek Peningkatan
dan Pengelolaan Jalan Provinsi (PRIM, Provincial Road
Improvement and Maintenance) IndII (lihat Boks 4).
Prinsip-Prinsip Pengaturan: RPJPN 2005–2025 dengan
bijaksana berpandangan bahwa perluasan investasi
yang didorong sektor swasta merupakan kunci untuk
mencapai pertumbuhan dan standar hidup yang tinggi.
Jadi peraturan harus mendorong, bukan menghambat,
ekspansi ini. Pemerintah cenderung mengatur secara
berlebih, dan Indonesia bukan pengecualian. Di sektor
transportasi, tujuan dari peraturan seharusnya untuk
memfasilitasi investasi swasta, mendorong persaingan
yang sehat, serta melindungi keselamatan dan lingkungan.
Oleh karena itu harus ada tinjauan kritis terhadap kerangka
peraturan yang ada untuk:
• Menghapus hambatan pengaturan dan praktis untuk
masuk pasar yang menekan keterlibatan sektor swasta
dan persaingan, termasuk yang ditujukan untuk
melindungi BUMN.
• Memungkinkan partisipasi sektor swasta dalam
kegiatan non-komersial, seperti menyediakan layanan-
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Boks 4: Struktur Insentif PRIM
• Fokus terhadap pemeliharaan
• Menggunakan kontribusi hibah AIIG sebagai insentif
untuk memperkuat tata kelola pemerintah dan pemberian
layanan secara bekesinambungan
o Hibah berkontribusi hingga 40 persen dari pengeluaran
untuk pemeliharaan, jika hasil kerjanya memenuhi
indikator-indikator teknis dan PPB yang telah disetujui
o Tambahan hibah hingga 10 persen sebagai apresiasi
atas peningkatan kelembagaan
• Meningkatkan dan memperkuat prosedur pemerintah
yang telah ada
o Konsultan lokal untuk desain/supervisi, kontraktor
lokal untuk penerapan
• Dengan dukungan, FLLAJ dapat memberi dukungan
untuk menjamin agar lembaga penyelenggara jalan raya
bertanggung jawab atas kinerjanya
• Insentif anti-korupsi yang kuat
• Kontribusi hibah hanya diberikan apabila kinerja memuaskan
• Memakai Referensi Harga Satuan (RUC, Reference Unit
Costs) untuk mengurangi kolusi harga
layanan penting di mana tarif atau harga tiket tidak
menutupi biaya, dengan memfasilitasi pendekatan
berbasis kinerja dan pengadaan layanan-layanan
tersebut melalui tender yang kompetitif.
Di sisi lain, tinjauan tersebut harus menentukan cara:
• Mempertegas dan menegakkan kontrol atas (a)
operasional sektor swasta yang berdampak negatif
pada masyarakat; dan (b) peraturan yang dirancang
untuk melindungi lingkungan dan keselamatan publik,
termasuk standar teknis.
Tinjauan pembatasan partisipasi swasta tidak boleh
dibatasi pada peraturan yang mengatur cara masuk pasar
dan persaingan. Ini juga harus mencakup aturan mengenai
kontrak tahun-jamak (yang menghambat adopsi kontrak
layanan siklus-hidup berjangka panjang, bahkan ketika
mereka menawarkan manfaat VfM) dan praktik-praktik
seperti pembatasan ukuran kontrak sedemikian rupa
sehingga peserta yang lebih besar, serta lebih kompetitif
menganggapnya tidak menarik dan potensial skala
ekonomi pun terlewat.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Gambar 4: Ilustrasi Strategi Sektor Transportasi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
Kinerja Keluaran
Sub-Sektor
Strategi
Konektivitas
Jalan
Perkeretaapian
Feri
Pelabuhan
Bandara
Antarmoda
Aksesibilitas
Ketersediaan
Kualitas
Mengembangkan jaringan jalan tol bermutu tinggi dengan
akses terbatas (lihat Gambar 5)
●
●
Modernisasi jaringan arteri, dengan pengaspalan dan
jembatan yang mampu menampung beban lebih berat
●
●
Meningkatkan koneksi jalan ke pelabuhan
●
●
●
Mengembangkan rute angkutan barang melalui/sekitar
daerah perkotaan
●
●
●
Memperkenalkan pendekatan berbasis kinerja terhadap
penyediaan dan pengelolaan siklus hidup
●
Mendorong pengembangan perkeretaapian khusus
oleh swasta
●
Meningkatkan koneksi jalur kereta api ke pelabuhan
dan bandara
●
Melakukan restrukturisasi perusahaan kereta api milik
negara PT KAI berikut unit-unit usahanya
●
Memperbolehkan sektor swasta untuk menawarkan
layanan perkeretaapian khusus (barang dan penumpang)
pada rel publik
●
●
●
●
Menghapuskan monopoli dari perusahaan feri milik negara
PT ASDP pada rute feri; mendorong partisipasi swasta dalam
pelabuhan dan layanan feri
●
●
●
●
Mendorong persaingan sektor swasta dengan perusahaanperusahaan pelabuhan milik negara (Pelindo 1 sampai 4),
dan dalam operasional Pelindo; memfasilitasi pelabuhanpelabuhan swasta di bawah kontrol Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut
●
●
●
●
Mendorong pengelolaan bandara-bandara tertentu oleh
sektor swasta
●
Memfasilitasi keterlibatan operator angkutan multimoda
●
●
●
●
Memfasilitasi perkembangan terminal multimoda/
persimpangan/hub logistik oleh pihak swasta
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
29
30
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 5: Prioritas Jalan Raya Nasional dan Kebutuhan untuk Jaringan Jalan Raya Berkualitas Tinggi
Rencana
Koridor
Bipran
Rencana
Pembangunan
Daerah
Pengelolaan
Aset Jalan
Rencana
Jalan Tol
Proyek Terencana
(Pipeline) KPS
20 Tahun
200km/Tahun
IDR 20-24T/Tahun
Rencana
Pembaharuan
Jalan
Proyek Terencana
(Pipeline) Pembaharuan
15-20 Tahun
1-2000km/Tahun
IDR 6-12T/Tahun
Program
Rehabilitasi
1500km/tahun
IDR 3T/tahun
Pemeliharaan
Berkala
3000km/tahun
IDR 3T/tahun
Pemeliharaan
Rutin
36000km/tahun
IDR 2T/tahun
Preservasi
Berbasis Kinerja
2000km/Tahun
IDR 0.6T/Tahun
Rencana
Aksesibilitas
Program
Preservasi
Balai
Desain &
Pengelolaan
Proyek
Sumber: Saran IndII untuk Bina Marga JAKSTRA, Agustus 2013
Prinsip-Prinsip Penetapan Harga: Subsidi bahan bakar
minyak (BBM) angkutan jalan harus dibayar pemerintah
sebesar USD 20 miliar per tahun dan nilainya terus
meningkat, bahkan setelah kenaikan harga baru-baru
ini. Mengesampingkan subsidi tersebut, pengguna jalan
berkontribusi, melalui pajak dan retribusi, hanya sebagian
kecil dari biaya tahunan dari jaringan non-tol. Pengguna
moda lainnya tidak begitu beruntung: dengan pengecualian
layanan kereta api kelas ekonomi, mereka biasanya
membayar seluruh biaya, termasuk biaya infrastruktur. Ini
mendistorsi permintaan, menjadikan moda yang bersaing
kurang menarik dan menyebabkan kemacetan yang
tidak perlu di jalan. Ini juga mengurangi insentif untuk
mengoperasikan kendaraan-kendaraan secara lebih efisien.
Sebagai aturan umum, demi kepentingan efisiensi, harga
yang dibayarkan pengguna untuk infrastruktur dan layanan
transportasi harus mencerminkan biaya yang dikeluarkan.
Idealnya semua ini ditetapkan oleh persaingan daripada
dikendalikan oleh regulasi. Apabila tidak ada persaingan
pasar atau permintaan terlalu rendah untuk menjadikan
pasokan menguntungkan, subsidi mungkin akan diperlukan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
tetapi daripada membuat mereka tanpa batas (dengan
menanggung biaya penyediaan layanan melalui BUMN),
subsidi tersebut harus dibatasi oleh kontrak berbasis kinerja
yang secara kompetitif dilelang. Pemerintah kemudian
dapat menetapkan harga untuk mencerminkan tujuantujuan sosial dengan pengetahuan bahwa biaya dibatasi
oleh persaingan dan standar kinerja yang ditetapkan.
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
Prinsip-prinsip kelembagaan, investasi, pengaturan,
dan harga ini harus diterapkan secara konsisten untuk
menangani pembangunan sektor dan tantangan operasional
selama periode RPJMN III. Melakukan ini akan membantu
untuk berpikir dari segi hasil (dampak) daripada masukan
(proyek, atau kegiatan). Dapat dikatakan bahwa hasil
diinginkan yang paling penting adalah pertumbuhan
ekonomi yang cepat (dan merata, tapi ini akan dibahas
secara terpisah di bawah ini).
Untuk memenuhi tantangan pertumbuhan yang cepat,
lembaga-lembaga sektor transportasi harus membuat
kerangka, dan mengukur efektivitas dari, rencana
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
strategis mereka (RENSTRA) untuk tahun 2015–2019
dengan menggunakan ukuran kinerja terhadap hasil yang
diharapkan. Di masa lalu, mereka telah membuat daftar
target mereka dari segi masukan saja (berapa meter dari
dermaga yang dibangun, jumlah gerbong yang diadakan,
lebar jalan yang diperluas), tetapi itu tidak membantu
dalam menilai apakah, sistem transportasi yang efisien,
aman, dan responsif terhadap permintaan telah dihasilkan.
Ukuran utama terhadap kinerja sektor ini terkait dengan
konektivitas (waktu perjalanan dan biaya), aksesibilitas
(keterkaitan jaringan, kedekatan dengan tempat asal dan
tujuan), ketersediaan (frekuensi layanan, keandalan),
keselamatan dan kualitas (kenyamanan, keamanan,
kesesuaian untuk tujuan). Sebagian besar merupakan
bahan penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
yang cepat1. Gambar 1 mengilustrasikan ini, menyoroti
beberapa komponen kunci yang akan diperlukan jika tujuan
pertumbuhan RPJMN III harus dipenuhi. Perlu diingat juga
bahwa pilihan-pilihan mengenai kualitas infrastruktur,
efisiensi, kemacetan perkotaan, dan kesenjangan daerah
– topik-topik yang dibahas secara terpisah di bawah ini –
berperan pula dalam mendukung pertumbuhan; semua ini
harus dibahas dalam strategi RENSTRA juga.
Meningkatkan Kualitas Infrastruktur
Meningkatkan kualitas infrastruktur terutama merupakan
persoalan insentif. Jika pengguna diberdayakan untuk
menuntut kualitas yang lebih baik atau bersedia membayar
untuk itu, maka kualitas yang lebih baik kemungkinan
akan dihasilkan; ini akan sesuai dengan kepentingan
penyedia layanan. Tetapi insentif-insentif yang terbaru
bersifat menyimpang: lembaga-lembaga pengelola jalan
raya mendapatkan anggaran yang lebih besar untuk
proyek-proyek rekonstruksi jika mereka mengabaikan
pemeliharaan; konsultan dan kontraktor memperoleh
lebih banyak keuntungan jika mereka memotong biaya
untuk kualitas; operator pelabuhan merasa lebih mudah
untuk memaksakan penundaan pada perusahaan pelayaran
daripada berinvestasi untuk kapasitas baru; politisi lebih
memilih untuk mengumumkan proyek-proyek modal baru
yang mudah dilihat daripada mengalokasikan dana yang tak
terlihat untuk memelihara fasilitas yang telah ada. Strategi
yang harus diambil, oleh karena itu, adalah memberikan
insentif bagi penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan
layanan dengan kualitas yang lebih baik (dan dalam konteks
ini “pemberian insentif” termasuk memaksakan disinsentif
terhadap penyedia yang membiarkan kualitas standar
merosot). Contoh insentif tersebut meliputi:
• Skema berbasis kinerja untuk proyek-proyek modal
dan O&M (operations and maintenance) di mana
penghasilan pengembang berasal dari pembayaran
reguler pemerintah (kadang-kadang disebut
pembayaran “availability/ketersediaan” atau
“annuity/anuitas”) yang akan dikenakan potongan
bila gagal memenuhi standar kinerja.
• Menerapkan standar kualitas dan kinerja terhadap
pemegang konsesi jalan tol, dan menegakkannya
melalui penalti yang dikaitkan dengan kenaikan
tarif tol atau perpanjangan jangka waktu konsesi.
• Menentukan standar kinerja untuk infrastruktur/
layanan lain yang diperoleh melalui alih daya (misalnya,
kontrak pemeliharaan suatu daerah atau jaringan, atau
layanan non-komersial tetapi penting untuk daerahdaerah terpencil, termasuk jasa pengiriman, pelabuhan
dan lapangan terbang kecil), dan menerapkan penalti
seperti pemotongan pembayaran atas kegagalan dalam
memenuhi standar.
• Memperkuat pengawasan pekerjaan, mempertegas
tanggung jawab konsultan di bawah kontrak
dan memberlakukan sanksi untuk kegagalan
dalam menerapkan standar atau memenuhi
persyaratan kontrak.
• Merevisi aturan pengadaan untuk memberikan bobot
lebih bagi kualitas keluaran daripada biaya masukan.
• Pada tingkat daerah, memperkenalkan hibah bersyarat,
berbasis kinerja dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk infrastruktur
dan layanan terpilih.
• Memberdayakan pengguna, media, dan anggota
masyarakat yang tertarik untuk mengawasi dan
mempengaruhi keputusan perencanaan dan kinerja
pelaksanaan, seperti yang dilakukan di bawah program
PRIM IndII (Boks 5).
Meningkatkan Efisiensi Layanan
Efisiensi – bahan utama lainnya dalam mendukung
pertumbuhan – juga merupakan persoalan insentif: insentif
untuk berkinerja lebih baik karena tekanan persaingan.
Memang, alasan utama mengapa sektor swasta dipandang
oleh RPJPN sebagai mesin utama pendorong pertumbuhan
bukan karena perbedaan intrinsik antara perusahaan publik
dan swasta tetapi karena perusahaan swasta (kecuali
mempunyai monopoli) berusaha untuk menawarkan
layanan yang lebih baik, lebih efisien, lebih responsif
terhadap permintaan, dibandingkan dengan kompetitornya.
Oleh karena itu, strategi sektor kunci yang berfokus pada
peningkatan efisiensi harus:
Prakarsa Compendium | Jilid 3
31
32
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
• Mencoba untuk membongkar monopoli, sektor
publik maupun swasta, dan mempersiapkan
BUMN untuk bersaing dengan sektor swasta,
terutama di perkeretaapian, pelabuhan, feri,
dan pengelolaan bandara.
• Mendorong persaingan sedapat mungkin dengan
menghilangkan pembatasan yang tidak perlu pada
saat masuk pasar dan operasi (termasuk, di mana
dimungkinkan, pembatasan terhadap partisipasi asing).
Boks 5: Memberdayakan Masyarakat
melalui PRIM: Peran dari Forum Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ)
• Meningkatkan tata kelola dan transparansi
– Menangani persoalan yang menyangkut kepentingan
masyarakat
– Menekan lembaga penyelenggara jalan raya
untuk merencanakan dan melaksanakan program
pemeliharaan yang efektif
• Dipimpin oleh Gubernur
– Keanggotaan meliputi para kepala dinas pekerjaan umum
provinsi, kepolisian, dan lembaga transportasi darat,
wakil operator transportasi, seorang wakil universitas,
beberapa ahli transportasi, seorang wakil organisasi nonpemerintah dengan fokus pada transportasi, dan seorang
pengamat transportasi.
• PRIM akan memperkuat peran FLLAJ dalam menangani
pengaduan masyarakat dan mengawasi rencana dan
program DPU
• Dukungan PRIM kepada FLLAJ:
– Memberi dukungan dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai isu-isu terkait pemeliharaan
jalan raya dan peran FLLAJ
o Pengiriman pesan SMS, pengembangan situs web,
pertemuan-pertemuan masyarakat mengenai
rencana dan proyek
– Memberi dukungan dalam mengkaji prioritas kerja
secara keseluruhan dan isu-isu lokal terkait proyek
– Memberi dukungan dalam menangani isu-isu
lintas sektoral
o Misalnya: Akses bagi penyandang disabilitas
– Melatih anggota FLLAJ berdasarkan studi kebutuhan
pelatihan yang dilaksanakan di bawah PRIM
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Menghapus pengaturan atau kendala lain yang
menghambat respon yang efisien dari pesaing
terhadap peluang komersial, seperti praktik
perburuhan yang penuh batasan atau pembatasan
yang tidak perlu terhadap inovasi (misalnya,
dalam standar teknis).
• Merevisi perjanjian lisensi untuk mempromosikan
kompetisi untuk memperoleh hak untuk menyediakan
layanan (misalnya, pada rute bus) sambil memberikan
fleksibilitas yang lebih besar untuk menyesuaikan
layanan untuk memenuhi kebutuhan pengguna,
dengan syarat standar kinerja minimum terpenuhi.
• Bagi kegiatan-kegiatan yang masih dikelola oleh
sektor publik atau BUMN, fokus pada kinerja mereka,
produktivitas dan profitabilitas, menetapkan target
yang secara progresif semakin tinggi, memberikan
lebih banyak otonomi bagi manajer dalam mengatur
bagaimana mereka harus mencapai target tersebut,
dan memberi penalti kepada mereka ketika mereka
gagal untuk melakukannya. Dalam beberapa kasus,
memperbolehkan ekuitas sektor swasta juga
akan membantu menekan manajemen untuk
berkinerja lebih baik.
Menangani Kemacetan Perkotaan
Kemacetan lalu lintas perkotaan membebani perekonomian,
di kota Jakarta saja biaya mencapai sekitar USD 500
juta pada tahun 20022. Ini juga membatasi mobilitas,
menjadikan orang sakit, mengurangi jangka hidup mereka,
membatasi akses terhadap layanan-layanan dasar, fasilitas,
dan kesempatan, serta memperburuk lingkungan perkotaan
yang memang sudah buruk. Solusinya jelas; termasuk
strategi-strategi berikut yang saling melengkapi:
• Daripada memberikan subsidi, menjadikan penggunaan
mobil pribadi dan sepeda motor pada jam sibuk di
jalan raya padat sulit dan mahal melalui jalan berbayar,
pembatasan ruang jalan, mengurangi ketersediaan dan
meningkatkan biaya parkir, dan secara fisik membatasi
akses (sebaiknya bersamaan dengan langkah-langkah
untuk meningkatkan kenyamanan dan mendorong
orang masyarakat untuk berjalan kaki, bersepeda,
dan menggunakan transportasi umum).
• Meningkatkan efisiensi lalu lintas dengan
mengembangkan rute-rute alternatif, mengendalikan
kegiatan bahu jalan, mengoptimalkan pengaturan
sinyal, meningkatkan kualitas desain dan konstruksi
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
jalan, menghapus penyempitan (misalnya, lajur yang
terhenti kontinuitasnya), memperkenalkan sistem
informasi rute/kemacetan, mendidik polisi lalu lintas
mengenai cara mengatur lalu lintas (dan menggaji
mereka dengan lebih baik) dan mengurangi jumlah
kilometer kendaraan yang sangat berlebihan akibat
perjalanan ekstra yang saat ini diperlukan akibat
pengaturan rute tidak langsung yang tidak efisien,
larangan berbelok dan berbalik (U-turn).
• Menyediakan alternatif angkutan umum yang
lebih menarik dengan mengganti sektor informal
dengan pelayanan bus formal yang beroperasi di
bawah kontrak berbasis kinerja, meningkatkan
tempat pemberhentian dan pergantian kendaraan
(interchange) untuk meningkatkan kapasitas dan
pengalaman penumpang serta, di mana kepadatan
permintaan memungkinkan, mengembangkan Bus
Rapid Transit (BRT) berkapasitas tinggi, Light Rail
Transit (LRT), dan sistem rel berat 3.
Sebagian besar dari prakarsa ini memerlukan kepemimpinan
yang kuat di tingkat Pemda. Bagaimana lembaga-lembaga
nasional dapat memberi dukungan? Dengan:
• Menegakkan persyaratan yang berlaku saat ini agar
Pemda secara resmi mengadopsi rencana transportasi
perkotaan (termasuk rencana untuk pengelolaan
permintaan, pengelolaan lalu lintas, pengelolaan
angkutan barang jalan raya, dan pengembangan
transportasi umum) serta menetapkan semua ini
sebagai prasyarat untuk mendapat dukungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk jalan
baru yang berpotensi memberikan dukungan melalui
transfer hibah bersyarat.
• Memfasilitasi alokasi pendapatan dari retribusi
jalan (misalnya, biaya kemacetan) untuk
transportasi umum4.
• Mengembangkan pendekatan model untuk melayani
perizinan, termasuk model berbasis kinerja, bersama
dengan standar kinerja minimum yang realistis dan
spesifikasi teknis.
• Menyediakan layanan berbagi pengetahuan yang
akan memungkinkan Pemda untuk bertukar informasi
mengenai solusi mobilitas perkotaan yang sesuai.
BRT ke kota-kota yang tidak siap untuk mengoperasikan dan
memeliharanya – ketika jawaban lokal untuk kebutuhan
lokal harus dikembangkan oleh masyarakat setempat,
sebaiknya dengan pengawasan dan partisipasi publik.
Mengurangi Kesenjangan Antar daerah
Alasan utama mengapa infrastruktur dan layanan
transportasi buruk di daerah yang kurang berkembang
adalah karena permintaan tidak mencukupi untuk
menjustifikasi operasi komersial. Pengiriman berukuran
lebih kecil, kurang sering, dan kurang dapat diprediksi;
kemampuan untuk membayar lebih rendah. Namun ada
alasan kuat mengapa pemerintah harus mencoba untuk
mengurangi kesenjangan dengan daerah yang lebih maju.
Biasanya ini akan melibatkan subsidi: konsesi kepada investor
swasta, menerima tingkat keuntungan yang lebih rendah
atas investasi publik, memberikan jaminan atas sebagian
dari biaya layanan penting. Daripada menjadikannya tanpa
batas, pemerintah harus lebih eksplisit mengenai apa yang
ingin dicapai dan biaya untuk melakukannya.
Oleh karena itu, seperti halnya bagi perekonomian secara
keseluruhan, strategi untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah harus didasarkan pada serangkaian hasil yang
ditargetkan: tingkat minimum layanan atau aksesibilitas,
misalnya, atau angka target pertumbuhan daerah. Kemudian
harus ditentukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai
target tersebut dengan biaya minimum, berdasarkan
perbandingan cara-cara alternatif untuk melakukannya.
Alternatif-alternatif tersebut mungkin mencakup:
• Menaikkan ambang batas dukungan Dana Jaminan
Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure
Guarantee Fund) atau dana pendamping proyek
(VGF, viability gap funding)5 untuk investasi swasta
di daerah-daerah seperti itu.
• Menetapkan target manfaat dan biaya dalam tingkat
pengembalian ekonomi (Economic Internal Rate of
Return) untuk investasi pemerintah yang lebih rendah
dari ambang batas pengembalian yang diharapkan di
Pulau Jawa atau Sumatera.
• Memperkenalkan kontrak berbasis kinerja yang
ditenderkan secara kompetitif untuk layanan perintis
(pionir) dan layanan non-komersial lainnya di bawah
kontrak tahun-jamak.
• Menyediakan hibah berbasis kinerja yang ditargetkan
dan bersyarat untuk Pemda-Pemda di wilayah tersebut.
Kurang tepat bagi lembaga-lembaga Pemerintah Pusat
untuk mendikte solusi – misalnya, dengan menyediakan bus
Prakarsa Compendium | Jilid 3
33
34
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Perlu diingat bahwa masing-masing alternatif di atas
memungkinkan biaya subsidi untuk dimonitor dan
dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan dari
strategi tersebut.
Meski demikian, sebelum memulai semua ini, pemerintah
harus bertanya: mengapa layanan tersebut belum
disediakan oleh sektor swasta? Seringkali peraturan yang
tidak perlu atau pembatasan lainnya (misalnya, Pelindo
mencegah akses ke pelabuhan) menghambat solusi
yang tepat yang sebenarnya tidak justru memerlukan
dukungan pemerintah.
Mendanai Investasi yang Dibutuhkan
Analisis terbaru menunjuk kepada kesenjangan pendanaan
sebesar USD 200 miliar selama periode 2015–2019 yang
perlu diisi oleh bantuan sektor swasta (lihat Gambar 6).
Dari mana semua ini akan datang? Mengapa upaya KPS
di masa lalu gagal untuk menariknya? Untuk menjawab
pertanyaan ini, pemerintah harus memahami apa yang
memotivasi investor swasta. Mereka menginginkan imbalan
yang wajar untuk melakukan investasi di bawah risiko yang
dapat dikelola. Mereka tidak harus datang ke Indonesia
untuk mendapatkan ini: ada banyak negara pesaing yang
memiliki rezim pemerintahan yang transparan, pengaturan
manajemen risiko yang dapat diterima, dan serangkaian
proyek layak yang direncanakan untuk partisipasi
sektor swasta. Mereka hanya akan berinvestasi dalam
proyek di Indonesia jika imbalannya memadai dan dapat
diandalkan, dan jika mereka sendiri dapat mengelola
risikonya. Indonesia hanya bisa mendapatkan investasi
ini – dalam persaingan dengan negara-negara lain – jika
negara ini menawarkan (i) kesepakatan besi-tuang yang
dijamin melalui persekongkolan dengan orang-orang yang
berkuasa melalui proses pengadaan yang non-kompetitif,
dan kemungkinan korup; atau (ii) model pelaksanaan yang
transparan, dapat diprediksi, dapat diandalkan dan wajar,
serta sesuai dengan praktik terbaik internasional. Indonesia
masih jauh dari cara kedua ini, meskipun telah berupaya
selama lebih dari 20 tahun.
Apa langkah-langkah pertama yang paling penting?
• Mengurangi jumlah proyek kandidat dalam rencana
menjadi sejumlah terbatas dengan skema yang
sederhana, dapat di-kelola, dan layak secara ekonomi
yang pada dasarnya sudah dihilangkan risikonya (derisked). De-risking berarti menghilangkan semua risiko
yang tidak dapat dikelola sendiri oleh mitra sektor
Prakarsa Compendium | Jilid 3
swasta, atau yang tidak bisa mendapatkan jaminan.
• Untuk proyek-proyek ini, melakukan sebuah analisis
VfM secara berhati-hati untuk menunjukkan apakah
ekonomi siklus-hidup penyediaan swasta melebihi
biaya tambahan pembiayaan sektor swasta jika
dibandingkan dengan sebuah pembanding realistis,
yang disesuaikan dengan risiko sektor publik. Ekonomi
siklus-hidup ini berasal dari penggabungan (bundling)
desain, konstruksi/implementasi, dan tugas-tugas
O&M sepanjang siklus-hidup proyek.
• Pertimbangkan dengan sangat hati-hati apakah
risiko permintaan dan penghasilan (demand and
revenue risk) harus dialihkan ke sektor swasta. Seperti
halnya semua risiko yang dialihkan, risiko tersebut
akan menarik harga kontingensi terburuk. Sampai
sebuah model risiko yang lebih baik terbentuk, akan
lebih baik bagi pemerintah untuk mempertahankan
risiko penghasilan dan membuat agar pembayaran
ketersediaan/kinerja dari penghasilan yang
dikumpulkan secara independen 6.
• Tetapkan standar keluaran yang jelas untuk
menilai kinerja dan sebagai dasar dari setiap
pengurangan pembayaran atau penalti lain.
Jangan terlalu spesifik menentukan masukan,
izinkan fleksibilitas penawar dalam memenuhi
standar kinerja keluaran. Ini memungkinkan
pendekatan inovatif untuk disampaikan.
• Mengadopsi, proses pengadaan yang transparan
dan interaktif, yang dirancang untuk menguji tingkat
risiko yang dapat diterima (risk appetite) dan untuk
mengeksplorasi pilihan desain/pelaksanaan yang
inovatif. Hal ini dapat mencakup prosedur untuk
membuat penawar menetapkan harga risiko secara
berangsur, sehingga pemerintah bisa menilai tingkat
risiko seperti apa yang siap dipertahankan.
• Memelihara ketegangan kompetitif sampai ke tahap
penawaran terbaik-dan-final dari sebuah daftar
akhir dari dua peserta. Ini sangat penting untuk
mengamankan VfM terbaik.
Sebagian besar dari saran-saran ini memerlukan perubahan
terhadap cara proyek KPS dipersiapkan dan dilelang saat
ini7. Pendekatan tersebut memerlukan penasihat hukum,
teknis, keuangan, pengadaan, perbankan, dan asuransi
yang berpengalaman. Semua ini mahal, tapi biayanya akan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Gambar 6: Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur
USD at 11,000 IDR
Dalam IDR Triliun
(USD Milyar)
Kesenjangan
Pendanaan BUMN
KPS Murni
KPS dengan VGF
Rekening Administratif
IDR-
Kesenjangan yang
masih tersisa
IDR(500)
IDR(796)
USD 72
IDR(1,000)
IDR(341)
USD 32
IDR(1,500)
IDR(495)
USD 45
IDR(2,000)
IDR(2,086)
USD 190
IDR(84)
USD 7
Dengan asumsi KPS 25% dari Total Permintaan
Infrastruktur sebesar IDR 3,456 Triliun (USD 314 Milyar)
IDR(2,500)
Asumsi:
IDR(370)
USD 34
Hanya Pendanaan
Neraca Perusahaan
60:40 D/E Leverage
Listrik 100%
Transportasi 20%
Sumber Daya Air Minum 10%
Penyediaan Air & Sanitasi 10%
dari KPS Murni
VGF untuk
periode 5 tahun
di tingkat 40%
Diisi dengan
memanfaatkan
kapasitas meminjam
Sumber: JICA, Presentasi RPJMN kepada Bappenas, September 2013
Catatan: Ini mencakup semua infrastruktur (kelistrikan, transportasi, sumber daya air minum, penyediaan air & sanitasi)
jauh di bawah manfaat yang dihasilkan dari dokumentasi,
pengelolaan risiko yang diterima pasar, transparansi
pengadaan yang telah teruji dan, terutama, kepercayaan
investor. Ini akan tercermin dalam penawaran harga.
Diperlukan sebuah studi kelayakan solid yang membangun
kepercayaan serta perbandingan VfM. Dibutuhkan sebuah
pengenalan pasar (market-sounding) yang lebih dari
sekedar roadshow: tujuannya harus untuk menilai selera
dan harapan pasar dalam hal tata kelola pemerintahan,
keuntungan finansial, pengalihan resiko dan kepastian
pembayaran; kecuali harapan-harapan tersebut terpenuhi,
proyek ini tidak akan berhasil. Diperlukan kerangka
pengaturan yang dapat diandalkan dan tidak asing, yang
memfasilitasi pengadaan dari model pelaksanaan yang
dipilih dan memberikan keyakinan bahwa tidak akan
ada perubahan-perubahan yang tak terduga. Dan semua
itu membutuhkan peserta pendamping dari kalangan
keuangan, konstruksi, konsultasi, dan operasional di
Indonesia, yang memahami konsep-konsep terkait serta
perubahan pola pikir yang diperlukan di dalam lingkungan
yang lebih berbasis kinerja, termasuk kebutuhan untuk
menyambut peserta asing dan mempelajari praktik-praktik
terbaik dari mereka8.
Menyelamatkan Nyawa
Bagaimana kita bisa menghentikan sistem transportasi
yang membunuh dan melukai orang, terutama di jalan?
Sekitar 3 persen dari PDB musnah akibat kecelakaan di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
35
36
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
jalan. Biaya sosialnya sangat besar. Namun, kita secara fatal
telah terbiasa dengan risiko-risiko tersebut. Untuk sektor
jalan, jawaban sudah ada di depan kita. Lima pilar Rencana
Umum Nasional Keselamatan (RUNK), dipersiapkan untuk
memenuhi tujuan Dekade Aksi Keselamatan Jalan PBB, yang
masuk akal dan sejalan dengan praktik yang baik:
• Manajemen Keselamatan Jalan (Road Safety
Management), untuk mendorong koordinasi
antar pemangku kepentingan dan membangun
kemitraan sektoral
• Jalan yang Lebih Aman
• Kendaraan yang Lebih Aman
• Keselamatan yang Lebih Baik bagi Pengguna Jalan Raya
• Tindakan Pasca-Kecelakaan
Apa yang belum ada adalah realisasi dari keseriusan dan
urgensi dari situasi dan komitmen untuk memperbaikinya:
sebuah kemauan untuk menempatkan pertimbangan
keselamatan di atas segalanya. Dengan Instruksi Presiden
no. 4/2013 tentang Dekade Aksi Keselamatan Jalan,
Presiden telah mengirimkan sinyal yang tepat. Fokus saat
ini harus pada tindakan terpadu oleh semua lembaga yang
terlibat dalam RUNK untuk:
• Memperkuat komitmen untuk rencana aksi RUNK.
• Secara signifikan meningkatkan status kelembagaan
fungsi-fungsi yang terkait dengan keselamatan dan
membuat lembaga-lembaga bertanggung jawab atas
kinerja keselamatan.
• Melibatkan masyarakat dan kelompok masyarakat
dalam memberikan penekanan pada kinerja
keselamatan dan memberi dukungan dalam
proses pendidikannya.
• Meningkatkan standar teknis yang berkaitan dengan
keselamatan, dan memandatkan program audit
keselamatan independen.
• Memperkuat kemampuan konsultan dan operator
melalui sertifikasi keselamatan.
• Mengambil tindakan atas titik-titik rawan kecelakaan
(blackspots) dan risiko keamanan lainnya melalui
program penanganan yang tepat.
• Memperkuat kualitas penegakan keamanan oleh
polisi dan hukuman untuk pelanggaran yang terkait
dengan keselamatan, juga menargetkan perusahaan
transportasi dengan ancaman pencabutan izin.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Memperkenalkan insentif bagi manajemen
keselamatan daerah yang lebih baik melalui
hibah bersyarat berbasis hasil bagi Pemda.
Untuk sub-sektor selain jalan raya, upaya-upaya yang
dilakukan harus berfokus pada standar teknis, penguatan
peran regulator keselamatan independen, dan hukuman
berat, termasuk pencabutan izin atau pendapatan.
Kesimpulan
Jika target RPJPM 2025 dimungkinkan untuk mencapai
pencapaiannya,
RPJMN
2015–2019
sebaiknya
memperkenalkan reformasi yang lebih radikal daripada
sebelumnya. Sikap business-as-usual tidak akan cukup.
Banyak saran dalam artikel ini telah dikenali sebelumnya
– saran-saran tersebut bukan hal yang terlalu rumit untuk
dimengerti – tetapi mereka akan mengubah sebuah status
quo di mana banyak orang mempunyai kepentingan
yang kuat. Hanya sedikit yang akan terjadi tanpa adanya
kepemimpinan yang kuat dan berkomitmen. Siapa yang
akan memberikan ini? Mitra utama IndII, Bappenas
(dengan dukungan seorang presiden yang memiliki visi
dan keberanian). Bappenas bertanggung jawab atas
perencanaan pembangunan nasional. Bappenas harus
teguh dalam hal perlunya reformasi kebijakan dan strategi,
dimulai dengan RPJMN 2015–2019. ●
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Tentang Para Penulis:
John Lee, Direktur Teknis Transportasi IndII, adalah seorang ahli transportasi yang mempunyai pengalaman lebih dari 40 tahun,
termasuk 15 tahun diantaranya bekerja di Indonesia. Ia telah menangani berbagai macam proyek kebijakan dan perencanaan yang
menyangkut seluruh moda transportasi, di tingkat nasional dan regional di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Pasifik. Ia menguasai
persyaratan yang dibutuhkan oleh lembaga bantuan internasional yang berskala besar. Sebelum bergabung dengan IndII, John bekerja
sebagai penasihat untuk Departemen Perhubungan di Abu Dhabi, dimana ia terlibat dalam pengerjaan jalan tol dan divisi transportasi
publik dari tahap awal. John mempunyai keahlian dalam pengembangan institusi, studi kelayakan investasi, perencanaan transportasi
multimoda, pelaksanaan proyek berbasis kinerja (termasuk PPP) dan pengelolaan aset.
Prof. Suyono Dikun Ph.D adalah Penasihat Utama – Lead Advisory Support Unit (LASU). Ia memiliki lebih dari 30 tahun pengalaman
profesional. Ia memulai karirnya sebagai dosen di Universitas Indonesia dan sejak tahun 1993 berkecimpung di bidang infrastruktur dan
pengembangan kebijakan dan perencanaan regional untuk Bappenas. Ia memainkan peran yang signifikan dalam formulasi Repelita
VI di bidang sains dan teknologi, sumber daya manusia, transportasi, telekomunikasi, sumber daya air, dan strategi pengembangan
regional. Selama tahun 1998–2000, Dr. Suyono menjabat sebagai Asisten Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri
(EKUIN), bertanggung jawab untuk industri dan jasa. Dr. Suyono ditunjuk sebagai Wakil untuk Infrastruktur di Bappenas pada tahun
2002, dan pada tahun 2005 ia dipindahkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai Wakil Menteri, juga bertanggung jawab
untuk infrastruktur dan pengembangan regional. Keterlibatannya ia di bidang infrastruktur meluas dalam kurun waktu 2002–2006,
ketika ia menjalankan tugas sebagai Sekertaris untuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI). Ia memainkan
peran yang signifikan dalam pembuatan kebijakan baru, regulasi, dan kerangka kerja institusi untuk penyedian infrastruktur, termasuk
Paket Kebijakan Infrastruktur 2006.
CATATAN
1. Bahkan kualitas layanan mendukung pertumbuhan ekonomi. Beberapa perusahaan perkapalan dalam pasar yang sangat
kompetitif dan yang tidak sensitif terhadap harga lebih menyukai layanan yang cepat, dapat diandalkan, dan
aman, bahkan kalau layanan tersebut mempunyai harga yang lebih tinggi.
2. Sumber: UKP4, mengutip Studi Jabodetabek Urban Transport Policy Integration (JUTPI).
3. Sistem seperti ini jauh lebih efisien daripada alternatif bagi koridor yang padat, tetapi mereka hanya melayani perjalanan
sepanjang koridor tersebut. Sistem transportasi umum yang lebih menyebar dan terkoneksi juga dibutuhkan, dengan
bermacam-macam layanan, tergantung pada kondisi jalan raya dan pola permintaan.
4. Sesuai peraturan yang berlaku, pungutan seperti itu dianggap pajak, dan tidak dapat ditentukan alokasinya.
5. Dana pendamping proyek (viability gap funding) menyediakan dukungan finansial dalam bentuk hibah, sekali waktu atau
ditangguhkan, kepada proyek infrastruktur yang dilakukan melalui KPS, dengan harapan untuk menjadikan proyek tersebut
menjadi layak secara komersial.
6. Keuntungan penting dari ini adalah dimungkinkannya pemerintah untuk mempertahankan kendali atas pungutan tol/tarif/
harga, dan menggunakan ini apabila diperlukan sebagai cara mengatasi persoalan penetapan harga antarmoda atau mencapai
sasaran sosial-politik.
7. Perlu diingat, bahwa pendekatan ketersediaan/kinerja juga tidak memerlukan viability gap financing.
8. Hal ini juga akan memperkuat kemampuan para mitra Indonesia untuk berpartisipasi di pasar internasional.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
37
POIN-POIN UTAMA
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia saat ini menargetkan akses penuh
terhadap pelayanan dasar pada tahun 2019. Pemenuhan target ini tidak akan tercapai, terutama dalam bidang
sanitasi, kecuali Pemerintah Daerah melakukan Investasi sebesar USD 1 Miliar untuk menambah rencana
pengeluaran yang ditetapkan dari Pemerintah Pusat. Untuk mengelola Investasi tersebut guna memperluas
cakupan layanan, diperlukan pendekatan baru untuk mendorong Pemerintah Daerah melalui pemberian insentif,
kapasitas kelembagaan di tingkat daerah perlu dikembangkan, dan Pemerintah Daerah harus mengembangkan
pendekatan baru untuk manajemen aset untuk menjaga pemanfaatan aset sebagai Investasi.
Menciptakan Pendorong Investasi Bagi Pemerintah Daerah: Pendekatan yang efektif termasuk penggunaan
hibah berbasis hasil, yang pada fase 1 IndII membuktikan efektivitasnya untuk memperkuat komitmen
Pemda dan mendongkrak pendanaan. Selain itu Dana Alokasi Khusus (DAK) telah menunjukkan kemampuan
mendongkrak pendanaan dari Pemda dibandingkan Tugas Pembantuan (TP) dari Pemerintah Pusat.
Mekanisme penerusan hibah menawarkan potensi yang besar untuk pendanaan yang lebih besar. Undangundang Kemenkeu yang telah diperbaiki memungkinkan dana hibah, pinjaman dan APBN ditransfer kepada
Pemerintah Daerah sebagai hibah atau pinjaman. Jika kerangka kerja hukum dan prosedural untuk penerusan
dana telah berjalan dengan baik, perubahan yang signifikan (mengurangi TP dan mendorong DAK) akan
diperlukan untuk menggunakan mekanisme penerusan hibah.
Komitmen Pemda dapat ditingkatkan dengan mengkaitkan penerusan dana pada pencapaian standar
layanan minimum dan perencanaan bujet yang cukup untuk operasional dan pemeliharaan aset. Dengan
memantau pencapaian tersebut akan memperkuat peran lembaga-lembaga teknis dan memberikan dasar
pemikiran bagi pembiayaan hibah.
Memperkuat Kapasitas Kelembagaan Pemda: Fragmentasi dalam penyediaan layanan harus ditangani. Untuk
menyediakan serangkaian layanan yang rumit diperlukan kerangka kerja kelembagaan yang berfungsi dengan
baik di dalam Pemda dan di antara berbagai tingkatan pemerintahan, masyarakat, dan sektor swasta. Kunci
agar dapat mendefinisikan peran dan tanggung jawab dengan baik adalah memastikan bahwa lembaga Pemda
bertindak sebagai lembaga yang memimpin seluruh sektor sanitasi. Untuk mendorong koordinasi, kelompok
kerja antar kelembagaan yang kuat (Pokja AMPL) baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pusat dapat mengajak
para pejabat dari seluruh lembaga yang berkepentingan untuk mengkoordinasikan program dan kebijakan.
Sebagai bagian dari program Pemerintah Pusat untuk mempercepat pembangunan sanitasi, Pemda diwajibkan
untuk mempersiapkan dan melaksanakan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) yang terpadu dan bersifat
multi-tahun. Perlu diupayakan untuk memastikan bahwa SSK cukup relevan, realistis, dan ditargetkan sehingga
bisa menjadi sarana yang efektif bagi Pemda untuk perencanaan dan penganggaran.
Kemampuan Pemda untuk memberikan layanan sangat beragam, namun mereka semua akan
mendapatkan manfaat dari upaya mereka untuk membangun kapasitas kelembagaan dan meningkatkan
keterampilan individu.
Meningkatkan Mekanisme Pembiayaan dan Manajemen Aset Pemerintah Daerah: Jika pendanaan dari
Pemerintah Pusat untuk aset daerah diganti dengan hibah bagi Pemda, Pemda akan memiliki aset mereka
sendiri dan memungkinkannya untuk melakukan perawatan dan penggantian. Hal ini nampaknya bisa
meningkatkan keberlanjutan aset.
Dalam beberapa kasus, pendanaan Pemerintah Pusat bagi infrastruktur daerah dibenarkan. Jika diperlukan,
komitmen Pemda untuk operasional dan pemeliharaan dapat dibangun jika Pemerintah Pusat segera
mengalihkan aset ke lembaga daerah yang akan menggunakanya.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
ARAH BARU UNTUK
SEKTOR AIR MINUM DAN
SANITASI INDONESIA
Pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk menyediakan
layanan air minum dan sanitasi yang cukup bagi seluruh warganya.
Kesuksesan yang diraih dalam upaya yang ambisius ini memerlukan
pendekatan baru untuk memberikan insentif kepada Pemerintah
Daerah, mengembangkan kapasitas institusi daerah, dan
mendorong rasa memiliki Pemerintah Daerah pada asetnya.
Oleh Jim Coucouvinis dan Joel Friedman
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi
Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) untuk air minum
dan sanitasi. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJMN) yang sekarang berlaku membidik sasaran
yang ambisius, yaitu akses penuh terhadap pelayanan
dasar pada 2019. Namun, terdapat indikasi bahwa hasil
saat ini dan yang diproyeksikan dalam pembangunan
infrastruktur air minum dan sanitasi tidak akan mampu
mengejar pertumbuhan penduduk dan depresiasi aset.
Contohnya, kapasitas aset produktif Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) pada tahun 2004 kira-kira 130.000 liter
per detik dengan aset senilai USD 6,3 miliar. Pada tahun
2009, kapasitas itu hanya naik hingga 145.000 liter per
detik, kenaikan 11 persen, dengan aset senilai USD 7 miliar,
juga kenaikan 11 persen. Kenaikan ini tidak cukup untuk
mengejar pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 18
persen dalam jangka waktu tersebut, apalagi meningkatkan
cakupan pada taraf yang dapat meraih sasaran 2019.
Hal yang memperburuk masalah tekanan penduduk ini
adalah kenyataan, bahwa sebagian besar pertumbuhan
perkotaan terjadi di daerah pinggiran kota dan kota-kota
kecil, terutama di luar Jawa dan Sumatra, yang cenderung
belum memiliki infrastruktur transportasi dan sarana
pengolahan yang mahal. Oleh karenanya biaya untuk
memperluas cakupan di daerah ini akan jauh melebihi biaya
di kota-kota besar yang biasa.
Sudah jelas bahwa Indonesia harus lebih banyak
berinvestasi di sektor infrastruktur air minum dan sanitasi
di tingkat pusat, provinsi, dan terutama tingkat daerah
(kota dan kabupaten). Hal ini terutama berlaku di
sektor sanitasi, yang tertinggal dari sektor air minum
dalam hal investasi dan cakupan. Pemerintah Daerah
(Pemda) memiliki rekor komitmen paling rendah untuk
investasi sanitasi. Meski ada sekitar 350 PDAM di
seluruh Indonesia, hanya terdapat 11 skema saluran
pembuangan air limbah perkotaan, dan ini dibangun oleh
Pemerintah Pusat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
39
40
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Pemenuhan tujuan air minum dan sanitasi yang lebih baik akan membuat pemandangan seperti
sungai di Surabaya ini menjadi bagian dari kisah di masa lalu.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan kebijakan
untuk mengejar investasi saluran pembuangan air limbah
perkotaan secara lebih agresif. Kebijakan ini merupakan
bagian dari program Percepatan Pembangunan Sanitasi
Permukiman (PPSP). Untuk itu, pemerintah menaikkan
anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat sekitar 100 persen untuk periode pembangunan
lima tahun 2010–14. Anggaran ini sebesar kurang lebih
Rp 4 trilyun atau sekitar USD 360 juta per tahun. Dengan
estimasi keseluruhan kebutuhan investasi sanitasi
sebesar USD 1,4 miliar per tahun guna memenuhi sasaran
PPSP, Pemda harus mengeluarkan investasi sekitar
satu miliar dolar. Dana ini harus disediakan melalui
pengerahan dana di tingkat daerah dan penyediaan dana
tambahan dari sumber-sumber Pemerintah Pusat yang
diteruskan ke Pemda.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Atas perkenan Andre Susanto
Bahkan dengan peningkatan investasi pun, masih ada
sejumlah tantangan yang harus dihadapi, dan peluang yang
harus diambil, agar investasi ini bermanfaat untuk cakupan
yang lebih luas:
• Pendekatan-pendekatan baru untuk menyemangati
Pemda berinvestasi di infrastruktur harus dirangkul
secara lebih luas.
• Masalah terkait kelemahan kapasitas kelembagaan
di tingkat daerah untuk membangun, menjalankan,
dan memelihara infrastruktur air minum dan sanitasi
harus ditangani.
• Pemda harus memelihara aset air minum dan sanitasi
secara lebih baik agar aset-aset tersebut tidak
memburuk secepat sekarang, dan untuk itu diperlukan
pendekatan baru terhadap pengelolaan aset.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Artikel ini akan menyajikan tiga tema lintas sektor
dan rekomendasi untuk sektor air minum dan sanitasi
Indonesia. Penulisannya didasarkan pada pemikiran bahwa
peningkatan dana akan disediakan bagi sektor tersebut
tetapi harus disertai dengan penguatan mekanisme
pembangunan, tata kelola pemerintahan, dan kerangka
kerja kebijakan, sesuai dengan maksud peningkatan
dana tersebut. Rekomendasi yang harus dibuat untuk
dimasukkan ke bagian sektor air minum dan sanitasi
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2015–2019 akan membantu memastikan,
bahwa manfaat investasi di sektor air minum dan sanitasi
ini dimaksimalkan. Artikel ini bersumberkan pengalaman
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) dalam menerapkan
program air minum dan sanitasi di Pemda.
Pemerintahan Daerah harus mendapat
lebih banyak insentif untuk berinvestasi
di infrastruktur
Perluas mekanisme hibah berbasis hasil, seperti yang
dirintis dalam program IndII, yang telah terbukti
meningkatkan investasi Pemda di infrastruktur dan
membangun komitmen: Tiga program IndII – Hibah
Peningkatan Infrastruktur, Hibah Air Minum, dan Hibah
Infrastruktur Australia Indonesia untuk Sanitasi (sAIIG)
– memanfaatkan mekanisme hibah berbasis hasil. Hibahhibah ini disediakan langsung untuk Pemda melalui
perjanjian hibah yang mengikat secara hukum antara
kepala Pemda dan Menteri Keuangan. Perjanjian Hibah
menentukan apa yang harus dilakukan Pemda dengan
dana hibah tersebut, bagaimana pekerjaan mereka
akan diverifikasi, dan bagaimana dana akan dicairkan.
Mekanisme ini cocok untuk modalitas berbasis hasil
atau kinerja yang memberikan lapisan akuntabilitas
tambahan pada proses. Pemda hanya dibayar setelah
mereka meraih standar kinerja tertentu (termasuk
reformasi tata kelola), dan mendapatkan hasil yang
disepakati. Pada Fase 1, program hibah IndII memanfaatkan
sekitar 60 persen dari hibah tersebut sebagai sumbangan
dari Pemda. Pemda menunjukkan komitmen mereka untuk
menganggarkan pendanaan yang sedang berjalan untuk
operasional dan pemeliharaan. Program-program ini
oleh karenanya berhasil mengerahkan dana yang sangat
dibutuhkan di tingkat daerah.
Pemerintah Pusat secara luas mengakui tingkat efisiensi
ini. Peningkatan program hibah selama fase IndII saat
ini mencakup target tata kelola dan ketertautan kinerja
pada program pemerintah lainnya guna meningkatkan
dampak dan penetrasi. Mekanisme semacam ini
memberikan sarana untuk menyalurkan dana donor
langsung kepada Pemda. Langkah logis selanjutnya adalah
Pemerintah mengakomodasikan mekanisme hibah ke
arus umum pembiayaan dan menautkannya ke perbaikan
kinerja Pemda.
Secara berangsur-angsur beralih dari pendanaan
Pemerintah Pusat untuk infrastruktur daerah melalui
Tugas Pembantuan menuju Dana Alokasi Khusus dan
akhirnya menuju penerusan hibah karena hal ini akan
menghasilkan pemanfaatan dana Pemda yang terbatas
dengan lebih baik: Sebagaimana telah disebutkan,
Pemerintah meningkatkan dana dalam Anggaran dan
Pengeluaran Belanja Negara (APBN) menjadi USD 360
juta pada tahun 2013. Untuk sarana sanitasi Pemda,
dana ini disalurkan melalui Tugas Pembantuan (TP).
Pendanaan langsung dengan jumlah terbatas, USD 42 juta,
dianggarkan dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Analisis terbaru
tentang pengeluaran untuk infrastruktur menunjukkan,
bahwa meski terdapat kurangnya transparansi dan
akuntabilitas, DAK memanfaatkan lebih banyak dana dari
Pemda daripada TP. Sesungguhnya, TP menghasilkan
efek substitusi: sudah terbukti bahwa untuk setiap unit
pendanaan TP, Pemda mengurangi pendanaannya sendiri
melalui Anggaran dan Pengeluaran Belanja Daerah (APBD)
hingga setengah unit. Meski tak sempurna, setidaknya DAK
memanfaatkan sepuluh persen dari Pemda. Selain itu, hasil
awal dari program Hibah Air Minum IndII menunjukkan
bahwa program ini bahkan lebih efisien dalam menarik
investasi di tingkat daerah.
Tidak ada alasan untuk berharap bahwa hasilnya akan
berbeda untuk sanitasi. Sudah jelas bahwa mengingat
kebutuhan besar mengerahkan dana tambahan untuk
infrastruktur, terutama sanitasi di tingkat daerah,
mekanisme penerusan hibah seperti Program Hibah IndII
menawarkan potensi terbesar untuk peningkatan dana.
Pertimbangkan mengarusutamakan mekanisme penerusan
hibah di dalam kerangka kerja fiskal keseluruhan untuk
desentralisasi: Sebagaimana baru disebutkan, pendanaan
langsung ke Pemda melalui program hibah diakui secara
luas sebagai program yang lebih efektif untuk mengalihkan
dana terikat ke Pemda, tapi pemerintah masih bimbang
soal bagaimana meningkatkannya. Tidak diragukan bahwa
dana hibah eksternal dapat diteruskan melalui program
hibah tersebut. Masalahnya lebih rumit bila menyangkut
soal mengalihkan pinjaman luar untuk infrastruktur
perkotaan sebagai hibah. Revisi terbaru dari Peraturan
Menteri Keuangan (Permenkeu) menyederhanakan
proses penerusan hibah yang memungkinkan dana hibah,
pinjaman, dan dana APBN dialihkan ke Pemda sebagai
hibah atau pinjaman. Di dalam pemerintah sendiri ada
para pendukung yang melihat hal ini sebagai titik reformasi
penting. Hingga kini, meski beberapa pinjaman terkadang
disalurkan sebagai hibah ke Pemda, tidak semua pihak di
Pemerintah Pusat mendukung penerusan hibah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
41
42
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Prospek yang lebih sulit adalah, pemerintah mengalihkan
sebagian dana Kementerian yang ada, yang dimaksud untuk
penyediaan infrastruktur perkotaan, ke dalam dana hibah.
Namun, justru inilah proses perubahan yang diinginkan,
dan proses tersebut memang harus dimulai. Program hibah
IndII memberikan titik awal; masalahnya kini bagaimana
menjaga momentum dan arah.
Kendati kerangka kerja hukum dan tata cara untuk
mengarusutamakan penerusan hibah itu secara teori
ada, kerangka kerja itu belum diterapkan di skala yang
berarti. Tampaknya, diperlukan perubahan yang signifikan
agar terjadi pengarusutamaan. Hal ini akan melibatkan
pengurangan tekanan secara bertahap pada penggunaan
saluran dana TP dan lebih banyak penggunaan pendekatan
DAK untuk air minum dan sanitasi. Pada akhirnya, bisa
saja penerusan hibah digunakan tidak hanya sebagai
mekanisme untuk menyalurkan dana donor, tapi juga
untuk menyalurkan dana Pemerintah Indonesia bagi sarana
sanitasi dan air minum di tingkat daerah.
Diperlukan waktu untuk Pemerintah Pusat meresmikan
dan memperluas pendekatan tersebut. Hal ini mungkin
akan menimbulkan tantangan dari beberapa lembaga
yang sudah sejak lama membangun infrastruktur daerah
melalui anggaran Pemerintah Pusat. Bukti yang dikutip
di atas menunjukkan bahwa ke arah inilah pembiayaan
infrastruktur semestinya bergerak.
Memperluas penggunaan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) dan program pemantauan dan pengkajian
Pemerintah untuk Pemda guna mendorong investasi
Pemda: Meningkatkan ketersediaan pendanaan jelas
memberikan insentif bagi investasi Pemda di infrastruktur
air minum dan sanitasi. Pemda akan lebih berkomitmen
untuk menganggarkan operasional dan pemeliharaan yang
sedang berjalan, bila mereka memahami bahwa pendanaan
tambahan akan tersedia jika mereka menyediakan
anggarannya dan, sebagaimana disebutkan di bawah,
jika mereka memiliki asetnya. Insentif jangka panjang
selanjutnya dapat diciptakan dengan cara menautkan
penerusan hibah dengan prestasi standar pelayanan
minimum (SPM). Standar ini untuk Pemda ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2005. Kriteria
penilaian dijabarkan di PP 6/2008, yang menjelaskan cara
mengkaji kinerja Pemda dalam meraih SPM. Standar dan
kriteria ini harus dipandang sebagai alat yang positif untuk
mendorong penyampaian pelayanan Pemda, bukan sebagai
mekanisme hukuman untuk penurunan kinerja.
Memperkuat Kapasitas Kelembagaan Pemda
Merasionalisasikan peran dan tanggung jawab lembagalembaga daerah yang menyediakan pelayanan sanitasi
dan menunjuk satu lembaga sebagai badan tunggal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang memikul tanggung jawab akhir untuk penyediaan
layanan: Penyediaan serangkaian layanan yang rumit dalam
beragam keadaan memerlukan kerangka kerja kelembagaan
yang berfungsi tepat di dalam setiap Pemda dan antara
pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Pengalaman
dari program-program sanitasi IndII di kalangan Pemda,
dan program-program sanitasi lainnya, menunjukkan
bahwa terdapat fragmentasi kelembagaan dalam jumlah
yang signifikan. Pelayanan yang berbeda-beda seringkali
diberikan oleh lembaga yang berbeda – pelayanan air limbah
terpusat oleh Dinas Kebersihan, pengelolaan lahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU),
skema sanitasi berbasis masyarakat dilakukan melalui
Dinas Pemberdayaan Masyarakat. Di dalam subsektor,
tanggung jawab atas fungsi yang berbeda-beda seringkali
berada pada lembaga yang berbeda. Untuk sampah padat,
contohnya, sebagian besar pengumpulan di tingkat rumah
tangga dilakukan melalui ketua RT/RW yang melapor pada
lurah. Namun, tanggung jawab pengumpulan sampah
padat di pasar milik kota, contohnya, ada pada Dinas Pasar.
Tanggung jawab pengelolaan TPA umumnya ada pada dinas
Pemda lainnya seperti Dinas Kebersihan atau PU.
Kegiatan yang berhubungan seringkali merupakan tanggung
jawab lembaga terkait – rencana tata ruang dan pengeluaran
izin oleh Dinas Tata Ruang, pemantauan lingkungan hidup
oleh Badan Lingkungan Hidup, atau pendidikan masyarakat
oleh Dinas Kesehatan. Masih ada lembaga-lembaga lain
yang memberi pelayanan pendukung seperti perencanaan
dan pemrograman jangka panjang, penganggaran, dan
pengembangan organisasi. Terakhir, beberapa skema
berbasis masyarakat, menggunakan pendanaan dari
Pemerintah Pusat atau dari proyek donor, dilakukan dengan
keterlibatan terbatas atau tanpa keterlibatan dari Pemda.
Pastinya, kegiatan untuk meningkatkan akses ke
pelayanan sanitasi akan mendapat manfaat dari upaya
merasionalisasikan kerangka kerja kelembagaan untuk
sektor sanitasi di tingkat daerah, peran dan tanggung jawab
yang lebih terdefinisikan, dan koordinasi antarlembaga
yang kuat. Kuncinya adalah memastikan bahwa satu
lembaga daerah menjadi lembaga “utama” untuk seluruh
sektor sanitasi. Lembaga ini harus yang berfokus pada
pemberian pelayanan yang terlibat dalam sektor sanitasi.
Mungkin Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan, atau Dinas
PU. Lembaga ini harus memikul tanggung jawab langsung
untuk ketiga subsektor (atau setidaknya limbah cair dan
limbah padat) dan ini harus dikodifikasikan di dalam
tugas-tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang didefinisikan
secara hukum. Tupoksi ini harus menentukan bahwa dinas
tersebut bertanggung jawab secara kelembagaan atas
pemberian seluruh pelayanan sanitasi – di segala bidang
dan menggunakan berbagai pendekatan dan program. Dinas
ini harus memiliki kuasa meningkatkan anggaran untuk
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
operasi dan pemeliharaan jangka panjang dan mampu
memiliki semua aset yang berkaitan dengan sanitasi.
Indikator-indikator kinerja harus dikembangkan dan upaya
menuju penganggaran yang berorientasi pada kinerja harus
didukung. Pesan jelas yang harus disampaikan adalah
bahwa sanitasi merupakan tanggung jawab pemerintah
dan oleh karenanya penyediaan seluruh pelayanan sanitasi
akan dilakukan melalui dinas yang ditunjuk. Diberikannya
otonomi lebih besar kepada lembaga itu akan berujung
pada akuntabilitas yang meningkat pada masyarakat yang
dilayaninya dan, seiring dengan waktu, orientasi yang lebih
besar pada kinerja.
Menunjuk lembaga sanitasi utama bukan berarti bahwa
semua program sanitasi akan, atau harus, disampaikan
langsung oleh lembaga tersebut. Tergantung pada kondisi
yang ada – topografi, kepadatan penduduk, tingkat
pendapatan, tingkat keterampilan, budaya – dan pilihan
prioritas, kebijakan, dan pendekatan masing-masing
Pemda, berbagai instansi lainnya boleh memberikan
pelayanan sanitasi. Pengelolaan sistem air limbah terpusat
Banjarmasin dilakukan oleh sebuah badan umum milik
negara (BUMN). Program sanitasi masyarakat SANIMAS
dilaksanakan oleh organisasi berbasis masyarakat. Di
banyak Pemda, pengurasan tangki septik dilakukan oleh
sektor swasta. Limbah padat Jakarta disetor ke tempat
pembuangan sampah yang ada di wilayah Pemda tetangga
dan dibayar melalui perjanjian kontrak. Pengaturan ini
memungkinkan pemerintah menanggapi kebutuhan
masyarakat, memberikan pelayanan secara efisien dan
efektif, dan memanfaatkan sumber daya langka dengan
lebih baik. Dan yang penting, sekali lagi, adalah bahwa pada
akhirnya tanggung jawab untuk menata pengaturan ini,
memantau kinerja, dan menanggapi tuntutan dan masalah
masyarakat ada pada Pemda sendiri.
Mendorong upaya pengembangan mekanisme koordinasi
di dalam Pemda: Kendati satu lembaga harus bertanggung
jawab atas penyampaian akhir seluruh pelayanan sanitasi,
ada lembaga-lembaga tambahan yang bertanggung jawab
atas kegiatan pendukung yang membantu terlaksananya
beragam program sanitasi. Sebagaimana dibahas di
atas, kegiatan ini termasuk kegiatan teknis – mengelola
sampah pasar, memantau sampah berbahaya, melakukan
kampanye pendidikan, mengembangkan standar kesehatan
dan lingkungan hidup, menegakkan peraturan gedung,
dsb. – dan pelayanan lintas sektor (yang melibatkan lebih
dari sekadar sektor sanitasi) seperti badan perencanaan,
lembaga keuangan, lembaga hukum, badan lingkungan
hidup, dsb. Penting bahwasanya kebijakan, pendekatan,
dan anggaran terkoordinasi dan tersinkronisasi agar saling
melengkapi, dan bukan, sebagaimana seringkali terjadi,
saling bertentangan atau tumpang tindih. Lagi-lagi, lembaga
sanitasi utama harus memikul tanggung jawab keseluruhan.
Namun, mengingat sifat hubungan birokrasi di tingkat
daerah, diperlukan sebuah badan “yang lebih tinggi” yang
dapat mendorong koordinasi dan mengambil keputusan
sulit. Pemerintah telah mengembangkan pendekatan
yang mengumpulkan para pejabat dari lembaga-lembaga
terkait ke dalam kelompok-kelompok kerja (pokja) di
tingkat daerah serta tingkat provinsi dan pusat dalam
rangka mengoordinasikan kebijakan dan program,
menyinkronisasikan anggaran, dan memastikan bahwa
prioritas seluruh kota disadari. Pokja-pokja ini berfungsi,
setidaknya sebagian, mengizinkan Pemda menghindari
“mentalitas lubang birokrasi” yang bisa dilihat di tingkat
daerah dan pusat. Awalnya dikembangkan untuk air bersih,
Pokja AMPL kini ada di banyak Pemda, walaupun belum
semua. Penting bahwasanya pokja ini dibentuk di tempat
lain, operasinya diperkokoh, dan kuasanya ditingkatkan.
Melanjutkan dan memperkuat penggunaan Strategi
Sanitasi Kota: Sebagaimana disebutkan di atas, komitmen
terbaru pemerintah untuk meningkatkan akses ke
pelayanan sanitasi ditunjukkan oleh dukungannya
terhadap program PPSP. Sebagai bagian dari program ini,
Pemda diharuskan menyiapkan dan menerapkan Strategi
Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) tahun jamak dan terpadu.
Persiapan SSK dikoordinasikan oleh Pokja AMPL di dalam
masing-masing Pemda. Setiap SSK memeriksa situasi
sanitasi saat ini dan proyeksi kebutuhan, menyajikan
pendekatan strategis pokok untuk diterapkan guna
menangani kebutuhan, membahas program khas untuk
dimanfaatkan, mengidentifikasikan kebutuhan pendanaan,
dan menentukan jangka waktu dan indikator. Sekitar 70
persen dari Pemerintahan Kota/Kabupaten (Pemkot/kab)
dan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) memiliki SSK dan
selebihnya sedang menyiapkannya melalui PPSP. Kendati
kualitas SSK bisa dimaklumi berbeda-beda, SSK adalah alat
yang berharga untuk menuntun Pemda dalam menerapkan
program sanitasi secara menyeluruh. Sementara Pemda
mengembangkan dan merevisi SSK, bantuan harus terus
diberikan guna memastikan bahwa SSK itu relevan, realistis,
dapat diterapkan, dan mengatasi berbagai kebutuhan
kelompok penduduk dan daerah geografis di dalam masingmasing lokalitas. SSK harus menjadi rujukan pokok lembaga
daerah, terutama “lembaga sanitasi utama” yang dibahas di
atas, karena SSK mengembangkan strategi jangka panjang,
menengah, dan pendek, rencana kerja, dan anggaran. Yang
penting, kemajuan menuju pencapaian indikator pokok
harus dipantau dan strategi disesuaikan jika perlu.
Menerapkan upaya yang terpadu, terkoordinasi guna
membangun kapasitas instansi pokok yang memberikan
pelayanan air minum dan sanitasi dan para stafnya:
Kapasitas Pemda memberikan pelayanan sangat berbedabeda. Meski banyak yang memiliki lembaga yang relatif
berfungsi lancar dan staf yang terampil, bisa dikatakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
43
44
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Pemerintah Daerah akan lebih berkomitmen untuk
menganggarkan operasional dan pemeliharaan
yang sedang berjalan, bila mereka memahami
bahwa pendanaan tambahan akan tersedia jika
mereka menyediakan anggarannya.
semua Pemda akan memperoleh keuntungan dari upaya
membangun kapasitas kelembagaan dan keterampilan
individu. Di tingkat kelembagaan, upaya harus difokuskan
pada memperkuat sistem dan tata cara pokok pengelolaan
dan operasional, seperti perencanaan strategis jangka
panjang, perencanaan dan penganggaran tahunan,
pengelolaan keuangan, sistem dan tata cara operasi
teknis (seperti pengolahan endapan kotoran, sistem
pengantar air, pengolahan air limbah, dsb.), dan pengelolaan
sumber daya manusia. Masing-masing staf juga memerlukan
dukungan untuk memperkuat keterampilan teknis dan
meningkatkan kinerja mereka.
Pemerintah memiliki sejumlah program pengembangan
kapasitas untuk Pemda. Program-program ini dilaksanakan
oleh sejumlah lembaga yang berbeda-beda seperti
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi, dan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Penting
bahwasanya program ini dikoordinasikan, pendanaan
disediakan, dan bantuan pengembangan kapasitas diberikan
secara teratur dan berulang-ulang.
Meningkatkan Mekanisme Pendanaan
dan Pengelolaan Aset
Secara berangsur-angsur mengurangi praktik umum
pendanaan Pemerintah Pusat untuk aset daerah, karena
ini seringkali menghalangi Pemda untuk menganggarkan
operasional dan pemeliharaan jangka panjang (dan
oleh karenanya berujung pada depresiasi aset yang
cepat): Karena dana hibah diberikan langsung ke Pemda
dan dicatat di dalam APBD, aset yang terbentuk menjadi
milik Pemda. Ini jauh lebih bagus daripada bentuk-bentuk
pembiayaan infrastruktur daerah lainnya yang ada, yang
asetnya dibangun (menggunakan dana APBN) dan dimiliki
pemerintah dan Pemda diizinkan menggunakannya.
Berdasarkan pendekatan kedua ini (yang lebih disukai
Prakarsa Compendium | Jilid 3
saat ini), Pemda tak memiliki insentif untuk menjaga aset.
Memang aset-aset tersebut berkurang dengan cepat dan
memerlukan penggantian lebih awal, biasanya dengan
metode transfer yang sama dari Pemerintah Pusat.
Sejarah panjang pembentukan aset oleh Pemerintah Pusat
atas nama Pemda tanpa perlu penggantian inilah yang
menyebabkan tarif rendah yang tak bisa dipertahankan.
Berdasarkan program penerusan hibah, Pemda memiliki
aset dan setidaknya secara hukum bertanggung jawab
atas pemeliharaan dan penggantian. Kendati masih
terlalu awal untuk dilihat bagaimana pengaruhnya pada
kelestarian aset, bukti dari prakarsa investasi langsung
yang dilakukan oleh Pemda progresif mengarah pada
meningkatnya kelestarian aset.
Peraturan mengharuskan pemerintah yang memiliki aset
untuk menjaga dan melindungi aset tersebut. Dalam
praktiknya, ini artinya hanya pendaftaran dan pelaporan
aset yang dapat diterima. Kelalaian pemeliharaan
tidak disalahkan. Audit memberikan teguran untuk
pendaftaran dan pelaporan yang tak memadai, tapi tidak
untuk pemeliharaan dan perlindungan nilai produktif
yang tak memadai.
Lebih jauh mengenai topik manajemen aset, baca artikel
“Tema dan Prioritas Lintas Sektoral” pada halaman 13.
Ambil langkah untuk memastikan bahwa bila aset
dikembangkan dengan pendanaan Pemerintah Pusat,
aset tersebut dialihkan secara resmi ke Pemda: Pada kasus
tertentu, pendanaan Pemerintah Pusat untuk infrastruktur
daerah memang dibutuhkan dan, bagaimanapun,
pendanaan semacam itu mungkin akan berlanjut selama
beberapa waktu bahkan jika sudah diputuskan untuk
mengarusutamakan penerusan hibah. Sebagaimana
disebutkan di atas, penting bahwasanya lembaga daerah
memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk menyampaikan
pelayanan sanitasi. Hal ini membangun komitmen lembaga
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
untuk secara tepat menjalankan dan menjaga pelayanan.
Yang penting lembaga daerah hanya dapat menaikkan
anggaran untuk operasional dan pemeliharaan jika memiliki
aset tersebut. Oleh karena itu, pada kasus infrastruktur
didanai oleh pusat, Pemerintah Pusat harus mengambil
langkah-langkah guna memastikan aset tersebut cepat
dialihkan ke lembaga daerah yang akan menggunakan
aset itu. Tata cara pengalihan itu ada, tapi berdasarkan
pengalaman, pengalihan itu tidak selalu dijalankan.
Membuat inventarisasi dan penilaian yang tepat terhadap
aset Pemda guna melengkapi transisi ke akuntansi
tertangguh yang diperlukan: Pengalaman menunjukkan
bahwa banyak Pemda tidak memiliki sistem pengelolaan aset
yang berfungsi dengan benar. Sistem semacam itu penting
agar Pemda mengetahui aset apa yang dimiliki, siapa yang
bertanggung jawab memeliharanya, dan berapa nilainya.
Tanpa sistem tersebut, Pemda seringkali gagal memelihara
aset secara layak dan tidak mempertimbangkan depresiasi
di dalam anggarannya. Yang penting, Indonesia sedang
melangkah menuju penggunaan akuntansi tertangguh dan
Pemda akan segera diharuskan menggunakannya. Akuntansi
tertangguh mendukung pergeseran lebih besar dalam
anggaran sektor umum dari basis masukan ke basis yang
berfokus pada keluaran dan hasil. Agar sistem itu berjalan,
Pemda harus memiliki pengetahuan yang jitu dan realistis
terhadap nilai asetnya. Pengalaman di banyak negara maju,
seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pergerakan
ke akuntansi tertangguh itu sulit dan perpanjangan masa
revaluasi (penilaian ulang) diperlukan.
Kesimpulan
Artikel ini membuat rekomendasi untuk tiga bidang yang
membutuhkan peningkatan perhatian kebijakan untuk masa
perencanaan mendatang. Rekomendasi ini menyangkut
penyediaan lebih banyak insentif bagi Pemerintahan
Daerah untuk berinvestasi di infrastruktur, penguatan
kerangka kerja kelembagaan Pemda, dan kepemilikan
infrastruktur oleh Pemda. Penerapan rekomendasi ini akan
berujung pada penyampaian pelayanan air minum dan
sanitasi yang lebih baik dan kemajuan menuju pencapaian
Sasaran Pembangunan Milenium. Diakui bahwa penerapan
rekomendasi ini akan bersifat tambahan dan memerlukan
koordinasi ketat antarlembaga yang berkaitan, baik di tingkat
pusat dan antara pusat dan daerah. Secara inti, rekomendasi
ini berfokus pada kebutuhan untuk lebih memberdayakan
Pemda untuk memberikan pelayanan. Proses ini tentunya
tidak bebas dari masalah, tapi imbalannya, dalam hal
kemajuan yang lebih besar menuju penyediaan akses ke
pelayanan dasar air minum dan sanitasi untuk semua warga
negara, akan membuat upaya ini sepadan. ●
Tentang Para Penulis:
Jim Coucouvinis adalah Direktur Teknis Program Air Minum
dan Sanitasi IndII. Sebelum bergabung dengan IndII, ia
merupakan konsultan independen yang bekerja untuk Bank
Dunia dan AusAID pada program sektor air minum dan air
limbah. Sebelum menduduki jabatan tersebut, ia merupakan
Wakil Presiden Louis Berger Group untuk layanan air minum
dan lingkungan hidup di Asia Tenggara dan Republik Rakyat
Cina. Dan sebelumnya, ia menjabat sebagai Manajer Residen
di Montgomery Watson, Indonesia. Di Australia ia bekerja
untuk Canberra Water and Power Authority (Otoritas Air
Minum dan Listrik Canberra) di bagian desain dan konstruksi
pekerjaan pembuangan air limbah berskala besar, dan
dengan Australia Murray-Darling Basin Authority (Otoritas
Lembah Murray-Darling Australia) pada pengelolaan kualitas
air dalam sistem dan waduk Murray-Darling. Jim meraih
Master dalam bidang Teknik dari University of New South
Wales, dan gelar Sarjana di bidang Ilmu dan Teknik Sipil dari
University of Queensland.
Joel Friedman adalah Penasihat Pengembangan Institusi – Air
Minum dan Sanitasi. Ia memiliki pengalaman bekerja lebih
dari 20 tahun di bidang pembangunan di Indonesia dengan
berbagai institusi pemerintahan. Pekerjaannya di tingkat pusat
sebagian besar berhubungan dengan Kementerian Dalam
Negeri tetapi juga dengan lembaga pemerintah lain yaitu
Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat. Ia juga pernah bekerjasama
dengan beberapa pemerintah daerah termasuk tinggal dan
bekerja di Palembang. Sektor-sektor utama yang ditanganinya
adalah pembangunan perkotaan, lingkungan, desentralisasi,
dan penguatan institusi. Joel telah bekerja dengan bermacam
lembaga bantuan bilateral dan multilateral. Tugasnya di IndII
mencakup persiapan bantuan pengembangan institusi untuk
program Air Minum dan Sanitasi. Joel akan ditempatkan di
Kementerian Dalam Negeri. Sebelum pindah ke Indonesia,
ia bekerja di Filipina dan Banglades serta untuk Departemen
Perumahan dan Pengembangan Perkotaan di Amerika Serikat.
Joel memiliki gelar sarjana dalam studi pemerintahan dan
gelar pascasarjana dalam perencanaan tata kota.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
45
46
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
KEBUTUHAN AKAN
AKSES TRANSPORTASI
Mengapa Akses Transportasi Penting?
Dari pengalaman pribadi, kita mengetahui betapa
pentingnya transportasi untuk menjalankan suatu
pekerjaan, menikmati kedekatan antar keluarga dan teman,
berbelanja dan menghadiri acara-acara istimewa
seperti perkawinan atau acara keagamaan. Tetapi ketika
muncul topik mengenai pengadaan akses transportasi
untuk semua lapisan masyarakat, tanggapan yang
seringkali dilontarkan adalah “penyandang disabilitas
atau orang dengan kemampuan fisik berbeda tidak akan
menggunakan jasa transportasi, sehingga tidak perlu
mempertimbangkan keperluan mereka”. Akan tetapi,
pada kenyataannya para penyandang disabilitas ini sangat
jarang dilibatkan dalam konsultasi mengenai harapan dan
kesulitan yang mereka hadapi dalam hal transportasi. Bagi
orang yang memiliki kekurangan fisik, indera (penglihatan/
pendengaran), gangguan mental dan psikologis, tidak dapat
mengakses angkutan umum berarti mereka bergantung
terhadap orang lain untuk membawa mereka ketujuan yang
mereka inginkan. Hal ini berdampak pada kualitas hidup
dan seringkali berarti mereka jarang meninggalkan rumah.
Akses yang mereka dapatkan untuk pendidikan, kesehatan
dan layanan sosial lainnya terbatas. Mereka mempunyai
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kesempatan yang lebih sedikit untuk mencari nafkah, dan
berpartisipasi secara penuh dalam keluarga, komunitas,
dan kehidupan bermasyarakat.
Ketika transportasi publik tidak didesain dan
dioperasikan untuk dapat diakses oleh orangorang dengan kemampuan fisik yang berbeda,
mereka menjadi lebih berketergantungan;
terbatas dalam hal pendidikan, kesehatan
dan layanan sosial lainnya, kesempatan untuk
mencari nafkah terbatas, dan tidak dapat
berpartisipasi sepenuhnya dalam keluarga,
komunitas dan kehidupan berpolitik.
Ketika infrastruktur dan layanan transportasi dirancang
dengan memikirkan aksesibilitas, tidak hanya penyandang
disabilitas dapat menjadi lebih mandiri, tetapi ada
manfaat yang lebih luas. Setiap orang yang memerlukan
bantuan (seperti ibu hamil, anak-anak, orang lanjut usia,
dan mereka yang mengalami cacat sementara) dapat
merasakan manfaatnya.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Mengapa Penyandang Disabilitas Tidak
Menggunakan Jasa Transportasi?
Ada beberapa alasan mengapa penyandang disabilitas tidak
menggunakan jasa transportasi. Banyak diantara alasanalasan ini dapat diatasi melalui tindakan pemerintah atau
organisasi masyarakat sipil.
Hambatan struktural, seperti kurangnya akses
infrastruktur, sosial/budaya, dan hambatan
psikologis, membatasi penggunaan layanan
transportasi oleh penyandang disabilitas.
Hambatan Struktural adalah permasalahan utama. Ini
termasuk infrastruktur transportasi yang tidak dapat di
akses karena permasalahan desain dan pemeliharaan, dan
juga pemerintah setempat yang menghiraukan kebutuhan
penyandang disabilitas (contohnya, lingkungan seputar
jalanan – tidak menunjang bagi orang berkursi roda yang
ingin menaiki bus tetapi tidak bisa menyebrang jalan
menuju halte bus). Ini juga mencakup cara beroperasi
layanan transportasi (seperti bus yang berhenti kurang
dekat dengan halte, atau penumpang terlalu ramai)
dan minimnya penyediaan informasi (rambu yang tidak
memadai, tulisan kecil, dan ada informasi visual tetapi tidak
ada informasi audio).
Hambatan Sosial dan Budaya juga memainkan peran.
Beberapa anggota dari komunitas memiliki pandangan
negatif terhadap penyandang disabilitas, mereka berasumsi
bahwa orang-orang ini tidak memiliki kemampuan untuk
berkembang dan selayaknya mereka tinggal dirumah dan
bergantung kepada pengasuhnya. Penyedia transportasi
mungkin tidak menyadari adanya aspek-aspek kecacatan.
Mungkin juga ada hambatan komunikasi antara penyandang
disabilitas dan masyarakat lainnya. Para penyandang
disabilitas ini mungkin tidak menyadari hak mereka, atau
adanya kesempatan untuk mendapatkan akses transportasi
yang lebih luas. Keluarga penyandang disabilitas juga
mungkin enggan untuk mengizinkan anggota keluarga
dengan keterbatasan ini untuk berpergian di depan publik
karena malu atau khawatir akan keselamatan mereka.
Hambatan Psikologis seperti kurang percaya diri dan takut
akan keselamatan pribadi dapat juga membuat penyandang
disabilitas enggan untuk menggunakan jasa transportasi.
Penyandang disabilitas wanita juga biasanya lebih khawatir
dengan keselamatan mereka.
Biaya Versus Manfaat
Biaya yang tinggi seringkali dikutip sebagai alasan untuk
tidak membuat infrastruktur transportasi dan layanan yang
dapat di akses oleh penyandang disabilitas. Akan tetapi,
apabila akses dipertimbangkan pada fase perencanaan,
desain, dan disertakan kedalam biaya konstruksi awal, ini
menjadi lebih murah daripada membangunnya dikemudian
hari. Selain dari itu, biaya aktual seringkali lebih rendah
dari asumsi biaya. Beberapa upaya penanggulangan untuk
meningkatkan aksesibilitas (seperti tactile marking atau
marka jalan yang berprofil, huruf yang lebih besar pada
tanda jalan, dan integrasi kesadaran akan kecacatan
kedalam standard pelatihan) hanya memerlukan biaya
rendah. Hampir semua orang dapat merasakan manfaatnya.
Contohnya, teknologi smart-card, seperti yang digunakan
oleh bus TransJakarta, mengeliminasi kebutuhan untuk
antri tiket. Hal ini sangat membantu orang yang memiliki
kesulitan untuk berdiri, diantara penumpang lainnya.
Biaya untuk meningkatkan akses untuk
penyandang disabilitas seringkali diasumsikan
lebih tinggi dari biaya aktual. Di sisi lain, biaya
perorangan, keluarga dan masyarakat yang lebih
luas menjadi lebih tinggi ketika penyandang
disabilitas tidak diberikan akses transportasi.
Sebaliknya, kurangnya akses transportasi mengakibatkan
biaya tinggi dan bukan hanya berdampak bagi penyandang
disabilitas tetapi untuk masyarakat secara luas. Ketika
aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan
kesempatan lainnya untuk penyandang disabilitas dibatasi,
mereka cenderung untuk bergantung kepada orang lain. Ini
membatasi waktu pengasuh mereka, yang biasanya wanita,
untuk mencari nafkah dan melakukan kegiatan lainnya.
Seluruh keluarga menjadi lebih rentan terhadap tingkat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
47
48
Uraian Kegiatan
kemiskinan dan ketidakberuntungan yang lebih tinggi, yang
berdampak terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Pengawas Lingkungan
Pemerintah Indonesia telah menandatangani dan
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang
Disabilitas dan telah menyetujui Biwako Millennium
Framework for Action: Towards an Inclusive, Barrier-free
and Rights-based Society for Persons with Disabilities
in Asia and the Pacific. Undang-undang dan peraturan,
seperti UU no. 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan
Peraturan Pemerintah no. 43/1998, menegaskan bahwa
setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama dan
kesempatan dalam semua aspek kehidupan mereka.
Undang-undang transportasi yang terkait termasuk UU no.
23/2007 tentang Perkeretaapian, UU no. 17/2008 tentang
Pelabuhan dan Operator Pelayaran, UU no. 1/2009 tentang
Transportasi Udara dan UU no. 22/2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
Indonesia telah menandatangani konvensi
tentang transportasi dan disabilitas dan telah
memiliki sejumlah undang-undang terkait,
tetapi belum terlihat hasil dari penegakkan
standar aksesibilitas.
Rekomendasi
Konsultasikan dan Komunikasikan: Pada tingkat nasional
dan daerah, berkonsultasilah penyandang disabilitas dan
kelompok advokasi mereka seperti Persatuan Penyandang
Cacat Indonesia (PPCI), mengenai kebutuhan transportasi
mereka. Publikasikan layanan transportasi yang dapat
diakses dan dorong mereka untuk menggunakannya. Pada
tingkat daerah, pastikan penyandang disabilitas terwakilkan
dalam komite atau forum, seperti Forum Lalu Lintas
Angkutan Jalan, dan terapkan prosedur agar mereka dapat
memberikan masukan. Tingkatkan kesadaran respon publik
terhadap penyandang disabilitas.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tingkatkan
kesadaran
dan
kapasitas
untuk
mengoperasionalkan peraturan: pastikan fitur aksesibilitas
untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas
secara jelas dibahas dalam dokumen perencanaan
utama seperti RENSTRA. Mengembangkan pedoman dan
spesifikasi detail untuk meningkatkan aksesibilitas dan
mengembangkan program sosialisasi untuk pemerintah
daerah dan operator/kontraktor swasta yang terlibat
dalam infrastruktur transportasi dan penyediaan layanan.
Meningkatkan kesadaran akan kebutuhan penyandang
disabilitas dan mengapa spesifikasi ini harus dipenuhi.
Mengintegrasi kesadaran disabilitas dan cara-cara khusus
yang mendukung penyandang disabilitas untuk mengikuti
pelatihan sebagai personil yang mengoperasikan layanan
transportasi. Meminta penyedia transportasi swasta,
seperti layanan taksi, untuk memasukan topik ini kedalam
pelatihan sumber daya manusia mereka.
Tiga hal utama yang ditargetkan adalah:
peningkatan konsultasi dan komunikasi;
peningkatan kesadaran dan cara legislasi
beroperasi; Pengawasan dan memastikan
peraturan dan spesifikasi diimplementasikan.
Pantau dan tegakkan: Melalui pemantauan pemerintah
nasional dan daerah, pastikan pejabat daerah sadar dan
melaksanakan dengan baik undang-undang, regulasi
dan spesifikasi untuk meningkatkan aksesibilitas; dan
tidak melakukan pembayaran kepada kontraktor sampai
semua spesifikasi terpenuhi dengan baik. Pastikan juga
fitur desain aksesibilitas terpelihara dengan baik oleh
pihak yang bertanggung jawab dan lingkungan jalan
sekitar memungkinkan akses yang mudah untuk layanan
transportasi. Konsultasi langsung dengan penyandang
disabilitas dan perwakilan organisasi mereka sebagai
bagian dari proses pemantauan, untuk menilai seberapa
besar kebutuhan aksesibilitas mereka dapat terpenuhi.
—Gaynor Dawson, Spesialis Gender
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Prakarsa Compendium | Jilid 3
49
50
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
MODERNISASI JALAN
NASIONAL: FOKUS STRATEGIS
UNTUK RENSTRA 2015–2019
Persoalan
Daya saing perdagangan dan prospek pertumbuhan
Indonesia tergantung pada tindakan yang kuat untuk
menangani konektivitas yang rendah antara pusat ekonomi
dan mobilitas jaringan jalan. Perjalanan darat antar kota
termasuk lambat, dengan waktu tempuh antara 2–4
jam/100km (hampir dua kali lipat negara tetangga ASEAN)
dan tingkat kemacetan perkotaan tinggi. Konektivitas
rendah mengakibatkan naiknya biaya transportasi dan
logistik, menghambat redistribusi kegiatan ekonomi
ke daerah kurang berkembang, serta menghambat
pembangunan sosial dan ekonomi. Keselamatan jalan yang
buruk juga mengakibatkan biaya sosial yang tinggi.
Saat ini, kapasitas dan kepadatan jaringan jalan nasional
sudah kurang memadai untuk populasi dan ekonomi
Indonesia, sedangkan permintaan akan lalu lintas tumbuh
dengan cepat dan lebih pesat dari pertumbuhan ekonomi.
Investasi untuk memperluas dan meningkatkan jaringan
berjalan lambat selama beberapa dekade dan prioritas
pembelanjaan akhir-akhir ini berfokus pada preservasi aset.
Konektivitas rendah menghambat daya saing
perdagangan dan redistribusi pembangunan
daerah. Prioritas sebelumnya dan kapasitas
yang tidak memadai telah menyebabkan
kurangnya investasi dalam pembangunan
kapasitas jaringan.
Meski terjadi kenaikan pembiayaan sebanyak delapan kali
sejak tahun 2005, perubahan terhadap kepadatan jalan
bebas hambatan tetap rendah, peningkatan kapasitas
jaringan jalan arteri mengalami fragmentasi dan berada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
60–70 persen di bawah standar modern. Waktu tempuh
dan mobilitas tidak dipantau atau dimasukkan sebagai
hasil strategis dari rencana pembelanjaan jalan, dan oleh
karenanya rencana tersebut hanya terhubung secara tidak
langsung dengan sasaran pembangunan nasional. Juga
ada tantangan yang signifikan dalam pelaksanaan dan
penerapan program jalan.
Kesempatan dan Kemajuan
Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) tahun 2011 merupakan sarana untuk
meningkatkan konektivitas di enam koridor utama, dan
membentuk kerangka kerja yang penting untuk berinvestasi
di infrastruktur jalan di koridor tersebut. Kenaikan
substansial dalam anggaran yang baru-baru ini dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga memberikan dana yang
cukup untuk investasi pembangunan jalan dan perlengkapan
yang lebih dari memadai untuk preservasi aset.
Tujuan pembangunan telah diidentifikasi dan
berbagai sumber daya telah tersedia; sekarang
fokus strategis harus ditujukan pada investasi.
Sebuah studi IndII mengenai pembangunan jaringan jalan,
“Modernising the National Road Network”, mengevaluasi
semua persoalan ini dan mengembangkan sebuah kerangka
kerja perencanaan yang dapat mendukung perubahan
besar yang dibutuhkan dari preservasi aset sampai ke
pembangunan jalan. Persiapan Renstra 2015–2019 bagi
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
memberikan peluang untuk mengubah fokus strategis
untuk investasi dalam modernisasi jaringan.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Visi
Sebuah jaringan jalan nasional modern untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan daerah,
dan perdagangan internasional akan memberikan
konektivitas dan kapasitas yang kuat untuk pelayanan
transportasi jalan yang efisien, dapat diandalkan dan aman
antara pusat ekonomi, kota, dan beberapa wilayah strategis
lainnya. Bentuk dan standar jaringan nasional harus
memiliki hirarki yang jelas:
Sebuah jaringan yang telah dimodernisasi akan
menyediakan perjalanan aman yang efisien
dalam sebuah hirarki yang telah disesuaikan
dengan tujuan.
• Jaringan jalan bebas hambatan sebagai tulang
punggung – akses terbatas, kapasitas tinggi, dua jalur
pada setiap arah (dual carriageway), pemisahan jalur,
dan didesain untuk kecepatan 100km/jam.
• Koneksi arteri antara pusat ekonomi dan kota-kota –
kapasitas dan standar terkait dengan permintaan
dan pembangunan lalu lintas jangka panjang,
kesesuaian untuk efisiensi jangka panjang dan
pembangunan spasial, didesain untuk kecepatan
80km/jam, bahu jalan yang diaspal dan lahan
(right-of-way) yang terkendali.
• Jalan-jalan penghubung yang strategis, menyediakan
akses ke aringan jalan untuk masyarakat dan produsen
– dengan didesain untuk kecepatan 60km/jam dan
standar jalan ditingkatkan seiring dengan waktu untuk
memenuhi permintaan dan perkembangan daerah.
Strategi
Untuk mencapai visi ini dibutuhkan perubahan yang besar
dalam prosedur dan tanggung jawab untuk perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan jaringan. Studi IndII
merekomendasikan kerangka kerja perencanaan dengan
dua elemen utama sebagai berikut:
Perubahan akan menyatukan perencanaan
dengan hasil pembangunan di dalam kerangka
kerja yang transparan – melalui rencana proyek
jangka panjang dan menengah.
• Rencana pembangunan koridor – Berdasarkan
perkiraan dan evaluasi pembangunan daerah
dan tuntutan transportasi, rencana ini akan
menunjukkan konfigurasi jalan yang dibutuhkan
oleh setiap koridor dalam kurun waktu 25 tahun
atau lebih – termasuk jalan bebas hambatan dan
jalan arteri – dan juga tahapan dalam berinvestasi,
rencana proyek tahun jamak, hasil waktu tempuh,
serta persyaratan pendanaan.
• Strategi pembaruan jalan – Sebuah program yang
menyelaraskan dan membangun kembali jalan
arteri dengan standar kecepatan, keselamatan, dan
kekuatan yang modern dengan dipandu strategi yang
mencakup prosedur persiapan, penyusunan program,
dan penentuan prioritas penerapan di antara
koridor dan daerah (konsisten dengan rencana
koridor), pendanaan, dan pengelolaan akuisisi
dan penguasaan tanah.
Penerapan Strategi – Kebutuhan dan Biaya
Sumber dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan
program modernisasi secara penuh tergolong besar tetapi
layak mengingat alokasi Ditjen Bina Marga sebesar Rp 30–
43 triliun/tahun. Perkiraan kebutuhan secara garis besar,
berdasarkan biaya kerja Ditjen Bina Marga, menunjukkan:
• Alokasi pembangunan jalan sebesar Rp 20 triliun/tahun
cukup untuk membiayai program pembaruan jalan
sepanjang 2.000km per tahun, modernisasi setengah
jaringan dalam waktu 10 tahun, serta pembangunan
jalan secara umum lainnya.
Strategi ini memungkinkan pembuatan
perkiraan jangka menengah yang jelas
atas biaya yang dibutuhkan.
• Belanja publik sekitar Rp 30 triliun/tahun untuk
melengkapi investasi swasta dapat menyelesaikan
pekerjaan 3.700km jalan bebas hambatan dalam
waktu 15 tahun dan mendorong partisipasi sektor
swasta yang lebih besar.
• Alokasi sebesar Rp 12–15 triliun/tahun cukup
untuk preservasi aset dengan pelaksanaan
program yang efektif.
Program pembangunan jalan ini akan meningkatkan
konektivitas secara substansial di koridor-koridor
utama, mengurangi waktu tempuh sampai 40 persen,
dan jarak tempuh sebesar 10–25 persen. Ini akan
mendorong dan mendukung pembangunan daerah, dan
memfasilitasi kenaikan substansial dalam pelayanan
transportasi intermoda.
Meski demikian, agar berhasil, program seperti ini
membutuhkan perubahan yang substansial pada prosedur
perencanaan dan pelaksanaan di Ditjen Bina Marga.
— William Paterson, Konsultan IndII
Prakarsa Compendium | Jilid 3
51
52
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PEMBIAYAAN BANK
KOMERSIAL MELALUI PERPRES
29: SEBUAH KUNCI UNTUK
LAYANAN AIR PERPIPAAN
YANG BERKELANJUTAN
Permasalahan Selama 50 Tahun
Meskipun terdapat investasi sekitar dua setengah miliar
dolar untuk prasarana air perpipaan, kualitas layanan
air minum perkotaan di Indonesia berada di bawah
negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
Kamboja, dan Filipina. Sistem politik Indonesia dan sejarah
pengendalian terpusat yang kuat mengakibatkan disinsentif
(hambatan) yang sangat berarti bagi PDAM untuk
berkembang dari ketergantungan menjadi kemandirian.
Selama lima puluh tahun terakhir, Indonesia
telah gagal mengupayakan penyelesaian
masalah rendahnya layanan air minum.
Masalah yang timbul sejak lama ini dapat ditelusuri berasal
dari empat penyebab: (1) penundaan kenaikan tarif yang
mengharuskan PDAM untuk menggunakan modal mereka
dan bergantung pada dana investasi dari sumber Pemerintah
Daerah atau Pusat; (2) Pemerintah Daerah (Pemda)
melalaikan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat
yang membutuhkan air perpipaan; (3) Keengganan yang
terus-menerus untuk melibatkan pengguna layanan dalam
pembuatan keputusan penetapan tarif; dan (4) Kurangnya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dana investasi saat PDAM membutuhkan. Program yang
disahkan melalui Peraturan Presiden no. 29/2009 (Perpres
29) tampaknya merupakan satu-satunya program sektor air
perpipaan yang sedang berjalan yang dapat menjadi contoh
program layanan air minum yang berkelanjutan dengan
menangani keempat persoalan tersebut secara bersamaan.
Program Perpres 29
Menanggapi kebutuhan prasarana tambahan yang lebih
berdasarkan insentif berbasis manfaat, Perpres 29 dan
peraturan pelaksanaannya diundangkan untuk menyatukan
bank-bank komersial dan pemulih biaya (cost-recovering)
PDAM melalui mekanisme penjaminan yang mengurangi
risiko bagi bank pemberi pinjaman dan memberikan subsidi
suku bunga hingga 5 persen.
Program Perpres 29 merupakan program
pemerintah pertama yang berhasil menyediakan
sumber pembiayaan investasi terjangkau yang
cukup bagi PDAM.
Dalam program insentif secara langsung ini, seluruh
arus kas PDAM masuk ke dalam sebuah rekening di bank
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
komersial pemberi pinjaman untuk menjamin bahwa
bank tersebut menerima pengembalian pinjaman. Apabila
terjadi kegagalan pembayaran (default), bank hanya
bertanggung jawab atas 30 persen dari saldo yang belum
dibayarkan, dan Pemerintah Pusat akan mengembalikan
70 persen dari saldo yang belum dibayarkan kepada
bank tersebut. Namun apabila Pemerintah Pusat harus
membayar 70 persen dari saldo yang belum dibayarkan
kepada bank, Pemerintah Pusat berhak untuk memperoleh
pengembalian atas sebagian dari jumlah tersebut dari
Pemda pemilik PDAM tersebut. Dengan demikian, Pemda
harus berkomitmen untuk mengembalikan 30 persen dari
jumlah tersebut atau dengan memotong jumlah tersebut
dari transfer fiskal antarpemerintahnya untuk setiap
periode PDAM tidak melakukan pembayaran. Pengaturan
ini harus tertuang dalam payung perjanjian antara PDAM,
Pemda (dengan persetujuan DPRD) dan Pemerintah Pusat,
diwakili oleh Kementerian Keuangan (KemenKeu). Untuk
pertama kalinya di Indonesia, Perpres 29 memungkinkan
PDAM menjadi layak kredit, dengan membuka akses jangka
panjang terhadap sumber daya bank komersial di bawah
pengawasan yang disiplin dari pemberi pinjaman.
Upaya-Upaya Untuk Meningkatkan Manajemen
Selama jangka waktu 2010–2012, beberapa kegiatan
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) menangani
persoalan tata kelola dan manajemen PDAM. Fase
pertama Reformasi Keuangan dari 20 kegiatan PDAM
menyediakan tenaga ahli kepada PDAM untuk mendukung
dalam menyusun pedoman tata kelola yang baik,
menyusun rencana pinjaman yang dinilai layak oleh bank
(bankable), dan memperoleh persetujuan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu). Pada akhir tahun 2011, ketika
kelompok pertama yang terdiri dari tiga PDAM menerima
persetujuan, Perpres 29 menjadi program nasional pertama
yang berhasil mengatur pembiayaan bank komersial
jangka panjang yang berkelanjutan dan terjangkau bagi
PDAM. Fase kedua dari kegiatan IndII adalah mendukung
bagian dari kelompok PDAM pertama dengan memberikan
dukungan bagi tata kelola dan rencana pinjaman yang
dinilai layak oleh bank kepada lima PDAM baru dan
secara komparatif lebih kuat. Hingga akhir tahun 2013,
melalui dukungan dari segala sumber, lima PDAM telah
memperoleh persetujuan KemenKeu atas pinjaman yang
disubsidi Perpres 29. Lima PDAM lainnya masih menunggu
persetujuan dari komite teknis.
Keberhasilan program Perpres 29 akan
mengatasi semua faktor yang bertanggung
jawab atas layanan air minum berkualitas
rendah dan mengarah pada layanan yang
berkelanjutan.
Perkembangan ini memberi gambaran proses untuk
memenuhi persyaratan untuk mengakses pinjaman Perpres
29, dan membayarkan kembali dalam jangka waktu 10 tahun,
sekaligus mengatasi keempat penyebab layanan air minum
di bawah standar. Sebagai contoh, bank akan memeriksa
arus kas dan apakah tarif yang diterapkan mencapai
pemulihan biaya penuh. Sebagai tambahan, Pemda juga
memiliki kepentingan keuangan yang kuat untuk melihat
bahwa PDAM memiliki kinerja yang cukup baik untuk dapat
mengembalikan pinjaman. Dengan tersedianya dana yang
pada dasarnya tidak terbatas dari bank komersial ketika
PDAM membutuhkannya, PDAM dapat berupaya mencapai
kemandirian dan keberlanjutan. Perpres 29 benar-benar
merupakan program insentif pemerintah berbasis manfaat.
Temuan-Temuan IndII Hingga Saat Ini
Sementara para konsultan IndII sedang mempersiapkan
kerangka kerja tata kelola dan perangkat penunjang untuk
lima pinjaman Perpres 29 lainnya, survei baseline pada
bulan September 2013 menemukan bahwa sebagian besar
hambatan yang terus-menerus terhadap penyediaan
layanan air minum jangka panjang yang mudah dan
terjangkau adalah kurangnya pemahaman dan kepercayaan
Pemda sebagaimana dapat dilihat dari seringnya penundaan
dalam menaikkan tarif yang diperlukan. Namun, pada saat
yang sama, sebagian besar PDAM melaporkan bahwa para
pengguna layanan lebih peduli akan kualitas layanan air
minum daripada tingkat tarif yang diterapkan. Di sebagian
besar wilayah layanan, hanya sedikit atau tidak ada umpan
balik dari pengguna layanan terkait manfaat dan tarif yang
dikaitkan dengan program peningkatan, sehingga Pemda
membuat keputusan penetapan tarif tanpa dasar yang
pasti, dan biasanya mereka menunda keputusan penetapan
tarif sampai pada situasi kritis.
Masyarakat pengguna layanan lebih peduli
akan kualitas layanan air minum daripada
besaran tarif, namun ketika mereka memutuskan
kenaikan tarif, Pemerintah Daerah sangat
jarang, kalaupun pernah, meminta umpan
balik dari konsumen.
IndII mengembangkan wawasan secara mendalam
mengenai perlunya keterlibatan pengguna layanan pada
fase kedua kegiatan Tata Kelola Air Minum NTT/NTB.
Kegiatan ini, pada tahun 2010–2011, dirancang untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
53
54
Uraian Kegiatan
berkontribusi terhadap tata kelola yang lebih baik dari
sektor air minum di lima daerah dengan menerapkan
prinsip-prinsip kontrak sosial terhadap Pemda, PDAM, dan
masyarakat untuk mencapai peningkatan layanan air minum
perkotaan yang berkelanjutan. Ketika konsultan bekerja
bahu-membahu bersama petugas PDAM selama presentasi
rencana usaha publik, terdapat simpati dan dukungan
yang sangat besar dari kalangan pengguna layanan, yang
membentuk kelompok konsumen untuk mendukung
PDAM. Pengalaman tersebut menggambarkan bahwa para
pengguna layanan memberikan tanggapan positif terhadap
rencana pengembangan yang disusun dengan baik, namun
sebagian besar PDAM dan Pemda masih memerlukan pihak
ketiga untuk memberikan dukungan dalam mendekati dan
berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan.
Pada November 2013, IndII menyelenggarakan seminar
informal yang diikuti PDAM terpilih yang patut dicontoh
karena mampu menciptakan perubahan haluan dari
kerugian tahunan menjadi keuntungan dan langkah yang
diambil oleh para pemangku kepentingan PDAM yang
secara antusias mendukung kenaikan tarif tepat waktu. Ciriciri umum mereka adalah: para direktur yang berdedikasi
dan jujur, solidaritas internal, insentif pegawai, berorientasi
pada konsumen, serta kepercayaan dan kesepahaman
dengan para pengguna layanan yang mengarah pada
kepercayaan dan kesepahaman dengan Pemda sebagai
pemilik PDAM. Bukan merupakan kebetulan, tiga dari
PDAM yang patut dicontoh ini telah menerima persetujuan
atas pinjaman Perpres 29, dan satu di antaranya sedang
menyusun permintaan pinjaman Perpres 29 dengan
dukungan dari IndII. Hal ini memperkuat wawasan
bahwa keberhasilan partisipasi dalam program Perpres
29 dapat mengarah pada layanan air minum yang patut
dicontoh dan berkelanjutan.
patut dicontoh dan layanan umum lainnya seperti jalan raya
dan listrik dapat diadaptasi untuk Perpres 29. Kemungkinan
lain yang bisa produktif mencakup kunjungan silang dan
alokasi dana untuk memberikan pengakuan, pujian, dan
penghargaan kepada PDAM dan Pemda yang responsif.
Langkah-langkah tersebut dapat mengikat Pemda untuk
lebih memperhatikan kinerja PDAM di mata publik.
Gagasan-gagasan baru harus diuji untuk
mendukung Pemerintah Daerah dan PDAM
berkonsultasi dengan masyarakat pengguna
layanan, sehingga memungkinkan Perpres 29
menjadi pembuka jalan untuk mencapai
layanan air minum dengan kualitas lebih
baik yang berkelanjutan.
Setelah diuji, gagasan-gagasan ini harus dimasukkan ke
dalam Perpres 29 yang telah diperkuat yang akan berlanjut
setelah program nasional ini berakhir pada akhir tahun
2014. Kelanjutan program Perpres 29 bisa bergantung
pada keberhasilan pelaksanaan prosedur tata kelola
yang baru untuk memberi dukungan dalam mengatasi
kurangnya kepercayaan dan kesepahaman yang telah
terjadi selama bertahun-tahun dari para pengguna
layanan dan Pemda sebagai pemilik PDAM. Untuk pertama
kalinya dalam 50 tahun terakhir, dengan mengatasi semua
aspek isu-isu tata kelola yang telah terjadi sejak lama,
keberhasilan program Perpres 29 dapat memberikan
perubahan haluan yang diperlukan untuk mempercepat
munculnya Pemda sebagai pemilik PDAM dengan jumlah
yang terus bertambah yang akan memelihara PDAM yang
berkelanjutan, transparan, dan mandiri.
— Jim Woodcock, Konsultan IndII
Temuan-Temuan Baru yang Diperlukan
Persiapan pinjaman bank komersial besar memberikan
peluang yang tidak biasa untuk mengatasi isu-isu tata kelola
seperti kepercayaan dan kesepahaman dengan konsumen
dan Pemda sebagai pemilik PDAM. Gagasan-gagasan baru
untuk perubahan perilaku dan konsultasi antara PDAM dan
masyarakat perlu diuji. Sumber dari gagasan-gagasan ini
dapat mencakup Strategi Nasional Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat yang didanai oleh Australia tahun 2003
dan pembelajaran dari program SANIMAS dan PAMSIMAS1
Pemerintah Indonesia. Praktik terbaik dari PDAM yang
CATATAN
1. SANIMAS merupakan program sanitasi berbasis masyarakat dan program PAMSIMAS menyediakan pasokan air minum dan sanitasi
bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Perencanaan Pembangunan
dalam angka
USD 3.000
Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2010. Indonesia bercita-cita
mencapai pendapatan per kapita sebesar USD 14.250 pada tahun 2025,
pada saat berakhirnya periode dua puluh tahun Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional.
61
Peringkat Indonesia di antara 148 negara dalam hal kualitas infrastruktur,
berdasarkan Indeks Daya Saing Global Forum Ekonomi Dunia (World
Economic Forum) tahun 2013–2014. Ini suatu peningkatan dari tahun
sebelumnya, yakni peringkat ke-78 dari 144 negara.
6
2015
1.415 km
28.000 m
3
55%
Jumlah koridor ekonomi yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia sebagai
bagian dari strategi pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan dari
koridor tersebut (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara,
dan Papua–Kepulauan Maluku) menuntut infrastruktur yang tepat seperti
pelabuhan dan bandar udara, serta konektivitas antar pusat perekonomian.
Pada tahun tersebut Kementerian Keuangan berencana untuk meresmikan
Pusat Kerjasama Pemerintah Swasta, yang akan ditugaskan untuk
mendukung penyusunan dan evaluasi proyek, serta menentukan dukungan
yang akan diberikan melalui PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia
(Indonesia Infrastructure Guarantee Fund) atau dana pendamping proyek
(viability gap funding).
Panjang jalan nasional yang ditargetkan akan dibangun selama RPJMN
tahun 2010–2014. Pembangunan aktual melebihi target ini, dengan total
pembangunan mencapai 2.834 km.
Jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari di Jakarta.
Persentase rata-rata tingkat cakupan pelayanan perusahaan daerah air
minum (PDAM) di seluruh Indonesia. Sasaran Pembangunan Milenium
tahun 2015 menetapkan target cakupan sebesar 68%.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
55
56
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI
Pertanyaan:
Apakah menurut Anda Indonesia saat ini berada di jalur yang tepat
dalam meraih sasarannya untuk tahun 2025? Bagaimana cara RPJMN
berikutnya berkontribusi untuk meraih sasaran tersebut?
Suyono Dikun, PhD
Guru Besar Transportasi dan Kebijakan dan Perencanaan Infrastruktur, UI
Penasihat Utama, LASU, Kementerian Perhubungan
“RPJMN 2015–2019 memproyeksikan Indonesia sebagai negara yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera di tahun
2025. Beberapa lembaga internasional juga telah memprediksikan kemajuan Indonesia pada saat itu. Meski
demikian, perekonomian Indonesia yang lebih baik tampaknya akan sulit dicapai tanpa membangun infrastruktur
dengan skala penuh untuk menutup defisit dan kesenjangan yang ada saat ini. Oleh karena itu, pembangunan
infrastruktur penting bagi Indonesia untuk mendukung mobilitas dan pertumbuhan ekonomi menjelang 2025.
RPJMN 2015–2019 bukan saja harus berkontribusi untuk meraih tujuan tersebut, namun jauh lebih penting dari
itu, harus memiliki rencana pembangunan yang non-linier, inovatif, dan kreatif (“out of the box”). Infrastruktur
harus dibangun secara lebih radikal, dan perlu diingat bahwa sikap bekerja seperti biasanya (“business as
usual”) tidak akan memecahkan permasalahan negara ini. Periode 2015–2019 penting bagi Indonesia; kegagalan
dalam pembangunan infrastruktur akan berdampak fatal bagi daya saing global Indonesia, dan merugikan
perekonomian bangsa di masa datang.”
Ir. Montty Girianna, MSc, MCP, PhD
Direktur Divisi Energi, Sumber Daya Mineral, dan Pertambangan
Bappenas
“Ya, saya rasa Indonesia sudah berada di jalur yang tepat. Tujuan kita adalah negara yang kuat. Satu indikator
yang ingin kita capai adalah pendapatan per kapita sekitar USD 14.000 di tahun 2025. Saat ini pendapatan per
kapita kita sekitar USD 3.500. Oleh karena itu, dalam waktu sepuluh tahun kita harus melompat maju. Pekerjaan
rumah kita banyak. Pertanyaannya adalah: karena kita memiliki banyak sektor, seperti industri, jasa, pertanian,
dan lainnya, kita perlu memfokuskan perhatian pada sektor mana yang ingin kita kembangkan secara maksimal
untuk menstimulasi pertumbuhan pendapatan secara efektif. Menurut saya, sektor industri memiliki potensi
paling besar, terutama industri pengolahan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Saat ini, industri memberikan kontribusi sekitar 20–25 persen pada pertumbuhan. Agar sektor ini mampu memberi
kontribusi 30–40 persen dari GDP, kita membutuhkan strategi industri yang dapat diandalkan, baik ekspor maupun
impor. Kita menginginkan pertumbuhan di atas 6–7 persen, kalau mungkin 8 persen.
Pertanyaan lebih lanjut terkait mencapai tingkat pertumbuhan yang diinginkan tersebut: berapa banyak energi
yang harus kita siapkan untuk pasokan listrik, termasuk gas? Tentunya sangat besar.
Kalau kita ingin pertumbuhan per kapita 7–8 persen, berarti produksi energi kita hatus tumbuh sekitar 8–10
persen per tahun. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sulit sekali mengalokasikan gas untuk keperluan
dalam negeri, karena masalahnya adalah kebijakan harga, yang perlu diseimbangkan bukan hanya dari perspektif
ekonomi, tetapi juga menyangkut pertimbangan politik. Jadi persoalan harga energi, BBM, gas, dan elpiji – hal
tersebut akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Yang kita kerjakan saat ini adalah menyiapkan
platform untuk pemerintahan baru, tidak hanya membiarkan mereka membereskan persoalan tanpa dasar yang
cukup untuk pembuatan keputusan.
Situasi lain yang sangat mendesak bagi pemerintahan baru adalah mendapatkan konsensus dari pemangku
kepentingan utama dalam pemerintahan. Misalnya, di sektor energi ada beragam, seperti investor sebagai mitra
kerja, peran pemerintah sebagai regulator, dan seterusnya. Usaha kita tidak ada gunanya tanpa buy-in (konsensus)
dari semua orang. Menurut saya, kita sudah dalam jalur yang positif untuk mencapai tujuan nasional.
RPJMN sendiri merupakan sebuah tolak ukur (benchmark), mengenai arah yang kita ambil, sekaligus apa yang
sudah kita capai selama lima tahun ini. RPJMN merupakan dokumen perencanaan dan pada saat yang sama juga
merupakan dokumen politis, karena berfungsi sebagai referensi yang menyatukan semua pihak untuk bekerja
meraih tujuan bersama di masa depan.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
57
Menggerakkan
Orang di Jakarta
Edisi 17, April 2014
• Sistem Transportasi Umum Jakarta:
Sebuah Tinjauan
• TransJakarta: Janji Kinerja
• Jadi, Mau Jalan-Jalan?
• Memahami Struktur Tarif dan Sistem
Tiket Transportasi Umum di Jakarta
• Melibatkan Sektor Swasta
dalam Penyediaan Layanan
Transportasi Umum
• Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana
Penyandang Disabilitas Mengakses
Sistem Transportasi Jakarta
• Mengelola Pembiayaan
Transportasi Perkotaan:
Tantangan bagi Pemimpin Daerah
• Uraian Kegiatan
POIN-POIN UTAMA
Sistem transportasi umum di Jakarta sangat beragam. Sistem ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor),
bajaj (becak bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/mikrolet dengan 9–14 tempat duduk);
dan juga berbagai jenis bus dan kereta api berat, dan di masa mendatang, layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan
monorel. Masing-masing moda ini memainkan peran, baik yang lebih penting maupun yang kurang penting,
namun moda-moda tersebut pada saat ini sering digunakan secara tidak efisien.
Baik ojek maupun bajaj berguna untuk perjalanan jarak dekat dan di jalan sempit. Tapi kedua moda ini cenderung
berbahaya dan merusak lingkungan, dan seharusnya peran mereka dikurangi dalam sistem transportasi umum.
Taksi merupakan komponen penting dari sistem transportasi umum di Jakarta. Besarnya permintaan untuk
layanan taksi pada saat ini hampir pasti disebabkan karena kurangnya alternatif yang layak.
Angkot atau mikrolet paling cocok untuk trayek-trayek pendek yang menghubungkan daerah pemukiman
dengan pusat komersial di dekatnya dan terminal-terminal bus. Namun, banyak mikrolet beroperasi pada
trayek-trayek panjang di jalan utama, dan menduplikasi layanan bus.
Bus-bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar beroperasi dalam jaringan ekstensif di seluruh
pelosok Jakarta. Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah Bus Rapid Transit (BRT). Jenis layanan bus lain, dengan
berbagai ukuran dan tingkat kenyamanan, meliputi sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda.
Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang memenuhi standar internasional untuk desain bus
perkotaan, namun kebutuhan untuk mengganti kendaraan yang semakin tua membuka kesempatan untuk
mengatasi persoalan ini. Bus yang lebih besar daripada yang saat ini beroperasi di kebanyakan trayek
dapat digunakan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan, serta mengurangi dampak lingkungan.
Sekali lagi, proses penggantian kendaraan membuka kesempatan untuk meningkatkan keadaan ini. Transisi
menuju armada kendaraan yang lebih kecil dan efisien harus dikelola secara sensitif untuk meminimalisir
dampak sosial yang merugikan, berhubung banyak operator kecil/sopir mengandalkan bus kecil untuk mata
pencaharian mereka.
Layanan komuter yang dioperasikan oleh penyelenggara kereta api nasional, dilengkapi dengan sistem monorel
dan MRT, yang akan mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017, akan meningkatkan kapasitas dan daya tarik
transportasi umum. Namun, moda-moda yang sudah ada akan terus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
sebagian besar penglaju di seluruh DKI Jakarta.
Menggerakkan Orang di Jakarta
SISTEM TRANSPORTASI UMUM
JAKARTA: SEBUAH TINJAUAN
Sistem transportasi umum Jakarta terdiri dari beragam moda yang
meliputi sepeda motor, mobil angkutan kota, taksi, dan bus berbagai
ukuran. Masing-masing moda memiliki peran yang tepat untuk
mengangkut orang secara aman, dengan harga terjangkau, dan
dengan mudah ke seluruh penjuru kota. Sistem yang ada saat ini tidak
efisien, namun langkah-langkah sedang diambil untuk mengubahnya.
Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Sistem transportasi umum Jakarta sangat beragam. Sistem
ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor), bajaj (becak
bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/
mikrolet (mobil dengan 9–14 tempat duduk); dan juga bus
dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar; serta
kereta api. Semua ini akan dilengkapi di masa depan dengan
layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel. Modamoda ini memiliki karakteristik, kelebihan, dan kekurangan
masing-masing. Namun, pelayanan transportasi tidak
selalu disediakan oleh moda yang paling tepat.
Ojek menjadi semakin umum di Jakarta. Transportasi ini
memiliki keunggulan dapat bergerak lebih cepat dan mudah
melalui lalu lintas yang padat, serta murah untuk diperoleh
dan mudah dioperasikan. Kendaraan ini memberikan
manfaat yang berguna dalam mengangkut penumpang
untuk perjalanan jarak dekat ke dan dari pemberhentian bus
atau stasiun kereta api, serta melalui jalan sempit dan kecil
yang tidak dilayani oleh moda transportasi umum lainnya.
Di Jakarta, ojek lebih banyak digunakan sebagai pengganti
bus dan taksi di jalan utama, terutama karena keunggulan
kendaraan ini bisa bergerak cepat menyusuri jalanan kota
yang mengalami kemacetan.
Ojek tidak diatur oleh pemerintah, dan tidak tersedia
angka resmi mengenai jumlahnya. Meski demikian,
terdapat beberapa ribu unit transportasi ini, dan angka
ini terus meningkat secara teratur. Ojek sering dikendarai
dengan sembarangan dan berbahaya (termasuk di trotoar
ketika jalan raya mengalami kemacetan). Dengan basis
perhitungan per penumpang, moda ini berkontribusi
tinggi terhadap polusi atmosfer dan suara, serta
kemacetan lalu lintas. Meski dapat berkontribusi dalam
pemenuhan kebutuhan mobilitas perkotaan, perannya
yang tepat terbatas, dan beberapa cara harus ditemukan
untuk menyingkirkan mereka dari sektor pasar dengan
moda lain yang lebih cocok.
Bajaj, yang berbasis respon-terhadap-permintaan dan
dapat mengangkut sampai dengan tiga penumpang seperti
halnya taksi, banyak digunakan di Jakarta, terutama untuk
menempuh perjalanan jarak dekat. Seperti taksi, bajaj
dapat bergerak mencari penumpang atau menunggu di
tempat tertentu. Diperkirakan ada sekitar 13.000 unit bajaj
beroperasi di DKI Jakarta (Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta).
Kebanyakan bajaj, yang dicat oranye, sudah berusia lebih
dari 20 tahun, dan menggunakan mesin bensin dua tak
Prakarsa Compendium | Jilid 3
61
62
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Peran BRT
Bus Rapid Transit (BRT) adalah moda transportasi penumpang
bervolume tinggi, yang menggunakan bus yang dioperasikan di
sepanjang jalur khusus (busway), yang secara fisik terpisah dari
lalu lintas jalan raya lainnya. Di tempat busway bersinggungan
dengan jalan berlalu lintas lainnya, sinyal lalu lintas umum
mulai dipakai untuk memberikan prioritas kepada bus untuk
meminimalisir waktu perjalanan bus. Di persimpangan yang
sangat ramai, busway mungkin bisa dipisahkan lintasannya
dengan menggunakan flyover atau underpass; perangkat
tambahan seperti itu tidak diaplikasikan di Jakarta pada
saat ini, namun beberapa telah dimasukkan dalam rencana
pemutakhiran koridor.
Semakin tinggi kecepatan operasional yang dimungkinkan oleh
hak eksklusif penggunaan lahan dan langkah prioritas, ditambah
dengan penggunaan bus berkapasitas tinggi, memungkinkan
volume penumpang yang semakin besar yang dapat
diangkut: lebih dari 10.000 penumpang dapat diangkut per
jam di setiap arah, jauh lebih banyak daripada yang bisa
dilakukan pada layanan bus konvensional yang harus berbagi
ruang jalan dengan lalu lintas lainnya, atau dengan mobil pribadi
atau sepeda motor.
Namun volume sebesar itu dapat dicapai hanya apabila
eksklusivitas busway ditegakkan dengan efektif, apabila ada
prioritas yang efektif untuk bus di persimpangan, apabila bus
berkapasitas tinggi dan spesifikasi tepat dioperasikan, dan
apabila operasional layanan berjalan secara efisien.
Kapasitas busway memang bukan tidak terbatas, namun:
sebagai patokan, sebuah busway dengan jalur tunggal di setiap
arah tidak bisa mengakomodasi lebih dari 100 bus (tanpa
memperhatikan ukuran) per jam di setiap arah. Oleh sebab itu,
untuk kapasitas penumpang maksimal, perlu dioperasikan busbus berukuran maksimal, yang biasanya berarti mengerahkan
bus gandeng berukuran besar. Di beberapa kota di negara
lain, telah digunakan bus gandeng dobel (bi-articulated bus)
yang masing-masing mengangkut lebih dari 250 penumpang.
Penggunaan bus yang lebih kecil akan mengurangi total
kapasitas yang tersedia, dan ini akan sangat merugikan ketika
volume penumpang besar. Juga harus ada peraturan bahwa
pada beberapa perhentian yang memungkinkan satu bus untuk
mendahului yang lain, sehingga dibutuhkan jalur ganda busway
pada bentangan tertentu dari suatu koridor.
Layanan BRT, terutama di mana konfigurasi bus yang dipilih
memerlukan penyediaan platform yang ditinggikan untuk
menaikkan penumpang, membutuhkan banyak infrastruktur
di setiap halte. Ini memerlukan interval antar-pemberhentian
yang lebih panjang daripada yang praktis untuk layanan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bus konvensional. Layanan konvensional membutuhkan
infrastruktur minim, sehingga pemberhentian bus biasanya
diberi jarak yang lebih berdekatan; ini memberi kenyamanan
yang lebih bagi penumpang, dan terutama bermanfaat bagi
penumpang jarak pendek. Peningkatan jarak dari pemberhentian
BRT akan memungkinkan kecepatan pengoperasian yang
lebih tinggi, tetapi juga memperpanjang jarak rata-rata
berjalan kaki ke pemberhentian bus, dengan efek buruk pada
kenyamanan penumpang. Oleh karenanya, sampai pada
batas tertentu, layanan BRT dan layanan bus konvensional
saling melengkapi dalam hal melayani sektor-sektor pasar
yang berbeda, dengan BRT melayani penumpang untuk jarak
yang lebih jauh dan bus konvensional melayani mereka yang
menempuh jarak yang lebih dekat.
Untuk volume penumpang yang sangat tinggi, yang tidak dapat
secara memadai ditampung oleh layanan BRT, moda dengan
kapasitas yang lebih besar, misalnya kereta api ringan atau berat,
harus disediakan. Layanan kereta api komuter yang dioperasikan
oleh perusahaan kereta api nasional telah memainkan peran
penting, yang akan segera ditingkatkan oleh layanan MRT dan
monorel. Pengaturan jarak antara stasiun kereta api biasanya
lebih jauh dibandingkan dengan pengaturan jarak layanan BRT,
dan oleh karena itu, besar kemungkinan akan tetap ada peran
baik bagi BRT maupun layanan bus konvensional, bahkan pada
koridor yang akan dilayani kereta api.
Oleh karena itu, sementara BRT memiliki peran yang penting
untuk dimainkan, peran ini tidak boleh dirancukan dengan
peran moda transportasi umum lainnya. Layanan BRT dan
kereta api sangat penting untuk melayani pergerakan volume
tinggi pada koridor utama, namun layanan-layanan ini harus
dilengkapi dengan bus konvensional, mikrolet, taksi, bajaj, dan
bahkan ojek untuk memenuhi permintaan volume yang lebih
kecil, dan di tempat-tempat di mana terdapat pola perjalanan
yang kompleks dan tidak mengikuti koridor-koridor utama.
Namun, setiap moda harus dibatasi pada layanan yang sanggup
mereka berikan secara paling baik, dan untuk itu, langkahlangkah efektif diperlukan untuk menjamin koordinasi dan
integrasi layanan. Persyaratan minimal untuk pertukaran antar
moda, dan pertukaran yang mulus harus dapat dipenuhi untuk
mengatasi hal-hal yang tidak dapat dihindari.
dengan tingkat emisi yang tinggi. Banyak bajaj yang berada
dalam kondisi yang sudah sangat buruk, bahkan berbahaya.
Bajaj yang lebih baru dan bercat biru memakai bahan bakar
gas. Ada rencana untuk secara bertahap mengganti semua
bajaj dengan kendaraan bertenaga listrik yang bersih. Bajaj
mempunyai peran berguna dalam mengangkut kelompok
kecil orang untuk jarak dekat di sepanjang jalan yang sempit
Menggerakkan Orang di Jakarta
Pengemudi ojek dan angkot menunggu penumpang di jalan raya yang ramai di Jakarta ini.
di daerah pemukiman, tetapi kurang sesuai digunakan di
jalan utama, di mana kecepatannya yang rendah dan desain
yang terbuka menjadikan kendaraan dan penumpangnya
rentan. Apabila tersedia layanan transportasi umum yang
lebih formal dan dengan kualitas lebih baik, khususnya
layanan bus, besar kemungkinan permintaan akan bajaj
menjadi sangat berkurang.
Taksi (sedan yang membawa sampai empat penumpang,
selain sopir) merupakan komponen yang signifikan dalam
sistem transportasi publik di seluruh Jakarta. Semua
dilengkapi dengan argo, dan bergerak untuk mencari
penumpang atau menunggu di tempat tertentu, seperti
stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, hotel,
dan gedung perkantoran.
Atas perkenan Richard Iles
Terdapat lebih dari 12.000 taksi yang beroperasi di DKI
Jakarta, yang dioperasikan oleh hampir 50 perusahaan,
dengan berbagai ukuran. Beberapa perusahaan besar,
seperti taksi Blue Bird dan Express, masing-masing
mengoperasikan beberapa ribu unit kendaraan. Seperti
halnya di kota-kota besar, peran utama taksi di Jakarta
adalah mengangkut penumpang hingga empat orang dari
satu tempat ke tempat lainnya, terutama bila tidak ada
koneksi transportasi umum yang mudah atau langsung.
Meski demikian, sebagian besar kebutuhan yang ada
terhadap taksi dipastikan disebabkan oleh kurangnya
alternatif transportasi umum yang memenuhi syarat. Apabila
layanan MRT dan monorel diperkenalkan, dan peningkatan
diterapkan pada layanan Bus Rapid Transit (BRT) dan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
63
64
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta – Permasalahan dan Solusi
Masalah
Layanan yang menyulitkan
Sebab utama
Penanggulangannya
Sistem pengoperasian yang informal dan
struktur tarif rata mendorong terbentuknya
trayek-trayek pendek
Jaringan trayek yang menyediakan lebih banyak
sambungan langsung, mensyaratkan adanya
struktur tarif yang lebih kompleks; diperlukan
struktur yang lebih formal
Penyediaan pemberhentian bus dan halte
bus khusus yang tidak konsisten
Penyediaan pemberhentian bus dan halte bus
dalam jarak yang sesuai sepanjang semua trayek,
dan penegakan penggunaannya
Kendaraan dengan desain dan
spesifikasi buruk
Layanan tidak nyaman
Penyediaan kombinasi jenis kendaraan
yang sesuai dalam jumlah yang memadai
Kombinasi armada bus yang tidak sesuai
Kapasitas yang tidak memadai berakibat
pada kelebihan kapasitas penumpang
Peningkatan penggunaan kendaraan melalui
praktik pengoperasian yang lebih baik
Kemacetan lalu lintas: kapasitas jalan
tidak memadai untuk volume lalu lintas;
pengelolaan lalu lintas yang buruk;
penegakan peraturan lalu lintas yang buruk
Prioritas bagi transportasi umum
Pembatasan pemakaian sarana
transportasi pribadi
Armada transportasi umum dalam kondisi
buruk dan tidak aman
Sediakan fasilitas pemeliharaan bus resmi;
hapus praktik pengoperasian tidak efisien yang
membatasi penghasilan dana untuk pemeliharaan
dan penggantian; tingkatkan penegakan peraturan
Biaya transportasi tinggi bagi
masyarakat berpenghasilan rendah
Praktik pengoperasian yang tidak efisien
mengakibatkan peningkatan biaya
Formalkan industri bus
Kondisi bagi pejalan kaki yang sulit
dan tidak aman, sehingga tidak
mendorong orang untuk berjalan
kaki dan membatasi akses terhadap
transportasi umum*
Fasilitas buruk bagi pejalan kaki
Buruknya penegakan peraturan; buruknya
desain dan pemeliharaan infrastruktur
Tingkatkan standar dan penegakan hukum
Layanan yang tidak dapat diandalkan
Kecepatan layanan rendah,
waktu perjalanan yang berlebihan
Standar keselamatan rendah
Tingkat emisi gas buangan
yang berlebihan
*Keadaan seperti ini sangat sulit untuk penyandang disabilitas. Lihat artikel di hal. 85 mengenai topik ini lebih lanjut.
layanan bus lainnya, ada kemungkinan permintaan terhadap
taksi akan berkurang secara substansial. Khususnya, jika
kondisi lalu lintas ditingkatkan untuk memungkinkan
kecepatan operasional bus yang lebih tinggi, ini dapat
memicu munculnya layanan bus yang handal dan nyaman
dengan kualitas premium, yang menarik tarif lebih tinggi
dari bus yang ada, tetapi lebih rendah dari taksi. Ini akan
secara signifikan memperlemah bisnis taksi, sementara
pada saat yang sama menyediakan bisnis menguntungkan
bagi operator bus.
Angkot atau mikrolet beroperasi di seluruh pelosok Jakarta.
Sekitar 16.500 unit beroperasi di kota, pada sekitar 150
trayek. Pada umumnya pemilik adalah perorangan atau
usaha kecil, yang banyak di antaranya hanya memiliki satu
kendaraan. Angkot dan mikrolet paling cocok digunakan
untuk trayek pendek yang menghubungkan daerah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
pemukiman dengan pusat komersial di dekatnya dan
terminal bus, di sepanjang jalan yang tidak sesuai untuk
kendaraan-kendaraan yang lebih besar. Meski demikian,
sejumlah besar mikrolet beroperasi pada trayek panjang di
jalan utama, sehingga menimbulkan duplikasi layanan yang
dioperasikan oleh bus yang lebih besar. Trayek-trayek seperti
itu akan lebih efisien jika dioperasikan oleh kendaraan yang
lebih besar dalam yang lebih sedikit, sehingga memerlukan
ruang jalan raya yang lebih kecil per penumpang, dengan
biaya operasional yang lebih rendah, dan menimbulkan
lebih sedikit polusi.
Bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar
merupakan komponen yang paling jelas terlihat dari
sistem transportasi umum, dan beroperasi dengan
jaringan trayek yang ekstensif di seluruh penjuru Jakarta.
(Lihat Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta –
Permasalahan dan Solusi)
Menggerakkan Orang di Jakarta
Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah sistem BRT yang
dioperasikan oleh TransJakarta (lihat Boks, “Peran BRT”).
Sistem ini terdiri dari busway eksklusif pada 12 koridor
trayek, dengan dua koridor baru akan ditambahkan tidak
lama lagi. Koridor yang pertama (koridor 1, dari Kota ke Blok
M) mulai beroperasi pada tahun 2004, dan sistem Jakarta
sekarang mempunyai jarak tempuh busway tertinggi
(170km) di antara busway khusus di dunia. Terdapat
579 bus terartikulasi dan tunggal dalam armada busway
pada akhir bulan Desember 2013, dan 300 bus lagi akan
dikirimkan pada tahun 2014.
Busway tersebut umumnya berada di sepanjang lajur
tengah dari jalur lalu lintas ganda. Oleh karena itu,
sebagian besar pemberhentian bus berada di tengah jalan,
dan diakses melalui jalur bawah tanah, penyeberangan
pejalan kaki sejajar yang diatur secara sederhana,
atau – dalam kebanyakan kasus − melalui jembatan.
Trayek inti BRT beroperasi sepenuhnya sepanjang jalur
busway, namun semakin lama semakin banyak “layanan
langsung” yang diperkenalkan, yang beroperasi sebagian
di jalur busway dan sebagian di jalan biasa atau jalan tol.
Beberapa dari layanan ini beroperasi dari dan ke titik-titik
di luar DKI Jakarta.
Terdapat sekitar 500 trayek bus non-BRT yang beroperasi di
Jakarta; lebih dari 70 trayek beroperasi di sepanjang koridor
tersibuk, Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, berdampingan
dengan BRT Koridor 1. Masing-masing trayek dioperasikan
oleh operator tunggal (yang mungkin merupakan sebuah
perusahaan atau koperasi yang terdiri dari banyak pemilik
perorangan), biasanya menggunakan satu jenis kendaraan.
Menurut sebuah studi JICA, pada tahun 2010 ada sekitar
1.000 bus berukuran besar dan 2.500 bus berukuran
sedang yang beroperasi di DKI Jakarta, tidak termasuk
yang dioperasikan pada sistem BRT. Angka pastinya
sulit diketahui karena beberapa bus berlisensi tidak
dioperasikan, sementara beberapa yang lain dioperasikan
secara ilegal tanpa izin, meski persoalan-persoalan ini
sedang ditangani oleh badan pengatur transportasi daerah
(Dinas Perhubungan, atau Dishub).
Jenis-jenis layanan bus yang berbeda di Jakarta itu meliputi
sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Jenis
layanan yang ada termasuk BRT, Patas (yang dilengkapi
layanan dengan perhentian terbatas, baik yang ber-AC
maupun yang tidak ber-AC, umumnya melayani trayek yang
lebih panjang), dan bus reguler (kendaraan dengan standar
dasar yang melayani semua perhentian bus, walaupun
dalam praktiknya tidak berhenti di semua perhentian,
dan bus cenderung berhenti di mana saja). Bus reguler
dapat dibagi menjadi bus besar (biasanya dengan badan
sepanjang 12 meter, membawa 50–70 penumpang) dan bus
Apa yang Dilakukan IndII untuk Membantu
IndII telah dan sedang mendukung DKI Jakarta untuk
meningkatkan standar pelayanan transportasi umum di provinsi
ini melalui Program Peningkatan TransJakarta (TransJakarta
Improvement Program), yang dimulai pada tahun 2012.
Program ini dibagi menjadi dua sub-kegiatan. Yang pertama
difokuskan pada peningkatan pengelolaan, operasional, dan
kinerja keuangan dari sistem BRT TransJakarta, dengan satu tim
ahli bekerja sama dengan manajemen TransJakarta di kantor
pusat mereka di Cawang. Tim ini memberi saran dan dukungan
praktis dalam operasional sehari-hari serta memberi dukungan
dengan perencanaan strategis jangka panjang.
Sub-kegiatan kedua lebih luas. Intinya, sub-kegiatan ini terutama
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan transportasi umum
non-BRT, khususnya layanan bus konvensional dan mikrolet
yang ada di seluruh Jakarta. Satu tim tersendiri, yang terdiri
dari spesialis dalam perencanaan transportasi umum, regulasi,
operasional dan perekayasaan, ditempatkan di kantor pusat
badan pengatur transportasi Jakarta (Dishub) dan memberi
dukungan dan saran kepada petugas-petugas kunci mengenai
berbagai persoalan jangka panjang, termasuk formalisasi sektor
transportasi umum, perencanaan jaringan trayek, desain dan
pemeliharaan bus, tarif dan urusan tiket, serta regulasi.
Dalam waktu dekat tim ini juga memberi dukungan dengan
tugas-tugas yang mendesak, seperti perencanaan dalam
mengerahkan armada sebanyak 346 unit bus yang dibeli oleh
Gubernur DKI Jakarta, dan perencanaan trayek baru yang
diusulkan. Tantangan utamanya adalah untuk mengatasi
gangguan terhadap lalu lintas pada saat berlangsungnya
pembangunan MRT, dan kemudian perlunya melakukan
koordinasi moda-moda transportasi umum jalan dan kereta api
ketika MRT sudah mulai dioperasikan.
ukuran sedang (dengan panjang 8–9 meter, mengangkut
30–50 penumpang). Beberapa bus ukuran sedang yang baru
sudah dilengkapi AC, namun sebagian besar tidak.
Masing-masing layanan bus dan jenis kendaraan yang
berbeda diperlukan untuk memenuhi berbagai jenis
kebutuhan. Saat ini, penugasan peran tidak selalu tepat:
Misalnya, mayoritas layanan yang disediakan oleh bus
ukuran sedang akan lebih efisien bila disediakan oleh
bus ukuran besar. Meski demikian, semua jenis layanan
bus yang saat ini beroperasi diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan sektor-sektor pasar yang berbeda, dan peran
masing-masing yang tepat harus diakui.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
65
66
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Transportasi Pribadi – Lingkaran Setan
yang Harus Dipatahkan
Masalah kemacetan di Jakarta sudah sangat terkenal. Kemacetan
terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa, kapasitas sistem
jalan yang telah ada tidak memadai untuk volume lalu lintas
yang menggunakannya. Dan volume ini meningkat dari hari ke
hari: dilaporkan bahwa jumlah sepeda motor saja bertambah
sekitar 1.000 unit setiap hari. Mobil pribadi dan sepeda
motor, dalam hal ruang jalan yang dibutuhkan per orang,
mempunyai tuntutan yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan transportasi umum, khususnya bus berkapasitas tinggi.
Sayangnya, pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa
meningkatkan ruang jalan dengan membangun jalan baru atau
melebarkan jalan yang telah ada hanya menimbulkan lalu lintas
baru yang akan mengisi ruang tambahan tersebut, dan hasilnya
jalan justru menjadi lebih macet daripada sebelumnya. Oleh
karena itu, langkah ini bukan solusi jangka panjang yang layak;
bagaimanapun, penyediaan ruang jalan baru sangat mahal dan
juga sangat merusak lingkungan hidup.
Jakarta dihadapkan pada sebuah lingkaran setan. Layanan
transportasi umum yang tidak menarik menyurutkan minat
pengguna: mereka yang mampu akan beralih ke kendaraan
pribadi, terutama sepeda motor dan mobil. Kendaraan pribadi
tambahan ini menambah kemacetan, memperpanjang waktu
perjalanan bagi semua orang. Transportasi umum menjadi
semakin tidak menarik – apabila seorang komuter harus
menghabiskan waktu berjam-jam per minggu dalam kemacetan
lalu lintas, akan jauh lebih menyenangkan baginya untuk
berada dalam kenyamanan dan privasi sebuah mobil pribadi
daripada berdiri di bus komuter yang penuh sesak. Selain itu,
beralihnya penumpang transportasi umum ke transportasi
pribadi juga berarti penurunan pendapatan bagi operator
transportasi, dan lebih sedikit uang untuk dibelanjakan pada
pemeliharaan atau peremajaan armada − sehingga kondisi
kendaraan memburuk dan terjadi penurunan kapasitas
sistem secara keseluruhan. Jika harga tiket dinaikkan untuk
mengkompensasi penurunan penumpang, bahkan lebih
banyak orang akan mencari transportasi alternatif. Singkatnya,
kualitas dan daya tarik transportasi umum akan menurun, dan
biayanya akan meningkat.
Diperkenalkannya sistem BRT telah banyak membantu dalam
menangani masalah ini, dan baru-baru ini Gubernur telah
memprakarsai pembelian sejumlah besar armada bus baru
untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas sistem transportasi
umum. Dalam jangka panjang akan ada MRT dan monorel.
Namun, meningkatkan transportasi umum saja tidak akan
cukup. Sebuah bus, senyaman apapun, tidak akan pernah lebih
menarik daripada mobil, apabila bus tersebut terjebak diam di
tengah kemacetan. Bahkan BRT masih mengalami penundaan
serius di persimpangan lalu lintas. MRT dan monorel tidak akan
terjebak kemacetan lalu lintas, tetapi tersedia hanya untuk
jumlah penglaju yang relatif kecil, dan mereka yang bertempat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
tinggal jauh dari stasiun, yang tidak dengan mudah terjangkau
hanya dengan berjalan kaki, tetap harus menggunakan jalan
yang berlalu lintas padat untuk mengakses sistem tersebut.
Pemerintah telah lama mengakui bahwa langkah-langkah positif
diperlukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
dan mendorong penggunaan transportasi umum, dan telah
mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Aturan
3-in-1 di Jakarta merupakan langkah berani untuk mendorong
tingkat okupansi kendaraan yang tinggi, dan oleh karenanya,
menjadikan pemakaian ruang jalan lebih efektif, meski
dampaknya telah dilemahkan oleh praktik umum membayar
joki untuk ikut naik mobil, hanya agar jumlah penumpang
terpenuhi. Terdapat usul dan rencana untuk membatasi lebih
jauh kendaraan pribadi, termasuk jalan berbayar yang diatur
secara elektronik dan pembatasan penggunaan sepeda motor di
bagian-bagian kota tertentu – yang kesemuanya harus disambut
baik. Langkah-langkah lain harus mencakup pembatasan
atau pelarangan parkir yang tegas di jalan tertentu, dan
penegakan atas semua hukum dan peraturan lalu lintas secara
tegas. Beberapa jalan mungkin harus diberi pelarangan untuk
transportasi pribadi, dan hanya dapat diakses oleh transportasi
umum atau ditempuh dengan berjalan kaki.
Prioritas yang lebih banyak juga harus diberikan kepada
transportasi umum, melalui metode seperti pemisahan jalur
bus di jalan di mana bus lain, akan tertunda oleh kemacetan
lalu lintas (ini dilakukan sebagai tambahan atas jalur busway
BRT, dan pada beberapa koridor akan bergerak paralel dengan
busway); dengan mengizinkan bus untuk berbelok kanan, di
mana hal ini dilarang untuk kendaraan lain; dan mengizinkan
bus untuk beroperasi melawan arus lalu lintas di jalan satu-arah
pada jalur bus yang dipisahkan. Pemberhentian bus khusus,
dengan naungan atap bila perlu, harus disediakan pada lokasilokasi yang nyaman, dengan pengaturan jarak yang sesuai, di
sepanjang jalan yang dilayani oleh bus, tidak hanya pada koridorkoridor utama. Selain itu, akses atas layanan transportasi umum
harus difasilitasi dengan menegakkan peraturan mengenai
penggunaan trotoar, sehingga semua pejalan kaki, termasuk
pengguna transportasi umum, dapat memakai semua trotoar
yang tersedia di kota dengan aman dan tanpa hambatan.
Paket tindakan seperti itu dapat membalikkan lingkaran
setan yang terjadi. Layanan bus akan menjadi lebih cepat,
lebih menyenangkan, dan lebih nyaman; menjadikan waktu
perjalanan lebih singkat dan meningkatkan pendapatan per
kilometer, sehingga memungkinkan harga tiket untuk tetap
rendah sementara meningkatkan tingkat keuntungan dengan
subsidi minimal atau tanpa subsidi sama sekali. Orang akan
bepergian lebih cepat, lebih aman di seluruh penjuru kota yang
lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menyenangkan.
Pesan utamanya sudah jelas: peningkatan transportasi
umum harus berjalan seiring dengan langkah positif untuk
mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Jika tidak,
bepergian di Jakarta akan terasa tidak tertahankan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Bus yang digunakan untuk layanan reguler memberikan
kenyamanan dan fasilitas yang mendasar. Bus Patas
biasanya memberikan standar kenyamanan yang lebih
tinggi; beberapa di antaranya ber-AC, dan dalam kasus
bus ber-AC tarif yang dibebankan juga lebih tinggi.
Beberapa bus, yang diperoleh dalam keadaan bekas dari
Jepang, dikonfigurasi sebagai bus kota dengan lantai
yang relatif rendah untuk menyediakan akses mudah dan
mengakomodasi penumpang berdiri dalam jumlah banyak.
Tetapi, sebagian besar dari bus yang digunakan di Jakarta,
selain bus TransJakarta, lebih cocok untuk perjalanan jarak
jauh antarkota, daripada untuk operasional dalam kota.
Standar internasional yang berlaku saat ini untuk desain
bus perkotaan didasarkan pada konfigurasi lantai yang
rendah dengan pintu penumpang yang lebar (biasanya
dua atau tiga pintu pada kendaraan dengan ukuran paling
besar) yang menyediakan akses yang cepat, nyaman,
dan aman saat naik dan turun bagi semua penumpang.
Kemudahan akses ini relevan untuk semua penumpang,
tetapi terutama bagi mereka yang menyandang gangguan
mobilitas atau yang membawa barang atau anak kecil.
Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang
memenuhi standar ini, namun kebutuhan untuk mengganti
kendaraan yang sudah tua memberikan kesempatan untuk
mengatasi persoalan ini.
Yang juga menjadi perhatian adalah campuran ukuran
bus, dengan dominasi bus ukuran sedang. Sebagai aturan
umum, untuk layanan bus perkotaan dengan volume
penumpang yang tinggi, kendaraan yang paling efisien
adalah yang berukuran terbesar yang dapat dengan aman
dan mudah digunakan dalam batasan sistem jalan yang ada.
Pada beberapa trayek di Jakarta, termasuk banyak yang
digunakan oleh angkutan kota atau bus berukuran sedang,
bus terartikulasi yang menampung hingga 200 penumpang,
termasuk penumpang berdiri, dapat digunakan dengan
aman, bahkan di jalan biasa; di sebagian besar trayek, bus
standar dengan dek-tunggal sepanjang 12 meter praktis
untuk dipakai. Bus yang lebih besar menggunakan ruang
jalan secara lebih ekonomis dan memerlukan jumlah
sopir yang lebih sedikit. Selain itu, modal dan biaya
operasional per penumpang/km selama masa pakai
kendaraan, serta emisi gas buangnya, lebih rendah daripada
bus-bus yang lebih kecil.
Sekali lagi, proses penggantian kendaraan akan
memungkinkan bus-bus yang lebih kecil untuk secara
bertahap digantikan dengan bus-bus yang lebih besar,
sehingga memungkinkan berkurangnya jumlah keseluruhan
bus. Akan terus ada kebutuhan terbatas untuk bus-bus
berukuran lebih kecil, misalnya pada trayek di mana
permintaan rendah atau kondisi jalan tidak cocok untuk
bus yang lebih besar. Banyak orang menggantungkan mata
pencaharian mereka pada bus kecil, dan transisi menuju
armada kendaraan yang lebih kecil dan lebih efisien
penting untuk dikelola secara sensitif dan bertahap, untuk
meminimalisir dampak sosial yang merugikan.
Peran yang dimainkan layanan komuter yang dioperasikan
oleh penyelenggara kereta api nasional juga cukup
besar. Layanan kereta api ini akan dilengkapi dengan
sistem monorel dan MRT, yang masing-masing akan
mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. Layananlayanan baru ini akan meningkatkan kapasitas dan daya
tarik transportasi umum pada masing-masing koridor,
namun moda-moda yang sudah ada akan terus berlangsung
untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar penglaju di
seluruh DKI Jakarta. ●
Tentang Para Penulis:
Richard Iles adalah spesialis dalam perencanaan, organisasi,
dan pengelolaan sistem transportasi umum, dengan
pengalaman hampir 50 tahun di industri transportasi jalan,
baik sebagai manajer maupun konsultan. Berasal dari Inggris,
ia telah bekerja di lebih dari 30 negara, terutama di negaranegara berkembang. Ia pernah terlibat dalam beberapa
proyek konsultasi transportasi di Indonesia, dimulai dengan
studi logistik nasional pada tahun 1975, dan saat ini bekerja
pada sebuah proyek IndII untuk mendukung DKI dalam
meningkatkan pelayanan transportasi umum berbasis jalan di
Jakarta. Bukunya “Transportasi Umum di Negara Berkembang”
diterbitkan pada tahun 2005.
Menyebut dirinya sendiri sebagai “penggemar pendidikan
transportasi umum”, Rudi Wahyu Setiaji adalah konsultan
IndII. Ia memulai karirnya sebagai asisten peneliti di
Laboratorium Rekayasa Jalan dan Lalu Lintas di Institut
Teknologi Bandung, di mana ia mengambil spesialisasi
dalam bidang manajemen lalu lintas, operasional dan
manajemen kereta api, dan perencanaan transportasi umum.
Ia juga mengajar perencanaan transportasi di Departemen
Perencanaan Perkotaan dan Wilayah, Universitas Diponegoro,
sebelum bergabung dengan program IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
67
POIN-POIN UTAMA
TransJakarta hanya melayani proporsi kecil dari jutaan perjalanan yang dilakukan orang-orang di Jakarta.
Jumlah penumpang terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi itu hanya karena dibukanya koridor-koridor
baru. Belum ada pergeseran yang signifikan dari pengguna mobil dan motor menjadi penumpang TransJakarta.
Malah, jumlah penumpang menurun dari tahun 2011 hingga 2013. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
masalah kenyamanan dan keterandalan.
Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem jatuh pada badan pengawas transportasi daerah
(Dinas Perhubungan, atau Dishub). Sistem ini disubsidi terlalu besar, menciptakan posisi keuangan yang tak
berkelanjutan untuk masa depan.
Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja operasi TransJakarta. Upaya untuk membeli lebih banyak
bus hanya akan membantu jika dilakukan dalam konteks perencanaan yang baik dengan investasi memadai
pada infrastruktur dan sistem tiket modern bagi penumpang.
Proposal untuk perbaikan kinerja meliputi strategi kelembagaan, perencanaan dan investasi, penumpang,
dan pembangunan kapasitas. Solusinya sederhana dari segi perencanaan, tapi sulit untuk diterapkan.
Target sekitar 650.000 penumpang per hari dan pengurangan besar subsidi mungkin dilakukan sebelum
tahun 2018 jika pendekatan pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung naskah Rencana Usaha
TransJakarta diadopsi. Keputusan untuk membentuk perusahaan negara baru untuk mengawasi pelayanan dan
pengembangan masa depan TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk tahun 2014.
Badan TransJakarta baru harus: berinvestasi pada depot bus milik pemerintah dan sarana pengisian bahan
bakar layak yang berlokasi strategis; mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana modal yang langka
untuk membeli bus-bus milik pemerintah; berinvestasi pada infrastruktur koridor; melakukan perencanaan
yang tepat; mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis di dalam organisasi baru TransJakarta;
dan mengatur lalu lintas mobil dan motor dengan memungut denda untuk menggunakan koridor busway dan
meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota.
Menggerakkan Orang di Jakarta
TRANSJAKARTA: JANJI KINERJA
TransJakarta belum memenuhi potensinya untuk memberikan
pelayanan yang aman, nyaman, dan dapat diandalkan, yang
terintegrasi baik dengan moda transportasi lain dan yang
berkontribusi terhadap pengurangan kemacetan di Jakarta.
Namun, fokus pada perencanaan yang tepat, pembangunan
kapasitas, investasi, keterlibatan sektor swasta, dan strategi
terkait dapat mendorong TransJakarta untuk memenuhi janjinya.
Oleh Tom Elliott
Di dalam sistem transportasi umum Jakarta, sistem busway
TransJakarta atau bus rapid transit (BRT) sepanjang
170km menawarkan solusi parsial terhadap permasalahan
kemacetan Jakarta. Pada tahun 2013, lebih dari 360.000
orang bepergian menggunakan busway setiap harinya,
menurut penghitungan manual yang dilakukan di 270 halte
TransJakarta (lihat Gambar 1).
Angka ini mewakili proporsi sangat kecil dari jutaan
perjalanan yang dilakukan orang di Jakarta setiap hari ke
segala penjuru kota. Bagi yang tidak bepergian naik mobil
atau sepeda motor, tersedia ojek, bajaj, angkot, dan lebih
dari 500 trayek bus lainnya – serta kereta api, dan pada
2018, MRT dan monorel (lihat “Sistem Transportasi Umum
Jakarta: Sebuah Tinjauan” di halaman 61). Meski demikian,
TransJakarta masih menuai lebih banyak perhatian media
daripada sebagian besar moda transportasi lain di Jakarta,
dan seringkali dengan alasan yang negatif.
Busway kini berusia sepuluh tahun. Jumlah penumpang
terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi hanya karena
dibukanya koridor. Belum ada pertumbuhan yang signifikan
pada jumlah penumpang yang melalui Koridor 1–9. Selain
itu, belum ada pergeseran nyata dari pengguna mobil atau
motor ke TransJakarta. Malah, jumlah penumpang menurun
dari 2011 hingga 2013 meski ada tiga koridor baru yang
dibuka. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan dengan
sistem busway itu sendiri, pengelolaannya, dan kinerjanya
dalam hal memenuhi perannya dalam transportasi umum
untuk salah satu kota termacet di dunia.
Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem
jatuh pada badan pengawas transportasi daerah (Dinas
Perhubungan, atau Dishub). Biaya operasional meningkat
secara signifikan karena perluasan koridor, naiknya biaya
pemeliharaan tahunan, dan biaya tenaga kerja. Pada
tahun 2014, setelah proyeksi penjualan tiket, lebih dari 75
persen biaya operasional TransJakarta akan disubsidi. Jika
jumlah penumpang masih statis di angka 360.000 pada
tahun 2014, setiap perjalanan penumpang akan disubsidi
di tingkat hampir dua kali lipat harga perjalanan standar
(Rp 3.500). Ini akan menciptakan posisi keuangan yang
tidak berkelanjutan untuk masa mendatang.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
69
70
TransJakarta: Janji Kinerja
Gambar 1: Penumpang Busway TransJakarta 2004–2013
(Termasuk penumpang dengan tiket gratis tetapi tidak termasuk bulan Desember 2013)
140,000,000
120,000,000
Tiket Penumpang Terjual
100,000,000
80,000,000
60,000,000
40,000,000
20,000,000
0
2004
15,926
2005
20,799
2006
38,811
2007
61,439
Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak
penumpang? Alasan utama adalah karena Standar
Pelayanan Minimal1 (SPM) untuk busway tidak terpenuhi.
Selama jam-jam padat, bus dan halte kelebihan kapasitas
dan hal itu membuat pengalaman buruk bagi para
penumpang. TransJakarta secara konsisten tidak dapat
diandalkan untuk membawa penumpang sampai ke tempat
kerja secara tepat waktu. TransJakarta jarang, kalaupun
pernah, memenuhi sasaran untuk tiba di halte secara tepat
waktu dan teratur. Janji kedatangan bus setiap dua menit
antara pukul 6 hingga 10 pagi pada hari Senin hingga Jumat
di Koridor 1, misalnya, tidak menjadi kenyataan. Pada
akhirnya, sepeda motor merupakan pilihan yang lebih baik.
Yang Dapat Dilakukan
Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja
operasional TransJakarta. Upaya saat ini untuk membeli
lebih banyak bus akan meningkatkan kapasitas bus, tapi
tanpa intervensi lain, peningkatan keseluruhan mungkin
akan minimal. Bus ukuran kecil dan besar digunakan
di busway tanpa perencanaan yang tepat. Investasi
yang memadai pada infrastruktur dan sistem tiket
Prakarsa Compendium | Jilid 3
2008
74,619
2009
82,377
2010
86,937
2011
114,78
2012
111,250
2013
101,950
penumpang (lihat “Memahami Struktur Tarif dan Sistem
Tiket Transportasi Umum di Jakarta” di halaman 79)
diperlukan jika penambahan bus diharapkan memberi
pengaruh yang diinginkan.
Strategi yang disarankan untuk peningkatan kinerja memiliki
rancangan sederhana, namun sulit untuk diterapkan.
Strategi-strategi tersebut memerlukan kepemimpinan
kuat dari pemangku kepentingan utama Jakarta. Empat
strategi telah diusulkan untuk mengembangkan kinerja
berkelanjutan bagi TransJakarta:
Strategi Kelembagaan: Mendirikan perusahaan yang
dimiliki dan dijalankan pemerintah berdasarkan konsep
pengelolaan sistem busway, hubungan antarlembaga, dan
kebijakan peraturan yang kuat.
Strategi Perencanaan dan Investasi: Mengembangkan dan
melaksanakan rencana usaha lima tahun yang didukung oleh
investasi modal yang kuat dari pemerintah pada koridor,
depot, dan teknologi transit, dengan sasaran kinerja dan
sistem pengukuran untuk akuntabilitas umum.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Jumlah penumpang yang menggunakan TransJakarta tidak bertambah sesuai dengan penambahan
koridor, malah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini.
Atas perkenan IndII
Prakarsa Compendium | Jilid 3
71
72
TransJakarta: Janji Kinerja
Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak
penumpang? Alasan pokoknya adalah karena Standar
Pelayanan Minimal (SPM) untuk busway tidak terpenuhi.
Strategi Penumpang: Penegakan SPM yang menangani
enam bidang kebutuhan utama penumpang: Keterandalan/
Keteraturan; Keamanan; Keselamatan; Keterjangkauan;
Kenyamanan dan Kemudahan Penggunaan; dan Kesetaraan.
Strategi Pembangunan Kapasitas: Mengembangkan
sistem pengelolaan dan operasional. Memutakhirkan
kapasitas tim di dalam TransJakarta untuk merencanakan
dan mengelola layanan bagi penumpang, dan menjamin
agar mereka dapat mengendalikan kinerja operasional
harian busway.
Target kinerja konservatif berupa sekitar 650.000
penumpang per hari dan pengurangan subsidi hingga Rp 20
miliar per tahun (dari tingkat proyeksi jumlah saat ini yang
sekitar Rp 83 miliar pada tahun 2014) merupakan sasaran
yang mungkin tercapai pada tahun 2018 jika pendekatan
pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung
naskah Rencana Usaha TransJakarta diadopsi. Mengkaji
pendekatan untuk kontrak-kontrak operator bus juga dapat
menguntungkan penumpang.
Awal Baru yang Menjanjikan
Keputusan membentuk perusahaan pemerintah baru untuk
mengawasi pelayanan dan pengembangan masa depan
TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk
2014. Badan baru ini diharapkan akan mengambil alih
organisasi pada pertengahan 2014. Namun, Badan ini akan
menghadapi tantangan-tantangan sulit terkait harapan
jangka pendek masyarakat dan pengembangan jangka
panjang yang berkelanjutan. Di bawah ini adalah beberapa
prioritas yang harus dipertimbangkan oleh Badan baru
bersama-sama dengan Dishub:
Melakukan investasi pada depot bus milik pemerintah
dan fasilitas pengisian bahan bakar layak yang berlokasi
strategis. Ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas
layanan busway, dan penting bagi kinerja operasional.
Diperkirakan, lebih dari 200 jam pelayanan hilang
setiap harinya saat operator TransJakarta berusaha
mengisi bahan bakar bus CNG. Operator harus menyewa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kembali fasilitas depot sebagai bagian dari revisi model
kontrak untuk pelayanan.
Mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana
modal yang langka untuk membeli bus milik pemerintah.
Layanan bus dapat dikontrakkan ke industri bus besar di
sektor swasta di Indonesia – tapi menyertakan komponen
modal untuk memungkinkan pembelian bus sektor swasta
(dengan spesifikasi yang memastikan model bus cocok untuk
panjang trayek, jumlah penumpang yang diperkirakan,
dan sebagainya) merupakan pilihan yang lebih baik.
Efeknya, akan ada lebih banyak modal untuk dibelanjakan
untuk halte, perbaikan jalur busway, dan sistem informasi
penumpang. Selain itu, operator akan memiliki lebih
banyak kepentingan untuk menjamin agar bus mereka lebih
terawat dan lebih dapat diandalkan.
Melakukan investasi pada infrastruktur koridor. Ini penting
untuk pencapaian kinerja jangka panjang dan peningkatan
kapasitas layanan. Langkah-langkah yang harus diambil
termasuk menambah jumlah bus gandeng yang ditentukan
secara tepat, yang mampu membawa banyak penumpang
dengan cepat; meningkatkan kualitas aspal busway;
melebarkan jalur busway agar bus dapat lewat; menyediakan
prioritas bus di persimpangan; dan perbaikan halte.
Melakukan perencanaan yang tepat. Perencanaan
yang dilakukan secara berhati-hati terhadap sasaran
investasi dan peningkatan pelayanan sangat penting demi
peningkatan yang berkesinambungan. Perencanaan harus
dilakukan bersama Dishub guna menjamin terjadinya
integrasi dengan layanan bus dan moda transportasi
umum lainnya.
Mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis
dalam organisasi baru TransJakarta. Ini akan menjamin
hubungan antarlembaga yang lebih baik, perencanaan
yang lebih baik, dan pada akhirnya kendali yang
lebih baik terhadap layanan busway yang teratur dan
dapat diandalkan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Atur lalu lintas mobil dan sepeda motor dengan memungut
denda untuk penggunaan jalan sepanjang koridor busway
dan meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota.
Ini akan meneruskan kemajuan yang telah dicapai melalui
peraturan/peningkatan denda untuk “mensterilkan” jalur
busway. Merencanakan waktu dijalankannya langkahlangkah ini dengan meningkatkan kapasitas busway,
dan bekerja bersama lembaga pemerintah lain dan
industri bus sektor swasta juga sangat penting bagi
peningkatan jangka panjang.
Tentang Penulis:
Tom Elliott adalah pimpinan program IndII untuk
Peningkatan TransJakarta. Artikel ini ditulis berdasarkan
pekerjaan yang dilakukan oleh tim konsultan lapangan IndII
untuk mengembangkan strategi peraturan dan kinerja,
serta rencana implementasi lima tahun yang dikembangkan
bersama TransJakarta antara bulan November 2012 hingga
Maret 2014.
Keberhasilan itu Mungkin Dicapai
Kinerja TransJakarta bukanlah tentang di mana TransJakarta
diposisikan dibandingkan dengan sistem-sistem BRT
lain di dunia. Melainkan tentang menetapkan sasaran
penumpang, sasaran keuangan, dan standar pelayanan –
dan mengembangkan sistem kelola dan operasional untuk
mencapai sasaran kinerja yang diatur pemerintah.
TransJakarta dapat memberikan kinerja yang diinginkan
para pemangku kepentingan dan warga Jakarta, dan
memenuhi perannya sebagai bagian dari sistem transportasi
kota yang lebih luas. Diperlukan waktu dan kesabaran, serta
kepemimpinan yang kuat dari perusahaan baru, perencana
dan pengatur transportasi, dan partisipasi yang terusmenerus dari komunitas TransJakarta. ●
CATATAN
1. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Namun, baru-baru ini SPM ditulis ulang dengan konteks
peraturan provinsi baru yang didasarkan pada UU nasional. Standar yang baru kini digunakan untuk mendukung kualitas pelayanan
yang diperoleh penumpang. Standar ini merupakan dokumen resmi dengan definisi, langkah, dan sasaran yang sangat ditentukan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
73
74
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
JADI, MAU JALAN-JALAN?
Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pejalan kaki di Jakarta.
Namun, penelitian mengenai “walkability” (ukuran keramahan suatu
daerah untuk berjalan kaki) dapat mendukung pembuat kebijakan
dalam menangani persoalan ini.
Oleh Peter Midgley
Berjalan kaki di sebagian besar kota-kota terutama di Asia
Tenggara bukan hal yang mudah, Tetapi, di Jakarta ini
hampir mustahil dilakukan. Dengan nilai lahan jalan yang
sangat tinggi, sebagian besar dialokasikan untuk lalu lintas,
sehingga lahan untuk trotoar hanya sedikit dan berjauhan
serta terlalu sempit (lebar kurang dari dua meter) atau
bahkan sama sekali tidak tersedia.
Jumlah trotoar yang tidak memadai di Jakarta dibuktikan
oleh fakta bahwa Jakarta memiliki jalan sepanjang 7.200
kilometer, sedangkan panjang trotoar hanya 900 kilometer.
Trotoar yang cukup lebar untuk berjalan kaki masih jarang,
dan hanya ditemui di sepanjang jalan raya utama dan
di kawasan bisnis yang baru dibangun. Sayangnya, itu
merupakan daerah yang jarang dilewati pejalan kaki.
Di tempat lain, yang memang dilewati pejalan kaki, trotoar
yang tersedia hanya sedikit seringkali terhalang oleh
motor-motor yang diparkir dan pedagang kaki lima (PKL),
sehingga orang terpaksa berjalan di jalan (yang mengurangi
kapasitas lajur jalan). Di sebagian besar lokasi di Jakarta,
sepertinya terdapat aturan tak tertulis bahwa trotoar jelas
bukan untuk digunakan oleh pejalan kaki tetapi merupakan
tempat yang dimaksudkan untuk memarkir sepeda motor
dan mobil, atau mendirikan warung kaki lima. Semua
orang melakukannya dan banyak orang mendapatkan
penghasilan dari penarikan biaya atas hak parkir kendaraan
atau mendirikan warung.
Lebih parah lagi, ketika lalu lintas macet total (dan ini
sering terjadi) di sepanjang jalan yang memiliki trotoar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sebuah Prakarsa untuk Walkability Indonesia
Program Alumni of the Australia Awards – warga Indonesia
penerima beasiswa yang sangat kompetitif dari Australia untuk
melanjutkan pendidikan terkait pembangunan Indonesia di
universitas-universitas Australia – telah membangun sebuah
pusat informasi dan dukungan bagi semua orang di Indonesia
untuk terlibat dalam isu-isu terkait walkability. Situs mereka,
www.jalan-kaki.org, merupakan sumber artikel dan berbagi
informasi penelitian dan mempromosikan manfaat berjalan
kaki yang menggunakan bahasa Indonesia. Selain penelitian
dan artikel, situs tersebut memberikan dorongan kepada para
pejalan kaki, menjelaskan manfaat kesehatan dan memberikan
kiat mengenai cara menghindari kebosanan selama berjalan
kaki.
Situs ini dibuat oleh Tim Infrastruktur dari Alumni Reference
Group (ARG) Australia Awards. Ini merupakan salah satu dari
beberapa kegiatan yang mereka lakukan, kegiatan lainnya
antara lain kajian, yang dirancang untuk melengkapi penelitian
serupa oleh Bank Pembangunan Asia di kota-kota lain, terkait
walkability dan sarana pejalan kaki di Padang, Yogyakarta, dan
Mataram. Kajian tersebut mengungkapkan bahwa masih banyak
yang harus dilakukan untuk meningkatkan situasi di ketiga lokasi
tersebut.
Sebagaimana disinggung di situs Web ARG, Alumni Reference
Group (ARG) – Indonesia Australia Awards diresmikan pada bulan
Juni 2010 dan mewakili lebih dari 10.000 alumni Penghargaan
Pemerintah Australia di Indonesia. ARG memberikan masukan
kepada Pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendukung
dalam perumusan kebijakan masa mendatang.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Kendaraan, pedagang kaki lima, dan pejalan kaki saling berebut menggunakan jalan yang sempit
merupakan pemandangan khas jalanan di Jakarta.
yang memadai, pejalan kaki harus berbagi trotoar dengan
motor (dan bahkan mobil) yang naik dan melaju di
sepanjang trotoar untuk menghindari macet.
Banyak jalur pejalan kaki yang rusak akibat kurangnya
pemeliharaan atau hilangnya papan beton penutup
selokan, menjadikannya berbahaya untuk berjalan kaki,
terutama saat gelap. Terdapat juga tiang-tiang tidak
berguna dan trotoar yang rusak sehingga pengendara
motor pun bahkan enggan menggunakannya untuk parkir
atau untuk menghindari kemacetan – tetapi tetap saja
tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki.
Jelas berjalan kaki sangat penting dan semua orang –
bahkan pengguna mobil dan motor – pasti juga berjalan
kaki di tempat-tempat tertentu dalam perjalanan mereka
di Jakarta maupun di seputar Jakarta. Berjalan kaki juga
memberikan akses ke dan dari layanan transportasi
Atas perkenan Rahmad Gunawan
umum. Juga sangat penting bagi perempuan yang sangat
mengandalkan transportasi umum. Selain itu juga menjadi
sarana mobilitas satu-satunya bagi warga kurang mampu
yang seringkali tidak punya alternatif lain. Oleh karena itu,
jalur pejalan kaki adalah sarana transportasi yang sangat
penting dan harus dipenuhi. Lihat Boks 1 mengenai sebuah
prakarsa yang mendorong terwujudnya “walkability”
(kenyamanan berjalan kaki) dan menganjurkan kegiatan
berjalan kaki di Indonesia, www.jalan-kaki.org.
Dan sepertinya Gubernur Jakarta, Joko “Jokowi” Widodo,
sependapat. Menurut pemberitaan The Jakarta Post 1,
ia menggambarkan kondisi trotoar sebagai “tidak
manusiawi” dan gagal menyediakan keselamatan
yang memadai bagi pejalan kaki, serta menambahkan
bahwa “perbaikan dan konstruksi akan segera dimulai.”
Pemerintah selama masa jabatannya telah menetapkan
target untuk membuat trotoar dengan paving sepanjang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
75
76
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
Gambar 1: Parameter Survei Lapangan Walkability Clean Air Asia
No
Parameter
Keterangan
1
Konflik Sarana Jalur Pejalan Kaki
Tingkat konflik antar pejalan kaki dan moda lain di jalan seperti sepeda,
sepeda motor, dan mobil
2
Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki
Kebutuhan, ketersediaan, dan kondisi jalur pejalan kaki. Parameter ini merupakan
perubahan dari parameter “Pemeliharaan dan Kebersihan” dalam Global Walkability
Index (Indeks Walkability Global)
3
Ketersediaan Jalur Penyeberangan
Ketersediaan dan panjang jalur penyeberangan untuk menjelaskan apakah pejalan kaki
cenderung untuk jaywalk (menyeberang di sembarang tempat) ketika tidak ada jalur
penyeberangan atau jarak antara jalur penyeberangan yang ada terlalu jauh
4
Nilai Keselamatan Jalur
Penyeberangan
Paparan moda lain saat menyeberang jalan waktu yang diperlukan untuk menunggu
dan menyeberang jalan, dan waktu yang diberikan bagi pejalan kaki untuk menyeberang
dengan lampu penyeberangan
5
Perilaku Pengendara
Kendaraan Bermotor
Perilaku para pengendara kendaraan bermotor terhadap pejalan kaki sebagai indikator
jenis lingkungan pejalan kaki
6
Fasilitas
Ketersediaan fasilitas pejalan kaki, seperti bangku, lampu jalan, toilet umum,
dan pepohonan, yang secara signifikan meningkatkan daya tarik dan kenyamanan
lingkungan pejalan kaki, dan juga, lingkungan sekitarnya
7
Infrastruktur untuk Penyandang
Difabel/Disabilitas
Ketersediaan, penempatan, dan pemeliharaan infrastruktur bagi penyandang
difabel/disabilitas
8
Penghalang
Adanya penghalang permanen dan temporer pada jalur pejalan kaki. Ini sangat
berpengaruh pada lebar efektif jalur pejalan kaki dan dapat mengakibatkan
ketidaknyamanan bagi pejalan kaki
9
Keamanan dari Tindak Kriminal
Perasaan secara umum terhadap keamanan dari tindak kriminal pada
bagian-bagian tertentu dari jalan
semua jalan raya di seluruh Jakarta hingga akhir 2014
dalam upaya memberikan keamanan dan kenyamanan
bagi pejalan kaki. Ini merupakan target yang ambisius,
terutama karena trotoar yang diajukan sepertinya akan
selebar delapan meter, dengan pohon-pohon di tepi jalan,
termasuk pembangunan toko-toko kecil dan penyediaan
bangku-bangku.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta memiliki
rencana untuk melaksanakan peningkatan tersebut (lihat
Boks 2). Namun, merupakan tugas yang berat untuk
membangun trotoar baru, meningkatkan yang sudah
ada, dan menjamin bahwa trotoar tidak dilanggar oleh
pengendara sepeda motor dan PKL.
Survei komprehensif mengenai kondisi trotoar saat ini
dengan mempertimbangkan walkability merupakan alat
yang berharga dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut.
Walkability adalah pengukuran seberapa bersahabatnya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sebuah kawasan untuk dipakai berjalan kaki. Ini dapat
diperoleh dengan melakukan “audit walkability” yang
mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif pada
lingkungan pejalan kaki. Metode audit semacam itu
telah dikembangkan oleh Clean Air Asia 2 (CAA). CAA
menggunakan survei walkability lapangan untuk menilai
infrastruktur pejalan kaki yang memiliki volume pejalan
kaki tinggi berdasarkan survei persiapan dan konsultasi
dengan pemangku kepentingan lokal. Penilaian jalur
lengkap (meliputi angka pejalan kaki, panjang jalur
survei, kondisi infrastruktur, lebar jalan raya, karakteristik
lalu lintas kendaraan bermotor, dsb.) dilakukan untuk
memberikan tinjauan komprehensif atas kondisi jalur
pejalan kaki, dan survei lapangan ini menggunakan
sistem peringkat walkability yang seragam berdasarkan
sembilan parameter kualitatif (lihat Gambar 1).
Petugas survei lapangan diminta untuk menilai rentang
jalan yang terpilih dengan nilai 1 sampai 5 untuk
Menggerakkan Orang di Jakarta
Strategi Jakarta untuk Jalur Pejalan Kaki
Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan
dan Pemakaman Jakarta, Upaya Pemda DKI Jakarta dalam
Meningkatkan Fasilitas Pejalan Kaki di Jakarta (dapat diunduh
dari www.jalan-kaki.org) memberikan wawasan terhadap
peningkatan jalur pejalan kaki yang telah direncanakan
dan diselesaikan. Dokumen itu mencantumkan strategi
pembangunan menyeluruh atas lima komponen:
1.Membangun dan menambah jalur pejalan kaki baru
setiap tahunnya.
2.Melebarkan jalur pejalan kaki yang ada, idealnya
berukuran 4–8 m.
3.Melibatkan peran serta masyarakat, terutama pemilik lahan
yang berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki.
4.Meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki dengan
menambahkan fasilitas pendukung seperti rambu-rambu,
bangku, dan tiang bollard (tiang pendek untuk menjaga
pejalan kaki di trotoar dari bahaya yang bisa diakibatkan
oleh kendaraan bermotor).
5.Meningkatkan lanskap sepanjang jalur pejalan kaki dengan
penanaman pohon peneduh dan tanaman semak untuk
meningkatkan estetika.
Menurut dokumen ini, upaya yang dilakukan saat ini dan
nantinya mencakup:
1.Membangun jalur pejalan kaki yang memadai baik dari sisi
fungsi, estetika, dan ekologis.
2.Melanjutkan kegiatan pembangunan jalur pejalan kaki
di kawasan strategis, lengkap dengan akses bagi
penyandang disabilitas.
3.Pemasangan rambu untuk penyandang disabilitas sepanjang
jalan Thamrin-Sudirman dan daerah sekitarnya dimulai dari
sisi barat dan dilanjutkan sisi timur.
4.Melaksanakan pemeliharaan jalur pejalan kaki yang
sudah ada.
setiap parameter (1 yang terendah, 5 yang tertinggi) di
setiap jenis kawasan. Nilai rata-rata setiap parameter
diterjemahkan menjadi sistem peringkat dari 0 (nilai
terendah) hingga 100 (nilai tertinggi).
Pendekatan CAA juga menggunakan Survei Wawancara
Pejalan Kaki dan Survei Pemangku Kepentingan. Survei
pertama menilai perjalanan (moda, waktu perjalanan,
tujuan perjalanan, dsb.), preferensi (kebutuhan dan
keinginan serta keprihatinan), dan karakteristik sosial
pejalan kaki yang menggunakan trotoar dan sarana pejalan
kaki di dalam kawasan audit walkability. Survei Pemangku
Kepentingan menilai rintangan-rintangan utama dalam
peningkatan sarana pejalan kaki.
CAA mengembangkan aplikasi walkability 3 untuk
memungkinkan siapa saja untuk menjalankan audit
walkability dan menyampaikan hasilnya kepada pihak
berwenang. Aplikasi ini dapat digunakan di sistem
operasi Android dan iPhone serta hasilnya dipetakan
menggunakan GPS.
Hasil dari audit walkability ini memberikan informasi
yang tak ternilai bagi pembuat keputusan mengenai apa,
di mana, dan bagaimana meningkatkan kondisi pejalan
kaki dan memberi dukungan dalam menetapkan prioritas
investasi perbaikan dan konstruksi. Saatnya berjalan kaki
dan melakukan audit walkability! ●
Tentang Penulis:
Peter Midgley adalah Advisor untuk Mobilitas Perkotaan IndII
dan Ketua Tim untuk Proyek Mobilitas Perkotaan Surabaya yang
didanai IndII. Ia juga penerima penghargaan untuk kategori
Mobilitas Perkotaan (Urban Mobility Theme Champion)
dari global Transport Knowledge Partnership (gTKP). Peter
telah berpengalaman dalam transportasi perkotaan selama
lebih dari 40 tahun. Ia sebelumnya seorang staf Bank Dunia
selama 25 tahun. Ia menyusun makalah strategi transportasi
perkotaan regional untuk Bank Dunia yang pertama
(“Transportasi Perkotaan di Asia: Agenda Operasional untuk
tahun 1990-an” [“Urban Transport in Asia: An Operational
Agenda for the 1990s”]) dan merupakan anggota tim inti
yang merancang serta menjalankan strategi manajemen
pengetahuan Bank Dunia. Sepanjang karirnya, ia mendukung
kebutuhan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.
CATATAN
1. “Pedestrians to enjoy city sidewalks next year”, The Jakarta Post, 13 Oktober, 2013.
2.http://cleanairinitiative.org/portal/sites/default/files/documents/18_Walkability_Survey_Tool_2011.pdf
3.http://walkabilityasia.org/2012/10/03/walkability-mobile-app/#
Prakarsa Compendium | Jilid 3
77
POIN-POIN UTAMA
Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional. Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar
lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas layanan dianggap buruk. Para operator transportasi sering
mengeluh bahwa penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan memberi hasil yang memadai.
Apabila tarif tidak dinaikkan sebanding dengan tingkat kenaikan biaya operasional, maka pemeliharaan
menyangkut hal-hal penting yang ditangguhkan.
Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tetapi subsidi dapat menghilangkan insentif di pihak pengusaha untuk
menekan biaya, dan oleh sebab itu justru mendorong terjadinya ketidakefisienan. Di Jakarta, layanan bus cepat
(Bus Rapid Transit [BRT]) TransJakarta disubsidi, tetapi layanan angkutan umum berbasis jalan tidak. Mereka
masih mampu menutup biaya operasional, tetapi harga yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk.
Keefisienan operasional pun dikorbankan.
Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Pada sebagian besar rute bus di Jakarta, diberlakukan satu tarif tanpa
memperhitungkan jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut beragam sesuai dengan jenis layanan, dan
terkadang berbeda dari rute ke rute.
Sistem satu tarif atau “flat fare” tersebut memiliki kelebihan dari segi kesederhanaan, mengurangi waktu
penumpang menaiki angkutan, serta mencegah penumpang melakukan perjalanan lebih jauh dari jarak yang
mereka bayar. Namun sistem ini memiliki kelemahan juga. Penumpang yang melakukan perjalanan jarak pendek
dikenakan biaya per kilometer lebih tinggi, sedangkan mereka yang menempuh perjalanan dengan jarak lebih
jauh sering kali harus berganti bus karena bagi operator bus tidak ekenomis untuk melayani rute jarak panjang.
Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan
rute yang lebih nyaman, dan para pengusaha dapat mengoptimalkan pendapatan dari tarif mereka. Namun
demikian, semakin rumit struktur tarifnya, pada gilirannya akan diperlukan sistem pengendalian pendapatan
atau sistem pengaturan tiket yang lebih rumit. Sistem pengaturan tiket elektronik yang canggih tidak hanya
memungkinkan penerapan struktur tarif yang rumit, melainkan dapat membuat penggunaan layanan angkutan
umum jauh lebih mudah. Sistem “e-ticketing” atau pengaturan tiket secara elektronik juga dapat menyediakan
data berharga tentang pergerakan penumpangan yang dapat bermanfaat untuk tujuan perencanaan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
79
MEMAHAMI STRUKTUR TARIF
DAN SISTEM TIKET TRANSPORTASI
UMUM DI JAKARTA
Sebagian besar moda transportasi umum di Jakarta memiliki sistem
“tarif flat” yang tidak efisien. Sistem tiket elektronik yang canggih
membuka kemungkinan untuk memperkenalkan struktur tarif yang lebih
baik dan membuat transportasi umum lebih mudah bagi penumpang.
Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional.
Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar
lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas
layanan dianggap buruk – sebagaimana sering terjadi.
Warga berpenghasilan rendah mungkin benar-benar
merasa terbebani karena biaya untuk perjalanan penting
menguras sebagian besar penghasilan mereka – keluarga
besar yang memiliki beberapa anak usia sekolah,
khususnya, sangat dirugikan.
Di sisi lain, para operator transportasi sering mengeluh bahwa
penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan
memberi hasil yang memadai. Mereka menyatakan bahwa
tingkat kenaikan tarif tidak sebanding dengan tingkat kenaikan
biaya operasional, dan menyampaikan bahwa mereka tidak
bisa memperoleh pendapatan yang cukup untuk bertahan
tanpa memangkas hal-hal penting, seperti pemeliharaan.
Sebagian besar dari mereka bahkan tidak bisa
mempertimbangkan untuk mengganti kendaraan mereka yang
sudah tua dan usang dengan yang baru, sehingga kendaraankendaraan yang sudah tua dan tampak berbahaya yang
mengeluarkan kepulan asap hitam, menjadi pemandangan
umum di Jakarta.
Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tapi sebenarnya
memiliki kekurangan juga. Selain biaya yang dibebankan
kepada wajib pajak, dan pengalihan dana dari hal-hal lain
yang layak, subsidi dapat mengurangi dorongan apa pun yang
dimiliki operator untuk menekan biaya operasional mereka:
tanpa peraturan yang efektif maka subsidi dapat mendorong
ketidakefisienan dan ada kecenderungan bahwa pengeluaran
subsidi meningkat sementara kualitas layanan menurun. Ini
bukanlah praktik berkelanjutan.
Di Jakarta, layanan bus cepat (Bus Rapid Transit [BRT])
TransJakarta disubsidi, tapi layanan transportasi umum
berbasis jalan lainnya tidak. Kenyataan bahwa transportasi
umum lain masih terus beroperasi menunjukkan bahwa
mereka pasti mampu menutup biaya operasional: tapi harga
yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk.
Namun, faktor lain di dalam perhitungan ini adalah efisiensi
operasional. Produktivitas rendah: di banyak rute terdapat
terlalu banyak bus atau angkot, sehingga menimbulkan antrean
panjang kendaraan di terminal yang menunggu muatan penuh
sebelum berangkat. Penjadwalan layanan sesuai permintaan,
sehingga hanya perlu mengoperasikan bus dalam jumlah
secukupnya, akan mengurangi kebutuhan armada lebih lanjut,
dengan pengurangan yang sepadan dalam hal biaya. Selain itu,
kebanyakan bus yang beroperasi di Jakarta tidak sesuai untuk
layanan yang diberikan. Sebagian besar terlalu kecil: hanya
beberapa bus lebih besar yang menyediakan kapasitas yang
sama, dengan modal dan biaya operasional per penumpang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
80
Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta
yang lebih sedikit; bus-bus ini juga hanya menggunakan ruang
jalan yang lebih sempit per penumpangnya.
Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Di sebagian
besar rute bus di Jakarta, ongkosnya tidak berbeda-beda,
terlepas dari jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut
beragam sesuai dengan jenis layanan, dan terkadang
berbeda dari rute ke rute.
Contoh tarif yang dipungut di Jakarta adalah:
• Angkot atau Mikrolet Rp 2.500
• BRT TransJakarta Rp 3.500
• Bus biasa (ukuran sedang atau besar) Rp 3.000
• Bus dengan pengatur suhu udara/AC
(ukuran sedang atau besar) Rp 5.000
Ini dikenal sebagai sistem “tarif flat”. Sistem ini memiliki
kelebihan tertentu. Penumpang tidak bisa menumpang secara
gratis (“over-ride”), atau melakukan perjalanan lebih jauh dari
jarak yang mereka bayar. Tugas kernet dapat disederhanakan
dan waktu menaikkan penumpang berkurang jika penumpang
membayar saat masuk. Sistem ini dapat meniadakan kebutuhan
sistem pertiketan dan biaya petugas.
Tetapi sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika semua atau
sebagian besar penumpang melakukan perjalanan dengan
jarak yang kurang-lebih sama, tarif tersebut dapat ditetapkan
sesuai dengan rata-rata biaya perjalanan, dan akan mirip
dengan tarif yang dikenakan berdasarkan sistem tarif bertingkat
berbasis jarak. Situasi ini mungkin muncul bila semua
penumpang melakukan perjalanan dengan jarak penuh dari
ujung ke ujung rute, atau bila semua menempuh jarak pendek
yang kira-kira sama, dengan tingkat pergantian penumpang
yang tinggi di sepanjang rute. Namun, bila jarak perjalanan
masing-masing orang berbeda jauh, sebagaimana umumnya
terjadi, penumpang yang bepergian dengan jarak pendek akan
membayar lebih mahal per kilometernya daripada mereka
yang bepergian dengan jarak lebih jauh, dan kesenjangan itu
menjadi jauh lebih besar ketika panjang rute bertambah.
Oleh karena itu, khususnya untuk rute panjang, tarif flat
dapat dianggap tidak adil. Selain itu, rute-rute yang rata-rata
jarak perjalanan penumpangnya panjang dapat menjadi tidak
ekonomis untuk dilayani dengan sistem tarif flat, kecuali tarif
ditetapkan pada tingkat tertinggi untuk rute tersebut. Tapi hal
ini mungkin akan menghalangi penumpang jarak pendek yang
harus membayar tarif tinggi untuk perjalanan singkat – dan
mereka akan memilih layanan alternatif yang lebih murah,
seperti yang disediakan oleh ojek.
Sistem tarif flat sering menyebabkan para operator terdorong
untuk memilih rute pendek, dengan tujuan memaksimalkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sistem Setoran
Saat ini, layanan bus non-BRT dan angkot dioperasikan
berdasarkan prinsip “setoran”, yaitu sopir diharuskan membayar
sejumlah uang tetap kepada operator bus setiap harinya; setelah
pengeluaran-pengeluaran tertentu terpenuhi (umumnya
termasuk biaya bahan bakar, dan gaji kernet, jika ada),
kelebihan yang ada diambil oleh sopir sebagai penghasilannya.
Ini adalah sistem pengoperasian yang ditemukan di
sebagian besar negara berkembang yang memiliki kapasitas
pengaturan dan pengelolaan terbatas.
Sistem setoran menyederhanakan pengendalian pendapatan
bagi pemilik atau operator bus, karena penghasilan terjamin
sesuai jumlah yang telah ditetapkan, tanpa harus mengawasi
layanan yang diberikan. Khususnya, sistem ini menghilangkan
masalah pencurian uang tarif, yang selalu dihadapi oleh operator
yang lebih resmi, dan yang memerlukan langkah-langkah kuat
untuk mengendalikannya. Keharusan sopir membayar biaya
bahan bakar dari pendapatan tarif menghilangkan masalah
umum operator lainnya – yaitu pencurian bahan bakar.
Namun, setoran memiliki kelemahan-kelemahan yang serius.
Tanpa menggunakan tiket, sistem tarif flat menjadi hampir
wajib; tidak ada informasi tentang permintaan penumpang
dan pola perjalanan yang dapat diambil dari sistem tiket;
dan sopir, yang memiliki dorongan untuk memaksimalkan
pendapatannya, mungkin tergoda untuk mengemudi dengan
cara yang berbahaya (ugal-ugalan) dan terlibat dalam
praktik yang tidak diinginkan, seperti merintangi kendaraan
pesaing atau mengusir penumpang sebelum mencapai akhir
rute agar bisa berbalik dan mengambil penumpang yang
menunggu di arah sebaliknya.
Kecuali layanan dikendalikan secara ketat, akan ada
kecenderungan terjadi pasokan yang berlebihan pada jamjam tertentu, dan tingkat layanan yang terlalu rendah ketika
permintaan juga rendah. Dengan menggunakan sistem
setoran, tidak mungkin terlaksana prosedur penjadwalan
yang rumit, dengan frekuensi pengoperasian direncanakan
bervariasi dalam satu hari, pada hari-hari yang berbeda dalam
sepekan, dan di ruas-ruas yang berbeda dalam suatu rute guna
mengoptimalkan pemanfaatan kendaraan (dan meminimalkan
biaya), karena para sopir tidak akan mau menerima
pengaturan yang dapat mengakibatkan beberapa bus
memperoleh pendapatan lebih banyak dari yang lain.
Sistem setoran tidak memiliki tempat di dalam sistem
transportasi umum resmi dan terorganisasi.
potensi pendapatan. Penumpang jarak pendek umumnya
senang-senang saja dengan tarif rendah, tapi penumpang jarak
jauh terpaksa harus berganti kendaraan sebanyak dua rute atau
lebih, sehingga pada dasarnya mereka membayar tarif berbasis
jarak, tapi juga mengalami ketidaknyamanan karena harus
berganti kendaraan. Bagaimanapun sistem itu diterapkan,
kecuali ada subsidi besar, sistem tarif flat pasti menjadi kendala
Menggerakkan Orang di Jakarta
TransJakarta memperkenalkan e-ticket untuk penumpang pada bulan Januari 2013.
Penumpang harus menempelkan e-ticket-nya di pintu putar ini untuk masuk halte.
terhadap pilihan jaringan rute, dan sering mengakibatkan
layanan yang tidak nyaman.
Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak
yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih
nyaman, dan para operator dapat mengoptimalkan pendapatan
tarif mereka. Namun, semakin rumit struktur tarif pada
gilirannya akan memerlukan sistem pengaturan pendapatan
atau sistem tiket yang lebih rumit. Tetapi hal ini juga akan
memberikan peluang peningkatan. Sistem tiket elektronik
(e-ticket) yang canggih tidak hanya memungkinkan pengenalan
struktur tarif yang rumit tetapi juga membuat penggunaan
layanan transportasi umum menjadi lebih mudah. Sebagai
contoh, penumpang dapat menggunakan tiket yang sama
untuk perjalanan menggunakan bus, kereta, atau taksi mana
pun di dalam wilayah yang besar, hanya dengan menggesek
tiket saat masuk dan meninggalkan stasiun, dan saat naik atau
turun bus. Tidak perlu mengeluarkan uang tunai, dan peluang
penipuan juga sangat berkurang.
Sistem e-ticket juga dapat memberikan data yang berharga
tentang pergerakan penumpang, yang dapat digunakan
oleh operator dan pembuat kebijakan untuk merencanakan
dan secara terus-menerus melakukan pemantauan dan
menyempurnakan layanan, demi kepentingan semua
pihak. Sistem semacam ini menjadi semakin umum di
seluruh dunia: contoh-contoh terdekat dapat ditemukan
di Hong Kong dan Singapura.
Kesimpulannya, dengan kendaraan yang tepat, dioperasikan
secara efisien, dan dengan struktur tarif yang pantas serta
sistem tiket yang efektif, mayoritas layanan transportasi umum
Atas perkenan Richard Iles
di Jakarta seharusnya dapat beroperasi tanpa subsidi, dengan
tingkat tarif yang tidak jauh berbeda dari tarif yang ditetapkan
saat ini. Namun, penting diperhatikan bahwa tarif harus
dikaji ulang secara teratur dan disesuaikan untuk menutup
setiap kenaikan biaya operasional. Penting untuk menetapkan
kenaikan tarif secara “sedikit dan sering” daripada jarang-jarang
sebagaimana terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semakin
lama kenaikan tarif ditunda, semakin besar kenaikannya
ketika sudah tidak bisa ditunda lagi – dan itu yang selalu
menciptakan kegelisahan. Manfaat lain dari sistem tiket
elektronik adalah bahwa tarif tidak perlu terikat pada
denominasi uang koin atau kertas: nilai berapa pun dapat
diterapkan jika tidak perlu lagi menangani uang tunai atau
memberikan kembalian. Jadi kenaikan atau variasinya bisa
kecil dan sering, dengan dampak minimal.
Ada potensi besar untuk peningkatan dengan merombak sistem
kendali pendapatan, yang saat ini sebagian besar dilakukan
berdasarkan prinsip kasar “setoran” (lihat boks teks). Sistem
e-ticket dasar sudah terpasang pada sistem TransJakarta dan
kereta penumpang (commuter rail). Pada akhirnya, mengganti
sistem ini dan sistem setoran dengan sistem tiket canggih untuk
semua jaringan moda, dengan skala tarif dan struktur yang
lebih fleksibel, akan memainkan peran penting dalam proses
membawa sistem transportasi umum Jakarta ke abad 21. ●
Tentang Para Penulis:
Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di
halaman 67.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
81
POIN-POIN UTAMA
Banyak organisasi pemerintah dan swasta dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi
umum di Jakarta. Terminal bus disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Bengkel dan garasi dimiliki oleh operator
bus yang lebih besar.
Dua perusahaan bus di Jakarta dimiliki pemerintah. Pemda DKI menjalankan PPD, yang mengoperasikan
bus besar di trayek umum. DAMRI, dimiliki oleh Pemerintah Pusat, mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT)
berdasarkan kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014. Pangsa
pasar PPD menurun sejak operator swasta memasuki pasar, dan armada busnya sudah tua.
Ada beberapa operator bus swasta, beberapa di antaranya berbentuk koperasi. Beberapa operator swasta itu
menjalankan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium.
Di dalam sektor swasta, sebagian besar industri transportasi umum bersifat informal dan tidak selalu
memberikan layanan yang aman dan efisien.
Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik
sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak.
Pemerintah harus mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang
mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang efisien yang dapat memberikan layanan yang
aman, menarik, dengan tarif terjangkau.
Menggerakkan Orang di Jakarta
MELIBATKAN SEKTOR SWASTA
DALAM PENYEDIAAN LAYANAN
TRANSPORTASI UMUM
Layanan transportasi di Jakarta disediakan oleh gabungan antara
operator pemerintah dan swasta, baik yang formal maupun informal,
yang tidak terorganisir dengan baik. Untuk menjamin bahwa
masyarakat memiliki akses terhadap layanan yang aman, menarik,
dengan tarif terjangkau, Pemerintah harus mengubah lingkungan
yang saat ini diregulasi dengan buruk.
Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Banyak organisasi pemerintah dan swasta, dan individu
yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum
di Jakarta, terkadang secara tumpang tindih. Contohnya,
layanan bus di Jakarta dioperasikan baik oleh perusahaan
pemerintah maupun swasta, dan Pemerintah Daerah
(Pemda) DKI telah terlibat dalam pengadaan kendaraan
yang akan dioperasikan oleh perusahaan swasta.
Beberapa fungsi diakui secara internasional paling efektif
bila dijalankan oleh pemerintah, sementara yang lain
lebih efektif dijalankan oleh sektor swasta. Dibutuhkan
waktu puluhan tahun untuk mengidentifikasi peran yang
paling tepat bagi kedua sektor tersebut. Sejak pertama kali
layanan transportasi umum diadakan, di banyak negara,
pendulum dominasi mengayun di antara kedua sektor
tersebut. Ini masih terjadi, namun sebuah konsensus
telah kurang-lebih dicapai terkait peran paling tepat untuk
masing-masing sektor.
Umumnya diakui bahwa fungsi seperti perencanaan
dan regulasi layanan transportasi umum perkotaan dan
penyediaan infrastruktur paling baik dilakukan oleh
badan pemerintah. Fungsi lainnya, seperti kepemilikan
kendaraan dan penyediaan layanan itu sendiri, lebih tepat
diserahkan kepada sektor swasta. Namun pembedaan ini
tidak selalu jelas. Contohnya, beberapa fungsi pemerintah,
seperti inspeksi kendaraan atau perencanaan jaringan
trayek, dapat dialihdayakan ke sektor swasta, sementara
beberapa infrastruktur (seperti garasi bus) dapat dikuasai
oleh pemerintah maupun swasta. Namun secara umum,
pemerintah harus bertanggung jawab untuk melakukan
regulasi terhadap layanan transportasi yang disediakan
oleh operator swasta.
Apabila kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah
seringkali tergoda untuk melakukan intervensi dan
menyediakan layanan secara langsung, namun ini jarang
berhasil. Perusahaan transportasi milik negara di seluruh
dunia, terutama perusahaan bus, jarang mampu menutupi
biaya, dan cenderung menyediakan layanan yang rendah
dibandingkan perusahaan sejenis dari sektor swasta.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
83
84
Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum
Saat kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah seringkali
tergoda untuk melakukan intervensi dan menyediakan layanan
secara langsung, namun ini jarang berhasil.
Idealnya, pemerintah, melalui regulasi yang tepat yang
ditegakkan secara efektif, akan memberikan lingkungan
yang memungkinkan usaha swasta dapat beroperasi secara
efisien dan menguntungkan. Pemerintah dapat menyediakan
beberapa atau semua infrastruktur, namun sektor swasta
biasanya akan bertanggung jawab atas pengadaan dan
pendanaan seluruh kendaraan dan peralatan.
Ratax, Pahala Kencana, Primajasa Perdanarayautama,
Ekasari Lorena, dan Bianglala. Mayasari Bhakti merupakan
operator terbesar untuk bus besar; Metro Mini dan Kopaja
adalah koperasi yang mengoperasikan sejumlah besar bus
ukuran menengah. Beberapa dari operator ini juga terlibat
dalam pengoperasian layanan BRT di bawah kontrak dengan
TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium.
Terminal bus umumnya didanai oleh sektor publik,
seperti halnya di Jakarta. Garasi dan bengkel seringkali
didanai oleh operator yang menggunakannya; tetapi
karena infrastruktur tersebut merupakan investasi jangka
panjang, terkadang disediakan oleh pemerintah, yang
mendanai konstruksi menyediakannya untuk operator
berdasarkan ketentuan komersial.
Di dalam sektor swasta, sejumlah besar industri transportasi
umum dapat diklasifikasikan sebagai informal: individu dan
usaha kecil yang memiliki satu atau dua kendaraan, yang
disewakan ke pengemudi dan dioperasikan dengan cara
yang relatif tidak terorganisir dengan baik. Kelemahan
dalam penjadwalan dan sistem setoran (dalam sistem ini
pengemudi membayar jumlah tertentu kepada operator
bus setiap hari dan mengantongi kelebihannya setelah
menutupi biaya operasional tertentu; lihat boks di halaman
80 untuk perinciannya) menjadikan perencanaan dan
pengendalian layanan yang sesuai tidak mungkin dilakukan,
dan bertentangan dengan penyediaan layanan yang aman
dan efisien yang selaras dengan kebutuhan penumpang.
Meski demikian, sektor informal ini memiliki peran untuk
dimainkan, terutama dalam penyediaan layanan yang
memenuhi kebutuhan mendadak (demand-responsive)
seperti yang diberikan oleh taksi, bajaj, dan ojek.
Terminal bus di Jakarta disediakan dan didanai oleh Pemda
DKI. Hanya terdapat beberapa garasi bus atau bengkel, dan
semuanya dimiliki oleh operator bus yang lebih besar, baik
di sektor swasta maupun pemerintah.
Saat ini ada dua perusahaan bus milik pemerintah, yaitu
PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang dimiliki
oleh Pemda DKI, dan DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor
Repoeblik Indonesia), yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
PPD menjalankan bus besar di trayek umum; DAMRI
menjalankan layanan Lintas Bus Cepat (BRT, Bus Rapid
Transit) di bawah kontrak dengan TransJakarta, yang akan
menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014 berdasarkan
peraturan yang dikembangkan oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai Pemerintah Australia.
Selama bertahun-tahun, PPD memonopoli layanan bus di
Jakarta. PPD pernah beroperasi di ratusan trayek dengan
armada sejumlah lebih dari 2.000 bus. Sejak operator
swasta memasuki pasar, PPD lebih berkonsentrasi pada
layanan dasar untuk kelompok berpendapatan lebih rendah;
pangsa pasarnya terus menurun. Saat ini, PPD memiliki 370
bus berusia tua, yang diantaranya terdapat sekitar 250
diantaranya dioperasikan setiap hari di 32 trayek. Usia ratarata armada adalah 15 tahun, dan bus yang tertua sudah
berusia lebih dari 20 tahun.
Ada beberapa operator bus swasta, yang utama adalah
Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, Kopami, Steady Safe,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan
penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik
sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas
layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak.
Pengurangan peran sektor informal dan formalisasi layanan
bus akan diperlukan. Seluruh layanan terjadwal (terutama
yang dioperasikan oleh bus, tetapi juga termasuk angkot
atau mikrolet) harus dioperasikan oleh organisasi formal
yang terstruktur dan dikelola dengan sesuai (seperti
perusahaan atau koperasi). Layanan demand-responsive
individu seperti taksi, bajaj, dan ojek dapat disediakan
oleh operator informal, meskipun tidak ada alasan bagi
perusahaan formal untuk tidak menyediakan layanan
tersebut bila mereka menginginkannya.
Selain bus yang dioperasikan untuk BRT, mayoritas bus
dan angkot sudah sangat tua dan dalam kondisi buruk,
dan sudah melampaui batas waktu untuk diganti. Salah
satu alasan kurangnya investasi untuk bus dari operator
Menggerakkan Orang di Jakarta
Kopaja merupakan salah satu operator bus swasta di Jakarta.
swasta di Jakarta adalah lingkungan operasionalnya
tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan
cukup penghasilan untuk mendanai pemeliharaan dan
penggantian bus dengan tepat.
Sebagai solusi jangka pendek, Pemda DKI memilih untuk
menangani masalah kekurangan bus dengan membeli
bus baru sendiri: ini akan dioperasikan oleh TransJakarta,
sebuah operator sektor publik. Namun, dalam jangka
panjang, solusinya adalah agar pemerintah menangani
penyebab masalah itu, yaitu mengubah lingkungan informal
dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan
yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta
yang layak dan dijalankan secara efisien yang menyediakan
layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau.
Atas perkenan Richard Iles
Ini jauh lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan
membeli bus, tetapi akan menghasilkan manfaat yang dapat
bertahan lebih lama. Tantangan yang dihadapi pemerintah
adalah untuk mengelola transisi ini – namun ini tantangan
yang sangat layak untuk diambil. ●
Tentang Para Penulis:
Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di
halaman 67.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
85
POIN-POIN UTAMA
Bagi penyandang disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari, seperti bekerja dan rekreasi,
bisa menjadi sulit.
Ferry Jansen Situngkir, seorang tunanetra, melakukan perjalanan setiap hari dari rumahnya di Bekasi ke
kantornya di Pasar Baru. Selama 14 tahun ia bepergian naik bus, kadang berdiri di sepanjang perjalanannya
jika tidak ada penumpang lain yang bisa melihat memberitahunya ada kursi kosong yang tersedia, kemudian
berjalan kaki selama 30 sampai 40 menit, menabrak rintangan dan menghadapi risiko tersambar oleh kendaraan
bermotor. Keputusan beralih ke kereta api komuter telah membawa kemajuan besar, karena ia diperbolehkan
masuk stasiun melalui pintu masuk khusus dan kemudian dibantu oleh petugas kereta api. Meski demikian,
ia masih menghadapi kesulitan, seperti keluar dari kereta api yang ramai, menaiki tangga berundakan tinggi,
dan berjalan melalui ruang luas yang hampir tidak menawarkan petunjuk tentang lokasi keberadaannya. Ia
merekomendasikan lebih banyak pengumuman audio mengenai stasiun pemberhentian, pengaturan tempat
duduk prioritas yang lebih efektif bagi penyandang disabilitas, dan lajur serta tiang khusus yang dapat membantu
penyandang tunanetra untuk mengidentifikasi posisi tempat mereka berada.
Ignatius Tuntas Wijaya (Wiwid), juga seorang tunanetra dan pengguna bus TransJakarta secara rutin. TransJakarta
secara aktif melakukan peningkatan sehingga busnya menjadi lebih ramah bagi penyandang disabilitas dan
ini membantu Wiwid merasa nyaman menggunakan bus TransJakarta karena ia biasanya dapat menemukan
arah di dalam halte bus dan petugasl sering membantu dalam mengawalnya ke tempat duduk atau keluar
menuju moda transportasi berikutnya setelah ia turun dari bus. Namun sering tidak adanya pengumuman
audio menimbulkan lebih banyak stres dalam perjalanannya.
Cucu Saidah, yang menggunakan kursi roda, adalah anggota Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), yang
melakukan advokasi untuk transportasi yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik mengenai
isu terkait disabilitas. Cucu melihat ada banyak bus baru yang telah mengakomodasi kursi roda dan merasa
bahwa sikap para personil bus TransJakarta sering positif. Tetapi, ia juga mempunyai pengalaman negatif,
seperti kursi roda yang tersangkut.
Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak hanya bisa menjadi sulit, tapi juga lebih mahal, karena
mereka harus lebih mengandalkan taksi dan moda transportasi serupa. Ferry memperkirakan bahwa ia
menghabiskan sekitar sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ia berharap bahwa Indonesia
akan mencapai tahap di mana desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang berpendidikan
memunculkan fasilitas transportasi umum yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman bagi semua.
Menggerakkan Orang di Jakarta
BERJUANG UNTUK MOBILITAS:
BAGAIMANA PENYANDANG
DISABILITAS MENGAKSES
SISTEM TRANSPORTASI JAKARTA
Orang-orang yang berdesak-desakan, tangga dengan undakan tinggi,
audio yang rusak, dan jarak lebar untuk dilangkahi adalah gangguan
kecil bagi mereka yang bukan penyandang disabilitas. Namun bagi para
penyandang disabilitas, hal-hal tersebut merupakan tantangan yang
sangat besar dalam penggunaan transportasi umum.
Oleh Eleonora Bergita
Jika Anda pernah merasa frustrasi ketika mencoba
menggunakan fasilitas transportasi umum di Jakarta,
bayangkan bagaimana bila Anda mempunyai kesulitan
melihat, mendengar, atau bergerak. Bagi penyandang
disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari
seperti bekerja dan rekreasi tentu bisa menjadi kesulitan
tersendiri. Dibutuhkan keberanian untuk menghadapi
tantangan dalam menggunakan bus, kereta api, dan
sarana transportasi umum lainnya. Prakarsa berbincang
dengan beberapa penyandang disabilitas yang menghadapi
kesulitan-kesulitan
tersebut
secara
rutin,
untuk
mendapatkan wawasan mengenai pengalaman mereka dan
mencari informasi perubahan pada sistem seperti apa yang
akan menjadikan perjalanan mereka lebih mudah.
Dari Bus ke Kereta Api
Ferry Jansen Situngkir, 41 tahun, bekerja di Biro Pelayanan
Penyandang Cacat (BPPC), yang didirikan oleh Keuskupan
Agung Jakarta. Ia melakukan perjalanan setiap hari dari
rumahnya di Bekasi ke kantornya di Pasar Baru. Selama
bertahun-tahun ia bepergian menggunakan bus kota,
meskipun banyak kesulitan dan ketidaknyamanan yang
dialaminya sebagai seorang tunanetra, karena setidaknya
ia sudah akrab dengan rutinitas tersebut. Setelah 14 tahun
mengalami banyak permasalahan, dan dorongan dari orang
lain yang juga tunanetra, ia memutuskan untuk beralih ke
kereta api komuter (KRL, Kereta Rel Listrik). Kini ia senang
dengan keputusan yang telah diambilnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
87
88
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta
Ferry naik bus kota dari Bekasi sampai ke pemberhentian
sekitar 100m dari kantornya. Waktu perjalanan yang
tidak pasti kadang membuatnya terlambat sampai di
tempat kerja hingga empat jam. Kadang ia harus berdiri di
sepanjang perjalanannya, jika tidak ada penumpang yang
dapat melihat memberitahukan kepadanya bahwa ada kursi
kosong yang tersedia. Setelah turun dari bus, perjalanan
kaki ke kantornya – yang hanya akan membutuhkan sekitar
10 menit bagi orang yang bisa melihat – baginya memakan
waktu 30 sampai 40 menit dengan susah payah. Kadang
ia menabrak bus atau benda lain yang menghalangi ketika
mencoba untuk mencapai trotoar; ini selalu merupakan
sebuah tantangan baginya karena busnya tidak berhenti
di tempat yang sama setiap hari. Ia menelusuri pinggiran
trotoar di sisi kanan jalan raya dengan tongkat bantu
putihnya; di sebelah kiri ada berbagai macam kendaraan
bermotor (mikrolet, bajaj, dan ojek) yang tengah berhenti
untuk menunggu penumpang. Sebagai pejalan kaki di jalan
raya, ia selalu berisiko disambar kendaraan. Kenangannya
yang paling tidak menyenangkan adalah ketika jalan
tergenang banjir dan ia harus berjalan melewatinya.
Secara keseluruhan, peralihan ke kereta api komuter
merupakan suatu kemajuan besar. Ferry mempunyai ojek
langganan yang diperbolehkan masuk ke tempat parkir
tanpa dikenai biaya melalui pintu masuk bagi penyandang
disabilitas, yang menjadikan jarak baginya untuk berjalan
kaki ke kereta menjadi lebih pendek dan lebih aman. Ia
menaiki tangga, dan kemudian diantar ke peron kereta api
oleh petugas KRT yang ramah. Petugas tersebut biasanya
bertanya kepada Ferry mengenai rencana perjalanannya,
kemudian menyampaikan informasi ini kepada petugas di
gerbong kereta api, yang selanjutnya memastikan ia duduk
di tempat yang dikhususkan bagi perempuan hamil, orang
lanjut usia, dan penyandang disabilitas.
Berjalan kaki di Jakarta dapat memakan waktu jauh lebih
lama bagi seorang tunanetra, yang tidak dapat melihat
halangan dan bahaya yang harus dihindari.
Atas perkenan Eleonora Bergita
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Menurut Ferry penumpang kereta api sepertinya lebih
ramah daripada mereka yang naik bus. Ia sering menerima
tawaran bantuan pada saat menggunakan tangga di Stasiun
Juanda, di mana ia turun untuk pergi bekerja.
Meski demikian, beberapa tantangan lain dihadapinya
saat menggunakan kereta api. Di beberapa stasiun, seperti
stasiun Klender, terdapat lantai peron sangat tinggi,
Menggerakkan Orang di Jakarta
sehingga orang tidak bisa keluar dari pintu meskipun dalam
keadaan terbuka. Jika ia berada di salah satu gerbong
belakang, tidak mungkin baginya untuk keluar, sehingga ia
dan penumpang lainnya harus berjalan ke gerbong depan.
Selama jam sibuk, kereta api sangat ramai, sehingga sulit
untuk berjalan melalui gerbong.
Untuk keluar dari kereta api juga sulit di stasiun Kranji
di Bekasi dalam perjalanan pulang. Jarak berjalan kaki
yang jauh harus dicapai melalui beberapa tangga untuk
mencapai pintu keluar stasiun. Di depan stasiun terdapat
ruang terbuka yang luas dengan banyak rintangan dan
kendaraan yang bergerak. Pengaturan seperti ini rumit
bagi penyandang tunanetra. Seperti dijelaskan Ferry, “Kami
jago kalau melewati lorong, karena kami bisa meraba sisi
kanan dan kiri dengan tongkat, tetapi menjadi sangat
bermasalah ketika berada di tempat yang terbuka, karena
kami jadi kehilangan arah.”
Saran untuk Peningkatan
Ferry, yang istrinya juga tunanetra dan mempunyai
rasa frustrasi yang sama terhadap transportasi umum,
mengetahui apa yang akan membuat perjalanannya lebih
aman dan lebih mudah. Salah satu pilihan adalah lajur
khusus yang ditandai dengan tiang atau benda serupa
untuk membantu penyandang tunanetra masuk dan
keluar dari stasiun kereta api dengan aman dan secara
mandiri. Tanpa alat-alat bantu tersebut, ia kadang
mengalami disorientasi dan kepalanya terbentur. Terkadang
ia meminta sesama penumpang untuk memberitahu
di mana letak beberapa benda penanda; tetapi karena
penumpang seringkali bergegas ke tujuan mereka, hal ini
tidak selalu dimungkinkan.
Menurut
Ferry
pengumuman
audio
mengenai
pemberhentian selanjutnya sangat penting, dengannya
ia tidak harus menghitung jumlah stasiun pemberhentian
untuk memastikan agar stasiun yang hendak ditujunya
tidak terlewatkan. Meskipun ia cukup puas dengan layanan
dari petugas kereta api, ia menyatakan bahwa masih
ada ruang untuk peningkatan di berbagai bidang seperti
komunikasi antara petugas di kereta api dan di stasiun
untuk menyampaikan informasi kepada petugas bahwa
ada penyandang tunanetra atau penyandang disabilitas
lain di gerbong kereta api tertentu. Ini akan memfasilitasi
mereka untuk turun dari gerbong kereta sedang sangat
ramai. Menurut Ferry, sebagai penyandang tunanetra yang
bertubuh sehat tidak mudah baginya untuk turun dari kereta;
apalagi untuk penyandang disabilitas lain yang misalnya
menggunakan kruk (alat bantu berjalan) – terutama jika
penumpang mendorong dan menekan dari belakang tanpa
menyadari ada seorang penyandang disabilitas yang berada
di depan mereka. Ferry berharap bahwa di masa depan
perusahaan kereta api akan mempertimbangkan pemisahan
gerbong khusus untuk para penyandang disabilitas, seperti
gerbong yang dikhususkan untuk perempuan.
Ferry senang ketika ia bisa berbagi pengetahuan mengenai
bagaimana cara menggunakan transportasi umum dengan
orang lain yang juga tunanetra. Nasihat dari sesama
penyandang tunanetra lebih berguna daripada saran dari
orang yang bisa melihat, “Sesama penyandang tunanetra
dapat memberikan informasi yang diperlukan penyandang
tunanetra lainnya, seperti mencatat adanya delapan pot
bunga antara tempat kereta api berhenti dan pintu keluar;
orang yang bisa melihat tidak akan mengetahui hal itu.”
Saat ini, Ferry tengah membantu saudara iparnya untuk
belajar bagaimana berangkat bekerja dengan kereta api.
Menggunakan TransJakarta
Ignatius Tuntas Wijaya, 30 tahun, yang dikenal sebagai
Wiwid, adalah pengguna transportasi umum lain yang
juga tunanetra. Sejak ia mulai bekerja sebagai karyawan
di beberapa kantor di daerah Pecenongan dan Kuningan,
Wiwid telah menggunakan sistem Bus Rapid Transit Jakarta,
TransJakarta yang secara aktif melakukan peningkatan
layanan sehingga busnya menjadi lebih ramah terhadap
penyandang disabilitas. Wiwid aktif di BPPC dan kini
tengah bekerja dengan media online. Ia merasa nyaman
menggunakan bus TransJakarta karena, ketika ia perlu
untuk berpindah koridor bus, selalu ada fasilitas yang
menghubungkan pemberhentian bus tersebut, sehingga ia
dapat menemukan arahnya. Ia juga menghargai bantuan
dari personil bus, meskipun tidak selalu ada cukup banyak
petugas yang bertugas di loket untuk mengawalnya. Tapi
mereka sering membantunya untuk mendapatkan ojek atau
moda transportasi lainnya untuk melanjutkan perjalanan
setelah ia turun dari bus.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
89
90
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta
Di dalam bus, seorang petugas sering membantunya
mendapatkan kursi. Ini berguna karena, meskipun ia
bisa berdiri dengan mudah, ia selalu membawa sejumlah
barang, termasuk tongkat berjalannya. Orang yang tidak
dapat melihat juga lebih mudah kehilangan keseimbangan
badan ketika berdiri di bus yang bergoyang, karena mereka
tidak bisa mengandalkan isyarat visual untuk tetap stabil.
Wiwid senang dengan sebagian besar fasilitas-fasilitas
TransJakarta, dengan beberapa pengecualian seperti
kurangnya informasi audio mengenai pemberhentian
bus. Alat audio sering rusak atau tidak dipakai, digantikan
oleh musik, yang sangat membuat frustrasi dan dapat
menimbulkan masalah. Suatu hari Wiwid naik bus yang
salah, mengira ia menuju ke Kampung Rambutan; padahal
busnya sedang dalam perjalanan ke Cibinong. Akibatnya ia
baru sampai ke rumah ketika sudah hampir tengah malam.
Berwisata Tanpa Hambatan
Cucu Saidah adalah Koordinator Teknis dari AIPJ (Kemitraan
Australia Indonesia untuk Keadilan) dan anggota Jakarta
Barriers Free Tourism (JBFT). JBFT, yang didirikan pada
bulan Maret 2012, melakukan advokasi untuk transportasi
yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik
mengenai isu disabilitas. Kelompok ini menyelenggarakan
acara jalan-jalan bulanan yang menarik puluhan peserta –
termasuk, pada bulan Juli 2013, Gubernur DKI Jakarta, Joko
Widodo, yang menemani kelompok ini dalam perjalanan
menggunakan TransJakarta. Kegiatan lainnya antara lain,
JBFT memberikan pelatihan kepada personil transportasi
umum (untuk informasi lebih lanjut tentang JBFT, lihat
halaman Facebook mereka).
Cucu, yang menggunakan kursi roda, melihat bahwa banyak
bus baru telah mengakomodasi kursi roda. Ia juga merasa
bahwa sikap banyak personil bus TransJakarta positif ketika
melayani penyandang disabilitas. “Misalnya, ada seorang
petugas di loket tiket yang mau membantu dan akan bertanya
kepada kami bagaimana mereka dapat membantu,” kata
Cucu. Namun, ia juga memiliki pengalaman negatif, seperti
Prakarsa Compendium | Jilid 3
contoh menakutkan ketika kursi roda dari seorang peserta
JBFT tersangkut ketika mencoba untuk keluar dari halte bus.
Bukan hanya penyandang tunanetra, atau mereka yang
mempunyai gangguan mobilitas, yang menghadapi masalah.
Kadang personil di loket penjualan tiket tidak terlihat
dengan jelas sehingga mempersulit penumpang tunarungu
untuk memperoleh informasi dengan membaca gerak bibir.
Dalam kasus lain, fasilitas yang sebenarnya bermanfaat
dibangun namun berada dalam keadaan rusak, tidak
dipakai, atau dirancang secara kurang memadai, misalnya
lift di beberapa pemberhentian bus yang sulit untuk
dijangkau. Beberapa pemberhentian bus mempunyai pintu
masuk yang sesuai untuk kursi roda, namun pintu tersebut
ditutupi oleh mesin penjual minuman. Demikian juga, ketika
pintu masuk untuk pengguna kursi roda tidak digunakan,
beberapa penumpang harus diangkat dan dibawa
melintasi gerbang masuk, dan ini merupakan pengalaman
yang tidak menyenangkan.
Dalam kasus lain lagi, tangga memiliki undakan yang tinggi
dan sulit. Jalur khusus berbidang miring (ramp) kursi roda
yang sesuai akan memberi solusi, namun beberapa dari
ramp yang ada terlalu curam dan/atau licin.
Biaya Bepergian Tinggi
Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak
hanya dapat menyulitkan, tetapi juga mahal. Banyak waktu
terbuang dan perjalanan menjadi lebih lambat. Ketika
sebuah pemberhentian terlewatkan, dan penumpang
harus berbalik arah, biaya yang lebih tinggi harus
dikeluarkan. Kebutuhan untuk menggunakan ojek atau
kendaraan pribadi lain karena tidak praktisnya berjalan
kaki menambah biaya.
Cucu menegaskan bahwa para penyandang disabilitas
membayar lebih banyak ketika melakukan perjalanan
dibandingkan orang lain, karena kalaupun mereka
menggunakan bus atau kereta api yang sama seperti
Menggerakkan Orang di Jakarta
orang lain, mereka bergantung lebih banyak pada
penggunaan kendaraan transportasi pengumpan, seperti
taksi, untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Menurut
Cucu, “Kami ingin menjadi produktif dan berkontribusi
kepada masyarakat. Para penyandang disabilitas juga
membayar pajak, dan kami juga berhak atas pelayanan
publik yang baik.”
Ferry memperkirakan bahwa ia menghabiskan sekitar
sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ini
terjadi karena, meskipun ia menggunakan KRL setiap hari
untuk perjalanan pergi-pulang, ia harus menggunakan ojek
pada kedua ujung perjalanan tersebut.
Ferry berharap bahwa suatu hari Indonesia akan meniru
keadaan di negara lain yang pernah didengarnya, di mana
desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang
berpendidikan memunculkan fasilitas transportasi umum
yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman. Ini
mendukung mobilitas dan kemandirian bagi penyandang
disabilitas, untuk membantu mereka berpartisipasi secara
penuh dan memberikan sumbangsih bagi masyarakat. ●
Tentang Penulis:
Eleonora Bergita (Gite) adalah Senior Program Officer dan
Event Manager IndII. Ia adalah seorang penulis dan pengatur
acara (event organiser) yang berpengalaman dengan
lebih dari 10 tahun pengalaman di bidang jurnalisme dan
manajemen kegiatan. Pengalamannya meliputi pekerjaan
dengan organisasi non-pemerintah Jerman, beberapa majalah
nasional, dan sebuah perusahaan PR. Gite adalah lulusan
Sastra Jerman Universitas Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
91
POIN-POIN UTAMA
Perundang-undangan, pengawasan publik, dokumen perencanaan, pendidikan lebih tinggi di sektor
transportasi, dan masukan dari asosiasi transportasi telah membantu memperjelas bagaimana Pemerintahan
Daerah (Pemda) seharusnya mengelola dan mendanai program daerah.
Kajian survei belanja publik menunjukkan bahwa infrastruktur memperoleh 5–7 persen dari dana yang
teralokasi dari anggaran daerah. Sekitar 3–5 persen digunakan untuk mendanai sektor jalan. Daerah memiliki
dorongan kuat untuk mendorong kepemilikan kendaraan. Tidak mudah untuk merespon tantangan ini.
Belanja pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)/
Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) telah memperkirakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk
transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali lebih besar dari yang telah direncanakan oleh
Kementerian Perhubungan.
Beberapa daerah mencoba untuk berbagi beban biaya infrastruktur dan layanan transportasi umum
dengan sektor swasta, contohnya Terminal Giwangan di Yogyakarta dan dua koridor monorel yang sedang
dibangun di Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta dan warga Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya
pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian
perkotaan termahal di dunia.
Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya
menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat harus
berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan panduan penerapan untuk transportasi perkotaan.
Desentralisasi pendanaan untuk transportasi perkotaan akan memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai
sendiri program-programnya.
Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan membuka celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda.
Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran sektor transportasi di APBD
akan memberikan ruang gerak bagi Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum untuk mendanai infrastruktur
seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan halte bus, bersamaan dengan keselamatan jalan dan langkah
pengendalian kemacetan.
Restrukturisasi pendapatan daerah untuk meningkatkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait
properti) dan mengurangi ketergantungan pada vehicle-related taxes (pajak terkait kendaraan) harus
menjadi prioritas jangka panjang. Bisa diadakan juga pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk
transportasi yang berkelanjutan yang memberi penghargaan kota-kota yang berkomitmen terhadap
pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi.
Bank Pembangunan Daerah harus didorong untuk memanfaatkan simpanan yang tidak hanya untuk
menyalurkan pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman
yang mendorong pembangunan infrastruktur lokal.
Menggerakkan Orang di Jakarta
MENGELOLA PEMBIAYAAN
TRANSPORTASI PERKOTAAN:
TANTANGAN BAGI
PEMIMPIN DAERAH
Para pemimpin daerah berada di bawah tekanan untuk membiayai
berbagai program infrastruktur dan untuk meningkatkan pelayanan
kota. Kendala di sektor transportasi perkotaan dan ketersediaan
pendanaan Pemerintah Pusat berarti Pemerintah Daerah perlu
mencari cara-cara inovatif untuk mendanai program transportasinya.
Oleh Danang Parikesit
Transportasi merupakan sektor pembangunan yang sering
mendapat sorotan dari media dan analis dari para pakar.
Dari kota besar hingga kota kecil, isu transportasi terusmenerus muncul dan masyarakat memberikan tekanan
besar bagi pemimpin daerah (Pemda) untuk merespon.
Sejalan dengan meningkatnya ketersediaan informasi, dan
SDM pemerintah yang lebih terlatih (dengan dibukanya
program S2 transportasi di berbagai universitas dalam
10–15 tahun terakhir); walikota, bupati, dan gubernur
seharusnya memiliki wawasan yang cukup untuk mulai
menyusun kebijakan dan program di bidang infrastruktur.
Organisasi profesi seperti Masyarakat Transportasi
Indonesia (MTI, Indonesia Transportation Society), dan
komunitas pengguna transportasi dapat memberi dukungan
kepada pemerintah dalam mengidentifikasi isu kebijakan
dan menyusun rencana aksi yang diperlukan. Sebagian
besar kota besar dan kota kecil telah memiliki Tataran
Transportasi Wilayah (Tatrawil) dan Tataran Transportasi
Lokal (Tatralok) sebagai dokumen pedoman transportasi
umum di tingkat provinsi/daerah. Melalui regulasi daerah,
sebagian Pemda menjadikan dokumen tersebut sebagai
dasar hukum dalam merencanakan program atau kegiatan;
sementara sebagian lagi menjadikannya sebagai acuan. Ini
merupakan kemajuan yang signifikan pasca reformasi 1998.
Dengan berbagai revisi UU desentralisasi dan terbitnya
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan,
sekarang menjadi jelas bagaimana Pemda harus mengelola
dan mendanai program daerah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
93
94
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
Melalui
Kementerian
Perhubungan
(Kemenhub),
Pemerintah Pusat telah memberi dukungan kepada
kajian Tatrawil dan Tatralok, serta telah mengalokasikan
hibah untuk bus umum bagi kota-kota tertentu. Program
Kemenhub mendorong strategi-strategi transportasi
perkotaan seperti Trans Jogja, Trans Musi, Trans Kawanua
dan “Trans” lainnya. Kesuksesan TransJakarta telah
menginspirasi kebangkitan transportasi umum di area
perkotaan. Beberapa dari program ini mengalami hambatan
birokrasi dan sebagian lain tidak terencana dengan baik,
sehingga masyarakat tidak menggunakannya secara penuh.
Meski demikian, program ini jelas menunjukkan dukungan
masyarakat terhadap alokasi anggaran oleh DPR/DPRD
bagi program transportasi perkotaan. Konsep kewajiban
pemerintah dalam penyelenggaraan transportasi umum
telah mengakibatkan Pemda yang memiliki program
“Trans” mengalokasikan 2–3 persen dari APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka untuk subsidi
operasional transportasi perkotaan.
(BSTP) pernah memperkirakan bahwa kebutuhan anggaran
transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali
lebih besar dari rencana yang disusun Kemenhub saat ini.
Sebagian besar Dinas Perhubungan menyusun anggaran
di bawah kebutuhan sebenarnya karena menyadari
bahwa keterbatasan dana akan menjadikannya tidak
mungkin bagi DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang
cukup bagi sektor ini.
Kajian survei belanja publik oleh Bank Dunia menunjukkan
bahwa sektor infrastruktur memperoleh alokasi dana
sebesar 5–7 persen dari APBD. Sekitar3–5 persen
digunakan untuk mendanai sektor jalan raya. Transportasi
umum memperoleh bagian yang lebih kecil. Jelas, daerah
memiliki insentif kuat untuk mendorong kepemilikan
kendaraan, daripada menekan pertumbuhan tersebut demi
transportasi umum.
Pemerintah Yogyakarta telah memutuskan untuk
membangun Terminal Tipe A dengan pendekatan Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS), yang memungkinkan sektor
swasta untuk mengelola terminal dan bangunan komersial
yang ada di dalam area terminal dalam bentuk konsesi Build,
Operate, and Transfer (BOT). Gedung terminal dibangun
dengan biaya yang lebih murah dibandingkan perkiraan
pemerintah (OE, owner estimate) dan dengan produktivitas
yang lebih tinggi. Pemegang konsesi tersebut sukses
membangun infrastruktur, namun sayangnya mengalami
kerugian finansial. Pihak Pemda dan sektor swasta gagal
mengelola risiko pengurangan pendapatan karena kebijakan
pemerintah lainnya yang berada di luar kendali mereka.
Tidak mudah untuk bisa merespon tantangan ini. Belanja
pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil dan
seringkali menerima tekanan kebutuhan sektor prioritas
lain yang juga memerlukan pendanaan. Sementara itu,
sumber utama dari pendanaan pembangunan masih
dibebankan pada Dana Alokasi Umum (DAU), yang berfokus
pada belanja rutin pegawai dan pelayanan pemerintahan,
serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kebutuhan spesifik.
Saat ini, DAK infrastruktur hanya digunakan untuk sektor
jalan Sepertinya DAK untuk transportasi perkotaan, yang
digagas Kemenhub di tahun 2008–2009, akan mengalami
kemajuan dalam waktu dekat. Mengenai kebutuhan
belanja pembangunan, Pusat Studi Transportasi dan
Logistik (PUSTRAL)/Bina Sistem Transportasi Perkotaan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Beberapa daerah seperti Yogyakarta, dan tentu saja Jakarta,
melakukan inovasi untuk berusaha melibatkan pihak
swasta untuk turut menanggung biaya infrastruktur dan
layanan transportasi umum. Pemerintah Yogyakarta telah
mengundang sektor swasta untuk mendanai pembangunan
Terminal Giwangan di bagian selatan Yogyakarta,
sementara Pemerintah DKI Jakarta mengizinkan inisiatif
sektor swasta untuk membangun dua koridor monorel di
tengah pusat bisnis Jakarta.
Membangun Terminal dan Monorel
PT Jakarta Monorail (JM) belum lama ini mulai kembali
berinvestasi setelah bertahun-tahun terhenti. Dengan
bekerjasama dengan investor baru, yaitu ORTUS, JM dapat
merancang ulang pengelolaan pendapatan perusahaan
karena dengan izin baru, perusahaan tidak lagi harus
menjamin angka minimum pendapatan penumpang, seperti
keharusan di perjanjian awal. Perusahaan mengakui bahwa
pendapatan tarif tidak akan menutup biaya investasi,
pemeliharaan, serta modal yang dikeluarkan. JM akan
Menggerakkan Orang di Jakarta
Pengeluaran yang sangat besar diperlukan untuk sepenuhnya merasionalisasi sistem transportasi
umum di Jakarta. Pemandangan di dekat terminal bus ini menunjukkan beberapa moda transportasi
yang diandalkan oleh warga saat ini, termasuk sepeda motor, bemo, bajaj, Kopaja, dan ojek.
Atas perkenan Annetly Ngabito
Prakarsa Compendium | Jilid 3
95
96
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
memanfaatkan area stasiun sebagai properti komersial, yang
diharapkan memberi pendapatan lebih besar dibandingkan
pendapatan dari penumpang. Semangat kewirausahaan
investor ini patut diapresiasi, karena sektor swasta tidak
memperoleh jaminan apapun dari pemerintah.
Pemerintah DKI Jakarta dan masyarakat Jakarta telah
menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan
Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta
akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal
di dunia. Meskipun Pemerintah Indonesia, dalam kasus
ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), secara hukum
yang memiliki kewajiban pembayaran pinjaman lunak ke
Pemerintah Jepang, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban
membayarkan 51 persen pinjaman ke pemerintah pusat.
Meski pemerintah DKI Jakarta terlihat tidak memiliki risiko,
namun sebenarnya mereka harus menanggung subsidi
apabila tarif dikendalikan oleh pemerintah dan DPRD.
Pendesentralisasian Pendanaan
Pengawasan belanja sektor publik merupakan intervensi
kebijakan yang penting. Saya termasuk yang percaya bahwa
penguatan Pemda dalam perencanaan dan implementasi
pembangunan, termasuk di sektor transportasi, harus
disertai dengan alokasi pendanaan yang memadai dan
sesuai. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena
pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya
menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal
di sektor transportasi. Pemerintah Pusat, sesuai dengan
tanggung jawab yang dimilikinya, harus lebih berfokus pada
penyusunan pedoman kebijakan dan penerapan untuk
transportasi perkotaan. Program hibah bus daerah harus
tuntas disertai dengan peningkatan kapasitas daerah untuk
menambah armada transportasi melalui investasi sektor
swasta. Desentralisasi dana untuk transportasi perkotaan
akan menjadi instrumen untuk memperkuat kapasitas
Pemda untuk membiayai sendiri program-programnya,
tidak lagi tergantung pada alokasi dana pada Kemenhub,
yang memiliki banyak prioritas lain.
Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan
pembukaan celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
disertai dengan aturan fiskal oleh Kemenkeu. Upaya untuk
membatasi belanja pegawai dan perjalanan dinas hingga
maksimal 50 persen dari APBD (saat ini sekitar 60–70 persen
dari APBD) harus didukung. Apabila fleksibilitas anggaran ini
diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran APBD untuk
sektor transportasi akan memberikan ruang gerak untuk
transportasi yang lebih inovatif bagi dinas perhubungan
dan dinas pekerjaan umum untuk mendanai infrastruktur
seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan lebih banyak
halte bus yang modern dan terpelihara. Jumlah yang telah
ditingkatkan juga dapat diinvestasikan dalam manajemen
keselamatan jalan raya yang lebih baik, termasuk untuk
Area Traffic Control Schemes (ATCS), dan kamera pemantau
untuk pengelolaan kemacetan yang lebih responsif.
Restrukturisasi pendapatan daerah untuk menaikkan
kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti)
dan mengurangi ketergantungan pada "vehicle-related
taxes" (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas
jangka panjang. Secara umum, di Indonesia rasio kedua
jenis pajak tersebut adalah 30:70 persen – angka yang cukup
berbeda dengan negara-negara maju lain yang mendukung
Pemda untuk mengembangkan area baru, melakukan
revitalisasi bagian kota yang lebih tua, serta integrasi
pembangunan permukiman, perkantoran, dan transportasi.
Semakin banyak pendapatan daerah berasal dari pajak
properti maupun value capture tax (pajak nilai terkait
fasilitas infrastruktur suatu wilayah), seperti di Jepang,
Pemda akan semakin bersemangat membangun area yang
menguntungkan secara komersial dan secara lingkungan
merupakan kota yang liveable (layak untuk ditinggali).
Salah satu pemikiran saat ini adalah pemberian pembiayaan
hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi
yang berkelanjutan. Dengan diperkenalkannya program
“mendukung Nationally Appropriate Mitigation Actions
(NAMA)” yang didanai Jerman dan Inggris Raya bagi
beberapa kota di Indonesia, seharusnya konsep ini bisa
menjadi contoh alokasi hibah daerah di masa depan.
Program-program ini dapat digabung dengan Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH) lainnya, didorong
oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Menggerakkan Orang di Jakarta
Rakyat. Sudah saatnya kita mendorong kota-kota untuk
menunjukkan semangat terhadap isu keberlanjutan untuk
melakukan inovasi, dan memberi penghargaan berupa
hibah dari Pemerintah Pusat.
Belajar dari manajemen risiko dari proyek KPS yang
didokumentasikan oleh Dana Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (IIGF, Indonesian Infrastructure Guarantee Fund),
pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan
risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi.
Di masa depan, sektor ini dapat menarik sektor swasta
untuk ikut mendanai proyek yang dapat mendorong
peningkatan mobilitas. Perjanjian konsesi yang lebih adil,
sistem tarif yang mencerminkan daya beli konsumen,
insentif pengelolaan properti untuk memitigasi risiko
pendapatan, dan proses perolehan lahan yang masuk akal
merupakan faktor-faktor yang mendorong lebih banyak
kesempatan bagi KPS.
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Danang Parikesit adalah guru besar transportasi,
Universitas Gadjah Mada, dan merupakan Kepala Masyarakat
Transportasi Indonesia. Sejak 2010 ia bekerja sebagai
penasihat kebijakan di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Ia juga menjabat Kepala The International
Forum for Rural Transport and Development, sebuah organisasi
non-pemerintah pembangunan internasional yang berbasis di
Inggris Raya. Ia juga Anggota Dewan (Board of Directors) The
Eastern Asia Society for Transport Studies, yang merupakan
masyarakat akademis yang berbasis di Jepang dengan sasaran
mendorong teori ilmiah dan pendekatan baru untuk sistem
transportasi Asia. Ia sedang menjabat sebagai anggota Dewan
Pengarah Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Mendorong Pembiayaan yang Kreatif
Sektor keuangan dan perbankan telah berekspansi dengan
sangat baik di Indonesia. Beberapa bank pembangunan
daerah juga dapat memberikan kredit investasi. Mereka
harus didorong untuk memanfaatkan simpanan tidak
hanya untuk pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda
motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman yang
mendorong pembangunan infrastruktur lokal. Obligasi
daerah merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan
yang berpotensi, meski masih diperlukan kehati-hatian
(prudence) untuk menghindari malpraktik seperti yang
dialami beberapa negara Amerika Latin. Skema pembiayaan
yang telah ada dengan menggunakan fasilitas Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) juga perlu disosialisasikan karena memiliki
tingkat bunga menarik dan mendukung daerah memiliki
laporan keuangan yang dapat diandalkan.
Diperlukan optimisme dalam mengembangkan kapabilitas
pembiayaan untuk program transportasi di masa depan.
Tanpa keyakinan tersebut, akan sulit mencapai sistem
transportasi yang akan mendorong kesejahteraan rakyat. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
97
98
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PEMBIAYAAN SANITASI
Persoalan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi
Sasaran Pembangunan Milenium di bidang sanitasi. Namun,
ini ternyata merupakan sasaran yang sulit dicapai meskipun
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan anggaran untuk
sanitasi yang semakin tinggi. Sejumlah faktor menghalangi
tercapainya sasaran ini. Alasan yang paling jelas
terungkap adalah kurangnya keterlibatan yang signifikan
dari Pemerintah Daerah untuk berinvestasi di bidang
infrastruktur sanitasi. Kurangnya keterlibatan ini merupakan
kegagalan besar karena sanitasi sudah merupakan tanggung
jawab wajib Pemerintah Daerah sejak dikeluarkannya
UU otonomi daerah tahun 1999 dan 2004, lebih dari satu
dekade yang lalu. Di mana letak kesalahannya?
Pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium
dan sasaran lainnya terhambat karena tidak
adanya keterlibatan Pemerintah Daerah
(Pemda). Mekanisme pendanaan non-inklusif
merupakan satu faktor ketidakpedulian
Pemda terhadap investasi.
Bukti mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah bukan
memilih untuk tidak melibatkan diri, tetapi karena
mekanisme pembiayaan yang non-inklusif di sektor tersebut.
Hasil observasi yang sama dapat diamati dalam fungsi-fungsi
lain yang didesentralisasi, pekerjaan umum, kesehatan, dan
pendidikan. Pemerintah Daerah mengatakan bahwa mereka
ditugaskan tanpa diberi sarana untuk melaksanakannya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Betulkah ini? Jika kita bandingkan anggaran kementerian
untuk sanitasi, maka jumlah anggaran tersebut delapan
hingga sepuluh kali lebih besar daripada dana yang
disediakan secara langsung kepada Pemerintah Daerah
melalui DAK. Mengingat penyediaan sanitasi merupakan
fungsi wajib Pemerintah Daerah, kelihatannya dana tidak
mengikuti fungsi sehingga Pemerintah Daerah barangkali
mempunyai dasar untuk mengajukan gugatan. Bagaimana
Pemerintah sampai pada sistem pendanaan seperti ini?
Kurangnya komitmen Pemerintah terhadap
pendanaan saluran pembuangan air limbah
yang telah berlangsung lama mengakibatkan
terjadinya ketertinggalan parah.
Apa yang Terjadi Selama Ini?
Secara historis, Pemerintah selama ini mengandalkan
rumah tangga untuk menyediakan fasilitas sanitasi sendiri.
Ini merupakan pendekatan yang dapat diterima ketika
kepadatan penduduk perkotaan masih rendah. Sayangnya,
investasi untuk infrastruktur saluran pembuangan air limbah
kota semakin ditunda karena cara penyediaan fasilitas
oleh perorangan lebih disukai selama 25 tahun terakhir.
Akibatnya, hanya 11 di antara 500 Pemerintah Daerah yang
menyediakan saluran pembuangan air limbah perkotaan.
Tingkat cakupan layanan ini kurang dari satu persen dari
jumlah penduduk perkotaan dan menempatkan Indonesia
pada peringkat kedua terakhir pada skala indeks layanan
negara-negara Asia Tenggara. Belum lama ini, Pemerintah
Menggerakkan Orang di Jakarta
mengumumkan kebijakan yang lebih agresif menerapkan
investasi saluran pembuangan air limbah kota, terutama
melalui pembiayaan dari luar. Ini merupakan bagian dari
program untuk mempercepat pembangunan sanitasi,
atau Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
(PPSP). Tujuannya adalah pembangunan fasilitas saluran
pembuangan air limbah kota baru di lima Pemerintah Daerah.
Program-progam sedang dipersiapkan untuk pinjaman
eksternal dari JICA untuk membangun saluran pembuangan
air limbah di Jakarta dan untuk ADB di empat kota lain di
Indonesia. Namun, kapasitas pendanaan Pemerintah Daerah
untuk berkontribusi pada investasi tersebut merupakan
kendala utama dalam menentukan ukuran skema yang
diusulkan. Secara sederhana, Pemerintah Daerah tidak
memiliki anggaran untuk mendukung investasi tersebut.
Rencana PPSP yang digelar diperkirakan memerlukan total
investasi sebesar USD 7 miliar selama periode lima tahun
2010–2014. Ini adalah investasi sekitar USD 1,4 miliar setiap
tahun. Apakah pemerintah sanggup mendanainya?
Pendanaan untuk saluran pembuangan air
limbah mensyaratkan adanya komitmen dari
Pemda, namun hingga kini tidak kunjung ada
dalam lingkup yang signifikan.
Adakah Cara untuk Maju?
Pemerintah, dengan mengumumkan sebuah rencana yang
lebih agresif untuk mencapai sasaran sanitasi, menaikkan
anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat sekitar 100% untuk masa pembangunan lima tahun
periode 2010–2014. Besarnya anggaran ini sekitar A$ 380
juta per tahun. Sebagai perbandingan, Dana Alokasi Khusus
(DAK) untuk sanitasi kepada semua Pemerintah Daerah
berjumlah A$ 45 juta setahun. Dua hal seketika menjadi
jelas: pertama, total pendanaan yang diidentifikasi jauh
di bawah yang diperlukan; dan kedua, diharapkan bahwa
pendanaan langsung kepada Pemerintah Daerah untuk
fungsi layanan kota seharusnya lebih tinggi daripada
pendanaan pusat.
Alokasi anggaran pusat maupun daerah
untuk fungsi-fungsi lokal tidak sesuai.
Perolehan manfaat yang lebih besar
dapat dicapai melalui hibah langsung,
dibandingkan dengan pendanaan pusat
yang justru memberikan dampak sebaliknya.
Kenyataannya, UU otonomi daerah dan perimbangan
keuangan mensyaratkan adanya devolusi pendanaan yang
progresif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Ini tidak terjadi. Akuntabilitas dan transparansi yang rendah
dalam penggunaan DAK dikemukakan sebagai salah satu
alasan kelambanan transisi ini. Khususnya, kementeriankementerian sektoral paling vokal dalam mengkritik kinerja
DAK yang rendah. Akibatnya, Pemerintah Pusat lamban
dalam menyalurkan dana langsung kepada Pemerintah
Daerah, dan lebih memilih untuk menggunakan jalur Tugas
Pembantuan (TP) di mana kementerian “mendukung”
Pemerintah Daerah untuk mendanai fungsi wajib mereka.
Meski demikian, berlawanan dengan pandangan ini,
analisis yang baru dilakukan atas pembelanjaan untuk
infrastruktur menunjukkan bahwa, meski kurang terdapat
transparansi dan akuntabilitas, DAK berpengaruh dalam
menghasilkan lebih banyak dana dari Pemerintah
Daerah dibandingkan dengan TP. Bahkan, ternyata TP
menghasilkan efek substitusi. Ini berarti bahwa untuk
setiap unit pendanaan TP, Pemerintah Daerah mengurangi
pendanaannya sendiri sebesar separuh unit. Meski tidak
sempurna, setidaknya DAK dapat menghasilkan sepuluh
persen dari Pemerintah Daerah.
Pendanaan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) lebih
baik daripada pendanaan dari pusat, tetapi tidak
sebaik program Hibah untuk mendapatkan dana
tambahan dari Pemerintah Daerah. Peningkatan
mekanisme DAK merupakan salah satu solusi.
Yang lain adalah menerapkan program Hibah
secara lebih luas.
Jelas, meningkatkan kinerja pendanaan DAK akan
menghasilkan kenaikan bersih pendanaan Pemerintah
Daerah. Bank Dunia mendukung prakarsa seperti ini
melalui Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
(Local Government and Decentralization Project). Pilihan
yang lebih baik lagi mungkin adalah mencari mekanisme
hibah lain yang dimungkinkan oleh peraturan baru,
yang meningkatkan akuntabilitas dan pengaruh. Ini
merupakan Hibah yang telah diterapkan dalam format
uji-coba selama Fase 1 IndII dan yang ditingkatkan
skalanya dalam tahap kedua IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
99
100
Uraian Kegiatan
Apa yang Berbeda dengan Hibah?
Hibah adalah penyediaan dana kepada Pemerintah Daerah
yang diberikan melalui perjanjian hibah yang mengikat
secara hukum antara kepala Pemerintah Daerah dan
Menteri Keuangan. Perjanjian Hibah ini merinci apa yang
wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan dana hibah
tersebut, bagaimana metode verifikasi pekerjaan, dan
cara pembayaran dana tersebut. Mekanisme ini berguna
untuk modalitas berbasis hasil yang menambahkan lapisan
akuntabilitas pada proses tersebut. Sebagai perbandingan,
sekali alokasi DAK ditetapkan oleh DPR, dana tersebut
menjadi hak anggaran Pemerintah Daerah dengan sedikit
kemungkinan untuk dilakukan intervensi dan pengkajian
oleh Pemerintah Pusat. Pada Fase 1 IndII, Program Hibah
Air Minum dan Sanitasi diperkirakan telah menghasilkan
sekitar 60% hibah tersebut sebagai kontribusi dari
Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat secara luas mengakui
tingkat efisiensinya. Peningkatan skala Hibah dalam Fase
2 IndII mencakup sasaran tata kelola pemerintahan dan
keterkaitan kinerja pada program Pemerintah Indonesia
lainnya untuk meningkatkan dampak dan penetrasi Hibah
tersebut. Langkah logis selanjutnya adalah bagi Pemerintah
untuk mengakomodasikan mekanisme Hibah ke dalam arus
utama pembiayaan dan menautkannya pada peningkatan
kinerja Pemerintah Daerah.
Hibah merupakan mekanisme pendanaan
yang mengikat secara hukum, akuntabel,
dan transparan. Mengarusutamakan Hibah
adalah langkah lanjutan yang logis.
Pengarusutamaan –
Langkah-Langkah Selanjutnya
Pada awal lembar informasi ini, kita mengkaji kendala
dalam mencapai sasaran sanitasi dengan mengidentifikasi
kelemahan pada mekanisme pendanaan. Penerapan
infrastruktur Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat
berperan sebagai pembiayaan pengganti, yang mengurangi
tingkat komitmen Pemerintah Daerah. Pembiayaan hibah
kepada Pemerintah Daerah melalui program Hibah,
menghasilkan timbulnya dana, yang meningkatkan tingkat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
komitmen mereka. Mencapai tujuan Sasaran Pembangunan
Milenium dan PPSP menuntut adanya komitmen yang lebih
besar dari Pemerintah Daerah. Dalam Pemerintah mungkin
ada perbedaan pendapat mengenai kesiapan penggunaan
dana APBN untuk Hibah dengan berbagai alasan teknis.
Namun, apa yang tersurat dan tersirat dalam perundangundangan otonomi daerah adalah untuk melakukan devolusi
terhadap pendanaan TP yang berkesinambungan kepada
Pemerintah Daerah. Langkah pertama untuk mencapai
tujuan ini barangkali adalah mengalokasikan sebagian dari
dana pinjaman untuk saluran pembuangan air limbah dari
pinjaman yang diberikan JICA dan ADB yang akan datang
melalui jalur Hibah. Ini sudah dilakukan untuk pinjaman
infrastruktur lain, termasuk pinjaman untuk pembangunan
MRT di DKI dan pinjaman Irigasi dari Bank Dunia. Langkah
semacam itu akan menghasilkan pendanaan Pemerintah
Daerah yang lebih besar, yang dapat mengatasi tidak adanya
komitmen dan keterlibatan Pemerintah Daerah saat ini.
Langkah pertama yang barangkali dapat
dilakukan adalah memberlakukan dana
pinjaman pada Hibah. Ini telah dilakukan
untuk pinjaman infrastruktur lain.
Manfaat Jangka Panjang Selanjutnya
Keterlibatan Pemerintah Daerah yang lebih besar
akan menghasilkan lebih banyak layanan sanitasi yang
berkelanjutan. Di bawah pendanaan Hibah, Pemerintah
Daerah akan memperoleh hak milik atas aset dan memegang
tanggung jawab tunggal untuk memelihara dan merawat
aset-aset tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah
yang berlaku. Infrastruktur yang dibangun berdasarkan
pendanaan TP dialihkan pada Pemerintah Daerah untuk
mereka gunakan. Mengingat hak kepemilikannya tetap
berada pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tidak
berada di bawah tekanan untuk memeliharanya. Bahkan
sebaliknya, terdapat insentif buruk untuk menghemat
uang dan membiarkan nilai infrastruktur tersebut turun,
mengingat adanya bukti historis bahwa ada kemungkinan
Pemerintah Pusat akan menggantikannya. Beban
pemeliharaan, pembaruan, dan penggantian menjadi
Menggerakkan Orang di Jakarta
semakin penting seiring dengan berakumulasinya aset
infrastruktur. Apabila aset infrastruktur akan bertambah
dan bertumbuh untuk memenuhi sasaran layanan sanitasi
yang diproyeksikan, para penerima manfaat dan operator
aset harus memikul tanggung jawab hak kepemilikannya.
Mekanisme Hibah akan sekaligus mengikat Pemerintah
Daerah pada kewajiban hukum untuk memelihara aset
dan tingkat layanan, lama setelah dana hibah dicairkan.
Insentif jangka panjang selanjutnya dapat dihasilkan
dengan menautkan Hibah pada pencapaian standar layanan
minimum sebagaimana ditetapkan dalam PP no. 65/2005
tentang fungsi wajib Pemerintah Daerah, dan penilaiannya
dilakukan melalui PP no. 6/2008 yang menguraikan cara
melakukan mengevaluasi kinerja Pemerintah Daerah dalam
mencapai standar layanan minimum.
Seiring dengan berakumulasinya aset, beban
pemeliharaan, pembaruan, dan penggantian
aset melampaui biaya untuk aset baru. Penting
adanya kejelasan kepemilikan dan tanggung
jawab atas aset yang diinvestasikan seiring
berjalannya waktu untuk mempertahankan
manfaatnya secara jangka panjang.
— Jim Coucouvinis, Direktur Teknis Program Air Minum
dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
101
102
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
MENINGKATKAN LAYANAN
TRANSPORTASI DENGAN
MEMPERHATIKAN
PERBEDAAN GENDER:
MENGAPA, APA, DAN
BAGAIMANA
Mengapa Perlu Mempertimbangkan Perbedaan
Gender dan Transportasi?
Transportasi berkontribusi terhadap kualitas hidup seorang
individu dengan memungkinkan adanya akses terhadap
layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Ini akan
berakibat pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
yang lebih besar. Setiap orang menginginkan sistem
transportasi berkualitas tinggi yang memaksimalkan
efektifitas, efisiensi, dan keberlanjutan. Namun, untuk
membangun sistem ini, perencana dan operator harus
responsif terhadap kebutuhan konsumen mereka.
Sementara transportasi dilihat sebagai hal yang netral
gender – sebagai sesuatu yang memberikan keuntungan
yang sama bagi setiap orang – kajian yang dilakukan baik
di negara berkembang maupun negara maju menunjukkan
bahwa, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan
mempunyai kebutuhan transportasi yang jauh lebih
kompleks yang harus diatasi. Diperlukan respon yang
inovatif dan dipertimbangkan dengan baik dan yang
mengembangkan sistem transportasi menarik yang dapat
dinikmati oleh baik perempuan maupun laki-laki.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Infrastruktur dan layanan transportasi yang
efisien, efektif, dan berkelanjutan adalah
infrastruktur dan layanan yang memberikan
respon terhadap kebutuhan yang berbeda
bagi perempuan dan laki-laki.
Apa Perbedaan Gender Dalam Penggunaan
Layanan Transportasi?
Perempuan lebih banyak membuat perjalanan yang
tidak berkaitan dengan pekerjaan dan mempunyai pola
perjalanan yang jelas berbeda jika dibandingkan dengan
laki-laki karena perbedaan tanggung jawab mereka. Jika
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memainkan
berbagai peran sebagai penghasil pendapatan, pengelola
serta pengasuh dalam rumah tangga, dan juga peran dalam
masyarakat. Mereka juga mungkin membawa banyak barang
atau bepergian dengan anak kecil atau saudara yang berusia
lanjut. Perempuan mempunyai kemungkinan lebih banyak
melakukan perjalanan yang pendek dan lebih sering, serta
cenderung bepergian ke berbagai tempat sepanjang hari.
Beberapa perempuan bekerja sampai larut malam atau
Menggerakkan Orang di Jakarta
pada dini hari, misalnya dengan pekerjaan sebagai pekerja
rumah tangga dan perawat. Mereka mempunyai lebih
banyak kemungkinan, dibandingkan dengan laki-laki, untuk
melakukan “perjalanan berantai” yang kompleks, misalnya,
mereka pergi dari tempat kerja ke tempat perbelanjaan,
kemudian ke rumah orang tua mereka, sebelum akhirnya
pulang ke rumah mereka sendiri. Pola perjalanan seperti
ini berarti bahwa perempuan memerlukan fleksibilitas
dalam waktu dan trayek layanan transportasi yang
tersedia. Pengaruh lain terhadap pola perjalanan adalah
kepemilikan dan penggunaan kendaraan. Laki-laki lebih
mungkin memiliki sepeda motor atau mobil yang mereka
gunakan untuk bepergian, dibandingkan perempuan yang
sangat bergantung pada layanan transportasi umum untuk
memenuhi kebutuhan spesifik mereka.
Perempuan mempunyai kebutuhan akan
transportasi yang jauh lebih kompleks daripada
laki-laki karena perjalanan yang berhubungan
dengan rumah tangga, sosial, dan yang terkait
dengan pekerjaannya; dan mereka lebih
bergantung kepada transportasi umum
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Jika dibandingkan dengan perempuan, kebutuhan lakilaki akan transportasi lebih sederhana, dan lebih kecil
kemungkinannya melibatkan “perjalanan berantai”.
Kebutuhan laki-laki lebih banyak terkait pekerjaan, dan
lebih sering menggunakan kendaraan milik sendiri.
Apa yang Diinginkan Kaum Perempuan Dalam
Bidang Transportasi?
Hanya terdapat sedikit penelitian mengenai gender
dan transportasi untuk lingkungan perkotaan dan
perdesaan di Indonesia. Ini merupakan jurang lebar yang
perlu dijembatani. Meski demikian, penelitian yang
dilakukan di negara lain dan informasi yang diberikan
oleh sumber lain di Indonesia, seperti misalnya media,
memberikan arahan kepada berbagai bidang yang menjadi
perhatian perempuan:
Terdapat kekurangan data mengenai kebutuhan
dan pertimbangan khusus perempuan
Indonesia akan transportasi. Keamanan dan
keselamatan; kecukupan ruang; pertimbangan
atas keterbatasan karena ukuran tubuh
perempuan yang lebih kecil; trayek, waktu, dan
frekuensi pelayanan; kenyamanan – terutama
bagi perempuan hamil dan perempuan yang
membawa anak kecil; keterjangkauan; dan
peluang untuk bekerja merupakan pertimbangan
penting bagi perempuan.
• Perempuan mengapresiasi upaya untuk menjamin
keselamatan dan keamanan serta melindungi
mereka dari pelecehan, seperti misalnya penyediaan
penerangan, adanya hubungan dengan transportasi
pengumpan (feeder) sehingga mereka tidak perlu
berjalan kaki jauh, dan fasilitas seperti halte yang
terbuka, tidak tertutup. Salah satu fitur yang disukai
perempuan dari halte Proyek Peningkatan Bus (BIP,
Bus Improvement Project) IndII adalah desainnya
yang terbuka, sehingga orang lain dapat melihat
apa yang terjadi di halte. Perempuan kurang ingin
menggunakan layanan transportasi yang mereka rasa
akan dapat membuat dirinya terekspos pada situasi
yang membahayakan, dan mungkin akan menghindari
bepergian atau mencari alternatif yang kurang efisien
atau lebih mahal. Aspek keselamatan yang menjadi
pertimbangan antara lain meliputi langkah-langkah
seperti adanya pegangan tangan (handrails), lantai
dengan permukaan yang tidak licin, dan penanda yang
dapat dirasakan (tactile markings) untuk menjamin
bahwa perempuan hamil, mereka yang berusia
lanjut, perempuan yang membawa beban berat, atau
perempuan yang membawa anak kecil, tidak terjatuh.
• Jarak antara perempuan dan laki-laki merupakan
persoalan penting bagi perempuan. Bus, kereta api,
dan bahkan tangga penghubung (gangplank) yang
penuh-sesak, berarti laki-laki akan dapat merapat dan
menyentuh/meraba-raba perempuan.
• Fasilitas transportasi perlu mempertimbangkan ukuran
tubuh perempuan yang lebih kecil dibandingkan
dengan laki-laki. Perempuan lebih sulit menaiki tangga
yang tinggi dan jarak antara platform dengan bus,
ketimbang laki-laki. Tempat duduk dan pegangan di
atas penumpang ketinggiannya perlu disesuaikan
dengan ukuran tubuh perempuan.
• Trayek, waktu, dan frekuensi layanan perlu disesuaikan
dengan pola bepergian perempuan yang berbeda,
seperti misalnya menyediakan layanan rutin ke
pertokoan, klinik kesehatan, sekolah, dan tempat
kerja. Privatisasi transportasi umum dapat berakibat
pada kurangnya minat untuk melayani trayek kurang
menguntungkan yang menarik bagi perempuan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
103
104
Uraian Kegiatan
• Perempuan hamil dan perempuan yang membawa
bayi dan anak kecil memerlukan fasilitas yang mudah
untuk diakses dan menyediakan tempat duduk yang
mencukupi dan nyaman.
• Keterjangkauan perlu dipertimbangkan. Perempuan
umumnya mempunyai lebih sedikit uang untuk
digunakan dibanding laki-laki karena, rata-rata,
mereka berada pada posisi pendapatan yang lebih
rendah, atau hanya memiliki akses terhadap uang
untuk kebutuhan rumah tangga saja.
• Sistem transportasi menawarkan banyak peluang
pekerjaan, namun sektor ini didominasi oleh laki-laki.
Perempuan mungkin ragu-ragu melamar pekerjaan di
bidang yang kurang lazim; namun dengan dukungan,
mendapatkan pekerjaan di bidang transportasi akan
memperluas pilihan kerja mereka.
Bagaimana Kementerian Perhubungan
Mengarahkan Pencapaian Sasaran Itu?
Studi pelingkupan IndII mengenai Pengarusutamaan
Gender mengidentifikasi sejumlah peluang berharga untuk
meningkatkan cara isu gender ditangani oleh Kementerian
Perhubungan (Kemenhub). Tiga langkah strategis yang
dapat ditempuh adalah:
Perhatian yang efektif terhadap isu gender
di Kemenhub memerlukan dukungan nyata
yang jelas dari staf senior; pengumpulan dan
analisis data untuk mengidentifikasi isu gender
dalam transportasi; dan integrasi gender dalam
dokumen kebijakan dan perencanaan dengan
pembangunan kapasitas bagi staf terkait untuk
mengimplementasikannya.
• Dukungan nyata, yang ditingkatkan secara substansial,
dari staf senior di Kemenhub untuk upaya dalam
perencanaan dan implementasi serta kegiatan
Pokja Pengarusutamaan Gender, sebagai contoh,
dengan mengeluarkan instruksi dan surat resmi
yang mengharuskan staf untuk mendukung prakarsa
gender, serta menghadiri pertemuan dan lokakarya
terkait gender.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Mengumpulkan, terutama oleh Badan Litbang, data
terpilah (disaggregated information) mengenai
gender; analisis isu gender; serta penerapan temuan
mereka dalam kebijakan transportasi, perencanaan,
dan program. Ini termasuk menjamin konsumen dan
organisasi perempuan memperoleh kesempatan untuk
memberikan informasi, diadakan konsultasi terhadap
kebutuhan mereka, dan berpartisipasi sebagai anggota
dari forum transportasi atau kelompok konsumen
manapun yang dibentuk.
• Dokumen kebijakan dan perencanaan, seperti
Renstra, yang mengintegrasikan isu gender untuk
secara berarti membahas perbedaan kebutuhan
dari kelompok laki-laki dan perempuan, disertai
dengan dukungan pembangunan kapasitas kepada
Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) dan staff
lain yang terkait untuk memungkinkan mereka
mengimplementasikannya.
— Gaynor Dawson, Spesialis Gender
Menggerakkan Orang di Jakarta
105
KERJA KERAS UNTUK
MENYEDIAKAN AIR
MINUM DI KLATEN
“Saya ingin kesejahteraan karyawan meningkat sampai 20 kali. Itu yang
memacu saya untuk mencapai target dan tentu harus kerja keras.”
Itulah pernyataan Ambar Muryati (48 tahun), Direktur Utama
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Dia telah bekerja di PDAM Klaten selama 29 tahun dengan
memulai karirnya sebagai staf pembukuan secara manual. Dia juga aktif
menjadi pengurus enam organisasi sosial maupun olahraga di Klaten
dan di tingkat provinsi. Dia adalah mantan anggota Dewan Direksi
Persatuan perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI).
Tidak terlalu banyak perempuan yang memiliki posisi strategis di sektor
infrastruktur, sektor yang selama ini didominasi laki-laki. Ambar adalah
salah satunya. Prakarsa mewawancarai Ambar untuk menemukan
inspirasi bagaimana kepemimpinan perempuan juga bisa membawa
kemajuan yang berarti dan bahwa hubungan dengan masyarakat juga
merupakan aspek yang penting bagi kemajuan PDAM.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
106
Kerja Keras untuk Menyediakan Air Minum di Klaten
Tidak banyak perempuan menjadi pemimpin di
sektor infrastruktur seperti PDAM. Tentu ini menjadi
prestasi menggembirakan. Tapi bagaimana Anda
bisa menjadi seperti ini sekarang, bagaimana masa
kecil Anda?
Pada masa kecil, saya hidup dalam lingkungan sosial di
mana anak-anak perempuan tidak didorong memiliki
cita-cita tinggi dan akses pendidikan yang tidak sebaik
anak laki-laki. Namun demikian saya justru hidup dalam
keluarga yang sangat disiplin. Orangtua saya menghendaki
agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan tinggi,
yang lebih baik dari mereka. Dari kecil saya punya cita-cita
sangat tinggi dan berpikir bagaimana bisa meraih citacita itu. Orangtua saya miskin, tapi setiap anak didorong
untuk bersekolah dan meraih prestasi. Kami juga terlibat
dalam pekerjaan orangtua kami; bahkan sejak kelas 2 SD,
saya sudah ikut bekerja mencari uang untuk biaya hidup
keluarga dan sekolah. Saya bekerja menjadi buruh tani dan
jualan makanan untuk mendapatkan uang biaya sekolah
dan menabung.
Bagaimana pandangan Anda tentang kepemimpinan
di PDAM di Klaten, apa yang dibutuhkan dan apa
yang perlu dilakukan?
Secara umum kepemimpinan di PDAM sama dengan di
institusi lainnya. Terlepas dari kelemahan dan kekuatan
kepemimpinan seseorang, PDAM Klaten memang
membutuhkan kepemimpinan yang bisa membawa
perusahaan berkembang maju dan mampu mensejahterakan
karyawannya. Menjadi pemimpin itu memang harus bisa
memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak buah untuk
mengikuti arahannya. Selama bekerja di PDAM saya
telah mengalami tiga kali pergantian direktur dan saya
diajarkan banyak hal mengenai loyalitas dan dedikasi
yang tinggi dalam membesarkan perusahaan. Saya juga
terinspirasi untuk melakukan banyak hal ketika menghadapi
situasi sulit. Pada intinya, saya belajar bagaimana
pemimpin harus bekerja keras dan disiplin supaya dapat
diikuti anak buahnya.
Apa visi anda dalam memimpin PDAM Klaten?
Sejalan dengan visi Kabupaten Klaten: untuk memberikan
layanan air minum kelas satu dan menjadi perusahaan
yang sehat secara keuangan dan mendiri – menjadi
perusahaan yang sehat dengan mimpi-mimpi yang besar.
PDAM bisa menjadi perusahaan yang memenuhi tata kelola
perusahaan yang baik atau good corporate governance
(GCG). Saya ingin perusahaan ini besar dan mampu
memberikan kepuasan kepada pelanggan dan meningkatkan
kesejahteraan karyawan.
Prinsip-prinsip apa yang Anda yakini selama ini
dalam bekerja dan memimpin perusahaan ini?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Ada banyak hal yang saya yakini dan bersifat prinsipil
dalam bekerja.
Pertama, terbuka dan berpikir positif. Dua periode menjadi
Direktur PDAM, saya berusaha menerapkan prinsip
kepemimpinan yang inklusif, membangun hubungan yang
dekat dengan semua pegawai dan bawahan. Terbuka
terhadap kritik dan masukan sekaligus memberikan
pengawasan langsung kepada bawahan tentang halhal yang sangat prioritas. Sehingga karyawan akan
mempercayai para pemimpin mereka dan pada gilirannya
akan sangat membantu perusahaan untuk menciptakan
lingkungan kerja yang terbuka dan positif.
Kedua, dorong disiplin dan kerja keras. Bagi saya memimpin
perusahaan yang pernah mengalami masa suram
membutuhkan kerja keras, disiplin. Juga perlu adanya
komitmen untuk dapat diberi kepercayaan oleh pemerintah
maupun oleh karyawannya. Dibutuhkan dedikasi dan
loyalitas yang tinggi yang memungkinkan perusahaan
berkembang dan mengalami kemajuan dengan cepat.
Ketiga, lurus dan bertanggung jawab. Prinsip dalam hidup
saya adalah bekerja dengan baik seperti yang diminta.
Saya berusaha bekerja selaras dengan aturan dan tata
tertib. Semua pekerjaan harus bisa dipertanggungjawabkan
di manapun dan kapanpun. Sehingga salah satu prinsip
corporate governance yaitu transparansi dapat tercapai.
Apa pendapat anda tentang perempuan bekerja di
sektor infrastruktur?
Bagi saya perempuan dan laki-laki sama saja. Memang
perempuan di manapun memiliki beban yang lebih karena
perannya dalam mendidik anak-anak dan menjaga keluarga.
Tapi bagi saya itu dua hal yang bisa dijalankan sekaligus.
Beruntung saya punya suami yang mau berbagi dalam hal
pengurusan rumah tangga. Dulu, waktu pekerjaan saya
sangat banyak sampai harus lembur hingga malam di
kantor, suami saya yang menjaga anak-anak.
Keberadaan perempuan di sektor infrastruktur saya kira
juga mulai banyak. Asalkan mau bekerja keras, jangan manja
dan mau disiplin, kita bisa menjadi apa yang kita inginkan.
Bagaimana hubungan Anda dengan staf PDAM?
Saya menganggap staf atau karyawan sebagai teman dan
itu bagi saya membuat hubungan kerja menjadi lebih
nyaman dan tidak berjarak tetapi tetap profesional. Dengan
menganggap mereka seperti teman saya bisa menggerakan
mereka lebih fleksibel. Memberi motivasi untuk bekerja
keras dan mencapai target lebih enak kalau disampaikan
dalam suasana pertemanan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Atas perkenan Eleonora Bergita
Apa yang Anda lakukan untuk membangun jaringan
dan berhubungan dengan dengan pihak luar?
Kunci utama dalam membangun jaringan adalah komunikasi
dan lobby. Saya melihat bahwa PDAM harus mampu
menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan berbagai
pihak yang strategis termasuk dengan pemerintah, DPRD,
Pemerintah Pusat dengan PDAM daerah lain, masyarakat
bahkan dengan pihak donor.
Apa pandangan Anda tentang posisi masyarakat
dalam program PDAM?
Hubungan kami dengan masyarakat merupakan bagian
penting dalam strategi kami. Kemajuan perusahaan
akan turut ditentukan oleh seberapa besar perhatian
perusahaan dalam membangun hubungan baik dengan
masyarakat dan calon pelanggan. Oleh karena itu kami
bekerja keras mengupayakan agar masyarakat berminat
untuk menyambung saluran air minum.
Dengan bekerja keras, bagaimana capaiannya?
Berapa sambungan rumah tangga sekarang?
Sekitar tujuh tahun yang lalu, jumlah sambungan air minum
hanya 25.000 sambungan, kini telah mencapai 35.000
sambungan rumah tangga. Saya kira di tengah minat
masyarakat yang masih rendah dan bahan baku air yang
masih terbatas, capaian ini juga termasuk cukup signifikan.
Bagaimana Anda dan PDAM membangun hubungan
dengan masyarakat?
Kami PDAM Klaten selalu menjaga reputasi kami di mata
masyarakat dengan menunjukkan bukti produk dan layanan
yang baik. Sehingga masyarakat memiliki ketertarikan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
107
108
Kerja Keras untuk Menyediakan Air Minum di Klaten
untuk menyambung. Banyak orang enggan menyambung
hanya dengan mendengarkan penyuluhan atau sosialisasi,
tapi mereka dengan cepat mengambil keputusan ketika
melihat kualitas air minum dan layanan yang disediakan
PDAM bagus.
Apa inovasi anda untuk mendorong managemen
yang lebih baik?
Kami telah mengembangkan empat pendekatan untuk
mendukung pencapaian ini:
Kami sedang melakukan inovasi-inovasi yang berorientasi
pada peningkatan sistem produksi dan pelayanan PDAM.
Pada dasarnya saya ingin sekali melakukan perubahan yang
positif baik dari aspek manajemen dengan mengadopsi
berbagai sistem yang dianggap efektif seperti pembayaran
rekening dengan bekerjasama dengan kantor pos dan bank.
Pertama, menetapkan tarif wajar yang dapat dijangkau
oleh masyarakat. PDAM tidak perlu mengambil keuntungan
banyak dengan menaikkan tarif karena yang paling penting
adalah jumlah pelanggan banyak dan berkelanjutan. Harga
yang ditentukan terjangkau bagi masyarakat.
Manajemen sistem informasi juga sedang dikembangkan
menggunakan basis IT yang memungkinkan informasi dapat
diakses dan dipantau secara online baik dari aspek teknis
maupun administratif. Namun demikian, upaya ini belum
bisa direalisasikan karena SDM kami masih belum siap.
Kedua, pendekatan kepada tokoh masyarakat. Pendekatan
ini akan menjembatani efektifitas program PDAM kepada
masyarakat serta memudahkan PDAM menyelesaikan
masalah jika terdapat pengaduan masyarakat. Kami
mencoba mengidentifikasi seorang tokoh masyarakat di
tiap desa yang bisa menjadi penghubung komunikasi antara
PDAM dengan masyarakat.
Bagaimana Anda melihat tata kelola keuangan
PDAM Klaten?
Ketiga, menawarkan layanan segera. Pelanggan yang
memiliki keluhan harus segera direspon dan ditanggapi,
kalaupun tidak bisa penanganan langsung yang penting
mereka mendapatkan informasi tentang penanganannya.
PDAM Klaten menerapkan prinsip bahwa pelanggan adalah
raja, dan mereka harus mendapatkan pelayanan 24 jam.
Keempat, memberikan bukti pada masyarakat mengenai
produk PDAM yang berkualitas tinggi. Air minum PDAM
seharusnya memiliki tekanan yang tinggi dengan kuantitas
dan kualitasnya bagus. Layanan PDAM juga harus prima
dan terjaga keberlanjutannya. Maka masyarakat akan
mempercayai dan tertarik untuk menyambung air minum.
Bagaimana Anda mengelola SDM?
Meskipun dengan berbagai keterbatasan manajemen,
kami berupaya membangun kapasitas SDM kami. Berbagai
pelatihan yang diselenggarakan PDAM maupun tawaran dari
pihak luar telah diikuti pegawai senior dan junior, namun
sebagai perusahaan yang sedang bekerja keras menata diri,
perubahan tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Saya akui
juga bahwa masih banyak masalah pengelolaan SDM yang
belum maksimal seperti delegasi kerja yang kurang merata.
Namun demikian di masa depan kami akan menerapkan
sistem punishment and rewards secara efektif. Penilaian
sangat memuaskan dalam manajemen pengelolaan
kepegawaian oleh tim AUDIT dari Badan Pengelolaan
Keuangan Daerah (BPKD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
akan kami jadikan sebagai pemicu untuk meningkatkan
kinerja kami.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pengelolaan keuangan di sini mendapatkan pengawasan
yang ketat dan detail. Saya selalu mengecek dengan detail.
Saya selalu berorientasi pada prinsip cost and benefit. Biaya
yang dikeluarkan harus dalam pengelolaan yang efisien
dan memberikan keuntungan yang maksimal namun tidak
memberatkan pelanggan.
Hasilnya kita bisa lihat dari penilaian audit bahwa
pengelolaan keuangan kami juga menunjukkan efesiensi,
wajar, dapat diterima dan bagus. Penagihan dan
pembayaran juga dianggap baik.
Apa pesan anda terhadap para perempuan dan
anak muda lainnya supaya bisa menjadi pemimpin
yang baik?
Teruslah berkerja keras dan disiplin. Menjadi pribadi yang
jujur dan ulet. Saya kira anak-anak muda sekarang jauh
lebih punya kesempatan untuk maju karena banyak pilihan.
Cita-cita yang baik pasti akan menemukan jalannya.
— Wawancara ini dilakukan oleh Eko Setyo Utomo,
Staf Gender IndII
Menggerakkan Orang di Jakarta
Menggerakkan Orang di Jakarta
dalam angka
Rp 1,4 triliun
9,9 juta
10 km
Rp 400 miliar
Rp 12,8
triliun/tahun
Rp 1 juta
65%
Total biaya proyek jalur layang busway yang diusulkan, atau Koridor
12 TransJakarta, yang menghubungkan Ciledug dengan Blok M,
berdasarkan perkiraan tahun 2013.
Jumlah mobil, sepeda motor, truk, dan kendaraan lainnya yang
menjelajahi jalan raya di ibu kota pada setiap hari kerja, menurut
Dinas Perhubungan Jakarta.
Rata-rata kecepatan kendaraan per jam di Jakarta di tahun 2013, turun
dari 16,8 km di tahun 2012, menurut Dinas Perhubungan Jakarta.
Besaran dana yang dialokasikan oleh Pemerintah pada tahun 2014
untuk pengembangan moda transportasi massal bus rapid transit
(BRT) di enam kota besar (Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali,
dan Makassar).
Biaya kemacetan lalu-lintas di Jakarta, menurut
Kementerian Perhubungan.
Denda yang dikenakan pada pengendara mobil yang mengambil
lajur bus TransJakarta.
Berdasarkan penelitian yang diadakan ADB 2011, persentase trotoar
di Jakarta yang dilewati pejalan kaki yang sangat sedikit dimanfaatkan
(dengan kata lain, pejalan kaki memilih menyeberang jalan sembarangan
daripada menggunakan jembatan penyeberangan) disebabkan buruknya
pemeliharaan, kurangnya kebersihan, tangga yang sulit dicapai, dan
kurang terjaminnya keselamatan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
109
110
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI
Pertanyaan:
Bagaimana upaya lembaga Anda memberi kontribusi bagi
tercapainya tujuan mobilitas perkotaan secara keseluruhan?
M. Akbar, MSc
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta
“Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memiliki kebijakan untuk menunjang mobilitas perkotaan
yang merupakan keberpihakan/prioritas terhadap sistem transportasi umum massal yang memadai dalam
melayani kebutuhan perjalanan masyarakat, baik di Jakarta sendiri maupun antara Jakarta dengan daerah di
sekitarnya (Jabodetabek).
Arah kebijakan pembangunan transportasi DKI Jakarta hingga tahun 2020 tertuang dalam Pola Transportasi
Makro (PTM), yang diimplementasikan melalui tiga strategi, yaitu: pengembangan transportasi umum massal,
pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan. Pengembangan transportasi umum massal meliputi
pembangunan busway (BRT, Bus Rapid Transit), Light Rail Transit (LRT)/monorail, dan Mass Rapid Transit (MRT).
Pengembangan keempat jenis transportasi ini, di bawah Dinas Perhubungan, diharapkan selesai pada tahun 2020.
BRT (busway) telah beroperasi sejak tahun 2004, dan hingga saat ini telah beroperasi 12 koridor dari 15 koridor
yang akan dibangun, dengan jumlah armada sebanyak 794 unit, dan akan ada penambahan sekitar 500 unit di
tahun 2014. Untuk menunjang layanan busway, telah dilakukan penambahan bus berukuran sedang (Kopaja/
MetroMini) yang akan terintegrasi dengan busway yang dikenal dengan nama Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB).
Untuk memberi pelayanan transportasi umum yang terpadu bagi daerah penyangga yang menuju Jakarta, telah
dioperasikan Transportasi Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) pada tahun 2012, yang hingga saat ini telah
beroperasi di 13 trayek dengan 143 unit APTB. Selain itu Jakarta juga akan mempunyai MRT, yang pembangunannya
untuk tahap 1 Lebak Bulus–Bundaran HI telah dimulai tahun 2013, dan diharapkan selesai pada tahun 2016.
Pembangunan monorail yang sempat terhenti telah dilanjutkan kembali oleh pihak swasta, yaitu PT Jakarta
Monorail, dan direncanakan selesai pada tahun 2017. Beberapa kebijakan Pemprov DKI yang telah dilakukan dalam
pembatasan lalu lintas antara lain 3-in-1 pada kawasan tertentu, penertiban parkir liar (on street), pembangunan
fasilitas park-n-ride di Terminal Ragunan, dan Electronic Road Pricing (ERP) yang sedang dalam tahap pembangunan.
Pemprov DKI juga tengah melakukan peningkatan jaringan jalan dengan pembangunan Area Traffic Control System
(ATCS), pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang terintegrasi dengan stasiun kereta api (JPO
Tanjung Barat dan JPO Lenteng Agung), dan juga telah direncanakan pembangunan fasilitas terintegrasi antara
halte busway dengan stasiun kereta api (di daerah Jalan Juanda dan Manggarai), koridor busway yang terintegrasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Menggerakkan Orang di Jakarta
dengan terminal bus, pembangunan jalan, pembangunan jaringan jalan, pembangunan flyover/underpass, dan
pengembangan kawasan pejalan kaki.
Salah satu kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang merupakan kebijakan non-kendaraan bermotor (non-motorized)
adalah dibangunnya jalur sepeda sepanjang 16,4km dengan jalur Cipinang–Pondok Kopi sepanjang 6,7km dan
di Jalan Raya Bekasi Rorotan–Marunda sepanjang 9,7km. Kami harapkan kebijakan-kebijakan tersebut dapat
mengatasi masalah lalu lintas di DKI Jakarta, sehingga dapat meningkatkan mobilitas perkotaan. Dukungan serta
kepedulian masyarakat ikut menentukan keberhasilan berbagai kebijakan tersebut.”
Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si
Ketua Dewan Masyarakat Transportasi Jakarta (DTKJ) 2006–2014
“Ada beberapa hal yang telah kami lakukan. Pertama, kami melakukan berbagai kajian mengenai persoalanpersoalan transportasi di Jakarta. Persoalan utama adalah kemacetan, yang disebabkan oleh buruknya kondisi
transportasi umum, yang menyebabkan masyarakat memilih menggunakan alat transportasi pribadi.
Kini Pemerintah Provinsi telah melakukan beberapa langkah terobosan, seperti membangun sistem BRT, Namun
langkah ini baru merupakan salah satu pendekatan untuk memecahkan persoalan buruknya layanan transportasi
umum di Jakarta. Masih banyak persoalan lain seperti transportasi reguler, serta integrasi dengan moda lain yang
masih menjadi persoalan.
Sistem transportasi yang baik perlu dibangun supaya orang mau beralih dari moda lain ke transportasi umum
massal. Dalam konteks ini, menjadi tugas DTKJ untuk melakukan kajian-kajian tersebut dan memberi masukan
pada Gubernur tentang kebijakan transportasi.
Di samping itu, kami juga berupaya membangun kesadaran baru di masyarakat untuk mengubah perilaku, dari
dengan mudah menggunakan kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum massal, dengan melakukan sosialisasi
permasalahan transportasi di Jakarta, baik dengan membuka pos pengaduan melalui telepon, faks, surel, maupun
media sosial, maupun mengadakan dialog publik dengan masyarakat mengenai isu-isu yang kami anggap penting.
Kami juga mengadakan penyuluhan media (media briefing) terutama pada saat ada kajian yang kami terbitkan,
atau bila terdapat masalah transportasi yang sedang ditangani, dan kami baru menyampaikan rekomendasi kepada
Gubernur. Kami juga ingin agar media massa memiliki perspektif dan wawasan dalam persoalan transportasi.
Selain beberapa hal di atas, kami juga melakukan advokasi kebijakan. Ada tiga Perda yang berhasil kami dorong
untuk disahkan setelah tiga tahun, yaitu Perda BUMD TransJakarta, Perda Transportasi, dan Perda BRT. Kami
memberi dukungan dengan melakukan lobi kepada DPRD. Meski tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) DTKJ ada
di Dinas Perhubungan, namun lingkup kerja kami kembangkan sendiri. Misalnya, ketika ada pengaduan soal
trotoar, yang menjadi wilayah dinas Pekerjaan Umum, kami juga melakukan pendekatan dan mengembangkan isu
tersebut ke aksesibilitas kelompok penyandang disabilitas. Atau, ketika kami akan membuat busway koridor 13
yang menggunakan jalur jalan layang (elevated), prosesnya tidak ada hambatan, karena kami juga melakukan lobi
ke Bappeda dan ke UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Jadi, kami
tidak hanya berhubungan dengan Dinas Perhubungan saja, karena persoalan transportasi bukan cuma persoalan
transportasi umum, juga bukan sekedar persoalan teknis semata, namun lebih banyak merupakan persoalan nonteknis; seperti perilaku masyarakat, persoalan politis, dan lainnya. Kalau bicara transportasi, ya, bicara politik.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
111
Penyelenggaraan
Layanan Daerah
di Sektor Air Minum
dan Sanitasi
Edisi 18, Juli 2014
• Penyelenggaraan Layanan Daerah
di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Indonesia: Sebuah Dasar untuk
Modalitas Saat Ini
• Kontribusi untuk Penanggulangan
Kemiskinan melalui Penyelenggaraan
Layanan Daerah dalam Sektor
Air Minum
• Pembiayaan Business-to-Business:
Model Pembiayaan Proyek KPS
Berskala Kecil di Sektor Air Minum
• Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk
Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
POIN-POIN UTAMA
Lembaga dan perorangan yang menangani infrastruktur air minum dan sanitasi harus mengikuti perkembangan
peraturan Pemerintah Indonesia untuk menjamin bahwa mereka memahami: siapa yang bertanggung jawab
atas penyediaan pelayanan tersebut? Apakah pihak-pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya memahami
peran mereka? Dalam lingkungan yang konteks keuangan dan peraturannya masih berubah-ubah, mengikuti
perkembangan siapa yang bertanggung jawab menyediakan pelayanan umum di sektor air minum dan sanitasi
serta berbagai pengaturan untuk bisa menyediakan pelayanan tersebut adalah suatu tantangan.
UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap warga negara atas
penyediaan air minum yang memadai. Pemerintahan Daerah (Pemda) bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
warga mereka, begitu pula dengan pemerintah desa di tingkat yang lebih rendah. Fungsi pemerintah provinsi
adalah menyediakan bantuan teknis pada kota/kabupaten. Penelitian menunjukkan bahwa warga negara tidak
selalu sadar siapa yang bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan air minum.
Pelayanan umum adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kepada orang-orang yang tinggal di
dalam wilayah hukumnya, baik secara langsung (melalui sektor publik) atau melalui pembiayaan penyediaan
pelayanan. Di Indonesia, pelayanan umum diatur oleh UU no. 25/2009. Pelayanan umum diidentifikasi ada dua
kategori: yang dioperasikan oleh organisasi swasta dan yang dijalankan oleh lembaga pemerintah. Kategori
kedua dibagi lagi menjadi pelayanan yang disediakan oleh pemerintah sebagai agen tunggal dan pelayanan
yang tersedia dari pemerintah serta penyedia lain.
Di tingkat daerah, badan-badan pemerintah menyediakan pelayanan umum melalui beberapa modalitas,
termasuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), perusahaan milik Pemda, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD),
Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM), dan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). BLUD sangat umum
di sektor kesehatan tetapi jarang digunakan di sektor air minum. Penyedia pelayanan air minum di daerah
perkotaan biasanya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang sekitar setengahnya tidak memiliki
peringkat keuangan yang sehat. Di luar wilayah pelayanan PDAM, pasokan air minum dapat dioperasikan oleh
OBM; diperkirakan ada sejumlah 6.000 OBM mengelola penyediaan pelayanan air minum di Indonesia.
Apapun modalitas yang dipilih, tata kelola pemerintahan yang baik adalah kunci yang memungkinkan
Pemda memenuhi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan air minum yang memadai. IndII selalu
berfokus pada mendorong tata kelola pemerintahan yang baik melalui setiap kegiatannya dalam sektor air
minum dan sanitasi.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
115
PENYELENGGARAAN LAYANAN
DAERAH DI SEKTOR AIR MINUM
DAN SANITASI INDONESIA:
SEBUAH DASAR UNTUK
MODALITAS SAAT INI
Pemerintahan Daerah bertanggung jawab menjamin bahwa warga
mereka mendapatkan akses terhadap air minum yang memadai.
Tanggung jawab ini dapat dipenuhi melalui berbagai cara,
melibatkan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), organisasi
berbasis masyarakat, dan pendayagunaan lain.
Oleh Poppy Lestari
Lembaga dan perorangan yang menangani infrastruktur
air minum dan sanitasi harus mengikuti perkembangan
peraturan Pemerintah Indonesia untuk menjamin
bahwa mereka tahu: siapa yang bertanggung jawab
atas penyediaan layanan? Apakah pihak-pihak yang
bertanggung jawab sepenuhnya memahami peran
mereka? Dalam sebuah lingkungan dengan konteks
keuangan dan peraturan yang masih berubah-ubah, apa
yang selama ini mampu dicapai oleh pihak-pihak tersebut
dan bagaimana mereka melakukannya?
UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan
bahwa Negara menjamin hak setiap warga negara untuk
mendapatkan pasokan air minum yang cukup guna
memenuhi kebutuhan dasar harian minimum demi
mewujudkan hidup yang sehat, bersih, dan produktif.
Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan dasar minimum terhadap air minum bagi
masyarakatnya, dan begitu pula dengan pemerintah
desa di tingkat yang lebih rendah. Fungsi pemerintah
provinsi adalah menyediakan dukungan teknis kepada
kota/kabupaten.
Sejauh mana Pemda berkomitmen terhadap tanggung
jawab mereka, dan bagaimana mereka menjalankan
tanggung jawab untuk menyediakan akses terhadap air
minum, menarik untuk dianalisis. Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) mewajibkan adanya laporan dari
setiap Pemda terkait pencapaian Standar Layanan
Minimum mereka, namun ada baiknya juga meminta
masukan langsung dari masyarakat, terutama mereka yang
tinggal di desa terpencil. Apakah mereka sadar akan hak
mereka atas tingkat pelayanan yang dapat diharapkan?
Ketika masyarakat menerima pelayanan buruk dan tidak
Prakarsa Compendium | Jilid 3
116
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini
Fitur Utama Pembentukan BLUD
1.Penganggaran. BLUD mempersiapkan rencana usaha dan
anggaran, sementara SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
biasa mempersiapkan rencana kerja dan anggaran.
2.Pengelolaan Keuangan. BLUD dapat menggunakan
pendapatan dari biaya pelayanan untuk membiayai
operasional mereka.
3.Pengelolaan dan Akuntansi. Pengelolaan didasarkan pada
efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme dan mengikuti
apa yang dilakukan sebuah usaha, menerapkan Standar
Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia.
4.Akuntabilitas. Manajemen BLUD melapor kepada kepala
daerah (walikota/bupati) dan laporan keuangan BLUD
akan diintegrasikan dengan laporan keuangan dari SKPD
lain (yang memerlukan penyesuaian sistem akuntansi
yang agak sulit).
5.Kemitraan. BLUD dapat bermitra dengan pihak ketiga
yang sesuai dengan fungsi dan usahanya. Meski demikian,
karena BLUD bukan aset yang terpisah dari Pemda,
kemitraan tersebut tetap harus berada di dalam ruang
lingkup wewenang walikota/bupati.
6.Pengadaan barang dan jasa. Perpres no. 8/2006, yang
mencakup pembentukan unit pengadaan, bukan hal
yang wajib bagi SKPD dengan status BLUD penuh.
“Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata
Kelola Air Minum,” halaman 137, dari edisi Prakarsa ini.)
WSSI adalah indeks yang mudah dipahami yang menilai
pelayanan penyediaan air minum dan sanitasi oleh Pemda
dengan menggabungkan data keras yang diperoleh dari
dokumen resmi, wawancara, dan uji fisik air, dengan data
lunak berdasarkan persepsi konsumen. Rumah tangga
diajukan dua pertanyaan mengenai kesadaran warga: (1)
Sejauh yang Anda tahu, siapa yang bertanggung jawab
untuk menjamin akses terhadap air minum bagi warga
kabupaten? dan (2) Sejauh yang Anda tahu, siapa yang
bertanggung jawab menjamin air tanah dan sungai Anda
terlindung dari polusi air limbah?
Jawaban yang dikumpulkan selama uji coba WSSI
mengejutkan: hanya 39 persen responden sadar bahwa
Pemda mereka bertanggung jawab menjamin akses
terhadap air minum. Hanya 17 persen sadar bahwa
Pemda bertanggung jawab melindungi sumber daya air
minum dari air limbah.
Apakah Pelayanan Umum?
Barangkali seharusnya tidak mengejutkan bahwa banyak
warga negara Indonesia yang tidak begitu paham mengenai
perincian seperti siapa yang menyediakan layanan air
minum, karena pembahasan topik itu bisa menjadi rumit.
Pertama, secara umum dapat diterima bahwa air minum
Gambar 1: Tata Cara untuk Penyediaan Pelayanan Umum
menyuarakan tuntutan mereka untuk peningkatan, mungkin
ini disebabkan karena mereka tidak tahu bagaimana
melakukan advokasi untuk diri mereka sendiri, atau kepada
siapa mereka harus mengadukan kepentingan mereka. Hal
ini terutama dialami perempuan, yang sangat bergantung
pada air minum untuk melakukan pekerjaan rumah tangga
dan merawat anggota keluarga tetapi memiliki sedikit
kesempatan untuk mengekspresikan kebutuhan mereka
dalam berbagai forum publik.
Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai tanggung jawab
penyediaan layanan air minum daerah disorot dengan
Indeks Pelayanan Air Minum dan Sanitasi (WSSI, Water and
Sanitation Services Index), diprakarsai pada tahun 2012 dan
diujicobakan di 12 Pemda pada tahun 2013, oleh Prakarsa
Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah
Australia. (Sebuah artikel yang memaparkan alasan di balik
WSSI dan memperinci cara kerja Indeks dapat dibaca di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pemerintah Daerah
SKPD
BUMD
UPTD
BLUD
Keterangan:
SKPD = Satuan Kerja Perangkat Daerah
BUMD = Badan Usaha Milik Daerah
KPS = Kerjasama Pemerintah dan Swasta
OBM = Organisasi Berbasis Masyarakat
UPTD = Unit Pelaksana Teknis Daerah
BLUD = Badan Layanan Umum Daerah
PPP
CBO
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dan sanitasi merupakan “layanan umum,” tapi sebetulnya
apa artinya?
Menurut Wikipedia, layanan umum adalah “layanan yang
disediakan oleh pemerintah kepada orang-orang yang
tinggal di dalam wilayah hukumnya, baik secara langsung
(melalui sektor publik) atau melalui pembiayaan bagi
penyediaan layanan. Istilah ini dikaitkan dengan konsensus
sosial bahwa layanan tertentu harus tersedia bagi semua
terlepas dari pendapatan.” Bahkan ketika layanan umum
tidak disediakan atau dibiayai oleh Negara, ini tetap
mutlak menjadi tanggung jawab instansi pemerintah
seperti Pemerintah Pusat/Daerah atau BUMN/BUMD
untuk menyediakannya demi kebutuhan masyarakat dan
menerapkan peraturan perundang-undangan terkait.
Di Indonesia, layanan umum diatur oleh UU no. 25/2009
tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan undang-undang
tersebut, pelayanan umum meliputi “pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal,
komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber
daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya” 1.
Dua kategori layanan umum diidentifikasi, berdasarkan
jenis organisasi penyelenggaranya: Pertama, layanan
umum yang dijalankan oleh organisasi swasta seperti
rumah sakit swasta, universitas swasta, dan perusahaan
transportasi swasta. Kedua, layanan umum yang dijalankan
oleh lembaga pemerintah. Ini dibagi lagi menjadi dua
subkategori: (a) Pasokan barang atau jasa disediakan oleh
pemerintah sebagai agen tunggal. Pengguna/klien harus
menggunakannya; tidak ada alternatif lain. Contohnya
termasuk layanan imigrasi, pengoperasian penjara, dan
penerbitan izin. (b) Pasokan barang atau jasa disediakan
oleh pemerintah tetapi pengguna/klien tidak diwajibkan
menggunakannya karena terdapat penyedia pelayanan lain.
Layanan kesehatan merupakan contoh dengan baik penyedia
publik maupun swasta yang tersedia. Penyediaan pelayanan
umum dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, sektor
swasta, dan organisasi non-pemerintah.
Pelayanan Umum di Tingkat Daerah
Badan pemerintah menyediakan pelayanan umum melalui
beberapa modalitas, tergantung pada besaran atau sifat
layanan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) seringkali menjadi bentuk yang lebih disukai
sebagai penyedia layanan, namun ada persyaratan yang
harus dipenuhi (sebagai pengenalan tentang bagaimana
BLUD dapat berfungsi di sektor sanitasi, lihat “Visi untuk
Warga biasa seperti Ibu Darmanto dari Surakarta
membutuhkan akses terhadap air minum, tapi seringkali
mereka tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab
untuk penyediaan layanan tersebut.
Atas perkenan Eleonora Bergita
Layanan Air Limbah yang Fleksibel dan Bertanggung
Jawab” di halaman 14 dari edisi Prakarsa bulan Juli
2011). Sebagaimana diperinci dalam PP no. 23/2005,
BLU/BLUD adalah Unit Pelaksana Teknis di Pemerintah
Pusat atau Daerah yang dibentuk untuk menyediakan
barang/jasa untuk masyarakat tanpa mencari keuntungan
serta melandasi kegiatannya pada prinsip efisiensi dan
produktivitas (PP no. 23/2005). Pada intinya, BLU/BLUD
adalah korporasi nirlaba. Lihat boks artikel ini untuk
persoalan utama seputar pembentukan BLUD.
Layanan yang disediakan oleh BLUD kepada masyarakat pada
umumnya berhubungan dengan kesehatan, pendidikan,
pariwisata daerah, penyediaan air minum, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pengelolaan dana khusus. Pelayanan
kesehatan sebagian besar terstruktur sebagai BLUD. Ini
sesuai dengan mandat Bab 6 Pasal 1 dari Permendagri no.
61/2007 yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan
merupakan prioritas dalam pelayanan umum. Dari sekitar
96.000 puskesmas di Indonesia, saat ini hanya 326
beroperasi sebagai BLUD, tetapi masih banyak lagi yang
diperkirakan akan menyusul dan sekitar 101 lagi sedang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
117
118
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini
Gambar 2: Perbandingan antara UPT/UPTD dan BLU/BLUD
UPT/D
Diatur oleh Permenpan no. 18/2008*
BLU/D
Diatur oleh Permendagri no. 61/2007**
Pengelolaan keuangan:
a. Pendapatan masuk ke Kas Daerah, bercampur dengan
pendapatan dari UPTD lainnya
b. Anggaran untuk Operasi dan Pemeliharaan berada di bawah
anggaran pembelanjaan untuk Dinas dan bergantung penuh
pada APBD Laporan keuangan: Neraca Keuangan dan
Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Pengelolaan keuangan:
a. Pendapatan dikelola secara internal dan dapat
digunakan untuk membiayai Operasional
dan Pemeliharaan
b. Beroperasi dengan pendapatan sendiri dan
subsidi Pemda
c. Laporan Keuangan: Neraca Keuangan,
Laporan Pendapatan, dan Arus Kas
Sumber daya manusia: PNS
Sumber daya manusia: PNS dan tenaga profesional
di luar sistem PNS
Teknis
1. Kinerjanya terbukti dikelola dengan layak
2. Kinerja keuangan dapat didukung dengan APBD
Administratif
1. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja pelayanan dan keuangan dan manfaat
bagi masyarakat
2. Organisasi dan uraian pekerjaan dikembangkan
3. Rencana strategi bisnis ditetapkan
4. Laporan keuangan dihasilkan
5. Standar Pelayanan Minimum ditetapkan
6. Laporan audit terbaru tersedia atau pernyataan
bersedia untuk diaudit secara independen
BLU Penuh
Persyaratan Substantif
1. Menyediakan jasa atau barang
2. Mengelola wilayah/kawasan tertentu untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat
atau layanan umum
3. Mengelola dana khusus untuk meningkatkan
ekonomi dan/pelayanan masyarakat
BLU Tahapan
Persyaratan
a. Melakukan kegiatan operasional teknis dan/atau
mendukung kegiatan teknis Kementerian/Lembaga
Pemerintah Nonkementerian (LPNK) atau Unit
Pelaksana Teknis Kementerian
b. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan
oleh masyarakat
c. Memberikan kontribusi dan manfaat kepada masyarakat
dan penyelenggaraan pemerintahan
d. Mempunyai ruang lingkup tugas yang bersifat strategis
dan berskala regional dan/atau nasional
e. Menunjang keberhasilan pencapaian misi dan visi
Kementerian/LPNK/Dinas***/non-Dinas
f. Tersedianya sumber daya yang meliputi pegawai,
pembiayaan, sarana, dan prasarana
g. Tersedianya jabatan fungsional teknis sesuai dengan
tugas dan fungsi UPT yang bersangkutan
h. Memiliki Prosedur Operasional Tetap dalam
melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau
tugas teknis penunjang tertentu
i. Memperhatikan keserasian hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah
Status
*Permenpan = Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
**Permendagri = Peraturan Menteri Dalam Negeri
***Dinas adalah unit kerja Pemda
dalam proses menjadi BLUD. Selain itu, sejak Mei 2013,
200 dari 627 rumah sakit (umum) daerah di Indonesia, atau
sekitar sepertiganya, dibentuk sebagai BLUD. Rumah sakit
perlu dibentuk sebagai BLUD agar mampu menyediakan
layanan untuk pasien Jaminan Kesehatan Nasional.
BLUD pada dasarnya adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) yang telah mengadopsi praktik keuangan BLUD (lihat
Gambar 2). Terdapat banyak UPTD yang belum atau belum
tentu menerapkan praktik pembiayaan BLUD. Mereka
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dinamakan “UPTD biasa” untuk membedakan dari BLUD.
Perbedaan utama antara UPTD biasa dan BLUD berkaitan
dengan cara mengelola dan melaporkan pendapatan serta
cara mengelola sumber daya manusia. Masalah yang paling
sering muncul di UPT biasa adalah ketika alokasi anggaran
untuk operasi tidak cukup. Meski demikian, keuntungan
dari model UPT biasa adalah bahwa setiap UPT memiliki
Prosedur Operasional Tetap (Protap) yang terdefinisikan
jelas untuk tugas khususnya.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
UPTD biasa dapat berubah menjadi BLUD, dan sebaliknya,
tergantung pada kinerjanya atau perubahan pada sifat
pelayanan yang disediakannya.
Meski terdapat banyak UPTD dan BLUD di sektor lain, hanya
sedikit yang ada di sektor air minum, apalagi sanitasi.
Penyedia pelayanan air minum di daerah perkotaan biasanya
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sementara mereka
yang bukan PDAM mengambil bentuk yang berbeda-beda
seperti UPTD, BLUD, KPS, atau perusahaan daerah. Di
luar wilayah pelayanan PDAM, pasokan air minum dapat
dioperasikan oleh Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM).
(Tinjauan mengenai bagaimana OBM dapat mengelola
pelayanan air minum dapat dibaca di “Memanfaatkan
Kekuatan Organisasi Berbasis Masyarakat” di edisi Prakarsa
bulan Oktober 2010, halaman 8.)
Terdapat sekitar 350 PDAM di seluruh Indonesia, hanya
kira-kira setengah di antaranya yang berperingkat keuangan
“sehat.” Data dari Badan Pendukung Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) menunjukkan
bahwa 11 dari mereka adalah UPTD, 9 adalah BLU,
24 adalah KPS, dan satu adalah perusahaan daerah.
Jumlah OBM yang mengelola pasokan air minum tidak
diketahui karena tidak tersedia data nyata, tetapi dapat
diperkirakan berjumlah 6.000.
Pemrograman IndII pada umumnya, dan terutama di
sektor air minum dan sanitasi, berfokus pada peningkatan
tata kelola pemerintahan sebagai aspek mendasar untuk
mendukung Pemda dalam memberikan pelayanan yang baik
kepada masyarakat. Contohnya, program Hibah Air Minum
IndII mengharuskan Pemda menunjukkan komitmen mereka
dengan berinvestasi pada PDAM mereka sendiri sebelum
menerima dana hibah, sementara Hibah Infrastruktur
Australia-Indonesia untuk Sanitasi (Australia Indonesia
Infrastructure Grants for Sanitation, sAIIG) mengharuskan
pembentukan instansi (UPT, BLU, atau BUMD) untuk
menjalankan operasi dan menjamin keberlanjutan. Tidak
kurang pentingnya, kegiatan IndII dengan OBM juga berfokus
pada tata kelola pemerintahan, dengan mendukung
OBM beralih dari organisasi informal menjadi usaha yang
dikelola secara profesional yang memiliki kapasitas untuk
mengakses kredit usaha dan mengawasi perluasan
infrastruktur dan pelayanan. Pada awalnya, banyak
OBM yang dikelola dengan buruk karena tidak
adanya perhatian dari Pemda. Pekerjaan IndII dengan
OBM
membuktikan
pentingnya
memfokuskan
Pemda pada OBM – dan menegaskan bagi OBM mengenai
tanggung jawab yang dimiliki Pemda atas penyediaan
pelayanan. Pekerjaan itu menunjukkan bahwa, siapa pun
yang akan menjadi “ibu” pelayanan, sang “ayah” selalu
adalah Pemda. ●
Tentang Penulis:
Poppy Lestari adalah Senior Program Officer untuk Air
Minum dan Sanitasi di IndII. Sebelum bergabung dengan IndII
pada tahun 2010, ia bekerja selama lima tahun sebagai Ahli
Pembiayaan Kota Senior dengan Proyek Pelayanan Lingkungan
(ESP, Environmental Service Project) yang didanai USAID.
Di ESP, ia mengkoordinasi tim yang terdiri dari lima Ahli
Keuangan dan bekerja untuk mengidentifikasi peluang dalam
memanfaatkan pendanaan investasi untuk perangkat keras
untuk pelayanan air minum dan sanitasi, serta pembayaran
untuk pelayanan lingkungan bagian hulu daerah aliran sungai
(DAS). Poppy berpengalaman lebih dari 20 tahun sebagai
karyawan dan konsultan yang bekerja bersama perusahaan
dan donor seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank
Dunia, dan USAID. Sebagian besar karirnya didedikasikan
untuk program pembangunan perkotaan, terutama di sektor
air minum dan sanitasi, termasuk persiapan analisis investasi
dengan beberapa pembiayaan alternatif, serta analisis dan
peningkatan keuangan kota. Poppy menyelesaikan kuliahnya
di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1987.
CATATAN
1. Sebagaimana dicatat oleh satu pengamat: “Asalkan mereka ditentukan dengan sedikit lebih hati-hati, beberapa hal berikut
ini biasanya dipandang sebagai pelayanan umum (pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan rakyat, jaminan sosial, dan
transportasi publik). Namun, yang lainnya (sekali lagi, ditentukan secara lebih hati-hati: telekomunikasi dan media, listrik dan bahan
bakar, pelayanan perbankan, serta pariwisata) sekadar pelayanan atau komoditas yang disediakan oleh pasar dengan harga yang
mencakup biaya produksi dan memberikan margin laba, tanpa adanya perilaku istimewa bagi warga negara. Lingkungan hidup dan
sumber daya alam adalah bidang-bidang yang menjadi perhatian kebijakan pemerintah, namun tidak tampak melibatkan penyediaan
pelayanan kepada pengguna. Arti ‘pekerjaan dan usaha’ dalam konteks ini – dan oleh karenanya alasan untuk dimasukkan – tidak
jelas.” (Buehler, Michael, “Indonesia’s Law on Public Services: changing state-society relations or continuing politics as usual?”
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 47: 1, 65–86.)
Prakarsa Compendium | Jilid 3
119
POIN-POIN UTAMA
Kemiskinan sering dipandang dari perspektif tingkat penghasilan, tetapi dapat didefinisikan secara lebih luas
yaitu hasil yang tidak mencukupi dalam hal pendidikan, kesehatan, gizi, dan keamanan, serta ketidakmampuan
untuk mengakses pelayanan umum lainnya.
Lembaga internasional dan Pemerintah Indonesia mengakui bahwa ketersediaan air minum sangat penting
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan, oleh karenanya, mengurangi kemiskinan. Ini tercermin dalam
Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millennium Development Goals) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Namun, Indonesia masih jauh dari target, dan hampir 107 juta orang
masih belum memiliki air minum.
Salah satu kendala adalah besarnya jumlah investasi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur yang
diperlukan. Dana yang dibutuhkan secara substansial melebihi apa yang tersedia melalui APBN. Program
Hibah Air Minum menangani kekurangan ini dengan menggunakan hibah berbasis hasil untuk meningkatkan
infrastruktur sekaligus memperkuat tata kelola pemerintahan untuk menjamin peningkatan secara terusmenerus dalam pelayanan.
Sementara semua orang, terlepas dari tingkat penghasilan mereka, mengalami kekurangan akses terhadap
air minum, masyarakat miskin adalah yang paling rentan. Sebuah survei baseline untuk Hibah Air Minum
menemukan bahwa keluarga berpenghasilan rendah tanpa akses air minum memiliki pengeluaran
tinggi untuk air minum, masalah kualitas dan akses terhadap air minum, dan penurunan kesehatan (terutama
pada anak-anak).
Evaluasi Hibah Air Minum di dua daerah, satu di Jawa dan satu di Nusa Tenggara Timur, menemukan bahwa
manfaat Hibah mencakup peningkatan penghasilan rumah tangga (karena perempuan memiliki lebih banyak
waktu dan kesempatan untuk melakukan mengolah lahan dan memulai bisnis rumahan); lebih sedikit iritasi
kulit; lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat; dan menurunkan risiko keguguran.
Awalnya, Hibah Air Minum itu tidak dimaksudkan sebagai program yang secara khusus memihak pada
masyarakat miskin (pro-poor). Namun, hasil studi ini menggambarkan potensi Hibah untuk berdampak
positif pada masyarakat berpenghasilan rendah. Menyediakan akses terhadap air minum dapat mendorong
masyarakat berpenghasilan rendah untuk hidup lebih produktif, bersih, dan sehat.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
121
KONTRIBUSI UNTUK
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
MELALUI PENYELENGGARAAN
LAYANAN DAERAH DALAM
SEKTOR AIR MINUM
Sebuah mekanisme yang mendorong tata kelola pemerintahan yang
baik pada tingkat daerah dan meningkatkan penyelenggaraan layanan
oleh Perusahaan Air Minum Daerah telah terbukti efektif dalam
meningkatkan kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah.
Oleh Sulistiani dan Devi Miarni Umar
Kemiskinan seringkali hanya dilihat dari sudut pandang
keuangan, dalam arti tidak punya cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendekatan ini digunakan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menggunakan sebuah
“garis kemiskinan”; yang menggambarkan bahwa penduduk
yang berada di bawah garis tersebut, dianggap miskin.
Pendekatan ini dinilai memudahkan untuk membandingkan
angka kemiskinan antar wilayah.
Meski demikian, jika mengacu pada pengertian kemiskinan
secara luas yaitu ketidakmampuan seseorang untuk
memenuhi berbagai aspek kebutuhannya, seperti ekonomi,
sosial, politik, emosional, dan spiritual. Sebagai contoh,
kemiskinan juga dapat didefinisikan dalam arti hasil
(outcome) yang tidak memadai dalam urusan pendidikan,
kesehatan, gizi, dan keamanan, dan juga keterbatasan akses
terhadap layanan umum lainnya.
Bappenas dalam Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan tahun 2004 juga melihat kemiskinan sebagai
masalah multidimensi. Kemiskinan bukan hanya diukur
dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan
kerawanan seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki
maupun perempuan, untuk menjadi miskin. Berdasarkan
definisi ini, Bappenas menetapkan 11 indikator pengukuran
yang berkaitan dengan upaya menanggulangi kemiskinan,
satu di antaranya adalah tingkat akses terhadap air bersih.
Dipahami bahwa alasan utama orang mengalami kesulitan
mendapatkan air bersih adalah kemampuan daerah yang
terbatas untuk menyediakan sambungan air minum dan
menurunnya kualitas sumber air.
Sejalan dengan pendekatan Bappenas dan untuk
meningkatkan pengukuran tingkat kemiskinan penduduk,
pada tahun 2008 BPS menetapikan delapan indikator
Prakarsa Compendium | Jilid 3
122
Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum
Pencapaian Program Hibah Air Minum
IndII Fase 1:
• Selama tahun 2010–2011, sebanyak 331.100 penduduk
telah mendapat akses air leding PDAM di 34 kabupaten/
kota yang tersebar di 12 provinsi.
IndII Fase 2:
• Totalnya, 568,228 penduduk telah mendapat akses layanan
air pipa PDAM di 104 kab/kota di 26 provinsi sepanjang
tahun 2012 hingga April 2014.
• 159,285 dari 568,228 penduduk telah mendapat akses
layanan air pipa PDAM dengan menggunakan dana
hibah USAID (Pemerintah Amerika Serikat).
Target:
• Sebanyak 330.000 sambungan rumah tangga akan
dibuat sehingga dapat menjangkau 1.419.000 penduduk
sebelum akhir 2015.
tambahan untuk menentukan apakah sebuah rumah
tangga tergolong miskin. Salah satu indikatornya
mempertimbangkan sumber air minum dan ketersediaan
sumber air.
Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi
Lembaga Internasional dan Pemerintah Indonesia mengakui
bahwa ketersediaan air minum sangat penting dalam
upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Sebagaimana
disampaikan oleh Howard dan Obika 1, air minum,
kesehatan, dan kemiskinan, saling terkait erat. Ini tercermin
dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millennium
Development Goals) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Target dalam
RPJMN adalah lebih dari 67 persen penduduk Indonesia
memiliki akses air minum pada tahun 2015. Meski demikian,
kenyataannya belum seperti yang diharapkan. Menurut
angka 2012 dari Bappenas, pada tahun 2011 hanya 52,1
persen rumah tangga di daerah perkotaan dan 57,8 persen
di daerah pedesaan (sekitar 55 persen dari total penduduk)
memiliki akses terhadap air minum, yang berarti bahwa
hampir 107 juta orang masih hidup tanpa air bersih.
Salah satu kendala adalah jumlah besar investasi yang
diperlukan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan
untuk layanan air minum. Studi tahun 2010 oleh WHO dan
UNICEF menunjukkan bahwa untuk memenuhi target MDG
untuk akses air minum, Indonesia membutuhkan dana
Prakarsa Compendium | Jilid 3
USD 4,5 miliar per tahun, atau investasi yang diasumsikan
USD 20 per kapita. Ini berarti Rp 65,27 triliun untuk 2010–
2015, sedangkan total dana yang tersedia dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) untuk tahun 2010–2014 adalah Rp 13,71 triliun, atau
hanya sekitar 20–25 persen dari dana yang dibutuhkan.
Inovasi Hibah
Program Hibah Air Minum adalah salah satu dari beberapa
bentuk pembiayaaan dari Pemerintah Australia untuk
mendukung Pemerintah Indonesia mencapai MDG untuk
akses terhadap air minum. Hibah Air Minum merupakan
sebuah program inovatif yang diluncurkan pada tahun 2010,
dan telah dilaksanakan kan oleh Kementerian Keuangan,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan
Bappenas dalam kemitraan dengan Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII). Program Hibah Air Minum menggunakan
metode hibah berbasis hasil untuk meningkatkan
infrastruktur
sekaligus
memperkuat
tata
kelola
pemerintahan untuk menjamin keberlanjutan peningkatan
dalam pelayanan. Hibah diberikan kepada Pemerintah
Daerah setelah mereka berinvestasi di Perusahaan Daerah
Air Minum mereka. PDAM menggunakan investasi tersebut
bersama dengan dana mereka sendiri untuk memperluas
jaringan air minum mereka dan membuat sambungan baru
untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Besarnya
hibah ditentukan berdasarkan jumlah sambungan baru
yang telah diverifikasi.
Kegagalan menyediakan air minum akan berdampak pada
masyarakat di semua kelompok. Akan tetapi, masyarakat
miskin merupakan yang paling rentan terkena dampaknya.
Konsekuensi bagi penduduk miskin yang tidak memiliki
akses terhadap air minum, khususnya penduduk miskin di
perkotaan, di antaranya, adalah: (1) meningkatnya biaya,
karena mereka harus mencari alternatif lain yang lebih
mahal seperti air minum dalam botol; (2) berkurangnya
konsumsi air minum karena semakin besarnya biaya,
waktu, dan upaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
air minum; (3) bertambahnya biaya kesehatan dan
berkurangnya penghasilan karena hilangnya produktivitas
yang disebabkan oleh penyakit yang ditularkan
akibat pencemaran air2. Konsekuensi-konsekuensi tersebut
tercermin dalam deskripsi di bawah ini (dari sebuah
survei baseline IndII3) mengenai kondisi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) sebelum mendapat
sambungan air PDAM melalui Hibah Air Minum.
Tingginya pengeluaran rumah tangga untuk air minum.
Berdasarkan data survei baseline, diketahui bahwa rumah
tangga MBR mengeluarkan uang untuk air minum ratarata Rp 93.800 per bulan untuk 4.154 liter air bersih atau
Rp 21.800 per kapita untuk 966 liter air. Sekitar 54 persen
dari rumah tangga MBR mempunyai penghasilan bulanan
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Indonesia berjuang untuk memberikan layanan air bersih begi sekitar dua per tiga
penduduknya pada tahun 2015.
maksimal sebesar Rp 1,5 juta. Pengeluaran rumah tangga
untuk keperluan air minum rata-rata mencapai sekitar
10 persen dari seluruh penghasilan. Jumlah ini dianggap
terlalu besar: berdasarkan Permendagri 23/20064, idealnya
pengeluaran rumah tangga tidak melampaui empat
persen dari rata-rata penghasilan untuk keperluan air
minum. Gambar 1 secara rinci menggambarkan rata-rata
pengeluaran rumah tangga untuk air minum dan jumlah
air minum yang dibeli berdasarkan golongan pendapatan
rumah tangga.
Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air
minum berkisar pada 0,5–2 persen dari pendapatan rata-rata
(1,3 persen di Jerman dan Belanda; 1,2 persen di Perancis).
Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui
tiga persen dari pendapatan rata-rata penduduk 5.
Atas perkenan DFAT
Hasil survei baseline juga menunjukkan bahwa dari
pengeluaran terbesarrumah tangga untuk membeli air
adalah untuk mencukupi kebutuhan air minum. Tiga puluh
tujuh persen rumah tangga MBR membeli air untuk minum.
Dan hampir setengah (48 persen) rumah tangga MBR
mengaku air minum dibeli dari kios air minum isi ulang.
Sisanya, 23 persen membeli air minum dalam botol, 18
persen membeli air tetangga yang memiliki sambungan
PDAM, enam persen membeli air minum dari pedagang
keliling, tiga persen dari pompa/hidran umum, dan dua
persen dari sumber mata air.
Masalah kualitas dan keterjangkauan. Selain masalah
tingginya pengeluaran rumah tangga untuk membeli
Prakarsa Compendium | Jilid 3
123
124
Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum
Gambar 1: Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk
Air Minum dan Jumlah Air Minum yang Dibeli Berdasarkan
Kategori Pendapatan Rumah Tangga
Kategori
Pendapatan
(Rp 000/bulan)
Rata-rata
pengeluaran untuk
air minum (Rp)
Jumlah air
minum yang
dibeli (liter)
<500
61,500
3,700
500 – 1,500
83,200
4,077
>1,500 – 2,500
104,400
4,205
>2,500 – 3,500
149,300
4,710
>3,500 – 4,500
133,200
5,166
>4,500
180,700
5,078
Total
93,800
4,154
air, rumah tangga juga menghadapi masalah kualitas air
minum. Berdasarkan pengamatan secara fisik, sumber air
minum utama yang digunakan rumah tangga kelihatannya
menghasilkan air keruh. Sepuluh persen rumah tangga
mengaku mereka menggunakan air keruh untuk keperluan
minum, 14 persen untuk memasak, dan 24 persen untuk
mandi/mencuci.
Rata-rata jarak antara rumah MBR dengan sumber air
adalah sekitar 139 meter, dengan waktu tempuh pulangpergi sekitar 13 menit. Sepuluh persen dari rumah tangga
MBR yang memperoleh air dari sumber di luar rumah
mereka melaporkan bahwa mereka harus menempuh jarak
antara 500 meter hingga tiga kilometer untuk mendapatkan
air minum, dengan waktu tempuh sekitar 30–60 menit.
Salah satu contohnya adalah Desa Marongge, Kecamatan
Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Salah satu rumah
tangga di sana, dengan pendapatan yang berkisar antara
Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta sebulan, melaporkan bahwa
mereka harus menempuh jarak tiga kilometer dengan waktu
tempuh pulang-pergi sekitar dua jam untuk mendapatkan
air minum/matang yang dijual oleh kios air isi ulang.
Keluarga ini harus mengeluarkan Rp 22.000 per bulan untuk
390 liter air. Untuk keperluan mandi dan mencuci, mereka
lebih memilih mencari sumber air yang gratis dengan jarak
dan waktu tempuh yang kurang-lebih sama.
Balita rentan menderita diare dan gatal-gatal.
Keterbatasan akses terhadap air minum dan penggunaan
air yang berkualitas buruk berakibat pada penurunan
tingkat kesehatan dan penyebaran penyakit seperti diare.
Insiden penyakit diare dan gatal-gatal juga ditemui di
sejumlah anak balita di rumah tangga MBR. Dalam dua
bulan sebelum survei, 12,6 persen dan 14,6 persen balita
pernah menderita diare dan gatal-gatal.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Dampak Hibah Air Minum
Tim Gender IndII melaksanakan evaluasi di dua lokasi
tempat Program Hibah Air Minum dilaksanakan, yaitu
Malang, Jawa Timur dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Evaluasi tersebut dilakukan antara 3–4 bulan setelah rumah
tangga MBR mendapatkan sambungan air l PDAM. Hasilnya
menunjukkan bahwa ada dampak positif terhadap rumah
tangga MBR, baik bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Di bawah ini merupakan sejumlah manfaat yang dilaporkan
oleh masyarakat:
Meningkatnya pendapatan rumah tangga. Salah satu
manfaat paling besar yang dirasakan perempuan adalah,
sekarang mereka mempunyai waktu dan energi untuk
melakukan lebih banyak pekerjaan produktif dan dapat
menambah penghasilan rumah tangga. Di Manggarai,
mereka dapat mengolah pekarangan menjadi lahan
pertanian produktif karena air tersedia setiap saat, bahkan
di musim kemarau. Selain dapat mencukupi kebutuhan
pangan anggota rumah tangga, hasil kebun mereka secara
tidak langsung dapat membantu ekonomi rumah tangga,
karena mereka tidak perlu lagi membeli sayuran yang
hanya tersedia di pasar pada hari-hari tertentu. Selain itu,
beberapa ibu rumah tangga dapat membuka usaha rumah
tangga seperti menjual jajanan es dengan menggunakan
air PDAM. Secara tidak langsung, peningkatan
produktivitas ibu rumah tangga mampu menambah
pendapatan rumah tangga mereka.
Tidak ada lagi iritasi kulit. Dari segi kesehatan, baik di
Malang maupun Manggarai, ketersediaan air minum di
rumah telah membuat sejumlah kepala rumah tangga
bersedia membangun toilet atau kamar mandi pribadi.
Selain itu, sejumlah warga di Wae Ri’i dan Satarmese,
Manggarai, juga mengaku ketersediaan air minum di
rumah memungkinkan mereka untuk mandi dua kali sehari,
dibandingkan sebelumnya yang hanya sekali sehari. Air
PDAM dianggap memberi manfaat karena anggota keluarga,
terutama anak-anak, tidak lagi menderita iritasi kulit.
Lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat.
Anggota rumah tangga, khususnya laki-laki dewasa,
mengaku merasa “lega” karena tidak lagi harus mengantri
dan berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih. Waktu,
siang atau malam hari, yang sebelumnya digunakan untuk
mengambil air sekarang dapat mereka gunakan untuk
bekerja di sawah dan beristirahat. Namun, sebagai orang
yang memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan
tersedianya air minum untuk kebutuhan keluarga,
perempuan adalah pihak yang sangat diuntungkan baik
secara fisik maupun psikologis. Anak-anak yang sudah besar
juga diuntungkan dengan tidak perlu membawa air dalam
jerikan yang berat.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Menurunkan risiko keguguran. Bagi perempuan, khususnya
perempuan hamil, ketersediaan air minum di rumah juga
dirasakan dapat meringankan beban pekerjaan domestik
yang umumnya dilakukan oleh perempuan. Ini dapat
meminimalisir risiko keguguran atau melahirkan prematur 6.
Seperti yang digambarkan dalam survei baseline yang
dilakukan IndII, masyarakat berpenghasilan rendah
memiliki permasalahan yang secara langsung atau tidak
langsung disebabkan oleh keterbatasan akses air minum.
Masalah yang ditemui sangat beragam, namun masyarakat
yang berpenghasilan rendah dan mereka yang berada di
lokasi terpencil akan merasakan dampak yang lebih besar
dibanding mereka yang berpendapatan lebih tinggi dan
tinggal di lokasi yang lebih ramai.
Pada awalnya, Program Hibah Air Minum tidak secara
khusus dimaksudkan sebagai program yang bersifat
memihak pada masyarakat miskin (pro-poor). Namun,
hasil studi menunjukkan adanya potensi dampak positif
bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menyediakan
akses terhadap air minum dapat mendorong MBR untuk
menjalani hidup yang lebih produktif, bersih, dan sehat.
Meski demikian, perlu diingat bahwa evaluasi ini merupakan
studi berskala kecil yang dilakukan pada lokasi terpilih.
Langkah berikutnya adalah studi evaluasi dampak yang
lebih luas untuk membuktikan dampak sesungguhnya dari
Program Hibah Air Minum. ●
CATATAN
1. Howard, Guy, dan Amaka Obika. “Water and Poverty:
The Themes.” A Collection of Thematic Papers. Asian
Development Bank. 2004.
2. Mungkasa, Oswar. “Pembangunan Air Minum dan
Kemiskinan.” Mengutip Johnstone dan Wood, 2000. Majalah
Percik. AMPL Working Group. Oktober 2006. Jakarta.
3. IndII melakukan survei baseline terhadap kondisi sosioekonomi rumah tangga di 42 kabupaten/kota yang tersebar
di lebih dari 24 provinsi. Survei bertujuan untuk mengetahui
kondisi rumah tangga sebelum mereka menerima manfaat
dari Program Hibah Air Minum. Total sampel adalah 12.427
rumah tangga.
4. Permendagri no. 23/2006 tentang Pedoman Teknis
dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada PDAM.
Peraturan ini dibuat sebagai pedoman PDAM-PDAM dalam
mengembangkan sistem penysediaan air minum.
5. Mungkasa, mengutip Water Academy, 2004.
6. Dawson, Gaynor. “Evaluation of Selected Water Hibah
Activities from a Gender Perspective.” Prakarsa Infrastruktur
Indonesia. 2013. Jakarta.
Tentang Penulis:
Sulistiani adalah Staf Pemantauan & Evaluasi Nasional/
Kebijakan Lintas Sektoral di IndII. Ia seorang peneliti yang
berpengalaman, dengan latar belakang ekstensif sebagai
konsultan di bidang pembangunan. Ia telah sukses membuat
konsep, merancang, dan menerapkan hasil-hasil studi
selama kariernya, yang telah terbukti menjadi kunci dalam
kegiatan program untuk donor seperti AusAID, The Asia
Foundation, dan Bank Dunia. Ia telah sangat berpengalaman
dalam merancang dan menjalankan pelatihan yang sukses
untuk petugas survei (enumerator) di berbagai kabupaten
dan kota di Indonesia. Ia juga secara teratur memfasilitasi
diskusi kelompok terfokus dan melakukan wawancara
untuk mengumpulkan data. Sulistiani memiliki keahlian
dalam menggunakan data ini untuk menyusun laporan yang
terbukti sangat berguna untuk keberhasilan program, seperti
Program Air Minum dan Sanitasi (WSP, Water and Sanitation
Program) dan Program Bantuan Belajar untuk Sekolah Islam
(LAPIS, Learning Assistance Program for Islam Schools).
Sulistiani menyelesaikan pendidikannya di bidang Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2004.
Devi Miarni Umar adalah Peneliti/Ahli Evaluasi Dampak
yang bergabung bersama IndII. Ia seorang profesional di
bidang Pemantauan & Evaluasi (M&E) dan Ahli Statistik
dengan pengalaman kerja hampir 15 tahun di bidang
pembangunan internasional. Ia telah bekerja di berbagai
proyek pembangunan dengan lembaga donor termasuk PBB,
Asian Development Bank, US-DOL, USAID, dan Australian
Aid, serta organisasi non-pemerintah (NGO) internasional
seperti Hellen Keller International, Save the Children Inc., dan
Plan International Indonesia. Devi berfokus pada programprogram di bidang pendidikan, kesehatan dan nutrisi, air
minum dan sanitasi, pekerja anak dan proteksi terhadap
anak, pemberdayaan ekonomi untuk pemuda, beasiswa,
serta pengelolaan risiko bencana. Ia memiliki pengalaman
yang mantap dalam M&E, desain dan manajemen program,
laporan kinerja, perencanaan strategis, penelitian, serta
analisis data dari program pembangunan multi-sektoral.
Devi juga memainkan peran aktif dalam Komunitas Evaluasi
Pembangunan Indonesia (InDEC, Indonesian Development
Evaluation Community). Devi memiliki gelar sarjana di bidang
kesehatan publik (Epidemiologi), dan gelar Master di bidang
Manajemen, keduanya dari Universitas Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
125
POIN-POIN UTAMA
Pendanaan dari pemerintah saja tidak dapat memenuhi kebutuhan akan layanan air minum yang belum
terpenuhi. Sejumlah pendanaan dari swasta dapat diakses sebagai kelanjutan PP no. 29/2009, tapi meski
demikian, PDAM mengalami kesulitan mendapat akses untuk pembiayaan yang mereka perlukan. Pemerintah
Daerah (Pemda) dan PDAM seringkali mengalami masalah dalam merumuskan proyek yang “layak perbankan
(bankable)”, dan pemberi pinjaman enggan mengucurkan dana bagi infrastruktur. Khususnya sulit bagi proyek
kecil untuk melibatkan bank atau investor institusional, karena rasio antara biaya dan pendapatan yang
diperoleh tidak menarik bagi pemberi pinjaman.
Meski demikian, sementara contoh KPS mengalami kemandekan, partisipasi swasta dalam sektor ini bertumbuh
subur dengan menggunakan model yang dikenal dengan istilah B2B (business-to-business). Proyek-proyek ini
berada di luar ketentuan pengadaan sesuai standar internasional KPS, dan tidak perlu melalui tender umum
(public tender) atau skema kontes. Saat ini terdapat sekitar 60 proyek penyediaan air minum yang sedang
berjalan, di dalamnya sektor swasta memainkan peran dalam pembiayaan dan manajemen, dan lebih banyak
lagi sedang berada pada tahap pembahasan.
Kontrak B2B dapat mencakup sejumlah kegiatan, seperti menyediakan layanan, memperluas sistem penyediaan
air minum, mengurangi jumlah kebocoran produksi air minum (NRW, non-revenue water), meningkatkan
efisiensi energi, dan meningkatkan manajemen PDAM. B2B mengalami pertumbuhan pesat yang disebabkan
oleh lingkungan usaha yang lebih baik, masa persiapan yang lebih singkat daripada KPS standar, diperlukannya
investasi modal yang lebih rendah, dan kebutuhan PDAM akan investasi.
Kontrak B2B menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat meliputi terbatasnya kemampuan
institusional PDAM, kurangnya minat, kepercayaan, atau pengetahuan di antara Pemda, dan hambatan
di sektor keuangan. Namun, rintangan tersebut bukan tidak dapat diatasi dengan berbagai strategi seperti
mengidentifikasi dan menggabungkan proyek-proyek yang layak; mencocokkan investor berpotensi dengan
pemilik proyek; dan menggandeng tenaga ahli untuk mempersiapkan analisis pasar, teknis, dan keuangan yang
diperlukan untuk merumuskan proyek yang layak perbankan. Cara lain untuk memfasilitasi persiapan proyek
yang layak perbankan dan mengurangi biaya adalah dengan menciptakan “fasilitas pengembangan proyek”
(project development facilities).
Pembangunan kapasitas bagi semua pemangku kepentingan yang terkait (DPRD, BPKP, Pemda, PDAM, dan
sektor perbankan baru) termasuk sektor swasta (investor, konsultan, dan kontraktor) akan mendukung mereka
dalam menyusun proyek, yang memungkinkan dan menarik bagi dunia perbankan.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
PEMBIAYAAN BUSINESS-TOBUSINESS: MODEL PEMBIAYAAN
PROYEK KPS BERSKALA KECIL
DI SEKTOR AIR MINUM
Sementara contoh nyata Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang
cukup berhasil mengalami penundaan, partisipasi swasta dalam sektor
air minum tumbuh subur dengan menggunakan model yang dikenal
dengan istilah B2B (business-to-business).
Oleh Eko Bagus Delianto
Untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan layanan air
minum yang belum terpenuhi, Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) memerlukan pendanaan yang melampaui
jumlah yang dapat disediakan oleh pemerintah. Namun,
untuk mendapatkan akses pembiayaan dari bank dan
pemberi pinjaman swasta tidaklah mudah. Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS) nampaknya menawarkan
cara memperoleh pendanaan yang menjanjjkan, tetapi
beberapa contoh proyek KPS telah mengalami jalan
buntu. Meski demikian, partisipasi swasta dalam sektor
penyediaan air minum tumbuh subur dengan menerapkan
model “B2B”. Artikel ini akan memberikan tinjauan
mengenai model pembiayaan B2B dan menjelaskan
beberapa alasan keberhasilannya, serta berbagai
tantangan yang perlu diatasi.
Selama lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah
mengalokasikan dana dari APBN untuk mengembangkan
sistem pengolahan air minum untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG, Millennium Development
Goals). Upaya ini berfokus pada pengembangan di sisi hulu
(asupan air, instalasi pengolahan, waduk, dan jaringan
pipa primer). Pemerintah Daerah (Pemda) dianggap
bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur hilir
(pipa distribusi, retikulasi, dan sambungan rumah tangga)
untuk dioperasikan oleh PDAM, tetapi mereka tidak dapat
mengikuti kecepatan pengembangan di sisi hulu. Terdapat
“kesenjangan pemanfaatan” (utilization gap) – perbedaan
antara kapasitas produksi instalasi pengolahan air minum
dan volume air minum yang digunakan oleh konsumen
– sebesar kurang lebih 10.000 liter per detik, yang setara
dengan sambungan ke 800.000 rumah tangga atau sekitar
4 juta penduduk.
Selanjutnya, banyak PDAM yang secara finansial tidak
sehat. Laporan tahun 2012 oleh Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM)
memberi penilaian “tidak sehat” atau “sakit” kepada
hampir separuh dari semua PDAM di Indonesia. Banyak
di antara perusahaan air minum ini mengalami kebocoran
produksi air minum (NRW, non-revenue water) dalam
tingkat yang tinggi, teknologi dan pemeliharaan yang tidak
memadai, dan kemampuan institusional yang terbatas.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
127
128
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Kendala Mendapatkan Akses Pendanaan
Pendanaan dari Pemerintah tidak dapat memberi solusi
sepenuhnya terhadap permasalahan ini. Bagi Pemerintah
Pusat, pendanaan untuk air minum dan sanitasi bukan
merupakan prioritas utama, dan harus bersaing dengan
kebutuhan mendesak di sektor lain seperti kesehatan dan
pendidikan. Jumlah yang pasti pendanaan di tingkat daerah
sulit ditentukan secara akurat karena tersebar di antara
sejumlah kantor dinas, tetapi alokasi secara keseluruhan
diyakini serendah 1 hingga 2 persen dari seluruh APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Beberapa sumber pendanaan swasta dapat diakses sebagai
kelanjutan dari PP no. 29/2009, yang mempertemukan
bank komersial dengan PDAM yang ingin mendapatkan
pengembalian biaya mereka melalui mekanisme jaminan
yang mengurangi risiko bagi bank pemberi pinjaman
dan menyediakan subsidi bunga hingga 5 persen
(lihat Uraian Kegiatan IndII pada halaman 52). Meski
demikian, PDAM masih mengalami kesulitan dalam
mengakses keuangan yang mereka butuhkan. Pemda
dan PDAM biasanya masih mengalami kesulitan dalam
merumuskan proyek yang layak perbankan (bankable),
sebagian disebabkan karena kurangnya pengalaman
dan sebagian karena tidak adanya preseden yang dapat
dijadikan dasar membuat proyeksi biaya dan pendapatan.
Pemberi pinjaman pada umumnya enggan menangani
pembiayaan infrastruktur akibat sedikitnya bukti historis
yang tersedia mengenai risiko kredit terkait proyek
infrastruktur di daerah.
Bila proyek infrastruktur berskala kecil (dengan
pengeluaran modal atau capex di bawah USD 10 juta),
amat sulit menggandeng bank dan investor institusional.
Biaya evaluasi, pelaksanaan, dan pemantauan proyek
infrastruktur selalu tinggi. Untuk proyek kecil, rasio
antara biaya dan laba yang dapat diperoleh tidak menarik
bagi pemberi pinjaman.
KPS tampak dapat menawarkan alternatif yang menjanjikan
untuk mengakses dana. Dan memang benar, dalam daftar
KPS terkini dari Pemerintah, tercatat lebih dari 50 proyek
air minum pada tahun 2012. Namun, 33 di antaranya
dibatalkan karena kurangnya kemajuan. Dari 24 proyek
air minum lainnya di dalam daftar tersebut hanya empat
(Mata Air Umbulan di Jawa Timur, Bandar Lampung, Maros
di Sulawesi Selatan, dan Pondok Gede di Bekasi) yang telah
mencapai tahap pra-kualifikasi. Namun, hingga saat ini
belum ada yang ditawarkan dalam tender.
Terdapat berbagai alasan yang melatarbelakangi kurangnya
kemajuan ini. Negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemda
Prakarsa Compendium | Jilid 3
mengenai tingkat subsidi ternyata berlangsung sangat
alot, dan donor terombang-ambing antara pembangunan
kapasitas yang disasar di PDAM dan menjamin kelayakan
proyek-proyek tersebut dalam hal keuangan.
Model B2B
Namun, tidak semuanya kabar buruk. Sementara proyek
KPS berskala besar mengalami kemandekan, partisipasi
swasta dalam sektor air minum tumbuh subur dengan
menggunakan model yang dikenal dengan istilah B2B.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
telah melakukan upaya untuk memudahkan sektor swasta
masuk ke proyek air minum dengan menerbitkan Permen
no. 12/2010, yang menciptakan ruang bagi kontrak yang
ditandatangani antara PDAM dengan pihak swasta secara
langsung. Proyek-proyek ini berada di luar ketentuan
pengadaan sesuai standar internasional KPS, dan tidak perlu
melalui tender umum (public tender) atau skema serupa
kontes kecantikan. Kontrak semacam ini memanfaatkan
daerah “abu-abu” dalam Perpres no. 67/2005 tentang KPS
dalam pembangunan infrastruktur, dan setidaknya untuk
saat ini, Pemerintah Pusat mendukungnya. Melalui B2B,
pengusaha swasta dapat meraih peluang untuk menjamin
bahwa aset-aset direhabilitasi dan dikelola dengan baik,
setelah adanya investasi awal dari Pemerintah Pusat.
Kontrak-kontrak B2B berlaku pada proyek-proyek yang
mencakup rehabilitasi dan perluasan aset pada bidang
pelayanan tertentu PDAM, yang sudah ada (misalnya, antara
PT Moya Indonesia dan PDAM Kabupaten Bekasi; PT Bangun
Tirta Lebak dan PDAM di Maja, Lebak; serta PT Sarana Catur
Tirta Kelola dan PDAM Kabupaten Serang). Dalam beberapa
kasus, kontrak-kontrak tersebut mencakup dibangunnya
instalasi pengolahan air minum baru (misalnya, kontrak
antara PT Dewata Bangun Tirta dan PDAM Legundi, Gresik;
dan antara PT Drupadi Agung Lestari dan PDAM Banjarbaru).
Beragam Layanan
Kontrak B2B dapat meliputi sejumlah kegiatan, seperti:
menyediakan layanan (pencatatan meter, pembuatan
tagihan, dan/atau pemeliharaan pompa dan peralatan
lain); memperluas sistem penyediaan air minum (perluasan
distribusi dan pipa retikulasi); mengurangi kebocoran
produksi air minum (NRW, Non-Revenue Water) kontrak
berbasis kinerja yang merinci pengurangan kebocoran
produksi air minum yang harus dicapai 1); meningkatkan
efisiensi energi (kontrak berbasis kinerja yang merinci
penurunan dalam pemakaian energi); dan meningkatkan
manajemen PDAM (kemitraan antara PDAM dan mitra
swasta yang dirancang untuk meningkatkan kinerja PDAM
dalam kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan).
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Proyek di Bandar Lampung, salah satu yang tercatat dalam daftar KPS Pemerintah terkini,
adalah satu dari beberapa proyek yang sudah mencapai tahap pra-kualifikasi.
Penyebab Terjadinya Pertumbuhan Pesat
Keterlambatan dalam contoh KPS tidak tampak menghambat
perkembangan kontrak-kontrak B2B di Indonesia. Namun,
tender umum yang berhasil barangkali dapat mendorong
Pemda untuk lebih memperhatikan sistem penawaran
bersaing dan mengarah ke peralihan dari model B2B.
Atas perkenan 22Kartika dari flickr
Beberapa penyebab terjadinya pertumbuhan pesat yang
telah diidentifikasi dalam B2B di bidang penyediaan air
minum adalah:
• Peningkatan lingkungan usaha. Secara keseluruhan
lingkungan usaha mengalami peningkatan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
129
130
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Gambar 1: Kisah Sukses KPS di Sektor Air Minum Indonesia
No
Daerah/Wilayah
Modalitas KPS
Kapasitas
(liter per
detik)
Mitra/Operator Swasta
Periode
Waktu
Jenis B2B
1
Jakarta (bagian Barat)
Konsesi Penuh
6,200
PT PALYJA & Astratel
1998–2023
100% Swasta
2
Jakarta (bagian Timur)
Konsesi Penuh
6,500
PT AETRA AIR JAKARTA
1998–2023
100% Swasta
3
Kota Medan
BOT untuk WTP
500
PT Tirta Lyonnaise Medan (TLM)
1999–2024
JV Lyonnaise 85% :
PDAM 15%
4
Kab. Deli Serdang – Patumbak
BOT untuk WTP
1,000
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2032
100% Swasta
5
Kab. Deli Serdang – Mariendal
BOT untuk WTP
1,000
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2032
100% Swasta
6
Lubuk Pakam – Sumut
ROT untuk WTP
100
PT Tirta Sumut
Data tidak
tersedia
JV WFI 55% :
PDAM 45%
7
Batam
Pemegang Konsesi
Sepenuhnya
3,000
PT Adhya Tirta Batam (ATB)
1995–2020
100% Swasta
8
Kota Jambi
BOT untuk WTP
200
PT Noviantama Corporation
(Novco)
1998–2013
100% Swasta
9
Pekanbaru
Operasi Gabungan
600
PT KTDP & PT WFI (Belanda)
Gagal tahun
2008
Kerja Sama
Gabungan
10
Palembang
Konsesi Penuh
200
PT Adhya Tirta Batam (ATS)
2000–2025
100% Swasta
11
Bintaro Jaya
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
100
PT Pembangunan Jaya
Data tidak
tersedia
100% Swasta
12
BSD City
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
150
PT Bumi Serpong Damai
Data tidak
tersedia
100% Swasta
13
Kabupaten Serang (Timur)
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
600
PT Sarana Tirta Cahaya Kencana
(STCK)
2009–2028
100% Swasta
14
Kabupaten Serang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
100
PT Sarana Tirta Cahaya Kencana
(STCK)
2008–2027
100% Swasta
15
Kabupaten Serang (Utara)
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
150
PT Sauh Bahtera Samudera (SBS)
1996–2016
100% Swasta
16
Kota Serang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
600
PT Tirta Serang Madani (TSM)
2010–2024
JV EPMB 90% :
PDAM 10%
17
Kota Cilegon
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
600
PT Krakatau Tirta Industri (KTI)
Data tidak
tersedia
100% Swasta
18
Kota Maja – Kab. Lebak
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
100
PT Bangun Tirta Lebak
(PT CRM sebagai sponsor)
2012–2031
JV CRM 90% :
PDAM 10%
19
Kota Tangerang
Konsesi Penuh
50
PT Bintang Hetien Jaya
2009–2028
100% Swasta
20
Kota Tangerang
BOO untuk WTP
100
PT Multi Agung Transco
Data tidak
tersedia
100% Swasta
21
Kota Tangerang
BOO untuk WTP
30
PT Cilamaya Subur
Data tidak
tersedia
100% Swasta
22
Kota Tangerang
ROT untuk WTP
420
MOYA Asia Ltd. – PT Moya
Indonesia
2012–2031
100% Swasta
23
Kota Tangerang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
1,500
MOYA Asia Ltd. – PT Moya
Indonesia
2012–2031
100% Swasta
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
No
Daerah/Wilayah
Modalitas KPS
Kapasitas
(liter per
detik)
Mitra/Operator Swasta
Periode
Waktu
Jenis B2B
24
Kota Tangerang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
500
MOYA Asia Ltd. – PT Moya
Indonesia
2012–2031
100% Swasta
24
Kabupaten Tangerang
O&M untuk WTP
3,000
PT Tirta Cisadane
1998–2013
100% Swasta
26
Kabupaten Tangerang
RUOT untuk WTP
1,500
PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri
(TKCM)
Data tidak
tersedia
100% Swasta
27
Kabupaten Tangerang
Pemegang Konsesi
Sepenuhnya
(KPS yang dianjurkan)
900
PT AETRA Air Tangerang
2008–2033
100% Swasta
28
Lippo Karawaci
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
250
PT Lippo Karawaci
Data tidak
tersedia
100% Swasta
29
Kabupaten Bekasi
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
50
PT Kemang Pratama
Data tidak
tersedia
100% Swasta
30
Kabupaten Bekasi
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
200
MOYA Asia Ltd. – PT Moya
Indonesia
2012–2031
100% Swasta
31
Kota Legenda – Bekasi
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
25
PT Cikarang Permai
Data tidak
tersedia
100% Swasta
32
Kab. Bekasi (Tambun Selatan)
Konsesi Penuh
20
PT Putra Alvita Pratama
Data tidak
tersedia
100% Swasta
33
Kawasan Industri MM2100
Cibitung
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
100
MM2100 Industrial Town
Data tidak
tersedia
100% Swasta
34
Bukit Indah Cikarang Industrial
Estate
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
150
PT Bukit Indah
Data tidak
tersedia
100% Swasta
35
Kabupaten Bekasi
(Cikarang Barat)
Konsesi Penuh
30
PT Watertech Estate Cikarang
Data tidak
tersedia
100% Swasta
36
Kabupaten Bekasi
(Cikarang Utara)
Konsesi Penuh
20
PT Sri Pertiwi Sejati
Data tidak
tersedia
100% Swasta
37
Kawasan Industri Hyundai
Cikarang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
50
PT Hyundai Inti Development
Data tidak
tersedia
100% Swasta
38
Kawasan Industri Jababeka
Cikarang
Konsesi Penuh
300
PT Jababeka Infrastruktur
Data tidak
tersedia
100% Swasta
39
Kawasan Industri Lippo Cikarang
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
250
PT Lippo Cikarang, Tbk
2001
100% Swasta
40
Kabupaten Bekasi
(Kota Deltamas)
Konsesi Penuh
25
PT Pembangunan Deltamas
Data tidak
tersedia
100% Swasta
41
Kabupaten Karawang
(Cikampek)
Konsesi Penuh
200
PT WATS
Data tidak
tersedia
100% Swasta
42
Kabupaten Subang
O&M untuk WTP
40
PT Mitra Lingkungan Dutaconsult
(MLD)
2002–2012
100% Swasta
43
Kota Semarang
RUOT untuk WTP
600
PT Tirta Gajah Mungkur
2005–2020
100% Swasta
44
Kabupaten Semarang (Bawen)
BOT untuk WTP dan
jaringan pipa
250
PT Sarana Tirta Ungaran 2005–2024
100% Swasta
Prakarsa Compendium | Jilid 3
131
132
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Gambar 1: Kisah Sukses KPS di Sektor Air Minum Indonesia
Modalitas KPS
Kapasitas
(liter per
detik)
Daerah/Wilayah
45
Kabupaten Sidoarjo (Kec. Taman)
RUOT untuk WTP dan
jaringan pipa
600
PT Hanarida Tirta Birawa
(Gadang Bhd)
2004–2024
100% Swasta
46
Kabupaten Sidoarjo (Kec. Taman)
BOT untuk WTP
250
PT Taman Tirta Sidoarjo
(Gadang Bhd)
1999–2029
100% Swasta
47
Kabupaten Gresik – Kec. Legundi
BOT untuk WTP dan
jaringan pipa
200
PT Dewata Bangun Tirta
2012–2036
100% Swasta
48
Kabupaten Gresik – Kec. Krikilan
ROT untuk WTP dan
jaringan pipa
100
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2036
100% Swasta
49
Kab. Gresik dan Kota Surabaya
(sebagian)
Pemegang Konsesi
Sepenuhnya
400
PT Citraland
Data tidak
tersedia
100% Swasta
50
Kota Surabaya (sebagian)
Pemegang Konsesi
Sepenuhnya
300
PT Pakuwon
Data tidak
tersedia
100% Swasta
51
Kab. Gresik dan Kab. Lamongan
(sebagian)
BOO untuk WTP dan
jaringan pipa
600
PT Semen Gresik
Data tidak
tersedia
100% Swasta
52
Kabupaten Badung – Bali
BOT untuk WTP
300
PT Tirta Arha Buana Mulia
1993–2013
Patungan Swasta
65% : PDAM 35%
53
Kabupaten Gianyar – Bali
RUOT untuk WTP
200
PT Bali Bangun Tirta
(Berjaya Sdn Bhd)
2007–2027
100% Swasta
54
Banjarmasin
Bangun, Sewakan, dan
Serahkan
500
PT Adhi Karya
Data tidak
tersedia
Data tidak tersedia
55
Banjar Baru
BOT untuk WTP dan
jaringan pipa
500
PT Drupadi Agung Lestari
2013–2034
100% Swasta
56
Samarinda
BOT untuk WTP
400
PT WATS
Data tidak
tersedia
100% Swasta
57
Makassar (Panaikang)
ROT untuk WTP
1,000
PT Traya Tirta Makassar
2007–2021
100% Swasta
58
Makassar (Maccini Sombala)
ROT untuk WTP
400
PT Multi Enka Makassar
2011–2030
100% Swasta
59
Makassar (Somba Opu)
ROT/BOT untuk WTP
dan pipa
3,000
PT Bahana Cipta
2011–2030
100% Swasta
60
Manado
ROT/O&M untuk WTP
dan pipa
250
PT Water Laboratory Nusantara
(WLN)
2008–2023
Patungan WMD
51% : PDAM 49%
61
Ambon
ROT/O&M untuk WTP
dan pipa
100
PT Water Laboratory Nusantara
(WLN)
2009–2024
Patungan WMD
51% : PDAM 49%
KETERANGAN
BOT = Build Operate Transfer (Bangun Operasikan Serahkan)
WTP = Water Treatment Plant (Instalasi Pengolahan Air Minum)
ROT = Rehabilitate Operate Transfer (Rehabilitasi Operasikan Serahkan)
BOO = Build Operate Own (Bangun Operasikan Miliki)
Mitra/Operator Swasta
Periode
Waktu
No
O&M = Operations and Maintenance (Pengoperasian dan Pemeliharaan)
RUOT = Rehabilitation Upgrading Operate Transfer (Rehabilitasi
Peningkatan Operasikan Serahkan)
Sumber: Situs web BPPSPAM, Survei CRM (2012), dan riset di internet. Status proyek per Juni 2013.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jenis B2B
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
waktu lama, baik bagi peserta tender maupun
pemerintah, sehingga dalam praktik jarang dilakukan.
Tender biasanya terhambat oleh kecenderungan
sektor swasta untuk membatasi akses terhadap
informasi, yang menimbulkan pertanyaan bagaimana
dapat mempertahankan tingkat transparansi dan
akuntabilitas yang tinggi.
pertumbuhan ekonomi kuat, dan Indonesia telah
dinaikkan ke status “peringkat investasi” (investment
grade) oleh berbagai lembaga pemeringkat.
• Waktu persiapan lebih singkat dibandingkan KPS
standar. Proses KPS yang panjang dan tender
kompetitif tidak diperlukan untuk kontrak B2B.
Tender kompetitif memerlukan biaya tinggi dan
Gambar 2: Peluang Saat Ini bagi B2B di Sektor Air Minum Indonesia (2014)
PDAM
SPAM (lokasi)
Sektor Swasta/
Sponsor Proyek
Kapasitas dalam liter
per detik (lpd)
Lingkup B2B
Kabupaten Bekasi
SPAM Pondok Gede
PT Perum Jasa Tirta 2
100
Hulu
Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor Tengah
PT Acuatico Air Indonesia
600
Hulu
Kabupaten Bogor
Wilayah Kota Bogor
Kontes kecantikan yang
akan diselenggarakan
oleh PDAM
300
Hulu
Kabupaten Bogor
SPAM Sentul City –Jonggol Asri
Akan dipromosikan
oleh PDAM
200
Hulu
Kota Depok
SPAM Citayam
(daerah lapangan hijau)
Akan dipromosikan
oleh PDAM
300
Hulu & hilir
Kabupaten Karawang
SPAM Teluk Jambe
Beauty contest to be
organised by PDAM
300 lpd
Hulu
Kabupaten Kendal
Kota Kendal dan sekitarnya
PT GTI Indonesia
300 lpd
Hulu
Kota Makassar
SPAM Tamalanrea
PT Moya Indonesia
600 lpd
Hulu
Kota Pontianak
SPAM Pontianak Utara
Akan dipromosikan
oleh PDAM
300 lpd
Hulu
Kota Semarang
SPAM Pramuka
Akan dipromosikan
oleh PDAM
200 lpd
Hulu
Kabupaten Serang
SPAM Cipasauran
Akan dipromosikan
oleh PDAM
400 lpd
Hulu & hilir
PT CRM
Riset olehHulu
penulis
(2014)
200Sumber:
lpd
& hilir
Keterangan:
= Liter per SPAM
detik Cibaja
KabupatenLPD
Serang
SPAM = Sistem Penyediaan Air Minum
Kabupaten Sidoarjo
SPAM Taman
Akan dipromosikan
oleh PDAM
200 lpd
Hulu
Kabupaten Subang
SPAM Pamanukan
Akan dipromosikan
oleh PDAM
100 lpd
Hulu & hilir
Kota Tebing Tinggi
SPAM Tebing dan Serdang Bedagai
Akan dipromosikan
oleh PDAM
200 lpd
Hulu
KETERANGAN
LPD = Liter per detik
SPAM = Sistem Penyediaan Air Minum
Sumber: Riset oleh penulis (2014)
Prakarsa Compendium | Jilid 3
133
134
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
• Investasi modal rendah. Investasi modal untuk
B2B relatif kecil jika dibandingkan dengan proyek
KPS standar.
• Kebutuhan akan investasi PDAM yang lebih besar.
Sekitar dua-pertiga dari semua PDAM tidak
berinvestasi cukup besar untuk mengejar laju
pertumbuhan penduduk dan penyusutan aset,
sehingga meningkatkan daya tarik kontrak B2B.
Peluang yang Menjanjikan
Saat ini terdapat sekitar 60 proyek penyediaan air minum
yang sedang berjalan, di mana sektor swasta memainkan
peran dalam pembiayaan dan manajemen (lihat Gambar
1), dan banyak lagi sedang dalam tahap pembahasan (lihat
Gambar 2). Agar peluang ini membuahkan hasil, investor
swasta harus berkolaborasi baik dengan para Bupati
maupun direktur PDAM.
Tantangan dan Rintangan
Sebagaimana terjadi dalam setiap modalitas pembiayaan,
kontrak B2B menghadapi berbagai tantangan, yang
dapat mencakup:
• Kemampuan institusional PDAM yang terbatas.
PDAM memiliki kemampuan teknis dan manajerial
yang terbatas.
• Pejabat PDAM dan Pemda tidak berkomunikasi
secara efektif.
• Kurangnya kepercayaan. Pemda tidak mempercayai
PDAM untuk membelanjakan dana secara efisien dan
tidak tahu cara mempertanggungjawabkannya.
• Kurangnya minat. Pemda tidak terlalu peduli pada
sektor air minum.
• Tidak responsif terhadap permintaan konsumen.
Baik PDAM maupun Pemda tidak responsif terhadap
pelanggan. Sementara konsumen meminta layanan
air minum yang lebih baik, permintaan mereka tidak
sampai pada Pemda karena tidak tersedianya cukup
saluran untuk menyampaikan tuntutan mereka
sehingga diketahui, dan kurangnya informasi untuk
mengukur kinerja PDAM mereka.
• Biaya transaksi tinggi. Biaya di muka yang tinggi
untuk proyek infrastruktur berskala kecil
mengurungkan minat investor.
• Hambatan di sektor keuangan. Meskipun aset yang
dipegang bank dan investor institusional tumbuh
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan pesat, bank domestik dan pasar modal
umumnya tidak siap untuk menyalurkan simpanan
domestik ke dalam pembiayaan proyek infrastruktur
air minum B2B berskala kecil.
• Kurangnya riwayat kredit. Pemberi pinjaman enggan
membiayai infrastruktur karena risiko kreditnya tidak
diketahui. Pemberi pinjaman umumnya hati-hati dan
berfokus pada risiko yang terkait dengan pembangunan
dan pengoperasian proyek infrastruktur air minum KPS
yang besar. Mereka lebih cenderung mensyaratkan
jaminan yang dapat diambil ketika terjadi gagal
bayar (default).
• Kurangnya kemampuan pengembangan proyek.
Pemda dan PDAM biasanya mengalami kesulitan dalam
menyusun proyek yang menarik bagi dunia perbankan,
sebagian disebabkan karena kurangnya pengalaman
dan sebagian lagi karena tidak adanya preseden yang
dapat dijadikan dasar dalam memproyeksikan biaya
dan pendapatan.
• Tantangan dalam pengembalian biaya. Secara politis
dan sosial, mungkin sulit untuk menetapkan tarif
pada tingkat pengembalian biaya (cost-recovery level).
Pendapatan yang dihasilkan oleh proyek infrastruktur
air minum KSP berskala kecil mungkin relatif kecil pula.
• Kurangnya pengetahuan mengenai KPS. Pemda
mungkin tidak memahami apa-apa yang bisa menarik
minat sektor swasta untuk menjalin kemitraan.
Mereka masih perlu mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi
keadaan yang tidak ketahui dan tidak diperkirakan
selama berlangsungnya kemitraan.
Strategi Menuju Sukses
Rintangan-rintangan ini bukan tidak dapat diatasi. Inisiatifinisiatif lain yang membangun kapasitas dan ketanggapan di
sektor air minum akan membuka jalan bagi pengaturan B2B
yang lebih efektif. Sebagai salah satu contoh, lihat “Sebuah
Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air
Minum” di halaman 137 edisi ini, mengenai penyusunan
indeks yang dapat membantu masyarakat melakukan
advokasi berbekal pengetahuan untuk meningkatkan
layanan air minum daerah.
Biaya transaksi yang tinggi dapat diatasi dengan
mengidentifikasikan dan menggabungkan proyek-proyek
yang layak; mencocokkan investor berpotensi dengan
pemilik proyek; dan menggandeng tenaga ahli untuk
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
mempersiapkan analisis pasar, teknik, dan keuangan yang
diperlukan guna merumuskan proyek yang layak perbankan.
Penggabungan proyek juga dapat menjadikannya lebih
ekonomis bagi investor untuk mengevaluasi, melaksanakan,
dan memantau proyek.
Cara lain untuk memfasilitasi persiapan proyek yang layak
perbankan dan mengurangi biaya adalah menciptakan
“fasilitas pengembangan proyek” (project development
facilities). Fasilitas semacam itu dapat diciptakan dalam
berbagai bentuk dan memainkan peran yang berbeda-beda
tergantung pada kebutuhan.
Demi keberlanjutan di sektor politik dan sosial, subsidi
mungkin diperlukan untuk membiayai selisih antara
suku bunga pemberian pinjaman (lending interest rate)
dan suku buku pinjaman (borrowing interest rate)
yang memungkinkan.
Upaya selanjutnya akan diperlukan untuk menentukan
efektivitas strategi-strategi tersebut. Secara keseluruhan,
jelas bahwa masih terdapat kebutuhan untuk meningkatkan
kerangka kerja hukum, membentuk pola pembiayaan baru
yang inovatif, dan menciptakan fasilitas pengembangan
proyek berikut clearinghouse. Pembangunan kapasitas
bagi semua pemangku kepentingan yang terkait (DPRD,
BPKP, Pemda, PDAM, dan sektor perbankan baru) termasuk
sektor swasta (investor, konsultan, dan kontraktor) akan
mendukung mereka dalam menyusun proyek, yang
memungkinkan, yang layak perbankan. Para pemangku
kepentingan tersebut tampak sangat berminat untuk
dilatih dan termotivasi untuk lebih memahami
permasalahan seputar pembangunan infrastruktur dasar.
Mereka siap menerima kenyataan bahwa proyek-proyek
B2B mendapat tempat dalam pembangunan sektor air
minum Indonesia. ●
Tentang Penulis:
Eko Bagus Delianto memiliki rekam jejak pencapaian dalam
industri teknik dan konsultansi serta promosi B2B untuk
sistem penyediaan air minum berskala kecil di Indonesia. Di
bawah kepemimpinannya, lebih dari 20 proyek air minum
dan air limbah telah dibangun, dirancang, dan dilaksanakan.
Eko memperoleh gelar sarjana di bidang Teknik Sipil dari
Universitas Sebelas Maret pada tahun 1986. Ia meraih
gelar MBA dari University of Manchester di Inggris pada
tahun 2010. Selain itu, Eko dan perusahaannya, PT Ciriajasa
Rancangbangun Mandiri (CRM) saat ini sedang sibuk dengan
persiapan proyek penyediaan air minum KPS di Pekanbaru dan
Pamarayan. CRM bekerja sebagai konsultan KPS untuk dua
investor Korea yang berbeda.
CATATAN
1. Proyek IUWASH dari USAID mempromosikan gagasan ini melalui Nota Kesepahaman (MoU) dengan MIYA (penyedia global solusi
untuk efisiensi air minum perkotaan secara komprehensif, termasuk pengurangan NRW) dan lima PDAM (di Bogor, Semarang, Solo,
Surabaya, dan Malang). Program Pengurangan NRW yang dihasilkan akan dibiayai sepenuhnya oleh MIYA dengan menggunakan
skema B2B. Baru-baru ini perusahaan Denmark EnviDan, bekerjasama dengan PT Ciriajasa Rancangbangun Mandiri (perusahaan
konsultansi dan teknik Indonesia yang menyediakan keahlian dengan spesialisasi di bidang manajemen dan produksi air minum
berkualitas tinggi melalui KPS), memperkenalkan program Pengurangan NRW kepada 15 PDAM melalui pola B2B yang berkembang
dari lokakarya mengenai NRW yang diselenggarakan oleh BPPSPAM.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
135
POIN-POIN UTAMA
Keunggulan dalam penyediaan layanan publik didukung oleh praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang
baik. Kinerja penyediaan layanan sektor air minum bukanlah semata-mata produk perusahaan-perusahaan
air minum daerah (seperti PDAM), melainkan juga memerlukan keterlibatan aktif dari Pemerintah Daerah
(Pemda) dan masyarakat sipil.
Tata kelola air minum ditandai oleh transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, daya tanggap, dan
koherensi. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) telah menerapkan strategi-strategi yang meningkatkan
tata kelola pemerintahan yang baik, seperti program-program bantuan berbasis keluaran yang mendukung
peningkatan hubungan antara Pemda, PDAM, dan warga. Untuk melengkapi upaya tersebut, disusun perangkat
lain yang saat ini tengah diterapkan, yaitu: Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi (Water and Sanitation
Services Index, WSSI). Indeks ini merupakan gabungan dari delapan sub-indeks yang terkait dengan tata
kelola pemerintahan dan kinerja sebagai tolok ukur sederhana, berdampak besar terkait bagaimana Pemda
menjalankan sektor air minum dan sanitasi.
WSSI dirancang untuk mendukung peningkatan terus-menerus terhadap transparansi, akuntabilitas, kesetaraan,
daya tanggap, dan partisipasi. Program ini secara langsung menyertakan pandangan-pandangan dan kepuasan
dari anggota masyarakat yang paling utama, yaitu para pengguna akhir dari layanan penyediaan air minum dan
sanitasi. Pendekatan WSSI berbeda dari sistem penetapan tolok ukur penyediaan air minum dan sanitasi yang
ada, yang cenderung menekankan indikator-indikator kuantitatif (teknis, keuangan, dan operasional).
WSSI disusun menjadi dua komponen, yaitu: lima sub-indeks tata kelola pemerintahan dan tiga sub-indeks
“berbasis warga”. Komponen ini menggabungkan hard data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
wawancara dan uji fisik air dengan soft data berdasarkan persepsi pelanggan. Pada putaran pertama secara
lengkap, yang saat ini sedang dilaksanakan WSSI akan mencakup antara 100 hingga 150 Pemda, termasuk
survei terhadap 300 rumah tangga per kabupaten, yang mencakup sampai dengan 45.000 rumah tangga.
WSSI diujicobakan di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, mencapai 3.600 rumah tangga dan
menguji 960 air leding. Temuan menunjukkan adanya tekanan air yang tidak memadai, kualitas air yang
buruk, dan ketidakpuasan/ketidaktahuan warga. Secara anekdot, jelas bahwa penerapan indeks itu sendiri
akan mendorong warga dan para pejabat publik untuk berpikir lebih jauh tentang kualitas layanan air
minum dan sanitasi.
Serangkaian indeks dari pelaksanaan pertama WSSI secara utuh akan tersedia pada 2015. Data itu sendiri
akan secara langsung dapat dimanfaatkan para perencana, pembuat kebijakan, dan warga dalam upaya
mereka mewujudkan tata kelola pemerintahan dan layanan yang lebih baik. Idealnya, hasil upaya tersebut
akan mendorong rasa kepemilikan daerah, sehingga penerapan berulang WSSI yang baru dapat dilaksanakan
di tahun-tahun mendatang, yang memungkinkan Pemda untuk terus menerus meningkatkan layanan mereka.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
SEBUAH PERANGKAT
MENJANJIKAN UNTUK
MENINGKATKAN TATA
KELOLA AIR MINUM
Tata kelola yang baik di sektor air minum sangat penting untuk
meningkatkan penyediaan layanan. Sebuah perangkat baru yang dirintis
oleh IndII mendukung upaya untuk meningkatkan tata kelola ini.
Catatan Editor: Artikel di bawah ini menggambarkan
“Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi”, sebuah perangkat
yang dirancang untuk mendukung peningkatan tata kelola
sektor air minum berkelanjutan dengan mengembangkan
transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, daya tanggap,
dan partisipasi. Sebagian besar isi artikel ini diambil dari
“Local Government Water Supply And Sanitation Indeks:
Operations Manual,” sebuah laporan yang disusun pada
bulan April 2013 oleh DAI, yang diikutsertakan di bawah
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai
oleh Pemerintah Australia. Artikel ini juga mengacu pada
dokumentasi IndII berikutnya tentang pelaksanaan WSSI.
Indonesia memberikan prioritas tinggi pada penyediaan
layanan air minum dan sanitasi dasar bagi warganya. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional menetapkan
tercapainya akses penuh terhadap layanan dasar pada
tahun 2019. Sebuah tantangan yang berat, karena lebih dari
100 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap
air bersih dan lebih dari 70 persen dari 220 juta penduduk
negeri ini bergantung pada air yang diperoleh dari sumber
yang kemungkinan telah tercemar 1.
Undang-Undang No. 32 dan 33/2004 tentang desentralisasi
secara jelas menempatkan tanggung jawab atas pelayanan
air minum dan sanitasi pada Pemerintah Daerah (Pemda),
tetapi tanggung jawab ini tidak mudah mereka penuhi.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah berjuang
untuk memenuhi permintaan dan menjaga solvabilitas
fiskal sebelum desentralisasi. Situasi ini, dalam banyak
hal, semakin memburuk akibat pengalihan moneter dan
peraturan perundangan kepada Pemda. Sebelum krisis
ekonomi dan reformasi yang mengiringinya misalnya,
penerusan pinjaman (sub-loan) yang diperoleh dari donor
internasional dan disalurkan melalui Kementerian Keuangan
merupakan andalan dalam pembiayaan infrastruktur
penyediaan air minum. Apa yang semula merupakan aliran
uang yang stabil (dengan rata-rata sekitar 30 perjanjian
penerusan pinjaman yang dilunasi setiap tahun), perlahanlahan melambat selama dekade terakhir.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
137
138
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 1: Tata kelola Pemerintahan yang Baik dalam
Penyediaan Pelayanan
Pemerintahan
Daerah
Pengawasan dan
Peraturan
Partisipasi dan
Akuntabilitas
Pemberian
Layanan
Warga dan
Masyarakat
Sipil
Transparansi dan
Keadilan
Penyelenggaran
Layanan
Selain itu, dengan kemampuan ketatapemerintahan di
tingkat kabupaten yang relatif rendah, banyak Pemerintah
Daerah telah berjuang untuk mengatur transfer antar
lembaga pemerintah yang berkembang dengan pesat secara
efisien. Akibatnya, investasi infrastruktur di semua bidang
– khususnya dalam penyediaan air minum dan sanitasi –
mengalami kemerosotan.
Meskipun menghadapi beragam tantangan, berbagai
hal yang dijanjikan desentralisasi secara bertahap mulai
terwujud di kota-kota di seluruh Indonesia. Didukung oleh
pertumbuhan pendapatan, mandat peraturan yang lebih
jelas, dan upaya peningkatan kapasitas Pemerintah Pusat,
Pemda mulai berhasil mewujudkan sejumlah manfaat nyata
dalam peningkatan pelayanan publik.
Yang tidak kalah pentingnya, kisah sukses di sektor air minum
dan sanitasi di seluruh Indonesia mengedepankan PemdaPemda yang telah melaksanakan reformasi dan melaukan
investasi secara proaktif pada penyedia layanannya. Kotakota seperti Bogor, Malang, dan Palembang merupakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bukti bahwa ketika Pemda secara aktif memperhatikan
kualitas layanan publik seperti penyediaan air minum,
kemajuan nyata dapat terwujud. Tentu saja, walaupun
para manajer PDAM yang baik dapat melakukan perubahan
internal yang signifikan untuk mencapai peningkatan
kinerja jangka pendek, perubahan berkesinambungan
hanya mungkin terjadi apabila ada dukungan dan komitmen
penuh dari badan pengawas, Pemda, dan DPRD.
Hasil nyata yang dicapai Pemda-Pemda yang lebih progresif
di Bogor, Malang, dan Palembang dalam banyak hal
tidaklah mengejutkan. Dengan kata lain, bukan rahasia
bahwa keunggulan dalam penyediaan layanan publik
didukung oleh praktik-praktik tata kelola pemerintahan
yang baik. Sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 1,
kinerja penyediaan layanan bukanlah semata-mata produk
para penyelenggara (seperti PDAM), melainkan juga
memerlukan keterlibatan aktif dari entitas Pemda dan
masyarakat sipil. Pemda melaksanakan fungsi-fungsi
pengawasan dan pengaturan yang penting, dengan
menyediakan lingkungan gerak yang efektif, dimana para
penyelenggara dapat menyediakan layanan-layanan publik
utama secara efisien, transparan, dan merata. Namun
demikian, sebagai wakil masyarakat terpilih, Pemda juga
harus memfasilitasi partisipasi masyarakat dan warga sipil
dengan menjamin bahwa kebutuhan ekonomi dan sosial
warga terpenuhi secara memadai.
Sementara begitu banyak perhatian telah dicurahkan untuk
mewujudkan “tata kelola pemerintahan yang baik” secara
lebih luas – belum lagi pengembangan cara pengukurannya
– gagasan khusus “tata kelola air minum” tidak memperoleh
fokus yang memadai.
Secara umum, tata kelola air minum dapat didefinisikan
sebagai rangkaian sistem politik, sosial, ekonomi, dan
administrasi yang berlaku untuk mengembangkan dan
mengelola sumber daya air minum dan penyediaan layanan
air minum di berbagai tingkat masyarakat yang berbeda 2.
Serupa seperti gagasan yang lebih luas tentang tata kelola
pemerintahan yang baik, tata kelola air yang baik ditandai
oleh transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan,
daya tanggap, dan koherensi. Laporan pertama tentang
Pengembangan Air Minum Dunia oleh Program Penilaian
Air Minum Dunia (World Water Assessment Program)
mendefinisikan ciri-ciri tersebut sebagai berikut 3:
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Amankah untuk diminum? Indeks Layanan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi tampak baik
pada hard data tentang kualitas air minum maupun pada persepsi pelanggan.
• Transparansi: Informasi harus mengalir secara bebas
dalam masyarakat. Segala proses dan keputusan
harus bersifat transparan dan terbuka untuk
pengawasan publik.
• Akuntabilitas: Pemerintah, sektor swasta, dan
organisasi masyarakat sipil harus bertanggung
jawab kepada masyarakat atau kepentingan
yang mereka wakili.
• Partisipasi: Semua penduduk, baik laki-laki maupun
perempuan, harus memiliki suara – secara langsung
atau melalui organisasi perantara yang mewakili
Atas perkenan Christopher Cotrell
kepentingan mereka – dalam seluruh proses
pengambilan kebijakan dan keputusan. Partisipasi
yang lebih luas bergantung pada seberapa jauh
Pemerintah Pusat dan Daerah menerapkan suatu
pendekatan inklusif.
• Kesetaraan: Semua kelompok masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan, harus memiliki kesempatan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka.
• Koherensi: Dengan munculnya permasalahan sumber
daya air minum yang semakin rumit, maka kebijakan
dan tindakan yang sesuai harus dilaksanakan, sehingga
menjadi koheren, konsisten, dan mudah dipahami.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
139
140
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 2: Komponen-Komponen Indeks Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Sub-Indeks
1. Perencanaan dan
Penganggaran
Dimensi
a) Proses-proses
Perencanaan
1.1
Ketersediaan tujuan Pemda terkait penyediaan air minum dan sanitasi publik dalam
rencana kerja tahun berjalan yang diketahui oleh publik.
1.2
Rencana Perusahaan PDAM disusun menurut utilitas secara transparan dan konsultatif,
dengan dukungan resmi yang diperoleh dari Badan Pengawas dan Pelaksana Kabupaten.
1.3
Pemda memanfaatkan kelompok kerja sanitasi untuk memfasilitasi perencanaan dan
penganggaran sanitasi yang terintegrasi.
1.4
Ketersediaan alokasi anggaran tahunan Pemda untuk layanan penyediaan air minum
dan sanitasi selama tahun fiskal berjalan yang diketahui oleh publik.
1.5
Pemda berinvestasi secara langsung dalam perusahaan daerah air minumnya.
1.6
Total nilai aset PDAM sebagai suatu fungsi dari masyarakat yang dilayani.
1.7
Pemda mengalokasikan pendanaan untuk pembangunan dan pengoperasian
prasarana air limbah.
2.1
Dewan Pengawas PDAM memiliki peran dan serangkaian tanggung jawab yang telah
ditentukan secara jelas dan mengadakan pertemuan secara teratur untuk memenuhi
tugas-tugas tersebut.
2.2
Laporan Kemajuan Manajemen Tahunan diberikan kepada Pelaksana Kabupaten/Kota
oleh Direktur dan Dewan Pengawas PDAM.
2.3
Pemda menunjuk Direksi PDAM sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan untuk
keperluan “uji kepatutan dan kelayakan.”
2.4
Pemda telah memberlakukan perjanjian manajemen berbasis kinerja dengan Direksi PDAM.
2.5
Pemda menyetujui penyesuaian kenaikan bertahap tarif reguler untuk PDAM.
2.6
Pemda mengatur pembuangan limbah sistem septik rumah tangga.
3.1
Pemda telah melaksanakan kampanye sosialisasi ke publik tentang pentingnya
peningkatan sanitasi dan kebersihan.
3.2
Persentase rumah tangga yang telah melihat atau mendengar kampanye kesadaran
tentang isu-isu air minum, sanitasi, dan kebersihan.
3.3
Persentase rumah tangga yang mengetahui bahwa Pemda bertanggung jawab atas
penyediaan air minum di lingkungan sekitar mereka.
3.4
Persentase rumah tangga yang mengetahui bahwa Pemda bertanggung jawab untuk
melindungi sungai dan air bawah tanah dari polusi saluran pembuangan.
b) Pelibatan
Pelanggan
3.5
PDAM secara teratur melakukan survei kepuasan pelanggan independen.
3.6
PDAM secara teratur melibatkan para pelanggannya melalui pertemuan terencana,
forum pelanggan, open house, atau sarana serupa lainnya.
a) Ketepatan
Waktu dan
Akurasi Informasi
4.1
PDAM memberikan informasi penting dan terkini tentang layanannya kepada
pelanggan melalui situs web atau sarana lainnya.
4.2
Persentase pelanggan yang menyatakan bahwa tagihan mereka mencerminkan
pemakaian air aktual.
b) Mekanisme
Pengaduan
4.3
Sambungan telepon langsung (hotline) pelanggan khusus tersedia dan tanggap.
4.4
PDAM memiliki suatu sistem untuk mencatat dan melacak keluhan pelanggan.
b) Alokasi
Anggaran
2. Peraturan dan
Pengawasan
3. Sosialisasi
dan Pelibatan
Masyarakat
4. Layanan
Pelanggan
Indikator
a) Kesadaran
Masyarakat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Sub-Indeks
Dimensi
c) Layanan yang
Berpihak kepada
Masyarakat
Miskin
5. Administrasi
Internal PDAM
6. Kinerja PDAM
a) Kualitas
Layanan
b) Teknis dan
Keuangan
7. Akses dan
Penggunaan
Layanan
8. Kepuasan
Masyarakat
Indikator
4.5
Ketersediaan program amortisasi untuk biaya koneksi.
4.6
Pemanfaatan fasilitas air minum alternatif untuk melayani masyarakat
berpenghasilan rendah.
5.1
PDAM memanfaatkan teknologi terkini untuk mengelola/melacak keuangan, aset,
dan basis pelanggannya.
5.2
PDAM telah menetapkan kebijakan pengadaan yang jelas.
5.3
PDAM telah menetapkan Prosedur Operasional Standar yang mengatur fungsi-fungsi
utama teknis, keuangan, dan sumber daya manusia.
5.4
PDAM memberlakukan kode etik resmi yang diakui oleh semua staf.
5.5
PDAM memiliki rencana pelatihan/pengembangan profesional untuk para stafnya.
6.1
Persentase pelanggan yang melaporkan sejumlah kecil masalah atau tidak adanya
masalah terkait kualitas air leding.
6.2
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa tekanan air leding cukup memadai.
6.3
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa air leding tersedia secara terus-menerus.
6.4
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa penyediaan air leding dilakukan secara
terjadwal.
6.5
Kekeruhan air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.6
Tingkat residu klorin dari air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.7
Tekanan air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.8
Nilai kinerja teknis dan keuangan PDAM tahunan dari Badan Pengawas Keuangan
tingkat Provinsi.
7.1
Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap peningkatan
sumber daya air minum.
7.2
Persentase rumah tangga berpenghasilan rendah yang membayar kurang dari 5%
dari penghasilan bulanan mereka untuk akses terhadap air bersih.
7.3
Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap peningkatan fasilitas sanitasi.
7.4
Persentase rumah tangga yang memiliki sistem septik yang dapat disedot pada saat dikuras.
8.1
Persentase rumah tangga yang puas dengan akses terhadap air bersih.
8.2
Persentase rumah tangga yang puas dengan kualitas air minum dari sumber
daya air daerahnya.
• Daya tanggap: Lembaga-lembaga dan proses
harus melayani semua pemangku kepentingan dan
menanggapi dengan baik perubahan permintaan dan
preferensi atau kondisi baru lainnya.
Apa yang dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan
untuk meningkatkan tata kelola air minum yang baik dan
membantu menjamin bahwa Indonesia akan mampu
mencapai tujuannya secara berkelanjutan terkait
Prakarsa Compendium | Jilid 3
141
142
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 3: Uji Coba WSSI: Pemeringkatan Kabupaten
Nilai Tertinggi
Medan
Parepare
Salatiga
Kendal
Semarang
Pekalongan
Takalar
Makassar
Binjai
Jeneponto
Deli Serdang
Tanjung Balai
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Perencanaan dan Penganggaran
Administrasi Internal PDAM
Peraturan dan Pengawasan
Kinerja PDAM
Jangkauan Publik dan Keterlilbatan
Akses Layanan dan Penggunaan
Layanan Pelanggan
Kepuasan Warga
penyediaan layanan? Ada beberapa jawaban untuk
pertanyaan ini. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)
yang didanai oleh Pemerintah Australia telah menerapkan
strategi-strategi yang dapat meningkatkan tata kelola
pemerintahan yang baik, seperti program-program bantuan
berbasis keluaran, yang tidak hanya memberi penghargaan
terhadap keluaran kasat mata, seperti meningkatnya jumlah
sambungan air minum untuk masyarakat miskin di daerah
perkotaan, melainkan juga meningkatnya hubungan antara
Pemda, PDAM, dan masyarakat.
Untuk melengkapi upaya tersebut, digunakan suatu
perangkat lain rintisan IndII yang saat ini tengah diterapkan
sepenuhnya, yaitu: Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
30.00
35.00
40.00
(Water and Sanitation Services Index, WSSI). Indeks ini
merupakan gabungan dari delapan sub-indeks yang terkait
dengan tata kelola pemerintahan dan kinerja sebagai tolok
ukur sederhana, berdampak besar terkait bagaimana
Pemda menjalankan sektor air minum dan sanitasi.
Model ini meniru indeks-indeks tata kelola pemerintahan
yang telah berhasil diterapkan di beberapa wilayah lain
di Asia Tenggara dan dunia.
WSSI dirancang untuk mendukung peningkatan terusmenerus terhadap transparansi, akuntabilitas, kesetaraan,
daya tanggap, dan partisipasi. Program ini secara
langsung menyertakan pandangan-pandangan dan tingkat
kepuasan para anggota masyarakat yang paling utama,
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
yaitu para pengguna akhir dari layanan penyediaan air
minum dan sanitasi.
Hal yang penting adalah pendekatan WSSI berbeda dengan
sistem penetapan tolok ukur penyediaan air minum dan
sanitasi yang ada, yang cenderung menekankan indikatorindikator kuantitatif (teknis, keuangan, dan operasional)
yang diperoleh dari audit eksternal PDAM sendiri. WSSI
dirancang untuk melengkapi dan menambah nilai terhadap
pendekatan pemantauan yang berlaku saat ini.
Empat aspek desain inti dari WSSI (persaingan antar
Pemda, pemberdayaan warga, identifikasi praktik-praktik
terbaik, dan pemantauan) menyentuh dan menggarap
tujuan keseluruhan untuk mendorong Pemda agar
lebih bertanggung jawab terhadap warga mereka dan
melakukan reformasi dan peningkatan berkelanjutan dalam
penyediaan layanan air minum dan sanitasi:
Persaingan antar Pemda: WSSI dapat digunakan sebagai
perangkat bagi Pemda untuk membandingkan dan
memantau kinerja mereka sendiri dalam hal-hal yang
terkait dengan Pemda di daerah sekitar wilayah mereka.
Peringkat kabupaten dirancang untuk menumbuhkan
persaingan positif di antara kabupaten-kabupaten guna
meningkatkan kinerja mereka, saling mengukur satu sama
lain bukan terhadap praktik terbaik eksternal yang tidak
dapat dicapai, melainkan terhadap kabupaten berkinerja
terbaik dan terburuk di dalam negeri. Dengan demikian,
tercipta praktik-praktik dan kebijakan terbaik yang spesifik
dari sisi daerah dan budaya yang dapat dipelajari dan
diadaptasi oleh kabupaten-kabupaten di Indonesia.
Pemberdayaan Warga: Masyarakat Indonesia dapat
memanfaatkan hasil WSSI untuk membandingkan kinerja
kabupaten mereka terhadap kabupaten-kabupaten lain
dan menggunakan suara dan perangkat advokasi (seperti
kelompok masyarakat sipil setempat) untuk menekan
Pemda guna meningkatkan kualitas layanan mereka
menjadi lebih setara. Masyarakat Indonesia seringkali tidak
menyadari kualitas penyediaan air minum yang seharusnya
mereka peroleh. Melalui keterlibatan media dan kelompok
masyarakat sipil secara teratur, WSSI diperkirakan akan
menjadi perangkat yang berharga bagi warga untuk
memperoleh informasi yang lebih baik tentang kualitas
layanan yang menjadi tanggung jawab Pemda mereka serta
bagaimana perbandingannya dengan kabupaten tetangga.
Lebih lanjut, rumah tangga-rumah tangga yang termasuk
dalam sampel juga akan menerima umpan balik langsung
terkait kualitas layanan melalui pengujian kualitas air dari
keran air rumah tangga mereka masing-masing.
Identifikasi Praktik-Praktik Terbaik: WSSI dapat
mengidentifikasi dan memberikan contoh-contoh praktik
terbaik Pemda yang menonjol di Indonesia. Praktikpraktik tersebut dapat diadaptasi dan diteruskan kepada
Pemerintah Kabupaten yang memiliki kesamaan untuk
meningkatkan kinerja mereka sendiri.
Pemantauan Intervensi dan Kemajuan: Sebagai sebuah
proses berulang, WSSI memungkinkan kita untuk
menetapkan tolok ukur kondisi awal pada tahun pertama
dan mengukur peningkatan dari tahun ke tahun. Indeks ini
juga membantu warga, media, masyarakat sipil, dan Pemda
sendiri untuk secara langsung mengidentifikasi peningkatan
yang telah dicapai dari waktu ke waktu. Selanjutnya,
mengingat rencana untuk mempublikasikan hasilnya
di media massa, Indeks tersebut berpotensi membawa
tingkatan transparansi yang baru menuju penelusuran
kemajuan, termasuk sejauh mana realisasi aktual dari
tingkat cakupan yang ditargetkan.
WSSI ini disusun menjadi dua komponen, yaitu: lima subindeks tata kelola pemerintahan dan tiga sub-indeks
“berbasis warga”. Komponen ini menggabungkan hard
data yang diperoleh dari dokumen resmi, wawancara
dan uji fisik air dengan soft data berdasarkan persepsi
pelanggan. Lihat Gambar 2 untuk perincian masingmasing komponen indeks. Melalui pengumpulan dan
analisis data, perangkat statistik canggih diterapkan untuk
menjamin bahwa data yang diperoleh cukup baik dan setiap
kesalahan dikoreksi atau ditiadakan.
Pada putaran pertama secara lengkap, yang saat ini
sedang dilaksanakan, WSSI akan mencakup antara 100
hingga 150 Pemda, termasuk survei terhadap 300 rumah
tangga per kabupaten, mencakup sampai dengan 45.000
rumah tangga.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
143
144
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Uji Coba dan Hasil
Proyek ambisius seperti ini memerlukan pengujian sebelum
pelaksanaan. WSSI dirancang sebagai serangkaian konsep
dengan empat langkah: berawal dari pengembangan
konsep awal, pengujian lapangan awal, dan pengujian
lapangan di beberapa kota-kota, hingga peluncurannya
yang saat ini sedang berlangsung.
Untuk pengujian lapangan di beberapa-kota, tim Uji Coba
WSSI berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan
pemerintah untuk memilih tiga kelompok Pemda guna
melaksanakan kegiatan uji coba. Kelompok pemda tersebut
– yang terletak di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi
Selatan – terdiri atas ibukota di masing-masing provinsi
beserta tiga kabupaten sekitarnya. Untuk melaksanakan
survei rumah tangga dan mengumpulkan dokumentasi
yang diperlukan, Tim Uji Coba bermitra dengan universitas
setempat di masing-masing tiga kelompok tersebut:
Universitas Sumatra Utara (Jurusan Teknik Lingkungan)
di Medan, Universitas Diponegoro (Fakultas Kesehatan
Masyarakat) di Semarang, dan Universitas Hasanuddin
(Fakultas Kesehatan Masyarakat) di Makassar.
Sekitar 300 rumah tangga di masing-masing 12 kabupaten
dipilih secara acak dan disurvei oleh para mitra universitas
untuk menilai persepsi dan kombinasi wawancara dari
para narasumber tanpa nama dan narasumber utama
dimanfaatkan untuk memperoleh hard data. Selain
itu, pengujian kuantitas dan kualitas air di lapangan
dilaksanakan terhadap 80 rumah tangga di masing-masing
kabupaten. Setelah pembersihan data dan analisis awal,
data baku tersebut kemudian dikonversikan menjadi
beberapa indikator dan sub-indeks dan akhirnya, sebuah
indeks lengkap dengan skor tertinggi yang mungkin
dicapai sebesar 40 poin.
Setelah survei terhadap 3.600 rumah tangga, pengujian
air terhadap 960 air leding, dan pengumpulan dokumen
perencanaan dan penganggaran air minum dan sanitasi
dalam jumlah besar, ditemukan sejumlah hal penting yang
perlu digarisbawahi, termasuk:
• 86 persen air leding rumah tangga yang diuji memiliki
tekanan air yang tidak memadai menurut standar
Pemerintah Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• 51 persen sampel air rumah tangga mengandung kadar
klorin di bawah tingkat aman yang direkomendasikan
oleh World Health Organization.
• Hanya 17 persen rumah tangga yang menyadari bahwa
Pemda bertanggung jawab untuk melindungi sumber
daya air dari air limbah, sementara hanya 39 persen
yang menyadari bahwa Pemda bertanggung jawab
untuk menjamin akses terhadap air bersih.
• Hanya 23 persen rumah tangga yang memiliki tangki
septik yang dapat dikuras setiap saat.
• Sepertiga pelanggan air minum tidak puas dengan
tingkat layanan yang mereka terima dari perusahaan
air minum daerahnya.
• Hanya tiga dari 12 perusahaan air minum yang
melengkapi dan menyerahkan laporan kinerja tahunan
ke pelaksana kabupaten dengan tanda tangan dari
direksi dan dewan pengawas.
• Tidak satu pun Pemda yang disurvei yang telah
memberlakukan undang-undang yang mengatur
pembuangan tinja.
Gambar 3 merangkum seluruh hasil indeks menurut
kabupaten, dengan sub-indeks tata kelola pemerintahan
yang ditampilkan dengan warna biru dan sub-indeks
kinerja yang ditampilkan dengan warna hijau. Kabupaten
Medan menerima peringkat tertinggi, sementara
Kabupaten Parepare menempati urutan kedua. Kabupaten
Tanjung Balai, Deli Serdang, dan Jeneponto memperoleh
nilai terendah.
Walaupun tampak menarik dan memiliki potensi manfaat,
hasil-hasil ini hanyalah pendahuluan dari apa yang
diharapkan dapat dicapai dari pelaksanaan WSSI secara
menyeluruh. Mengingat WSSI hanya dilaksanakan sebagai
proyek percontohan, masih terlalu dini untuk mengatakan
bahwa program ini telah memberikan kontribusi secara
langsung terhadap meningkatnya pengaturan tata kelola
pemerintahan di kota-kota yang termasuk dalam Indeks.
Namun demikian, secara anekdot, jelas bahwa penerapan
Indeks itu sendiri akan mendorong warga dan para pejabat
publik untuk berpikir lebih jauh tentang kualitas layanan air
minum dan sanitasi. Di sebuah kota yang disurvei, misalnya,
warga menunjukkan minat yang tinggi untuk berbicara
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dengan para petugas survei, mengingat bahwa mereka tidak
pernah memiliki kesempatan untuk memberikan umpan
balik seperti ini kepada layanan air minum setempat.
Di lokasi lain, PDAM yang tidak termasuk dalam survei
tersebut meminta agar tim WSSI juga melakukan survei
dalam yurisdiksi mereka untuk keperluan advokasi.
Seperangkat indeks dari tahap pertama peluncuran WSSI
seharusnya sudah tersedia paling lambat pertengahan
2015. Pada awalnya indeks tersebut akan meliputi 50
kota. Datanya sendiri akan sangat bermanfaat bagi para
walikota agar mereka dapat melihat untuk pertama kalinya
analisis tentang kualitas penyediaan layanan air minum dan
sanitasi secara independen dan objektif. Lebih penting lagi,
mereka dapat melihat analisis tersebut dari sudut pandang
konstituen mereka yang mungkin akan cukup mengejutkan.
Sebaliknya, para pelanggan juga dapat membandingkan
mutu layanan yang mereka peroleh dengan kota-kota
sekitarnya yang setara, serta membandingkan tarif air
minum dan biaya sanitasi. Secara lebih luas, informasi
tersebut dapat seketika membuktikan manfaatnya kepada
para perencana, pembuat kebijakan dan masyarakat yang
berupaya untuk mencapai tata kelola pemerintahan dan
penyediaan layanan yang lebih baik.
akan mendorong rasa kepemilikan daerah sehingga
pengulangan baru dari WSSI akan dilakukan di tahun-tahun
mendatang dan memberi kemampuan pada Pemda untuk
terus menerus meningkatkan layanan mereka. Keterlibatan
universitas setempat dapat membantu untuk menjamin
hasil tersebut karena sejarah proses WSSI akan terpelihara
secara kelembagaan. Peneliti dari universitas pun akan
memperoleh manfaat dari hasil sekunder penelitian WSSI,
yakni berupa seperangkat data yang dapat digunakan
untuk melakukan riset ketat tentang relasi antara tata
kelola pemerintah yang baik dan layanan air minum dan
sanitasi, sehingga di masa mendatang dapat dikembangkan
kebijakan yang lebih berdasarkan pada bukti nyata. ●
Penyusunan WSSI dan penyebarannya bukanlah kegiatan
yang hanya berlangsung satu kali saja. Empat puluh tiga kota
berikutnya akan disertakan dalam peluncuran WSSI tahap
kedua yang kemudian akan diikuti dengan mengikutsertakan
Pemerintah Kabupaten yang progresif. Selama tahap
pematangan ini, pemerintah akan menyusun tata laksana
secara kelembagaan untuk melakukan pemutakhiran indeks
tersebut secara berkala. Tata laksana tersebut bertujuan
untuk menjaga objektivitas dan independensi analisis
terhadap layanan. Idealnya, imbal hasil dari upaya tersebut
CATATAN
1. http://www.fmch-indonesia.org/our-work/west-timor/water-and-sanitation/
2. Program Penilaian Air Dunia PBB (UN World Water Assessment Programme). Laporan Pengembangan Air Dunia. 2003. Halaman 30.
3. Ibid, halaman 373.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
145
146
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PERAN PENDANAAN SWASTA
DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR
Kesenjangan Infrastruktur
Indonesia menghadapi kesenjangan infrastruktur di awal
periode RPJMN 2015–2019. Bagi sebagian besar sektor,
permintaan melebihi kapasitas dalam margin yang besar. Ini
akan berdampak pada daya saing ekonomi bangsa kecuali
jika pembelanjaan dapat ditingkatkan secara signifikan.
Investasi infrastruktur dan penyediaan pelayanan yang
kompetitif oleh sektor swasta sebagaimana dibayangkan
dalam RPJPN 2005–2025 belum dapat dicapai. Sebagian
besar kerangka hukum telah ada, namun penerapannya
berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Berdasarkan
penilaian kebutuhan dasar, Indonesia memerlukan
investasi modal lebih dari Rp 6.780 triliun pada 2015–
2019 untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur
dan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan1 di
masa depan. Pemerintah sudah mengalami defisit bersih
(net deficit), dan lebih dari 70 persen dari anggarannya
dialokasikan untuk pengeluaran rutin, termasuk subsidi.
Permintaan Indonesia akan infrastruktur
jauh melebihi kemampuan Pemerintah
untuk mendanainya.
Selain itu, sebagaimana disinggung di atas, Pemerintah
berkomitmen untuk mengurangi lebih lanjut rasio
keseluruhan utang/PDB. Oleh karenanya, ruang fiskal
untuk
mengakomodasi
peningkatan
pembelanjaan
pembangunan yang besar sangat terbatas. Sebagai satu
bagian dari keluaran secara total, investasi infrastruktur
Indonesia hanya mencapai 3 persen, turun dari 7 persen
sebelum Krisis Keuangan Asia. Agar pulih, harus ada
sumbangan besar dari sektor swasta2.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Manfaat Pendanaan Swasta
Meski demikian pendanaan sektor swasta dapat mengisi
lebih dari sekadar kesenjangan infrastruktur. Sebagian
besar layanan infrastruktur paling baik dilaksanakan
oleh sektor swasta yang kompetitif dan berfokus pada
bidang komersial. Penyediaan infrastruktur oleh sektor
swasta biasanya memberikan efisiensi yang signifikan
dan keuntungan bernilai ekonomis dan manfaat (VfM,
value-for-money) serta fokus pada pengguna/pelanggan.
Pendanaan sektor swasta dapat mengisi
kesenjangan, dan dengan insentif yang
tepat akan memberikan efisiensi, kualitas,
dan kinerja yang lebih baik daripada
pendanaan sektor publik.
Dengan persaingan yang efektif, motif laba akan menjadi
insentif yang memperkuat kualitas, efisiensi, dan
kinerja melebihi insentif lain yang ada di sektor swasta.
Pelajaran untuk RPJMN 2015–2019 adalah memfasilitasi
persaingan sektor swasta dan menghindari atau
menghilangkan peraturan yang menghambat investasi dan
operasional swasta.
Peluang untuk Pendanaan Swasta
Di masa lalu, Pemerintah mendanai infrastruktur dari
sumber daya yang hingga kini tetap dipertahankan
seperti BUMN/BUMD, APBN/APBD, dan melalui utang.
Penyediaan dari sektor swasta menawarkan dua peluang
tambahan. Yang pertama adalah proyek-proyek komersial
yang didanai pemasukanan dari pengguna, yang terkadang
memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk jaminan
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
atau dana pendamping proyek (VGF, viability gap funding)
agar menjadi pemikat bagi penanam modal dan pemberi
pinjaman. Yang kedua adalah Skema Anuitas Berbasis
Kinerja (PBAS, Performance-Based Annuity Schemes)
yang melibatkan pembayaran pemerintah untuk tingkat
layanan yang disepakati atau kinerja aset 3. Umumnya,
pemberi pinjaman lebih suka pilihan kedua, karena
risiko pelaksanaan lebih mudah diprediksi dan dikelola.
Melibatkan sektor swasta dalam pendanaan
infrastruktur membuka peluang seperti proyek
pendanaan dari pendapatan pengguna dan
Skema Anuitas Berbasis Kinerja.
Keduanya melaksanakan optimalisasi biaya siklus hidup
– keuntungan lain dari penyediaan oleh swasta – dengan
menginsentifkan pengendalian biaya dalam memenuhi
indikator pokok kinerja baik di tahap penawaran maupun
melalui serangkaian tugas perancangan, konstruksi, serta
operasional dan pemeliharaan (O&M, operation and
maintenance) selama proyek berlangsung.
Selain berhasil melakukan deregulasi sektor telekomunikasi,
pengalaman Indonesia dalam menarik minat pendanaan
swasta untuk infrastruktur publik terbatas, dan biasanya
melibatkan BUMN/BUMD sebagai pelaku utama atau
mitra. Kesepakatan yang berhasil termasuk PLTU Jawa
Tengah milik PLN (berdasarkan kesepakatan pembelian
[offtake] yang dijamin) dan perluasan Pelabuhan Tanjung
Priok (Kali Baru) baru-baru ini yang dilakukan oleh Pelindo
II. Yang kurang berhasil adalah beberapa proyek jalan tol,
biasanya karena persoalan pembebasan lahan, transfer
risiko, dan isu penjaminan kuasa/pembayaran. Sebuah
proyek perhubungan kereta api bandara di Jakarta sedang
dipersiapkan, begitu juga proyek penyediaan air minum
Umbulan dan Bandar Lampung. Proyek-proyek semacam
PBAS belum pernah dicoba.
Meski telah ada kemajuan pada peningkatan kerangka
hukum untuk pembebasan lahan serta persiapan dan
pengadaan KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta/Public
Private Partnership), masih terdapat beberapa keterbatasan
yang menunda perkembangan proyek. Ini termasuk
kurangnya pengenalan terhadap model PBAS; sistem
pengadaan yang ketat di sektor publik, serta peraturan
penganggaran dan pelaporanan keuangan; dan kesulitan
dengan kontrak layanan jangka panjang terkait dengan
rentang masa jabatan presiden. Sebuah UU Infrastruktur
baru sedang disusun untuk menangani persoalan ini.
Mengatasi Keterbatasan
Keterbatasan dalam kapasitas kelembagaan dan
pelaksanaan juga perlu ditangani dalam rangka mengatasi
banyaknya ketertinggalan di bidang infrastruktur. Lembaga
pemerintah yang ada tidak terstruktur untuk atau
berpengalaman dalam mengelola program infrastruktur
yang dibiayai swasta. Skala pembangunan yang dibayangkan
untuk periode 2015–2019 berada di luar kapasitas yang
dapat ditangani keuangan domestik dan industri yang
melaksanakan. Industri konstruksi harus meningkatkan
produksinya berkali-kali lipat dari tingkatan saat ini.
Contohnya, hingga saat ini baru 700km jalan tol yang sudah
diselesaikan, padahal kebutuhan saat initelah mencapai
hingga 1000km untuk dibangun setiap tahun. Kualitas
juga perlu ditingkatkan secara substansial. Spesifikasi
rancangan yang buruk atau tidak tepat dan pengawasan di
bawah standar yang menghasilkan kinerja aset yang buruk
dan kerusakan aset secara cepat, sudah merupakan hal
yang biasa.
Lembaga pemerintah belum mengembangkan
kapasitas memadai untuk mengelola program
infrastruktur yang didanai swasta. Kemitraan
strategis yang menggabungkan pengetahuan
lokal dengan praktik terbaik internasional
menawarkan solusi yang menjanjikan.
Bisnis yang dilakukan seperti biasanya (business as usual)
tidak akan menghasilkan kapasitas infrastruktur yang
sangat dibutuhkan Indonesia. Untuk mengatasi tugas
besar ke depan, pemasok-pemasok terbaik dunia termasuk
penanam modal, penyandang dana, dan kontraktor dapat
memainkan peran utama dalam menambah kapasitas
dan keahlian mereka. Seperti halnya kekuatan ekonomi
baru lainnya, kemitraan strategis yang menggabungkan
pengetahuan lokal dengan praktik terbaik internasional
sangat menjanjikan bagi Indonesia. Keterlibatan pihak
asing akan membawa masuk teknologi dan keterampilan
baru yang menguntungkan para pemain dalam negeri serta
meningkatkan efisiensi dan kualitas pelaksanaan.
Jalan ke Depan
Untuk menarik minat investasi swasta, sangat penting untuk
memahami apa yang memotivasi penanam modal swasta.
Mereka akan berinvestasi pada proyek di Indonesia jika ada
imbalan yang cukup dan dapat diandalkan, dan jika risikonya
dapat dikelola. Indonesia dapat bersaing untuk mendapat
dana asing jika menawarkan model pelaksanaan yang
transparan, dapat diprediksi, dapat diandalkan dan masuk
akal, serta sejalan dengan praktik terbaik internasional.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
147
148
Uraian Kegiatan
Sektor swasta akan berinvestasi jika Indonesia
mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mengelola risiko dan menawarkan
imbalan yang cukup.
Membangun minat dan kepercayaan pasar akan
memerlukan:
• Konsultasi dengan pemain pasar untuk mengenali
kebutuhan, harapan, dan kekhawatiran.
• Menawarkan skema yang layak dan dapat dikelola
dalam jumlah terbatas, yang sebagian besar risikonya
telah dihilangkan (de-risked) 4.
• Menjamin bahwa analisis VfM dijalankan untuk
menunjukkan apakah siklus ekonomi dari penyediaan
dari sektor swasta melebihi biaya tambahan
pendanaan sektor swasta jika dibandingkan dengan
pembanding5 sektor publik yang realistis dan risiko
yang disesuaikan.
risiko pendapatan dan membuat pembayaran
berdasarkan ketersediaan/kinerja dari pendapatan
yang ditarik secara independen (misalnya dari ongkos
pengguna, pajak, dan lain-lain).
• Menetapkan standar hasil yang jelas, sebagai landasan
untuk menilai kinerja dan menentukan pengurangan
yang perlu dilakukan.
• Mengadopsi suatu proses pengadaan yang transparan
dan interaktif yang dirancang untuk menguji selera
risiko penawar serta mempelajari beberapa pilihan
rancangan/pelaksanaan yang inovatif.
• Menjaga ketegangan persaingan melalui proses
penawaran, untuk memperoleh VfM yang terbaik.
— John Lee, Direktur Teknis IndII Bidang Transportasi
• Mempertimbangkan dengan teliti,apakah risiko
permintaan dan pendapatan harus dialihkan ke
sektor swasta (seperti semua risiko yang dialihkan,
kemungkinan terburuk adalah mereka mengenakan
biaya kontijensi/bersyarat). Hingga model risiko yang
lebih baik dibuat, langkah penting sementara adalah
mempertimbangkan pilihan untuk mempertahankan
CATATAN
1. Rp 5.619 triliun untuk jalan, perkeretaapian, transportasi perkotaan, transportasi laut, feri dan perairan darat, transportasi udara,
listrik, sumber daya air, pasokan air minum dan sanitasi, serta Rp 1.161 triliun tambahan untuk energi dan gas, perumahan rakyat,
dan komunikasi (sumber: Bappenas, JICA). Meski demikian, kendala kapasitas kelembagaan, pendanaan, dan pelaksanaan cenderung
membuahkan hasil yang lebih rendah.
2. Sumbangan ini (dan pengembalian investasi yang diharapkan) akan, tentunya, harus dibayarkan kembali dari tarif pengguna atau
penggantian biaya oleh pemerintah.
3. PBAS terkadang juga disebut sebagai skema berbasis ketersediaan. Berdasarkan model PBAS, sebuah perusahaan swasta dilibatkan
untuk merancang, mendanai, membangun, dan menjalankan proyek infrastruktur, seperti jalan, selama periode sekitar 20 tahun.
Setelah jalan tersebut dibuka untuk dilalui, perusahaan tersebut akan menerima pembayaran secara teratur sebagai imbalan
atas penyediaan jalan sesuai dengan standar kinerja yang disepakati. Pengguna masih dapat dikenai biaya di bawah model
penyelenggaraan PBAS, namun risiko permintaan/pendapatan biasanya tidak dialihkan ke sektor swasta.
4. Dalam konteks ini, menghilangkan risiko berarti menyingkirkan semua risiko yang oleh mitra sektor swasta tidak dapat dikelola
sendiri, atau diasuransikan.
5. Siklus ekonomi ini berasal dari penggabungan perancangan, konstruksi/implementasi, dan tugas-tugas O&M selama masa proyek.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
SISI KEMANUSIAAN
INFRASTRUKTUR:
SUATU LINGKUNGAN
YANG LEBIH BERSIH UNTUK
KINI DAN HARI ESOK
Bagaimana dampak program pembangunan sanitasi daerah
terhadap anggota masyarakat? Beberapa penerima manfaat
menceritakan sepenggal kisah hidup mereka kepada Prakarsa
setelah mengalami perubahan hidup yang lebih baik.
Oleh Eleonora Bergita
Program sanitasi berupaya mempromosikan hidup lebih
bersih dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan penduduk. Pada periode tahun 2010–2011,
sebanyak 800 keluarga berpenghasilan rendah di Surakarta
telah merasakan Program Hibah Saluran Air Limbah pada
Tahap 1 Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai
oleh Pemerintah Australia. Pada saat itu Pemerintah Kota
Surakarta merupakan satu dari lima daerah yang menerima
dana hibah untuk sekitar 5.000 sambungan air limbah
rumah tangga baru ke infrastruktur air limbah yang ada.
Pada Tahap 2, sekitar 9.000 keluarga lagi akan dijangkau
pada tahun 2015, sebanyak 2.500 keluarga di antaranya
tinggal di kawasan perkotaan Surakarta.
Program Hibah Saluran Air Limbah disalurkan melalui
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat. Rumah
tangga dapat terhubung dengan saluran air limbah dalam
program ini dengan biaya yang lebih rendah atau bahkan
tanpa biaya sama sekali, jadi warga yang berminat hanya
perlu membayar kurang dari Rp 50.000 sebagai biaya
berlangganan selama beberapa bulan awal.
Baru-baru ini, beberapa warga Surakarta mengisahkan
perubahan hidup yang mereka alami sebagai hasil dari
program IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
149
150
Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
Kenyamanan Baru
Ibu Darmanto (51 tahun) tinggal di daerah Serengan,
Surakarta. Baginya, waktu adalah hal yang sangat
berharga. Ibu Darmanto adalah istri seorang petugas
keamanan, yang memiliki kesibukan luar biasa setiap
harinya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah
tangganya, ia berjualan sayur mentah dan matang di
sekitar kampungnya. Setiap pagi, ia berjalan berkeliling
Serengan dengan membawa beragam sayur mentah, yang
dijualnya kepada para ibu rumah tangga yang akan
memasak untuk keluarganya.
Selepas berkeliling, sayur mentah dagangannya biasanya
masih banyak tersisa. Ibu Darmanto bersama seorang
tetangganya dengan kreatif dan tekun segera mengolah sisa
sayur menjadi beragam masakan yang kemudian dibungkus
dalam kemasan plastik kecil. Ia kemudian berkeliling
kampung hingga pukul delapan setiap malamnya,
menjajakan masakan tersebut dengan harga rata-rata
sekitar Rp 1.000 per bungkus.
Hari yang begitu panjang dan padat dijalaninya hampir
setiap hari. Tidak heran jika setelah bekerja sehari penuh,
seringkali ia merasa terlalu lelah untuk pergi ke luar
rumah di malam hari.
Dulu sepulang bekerja, Ibu Darmanto masih harus
melakukan kegiatan pribadi, seperti mandi dan buang air, di
MCK umum yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Dengan hanya dua kamar mandi yang tersedia di MCK
umum bagi seluruh masyarakat kampung, ia kadang perlu
mengantre selama kurang lebih setengah jam – bahkan
ketika hari telah larut dan di kala hujan. Namun sejak tahun
2011, Ibu Darmanto dan keluarganya sudah dapat mandi
dan menggunakan kakus di rumahnya sendiri. Dengan
senyum yang menghiasi wajahnya saat mempersiapkan
sayuran matang untuk dijual, Ibu Darmanto berkata, “Saya
senang sekali sekarang jadi jauh lebih enak, setelah lelah
bekerja seharian, saya tidak perlu keluar rumah untuk
menggunakan fasilitas MCK.”
Tak Perlu Berlarian
Agus Sumarno (45 tahun) bersama istrinya, Surtini (41
tahun), tertarik untuk ikut Program Hibah Saluran Air
Limbah IndII begitu mendengar informasi tersebut dari
Ketua RT pada tahun 2010. Pasangan tersebut, yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
memiliki tiga anak, bekerja secara lepas, menenun sarung
yang dibuat khusus untuk ekspor.
Saat mendengar tentang Program Hibah ini, Agus langsung
berhitung: Tak ada biaya pemasangan sambungan, dan
dengan biaya berlangganan Rp 7.500/bulan, ia tidak
perlu lagi mengeluarkan biaya minimal Rp 5.000/hari bagi
seluruh anggota keluarga untuk ke MCK umum – sekitar
Rp 150.000/bulan. Ia juga tak perlu mengeluarkan biaya
membuat tangki septik (septic tank) yang cukup mahal dan
memanggil layanan sedot WC paling tidak setahun sekali.
Biaya Rp 7.500/bulan jelas sangat menguntungkan.
Sejak memasang sambungan air limbah di rumah,
Agus telah membangun kamar mandi lengkap sendiri,
sehingga keluarganya tidak perlu ke MCK umum untuk
mandi atau buang air.
“Keuntungan ikut program ini, selain lebih murah, adalah
saya, istri, dan anak-anak juga tidak perlu berlarian dan
antre di MCK umum untuk dapat buang air,” kata Agus di
sela kegiatan memintal benang. “Waktu yang dulu banyak
terbuang untuk berjalan dan mengantre di MCK, bisa
dimanfaatkan untuk menyelesaikan sarung tenun, dan
mengerjakan lebih banyak pesanan.”
Ia juga merasa lingkungan tempat tinggalnya di kelurahan
Semanggi, Surakarta, sudah lebih bersih, setelah air kotor
bekas cucian piring atau baju tidak dibuang ke selokan
air lagi. Sebelumnya, saluran tersebut kerap tersumbat
dan meluap saat musim hujan, sehingga air kotor pun
menggenangi jalan.
“Dulu, selama musim hujan, anak-anak kami tidak ada yang
mau keluar rumah kecuali ke sekolah, karena lingkungan
kotor, dan mereka takut terjangkit penyakit. Tapi sekarang,
setelah ada sistem sambungan pembuangan air limbah,
anak-anak kami tidak takut lagi keluar rumah bahkan
ketika hujan. Tidak ada lagi yang menghalangi kegiatan
mereka sehari-hari, dan mereka tetap sehat,” tambah Agus
seraya tersenyum lebar.
Selokan Tersumbat dan Demam Berdarah
Sebagai anggota PKK, Lusiati (46 tahun), ibu rumah
tangga warga Kelurahan Bonorejo, Surakarta, aktif
mengikuti berbagai kegiatan program. Namun suaminya,
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Agus dan Surtini bekerja keras menenun.
Atas perkenan Eleonora Bergita
Triyono, yang bekerja sebagai tukang listrik, adalah yang
lebih dulu mendengar mengenai adanya Program Hibah
Saluran Air Limbah dari pertemuan bapak-bapak di
lingkungan setempat.
4 SD pernah menderita sakit demam berdarah. Genangan
air yang jamak terdapat di lingkungan mereka merupakan
tempat berkembang biak yang subur bagi vektor demam
berdarah, nyamuk Aedes aegypti.
Keduanya lantas berdiskusi dan mempertimbangkan dengan
seksama program tersebut. Mereka masih ingat, sekitar
enam tahun lalu, putri mereka yang saat itu duduk di kelas
Dulu mereka memiliki septic tank yang terhubung langsung
ke WC, sedangkan air limbah dari dapur langsung masuk
ke selokan. Dengan biaya Rp 90.000, keluarga mereka
Prakarsa Compendium | Jilid 3
151
152
Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
melakukan penyedotan septic tank sekitar setiap dua tahun
sekali. Tidak heran saat musim hujan, bau tidak sedap
tercium, lingkungan sekitar tampak kotor, tidak terawat,
dan air dari selokan pun meluap ke jalan.
Dengan pertimbangan tersebut, ditambah dengan sakit yang
pernah diderita putri mereka, Lusiati yakin bahwa Program
Hibah adalah ide yang baik. Suaminya pun sependapat.
Pasangan suami-istri ini sepakat untuk ikut Program
Hibah Saluran Air Limbah. Mereka mulai dapat merasakan
manfaatnya, meski baru beberapa bulan menjadi
pelanggan. Selokan di sekitar rumah menjadi lebih bersih
dan tak pernah meluap. Belum lagi, jika ada masalah,
mereka dapat menghubungi PDAM yang kemudian akan
datang memperbaiki saluran.
kotor. Sebagai tokoh masyarakat setempat, saya
betul-betul puas dengan layanan yang diberikan oleh
Pemerintah Kota,” tegas Suwarto.
Bagi Ibu Darmanto, Agus Sumarno dan Surtini, Lusiati
dan Triyono, serta Suwarto, sambungan pembuangan
air limbah benar-benar membuat perubahan, dan
membantu mereka menjalani hidup yang lebih sehat
dan produktif. Kini mereka juga bisa berbangga, dapat
memberikan warisan lingkungan yang bersih dan sehat
bagi anak-cucu mereka. ●
Demi Generasi Mendatang
Dulu air sumur di wilayah kelurahan Semanggi enak
diminum, tapi sejak beberapa tahun terakhir warnanya
menjadi kuning.
Bagi Suwarto (53 tahun), seorang ketua RT dan bapak
tiga anak, upaya untuk melindungi kualitas air minum di
lingkungan setempat melalui partisipasi dalam Program
Hibah merupakan hal yang perlu didukung. Terlebih ia
sadar akan pentingnya mewariskan lingkungan yang bersih
bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, ia melakukan
berbagai pendekatan untuk meyakinkan para warga
untuk ikut serta. Hasilnya, semua keluarga di RT-nya telah
tersambung ke saluran air limbah. Pada tahun 2012, mereka
juga telah terhubung dengan saluran air minum PDAM.
Bagi Suwarto, manfaat yang dirasakan tidak semata
terbatas pada manfaat lingkungan, namun juga manfaat
ekonomi, karena biaya untuk saluran pembuangan air
limbah lebih murah dibandingkan biaya menggunakan MCK.
Secara keseluruhan, ia melihat perbedaan yang signifikan
di lingkungannya. Ia sungguh-sungguh berterima kasih
pada Pemkot Surakarta atas layanan air minum dan
saluran air limbah tersebut.
“Dulu selokan sering meluap, sehingga banjir di sanasini. Warga banyak seringkali menderita diare, termasuk
anak saya yang waktu kecil pernah mengalami diare saat
musim hujan, karena memang lingkungan kami dulu
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tentang Penulis:
Eleonora Bergita (Gite) merupakan Senior Program Officer dan
Event Manager IndII. Ia adalah seorang penulis dan pengatur
acara (event organiser) dengan pengalaman lebih dari 10
tahun di bidang jurnalisme dan pengelolaan acara. Ia pernah
bekerja, antara lain, untuk sebuah organisasi non-pemerintah
Jerman, beberapa majalah terkemuka di Indonesia, dan
perusahaan humas. Gite adalah lulusan Universitas Indonesia,
Jurusan Sastra Jerman.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Penyelenggaraan Layanan Daerah
di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dalam angka
50%
30%-40%
Perkiraan banyaknya APBN yang dibelanjakeluarkan untuk
ditransfer ke Pemda.
Tingkat rata-rata kebocoran air minum PDAM, menurut laporan Badan
Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM)
tahun 2012.
USD 6,3miliar
Jumlah PDB yang hilang karena sanitasi dan higiene yang buruk di
Indonesia, menurut sebuah kajian Bank Dunia.
11%
Banyaknya rumah tangga yang memiliki kadar kekeruhan air yang
tidak aman, menurut data yang dikumpulkan selama proyek
percontohan WSSI (lihat artikel di halaman 137).
93%
Banyaknya jumlah PDAM dengan tingkat pertumbuhan sambungan air
pipa leding baru yang tertinggal dari tingkat pertumbuhan penduduk
pada tahun 2009, menurut sebuah laporan Bank Dunia.
5%
Banyaknya APBD yang seharusnya dikeluarkan untuk administrasi,
menurut praktik terbaik internasional. Kabupaten-kabupaten di
Indonesia diyakini menghabiskan hingga seperempat anggarannya
untuk administrasi.
7%
Persentase rumah tangga yang pernah mengeluhkan soal kualitas
pelayanan Pemda, dalam sebuah survei pada tahun 2007.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
153
154
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI
Pertanyaan:
Peningkatan terbesar apa yang Anda lihat dalam cara layanan air
minum dan sanitasi disediakan di masyarakat lingkungan Anda
beberapa tahun terakhir ini? Perubahan apa lagi yang ingin Anda lihat?
Drs. Agus Djoko Witiarso, ST, MSi
Kepala Bappeda Kota Surakarta
“Selama beberapa tahun terakhir ini, sejak SANIMAS (Sanitasi berbasis Masyarakat) diperkenalkan di Kota Surakarta
pada tahun 2005, pembangunan fasilitas sanitasi berbasis masyarakat dan infrastruktur di Kota Surakarta telah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini merupakan upaya untuk menjawab keterbatasan kapasitas
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) setempat yang dikelola oleh PDAM. Masalah sanitasi terkait dengan
keterbatasan ketersediaan lahan perkotaan dapat diatasi melalui model sanitasi berbasis masyarakat. Diharapkan
masyarakat bisa mengembangkan model sanitasi berbasis masyarakat sendiri dengan swadaya murni tanpa banyak
campur tangan pemerintah, termasuk dari sisi pendanaannya. Di masa mendatang diharapkan pencemaran air
permukaan semakin berkurang, mengingat sebagian besar masyakat di kota Surakarta masih mengandalkan
penggunaan sumur pribadi untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.”
Sayyid Muhammad
Ketua OBM Sumber Maron, Kabupaten Malang
“Di sektor air bersih, akses air minum telah mengalami peningkatan. Dulu di daerah kami belum ada layanan air
minum. Kini di tahun 2014, sudah terdapat 1528 Sambungan Rumah (SR). Kebutuhan air bersih untuk sekitar
7640 jiwa di empat desa sedang diupayakan agar terpenuhi – di desa Karangsuko layanannya telah mencapai
87persen, Sukosari telah mencapai 46 persen, di Gondanglegi Kulon 24 persen, dan desa Panggungrejo 0,5 persen.
Di ketiga desa yang disebut belakangan, akses layanan masih rendah karena keterbatasan jaringan pipa. Selain itu
keberadaan layanan penyediaan air minum berbasis masyarakat ini juga telah mengakhiri pertikaian yang dulu
sering terjadi karena memperebutkan air minum. Seiring dengan peralihan ke air minum berbasis masyarakat,
persediaan air untuk pertanian tercukupi. Di bidang sanitasi, jumlah masyarakat yang melakukan kebiasaan buang
air sembarangan telah menurun, kepemilikan jamban meningkat, dan kebiasaan cuci tangan juga makin meningkat,
Meskipun demikian saya masih menyimpan harapan agar akses air minum di desa Sukosari, desa Gondanglegi
Kulon dan desa Panggungrejo, akan dapat mencapai minimal 70 hingga 80 persen. Saya juga berharap di bidang
sanitasi kami dapat menjadikan sampah sebagai alat transaksi pembayaran rekening air minum, sebagai upaya
untuk mengurangi dampak negatif pembuangan sampah.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
155
Mentransformasi
Jalan di Indonesia
Edisi 19, Oktober 2014
• Krisis Infrastruktur Jalan di Indonesia
• Membiayai Pembangunan Jalan
Nasional Indonesia
• Jalan Bebas Hambatan
• Jalan Arteri Non Tol
• Menggunakan Insentif untuk
Meningkatkan Jalan Daerah
• Keselamatan Jalan di Indonesia
158
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 01:
KRISIS INFRASTRUKTUR
JALAN DI INDONESIA
Infrastruktur jalan di Indonesia perlu segera dimodernisasi.
Jalan-jalan tersebut memungkinkan pergerakan 70 persen
barang dan 80 persen penumpang dari luar perkotaan,
tetapi walaupun lebih dari Rp 30 triliun telah dibelanjakan
setiap tahun, dua per tiga dari 38.570 km sistem jalan
nasional sudah hampir atau telah mencapai kapasitasnya.
80 persen kapasitas tambahan pada tahun 2030.
Untuk mengurangi waktu perjalanan dan
menghindari kemacetan kronis, kapasitas
jalan perlu ditingkatkan hingga 80 persen
selama 15 tahun.
Infrastruktur jalan di Indonesia perlu
dimodernisasi untuk mendukung perekonomian
G20 yang bercita-cita mencapai PDB per kapita
sebesar USD 14.500 pada tahun 2025.
• Hampir 7.300 km jalan bebas hambatan, merupakan
jaringan tulang punggung yang menghubungkan
pusat-pusat daerah, simpul-simpul angkutan dan
mengakomodir 40 persen lalu lintas.
Kualitas infrastruktur dan kinerja logistik – merupakan kunci
atas perekonomian yang memiliki daya saing – memiliki
tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan sebagian
besar negara-negara ASEAN. Konektivitas yang rendah;
waktu perjalanan rata-rata yang dua kali lebih panjang
dibandingkan dengan negara lain yang perekonomiannya
bersaing. Hal ini membatasi potensi ekonomi dan
menghambat pertumbuhan daerah. Tanpa peningkatan,
jaringan jalan di Indonesia tidak akan mampu mendukung
perekonomian G20 yang bercita-cita mencapai PDB per
kapita sebesar USD 14.500 pada tahun 2025.
• 15.000–17.000 km pekerjaan untuk memperbaharui
jalan-jalan arteri lainnya agar memenuhi standar
keselamatan, berdaya tahan tinggi dan berkapasitas
lebih besar.
Kapasitas yang Diperlukan
Lalu lintas akan mengalami pertumbuhan empat kali lipat
dalam 15–20 tahun ke depan. Kemacetan total (gridlock)
akan terjadi secara luas kecuali tersedia setidaknya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tugas Pelaksanaan
Di dalam 20 tahun terakhir, hanya sedikit jalan tol baru yang
telah dibangun; kapasitas jalan nasional hanya tumbuh
sebesar 1–2 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan
di tahun 2030, maka produksi jalan bebas hambatan harus
meningkat hingga 500 km per tahun dan kapasitas jalan
nasional harus meningkat hingga di atas 5 persen per tahun.
Di saat ini diperlukan peningkatan output
dan kualitas yang cepat dan signifikan untuk
menyediakan sebuah jaringan yang modern.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Logistics Performance v Road Infrastructure & GDP/capita (2014/15)
4,5
Singapore
Japan
Kinerja Logistik – Infrastruktur
4
Korea
China
3,5
Philippines
3
Malaysia
Thailand
Vietnam
Indonesia
India
2,5
Laos
2
1,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
6,5
Kualitas Infrastruktur Jalan (Global Competitiveness Index)
Untuk melakukan ini maka kendala-kendala utama yang
harus diatasi adalah: perencanaan, lahan, pengelolaan
anggaran, kapasitas pelaksanaan, pengawasan yang
melembaga, keterjangkauan, dan partisipasi dari sektor
swasta. Sangatlah penting untuk memulai pembebasan
lahan lebih awal karena ini merupakan tugas yang berat.
Perencanaan dan Kebijakan
Konektivitas yang cepat, andal membutuhkan jaringan jalan
bebas hambatan yang benar-benar terintegrasi. Pandangan
sebelumnya terhadap jalan tol sebagai sebuah alternatif
setempat terhadap jalan yang ada dengan kualitas
yang lebih tinggi harus digantikan dengan konsep jaringan
yang berdekatan, berkinerja tinggi, berumur panjang
yang menjadi tulang punggung logistik perdagangan.
Sebuah jaringan jalan bebas hambatan
akan membentuk tulang punggung logistik
angkutan yang efisien.
Bina
Marga
harus
memperbaharui
kemampuan
perencanaannya supaya dapat menghasilkan rencana induk
jangka panjang yang cocok dengan tujuan baru ini.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
159
160
Usulan Kebijakan Jalan
Isu Lahan
Kebutuhan lahan sangatlah signifikan – 50.000 hektar untuk
jalan bebas hambatan dan 20.000 ha untuk meluruskan dan
memperluas jaringan arteri – dan merupakan risiko terbesar
untuk pelaksanaan yang tepat waktu. Lahan seharusnya
dibebaskan terlebih dahulu sebelum konstruksi dimulai.
Start lebih awal dibutuhkan untuk
mengamankan koridor-koridor yang diperlukan.
Proses perencanaan dan konsultasi lahan harus diusahakan
agar memenuhi kebutuhan untuk 50 tahun kedepan. Untuk
mengamankan lahan saja memakan waktu 3–5 tahun,
setengah dari waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan
jalan-jalan baru.
Pengelolaan dan Efisiensi Anggaran
Kegagalan
jembatan/
jalan
yang
prematur
menggelembungkan anggaran yang dibutuhkan untuk
memelihara aset hingga 30 persen. Kebijakan untuk
memaksimalkan kesempatan bagi kontraktor-kontraktor
skala kecil telah menghasilkan pekerjaan dengan kualitas
yang buruk. Perlu segera dilakukan reformasi untuk
meningkatkan manajemen aset, memperpanjang usia
aset, memperbaiki kualitas dan pemilihan proyek, dan
memperkerjakan perusahaan-perusahaan dengan kualifikasi
yang lebih baik melalui paket-paket kontrak yang lebih besar.
Perlu segera dilakukan reformasi untuk mencapai
efisiensi anggaran dan kinerja yang lebih kuat.
Pembagian risiko yang lebih baik dengan sektor swasta
dapat dicapai melalui kontrak berbasis kinerja tahun jamak,
mengurangi biaya siklus hidup dan kebutuhan anggaran.
Kapasitas Pelaksanaan
Kemampuan konsultan dan kontraktor Indonesia
mengalami tantangan yang besar ketika berhadapan dengan
program sebesar ini. Program jalan bebas hambatan akan
membutuhkan 5–10 paket dengan nilai sebesar 300–500
Prakarsa Compendium | Jilid 3
juta dolar per tahun, dan program pembaharuan sebanyak
kurang lebih 20 paket dengan nilai 30–50 juta dolar per
tahun. Dengan hanya beberapa perusahaan dalam negeri
yang mampu untuk mengerjakan paket sebesar itu dan
industri yang sangat didominasi oleh kontraktor milik negara,
maka pasar untuk pemain internasional harus dibuka.
Bantuan asing akan memperkuat, bukan
melemahkan, pemain-pemain domestik,
namun ini membutuhkan standar-standar
pengadaan praktek terbaik.
Dimulainya pasar terbuka ASEAN di tahun 2015 akan
menyediakan kesempatan tersebut. Semua pengadaan
besar seharusnya dilakukan dengan tender internasional
terbuka, di mana kredibilitas dan transparansi menjadi
sangat penting. Kemitraan akan membantu untuk
meningkatkan kemampuan dan daya saing perusahaanperusahaan domestik.
Tantangan Kelembagaan
Lembaga-lembaga pemerintah pun juga harus berubah.
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) belum mampu menyediakan
dalam 10 tahun terakhir, dan model penugasan BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) yang direncanakan untuk
Sumatera akan mengirimkan sinyal yang buruk kepada
pasar. Sebuah badan independen baru dengan kewenangan
besar,
bisa
jadi
dibutuhkan,
bertanggungjawab
untuk melaksanakan program jalan bebas hambatan.
Solusi kelembagaan yang radikal
bisa jadi dibutuhkan.
Bina Marga sebagai birokrasi pemerintahan tradisional
memiliki sebuah struktur dan insentif yang tidak
memberikan penghargaan kepada kinerja yang baik
atau menarik staf dengan kualifikasi yang baik. Pada
waktunya Bina Marga harus berubah menjadi badan semi
otonom berfungsi sebagai sebuah manajer aset dengan
model bisnis yang komersial dan transparan, mengikuti
praktek di luar negeri.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pendanaan
Pada tahun 2030, total investasi jalan bebas hambatan
yang dibutuhkan akan mencapai Rp 640 triliun pada harga
saat ini, selain daripada lebih dari Rp 300 triliun untuk
pembaharuan jalan arteri (untuk detil lebih lanjut, lihat
Catatan Aktivitas Jalan 02). Sekitar Rp 500 triliun dapat
berasal dari sektor swasta, bila terdapat model pendanaan
yang efektif. Model-model yang ada saat ini (tol, Viability
Gap Funding, penugasan BUMN) harus diperluas untuk
menghindari kebuntuan yang terjadi dalam 15 tahun
terakhir dan memastikan pelibatan sektor swasta yang aktif.
Terdapat opsi-opsi pelaksanaan yang
lebih baik daripada model jalan tol.
jasa dan administrasi. Kebutuhan Rp 50 triliun per tahun
tersebut tidaklah sebesar itu dibandingkan periode
2010–2014 dan seperempat lebih kecil daripada subsidi
tahunan bahan bakar. Indonesia tidak boleh tidak memiliki
jaringan jalan yang efisien. Mungkin harus memindahkan
sebagian besar beban untuk membayar jalan dari pembayar
pajak ke pengguna jalan.
Prioritas Bagi Pemerintah yang Baru
Apa yang pertama-tama harus dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia yang baru? Tindakan yang paling penting adalah:
Pemerintah yang baru harus segera mulai
mempersiapkan proses proyek tersebut.
Model-model seperti Skema Anuitas Berbasis Kinerja (PBAS)
di mana sektor swasta akan merancang, membangun,
mengoperasikan dan memelihara dengan imbalan
pembayaran tetap dari pemerintah setelah pembukaan
proyek, merupakan sesuatu yang menarik bagi sektor
swasta dan telah berhasil dilakukan di tempat lain; hai
ini akan memerlukan perubahan regulasi sebelum dapat
diterapkan di sini. Hal ini juga akan menangguhkan biayabiaya ke masa depan dan bisa jadi meng-offset sebagian
melalui tol di saat yang tepat.
• Mengakui skala dan urgensi dari masalah tersebut,
dan menyelesaikan rencana jalan bebas hambatan
dan arteri dan pentahapannya.
Keterjangkauan
• Memperbarui peraturan penting yang diperlukan
untuk memfasilitasi pelaksanaan.
Bila cakupan penuh investasi swasta berhasil dicapai,
maka sisa kebutuhan belanja publik untuk tiga RENSTRA ke
depan adalah sekitar Rp 60 triliun per tahun, dibagi sama
besar antara pembangunan jalan dan manajemen aset.
Programnya menjadi lebih terjangkau
ketika pembiayaan sektor swasta digunakan
dengan lebih efektif.
• Menyusun rencana pembiayaan, dengan anggaran
nasional dan pendanaan swasta dan ruang fiskal
yang diperlukan.
• Membangun kapasitas kelembagaan dan
kewenangan untuk melaksanakan proyek
jaringan jalan bebas hambatan.
• Mengumumkan upaya-upaya lain untuk membangun
kepercayaan pasar, termasuk persiapan proyek dan
komitmen untuk proyek-proyek percontohan untuk
menampilkan pendekatan-pendekatan baru yang
diterapkan oleh pemerintah Indonesia. ●
Kebutuhan anggaran publik tahunan untuk pembangunan
jalan termasuk Rp 5 triliun untuk persiapan koridor jalan
bebas hambatan dan 20 triliun untuk perluasan kapasitas
dan jalan baru; untuk manajemen aset mereka memasukkan
Rp 18 triliun untuk pemeliharaan dan Rp 7 triliun untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
161
162
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 02:
MEMBIAYAI PEMBANGUNAN
JALAN NASIONAL INDONESIA
Diperlukan dana sebesar Rp 1.400 triliun selama 15 tahun
ke depan untuk mewujudkan jaringan jalan nasional yang
dapat memenuhi kebutuhan perekonomian Indonesia
guna mencapai pertumbuhan dan daya saing. Dengan
tingkat pendanaan yang ada saat ini akan sulit untuk
menyediakan kapasitas yang diperlukan, apalagi memenuhi
proyeksi peningkatan lalu lintas sebesar empat kali lipat.
Tingkat pendanaan dan metode penyerahan
proyek yang ada saat ini tidak akan mampu
memenuhi permintaan yang diperkirakan akan
meningkat empat kali lipat.
Model jalan tol tradisional belum memberikan layanan
yang baik: selama beberapa tahun terakhir beberapa
proyek baru telah diselesaikan dan berbagai masalah
terkait organisasi, hukum, pembiayaan, dan lahan telah
menghambat kemajuan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 03).
Diperlukan sebuah pendekatan baru terhadap pembiayaan
dan penyediaan jaringan.
Penurunan Investasi
Investasi infrastruktur pemerintah mengalami penurunan
PDB dari 7 persen menjadi 3 – 4 persen sejak krisis keuangan
di Asia. Sebagai perbandingan, investasi infrastruktur di Cina
mencapai 10 persen. Meskipun Indonesia menginvestasikan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sepertiga dari PDBnya dalam aset tetap, hanya 3,2 persen
(sebuah angka yang menurun) dari jumlah tersebut yang
diinvestasikan dalam infrastruktur, seperti jalan, kereta api,
dan tenaga listrik.
Kebutuhan Pendanaan
Untuk memenuhi permintaan, Indonesia perlu membangun
jalan bebas hambatan hampir sepanjang 7.300 km dan
proyek-proyek pembaruan (peningkatan mutu) jalan arteri
sepanjang 15.000–17.000 km (termasuk ruas-ruas pada
alinyemen baru) pada tahun 2030 (lihat Usulan Kebijakan
Jalan 01, 02, dan 03). Dana yang diperlukan diperkirakan
mencapai Rp 1.400 triliun (harga 2014). Dengan kapasitas
pendanaan Pemerintah yang terbatas akibat pengeluaran
subsidi bahan bakar minyak yang cukup besar dan kapitalisasi
defisit anggaran sebesar 3 persen sebagai persentase
dari PBD, pembiayaan swasta perlu dimanfaatkan.
Tingkat investasi infrastruktur mengalami
penurunan; diperlukan kenaikan dramatis,
dengan Rp 500 triliun investasi jalan dari
sektor swasta.
Sebagian besar proyek untuk meningkatkan mutu jalan
arteri yang ada akan didanai dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar, tidak berarti
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Belanja Infrastruktur Indonesia sebagai Persentase dari PDB
10
8
Rata-rata (1995-97)
Rata-rata (2008-11)
6
4
2
0
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Daerah
Total
Pemerintah
BUMN
semuanya, proyek jalan bebas hambatan pertama-tama
akan dibiayai oleh sektor swasta dengan pengembalian
dari tol dan pembayaran pemerintah. Untuk keseluruhan
periode, kedua program tersebut akan memerlukan biaya
sebesar Rp 900 triliun dari pendanaan ABPN dan Rp 500
triliun dari pembiayaan swasta.
Keunggulan Pembiayaan Swasta
Pembiayaan sektor swasta bukan hanya sekedar sumber
dana. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa
apabila ditenderkan secara kompetitif dengan insentif
kinerja dan alokasi risiko yang tepat, proyek-proyek yang
dibiayai oleh sektor swasta dapat diselesaikan dengan
lebih cepat, lebih ekonomis, dan dengan kualitas yang
lebih baik dibandingkan apabila proyek-proyek tersebut
dilaksanakan melalui pengadaan sektor publik konvensional.
Proyek-proyek jalan yang dibiayai sektor
swasta menawarkan nilai manfaat (valuefor-money) yang lebih baik daripada
pengadaan konvensional.
Swasta
Total
Sumber: Bank Dunia, 2014
Perekonomian siklus hidup dari pemaketan (bundling)
desain, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan biasanya
melebihi biaya tambahan pembiayaan swasta.
Kondisi Pembiayaan Swasta
Secara global, hanya 0,8 persen dari USD 50 triliun
dana kelembagaan terkelola yang diinvestasikan dalam
infrastruktur. Indonesia harus menjadikan sumbersumber tersebut sebagai target dan hal ini dimungkinkan
karena: Indonesia memiliki sejumlah besar proyek
yang belum terselesaikan, pertumbuhan PDB Indonesia
mencapai sekitar 6 persen per tahun, dan Indonesia
sangat menarik bagi investasi asing langsung.
Berbagai hambatan harus diatasi untuk
menarik pembiayaan sektor swasta.
Indonesia perlu mengelola risiko nilai tukar (biaya
dalam dolar AS tetapi pendapatan dalam Rupiah) dan
memperluas
sumber
pembiayaan
infrastrukturnya
dengan mengembangkan pasar obligasi dalam negeri,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
163
164
Usulan Kebijakan Jalan
Anggaran Rencana Strategis, triliun Rp (2014)
Kebutuhan Pendanaan menurut Program dan Periode Renstra
600
500
400
300
200
100
0
2010-14
2015-19
2020-24
2025-29
Periode Renstra
Jalan Bebas Hambatan (Swasta)
Jalan Bebas Hambatan (Pemerintah Indonesia)
Pembangunan Jalan Arteri
Pemeliharaan Aset
Fasilitasi Proyek
memanfaatkan pertumbuhan tabungan dalam negeri,
mendaftarkan diri dalam bursa saham regional, dan
membentuk pasar sekunder untuk pembiayaan kembali
proyek. Akan tetapi, dalam jangka pendek, Indonesia juga
perlu membangun kembali kepercayaan pasar terutama
dengan mengembangkan tahapan proyek yang telah
dipersiapkan dengan baik dan mengatasi persepsi tentang
ketidakpastian lingkungan hukum dan peraturan.
Membangun Kembali Kepercayaan Pasar
Kepercayaan sektor swasta dapat ditingkatkan melalui
persiapan proyek dan penataan proyek untuk mengelola
risiko secara lebih adil. Penting pula untuk meningkatkan
arus transaksi. Kapasitas kelembagaan perlu ditingkatkan
untuk mempersiapkan proyek secara efisien dan mengelola
proses pengadaan secara transparan. Untuk itu mungkin
diperlukan Otoritas Jalan Bebas Hambatan (Expressway
Authority) khusus yang dapat menunjukkan adanya
perbedaan dari bisnis seperti biasa (business as usual).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sumber: Bank Dunia, 2014
Diperlukan rencana proyek yang pasti,
tata kelola dan pengaturan pengadaan
yang sesuai dengan praktik terbaik,
serta peraturan yang transparan.
Pembebasan lahan harus dilakukan sebelum tender –
sebuah tugas persiapan yang mendesak untuk program
jalan bebas hambatan dan program pembaruan. Posisi para
kontraktor BUMN dan swasta harus seimbang. Perubahan
peraturan harus dilakukan untuk mendorong pengadaan
yang transparan, terbuka dan pengaturan tata kelola serta
model pelaksanaan proyek dengan nilai manfaat terbaik.
Alokasi Risiko Yang Lebih Baik
Penyesuaian peraturan harus dilakukan untuk memfasilitasi
berbagai metode pelaksanaan proyek yang dapat diterima
oleh pasar yang baru, termasuk model-model pelaksanaan
siklus hidup, berbasis kinerja seperti Skema Anuitas
Berbasis Kinerja (PBAS) sebagai alternatif untuk jalan tol
Mentransformasi Jalan di Indonesia
komersial dan pengadaan konvensional. Para penyandang
dana internasional tidak lagi bersedia menanggung risiko
pendapatan tol. Tol dapat dibebankan secara terpisah dan
digunakan untuk melakukan pembayaran berdasarkan
pengaturan seperti PBAS. Hal ini dilakukan di banyak
negara lain. Dengan cara demikian, proyek-proyek menjadi
lebih menarik untuk sektor swasta dan lebih murah untuk
pemerintah. PBAS dapat mengelola risiko nilai tukar secara
lebih efektif pula. Selain itu, Pemerintah dapat setiap
waktu menjual konsesi PBAS setelah pendapatan tol yang
dapat diandalkan telah tercapai, memutar kembali hasil
penjualannya untuk proyek-proyek jalan baru.
Model-model pelaksanaan berbasis kinerja
seperti PBAS menawarkan alokasi risiko
yang lebih menarik bagi sektor swasta.
Model-model pelaksanaan yang baru seperti PBAS
menuntut perubahan terhadap peraturan pengadaan,
aturan akuntansi dan anggaran pemerintah. Tata kelola
dan manajemen transaksi yang sesuai dengan praktik
terbaik sangat penting, sebagaimana dalam keterlibatan
pasar tertutup (closed market). Pendekatan tersebut harus
memanfaatkan perjanjian-perjanjian yang sifatnya pasti
dan dapat diterima oleh bank serta menghindari model
pelaksanaan yang berbeda-beda (hybrid) yang dapat
meningkatkan persepsi risiko.
Perbedaan dari business-as-usual dapat
ditunjukkan melalui proyek-proyek demonstrasi.
Proyek demonstrasi akan menunjukkan pendekatan
baru yang diterapkan oleh Pemerintah. Para kandidat
PBAS telah diidentifikasi serta dapat dipersiapkan dan
dicantumkan dalam Renstra 2015–2019. Hal tersebut
menggambarkan efektivitas pendekatan dan memungkinkan
perbandingan nilai manfaat (value-for-money) dengan
alternatif metode pelaksanaan.
• Mempersiapkan keberlangsungan proyek dalam
jangka panjang dengan batas waktu pelaksanaan
yang realistis.
• Mengadopsi syarat dan kontrak komersial yang
sesuai dengan praktik terbaik dan dapat diterima
oleh bank, termasuk upaya-upaya untuk melindungi
para investor dari risiko nilai tukar mata uang dan
memperkenalkan praktik arbitrase independen
untuk menangani perselisihan.
• Mengubah peraturan yang ada guna memfasilitasi
PBAS dan metode pelaksanaan jangka panjang dan
berbasis kinerja lainnya.
• Menggunakan proyek-proyek demonstrasi sebagai
upaya membangun kepercayaan sektor swasta, dimulai
dengan PBAS untuk menunjukkan adanya perbedaan
dari bisnis seperti biasa (business-as-usual).
• Memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah untuk
mempersiapkan dan melaksanakan program tersebut.
Dan, dalam jangka panjang:
• Meningkatkan kapasitas pembiayaan Rupiah
dalam jangka panjang, pembiayaan obligasi, dan
keselarasan dengan pasar modal ASEAN serta
mendukung keikutsertaan para investor lembaga,
seperti dana pensiun dan dana kesejahteraan
(sovereign wealth funds).
• Merencanakan penggunaan tabungan dari subsidi
bahan bakar minyak untuk meningkatkan alokasi
APBN untuk infrastruktur jalan. ●
Prioritas Pemerintahan Baru
Apa yang pertama-tama harus dilakukan oleh Pemerintahan
Indonesia yang baru? Langkah paling penting adalah:
Prakarsa Compendium | Jilid 3
165
166
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 03:
JALAN BEBAS HAMBATAN
Dengan dua per tiga jaringan jalan nasional sudah mengalami
kemacetan dan lalu lintas diperkirakan akan bertumbuh tiga
hingga lima kali lipat dalam 20 tahun mendatang, Indonesia
membutuhkan tulang punggung baru berupa jaringan
jalan bebas hambatan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 01).
Pandangan tentang jalan tol sebagai alternatif daerah
untuk jalan arteri perlu diganti dengan konsep jaringan
jalan berkinerja tinggi yang sambung-menyambung:
tulang punggung esensial bagi logistik angkutan darat.
Indonesia membutuhkan jaringan jalan
bebas hambatan bertaraf internasional untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan sosial.
Faktor pendorong utama adalah: Pengurangan waktu
perjalanan sebesar 50 persen pada koridor utama melalui
perencanaan trayek yang lebih langsung dan tingkat
kemacetan yang lebih rendah, penurunan biaya logistik,
produktivitas regional, dan redistribusi pendapatan. Jalan
bebas hambatan tersebut akan berfungsi seperti jalan bebas
hambatan antar negara bagian (interstate highway) di AS,
Sistem Jalan Strategis Nasional (National Trunk Highway
System) di Tiongkok, dan sistem jalan bebas hambatan
(sistem lebuhraya) di Malaysia, serta akan menjadi bagian
dari jaringan transportasi trans-ASEAN.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jaringan Jalan Bebas Hambatan
Jalan bebas hambatan akan menghubungkan pusat-pusat
strategis – ekonomi, kependudukan, antarmoda (misalnya
pelabuhan), dan administratif – dan pada akhirnya akan
meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan.
Jalan tersebut akan menyediakan layanan tingkat tinggi,
dengan sebagian besar dibangun multi-lajur dan dua arah.
Untuk mengurangi beban investasi awal, pembangunannya
dapat dilaksanakan secara bertahap, namun perlu dilakukan
pembebasan lahan dan persimpangan harus dirancang
dengan mempertimbangkan untuk memaksimalkan
kapasitas. Beberapa di antaranya akan mengenakan biaya
tol sebagai jalan tol komersial; yang lainnya mungkin akan
mengenakan biaya tol terpisah sebagai proyek Skema
Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (PBAS, PerformanceBased Annuity Scheme) (lihat Usulan Kebijakan Jalan 02).
Jaringan jalan bebas hambatan sepanjang
7.000 km akan menjadi tulang punggung baru
yang menghubungkan pusat-pusat di Sumatera,
Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan.
Dengan biaya sekitar Rp 640 triliun (harga 2014), program
tersebut akan melaksanakan hampir 7.300 km selama
tiga periode RENSTRA hingga 2029: rancangan baru
sepanjang 5.500 km, dan hampir 1.700 km konsesi jalan tol
yang sudah direncanakan.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Jadwal Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan 2015–2030
8000
2 th
7000
3-5 th
3 th
7,279
Tahap Pelaksanaan selesai, km
6000
5,477
5000
4000
3000
2,475
2000
1,273
1000
0
2010
Rencana
2015
Disiapkan
Penyediaan lahan
2020
2025
2030
Konstruksi
Prioritas Pertama: Mengamankan Koridor
Dengan masa persiapan lima sampai tujuh tahun, pekerjaan
persiapan proyek dan pembebasan tanah sudah harus
dimulai dari sekarang. Koridor-koridor harus diamankan
untuk memenuhi kebutuhan selama 50 tahun ke depan.
Dengan masa persiapan lima sampai tujuh
tahun, pekerjaan untuk mengamankan
koridor-koridor jalan bebas hambatan
harus dimulai dari sekarang.
Tahun 2015–2019, sekitar 2.500 km koridor perlu disiapkan
(optimasi rute, desain awal, dan analisis dampak) serta
dilakukan pembebasan tanah sekitar 15.000 ha.
Kapasitas Pelaksanaan
Selama 20 tahun terakhir jumlah jalan tol baru yang
dibangun jumlahnya sedikit. Konsesi sepanjang 875 km,
beberapa dari tahun 2006, belum mulai dibangun. Kontrakkontrak yang sedang ditenderkan hanya sepanjang 160 km.
Isu kelembagaan, hukum, keuangan, dan tanah menghambat
pelaksanaan, termasuk keterbatasan kapasitas di Badan
Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan di antara para pemegang
konsesi. Sektor ini didominasi oleh PT Jasa Marga, sebuah
pemegang konsesi milik negara yang dikhususkan di bidang
ini. Sedikit di antara mitranya adalah kontraktor jalan yang
terspesialisasi. Hanya ada satu kontraktor asing. Kemahiran
konsultan pun terbatas. Sedikit konsorsium memiliki
kemahiran untuk mengoptimasi rancangan, konstruksi,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
167
168
Usulan Kebijakan Jalan
Pengalaman Kerjasama Pemerintah Swasta (PPP, Public Private Partnership)
Internasional – Kemungkinan Peningkatan Keefisienan (%)
Keefisienan Menengah
Ekonomi Skala
Keefisienan Maksimal
Persaingan
Inovasi
Penentuan Biaya SepanjangSeluruh-Siklus-Kehidupan
Manajemen Risiko –
Rancangan dan Konstruksi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kemungkinan Peningkatan Keefisienan (%)
dan biaya operasional selama masa konsesi. Tidak adanya
transparansi dalam pengadaan berdampak pada rendahnya
kepercayaan pasar, dan membuat pemain enggan.
Realisasi program ini akan memerlukan bantuan
dari perusahaan internasional berpengalaman
untuk bermitra dengan perusahaan lokal.
Penyandang dana, kontraktor, dan konsultan internasional
akan menjadi peserta kunci jika standar mutu dan
manfaat yang diperlukan teraih (lihat Usulan Kebijakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jalan 02). Keterlibatan sektor swasta penting sekali untuk
melaksanakan ekspansi raksasa dan mendapatkan hasil
yang diperlukan: selain 7.300 km jalan bebas hambatan
baru, juga diperlukan peningkatan pada 15.000–17.000
km jalan nasional lainnya. Kecepatan pelaksanaan perlu
ditingkatkan menjadi 600 km/tahun, lima kali lebih tinggi
dari yang sekarang.
Otoritas Pemberi Kontrak
Untuk membangun kembali kepercayaan pasar, perlu
dibentuk Otoritas Jalan Bebas Hambatan (OJBH) yang
Mentransformasi Jalan di Indonesia
otonom, akuntabel dan menjalankan praktik terbaik
pengadaan internasional. Dibandingkan dengan BPJT,
maka OJBH memiliki tata kelola yang lebih kuat (arahan
Dewan Pimpinan, perjanjian kinerja dengan menteri),
fleksibilitas pengelolaan yang lebih kuat (pengadaan dan
aturan ketenagakerjaan), dan bahkan mungkin memiliki
kewenangan untuk mengelola pemungutan uang tol, sehingga
penghasilan surplus dari uang tol dapat digunakan untuk
proyek jalan bebas hambatan lainnya, sehingga mengurangi
kebutuhan untuk mengandalkan dukungan APBN.
Adanya sebuah lembaga yang khusus
menangani Jalan Bebas Hambatan akan
membangun kembali kepercayaan pasar.
Sewajarnya, OJBH dapat didirikan dalam tiga tahun.
Sementara itu, perlu dilakukan perubahan organisasional
dan penguatan hukum pada BPJT, langkah yang masuk
dalam lingkup wewenang menteri.
Mendukung Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan
Perubahan di dalam BPJT tidak akan segera menciptakan
keahlian, kemampuan, dan pengalaman yang diperlukan.
Pada awalnya akan diperlukan dukungan dari perusahaan
konsultan spesialis internasional yang dituntut untuk
bertanggung jawab atas pengalihan keterampilan di
Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) dan BPJT/OJBH.
Model Pembiayaan dan
Pelaksanaan yang Lebih Baik
Pada umumnya, jalan bebas hambatan diadakan dengan
pola Bangun, Guna, Serah (BOT, Build, Operate, Transfer) dan
pengadaan konvensional. Baru-baru ini telah diperkenalkan
mekanisme dana pendamping proyek (viability gap fund)
untuk mengurangi biaya dan risiko di muka sehingga
menjadikan proyek lebih terjangkau.
Pola pelaksanaan alternatif perlu didorong,
termasuk proyek percontohan PBAS.
Negara-negara lain menggunakan pendekatan alternatif,
yakni Skema Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (PBAS)
– untuk pelaksanaan proyek-proyek besar pembangunan
jalan yang memprioritaskan inovasi dan keekonomian siklus
kehidupan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 02). Meski sudah
diterima dengan baik oleh pasar, PBAS belum digunakan
di Indonesia. Terdapat alasan kuat untuk menerapkan
proyek percontohan PBAS. Pekerjaan telah dimulai untuk
mengidentifikasi proyek yang berpotensi dari sejumlah
proyek jalan bebas hambatan yang ada. ●
Dukungan tenaga ahli akan diperlukan
untuk melakukan perencanaan koridor
dan pengadaan proyek.
Mereka harus mendukung dua tugas: tahap persiapan (mulai
dari desain awal hingga pengamanan koridor) dan tahap
pengadaan (persiapan kelayakan usaha, pemilihan pola
pelaksanaan, pengadaan, dan pengawasan). Pembentukan
direktorat baru di dalam DJBM, yakni Direktorat Jalan Bebas
Hambatan, yang dapat ditugaskan untuk memikul tanggung
jawab atas tahap pertama tersebut, dan BPJT (pada akhirnya
OJBH) untuk tahap kedua.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
169
170
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 04:
JALAN ARTERI NON TOL
Selain jalan bebas hambatan (lihat Usulan Kebijakan Jalan
03), jaringan jalan arteri lainnya, saat ini 38.570 km, perlu
pembaruan – peningkatan kapasitas yang lebih tinggi,
keselamatan, standar penjajaran (alignment) dan jembatan/
permukaan – dan pemeliharaan yang lebih baik jika sasaran
pertumbuhan, konektivitas, dan keselamatan di Indonesia
akan tercapai. Jalan arteri ini masih akan mengangkut lebih
dari 60 persen dari seluruh lalu lintas antar perkotaan.
Jalan bebas hambatan baru saja tidak cukup.
Modernisasi jaringan jalan arteri yang masih
ada juga sama kritisnya.
Pembaruannya sangat diperlukan:
• Untuk mengatasi perjalanan berkecepatan rendah
dan berisiko keselamatan tinggi, khususnya di jalan
yang sering dilalui kendaraan berat.
• Untuk mencegah kemacetan kronis dengan
peningkatan kapasitas untuk mengantisipasi
peningkatan lalu lintas empat kali lipat dalam
15 tahun mendatang.
• Untuk memberi nilai ekonomis dan manfaat (value-formoney) yang lebih baik dengan mengurangi kebutuhan
seringnya rehabilitasi dan pelebaran.
Tugas Pembaruan dan Pengelolaan Jalan Arteri
Perangkat perencanaan yang diperkenalkan dengan
dukungan IndII memperlihatkan bahwa jaringan jalan arteri
membutuhkan sekitar 6.000 km proyek pembaruan besar
pada penjajaran baru dan yang telah ada, meskipun telah
ada program jalan bebas hambatan yang direncanakan.
Ini akan mengantar jaringan pada standar modern
dalam hal kecepatan desain, penjajaran, kapasitas
(baik yang berlajur dua maupun empat) dan keselamatan.
Sekitar 2.600 km pertautan baru/hilang, jalan strategis
dan jalan pirau (bypass) juga akan diperlukan. Selain
itu, diperlukan 3.670 km pekerjaan rekonstruksi untuk
memperkuat permukaan jalan untuk mengantisipasi
angkutan truk bermuatan berat, mencegah deteriorasi
cepat, dan mengurangi biaya siklus hidup.
Ini memerlukan program pembaruan
jalan berskala besar (6.000 km proyek
Prakarsa Compendium | Jilid 3
utama menjelang 2029) dan pemeliharaan
yang lebih baik.
Bersamaan dengan pemeliharaan yang ditingkatkan, biaya
program jalan arteri tersebut hampir Rp 700 triliun (harga
2014), di luar Rp 640 triliun yang diperlukan untuk program
jalan bebas hambatan.
Kualitas dan Kapasitas Pelaksanaan
Agar investasi ini menjadi efektif, standar desain dan
konstruksi perlu ditingkatkan. Saat ini, pembelanjaan
negara menghasilkan nilai ekonomis dan manfaat yang
rendah karena sejumlah kontrak kecil dan terpecahpecah (sebagian besar untuk segmen kurang dari 5 km,
yang menghindari persyaratan untuk manajemen kualitas
desain dan konstruksi), desain, mutu pekerjaan, dan
pengawasan yang buruk, struktur permukaan jalan yang
lemah, dan kerusakan akibat air yang dapat dihindari.
Diperlukan sejumlah besar perubahan untuk
meningkatkan mutu desain dan pelaksanaan
pada tingkat yang diperlukan, dengan fokus
pada industri konsultasi dan konstruksi.
Tidak ada insentif dan pengendalian bermutu dalam
pengadaan dan manajemen proyek. Sebagai akibat,
industri konsultasi dan pengontrakan setempat tidak
memiliki keahlian, kualitas, dan kapasitas yang diperlukan.
Diperlukan pemusatan perhatian pada:
• Penguatan prosedur dan penalti dalam manajemen
kontrak, dengan jumlah kontak yang lebih besar untuk
memungkinkan kontraktor dengan mutu lebih tinggi
dapat berpartisipasi, dan untuk proyek-proyek yang
lebih rumit, kemungkinan penggunaan pendekatan
Skema Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (lihat
Usulan Kebijakan Jalan 01, 02, dan 03).
• Memperluas pemanfaatan audit teknis independen,
yang dipelopori dalam proyek Pembangunan Jalan
Nasional Indonesia Timur (EINRIP, Eastern Indonesia
National Roads Improvement Project), untuk
memverifikasi kinerja keluaran, termasuk keselamatan.
• Penguatan mutu staf manajemen konsultan dan
kontrak secara menyeluruh di dalam industri melalui
Mentransformasi Jalan di Indonesia
pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi profesional.
• Peningkatan standar jembatan dan permukaan jalan
untuk mengakomodasi massa dan beban gandar
dari truk secara realistis (sudah dalam proses), dan
penguatan penegakan hukum dalam hal pembatasan
kelebihan beban truk.
• Peningkatan mitigasi dan drainase banjir (dengan
mempertimbangkan perubahan iklim), keduanya
sebagai unsur desain kunci dan sebagai prioritas
dalam pemeliharaan.
• Reorganisasi dan penguatan Direktorat Jenderal Bina
Marga (DJBM) untuk memberikan fokus teknis yang
lebih baik untuk tugas-tugas perencanaan, pelaksanaan
proyek, dan manajemen aset, termasuk pembentukan
satuan khusus untuk mempersiapkan proyek-proyek
jalan bebas hambatan utama dan pembaruan.
Tugas Mendesak Berupa Pembebasan Tanah
Seperti jalan bebas hambatan, kecepatan pembaruan jalan
arteri secara kritis bergantung pada pembebasan tanah.
Mulai 2016, paling sedikit dibutuhkan 4.652 ha selama
kurun waktu 10–12 tahun dengan biaya Rp 6,9 triliun (harga
2014). Prosesnya diatur dalam UU no. 12 tahun 2012.
Pembebasan tanah yang diperlukan
adalah seluas 4.652 ha; jika ini tidak
tercapai program akah tertunda.
Tim khusus dari DJBM akan diperlukan, yang bekerja sama
erat dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Sasaran Renstra DJBM untuk 2015–2019
tidak akan tercapai jika tugas mendesak ini tidak segera
dimulai, mulai dari penetapan koridor dan desain awal.
Pengelolaan Aset
Jalan arteri yang lebih baik tidak akan bertahan lama,
kecuali dilakukan pemeliharaan dengan baik. Tidak banyak
pemeliharaan pencegahan yang dilakukan; pendekatan saat
ini adalah melakukan rehabilitasi untuk mencapai sasaran
kondisi mantap dan untuk membenarkan alokasi anggaran.
Ini menciptakan siklus deteriorasi dan perbaikan yang
mahal, yang berakibat pada biaya siklus hidup yang tidak
perlu dan berlebihan.
Tugas manajemen siklus hidup aset seharusnya
didelegasikan kepada Balai, yang telah
diperkenalkan pada perangkat perencanaan
yang akan memaksimalkan nilai ekonomis
dan manfaat (value-for-money).
Pengelolaan aset paling baik dilakukan di tingkat daerah
yang dapat menyediakan informasi mengenai kondisi
jalan. Untuk memaksimalkan perolehan nilai ekonomis dan
manfaat, ini sebaiknya berbasis jaringan, menggunakan
perangkat yang dapat mengoptimalkan siklus hidup
penggunaan dana untuk memprioritaskan penanganannya,
dengan mempertimbangkan penjadwalan pelaksanaan
pekerjaan modal untuk program jalan bebas hambatan
dan pembaruan jalan. Dengan dukungan IndII, perangkat
tersebut diperkenalkan secara progresif di dua Balai DJBM
di Jawa; perangkat tersebut seharusnya dapat diharapkan
untuk diluncurkan secara progresif di seluruh Indonesia.
Pada saat yang sama, Balai perlu didelegasikan wewenang
dan akuntabilitas untuk mengelola jaringan daerah mereka,
serta memperoleh pelatihan dan pendampingan dalam
menggunakan teknik baru tersebut.
Prioritas Bagi Pemerintah Baru
Apa yang pertama-tama perlu dilakukan oleh Pemerintah
baru Indonesia? Tindakan yang paling penting adalah:
Yang sangat mendesak bagi Pemerintah baru
adalah memulai dengan mempersiapkan proses
(pipeline) proyek pembaruan jalan, pembebasan
tanah, menguatkan kapasitas sektor swasta
untuk pelaksanaan dengan peningkatan mutu,
dan menyediakan kapasitas kelembagaan untuk
mengelola aset di tingkat Balai.
• Reorganisasi dan penguatan DJBM agar memberi fokus
yang lebih baik pada tugas perencanaan, pelaksanaan,
dan pengelolaan aset.
• Membentuk beberapa tim khusus di dalam DJBM untuk
memulai tugas mendesak berupa seleksi rute, desain
awal, dan pembebasan tanah untuk berbagai proyek
pembaruan sebagaimana diidentifikasi oleh perangkat
perencanaan jaringan baru DJBM.
• Menjamin standar desain bermutu tinggi bagi program
pembaruan, termasuk permukaan jalan dan jembatan
yang tahan lama, serta menyertakan fitur keselamatan
yang kuat.
• Menguatkan prosedur manajemen kontrak dan
verifikasi independen serta memberi pelatihan,
pendampingan, dan pengakuan profesional terkait
kepada staf manajemen bidang desain dan konstruksi.
• Dengan pelatihan dan pendampingan terkait,
memperluas penggunaan sistem manajemen aset baru
kepada semua Balai, dan menggunakannya sebagai
basis untuk penjadwalan pekerjaan pemeliharaan.
• Menguatkan peran dan akuntabilitas formal Balai
dalam hal pengelolaan aset.
• Memberikan perhatian lebih pada perbaikan faktorfaktor desain dan pemeliharaan yang menyebabkan
deteriorasi, terutama drainase, perlindungan banjir/
sungai, perbaikan jembatan, perlindungan bahu jalan,
dan keselamatan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
171
172
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 05:
MENGGUNAKAN INSENTIF
UNTUK MENINGKATKAN
JALAN DAERAH
Masalah
Jalan daerah menghubungkan desa dengan pasar,
menyambungkan penduduk dan berbagai layanan
pokok, serta sangat penting bagi perdagangan,
investasi, pertumbuhan, keamanan, dan kesejahteraan.
Jalan penting, namun kondisinya tidak baik.
Dari seluruh jaringan jalan nasional sepanjang 502.724 km,
sebagian besar di antaranya adalah jaringan jalan daerah:
sepanjang 46.164 km jalan provinsi dan 376.102 km jalan
kabupaten dan perkotaan. Sementara 93 persen dari jalan
nasional berada dalam kondisi mantap pada tahun 2013,
untuk jalan provinsi, proporsi tersebut hanya mencapai
68 persen, dan jalan kabupaten bahkan lebih buruk, yaitu
kurang dari 50 persen. Konektivitas pada jaringan jalan
nasional seringkali berada dalam kondisi buruk.
Penyebab
Anggaran (yang seringkali tidak memadai) dialokasikan
untuk proyek-proyek kasat mata, namun mengabaikan
pemeliharaan,
sehingga
mempercepat
kerusakan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Fokus perlu dialihkan dari pekerjaan modal
ke pemeliharaan yang lebih baik.
Penekanan jangka pendek terhadap rehabilitasi atau
rekonstruksi merugikan pandangan jangka panjang terkait
jaringan jalan. Fungsi pengawasan lemah dan kualitas
konstruksi rendah. Sementara itu, kemampuan instansi
Pemerintah Daerah (Pemda) terbatas.
Hanya
sedikit
insentif
yang
diberikan
untuk
bekerja dengan lebih baik. Lembaga tidak diminta
mempertanggungjawabkan fungsi atau kondisi jaringan jalan
di daerah mereka. Demikian juga pengawasan publik tidak
memberikan tekanan kepada lembaga untuk menetapkan
prioritas yang tepat dan memberikan hasil yang lebih baik.
Lembaga jalan daerah tidak diminta
mempertanggungjawabkan fungsi atau
kondisi jaringan jalan di daerahnya.
Tidak ada pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka
memberikan nilai ekonomis dan manfaat (value-for-money),
Mentransformasi Jalan di Indonesia
dan tidak ada sanksi jika tidak. Kondisi jalan tidak dipantau
secara meyakinkan. Biaya yang dikeluarkan pengguna lebih
tinggi dari yang seharusnya, sehingga melemahkan upayaupaya pembangunan sosial dan ekonomi.
Mengatasi Masalah
Sebelum pemberlakuan UU no. 38/2004, Direktorat Jenderal
Bina Marga (Ditjen Bina Marga), bertanggung jawab atas
semua jalan yang sekarang dilakukan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sementara
Kementerian Dalam Negeri mengelola jalan di tingkat
kabupaten dan di tingkat yang lebih rendah. Pendekatan
tersentralisasi terhadap pengelolaan jalan daerah ini
memberikan keuntungan yang jelas, namun bertentangan
dengan tujuan UU no. 22/1999 tentang otonomi daerah
dan perubahan-perubahan berikutnya.
Jaringan jalan nasional dikelola dengan lebih
baik; pendekatan serupa dapat diterapkan
pada jalan daerah dengan menggunakan
hibah bersyarat.
Ditjen Bina Marga menggunakan perangkat perencanaan
jaringan dan manajemen aset untuk memprioritaskan
pengeluaran untuk jaringan jalan nasional. Dengan sumber
daya tambahan, hal yang sama dapat dilakukan terhadap
jaringan jalan daerah, dengan membantu mendukung
proyek-proyek yang lebih baik, standar yang lebih tinggi,
dan nilai ekonomis dan manfaat yang lebih baik, bahkan
dalam konteks otonomi daerah. Kunci yang paling mungkin
terletak pada penggunaan hibah bersyarat.
PRIM
Pendekatan hibah bersyarat serupa dengan Program
Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan Provinsi (PRIM)
IndII yang tengah diujicobakan di Nusa Tenggara Barat.
PRIM menunjukkan bagaimana hibah bersyarat
dapat meningkatkan pemeliharaan jalan.
PRIM menggunakan hibah bersyarat untuk memberikan
penggantian atas bagian biaya pemeliharaan jalan
apabila pekerjaan tersebut sesuai dengan prosedur yang
disepakati dan memenuhi standar yang disepakati dalam
hal penetapan prioritas, penganggaran, desain, pengadaan,
pengawasan, dan pelaksanaan. Kinerja hasil diverifikasi
secara independen oleh Ditjen Bina Marga; apabila standar
tidak terpenuhi, hibah tersebut dikurangi. Bappenas
dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bermaksud
menerapkan model hibah bersyarat secara lebih luas.
DAK
Hibah khusus, Dana Alokasi Khusus (DAK), telah menjadi
sumber pembiayaan Pemda untuk pengeluaran proyek
infrastruktur yang sesuai prioritas nasional. Persentase
DAK mencapai 7 persen dari transfer antar pemerintah
(Persentase Dana Alokasi Umum, atau DAU, jauh lebih
tinggi, yaitu mencapai 63 persen, tetapi dana tersebut
sebagian besar dibayarkan untuk gaji). Untuk jalan, DAK
digunakan untuk rehabilitasi dan pemutakhiran (terbatas
pada pekerjaan modal); Rp 30 triliun telah dialokasikan
selama tahun 2010–2014. Ditjen Bina Marga telah
mengeluarkan pedoman, tetapi verifikasi hasil lemah.
DAK juga memiliki potensi untuk memberikan
insentif pembangunan jaringan yang lebih
baik melalui proyek-proyek modal, untuk
melengkapi pendekatan PRIM.
Bank Dunia telah mendukung dalam memperkuat hubungan
antara penyaluran dan hasil, dengan verifikasi sampel oleh
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Negara
(BKPM), tetapi verifikasi teknis seperti pada model PRIM
masih tidak ada.
Insentif Untuk Pembangunan Jaringan
Menjadikan transfer proyek modal menjadi bersyarat
berdasarkan hasil terverifikasi menawarkan suatu cara
untuk memperkuat perencanaan teknis, penyelenggaraan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
173
174
Usulan Kebijakan Jalan
dan nilai manfaat dari proyek-proyek jalan milik Pemda
yang selaras dengan prioritas konektivitas nasional
(misalnya, tautan yang menghubungkan dengan jaringan
jalan nasional). Ini melibatkan Ditjen Bina Marga dalam
proses verifikasi teknis – dengan implikasi reorganisasi
dan penguatan kelembagaan – dengan syarat penyaluran
sebagai berikut:
Persyaratan dapat dicantumkan pada
penyaluran DAK, dengan verifikasi hasil
oleh Ditjen Bina Marga.
• Pemda yang meminta dukungan harus memelihara
dan membagikan basis data kepada Ditjen Bina
Marga tentang kondisi lalu lintas dan jalan, yang
dimutakhirkan melalui survei independen.
• Proyek-proyek jalan Pemda yang diusulkan untuk
memperoleh pembiayaan harus disaring oleh
perangkat perencanaan jaringan Ditjen Bina
Marga mengenai prioritas nasional, fungsionalitas,
kesesuaian standar, dan manfaat.
• Rencana, desain, dokumen kontrak, prosedur
pengadaan, dan pengawasan harus sesuai dengan
pedoman dan standar Ditjen Bina Marga.
• Hasil teknis dan penerapan pedoman dan standar
harus diverifikasi secara independen oleh Ditjen
Bina Marga sebelum penyaluran disetujui.
Pendekatan PRIM menggunakan hibah bersyarat
dapat diarusutamakan untuk memberikan
insentif terhadap pemeliharaan jalan daerah
yang lebih baik dengan verifikasi kinerja oleh
Ditjen Bina Marga.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penggantian biaya akan diberikan berdasarkan seperangkat
acuan untuk harga satuan yang disusun oleh Ditjen Bina
Marga dan mencakup biaya survei, desain, pengawasan,
dan pelaksanaan.
Insentif Untuk Pemeliharaan
Pengaturan-pengaturan serupa yang dicontoh dari
PRIM mungkin dapat mendukung dalam memperkuat
pemeliharaan (non-modal) jalan daerah. Pengaturan
tersebut juga akan melibatkan hibah pemerintah pusat yang
mensyaratkan kinerja terverifikasi dalam melaksanakan
pekerjaan fisik dan pemenuhan standar Ditjen Bina
Marga untuk penilaian kebutuhan, perencanaan (dengan
menggunakan perangkat manajemen aset yang telah
ditentukan), penganggaran, pengadaan, pengawasan,
dan pelaksanaan, sebagaimana untuk PRIM. Hibah
bersyarat tersebut dapat berupa subset dari DAK (tetapi
untuk pekerjaan non-modal), atau dapat menggunakan
sistem dana pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud
dalam UU no. 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan
jalan. Dalam kedua hal tersebut, pembangunan harus
berdasarkan pada pengalaman PRIM.
Rencana Aksi
Penyelenggaraan dan pemeliharaan jalan daerah dapat
dilakukan lebih baik dengan menggunakan insentif hibah
bersyarat dari pemerintah pusat. Langkah penting untuk
mewujudkan hal ini adalah sebagai berikut:
Ditjen Bina Marga akan memerlukan sebuah
unit khusus untuk menangani tugas-tugas
terkait jalan daerah.
• Ditjen Bina Marga harus mengkaji hubungan jalan
daerah dengan mempertimbangkan perkiraan ekonomi
dan lalu lintas, dan mengalihkan ke dalam jaringan
jalan nasional, yang menurut fungsinya lebih
tepat dikelompokkan ke dalam jalan nasional.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
• Ditjen Bina Marga akan bekerja sama dengan
Kemenkeu untuk menunjukkan dan mengarusutamakan
penggunaan hibah bersyarat berbasis kinerja.
• Kemenkeu harus (i) mengubah peraturan yang
mengatur DAK berdasarkan UU no. 33/2004 untuk
memungkinkan penyaluran berbasis hasil bersyarat
dan memberikan pos-pos pemeliharaan non-modal
tambahan; atau (ii) menyalurkan hibah untuk
pemeliharaan kepada Pemda melalui dana pelestarian
jalan yang ditetapkan berdasarkan UU no. 22/2009.
• Ditjen Bina Marga akan mengembangkan standar
teknis, prosedur, spesifikasi hasil, dan biaya unit
acuan yang mengatur baik pekerjaan modal
maupun non-modal, termasuk pengaturan
verifikasi kinerja independen.
• Ditjen Bina Marga akan menetapkan unit Eselon II
yang bertanggung jawab atas jalan daerah dengan
kapasitas untuk melaksanakan (dengan dukungan
para konsultan) verifikasi kinerja dan memberikan
dukungan teknis baik kepada komponen hibah
modal maupun pemeliharaan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
175
176
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 06:
KESELAMATAN JALAN
DI INDONESIA
Di negara-negara dengan tingkat pendapatan menengah,
motorisasi yang cepat biasanya menyebabkan peningkatan
kematian di jalan pada taraf yang mengkhawatirkan. Di
Indonesia, setiap tahunnya tercatat ada lebih dari 30.000
kematian di jalan, penyebab kematian terbesar ketiga
setelah penyakit jantung dan tuberkulosis (TBC). Ancaman
kesehatan seperti SARS dan Ebola menerima perhatian
luas, tapi tidak demikian dengan tingkat kematian harian
di jalan. Sebagian besar masyarakat tampak tidak peduli
dengan masalah tersebut.
Lebih dari 30.000 orang Indonesia tewas
di jalan setiap tahun.
Keselamatan jalan yang buruk juga merupakan persoalan
ekonomi yang serius. Laki-laki muda usia kerja mewakili
persentase korban yang tidak proporsional. Keluarga
terjerumus ke dalam kemiskinan karena biaya perawatan
medis yang berkepanjangan, hilangnya pencari nafkah,
atau biaya merawat penyandang disabilitas. Penelitian
menunjukkan biaya ekonomi kecelakaan di jalan di
Indonesia sebesar 3 persen dari PDB.
Fatalitas di jalan merupakan penyebab
kematian terbesar ketiga di Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Informasi yang dapat diandalkan kini tersedia melalui
sistem baru (IRSMS) di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Sistem tersebut memiliki data kecelakaan berdasarkan
tingkat keparahan, jenis, dan lokasi, memungkinkan adanya
perencanaan dan pemantauan intervensi keselamatan
jalan bersasaran. Informasi tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar kematian terjadi pada pengguna jalan
yang rentan: pejalan kaki, pengendara sepeda, dan sepeda
motor. Kelompok usia 15–25 tahun, yang dapat dikatakan
kurang berpengalaman dan kurang sadar akan bahaya,
mencakup seperempat dari semua kematian tersebut.
Data juga menunjukkan bahwa banyak pengendara sepeda
motor tidak memiliki SIM, dan pengendara dengan usia di
bawah umur adalah hal yang biasa.
Dampak ekonomi dari pembantaian di jalan
setara dengan 3 persen PDB, usia 15 hingga
25 tahun mencakup 25 persen dari semua
kematian di jalan.
Di masa lalu, sepertinya ada semacam penerimaan atas
kematian di jalan yang tidak dapat dihindari, namun
tidak perlu demikian. Di negara-negara yang telah
menerapkan pendekatan sistematis, jumlah dan tingkat
keparahan kecelakaan berkurang hingga sepuluh kali
lipat dalam jangka waktu 30 tahun. Hal yang sama dapat
dilakukan di Indonesia.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pendekatan sistematis jangka panjang terhadap
keselamatan jalan dapat mengurangi kematian
jalan hingga 90 persen.
Prestasi
Sejak tahun 2011, Pemerintah ikut serta dalam Dekade
untuk Aksi Keselamatan Jalan PBB 2011–2020. Rencana
Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011–2035
diselesaikan pada bulan Mei 2011, dengan pemahaman
bahwa keselamatan jalan merupakan tanggung jawab
bersama yang hanya dapat diatasi melalui kerja sama
berbagai lembaga. RUNK sejalan dengan Lima Azas PBB
untuk Keselamatan Jalan: pengelolaan keselamatan jalan
(untuk mendorong koordinasi pemangku kepentingan dan
kemitraan), jalan yang lebih aman, kendaraan yang lebih
aman, pengguna jalan yang lebih aman, dan tanggapan
pasca kecelakaan.
Indonesia telah mengembangkan Rencana
Induk Keselamatan Jalan yang komprehensif
dengan sasaran pengurangan kematian dan
cedera yang ambisius.
Sasaran rencana ini adalah pengurangan tingkat kecelakaan
sebanyak 80 persen hingga tahun 2035:
Tingkat
kematian akibat
kecelakaan
2010
(garis
dasar)
2020
(pengurangan
50%)
2035
(pengurangan
80%)
Per 10.000
Kendaraan
3,93
1,96
0,79
Per 100.000
penduduk
12,86
6,57
2,63
Beberapa program keselamatan jalan sedang dilangsungkan
di jaringan jalan nasional, namun analisis baru-baru ini
menunjukkan bahwa hampir tiga perempat kematian di jalan
terjadi di jalan subnasional, yang memiliki kapasitas dan
tingkat kesadaran yang rendah. Hal ini perlu diperhatikan
jika ingin memenuhi sasaran di atas.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Komitmen RUNK Jalan 2011–2035 menunjukkan bahwa
para pemangku kepentingan mulai menyadari keseriusan
masalah ini dan adanya kebutuhan mendesak akan suatu
tindakan. Tetapi program keselamatan jalan memerlukan
waktu untuk membuahkan hasil. Indonesia harus mengikuti
pengalaman negara-negara lain yang telah menunjukkan
bahwa upaya keselamatan jalan berkelanjutan pada
akhirnya mencapai hasil. Rencana Umum itu tidak
akan menghasilkan apa-apa kecuali tindakan-tindakan
yang telah direncanakan diterapkan dengan efektif,
dengan semua kementerian pokok dan pemangku
kepentingan berkomitmen pada sasaran yang terukur.
Program-program keselamatan jalan
bersasaran untuk kementerian-kementerian
pokok perlu didanai.
Memantau efektivitas juga sangat penting, dengan strategi
yang disesuaikan dengan tepat. Meningkatkan kualitas data
kecelakaan akan memungkinkan pembidikan tindakan yang
lebih efektif dan penilaian kinerja yang lebih baik. Dengan
sebagian besar kematian di jalan terjadi di jalan provinsi dan
daerah, sangat penting bahwa solusi daerah dikembangkan,
dengan keterlibatan masyarakat secara langsung. Organisasi
non-pemerintah dan kelompok masyarakat dapat berperan
dalam mempengaruhi bagaimana anggaran pemerintah
daerah dialokasikan untuk menjamin prakarsa keselamatan
yang efektif dan berkelanjutan.
Prioritas Bagi Pemerintah Baru
Menyelamatkan nyawa di jalanan Indonesia mensyaratkan
pendanaan yang cukup, koordinasi yang kuat, kapasitas
teknis yang baik, dan kesadaran masyarakat yang lebih
besar. Termasuk dalam tindakan-tindakan prioritas adalah:
Dibutuhkan pengawasan manajemen yang kuat
oleh Bappenas dan peningkatan pendanaan yang
signifikan untuk menjaga agar rencana umum
keselamatan jalan tetap pada jalurnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
177
178
Usulan Kebijakan Jalan
• Memperkuat peran Bappenas dalam mengkoordinasi
keselamatan jalan di tingkat nasional, antar lembaga
pokok dan tingkat pemerintahan.
• Membentuk fungsi khusus untuk pengelolaan
keselamatan jalan di Bappenas, didukung oleh
Sekretariat dan Kelompok Kerja untuk setiap
Azas RUNK.
• Menjamin bahwa data kecelakaan, prakarsa
keselamatan jalan, dan alokasi anggaran dibuka
penuh untuk umum.
• Menggunakan Forum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (LLAJ) sebagai cara melibatkan organisasi
non-pemerintah dan kelompok masyarakat
dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memprioritaskan prakarsa.
Organisasi Non-Pemerintah dan kelompok
masyarakat memiliki peran kunci dalam
menjamin bahwa persoalan keselamatan
jalan diatasi dan prakarsa diterapkan
di tingkat daerah.
• Menaikkan tingkat pendanaan dari semua tingkat
pemerintahan hingga ke tingkat yang setara dengan
0,11 persen PDB (berdasarkan perbandingan negara),
untuk mencakup (i) penaikan alokasi APBN untuk
membangun kapasitas dan investasi keselamatan
jalan; (ii) pendanaan hibah baru berbasis kinerja dan
bersyarat untuk memberikan insentif untuk hasil
keselamatan jalan oleh pemerintahan subnasional;
(iii) kenaikan pembelanjaan PT Jasa Raharja untuk
prakarsa keselamatan jalan; (iv) dana baru untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
keselamatan jalan yang dibiayai dari ongkos
pengguna dan peningkatan denda; dan (v)
peningkatan dukungan dari lembaga pendanaan
internasional dan sponsor korporat.
Dukungan internasional akan memberi dukungan
dalam membangun kapasitas yang dibutuhkan.
• Mencari kelanjutan dukungan donasi untuk (i)
pembangunan kapasitas di dalam Ditjen Bina Marga,
Ditjen Perhubungan Darat, dan Polri, dan (ii) program
hibah yang menyerupai hibah bersyarat melalui
Kementerian Perhubungan untuk meningkatkan
rambu-rambu, marka-garis, fasilitas jalan,
dan tanggapan kecelakaan oleh pemerintahan
nasional, provinsi, dan daerah.
• Membangun kapasitas di antara profesional
keselamatan jalan melalui pelatihan,
pendampingan, sertifikasi profesi, dan
dukungan untuk perhimpunan profesi. ●
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Mentransformasi Jalan
di Indonesia
dalam angka
2017
Tahun di mana Waskita Bumi Legundi (sebuah perusahaan patungan
antara perusahaan konstruksi milik Negara Waskita Karya dan Energi
Bumi Mining) diharapkan untuk menyelesaikan jalan tol Legundi-Bunder
sepanjang 30 km, menghubungkan Kecamatan Krian dengan Teluk
Lamong di Tanjung Perak, Surabaya.
<50%
Jumlah lahan yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Indonesia untuk
membangun segmen kedua jalan tol Manado-Bitung di Sulawesi Utara,
yang dianggap sangat penting untuk menghubungkan Manado dengan
kawasan ekonomi khusus Bitung.
40,5km
Panjang konsesi jalan tol PT Astra International, merupakan konsesi
jalan terpanjang di dalam program TransJawa.
35%
Penambahan ruas jalan di Indonesia pada 10 tahun terakhir. Sebagian
besar dari penambahan ini disebabkan oleh reklasifikasi jalan daerah.
300%
Penambahan jumlah kendaraan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
72
Peringkat Indonesia, dari 144 negara, di dalam Laporan Daya Saing
Global dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tahun
2014–2015 dalam hal kualitas jalan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
179
180
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI
Pertanyaan:
Menurut anda, apa kendala terbesar yang harus ditangani agar
jaringan jalan nasional di negara ini dapat lebih berkembang?
Langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
kendala ini?
Ir. Harris H. Batubara, M.Eng.Sc
Direktur Bina Program
Bina Marga
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
“Hambatan penyediaan jaringan jalan nasional antara lain, lebih dari 80 persen lalu lintas angkutan barang dan
lebih dari 82 persen lintas angkutan penumpang menggunakan moda jalan, overloading, tata guna lahan yang
tidak terkendali, rendahnya pemenuhan readiness criteria terutama pengadaan lahan dalam pembangunan jalan
bebas hambatan, pemaketan proyek yang relatif kecil telah menyebabkan jumlah paket/kontrak/Pejabat Pembuat
Komitmen kurang mendorong peningkatan mutu, Performance-Based Contracting belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan, dan terbatasnya dana APBN bidang jalan.
Alternatif solusi terhadap permasalahan diatas antara lain, membagi beban moda jalan dengan moda angkutan
lain terutama kereta api dan transportasi laut, modernisasi jaringan jalan nasional eksisting dan pembangunan
expressway, penerapan teknologi dan desain yang tepat, memberikan dukungan terhadap transportasi
publik melalui penyediaan jaringan jalan nasional bagi BRT (Bus Rapid Transit) di kawasan perkotaan,
pemenuhan readiness criteria (feasibility study, detailed engineering design environmental impact assessment,
land acquisition, dsb.) penerapan Performance-Based Maintenance Contract dan Performance-Based Annuity
Scheme, peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan APBN dan diimbangi dengan model pembiayaan yang
inovatif dan kreatif (pinjaman/hibah, sukuk, dsb).”
Bambang Prihartono, MSCE
Direktur Transportasi Bappenas
“Total panjang jaringan jalan nasional saat ini hanya sekitar 8 persen dari total panjang jaringan jalan di Indonesia
sepanjang 479.079 km. Kondisi ini dirasakan kurang mampu mendorong terwujudnya konektivitas dan sistem
logistik nasional, terutama dengan semakin tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru di seluruh koridor ekonomi nasional. Jaringan jalan nasional perlu lebih dikembangkan, terutama untuk
mendukung aksesibilitas dan konektivitas pada pusat-pusat pertumbuhan di daerah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pada koridor-koridor utama seperti di Pantura Jawa dan Lintas Timur Sumatera, permasalahan overloading
hingga saat ini belum mampu terpecahkan. Koordinasi di tingkat pusat dan daerah belum dapat berjalan dengan
baik. Banyaknya stakeholder yang terkait serta masih lemahnya law enforcement menyulitkan penanganan
overloading. Sementara itu fungsi jembatan timbang belum optimal dalam mengurangi overloading. Kontrak
pekerjaan jalan melalui Performance-Based Contract (PBC) dapat menjadi salah satu alternatif dalam penanganan
jalan dalam jangka menengah.
Pada daerah-daerah pedalaman dan perbatasan, permasalahan lahan hutan lindung sering kali
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan jalan. Diperlukan koordinasi di tingkat menteri serta
penyempurnaan regulasi terkait dengan aspek pemanfaatan hutan lindung untuk kepentingan publik. Pada
sisi lain, kondisi geografis Indonesia dengan banyaknya daerah-daerah rawan bencana dengan kondisi struktur
tanah yang labil, diperlukan adanya dana cadangan bencana untuk penanganan mendesak dalam rangka
menjaga pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menjaga tingkat pelayanan jalan, kualitas jalan harus dapat dipertahankan sesuai dengan umur teknis
rencananya. Penyediaan dana preservasi diperlukan dalam rangka mempertahankan kualitas jalan yang ada.
Disamping itu keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan perbaikan jalan secara swakelola dapat menjadi
alternatif dalam rangka untuk mengatasi potensi jalan rusak, melalui menghidupkan kembali keberadaan
‘mandor jalan’ yang memiliki tugas mengantisipasi setiap kerusakan ringan agar segera diperbaiki sebelum
berkembang menjadi rusak berat.
Di dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2015–2019, Pemerintah telah menargetkan pembangunan jalan tol
sepanjang 1.195 km, melakukan pemeliharaan dan meningkatkan kapasitas jalan yang ada sepanjang 43.770 km,
serta membangun jalan baru sepanjang 5.200 km, untuk memenuhi kebutuhan aksesibilitas daerah tertinggal,
mobilitas perjalanan di perkotaan dan konektivitas antar wilayah, antar pulau dan antar kota serta antar pusat
kegiatan nasional, regional dan lokal.
Untuk mewujudkan target tersebut tantangan terbesarnya adalah dalam hal penyediaan tanah, disamping
penguatan kapasitas SDM Bina Marga serta penguatan kapasitas industri jasa konstruksi di Indonesia. Pemerintah
perlu menyediakan alokasi dana khusus untuk pengadaan lahan baik untuk jalan nasional maupun jalan tol.
Disamping itu, bentuk-bentuk kontrak pekerjaan dengan pola insentif kinerja melalui Performance-Based
Annuity Scheme perlu terus didorong implementasinya yang diiringi dengan penyempurnaan regulasi dalam
penyelenggaraan jalan.
Selain itu peran jalan daerah dalam mewujudkan konektivitas wilayah sangat lah penting. Panjang jaringan jalan
daerah (provinsi dankabupaten/kota) yang mencapai 92 persen dari total jaringan jalan yang ada, memerlukan
peningkatan baik dari aspek jumlah maupun kualitasnya. Dalam kaitan ini, sinkronisasi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan jalan nasional dan daerah, termasuk rencana investasinya, melalui RPI2JM (Rencana
terpadu Pengembangan Investasi Infrastruktur Jangka Menengah) dapat menjadi salah satu alternatif dalam
rangka mensinergikan pembangunan infrastruktur antara tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Di samping
itu, skema-skema pendanaan hibah untuk penanganan jalan daerah dapat menjadi salah satu alternatif yang juga
dapat dikembangkan menjadi bentuk pendanaan yang bersumber dari rupiah murni.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
181
Suara dari
Sektor Swasta
Edisi 20, Januari-April 2015
• Keadaan Darurat di Bidang
Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
• Mendanai Infrastruktur:
Pandangan Sektor Perbankan
• Ukuran Memang Penting, dan Demikian
Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas
dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
• Angkutan Umum Perlu Investasi
dan Keahlian Pihak Swasta
• Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan
Air Minum di Indonesia
• Peran Sektor Swasta dalam
Mengembangkan Pelabuhan
di Indonesia
• Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang
Pembangunan Infrastruktur
184
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
KEADAAN DARURAT DI
BIDANG INFRASTRUKTUR,
DAN CARA MENGHADAPINYA
Bernardus Djonoputro adalah pendiri dan Ketua HD Asia Advisory,
yang memberi layanan penasihat strategis kepada investor dan
korporasi untuk membantu mereka mengembangkan strategi investasi
yang komprehensif dengan memperhitungkan nuansa legislatif,
regulasi, dan politik dari lingkungan investasi. Ia telah bekerja sebagai
penasihat bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
proyek perencanaan dan infrastruktur. Pada tahun 2010 sampai 2013,
ia menjabat sebagai Managing Director dari investor infrastruktur dan
operator PT Nusantara Infrastructure Tbk, yang mengelola konsesi
pada jalan tol, pelabuhan, serta sektor air dan listrik. Ia saat ini adalah
juga Sekretaris Jenderal dari Asosiasi Perencana Urban dan Regional
Indonesia. Sebagai alumnus Indonesia-Australia Intergovernmental
Youth Exchange Program, ia memiliki gelar dalam Perencanaan
Urban dan Regional dari Institut Teknologi Bandung.
PRAKARSA: Anda memiliki dua peran yang menarik
– Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)
dan Ketua HD Asia Advisory.
BERNARDUS DJONOPUTRO: HD Asia Advisory, itu bisnis
saya. Dalam waktu luang saya, saya adalah Presiden Institut
Perencanaan Indonesia, yang merupakan organisasi yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
setara dengan Planning Institute of Australia (PIA) di
Australia. Itu adalah posisi pro bono. Kami adalah satusatunya organisasi profesional perencana perkotaan di
negara ini, dengan sekitar lebih dari 3.000 anggota, yang
merupakan perencana bersertifikasi. Kami melakukan
sertifikasi dan akreditasi independen bagi perencana
untuk pekerjaan pemerintah. Mengenai peran saya dengan
HD Asia Advisory, saya lebih terlibat dengan para praktisi
Suara dari Sektor Swasta
investasi/infrastruktur.
Apakah Anda pernah melihat adanya persinggungan
antara pekerjaan Anda dengan IAP dan jenis
pemberian nasihat yang Anda lakukan, atau apakah
kedua hal tersebut topik yang sama sekali berbeda?
Begini, sebenarnya keduanya saling terkait bila Anda
melihat persoalan utama dalam perencanaan dewasa
ini, sebagian besar berkisar seputar fakta bahwa kota
dan daerah di Indonesia tidak mampu menyediakan
infrastruktur, sehingga penyediaan infrastruktur merupakan
persoalan yang penting.
Apakah menurut pendapat Anda investor takut
untuk datang ke Indonesia karena mereka khawatir
mengenai mutu infrastruktur?
Tidak, mereka melihatnya lebih sebagai kesempatan. Saya
rasa faktor rasa takut bagi investor asing dewasa ini adalah
terkait apakah mereka merasa nyaman atau tidak dengan
rezim regulasi dan kerangka kebijakan. Juga saya rasa
investor melihat nasib dari proyek infrastruktur yang ada
saat ini seperti konsensi dan Bangun, Guna, Serah (BOT,
Build-Operate-Transfer). Sehingga ini adalah mengenai
persoalan rezim regulasi yang akan menjamin apakah
investasi mereka itu bermanfaat untuk dilakukan.
Apakah Anda memiliki pandangan tentang
perubahan tertentu yang Anda ingin lihat dalam
lingkungan regulasi? Seandainya Anda adalah
Presiden yang baru, apa yang akan Anda lakukan?
Saya rasa yang pertama dan terutama diperlukan oleh
pemerintah yang baru adalah untuk menanamkan
pemikiran bahwa saat ini kita berada dalam keadaan
darurat di bidang infrastruktur, dalam hal struktur
pemerintahan, dan bagaimana pemerintah bekerja. Saya
lihat ada tiga hal darurat yang perlu untuk diperhatikan
oleh pemerintah yang baru:
Pertama adalah energi – Kita memiliki tantangan yang besar
dalam hal memastikan bahwa kita memiliki cukup energi
untuk negara kita.
Keadaan darurat yang kedua dalam penyediaan
infrastruktur adalah bahwa kita harus meningkatkan
kinerja kita dalam membangun infrastruktur yang tepat
yang akan mengoptimalkan potensi bahwa Indonesia harus
bertumbuh pada tingkat yang kita semua berpendapat
dapat kita capai, misalnya: 5, 6, atau 7 persen. Ini
mencakup tidak hanya infrastruktur dasar tetapi juga
penyediaan perumahan. Kami saat ini memiliki banyak
Atas perkenan Bernardus Djonoputro
pekerjaan tertunda di daerah perkotaan dalam bentuk
perumahan, terutama rumah yang terjangkau untuk rakyat
berpenghasilan menengah dan rendah.
Ketiga, yang tidak begitu mendesak seperti hal yang disebut
sebelumnya tetapi juga sangat penting bagi pemerintah
adalah efisiensi di bidang regulasi. Dengan perkembangan
terakhir, semua infrastruktur kami dan semua program
energi kami terjadi di tingkat daerah. Sehingga lingkungan
utama tempat para investor bekerja dewasa ini tidak
terlalu Jakarta-sentris, melainkan daerah yang berperan.
Sehingga setiap investasi, atau lokasi perumahan Anda,
atau lokasi pembangkit tenaga listrik Anda, atau lokasi jalan
tol Anda – semuanya ini terjadi pada tingkat Pemerintah
Daerah, sehingga dinamika antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah menjadi sangat penting.
Dalam hal sektor, yang perlu dilihat dahulu oleh
pemerintah, adalah energi dan infrastruktur. Dalam “moda
darurat”, pemerintah perlu masuk dan melakukannya
dari hari pertama untuk mengidentifikasi hal yang mudah
untuk dilakukan – infrastruktur dasar yang perlu dilakukan
oleh negara. Pemerintah perlu untuk melihat kembali
strategi besarnya. Saya rasa strategi infrastruktur perlu
untuk menjadi bagian dari strategi negara yang lebih luas,
lebih ketat, dan lebih jelas. Pemerintah yang baru harus
Prakarsa Compendium | Jilid 3
185
186
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
menghindari mengirim pesan yang salah dalam bentuk
kebijakan-kebijakan semu seperti Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
atau semacamnya, tetapi sebaliknya pemerintah sebaiknya
menghasilkan target jangka panjang yang sangat terstruktur
yang diturunkan menjadi proyek jangka menengah dan
pendek, misalnya: kita dulu memiliki Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN, yang merupakan garis besar kebijakan
nasional) yang merupakan rencana utama untuk 25 tahun
atau 50 tahun, dan kemudian kami menerjemahkannya
menjadi rencana jangka menengah dan jangka pendek yang
mengalir dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah –
yang berarti kami memiliki sasaran yang sangat terstruktur.
Saya rasa kami harus menghindari mencari keuntungan
politik jangka pendek. Pemerintah cenderung rentan
terhadap hal itu. Pemerintahan Yudhoyono rentan terhadap
prakarsa politik jangka pendek yang datang dari berbagai
fraksi pemerintahannya. Ini adalah penilaian saya yang
cukup keras terhadap strategi MP3EI, yang tidak membawa
negara ini menjadi dekat pada apa yang diharapkan. Saya
rasa sangat salah untuk muncul dengan dokumen, dalam
tanda kutip, “kasus bisnis” dan menempatkannya seolaholah ini adalah strategi negara – yang sebenarnya bukan.
Disinilah pemerintah SBY gagal untuk mempercepat
investasi dalam infrastruktur.
Masalah kedua adalah bahwa sektor swasta bukan ramuan
ajaib untuk menyelesaikan permasalahan infrastruktur.
Hal ini tidak boleh terjadi lagi pada pemerintahan yang
baru. Infrastruktur dasar adalah murni tanggung jawab
pemerintah. Sektor swasta akan ikut serta jika ada
insentif atau jika ada tempat di mana sektor swasta
dapat berpartisipasi dan mendapatkan pengembalian
dari investasi mereka, dalam proyek manapun. Saya
sangat berharap pemerintahan yang akan datang akan
melihat partisipasi sektor swasta dalam pengembangan
infrastruktur sebagai suatu tambahan atau peningkatan
pekerjaan pemerintah.
Dan masalah ketiga adalah Kemitraan Swasta Pemerintah
(KPS) bukan merupakan sesuatu yang mudah – lebih mudah
berkata daripada melakukannya. Pengalaman di seluruh
dunia membuktikan bahwa KPS bukanlah skema termudah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
untuk diimplementasikan. Pemerintah perlu memahami
bahwa KPS merupakan sesuatu yang perlu didefinisikan
dengan jelas, disiapkan secara jelas, dan terstruktur dengan
jelas. Sehingga hal ini menjadi latihan dalam berbagi risiko
dan bukan cara ajaib untuk mendapatkan sumber daya
swasta. Kami tidak melihat bahwa rezim yang berbagi
risiko ini telah dianut oleh pemerintah. Ini akan menjadi
salah satu dari tantangan utama bagi pemerintah yang
baru. Dari yang kita lihat telah sampai saat ini dari tim
transisi dan pekerjaan persiapan dari kabinet yang baru,
saya tidak melihat bahwa mereka sepenuhnya menyadari
akan kompleksitasnya. Kami masih melihat tanda di luar
sana yang melihat KPS dan partisipasi swasta seolah-olah
hal tersebut adalah ramuan ajaib. Kabinet yang baru perlu
duduk bersama dan menentukan bagaimana mereka akan
menetapkan mana yang paling mudah untuk pertama
ditangani. Hal yang mudah dicapai itu sangat gampang – hal
itu sederhana, dan ada di luar sana.
Apa saja hal-hal yang mudah dicapai tersebut?
Anda melihat 24 Jalan Tol Trans-Jawa dan jalan raya
perkotaan dalam kota Jakarta yang belum dibangun.
Sebagian besar dari kontrak-kontrak tersebut Anda ketahui,
telah diberikan kepada pemain 10 sampai 15 tahun yang
lalu dan banyak di antaranya belum bergerak sama sekali.
Mereka menyalahkan hal-hal teknis seperti pembebasan
tanah dan hal-hal semacam itu. Dengan segala rasa hormat,
saya rasa pemerintah perlu untuk sangat ketat dalam hal
itu dan untuk mengevaluasi kembali konsensi yang ada
dan jika sektor swasta tidak dapat membangun, maka
cabut izinnya atau konsesi BOT-nya dan berikan kepada
pemilik konsesi baru. Sebagai alternatif, pemerintah perlu
untuk memandang Jalan Tol Trans-Jawa dan jalan tol intraperkotaan Jakarta sebagai satu pekerjaan infrastruktur
Indonesia gabungan, di mana Anda menempatkannya
semuanya bersama-sama dan memandang investasi yang
besar sebagai suatu keseluruhan, dan tidak sebagai konsesi
tak terstruktur yang dilaksanakan sepotong-sepotong. Jadi
pemerintah sekarang memiliki kesempatan untuk melihat
kembali keseluruhan konsesi dan mempertimbangkan
kembali bagaimana konsesi tersebut dapat bekerja.
Bagaimana hal itu bisa berjalan jika merupakan
satu proyek yang besar?
Suara dari Sektor Swasta
Hal yang pertama adalah, upayakan agar setiap orang
yang memiliki konsesi duduk bersama dan angkat tangan
mereka jika mereka tidak dapat membangun konsesi
mereka. Kemudian mereka harus mengundurkan diri dan
tidak berpartisipasi dalam konsesi mereka lagi. Pemerintah
memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu. Sekarang,
lebih mudah mengatakannya daripada menjalankannya,
tetapi jika pemerintah berwenang, maka mereka bisa
menangani pembebasan tanah. Saya rasa pemilik konsesi
akan bertahan jika mereka bona fide, jika mereka benar
bermaksud untuk melakukan investasi dalam konsesikonsesi tersebut. Rantai yang hilang di sini, setiap orang
mengatakan, adalah pembebasan tanah bukan? Jika
pemerintah dapat mengalokasikan investasi, dan energi,
dan menggunakan wewenangnya untuk memastikan bahwa
tanah dapat dibebaskan, maka saya rasa tidak ada alasan
mengapa Trans-Jawa tidak bisa dibangun dalam waktu lima
tahun ke depan. Itulah hal yang dapat dicapai yang pertama.
Kemudian apalagi hal yang mudah dicapai?
Yang kedua adalah lima kontrak air minum utama yang
pertama yang saat ini telah berada pada tahap prakualifikasi
(PQ, prequalification) dan penawaran (tender). Anda harus
melihat pada skema KPS untuk semua proyek air minum.
Kami berbicara mengenai Jatiluhur, Lampung, Semarang
Barat, Unggulan, dan Palu. Jadi yang termudah adalah
Trans-Jawa, kelompok kedua adalah kontrak air minum
dan beberapa rencana perluasan pelabuhan dan bandara
udara. Bandara udara dan pelabuhan yang berukuran
sedang dan kecil. Karena selama 30 tahun terakhir kita
lupa membangun pelabuhan. Sekarang kedua bidang
itu, air minum dan pelabuhan, semua perlu dilaksanakan
dengan KPS karena saya dapat meyakinkan Anda bahwa
semua proyek air minum dan proyek pelabuhan itu
menguntungkan. Semuanya itu memiliki potensi menjadi
KPS karena manfaat keuangannya ada. Dan manfaat
ekonomi (bagi pemerintah) sangat menarik, sangat besar.
Ketiga adalah proyek infrastruktur dalam anggaran
pemerintah. Jalan 2000 kilometer yang pemerintah akan
bangun dapat dilakukan melalui anggaran pemerintah.
Saya rasa pemerintah memiliki cukup dana untuk
melakukannya. Jadi pemerintah perlu untuk bekerja dan
mengoptimalkan peran Badan Umum Milik Negara (BUMN)
sebagai suatu lokomotif untuk membangun 2000 kilometer
jalan tol nasional yang didanai Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN).
Jadi banyak sekali hal yang mudah dicapai.
Bagaimana Pemerintah harus memulainya?
Untuk yang hal yang pertama, Trans-Jawa dan jalan antar
kota, semua yang Anda perlukan adalah wewenang dan
untuk mengoptimalkan pembebasan tanah. Untuk yang
ketiga, anggaran pemerintah, mengoptimalkan APBN
melalui proses pembuatan anggaran.
Jadi tantangan terbesar adalah nomor dua, yang adalah
pengembangan air minum dan pelabuhan melalui
KPS. Sekarang, dengan KPS, apa yang dapat dilakukan
pemerintah adalah sangat sederhana. Tantangan terbesar
untuk pemerintah untuk melakukan tinjauan dalam hal
keadaan darurat dalam bidang infrastruktur adalah KPS,
karena KPS bukan ramuan ajaib, ini rumit. Tetapi dapat
dikerjakan. Australia, Korea, Inggris, dan beberapa ekonomi
lain yang telah maju dan matang telah melakukan KPS
dan telah melalui beberapa siklus. Studi menunjukkan
bahwa ini bukan merupakan skema yang sederhana. Hal ini
memerlukan pekerjaan pemerintah yang sangat tangguh
dan prakarsa serta energi dan kekuatan. Tetapi ini juga
memerlukan investasi swasta yang sangat terfokus. Di sini
terdapat investor, pemain, operator, sponsor proyek yang
sungguh-sungguh fokus yang telah bermain di bidang ini di
seluruh dunia. Mereka akan menjadi pendorong utama dari
KPS di belahan dunia manapun.
Jadi bagaimana untuk memulai KPS? Saya pikir Presiden
perlu melihat pada beberapa opsi yang ada, dan salah
satu cara yang termudah adalah untuk membangun
pusat KPS dengan posisi tertinggi di bawah Presiden. Jadi
jika pemerintah saat ini dapat mengumumkan semacam
moda keadaan darurat untuk lima tahun ke depan untuk
membangun infrastruktur yang diperlukan, maka KPS dapat
dicapai dengan melakukan upaya yang sangat terfokus.
Bagaimana pusat KPS dapat bekerja?
Kami telah melihat bagaimana para menteri berinteraksi.
Jadi, cara terbaik adalah untuk menempatkan pusat
KPS langsung di bawah Presiden. Hal ini telah berhasil di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
187
188
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
berbagai negara. Apa yang harus dilakukan pusat KPS
sangat sederhana – memulai pengadaan, investasi, dan
konsesi, dalam arti, mempersiapkan proyek, menjalankan
tender, dan penyelenggaraan proyek sampai penutupan
keuangan. Jadi ini terutama adalah persiapan pekerjaan,
lakukan tender, dan selesaikan pekerjaan ini. Jadi lembagalembaga ini tidak akan menjadi penanggung jawab proyek
kerjasama (PJPK), tetapi akan bertindak terutama sebagai
pendukung sehingga tender KPS dan pekerjaan KPS dapat
dimulai. Dan ini yang menurut pendapat saya diperlukan.
Pusat ini atau lembaga-lembaga ini perlu berada pada posisi
setinggi mungkin, yang melapor kepada Presiden atau
Wakil Presiden secara langsung dan memiliki peran lintaskementerian dalam melaksanakan tender tersebut.
Dan membubarkan unit KPS semu di berbagai departemen
yang kita miliki saat ini, dan upayakan agar mereka
sebagai gantinya mendukung pusat KPS, dengan analisis
dan pekerjaan lintas-kementerian. Kami sebaiknya tidak
memiliki KPS di berbagai kementerian seperti yang kita
lakukan saat ini di Bappenas, di Kementerian Keuangan,
di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pusat ini
perlu untuk memotong kompas berbagai lembaga. Apabila
Anda melihat KPS di Indonesia dewasa ini, kita sudah
memiliki semua lembaga yang diperlukan, kita memiliki
dana bergulir untuk tanah, sehingga pemerintah memiliki
dana untuk membebaskan tanah dan kemudian pemegang
konsesi dapat membayarnya kemudian. Kami memiliki dana
jaminan, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF).
Perannya adalah menjamin risiko politik serta sebagai risiko
lalu lintas, dan kemudian Anda memiliki dana partisipasi
ekuitas pemerintah – PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)
dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). [SMI adalah
pemegang saham IIF, dan IIF merupakan perusahaan swasta
yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2010
untuk mempercepat investasi infrastruktur Indonesia].
Jadi, semuanya telah ada tetapi yang terjadi saat ini adalah
kita belum bergerak melampaui pengadaan, kita belum
bergerak melampaui tahap persiapan.
Pada tahun pertemuan tingkat tinggi infrastruktur tahun
2005 Bappenas membuat daftar begitu banyak proyek
KPS, sekitar 179 kemudian turun menjadi 59 dan sekarang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
turun lagi menjadi sekitar 20. Dari seluruh milyaran dolar
yang terwakilkan dalam daftar tersebut, tidak ada yang
lebih jauh dari PQ, tidak ada yang sudah dilakukan tender.
Hanya ada satu proyek yang bernilai USD 2 milyar yang
telah diselesaikan dan menutup buku dua tahun yang lalu
dan bahkan saat ini, itu pun belum mulai karena adanya
masalah dengan pembebasan tanah; ini adalah proyek
pembangkit tenaga listrik Batam di Jawa Tengah.
Jadi kemajuan untuk KPS adalah nol. Jika Jokowi ingin
mencapai angka yang besar maka saya rasa ia perlu
melihat apa yang terjadi dewasa ini. Apa yang terjadi
adalah bahwa dana penjaminan itu turun drastis hingga
mencapai titik nol, jadi kita membayar mahal untuk orang
yang tidak memberikan apa-apa. Partisipasi ekuitas dapat
diukur, tetapi sangat kecil; sebagian besar dana dari SMI
dan IIGF telah dikeluarkan untuk memberikan pinjaman.
Memberikan pinjaman bukanlah tujuan dari adanya SMI
dan IIGF. Mereka harus melakukan partisipasi ekuitas untuk
memulai suatu proyek, dan bukan memberikan pinjaman;
biarkan bank yang memberikan pinjaman. Bank seharusnya
berfokus memberikan pembiayaan proyek fase berikutnya
di negara ini, bukan SMI dan IIGF.
Menurut pendapat saya adalah sangat menyesatkan bagi
dana partisipasi ekuitas pemerintah untuk melakukan
pemberian pinjaman karena dengan demikian Anda harus
menanyakan kepada diri Anda sendiri apakah itu bank
atau institusi ekuitas. Dan kemudian seperti saya katakan
sebelumnya, begitu Anda ingin memulai program Anda di
daerah, Anda melihat terdapat peraturan yang tumpangtindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dan sangat jelas bahwa tidak ada kepemimpinan. Tidak ada
satu orang pun yang mengambil tanggung jawab sebagai
pimpinan dan bertanggung jawab membuat putusan
mengenai KPS. Saya rasa ini adalah kuncinya.
Jadi kembali pada pertanyaan Anda sebelumnya apa
yang dapat dilakukan oleh pemerintah ini. Hal itu adalah
kepemimpinan. Lakukan itu. Jadi jika pemerintah baru
kita ingin mencapai target infrastrukturnya, jika mereka
ingin membangun semua ini, maka pertama-tama yang
harus dilakukan adalah menyatakan bahwa ada keadaan
Suara dari Sektor Swasta
darurat di bidang infrastruktur dalam kabinet. Kemudian
jadikan BUMN menjadi lokomotif dalam membangun
infrastruktur yang diperlukan saat ini dengan menggunakan
APBN, dan sektor swasta dapat berjalan bersama dengan
KPS. Jadi bagi saya, ini sangat sederhana. Koordinasikan
dengan semua lembaga yang telah ada dengan satu unit
presidensial yang sangat terfokus, dengan mandat hanya
untuk lima tahun, untuk segera memulai studi kelayakan.
Jadi yang harus mereka lakukan hanya persiapan dan proses
penawaran. Itu saja.
Mari saya berikan contoh – proyek air minum Lampung.
Lampung telah melalui begitu banyak tahapan PQ dan
terdapat daftar pendek empat konsorsium. Jika Anda melihat
apa yang dimiliki Lampung, studi kelayakan, pekerjaan dasar
yang telah dilakukan oleh PJPK, yang adalah PDAM daerah
(perusahaan air minum) – ini tidak cukup untuk konsorsium
manapun untuk dapat memberikan suatu proposal
yang baik. Jadi apa yang terjadi adalah bahwa keempat
konsorsium ini akan melakukan studi kelayakan mereka
sendiri. Studi kelayakan masing-masing menelan biaya USD
1 sampai 1,5 juta. Jadi yang Anda lihat adalah pengeluaran
sebesar USD 6 juta, sedangkan jika studi kelayakan yang baik
dilakukan oleh pemerintah, maka itu hanya akan memakan
biaya satu setengah juta dolar. Kemudian yang Anda harus
lakukan adalah mengundang penawar dan mulai melakukan
penawaran. Hal ini menjadikan prosesnya lebih cepat dan
kemudian pemenang lelang membayar kembali biaya studi
kelayakan – sesederhana itu.
Jadi jika Anda melihat 20 proyek prioritas untuk lima tahun
ke depan, atau gunakan angka apapun yang Anda inginkan,
20 kali 2 juta, itu hanya USD 40 juta bagi lembaga untuk
memulai proses, dan dana tersebut dapat dikembalikan
oleh peserta lelang. Ini telah dilaksanakan di tempat lain
di dunia. Menurut pendapat saya, akan sangat mudah bagi
pemerintah untuk menghasilkan dokumen lelang yang
berkualitas dan studi kelayakan. Spesialis, penasihat teknis,
dan penasihat transaksi dari seluruh dunia tersedia untuk
melakukan pekerjaan ini.
ad hoc, dengan anggaran yang cukup untuk memulai
proses tender. Hal itu berlangsung hingga proses lelang
dan berhenti di situ. Hal tersebut tidak dilakukan oleh
PJPK. Prosesnya harus memberi kesan positif bagi investor,
yang berarti hal tersebut perlu memiliki nilai komersil yang
baik, harus merupakan entitas komersial atau didorong
oleh komersialisme dan bukan oleh mesin birokrasi.
Ini harus dapat mengirimkan pesan yang tepat pada
lingkungan, kepada investor potensial, dan bank serta
pemberi pinjaman. Dan semua unit yang tidak diperlukan
dibubarkan. Ini adalah jalan pintas bagi pemerintah.
Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah
membuat perusahaan infrastruktur terpadu, sehingga kita
membangun satu BUMN yang baik untuk menjadi suatu
perusahaan terpadu yang dapat melakukan investasi di
berbagai konsesi. Misalnya, Jasa Marga. Ini bisa dilakukan –
buat Jasa Marga menjadi korporasi infrastruktur Indonesia
yang dapat menjadi sponsor proyek. Dewasa ini Jasa Marga
hanya melakukan pengoperasian dan pemeliharaan (O&M,
operations and maintenance) untuk jalan tol. Yang saya
lakukan di Nusantara adalah melakukan restrukturisasi
Nusantara dari operator tol yang kecil menjadi suatu
perusahaan terpadu, sebuah investor infrastruktur. Ketika
kami lakukan hal itu pada tahun 2009, harga saham satu
itu hanya sekitar 65 atau 85 rupiah. Setelah tiga tahun
pada tahun 2012, saya pikir itu menjadi sekitar 325. Jadi
Nusantara dari operator tol yang kecil menjadi suatu
perusahaan infrastruktur terpadu dengan delapan anak
perusahaan. Itu lebih stabil dan itu adalah yang diperlukan
Indonesia, suatu perusahaan infrastruktur terpadu dengan
dua tingkatan, sebagai sponsor proyek dan sebagai O&M.
Saya pikir kita memiliki sekelompok pembangun yang baik
di negara ini, dari kontraktor dan pembangun daerah,
yang dimiliki negara, dan internasional. Yang belum kita
miliki dalam jumlah yang memadai adalah sponsor proyek.
Perusahaan O&M pada akhirnya akan ada, jadi bagian yang
paling sulit adalah bagaimana mengundang orang untuk
menjadi sponsor bagi proyek infrastruktur.
Jadi, itu pemikiran saya. Lembaga ini perlu untuk menjadi
non-sektoral, jadi bukan kementerian, ini bukan hal yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
189
190
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
Apakah kerangka kerja regulasi tersedia untuk
melakukan restrukturisasi BUMN yang demikian?
Saya rasa Wijaya Karya telah melakukan konsesi. Mereka
memiliki saham pada konsesi jalan tol Bali dan beberapa
konsesi lainnya. Mereka diminta oleh kementerian BUMN
untuk melakukan investasi. Jasa Marga sudah memiliki bisnis
yang menghasilkan pendapatan dalam bidang bukan jalan
tol, tetapi mereka hanya memperoleh pendapatan yang kecil
dari tanah dan gedung (real estate) dan tempat istirahat
(rest areas) – tetapi ini cuma uang kecil, recehan. Mereka
perlu berpikir lebih besar, mereka perlu diberi mandat oleh
para pemegang saham, yaitu pemerintah, untuk melakukan
sponsor bagi proyek infrastruktur yang besar. Apabila Anda
melakukan strukturisasi perusahaan menjadi sponsor
proyek dua tingkat dan O&M, maka Anda selalu dapat
membagi risiko secara internal dan mendapatkan mandat
laju pengembalian modal (IRR, internal rate of return)
yang diperlukan dari pemegang saham Anda. Saya lakukan
hal itu, sangat mungkin dilakukan. Jadi Anda membagi
risikonya antara O&M dan sponsor proyek dan pendapatan
Anda diperoleh dari perusahaan O&M. Dan pada akhirnya
Anda dapat mengapungkannya ke pasar jika Anda mau. Jadi
saya tidak melihat adanya hambatan bagi BUMN yang besar
untuk menuju ke arah itu. Yang mereka perlukan adalah
kemauan, untuk manajemen melakukan hal tersebut.
Menurut pendapat Anda, seberapa besar peran
yang harus dilakukan oleh investor asing?
Sangat besar – pada KPS – investor asing akan memainkan
peran yang sangat besar dalam (a) pasar modal, dan (b)
sebagai investor yang tepat atau sponsor proyek dalam
proyek KPS. Selera dari penguasa dan pebisnis lokal sangat
kecil, dan sejarah menunjukkan bahwa dalam 10 tahun
terakhir hanya sedikit perusahaan lokal akan bersedia
memainkan peran yang besar dalam infrastruktur yang
besar. Jadi ini benar-benar sangat tergantung pada apa
yang diinginkan investor asing dan pasar modal, tetapi jika
Anda menggabungkan ketiga bidang yang besar – TransJawa, KPS, dan proyek APBN, mungkin semua investor asing
dapat mengisi tidak lebih dari 30 sampai 35 persen dari
Prakarsa Compendium | Jilid 3
keseluruhan anggaran yang diperlukan. Kemudian Anda
memiliki sebagian kecil lainnya dari investor lokal. Ketika
saya mengatakan investor lokal atau investor asing atau
investor internasional, hal itu berarti para pemain dan juga
investor institusional. Terdapat dua tingkatan investasi,
pasar modal dan sponsor proyek langsung – jadi jika itu
merupakan 35 persen dan kemudian pemerintah dewasa ini
juga dapat melakukan sebesar 30 sampai 35 persen maka
pada akhirnya terdapat kesenjangan 30 persen lagi dalam
pembiayaan. Dan akhirnya Anda akan melihat selisih (gap)
30 persen dalam pendanaannya. Dan di sinilah pemerintah
perlu untuk melihat dengan sangat hati-hati, dengan cerdik,
secara pandai tentang peran BUMN. Karena saya rasa orang
Indonesia yang memiliki keinginan untuk terjun dalam
bidang infrastruktur sangat kecil jumlahnya.
Mereka hanya tidak memiliki kapasitas, atau…?
Terdapat 250 juta konsumen di luar sana yang memerlukan
produk konsumen. Jadi untuk masuk ke dalam proyek
infrastruktur 20 atau 30 tahun – bagi bisnis lokal Indonesia,
adalah terlalu besar untuk dilaksanakan saat ini. Produk
konsumen, real estate, bisnis manufaktur, kesemuanya ini
masih dapat diraih. Dalam 10 terakhir kita belum melihat
lebih dari lima perusahaan lokal yang secara serius bekerja
di bidang infrastruktur, dan jika Anda melihat yang disebut
dengan konglomerat – ini tidak lebih dari lima, mungkin
hanya tiga. Jadi sangat penting bagi Indonesia untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi atau
investor institusi atau sponsor proyek mendapatkan rezim
kontrak yang tepat dengan pemerintah.
Saya pikir pemerintah saat ini berada dalam keadaan yang
sangat tidak menguntungkan. Mereka 10 tahun yang lalu
memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan sesuatu
yang signifikan untuk meningkatkan keadaan. Itulah
sebabnya saya memberikan ulasan yang campur-aduk
terhadap MP3EI. Kita mendengar banyak mengenai upacara
peletakan batu pertama. Ini adalah permainan politisi,
politisi senang dengan upacara peletakan batu pertama
dengan helm keselamatan dan sepatu keselamatan yang
Suara dari Sektor Swasta
dipakai – tetapi apa artinya itu semua, tidak ada artinya,
mereka semua mengadakan komitmen untuk melakukan
sesuatu tetapi tidak ada proyek yang nyata, dan tidak ada
satupun yang berupa KPS. Semuanya adalah proyek APBN
dan tidak ada satupun di antaranya yang telah mengundang
investor asing yang sebenarnya untuk infrastruktur.
Ada beberapa investor untuk manufaktur, untuk barang
konsumen, pemerintah meningkatkan kesempatan dalam
bisnis konsumen, mobil, dan yang semacam itu, tetapi
untuk infrastruktur, saya rasa, nol.
Apakah Anda pikir ini akan berubah banyak di bawah
pemerintahan yang baru? Ada indikasi akan terdapat
serangkaian prioritas yang berbeda.
Korea, Filipina. Sebagian besar negara dengan lingkungan
KPS yang matang telah menghadapi sesuatu seperti yang
dihadapi Indonesia saat ini. Tetapi yang menarik adalah apa
yang telah dilakukan di Kanada dan Australia terutama, di
mana Anda memiliki forum beragam pemangku kepentingan
(multi stakeholders) yang dapat menjadi mitra pemerintah
atau PJPK berdasarkan kredibilitasnya dan kemampuannya
untuk menggerakkan investasi dan modal. Suatu forum
pemangku kepentingan atau pusat diperlukan di Indonesia
untuk mewakili baik para pemain, pemangku kepentingan,
maupun pemerintah, untuk benar-benar menjadi katalis
sehingga Indonesia dapat berfokus pada proyek yang tepat
dan terbaik untuk maju ke depan. ●
Ini harus berubah banyak. Tetapi saya pikir hal ini tidak
akan seprogresif dan seagresif yang kita inginkan. Dengan
Jokowi dan Jusuf Kalla, prioritasnya adalah pada kestabilan
bahan pokok, makanan untuk rakyat, dan kesehatan.
Hal itu mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan
mereka di bidang infrastruktur. Jadi akan kerap terjadi
perseteruan atas isu-isu yang paling bernuansa populis di
pemerintah mengenai stabilitas, bahan pokok, pertanian,
dan maritim. Apa yang harus dilakukan adalah pemerintah
perlu untuk menempatkan orang yang tepat yang dapat
menggerakkan agenda pendukung. Jika pemerintah tidak
dapat membangun infrastruktur yang diperlukan, maka
agenda dari para penganut paham populis tidak akan
berhasil, karena Indonesia akan kekurangan konektivitas
dan infrastruktur rantai suplai logistik. Tetapi saya pikir
akan sangat sulit bagi Jokowi dan Jusuf Kalla untuk memiliki
agenda infrastruktur yang tajam.
Saya lihat kita sudah menghabiskan waktu yang
sudah dialokasikan untuk ini – apakah ada hal
lain yang belum sempat Anda sampaikan yang
Anda ingin tambahkan?
Poin terakhir saya adalah bahwa saya pikir sebagian besar
pemangku kepentingan dalam sektor infrastruktur sekarang
menyadari bahwa terdapat suatu kebutuhan mendesak
untuk menangani penyumbatan. Negara-negara lain telah
melalui situasi yang serupa. Australia telah melalui hal ini,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
191
192
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
MENDANAI INFRASTRUKTUR:
PANDANGAN SEKTOR
PERBANKAN
Sarah Darmawan adalah Senior Vice President – Head of Project
Finance di Bank Sumitomo Mitsui Indonesia, dan sebelumnya adalah
Direktur KPMG Indonesia. Dia berpengalaman lebih dari 15 tahun
sebagai praktisi dan konsultan dengan minat khusus pada sektor
infrastruktur dan pemerintah. Kompetensi dan keterlibatannya
meliputi perumusan kebijakan, perencanaan investasi,
pengembangan kasus bisnis dan sebagai penasihat transaksi.
Dia memainkan peran penting dalam penyusunan strategi, penataan
organisasi, sistem dan desain proses yang mencakup juga analisis
ekonomi yang komprehensif untuk klien sektor publik dan swasta
besar di Indonesia. Dia juga terlibat dalam restrukturisasi perusahaan,
refinancing perusahaan dan proyek-proyek penggalangan dana bagi
perusahaan international dan nasional termasuk Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Di sektor publik, sebagai konsultan untuk pemerintah, ia telah terlibat
dalam banyak studi kelayakan, indikator kinerja utama (KPI) dan
manajemen proyek. Di sisi sektor swasta, dia membantu perusahaan
untuk mengembangkan rencana strategi perusahaan, rencana bisnis,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
anggaran dan pengelolaan dana, dan penguatan kelembagaan
melalui pengelolaan keuangan dan kontrak. Beberapa pengalaman
kunci terbarunya meliputi: Lampung PPP, SHIA Rail Link, Mass Rapid
Transit Jakarta meliputi PT MRTJ dan Studi Feeder Bus Jakarta,
Reformasi Keuangan 20 PDAM di bawah PP no 29/2009, Studi
Proyek Esperanza (JICA), Jatiluhur Jakarta Pipeline (Tahap I: Pra
Studi Kelayakan), Asahan Hydro Power, Sumsel 9 & 10 IPP.
PRAKARSA: Apa latar belakang Anda berkecimpung
dalam dunia infrastruktur Indonesia?
SARAH DARMAWAN: Tahun 2009 sewaktu saya masih
bekerja di KPMG Advisory, kami dikontrak IndII sebagai
konsultan keuangan untuk pengerjaan program Pemerintah
Indonesia dalam rangka memajukan PDAM melalui program
insentif Perpres 29 tahap I-III. Pengalaman bekerja dengan
banyak PDAM kabupaten dan kota memberikan kesan
mendalam dan sangat saya nikmati. Kesempatan dan
pengalaman ini menjadi berharga karena sebagai orang
yang lahir, besar dan tinggal di Jakarta, saya dapat melihat
serta berinteraksi secara langsung dengan kehidupan
kebanyakan masyarakat di pelosok Indonesia. Kehidupan,
gaya hidup dan dinamika masyarakat, politik, termasuk
bagaimana interaksi Pemda dengan DPRD di setiap daerah
saling berbeda dan unik. Saya mengetahui hal ini karena
saya bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lain
yang telah saya kunjungi. Selain itu, lingkup pekerjaan tadi
memberikan kesempatan bagi saya untuk mengenal lebih
dalam, mempelajari dan memahami bahwa infrastruktur
adalah kebutuhan dasar dan penting karena merupakan
salah satu faktor yang berperan penting bagi kesejahteraan
masyarakat. Harapan pribadi saya sederhana saja, yaitu,
semoga dengan kemampuan dan peran kecil ini saya dapat
berpartisipasi dalam pembangunan dan memberikan
manfaat untuk orang lain seperti memberikan masukan
untuk pemerintah/masyarakat daerah, agar masyarakat
dapat menikmati air bersih melalui PDAM yang kami bantu
pembuatan perencanaan bisnis atau business plan-nya.
Selain itu saya juga melihat bahwa peluang bisnis pada
pasar sektor infrastuktur, sangat besar. Karena masih
belum menjadi fokus perusahaan-perusahaan konsultan
global saat itu, maka saya mengajukan proposal kepada
manajemen untuk mempertimbangkan sektor infrastuktur
sebagai salah satu pengembangan bisnis di Asia dan
Indonesia khususnya. Keberanian saya mengajukan
proposal ke manajemen didasari fakta bahwa sebagai
perusahaan global KPMG mempunyai divisi khusus
infrastuktur dengan keahlian di berbagai sektor infratruktur
tersebar di seluruh dunia. Keuntungan adanya jaringan
global selain credentials perusahaan yang kuat, saya
dapat berkonsultasi dengan rekan kerja di seluruh dunia
untuk berdiskusi, mencari solusi terbaik yang disesuaikan
dengan kondisi Indonesia. Saya dipercaya untuk mendirikan
dan menjabat sebagai Direktur PT KPMG Infrastructure
Advisory pada tahun 2012.
Saya menyukai infrastruktur karena infrastruktur
memungkinkan saya untuk bisa memberi kontribusi kepada
masyarakat. Dengan membuat feasibility study atau studi
kelayakan, berdialog dengan para pemangku kepentingan,
dapat terjun ke lapangan, dan menjadi bagian dari proses
perencanaan hingga implementasi, hasil pembangunan
infrastruktur sampai ke masyarakat dan dapat langsung
dirasakan manfaatnya. Itu yang membuat saya tertarik
dengan infrastruktur. Pekerjaan saya sebagai Head of
Project Finance Department di SMBC Indonesia semuanya
berhubungan dengan sektor infrastuktur.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
193
194
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Apa yang membuat Anda pindah dari dunia
konsultan ke perbankan?
Alasan pertama adalah saya masih menemukan bahwa tidak
mudah mendapatkan pembiayaan perbankan (mencapai
"financial close") walau saya telah menyelesaikan banyak
pekerjaan sebagai penasihat di bidang infrastruktur. Saat
itu masih tersisa banyak pertanyaan dalam diri saya,
khususnya: mengapa implementasi business plan dan
feasibility study tidak mudah walau sudah direncanakan
dengan baik dan disetujui oleh pemilik proyek?
Semua bisnis, kegiatan dan pekerjaan selalu mengandung
risiko. Para pelaku bisnis sudah menyadari akan adanya
risiko, tetapi saya menemukan adanya perbedaan sudut
pandang dari para pelaku bisnis dan konsultan terhadap
risiko, yang berbeda dengan sudut pandang pihak bank.
Sebagai konsultan, klien mengharapkan konsultan
untuk mengindentifikasi, memberikan masukan tentang
cara mengelola dan cara memitigasi risiko. Kalau kita
bicara infrastuktur dari kaca mata pemilik proyek, maka
penekanannya terletak pada bagaimana cara mendapatkan
keuntungan dengan mengelola risiko yang ada. Biasanya
self assessment dilakukan oleh pemilik dengan meminta
bantuan konsultan luar guna mendapatkan penilaian yang
objektif. Proposal lalu dikirim ke bank untuk diproses agar
mendapatkan pembiayaannya.
Proses dilanjutkan bank dengan menganalisis rencana
pengelolaan risiko dalam proposal pemilik proyek lalu
berlanjut pada proses analisis bank yang menekankan
tentang cara menghitung, meminimalkan risiko dengan
menghilangkan atau menghindari atau mentransfer
risiko ke pihak lain. Proses internal bank ini yang
belum saya dapatkan dan ingin saya pelajari dengan
pengharapan, saya dapat memahami keseluruhan proses
pengadaan infrastruktur.
Kedua, saya pindah karena saya senang dan selalu ingin
belajar. Semakin banyak membaca semakin sadar saya,
bahwa ilmu dan pengetahuan itu tidak terbatas. Saya juga
sangat menikmati pekerjaan saya selama 8 tahun sebagai
dosen Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, karena
dengan mengajar kita juga belajar. Aktivitas menjadi dosen
sejak 2011 saya hentikan dulu karena saya mengalami
kesulitan membagi waktu. Ayah saya juga mengajarkan
dan memotivasi saya agar tidak pernah takut dan mencoba
hal-hal baru. Setiap orang pasti pernah melakukan sesuatu
untuk pertama kalinya, kalau ada rasa takut maka sadari
saja setiap risiko dan hal yang terburuk bisa terjadi selama
melakukan kegiatan baru tersebut. Bila saya merasa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bisa mengatasi hal terburuk dan tahu cara mitigasi risiko
kegiatan baru tersebut then just do it. Jujur, saya menyukai
problem solving, juga strategic thinking yang menantang
dan inovatif. Saya selalu mengalami rasa excitement
setiap kali saya mendapatkan jawaban yang saya cari dan
melaksanakan tantangan yang diberikan. Dengan bekerja
di bank, saya belajar dan mendapat pengalaman mengenai
proses internal bank.
Bisa Anda ceritakan sedikit mengenai proyek
apa yang sedang dilakukan SMBC terkait dengan
infrastruktur Indonesia?
Di Indonesia, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC)
merupakan salah satu project finance bank yang sangat aktif
pada pembiayaan IPP (Independent Power Producer), oil &
gas dan metal & mining. SMBC mempunyai pengalaman di
berbagai jenis pembangkit tenaga listrik yang bersumber
dari batubara, hydro (air), geothermal (panas bumi),
gas, dan wind (angin). SMBC juga merupakan pemegang
14.9% saham IIF (PT Indonesia Infrastructure Finance)
bersama-sama dengan Kemenkeu melalui PT Sarana Multi
Infrastuktur (PT SMI), ADB, IFC, DEG.
SMBC telah mempunyai eksposur yang signifikan untuk
proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia, seperti
untuk sektor perlistrikan antara lain Tanjung Jati B, Tanjung
Jati A, Paiton, Cirebon IPP, Central Java IPP, Wampu Hydro
power, Asahan hydro power, Sarulla Geothermal, Rantau
Dadap Geothermal. Untuk sektor oil & gas antara lain
Donggi Senoro LNG Project, West Java FSRU, PT Pertamina,
PT PGN. Untuk mining antara lain PT Newmont.
SMBC merupakan pemimpin pasar project finance
bank yang menempati posisi 3 besar dunia berdasarkan
Infrastructure Journal and Project Finance Magazine dan
telah mengantongi penghargaan IJGlobal Asia Pacific Bank
of the Year di tahun 2014 untuk kategori lead arranging and
advisory mandate.
Mengapa proyek infrastruktur susah
terlaksana, apakah karena besarnya
jumlah dana yang dibutuhkan?
Untuk menggambarkan tingkat kesulitan, risiko dan
kebutuhan dana untuk pembiayaan, saya berikan gambaran
dengan ilustrasi berikut:
Saat ini bank infrastuktur international besar yang
aktif mampu memberikan lending ticket di kisaran USD
30–250 Juta/Bank/proyek (Rp 360 M–3 triliun), sedang
kapasitas bank lokal berada di kisaran Rp 500 juta–1.5
Triliun/Bank/proyek.
Suara dari Sektor Swasta
Contohnya, satu proyek infrastruktur sektor transpor.
Kereta Api Cepat Bandara Soekarna-Hatta – Halim
memerlukan dana investasi sebesar Rp 28 triliun. Bila
pembiayaan dihitung dalam rupiah maka untuk membiayai
investasi Kereta Api Cepat Bandara Soekarna-Hatta dengan
skema PPP diperlukan partisipasi lebih dari 25 Bank lokal.
Sebagai tambahan informasi, walau proyek ini belum masuk
pada tahap tender apalagi pembangunan, telah terjadi
kenaikan rencana biaya investasi dari Rp 20 triliun pada
saat pertama kali diumumkan tahun 2012 menjadi
Rp 28 triliun pada tahun 2014, hanya disebabkan ketidak
stabilan nilai kurs (risiko kurs).
Keperluan sektor listrik yang telah dituangkan dalam
program percepatan pembangkit tenaga listrik sebesar
35.000MW. Bila 1 MW membutuhkan biaya investasi
rata-rata USD 1 juta/MW maka kebutuhan dana adalah
USD 52.5 Miliar (Rp 630 triliun).
Sejak tahun 2012 membesarnya defisit neraca perdagangan
menyebabkan tekanan terhadap defisit APBN, sehingga
Pemerintah perlu mencari alternatif pembiayaan
yang tidak mengandalkan APBN. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan
kebutuhan pembiayaan infrastruktur melalui APBN dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015–2019 mencapai Rp2.216 triliun, atau 40% dari
total kebutuhan. Pemerintah setidaknya harus mampu
mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur sebesar
Rp 443,2 triliun per tahun agar target pembangunan
infrastruktur dari Kabinet Kerja dapat diwujudkan di akhir
2019 mendatang. Pemerintah juga mengarapkan 60% sisa
kebutuhan berasal dari partisipasi sektor swasta, yaitu
sebesar Rp 655 triliun per tahun.
Apakah proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
atau PPP (Public Private Partnerships) di
Indonesia dianggap berisiko tinggi semua?
PPP merupakan kerjasama antara sektor pemerintah dan
swasta, yang mana pihak-pihak tersebut mengembangkan
produk bersama dan/atau pelayanan yang di dalamnya ada
risiko, biaya dan keuntungan yang dapat dibagi. Salah satu
kunci sukses dari suatu proyek PPP adalah alokasi risiko dan
mitigasi yang tepat.
Alokasi risiko adalah pembagian risiko proyek kerjasama
dengan prinsip dasar bahwa risiko dibagi dan dibebankan
kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko
tersebut. Alokasi risiko merupakan bagian dari langkahlangkah manajemen risiko, yaitu pada tahap analisis risiko.
Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak
Atas perkenan Sarah Darmawan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
195
196
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Pemerintah dan Badan Usaha Swasta berdasarkan prinsip
alokasi risiko. Pihak pemerintah dan swasta sebaiknya
memperhitungkan faktor risiko dalam melaksanakan suatu
proyek PPP agar kerjasama dapat berjalan dengan sukses
dan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Mungkin saya bisa memberi sedikit gambaran tentang
kelemahan pembiayaan projek infrastuktur dari sudut
pandang bank, bagaimana bank melihat risiko proyek
infrastuktur. Karakteristik infrastuktur yang dominan
antara lain, umur proyek kebanyakan berada di kisaran
10–30 tahun, memerlukan modal yang besar, dan biasanya
penghasilan dan sumber pembayaran berasal dari tagihan
kepada pemakai. Saya mengambil satu risiko yang cukup
dominan di projek PPP Indonesia yaitu bagaimana
pelaku pasar melihat risiko politik (political risk) seperti
perubahan regulasi/UU dan arah kebijakan. Contohnya,
sebuah proyek infrastuktur memiliki tenor pinjaman
15 tahun, artinya: (1) selama masa pinjaman akan
ada pergantian kepemimpinan (government elections)
sebanyak 3 kali; (2) kemungkinan terjadinya perubahan
kebijakan menjadi tinggi; (3) ada kemungkinan implikasinya
adalah perjanjian/kontrak PPP yang telah dibuat tidak
sesuai lagi dengan regulasi baru; (4) sehingga perubahan
kebijakan dan peraturan akan berdampak terhadap hak &
kewajiban para pihak yang terikat kontrak; (5) akibatnya
bank bisa mengalami kredit macet/tidak lancar karena
pemberhentian operasi atau keterlambatan penerimaan
pembayaran pinjaman akibat hal-hal tadi. Dst…
Proyek PPP yang mempunyai government guarantee (yang
menjamin risiko politik, risiko gagal bayar, dll) tentu dinilai
berisiko lebih rendah dibandingkan dengan projek PPP yang
non government guarantee. Sektor perbankan menganggap
proyek dengan jaminan pemerintah dapat dimasukkan
sebagai proyek dengan kategori low risk bila Pemerintah
Indonesia dapat memberikan insentif melalui regulasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana projek-projek PPP
dengan guarantee dikategorikan sebagai projek yang
tidak memerlukan pencadangan modal bank, yang artinya
pembiayaan projek PPP sangat menguntungkan bagi bank.
Bagaimana dengan pemberian guarantee?
Peraturan yang melandasi pemberian government guarantee
dan support adalah Peraturan Presiden No.67/2005
tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur. Perubahan peraturan dengan
Peraturan Presiden No.56/2011.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Guarantee biasanya diberikan oleh Pemerintah Pusat
pada projek prioritas, di mana Pemerintah Indonesia
melakukan seleksi dan penentuan proyek-proyek apa saja
yang menjadi prioritas nasional. Pemerintah bersama
pemilik proyek/Government Contracting Agency (GCA)
dibantu oleh konsultan independen menghitung dan
menganalisis bentuk dan besaran jaminan. Selain itu
Pemerintah juga memberikan jalan kepada GCA yang ingin
mendapatkan guarantee dengan mengajukan aplikasi dan
dapat memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
dibuat Pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan praktik kehati-hatian dalam memberikan
kredit, bank tidak bisa menunggu tanpa kepastian dan
menanggung risiko keterlambatan pembayaran pinjaman
bila proyek yang mengantongi government guarantee
telah dinyatakan default oleh Pemerintah Indonesia
akan mengajukan klaim. Government guarantee MOF
(Kementerian Keuangan) biasanya tidak mencantumkan
detail tentang proses klaim. Ada dua jalur yang dapat
ditempuh bank komersial untuk mendapatkan uang klaim
guarantee yaitu melalui Export Credit Agency (ECA) atau
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF).
Saat ini hampir semua ECA mensyaratkan government
guarantee bila perusahaan proyek bermaksud mendapatkan
pinjaman dari ECA. Manfaat ikut sertanya ECA dalam
memberikan pinjaman infrastuktur antara lain adalah: (1)
tenor yang panjang (bisa sampai 25 tahun); (2) biaya bunga
yang murah karena berada di bawah bunga komersial; (3)
memberikan direct lending hingga 60% dari nilai proyek;
(4) memberikan counter guarantee sehingga bila terjadi
default, ECA dapat mencairkan dana talangan klaim bagi
bank komersial, selain itu ECA adalah pihak yang mengurus
klaim guarantee pada Pemerintah Indonesia.
Institusi guarantee milik pemerintah Indonesia adalah
IIGF. Semua pelaku infrastuktur memberikan apresiasi
tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia
dengan pembentukan IIGF. IIGF juga secara aktif
mensosialisasikan produk-produk dan bisnis. Saya
menemukan respon yang baik dari pelaku pasar dan
sektor swasta, hanya saat ini masih ada pertanyaan dari
pihak bank soal kemampuan IIGF dari besaran aset IIGF
sendiri untuk membayar klaim serta tentang kepastian
bahwa jaminan tersebut benar-benar dapat dieksekusi.
Hingga saat ini belum ada kejadian/preseden tentang
bagaimana IIGF bersama MOF melaksanakan proses
Suara dari Sektor Swasta
pembuatan dan penetapan keputusan dari segi waktu,
baik untuk dapat dinyatakan bahwa projek PPP default,
dan preseden pelaksanaan klaim guarantee IIGF setelah
proyek dinyatakan default. Manajement risiko bank sudah
tentu akan melakukan due diligence bahwa guarantee IIGF
benar-benar dapat dieksekusi dan dicairkan sesuai jadwal
(hari) dalam kontrak guarantee. Sebagai masukan, MOF
dapat mengesahkan peraturan cara penetapan default dan
prosedur klaim lintas institusi yang mengatur peran, lama
proses (hari) untuk setiap pihak yang berwenang sehingga
menjamin kepastian hukum dan jadwalnya.
Indonesia telah mempunyai preseden baik di kalangan
international saat MOF melaksanakan kewajiban
pembayaran hutang dan kontrak kepada pihak swasta. MOF
menangani krisis moneter 1998 dengan tetap membayar
semua kewajiban sesuai dengan kontrak seperti proyek
pembangkit tenaga listrik Paiton di mana SMBC merupakan
salah satu bank yang memberi pinjaman ke Paiton.
Menurut saya dengan keterbatasan kapasitas, ada baiknya
alokasi government guarantee diberikan untuk proyekproyek prioritas mega size (proyek miliaran dolar), karena
besar kemungkinan pihak swasta dan bank tidak sanggup
menanggung kerugian finansial bila terjadi default sehingga
meminimalkan dampak sistemik.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk
menjamin, agar risiko yang dibebankan pada sektor
swasta dalam proyek infrastruktur dapat terkelola?
Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan
dan regulasi yang memberi insentif pada dunia usaha
untuk memberikan layanan infrastruktur tersebut.
Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun
tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenaga kerjaan,
perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan
dengan dunia usaha.
Pembagian risiko proyek PPP dibebankan kepada pihak
yang paling mampu; saat ini IIGF sudah mempunyai
prosedur dan matriks pembagian risiko. Pemerintah
telah membuat berbagai regulasi yang diikuti peraturan
pelaksana tetapi karena PPP adalah barang baru, dan
Indonesia sendiri belum berhasil membuat satu era baru
PPP yang sukses, maka pada praktiknya para pelaku masih
sering menghadapi kendala. Untuk ini pemerintah terus
melakukan penyempurnaan pada perangkat institusional,
regulasi PPP, regulasi sektoral dan regulasi lintas sektoral
serta peraturan pelaksanaannya.
Perlu ditingkatkan pemahaman bahwa tidak semua proyek
infrastuktur cocok menggunakan skema PPP serta perlu
dipahami bahwa government guarantee tidak sama dengan
dukungan pemerintah, khususnya pada GCA/Pemda. Saya
menemukan banyak proyek yang secara konsep cukup
menarik tetapi karena Pemda terlalu memaksakan diri dan
terburu-buru dalam meluncurkan proyek PPP-nya, akibatnya
malah berbalik. Hal ini disebabkan karena sektor swasta
yang capable dan mempunyai kapasitas jadi kehilangan
minat, bahkan mundur, bila proyek yang ditawarkan tidak
mempunyai alokasi risiko yang baik dan tidak bankable.
Sektor swasta selain menggunakan modal sendiri, tetap
memerlukan pembiayaan eksternal untuk dapat mendanai
proyek. Untuk itu, selain dinilai economically and financially
viable, proyek yang ditawarkan juga harus dapat diterima
dan menarik bagi sektor keuangan.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kerangka hukum agar sektor infrastruktur
menjadi lebih menarik bagi investasi luar
negeri dan dalam negeri?
Sektor infrastuktur menuntut saya membaca banyak regulasi
lintas sektor, juga mengikuti banyak diskusi mengenai
hal ini. Latar belakang pendidikan saya manajemen, dan
saya bukan ahli dalam bidang hukum, saya hanya dapat
memberikan pandangan berdasarkan apa yang saya
temui di lapangan.
Pemerintah sudah membuat mekanisme pengambilan
keputusan dalam setiap tahapan dalam Peraturan Menteri
Bappenas No. 3 Tahun 2012 mengenai Panduan Umum
Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk
infrastruktur. Yang menjadi pertanyaan saya adalah,
kenapa sampai saat ini walau sudah ada banyak
perubahan dan penerbitan peraturan dan perundangundangan baru, hal ini tetap tidak jalan. Permasalahannya
tidak hanya teknis, kapasitas dan koordinasi, tapi lebih
besar pada krisis kepemimpinan.
Perlu dibuat terobosan hukum yang lex specialist untuk
menjembatani terjadinya tumpang tindih antara peraturan
lintas sektoral dan pemegang mandat. Perlu harmonisasi
peraturan terkait untuk meminimalkan benturan peraturan
perundang-undangan. Negara dengan kepastian hukum
yang baik akan lebih menarik bagi investor karena lebih
memberikan rasa aman bagi investor untuk berinvestasi.
Pemerintah telah menyadari hal ini dengan sudah adanya
beberapa UU yang diterbitkan seperti UU Geothermal, UU
no. 2/2012 tentang pembebasan lahan dsb.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
197
198
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Perlu dipikirkan cara mempersingkat lead time penerbitan
regulasi dari mulai rancangan hingga penerbitan, baik
yang berupa perubahan regulasi maupun regulasi baru.
Karena pada praktiknya lead time masih sangat panjang,
bisa tahunan, sehingga sebelum diterbitkannya timbul
ambiguity dalam interpretasi dan implementasi. Bila perlu,
dibuat SOP lintas institusi/departemen yang disahkan oleh
lembaga tinggi yang berwenang.
Apakah kesenjangan jangka waktu antara utang
dan aset dapat menimbulkan kesulitan bagi sektor
keuangan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan
proyek jangka panjang? Apa yang dapat dilakukan
untuk mengatasi keadaan tersebut?
Ketidakcocokan antara asset dan liabilities merupakan
masalah klasik pembiayaan infrastuktur. Di India saat ini
proyek PPP dapat dibiayai sebagian besar oleh perbankan
lokal. MOF dan OJK telah sangat aktif menghimbau
peranan bank lokal, bank international dan pasar
modal untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek
infratruktur. Pembiayaan infrastruktur idealnya dibiayai
dengan pinjaman bertenor panjang (>10 tahun) dengan
bunga pinjaman satu digit. Pemerintah Indonesia telah
membuat banyak terobosan kebijakan fiskal dalam
upaya memberdayakan sektor swasta untuk percepatan
pembangunan infrastruktur. Untuk membuat sektor
keuangan Indonesia dan international lebih berperan
aktif, Pemerintah Indonesia juga perlu menyentuh
kebijakan moneter guna mendorong realisasi pembiayaan
proyek infrastruktur PPP.
Sebagian besar pemasukan sektor perbankan Indonesia
berasal dari dana masyarakat yang ditempatkan dalam
tabungan dan deposito berjangka antara 3 bulan–1
tahun. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya
Pemerintah dapat memberikan insentif melalui regulasi
OJK, di mana government guarantee untuk proyek-proyek
PPP dikategorikan sebagai proyek yang tidak memerlukan
pencadangan modal bank sehingga pembiayaan proyek
PPP aman, sangat menguntungkan bagi bank dan berisiko
rendah. Selain itu perlu diikuti dengan kelonggaran dari
regulasi perbankan, antara lain aturan yang mengatur
concentration risk, LLL (Legal Lending Limit) untuk debitor
pelaku infrasruktur, dsb.
Dari sisi pemasukan bank lokal, hal ini bisa dilakukan
dengan penambahan equity dengan suntikan modal bank
dari pemangku kepentingan, menerbitkan right issues dan
Medium Term Note (MTN), menerbitkan obligasi dengan
underlying credit assets yang ada.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Peran BI sebagai regulator dan eksekutor dalam rangka
mendukung terciptanya pasar keuangan yang luas dan sehat
dengan tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik
menjadi penting dalam realisasi pembiayaan infrastruktur.
Dukungan ini dilakukan antara lain melalui aktivitas lindung
nilai bank dengan Bank Indonesia untuk memitigasi risiko
pergerakan nilai tukar rupiah. Bank sangat memerlukan
pihak-pihak hedge counter yang dapat memberikan tingkat
bunga tetap dan currency swap jangka panjang dengan biaya
yang kompetitif. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/
PBI/2013 tanggal 24 Desember 2013 tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada bank dapat mengakomodasikan
keperluan swap (tukar), karena didasarkan pada transaksi
mendasar yang dimiliki oleh bank atau nasabah. Transaksi
mendasar yang dimiliki nasabah meliputi transaksi swap
jual antara bank dengan nasabah yang terkait dengan
lindung nilai atas: Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk
perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang, Investasi
Langsung, Devisa Hasil Ekspor, investasi pada infrastruktur
pembangunan sarana umum dan produksi, investasi pada
surat berharga yang diterbitkan Pemerintah Republik
Indonesia, dan/atau investasi pada kegiatan ekonomi
lainnya, hanya saja lama tenor swap yang ditawarkan BI
maximal 3 tahun, untuk itu diperlukan dukungan BI untuk
dapat mempertimbangkan perpanjangan tenor. Meninjau
kembali ke ilustrasi tentang Proyek Kereta Api Cepat
Bandara, di mana risiko kurs tinggi, hal ini dapat dimitigasi
dengan peran BI sebagai swap agent.
Dari sisi pasar modal Indonesia, dana pensiun dan asuransi
merupakan investor yang ideal karena mereka perlu
menempatkan dana pada instrumen jangka panjang dengan
minimum rating IdA+ sesuai dengan kewajiban jangka
panjang mereka. Pemerintah dapat memberikan credit
enhancement, insentif pajak seperti pembebasan atau
keringanan pajak penghasilan dan memikirkan ring fencing
dari kepastian pembayarannya.
Apakah pasar modal dapat lebih berperan
dalam pembiayaan infrastruktur?
Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar,
untuk itu kita perlu mencari langkah-langkah meningkatkan
investasi swasta, serta menggali potensi pendanaan
alternatif lainnya yang dapat didorong oleh pemerintah
di luar skema pendanaan APBN dan APBD konvensional.
Sebagai contoh dari pendanaan pemerintah di luar skema
APBN konvensional adalah penerbitan surat berharga
berbasis aset (asset backed securities) yang diterbitkan atau
dijamin oleh pemerintah, sehingga dapat memanfaatkan
pasar surat hutang (debt capital market). Skema kontraktor
Suara dari Sektor Swasta
seperti modified turnkey atau performance based annuity
scheme (PBAS), di mana untuk PBAS pembayaran akan
dilakukan pemerintah secara bertahap dalam jangka
menengah maupun panjang, dengan berbasis kinerja
sehingga terjamin aspek perawatan dan pemeliharaannya
dari kontraktor. Selain itu, UU Transportasi juga
membuka peluang adanya Road Fund yang dapat
dimanfaatkan untuk skema pendanaan infrastruktur jalan,
bahkan yang bersifat non-tol.
Saat ini saya sedang mengerjakan kajian memberdayakan
dana melalui pasar modal seperti dana pensiun dan
asuransi untuk ditempatkan pada instrumen pasar
modal melalui peran serta perbankan dalam pembiayaan
infrastruktur daerah, karena tidak semua pembangunan
proyek
infrastuktur
dapat
menggunakan
skema
kerjasama PPP ataupun layak mendapat pinjaman bank.
PPP dan pembiayaan melalui pinjaman bank, obligasi
berbasis proyek, cocok untuk proyek infrastruktur yang
menghasilkan keuntungan yang cukup dan memenuhi
syarat perbankan. Sedangkan proyek infrastuktur yang
tidak menghasilkan keuntungan seperti perbaikan jalan
kabupaten, perbaikan pasar, dan lain-lain juga diperlukan
untuk menunjang ekonomi daerah. Untuk itu perlu dicarikan
alternatif pembiayaan lain.
mungkin mengacu pada karakteristik, kerangka hukum yang
ada. Dengan skema sistem structure finance pembiayaan
infrastuktur melalui penerbitan efek diharapkan dapat
menjembatani masalah tersebut.
Kajian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
informasi, referensi dan masukan yang bermanfaat bagi
pembuat kebijakan dan pelaku pasar dalam menjawab
tantangan untuk mencari sumber pendanaan alternatif yang
dapat langsung diimplementasikan karena menggunakan
peraturan dan perangkat yang sudah ada. ●
Saat ini belum ada alternatif pembiayaan untuk proyek
infrastruktur penunjang ekonomi daerah di mana proyek
dapat memberikan manfaat ekonomis tetapi tidak selalu
dapat menghasilkan keuntungan sehingga di mata sektor
swasta dan kreditor tidak dapat bertahan secara finansial
dan tidak bankable. Kajian dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan pembiayaan infrastuktur daerah yang dapat
mengurangi ketergantungan pembiayaan infrastruktur
daerah terhadap APBN. Hal ini dilakukan dengan mencari
alternatif sumber pendanaan pemerintah yang terjangkau
dengan tujuan mempercepat pembangunan infrastruktur
daerah sekaligus membantu Pemda dalam memperbaiki
efisiensi pembelanjaan modal, di mana pelaksanaannya
dilakukan dengan memaksimalkan peran institusi
pemerintah yang mempunyai mandat sebagai pelaksana
penyaluran pinjaman daerah yang ditunjuk Kementerian
Keuangan untuk pembiayaan proyek infrastruktur daerah.
Skema dirancang dengan mengembangkan sistem
pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan efek dengan
melakukan proses sekuritisasi yang diserahkan kepada
suatu wahana yang disebut Special Purpose Vehicle (SPV).
Agar dapat segera diimplementasikan dan dapat diterapkan
pada kondisi pasar saat ini, maka penelitian sedapat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
199
200
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
UKURAN MEMANG PENTING,
DAN DEMIKIAN JUGA
PENGAWASAN: MENYAJIKAN
KUALITAS DALAM KONSTRUKSI
JALAN DI INDONESIA
Alpino ("Pino") Iskandar adalah CEO dari PT Conbloc Infratecno,
perusahaan yang ikut didirikannya pada tahun 1974. Perusahaan ini
dimulai sebagai sebuah pabrik paving blok beton, dan telah tumbuh
menjadi kelompok usaha dalam bidang usaha konstruksi jalan,
kontrak pertambangan, dan manufaktur bahan bangunan.
Perusahaan ini merupakan kontraktor besar di bidang infrastruktur
jalan yang dikenal dengan pendekatan yang terus berinovasi,
pemanfaatan teknologi, peralatan dan bahan-bahan baru; dan
perintis di bidang teknologi pengaspalan daur ulang yang ramah
lingkungan. Pino lulus dari University of New South Wales dengan
gelar di bidang Teknik Industri pada tahun 1973.
PRAKARSA: Mudah-mudahan dalam wawancara hari
ini kita dapat bicara tentang masalah apa saja yang
menurut Anda paling kritis yang Anda hadapi, dan
merangkum apa yang Anda rasakan tentang keadaan
sektor jalan. Sangat penting untuk berbicara tentang
peran Anda dibandingkan dengan Badan Usaha Milik
Pemerintah (BUMN), tentang bagaimana Pemerintah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
melakukan pengadaan kontrak, dan terutama
kesulitan-kesulitan yang muncul akibat skala kontrak
yang sangat kecil. Sebagai suara dari sektor swasta,
bagaimana Anda menyampaikan pesan mengenai
hal-hal tersebut? Apakah para pembuat keputusan
di Pemerintahan secara penuh memahami mengapa
ada keprihatinan?
Suara dari Sektor Swasta
ALPINO ISKANDAR: Sebagai kontraktor swasta di negara
ini, kami sudah berkecimpung di bidang ini selama sekitar
tiga puluh tahun. Dan industri ini, dalam pandangan kami,
merupakan salah satu industri terburuk bagi siapa pun yang
terlibat. Jika Anda melihat industri-industri lain, seperti ritel,
telekomunikasi, hotel dan pariwisata − semuanya mencatat
pertumbuhan yang sangat berkelanjutan, walaupun ada
beberapa pengecualian.
Tapi selama ini industri infrastruktur boleh dikatakan
telah "diabaikan", menurut pendapat kami, sebagai
akibat dari kebijakan pengadaan yang kurang tepat yang
dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam masa Pemerintahan Suharto, mereka memiliki
Keppres 80 [Keputusan Presiden yang mengeluarkan
peraturan pengadaan Pemerintah]. Peraturan tersebut
menyatakan bahwa kontrak di bawah nilai tertentu harus
diberikan kepada kontraktor kecil, perusahaan-perusahaan
kecil. Hal ini menciptakan puluhan ribu kontraktor, dan
kebiasaan itu sampai sekarang masih ada.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di negaranegara maju seperti Australia dan Malaysia. Di Australia,
mereka memiliki Pioneer Road Services, EMOLEUM
[Esso]; yang hanya melayani aspal dan emulsi. Di sana
ada perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri
hanya dalam stabilisasi.
Tentu saja ada kontraktor umum, seperti Leighton, tetapi di
sana terdapat banyak spesialis. Di negeri ini, hampir tidak
ada spesialis; semua perusahaan adalah kontraktor umum.
Dan akibatnya sangat sulit bagi para kontraktor kecil untuk
mengembangkan skala, kemampuan personil, peralatan dan
teknologi, serta mengembangkan Riset & Pengembangan.
Mengapa Pemerintah tidak mengidentifikasi hal itu
sebagai suatu masalah?
Ketika pekerjaan didistribusikan, pada skala yang lebih
kecil, maka semuanya dikelola sesuai dengan ukuran.
Sehingga lebih mudah bagi mereka, tidak harus
menghadapi halangan proses pengadaan?
Itu membuat mereka senang. Tapi tentu saja jalan yang
dibuat tidak akan bertahan lama.
Apakah itu membuat mereka senang juga?
Ya. Jadi, masalah utamanya adalah: siapa yang akan
dibesarkan oleh Pemerintah sebagai kontraktor? Karena
jika Anda melihat industri lain, seperti minyak bumi dan
gas, Pemerintah telah menumbuhkan sejumlah pemain
domestik menjadi pemain kelas internasional. Perusahaanperusahaan seperti Medco, seperti IKPP, seperti Tripatra
Atas perkenan Carol Walker
– mereka mampu untuk memenuhi tuntutan industri.
Mereka melayani Chevron, mereka melayani Total –
mereka berkembang jadi perusahaan-perusahaan yang
benar-benar profesional.
Nah, di masa lalu kami memiliki kesempatan itu. Ada Hyundai
yang membangun jalan tol Jagorawi, yang merupakan jalan
tol pertama dan terbaik yang pernah dibangun di negeri ini.
Dan ada juga Takenaka yang bekerja sama dengan Hutama
Karya dalam membangun jalan Tangerang-Tomang. Tapi
setelah itu, tidak ada lagi transfer teknologi. Jika kita melihat
bagaimana industri-industri lain berkembang dalam hal
kompetensi, prosesnya terjadi melalui pemain asing. Jika
Prakarsa Compendium | Jilid 3
201
202
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
kita melihat industri hotel di Bali, industri ini didominasi
asing; jika kita melihat industri ritel, kita memiliki pemain
seperti SOGO, Debenhams…mereka semua pemain asing.
Demikian juga halnya dengan bank. Jadi kita memiliki
patokan internasional, untuk meningkatkan industri sampai
pada tingkat standar internasional.
Dalam industri jalan di sini, kami kehilangan kesempatan.
Kami mengirimkan kontraktor ke Malaysia pada 1980an
untuk membangun jalan raya, dan pada waktu itu, mereka
belajar dari kami setelah kami membangun Jalan Raya
Cawang-Priok, dengan konstruksi layang. Tapi setelah itu,
kami mengalami stagnasi dan mereka tinggal landas.
Tapi, apakah ada batasan regulasi tentang
keterlibatan kontraktor dan pemodal asing?
Sebetulnya tidak. Tetapi kami berbicara dengan mereka,
orang-orang seperti Thiess. Dan saya bertanya mengapa
mereka tidak masuk ke infrastruktur di sini? Karena
pertama-tama, bidang itu didominasi oleh BUMN, dan
mereka berkata, "Kami tidak mengenal permainan itu,
kami tidak tahu lansekap-nya, dan lapangan bermainnya
kelihatan eksklusif." Semacam lingkaran tertutup, seperti
Freeport dan Newmont dan Tangguh, yang tertutup
untuk kontraktor asing.
Sebuah permasalahan yang jelas adalah bahwa
kontraktor BUMN mendapatkan banyak proyek
besar. Mereka mungkin tidak diwajibkan tunduk
pada kompetisi atau tekanan kompetitif yang
sama dengan yang dihadapi oleh para pemain
sektor swasta. Di sektor swasta, peluang yang
ada dicincang menjadi sangat kecil, dan sangat
sulit bagi perusahaan seperti Conbloc untuk
mengkonsolidasikan diri dan menjadi persaing yang
efektif bagi BUMN.
Dan kemudian ada pertanyaan mengenai skala
besar pekerjaan yang harus dilakukan. Anda akan
dihadapkan pada pertanyaan ini dalam hal jalan tol
Trans-Sumatera: 6,000km jalan tol baru diperlukan.
Ditambah pekerjaan upgrade sebanyak 12,000km
pada bagian lain dari jaringan. Sebuah tugas yang
sungguh sangat besar. Bagaimana kita membangun
kapasitas untuk mengemban tugas itu? Haruskah
kita melibatkan kontraktor asing dan pemodal asing
untuk membantu mengembangkan program? Apa
artinya hal ini bagi pasar sektor swasta dan BUMN?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Seperti yang telah Anda perhatikan, ada kantongkantong peluang ekonomi yang telah mendorong
sektor swasta dan BUMN untuk bersaing secara
efektif dan menjadi perusahaan-perusahaan
dengan kualitas yang sangat tinggi, efisien dan
efektif dalam bidang telekomunikasi, sektor
penerbangan, ritel, dan perbankan. Tapi, karena
beberapa alasan, hal seperti ini belum terjadi
dalam bidang pekerjaan umum.
Mari kita bandingkan saja beberapa industri − mungkin
sektor yang mendekati, seperti pertambangan. Cara
mereka beroperasi di Adaro, di KPC [PT Kaltim Prima
Coal], di Freeport, di Newmont, membuat Anda merasa
aman, karena ketika Anda pertama kali mendatangi lokasi
mereka, Anda duduk untuk mendapatkan induksi, selama
setengah jam. Semuanya mengenai keselamatan, dan
mekanisme keamanan seperti di Australia. Semuanya –
bahkan sarapan pagi, kamp, kendaraan, keselamatan,
prosedur, persyaratan kerja, KPI [indikator kinerja utama] –
semuanya dilakukan secara sama, benar-benar ala Australia.
Jadi di sini ada praktik standar dunia, yang dilakukan di
Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Australia, dan
karyawan-karyawannya orang Indonesia. Ketika saya
bekerja di Newmont, Nusa Tenggara, sarapan pagi selesai
pada pukul 05:45. Pukul 6 pagi, semua orang sudah
berada di lokasi kerja.
Mungkin Pemerintah tidak bermaksud untuk membawa
standar internasional ke industri tersebut, tapi itulah yang
terjadi. Anda tahu bahwa pertambangan dan infrastruktur
sangatlah mirip; kita berbicara tentang peralatan yang
terbaik, praktik kelas dunia, orang-orang yang terbaik,
Litbang. Dalam infrastruktur, para operator, ahli mesin,
metode kerja, dan segalanya − tidak dilakukan.
Jadi, bagaimana Anda bergerak ke arah situasi
tersebut – memenuhi standar kelas dunia?
Kontraktor BUMN sangat makmur − saya tidak tahu apakah
semua orang setuju – tetapi mereka memang mendapat
pekerjaan yang berlimpah. Mereka sangat sibuk.
Jadi mereka tidak memerlukan pekerjaan jalan,
karena mereka memiliki banyak kontrak lain?
Ya, saya sudah bertanya, "Berapa banyak pekerjaan jalan
yang Anda kerjakan dalam seluruh portofolio Anda?" Dan
mereka menjawab, "Kami tidak memperoleh keuntungan
[dari proyek jalan] dan proyek-proyek tersebut kecil dan
kurang penting, kami tidak benar-benar mempedulikan
Suara dari Sektor Swasta
proyek-proyek tersebut. Kami harus memberi keuntungan
bagi para pemegang saham kami; misi kami bukanlah
membangun jalan. Jika Pemerintah memutuskan untuk
memotong kue tersebut menjadi potongan-potongan kecil
untuk diberikan kepada para pemain kecil, itu masalah
mereka, itu bukan urusan kami."
Negara-negara lain menanggapi pertanyaan
ini dengan bergerak menuju PPP [Public Private
Partnerships]. Jika ada tender proyek PPP
internasional dengan KPI yang mencakup semua
pertimbangan keamanan, semua standar kualitas
yang tinggi terkait kinerja, pelaporan sistem
manajemen, pencegahan kecelakaan dan semua
hal-hal sejenis itu – maka para pemodal asinglah
yang memastikan bahwa kontraktor memberikan
kualitas tersebut, kalau tidak mereka tidak akan
mendapatkan uang mereka kembali. Apakah itu
cara yang harus ditempuh?
Ya. Saya mengetahui satu pekerjaan tertentu, yang didanai
oleh JICA di Timor Leste. Jalan sepanjang 50km, dan
perkiraan biayanya oleh pemilik proyek tersebut adalah
tujuh puluh lima juta dolar. Nah, di negara kita, tidak
ada paket pekerjaan jalan yang mempunyai anggaran
mendekati nilai tujuh puluh lima juta dolar. Paket yang
terbaik dan terbesar dengan standar di negara ini adalah
sekitar lima puluh juta dollar. Di Timor Leste, 75 juta
dolar untuk lima puluh kilometer jalan. Pemain-pemain
internasional ada di sana. Mengapa kita tidak membuat
paket-paket yang lebih besar?
Setuju. Ada dua cara untuk mengelola kontrakkontrak berukuran lebih besar. Salah satunya
adalah melepaskan diri dari tradisi, mendirikan
sebuah organisasi di dalam atau di luar
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang dapat
menyelenggarakan tender internasional bagi
pemasok di luar PU. Cara lain, dan ini adalah yang
telah dan sedang dipikirkan Pemerintah baru-baru
ini, adalah dengan menggunakan BUMN untuk
mengelola proses itu − katakanlah, Hutama Karya.
Apa pendapat Anda tentang pendekatan itu?
Apakah dapat berjalan baik?
Ada perbedaan besar antara apa yang kami lakukan dan apa
yang dilakukan BUMN. Para BUMN merupakan kontraktor
umum. Beberapa dari mereka memang mengkhususkan diri
dalam hal-hal tertentu, dan mereka sangat baik dalam hal
kualitas. Tapi selain itu, BUMN-BUMN ini, mereka cenderung
hanya melakukan outsourcing, dan beberapa perusahaanperusahaan outsourcing yang ditunjuk merupakan
perusahaan kecil, beberapa dari mereka berukuran sedang.
Tapi – kami mencoba beberapa kali menjadi subkontraktor
dengan BUMN, dan itu tidak mudah, baik dalam hal
pembayaran, proses birokrasi dan sebagainya.
Namun di sisi lain, jika Pemerintah berusaha untuk
menciptakan infrastruktur…dan mereka dapat membuat
paket-paket untuk pelabuhan, bandara, jalan tol TransSumatera − siapa yang tahu pihak mana yang mengajukan
tawaran? Pemain internasional dapat mengajukan tawaran,
dan kemudian orang dapat membentuk konsorsium
bersama: BUMN dengan asing, atau orang asing dengan
pihak-pihak seperti kami.
Dalam perdebatan tentang hal ini, Anda hanya
akan mendengar Pemerintah bicara, Anda tidak
mendengar apa-apa dari sektor swasta. Ada
kekhawatiran bahwa sektor swasta sangat sinis
terhadap Pemerintahan di sini, tentang masalah
korupsi, proses pengadaan dan transparansinya.
Bagaimana mungkin Pemerintah, jika akan
menyelenggarakan tender-tender internasional
untuk paket-paket pengerjaan seperti ini, bisa
meyakinkan pasar internasional bahwa sudah
terjadi perubahan-perubahan? Bahwa tersedia
peluang jangka panjang, bahwa Anda dapat
mempercayai Pemerintah, Anda tahu bahwa
Anda akan dibayar? Hal-hal apa yang perlu
diatasi untuk menciptakan situasi itu?
Tidak sulit. Sekali lagi, mari kita lihat industri-industri lain,
misalnya industri perbankan. Industri perbankan kita saat
ini adalah salah satu dari yang paling sehat di wilayah ini.
Dan Bank Indonesia sebagai bank sentral, dan sebelumnya
sebagai regulator perbankan, sangatlah baik. Tapi sekarang
kita memiliki OJK [Otoritas Jasa Keuangan] sebagai
lembaga pengawas jasa keuangan yang independen,
yang sangat keras, ketat, dapat diandalkan, dan kredibel.
Organisasi ini sangat profesional − mereka dibayar
dengan gaji yang bahkan lebih tinggi daripada pegawaipegawai BI. Dan ini adalah pertanda yang baik. Jadi, halhal ini dapat dilakukan. Pemerintah dapat menciptakan
lembaga yang memiliki mandat untuk mengundang
tender internasional. Ukurannya tidak bisa hanya sekadar
sepuluh juta dolar; ukurannya bisa seratus juta, atau dua
ratus juta dolar. Anda memanggil semua orang itu kemari,
dan Anda terlibat dengan para Baker McKenzies dunia,
Anda melibatkan Standard Chartered untuk mendukung
keuangannya – Anda menciptakan sebuah lapangan
bermain yang sepenuhnya baru.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
203
204
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
Tapi apakah itu mengharuskan lembaga khusus
tersebut melepaskan diri dari situasi yang ada?
Menurut pendapat saya, ya. Dengan Pemerintah
sebelumnya, bahkan tidak ada niat untuk melakukannya.
Anda membutuhkan seseorang dari Pemerintahan Jokowi
untuk mengkoordinasikan, untuk memecah dinding.
Hal ini jelas berlaku untuk program-program yang
lebih besar, program jalan bebas hambatan dalam
jalan tol nasional, hal semacam itu. Sementara
itu, ribuan kilometer jalan arteri dan jalan subnasional perlu ditingkatkan. Bagaimana hal ini
dapat secara lebih efektif dilaksanakan?
Bagaimana kita bisa menghentikan kebiasaan
memecah-mecah kontraktor menjadi begitu
kecil untuk proyek-proyek seperti itu?
Ada berbagai macam konsep. Salah satunya adalah
kontrak
pemeliharaan
seluas
daerah
[area-wide
maintenance contract]. Ambil saja sebagai contoh salah
satu kawasan industri tempat saya pernah bekerja. Saya
sangat terkejut, karena mereka meminta saya untuk
melakukan pembuatan ulang jalan. Dan kemudian saya
membongkar [jalan] untuk mengetahui apa yang dibangun
di bawahnya, karena saya ingin mendaur ulang bahannya.
Jalan itu dibangun dengan sangat buruk. Padahal ini adalah
kawasan industri milik Jepang dan ketika Anda berkeliling
di lokasi tersebut, Anda merasa tidak berada di Jakarta,
Anda berada di Yokohama. Kecuali jalannya.
Jadi, apa yang ingin saya lakukan adalah, mengusulkan
kontrak pemeliharaan seluas daerah, tiga sampai lima
tahun, dengan tarif satuan, karena, pada saat ini, kita
berbicara tentang PBC [Performance-Based Contracting/
Kontrak Berbasis Kinerja]. PBC adalah transfer risiko, Anda
mentransfer risiko dari Pemerintah kepada sektor swasta.
Dan sektor swasta, orang-orang seperti kami, belum siap.
Dibutuhkan waktu untuk menjadi siap. Dan jika kita lakukan
PBC, kita harus melakukan penilaian lengkap atas jalannya:
memeriksa begitu banyak lubang uji. Karena ketika kita
mengambil apa pun di sini, kami menemukan bahan-bahan
yang sangat buruk. Jadi sebagai kompromi yang baik, kita
bisa melakukan kontrak harga satuan untuk beberapa
tahun − mendesain ulang drainase, merehabilitasi titiktitik lemah, membuang semua materi buruk di keseluruhan
area, katakanlah untuk satu wilayah estat keseluruhan
di Kelapa Gading atau Bumi Serpong Damai. Kemudian
Anda dapat menempatkan sumber daya Anda di sana –
menempatkan instalasi di sana, peralatan Anda di sana
dan orang-orang di sana, dan kontraktor akan mampu
melayani dan memelihara keseluruhan wilayah. Ini lebih
Prakarsa Compendium | Jilid 3
baik daripada ada satu kontraktor untuk Rp 5 miliar di sini,
Rp10 miliar di sana, dan kemudian enam bulan kemudian,
semuanya akan rusak.
Maka, ini adalah bidang di mana saya pikir kontrak
pemeliharaan seluas daerah merupakan konsep yang
baik. Hal ini dapat dengan mudah diterapkan dan tidak
harus selama sepuluh tahun, bisa tiga sampai lima tahun,
tergantung pada kinerja kontraktor. Dan kontraktor
tersebut akan memiliki kesinambungan kerja, yang
merupakan sesuatu yang baik. Dan pengguna jalan akan
mendapatkan manfaat.
Memang benar bahwa Bina Marga telah mengambil
beberapa langkah menuju kontrak berbasis kinerja,
tetapi mereka mungkin tidak mengelolanya dengan
baik. Apakah kiatnya terletak pada pada membujuk
mereka untuk melanjutkan eksperimen ini, atau
menciptakan beberapa proyek demonstrasi tentang
bagaimana seharusnya hal ini dilakukan, dan setelah
berhasil, membujuk mereka untuk mengadopsinya
secara lebih luas?
Tapi dari pertukaran pengalaman dan ide yang berlangsung
sangat transparan dalam pertemuan IRF di Bali pada
bulan November 2014, para pemain PBC – Adhi Karya,
Waskita Karya, dan bahkan Hutama Karya − semua pihak
tidak siap dalam hal ukuran paket, dalam hal rekayasa
teknik [engineering], karena engineering membawa risiko
dan Anda harus melakukan banyak investigasi. Juga,
keterampilan rekayasa teknik kontraktor mungkin belum
ada. Jika Anda tidak mengetahui [kapasitas] rekayasa teknik
Anda, Anda tidak akan mengetahui keunggulan-keunggulan
Anda, Anda tidak tahu iklim dan kondisi, dan jika Anda
belum pernah melakukan hal ini, maka risiko tentang halhal yang bisa terjadi pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 bisa
sangat besar, apalagi pada tahun ke-10.
Dan pemodal Anda juga tidak akan tertarik
akan hal itu.
Ya, dan kemudian secara finansial hal itu bisa
menghancurkan Anda pada tahun ke-7, karena Anda tahu
jalan bisa ambruk. Jadi "PBC 101" di sini tidaklah begitu
mengesankan. Sekarang ketika kita menuju ke "PBC 201",
hal ini sangat menakutkan. Karena jumlah investigasi yang
harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
seperti kami, akan memakan waktu, setidaknya dua
sampai tiga bulan. Dan untuk memastikan bahwa kami bisa
mengetahui apa yang akan kami kerjakan, banyak sekali
pekerjaan yang harus dilakukan.
Suara dari Sektor Swasta
Sebuah proyek konstruksi jalan PT Conbloc Infratecno di Flores
Atas perkenan Pino Iskandar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
205
206
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
Katakanlah, kita tahu apa yang ada di dalamnya, apa yang
ada di bawah jalan. Dan kita harus memprediksi volume
lalu lintas, lalu lintasnya sendiri dan kinerjanya, dan
kemudian kita harus memprediksi cuaca, tanah longsor, dan
sebagainya. Jadi, semua risiko di PBC ini ditransfer. Semua
transfer risiko ini membuatnya menjadi sangat berisiko.
Jika Anda melihat model Malaysia, skemanya lebih
mirip pemeliharaan seluas wilayah; kontraktor dipilih
karena mereka dapat diandalkan, karena mereka telah
membuktikan, karena mereka benar-benar memberi hasil
baik, dan semuanya terlaksanakan.
Tahukah Anda, model [awal] PBC di Indonesia sejauh
ini belum berhasil, dan sekarang mereka sedang
membicarakan tentang PBC yang sesungguhnya dengan
banyak rehabilitasi; ini sangat berisiko dan menurut
pendapat saya, mungkin gagal.
Hal ini muncul karena Pemerintah tidak berbicara
kepada pasar tentang apa yang realistis dan apa
yang tidak, apa yang diharapkan dan apa yang
tidak, dan risiko apa yang dapat Anda kelola. Mereka
tampaknya mengolah skema ini secara terpisah dari
pemahaman pasar. Mengapa demikian?
Karena Pemerintah belum menjalankan dialog yang
memadai dengan para pemain. Mungkin ada beberapa
diskusi, tetapi mereka tidak melibatkan sektor swasta.
Masalahnya, ada seratus dua puluh ribu perusahaan di
Indonesia. Hanya satu persen berskala besar, 12 persen
sedang, dan sisanya adalah perusahaan skala kecil,
jadi inilah yang menjadi fokus perhatian Pemerintah –
mendukung perusahaan-perusahaan kecil tersebut.
Tapi masalahnya bukan hanya soal volume,
melainkan juga soal sikap – sikap peduli
terhadap kualitas dan tekad keras untuk
mempunyai kinerja baik. Mengapa para
manajer proyek tidak peduli akan hal ini?
Dapatkah pengelolaan kontrak diperkuat?
Saya telah melihat setiap contoh ekstrim. Di sektor swasta,
kami mendapatkan pekerjaan karena reputasi kami. Dan
sangat sering harga kami lebih tinggi daripada para pesaing
karena kami memberikan kualitas yang lebih baik. Dan pada
saat yang sama, kami dengan sadar mencoba untuk menjadi
lebih baik dari pesaing-pesaing lainnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kedua, di sektor swasta, kami sekarang ini tengah bekerja
dalam sebuah perusahaan − saya tidak bisa menyebutkan
nama. Pekerjaan ini dirancang dan diawasi oleh konsultan
asal Inggris yang sangat ketat dan menjalankan kegiatan
sesuai aturan, dan semuanya akan dirujuk ke spesifikasi.
Mereka bertindak seolah-olah kita sedang bekerja di
Inggris. Saya belum pernah punya pengalaman seperti itu.
Hal ini sangat sulit tetapi kami bertahan. Kualitas yang kami
hasilkan sulit dipercaya. Karena segala sesuatunya harus
diuji, diuji dan diuji, sesuai dengan spesifikasi.
Di Bina Marga, yang paling ketat adalah pekerjaan yang
didanai Australia. Kami memutuskan sejak awal untuk
bekerja sama dengan itu karena kami ingin memberikan
yang sebaik itu, jadi kami memilih pola pikir itu.
Apakah ada pengawasan atau tidak, kami tidak memiliki
standar ganda dalam perusahaan saya. Hal ini sulit ketika
Anda tahu tidak ada pengawas di sana, atau para pengawas
tidak tahu. Namun, secara keseluruhan, kami berusaha
untuk mempertahankan standar tunggal.
Ini adalah hal-hal yang diharapkan untuk menjadi
perhatian bagi Bina Marga atau Kementerian PU.
Mereka harus berurusan dengan ketertinggalan
infrastruktur yang sangat besar namun dibutuhkan.
Dan peran Kementerian Keuangan adalah menuntut
nilai uang [value-for-money] yang lebih baik dalam
penyelenggaraan program. Apakah ada prospek
untuk pengetatan?
Saya percaya pada ungkapan klise “ukuran memang
penting" [size matters], karena jika Anda memiliki skala
yang memadai, Anda dapat merekrut orang-orang yang
terbaik, Anda dapat membeli peralatan yang terbaik,
Anda dapat membelanjakan uang untuk penelitian dan
pengembangan [R&D], Anda dapat mendatangkan para ahli
terbaik dari seluruh dunia dan Anda dapat memiliki skala
ekonomi, sehingga dapat menekan biaya dan Anda dapat
memberikan kualitas. Ukuran dan keberlanjutan kerja
sangatlah penting, sehingga Anda berinvestasi [untuk
pertumbuhan]. BUMN tidak berinvestasi banyak di industri
jalan karena mereka tidak banyak mempunyai spesialisasi.
Dalam pembangunan jalan, mereka melakukan outsourcing.
Dan orang-orang yang mereka tunjuk untuk kegiatan
outsourcing tidak memiliki pola pikir yang kuat tentang
kualitas, mereka membiarkan banyak hal terlewatkan.
Jadi, untuk bisa lolos standar kualitas dalam suatu
Suara dari Sektor Swasta
pekerjaan tidak terlalu sulit, kecuali jika Anda mengerjakan
suatu pekerjaan yang didanai oleh Australia!
Apa yang akan terjadi terhadap Indonesia saat pasar
Asia menjadi terbuka dan akan ada lebih banyak
kesempatan bagi orang luar untuk datang?
Baru-baru ini saya menjadi anggota suatu panel untuk
infrastruktur dan berbicara dengan beberapa teman dari
Thailand, Australia, Malaysia. Perhatian utama mereka
adalah: bagaimana mereka bisa bersaing dengan BUMN?
Mereka mengatakan tidak tahu lapangan permainannya,
jadi mereka membutuhkan mitra lokal yang baik, yang
dapat membimbing mereka dan membawa mereka ke
lapangan permainan. Mereka mengatakan, kami berniat
untuk membawa bankir kami, kekuatan keuangan kami, dan
kami juga berniat untuk menyediakan ekuitas, asalkan kami
bisa yakin bahwa aturan yang ada memang transparan,
peraturan perundang-undangannya transparan, dan
kontrak kerja ditandatangani. Dan mereka menginginkan
keterlibatan konsultan internasional, karena jika hanya
melibatkan Pemerintah dan dikendalikan dengan cara lama
yang sama, mereka mengatakan mereka tidak akan datang
ke Indonesia. Tes litmus yang ada dalam benak saya adalah
untuk menanyakan apakah Macquarie Bank siap datang ke
Indonesia atau tidak. Macquarie Bank ada di mana-mana
kecuali di negara ini. Jika mereka datang ke Indonesia, yang
lain akan mengikuti.
Tepat, dan jika Anda melihat di seluruh dunia, ada
bermacam-macam kesempatan untuk perusahaanperusahaan seperti itu. Indonesia adalah wilayah
perbatasan terakhir. Ada kebutuhan yang sangat
besar namun kerangkanya belum disediakan.
Saya rasa Anda telah menyentuh poin yang sangat
penting, bahwa dialog masih belum terjadi; mungkin
ini adalah topik yang dapat kita pakai dalam
kesimpulan. Pejabat Pemerintah perlu berbicara
dengan orang-orang seperti Anda, dengan orangorang seperti pemodal, orang-orang seperti
kontraktor lain, dan perlu memahami apa yang
menjadi kendala dan apa yang harus mereka lakukan
untuk membuka pintu. Jadi, apa yang Anda sarankan
– forum, konferensi dan tim-tim kerja kecil –
semuanya dapat menyampaikan permasalahan, dan
membuat orang sadar akan kedua sisi persoalan.
Saya sangat tertarik untuk menyemangati terjadinya
dialog, untuk memiliki jaringan infrastruktur ASEAN atau
Asia-Pasifik, untuk bertukar pikiran tentang bagaimana
Pemerintah di masing-masing negara mengelola
masalah infrastruktur mereka. Di tingkat nasional saya
ingin mengusulkan jaringan infrastruktur nasional. Kita
dapat memiliki sekelompok orang dari Pemerintah,
bankir, pengacara, dan BUMN serta kontraktor. Kita
dapat menyelenggarakan dialog karena ada sepuluh
ribu kontraktor yang membutuhkan pekerjaan. Tapi
mereka dapat dilatih, mereka dapat diorganisasikan oleh
kontraktor-kontraktor besar, meskipun tidaklah begitu
mudah untuk terus-menerus memberi mereka pekerjaan
sebagai sub-kontraktor. Jika Pemerintah berkemauan
keras, kita dapat membuat kontraktor-kontraktor besar
menjadi apa yang kita sebut dalam Bahasa Indonesia
sebagai bapak angkat− ayah asuh – untuk perusahaanperusahaan kecil. Mereka akan mengelola kualitas,
logistik, keuangan, dll. Tapi perusahaan-perusahaan besar
ini harus kuat. ●
Maka Indonesia harus membuka pintu, karena ada banyak
uang di luar, ada banyak kekuatan di luar, tetapi sejauh ini
kita hanya asyik dengan diri kita sendiri di sini.
Mengapa demikian? Maksud saya, mengapa ada
ketidakpercayaan terhadap pihak asing? Apakah
mereka berpikir bahwa kompetisi asing akan
berakibat buruk pada BUMN, atau mungkin
disinyalir akan mengambil potongan kue yang
terlalu besar dari Indonesia?
Saya pikir itu sifat manusia. Tapi seseorang harus
memecahkan dinding, mengakui adanya krisis dalam
infrastruktur kita, menunjukkan kebenaran, dan
memulai dialog.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
207
208
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
ANGKUTAN UMUM
PERLU INVESTASI DAN
KEAHLIAN PIHAK SWASTA
Eka Sari Lorena Soerbakti adalah seorang pengusaha wanita Indonesia.
Dia adalah pemimpin PT Eka Sari Lorena, perusahaan transportasi darat
terbesar di Indonesia yang didirikan ayahnya, G.T. Soerbakti. Selain
menjadi Chief Executive Officer dari Lorena Group, dia juga menjabat
sebagai Direktur PT Ryanta Mitra Karina dan PT Prima Sari Boga. Pada
tahun 2010, Eka Sari Lorena menjadi Ketua Umum Organda, organisasi
pengusaha angkutan darat nasional di Indonesia. Dia mendapat
penghargaan sebagai Pengusaha Muda Terbaik pada tahun 2007,
dan menjadi finalis dalam Fun Fearless Female Indonesian Competition
yang diselenggarakan oleh majalah Cosmopolitan pada tahun 2002.
Dia terpilih sebagai salah satu dari "20 Wanita Paling Berpengaruh di
Indonesia" pada tahun 2013 oleh majalah Fortune, dan juga sebagai
salah satu dari "10 Wanita yang Paling Memberi Inspirasi di Indonesia"
pada tahun 2014 oleh Forbes Indonesia.
Dia meraih gelar Bachelor of Bisnis Adminsitration dari Wright State
University di Ohio, dan Master of Business Adminsitration dari San
Francisco University.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
Atas perkenan Eka Sari Lorena Soerbakti
PRAKARSA: Tolong ceritakan tentang peran Anda
dalam sektor transportasi di Indonesia.
EKA SARI LORENA SOERBAKTI: Saya lahir di lingkungan
transportasi dan saya tumbuh besar dalam industri ini.
Keluarga saya memiliki perusahaan-perusahaan transportasi
untuk penumpang dan juga barang di seluruh Indonesia.
Perusahaan pertama kami, yang menangani bus antarkota/
antarpropinsi, didirikan pada tahun 1970. Tempat bermain
saya pada akhir minggu adalah bengkel dan departemen
operasi. Dua bidang itulah yang paling saya kagumi.
Selain menjalankan bisnis dan berpartisipasi dalam
industri ini, saya juga memainkan peran penting
dalam organisasi-organisasi seperti Organda dan Kadin
[Kamar Dagang Indonesia]. Beginilah pendekatan saya
terhadap transportasi di Indonesia – saya belajar cara
menjalankannya, saya belajar tentang strategi teknis dan
pendekatan non-teknisnya; dan juga tentang kebijakan
dan peraturan perundang-undanganannya, termasuk
peraturan daerah yang diterapkan pemerintah setempat.
Karena berlakunya sistem desentralisasi, banyak hal telah
berubah dan saya tidak yakin apakah di Indonesia ada
banyak orang yang memiliki pengetahuan yang cukup layak
tentang transportasi. Mengetahui, memahami dan mampu
berkiprah dengan baik dalam sistem transportasi adalah
sesuatu yang besar.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
209
210
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
Sebagai
Ketua
Organda
Indonesia,
saya
ingin
mensosialisasikan soal transportasi ini kepada masyarakat
dan mendidik para siswa. Saya ingin orang memahami jenis
layanan yang wajib diberikan pemerintah agar mereka
memiliki aksesnya, sehingga mereka memiliki mobilitas.
Jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 7
persen, fakta nomor satu yang perlu dipertimbangkan
adalah perlunya kita memiliki platform yang jelas mengenai
mobilisasi orang dan barang. Saya pikir kita tidak bisa
memiliki ekonomi yang sangat kuat jika kita tidak dapat
bepergian secara efisien. Tidak semua anak bisa berjalan
kaki ke sekolah, ada yang jaraknya terlalu jauh. Orang harus
bisa pergi ke kantor. Bagaimana jika Anda ingin memproduksi
barang tetapi Anda tidak dapat membawa bahan bakunya
ke pabrik? Dan ketika barang sudah diproduksi, Anda juga
harus dapat mendistribusikannya.
Saya harap kali ini akan ada menteri-menteri yang memahami
industri transportasi dengan sangat baik. Bukan orang-orang
yang sekedar diberi posisi karena alasan politik, tapi seperti
di negara-negara lain di mana semua departemen strategis
dipimpin oleh seseorang yang memiliki pemahaman yang
sangat baik mengenai urusannya.
Apa yang diharapkan oleh sektor transportasi
dari pemerintahan yang baru?
Kadang-kadang saya cenderung blak-blakan. Tapi ketika kita
menyampaikan bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki,
kita juga harus menawarkan solusi. Jika kita hanya
mengeluh dan tidak mengusulkan suatu solusi, itu hanya
bertindak seperti anak kecil. Anak saya yang berumur dua
tahun bisa melakukannya. Tapi kita adalah manusia dewasa
yang bertanggung jawab, jadi kita perlu menemukan dan
menawarkan solusi. Dan kita belajar bahwa ketika bekerja
dalam sebuah organisasi, kita tidak bisa mengusulkan solusi
hanya dari sudut pandang kita sendiri saja.
Kita perlu memiliki penegakan hukum yang kuat. Mengingat
besarnya negara kita dan jumlah penduduknya, jika kita
hanya memiliki pertumbuhan ekonomi 4 atau 5 persen,
itu berarti tingkat pengangguran akan tinggi. Tentang
perubahan dalam kepemimpinan nasional − kami memiliki
banyak harapan.
Orang mengatakan korupsi telah berkurang. Saya tidak
setuju. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Jadi saya
benar-benar berharap bahwa pemimpin baru, yang
didukung oleh rakyat, akan membuat perubahan. Nomor
satu adalah transparansi. Kita tidak perlu menjadi seorang
jenius untuk melihat pentingnya nilai transparansi. Banyak
orang akan bersimpati dan bersedia mendukung programprogram demi peningkatan transparansi.
Presiden baru ini sangat berbeda dari yang sebelumnya.
Saya belum pernah melihat seseorang yang naik ke tingkat
setinggi itu dalam periode waktu yang begitu singkat. Ini
kasus yang sangat langka. Dia menghadapi tantangan yang
besar, karena orang-orang di DPR bukan berasal dari partai
yang sama. Tapi saya melihat ini sebagai tanda positif
karena jika mereka dari partai yang sama, transparansi bisa
dikompromikan. Namun, karena mereka berasal dari partai
yang berbeda, mereka akan saling mengawasi. Jadi mudahmudahan, implementasinya akan tepat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jika Anda melihat situasi sekarang, transportasi bukanlah
fokus pemerintah. Hanya baru-baru ini saja Indonesia
mulai memperhatikan angkutan umum, transportasi
masal, dan konektivitas. Lalu lintas selalu macet dan
orang-orang jadi stres. Kita memerlukan orang-orang
yang tepat dalam pemerintahan dan kita memerlukan
kolaborasi yang lebih baik.
Bagaimana kita sebaiknya mengatasi masalah
transportasi di Indonesia?
Kita perlu memperkirakan investasi yang dibutuhkan
dan apa saja manfaatnya. Saya tidak percaya bahwa
hal-hal teknis itu sulit. Yang lebih menantang justru
masalah non-teknis.
Indonesia merupakan bagian dari komunitas global.
Organda memiliki mitra di Belanda, Swiss dan Amerika
Serikat. Sangatlah mudah untuk mendapatkan data;
bertukar informasi pun bukan hal sulit. Sekali lagi, bagian
yang sulit adalah aspek non-teknis. Sebagai contoh, jika
Anda ingin membangun terminal. Bahkan setelah penelitian
dilakukan dan sebuah lokasi yang cocok telah diidentifikasi,
dapat terjadi perubahan mendadak dalam rencana.
Mengapa? Karena tanahnya milik keluarga Walikota. Itu
bukan masalah teknis, kan?
Suara dari Sektor Swasta
Maka saya pikir, kepemimpinan baru kita membutuhkan
banyak energi, karena ada banyak pekerjaan rumah yang
harus mereka lakukan. Masalah-masalah telah menjadi
ekstrim. Transportasi dan logistik adalah hal-hal yang sangat
serius. Indonesia belum memiliki konsep berkelanjutan
apa pun untuk mendukung industri transportasi sehingga
industri tersebut dapat membawa lebih banyak manfaat
bagi negara. Dan yang paling penting, pemerintah harus
berani menegakkan hukum. Pekerjaan rumah mereka
adalah mencari tahu bagaimana melakukan hal itu. Jika
tidak, Indonesia masih bisa bergerak maju, tapi dengan
sangat lambat.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Daerah untuk
menarik investasi swasta di sektor transportasi?
Pendekatan terbaik adalah berkolaborasi dengan pihakpihak yang ada. Di Indonesia, setiap kabupaten memiliki
gaya yang berbeda. Jika kita tidak memiliki pengetahuan
lokal, tidak dapat menilai tradisi dan preferensi lokal,
suatu inisiatif tidak akan memberi hasil. Anda dapat saja
mempunyai uang dan tenaga ahli dari luar negeri, tapi
proyek tidak akan berjalan secara efisien.
Oleh karena itu, kita perlu menciptakan sebuah platform
yang dapat menyatukan pengusaha-pengusaha lokal dan
para investor. Kita harus bisa memanfaatkan perusahaanperusahaan mapan yang ada, yang memiliki darah,
denyut nadi dan sistem saraf yang kuat, tapi mungkin
karena kurangnya arahan, kurangnya pengembangan, dan
kurangnya modal, mereka tidak bisa tumbuh. Mengapa kita
tidak merangkul mereka? Saya sendiri, selama masih bisa
merangkul operator lokal, saya akan melakukannya.
Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut apa
saya hambatan dan tantangan yang dihadapi?
Transportasi perkotaan cukup sulit. Untuk sistem itu sendiri,
atau pengadaan bahannya, memang mungkin dikelola. Tapi
pengoperasiannya – itulah yang sulit, karena operator
angkutan umum menghadapi begitu banyak kompetisi dari
kendaraan, sepeda motor dan mobil pribadi. Hal ini terjadi,
karena sepeda motor dan mobil memang murah harganya
dan mudah didapatkan. Ini adalah negara yang aneh;
kebijakan-kebijakannya mendorong penggunaan kendaraan
pribadi, dan bukan angkutan umum.
Adalah penting untuk berkomitmen pada isu-isu inti, halhal yang akan memiliki dampak terbesar. Memang benar
bahwa segala sesuatu perlu perbaikan. Tapi mari kita lihat
masalah yang paling krusial terlebih dahulu. Kita harus
cukup cerdas untuk menentukan prioritas.
Apa cara terbaik untuk membiayai
transportasi umum?
Kita perlu pembiayaan, tetapi bukan dari bank. Bank terlalu
kaku dan memberlakukan suku bunga pinjaman yang
terlalu tinggi. Menurut pendapat saya, kita memerlukan
platform yang mempermudah kerjasama antara perusahaan
domestik dan internasional.
Menemukan keahlian untuk menerapkan pembiayaan
tidaklah mudah – mungkin hanya ada dalam teori. Tetapi
itu merupakan upaya yang komprehensif untuk mengurus
semuanya, dimulai dengan izin jasa transportasi, izin
AMDAL [dampak lingkungan], diskusi tentang terminal –
banyak persyaratan administrasi. Dan banyak persyaratan
yang tidak tertulis hitam di atas putih. Jadi idealnya Anda
membutuhkan pengetahuan lokal yang kuat didukung
jaringan sumber daya global yang luas. Investor bisa saja
mempunyai niat baik, tapi hasilnya tidak akan baik jika
mereka tidak memiliki pengetahuan lokal dan jaringan lokal
untuk menyertai pembiayaan mereka.
Luasnya negeri ini sangatlah luar biasa. Begitu banyak
orang membutuhkan layanan angkutan umum, yang
belum diberikan dengan layak. Pemerintah harus
mempertimbangkan subsidi silang. Mereka dapat
memberitahu perusahaan: Anda berinvestasi di sini, dan
kemudian kami akan mengatur dengan cara ini. Anda boleh
berinvestasi di sini, tapi Anda harus memberikan dukungan
di wilayah ini. Dan tidaklah mudah untuk pergi ke lapangan
dan berbicara dengan Pemerintah Daerah tentang masalah
ini. Dan itu hanyalah puncak dari gunung es.
Apakah Anda pikir Pemerintah Daerah (Pemda)
merupakan bagian dari masalah, atau solusi?
Jujur, jika kita berbicara tentang masa kini, saya pikir mereka
lebih merupakan bagian dari masalah. Hal ini disebabkan,
begitu banyak Pemda memiliki orang-orang yang diberi
tanggung jawab namun tidak memiliki kompetensi yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, kami sedang mengusulkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
211
212
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
kepada
Kementerian
Perhubungan
agar
mereka
mengeluarkan standar kompetensi sebagai syarat seseorang
menjadi Kadishub [Kepala Dinas Perhubungan]. Seorang
Kadishub harus memiliki keterampilan tertentu, mereka
tidak bisa dipilih hanya karena mereka memiliki hubungan
dengan orang yang tepat – saya tahu satu daerah di mana
seseorang yang sebelumnya bekerja di dinas pemakaman,
diangkat hanya karena dia adalah teman gubernur!
Apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan
peran Pemda menjadi lebih positif?
Apakah Anda ingat, dulu ada 17 langkah yang ditetapkan
untuk menangani kemacetan lalu lintas, seperti yang
diprakarsai oleh wakil presiden? Sekarang bagaimana
kelanjutannya? Apakah Anda tahu siapa orang-orang yang
bertanggung jawab? Semua berasal dari Pemerintah. Hal
ini menunjukkan bahwa pendekatan sepihak tidak cukup.
Kita perlu masukan konstruktif dari semua pihak – termasuk
para operator dan akademisi, bukan hanya pemerintah saja.
Organda dapat menyatukan beberapa pihak – baru-baru ini
Organda mengadakan pertemuan yang mencakup Korwil
(Koordinator Wilayah) dari seluruh Indonesia. Dan Organda
memiliki satu tim think-tank yang terdiri dari para profesor.
Para operator perlu mengikutsertakan mereka ke dalam
proses. Pertimbangkan ini: para peneliti butuh dana. Para
operator menghasilkan uang. Maka para operator dapat
mendukung para peneliti − jika mereka membutuhkan
dana, kami siap. Ini akan saling menguntungkan, kan? Dari
sisi mereka, mereka akan memberikan kontribusi untuk
beberapa proyek yang berguna. Beberapa penelitian mereka
akan digunakan. Kadang-kadang orang mengatakan ini
adalah cara berpikir “out of the box” yang terlalu berlebihan.
Tapi saya percaya ini adalah cara yang seharusnya dipakai.
Kemudian saya akan mengusulkan agar privatisasi terminal
dilakukan − dimulai dengan hanya dua terminal. Saya akan
melakukan perombakan pada terminal-terminal tersebut
sehingga para perempuan tidak takut datang ke sana.
Bagi wanita hamil dan perempuan lanjut usia (lansia)
juga harus dibuat mudah. Para lansia juga membutuhkan
transportasi, dan tidak semua memiliki uang [untuk
memiliki kendaraan pribadi]. Tapi sulit bagi mereka untuk
naik dan turun tangga di terminal.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Harus ada yang memikirkan tentang hal ini. Anda
tahu, kebanyakan kepala instansi pemerintahan adalah
laki-laki, bukan?
Sangatlah sulit bagi para ibu, yang harus mengurus
anak-anak kecil, mungkin mengganti popok, ketika
berada di terminal.
Mereka [para kepala instansi yang bertanggung jawab atas
perencanaan fasilitas] tidak berpikir tentang hal ini. Namun,
kita bisa secara cerdas menanggapi hal ini. Kita bisa mengacu
pada UU No. 22/2009 [tentang kebijakan transportasi
nasional mengenai subsidi], yang akan segera diberlakukan.
Perusahaan swasta dapat membangun terminal. Kejelasan
lebih lanjut akan ada mengenai apa yang bisa kita lakukan.
Sekarang kita akan mulai mempersiapkan SPM, Standar
Pelayanan Minimum.
Kekuatan perusahaan-perusahaan swasta adalah bahwa
kami lebih tahan banting. Kami sudah terbiasa dengan
kurangnya dukungan. Adalah hal yang umum bagi kami
untuk mempunyai anggaran terbatas. Kami telah terbiasa
bekerja di bawah tekanan. Jadi apa yang harus kami
takutkan? Kami hanya harus melakukannya saja.
Pemerintah dan sektor swasta terlibat dalam
berbagai aspek ketentuan transportasi perkotaan.
Apa peran terbaik mereka masing-masing?
Pertama, saya pikir kita perlu mengajukan banyak
pertanyaan sulit tentang bagaimana pihak-pihak ini bekerja.
Apakah APTB [Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway]
Jakarta lebih sukses beroperasi daripada Metromini?
Tidak juga. Busway bahkan mulai rusak dalam waktu kurang
dari tujuh tahun. Tidak ada yang boleh terlalu sombong
tentang apa yang dapat mereka lakukan. Pada saat yang
sama, pemerintah memiliki banyak kewenangan, jadi
mereka perlu dilibatkan. Kita harus menciptakan lebih
banyak rasa saling percaya.
Sekarang ini, pemerintah ingin menjadi operator bus.
Namun belum ada angkutan umum yang berhasil
dijalankan oleh pemerintah. Berapa keuntungan yang
telah didapatkan? Triliunan telah diinvestasikan, tapi
keuntungannya hanya dua persen. Ini adalah uang rakyat
yang digunakan oleh Pemerintah.
Suara dari Sektor Swasta
Para regulator harus membuat sebuah kerangka kebijakan
yang baik. Mereka harus membantu [perusahaan untuk
berkembang], daripada menjadi operator, atau bersaing
dengan mereka. Kecuali investasinya begitu besar sehingga
menyulitkan sektor swasta. Sebagai contoh, di Singapura
MRT dijalankan oleh pemerintah. Investasinya besar. Tapi
jangan salah paham – angkutan pengumpan, bus-busnya,
semua dikelola oleh swasta. Pemerintah mengundang
para operator. Apa yang mereka katakan pada mereka?
Mereka mengatakan, "Kami akan memberikan ini, kami
akan menjamin Anda akan mendapatkan keuntungan. Kami
menjamin usaha ini akan berkelanjutan. Tapi Anda harus
memenuhi standar pelayanan minimum. Jika Anda tidak
memenuhi standarnya, izin Anda akan dicabut."
lain. Dengan cara ini saya bisa melihat, saya menganalisa,
saya mendengarkan, dan kemudian saya mendapatkan
informasi tentang berbagai hal yang dibutuhkan.
Terakhir yang tidak kalah penting, wanita memiliki
kemampuan analisis yang kuat. Juga, harus ada gairah,
karena meskipun Anda memiliki semua karakter tersebut,
Anda harus memiliki gairah. Saya tidak percaya bahwa
perempuan tidak bisa sukses. Saya menunggu saatnya
perempuan-perempuan menjadi lebih sukses lagi. ●
Itulah pendekatan dasar. Dan berbicaralah kepada
perusahaan-perusahaan − mereka akan memberitahu Anda
apa yang mereka pikirkan. Daripada saling mematikan,
lebih baik membentuk sebuah konsorsium.
Bolehkah kami mengajukan pertanyaan yang agak
pribadi? Sangatlah tidak umum untuk menemukan
seorang perempuan yang bertanggung jawab untuk
urusan infrastruktur. Apakah ada tips dari Anda bagi
perempuan lainnya dalam dunia infrastruktur?
Saya percaya perempuan cukup kuat untuk bisa berhasil
dalam bisnis ini, yang kadang dianggap orang sebagai suatu
bisnis yang menantang. Perempuan adalah pendengar yang
baik. Kami sesungguhnya dapat belajar banyak dengan
mendengarkan orang. Tidak perlu belajar di Harvard. Anda
mendengarkan orang dengan baik dan mengalisis mereka,
dan dengan begitu Anda belajar.
Kedua, perempuan cenderung lebih sabar, dan karenanya
dapat menyesuaikan diri secara lebih baik di bawah tekanan.
Ini industri yang sangat besar tekanannya.
Ketiga, perempuan biasanya lebih mampu menangani
beberapa hal sekaligus (multitasking). Kita membutuhkan
orang yang bisa menangani berbagai tugas. Kita sudah
punya modal dasar untuk menjadi sukses di bidang
infrastruktur. Saya belajar tentang infrastruktur karena saya
sudah pergi ke mana-mana; langsung ke daerah-daerah,
lewat darat, naik pesawat, kadang-kadang feri, dan lain-
Prakarsa Compendium | Jilid 3
213
214
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
PERAN SEKTOR SWASTA
DALAM PENYEDIAAN
AIR MINUM DI INDONESIA
Tom Shreve adalah pimpinan Acuatico Pte. Ltd., pengelola sistem
air minum perkotaan sektor swasta terbesar di Indonesia. Tom
memiliki pengalaman luas di bidang merger dan akuisisi, pasar modal,
keuangan proyek dan manajemen perusahaan jasa keuangan. Ia yang
mengatur akuisisi Klub Sepak Bola Inter Milan atas nama sekelompok
pengusaha Indonesia pada 2013. Warga negara Amerika Serikat
lulusan Northwestern University School of Law tahun 1983 ini, yang
merupakan anggota berlisensi California State Bar, telah berdomisili
di Indonesia sejak 1991.
PRAKARSA: Tolong jelaskan tentang Acuatico.
TOM SHREVE: Acuatico adalah perusahaan yang secara
khusus bergerak di bidang infrastruktur air minum. Kami
mengerjakan tiga proyek di Indonesia dan satu di Vietnam.
Di semua proyek Indonesia kami mengoperasikan sistemnya,
melakukan penagihan pada para pelanggan, dan menjalin
hubungan pelanggan langsung dengan para konsumen.
Tentu saja terdapat banyak pola untuk membangun
infrastruktur air minum yang melibatkan sektor swasta,
dan banyak di antaranya bisa didapat di Indonesia. Namun
kami memiliki keunggulan kompetitif dalam kemampuan
menangani penagihan dan layanan pelanggan, suatu hal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang sudah kami lakukan bertahun-tahun. Kami adalah
pemilik perusahaan yang mengelola sistem air minum di
Jakarta Timur dan melayani lebih dari 400.000 pelanggan.
Sistem kami sangat besar. Kami mampu memproduksi dan
mendistribusikan air bersih lebih dari 9.000 liter per detik.
Sejak Acuatico membeli perusahaan dari RWE Thames pada
tahun 2007, kami menangani seluruh kegiatan operasional
yang merupakan keseluruhan value chain (rantai nilai) dari
usaha air minum untuk Jakarta Timur.
Bagaimana pengalaman Anda di Indonesia bila
dibandingkan dengan di Vietnam?
Suara dari Sektor Swasta
Vietnam sangat bergantung pada proyek berbasis dana
bantuan, bahkan proyek-proyek yang melibatkan partisipasi
sektor swasta sering kali menerima pinjaman konsesi
(concessionary loans) untuk proyek-proyek mereka. Namun
mereka tampak cukup terfokus dan mampu melangkah ke
depan secara efisien dan strategis, dan konsekuensinya,
secara keseluruhan mereka memiliki sistem air minum yang
jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Di Indonesia, pada
dasarnya sistem air minum diserahkan kepada Pemerintah
Daerah. Hal ini memiliki keuntungan tetapi juga kerugian.
Dapatkah Anda jelaskan lebih jauh tentang praktek
usaha infrastruktur air minum di Indonesia?
Pada dasarnya, karena kami bekerja dengan Pemerintah
Daerah, terdapat kemungkinan adanya ratusan sponsor
pemerintah untuk suatu proyek. Dari beberapa segi, ini
menguntungkan, contohnya apabila Anda bergerak di
bidang tenaga listrik swasta, pada dasarnya Anda hanya
memiliki satu pelanggan, yakni Perusahaan Listrik Negara
(PLN) yang akan membeli tenaga listrik dari Anda. Akibatnya
akan timbul banyak isu di tenaga listrik swasta karena
pengembang ingin mendapatkan jaminan pembayaran dari
pemerintah karena satu-satunya pelanggan di bidang usaha
tenaga listrik swasta adalah PLN. Sedangkan kami dapat
berhubungan dengan sejumlah instansi dan lembaga yang
berbeda-beda untuk mendapatkan peluang yang tepat, yaitu
yang terbaik dan paling menarik bagi pendanaan investasi
kami. Kendala yang dihadapi dengan Pemerintah Daerah
pada umumnya adalah kurangnya kemampuan mereka.
Mereka tidak memiliki skala besar untuk memikul tanggung
jawab atas kebijakan secara keseluruhan atau seluruh
infrastruktur negeri ini; mereka hanya memperhatikan
wilayah yang sangat kecil. Mereka mungkin tidak memiliki
pengalaman dalam membangun infrastruktur sendiri atau
terlibat dalam kerjasama pemerintah dan swasta. Sebagai
konsekuensinya, sering kali kami juga perlu terlibat dan
bahkan membantu merancang proyek, mendanai studi
kelayakan, dan mencari tahu persyaratan yang tepat untuk
merancang dan menyusun konsesi.
Menurut Anda, apa yang dapat dilakukan di tingkat
Pemerintah Pusat untuk mengatasi permasalahan
tersebut, yang disebabkan oleh kurangnya kapasitas
di tingkat daerah?
Tentunya diperlukan fungsi dukungan dari Pemerintah
Pusat. Saat ini ada yang dinamakan BPPSPAM [Badan
Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum]
yang merupakan bagian dari Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat. Mandat utama lembaga ini adalah
untuk mengkoordinasikan dan mengevaluasi berbagai
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia,
untuk membantu mereka menetapkan kemampuan dan
ketidakmampuan mereka, apa yang mereka harus dan tidak
boleh lakukan, dan juga untuk menyusun rencana induk
serta usaha mereka sendiri dan partisipasi sektor swasta
mana pun. Selain itu tentu saja ada proyek IndII yang juga
melakukan peningkatan kapasitas dengan PDAM. Menurut
pendapat kami hal ini penting; bidang ini membutuhkan
sumber daya sebanyak mungkin karena pada umumnya
PDAM menyambut baik bantuan dalam peningkatan
kapasitas, dan mereka memahami kebutuhan tersebut agar
mereka dapat melayani pelanggan secara lebih baik.
Ada juga pemikiran bahwa mungkin Pemerintah
Provinsi dapat lebih dimanfaatkan lagi untuk membantu
mengkoordinasikan dan membantu PDAM. Di Indonesia
terdapat sedemikian banyaknya kabupaten dan kota,
dengan rentang lebar dalam hal kemampuan dan kekuatan
finansial, sehingga di tingkat nasional sungguh sulit
membantu setiap PDAM satu-persatu. Menurut hemat
kami, ada peran potensial yang belum pernah disentuh
yakni keterlibatan Pemerintah Provinsi. Selain itu memang
terdapat sejumlah kasus yang memerlukan keterlibatan
Pemerintah Provinsi, karena ada kalanya lingkup suatu
proyek air minum melintasi batas kabupaten.
Di Jakarta, konsesi yang ada berbasis provinsi dan tidak
berbasis pada lima kota di DKI Jakarta. Sedangkan di Bali
terdapat kesulitan besar dalam menentukan kelayakan
proyek-proyek yang dibatasi pada satu kabupaten. Pada
prinsipnya sudah diputuskan bahwa Pemerintah Provinsi
perlu dilibatkan untuk mengatasi masalah air minum di Bali
karena masing-masing kabupaten tidak memiliki kombinasi
yang tepat antara air baku dan permintaan untuk dapat
menciptakan sistem air minum mereka sendiri tanpa
dihubungkan dengan kabupaten lainnya.
Dapatkah Anda menguraikan sedikit tentang peran
keuangan swasta di bidang pembangunan sistem air
minum? Bagaimana menurut pandangan Anda saat
ini? Dan seharusnya menuju ke arah mana?
Jelas sekali bahwa pembiayaan sektor swasta sangat
penting bagi pembangunan sistem air minum di Indonesia,
karena dibutuhkan investasi dalam jumlah yang sangat
besar. Ada ratusan sponsor proyek dan pemilik PDAM yang
potensial, sedangkan di tingkat Pemerintah Kabupaten
terdapat yurisdiksi yang berbeda-beda dan sebagian besar
tidak memiliki anggaran atau kapasitas untuk melaksanakan
proyek secara efektif yang sungguh-sungguh dapat
membantu masyarakat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
215
216
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
Pada saat ini Indonesia tertinggal jauh di bidang
pembangunan infrastruktur air minum. Sebuah kajian Bank
Dunia yang memberi peringkat atas akses pada sumber air
minum yang terlindungi, yang dibuat berdasarkan jumlah
penduduk di ASEAN. Dalam kajian ini Indonesia menduduki
peringkat kedua paling bawah, bahkan di bawah Laos dan
Myanmar dalam hitungan persentase jumlah penduduk yang
memiliki akses pada sumber air minum yang terlindungi. Jadi
jawaban saya yang pertama atas pertanyaan Anda adalah,
bahwa dari segi besarnya kebutuhan dan administrasi dari
pembangunan yang diperlukan, jelas sekali keterlibatan
sektor swasta dibutuhkan, agar sasaran dapat tercapai.
Secara fungsional, agar dapat menyelesaikan dan
membiayai proyek di Indonesia, tentu seperti pengembang
infrastruktur mana pun, saya ingin melihat pasar utang
secara lebih dalam, sumber yang lebih banyak, dan
kesediaan yang lebih untuk membiayai infrastruktur
dengan jangka waktu yang benar-benar amat panjang. Saat
ini sangat sulit mendapatkan kredit dari bank lokal yang
jangka waktunya cukup lama sehingga proyek air minum
dapat membayar kembali pinjamannya pada bank. Kita
membutuhkan pendanaan untuk jangka waktu lebih lama,
kita harus mencari jalan keluar agar sumber modal jangka
panjang seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi
dapat lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan
infrastruktur, karena keuntungannya cukup baik, dan
kemampuan pembayaran kembali dapat diandalkan. Tetapi
periodenya harus lebih lama dari yang lazimnya dapat
diberikan bank. Saya dapat memahami keengganan bankbank untuk memberi pinjaman jangka panjang mengingat
sebagian besar pendanaan mereka bersifat jangka pendek,
sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian jika mereka memberi
pinjaman jangka panjang. Tetapi ada beberapa sumber
pendanaan, seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi
yang memiliki dana jangka panjang, dan saat ini belum ada
penyaluran efektif dana jangka panjang ke dalam proyek
semacam ini. Jadi kami berharap bahwa pasar dapat
menjadi lebih dalam dan akan menjadi lebih lazim untuk
memperoleh pembiayaan dengan harga dan jangka waktu
yang lebih sesuai, guna sungguh-sungguh membangun
proyek air minum di Indonesia.
Apakah ada jalan untuk mendorong bank-bank
mempertimbangkan kemungkinan memberi
pinjaman jangka panjang, atau memperoleh
pasar utang yang lebih dalam?
Peran kami adalah untuk mencari tahu jenis pembiayaan
apa saja yang tersedia dan berupaya semaksimal mungkin
agar berhasil. Sebagai contoh kami telah bekerjasama
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan SMI (PT Saran Multi Infrastruktur, pemegang
saham PT Indonesia Infrastructure Finance – IIF; PT IIF
adalah perusahaan swasta yang diresmikan oleh Menteri
Keuangan tahun 2010 untuk mempercepat investasi di
bidang infrastruktur Indonesia), dan ini merupakan sumber
pendanaan yang sangat baik untuk infrastruktur.
Dapatkah Anda menguraikan sedikit, kalau-kalau
dibutuhkan "Viability Gap Funding" untuk sektor
air minum?
Ya. Saya rasa, sektor air minum sedikit banyak menderita
mentalitas subsidi seperti yang kita lihat pada harga BBM.
Dalam arti kata, secara politis sangat aman dan mudah
untuk sekadar menetapkan harga di bawah biaya produksi.
Namun ini belum tentu cara terbaik untuk membelanjakan
sumber daya pemerintah dalam membantu masyarakat.
Saya rasa kita perlu ingat ketika memerhatikan tarif air
minum, bahwa masyarakat yang tidak mendapatkan layanan
air minum sama sekali justru membayar harga lebih tinggi
untuk air dibandingkan dengan orang lain yang tersambung
pada sistem air minum apa pun di seluruh negeri ini. Jadi
penduduk paling kaya, rumah-rumah terbesar, pabrikpabrik terbesar membayar harga tinggi untuk mendapatkan
air leding dari sistem mereka, tetapi penduduk paling miskin
bahkan membayar harga lebih tinggi lagi karena mencari
solusi sendiri yaitu membeli air dalam kemasan, mengisi
air di ember, dan merebus air yang mereka peroleh dari
sumber yang tidak bersih. Semua metode ini menyangkut
biaya. Kami sangat peduli pada masalah kesehatan yang
timbul karena terpaksa mengandalkan air minum yang tidak
disediakan melalui sistem air minum perkotaan. Secara
kuantitatif dapat ditunjukkan bahwa penduduk termiskin
justru harus mengeluarkan uang jauh lebih banyak untuk
mendapatkan air minum apabila mereka tidak tersambung
pada sistem air minum.
Menurut hemat kami, solusi terbaik untuk membantu
anggota masyarakat miskin adalah menetapkan tarif yang
cukup untuk menutup biaya produksi air minum, dengan
sejumlah tambahan yang dapat menghimpun basis modal
untuk perluasan sistem. Bahkan dengan cara demikian,
kita masih dapat menagih jumlah yang sangat kecil kepada
masyarakat miskin karena kami menerapkan sistem
subsidi silang di seluruh negeri, yang menetapkan bahwa
masyarakat paling mampu membayar tarif lebih tinggi, dan
mereka yang paling tidak mampu membayar tarif terendah.
Pada umumnya, tarif terendah dalam sistem air minum
kota hanya Rp 1000 per meter kubik air minum. Kita bisa
mempertahankan menagih hanya Rp 1000 per meter kubik
Suara dari Sektor Swasta
Atas perkenan Carol Walker
pada masyarakat miskin dan tetap masih memperoleh
struktur tarif yang secara menyeluruh cukup tinggi untuk
menutup biaya, dan menghimpun dana modal untuk
memperluas sistem dan melakukan investasi. Saya rasa ke
situlah arah perjalanan kita. Apabila suatu Pemerintah Kota
atau PDAM memberitahukan kami bahwa mereka ingin
mengajukan permohonan untuk memperoleh pendanaan
sejenis dana pendampingan dari pemerintah (Viability Gap
Funding – VGF), kami sering melihat bahwa belum tentu
wilayah ini yang memerlukan subsidi untuk membiayai
sistem air minum mereka.
Di Indonesia terdapat daerah-daerah yang tidak ada industri
sama sekali dan praktis semua penduduknya miskin;
mereka juga patut mendapatkan sistem air minum
− daerah-daerah seperti inilah
pendanaan dari pemerintah.
yang
membutuhkan
Menurut perkiraan saya, di beberapa pulau di bagian timur,
misalnya, terdapat daerah-daerah yang tidak memiliki
cukup uang dalam sistem untuk mendanai pembangunan
sistem air minum secara internal. Namun di seluruh Jawa
dan Bali, dan kemungkinan di sebagian besar Sumatra,
Kalimantan, dan Sulawesi terdapat cukup banyak uang di
dalam ekonomi sehingga pembangunan sistem air minum
dapat dibiayai secara internal tanpa bantuan dari luar, dan
dampak akhir pada masyarakat miskin di dalam ekonomi
tetap akan positif meskipun mereka mendanai proyekproyek tersebut dengan struktur tarif yang lebih tinggi.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
217
218
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
Menurut Anda, apa yang diinginkan investor swasta?
Dengan kata lain, apa yang membuat investasi
menarik bagi Anda?
Kami merasa bahwa solusi terbaik dalam partisipasi
di dalam sektor air minum yang memiliki kemampuan
terbatas sekarang ini, adalah memiliki hubungan pelanggan
langsung dengan konsumen akhir. Ini merupakan kriteria
penting bagi kami. Kami merasa, meskipun PDAM tertentu
mungkin secara finansial tidak menunjukkan kinerja sangat
baik, namun apabila mereka memiliki pelanggan-pelanggan
yang mampu dan menerapkan struktur tarif yang wajar,
rasanya kami dapat menerima struktur semacam pembelian
air curah (bulk water) sehingga kami tidak harus melakukan
penagihan langsung pada konsumen akhir.
Namun secara umum kami merasa bahwa akan sangat
bermanfaat apabila selain terlibat dalam konstruksi instalasi
jaringan pengolahan air minum, kami juga dapat dilibatkan
dalam rehabilitasi dan perluasan jaringan perpipaan, dan
selain itu, juga dalam penagihan layanan pelanggan. Jika
kami dapat dilibatkan dalam semua kegiatan tersebut, kami
percaya bahwa kami dapat bekerjasama dengan PDAM yang
secara keuangan paling tidak mampu. Kami tidak melihat
pentingnya PDAM harus untung secara operasional atau
memiliki laporan keuangan yang telah diaudit terlebih
dahulu agar kami bisa menjalin kerjasama dengan mereka,
berbagi keahlian kami serta terlibat dalam semua tingkatan
usaha mereka. Asalkan, kami dapat menjalin hubungan
langsung dengan konsumen akhir.
Apakah ada keengganan terhadap hal tersebut
di tingkat Pemerintah Daerah atau PDAM?
Pemerintah − baik Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat maupun Bappenas – telah mencoba
mendorong PDAM agar tidak mengupayakan struktur
investasi kerjasama pemerintah dan swasta (PPP) sendiri,
kecuali mereka sudah mencapai tingkat tertentu dalam
hal kesehatan keuangan dan efektivitas usaha. Menurut
saya, hal ini belum tentu merupakan fokus yang benar
karena jika kita mempelajari beberapa bidang yang saat ini
masih menunjukkan masalah terkait dengan kemampuan
keuangan PDAM, mungkin saja sektor swasta dapat
mengatasi permasalahan tersebut, alih-alih berusaha dulu
untuk mengatasinya sebelum melibatkan sektor swasta.
Jadi itu merupakan pengalaman Anda di
tempat lain? Apakah Anda pernah berkesempatan
untuk mengujinya?
Sejujurnya, belum. Tentu saja, dalam ketiga proyek kami
masing-masing, di mana kami melakukan penagihan kepada
konsumen akhir, kami dapat membuktikan bahwa kami
beroperasi secara efisien, dan bahwa secara keseluruhan
hasilnya baik bagi pemerintah. Namun mendatangi PDAM
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang oleh Pemerintah Pusat dikategorikan sebagai tidak
sehat, dan kemudian bekerjasama dengan mereka untuk
membuat sebuah proyek, belum pernah kami lakukan, dan
kami sangat berminat untuk mencobanya.
Baru-baru ini ada proyek yang diusulkan kepada investor
sektor swasta yang melibatkan PDAM yang dianggap
tidak sehat − cakupan pelayanan mereka hanya 5 persen
dari seluruh kabupaten. Belum lama ini mereka hanya
menginvestasikan jumlah dana yang sangat, sangat kecil
dalam sistem air minum. Kemudian diputuskan untuk
mengundang investor sektor swasta untuk mengembangkan
sebuah daerah di kabupaten yang belum memiliki cakupan
air minum, selain itu PDAM pun tidak punya rencana
apapun di tempat tersebut. Konsekuensi dari proyek
tersebut – jika diteruskan − adalah bahwa suatu bagian
kabupaten yang paling belum berkembang dan paling
memerlukan, untuk mendapatkan sistem air minum yang
baik, sedangkan bagian lain kabupaten masih menggunakan
sistem air minum yang kurang memadai. Para investor tidak
tertarik karena belum ada kegiatan ekonomi yang cukup
di bagian kabupaten tersebut, dan jumlah penduduk pun
tidak cukup padat sehingga pembangunan sebuah sistem
air minum di lokasi tersebut tidak ekonomis. Ini adalah satu
contoh di mana kita secara nyata harus mendatangi wilayah
layanan PDAM dan bekerjasama langsung dengan PDAM
untuk meningkatkan layanan di daerah cakupan yang ada,
sebagai langkah untuk mengembangkan sistem air minum
di kabupaten tersebut.
Pasti ada kasus-kasus di mana kepadatan penduduk
di beberapa wilayah Indonesia tidak akan pernah
menarik bagi sektor swasta?
Saya rasa itu berlaku di seluruh dunia, dan kalau bicara
tentang sistem air minum perkotaan, maka sebutan "kota"
ada alasannya – yaitu karena pada umumnya air minum
yang disediakan oleh pemerintah tidak dialirkan ke daerah
pertanian yang tidak padat penduduk; ini memang bukan
solusi yang normal. Kita harus memastikan bahwa semua
orang mendapatkan akses pada air minum, tetapi kita belum
tentu ingin membangun instalasi pengolahan air minum
besar dengan pipa panjang-panjang di suatu daerah yang
penduduknya jarang. Namun prioritas harus difokuskan
pada daerah dengan jumlah penduduk lebih padat karena
mereka bergantung sepenuhnya pada pemerintah untuk
menyediakan akses pada air bersih. Saya rasa salah satu
alasan mengapa peringkat Indonesia secara menyeluruh
dalam penyediaan akses pada air bersih turun, adalah akibat
dari urbanisasi − karena masyarakat yang tidak dilayani
oleh pemerintah berpindah dari daerah perdesaan di mana
mereka dapat mengatur sendiri masalah air bersihnya, ke
daerah perkotaan di mana mereka harus bergantung pada
pemerintah. Jadi, mereka beralih dari kategori yang memiliki
Suara dari Sektor Swasta
akses pada air bersih ke kategori yang tidak memiliki
akses pada air bersih akibat urbanisasi. Bagi pemerintah
menjadi sangat penting untuk memberikan fokus pertama
pada daerah perkotaan untuk menyediakan akses pada
air minum terlindungi. Hal ini akan menjadi masalah
lingkungan yang nyata jika masyarakat di daerah perkotaan
membuat sarana mereka sendiri untuk memperoleh air
bersih, karena lazimnya mereka akan membuat sumur
dalam. Jumlah sumur dalam di daerah perkotaan menjadi
sangat banyak sebagaimana yang kita saksikan di Jakarta,
bahwa akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air
dan dapat mengalirkan air) akan terkuras – sumur akan
semakin diperdalam sehingga mengakibatkan penurunan
tanah karena tanah tidak lagi bertopang pada lapisan
akuifer yang sehat. Air laut akan meresap ke dalam akuifer
dan sumur-sumur akan mengalami salinasi (proses dimana
garam-garam terlarut dan terakumulasi dalam tanah).
Masalah kesehatan akan timbul dari penggunaan air sumur
di daerah perkotaan yang tidak akan terjadi pada sumur
air di pedesaan. Jadi, tidak hanya ada penduduk di daerah
perkotaan yang memiliki ketergantungan, kita juga memiliki
tanggung jawab terhadap lingkungan untuk menyediakan
sistem air minum di daerah perkotaan.
Selain faktor yang membuat investasi menarik
bagi Acuatico − yakni kesempatan untuk menjalin
hubungan langsung dengan konsumen akhir,
yang penting sekali – apa lagi yang dianggap
kesempatan yang menarik?
Yang kami cari dalam konsesi air minum pemerintah adalah,
pertama, struktur tarif yang wajar, dan kedua, permintaan
yang memadai. Dari segi permintaan yang memadai,
saya ingin menyinggung tentang pengertian bahwa yang
kami cari adalah daerah dengan penduduk yang relatif
terkonsentrasi, seperti daerah perkotaan atau daerah
industri. Dan kami perlu memastikan bahwa ada sumber air
baku yang cukup.
Kami harus memiliki pola usaha secara menyeluruh yang
masuk akal, dan biaya pemasokan air baku perlu menjadi
pertimbangan ketika memutuskan berapa tingkat tarif yang
wajar. Di sebagian besar wilayah di Indonesia kami dapat
membangun infrastruktur air minum yang memadai dengan
menggunakan air permukaan, yakni sungai atau terkadang
waduk. Di Indonesia ada beberapa wilayah yang terlalu
kering, atau permintaannya terlalu tinggi dibandingkan
dengan jumlah sungai yang ada, sehingga di daerahdaerah seperti itu kami perlu mengkaji kemungkinan untuk
melakukan desalinasi. Tidak ada salahnya dengan desalinasi
sebagai faktor evaluasi dasar untuk mengkaji apakah
proyeknya masih menarik atau tidak. Yang penting adalah
kesesuaian antara tarif dan biaya, dan dengan desalinasi
biayanya akan menjadi jauh lebih tinggi.
Itu benar-benar pendekatan yang mahal, bukan?
Pada umumnya kami berharap bahwa sungai atau waduk
dapat memasok air baku yang dibutuhkan. Namun kadang
kala kami juga dapat mempertimbangkan laut atau akuifer
yang tersalinasi sebagai pemasok air baku. Kita bisa mulai
dengan air laut, tetapi kita perlu menerapkan struktur tarif
yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi dari biaya pengaturan
lain, dalam arti misalnya mengangkut air dengan truk.
Dengan demikian kita perlu mendapatkan konsumen yang
sangat khusus, atau kemungkinan memperoleh subsidi.
Sesungguhnya saya memiliki pendapat berbeda tentang
subsidi. Misalnya kita ingin membangun sistem pengolahan
air, seperti di Sumbawa atau Sulawesi Tenggara, di mana
umum berpendapat bahwa kesejahteraan setempat belum
cukup tinggi untuk mendanai sistem air minum, selain itu
juga tidak ada sumber air baku sehingga air harus diperoleh
dari laut untuk diproses menjadi air bersih. Dalam keadaan
seperti itu, saya rasa mungkin perlu dibicarakan untuk
menempatkan bebannya pada pemerintah dalam bentuk
subsidi, atau bahkan agar pemerintahlah yang membangun
proyek itu tanpa keikutsertaan sektor swasta.
Namun dalam keadaan pasokan air baku tidak mencukupi,
pada umumnya kami mempertimbangkan desalinasi sebagai
solusi bagi industri dan pariwisata. Apabila konsumen
adalah industri atau pariwisata, biasanya mereka mampu
membayar harga lebih tinggi, dan hal ini dapat dibenarkan
mengingat pentingnya memperoleh air bersih.
Mengingat peran yang dimainkan Acuatico, apakah
menurut Anda pantas untuk menyarankan kebijakan
atau prioritas kepada Pemerintah Indonesia?
Saya pernah mendengar seseorang (orang Indonesia
yang menjadi pimpinan sebuah perusahaan Indonesia)
mengatakan, bahwa perannya adalah untuk beroperasi
dalam konteks kebijakan pemerintah, dan meraih
keberhasilan usahanya. Kami sependapat. Kami tidak
menghabiskan waktu untuk mempelajari kebijakan mana
yang kami inginkan agar diubah; kami tidak yakin apakah
kami tahu bagaimana cara merumuskan atau menerapkan
kebijakan yang lebih baik. Yang kami lakukan adalah
meluangkan banyak waktu untuk menganalisis kebijakan
yang ada, agar kami dapat menciptakan peluang usaha yang
sebaik mungkin dan membuahkan hasil sebaik mungkin
bagi konsumen dalam konteks lingkungan regulasi. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
219
220
Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia
PERAN SEKTOR SWASTA
DALAM MENGEMBANGKAN
PELABUHAN DI INDONESIA
Carmelita Hartoto adalah Direktur Utama PT Andhika Lines,
sebuah perusahaan pelayaran yang didirikan di Indonesia pada
tahun 1973. Ia juga menjabat sebagai Ketua INSA (Persatuan
Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia).
Saat ini, keanggotaan INSA terdiri atas sekitar 1.300 pemilik kapal.
Selain kegiatannya di INSA, sejak tahun 2013 Carmelita menjabat
sebagai Wakil Ketua bidang Logistik dan Bendahara KADIN, Kamar
Dagang dan Industri Indonesia. Ia mengantongi gelar MBA dari
Webster University di Inggris.
PRAKARSA: Bagaimana Anda melihat peran
Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan
infrastruktur pelabuhan? Apa yang harus
dilakukan oleh pemerintahan yang baru ini?
CARMELITA HARTOTO: Pemerintah harus mulai dengan
pertanyaan: apa definisi kelautan yang sesungguhnya?
Bagaimana ruang lingkupnya? Apakah kelautan mencakup
perikanan? Bagaimana dengan sektor pariwisata? Kami
ingin pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur
pelabuhan sebagai prioritas. Dana yang tersedia terbatas,
oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk menentukan
prioritas terlebih dahulu. Pemerintah juga perlu membuat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
perencanaan yang diperlukan untuk memastikan bahwa
pembangunan pelabuhan harus mempertimbangkan
beragamnya kebutuhan setiap wilayah yang berbeda.
Misalnya, kapasitas apa yang diperlukan di suatu wilayah
tertentu saat ini dan di masa yang akan datang? Berapa
besar volume barang? Jawaban-jawaban atas pertanyaan
tersebut menentukan berapa dalam pelabuhan yang
diperlukan. Selanjutnya, pemerintah perlu menjamin
tersedianya infrastruktur pendukung. Sebuah pelabuhan
memerlukan utilitas – air bersih, listrik, dan untuk
mengaksesnya diperlukan jalan masuk dan keluar ke dan
dari pelabuhan.
Suara dari Sektor Swasta
Saya berharap bahwa pak Jokowi tidak hanya berbicara
dengan para menteri, kalangan akademisi, dan pekerja
pelabuhan, tetapi juga melakukan diskusi-diskusi penting
dengan para pengusaha. Para pengusahalah yang sungguhsungguh memahami operasional pelabuhan sehari-hari –
bukan sekedar teori.
Menurut pendapat Anda, langkah terpenting
apa yang harus diambil untuk mengatasi defisit
infrastruktur Indonesia?
Pengembangan pelabuhan seharusnya, jika memungkinkan,
menggunakan dana dari APBN [Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara]. Tetapi kerjasama sektor swasta juga
menjadi bagian dari jawaban tersebut. Untuk Kerjasama
Pemerintah-Swasta [Public Private Partnership], kita tidak
selalu harus mencari investor asing. Sektor swasta dalam
negeri juga siap dan bersedia ambil bagian. Saya teringat
akan seorang teman yang baru-baru ini beralih dari industri
pelayaran ke industri perumahan karena ia melihat peluang
yang lebih besar dalam industri tersebut. Intinya adalah
bahwa para investor swasta Indonesia siap untuk beralih
– mereka akan mengambil keuntungan kapan saja mereka
melihat terbukanya peluang usaha yang menjanjikan.
Dana APBN dapat difokuskan pada pembangunan daerahdaerah terpencil di mana terdapat desa-desa dan penduduk
miskin, serta pelabuhan yang tidak layak secara komersial.
Apakah sumber investasi menyebabkan adanya
perbedaan dalam hal efisiensi operasi?
Investor tidak selalu berarti sama dengan operator
pelabuhan. Pihak-pihak yang berbeda dapat melakukan
pembangunan dan pengoperasian. Hal terpenting
adalah bahwa setelah pelabuhan tersebut beroperasi,
pengoperasiannya harus efisien. Sektor swasta harus diberi
peluang untuk berinvestasi dalam membangun pelabuhan.
Tampaknya terdapat isu-isu yang beredar di seputar
otoritas Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ya, benar. Harus ada pemisahan antara fungsi pengatur
dan penyelenggara pelabuhan. Menurut saya Kementerian
Perhubungan belum sepenuhnya siap mengatasi masalah
ini. Jika mereka siap, mereka dapat mengatakan:
“Pelabuhan yang ini dapat diambil alih oleh sektor swasta,
sementara yang ini belum.”
Atas perkenan Carmelita Hartoto
Prakarsa Compendium | Jilid 3
221
222
Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia
Secara teori Undang-Undang Pelayaran [UndangUndang No. 17/2008 tentang Pelayaran, yang
memberikan mandat agar Pemerintah Indonesia
mengembangkan “sistem pelabuhan yang efisien,
kompetitif, dan responsif”] seharusnya mampu
memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
Apakah undang-undang tersebut berfungsi?
Undang-undang ini belum sepenuhnya dilaksanakan.
Perusahaan pelayaran sudah mengikutinya, tetapi di sisi
Pemerintah undang-undang itu belum dilaksanakan. Ini yang
seharusnya dipraktekkan. Kami kecewa dengan berbagai
hal yang saat ini terjadi. Misalnya, Pemerintah Daerah tidak
mempunyai otoritas untuk menutup atau mengendalikan
jalur pelayaran, tetapi Kementerian Perhubungan masih
harus berhadapan dengan banyak masalah yang terjadi
di wilayah tersebut. Biasanya mereka segera menangani
situasi dan mencoba memecahkan masalah tersebut.
Apakah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
mendapat fasilitas dalam infrastruktur yang tidak
dapat diberikan kepada sektor swasta? Jika ya, untuk
menciptakan keadilan, apa yang dapat dilakukan
untuk menciptakan persaingan yang seimbang?
BUMN seharusnya bersaing dengan sektor swasta. Di
masa lalu, mereka cenderung membatasi lini usaha
mereka – misalnya semen. BUMN tersebut hanya akan
mengangkut semen dan kargo lainnya akan diangkut
oleh para pengusaha swasta. Yang terjadi sekarang
adalah sebaliknya – BUMN memasuki semua jenis usaha,
dan sulit untuk bersaing dengan mereka. Mereka tidak
perlu mempertanggungjawabkan investasi mereka. Jika
mereka merugi, mereka akan mendapat suntikan modal. Di
sisi lain, kami [sektor swasta] akan mati jika kami gagal.
Jadi, apa yang dapat dilakukan?
Saya selalu menyerukan kepada Pemerintah untuk berkaca
kepada Cina sebagai tolok ukur. Dulu pemerintah Cina
memberikan perlakuan istimewa kepada badan usaha
milik negara, tetapi kemudian mereka menyadari bahwa
perlakuan ini akan menyebabkan inefisiensi, jadi sekarang
mereka memberdayakan sektor swasta. Indonesia
seharusnya mengambil pelajaran dari situ.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh
Bank Dunia dan lembaga-lembaga lain yang
menyimpulkan, bahwa biaya transportasi dan
logistik di Indonesia sangat tinggi. Biaya pengiriman
barang ke Sumatera lebih mahal dibandingkan
dengan pengiriman barang ke Eropa. Mengapa?
Apakah penyebabnya adalah masalah efisiensi
di pelabuhan atau hal lain?
Masalah efisiensi pelabuhan memiliki banyak dimensi.
Pemrosesan dokumen memakan waktu yang lama dan
biayanya terus-menerus meningkat. Hal ini menyulitkan
pengelolaan persediaan. Kita ambil contoh bawang. Kita
membeli bawang dengan harga Rp 50.000 per unit dan
kita bermaksud menjualnya kembali di pasar seharga
Rp 60.000. Tetapi selama transit, bawang tersebut disimpan
terlalu lama sehingga membusuk. Nilai riil saat ini menjadi
Rp 40.000. Jelas, seorang pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya dalam kondisi seperti ini.
Produktivitas yang rendah menyebabkan kapal-kapal harus
tertambat di pelabuhan lebih lama. Kami menandatangani
Perjanjian Tingkat Layanan (Service Level Agreements)
yang seharusnya menjamin layanan yang diberikan,
tetapi dalam kenyataannya tingkat layanan tetap rendah
sementara biayanya tinggi. Kualitas peralatan juga menjadi
masalah. Kadang-kadang pelabuhan daerah menggunakan
peralatan bekas. Jadi, banyak alasan mengapa
pengapalan kargo memerlukan waktu yang jauh lebih lama
daripada yang seharusnya.
Bagaimana dengan para pekerja bongkar
muat (TKBM)?
TKBM juga merupakan masalah besar bagi kami. Mereka
dikelola oleh sejenis koperasi dan jumlah pekerjanya
sangat banyak. Kecurangan dapat terjadi – pekerja A
mungkin sudah meninggal, tetapi orang tetap mengambil
upahnya. Harus ada pembatasan usia kerja juga.
Masalah-masalah inilah yang menyebabkan rendahnya
produktivitas, khususnya di pelabuhan-pelabuhan kecil.
Kita harus memanfaatkan tenaga kerja secara lebih baik dan
pemerintah perlu memastikan hal ini. Ini masalah yang sulit
karena pemecahannya melibatkan beberapa kementerian.
Suara dari Sektor Swasta
Sektor swasta dapat juga membantu dengan memberikan
pelatihan yang diperlukan kepada para pekerja.
Apa lagi yang dapat dilakuan untuk meminimalkan
waktu perputaran?
Pelindo III saat ini sedang membangun Teluk Lamongan.
Pelabuhan ini seluruhnya akan dilengkapi dengan peralatan
terkomputerisasi. Di seluruh dunia, mungkin hanya
beberapa pelabuhan baru yang menggunakan sistem ini.
Menurut pendapat Anda, apakah pembangunan
pelabuhan Cilamaya masih tetap diperlukan?
Ya, tetapi saya tidak tahu apakah pemerintah yang baru
akan membangunnya atau tidak.
Kompetisi menyebabkan peningkatan produktivitas dan
berarti juga peningkatan pendapatan. Saya memperoleh
laporan bahwa terdapat usulan kenaikan tarif sebesar 200
persen untuk kapal tunda; sebelumnya terdapat kenaikan
sebesar 800 persen. Ini berasal dari anak perusahaan
Pelindo. Saya katakan, Anda tidak dapat melakukannya
dengan cara seperti ini. Semua persoalan ini membuat
saya sungguh-sungguh sedih.
Apakah ada hal-hal yang ingin Anda tambahkan?
Menurut
saya,
yang
paling
penting
adalah,
Pemerintah harus mengatasi masalah-masalah yang
menyangkut kebijakan. ●
Bagaimana dengan Pelabuhan Tanjung Priok? Dengan
pembangunan Kalibaru akankah kapasitasnya memadai?
Kekhawatiran saya adalah bahwa pelabuhan tersebut
tidak dapat dibangun hanya di satu tempat, sementara
pertumbuhan terus terjadi. Kita harus berpikir jauh ke
depan. Menurut pendapat saya, sebetulnya kita agak
terlambat dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini
memalukan, karena JICA telah melakukan penelitian empat
tahun lalu tentang pelabuhan Cilamaya dan semua orang
memperkirakan pelabuhan itu akan dibangun. Dengan
adanya pemerintahan yang baru saya berharap rencana
tersebut akan ditindaklanjuti. Sambil membangun, kita
harus memperbaiki setiap kelemahan, tetapi tidak berarti
kita harus membuang semua pekerjaan dan perencanaan
yang telah dilakukan sebelumnya. Kita tidak akan pernah
maju jika kita menerapkan cara berpikir semacam itu.
Menurut saya, hal ini sama dengan Pemerintah Australia.
Pergantian pemerintahan tidak berarti bahwa setiap
rencana di masa lalu akan berubah, bukan?
Kami telah melakukan studi kelayakan tentang
pembangunan pelabuhan baru di Makassar, tetapi
tampaknya Pelindo IV mempunyai rencana sendiri.
Masalahnya dengan Pelindo IV adalah, kita tidak
punya pilihan. Kemungkinan lain, para investor
proyek dari mana pun dapat ikut serta dalam
pembangunan pelabuhan kelas dunia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
223
224
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
SUARA BAGI SEKTOR SWASTA
DI BIDANG PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR
Berdomisili di Singapura, Mark Rathbone adalah Pemimpin Asia
Pacific Capital Projects & Infrastructure dari PricewaterhouseCoopers
(PwC). Mark telah memberi advis mengenai serangkaian transaksi
di bidang pasar Infrastruktur, Pembiayaan Proyek, dan Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS), termasuk transaksi di sektor-sektor
seperti energi (penyimpanan gas/minyak), pembangkit listrik
dan bahan bakar terbarukan, pertahanan, kesehatan, akomodasi,
transportasi, dan olahraga, termasuk transaksi pasar sekunder
dan penggalangan dana pinjaman.
Mark juga memberi advis mengenai transaksi infrastruktur besar yang
lingkupnya melintasi batasan yang kompleks antara sektor publik dan
swasta. Ia juga telah menjadi bagian penting dalam pengembangan
struktur proyek, mekanisme tarif, alokasi risiko, dan solusi pendanaan
terkait dengan transaksi infrastruktur besar, sementara juga memimpin
penyusunan dan negosiasi kontrak-kontrak jenis KPS, usaha patungan
(joint venture), dan konsesi.
Ia telah memimpin proyek-proyek dalam rentang luas, termasuk
Jembatan Hong Kong-Zhuhai-Macau, pembiayaan utang dan ekuitas
bagi sejumlah terminal penyimpanan minyak, KPS Pusat Olahraga
di Singapura, Rencana Induk Privatisasi Brunei, Ascot Racecourse
Redevelopment, KPS ITE College West, Changi NEWater DBFO,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
Tuas Desalination, EPPO IPP Program, sejumlah kajian IPP komersial,
divestasi jalan tol, dan akuisisi kepemilikan saham minoritas di salah
satu pelabuhan di Tiongkok. Sebelum bergabung dengan kantor di
Singapura, ia bekerja pada PwC Project Finance Group di Inggris,
di mana ia memberi advis mengenai sejumlah transaksi infrastruktur
sosial di sektor pertahanan dan kesehatan.
PRAKARSA: Belum lama ini Indonesia mengalami
perubahan dalam kepemimpinan nasional –
apa yang menurut Anda merupakan prioritas
infrastruktur utama bagi pemerintah sekarang?
MARK RATHBONE: Pemerintah Indonesia yang baru,
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan pengaruh Indonesia di seluruh
kawasan Asia Tenggara saat ini. Indonesia semakin menjadi
prioritas bagi investor infrastruktur yang mengenali
baik potensi pertumbuhan ke depan, maupun defisit
infrastruktur dewasa ini – memiliki peringkat kredit
investasi; populasi muda yang bertumbuh; sumber daya
alam substansial dan basis biaya (cost base) rendah
dengan kebutuhan yang besar akan investasi infrastruktur
di bidang prasarana transportasi, utilitas, dan sosial.
Namun, hilangnya peluang untuk memanfaatkan
potensi dividen pertumbuhan sangat mudah. Saya
dapat menyebutkan beberapa faktor fundamental yang
perlu ditangani agar dapat menumbuhkan ketersediaan
infrastruktur Indonesia secara berkelanjutan:
Penyiapan proyek – menjamin agar
prioritas disiapkan secara efektif untuk
pengadaannya – menarik minat peserta
dan menyediakan struktur komersial yang
pembiayaan oleh sektor keuangan swasta.
proyek-proyek
memungkinkan
lelang (tender)
memungkinkan
Pendanaan Pendampingan Pemerintah (VGF, Viability Gap
Financing) – penyempurnaan legislasi tentang VGF dan
menerapkannya secara efektif di bidang-bidang yang tepat.
Konsistensi di seluruh jajaran pemerintahan – menegakkan
pendekatan yang konsisten di seluruh jajaran pemerintah
pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda),
melalui kepemimpinan yang tegas dan perencanaan
yang kokoh.
Pembebasan lahan – penanganan yang lebih efektif
dalam hal pembebasan lahan yang terus menerus
menimbulkan masalah.
Kapasitas – pembangunan kapasitas, baik di sektor
pemerintah maupun swasta.
Lembaga yang terafiliasi dengan Pemerintah – menguatkan
lembaga-lembaga
yang
mendorong
pembangunan
infrastruktur – misalnya, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI,
pemilik saham PT Indonesia Infrastructure Finance) dan
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF).
Fokus pada sektor – penting untuk memusatkan perhatian
pada transportasi (jalan raya, kereta api perkotaan
[MRT dan sebagainya], dan pelabuhan); penjernihan dan
distribusi air minum; pembangkitan dan distribusi tenaga
listrik; serta layanan kesehatan (pedesaan). Namun,
mungkin akan masuk akal untuk mengerjakan beberapa
proyek yang tidak terlalu rumit untuk membangkitkan
kepercayaan terhadap proses, sebelum menangani skema
kompleks berskala besar.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
225
226
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Dalam jangka menengah, membangun kapasitas
transaksional di pemerintah, meningkatkan struktur
komersial, dan mengupayakan penggunaan preseden yang
sudah diakui secara global.
Membangun dukungan dari pemangku kepentingan di
seluruh pemerintahan dan mendorong partisipasi sektor
swasta melalui alokasi risiko yang efektif.
Dan dalam jangka panjang, apa yang diperlukan adalah
mengenalkan
langkah-langkah
untuk
mendorong
berkembangnya pasar modal; mengembangkan lembaga
yang lebih kuat yang mendorong pengadaan infrastruktur;
melanjutkan fokus pada pembangunan kapasitas dan
program retensi talenta; membuka bagian dari ekonomi
bagi keahlian dan investasi internasional; mengurangi beban
administratif dalam pengelolaan perusahaan; mengatasi
persoalan transparansi dan kepentingan pribadi atau
kelompok (vested interest) di berbagai lapisan pemerintah
(di pusat maupun daerah).
Anda dapat melihat ilustrasi pendekatan ini dalam diagram
PwC [lihat Gambar 1].
Dari sudut pandang infrastruktur yang
didanai swasta, apakah ada kesenjangan atau
ketidakkonsistenan dalam lingkungan peraturan
perundang-undangan yang menurut Anda patut
mendapatkan perhatian khusus?
Atas perkenan Mark Rathbone
Ini merupakan daftar ambisius mengenai hal-hal
yang perlu ditangani. Bagaimana Anda melihat
pembagiannya dari segi apa yang perlu dilakukan
secara jangka pendek dan secara jangka panjang?
Dalam jangka pendek, yang diperlukan adalah legislasi
dasar tentang VGF dan pembebasan lahan; penstrukturan
proyek yang lebih baik; penghapusan hambatan dalam
pemberian persetujuan dengan menyederhanakan proses;
pemprioritasan proyek untuk mengatasi rintangan terhadap
pertumbuhan ekonomi; melakukan kerjasama secara efektif
dengan pemerintah di tingkat daerah dan dengan lembagalembaga multilateral.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sudah banyak pembahasan yang dilakukan mengenai
legislasi baru untuk melancarkan pembebasan lahan dan
dukungan VGF yang efektif. Berbagai upaya telah diluncurkan
untuk membentuk lembaga-lembaga yang seharusnya
mendukung pengadaan dan pembangunan infrastruktur
(misalnya IIGF). Meski demikian, berapa proyek KPS yang
sudah memanfaatkan peraturan ini? VGF terbatas dalam
jangkauannya sehingga hanya dapat digunakan untuk
proyek-proyek tertentu. Dan jumlah subsidi pemerintah juga
dibatasi untuk setiap proyek dalam besaran persentase dari
biaya proyek. Peraturan mengenai pembebasan lahan yang
sering dijanjikan juga tidak memiliki gigi dan tampaknya
belum pernah digunakan.
Banyak yang perlu dilakukan untuk menyiapkan proyekproyek secara efektif, dengan menggunakan keahlian dan
preseden yang tepat untuk memastikan agar proyek-proyek
tersebut terstruktur dengan baik.
Mega proyek tampak menjadi area fokus: Bendungan
Raksasa Jakarta, Jalur Kereta Api Bandara Internasional
Suara dari Sektor Swasta
Soekarno-Hatta, Jalan Raya Trans Sumatra. Ini merupakan
proyek-proyek
multi-miliar
dolar
yang
memiliki
kompleksitas tinggi. Mengapa tidak mulai dengan beberapa
proyek sederhana yang dapat membangun percaya diri dan
cepat membuahkan hasil cepat (quickwins)? Perhatikan
saja sektor-sektor yang memiliki kebutuhan publik luar
biasa serta memberikan manfaat sosial dan ekonomis yang
besar: penyediaan air minum; perlindungan terhadap banjir
di Jakarta (membersihkan kanal drainase di tingkat yang
mendasar). Subsidi perlu diarahkan menuju upaya ini untuk
memungkinkan terjadinya penyelesaian keuangan.
transaksi ke pasar dan menyelesaikannya, perlu
ditempatkan pada posisi di mana mereka dapat mendobrak
maju dengan praktik-praktik pengadaan yang baik.
Seperangkat proses yang jelas perlu dikomunikasikan ke
pasar berikut seperangkat kriteria dan tahapan yang jelas,
wajib dipatuhi. Perlu diidentifikasi orang-orang kunci yang
akan bertanggung jawab untuk menggerakkan proyek,
sektor, dan lokasi tertentu dengan Indikator Kinerja Kunci
(KPI, Key Performance Indicators) yang kuat dan kokoh.
Kegagalan dalam menyelesaikan proyek akan berujung
pada penggantian orang-orang tersebut.
Kepentingan pribadi atau kelompok, korupsi, dan
masalah Pemda-versus-Pemerintah Pusat perlu ditangani.
Penyelarasan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah perlu didorong sambil menerapkan proses
pengadaan yang jelas dan transparan untuk menangani isuisu seputar transparansi.
Di bawah ini analisis yang bermanfaat yang
menggambarkan kontras antara pasar infrastruktur yang
matang dan yang tidak matang (lihat Gambar 2). Berikut
kriteria yang perlu diikuti.
Perorangan yang paham mengenai pengadaan infrastruktur
serta memiliki rekam jejak keberhasilan dalam membawa
Jadi, apabila kerangka hukum ditingkatkan,
apa langkah berikutnya untuk menjadikan
lingkungan lebih kondusif untuk investasi
dari dalam dan luar negeri?
Gambar 1: Pendekatan dalam Menangani Kesenjangan Infrastruktur
Program yang
berkelanjutan
Keberhasilan
dalam
pengadaan
Biarkan proses
berkembang
Dorong pengembangan
pasar modal
Tangani persoalan
proyek secara dini
Pelihara program
peluang
Gali solusi pembiayaan
alternatif
Dukungan pemangku
kepentingan yang
berkesinambungan
Kolaborasi
antara sektor publik
dan swasta
Dukungan pemangku
kepentingan yang kuat
dan konsisten
Keseimbangan antara
risiko dan tingkat
pengembalian
Pertahankan sumber
pembiayaan swasta
yang telah ada
Bangun kemampuan
transaksional
Definisi proyek,
kelayakan, dan
pilihan pembiayaan
Kapasitas – pemerintah
dan swasta
Proses persetujuan
dan penutupan
Letakkan
pondasi
Manfaatkan daya
ungkit multilateral
Konsultasi dengan
pemangku
kepentingan
Kepastian
kelembagaan
Pengembangan
dan pemrioritasan
program
Perubahan peraturan
terfokus – misalnya
pembebasan lahan
Preseden global
dengan aplikasi
lokal
Sumber: PricewaterhouseCoopers
Prakarsa Compendium | Jilid 3
227
228
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Indonesia membutuhkan peraturan mendasar yang
memiliki gigi. Sebagai titik awal, peraturan tentang VGF
dan pembebasan lahan yang efektif. Proses proyek perlu
diformalkan dan disosialisasikan – contohnya adalah
sebagai berikut [lihat Gambar 3].
terjadi hambatan pada tahapan dalam proses tertentu
atau pada bagian pemerintah, tanggulangi alasannya
secara tepat waktu atau singkirkan individu-individu yang
menyebabkan hambatan tersebut jika ternyata tidak ada
alasan yang valid untuk menghambat proyek tersebut.
Orang-orang, yang bertanggung jawab atas proyek dan
program, harus bertanggung gugat atas kegagalan. Jika
Pembatasan terhadap investasi asing langsung dan
penempatan kerja orang asing merupakan hambatan
Gambar 2: Bergeser dari Pasar Infrastruktur yang Belum Berkembang Menuju yang Sudah Berkembang
Penggunaan keuangan
swasta yang belum
berkembang atau
tidak berhasil
Bagian 1:
Meletakkan pondasi
Persyaratan pembiayaan
swasta
Bagian 2:
Membangun Struktur
Mengembangkan pasar
untuk pembiayaan swasta
Bagian 3:
Merencanakan
masa depan
Jalan maju bagi
keuangan swasta
Ciri-ciri Pasar
• Tidak adanya
dukungan politik
dan publik
• Kebijakan pengadaan
yang belum
berkembang
• Pendekatan pasar
secara ad hoc
• Usulan infrastruktur
tidak layak secara
komersial; sehingga
tidak mampu menarik
solusi keuangan swasta
• Mengandalkan
penarikan minat
investasi dan
investor asing
• Tidak adanya
kemampuan
bertransaksi
dan pemahaman
(know-how)
• Gagal untuk mengenali
manfaat yang lebih
luas dan pengalihan
risiko yang dapat
dicapai dengan
melibatkan keuangan
swasta
• Proposal keuangan
swasta yang tidak
bersaing
Penggunaan keuangan
swasta yang sudah
berkembang atau
sudah berhasil
Ciri-ciri Pasar
• Ciptakan lingkungan
politik, hukum,
dan keuangan
yang kondusif bagi
keuangan swasta
(Jalan Texas P3, Jalan
Tol Lekki, Jalan Bebas
Hambatan 407)
• Libatkan semua
pemangku
kepentingan, termasuk
pemakai publik, dalam
tahap pengembangan
dan perencanaan
• Kembangkan prakiraan
keuangan objektif dan
jadwal pengembalian
utang yang praktis
(Terowongan Antar
Kota, Jalan Tol
Meksiko)
• Lakukan analisis
untung-rugi antara
pendekatan komersial,
kontraktual, dan
pembiayaan
(Jalan Layang Chicago,
Program KPS Chile)
• Tentukan arti dan
dampak kegagalan
serta tetapkan cara
memitigasi dan
mengelola risiko
seperti itu
(Bandar Udara
Internasional Delhi)
Sumber: PricewaterhouseCoopers
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Tarik minat
pembiayaan swasta
pada program yang
memprioritaskan
peluang investasi
(KPS India, Program
Jalan SCUT Portugal)
• Kenali apa yang
dapat diraih
secara komersial
(Terowongan
Pelabuhan Miami)
• Tingkatkan kolaborasi
antara pihak
pemerintah
dan swasta
(Florida I-595, Terminal
Laut Seagirt, Dana
Masa Depan Australia,
Canada Line)
• Tingkatkan dan
pertahankan
kemampuan
bertransaksi
(KPS Kanada,
Kemitraan BC)
• Manfaatkan daya
ungkit keterampilan
keuangan dan
transaksional
lembaga multilateral
(Pelabuhan Doraleh)
• Pertahankan
keterlibatan sumber
keuangan swasta
yang ada
(Unit Pembiayaan
Infrastruktur
Kementerian Keuangan
Inggris, Pembiayaan)
• Stimulasi pasar modal
jangka panjang
• Tanggapi perubahan
dalam penawaran
keuangan infrastruktur
karena selera, fokus
sektoral dan geografis
investor berubah
• Gali pengembangan
sumber-sumber baru
keuangan swasta
(VGF, Koneksi BRIS)
• Usulkan cara-cara baru
untuk meningkatkan
keuangan swasta di
sektor infrastruktur
(Fasilitas Krisis IFC)
• Kerangka kerja politik
dan hukum yang kuat
dan transparan
• Program peluang yang
sudah ditetapkan
• Kolaborasi dekat
antara sektor
pemerintah dan
swasta
• Dukungan kuat dari
semua pemangku
kepentingan
• Inovasi dalam
pendekatan
pengadaan yang
berkesinambungan
• Kapasitas keuangan
daerah dan
regional yang sudah
berkembang
• Kemampuan untuk
menarik sumber pasar
keuangan baru
• Kapasitas transaksional
yang ditingkatkan dan
kemampuan untuk
mempertahankannya
Suara dari Sektor Swasta
Gambar 3: Proses Proyek Formal
Proses Gerbang
Gerbang 0: Justifikasi Strategis
(Portofolio Nasional/Rencana Program)
Gerbang 1: Justifikasi Bisnis
(Persetujuan untuk mendirikan proyek dan menyelesaikan kelayakan)
Gerbang 2: Strategi Penyediaan
(Persetujuan untuk menerbitkan tender)
Gerbang 3: Seleksi dan Pemenangan Tender
(Persetujuan untuk menerbitkan kontrak)
Gerbang 4: Manajemen yang Berkesinambungan
(Akseptasi dimulainya layanan)
Gerbang 5: Penutupan Kontrak
(Pengkajian hasil secara berkala dan final)
Kasus Bisnis dalam Proses Berpintu
Rencana Strategis
Kasus Garis Besar Strategi
Kasus Garis Besar Kasus Bisnis (BC,Business Case)
Kasus Bisnis Lengkap
Kesiapan untuk Pengkinian Layanan BC
Pengkinian dan realisasi manfaat secara berkala
Sumber: PricewaterhouseCoopers
yang harus segera ditanggulangi. Perekonomian yang
lebih terbuka akan meningkatkan persepsi, membangun
kapasitas, dan kemungkinan besar akan memungkinkan
proses-proses yang lebih efisien, karena preseden dari
negara lain dapat digunakan di Indonesia. Dalam hal
pengadaan infrastruktur, tidak perlu menciptakan ulang hal
baru yang sudah ada (reinvent the wheel). Banyak negara
lain sudah sangat berhasil dalam melaksanakan program
pengadaan infrastruktur, dengan menggunakan alat bantu
dan struktur komersial yang berbeda.
Apakah menurut Anda Pemda merupakan
bagian dari permasalahan atau solusi?
Dua-duanya. Perlu ada keselarasan antara Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat. Pemda diperlukan untuk
mendorong program daerah, tetapi mereka dapat menjadi
hambatan apabila Pemda atau para pemimpin daerah
tidak yakin bahwa proyek tertentu merupakan prioritas
bagi wilayah mereka.
Perlu ada fokus strategi yang jelas dan pendekatan
yang melibatkan seluruh jajaran pemerintah untuk
mengembangkan
program
infrastruktur
Indonesia.
PwC belum lama ini menerbitkan dokumen sangat
penting
dengan
Forum
Perekonomian
Dunia
(World Economic Forum) yang membahas pengembangan
infrastruktur strategis. Telah diakui dengan luas bahwa
skala defisit infrastruktur global menuntut adanya
pendekatan yang sangat strategis untuk menyalurkan
pembangunan dan pengadaan.
Anda menyebutkan bahwa Pemda dapat
menjadi hambatan. Benar, sering dikatakan
bahwa desentralisasi merupakan kendala
dalam meningkatkan penyediaan infrastruktur.
Apa yang dapat dilakukan untuk menjamin
peran yang lebih positif bagi Pemda?
Pemda harus menjadi bagian dari kerangka kelembagaan
untuk menggerakkan infrastruktur. Sebagai contoh,
perangkat Pemda harus dapat berinteraksi dengan
Pemerintah Pusat, SMI, dan lain sebagainya. Pemda harus
memiliki pengaruh atas prioritas di dalam wilayah mereka.
Mereka harus memiliki suara dalam penyusunan program
infrastruktur Pemerintah Pusat.
Beralih dari Pemda ke lembaga penting lainnya:
Apakah BUMN mendapatkan kemudahan yang
tidak diberikan kepada sektor swasta di bidang
infrastruktur? Jika demikian, apa yang dapat
dilakukan untuk menyamakan daya saing
sektor swasta?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
229
230
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Saya yakin demikian adanya, di dalam perekonomian
manapun. Lebih-lebih di ranah atau sektor di mana
BUMN memiliki monopoli atau bertindak dengan secara
monopolistik. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi
kegiatan sektor swasta dalam sektor tertentu. Jadi, apabila
pemerintah ingin meningkatkan kinerjanya, mendorong
investasi, dan menumbuhkan jumlah infrastruktur,
masalah ini perlu ditangani.
Mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi melalui
KPS adalah salah satu cara menanganinya. Bagi BUMN
tertentu, opsi lain adalah untuk membentuk korporasi yang
mengarah pada privatisasi.
Banyak yang mengatakan bahwa permasalahan
di bidang infrastruktur didominasi oleh perspektif
pemerintah. Apakah sektor swasta memiliki suara
dalam peningkatan kebijakan, perencanaan, dan
penyediaan layanan infrastruktur?
Kami memperkirakan akan menjadi demikian ketika melihat
infrastruktur pemerintah yang inheren, misalnya jaringan
jalan, kereta api dan kereta api ringan, pelabuhan, bandara,
pembangkit listrik dan utilitas lainnya, penjernihan dan
distribusi air minum, rumah sakit umum, serta pendidikan.
Pemerintah yang mendorong pengadaan aset-aset
tersebut, dengan demikian juga merupakan Pemerintah
yang bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan
yang memungkinkan agar dapat melakukan pengadaan
aset-aset tersebut.
Kita tidak akan melihat isu-isu ini di Indonesia terkait
sektor swasta yang membangun lahan yasan (real estate)
seperti mal, kantor, dan gedung apartemen, atau entitas
korporat yang mengembangkan hak tambangnya. Sebagai
ilustrasi, 33,1 persen produk domestik bruto (PDB)
Indonesia pada 2012 dibelanjakan untuk investasi
dalam aset modal (capital asset); hanya 3,2 persen PDB
dibelanjakan untuk infrastruktur1 – sisanya dibelanjakan
untuk aset modal sektor swasta – pabrik, tambang, lahan
yasan! Sektor swasta telah memberikan umpan balik
dan penjelasan dalam jumlah yang substansial kepada
pemerintah agar Pemerintah dapat melakukan reformasi
dan pendekatan pada pembangunan infrastruktur. Sektor
swasta sungguh ingin berinvestasi dalam infrastruktur
pemerintah yang inheren di Indonesia, tetapi alokasi
risiko harus adil, pengembalian hasil harus adil dan setara,
dan proses harus adil.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kata terakhir untuk disampaikan: Pemerintah Indonesia
tidak memiliki modal yang diperlukan untuk membelanjakan
infrastruktur yang dibutuhkan untuk melanjutkan
pertumbuhannya. Jumlah substansial dalam pembiayaan
infrastruktur perlu didatangkan dari sektor swasta.
Sebagai kesimpulan, sektor swasta sungguh memiliki suara
dan harus memiliki suara dalam penyediaan infrastruktur
di Indonesia. KPS mensyaratkan bahwa pemerintah dan
sektor swasta bekerjasama dengan tujuan bersama untuk
menyediakan infrastruktur dan layanan kepada masyarakat
pembayar pajak.
Apa yang dapat Anda uraikan mengenai
kegiatan PwC saat ini terkait dengan
infrastruktur di Indonesia?
PwC memiliki tim penasihat kuat di bidang Capital
Projects & Infrastructure (CP&I) di Indonesia. Tim kami
berpengalaman di sektor transportasi (jalan, kereta api,
pelabuhan, dan bandara), utilitas, termasuk pembangkit
listrik, air minum, dan tentunya di bidang infrastruktur
sosial, misalnya pengadaan rumah sakit. Tim kami bekerja
erat dengan klien-klien di sektor swasta yang ingin
berinvestasi ke dalam berbagai jenis aset perekonomian,
baik dalam infrastruktur pemerintah yang inheren seperti
proyek transportasi, maupun peluang yang lebih berfokus
pada sektor swasta seperti lahan yasan, pertambangan,
manufaktur, atau minyak dan gas.
PwC melakukan investasi besar dalam kemampuan kami
sendiri di Indonesia dengan membangun kapasitas dan
pengalaman tim kami. Tim kami dipimpin oleh Pak Rizal
Satar dan Julian Smith. Pak Rizal sudah merupakan seperti
lembaga tersendiri dalam sejarah infrastruktur Indonesia
selama bertahun-tahun, sedangkan Julian adalah seorang
Pemimpin Transportasi dan Logistik Global (Global Transport
and Logistics Leader) yang baru-baru ini pindah ke Jakarta
untuk meningkatkan kredensial kami di pasar setempat. Tim
setempat ini didukung oleh tim Global CP&I dari PwC yang
terdiri atas sekitar 800 orang profesional yang berdedikasi
dalam pemberian advis kepada klien kami mengenai proyek
infrastruktur berskala besar di seluruh dunia.
Jadi, Anda berada dalam posisi baik untuk
berkomentar mengenai dinamika peran pemerintah
dan swasta di bidang investasi. Di Indonesia, KPS
telah menjadi pokok bahasan selama bertahuntahun, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum
Suara dari Sektor Swasta
menunjukkan banyak keberhasilan. Apa yang perlu
dilakukan untuk mendorong pemanfaatan modalitas
penyediaan ini secara berkelanjutan?
Saya menyinggung beberapa area kunci yang perlu ditangani
untuk memungkinkan program-program KPS dikembangkan
secara efektif. Banyak negara, baik yang maju maupun
yang sedang berkembang, menggunakan KPS yang jelas
merupakan alat bantu penting dalam pembangunan
infrastruktur, khususnya jika ada keterbatasan tersedianya
dana pemerintah untuk dibelanjakan. KPS mutlak
diperlukan bagi Indonesia untuk mencapai keberhasilan
dalam pelaksanaan rencana infrastruktur.
KPS hanya akan menarik minat para investor
selama risiko masih dianggap wajar. Apa yang perlu
dilakukan pemerintah untuk menjamin agar risiko
yang dibebankan pada sektor swasta dalam proyek
infrastruktur besar dapat terkelola?
Ikuti prinsip dasar yang berlaku: alokasikan risiko pada
pihak yang berada pada posisi paling baik untuk mengelola
risiko tersebut. Setelah itu, berikan pengakuan bahwa para
investor infrastruktur perlu mendapatkan pengembalian
hasil yang sesuai dengan risiko yang ditanggung! Terdapat
preseden dalam jumlah yang sangat substansial yang dapat
digunakan untuk merumuskan prinsip-prinsip dasar yang
perlu diberlakukan pada semua proyek di Indonesia. Hal
ini bukan sesuatu yang sangat rumit, dan justru merupakan
bagian yang termudah untuk diperoleh di tingkat yang
mendasar. Untuk risiko yang lebih rumit, misalnya risiko
penghasilan, perlu pemikiran dan analisis yang lebih dalam.
Namun, sekali lagi, banyak material yang tersedia sehingga
kita tidak perlu menciptakan ulang sesuatu yang sudah ada!
Analisis risiko, kuantifikasi, alokasi, disusul dengan mitigasi
merupakan bagian-bagian kunci dalam proyek apa pun –
baik selama proses pengadaan proyek, serta juga setelah
penyelesaian keuangan saat konstruksi, komisioning, dan
pengoperasian. PwC telah mengembangkan proses-proses
yang kokoh untuk mendukung penyusunan struktur atau
alokasi risiko efektif dalam proyek infrastruktur yang dapat
digunakan untuk menyusun struktur proyek yang secara
komersial dapat diterima oleh bank.
Hingga sekarang kerja sama pemerintah
dan swasta memusatkan perhatian pada
penyediaan infrastruktur ekonomi. Apakah
KPS perlu dipertimbangkan untuk penyediaan
infrastruktur sosial?
Saya tidak melihat ada cara lain agar Indonesia dapat
menyediakan layanan kesehatan, perumahan, pendidikan
yang diperlukan masyarakat, dan ini akan menjadi
tuntutan masyarakat seiring meningkatnya kesejahteraan
mereka. Sudah “normal” bahwa pasar-pasar yang baru
berkembang pada tahap awal siklus pembangunan,
menangani kebutuhan infrastruktur ekonomi, ini
merupakan infrastruktur yang menggerakkan pertumbuhan
ekonomi. Meski demikian, infrastruktur sosial dibutuhkan
baik pada tahap ini maupun seiring dengan peningkatan
status dari pasar yang baru berkembang menjadi yang
lebih berkembang. Titik awal yang baik mungkin dengan
memperhatikan contoh bagaimana program yang terfokus
dalam sektor ini dapat diterapkan bukan yang merupakan
proyek yang maha besar (grand mega schemes) melainkan
yang sungguh menunjukkan adanya manfaat sosial.
KPS infrastruktur sosial sudah ada sejak bertahun-tahun.
Inggris yang mempeloporinya melalui program Prakarsa
Pembiayaan Swasta (Private Finance Initiative) di bidang
layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. KPS dalam
infrastruktur sosial kini sudah sering digunakan di Amerika
Utara dan Selatan, Afrika bagian Selatan, Timur Tengah,
India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, dan
Selandia Baru. Sudah ada banyak sekali preseden, contoh
proyek, dan struktur alternatif yang dapat digunakan untuk
mengembangkan program-program tersebut.
Meski demikian, bagian fundamental dari KPS
infrastruktur sosial adalah peran pemerintah sebagai
investor atau pihak yang membayar. Hal ini akan
mensyaratkan perubahan fundamental yang dilakukan
dalam proposal VGF yang ada saat ini.
Apakah Anda mendukung penggunaan VGF?
Mengapa perlu waktu sedemikian lama untuk
mengembangkannya?
VGF merupakan keharusan bagi sebagian program
infrastruktur. Proyek transportasi berskala besar hampir
selalu mensyaratkan adanya dukungan pemerintah, baik
berupa subsidi tarif atau kontribusi terhadap biaya modal
di muka; infrastruktur sosial juga memerlukannya.
Mengapa perlu waktu sedemikian lama – saya tidak tahu.
VGF secara keseluruhan bukan konsep baru. Di seluruh
dunia, pemerintah berkontribusi pada biaya infrastruktur
dalam berbagai cara yang berbeda, jadi banyak contoh yang
menunjukkan bahwa hal ini dapat dilakukan dan bagaimana
Prakarsa Compendium | Jilid 3
231
232
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
menciptakan legislasi untuk mempengaruhinya! Tidak
adanya kemauan, tidak adanya kepemimpinan, adanya
kepentingan pribadi atau kelompok, tidak adanya kemauan
untuk mengubah, semua ini bisa menjadi alasan mengapa
perlu waktu sedemikian lamanya.
Indonesia termasuk negara berpenghasilan
menengah dan memiliki sumber daya dalam
negeri yang cukup banyak. Bagaimana cara
untuk menggerakkan dan menyalurkan sumber
daya tersebut ke dalam proyek infrastruktur?
Perencanaan yang lebih baik; proses yang lebih efektif;
peningkatan komunikasi; fokus pada prioritas kunci,
bukan pada proyek-proyek maha besar atau proyek untuk
memenangkan suara pemilih; kemudahan dalam pendirian
usaha; dorong penanaman modal asing (FDI, Foreign Direct
Investment); hentikan kebocoran modal pada proyekproyek besar.
Apakah pasar uang setempat dapat berperan
sebagai penengah antara simpanan surplus
dan investasi?
Ya, mudah-mudahan bisa. Pada tingkat mendasar, dengan
cara mengalokasikan dana pensiun untuk investasi di bidang
infrastruktur pusat; mengalokasikan penerimaan pajak
untuk proyek infrastruktur; mengakses keluarga-keluarga
yang memiliki nilai kekayaan bersih (net worth) tinggi dan
perusahaan swasta yang tampak memiliki modal substansial
yang tidak investasikan dalam infrastruktur publik.
Bank-bank lokal perlu mencari jalan untuk memperkuat
dan memperdalam pasar modal sehingga proyek-proyek
infrastruktur dapat lebih efektif mengakses sumber
pembiayaan ini.
Apakah kesenjangan jangka waktu antara utang
dan aset dapat menimbulkan kesulitan bagi sektor
keuangan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan
proyek jangka panjang? Apa yang dapat dilakukan
untuk mengatasi keadaan tersebut? Mungkin
dengan pemanfaatan dana pensiun, obligasi,
dan sebagainya secara lebih baik?
Tentu saja. Infrastruktur bersifat jangka panjang dan
sebagian besar proyek tidak memiliki basis pendapatan
yang mampu untuk mendukung pengembalian pinjaman
CATATAN
1. Sumber: Economic Intelligence Unit dan PwC.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
jangka pendek yang ditawarkan oleh pasar uang setempat.
Oleh karena itu, pembiayaan dengan tenor/jangka waktu
panjang sangat penting. Solusi dengan obligasi merupakan
pilihan, demikian juga dana pensiun. Meski demikian,
solusi dengan obligasi mensyaratkan adanya struktur dan
kepastian, sehingga sulit diperoleh dibandingkan solusi
pinjaman bank – dan dengan demikian, obligasi proyek
kemungkinan sulit untuk direalisasikan di Indonesia kecuali
dijamin oleh pemerintah.
Dana pensiun lokal – benar, itu dapat dimanfaatkan untuk
diinvestasikan dalam infrastruktur sebagai kelas aset (asset
class). Dana pensiun internasional (Ontario Teachers, Aussie
Super Funds, dan sebagainya) yang berinvestasi besarbesaran dalam infrastruktur tidak melakukan investasi
langsung dalam proyek-proyek di Indonesia atau pasar
lainnya yang baru berkembang karena risikonya terlalu
besar (dalam hal ini saya merujuk pada lembaga-lembaga
yang bersedia menanggung pemajanan langsung pada risiko
proyek sebagai pemegang saham dalam aset infrastruktur
tertentu). Agar dapat menarik modal, beberapa hal
fundamental dasar perlu diatasi seputar kerangka kerja
hukum, transparansi, kemudahan berinvestasi, keamanan
investasi, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan kemampuan proyek dalam menarik
minat pada transaksi dengan pembiayaan jangka
waktu lebih lama, struktur proyek yang lebih baik, arus
pendapatan lebih aman, dukungan kuat dari Pemerintah
untuk proyek/program, gunakan preseden kontrak/
alokasi risiko untuk mengurangi persepsi adanya risiko
yang lebih tinggi, dukungan Pemerintah terhadap proyek
(jaminan dan sebagainya).
Peran apa yang dapat dimainkan keuangan
internasional untuk memajukan infrastruktur
Indonesia?
Mereka membawa pengalaman dalam penstrukturan
dan pemberian pinjaman untuk infrastruktur, kedalaman
likuiditas, dan kemampuan untuk memberi pinjaman
dengan jangka waktu lebih lama. Mereka memiliki
kemampuan untuk menilai dan menggerakkan program,
dan mereka juga memiliki orang-orang yang sebelumnya
sudah pernah melakukannya. ●
Suara dari Sektor Swasta
Sektor Swasta
dalam angka
7,2%
Rp 200 triliun
53
1,73
Rp 1.090,4
triliun
Bagian dari pembiayaan infrastruktur Indonesia yang disediakan oleh
sektor swasta menurut data Bappenas. BUMN membiayai 38 persen,
sedangkan 32,1 persen dari APBN, dan 22,7 persen dibiayai bersama.
Perkiraan biaya pembangunan kereta api cepat yang menghubungkan
Jakarta dan Surabaya, sebuah investasi yang diharapkan dapat diperoleh
melalui penyelenggaraan Kerjasama Pemerintah Swasta.
Peringkat Indonesia tahun 2014 di antara 166 negara yang disurvei
dalam Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia (World Bank’s Logistics
Performance Index), yang mengukur persepsi sektor swasta, akademisi,
dan pihak lain mengenai logistik di Indonesia.
Bank Mandiri memperkirakan adanya “penggandaan hasil” (output
multiplier) untuk pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan, yang
berarti bahwa investasi sebesar Rp 1 miliar dalam sektor-sektor tersebut
akan mengakibatkan peningkatan jumlah hasil (output) perekonomian
Indonesia sebanyak Rp 1,73 miliar.
Adalah jumlah investasi tahunan yang dibutuhkan Indonesia selama
kurun waktu 2015–2019, menurut Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Jumlah ini merupakan sekitar 12 persen dari PDB.
2,3%
Total pembelanjaan untuk infrastruktur dalam APBN 2014. Sebelum
Krisis Moneter 1998, investasi di bidang infrastruktur berada pada
kisaran 8 persen.
Rp 4.272
triliun
Perkiraan jumlah “kesenjangan pembiayaan” (financing gap) bidang
infrastruktur untuk periode 2015–2019, yang diukur sebagai selisih
antara alokasi anggaran Pusat dan Daerah untuk pembangunan
infrastruktur dan jumlah investasi yang diperlukan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
233
Kampanye
Sanitasi Publik
Edisi 21, Juli 2015
• Refleksi dan Tinjauan: Kampanye
Sanitation Public Diplomacy IndII
• Apa Yang Membuat Remaja Peduli
Terhadap Sanitasi?
• Pemenang Kompetisi Esai
Pendek untuk Pelajar
• Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan
dan Kesehatan
• Impian Kota 1000 Sungai
• Indonesia dan “Gengsinya”
tentang Sanitasi
• Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
• Hidup yang Lebih Sehat Melalui
Sambungan ke Sistem Air Limbah
• Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
• Menciptakan Kebutuhan akan
Sanitasi yang Lebih Baik:
Mengambil Langkah-Langkah Awal
• Meningkatkan Kesadaran tentang
Buang Air Besar Sembarangan di
Indonesia melalui Media Sosial
236
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
REFLEKSI DAN TINJAUAN:
KAMPANYE "SANITATION
PUBLIC DIPLOMACY " INDII
Para perencana dan pelaksana utama upaya sanitation public
diplomacy berbicara dengan Prakarsa mengenai tantangantantangan dalam melaksanakan sebuah program komunikasi
yang terkait dengan infrastruktur sanitasi.
Catatan Editor: Pada 2014–2015, Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) menyelenggarakan kampanye Sanitation
Public Diplomacy (SPD) yang meriah dan inovatif untuk
mempromosikan kemitraan Australia dengan Indonesia,
sekaligus memperkuat dampak program IndII, terutama
Australia Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation
(sAIIG, atau Hibah Infrastruktur Australia Indonesia untuk
Sanitasi) and Sanitation Hibah (Hibah Sanitasi). SPD
adalah upaya membangun hubungan antara Pemerintah
Australia dan Indonesia dengan cara memahami
kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang sanitasi. Upaya
ini dilakukan Pemerintah Australia untuk membantu
Pemerintah Indonesia mencapai tujuan Universal Access
dengan cara memberikan 100 persen akses sanitasi bagi
masyarakat di tahun 2019. Program sAIIG membantu
Pemerintah Daerah (Pemda) menyiapkan proyek-proyek
infrastruktur yang sesuai, yang kemudian dibiayai terlebih
dahulu oleh Pemda. Ketika pekerjaan selesai, Pemda
tersebut akan memperoleh penggantian dari Kementerian
Keuangan melalui mekanisme penerusan hibah untuk
sebagian dari biaya yang mereka keluarkan, setelah semua
output yang telah terlebih dahulu disetujui dapat dipenuhi
dan diverifikasi. Hibah Sanitasi juga merupakan program
bantuan berbasis hasil untuk Pemerintah Daerah, dengan
pembayaran berdasarkan sambungan-sambungan baru
saluran air limbah yang telah diverifikasi.
Kegiatan SPD berpusat pada Hari Kesadaran Sanitasi,
yang diadakan di sembilan Pemda (Cimahi, Makassar,
Gresik, Tebing Tinggi, Yogyakarta, Surakarta, Palembang,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Banjarmasin dan Balikpapan), bersama dengan penayangan
video, lokakarya untuk wartawan, acara bincang-bincang
TV dan radio, kuis dan kompetisi esai bagi siswa dan
wartawan, serta bahan promosi seperti t-shirt dan mug.
(Lihat artikel terkait dan esai foto dalam edisi Prakarsa
ini untuk informasi lebih lanjut.) Kegiatan Hari Kesadaran
Sanitasi diadakan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
menampilkan pemutaran video pendidikan, permainan dan
kuis, lomba menyanyi untuk melihat siapa yang terbaik bisa
menyanyikan jingle yang khusus ditulis untuk sanitasi, dan
presentasi oleh pejabat IndII dan Pemda yang berinteraksi
langsung dengan para siswa.
Program ini dirancang dan diawasi oleh staf teknis dan
komunikasi di IndII, yang melibatkan spesialis komunikasi
sanitasi di Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP) untuk
melaksanakan komponen-komponen SPD.
Prakarsa meminta anggota-anggota kunci dari tim yang telah
menyukseskan kegiatan SPD untuk berbagi pengamatan
dan wawasan mereka dalam rangka membantu rekan-rekan
praktisi merancang dan melaksanakan program-program
public diplomacy dan penjangkauan (outreach) yang
berkaitan dengan peningkatan sanitasi. Kami berbicara
dengan Jim Coucouvinis (Direktur Teknis untuk Program Air
Minum dan Sanitasi), Eleonora Bergita (Staf Senior Program
Komunikasi IndII), dan Nur Fadrina Mourbas (Staf Program
Air MInum dan Sanitasi) dari IndII; serta Frieda Subrata,
pemimpin tim YCCP untuk kegiatan SPD.
Kampanye Sanitasi Publik
Prakarsa: Melalui IndII, Pemerintah Australia
telah menyediakan sejumlah besar sumber daya
untuk membantu Indonesia mengembangkan
infrastruktur sanitasi yang lebih baik. Menyediakan
infrastruktur merupakan hal yang jauh berbeda
dari program sanitasi dengan "perubahan perilaku"
yang menyampaikan pesan-pesan kesehatan seperti
mempromosikan cuci tangan dan menghentikan
kebiasaan buang air besar di sembarang tempat.
Jelas bahwa perubahan perilaku semacam itu
dicapai melalui penyampaian pada masyarakat,
tapi mengapa program infrastruktur memerlukan
komponen komunikasi?
Jim Coucouvinis: Pertama, yang dikerjakan IndII di sektor
infrastruktur sanitasi merupakan kesempatan yang baik
untuk melakukan public diplomacy dan mempromosikan
Kemitraan Australia Indonesia, karena kami memiliki
manfaat skala besar untuk dipublikasikan. Manfaat sAIIG
diperkirakan menjangkau sekitar 90.000 rumah tangga,
atau sekitar 400.000 penerima manfaat. Hibah Sanitasi
menjangkau tambahan sebesar 40.000 penduduk Indonesia.
Bagaimana Anda merumuskan desain kegiatan SPD?
Jim: Kami harus menghindari berpikir dalam kerangka
program penjangkauan sanitasi yang tradisional. Dalam
tahap perencanaan awal, kami mengasumsikan bahwa
kami akan fokus pada pesan-pesan kesehatan. Kami bahkan
sempat mempertimbangkan untuk mempunyai mobil
kesehatan keliling sebagai bagian dari kegiatan.
Gite: Tapi ketika kami meminta masukan dan mulai
mendiskusikan hal-hal dengan rekan-rekan kami dan DFAT
[Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, yang
menyalurkan dana Pemerintah Australia untuk IndII dan
melakukan supervisi], kami menyadari dua hal: pertama,
program kami terlalu kecil untuk memberikan jenis dampak
besar menyeluruh, yang seharusnya dipunyai oleh program
perubahan perilaku yang dikhususkan untuk kesehatan.
Kami tidak memiliki sarana untuk membuat dan mengukur
jenis dampak seperti itu. Kedua, kami akan menduplikasi
upaya-upaya yang sudah ada. Pemerintah Indonesia,
UNICEF dan lain-lainnya sudah memiliki program-program
berskala besar yang sedang berjalan.
Kedua, kegiatan-kegiatan IndII memang berhubungan
dengan perubahan perilaku – kami berharap untuk membuat
perubahan pada tingkat kelembagaan, dengan mendorong
Pemda menerapkan dan memelihara infrastruktur sanitasi
mereka sendiri. Program-program komunikasi memiliki
peran alami dalam memajukan perubahan perilaku.
Jadi kami menyadari bahwa kami sebaiknya tidak hanya
meniru pesan-pesan program sanitasi lainnya. SPD
membutuhkan pesan-pesannya sendiri, serangkaian pesanpesan yang disusun tersendiri.
Eleonora Bergita (Gite): SPD dirancang untuk memenuhi
tiga tujuan terkait Rencana Komunikasi dan Public
Diplomacy IndII. Pertama, seperti yang telah disebutkan Jim,
public diplomacy. Kedua, untuk mempermudah pekerjaan
IndII dengan memastikan bahwa para mitra memiliki
pemahaman yang baik tentang apa yang dilakukan IndII, dan
apa penyebabnya. Itu sebabnya, meskipun banyak kegiatan
diarahkan pada anak-anak sekolah, kami melibatkan
walikota dan pejabat-pejabat Pemda dalam perencanaan
dan pelaksanaannya. Ketiga, untuk meningkatkan dampak
jangka panjang kegiatan IndII. Fasilitas-fasilitas sanitasi
yang dibangun oleh Pemda dengan bantuan Australia akan
dipelihara dan dihargai sampai jauh ke masa depan jika
orang-orang di semua tingkatan memiliki pemahaman yang
lebih baik tentang mengapa infrastruktur itu penting.
Gite: Nah, mengingat konten spesifik bervariasi dalam
komunitas-komunitas
yang
berbeda,
pesan-pesan
kami tergantung pada situasi lokal sehubungan dengan
sanitasi, dan program IndII mana yang sudah berjalan.
Namun dalam setiap komunitas, kami berusaha menjawab
empat pertanyaan:
Jim: Inilah sebabnya sektor sanitasi di Indonesia sedikit
berbeda dari sektor air minum. Orang biasanya bersedia
membayar untuk air bersih karena mereka memahami
nilainya dalam hal kenyamanan, kesehatan, dan
penghematan biaya. Tapi mereka lebih skeptis tentang
pembuangan air limbah, maka sebuah kampanye yang
menjelaskan manfaatnya sangat berguna dan dapat
membuat perbedaan besar.
Jadi pesan-pesan apa yang Anda sampaikan?
• Mengapa memiliki sistem pembuangan limbah
bermanfaat bagi masyarakat?
• Mengapa komunitas Anda dipilih untuk berpartisipasi
dalam program ini?
• Apa peran positif yang dimainkan oleh Pemerintah
Daerah Anda?
• Mengapa Pemerintah Australia, bersama-sama dengan
Indonesia, mendukung pengembangan infrastruktur
saluran air limbah yang baik?
Hal itu lebih rumit dibandingkan dengan pesan
"mencuci tangan memberikan manfaat yang baik."
Apakah Anda pernah melakukan, atau mengalami,
program lain yang mencoba untuk melakukan
hal seperti ini?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
237
238
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
Frieda Subrata: Di masa lalu YCCP pernah melakukan
program untuk sanitasi yang agak mirip. Namun, program
tersebut lebih diarahkan pada tanggung jawab individu,
misalnya membangun toilet dengan septic tank. Program
SPD menyampaikan pesan tentang pilihan lain, yaitu
infrastruktur saluran air limbah. Ini menggarisbawahi
tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas
sanitasi yang baik bagi warga, dan meningkatkan
pemahaman masyarakat mengenai infrastruktur saluran air
limbah, dan mengapa hal itu penting.
Sebagaimana jelas pada jawaban Frieda, SPD
adalah sebuah program yang keberhasilannya
terutama bergantung pada komitmen dan
keterlibatan Pemda. Apakah ada kesulitankesulitan dalam melibatkan Pemda?
Jim: Tidak juga, tapi kami memang mempelajari beberapa
hal seiring berjalannya waktu. Pada awal kegiatan, kami
berkonsentrasi pada para distaf Pemda biasa. Tapi mereka
tidak melihat faedahnya menjangkau anak-anak sekolah.
Walikotalah yang melihat bahwa mereka akan mendapatkan
keuntungan dari kegiatan SPD yang melibatkan anak-anak
sekolah dan warga masyarakat. Juga, ketika Anda berurusan
di tingkat Walikota, lebih besar kemungkinannya Anda
segera mendapat jawaban yang pasti tentang tingkat
ketertarikan yang ada. Jelas jawaban “ya” yang antusias
lebih baik daripada “tidak”, tapi bahkan jawaban “tidak”
yang tegas memiliki nilai, karena memberitahu bahwa
Anda akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika Anda
mengalihkan upaya Anda ke tempat lain.
Apakah Anda mendapatkan jawaban “tidak”
yang pasti?
Jim: Sama sekali tidak. Dan – ini adalah pelajaran yang
sesungguhnya berlaku untuk keseluruhan upaya sAIIG
‒ saya akan merekomendasikan untuk desain program
mendatang agar “memprovokasi jawaban yang pasti” harus
menjadi bagian dari proses menyeleksi Pemda.
Nur Fadrina Mourbas (Ifad): Anda harus mendapatkan
komitmen nyata bagi setiap upaya yang berkaitan dengan
peningkatan infrastruktur sanitasi. Orang akan lebih
bersedia menyetujui selama pertemuan sosialisasi, tapi
kemudian ketika Anda bergerak untuk implementasi yang
sebenarnya, muncul lebih banyak tentangan. Tiba-tiba
Anda mendengar tentang kekhawatiran akan biaya, pipapipa yang terhalang, dan lain-lain. Pemda sensitif terhadap
pandangan masyarakat tentang infrastruktur sanitasi. Jika
masyarakat enggan, Pemda akan menentang juga.
Sanitasi bukanlah sesuatu yang populer dan bukan sesuatu
yang otomatis dipikirkan Pemda. Hanya sekitar dua persen
dari pengeluaran mereka dalam satu tahun anggaran
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dialokasikan ke sanitasi ‒ mereka cenderung melihatnya
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Jadi bagaimana Anda menciptakan antusiasme
di antara Pemerintah Daerah?
Frieda: Dengan berfokus pada staf tingkat tertinggi ‒ Kepala
Bappeda, Bupati, Walikota. IndII memiliki banyak kontak di
setiap Pemda karena kegiatan yang mereka lakukan, tapi
banyak dari kontak-kontak tersebut berada pada tingkat
implementasi, sehingga kami tidak selalu bergantung pada
mereka. Kami mengirim surat kepada pejabat-pejabat
tinggi terlebih dahulu. Juga, sebelum SPD dimulai, IndII
mengadakan upacara penandatanganan untuk sAIIG yang
dihadiri oleh para pemimpin Pemda. Kami menggunakan
acara itu sebagai kesempatan untuk menjalin kontak.
Kami menemukan bahwa ketika kami memulai kontak di
tingkat bawah, orang-orang yang kami ajak bicara tidak
selalu menginformasikan kepada orang-orang di tingkat
yang lebih tinggi. Jadi, menghubungi para pejabat tinggi
secara langsung paling efektif.
Bahwa kegiatan SPD difokuskan pada anak-anak sekolah
juga menarik bagi para pejabat. Kadang-kadang Pemda
berhati-hati pada acara yang berfokus pada orang dewasa,
karena hal itu mungkin menimbulkan kritik dan keluhan.
Tetapi ketika Anda memiliki acara yang diarahkan pada
anak-anak, tidak menimbulkan sikap defensif di antara para
pejabat setempat.
Ifad: Kami mencoba melakukan beberapa kegiatan
sosialisasi terlebih dahulu sebelum penyelenggaraan
Hari Kesadaran Sanitasi, dan pada umumnya itu berhasil.
Pengalaman kami di Surakarta memberikan pelajaran
yang bermafaat. Kami awalnya mendapatkan antusiasme
dari kepala Bappeda [Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah], tapi tidak dari Dinas Pekerjaan Umum [PU,
departemen dalam Pemda]. Kemudian, ada perubahan staf.
Kami berurusan dengan orang-orang baru. Situasi berbalik
dan kami mendapat lebih banyak dukungan dari Dinas PU
daripada dari Bappeda. Kami melihat bahwa, ketika ada
dukungan dari atas, program akan berjalan.
Gite: Palembang adalah contoh yang baik tentang
bagaimana individu pemimpin dapat menjadi sangat
penting untuk tercapainya kesuksesan. Kepala Bappeda di
sana membuat Hari Kesadaran Sanitasi sebagai kesempatan
untuk memperluas kegiatan bagi dari anak-anak sekolah
segala usia, karena secara pribadi yang bersangkutan
merasa kegiatan tersebut penting. Dalam setiap komunitas
ada orang-orang yang berbeda, sehingga sangatlah penting
untuk mempelajari motivasi dan kepribadian dari para
pemimpin penting di masing-masing kota.
Kampanye Sanitasi Publik
Kegiatan SPD diberi anggaran sebesar A$ 280.000
‒ sebuah angka yang rendah dibandingkan dengan
kegiatan IndII pada umumnya ‒ untuk kegiatan
beberapa hari di sembilan lokasi, ditambah acara
talk show televisi nasional, materi promosi, video,
dan dua kontes esai selama sekitar Sembilan bulan.
Kesemuanya itu kelihatan sepadan dengan biayanya.
Bagaimana bisa tercapai?
Jim: Anda benar, kegiatan itu sepadan dengan biayanya ‒
IndII melakukan kampanye penyampaian masyarakat yang
efektif beberapa tahun yang lalu untuk program Hibah Air
Minum kami, dan SPD kali ini bahkan lebih baik. Saya pikir
kami telah berhasil mendapat dampak lebih besar dengan
biaya yang lebih rendah.
Frieda: Ketika kami melaksanakan Hari Kesadaran Sanitasi
kami yang pertama, di Cimahi, awalnya kami berpikir
bahwa kami sendiri perlu menutupi semua biayanya.
Tapi dari pengalaman tersebut, kami menyadari bahwa
Pemda memandang kegiatan kami sebagai sesuatu yang
penting. Mereka tidak memiliki banyak kegiatan serupa
yang berlangsung di tingkat kabupaten, sehingga mereka
menganggap apa yang kami lakukan itu cukup menarik.
Maka di lokasi kedua kami, di Makassar, saya meminta
tim kami untuk melakukan jajak pendapat tentang ideide berbagi biaya. Ternyata Pemda memang memiliki
anggaran untuk hal-hal seperti ini, dan karena program
tersebut melibatkan anak-anak, hal itu menarik dan mereka
bersedia meningkatkan kegiatan-kegiatan program dengan
menggunakan dana tambahan.
Sebenarnya, walaupun kontribusi keuangan mereka
berguna, itu bukanlah yang sesungguhnya kami cari ketika
menelurkan gagasan pembagian biaya. Apa yang ingin
kami lakukan adalah membangun rasa memiliki; dan ketika
Pemda memberi kontribusi dana, hal tersebut membangun
rasa memiliki mereka.
IndII berkomitmen untuk memastikan bahwa
program-programnya menjangkau perempuan
dan laki-laki/anak perempuan dan laki-laki secara
adil. Bagaimana kegiatan SPD menanggapi isu
gender?
Gite: Selama tahap desain, kami memahami bahwa banyak
program sanitasi tampaknya paling menarik bagi khalayak
perempuan. Hal ini dapat dipahami karena perempuan
dan anak-anak perempuanlah yang biasanya berurusan
dengan menstruasi dan perawatan anak-anak yang mungkin
menjadi sakit karena sanitasi yang buruk.
Dalam kegiatan SPD, IndII ingin menjangkau semua
khalayak, baik perempuan maupun laki-laki. Versi-versi awal
Kegiatan Sanitation Public Diplomacy telah direncanakan
secara seksama. Di sebelah kiri, tampak para pelajar
kelompok terfokus sedang mendengarkan beberapa
pilihan jingle dengan penuh perhatian. Di foto kanan,
mereka menuliskan pesan-pesan yang mereka dengar.
(Terlihat dalam kartu pernyataan mereka, bahwa jingle
yang kedua menyampaikan pesan “Australia dan Indonesia
membangun sanitasi.”)
Atas perkenan Eleonora Bergita
desainnya ditargetkan pada masyarakat tetapi tidak secara
khusus sekolah-sekolah. Satu alasan penting mengapa
kami memutuskan untuk fokus pada sekolah adalah karena
kami akan memiliki captive audience, atau peserta yang
pasti, yang terdiri dari anak laki-laki maupun perempuan,
sehingga pesan akan tersampaikan kepada kedua gender.
Apakah Anda menemukan adanya persoalan terkait
gender, ketika kegiatan tersebut berjalan?
Gite: Lokakarya dengan wartawan memberi kami beberapa
wawasan gender dan sanitasi. Wartawan diundang untuk
berpartisipasi tanpa memperhatikan jenis kelamin, tetapi
ternyata, mayoritas peserta adalah laki-laki.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
239
240
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
Ifad: Kami menemukan, ada kencenderungan perbedaan
berbasis gender dalam cara-cara yang dipakai wartawan
untuk mendekati topik. Laki-laki mengajukan pertanyaan
yang berkaitan dengan mekanisme program IndII:
berapa banyak dana yang dihabiskan, bagaimana cara
kerja programnya? Perempuan cenderung mengajukan
pertanyaan yang berkaitan dengan dampak program
terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya, bertanya
tentang bagaimana pembangunan infrastruktur bisa
menimbulkan kesemrawutan dan mengganggu kegiatan
sehari-hari masyarakat.
Juga, Direktorat Jenderal Cipta Karya memiliki program
Duta Sanitasi untuk mempromosikan kebersihan, dan tentu
saja Duta tersebut diundang untuk berpartisipasi dalam
program SPD. Kami melihat bahwa hampir semua Duta
adalah perempuan.
Apakah anak laki-laki dan anak perempuan
sama-sama terlibat dalam kegiatan?
Ifad: Dalam kebanyakan kasus, ya, tapi kadang-kadang
anak-anak perempuan yang kelihatan paling menunjukkan
perhatian. Sebagai bagian dari program ini, pejabat-pejabat
Pemda memberi beberapa pertanyaan kepada siswa
tentang isu-isu sanitasi. Anak-anak perempuan cenderung
paling bersemangat menanggapi dan mereka memberi
jawaban-jawaban yang baik.
Seperti kita ketahui, ini adalah kegiatan yang relatif
kecil dalam hal anggaran. Tidak ada alokasi untuk
upaya Pemantauan & Evaluasi (M & E/Monitoring
& Evaluation) dalam skala penuh. Bagaimana Anda
mencoba mengukur hasil Program?
Frieda: Jelas sulit untuk memastikan dampak jangka
panjang, karena pelaksanaan Hari Kesadaran Sanitasi dan
semua liputan media terkait serta berbagai perlombaan
merupakan kejadian satu kali saja. Tapi kami mencoba
mengumpulkan dan menilai beberapa metrik. Sebagai
contoh, kami melakukan survei pra dan pasca pada para
siswa, dan selalu ada peningkatan pengetahuan tentang
sanitasi dan kebutuhan untuk infrastruktur, melihat
bahwa anak-anak tersebut menjawab 90 sampai 95 persen
pertanyaan dengan benar setelah berpartisipasi dalam
acara. Juga, kami bisa mengukur hasil lokakarya jurnalis
dengan menentukan apakah ada liputan pers sesudahnya.
Ada 8 sampai 20 artikel berita yang diterbitkan di setiap
kota. Kami berpikir bahwa menghasilkan artikel dengan cara
ini jauh lebih efektif daripada membayar untuk memuat
informasi di media. Sebagai contoh lain, kami mencatat
pesan teks dari pendengar selama acara talk show radio di
setiap komunitas. Kami tidak berharap pendengar bereaksi
selama talk show, tetapi ternyata stasiun radio menerima
sekitar lima sampai delapan tanggapan selama setiap acara.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Bagaimana dengan kualitas penulisan oleh
wartawan? Apakah tulisan mereka memberikan
kontribusi bukti anekdotal untuk upaya M&E Anda?
Frieda: Kami melihat variasi besar dalam keterampilan di
kalangan wartawan, bukan hanya dalam hal kemampuan
menulis dan pelaporan mereka, tetapi juga dalam
keterampilan investigasi mereka. Di beberapa kota, banyak
orang mengajukan pertanyaan yang tajam selama lokakarya
wartawan, tapi di kota-kota lain hal ini tidak terjadi. Meskipun
demikian, secara keseluruhan, kami senang melihat tingkat
pemahaman yang ada. Kami mencatat bahwa wartawan
mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai upaya-upaya
yang dilakukan Pemda untuk meningkatkan sanitasi.
Hal tersebut menggembirakan dan kami pikir SPD dapat
berbangga karena berhasil memunculkan pertanyaanpertanyaan seperti itu.
Gite: Kita juga bisa melihat dampak dari kegiatan SPD dalam
hal efeknya pada partisipasi Pemda dalam sAIIG. Beberapa
kasus, seperti terjadi di Makassar, dukungan Pemda untuk
sAIIG hanya suam-suam kuku dan kami sebelumnya telah
melihat penurunan tingkat komitmen. Tapi setelah kegiatan
SPD dilakukan, ada peningkatan kesediaan Pemda untuk
mengambil bagian dalam sAIIG.
Jika Anda diminta merencanakan dan melaksanakan
kegiatan SPD hari ini, apa yang akan Anda lakukan
secara berbeda berdasarkan pengalaman Anda?
Saran apa yang akan Anda berikan kepada
organisasi lain yang ingin melakukan sesuatu
yang serupa?
Jim: Saya akan membantu sedikit dan bicara tentang
beberapa tantangan yang kami hadapi untuk program
sAIIG kami, karena pelajaran-pelajaran yang didapatkan
berguna untuk merancang suatu program SPD juga. Kami
tahu sebelum kami memulai sAIIG bahwa memilih Pemda
untuk berpartisipasi akan sulit, tetapi meskipun demikian
kami meremehkan kesulitan tersebut dan juga waktu yang
dibutuhkan. Kami memberikan bobot terlalu banyak pada
masukan konsultan dan pejabat yang merekomendasikan
Pemda-Pemda tertentu, tanpa melangkah mundur dan
melihat gambaran besarnya. Misalnya, jika kami diberitahu
oleh rekan-rekan atau orang di lapangan “Anda harus
memilih Pemda ini, mereka akan benar-benar mendapatkan
keuntungan dari sAIIG,” kami menerima saran itu. Tapi yang
perlu kami lakukan adalah perbandingan obyektif antara
lokasi yang satu dengan yang lain. Untuk memaksimalkan
dampak sAIIG, pilihan terbaik adalah daerah yang paling
padat penduduknya di mana septic tank menyebabkan lebih
banyak masalah dibandingkan dengan di daerah pedesaan
yang sedikit jumlah penduduknya, sehingga kita harus lebih
menekankan pada kriteria seleksi. Kami juga seharusnya
Kampanye Sanitasi Publik
lebih sadar berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan sosialisasi di masyarakat: biaya infrastruktur
sanitasi dua kali lebih besar daripada air minum dan
membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk diterapkan.
Jadi, jauh lebih sulit bagi para pejabat Pemda dan anggota
masyarakat untuk memahami nilainya.
Pelajaran ini dapat berlaku untuk program SPD juga: jangan
hanya mengumpulkan rekomendasi pada lokasi tertentu
untuk implementasi, tetapi berikan bobot yang cukup untuk
kriteria objektif yang dapat digunakan untuk menentukan
lokasi di mana Anda dapat memperoleh dampak tertinggi.
Dan pahamilah bahwa sosialisasi untuk infrastruktur
sanitasi sangat memakan waktu.
Frieda: Saya setuju bahwa menyampaikan pesan-pesan
mengenai infrastruktur memang tidak mudah. Jika kita
merancang sebuah program baru dan harus memiliki satu
desain saja, YCCP akan merekomendasikan melakukan
hal-hal dengan cara yang sama dengan yang kami lakukan
dalam kegiatan SPD. Tetapi pada tahap desain, kami akan
merekomendasikan program agar terus berlangsung.
Sangatlah bagus kalau kita mengembalikan kegiatankegiatan yang telah kita lakukan kepada Pemda dan
membangun pada dasar yang sudah kita letakkan. Para
pejabat Pemda terus bertanya kepada kami: apa yang
terjadi selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan setelah
ini? Mereka menyukai ide mempromosikan infrastruktur
sanitasi, tetapi mereka membutuhkan ide-ide, dan mereka
berharap kepada kami untuk mendapatkan bantuan.
Kami ingin membantu mereka dengan apa yang akan
dilakukan berikutnya.
Gite: Saya setuju dengan hasil pengamatan Frieda bahwa
desain masa depan bisa menggunakan komponenkomponen yang sama. Melibatkan siswa sebagai peserta
utama dalam kegiatan-kegiatan Hari Kesadaran Sanitasi
adalah keputusan yang baik. Siswa-siswi SMP siap menyerap
pengetahuan yang kompleks dan mereka memiliki banyak
rasa ingin tahu tentang lingkungan mereka. Pertanyaanpertanyaan bagus yang diajukan dalam lokakarya jurnalis
menunjukkan bahwa kegiatan ini berharga. Demikian halnya
dengan tingginya tingkat partisipasi dalam lomba esai
menunjukkan bahwa kegiatan ini juga harus dipertahankan.
Salah satu perubahan untuk program di masa depan
adalah perlunya melakukan survei awal yang sederhana
sebelum program dimulai, dan mengatur kegiatan-kegiatan
berdasarkan kebutuhan dari sasaran yang dituju.
Ifad: Upaya sAIIG dan Hibah Sanitasi kami bisa lebih efektif
jika kita lebih meningkatkan upaya berbagi pengetahuan
antara IndII dan Pemda, dengan dua arah. Idealnya, IndII
harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang dipikirkan
Pemda, dan Pemda harus mempelajari lebih jauh tentang
tujuan di balik upaya IndII. Hal ini harus menjadi tujuan
eksplisit dari setiap program SPD di masa mendatang.
Jim: Mungkin kita harus melakukan suatu kegiatan SPD
terlebih dulu, sebelum memulai sesuatu seperti sAIIG!
Tampaknya kegiatan SPD dapat menimbulkan antusiasme
untuk infrastruktur sanitasi. Ini adalah hipotesis yang
baik untuk diuji.
Ifad: Dan kita harus memastikan bahwa komitmen Pemda
yang ditunjukkan selama kegiatan SPD didokumentasikan
di media – sehingga kita dapat menggunakan dokumentasi
tersebut sebagai alat untuk menilai hasil-hasil sAIIG dan
Hibah Sanitasi.
Sebuah pertanyaan terakhir: apakah ada kejutan
besar atau keberhasilan yang tak terduga?
Frieda: Semua walikota dan bupati berpartisipasi dalam
acara kami, kecuali seorang yang sedang umrah [perjalanan
ke Mekkah], sehingga ia benar-benar tidak bisa hadir.
Kami tahu kami telah menciptakan program yang baik dan
akan mendapatkan partisipasi yang baik, tapi kami tidak
berharap untuk mencapai rekor kehadiran para pejabat
dengan tingkat yang sempurna.
Ifad: Ada dua hal yang mengejutkan. Pertama, betapa
banyak yang dicapai program tersebut dengan anggaran
yang cukup kecil. Kedua, komitmen dari Pemda
memainkan peran besar dalam merintis jalan keberhasilan
program. Kami memang mengharapkan partisipasi mereka
penting, tapi ternyata bahkan menjadi lebih penting
daripada yang diantisipasi.
Gite: Bagi saya, kejutan terbesar adalah melihat betapa
banyaknya orang yang peduli akan sanitasi. Saya pikir
sebelum kami mulai, kami akan berhadapan dengan
banyak ketidakpedulian. Tapi selama acara-acara tersebut,
dan ketika para wartawan mengajukan pertanyaan dalam
lokakarya, kami melihat bahwa orang-orang memang peduli
tentang sanitasi. Kebutuhan untuk itu ada.
Jim: Keberhasilan program ini tidak mengejutkan saya
karena saya tahu program itu dirancang dengan baik dan
bahwa kita memiliki orang-orang yang kompeten untuk
melaksanakannya. Tapi saya memang mendapat satu
kejutan ‒ di Palembang, sebagai bagian dari upacara untuk
menyambut para pejabat yang hadir, saya ditawari untuk
mengunyah daun sirih. Saya belum pernah melakukan
hal ini sebelumnya dan saya tidak tahu bahwa saya harus
meludahkannya kembali. Saya menelan daun itu! Lain kali,
saya akan tahu apa yang harus dilakukan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
241
POIN-POIN UTAMA
Pada tahun 2014–2015, Prakarsa Infrastruktur Indonesia yang didanai oleh Pemerintah Australia
menyelenggarakan kampanye Sanitation Public Diplomacy yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
program-program untuk mendukung pembangunan infrastruktur sanitasi yang lebih baik. Salah satu komponen
utama adalah penyelenggaraan “Hari Kesadaran Sanitasi” (Sanitation Awareness Day) yang menargetkan
remaja dalam usia Sekolah Menengah Pertama (usia 13 sampai 15 tahun). Kegiatan hari itu meliputi acara
tanya-jawab dengan walikota, pemutaran video, penyelenggaraan permainan interaktif dan kuis, serta lomba
estafet dan lomba memperagakan sebuah jingle yang digubah secara khusus tentang sanitasi.
Artikel ini membahas penelitian kualitatif mengenai keberterimaan remaja terhadap pesan-pesan yang
disampaikan pada Hari Kesadaran Sanitasi. Penelitian tersebut didasarkan pada wawancara mendalam dengan
enam remaja (tiga perempuan dan tiga laki dengan rentang usia 13–15 tahun) dari Cimahi dan Yogyakarta yang
menjadi peserta aktif dalam kegiatan Hari Kesadaran Sanitasi tersebut.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada umumnya siswa menanggapi secara positif pesan-pesan
mengenai sanitasi dan lingkungan hidup, dan bahwa jingle tersebut efektif dalam menyampaikan pesan tentang
kerja sama Australia-Indonesia.
Hasil penelitian ini konsisten dengan Theory of Planned Behaviour (TPB) oleh Icek Ajzen yang menyatakan
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku; norma-norma subjektif (keyakinan tentang
sikap orang lain), dan keyakinan adanya faktor pengontrol perilaku (perceived behavior control, keyakinan
seseorang akan kemampuannya untuk berperilaku tertentu).
Pengalaman remaja tersebut berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap
keberterimaan dan pemahaman mereka. Faktor-faktor yang menjadikan mereka lebih reseptif terhadap
pesan-pesan tersebut meliputi antara lain: sikap orang tua dan teman megenai persoalan sanitasi; pemajanan
sebelumnya pada pesan-pesan sanitasi ketika masih di sekolah dasar; partisipasi dalam kegiatan sanitasi di
sekolah, seperti pemilahan sampah atau kegiatan prakarya mengolah bahan bekas; dan menyaksikan orang tua
mereka membuat kompos.
Para siswa menjadi kurang reseptif ketika pandangan orang di sekitar mereka menghambat, khususnya
pandangan bahwa sanitasi merupakan topik yang perlu dihindari, sampah tidak perlu dikelola, dan sanitasi
merupakan prioritas rendah.
Kampanye Sanitasi Publik
APA YANG MEMBUAT REMAJA
PEDULI TERHADAP SANITASI?
Respon remaja beraneka ragam dalam hal menerima atau bertindak
sesuai dengan pesan-pesan terkait dengan sanitasi dan dampaknya
pada lingkungan hidup. Apa penjelasan perbedaan tersebut?
Oleh Eleonora Bergita
Untuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia mencapai
Universal Access (target untuk mencapai 100 persen akses
terhadap air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100
persen akses terhadap sanitasi bagi masyarakat Indonesia)
di tahun 2019, saat ini tengah dilaksanakan program Hibah
Infrastruktur Sanitasi Australia-Indonesia (sAIIG, AustraliaIndonesia Infrastructure Grants for Sanitation)1 yang
merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia (melalui
Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan,
serta Kementerian Dalam Negeri) dan Pemerintah Australia
(melalui proyek Prakarsa Infrastruktur Indonesia, atau
IndII). Untuk meningkatkan efektivitas, sebagai bagian
dari program tersebut, sebuah kampanye Sanitation Public
Diplomacy dilaksanakan di sembilan kota dan kabupaten
yang ikut serta dalam program sAIIG. Salah satu acara
dalam kampanye tersebut adalah Hari Kesadaran Sanitasi
dengan target remaja usia Sekolah Menengah Pertama (usia
13–15 tahun).
Menyampaikan pesan kepada remaja bukanlah perkara
yang mudah. Pesan sanitasi dasar merupakan pesan
yang sederhana karena menyangkut kehidupan seharihari manusia, namun cukup kompleks jika dilihat dari
sudut pandang bahwa pesan sanitasi jarang diangkat
dalam pembicaraan dan cenderung diabaikan dalam
kehidupan keseharian dan pesan-pesan mengenai
infrastruktur, termasuk implementasi hibah kolaboratif,
lebih rumit. Kampanye publik yang dilaksanakan oleh IndII
melalui organisasi nirlaba lokal Yayasan Cipta Cara Padu
(YCCP) merupakan salah bentuk kampanye yang harus
menghadapi kesulitan tersebut dalam menyampaikan
pesan kepada remaja.
Dalam acara Hari Kesadaran Sanitasi, Kepala Daerah
setempat hadir bersama para staf terkait program sAIIG
ke sekolah yang menjadi tempat penyelenggaraan acara.
Acara dihadiri oleh kurang lebih 350 orang pelajar SMP di
masing-masing kabupaten, masyarakat penerima manfaat
program sAIIG, dan wartawan. Acara tersebut berisi
penyampaian pesan sanitasi secara umum bagi remaja,
dan juga informasi mengenai pembangunan infrastruktur
sanitasi dalam kerangka program hibah kerjasama
Pemerintah Australia dan Indonesia bagi Pemerintah
Daerah. (Informasi lebih lanjut mengenai kampanye
Sanitation Public Diplomacy dapat dilihat dalam berbagai
artikel dalam edisi Prakarsa ini.)
Pesan sanitasi yang dikemas dengan judul, “Sepakat untuk
Lingkungan Lebih Sehat” ini merupakan pesan dengan
ajakan untuk lebih mempedulikan lingkungan dengan lebih
mengenal mengenai pengelolaan limbah, baik sampah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
243
244
Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi?
maupun air limbah. Sebelum acara inti, Kepala Daerah
dan Perwakilan dari IndII menyampaikan sambutan acara,
seringkali murid SMP yang hadir diundang ke atas panggung
untuk melakukan tanya jawab dengan Kepala Daerah,
sehingga acara sambutan menjadi menarik bagi remaja.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan presentasi
sanitasi melalui video yang diputar selama kurang lebih 18
menit, dan dilanjutkan dengan permainan interaktif yang
digabungkan dengan sesi tanya-jawab sanitasi. Remaja
yang senang kegiatan aktif baik secara mental dan fisik juga
diajak untuk mengikuti lomba, seperti lomba membawa air
dalam gelas dengan menggunakan kain yang dibentangkan
yang membawa pesan pentingnya koordinasi dan
persatuan untuk bisa mencapai tujuan. Koordinator acara
menjelaskan bahwa lomba ini merupakan analogi
pentingnya dukungan seluruh pihak terkait untuk
mendorong kesuksesan program sanitasi.
Sebagai target utama kampanye sanitasi, remaja sudah
memiliki keterampilan kognitif tahap formal operasional,
yang memungkinkan mereka untuk membuat hipotesis
dan analisis sendiri mengenai kondisi dan situasi di
lingkungan sekitarnya. Dari segi intelektual, remaja tidak
mengalami kesulitan dalam menerima pesan sanitasi
yang cukup kompleks. Apalagi bagi sebagian remaja
mereka sudah pernah mendapatkan informasi tentang
sanitasi dalam pelajaran saat duduk di Sekolah Dasar (SD),
membaca majalah, atau melihat acara di televisi. Semua
informasi tersebut sangat bermanfaat untuk memahami
dan menerima pesan sanitasi yang disampaikan di
Hari Kesadaran Sanitasi.
Artikel ini akan membahas sebuah penelitian kualitatif
tentang penerimaan pesan sanitasi di Hari Kesadaran
Sanitasi telah dilakukan dengan melakukan wawancara
mendalam kepada enam orang remaja (tiga perempuan
dan tiga laki-laki) di Cimahi dan Yogyakarta. Keenam remaja
tersebut berasal dari empat sekolah yang berbeda-beda
dengan rentang usia antara 13 hingga 15 tahun. Mereka
hadir dalam acara yang dilaksanakan di Cimahi tanggal 1
Oktober 2014 dan di Yogyakarta tanggal 27 Januari 2015
yang lalu. Selain sebagai peserta yang hadir dan menyimak
pesan, masing-masing remaja juga memiliki peran lain yang
beraneka ragam, seperti mencari peserta yang bersedia
hadir dalam acara, sebagai pemain musik, dirigen, hingga
remaja yang aktif menjawab pertanyaan dalam kuis
sanitasi. Sebagian besar dari mereka nampak senang
menjadi bagian dari acara tersebut.
Siswa yang diwawancarai membuat beragam interpretasi
remaja muncul saat menerima pesan sanitasi2.
Pemaknaan pesan memang tidak pernah bersifat tunggal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
karena masing-masing penerima pesan memiliki latar
belakang yang berbeda. Para penerima pesan ini juga
merupakan produsen karena dalam memberi makna
pesan, mereka membuat interpretasi masing-masing
terhadap pesan tersebut.
Bagi para remaja SMP ini jingle sanitasi merupakan bentuk
pesan yang sangat jelas menyampaikan pesan tentang
kerjasama Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia
dalam membangun infrastruktur sanitasi. Pada umumnya
mereka mendukung kerjasama ini, banyak di antara mereka
juga ingin sekali melihat pembangunan infrastruktur
sanitasi tersebut dan manfaatnya bagi masyarakat. Selain
itu, menurut mereka pesan juga berisi ajakan menjaga
kelestarian lingkungan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh penulis
dengan narasumber pelajar, ditemukan bahwa remaja
memiliki sikap yang positif menyikapi pesan untuk
mencintai lingkungan dengan menyadari pentingnya
sanitasi. Beberapa narasumber paham bahwa di lingkungan
masyarakat masih minim adanya kesadaran untuk
memelihara lingkungan. Semakin banyak pengalaman para
remaja dalam kegiatan sanitasi sehari-hari baik secara
langsung maupun tidak langsung ikut membentuk sikap
terhadap pesan sanitasi, seperti keikutsertaan dalam
pelajaran prakarya mengolah barang bekas, memilah
sampah, ataupun melihat orangtua membuat kompos,
semakin kuat pula pengertian dan persetujuan mereka.
Remaja juga memberikan respon positif ketika melihat upaya
menjaga kebersihan bertujuan untuk menjaga kesehatan,
sehingga membuatnya lebih bersemangat untuk menjaga
kebersihan. Pengalaman remaja dalam mengikuti kegiatan
sanitasi saat masih duduk di SD juga sangat bermanfaat
dan merupakan pengulangan pesan yang membuat pesan
sanitasi yang diterima di acara Hari Kesadaran Sanitasi
menjadi lebih kuat tertanam di benaknya.
Sedangkan faktor lain yang berpengaruh adalah adanya
faktor pendorong, seperti dorongan dari orangtua, fasilitas
sanitasi baik di rumah maupun di sekolah, seperti bank
sampah atau kegiatan pilah sampah di sekolah.
Hal lain yang berpengaruh bagi remaja adalah adanya
orang terdekat, seperti orangtua, teman atau nilai-nilai
dalam kegiatan yang diikuti yang mendorongnya untuk
menjaga lingkungan. Kehadiran sosok atau nilai semacam
ini membuat motivasinya cukup tinggi.
Sebaliknya adanya faktor penghambat, seperti pandangan
bahwa diskusi mengenai sampah dan air limbah yang
Kampanye Sanitasi Publik
Walikota Tebing Tinggi, Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan, MM, berbincang dengan seorang siswa saat
kegiatan pada Hari Kesadaran Sanitasi.
diidentikkan dengan hal yang harus dihindari atau
tidak perlu dikelola, dan merasa bahwa banyak hal lain
yang lebih penting untuk diperhatikan daripada sampah
atau air limbah.
Hasil ini konsisten dengan Theory of Planned Behaviour
(TPB) oleh Icek Ajzen. TPB menyatakan bahwa perilaku
manusia dipengaruhi tiga faktor, yakni: sikap terhadap
perilaku, norma-norma subyektif (keyakinan mengenai sikap
orang lain), dan keyakinan adanya faktor yang mengontrol
perilaku (perceived behavioural control, atau keyakinan
seseorang akan kemampuannya untuk berperilaku
tertentu). Kombinasi tiga faktor ini mempengaruhi niat
manusia dalam hal perilaku terkait dengan sanitasi. Oleh
karena itu, semakin positif respon remaja terhadap pesan
sanitasi, dan semakin besar dorongan oleh pihak keluarga,
Atas perkenan YCCP
teman-teman, dan panutan mereka, semakin besar pula
kemungkinan bahwa remaja ini akan membentuk niat untuk
bertindak sesuai dengan pesan sanitasi.
Meski demikian, jika terdapat faktor yang menghambat
seperti, adanya hal-hal yang lebih mendesak daripada
sanitasi, remaja akan mengabaikan pesan sanitasi yang
disampaikan kepada mereka, meskipun mereka tahu
bahwa pesan tersebut penting. Lima di antara enam
remaja yang diwawancarai menerima pesan sanitasi dan
bersedia bertindak sesuai dengan pesan tersebut. Yang
keenam setuju dengan pesan tersebut, tetapi enggan untuk
bertindak sesuai dengan pesan tersebut3. Dibandingkan
dengan lima lainnya, ia mengaku hanya bertindak sedikit
terkait dengan sanitasi, dan berpendapat bahwa ada
masalah lain yang ia yakini lebih penting, khususnya menjadi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
245
246
Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi?
penulis yang baik karena jika ia menulis dengan baik ia akan
mendapat bayaran yang baik. (Layak dicatat: Ia mengatakan
bahwa ia terlalu malas untuk melakukan kegiatan
terkait dengan peningkatan sanitasi, kecuali ada yang
membayarnya atas upayanya.)
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian seperti
disebutkan di atas, remaja sebenarnya memiliki minat
yang sangat besar pada pesan sanitasi, karena mereka
bisa melihat dan merasakan bahwa pesan tersebut
bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan di
masa depan. Peran orang terdekat seperti keluarga
sangat penting bagi remaja untuk menumbuhkan sikap
positif, menjadi motivasi maupun faktor pendorong bagi
remaja agar memiliki intensi untuk memperhatikan isu
lingkungan. Bagi remaja yang sudah pernah mendapatkan
pesan sanitasi sebelum acara Hari Kesadaran Sanitasi,
pesan sanitasi yang diberikan merupakan dorongan
baginya untuk lebih memperhatikan sanitasi. Bagi
remaja yang belum pernah mengetahui informasi
mengenai sanitasi, mereka memiliki rasa ingin tahu untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai sanitasi, termasuk ingin
melihat bagaimana pembangunan infrastruktur sanitasi
dilakukan di kotanya dan bagaimana manfaat bisa
dirasakan oleh masyarakat luas. ●
Tentang Penulis:
Eleonora Bergita (Gite) adalah seorang penulis dan event
organiser berpengalaman lebih dari 10 tahun di bidang
jurnalistik dan manajemen acara. Sebagai Senior Program
Officer di IndII, ia bertanggung jawab baik untuk merancang
dan mengelola berbagai acara, serta kegiatan komunikasi
sehari-hari seperti menyiapkan materi komunikasi baik untuk
situs web maupun jurnal Prakarsa. Ia memiliki berbagai
pengalaman di bidang pembangunan manusia di beberapa
organisasi non-pemerintah nasional dan internasional,
serta pengalaman menangani promosi di beberapa media
nasional. Ia mengembangkan strategi hubungan masyarakat
di perusahaan humas dan event organiser terkemuka. Gite
adalah lulusan Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas
Indonesia,
dan
Program
Pascasarjana
Manajemen
Komunikasi, Universitas Indonesia.
CATATAN
1. Kabupaten yang berpartisipasi adalah Cimahi, Makassar, Gresik, Tebing Tinggi, Yogyakarta, Surakarta, Palembang, Banjarmasin,
dan Balikpapan. Semua kabupaten yang turut serta dalam program sAIIG, dan beberapa lokasi lainnya juga mengambil bagian
dalam kegiatan infrastruktur sanitasi lainnya yang diselenggarakan oleh IndII.
2. Pesan yang disampaikan didasarkan pada jawaban atas empat pertanyaan: Mengapa baik bagi masyarakat untuk memiliki sistem
pembuangan air limbah? Mengapa komunitas Anda yang dipilih untuk berpartisipasi dalam program ini? Apa peran positif
Pemerintah Daerah Anda? Mengapa Pemerintah Australia bersama Pemerintah Indonesia memberi dukungan dalam pembangunan
infrastruktur saluran pembuangan air limbah yang baik?
3. Dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Stuart Hall, seorang pakar ilmu budaya, lima di antara yang diwawancarai
mengambil posisi “dominan/hegemonik” (dominant/hegemonic) yang berarti bahwa mereka menerima makna pesan tersebut
sebagaimana yang dimaksudkan. Yang keenam berada dalam posisi “menawar” (negotiated) yang berarti bahwa ia memahami
pesan tersebut, tetapi sehubungan dengan pengalaman pribadinya sendiri, ia merespon secara ambivalen.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
HADIAH BAGI BUMIKU
Esai ini memenangkan juara pertama kategori Esai Pendek dalam
Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh
Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Oleh Miranda Amelia Putri, SMP Negeri 1, Yogyakarta
Apakah kamu mencintai bumi? Apakah kamu masih peduli
sama bumi? Kalau kamu cinta bumi, pasti kamu juga
harus peduli sama bumi kita, bumi tempat kita hidup,
tinggal, mencari ilmu, bermain, dan sebagai tempat kita
berkumpul bersama dengan keluarga kita. Bisa dibilang itu
adalah hadiah bumi kepada kita. Jadi kita telah berhutang
kepada bumi. Sebagai balasannya, kita juga harus
membahagiakan bumi.
Upaya menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat dapat
dilakukan dengan cara memilah sampah, membuang
sampah pada tempatnya, 3R, mengelola air limbah,
gotong-royong membersihkan sungai atau selokan,
membuat saluran drainase, dan tidak membuang limbah ke
sungai atau laut.
Sanitasi adalah upaya hidup bersih dengan maksud
mencegah manusia bersentuhan dengan kotoran, dan
bahan buangan berbahaya lainnya, untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia. Limbah tersebut
terbentuk karena adanya buangan dari pabrik-pabrik,
perindustrian, dan yang paling banyak adalah dari
rumah tangga.
Bagaimana sih caranya memilah sampah yang baik? Caranya
kita pisahkan berdasarkan jenisnya, yaitu sampah kertas,
sampah plastik, sampah daun, sampah kaca, sampah
organik, dan sampah anorganik. Sampah organik adalah
sampah yang bisa teruraikan oleh bakteri. Sedangkan
sampah anorganik adalah sampah yang tidak bisa teruraikan
oleh bakteri. Sampah organik dan sampah anorganik harus
didaur ulang. Sampah organik dapat didaur ulang menjadi
pupuk kompos. Sampah anorganik dapat didaur ulang
menjadi kerajinan tangan yang dapat dijual kembali.
Atas perkenan Miranda Amelia Putri
Nah, itu semua adalah hadiah dari kita untuk bumi kita
tercinta ini. Hal itu harus kita lakukan sejak dini, agar bumi
kita tetap bersih, sehat, dan nyaman, juga agar kita terjauh
dari kuman-kuman penyebab penyakit. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
247
248
Pemenang Kompetisi Esai Pendek untuk Pelajar
LINGKUNGAN BERSIH
DAN SEHAT
Esai ini memenangkan juara kedua dalam Lomba Esai Tentang
Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Oleh John Jovi Sidabutar, SMP Negeri 1, Tebing Tinggi
Menciptakan lingkungan bersih dan sehat dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Berbagai cara tersebut adalah seperti
penyediaan sarana-sarana sanitasi. Salah satu sarana itu
adalah tangki septik komunal.
Tangki septik komunal adalah tangki septik yang limbahnya
berasal dari banyak tempat dan sistemnya secara terpusat.
Limbah-limbah dari rumah tangga berupa cair dan padat
akan ditujukan ke tangki septik ini. Untuk menujunya, ada
beberapa pipa yang menghubungkannya. Pipa ini tertanam
di dalam tanah atau jalan. Kita dapat mengetahui keberadaan
pipa tersebut dengan adanya benda yang bernama manhole
pada permukaan tanah atau jalan. Manhole adalah sebuah
lubang yang dapat dibuka atau ditutup untuk memeriksa
kondisi pipa yang ada di dalamnya. Tangki septik komunal
memiliki keunggulan yang lebih daripada tangki septik
individual. Tangki septik komunal dapat menampung dan
mengolah limbah dalam jumlah yang besar.
Atas perkenan John Jovi Sidabutar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Dengan dibangunnya septik komunal, menimbulkan banyak
sekali manfaat, diantaranya adalah mencegah penyakit
pencernaan (contohnya diare, disentri, typhus), lingkungan
menjadi bersih, nyaman dan sehat, masyarakat menjadi
sehat, mengurangi pencemaran pada tanah, terciptanya
pupuk yang bernilai ekonomis dari limbah-limbah tersebut,
dan terciptanya energi alternatif. Energi alternatif ini berupa
biogas yang dapat menjadi energi baru bagi masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ●
Kampanye Sanitasi Publik
INI LINGKUNGANKU
Esai ini memenangkan juara ketiga, kategori esai pendek dalam
Lomba Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa
Infrastruktur Indonesia.
Oleh Aulia Nur Septiani, SMP Negeri 8, Yogyakarta
Sanitasi adalah perilaku hidup bersih, dengan maksud
mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran
dan bahan buangan berbahaya lainnya, untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia. Perilaku hidup bersih
dapat dimulai dari suatu hal kecil, salah satunya mengolah
air limbah. Limbah ialah buangan dari masyarakat,
rumah tangga, industri yang bersifat kotoran umum.
Di salah satu desa di Kabupaten Sleman, yaitu Desa
Jongkang telah menerapkan sistem terpusatnya air limbah.
Lingkungan tempat tinggalku yaitu Desa Jongkang telah
memiliki tempat pengolahan air limbah terpusat yang
memadai bagi warganya.
Di lingkunganku sudah dibangun sarana dan prasarana yang
baik untuk memusatkan air limbah di suatu tempat. Tujuan
dari pembangunan ini adalah agar limbah rumah tangga
antara satu dengan yang lainnya tidak saling mencemari.
Walaupun masih ada beberapa kepala keluarga yang
belum menyetujui jika rumahnya akan dibangun saluran air
limbah. Di setiap rumah telah memusatkan air limbahnya
ke tempat yang telah ditentukan untuk diolah dengan biaya
yang cukup murah, yaitu hanya lima ribu rupiah setiap
bulannya. Kegiatan pemusatan air limbah telah di sambut
baik oleh pemerintah, beliau menyarankan agar sistem ini
dilakukan di semua daerah agar limbah kota Yogyakarta bisa
diolah dengan baik dan berguna bagi masyarakat.
Dengan demikian, dalam pengolahan air limbah alangkah
baiknya masyarakat menggunakan sistem terpusat
karena selain menghemat biaya sistem ini tidak akan
mencemari lingkungan. Maka suatu hal kecil apabila
dilakukan akan menjadi hal yang besar dan dapat
bermanfaat bagi kita semua. ●
Atas perkenan Aulia Nur Septiani
Prakarsa Compendium | Jilid 3
249
250
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan
MANFAAT SANITASI BAGI
LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
Esai ini memenangkan juara pertama kategori Esai Panjang dalam
Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh
Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Oleh Muhammad Tegar Arung Buwono, Kelas 7G, SMP Muhammadiyah 2, Yogyakarta
Sanitasi atau sanitation adalah perilaku hidup sehat yang
mencegah manusia berhubungan atau kontak langsung
dengan kotoran baik berupa buangan dari manusia maupun
dari hewan seperti tinja, air seni, limbah cucian yang
mengandung berbagai macam bakteri. Sanitasi dilakukan
dengan berbagai cara seperti membuat tempat cuci tangan,
kamar mandi, WC sampai dengan pembuatan saluran
pembuangan, resapan, dan septitank/tampungan kotoran
atau limbah.
Tujuan paling utama dengan sanitasi yang baik adalah agar
kotoran atau limbah berbahaya bagi kesehatan manusia
tidak kembali mencemari tanah, air, dan udara, sehingga
tidak menimbulkan penyakit.
Sanitasi sangat penting bagi lingkungan kita karena akan
berakibat langsung kepada kesehatan manusia. Dengan
sanitasi yang baik, maka lingkungan kita, terutama air yang
kita gunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi,
mencuci pakaian, terutama yang berasal dari air tanah akan
terjaga kebersihannya.
Sedangkan sanitasi yang buruk akan menyebabkan
lingkungan kita, terutama air yang kita gunakan sehari-hari
akan kotor dan tercemar berbagai macam bakteri yang bisa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
menyebabkan penyakit bagi manusia. Apalagi kita tahu
sebagian penyakit bisa disebabkan atau ditularkan oleh
lingkungan yang kotor terutama air.
Tingkat kesehatan masyarakat zaman sekarang sudah lebih
baik dibanding dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Hal
itu antara lain disebabkan karena kesadaran akan pentingnya
sanitasi yang baik telah meningkat di masyarakat. Meskipun
di daerah pedalaman dan di kota-kota besar masih cukup
rendah kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang baik.
Menurut cerita orangtuaku, pada zaman dahulu orang
masih seenaknya membuang kotoran atau limbah
manusia secara sembarangan, tidak jauh berbeda dengan
binatang. Menurut ayahku yang kebetulan suka melakukan
perjalanan ke pelosok daerah, beberapa puluh tahun
yang lalu, masih banyak ditemui orang buang air besar di
pekarangan, di kebun atau di lahan-lahan kosong di dekat
tempat tinggalnya.
Bahkan lebih serem lagi, menurut ayahku, di daerah
yang sulit air, terutama di musim kemarau, banyak orang
buang air besar di kebun dan tidak dibersihkan dengan
air melainkan hanya dengan daun-daun saja atau bahkan
dengan batu. Bisa dibayangkan sangat jorok sekali.
Kampanye Sanitasi Publik
Atas perkenaan SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
Ada juga yang memiliki kebiasaan buruk dengan buang air di
sungai, selokan atau di sumber-sumber air. Padahal sungai,
selokan dan sumber-sumber air itu banyak digunakan
untuk keperluan sehari-hari masyarakat, seperti untuk
mandi, mencuci bahkan untuk memasak. Kebiasaan seperti
ini masih bisa ditemui di kota-kota besar seperti Jakarta.
Karena sulitnya mendapatkan air bersih maka banyak sungai
dijadikan sarana mandi, cuci, kakus (MCK).
Hal itu jelas akan menimbulkan berbagai macam polusi atau
pencemaran seperti pencemaran air, pencemaran tanah,
dan pencemaran udara atau bau. Berbagai bakteri yang
menyebabkan penyakit pun pasti akan gampang datang
menyerang. Makannya pada zaman dahulu orang lebih
gampang terserang berbagai macam penyakit seperti diare,
tifus, dan muntaber, karena kurang baiknya sanitasi.
Seiring dengan perkembangan zaman kesadaran masyarakat
akan pentingnya kebersihan termasuk sanitasi yang baik
semakin meningkat. Hal itu juga atas jasa pemerintah
atau organisasi sosial atau LSM yang banyak memberikan
penyuluhan pengetahuan pentingnya sanitasi sehat kepada
masyarakat khususnya di pedesaan atau pelosok dan juga
di kota-kota besar.
Pada awalnya sanitasi dibuat dengan sangat sederhana
dan belum memenuhi syarat kesehatan seperti misalnya
membuat WC tradisional yang hanya berupa lubang seperti
sumur yang di atasnya ditata kayu. Karena baunya masih
kontak langsung atau dapat dicium manusia, apalagi
lalat-lalat masih bisa bebas keluar masuk lubang, maka
WC seperti ini masih mencemari udara dan masih mudah
menimbulkan polusi dan penyakit.
Meski kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang baik
semakin hari semakin meningkat, tetapi karena memerlukan
biaya yang mahal untuk membuat sanitasi yang baik,
masyarakat di pedesaan-pedesaan dan juga perkotaan
masih kesulitan biaya untuk membuatnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
251
252
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan
Namun seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi
masyarakat dan juga karena adanya bantuan dari pemerintah
dengan program bantuan pembuatan sanitasi yang sehat,
maka perlahan-lahan masyarakat sudah berhasil membuat
sanitasi yang baik. Kesehatan masyarakat pun sekarang
sudah menjadi lebih baik, meskipun masih ada yang belum
baik, terutama di daerah-daerah pelosok atau pedalaman
dan juga di kota-kota besar yang sulit atau mahal untuk
mendapatkan air bersih.
Masalah sanitasi buruk sebenarnya tidak hanya ada di
Indonesia saja. Di luar negeri pun banyak terutama di
negara-negara miskin dan negara berkembang. Contoh di
negara-negara miskin masih banyak yang mengandalkan
kloset sederhana dan sungai atau sumber air untuk sarana
MCK sehingga gangguan yang ditimbulkannya juga sama
yaitu banyaknya penyakit di masyarakat.
Untuk mengatasi masalah sanitasi yang baik, di negara
Bangladesh sudah mulai dikembangkan kloset murah oleh
salah satu produsen brand ternama. Mereka membuat
kloset yang sehat, aman, dan murah, jadi tidak menimbulkan
bau busuk di kamar mandi ataupun tempat yang biasa
untuk membuang hajat.
Sekarang di Indonesia, hampir setiap rumah sudah memiliki
kloset dan sanitasi lain yang baik, aman serta bersih,
inilah yang dapat mengurangi timbulnya penyakit yang
disebabkan oleh sanitasi yang buruk.
Pada saat ini sudah banyak kloset dengan berbagai
pilihan model, kualitas, dan harga. Contohnya kloset
jongkok, kloset duduk, dan kloset yang hanya untuk
buang air kecil saja. Masyarakat dapat memilih kloset atau
kebutuhan perlengkapan sanitasi sesuai dengan keinginan
dan kemampuannya.
Pada waktu awal-awal dulu, ketika dipakai kloset banyak
membutuhkan atau boros air. Tetapi seiring dengan
kemajuan zaman, saat ini sudah banyak diciptakan
kloset-kloset yang hemat air sehingga dapat mengurangi
kebutuhan air rumah tangga, sehingga juga lebih
ramah lingkungan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sanitasi tidak hanya masalah kloset atau WC saja. Ada
juga pembuatan sumur resapan yang digunakan untuk
menampung limbah rumah tangga seperti air limbah
kamar mandi, air bekas cuci piring di dapur, air bekas
dari mesin cuci atau cuci pakaian, dan lain-lain. Sumur
resapan berfungsi selain untuk menampung juga untuk
menetralisir air limbah agar tidak mencemari tanah dan
sumur atau sumber air.
Sebagai generasi muda, saya mengajak kepada pembaca,
marilah kita bersama-sama ikut menyebarluaskan kepada
masyarakat betapa pentingnya sanitasi yang baik agar kita
selalu dapat hidup sehat tidak mudah terserang penyakit.
Paling tidak, kita dapat memulai dengan ikut
menginformasikan pentingnya sanitasi sehat di lingkungan
sekolah dan tempat tinggal kita. Kita dapat berbuat nyata
dengan selalu berusaha ikut menjaga kebersihan WC dan
kamar mandi di sekolah dan di rumah kita. Kita juga bisa
berperilaku sehat dengan selalu menyiram closet sampai
tidak tertinggal kotoran dan tidak bau, setiap kali kita
selesai buang air besar maupun kecil.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya sanitasi
yang baik, maka secara otomatis akan mempercepat
tercapainya kondisi masyarakat yang sehat dan sejahtera. ●
Kampanye Sanitasi Publik
IMPIAN KOTA 1000 SUNGAI
Esai ini memenangkan juara kedua kategori Esai Panjang dalam
Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh
Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Oleh Dhiya Salma Azminida, SMP Negeri 1, Banjarmasin
Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan
hidup bersih dengan maksud mencegah manusia
bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan
berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga
dan meningkatkan kesehatan manusia (sumber: http://
id.m.wikipedia.org/wiki/Sanitasi). Bahaya dari lingkungan
yang tercemar sangat berpengaruh bagi kesehatan fisik.
Contohnya seperti sampah yang sengaja dibuang ke sungai.
Pada awalnya aku terpaku melihat, di setiap kesempatan
aku pergi ke sekolah, rumah teman, atau pun ke suatu
tempat, di sini aku selalu melalui sungai. Ya, kotaku adalah
kota dengan julukan City of a Thousand Rivers. Di mana
lagi di Indonesia ini yang memiliki julukan seperti itu selain
Banjarmasin. Aku juga berpikir betapa beruntungnya
makhluk-makhluk Tuhan yang tinggal di dalam sana,
karena tidak merasakan permasalahan yang ada di atas
tempat mereka tinggal. Seperti kemacetan kendaraan yang
berbahan bakar minyak itu, yang orang-orangnya tidak
memanfaatkan juga mengembangkan beberapa bahan
bakar alternatif yang sekarang sudah ada diciptakan oleh
putra-putri berprestasi di Indonesia, karena kemacetan
itu adanya polusi udara yang tidak lain tidak bukan
menyakiti diri kami sendiri. Aku sadar aku adalah salah
satu dari mereka, tapi tidak, aku tidak sama. Aku juga tahu
kalau perbuatan kami ini menyusahkan diri kami sendiri.
Dan masih banyak pencemaran-pencemaran lain. Aku
menginginkan berkunjung di perairan itu, bukan hanya di
sungai tapi juga laut. Bagai ingin bertemu dengan ikan badut
terkenal bernama Nemo, berpetualang bersama ayahnya,
Atas perkenan Dhiya Salma Azminida
Prakarsa Compendium | Jilid 3
253
254
Impian Kota 1000 Sungai
Marlin, dan Dory dengan berani berhadapan dengan ikan
hiu, menanyakan bagaimana rasanya berenang di arus
deras pada para penyu laut yang umurnya ratusan tahun
yang ada di kartun animasi yang berjudul “Finding Nemo”.
Aku merasa sungai di Kalimantan Selatan termasuk sungaisungai indah, banyaknya kapal-kapal yang melintas di
atasnya, perahu-perahu kecil yang mengayuhnya adalah
ibu-ibu dan bapak-bapak, bahkan anak-anak, nenek-nenek
atau kakek-kakek tua renta yang bersemangat menjual
sayur-sayuran, kue-kue khas Banjar, buah-buahan yang
tertata rapi diatas perahu mereka yang kami sebut jukung,
bahagia dan menunggu dengan rasa penasaran di raut
wajah para pemancing. Hal itu kulihat dari jembatan di atas
sungai-sungai besar di Banjarmasin.
Tak hanya hal-hal menakjubkan nan indah yang membuat
mata terpukau melihat sungai-sungai Banjar ini. Tapi
betapa tak sedapnya dipandang mata, masih banyak
tempat pembuangan air di sana yang masih dipakai oleh
masyarakat sini. Yang kulihat adalah, mereka mencuci
pakaian dan piring, mandi untuk diri sendiri bahkan untuk
anak-anak mereka, air kumur-kumur untuk sikat gigi,
mencuci tangan dengan air itu tanpa sabun, dan untuk
buang air, mengambil air itu memasukannya ke dalam
ember lalu merebusnya. Dan tidak jarang setelah mereka
melakukan hal bersih-bersih diri. Yang kulihat adalah mereka
kotori lagi sumber keseharian mereka, dengan hasil kegiatan
rumah tangga, ya…apa lagi kalau bukan sampah rumah
tangga. Ringannya tangan-tangan orang-orang ini, sampahsampah yang terbungkus plastik itu dengan mudahnya
melayang ke atas sungai. Hanyut bersama aliran sungai
dan berenang bersama-sama bagai sekelompok bebek
yang berendam di air.
Apa mereka tidak berpikir kala mereka melakukan hal
itu, mereka menyakiti diri sendiri, anak-anak, keluarga,
dan kerabat mereka sendiri? Dan bukan hanya mereka,
tapi aku sendiri pasti akan merasakannya. Di saat mereka
mandi dan mencuci, yang kurasakan adalah bagaimana
bila aku jadi bertemu dengan makhluk-makhluk Tuhan
yang ada di dalam sana? Apakah aku akan merasakan
rasanya keracunan bahan kimia dari sabun-sabun mereka
ini? Aku tahu itu sudah pasti terjadi. Tapi sebelum aku
membayangkan reaksiku keracunan itu. Aku terbayang
mereka. Ya, mereka makhluk-makhluk Tuhan yang ada di
dalam air itu pasti merasakannya setiap hari. Tapi, mereka
yang melakukan itu, orang-orang yang mandi dan mencuci
tadi juga merasakannya. Karena aku melihat mereka makan
dan minum dari air sungai itu, walaupun aku tahu mereka
memasaknya terlebih dahulu.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Bagaimana nasib kotaku ini? Bagaimana dengan orangorang yang buang air di sana? Apa itu termasuk kategori
orang-orang yang buang air sembarangan? Menurutku, sih,
iya. Itu membuatku merasa jijik meminum air dari rumahku
sendiri. Aku tahu air di rumahku adalah air bersih dari PAM
tapi aku tau asal mula sumber air itu dari sungai-sungai di
lingkunganku sendiri. Orang-orang yang buang air di sungai
itu, mungkin tidak merasa, ya, kalau mereka memberi
minum dan membiarkan anak-anak dan keluarga mereka
mandi dari air tempat mereka buang air.
Banyak pertanyaan yang ada di otakku, mengapa mereka
tidak membuangnya di Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
yang sudah di sediakan pemerintah. Tapi di saat yang
bersamaan timbul jawaban dari semua itu? Mereka merasa
sangat mudah tinggal ke belakang rumah lalu mengayunkan
tangan hingga kantung-kantung plastik yang berisi sampah
itu hanyut di atas sungai atau saat melintas lebih nyaman
mengayunkan tangan untuk membuang sampah itu dari
pada ke TPS mereka akan mencium bau yang tidak sedap
dari sampah rumah tangga yang lain. Aku juga tau, larangan
membuang sampah pada siang hari yang menyebabkan
mereka merasa tertekan jika harus berjalan keluar di
malam hari hanya untuk membuang sampah. Ya, bagai kata
pepatah yang sering kudengar “tak ada rotan akar pun jadi”.
Well, mengenai yang buang air tadi. Aku juga banyak
pertanyaan tentang mereka. Aku melihat hal ini bukan
hanya ada di Banjarmasin, tapi juga di daerah lain di
Kalimantan Selatan, bahkan di luar pulau Kalimantan masih
banyak hal ini. Benda itu, jamban kami biasa menyebutnya.
Jamban ini sengaja dibangun oleh masyarakat sekitar untuk
melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sangat tidak
sedap dipandang mata, karena menurutku sungai-sungai ini
terlihat kumuh bila ada benda itu. Tapi terlintas lagi jawaban
dari pertanyaanku, mengapa mereka buang air di sungai?
Rupanya mereka adalah orang-orang yang kurang mampu
dan kurang pengetahuan, juga kurang wawasan. Sebagian
besar dari rumah mereka, tidak memiliki WC atau toilet
pribadi. Dan kebiasaan mereka ini sudah turun temurun
mereka lakoni. Yah…seperti yang di lakukan biasanya oleh
orang-orang terdahulu dari mereka.
Dengan kebiasaan buruk orang-orang ini, aku merasa
sepertinya aku tidak ingin bertemu dengan makhlukmakhluk Tuhan di sungai-sungai itu. Karena bukan hanya
dampaknya pada makhluk-makhluk Tuhan di sungai itu.
Tapi, juga pada diri mereka, dan aku sendiri tentunya.
Menurutku, apa yang akan terjadi pada mereka? Ya,
mereka akan menderita penyakit, mulai dari sakit perut
karena minum dari air sungai yang tercemar itu, memasak
Kampanye Sanitasi Publik
dengan air sungai itu atau tertelan dengan tidak sengaja.
Mungkin mereka akan terkena flu, mereka juga pasti
akan merasakan penyakit kulit karena mandi dan mencuci
pakaian dari sungai, penyakit kulit mulai dari gatal-gatal
sampai yang di katakan oleh orang-orang medis salah-satu
penyebab orang-orang kena kanker kulit adalah kebersihan
diri yang tidak dijaga.
Aku jadi berpikir, anganku tentang ingin bertemu makhlukmakhluk Tuhan yang ada di sungai itu, bahkan ke laut
untuk bertemu Nemo, ayahnya, dan Dory yang pemberani,
juga penyu laut nanti saja dulu. Sudah saatnya aku
“mengadu ujung penjahit”. Sekarang pikiranku tertuju
pada, menyelamatkan orang-orang itu, makhluk-makhluk
Tuhan yang ada di sungai itu, dan diriku sendiri, juga
keluarga serta sahabat-sahabatku dari pencemaran sungai.
Aku juga menginginkan indahnya melihat 1000 sungai di
kotaku dengan mengatakan kata-kata indah yang mewakili
perasaan melihatnya.
untuk terciptanya lingkungan yang bersih, air sungai yang
tidak menjadi air limbah, dan setiap hari akan rindu pada
aliran sungai yang di atasnya dihiasi pemandangan indah
seperti kapal-kapal juga perahu yang beraktivitas, eceng
gondok yang bermigrasi sama-sama, dan orang-orang
yang bercengkrama di atas perahu mereka. Mari wujudkan
sifat kepedulian terhadap lingkungan agar tercipta
lingkungan yang sehat dan bersih. ●
Bagaimana itu dapat terjadi? Bagaimana caranya aku
melakukan hal itu? Bagaimana kalau dengan mengajak
kalian semua untuk mengikuti aturan pemerintah,
jangan membuang sampah sembarangan karena hal itu?
Mengajak pemerintah untuk bertindak lebih tegas, dan
memperbanyak orang-orang yang peduli lingkungan untuk
ikut serta dalam hal ini.
Aku menginginkan pemerintah melakukan pembinaan
dan menambah wawasan pada mereka yang kurang tahu
tentang pencemaran lingkungan. Seandainya, air itu bisa
bicara mungkin mereka akan berkata “tidaaak… tidaaak,
aku tidak mau diriku kotor karena ulah manusia, tak ingin
aku merasa jijik dengan diriku sendiri karena kotoran
manusia.” Aku juga menginginkan, pemerintah lebih peduli,
dan memperhatikan masyarakat yang belum memiliki toilet
pribadi di rumahnya. Seandainya, aku bisa mengalirkan air
PAM ke rumah-rumah warga, supaya mereka bisa memberi
air minum, dan memasak dengan baik untuk mereka,
keluarga, terutama anak-anaknya. Karena aku percaya “tak
ada harimau yang memakan anaknya”. Tak mungkin mereka
menginginkan anak-anaknya sakit.
Kini hanya kepedulian kita, jika ingin mendengar kembali
julukan City of a Thousand Rivers oleh Banjarmasin
Bungas, walaupun sebenarnya kini tidak seribu sungai
lagi yang ada di sekitarku. Kini sungai-sungai itu sudah
berkurang karena banyaknya pemukiman masyarakat. Tapi
kini hanya perlu kata optimis dan usaha untuk mendapat
Banjarmasin Bungas yang diakui oleh daerah-daerah lain,
kalau Banjarmasin memang Bungas. Seperti impian kota ini,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
255
256
Indonesia dan “Gengsinya” tentang Sanitasi
INDONESIA DAN “GENGSINYA”
TENTANG SANITASI
Esai ini memenangkan juara ketiga kategori Esai Panjang dalam
Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh
Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Oleh Bagas Pramana Putra Fadhila, SMP Negeri 8, Yogyakarta
tidak harus ikut pusing memikirkan hal tersebut. Kita memang
tidak bisa menyalahkan masyarakat kita akan kebodohan ini
karena memang kesalahan bangsa ini yang membuat generasi
sekarang atau mungkin generasi berikutnya “buta” akan hal
sanitasi atau kebersihan.
Atas perkenan Bagas Pramana Putra Fadhila
Kalau berbicara tentang masalah sanitasi pasti belum semua
masyarakat tahu, alih-alih tahu malah tidak ingin tahu. Banyak
orang pintar berkata bahwa masyarakat Indonesia mempunyai
kebiasaan buruk yang berkaitan dengan kebersihan. Mungkin
banyak orang percaya dengan opini itu, namun saya memiliki
cara pandang tersendiri. Masyarakat kita mungkin ada yang
memang mempunyai kebiasaan buruk, tetapi saya percaya
sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak akan berperilaku
seperti “binatang”. Masyarakat kita mempunyai kebiasaan
buruk dikarenakan sangat sedikit informasi terkait tentang
hal sanitasi atau kebersihan. Dapat kita saksikan di televisi,
koran, dan media lainnya jarang sekali yang menampilkan
materi tentang kebersihan, banyak yang menganggap bahwa
masalah sanitasi itu hanyalah masalah pemerintah dan kita
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jikalau sedari dulu kita memberikan pengetahuan yang cukup
kepada masyarakat, maka tidak akan tercipta hal semacam
ini. Kebodohan kita akan sanitasi membuat masyarakat dan
pemuda menjadi bertindak apatis dan egois tentang hal
kebersihan. Mereka membuang sampah sembarangan seakan
mereka tidak bersalah atas hal itu, hal yang membuat lingkungan
menjadi kumuh, hal yang menjadikan sebuah tempat tercemar,
dan akhirnya siapa yang disalahkan pastinya pemerintah. Halhal tersebut dikarenakan oleh kebodohan kita akan sanitasi,
jadi janganlah mengklaim bahwa Indonesia itu bangsa yang
cerdas. Kita lihat dulu di lapangan, bahkan sebuah kota yang
mendapatkan penghargaan kota terbersih (Adipura) masih
banyak sampah berserakan. Itukah yang dimaksudkan orang
cerdas? Lalu dengan sekolah terbersih betulkah itu memang
sekolah terbersih, tentu tidak, mengapa? Karena sekolah hanya
membersihkan sampah jika ada petugas yang menilai. Itu semua
hanyalah gengsi belaka yang menghancurkan bangsa. Jikalau
ingin diklaim, kita harus menilai kebiasaan suatu masyarakat
atau komunitas yang berkaitan. Percuma saja jika ada suatu
sekolah diklaim menjadi memiliki sanitasi yang baik, padahal
siswanya mempunyai kebiasaan membuang sampah di parit
depan sekolah, meninggalkan sampah di laci-laci, membuat
kotor lingkungan dan tidak ingin bertanggung jawab atas hal
tersebut. Ada suatu sekolah yang mempunyai banyak wastafel
di sana-sini, masing-masing wastafel mempunyai sabun,
namun aliran pembuangan air sisa cuci tangan dialirkan ke
tanah, bahkan ke tanaman. Bukannya menanamkan kebiasaan
baik, tetapi malah mengotori dan mencemari lingkungan.
Sebelum saya masuk ke bahasan utama, saya ingin berterima
kasih kepada Anda/Saudara yang telah berkenan membaca
esai yang saya tulis karena tidak sedikit orang dewasa yang
meremehkan ide-ide dari remaja seusia saya ini. Mereka
Kampanye Sanitasi Publik
memiliki cara pandang yang menyatakan bahwa remaja
belum memiliki pemikiran yang matang yang menyebabkan
kami tidak bisa mencetuskan ide-ide atau pendapat kepada
lingkungan sekitar. Mereka membatasi hak kami untuk
berpendapat dan hak untuk memulai suatu perubahan. Kami
remaja Indonesia memang masih banyak yang tidak peduli
dan egois akan kebersihan lingkungan, namun hal tersebut
bukan salah kita sepenuhnya karena orangtua kita tidak
membiasakan atau mencontohkan kita menghargai lingkungan,
terkadang malah mereka yang mengajarkan kita untuk
membuang sampah sembarangan.
Menurut pandangan saya, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi animo masyarakat untuk menjaga kebersihan
lingkungan terutama kebiasaan mencuci tangan dan
membuang sampah pada tempatnya. Pertama, seperti yang
telah saya paparkan tadi bahwa kurangnya pengetahuan atau
wawasan mengenai sanitasi atau kebersihan lingkungan.
Kedua, tidak adanya tempat sampah yang menjadikan orang
yang aslinya memiliki kebiasaan baik menjadi orang yang
memiliki kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan.
Ketiga, kemalasan masyarakat, padahal mereka tahu urgensi
tersendiri dalam menjaga lingkungan. Keempat, kesalahan
yang berasal dari pengelola lingkungan itu sendiri, misalnya
tempat sampah yang sudah penuh tidak segera dibuang atau
diangkut, sehingga menimbulkan bau busuk yang menjadikan
masyarakat enggan membuang sampah. Dalam mencuci tangan
sama halnya dengan membuang sampah, yaitu hanyalah
masalah kebiasaan dari individu itu sendiri. Maka dapat saya
simpulkan bahwa kebiasaan sederhana dan sepele seperti
membuang sampah sembarangan, tidak pernah mencuci
tangan, kelalaian pengelola lingkungan hidup, kemalasan
untuk bergerak, berpikir pendek dapat menimbulkan masalah
yang amat besar bagi bangsa ini seperti sekarang, yang dapat
membunuh banyak jiwa, yang dapat menyebabkan penyakit di
mana-mana, yang menjadikan generasi ini atau mungkin
generasi 100 tahun ke depan tidak akan memiliki lingkungan
yang bersih, nyaman, dan sehat.
Infrastruktur dan sarana-prasarana juga mempunyai peran
penting dalam pembangunan lingkungan hidup dengan
sanitasi yang baik seperti halnya IPAL, sumur sumber air PDAM,
selokan, gorong-gorong limbah, sedimentasi, dan filtrasi
limbah. Tanpa adanya teknologi dan kemauan yang memadai,
kebijakan pembangunan sanitasi tidak akan bekerja dengan
baik. Untung saja ada beberapa negara yang ikut berkontribusi
dalam peningkatan sanitasi di Indonesia. Penanam modal
dan kontraktor yang konsisten juga dapat mempercepat
pembangunan infrastruktur sanitasi.
Kita sering melihat banyaknya limbah mentah yang langsung
dibuang ke sungai, hal tersebut menyebabkan pencemaran
lingkungan serta mengotori sumber air untuk irigasi. Namun
beberapa tahun ini, industri mulai memperbaiki sistem
pembuangan limbahnya. Hal tersebut cukup melegakan,
namun setelah masalah limbah industri selesai muncullah
masalah baru, yaitu limbah rumah tangga dan laundry. Hal
ini mesti diperhatikan dan diawasi perkembangannya oleh
Badan Lingkungan Hidup setempat agar air yang disalurkan
lewat parit tetap bersih dan tidak tercemar. Salah satunya
dengan menggunakan filter sederhana. Saya pernah membuat
suatu penelitian tentang filter sederhana bernama RWFS yang
dapat memfilter limbah PG. Madukismo menjadi air yang layak
untuk pertanian dan dapat menurunkan kadar konsentrasi
yang ada di limbah tersebut serta harga RWFS tidak mahal
hanya berkisar 25.000–50.000 rupiah, hanya saja dibutuhkan
maintenance yang baik. Filter ini juga berfungsi untuk air bekas
cucian. Kemudian yang mungkin perlu dikembangkan yaitu
sebuah sistem yang dapat menampung dan menguraikan
“sampah” tubuh dengan cepat dan tidak memerlukan ruang
besar, sehingga dapat berperan sebagai pengganti septic tank
dan IPAL. Tangki septik dan IPAL cukup sulit direalisasikan
karena membutuhkan dana yang cukup tinggi dan waktu
pengerjaan yang lama, maka dari itu saya berharap tim dari
teknik lingkungan dapat menemukan solusi terbaik untuk
teknologi pembuangan limbah rumah tangga.
Sungguh memprihatinkan melihat bangsa sebesar Indonesia
ini memiliki masyarakat yang “buta” akan lingkungannya
sendiri, egois, dan apatis. Apalagi dengan segala predikat
yang menempel padanya. Pernahkah Anda membayangkan
atau pun membandingkan kebiasaan baik orang Singapura,
Australia, dan UE yang daerahnya sempit dengan kebiasaan
orang Indonesia yang katanya bangsa yang besar dalam
hal membuang sampah atau kebiasaan dalam menjaga
kebersihan? Menangis hati ini jikalau memikirkan nasib
bangsa ini yang hancur karena ulahnya sendiri.
Maka saya bersikeras mengingatkan kepada seluruh
masyarakat, arek-arek Indonesia, dan orang dewasa yang
sebelumnya tidak pernah mendengarkan. Tolonglah untuk
dirimu sendiri, demi generasimu sendiri, jagalah lingkungan
kita dan tanamkan kebiasaan baik. Saya percaya bahwa
kebiasaan sederhana yang kita lakukan dan kita tularkan
akan menggerakkan hati orang lain untuk melakukannya
juga. Kebiasaan sederhana yang dapat menyelamatkan
banyak jiwa di masa mendatang. Pemerintah juga harus
konsisten dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur
sanitasi dan dalam melaksanakan program-programnya
akan pengelolaan lingkungan hidup, mengelola IPAL dengan
baik dan menyelesaikan masalah-masalah tentang IPAL
dan sistem pembuangan sampah, serta pabrik-pabrik daur
ulang, memperbaiki tata pengelolaan limbah industri, dan
memperbaiki tata letak air dan sistem sedimentasi, sehingga
bangsa ini dapat menjadi bangsa yang tersatupadu dalam
menyelamatkan lingkungan. Kita harus mengambil kesempatan
ini sekarang juga, jangan lepaskan kesempatan yang ada,
karena keputusan kita sekarang akan berpengaruh terhadap
generasi 100 tahun mendatang.
Pesan terakhir saya, jika Anda membaca ini hanya sebagai esai
atau bacaan ringan biasa, maka Anda sendiri yang tidak akan
menemukan makna dan Anda sendiri yang rugi serta anakanak Anda. Saya masih ingin melihat Indonesia ini menjadi
negara percontohan dalam bidang sanitasi seperti Australia,
Singapura, dan UE, begitu pula dengan Anda kan? Jadi,
mari kita BUDAYAKAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN SEBAGAI
KEBUTUHAN UTAMA. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
257
258
Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
KISAH SANITASI DI TEPI
SUNGAI MUSI
Artikel ini menang sebagai juara pertama dalam lomba penulisan
untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Antara pada
tanggal 24 Februari 2015.
Oleh Dolly Rosana ST
Waktu menunjukkan hampir pukul 6.00 WIB. Matahari
mulai menyapa melalui cahayanya yang kemilau di
sela-sela rumah yang berdiri tak tertata di bantaran
Sungai Musi, Palembang.
Sekelompok warga mulai beraktivitas di pagi hari itu,
mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga orang
tua. Mereka mengantre di sebuah fasilitas mandi, cuci,
dan kakus (MCK) umum yang berdiri di atas lahan seluas
7 x 12 meter, persis bersebelahan dengan gedung sekolah
dasar (SD) negeri.
(600 jiwa) memanfaatkan MCK tersebut sejak didirikan
pemerintah pada tahun 2011.
Keberadaan MCK ini demikian dimanfaatkan warga, baik di
saat musim hujan maupun musim kemarau.
“Kini, semua warga ke sini. Hanya sekitar 20 persen yang
masih MCK di rumah sendiri, bisa jadi karena sudah memiliki
WC dengan septic tank sendiri atau masih mempertahankan
budaya lama (WC cemplung, red.),” kata Mansyur.
Tanpa harus dikomandoi, puluhan warga RT 05, Kelurahan
05, Ulu ini berbaris dengan tertibnya menunggu giliran
untuk memanfaatkan MCK yang hanya terdiri atas empat
kakus dan tiga kamar mandi.
Ia mengemukakan bahwa pengelolaan MCK ini secara
swadaya, yakni dengan memungut biaya sebesar Rp 10 ribu
bagi keluarga yang memanfaatkan untuk mencuci pakaian.
Sementara itu, bagi mereka yang hanya menggunakan
kakus, warga bersepakat tidak dikenai biaya sama sekali.
Lantaran makin banyak orang yang datang membuat
barisan warga bertambah panjang sehingga memaksa
sebagian pengantre menunggu di tepi jalan yang hanya
selebar 1 meter.
Terkait dengan ketersediaan air, dia mengemukakan bahwa
hal itu tidak mendapatkan masalah karena mengambil
langsung dari sungai Musi dengan membuat jalur pipa
sepanjang 100 meter.
Beruntung, pagi ini belum ada kendaraan roda dua
yang berlalu lalang di kampung yang warganya sebagian
besar berprofesi sebagai buruh, pengolah ikan, hingga
awak kapal ini.
Air yang disedot dengan mesin itu akan disimpan di dalam
tabung penyimpanan selama kurang-lebih satu minggu agar
ketika digunakan sudah bersih.
Ketua RT 05 Muhammad Masyur mengatakan bahwa hampir
80 persen warganya yang terdiri atas 160 kepala keluarga
Prakarsa Compendium | Jilid 3
“Kotoran akan turun dengan sendirinya, airnya pun bersih
dan bening. Caranya, bagian tengah dinding tedmon (drum
plastik, red.) dilubangi untuk mengalirkan air, bukan bagian
bawahnya,” ujar dia.
Kampanye Sanitasi Publik
Kehidupan di sepanjang tepi Sungai Musi Palembang
Menurut dia, tidaklah mudah untuk mengadakan fasilitas
MCK ini di kawasan kumuh bantaran Sungai Musi ini.
Ketidaktersediaan lahan menjadi kendala utama.
“Saya mengajukan ke pemerintah, menunggu hingga empat
tahun sebelum akhirnya disetujui. Hal ini pun bisa karena
ada sisa tanah halaman SD. Jika mengharapkan tanah
warga, mau di mana lagi, antar rumah saja sudah tidak ada
jarak,” ujar dia.
Namun, berkat desakan warga yang mulai sadar
akan kebersihan lingkungan membuat pemerintah
merealisasikan MCK ini.
“Cukuplah dengan banyaknya sampah, jangan pula
dibarengi dengan bau tidak sedap. Terus terang saja, saya
malu jika ada tamu yang berkunjung,” ujar Ketua RT ini.
Shaibah (65), warga RT 05 mengharapkan pemerintah
menambah fasilitas MCK di lingkungan tempat tinggalnya
karena yang tersedia saat ini terbilang tidak mencukupi
kebutuhan warga.
Atas perkenan Kimberly Jansen
“Setidaknya ada satu lagi fasilitas MCK karena pada saat jam
sibuk, ramai sekali, antrenya ramai sekali,” kata Shaibah.
Ia mengatakan bahwa warga bantaran sungai pada
prinsipnya sangat menginginkan lingkungan yang hidup
sehat dan bersih, hanya saja keterbatasan biaya membuat
mereka masih menggunakan jamban. “Kami membutuhkan
bantuan pemerintah karena biaya untuk membuat septic
tank sendiri itu tidak murah,” kata dia.
Sanitasi Rendah
Kesadaran warga tepi sungai terhadap sanitasi lingkungan
tempat tinggalnya bisa dikatakan sangat rendah, seperti
tidak memiliki fasilitas MCK hingga tidak peduli terhadap
penanganan limbah rumah tangga.
Bagi warga bantaran, membuang sampah ke sungai adalah
sesuatu kelaziman yang sudah berlangsung secara turuntemurun. Mereka beranggapan sampah yang dibuang
bukanlah suatu persoalan besar karena pada akhirnya
kotoran tersebut akan tersapu ke sungai ketika air pasang.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
259
260
Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
Supriyadi (45), warga Jalan Kenduruan, Kelurahan 05, Ulu
mengatakan bahwa pada musim kemarau biasanya sampah
berserakan di mana-mana disertai dengan bau yang tidak
sedap. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena
pada musim berganti, maka sampah-sampah tersebut
akan tersapu air sehingga kondisi lingkungan bantaran
sungai kembali terlihat bersih.
“Tidak masalah, nanti juga bersih sendiri,” kata Supriyadi
yang berprofesi sebagai pengepul ikan ini.
Saat air pasang, warga pinggiran sungai menggunakan
air sungai untuk beragam keperluan, seperti mandi,
mencuci pakaian, mencuci sayuran, mencuci beras, mencuci
ikan, hingga menyikat gigi.
Ada pula beberapa rumah yang kembali memanfaatkan WC
cemplung ketika air pasang itu. “Dahulu sewaktu saya kecil,
air Sungai Musi ini dimasak jadi air minum. Akan tetapi,
sekarang sudah banyak warga yang membeli air galon
karena menyadari kualitasnya sudah menurun,” kata dia.
Butuh Perhatian Pemerintah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan bahwa
penanganan sanitasi warga bantaran Sungai Musi harus
menjadi perhatian khusus Pemerintah.
Menurut dia, langkah strategis harus diambil mengingat
kualitas air Sungai Musi semakin menurun setiap tahun
karena tingginya pencemaran tanah dan air akibat aktivitas
penduduk hingga industri yang tergolong masif.
Pada sisi lain, dia mengatakan bahwa penduduk sangat
bergantung pada air Sungai Musi karena menjadi satusatunya air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Tirta Musi.
“Pemerintah Kota Palembang harus memiliki programprogram strategis untuk menekan tingkat pencemaran
di Sungai Musi, salah satunya aktif mendekatkan warga
dengan program sanitasi,” kata dia.
Konsentrasi program sanitasi ini sebaiknya tidak hanya
terkonsentrasi di permukiman bantaran sungai, tetapi
juga permukiman padat penduduk lainnya yang tingkat
pencemaran tanahnya sudah relatif tinggi.
“Agar beragam program sanitasi dapat berjalan
berkesinambungan, pemerintah harus melibatkan warga,
mulai dari perencanaan hingga pelaksanaanya. Misalnya,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
membangun instalasi pengolahan air limbah sebaiknya
melibatkan warga, jangan sampai setelah dibangun, ada
keluhan warga karena letaknya yang mengganggu,” ujar dia.
Bantuan Australia
Persoalan sanitasi warga tepi sungai dengan pemukiman
padat penduduk atau kumuh, sebenarnya relatif tidak
berbeda jauh karena limbah rumah tangga yang dihasilkan
juga mencemari tanah dan air.
Umumnya, pencemaran tanah terjadi akibat setiap
rumah membangun septic tank sendiri-sendiri, sementara
pada sisi lain keberadaan sumur hanya dalam radius
beberapa meter.
Kenyataan ini menggugah Pemerintah Australia untuk
menyalurkan dana hibah sanitasinya ke warga Kota
Palembang dalam program pembangunan instalasi
pengolahan air limbah (IPAL), baik secara kawasan
maupun perkotaan.
Kepala Bappeda (Badan Pengembangan Daerah) Ir. M.
Sapri, DIPL, HE mengatakan di Palembang pada hari Rabu
11/2 bahwa Kota Palembang terpilih karena 96.07 persen
warganya telah mengakses air bersih.
Selain itu, Pemerintah Kota Palembang juga memiliki
komitmen tinggi dalam meningkatkan sanitasi warganya
terkait dengan penanganan drainase, limbah, dan
sampah, dengan menganggarkan dana APBD sebesar
Rp 150.564.006.855 atau mencapai 10,43 persen dari
belanja langsung 2015.
“Setiap tahun dana yang dialokasikan selalu bertambah. Hal
ini yang membuat kami percaya bahwa persoalan sanitasi
menjadi perhatian di Palembang. Tidak semua daerah di
Indonesia seperti Palembang sehingga dana hibah ini yang
diserap beberapa kota saja,” ujar Nur Fadrina Mourbas, Staf
Program Air Minum dan Sanitasi usai sosialisasi mengenai
program hibah dengan sejumlah wartawan media massa
Kota Palembang.
Kepala Bappeda Sapri mengatakan bahwa khusus program
yang berkenaan dengan bantuan pemerintah Australia,
pemerintah kota telah mengalokasikan dana Rp 11 miliar
pada tahun 2015 untuk pembangunan IPAL.
Wujud nyata lainnya bukti keseriusan Pemerintah Kota
Palembang yakni menerbitkan surat Wali Kota tentang
minat dan kesanggupan untuk menyiapkan alokasi dana,
penandatanganan
surat
persetujuan
perpanjangan
Kampanye Sanitasi Publik
hibah, penyiapan lahan pembangunan IPAL komunal,
dan perkotaan.
Kemudian, membuat master plan dan Detailed Engineering
Design for City Sewerage skala kota dan komunal, membuat
unit pelaksana teknis daerah pengelolaan limbah, hingga
mempersiapkan sumber daya manusia terkait dengan tim
teknis dan kelompok kerja sanitasi.
“Tidak semua kota mau berkomitmen seperti kota
Palembang, mulai dari pembebasan lahan hingga
membuat desain instalasinya. Yang patut diacungi jempol,
Pemerintah Kota mau mengeluarkan dana terlebih dahulu
untuk beragam kebutuhan sebelum akhirnya diganti oleh
Pemerintah Australia,” kata dia.
Terkait dengan penggantian dana pembangunan
infrastruktur ini, menurut dia, Pemerintah Australia telah
menyiapkan dana untuk sambungan instalasi pengolahan
air limbah di 2.000 titik rumah warga dengan nilai Rp 4 juta
per sambungan atau total Rp 8 miliar.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kota Palembang Syapri Nungcik mengatakan bahwa
program yang telah direncanakan sejak 2010 tidak berapa
lama lagi akan terealisasi karena lima titik yang dijadikan
target pembangunan IPAL kawasan telah ditentukan.
Pemerintah Australia bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah di Indonesia membangun infrastruktur sanitasi demi
penyelamatan lingkungan dengan mengucurkan dana hibah
sebesar A$ 195 juta. [Catatan editor: setelah penerbitan
artikel ini di media, angka direvisi menjadi A$ 180 million.]
Dana tersebut dalam bentuk program hibah air minum
sebesar A$ 90 juta, hibah sanitasi senilai A$ 5 juta, hibah
pembangunan infrastruktur sanitasi (sAIIG) A$ 40 juta,
pembangunan sarana pengolahan limbah skala perkotaan
(city sewerage) A$ 45 juta [masih menunggu persetujuan].
Sementara realisasi program yang segera dilaksanakan di
Kota Palembang yakni program hibah berapa sambungan
sanitasi ke rumah untuk 2.000 sambungan di lima kawasan,
program sarana pengolahan limbah skala perkotaan di
Kelurahan Sungai Selayur. Sedangkan, program pengolahan
air untuk 6.000 sambungan rumah tangga direncanakan
pada tahap berikutnya.
Program sanitasi ini juga mendukung komitmen Indonesia
dalam pembangunan millenium (Millennium Development
Goals) yang menyepakati 68,87 persen penduduk Indonesia
mengakses air minum yang layak dan 62,42 persen
penduduk Indonesia mendapatkan akses sanitasi yang
layak pada tahun 2015. ●
Kelima titik itu, yakni di Kecamatan Kalidoni, Kecamatan
Sako, Kecamatan Sematang Borang, Kecamatan Sukarami,
dan Kecamatan Gandus.
“Targetnya ada di 10 kawasan, tapi untuk tahap awal ini di
lima kawasan terlebih dahulu dengan 1.000 sambungan ke
rumah warga, diperkirakan dana yang terserap sekitar Rp 4
miliar, sisanya akan dikejar kemudian,” kata Syapri.
Selain menyiapkan instalasi pengolahan limbah untuk
kawasan, Pemerintah Kota juga akan menyerap dana hibah
Australia untuk instalasi pengolahan limbah perkotaan.
Pemerintah Kota telah menyiapkan lahan seluas 5,7 hektar
di Kelurahan Sungai Selayur, Kecamatan Kalidoni yang sudah
dibebaskan dari kepemilikan warga sejak 2012.
“Lingkungan hidup sehat tentunya memerlukan sarana
sanitasi yang baik, inilah yang menjadi cita-cita Pemerintah
Kota Palembang. Selama ini warga membuat septic tank
sendiri-sendiri sehingga mengotori air tanah. Jika air limbah
warga ini dikelola secara terpusat, potensi kerusakan
lingkungan dapat ditekan,” ujar dia.
Tentang Penulis:
Dolly Rosana lahir di Palembang, 17 Februari 1982. Saat
ini ia bekerja di Kantor Berita Antara yang ditempatkan
di Palembang, Sumatera Selatan dengan bidang liputan
pemerintahan,
ekonomi,
pendidikan,
hukum,
dan
olahraga. Dolly memulai karir sebagai jurnalis pada 2010 di
sebuah harian lokal selama satu tahun, sebelum akhirnya
bergabung dengan Antara. Meski jadi wartawan, Dolly juga
memiliki hobi di bidang olahraga sejak usia belia. Pada
tahun 2012, ia pernah meraih medali perak cabang olahraga
anggar pada Pekan Olah Raga Nasional XVIII di Riau.Di bidang
penulisan, ia sangat menyukai membaca novel, cerpen,
biografi, karangan khas, yang intinya ingin memahami apa
yang dirasakan orang lain tanpa perlu mengalami agar bisa
menjalani hidup lebih baik lagi.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
261
262
Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah
HIDUP YANG LEBIH SEHAT
MELALUI SAMBUNGAN
KE SISTEM AIR LIMBAH
Artikel ini menang sebagai juara kedua dalam lomba penulisan
untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Minggu Pagi
pada tanggal 4 dan 11 Januari 2015.
Oleh CM Ida Tungga Gautama
BAGIAN 1: HIDUP MEREKA
MENJADI LEBIH NYAMAN
Dulu, setiap kali hendak buang air besar (BAB), Bu
Inem harus menengok kanan-kiri untuk menghindari
penglihatan orang.
Perempuan paruh baya yang tinggal di RT 09, RW 03,
Kampung Bener, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo,
Yogyakarta ini memang sudah lama melaksanakan kegiatan
rutin di Sungai Winongo, yang terletak tidak jauh dari
rumahnya. Kegiatan serupa, mulai dari mandi, mencuci,
dan membuang hajat/kakus (MCK) di sungai juga banyak
dilakukan oleh warga lain di kampung tersebut.
Sekalipun jarak dari rumah ke Sungai Winongo tidak
terlalu jauh, tetapi soal BAB bisa menjadi masalah serius
ketika Bu Inem terserang diare. Rasa was-was karena
malu terlihat orang makin menjadi bercampur dengan
dorongan isi perut yang tidak bisa ditahan. Persoalan bisa
bertambah, ketika pijakan batu, di pinggir sungai di tempat
yang agak terlindung, yang biasa ia pakai untuk BAB,
sedang dipakai orang lain.
Sekarang, ibu tiga anak itu tidak perlu khawatir lagi. Ia
sudah punya WC sendiri di rumah. Kehadiran Sambungan
Rumah (SR) pada Saluran Air Limbah (SAL) yang dibangun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pemerintah Kota Yogyakarta menjadi berkah bagi
kehidupan Bu Inem dan keluarganya. Proyek pemerintah
itu yang membuat Bu Inem kini bisa memiliki WC sendiri.
WC sederhana itu dibangun di bagian belakang rumah
Bu Inem menyatu dengan bangunan kamar mandi.
“Senang rasanya. Lebih enak juga. Sekarang saya ndak
bingung lagi kalau mau bebucai. Saya ndak perlu ke kali
lagi,” tutur bu Inem ketika ditemui di rumah, Selasa
sore (30/12).
Sore itu, Bu Inem baru saja selesai mencuci baju. Bajubaju kotor miliknya kini tidak harus digotong-gotong ke
sungai untuk dicuci. Ia bisa mencucinya di rumah, di kamar
mandi miliknya. Demikian pula perkakas yang digunakan
untuk memasak, kini tak perlu lagi ditenteng-tenteng ke
sungai, untuk dibersihkan.
“Dulu, kalau mau pakai air banyak-banyak di rumah,
bawaannya khawatir terus. Khawatir karena air buangan
ndak bisa cepat meresap di sumur resapan. Airnya seperti
mandek, ndak bisa mengalir dengan lancar. Sekarang,
setelah ada saluran ini, kami malah disarankan untuk ndak
perlu takut buang air banyak-banyak. Karena airnya bisa
sekalian dipakai untuk menggelontor,” tutur Bu Inem.
Kampanye Sanitasi Publik
Pada tahun-tahun yang lalu, kapasitas IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Sewon di Yogyakarta
kurang dimanfaatkan, situasi inilah yang kini ditangani dengan pengembangan sambungan yang
lebih banyak. Foto memperlihatkan inspeksi IPAL di Gresik.
Tidak hanya Bu Inem saja yang merasa senang. Program
pembangunan SR juga disambut dengan gembira oleh
sebagian besar warga lainnya. Hal ini disampaikan oleh
Ketua RW 03 Kampung Bener, Wanandi.
“SR ini sudah memudahkan warga. Hidup mereka menjadi
lebih nyaman. Tidak ada lagi keluhan WC mampet
atau sumur resapan yang susah meresap. Sekarang air
seberapapun banyaknya dapat dibuang ke SR. Salurannya
baik karena semua (air limbah) bisa masuk,” papar Wanandi
Selasa (30/12).
Bak Kontrol
Wanandi menjelaskan, air limbah yang berasal dari kegiatan
memasak dan mencuci kini tak lagi dibuang ke sumur
resapan. Begitu pula air limbah dan kotoran dari WC juga
tak lagi dibuang ke septic tank. Air limbah dan kotoran
tersebut kini langsung masuk ke dalam pipa SR. Sedangkan
untuk memantau kondisi pipa, pada setiap rumah dan
tikungan yang rawan mampet dipasang bak kontrol.
Atas perkenan YCCP
Dari pipa SR, air limbah masuk ke pipa saluran pembawa
yang telah dibangun di kampung tersebut. Dari saluran
pembawa, air limbah mengalir menuju saluran utama atau
SAL. Air limbah yang terdapat dalam pipa SAL akhirnya
dialirkan menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Sewon untuk dilakukan pengolahan akhir.
Manajemen air limbah yang semakin tertata ini meyakinkan
Wanandi bahwa pelan tapi pasti, kehadiran SR akan
mengubah perilaku masyarakat Kampung Bener. Mereka
tidak lagi wira-wiri, nyemplung ke sungai, sekadar untuk
membuang hajat, mandi, mencuci pakaian dan perkakas
dapur. Mereka juga tidak perlu gamang dengan besaran
biaya pembangunan WC, yang bisa mencapai sekitar
Rp 1 juta per unit.
Kehadiran SR juga akan membuat lingkungan Kampung
Bener menjadi lebih sehat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
263
264
Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah
Setidaknya, kehadiran SR akan membantu mengurangi
risiko pencemaran air pada sumur milik warga Bener,
misalnya dari bakteri E. coli dan membuat air Sungai
Winongo menjadi lebih bersih.
Walaupun masih baru, namun setelah lihat hasil dan
cara kerjanya, banyak warga lainnya jadi pengin ikut
nyambung SR. Apalagi perawatannya juga cukup mudah.
Ngglontor airnya juga telah disarankan jangan tanggungtanggung, yang banyak sekalian. Warga hanya diminta
mengganti filter yang rusak.
Sedangkan soal retribusi, belum dibicarakan,” papar
Wanandi.
Pekerjaan pembangunan SR di Kampung Bener juga
dilakukan dengan cukup rapi. Aspal di jalan yang menjadi
lintasan pokok SAL telah ditutup kembali dengan aspal.
Conblock yang sempat dibongkar untuk pemasangan
pipa menuju rumah warga, juga telah dipasang kembali.
Begitu pula tidak ada satupun bagian lantai rumah yang
rusak karena pembangunan SR. Kendala teknis seperti
kebocoran sambungan pipa yang menyebabkan rembusan
di sumur warga, diatasi dengan memindahkan jalur pipa
menjauh dari sumur. Sedangkan bau tidak sedap yang
tercium dari lubang saluran pembuangan di kamar mandi,
diatasi dengan rekayasa keni yang dibuat menyerupai
gulu banyak (leher angsa).
BAGIAN 2: TIDAK GAMPANG
MENGUBAH PERILAKU MASYARAKAT
Fasilitas Sambungan Rumah (SR) untuk pembuangan
air limbah tidak hanya dinikmati warga kampung Bener,
Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Proyek
yang dikerjakan sejak 2013 ini menjangkau 13 kecamatan di
36 kelurahan se-Kota Yogyakarta.
Di kampung Ibu Inem, pekerjaan pembangunan SR dan
saluran pembawa dilakukan pada Tahun Anggaran 2014,
tepatnya pada Juni lalu. Pekerjaan tersebut merupakan
bagian dari Program Peningkatan dan Pembangunan Sarana
dan Prasarana Saluran Air Limbah (SAL) Kota Yogyakarta,
yang dilaksanakan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana
Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta.
“Warga di kampung Bener memang cukup akomodatif.
Tapi, saya tidak berani mengklaim tingkat penerimaan dan
kepuasan warga mencapai 100 persen. Begitu pun di lokasi
lainnya. Mungkin tingkat penerimaan dan kepuasannya
sekitar 80 persen karena kami juga menjumpai beberapa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kendala teknis,” kata Kepala Bidang Permukiman dan
Saluran Air Limbah Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta,
Ir. Hendra Tantular.
Bahkan sosialisasi yang dilakukan ternyata cukup
gampang-gampang angel karena orang Yogya itu banyak
unggah-ungguhnya. Tapi seingat saya, tidak ada warga
yang bersikap frontal.”
Sosialisasi tentang kesehatan dilakukan dengan melibatkan
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Sedangkan sosialisasi
tentang aspek teknis sanitasi dilakukan oleh Dinas
Kimpraswil Kota Yogyakarta. Sosialisasi tersebut tak
cukup dilakukan hanya sekali. Apalagi terkait dengan
target perubahan perilaku masyarakat sebagai salah satu
terciptanya lingkungan yang sehat dan bersih.
“Memang, sosialisasi ini tidak mudah dilakukan. Tak jarang
kami harus satu-satu menjelaskannya kepada setiap orang
karena tingkat pemahamannya memang berbeda-beda.
Apa itu limbah rumah tangga, bagaimana pencemaran itu
terjadi. Mengapa mereka harus menanggalkan kebiasaan
buruk, seperti MCK di sungai, penyebaran penyakit melalui
air limbah. Juga mengapa harus dibuat saluran pembuangan
air limbah yang sehat,” kata Hendra.
Pembangunan SR pada SAL sesungguhnya merupakan
bagian dari kesungguhan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk
menepati kewajiban membangun SR untuk masyarakat.
Kewajiban tersebut tertuang dalam Nota Kesepakatan
Metropolitan Sanitation and Health Management Project
yang ditandatangani 7 Desember 2009. Nota Kesepakatan
itu menyebutkan dalam jangka waktu lima tahun.
Pemerintah Kota Yogyakarta bersama Sleman berkewajiban
membangun SR, dengan komposisi Kota Yogyakarta
sebanyak 5.000 SR, Bantul 8.000 SR, dan Sleman 3.000 SR.
“Pada 2008 ada idle capacity di IPAL Sewon, dan 25.000
SR baru tensi 10.000 SR. Penyebabnya karena kemampuan
Pemerintah Daerah untuk membangun SR rendah dan
jangkauan pipa induk serta pipa lateral yang terbatas.
Pemerintah Pusat lalu membantu mencarikan loan dari
ADB. Pinjaman ini digunakan untuk mengembangkan
saluran induk dan lateral, sedangkan pemerintah daerah
wajib membangun SR,” jelas Hendra.
Surat Minat
Dalam perkembangannya, Ditjen Cipta Karya Kementerian
PU membuat Program Percepatan Pembangunan Sanitasi
Perkotaan Sedangkan pemerintah Australia selaku lembaga
donor, melalui IndII, meluncurkan hibah Infrastructure
Kampanye Sanitasi Publik
Enhancement Grants (IEG). Pada Tahap 1, Kota Yogyakarta
mendapat hibah langsung sebesar Rp 3.360.000.000 dengan
alokasi Rp 2.945.000.000 untuk sektor Air Limbah dan
sisanya sebesar Rp 415.000.000 untuk sektor Persampahan.
“Kota-kota di Indonesia yang memenuhi kriteria diminta
membuat surat minat untuk mengalokasikan dana
APBD guna membiayai fasilitas pengelolaan air limbah,
persampahan dan drainase. Kota Yogyakarta memenuhi
kriteria karena memiliki dokumen strategi sanitasi kota.
Pemerintah Kota Yogyakarta juga bersedia melakukan
reimburse dan menerapkan pendekatan kesetaraan
gender. Matching fund diambilkan dari dana APBD sebesar
30 persen dari besaran hibah,” jelas Hendra.
Tak hanya itu, Kota Yogyakarta juga telah memiliki
sejumlah produk hukum seperti Peraturan Daerah No.
6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik
dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2012 yang mengatur
Retribusi Jasa Umum.
Pada hibah IEG Tahap II (sAIIG), Surat Minat Walikota
Nomor 903/3589 tanggal 26 September 2011
menyebutkan tentang pengalokasian dana air limbah,
persampahan, dan drainase.
Sedangkan surat Dirjen Cipta Karya Kementerian PU
kepada Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan tertanggal 27 Mei 2013 menyebutkan tentang
Hal Permohonan Proses Penerbitan SPPH sAIIG untuk Kota
Yogyakarta bahwa jumlah SR Tahun 2013 adalah 192 SR
senilai Rp 575.000.000 dan jumlah SR Tahun 2014 adalah
2.897 senilai Rp 8.691.000.000 sehingga nilai total adalah
Rp 9.267.000.000.
Berdasarkan SPPH Nomor S-284/MK7/2013 tanggal 20
Juni 2013, jumlah dana hibah akhirnya ditetapkan Rp
267.000.000. Tanggal terakhir penarikan hibah adalah
30 Juni 2015 atau tanggal lain yang disetujui. Perjanjian
Penerusan Hibah (PPH) antara Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Kota Yogyakarta untuk Program Hibah AustraliaIndonesia untuk Pembangunan Sanitasi diatur dalam PPH154/PK/2013 tanggal 20 November 2013.
Sedangkan Surat Direktur PPLP Ditjen Cipta Karya No. UM
0101-CI/929 tanggal 29 Agustus 2014 mengatur tentang
perpanjangan Waktu Pelaksanaan Program sAIIG menjadi
sampai dengan 31 Januari 2016.
dan berfungsi dengan sempurna. Bantuan hibah dari
Pemerintah Australia ini menjadi penyemangat kami untuk
membangun SR untuk masyarakat,” kata Hendra.
Sampai akhir 2014, lanjut Hendra, penambahan jumlah
SR telah mencapai 3.172. Hal ini berarti cakupan
pelayanan untuk Kota Yogyakarta telah mencapai sebesar
22,42 persen.
Pembangunan SR di wilayah Kota Yogyakarta masih
akan dilanjutkan pada 2015 di lebih dari delapan lokasi
lainnya. Direncanakan sampai berakhirnya program sAIIG
2015 penambahan jumlah SR akan mencapai 4.695 SR
sehingga total cakupan pelayanan Kota Yogyakarta akan
mencapai 24,31 persen.
Pada akhir 2014, Kota Yogyakarta berhasil meraih
penghargaan dalam Sub-Bidang Cipta Karya Pekerjaan
Umum Kategori Kota Sedang dan Kota Kecil. Tentu
saja penghargaan itu mencakup keberhasilan Kota
Yogyakarta dalam pembangunan infrastruktur dalam
sektor sanitasi, yakni mewujudkan pembangunan SR ke
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sesuai kapasitas IPAL
Sewon,” jelas Hendra. ●
Tentang Penulis:
CM Ida Tungga Gautama adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia
mengawali karir sebagai wartawan di harian Yogya Post
kemudian di Harian Bernas hingga tahun 2004 dan mulai
tahun 2009 menjadi Redaktur di koran mingguan Minggu
Pagi, dari grup media Kedaulatan Rakyat. Ida Tungga
pernah memenangkan beberapa lomba penulisan di bidang
pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebencanaan, dan sosial. Ia juga menjadi kontributor penulisan
beberapa buku, antara lain: Rektor-Rektor Universitas
Gadjah Mada: Biografi Pendidikan, Jurnalis Memandang
Perempuan, Kesehatan Perempuan dalam Perspektif Gender
dan Kesaksian Jurnalis di Tanah Gempa.
“Besaran dana hibah yang akan diganti adalah Rp 3.000.000
per SR. Dana ini akan diberikan setelah SR baru dibangun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
265
266
Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
CIPTAKAN LINGKUNGAN
SEHAT DAN BERSIH
Artikel ini menang sebagai juara ketiga dalam lomba penulisan
untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Pikiran Rakyat
pada tanggal 7 Oktober 2014.
Oleh Ririn Nur Febriani
Dengan luas wilayah hanya 40 kilometer persegi yang
didiami sekitar 600.000 jiwa, lahan yang dimiliki Kota
Cimahi sangat terbatas. Areal untuk buang hajat pun
kerap terpinggirkan.
Seperti di kawasan permukiman pada Gang Irigasi RT 03
RT 11, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara. Tiap
rumah hanya dibatasi jalan gang selebar 1 meter. Tembok
antar rumah seolah menempel. Dalam lahan terbatas,
kebutuhan ruang penghuni dibuat seadanya, kadang tak
memperhatikan kualitas sanitasi.
Tak semua rumah memiliki septic tank untuk menampung
air limbah domestik. Untuk menyiasati, warga membuat
saluran langsung ke Sungai Cimahi yang berada di dataran
rendah kampung tersebut.
Sungai Cimahi yang membentang dari utara hingga selatan
Kota Cimahi diandalkan masyarakat untuk pengairan.
Sayangnya, dari kawasan hulu saja sudah tercemar
berat sehingga masyarakat di bagian hilir tak bisa
mendapat manfaat.
Mereka yang sudah punya septic tank, juga tak pernah
melakukan penyedotan limbah dengan alas an perlu
Prakarsa Compendium | Jilid 3
biaya ditambah jalan gang sempit yang tak memadai
bagi kendaraan penyedot WC. Lokasi septic tank bahkan
berdekatan dengan sumber air. Masyarakat tak menyadari
bahaya pencemaran mengintai karena limbah manusia bisa
mencemari air bersih.
Indikasi pencemaran tinja dapat terlihat dari keberadaan
bakteri Escherichia coli pada air minum. Meski belum
ada penelitian, sejumlah masyarakat kerap mengeluhkan
sakit perut dan diare.
Sanitasi yang buruk identik dengan munculnya diare,
baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Juga
bisa menimbulkan penyakit lain seperti penyakit kulit
dan cacingan. Atas kondisi tersebut, RW 11 dipilih
menjadi lokasi pembangunan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) komunal.
Saat program dimulai pada 2013, muncul penolakan dari
masyarakat. “Tiba-tiba jalan gang dibongkar, berantakan
semua. Warga bertanya-tanya, katanya buat septic
tank besar. Ya, kami menolak,” ujar warga RT 03 RW 11,
Asep Suhana (54).
Kampanye Sanitasi Publik
Sosialisasi pun digenjot untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat akan IPAL komunal. Asep yang aktif di
lingkungannya dan kerap terlihat kegiatan di kelurahan pun
menyadari pentingnya IPAL komunal bagi lingkungannya.
“Setelah dapat pencerahan, baru saya paham. Saya juga
ajak warga lain,” ujarnya.
Pembongkaran jalan gang dilakukan untuk membuat
saluran utama menuju lokasi septic tank. Tiap rumah juga
diberi akses ke saluran IPAL.
Lokasi IPAL komunal berada di lahan carik Kelurahan
Cibabat, di belakang SDN Cibabat 4. IPAL berukuran 5 x
8 meter dengan kedalaman 3 meter itu dimanfaatkan
masyarakat di RW 11 dan RW 20 yang berdekatan
dengan jumlah masyarakat yang ikut serta sekitar 400
sambungan rumah.
Septic tank milik warga akan ditutup, tak ada lagi
penampungan tinja milik perorangan. Septic tank di
rumah Asep yang berukuran 12 x 11 meter letaknya di
pojok rumah, sejak dibangun 1994 tak pernah dilakukan
penyedotan. Sumber air berada di teras rumah, berdekatan
dengan lokasi septic tank rumah warga lainnya. “Saya harus
ikut serta dalam penggunaan IPAL komunal karena bisa
membuat lingkungan sehat,” ucapnya.
Selain di RW 11, pendirian IPAL komunal juga dilakukan di
beberapa titik di tiga kelurahan, yaitu Cibabat, Citeureup,
dan Pasirkaliki. Masyarakat di 20 RW akan menjadi penerima
manfaat. Progres pembangunannya ada yang dalam tahap
konstruksi, maupun sedang dalam tahap persiapan detailed
engineering design dan sosialisasi ke masyarakat.
Pemerintah Kota Cimahi menggenjot pembangunan IPAL
komunal di tiga kelurahan dengan target 5.000 sambungan
pada akhir 2015. Hal itu berkaitan dengan terpilihnya Kota
Cimahi bersama 42 daerah lain sebagai daerah penerima
dana hibah dari Australia dalam program peningkatan
sanitasi dengan nilai A$ 5 juta atau sekitar Rp 20 miliar.
Selama ini, daerah yang mengalokasikan dana untuk
pembangunan sarana bidang sanitasi minim, sedangkan
kebutuhan sarana tersebut semakin mendesak. Pemerintah
Pusat berkomitmen mendorong Pemerintah Daerah dalam
pembangunan sarana bidang penyehatan lingkungan
permukiman yang lebih tinggi, di antaranya yaitu melalui
program hibah Australia-Indonesia Infrastructure Grants
for Sanitation (sAIIG).
Masyarakat seringkali menolak gagasan pembangunan
infrastruktur sanitasi, karena kawatir mengalami gangguan
di jalanan gang yang sempit. Jalan di sebuah gang ini
menunjukkan pembangunan sarana air limbah di RT 3
RW 11, Kelurahan Cibabat, di Cimahi.
Atas perkenaan YCCP
Prakarsa Compendium | Jilid 3
267
268
Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
Kerja sama kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia
di bidang sanitasi tersebut dikelola Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII), di bawah supervisi Kementerian
Perdagangan dan Luar Negeri Australia (DFAT) bersama
Bappenas dan sejumlah kementerian Indonesia.
Peningkatan pelayanan pengelolaan air limbah domestik
terpusat skala lingkungan masuk dalam program hibah
sanitasi bantuan Australia.
Pemkot Cimahi menilai pentingnya pembangunan sanitasi,
sesuai dengan visi dalam rancangan pembangunan daerah,
jangka menengah (RPJMD) 2012–2017. “Kami berupaya
meningkatkan kualitas sanitasi di tengah sempitnya lahan
agar masyarakat bisa hidup dengan sehat dan nyaman,” ujar
Kepala Bidang Air Bersih dan Air Limbah Domestik Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Cimahi, Djani Ahmad Nurjani.
Penyediaan MCK dan IPAL komunal dipandang masih
kurang. Berdasarkan data DKP Cimahi, tingkat pelayanan
air limbah domestik di Cimahi baru 63,14%. “Untuk
mencapai target Millennium Development Goals (MDGs)
2015, target layanan tersebut minimal 64,7% atau kalau
bisa bagus sampai 65%. Rentang angka memang kecil, tapi
butuh upaya besar terutama pendanaan dan partisipasi
masyarakat. Dengan IPAL komunal ini, diharapkan dapat
meningkatkan layanan sanitasi untuk menciptakan
lingkungan sehat dan bersih,” katanya.
Masalah sosial-budaya menjadi tantangan dalam
peningkatan sanitasi. Sebagian masyarakat masih terbiasa
buang air besar di sembarang tempat. Saat ini, penduduk
Cimahi mencapai 592.572 jiwa dan sekitar 18.514 keluarga.
Jumlah jamban dan septic tank individual baru mencapai
73.479 unit untuk 367.395 jiwa, dan septic tank komunal
baru 23 unit untuk 1.117 jiwa.
Sistem pengelolaan air limbah skala lingkungan ditujukan
untuk semua kelompok masyarakat terutama yang tidak
memiliki sistem pengelolaan air bersih, atau masyarakat
yang tidak memiliki lahan untuk membangun sistem
pengelolaan limbah on-site.
“Keberadaan septic tank saat ini kerap tidak memperhatikan
aspek teknis karena dibangun berdasarkan pengetahuan
terbatas. Misalnya, tak memperhitungkan jumlah jiwa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
pengguna, tidak kedap air, atau dipakai tak sesuai standar
seperti memasukkan cairan kimia. Berbagai hal itu rentan
menimbulkan pecemaran terhadap air bersih,” kata Djani.
Tak jarang program tersebut mendapat penolakan dari
masyarakat. Masyarakat khawatir, septic tank menyebabkan
bau, mencemari air bersih, sampai khawatir meledak
karena limbah yang ditimbun bisa mengakumulasikan
gas. “Sosialisasi yang melibatkan masyarakat dilakukan
sejak tahap perencanaan, survei, persiapan, sampai
pembangunan konstruksi. Dengan sentuhan teknologi,
kekhawatiran akan dampaknya pada lingkungan bisa
dikurangi,” ucapnya.
Djani memastikan dampak negatif yang ditakutkan
masyarakat tak akan terjadi, justru akan menimbulkan
dampak positif. “Masyarakat sehat, berawal dari
lingkungan yang sehat, bisa bekerja dan menghasilkan
pendapatan,” papar Djani.
IPAL komunal akan dikelola UPTD Air Limbah. Air limbah
secara rutin akan diperiksa sehingga sebelum disalurkan
ke saluran drainase besar atau ke sungai dipastikan harus
sesuai baku mutu air untuk mencegah pencemaran. “Kami
harapkan partisipasi masyarakat untuk sama-sama merawat
IPAL komunal agar keberadaannya dapat memberikan
manfaat dalam jangka panjang,” ujarnya.
Untuk memicu kesadaran masyarakat, pemerintah terus
menggenjot program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM), dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Nur Fadrina Mourbas, Project Officer Water and Sanitation
Hibah sAIIG dari IndII mengatakan, Pemerintah Australia
bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya meningkatkan
pembangunan sanitasi di daerah. “Tujuan utamanya,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan
kualitas infrastruktur Indonesia,” katanya.
Hibah infrastruktur sanitasi diberikan untuk 43 kota dengan
total nilai 40 juta dolar Australia. Dana hibah diberikan
berdasarkan prinsip capaian kinerja atas pekerjaan yang
dilaksanakan Pemda pada tahun anggaran 2013–2015 yang
kemudian diverifikasi Dirjen Cipta Karya.
Kampanye Sanitasi Publik
Hibah hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang
berkomitmen untuk meningkatkan infrastruktur sanitasi.
Syaratnya, antara lain memiliki dokumen Strategi
Sanitasi Kota (SSK) tersedia lahan, serta kelembagaan
untuk pengelolaannya.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa hidup sehat
berawal dari sanitasi yang memang tidak mudah, tapi perlu
upaya bersama pemerintah.
Namun, jika perilaku hidup bersih dan sehat menjadi
budaya, niscaya masyarakat kian sehat demi hidup
yang lebih baik. ●
Tentang Penulis:
Ririn Nur Febriani lahir di Bandung pada tanggal 26 Februari
1982. Lulusan S1 Biologi F-MIPA UNPAD tapi memilih terjun di
bidang kerja jurnalistik bersama HU Pikiran Rakyat Bandung
sejak 2005 hingga sekarang sebagai wartawan. Wilayah
peliputan yaitu Bandung Raya dan pernah ditempatkan di
Kabupaten Garut. Ririn pernah mendapat beasiswa Media
Online Training selama 1 bulan di Belanda tahun 2009.
Menaruh minat besar pada peliputan bertema lingkungan,
baik soal keberhasilan manajemen pengelolaan lingkungan
maupun dampak kelalaian terhadap lingkungan seperti
bencana alam. Dengan berbagai tulisan yang dibuat berharap
dapat mengilhami dan mengajak masyarakat untuk lebih
peduli terhadap lingkungan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
269
POIN-POIN UTAMA
Proyek Air bersih, Sanitasi, dan Kebersihan Perkotaan Indonesia (IUWASH, Indonesia Urban Water, Sanitation,
and Hygiene) yang didanai oleh USAID berfokus pada peningkatan akses layanan air bersih dan sanitasi di
kalangan masyarakat miskin perkotaan Indonesia. Kegiatan-kegiatan IUWASH dilakukan dalam “Kerangka Kerja
Pengelolaan Air Limbah Perkotaan” komprehensif yang digerakkan oleh gagasan ideal untuk mengembangkan
peraturan khusus sektor yang memadai dan mengembangkan layanan air limbah rumah tangga “titik akses
tunggal” bagi masyarakat.
Artikel ini berfokus pada satu kegiatan dalam kerangka kerja: meletakkan dasar untuk meningkatkan sanitasi
di tingkat akar rumput. Langkah-langkah penting pertama dalam melakukan upaya penyampaian gagasan
sanitasi berbasis masyarakat meliputi mempelajari apa yang menjadi motivasi individu-individu dalam
masyarakat; melakukan penelitian yang diperlukan untuk merencanakan pendekatan efektif yang disesuaikan
dengan kondisi setempat; dan mengadakan proses sosialisasi yang dirancang untuk membawa kepada
masyarakat yang berkomitmen yang bekerja bersama dengan pejabat daerah yang berkomitmen sama untuk
meningkatkan sanitasi.
Penelitian menunjukkan bahwa motivasi masyarakat untuk berinvestasi pada infrastruktur sanitasi beragam,
dan bergantung pada pengalaman dan pengetahuan individu. Secara kolektif, alasan-alasannya berpusat
sekitar kesehatan, harga diri, kenyamanan pribadi, dan keinginan untuk meningkatkan kehidupan bagi anakanak mereka serta masyarakat yang lebih luas.
Penelitian diperlukan sebelum mengadakan upaya sosialisasi masyarakat. Penelitian ini meliputi analisis
pemangku kepentingan dan pengumpulan data dari sumber-sumber formal dan informal mengenai
tingkatan-tingkatan sanitasi yang berlaku dan karakteristik para pemangku kepentingan langsung. Penelitian
seperti itu memungkinkan dilakukannya diskusi-diskusi yang berarti dengan anggota masyarakat dan
penetapan prioritas dan lini dasar, serta memfasilitasi komunikasi mengenai hasil kepada perencana program
dan pengambil keputusan.
Advokasi adalah langkah berikutnya, dan terdiri atas upaya untuk mempengaruhi para pemimpin masyarakat
untuk mendukung percepatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang lebih baik. Satu sasaran utama
selama fase ini adalah untuk memperoleh kepercayaan, membangun hubungan, dan untuk memperoleh
persetujuan eksplisit untuk bergerak maju.
Sosialisasi dapat dimulai segera setelah terdapat persetujuan dari pemimpin masyarakat dan dapat dilakukan
melalui pertemuan-pertemuan masyarakat berskala besar atau melalui kelompok-kelompok yang lebih kecil
yang memungkinkan diperolehnya informasi yang lebih rinci dan wawasan yang lebih luas akan perspektif
masyarakat. Setiap acara harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Yang terpenting adalah untuk memastikan
bahwa masyarakat merasa bahwa mereka melakukan dialog (bukan hanya mendengarkan pidato) dan bahwa
mereka diberdayakan untuk mengatakan “ya” atau “tidak”.
Terdapat banyak langkah tambahan yang diperlukan dalam sebuah kampanye efektif untuk menciptakan
kebutuhan masyarakat akan layanan sanitasi yang lebih baik, seperti perencanaan, pemicuan, pembiayaan, dan
pengembangan pengusaha sanitasi. Pembaca yang berminat dapat mempelajari lebih dengan menghubungi
IUWASH, http://iuwash.or.id.
Kampanye Sanitasi Publik
MENCIPTAKAN KEBUTUHAN
AKAN SANITASI YANG LEBIH
BAIK: MENGAMBIL LANGKAHLANGKAH AWAL
Menciptakan kebutuhan akan sanitasi yang lebih baik – baik berupa
tangki septik rumah tangga, tangki umum, atau sistem pengelolaan
air limbah yang melayani seluruh kota – memerlukan upaya yang
terencana dengan baik yang dimulai dengan memahami motivasi
masyarakat, mempelajari kondisi setempat, dan melakukan sosialisasi.
Oleh Lutz Kleeberg dan Ika Francisca
Dipacu oleh Tujuan Pembangunan Milenium dan sasaran
ambisius “universal access 100-0-100”1, Pemerintah
Indonesia telah meningkatkan secara signifikan alokasi
anggarannya bagi sektor air limbah. Hal ini memberikan
peluang-peluang segar kepada Pemerintah Daerah (Pemda)
untuk membuat perubahan-perubahan yang berarti yang
akan mendukung mereka dalam memenuhi kewajiban
mereka untuk meningkatkan pengelolaan air limbah
perkotaan dan memberikan layanan umum yang lebih baik
kepada masyarakat.
IUWASH (Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene)
yang didanai oleh USAID mendukung Pemda untuk
memanfaatkan peluang-peluang ini. IUWASH merupakan
proyek lima tahunan yang berfokus dalam memperluas
akses layanan air bersih dan sanitasi di kalangan masyarakat
miskin perkotaan Indonesia. Kegiatan-kegiatan IUWASH
mendorong peningkatan kebutuhan akan layanan-layanan
ini di komunitas masyarakat miskin perkotaan; pemberian
layanan yang lebih baik oleh instansi sektor publik dan
swasta; serta tata kelola dan pembiayaan yang lebih baik
untuk memungkinkan lingkungan yang kondusif untuk
akses yang adil terhadap air bersih yang aman dan sanitasi
yang lebih baik.
IUWASH telah menetapkan pendekatan yang komprehensif,
praktis, dan teruji di lapangan, “Kerangka Kerja Pengelolaan
Air Limbah Perkotaan” (Urban Wastewater Management
Framework) untuk mengarahkan upaya-upayanya dalam
sektor air limbah dan memberikan panduan kepada
Pemda sementara mereka meningkatkan prasarana dan
layanan. Gambar 1 memaparkan kerangka kerja ini,
yang didorong oleh dua gagasan berikut: (1) mendukung
pengelolaan air limbah yang meliputi seluruh kota melalui
pengesahan peraturan khusus sektor yang memadai; dan
(2) mengembangkan layanan air limbah rumah tangga “titik
akses tunggal” bagi masyarakat.
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, kerangka
kerja mencakup semua dinamika yang berkaitan dengan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
271
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
pengelolaan air limbah perkotaan. Artikel ini berfokus
pada satu kegiatan khusus yang berada dalam kerangka
kerja tersebut, yang meletakkan dasar untuk meningkatkan
sanitasi pada tingkat akar rumput. Artikel ini menjelaskan
langkah-langkah awal yang sangat penting dalam
melaksanakan upaya penjangkauan sanitasi berbasis
masyarakat: mempelajari apa yang memotivasi individuindividu dalam masyarakat, melakukan penelitian yang
diperlukan untuk merencanakan pendekatan efektif yang
disesuaikan dengan kondisi setempat, dan mengadakan
Gambar 1: Kerangka Pengembangan Sistem Air Limbah Perkotaan
Komunikasi Perubahan Perilaku
Advokasi Pemerintah Daerah, Pengembangan Kapasitas, Pemicuan Kebutuhan,
Promosi Produk & Layanan, Peningkatan Perilaku Kebersihan yang Lebih Baik
SAN 1:
Sistem Pengolahan Air Limbah
WC dan Tangki Septik
SAN 2:
Sistem Bersama
Dikelola oleh Masyarakat
SAN 4:
Pengelolaan Lumpur Tinja Terpadu
Penampungan, Pengangkutan, Pengolahan,
Pembuangan, dan Pemanfaatan Kembali
SAN 3:
Sistem Pengelolaan
Air Limbah
Pengelolaan Air
Limbah Skala Kecil
dan Kota
Unit Pengelolaan Sanitasi Kota
Perencanaan dan Pengembangan Aset,
Pengoperasian & Pemeliharaan, Manajemen Pelanggan
Lingkungan yang Kondusif
Peraturan Daerah & Penegakan Hukum, Pengaturan Kelembagaan,
Pemantauan & Pengawasan Kinerja, Pembiayaan, Tarif Layanan
Lingkungan yang Kondusif
Peraturan Daerah & Penegakan Hukum, Pengaturan Kelembagaan,
Pemantauan & Pengawasan Kinerja, Pembiayaan, Tarif Layanan
272
PETUNJUK:
Lingkungan yang Kondusif (jingga): Komponen-komponen yang
mendorong pengembangan akses masyarakat yang adil untuk
memperoleh layanan sanitasi yang lebih baik di wilayah perkotaan
adalah: tata kelola pemerintahan yang akuntabel, percepatan
pembiayaan modal (CAPEX, capital expenditures) dan pembiayaan
operasi (OPEX, operating expenses), dukungan terhadap fungsifungsi peraturan dan pengaturan, serta pengaturan kelembagaan
yang memadai.
masyarakat adalah sistem pengolahan air limbah di lokasi (on-site
household system). Untuk lingkup yang lebih kecil, dapat tersedia sistem
bersama (communal system) dan sistem pengolahan air limbah terpusat
(centralized off-site system). Layanan pengelolaan lumpur tinja terpadu
penting untuk mengurangi semakin luasnya kontaminasi air tanah yang
disebabkan oleh sistem sanitasi rumah tangga yang tidak tepat. Layanan
terpadu ini terdiri atas standardisasi tangki septik, pengumpulan
lumpur tinja, pengangkutan, pengelolaan, dan sampai batas tertentu
penggunaan kembali lumpur tinja yang telah diproses.
Komunikasi Perubahan Perilaku (merah): Hal ini dirancang untuk
memicu permintaan masyarakat akan sanitasi yang lebih baik.
Ini juga mendorong keterlibatan Pemda, para penyedia keuangan
mikro (bank dan koperasi), masyarakat, dan rumah tangga individual
dalam mengembangkan “rantai pasokan” untuk peningkatan akses
terhadap fasilitas sanitasi yang lebih baik. Selanjutnya, hal ini
mendorong kebersihan yang baik serta penggunaan dan
pemeliharaan fasilitas yang tepat.
Satuan Pengelolaan Sanitasi Kota (biru): Elemen terakhir dari kerangka
kerja adalah “satuan pengelolaan sanitasi kota” (operator) khusus.
Satuan ini secara khusus dibentuk dalam bentuk badan hukum
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), PD-PAL, atau Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) yang dimandatkan oleh Pemda untuk
menyelenggarakan layanan harian air limbah (lihat kotak hijau
San-1 sampai dengan San-4). Operator bertanggung jawab atas
penyelenggaraan layanan yang meliputi seluruh kota dan berkolaborasi
dengan sektor swasta (misalnya pengelolaan lumpur tinja) dan dengan
kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan layanan
masyarakat yang berkembang.
Infrastruktur dan Layanan Air Limbah (SAN-1 sampai dengan SAN-4,
hijau): Opsi layanan yang paling lazim tersedia untuk diberikan kepada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Seorang penduduk setempat menyatakan tentang program IUWASH selama kunjungan Duta Besar
AS Robert Blake ke Surakarta tahun lalu.
proses sosialisasi yang dirancang untuk menghasilkan
masyarakat yang aktif dan berkomitmen dalam bekerja
bersama dengan pejabat daerah yang memiliki komitmen
yang sama untuk meningkatkan sanitasi.
Bahan berikut ini didasarkan bahwa kutipan-kutipan dari
tiga bab manual IUWASH yang baru dikeluarkan, Improving
Lifestyle and Health: A Guide to Urban Sanitation Promotion
(Meningkatkan Gaya Hidup dan Kesehatan: Panduan
Peningkatan Sanitasi Perkotaan). Panduan tersebut
menawarkan serangkaian instruksi yang berharga bagi
siapapun yang terlibat dalam tugas meningkatkan sanitasi
perkotaan di Indonesia, baik mereka yang secara langsung
Atas perkenan IUWASH
bekerja bersama masyarakat maupun para manajer
program yang mengawasi upaya-upaya ini dalam skala
yang lebih luas.
Apa yang Memotivasi Masyarakat
untuk Berinvestasi?
Sebelum mulai memajukan investasi pada sistem sanitasi
perkotaan yang baru, perlu untuk memahami apa yang
memotivasi masyarakat untuk melakukan investasi
tersebut. Sangat penting, penelitian menunjukkan bahwa
masyarakat seringkali termotivasi oleh berbagai faktor
berbeda – dengan beberapa di antaranya lebih penting dari
yang lainnya. Secara umum, hal ini sangat bergantung pada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
273
274
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
tingkat kesadaran individu terkait dan informasi mengenai
manfaat yang dirasakan dari sanitasi yang lebih baik. Di
samping itu, alasan-alasan yang memotivasi masyarakat
untuk berinvestasi pada sanitasi mungkin sangat berbeda
apabila mereka berinvestasi pada jamban/WC rumah tangga
pertama mereka atau apabila mereka berinvestasi pada
penghubung ke sistem bersama atau sistem pembuangan
air limbah. Seringkali, alasan-alasan untuk berinvestasi
atau tidak berinvestasi pada sanitasi juga sangat bervariasi
antara laki-laki dan perempuan.
Gambar 2: Sepuluh Motivasi untuk Berinvestasi pada Sistem Sanitasi Rumah Tangga
1. Status sosial/harga diri
Banyak orang memahami penularan penyakit dan peran sanitasi yang lebih baik dalam
mengurangi risiko terkena penyakit yang berkaitan dengan sanitasi.
2. Tidak perlu menunggu
Masyarakat merasa bangga memiliki WC/jamban. Banyak orang membicarakan
tentang bagaimana WC membuat rumah mereka tampak lebih nyaman, layak,
dan mungkin lebih “modern”.
3. Menghindari ketidaknyamanan
Banyak orang senang memiliki WC di rumah mereka karena mereka tidak lagi perlu
menunggu antrean di kamar mandi bersama atau tempat lain di luar rumah.
4. Mengakomodasi tamu
Sistem sanitasi rumah tangga memungkinkan orang untuk menghindari ketidaknyamanan
pergi ke kamar mandi di luar rumah dalam situasi hujan atau pada malam hari
(masyarakat, terutama anak-anak, takut akan hantu pada malam hari).
5. Meningkatkan kualitas air tanah
dan air permukaan
Banyak orang ingin berinvestasi membangun WC baru untuk menghindari rasa malu
ketika mereka menerima tamu.
6. Rasa memiliki kendali
Menjamin penampungan dan pembuangan air limbah yang layak berarti kualitas air
tanah, air sungai, dan danau akan meningkat.
7. Kehidupan yang lebih baik bagi
anak-anak mereka
Masyarakat menyukai gagasan bahwa mereka dapat mengendalikan waktu dan tempat
mereka pergi ke kamar mandi, serta kebersihan dan aroma kamar mandi.
8. Menginginkan lingkungan yang bersih
Masyarakat menginginkan WC sehingga anak-anak mereka memiliki kehidupan yang
lebih baik. Mereka juga menghubungkan bahwa dengan memiliki WC, anak-anak mereka
menjadi lebih jarang sakit, dan lebih jarang tidak masuk sekolah.
9. Menjadi warga yang baik
Masyarakat menginginkan komunitas yang bersih, yang berarti lebih sedikit sampah,
tinja, dan lain-lain.
10.Menjadi warga yang baik
Masyarakat memahami bahwa apabila mereka tidak memiliki WC yang aman dan layak,
mereka memberi kontribusi langsung pada kesehatan publik yang buruk, sementara
mereka menjadi tetangga yang baik apabila mereka memberikan kontribusi pada sanitasi
yang lebih baik.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Boks 1: Beberapa Tips untuk Memfasilitasi
Proses Sosialisasi
Mendukung masyarakat memutuskan untuk berinvestasi
pada peningkatan sanitasi mungkin merupakan proses
yang sulit. Yang terpenting adalah untuk mengingat bahwa
keputusan-keputusan tersebut pada akhirnya perlu dibuat oleh
anggota masyarakat secara individual. Pihak luar hanya dapat
memfasilitasi, bukan mendikte, prosesnya. Penganjur sanitasi
perkotaan dapat menggunakan kiat-kiat berikut ini untuk
mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi:
Apabila Anda merasa bahwa anggota masyarakat tidak
mempercayai Anda karena status atau kedudukan Anda:
• Jangan menekankan kedudukan Anda dan jangan
memaksakan pendapat Anda kepada lain, melainkan
diskusikan (1) manfaat yang akan diperoleh masyarakat;
(2) gambaran besar masyarakat sebagai bagian dari
kota modern yang bertumbuh dengan gaya hidup yang
meningkat; dan (3) nilai-nilai masyarakat dan bagaimana
Anda dapat mendukung mereka dalam mencapainya.
• Pastikan masyarakat memahami bahwa Anda tidak
menjalankan proses top-down. Sebaliknya, buat masyarakat
merasa bahwa mereka berada di “kursi pengendara”
dan bahwa keputusan mutlak berada di tangan mereka,
berdasarkan aspirasi mereka sendiri.
Apabila pemimpin atau anggota masyarakat mengingatkan
Anda mengenai kualitas infrastruktur publik yang buruk
di masa lalu:
• Tunjukkan kepada mereka ilustrasi-ilustrasi riil sebelum
dan setelah.
• Bagikan kesaksian-kesaksian dari penerima manfaat
di lokasi lain.
• Jelaskan proses-proses yang akan diterapkan untuk
menjamin kualitas pembuatan dan fungsionalitas
yang baik dari fasilitas terkait.
Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menanyakan
mengenai kemungkinan dukungan finansial:
• Perjelas sejak awal jika diperlukan ketersediaan
dukungan finansial.
Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menanyakan
mengenai biaya dan proses pembangunan:
• Jelaskan bahwa pertama-tama survei rumah tangga perlu
dilakukan untuk menetapkan lingkup kerja aktual dan biaya
riil terkait peningkatan. Informasi biaya apa pun sebelum
survei sebaiknya diterima sebagai masukan saja dan
sifatnya hanya tentatif.
Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menolak
pendekatan dan/atau visi Anda:
• Bersabarlah, jangan bersikap membela diri atau menyerang.
• Kenali nilai-nilai mereka dan temukan kesamaan.
• Dengarkan persoalan-persoalan mereka dan susun visi Anda
dengan memasukkan nilai-nilai mereka.
• Apabila tidak terdapat kemajuan dalam menemukan
kesamaan, akhiri diskusi untuk sementara waktu tetapi
temui mereka kembali dalam beberapa minggu. Sementara
itu, perkuat kedudukan Anda dengan lebih berfokus pada
masyarakat yang ingin dan perlu Anda dukung.
Gambar 2 memaparkan alasan-alasan terpenting mengapa
masyarakat ingin berinvestasi pada sistem sanitasi rumah
tangga yang baru (tangki septik). Secara kolektif, alasanalasan tersebut berpusat sekitar kesehatan, harga diri,
kenyamanan pribadi, dan keinginan untuk meningkatkan
kehidupan bagi anak-anak mereka serta masyarakat yang
lebih luas. Motivasi-motivasi serupa muncul dalam hal
penghubungan ke sistem bersama atau sistem pengelolaan
air limbah, meskipun pokok-pokoknya mungkin bervariasi;
satu motivasi untuk terhubung ke sistem lingkungan atau
perkotaan mungkin untuk menghapuskan kebutuhan akan
tangki septik rumah. Bersama dengan motivasi-motivasi
pada umumnya, anggota masyarakat juga memiliki
pertanyaan-pertanyaan yang lazim diajukan yang harus
siap dijawab oleh penganjur sanitasi perkotaan. Umumnya,
pertanyaan-pertanyaan ini berpusat sekitar biaya dan opsiopsi pembiayaan, konstruksi, dan persoalan jangka panjang
praktis seperti pemeliharaan.
Penelitian terhadap Masyarakat
Setiap komunitas berbeda, oleh karenanya, para penganjur
sanitasi perkotaan perlu melakukan penelitian sebelum
mencoba untuk melakukan sosialisasi. Termasuk dalam
penelitian ini adalah menyelesaikan analisis pemangku
kepentingan (yang termasuk melakukan identifikasi
pemimpin masyarakat serta lembaga formal dan informal
yang dapat bertindak sebagai “pejuang sanitasi”) dan
mengumpulkan data seperti tingkatan-tingkatan sanitasi
yang berlaku dan karakteristik para pemangku kepentingan
langsung (bagaimana sikap mereka, seberapa siap mereka
untuk menerima metode-metode sanitasi baru, dan apa
profil sosio-ekonomi mereka). Penelitian seperti itu, yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
275
276
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
Boks 2: Agenda yang Disarankan untuk
Pertemuan Sosialisasi
• Pidato pembukaan dan kata pengantar dari pemimpin
masyarakat.
• Penjelasan oleh penganjur sanitasi perkotaan mengenai
tujuan pertemuan masyarakat ini.
• Jelaskan kondisi sanitasi dalam masyarakat (praktik-praktik
dan fasilitas).
• Tanyakan kepada para peserta rapat:
— Apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan penjelasan
Anda atau apakah ada yang ingin mereka tambahkan.
— Apakah mereka memiliki pengalaman sebelumnya dalam
meningkatkan kondisi sanitasi.
— Apa yang menurut mereka menghambat mereka dalam
mendapatkan akses terhadap sanitasi yang lebih baik?
— Apakah mereka ingin mencoba kondisi-kondisi yang lebih
baik saat ini.
• Sajikan informasi dasar mengenai program Anda dan apa
yang hendak Anda capai.
• Tanyakan kepada mereka apakah mereka bersedia
berpartisipasi dan hambatan atau batasan apa saja yang
mereka hadapi.
• Tutup dengan komitmen mengenai waktu dan tempat
pelaksanaan perencanaan masyarakat.
seharusnya mencakup baik sumber formal (seperti data
dari Biro Pusat Statistik, BPS) maupun sumber informal
(seperti wawancara) penting untuk meningkatkan sanitasi
secara efektif; hal ini memungkinkan dilakukannya diskusidiskusi yang berarti dengan anggota masyarakat, penetapan
prioritas dan lini dasar, serta mengkomunikasikan hasil
kepada perencana program dan pengambil keputusan.
Advokasi adalah langkah berikutnya, dan selanjutnya
meletakkan dasar untuk upaya sosialisasi. Ini terdiri atas
upaya untuk mempengaruhi para pemimpin masyarakat
untuk mendukung percepatan akses masyarakat terhadap
sanitasi yang lebih baik. Menjelang analisis pemangku
kepentingan, promotor sanitasi perkotaan bertemu dengan
pemimpin masyarakat, mengumpulkan gagasan, dan
mendiskusikan visi bersama. Sasaran utama selama fase
ini adalah untuk memperoleh kepercayaan, membangun
hubungan dan, yang penting, untuk memperoleh persetujuan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
eksplisit untuk bergerak maju. Advokasi sebaiknya dimulai
dengan pertemuan konsultasi awal dengan Bapak/Ibu Lurah
dan pemangku kepentingan utama lainnya. Pada tahap
ini, yang terpenting adalah secara aktif mendengarkan
persoalan dan persepsi masyarakat dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang akan mengarahkan perhatian
pada tujuan-tujuan pembangunan. Advokasi merupakan
proses yang berkelanjutan. Satu kali pertemuan mungkin
tidak cukup untuk memperoleh dukungan penuh, dan
kalaupun cukup, penting untuk memeriksa mereka
kembali untuk memastikan bahwa setiap orang tetap
memegang komitmen.
Mengadakan Sosialisasi
Tujuan proses sosialisasi adalah tidak hanya untuk
mendiskusikan
bagaimana
masyarakat
dapat
meningkatkan kondisi sanitasi mereka, melainkan
juga untuk mendengarkan permasalahan mereka dan
memperoleh umpan balik dan saran dari mereka.
Sosialisasi masyarakat merupakan tonggak yang penting
karena memungkinkan setiap orang untuk secara terbuka
mendiskusikan, memahami, dan menilai kondisi terkait
sanitasi, termasuk persepsi, harapan, ekspektasi, dan rasa
frustrasi yang ada di antara masyarakat umum; dan karena
sosialisasi membantu membangun dukungan untuk
kegiatan-kegiatan selanjutnya.
Sosialisasi dapat dimulai segera setelah terdapat
pemahaman dan dukungan dari pemimpin masyarakat.
(Lihat Boks 1 untuk tips menyelenggarakan acara yang
sukses). Sosialisasi dapat dilakukan dalam pertemuan
masyarakat berskala besar yang melibatkan anggota
masyarakat umum dan pihak-pihak yang mewakili berbagai
organisasi dan institusi. Untuk memaksimalkan partisipasi,
sosialisasi dapat dibagi ke dalam beberapa pertemuan
atau ditambahkan pada pertemuan masyarakat lainnya,
seperti arisan. Mengadakan sosialisasi di sejumlah
kelompok yang lebih kecil memungkinkan diperolehnya
informasi yang lebih rinci dan wawasan yang lebih luas
akan perspektif masyarakat.
Penting agar para pemimpin masyarakat mengambil bagian
dalam acara-acara sosialisasi, karena jaringan pejuang
daerah sangat penting dalam meraih keberhasilan. Lokasilokasi yang baik untuk acara-acara sosialisasi meliputi Balai
Kelurahan, rumah pemimpin masyarakat, sekolah, masjid,
atau bahkan rumah salah seorang anggota masyarakat.
Kampanye Sanitasi Publik
Apa yang terjadi selama acara sosialisasi? Idealnya,
acara sosialisasi meliputi presentasi oleh para pemimpin
lingkungan, pengenalan akan maksud dari pertemuan,
dan ulasan mengenai pelaksanaan sanitasi saat ini,
kesempatan yang luas bagi anggota masyarakat untuk
mengekspresikan diri mereka, dan kesepakatan atas
langkah-langkah berikutnya. Lihat Boks 2 untuk agenda
yang mungkin dibuat. Penting untuk diingat bahwa
tidak terdapat proses kaku yang harus diikuti. Setiap
acara harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Yang
terpenting adalah untuk memastikan bahwa masyarakat
merasa bahwa mereka melakukan dialog (bukan hanya
mendengarkan pidato) dan bahwa mereka diberdayakan
untuk mengatakan “ya” atau “tidak”.
Kesimpulan
Artikel ini menawarkan ulasan mengenai langkah-langkah
awal dalam kampanye yang efektif untuk menciptakan
kebutuhan masyarakat akan layanan sanitasi yang
lebih baik, tetapi terdapat lebih banyak langkah dalam
prosesnya, termasuk perencanaan, pemicuan, pembiayaan,
dan pengembangan pengusaha sanitasi. Pembaca yang
berminat dapat mempelajari lebih jauh bisa menghubungi
IUWASH, http://iuwash.or.id. ●
Tentang Para Penulis
Lutz Kleeberg adalah seorang ahli sanitasi dan pasokan air
minum senior dengan pengalaman kerja selama 40 tahun,
termasuk 20 tahun pengalaman di Indonesia. Ia memiliki
spesialisasi dalam pengembangan kapasitas kelembagaan
untuk sektor air minum dan sanitasi dan bidang keahliannya
meliputi pengembangan kapasitas di tingkat masyarakat dan
kelembagaan; perencanaan perusahaan untuk badan usaha
milik negara; pembiayaan dan pengembangan proyek melalui
partisipasi pemerintah-swasta; dan pemantauan program.
Lutz memiliki Gelar Sarjana dalam bidang Teknik Sanitasi
dan Gelar Master dalam bidang Administrasi Bisnis; Ia lancar
berbahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia.
Ika Francisca adalah seorang ahli Komunikasi Perubahan
Perilaku yang sukses dengan lebih dari 10 tahun pengalaman
yang sangat relevan dalam berbagai bidang menyangkut
lingkungan hidup yang secara khusus berkaitan dengan
air minum dan sanitasi. Bidang keterampilannya meliputi:
mobilisasi masyarakat, advokasi, fasilitasi pelatihan, dan
analisis gender. Demikian pula ia memiliki kemampuan
dalam: mengkoordinir pemangku kepentingan termasuk
lembaga pemerintah (terutama Kementerian Kesehatan
pada berbagai tingkat), tetapi juga lembaga sektor swasta
dan media; membangun jaringan dan kemitraan; melakukan
pendekatan partisipatif terhadap mobilisasi masyarakat;
pengarusutamaan gender; pengembangan modul; dan
manajemen program (perencanaan, pengawasan, manajemen
dan pemantauan anggaran, pelaporan). Pengalamannya
dalam bekerja bersama berbagai donor termasuk USAID
telah memperkaya pengetahuan dan keterampilannya dalam
manajemen proyek serta pelaksanaan program. Ia memiliki
gelar Sarjana dalam bidang Kehutanan dari Universitas di
Samarinda, Kalimantan Timur.
CATATAN
1. “100-0-100” adalah target dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Indonesia (2015–2019). Angka tersebut
mengacu pada 100 persen akses terhadap air minum, nol daerah kumuh, dan 100 persen akses terhadap sanitasi yang lebih baik.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
277
POIN-POIN UTAMA
Skala buang air besar sembarangan dan parahnya dampak perilaku tersebut terhadap kesehatan masyarakat
masih belum dipahami secara luas di semua kalangan di Indonesia. Agar dapat meningkatkan sanitasi secara
substansial dan membuat Indonesia terbebas dari buang air besar sembarangan pada tahun 2019, sebagaimana
dicita-citakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), perlu ada komitmen dari
semua pihak terhadap pengentasan permasalahan ini. Keterlibatan yang lebih besar dimungkinkan melalui
upaya advokasi berbasis luas yang efektif dan peka budaya. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah
kampanye UNICEF di media sosial bertajuk Tinju Tinja yang menyasar pemuda kawasan perkotaan dan
menampilkan musisi rock terkemuka Indonesia Melanie Subono melakukan kickboxing melawan Buang Air
Besar Sembarangan. Kampanye video ini telah ditonton lebih dari 30.000 kali dan pesan-pesan telah mencapai
hampir 9 juta impresi para pengguna Twitter dan YouTube. Kampanye ini juga telah menarik perhatian media
massa. Kemajuan telah dicapai, tetapi upaya yang lebih tanggap dan berkelanjutan masih terus dibutuhkan.
Kampanye Sanitasi Publik
MENINGKATKAN KESADARAN
TENTANG BUANG AIR BESAR
SEMBARANGAN DI INDONESIA
MELALUI MEDIA SOSIAL
Ketika penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar orang
Indonesia tidak sadar bahwa Buang Air Besar Sembarangan
merupakan suatu masalah berskala nasional yang berdampak luas
terhadap kesehatan masyarakat, UNICEF menangani masalah ini
dengan menjangkau penduduk usia muda melalui penggunaan
perangkat bantu media sosial secara kreatif.
Oleh Aidan Cronin dan Supriya Mukherji
Buang Air Besar Sembarangan merupakan masalah
yang cukup signifikan di Indonesia, meskipun tingkat
keseriusannya belum cukup dipahami secara luas. Laporan
Pemantauan Bersama WHO/UNICEF (2014) memperkirakan
bahwa terdapat sekitar 55 juta penduduk yang melakukan
Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia, lebih kurang
seperempat dari seluruh jumlah penduduk. Angka ini
adalah jumlah kedua tertinggi dalam suatu negara setelah
India. Buang Air Besar Sembarangan terutama dilakukan
oleh lapisan masyarakat termiskin dan mereka pula yang
menanggung beban terberat.
Anak-anak miskin, khususnya, yang sudah rentan dan
termarginalkan, membayar harga tertinggi dari segi
penyintasan (survival) dan perkembangan. Setiap tahun
antara 136.000 sampai 190.000 anak meninggal di Indonesia
sebelum mereka dapat merayakan ulang tahun kelima 1.
Hal ini berarti bahwa setiap jam antara 15 sampai 22 anak
meninggal, dan sebagian besar dikarenakan penyebab yang
sebenarnya dapat dihindari, yakni terkait dengan diare dan
pneumonia. Angka tersebut dapat diturunkan secara drastis
melalui penyediaan sanitasi dan higiene yang layak.
Selain itu, di Indonesia terdapat hampir sembilan juta anak
yang mengalami hambatan pertumbuhan (stunting), yakni
anak-anak lebih kecil dari yang semestinya menurut usia
mereka andaikata mereka bertumbuh normal. Stunting
berpengaruh seumur hidup dengan dampak negatif
yang tidak dapat dipulihkan terhadap perkembangan
fisik. Banyak anak penderita stunting juga menunjukkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
279
280
Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
Pada gambar yang digunakan dalam kampanye UNICEF di media sosial untuk menghentikan Buang
Air Besar Sembarangan ini, musisi rock terkemuka Melanie Subono menunjukkan keterampilan
kickboxing barunya untuk melawan dampak negatif dari sanitasi yang buruk.
kemampuan kognitif lemah berikut kinerja lebih rendah
dibandingkan teman sebaya mereka di sekolah, yang akan
berdampak terhadap peluang ekonomi dan sosial kehidupan
mereka. Meskipun stunting pada umumnya terkait dengan
malnutrisi kronis, analisis dari data survei nutrisi oleh
UNICEF menunjukkan bahwa risiko stunting jauh lebih tinggi
ketika sebuah rumah tangga tidak memiliki fasilitas toilet
yang layak – upaya mengurangi stunting membutuhkan
sanitasi yang baik untuk menurunkan prevalensi penyakit
yang menyumbang pada terjadinya stunting.
Namun, bobot permasalahan dan dampak buruk dari
Buang Air Besar Sembarangan seringkali tidak diketahui
atau dipahami oleh masyarakat umum. Sebuah biro media
yang ditugaskan oleh UNICEF bertanya secara acak kepada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Atas perkenan UNICEF
masyarakat di jalan-jalan Jakarta yang sibuk, dan menemukan
bahwa tidak seorang pun tahu bahwa Indonesia memiliki
beban masalah kedua terberat di dunia terkait Buang Air
Besar Sembarangan. Hal ini merupakan kendala serius bagi
upaya mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) untuk menjadikan Indonesia
bebas dari Buang Air Besar Sembarangan pada tahun 2019.
Sasaran ini tidak dapat dicapai oleh pemerintah, masyarakat
sipil ataupun warga apabila dilakukan secara sendiri-sendiri
– Hal ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk
masyarakat umum, untuk menyadari pentingnya sasaran
tersebut dan memberi dukungan penuh terhadap upaya ini.
Jadi bagaimana cara menciptakan kesadaran yang sangat
dibutuhkan ini? UNICEF menyelenggarakan kampanye di
Kampanye Sanitasi Publik
media sosial yang bertujuan untuk menggaungkan suara
bangsa paling lantang: suara para pemuda. Kampanye
ini berjudul Tinju Tinja. Kampanye ini diluncurkan pada
Hari Toilet Sedunia (World Toilet Day), 19 November
2014, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris dan menampilkan musisi rock terkemuka Melanie
Subono. Hari Toilet Sedunia dipilih karena merupakan
momentum tahunan bagi advokasi publik tentang sanitasi
dan merupakan hari untuk bertindak. Hari tersebut
sudah diperingati oleh organisasi-organisasi internasional
maupun organisasi-organisasi masyarakat sipil di seluruh
dunia selama beberapa tahun belakangan dan penetapan
secara resmi tanggal 19 November sebagai World Toilet Day
dilakukan melalui Rapat Paripurna PBB pada tahun 2013.
Pelibatan Pemuda
Peluncuran Tinju Tinja didahului oleh suatu tahap
teaser untuk membangkitkan keingintahuan dengan
memperkenalkan “Ninja Tinja”, sebuah sosok yang
mengancam kesehatan anak-anak di Indonesia. Pada
masyarakat sekitar dan keluarga mereka serta para pembuat
keputusan untuk melakukan hal yang sama. Secara kolektif
suara ini dapat merangsang penciptaan norma sosial baru
– sebuah negara Indonesia dimana tidak ada seorang pun
yang menerima keberadaan Buang Air Besar Sembarangan
dan dimana semua orang menggunakan toilet. Kampanye
ini secara spesifik menautkan program sanitasi pemerintah
dengan program-program seperti STBM (Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat) untuk menunjukkan bahwa telah ada
kemajuan, namun hal ini membutuhkan dukungan semua
orang. Sasarannya adalah untuk menciptakan sensasi
sehingga seluruh bangsa tergugah, menaruh perhatian,
dan bergabung dalam upaya membuat Indonesia bebas
tinja. Pada akhirnya, upaya ini juga ditujukan untuk
membangun kesadaran bahwa kita semua terkena dampak
Buang Air Besar Sembarangan – terlepas apakah kita
menggunakan toilet atau tidak.
Setelah empat bulan pertama, video kampanye sudah
ditonton lebih dari 30.000 kali dan pesannya telah
Sebuah biro media yang ditugaskan oleh UNICEF bertanya
secara acak kepada masyarakat di jalan-jalan Jakarta yang
sibuk, dan menemukan bahwa tidak seorang pun tahu
bahwa Indonesia memiliki beban masalah kedua terberat
di dunia tentang buang air besar sembarangan.
akhirnya Melanie Subono datang untuk menyelamatkan
anak-anak tersebut dan melawan Ninja Tinja, tetapi tidak
jelas siapa yang menang – tagline pada akhir video Melanie
beradu tinju dengan Ninja Tinja menyatakan bahwa dia
tidak dapat melakukannya sendiri – dia membutuhkan
bantuan Anda!
Sasaran utama kampanye ini adalah kaum muda dan para
pembuat keputusan di kawasan perkotaan – keduanya
umumnya sangat aktif di media sosial. Ide dari kampanye ini
bahwa melalui pemuda kawasan perkotaan, yang sebagian
besar sudah menggunakan toilet, kita dapat menciptakan
lapisan aktif pelaku advokasi yang dapat menyerukan
penghentian Buang Air Besar Sembarangan. Selanjutnya
mereka akan menyebarkan pesan dan memengaruhi
mencapai hampir 9 juta impresi dari pengguna Twitter
dan YouTube, jadi pesannya sudah tersebar. Kampanye ini
juga sudah menjadi topik pembicaraan hangat sehingga
menarik perhatian media massa. Media pun membahas
Tinju Tinja, sehingga memperluas jangkauan dan minat.
Pelajaran yang dapat ditarik selama ini adalah perlu adanya
pembaruan materi di media sosial untuk menjadi bahan
pembicaraan hangat, dan bahwa para pengguna YouTube
dengan pengikut banyak dapat menjadi penyampai
pesan yang kuat.
Membangun Keberhasilan Lebih Lanjut
Ke depannya, UNICEF merencanakan untuk melanjutkan
keberhasilan dari kampanye awal ini dan selanjutnya
mengaitkan kampanye media sosial dengan program sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
281
282
Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
nyata yang menunjang perubahan perilaku berkelanjutan
di kalangan masyarakat Alor, Nusa Tenggara Barat. Pejabat
kecamatan dan kelurahan setempat di Alor telah bertekad
untuk mendukung Tinju Tinja guna meningkatkan kesadaran
tentang STBM. Materi yang dikembangkan untuk kampanye
ini mencakup infografik atau gambar-gambar informatif
(tentang bagaimana sanitasi berdampak pada kesehatan,
nutrisi, gender, dan pendidikan) yang telah terbukti menjadi
materi advokasi bermanfaat di tingkat implementasi.
Strategi lain yang diterapkan UNICEF untuk mempromosikan
sanitasi adalah melalui platform media sosial yang
melibatkan pemuda, dikenal sebagai U-report. Cara ini
menjangkau 20.000 pengikut dalam semua isu kunci yang
memengaruhi penyintasan anak, termasuk pembangunan,
pendidikan, dan perlindungan. Selain itu, akun UNICEF
Indonesia di Facebook dan Twitter memiliki pengikut dalam
jumlah besar yang secara rutin menyampaikan berita terkini
tentang kemajuan dan tantangan di bidang sanitasi.
Kemajuan telah dicapai, tetapi semua pihak masih dapat
berbuat lebih banyak lagi untuk memastikan agar semua
anak di Indonesia terlahir dalam lingkungan yang tidak
menunjang terjadinya stunting; dimana mereka tidak perlu
berulang kali menderita diare; dan dimana anak perempuan
terbebas dari pelecehan dan tidak dipermalukan saat
mereka memasuki masa pubertas. Agar hal ini terwujud,
masyarakat Indonesia harus menuntut adanya tindakan
nyata dalam bidang sanitasi dan mendukung program
pemerintah guna mencapai sasaran Indonesia pada tahun
2019, yakni bebas dari Buang Air Besar Sembarangan.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kampanye Tinju
Tinja, simaklah video, infografik, dan statistik latar
belakang, dan untuk mengambil tindakan terkait sanitasi,
kunjungi www.tinjutinja.com. ●
Tentang Para Penulis:
Aidan Cronin adalah Kepala Program WASH dari UNICEF
Indonesia dan sebelumnya dia bekerja di UNICEF India
tingkat Nasional dan Negara Bagian. Aidan juga pernah
bekerja dengan UNHCR sebagai penasihat bidang Air Minum
dan Sanitasi di Bagian Kesehatan Masyarakat di Jenewa,
Swiss, dan sebagai Ahli Peneliti Senior pada Robens Centre
for Public and Environmental Health, Inggris, dimana
penelitiannya berfokus pada dampak kegiatan antropogenik
pada kualitas air bersih di lingkungan Uni Eropa dan negara
berkembang. Aidan adalah seorang insinyur teknik sipil
dengan gelar M.Sc. di bidang Rekayasa Lingkungan dan Ph.D.
di bidang sumber daya air.
Supriya Mukherji adalah seorang spesialis bidang Komunikasi
untuk Pembangunan di UNICEF Indonesia. Sebelumnya, dia
bekerja dalam kapasitas serupa di Kantor Negara UNICEF
India. Supriya pernah menjadi konsultan independen di bidang
komunikasi pembangunan dan menangani sejumlah tugas di
berbagai lembaga pembangunan, termasuk UNICEF dan Bank
Dunia. Sebelumnya, dia bekerja di bidang periklanan dan
penelitian pasar. Supriya berpengalaman luas dalam bidang
komunikasi untuk berbagai isu pembangunan, termasuk
stunting, higiene dan sanitasi, imunisasi, dan pendidikan. Dia
memiliki gelar MBA dan gelar Bachelor dalam bidang Ekonomi.
CATATAN
1. Tingkatan & Tren dalam Kematian Anak – Laporan 2014 Perkiraan yang dikembangkan oleh UN Inter-agency Group for Child Mortality
Estimation (Kelompok Antar-lembaga PBB untuk Memperkirakan Angka Kematian Anak).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Kampanye Sanitasi Publik
dalam angka
72%
200+
36,6%
58%
72
30m
Persentase peningkatan tahunan yang diperlukan dalam akses
terhadap fasilitas sanitasi yang lebih baik untuk mencapai target
akses 100% pada 2019.
Jumlah daerah resapan di Indonesia yang rusak akibat pencemaran
industri dan kurangnya saluran pembuangan air limbah.
Persentase Posyandu yang tidak memiliki toilet bagi pasiennya.
Persentase populasi di Papua yang tidak memiliki akses
terhadap jamban.
Jumlah lokasi di sepanjang Sungai Musi yang dipantau secara teratur
untuk mengukur tingkat pencemaran. Tingkat pencemaran meningkat
selama lima tahun terakhir, kemungkinan besar akibat kegiatan rumah
tangga dan industri, serta pembusukan sampah yang dibuang ke dalam
Sungai Musi (lihat artikel pada halaman 258).
3
Jumlah limbah manusia yang dapat diolah setiap hari untuk dijadikan
pupuk dan gas di Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) di Banda
Aceh yang menggunakan sistem pengolahan limbah tertutup.
Rp 1,2 miliar
Jumlah yang diinvestasikan oleh Balai Teknologi Lingkungan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Indonesia dalam instalasi
pengolahan air limbah dan instalasi daur ulang air minum. Air minum
yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan 500 orang sehari.
200
Jumlah rencana induk yang saat ini sedang disiapkan Pemerintah
Indonesia untuk mengembangkan sistem pengolahan air limbah (SPAL).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
283
284
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI
Pertanyaan 1:
Bagaimana strategi dalam menentukan pemilihan lokasi
pembangunan infrastruktur sanitasi untuk memenuhi jumlah
penerima manfaat program sAIIG?
Ir. Ahmad Fanani S, SH
Kepala Dinas Cipta Karya dan Perumahan, Kota Banjarmasin
“Pada tahun 2015, kami kembali melakukan tambahan perencanaan, karena memang potensi sangat memungkinkan.
Masyarakat kita perlu melihat contoh seperti apa program ini apabila benar-benar dijalankan. Dengan demikian,
hal ini akan meringankan kita dalam tahap sosialisasi nantinya. Pemilihan lokasi dalam satu kawasan lebih baik
daripada menyebar. Kami berharap potensi dalam satu kawasan tersebut sudah cukup besar.
Jika tidak ada kendala berarti, kami bisa memenuhi kurang lebih 1.880 lebih sambungan rumah tangga untuk kota
Banjarmasin. Memang belum bisa mencapai 1.930 sambungan rumah (seperti yang tercantum dalam Perjanjian
Penerusan Hibah), namun kami yakin nanti dengan sendirinya akan terjadi pergerakan selama masa pelaksanaan.
Semakin banyak yang sudah kita bangun, semakin banyak masyarakat yang akan melihat dan tertarik mengikutinya.
Menurut kami, masyarakat yang paling antusias sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran.
Kami menangkap momen peluang di masyarakat, yaitu momen masyarakat menginginkan dibangunnya instalasi
pengolahan air limbah (IPAL). Jadi harus kita kejar dan dorong pembangungan IPAL ke sana. Memulai sesuatu yang
baru itu cukup panjang perjuangannya. Jadi apabila saat ini potensinya ada di daerah pinggiran, maka kita akan
utamakan masyarakat berpenghasilan rendah di daerah tersebut. Dengan demikian, satu kelompok ini bisa dilihat
oleh kelompok lainnya di kawasan yang sama. Kalau kita terpencar (tidak dalam satu kawasan), dari segi manfaat,
hal ini menjadi kurang optimal.”
Ir. Toto Suroto
Kepala Dinas Kimpraswil, Kota Yogyakarta
“Dalam pemilihan lokasi di kota Yogyakarta, karena wilayah luas kota yang harus dilayani cukup besar bagi kami,
kami memilih lokasi yang diperkirakan memiliki nilai manfaat yang besar dan sesuai dengan upaya efisiensi yang
bisa kami lakukan. Yang menjadi pilihan pertama adalah lokasi-lokasi yang sudah memiliki jaringan pipa induk dan
lateral, karena semakin jauh dan dalam lateralnya, semakin efisien pula biaya penyambungan ke masing-masing
rumah, dan target kami pun akan dapat lebih banyak lagi.
Kemudian yang kedua, dalam pelaksanaan ini, dipilih wilayah yang memang membutuhkan sistem sanitasi secara
mendesak. Yaitu wilayah kota Yogyakarta dimana penduduknya sangat padat, dan sudah tidak memungkinkan lagi
bagi masing masing rumah warga untuk membuat sumur-sumur resapan. Di Yogyakarta, apalagi di jalan-jalan di
kampung, di gang-gang, dan sebagainya, jikapun mereka memakai septic tank, rumah mereka tidak terjangkau
oleh mobil penyedot tinja. Harapan kami, masyarakat ini akan beralih dari yang semula menggunakan septic tank
dan resapan menjadi memanfaatkan IPAL yang terpusat di Sewon Bantul.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Pertanyaan 2:
Bagaimana peran program sAIIG dalam membantu Pemerintah
Daerah meningkatkan pelayanan sanitasi kepada masyarakat?
Ir. Ahyani, MA
Kepala Bappeda, Kota Surakarta
“Program sAIIG di kota Surakarta sebenarnya bisa memperkuat atau menambah kapasitas pelayanan yang sekarang
telah dilaksanakan oleh PDAM, karena memang operasional untuk jaringan-jaringan storage yang berbasis institusi
dikelola PDAM, sedangkan yang berbasis masyarakat dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat. Jadi masih sangat
terbuka peluang untuk perluasan cakupan jaringan melalui PDAM. Memang saat ini PDAM harus memperkuat
kapasitasnya, karena cakupannya masih belum terlalu luas. Dari fasilitas IPAL yang sudah ada, fasilitas yang ada
di Pucang Sawit walau masih baru masih perlu ditambah, sementara IPAL di Semanggi juga masih bisa ditambah,
dan ada satu lagi yang sudah lama terbangun, yaitu IPAL di Mojosongo. Secara garis besar, program sAIIG sangat
membantu kota Surakarta dalam memperkuat implementasi kapasitas layanan PDAM.”
Ir. M Sapri HN, Dipl HE
Kepala Bappeda, Kota Palembang
“Pelayanan air minum pelayanan sanitasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Artinya, terdapat suatu
keharusan bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur ini,
Tren pelayanan sanitasi di kota Palembang terus naik. Asosiasi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (Akopsi)
menjelaskan bahwa ada keharusan pemerintah kota ataupun kabupaten untuk mengalokasikan 2 persen dari
belanja langsungnya untuk sanitasi. Di kota Palembang, kita sudah mencapai 5 persen untuk belanja sanitasi ini,
dan mungkin akan naik terus sesuai kebutuhan. Lebih dari sekedar tren, peningkatan ini memang suatu kebutuhan
sesuai dengan jumlah penduduk serta luas wilayah dan kondisi geografis kota Palembang yang membutuhkan
biaya lebih besar daripada kota-kota lain di Indonesia. Kita sudah mengalokasikan sampai hampir 5,5 persen dari
belanja langsung APBD dalam tiga tahun terakhir. Jadi apa yang diinginkan Pemerintah Pusat untuk meningkatkan
pelayanan hingga 100 persen penduduk terlayani ini saya kira bisa tercapai lebih baik di kota Palembang.
Artinya, tentu upaya yang kita lakukan selama ini akan kita teruskan, seperti pembangunan sarana dan
prasarana secara bertahap. Saya mengharapkan bahwa bantuan Pemerintah Australia bisa terus dilanjutkan dan
berkesinambungan. Dengan adanya 21 ribu sambungan rumah, hal ini dapat menjadi momentum bagi Pemerintah
Kota Palembang dalam melayani masyarakat dengan cakupan yang bahkan melebihi kebutuhan sanitasi mendasar
masyarakat di kota Palembang.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
285
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) adalah proyek yang didukung oleh
Pemerintah Australia dan dirancang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan
jumlah investasi infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah
kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT ).
IndII bekerja sama dengan para mitra dari pihak Pemerintah Indonesia
di Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.
ISBN 978-602-99114-3-5 (no.jil.lengkap)
ISBN 978-602-99114-6-6 (jil.3)
Download