rencana umum penanaman modal

advertisement
INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT
RATIO (ICOR)
KABUPATEN BANYUWANGI
Kerjasama
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
KABUPATEN BANYUWANGI
Dengan
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang................................................................................................
1
1.2. Maksud dan Tujuan ......................................................................................
5
1.3. Manfaat Penyusunan ...................................................................................
6
1.4. Ruang Lingkup ...............................................................................................
8
1.5. Sistematika Penulisan .................................................................................
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10
2.1. Perananan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ................ 10
2.2. Peranan Investasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah .... 15
2.3. Konsep dan Pengertian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) 17
2.4. Pengertian Kapital dan Investasi ............................................................ 21
2.5. Konsep Output................................................................................................ 23
2.6. Pembentukan Modal Tetap Bruto........................................................... 24
BAB III. METODOLOGI ................................................................................. 27
3.1. Data dan Sumber Data................................................................................. 27
3.2. Metode Estimasi Investasi ......................................................................... 28
3.3. Metode Penghitungan ICOR ...................................................................... 30
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 32
4.1. Gambaran Perekonomian Daerah .......................................................... 32
4.2. Hasil Perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ....... 38
4.3. ICOR Menurut lag (ICOR lag-0, ICOR lag-1, ICOR lag-2) ................ 42
BAB V. KESIMPULAN .................................................................................... 54
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
dan Nasional Tahun 2009-2013 ..........................................................
7
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi Tahun 20042013................................................................................................................. 36
Gambar 4.2 Pertumbuhan ICOR Kabupaten Banyuwangi Tahun 20042013................................................................................................................. 43
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan
Usaha Periode 2009-2013 (Juta Rupiah) .......................................... 37
Tabel 4.2
Pembentukan Investasi Kabupaten Banyuwangi Tahun
2009-2013..................................................................................................... 39
Tabel 4.3
Komponen Pembentuk ICOR Kabupaten Banyuwangi
Periode 2003-2013 .................................................................................... 44
Tabel 4.4
ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-0)........................ 47
Tabel 4.5
ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-1)........................ 50
Tabel 4.6
ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-2)........................ 52
Tabel 4.7
Tambahan PDRB Setiap Tahun, Tahun 2010-2013
(Juta Rupiah) ................................................................................................ 47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam teori ekonomi, investasi merupakan salah satu faktor produksi
yang penting dalam proses pembangunan ekonomi suatu wilayah karena
investasi berpotensi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Investasi
mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan
hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah (Mankiw, 2007).
Pertambahan
investasi
kemudian
akan
berdampak
pada
kenaikan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat berkembang dengan
adanya
peralatan
pertambahan
produksi
faktor-faktor
dan
perbaikan
produksi,
terutama
faktor-faktor
penambahan
produksi
tersebut.
Pengerahan atau mobilisasi dana tabungan guna menciptakan bekal investasi
dalam jumlah yang memadai dibutuhkan untuk mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003). Dengan kata lain, Investasi telah
menjadi salah satu variabel penting dalam mendorong terciptanya
pembangunan ekonomi. Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, penciptaan lapangan kerja baru, serta penanggulangan kemiskinan
pada akhirnya menempatkan investasi sebagai mesin penggerak utama
Incremental Capital Output Ratio Kab. Banyuwangi Tahun 2013
1
perekonomian. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh
produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan
ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses
produksi.
Kebijakan desentralisasi pemerintahan berupa otonomi daerah
merupakan momen penting bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam
mengurus rumah tangga daerahnya, terutama dalam melakukan reformasi di
berbagai
bidang
pembangunan.
Mengingat
kebijakan
desentralisasi
pemerintahan tersebut memberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah
untuk
mengelola
rumah
tangganya,
maka
pemerintah
Kabupaten
Banyuwangi diwajibkan memformulasikan kebijakan yang menjadikan
pembangunan ekonomi sebagai tujuan akhirnya. Sebagai penyelenggara
utama pembangunan di daerah, pemerintah daerah berperan sebagai
pelaksana dan penanggung jawab utama atas keseluruhan proses
pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi,
penyediaan barang dan pelayanan publik. Semua ini harus dilakukan secara
benar, sehingga tujuan desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan
rakyat, pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai
secara terukur (Bappenas, 2007).
Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu pusat perekonomian di
Kawasan Timur Pulau Jawa. PDRB Kabupaten Banyuwangi tiap tahunnya
mengalami peningkatan. PDRB Kabupaten Banyuwangi atas dasar harga
konstan selama kurun waktu 2009-2013 masing-masing sebesar Rp. 10,370
miliar pada tahun 2009, Rp. 11,015 miliar pada tahun 2010, Rp. 11,794 miliar
pada tahun 2011, Rp. 12,655 miliar pada tahun 2012 dan Rp. 13,511 miliar
pada tahun 2013. Berdasarkan angka-angka PDRB tersebut, PDRB Kabupaten
Banyuwangi tiap tahun terus mengalami peningkatan, sejalan dengan proses
membaiknya kondisi ekonomi.
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir cenderung masih
berfluktuatif tiap tahunnya. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi
Banyuwangi sebesar 5,06 persen meningkat menjadi 7,29 persen pada tahun
2012. Namun pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 6,85 persen. Penurunan perumbuhan ekonomi tidak
hanya terjadi di Kabupaten Banyuwangi namun juga di tingkat Provinsi Jawa
Timur, yang mengindikasikan bahwa rata – rata pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Timur mengalami penurunan. Secara umum, capaian
pertumbuhan
ekonomi
Kabupaten
Banyuwangi
masih
lebih
tinggi
dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu kota
di Jawa Timur yang mempunyai peran penting dalam aktivitas ekonomi di
Provinsi Jawa Timur.
Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi,
Jawa Timur, dan Nasional Tahun 2009 - 2013
7,50
7,14
7,00
6,68
6,50
6,86
6,26
6,00
7,29
7,27
6,55
6,5
6,23
6,1
5,50
5,00
4,50
6,85
5,78
5,01
5,06
Banyuwangi
4,55
Jawa Timur
Nasional
4,00
2009
2010
2011
2012
2013
*angka Sementara
Sumber: Berbagai Sumber(diolah)
Salah
satu
cara
untuk
meningkatan
PDRB
adalah
dengan
meningkatkan nilai investasi yang masuk tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan
semakin tinggi tingkat investasi maka semakin tinggi pula tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Selain dapat memacu pertumbuhan
ekonomi, investasi juga memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi
masyarakat. Dalam jangka panjang akumulasi investasi dapat memberikan
dorongan terhadap perkembangan berbagai aktivitas ekonomi terutama
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan.
Demikian pentingnya peran investasi, sehingga setiap perencanaan
pembangunan ekonomi perlu memperhatikan ketersediaan dana untuk
maksud investasi. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menentukan target
pembangunan, misalnya suatu tingkat pendapatan wilayah tertentu atau
suatu tingkat laju pertumbuhan ekonomi tertentu, perlu diketahui besarnya
dana investasi yang dibutuhkan. Ukuran kebutuhan investasi yang
dibutuhkan untuk dapat memenuhi suatu target pendapatan wilayah atau
laju pertumbuhan ekonomi tertentu diberikan oleh suatu ukuran atau
indikator ekonomi yang disebut sebagai Incremental Capital Output Ratio
(ICOR). Dengan ICOR, perkiraan kebutuhan investasi dapat diperkirakan
untuk mencapai suatu tingkat kinerja ekonomi yang ditetapkan karena ICOR
merupakan ukuran atau indikator makro yang menghubungkan antara
investasi dengan pendapatan wilayah.
1.2.
Maksud dan Tujuan
Secara umum, maksud dan tujuan penyusunan Incremental Capital
Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi adalah untuk mendapatkan
dasar yang tepat bagi perencanaan investasi yang diperlukan oleh
pemerintah daerah dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi
dan penyerapan tenaga kerja yang ditetapkan. Sementara, tujuan khusus
penyusunan ICOR ini adalah sebagai berikut:
a. Menghitung
ICOR
seluruh
sektor
lapangan
usaha menurut
pengelompokan 1 digit berdasarkan International Standard Industrial
Classification if All Economic Activities (ISIC) .
b. Menggolongkan
nilai
ICOR
menurut
kelompok
lapangan usaha
berdasarkan lag investasi.
c. Menganalisis perbandingan nilai ICOR pada periode penelitian tahun
2004-2013
1.3.
Manfaat Penyusunan
Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penyusunan Incremental
Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi adalah:
1) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi dalam
penghitungan kebutuhan investasi untuk periode tertentu, guna
mencapai
target
pertumbuhan
ekonomi
sebagaimana
telah
direncanakan.
2) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk
mengetahui sektor-sektor yang memiliki produktivitas investasi paling
tinggi, sehingga dapat dijadikan dasar pemilihan penanaman modal yang
lebih prospektif.
3) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk
mengetahui adanya indikasi kemungkinan terjadinya in-efisiensi dalam
penggunaan investasi di masing-masing sektor ekonomi.
4) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk
mengetahui kecenderungan penggunaan metode produksi (padat karya
atau padat modal) dalam kegiatan ekonomi produksi.
5) ICOR dapat memberi arah dan sasaran investasi yang menjamin efisiensi
kegiatan ekonomi.
1.4.
Ruang Lingkup
Wilayah cakupan dalam penyusunan ICOR ini adalah Kabupaten
Banyuwangi. ICOR yang akan disusun meliputi 9 sektor ekonomi sesuai
dengan lapangan usaha dalam PDRB.
1.5.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan di dalam penyusunan Incremental Capital
Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi ini terdiri dari lima bab yakni:
1. Bab I
b e r u p a Pendahuluan. Pada bab ini mengulas mengenai latar
belakang penyusunan ICOR, maksud dan tujuan, ruang lingkup dan
sistemastika penyusunan.
2. Bab II
berupa Tinjauan Pustaka. Pada bab ini mengulas mengenai
peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, peranan investasi
terhadap pembangunan ekonomi daerah, konsep dan pengertian
Incremental Capital Output Ratio (ICOR), pengertian Kapital dan Investasi,
konsep Output, dan pembentukan modal tetap bruto.
3. Bab III berupa Metodologi. Pada bab ini membahas mengenai data dan
sumber data, metode estimasi investasi, dan metode penghitungan ICOR.
4. Bab IV berupa Pembahasan. Pada bab ini menganalisis mengenai
gambaran perekononomian daerah Kabupaten Banyuwangi, hasil
perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), analisis ICOR
menurut lag meliputi lag-0, ICOR lag-1, dan ICOR lag-2.
5. Bab V berupa Kesimpulan. Pada bab ini akan diberikan kesimpulan
mengenai temuan yang diperoleh dalam analisis ICOR, termasuk juga
akan diberikan saran-saran yang mungkin dapat dimanfaatkan bagi
pengguna maupun pengambil kebijakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peranan Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam bahasa makroekonomi, investasi menunjukkan pembelian
barang modal baru, baik itu peralatan maupun bangunan (Mankiw, 2007).
Investasi telah dianggap sebagai salat satu instrumen yang ampuh dalam
menggenjot perekonomian sebuah negara atau daerah. Permintaan investasi
merupakan komponen penting dalam permintaan agregat dalam teori
ekonomi makro (Nicholson, 2001). Permintaan terhadap investasi ini sering
diasumsikan berhubungan terbalik dengan tingkat suku bunga. Turunnya
tingkat suku bunga, cateris paribus, akan mengurangi tingkat sewa modal.
Karena suku bunga yang tidak diterima merupakan biaya implisit, maka
turunnya tingkat bunga akan mengakibatkan turunnya tingkat sewa.
Turunnya tingkat sewa ini kemudian berdampak modal telah relatif lebih
murah dan ini kemudian berdampak meningkatnya penggunaan modal
dibanding faktor produksi lainnya yang sekarang biayanya relatif lebih
mahal. Karena suku bunga merupakan faktor penting dalam menentukan
tingkat sewa modal, turunnya suku bunga akan menyebabkan naiknya
permintaan investasi untuk barang-barang modal.
Investasi adalah pengeluaran oleh produsen (swasta) untuk
pembelian barang dan jasa dengan tujuan sebagai penambahan stok barang.
Dalam perhitungan pendapatan nasional, pengertian investasi adalah
pembentukan modal tetap domestik bruto (Boediono, 1986). Pembentukan
atau pengumpulan modal dipandang sebagai salah satu faktor utama di
dalam pembangunan ekonomi (Jhingan, 2003). Investasi juga diartikan
sebagai upaya penanaman modal baik langsung maupun tidak langsung
dengan harapan pada saatnya nanti pemilik modal akan memperoleh hasil
dari penanaman modal tersebut. Dengan kata lain dalam pertumbuhan
ekonomi jangka panjang, fungsi investasi yang meningkatkan produktivitas
tidak saja berwujud pabrik dan perlengkapan lainnya, tapi juga berwujud
infrastruktur sosial dan ekonomi seperti jalan, listrik, komunikasi dan
sebagainya (Todaro, 2003).
Perdebatan
panjang
untuk
mendorong
perbaikan
kinerja
perekonomian negara-negara berkembang pasca perang dunia kedua telah
menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru (Todaro, 2003).
Pendapat tentang pentingnya investasi dalam menunjang pembangunan
khususnya di negara berkembang dimulai dengan diternukannya model
pertumbuhan oleh beberapa ahli pembangunan seperti Rostow dan Harrod
Domar. Menurut Rostow, setiap upaya untuk tinggal landas mengharuskan
adanya mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri dengan maksud untuk
menciptakan investasi yang cukup, untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi (Todaro, 2003). Menurut Rostow, salah satu syarat penting tinggal
landas adalah peningkatan tabungan dan rasio investasi dari 5 persen atau
kurang ke 10 persen lebih dari pendapatan nasional dan mempertahankan
selama dua dasawarsa atau lebih. Ini merupakan tahap peralihan yang
penting menuju swadaya.
Mekanisme
perekonomian
dengan
pengertian
investasi
yang
diarahkan kepada usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi lebih banyak
diterangkan oleh Sir Roy Harrod dan Evsey Domar yang lebih dikenal dengan
model
pertumbuhan
Harrod-Domar.
Mereka
berpendapat
bahwa
pertumbuhan pendapatan nasional secara positif berhubungan dengan rasio
tabungan dan sebaliknya secara negatif berhubungan dengan COR atau ICOR
(Capital Output Rasio atau Incremental Capital Output Rasio). Asumsi yang
digunakan di sini menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan stok
kapital dan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Dengan
demikian, maka menurut Rostow langkah-langkah
untuk
pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan hanya soal meningkatkan tabungan nasional
dan investasi.
Namun demikian, model pertumbuhan Harrod-Domar di atas, tidak
terlepas dari kritik. Alasan utama berlakunya teori tersebut bukan karena
tabungan dan investasi bukan merupakan suatu syarat keharusan bagi
percepatan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi karena itu saja tidak
cukup (Todaro, 2003). Meskipun banyak kritik yang dilancarkan, nampaknya
strategi pembangunan tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan
menghimpun modal, sehingga kelihatannya ada hubungan yang erat
antara pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi.
Teori neoklasik dari Robert Solow, ditinjau dari sudut jumlah faktor
yang dianalisisnya, lebih lengkap daripada teori Harrod-Domar karena
disamping membahas mengenai peranan modal, teori ini menyatakan
bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu
pada tingkat pendapatan yang sama, dengan asumsi bahwa negara- negara
tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan
kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama (Todaro, 2003).
Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah
bahwa teori neoklasik membolehkan substitusi antara modal dan tenaga
kerja. Dalam proses produksi, teori ini mengasumsikan bahwa terdapat hasil
yang semakin berkurang dalam penggunaan input-input ini. Sayang sekali,
analisis neoklasik masih belum cukup mendalam pembahasannya terhadap
peranan ketiga faktor di atas dalam pembangunan, sehingga belum cukup
sempurna bagi landasan dalam penyusunan strategi pembangunan di negara
berkembang.
Teori Romer atau lebih dikenal dengan sebutan model pertumbuhan
endogen muncul untuk melengkapi pertanyaan yang belum terjawab pada
teori-teori sebelumnya bahwa dalam kondisi mapan, tingkat output tidak
akan bertambah lagi meskipun input terus ditambah. Teori ini memiliki
kemiripan struktural dengan model neoklasik, namun sangat berbeda dengan
asumsi serta kesimpulan yang ditarik darinya. Perbedaan mendasar dari
teori ini adalah adanya hasil marjinal yang semakin menurun pada investasi
modal,
memberikan
peluang
terjadinya
skala hasil yang semakin
meningkat (increasing return to scale) dalam produksi agregat. Dengan
mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam sumber
daya
manusia
menghasilkan
ekonomi
eksternal dan
peningkatan
produktivitas yang membalikkan kecenderungan hasil yang semakin
menurun secara alamiah, teori Romer kemudian berupaya menjelaskan
keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan
jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Dan karena teknologi masih
memainkan peranan penting dalam model ini, perubahan eksogen tidak
diperlukan lagi untuk menjelaskan pertumbuhan jangka panjang. Teori ini
juga
menekankan
terdapat
dua
hal
penting dalam meningkatkan
produktifitas modal, yaitu learning by doing dan learning by investing yang
memasukkan faktor modal manusia sebagai faktor penggerak pertumbuhan
ekonomi. Pada model pertama, pertumbuhan modal manusia bergantung
pada bagaimana interaksi antara faktor produksi dan akumulasi modal
manusia, sedangkan model kedua menekankan bahwa pertumbuhan modal
manusia merupakan fungsi yang positif untuk produksi barang baru. Teori ini
mengasumsikan bahwa
maka
dengan
tingkat investasi
akan
adanya
terus
peningkatan
berkembang
modal manusia
karena
kemajuan
teknologi yang menjadi salah satu faktor pendorong produktivitas modal
hanya dapat digerakkan apabila terdapat sumber daya manusia yang
berkualitas.
2.2.
Peranan Investasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang kokoh bertumpu
pada terjadinya saling pengertian antara faktor yang mempengaruhi
tingkat dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut (Blakely, 2010).
Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari
peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat (Bappenas,
2007). Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit
dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah
seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi
kurang
menciptakan
nilai
tambah
dan
akan
memicu peningkatan inflasi.
Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan
berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan investasi
di sektor produktif dan jasa.
Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi
adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam
kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan
terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong
percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan
transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih
besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan
tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga
bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Investasi
dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan
kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat maksimal dari
aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang
memadai
untuk
produktivitas,
melakukan
penambahan
modal,
meningkatkan
meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan
ekspansi usaha.
Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan
perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang
mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan
menabung
dan/atau
berinvestasi.
Bagi
pemerintah,
meningkatnya
aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti
meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2.3.
Konsep dan Pengertian Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah suatu besaran yang
menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan
untuk menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh
dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan
output. Karena
unit kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam
sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan
penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal).
Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat
merefleksikan
besarnya
produktifitas
kapital
yang
pada
akhirnya
menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Secara
teoritis hubungan ICOR dengan pertumbuhan ekonomi dikembangkan
pertama kali oleh R. F. Harrod dan Evsey Domar (1939 dan 1947). Namun
karena kedua teori tersebut banyak kesamaannya, maka kemudian teori
tersebut lebih dikenal sebagai teori Harrod-Domar.
Pada dasarnya teori tentang ICOR dilandasi oleh dua macam konsep
Rasio Modal-Output yaitu:
(i)
Rasio Modal-Output atau Capital Output Ratio (COR) atau yang sering
disebut sebagai Average Capital Output Ratio (ACOR), yaitu
perbandingan antara kapital yang digunakan dengan output
yang
dihasilkan pada suatu periode tertentu. COR atau ACOR ini
bersifat statis karena hanya menunjukkan besaran yang menggambarkan
perbandingan modal dan output.
(ii) Ratio Modal-Output Marginal atau Incremental Capital Output
Ratio (ICOR) yaitu suatu besaran yang menunjukkan besarnya
tambahan
kapital
(investasi)
baru
yang
dibutuhkan
untuk
menaikkan/menambah satu unit output baik secara fisik maupun
secara nilai (uang). Konsep ICOR ini Iebih bersifat dinamis karena
menunjukkan perubahan kenaikan/ penambahan output sebagai akibat
langsung dari penambahan kapital.
Dari pengertian pada butir (ii), maka ICOR bisa diformulasikan
sebagai berikut:
ICOR = K / Y…..................................................................................(1)
dimana
K = perubahan kapital
Y = perubahan output
Dari rumus (1) didapatkan pengertian bahwa ICOR merupakan
statistik yang menunjukkan kebutuhan perubahan stok kapital
untuk menaikkan satu unit output. Dalam perkembangannya, data
yang digunakan untuk menghitung ICOR bukan lagi hanya penambahan
barang modal baru atau perubahan stok kapital melainkan Investasi
(I) yang ditanam balk oleh swasta maupun pemerintah sehingga
rumusan ICOR dimodifikasi menjadi:
ICOR = I / Y ............................................................ ( 2 )
dimana
I = Investasi
Y = perubahan output
Rumus (2) dapat diartikan sebagai banyaknya kebutuhan
investasi yang diperlukan untuk mendapatkan 1 unit output. Sebagai
contoh, misalnya besarnya investasi pada suatu tahun di negara A adalah
sebesar Rp 300 miliar, sedangkan tambahan output yang diperoleh
dari hasil penanaman investasi itu adalah sebesar Rp 60 miliar, maka
nilai ICOR negara A adalah sebesar 5 (300 miliar / 60 miliar). Angka ini
menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 unit output diperlukan
investasi sebesar 5 unit.
Pada
kenyataannya
pertambahan
output
bukan
hanya
disebabkan oleh investasi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain di luar
investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan
kemampuan
kewiraswastaan.
Dengan
demikian untuk melihat
peranan investasi terhadap output berdasarkan konsep ICOR, maka
peranan faktor-faktor selain investasi diasumsikan konstan (ceteris
paribus).
2.4.
Pengertian Kapital dan Investasi
Secara umum kapital atau yang sering disebut sebagai "Gross Capital
Stock” merupakan akumulasi/penumpukan pembentukan modal bruto dari
tahun ke tahun yang digunakan untuk menghasilkan produk baru. Kapital
secara fisik adalah seluruh barang modal yang digunakan dalam proses
produksi seperti mesin, bangunan, kendaraan dan lainnya. Dalam sistem
pembukuan neraca perusahaan, yang dimaksud dengan kapital adalah harta
tetap (fixed assests) suatu badan usaha.
Sementara itu menurut konsep ekonomi nasional yang mengacu
pada A System of National Account (UN, 1968) investasi adalah selisih antara
stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1).
Sehingga setiap terjadi penambahan atau penimbunan kapital (modal) selalu
dianggap sebagai investasi. Oleh karena itu besarnya investasi secara
fisik
yang
direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan oleh
besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mencakup
pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal baru dari dalam
negeri dan pembuatan dan pembelian barang modal baru maupun bekas
dari luar negeri. Termasuk dalam PMTB ini adalah perbaikan besar
barang modal yang mengakibatkan menambah umur pemakaian atau
meningkatkan
kemampuan
barang
modal
tersebut, dikurangi dengan
penjualan barang modal bekas.
Konsep barang modal sendiri adalah seluruh peralatan dan
prasarana fisik yang digunakan di dalam proses produksi. Ciri-ciri barang
modal adalah: Umur kegunaannya lebih dari 1 tahun atau mempunyai unsur
ekonomis lebih dari satu tahun, nilai belinya relatif besar, dan manfaatnya
akan dirasakan dalam jangka panjang atau dapat digunakan berulangkali di dalam
proses produksi.
Dalam penghitungan ICOR, konsep investasi yang digunakan
mengacu pada konsep ekonomi nasional. Pengertian investasi yang dimaksud
di sini adalah fixed capital formation/pembentukan barang modal tetap
yang
terdiri
dari tanah,
gedung/konstruksi,
mesin
dan
perlengkapannya, kendaraan dan barang modal lainnya. Sementara itu
nilai
yang
diperhitungkan
mencakup
pembelian
barang
baru/bekas,
pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan pihak lain, pembuatan/perbaikan besar
yang dilakukan sendiri,
dan
penjualan barang modal bekas.Fixed
Capital
Formation/Pembentukan Barang Modal Tetap dalam hal ini adalah Pembentukan
BArang Modal Tetap Bruto (PMTB). Total nilai investasi diperoleh dari
penjumlahan
seluruh
pembelian
barang
modal
baru/bekas,
pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan oleh pihak lain dan sendiri
dikurangi oleh penjualan barang modal bekas.
2.5.
Pengertian Output
Output adalah hasil yang diperoleh dari pendayagunaan seluruh
faktor produksi balk berbentuk barang atau jasa seperti tanah, tenaga kerja,
modal dan kewiraswastaan. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan
nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor
domestik dalam negeri dalam suatu periode tertentu.
Dari segi perusahaan, output mencakup nilai barang (komoditi) jadi
yang dihasilkan selama suatu periode tertentu ditambah nilai perubahan
stok barang (komoditi) yang masih dalam proses. Output yang dimaksud
adalah barang-barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, dan selisih nilai stok
setengah jadi. Output ini dihitung atas dasar harga produsen, yaitu harga yang
diterima oleh produsen pada tingkat transaksi pertama. Karena masih
mengandung nilai penyusutan barang modal, output ini masih bersifat bruto.
Untuk mendapatkan output neto atas harga pasar, output bruto atas harga
pasar harus dikurangi dengan penyusutan barang modal.
Dalam pengertian ICOR, output adalah tambahan (flow) produk dari
hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode atau nilai-nilai yang merupakan
hasil pendayagunaan faktor produksi. Output ini merupakan seluruh nilai
tambah atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh
kegiatan usaha. Untuk itu dalam penghitungan ICOR sektor industri
dipakai konsep Gross Value Added (nilai tambah) bukan konsep output secara
umum.
2.6.
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
Pembentukan Modal Tetap Bruto mencakup pengadaan, pembuatan
dan pembelian barang modal dari dalam negeri/wilayah dan barang modal
baru atau bekas dari luar negeri/wilayah, yang digunakan untuk berproduksi
didalam negeri/wilayah tersebut. Kategori barang modal yaitu barang yang
mempunyai umur pemakaian satu tahun atau lebih. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemakaian adalah penggunaan barang modal sebagai alat
yang tetap dalam berproduksi.
Menurut wujudnya pembentukan modal tetap domestik bruto
mencakup 5 (lima) hal :
1) Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi, seperti:
a.
bangunan tempat tinggal
b.
bangunan bukan tempat tinggal
c.
bangunan atau konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, irigasi,
pembangkit tenaga listrik dan jaringannya, instalasi telekomunikasi,
pemancar TV, pelabuhan terminal, jaringan pipa untuk minyak, gas &
air serta monumen.
d.
perbaikan besar-besaran dari bangunan yang disebutkan di atas.
e.
pembentukan modal berupa bangunan/konstruksi dinilai sesuai
dengan output bangunan, yaitu nilai seluruh pekerjaan bangunan
pada satu tahun tertentu tanpa memperhatikan bangunan tersebut
sudah selesai atau belum.
2) Pembentukan modal tetap berupa mesin dan alat perlengkapan, terdiri
dari:
a.
alat-alat transportasi seperti : kapal laut, kapal terbang, kereta api,
bus, truk, dan motor.
b.
mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan untuk pertanian, listrik,
pertambangan, pembuatan jalan, jembatan, perlengkapan kantor,
toko, hotel, restoran, dll. Mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan
yang masih dalam proses pembuatan tidak termasuk dalam
pembentukan modal, melainkan merupakan Stok dari produsennya.
3) Perluasan perkebunan dan penanaman baru untuk tanaman keras.
Tanaman keras yang dimaksud di sini adalah tanaman yang hasilnya
baru akan diperoleh setelah berumur satu tahun atau lebih.
4) Penambahan ternak yang khusus dipelihara untuk diambil susunya atau
bulunya atau untuk dipakai tenaganya dan sebagainya, kecuali ternak
yang dipelihara untuk dipotong.
5) Margin pedagang atau makelar, jasa pelayanan dan ongkos pemindahan
hak
milik dalam transaksi jual beli tanah, sumber mineral, hak
pengusaha hutan, hak paten, hak cipta dan barang modal bekas tercakup
dalam pembentukan modal tetap.
Secara umum barang modal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Mempunyai umur kegunaan lebih dari satu tahun, sehingga mempunyai
nilai penyusutan.
b.
Pengeluaran untuk barang modal mempunyai manfaat/hasil pada masa
yang akan datang dalam jangka waktu yang relatif panjang.
c.
Pengeluaran nilai per unit dari barang modal relatif besar dibandingkan
dengan output sektor yang memakainya.
BAB III
METODOLOGI
3.1.
Data dan Sumber Data
Dalam rangka penyusunan ICOR Kabupaten Banyuwangi, dilakukan
pengumpulan data dari berbagai sumber. Data yang dimaksud berupa data
primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan
Survey Khusus Pembentukan Modal (SKPM) langsung ke sumber data
(responden). Pengumpulan data primer ini dilakukan melalui wawancara
dengan cara penyebaran kuisioner kepada responden perusahaanperusahaan yang terpilih sebagai sampel. Metode pemilihan responden
mengunakan purposive sampling yaitu memilih perusahaan yang menjadi
sampel dengan criteria tertentu yakni perusahaan yang memiliki pengaruh
(memiliki omset/aset terbesar) di sektor ekonomi masing-masing.
Selain survey SKPM, data primer juga diperoleh dari survey yang rutin
dilakukan oleh BPS, diantaranya survey industri besar/sedang, selain itu data
juga diperoleh dari Survey Khusus Perusahaan Swasta Non Finansial (SKPS),
Survey khusus pendapatan regional, Survey khusus input output serta survey
lainnya. Sementara, data sekunder diproleh dari instansi terkait dan sumbersumber lainnya seperti BKPMD, Pemda, dan Bank Indonesia.
3.2.
Metode Estimasi Investasi
Ditinjau dari sudut pemilikan maka pembentukan barang modal tetap
bruto dapat dihitung berdasarkan pengelauaran untuk pembelian modal oleh
masing-masing lapangan usaha. Jika ditinjau dari jenis barang modal
tersebut, maka pembentukan modal dapat dihitung berdasarkan arus barang.
a. Metode langsung
Pembentukan modal tetap bruto oleh lapangan usaha dibagi menjadi
Sembilan sektor yaitu: 1) Pertanian; 2) Pertambangan dan Penggalian; 3)
Industri Pengolahan; 4) Listrik dan Air Bersih; 5) Konstruksi; 6)
Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7) Angkutan; 8) Bank dan Lembaga
Keuangan lain; 9) Pemerintahan dan Jasa-jasa.
Estimasi pengeluaran untuk pembelian barang modal tetap bruto dapat
dihitung secara langsung berdasarkan informasi atau statistic yang
didapat dari hasil survey khusus atau survey yang menunjang. Selain itu
juga diperlukan indicator atau data penunjang dari dinas-instansi terkait.
Cara dan langkah penghitungan untuk tiap sektor berbeda tergantung
pada indicator atau data penunjang yang ada.
b. Metode tidak langsung
Metode atau pendekatan tidak langsung ini berdasarkan pada arus
barang, yaitu suatu pendekatan yang memanfaatkan informasi mengenai
penggunaan komoditi barang modal diseluruh sektor ekonomi. Estimasi
yang dihasilkan adalah pembentukan modal tetap menurut jenis atau
wujud barang yaitu dalam bentuk bangunan, mesin, alat transportasi,
ternak, perlengkapan dan barang modal lainnya.
Apabila pembentukan modal tetap dihitung dengan metode arus barang,
maka yang harus disediakan adalah informasi mengenai:
-
Jumlah penyediaan semua jenis barang baik sebagian atau seluruhnya
yang akan dijadikan pembentukan modal tetap bruto;
-
Penggunaan bermacam-macam barang yang mungkin hanya sebagian
saja yang dipakai sebagai barang modal, termasuk data lainnya yang
mungkin tersedia pada pembelian barang-barang modal;
-
Data output sektor konstruksi;
-
Data margin perdagangan dan pengangkutan.
Estimasi pembentukan modal menrut jenis/wujud barang modal
dapat dilakukan secara bertahap, yaitu:
1. Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi
2. Pembentukan modal tetap berupa mesin dan alat perlengkapan.
3.3.
Metode Perhitungan ICOR
Salah satu formula untuk melihat koefisien tingkat invesatasi yaitu
dengan menggunakan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang
merupakan perbandingan antara pertambahan modal (investasi) dengan
pertambahan output. ICOR merupakan suatu indikator yang menunjukkan
investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu satuan output. Dengan
adanya indikator ini, para perencana pembangunan ekonomi dapat
memperkirakan berapa investasi yang diperlukan agar perekonomian dapat
tumbuh sesuai dengan target yang diharapkan. Selain itu ICOR juga
menunjukkan tingkat efisiensi perekonomian. Semakin rendah nilai koefisien
ICOR suatu sektor, semakin efisien perekonomian sektor tersebut. Demikian
pula halnya dengan ICOR suatu wilayah, semakin rendah nilai koefisien ICOR,
semakin efisien perekonomian di wilayah tersebut.
Menurut teori, ICOR dapat diukur melalui bentuk fisik atau nilai.
Namun demikian untuk memudahkan, dalam praktek penghitungan ICOR
selalu dilakukan dalam bentuk nilai. Secara matematis ICOR dinyatakan
sebagai rasio antara pertambahan modal (investasi) terhadap tambahan
output, atau
ICOR 
It
(Yt  Yt 1 )
Jika investasi yang ditanamkan pada tahun ke t menimbulkan
kenaikan output setelah s tahun, maka di atas dapat dimodifikasi menjadi :
ICOR 
(Yt  s
It
 Yt  s 1 )
Untuk menghitung koefisien ICOR Kabupaten Banyuwangi setiap
tahun digunakan rumus di atas. Tentunya nilai s (time lag) untuk setiap
sektor diusahakan berbeda, karena siklus produksi antara satu sektor
dengan sektor lainnya bisa berbeda.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Perekononomian Daerah
Gambaran mengenai perkembangan perekonomian daerah secara
umum dapat diukur dengan menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi
yang dihitung berdasarkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku.
Sepanjang
periode
pertumbuhan
tahun
ekonomi
2004-2013,
Kabupaten
perkembangan
Banyuwangi
pencapaian
menunjukkan
kecenderungan peningkatan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 diketahui
bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi telah meningkat dari
3.9 persen pada 2004 meningkat menjadi 6.85 pada 2013. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya serius dalam
meningkatkan
taraf
kesejahteraan
pembangunan di semua sektor.
masyarakat
melalui
upaya-upaya
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi
Tahun 2004 – 2013 (%)
8
7,14
7
5,64
6
5
4,79
4,74
2005
2006
7,29
6,85
6,26
5,8
5,06
3,9
4
3
2
1
0
2004
2007
2008
2009
2010
2011* 2012** 2013***
Sumber : Kab. Banyuwangi Dalam Angka 2013 Dan LJKP Tahun 2013
Ket: *) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
***) Angka Sangat Sementara
Disamping indikator pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi daerah
juga dapat ditunjukkan oleh data PDRB, dimana pencapaian angka
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kabupaten Banyuwangi tidak terlepas
dari keberhasilan pemerintah daerah dalam menggenjot pencapaian angka
PDRB. Besaran nilai PDRB dapat memberikan gambaran nyata mengenai
nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-unit produksi dalam periode
tertentu. PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB ADHB) menunjukkan
peranan atau keadaan riil sektor-sektor yang mempengaruhi besar kecilnya
PDRB. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB ADHK) untuk
mengetahui kontribusi sektoral dan pertumbuhan ekonomi daerah dari
tahun ke tahun yang tidak dipengaruhi inflasi.
Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha,
Periode 2009 – 2013 (juta rupiah)
LAPANGAN USAHA
2009
2010
2011
2012
2013
ADHB
1. Pertanian
2. Pertb & Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik & Air Bersih
5. Konstruksi
6. Pergag, Htl & Rest
7. Angkutan & Komks
8. Keuangan
9. Jasa-Jasa
JUMLAH
9,842,865
951,337
1,124,674
72,919
221,162
5,607,807
599,221
946,654
1,290,951
10,884,186
1,077,494
1,272,557
75,368
245,642
6,485,329
734,577
1,051,862
1,445,401
20,728,488
23,272,420
4,924,852
453,471
663,376
48,940
86,737
2,550,878
460,794
621,487
559,747
5,185,828
485,195
698,108
50,201
93,624
2,778,110
483,920
648,097
592,109
10,370,286
11,015,195
12,010,933
1,219,057
1,427,720
85,572
291,086
7,726,520
1,203,965
1,185,128
1,626,694
13,861,466
1,372,852
1,660,082
93,175
340,918
9,326,154
1,364,391
1,328,509
1,835,155
15,417,540
1,535,764
1,859,244
104,469
405,524
11,044,399
1,542,091
1,495,275
2,064,559
31,182,705
35,468,869
5,454,518
519,887
743,513
52,874
104,147
3,077,801
518,769
692,882
629,794
5,753,427
553,901
801,168
55,601
114,476
3,412,285
555,670
738,631
670,423
5,993,530
581,649
854,372
58,693
124,582
3,798,288
591,509
798,105
710,976
11,794,189.97
12,655,586
13,511,707
26,776,678
ADHK (2000=100)
1. Pertanian
2. Pertb & Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik & Air Bersih
5. Konstruksi
6. Pergag, Htl & Rest
7. Angkutan & Komks
8. Keuangan
9. Jasa-Jasa
JUMLAH
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Tabel 4.1 memberikan gambaran bahwa selama lima tahun terakhir
(2009-2013), PDRB Kabupaten Banyuwangi menunjukkan perkembangan
untuk semua sektor dengan besaran yang cukup signifikan. Sektor pertanian
masih menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Banyuwangi yang
diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Peningkatan PDRB
tersebut mencerminkan kondisi peningkatan ekonomi masyarakat yang adil
dan merata di Kabupaten Banyuwangi. Selain itu, peningkatan ini
menggambarkan
kesuksesan
penerapan
kebijakan
oleh
pemerintah
Kabupaten Banyuwangi.
Salah satu instrumen terbaik dalam mempercepat pembangunan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara mendorong investasi
sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan produksi. Investasi adalah
salah satu faktor produksi yang memiliki daya dorong dan daya ungkit yang
kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro. Kegiatan
investasi
mampu
mengakumulasikan
modal
dan
meningkatkan
produktivitas. Investasi dapat meningkatkan output dan meningkatkan
permintaan input. Pembangunan di bidang ekonomi melalui kegiatan
investasi
memiliki
efek
multiplier
yang
besar
dalam
mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah. Namun demikian investasi juga dapat
mengalami penyusutan dan disparitas pertumbuhan sektor ekonomi apabila
aktivitas investasi tertumpu pada sektor tertentu saja.
Tabel 4.2 menunjukkan gambaran pembentukan investasi menurut
lapangan usaha di Kabupaten Banyuwangi periode 2009-2013. Berdasarkan
tabel
diketahui
bahwa
sektor
pertanian
merupakan
sektor
yang
menyumbang pembentukan investasi terbesar di Kabupaten Banyuwangi,
disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sementara, sektor
lainnya secara umum juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan dalam
pembentukan investasi di Kabupaten Banyuwangi.
Tabel 4.2. Pembentukan Investasi Kabupaten Banyuwangi 2009-2013
LAPANGAN USAHA
2009
2010
2011
2012
2013
1,420,595.88
1,651,519.18
1,902,532.81
2,175,886.64
2,473,842.33
54,137.58
65,857.16
78,479.16
92,085.66
106,780.69
102,228.89
116,346.12
131,860.96
148,942.79
167,766.97
4. Listrik & Air Bersih
37,277.14
39,037.91
40,909.61
42,906.71
45,041.61
5. Konstruksi
16,589.90
19,673.68
23,041.17
26,735.30
30,795.16
6. Pergag, Htl & Rest
706,682.66
861,591.36
1,033,230.19
1,223,749.30
1,440,941.08
7. Angkutan & Komks
228,721.52
256,751.93
287,108.87
320,106.86
356,074.66
8. Keuangan
157,027.80
171,066.38
186,143.80
202,382.19
219,919.65
9. Jasa-Jasa
237,572.57
255,393.47
274,871.71
296,219.87
319,681.49
3,437,237.19
3,958,178.27
4,529,015.32
ADHB
1. Pertanian
2. Pertb & Penggalian
3.Ind. Pengolahan
JUMLAH
2,960,833.95
5,099,852.37
LAPANGAN USAHA
2009
2010
2011
2012
2013
ADHK (2000=100)
1. Pertanian
717,964.79
768,095.81
820,933.91
876,730.94
935,764.19
2. Pertb & Penggalian
31,672.91
36,019.09
40,643.43
45,568.35
50,828.17
3. Ind. Pengolahan
46,043.72
48,422.59
50,972.75
53,711.61
56,675.06
4. Listrik & Air Bersih
15,487.29
15,514.93
15,544.07
15,574.80
15,607.32
7,740.60
8,473.28
9,245.53
10,061.80
10,927.04
6. Pergag, Htl & Rest
349,233.84
392,329.48
438,571.10
488,327.08
542,013.79
7. Angkutan & Komks
117,241.28
121,638.09
126,294.30
131,239.21
136,505.53
8. Keuangan
91,609.91
98,520.45
105,797.26
113,467.00
121,581.60
9. Jasa-Jasa
119,432.79
125,838.17
132,647.09
139,912.22
147,693.16
1,496,427.14
1,614,851.91
1,740,649.44
1,874,593.01
5. Konstruksi
JUMLAH
2,017,595.86
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Nilai investasi yang disajikan pada Tabel 4.2 diatas tidak membedakan
investasi yang tertanam dari luar maupun dari dalam daerah Kabupaten
Banyuwangi. Sampai dengan tahun 2013 nilai investasi yang tertanam di
Kabupaten Banyuwangi nilainya mencapai 5,1 triliun rupiah, dan Sektor
Pertanian masih merupakan sektor ekonomi yang mempunyai nilai investasi
terbesar dengan nilai sekitar 2,47 triliun rupiah. Kedua ada pada Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai investasi sebesar 1,44 trilyun
rupiah serta ketiga tertanam pada Sektor Angkutan dan Komunikasi dengan
nilai 356,074 milyar rupiah. Sedangkan nilai investasi yang terendah
terdapat di Sektor Konstruksi dengan nilai sekitar 30,795 milyar rupiah.
4.2.
Perkembangan Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Salah satu indikator yang berkaitan dengan investasi yang bisa
digunakan
untuk
evaluasi
dan
perencanaan
pembangunan
adalah
Incremental Capital Output Ratio (ICOR). ICOR adalah suatu besaran yang
menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan
untuk menaikkan/menambah satu unit output. Tambahan kapital (investasi)
baru yang dimaksud adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
Besaran ICOR dapat diperoleh dengan cara membandingkan besarnya PMTB
dengan tambahan output. Pada umumnya, dikarenakan unit PMTB dapat
memiliki bentuk berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output
relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya
dinilai dalam bentuk uang (nominal).
Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas PMTB yang
pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Oleh
karena itu besaran ICOR dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya
kebutuhan investasi untuk mencapai target pertumbuhan yang ditetapkan
pada masa yang akan datang serta untuk melihat produktivitas dan efisiensi
dari investasi yang dilakukan. Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan
semakin efisien dan produktifitas pembentukan modal yang terjadi. Investasi
yang sama pada suatu perekonomian dengan ICOR yang lebih rendah akan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Pertumbuhan
ekonomi
menunjukkan
sejauh
mana
aktifitas
perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada
suatu periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat tercapai apabila ada
efisiensi ekonomi. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tertentu,
sangat diperlukan adanya perkiraan kebutuhan investasi yang benar. Iklim
investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu
melalui investasi yang juga didukung oleh produktivitas yang tinggi. Model
Harrord Dommar mengaitkan adanya tambahan stock kapital terhadap
output yang dikenal dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio).
Sehingga, perhitungan ICOR sangat dibutuhkan dalam menentukan seberapa
besar kebutuhan investasi pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan tumbuh dan dengan ICOR dapat dilihat seberapa efisien investasi
yang ditanamkan pada periode tertentu.
Gambar 4.2 Perkembangan ICOR Kabupaten Banyuwangi, 2004-2013
4,50
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Perkembangan hasil perhitungan ICOR Kabupaten Banyuwangi
periode 2004-2013 seperti ditunjukkan pada gambar 4.2 diketahui bahwa
nilai ICOR Kabupaten Banyuwangi periode 2004-2013 menunjukkan trend
penurunan. Tahun 2004 nilai ICOR Kabupaten Banyuwangi sebesar 4,05 dan
menurun ke tingkat 2,36 di tahun 2013. Secara umum, nilai ICOR yang
menurun menandakan performa ekonomi Kabupaten Banyuwangi relatif
baik, dikarenakan dengan nilai investasi yang sama dapat menghasilkan
output yang lebih besar.
Tabel 4.3. Komponen Pembentukan ICOR Kabupaten Banyuwangi
Periode 2003 – 2013
(1)
PMTB
(ADHK 2000)
(2)
PDRB
(ADHK 2000)
(3)
2003
1,284,090.94
7,672,606.14
2004
1,211,032.95
7,971,478.67
298,872.53
2005
1,485,018.32
8,353,392.45
381,913.78
2006
1,204,235.24
8,749,736.94
396,344.49
2007
1,248,288.67
9,243,100.08
493,363.13
2008
1,344,975.75
9,778,833.48
535,733.40
2009
1,496,427.14
10,370,286.20
591,452.73
2010
1,614,851.91
11,015,195.17
644,908.97
2011
1,740,649.44
11,804,189.97
788,994.80
2012
1,874,593.01
12,656,486.32
852,296.35
2013
2,017,595.86
13,511,707.90
855,221.58
Tahun
Penambahan
PDRB
(4)
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Kinerja ekonomi Kabupaten Banyuwangi yang ditunjukkan oleh
perhitungan ICOR menyatakan bahwa performa ekonomi mengalami
peningkatan seiiring dengan menurunnya angka ICOR sepanjang periode
2004-2013.
Tren
penurunan
ICOR
tersebut
didukung
oleh
data
perkembangan PMTB dan PDRB Kabupaten Banyuwangi (Tabel 4.3) yang
menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai untuk kedua komponen
tersebut. Pada tahun 2004 besaran nilai PMTB (ADHK 2000) sebesar
1,211,032.95 juta rupiah telah menghasilkan besaran PDRB (ADHK 2000)
sebesar 7,971,478.67 juta rupiah. Pada tahun 2013, angka PMTB (ADHK
2000)
tersebut
melonjak
menjadi
2,017,595.86
juta
rupiah
dan
menghasilkan besaran PDRB (ADHK 2000) sebesar 13,511,707.90 juta
rupiah.
4.3.
Koefisien ICOR Menurut Lag di Kabupaten Banyuwangi
Investasi yang ditanamkan terkadang memerlukan waktu yang cukup
lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang
dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan
disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data
yang digunakan adalah time series data, maka untuk memperoleh suatu
koefisien ICOR yang mewakili dilakukan penghitungan simple average (ratarata sederhana). Koefisien ICOR yang relatif besar terjadi jika investasi yang
ditanamkan pada tahun tertentu (t) relatif besar, sedangkan output yang
dihasilkan pada tahun (t+s) besar tetapi hampir sama dengan output pada
tahun sebelumnya (t+s-1), atau tambahan output yang dihasilkan relatif kecil.
Rasio ICOR yang efisien akan dipilih dari nilai yang paling minimum.
Hasil penghitungan koefisien ICOR Kabupaten Banyuwangi ditampilkan
berdasarkan lag-0, lag-1, dan lag- 2. Lag-0 berarti bahwa investasi yang
ditanam pada tahun ke-t akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t
juga (pada tahun yang sama). Lag-1 berarti bahwa investasi yang ditanam
pada tahun ke-t akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t+1. Lag-2
berarti bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t akan mulai
menghasilkan output pada tahun ke-t+2. Hasil perhitungan ICOR lag-0
menurut lapangan kerja di Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan pada tabel
4.4. Berdasarkan tabel 4.4, keadaan ICOR pada lag-0 periode 2004-2013
mengalami fluktuatif dimana pada beberapa titik tahun, koefisien ICOR justru
naik. Di tahun 2004, nilai koefisien ICOR sebesar 4,05 kemudian di tahun
2005 hingga tahun 2008 besaran ICOR berturut-turut turun hingga menjadi
sebesar 2,51 pada 2008. Kemudian mengalami sedikit kenaikan pada 2009
menjadi 2,53. Selanjutnya ICOR menurun hingga menjadi sebesar 2,20 pada
tahun 2012, meskipun kemudian sempat naik kembali menjadi 2,36 pada
tahun 2013. Namun demikian, secara rata-rata nilai ICOR Kabupaten
Banyuwangi pada lag-0 menunjukkan angka yang relatif kecil yakni 2,78.
Secara rata-rata, angka ini berarti bahwa untuk meningkatkan 1 unit output,
maka dibutuhkan tambahan modal sebesar 2,78 unit.
Tabel 4.4. ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-0)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
RataRata
1. Pertanian
5.79
5.00
3.09
2.69
2.82
2.61
2.94
3.06
2.93
3.90
3.48
2. Pertb & Penggalian
0.79
0.36
1.04
1.16
1.07
1.15
1.14
1.17
1.34
1.83
1.10
3. Industri Pengolahn
2.12
2.72
1.47
1.95
1.75
1.52
1.39
0.92
1.11
1.08
1.60
4. Listrik & Air Bersih
12.12
11.12
6.28
6.17
6.20
5.18
12.31
5.82
5.71
5.05
7.59
5. Konstruksi
1.96
2.98
1.49
1.28
1.31
2.21
1.23
0.88
0.97
1.08
1.54
6. Pergag, Htl & Rest
1.32
2.81
1.86
1.76
1.86
1.96
1.73
1.46
1.46
1.40
1.76
7. Angkutan & Komks
8.53
8.19
6.89
7.77
4.96
5.85
5.26
3.62
3.56
3.81
5.84
8. Keuangan
4.36
2.89
6.60
2.98
2.52
3.64
3.70
2.36
2.48
2.04
3.36
9. Jasa-Jasa
6.31
5.52
7.36
4.04
3.77
4.22
3.89
3.52
3.44
3.64
4.57
4.05
3.89
3.04
2.53
2.51
2.53
2.50
2.21
2.20
2.36
2.78
LAPANGAN USAHA
Rata-Rata
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Dilihat dari efisiensi investasi secara sektoral, sepanjang periode
2004-2013, sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang
memiliki nilai ICOR lag-0 yang paling rendah yakni rata-rata sebesar 1,10.
Disusul oleh sektor konstruksi (1,54), industri pengolahan (1,60), dan
perdagangan, hotel dan restoran (1,76). Pada tahun 2004-2005 sektor
pertambangan dan penggalian memiliki ICOR dibawah 1, masing-masing 0.79
dan 0,36 yang berarti bahwa efisiensinya sangat tinggi. Koefisien ICOR sektor
pertambangan dan penggalian sebesar 0,79 berarti bahwa
penambahan
Rp.1 milyar
output
setiap
hanya memerlukan PMTB sebesar
Rp.790 juta. Hal ini menunjukkan bahwa produktifitas PMTB pada sektor
pertambangan dan penggalian masih relatif tinggi, karena hampir sebagian
besar ouputnya menjadi investasi fisik (PMTB). Sementara sektor-sektor
yang tidak efisien, memiliki nilai ICOR yang besar ditunjukkan oleh sektor
listrik dan air bersih (7,59), dan sektor angkutan dan komunikasi (5,84).
Ketidakefisienan kedua sektor tersebut merupakan dampak dari adanya
krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 yang mengakibatkan investasi
mengalami penurunan yang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
pendapatan output. Sementara, ketiga sektor lainnya, yakni pertanian,
keuangan dan jasa-jasa memiliki ICOR yang relatif lebih baik (ICOR dalam
rentang 3-4).
Pada tahun 2014, dengan lag-0 koefisien ICOR sebesar 2,36 yang
artinya untuk mendapatkan penambahan 1 unit output setiap tahunnya
diperlukan PMTB sebanyak 2,36 unit per tahun. Angka ini jauh lebih efisien
dibandingkan ICOR tahun 2004 sebesar 4,05. Hasil ini menunjukkan bahwa
seluruh investasi yang ditanam di berbagai sektor ekonomi apabila
diinginkan bisa memberikan output pada tahun yang sama, maka investasi
yang ditanam pada tahun 2013 itulah yang merupakan penanaman investasi
yang paling efisien.
Hasil perhitungan ICOR Kabupaten Banyuwangi lag-1 ditunjukkan
pada tabel 4.5. Lag-1 berarti bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t
akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t+1. Penggunaan ICOR lag-1
dalam perhitungan ICOR mengakibatkan ICOR pada tahun 2013 tidak dapat
diketahui, karena data perkembangan output pada tahun 2012 belum
tersedia. Secara umum, lag rata-rata ICOR sepanjang tahun 2004-2013
mengalami penurunan dari 2,78 pada lag-0 menjadi 2,41 pada lag-1 yang
mengindikasikan bahwa produktifitas investasi yang semakin meningkat
dalam kurun waktu setahun setelah penanaman investasi. Investasi yang
ditanamkan pada tahun 2004 akan menghasilkan output pada 2005 dan
memiliki nilai ICOR 3,36. Jika dibandingkan antara lag-0 dan lag-1 maka
semua tahun memiliki nilai ICOR lag-1 lebih rendah dibandingkan dengan
lag-0.
Pada lag-1, sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor yang
paling efisien ditunjukkan oleh nilai ICOR lag-1 yang kecil, yakni rata-rata
sebesar 0.80. Sementara, sektor listrik dan air bersih menjadi sektor yang
paling tidak efisien dengan nilai ICOR lag-1 rata-rata sebesar 7,81. Nilai ICOR
lag-1 rata-rata tahunan mulai periode 2004-2013 menunjukkan nilai yang
menurun, sebesar 3,36 pada tahun 2004 menjadi 2,04 pada tahun 2012.
Sehingga, secara rata-rata nilai ICOR lag-1 periode 2004-2013 sebesar 2,41.
Tabel 4.5. ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-1)
LAPANGAN USAHA
Rata-
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1. Pertanian
5.27
4.18
3.01
2.39
2.28
2.54
2.67
2.57
3.42
3.15
2. Pertb & Penggalian
0.62
0.21
0.33
0.81
0.95
0.86
0.91
1.06
1.46
0.80
3. Industri Pengolahan
4.17
1.68
1.91
1.14
1.51
1.26
0.83
1.00
0.97
1.61
4. Listrik & Air Bersih
5.97
10.64
9.35
5.27
4.73
12.14
5.79
5.69
5.03
7.18
5. Konstruksi
1.68
1.47
1.79
1.03
1.78
1.02
0.74
0.82
0.91
1.25
6. Pergag, Htl & Rest
1.42
1.16
2.65
1.34
1.48
1.35
1.17
1.17
1.14
1.43
7. Angkutan & Komks
8.47
7.15
9.64
4.57
5.62
4.79
3.36
3.30
3.52
5.60
8. Keuangan
1.71
2.65
3.42
3.79
2.53
2.72
2.05
2.15
1.78
2.53
9. Jasa-Jasa
3.53
5.05
4.23
5.41
3.12
3.09
3.17
3.10
3.27
3.77
3.36
3.06
3.01
2.25 2.11 2.09 1.90 1.89 2.04 2.41
Rata-Rata
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Berdasarkan nilai rata-rata ICOR lag-1, perkembangan investasi di
Kabupaten Banyuwangi mengalami perbaikan signifikan sepanjang periode
2004 hingga 2011 atau dari 3,36 menjadi 1,89. Namun ditahun 2012
investasi yang ditanamkan sedikit melambat menjadi 2,04. Sementara itu,
dilihat dari per sektor, rata-rata sektor yang memiliki ICOR lebih rendah dari
rata-rata ICOR kabupaten ditunjukkan oleh sektor pertambangan dan
penggalian, industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan, hotel dan
restoran.
Rata
Hasil perhitungan ICOR lag-2 Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan
oleh tabel 4.6. Lag-2 berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada periode t
akan menghasilkan output pada dua tahun berikutnya. Berdasarkan tabel,
diketahui bahwa rata-rata nilai ICOR lag-2 sepanjang periode 2004-2013
sebesar 2,22. Nilai tersebut lebih efisien dibandingkan dengan investasi pada
lag-0 dan lag-1. Hal ini berarti bahwa jangkauan investasi memiliki nilai
akumulasi yang semakin baik seiirng dengan berjalannya waktu. Sektor yang
memiliki tingkat efisien investasi tertinggi adalah pertambangan dan
penggalian,
namun
demikian,
berdasarkan
kontribusinya
dalam
pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi, sektor ini bukanlah sektor
potensial di Kabupaten Banyuwangi.
Sektor pertanian sebagai kontributor utama dalam perekonomian
Kabupaten Banyuwangi justru tidak menjadi sektor yang efisien dalam upaya
peningkatan investasi daerah. Hal ini dikarenakan sistem pertanian yang
masih banyak mengandalkan teknologi konvensional serta faktor cuaca yang
befluktuasi sepanjang tahun mengakibatkan resiko investasi di sektor ini
masih cukup besar. Sebaliknya, sektor perdagangan, hotel dan restoran
merupakan sektor yang strategis dikembangkan, disamping sebagai sektor
penyumbang PDRB terbesar kedua di Kabupaten Banyuwangi, nilai ICOR lag-
2 secara rata-rata juga menunjukkan angka yang efisien, sebesar 1,31. Faktor
kedekatan lokasi dengan pulau Bali, serta sebagai jalur utama penyeberangan
menuju Bali menjadikan Kabupaten Banyuwangi sebagai kabupaten yang
strategis bagi investasi di sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Tumbuhnya sektor perdagangan, hotel dan restoran ternyata juga mampu
menjadikan sektor konstruksi sebagai salah satu sektor yang efisien untuk
penanaman investasi di Kabupaten Banyuwangi.
Tabel 4.6. ICOR Kabupaten Banyuwangi 2004-2013 (Lag-2)
LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
RataRata
1. Pertanian
2. Pertb & Penggalian
3. IndustriPengolahan
4. Listrik & Air Bersih
5. Konstruksi
6. Pergag, Htl & Rest
7. Angkutan & Komks
8. Keuangan
9. Jasa-Jasa
Rata-Rata
4.07
0.64
3.54
5.55
1.32
1.68
9.77
2.61
3.04
3.24
3.27
0.19
1.38
9.63
1.12
0.92
7.29
2.05
4.49
2.45
2.99
0.29
1.78
8.68
1.62
2.40
6.26
2.54
3.49
2.77
2.04
0.76
0.94
4.35
1.58
1.23
5.09
4.33
5.07
2.04
2.41
0.83
1.31
11.2
0.91
1.16
4.87
2.39
2.73
1.94
2.47
0.79
0.79
5.73
0.67
1.02
3.18
1.62
2.65
1.70
2.40
0.93
0.95
5.68
0.75
1.04
3.18
2.00
2.94
1.76
3.20
1.30
0.93
5.02
0.84
1.02
3.39
1.66
3.10
1.89
2.85
0.71
1.45
6.98
1.10
1.31
5.38
2.40
3.44
2.22
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Secara umum, rata-rata ICOR Kabupaten Banyuwangi untuk ketiga
periode lag waktu masih menunjukkan angka yang rendah, dimana, tingkat
efisiensi terjadi periode tahun 2009 pada lag-2, karena memiliki nilai ICOR
terendah yakni sebesar 1,70. ICOR yang rendah menunjukkan adanya
efisiensi dalam penggunaan modal. Efisiensi terjadi akibat adanya teknologi.
Menurut teori Solow Swan tingkat kemajuan teknologi adalah salah satu
faktor produksi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 1988).
Sektor
ekonomi
yang
menunjukkan
efisiensi
di
Kabupaten
Banyuwangi, karena memiliki koefisien ICOR kurang dari 2, adalah sektor
konstruksi (1,96), serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,32).
PMTB pada kedua sektor tersebut sangat efisien. Sedangkan sektor dengan
koefisien ICOR antara 2 dan 3 adalah sektor industri pengolahan (2,12),
sementara sektor lainnya menunjukkan besaran ICOR lebih tinggi dari 3 atau
dapat dikatakan PMTB pada sektor-sektor tersebut kurang efisien. Misalnya,
sektor listrik, gas dan air bersih mempunyai koefisien ICOR yang besar yaitu
12,12 artinya PMTB pada sektor tersebut tidak efisien, karena ditangani
langsung oleh pemerintah menyangkut kebijakan yang bersifat kepentingan
publik.
Pada tahun 2013, perhitungan ICOR untuk masing-masing sektor
secara umum menunjukkan tren penurunan dibandingkan pada periode
tahun 2004. Sektor yang pernah masuk dalam kategori kurang efisien
(memiliki ICOR lebih dari 3) telah menunjukkan perbaikan. Misalnya sektor
listrik, gas dan air bersih mempunyai koefisien ICOR 12,12 pada 2004
menjadi 5,05 pada 2014. Secara umum, rata-rata koefisien ICOR sepanjang
periode 2004-2013 di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan tren penurunan.
Jika pada 2004 rata-rata ICOR seluruh sektor sebesar 4,05 menjadi hanya
2,36 pada 2013. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan efisiensi
dalam upaya peningkatan output.
Perubahan-perubahan nilai ICOR ini bisa menjadi gambaran tingkat
efisiensi dalam penggunaan barang-barang modal pada sektor-sektor
tersebut. Semakin kecil nilai ICOR atau terjadinya penurunan berarti tingkat
efisiensi semakin baik. Oleh karena itu, untuk sektor-sektor yang ICOR-nya
mengalami
penurunan
seperti
sektor
pertanian,
sektor
industri
pengolahan, serta bangunan dikatakan mengalami peningkatan efisiensi.
Sedangkan untuk sektor lainnya seperti sektor jasa-jasa, pengangkutan serta
sektor listrik terjadi sebaliknya yaitu ketidakefisienan.
Setiap penambahan investasi akan selalu diikuti oleh meningkatnya
nilai produksi barang dan jasa, selanjutnya, seluruh nilai tambah bruto yang
dihasilkan berdasarkan nilai produksi barang dan jasa tersebut akan
menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Penambahan PDRB
Kabupaten Banyuwangi periode 2010 hingga 2013 disajikan pada Tabel
berikut ini.
Tabel 4.7. Tambahan PDRB Setiap Tahun,
Tahun 2010-2013 (Juta Rupiah)
LAPANGAN USAHA
2010
2011
2012
2013
1,041,320.71
1,126,747.24
1,850,532.51
1,556,074.57
2. Pertb & Penggalian
126,157.19
141,563.03
153,794.81
162,911.80
3. Industri Pengolahan
147,882.92
174,162.57
213,362.24
199,161.83
2,449.78
10,204.09
7,602.22
11,294.48
24,480.24
45,443.35
49,832.12
64,605.98
1,147,522.12
971,190.75
1,599,634.20
1,718,244.98
64,961.96
469,388.14
160,425.99
177,699.93
8. Keuangan
125,207.78
117,265.81
143,381.26
166,766.26
9. Jasa-Jasa
154,449.32
181,293.18
208,460.68
229,404.38
2,834,432.03
3,237,258.14
4,387,026.03
4,286,164.21
260,975.59
268,689.94
298,909.66
240,103.19
2. Pertb & Penggalian
31,723.38
34,692.44
34,014.34
27,747.32
3. Industri Pengolahan
34,732.74
55,405.07
48,554.44
52,303.89
4. Listrik & Air Bersih
1,260.85
2,672.85
2,727.00
3,092.28
5. Konstruksi
6,886.96
10,523.39
10,328.23
10,105.98
6. Pergag, Htl & Rest
227,231.66
299,690.94
334,484.48
386,003.30
7. Angkutan & Komks
23,125.56
34,849.59
36,900.48
35,839.23
8. Keuangan
26,610.08
44,785.39
45,749.17
59,473.55
9. Jasa-Jasa
32,362.13
37,685.19
40,628.55
40,552.84
ADHB
1. Pertanian
4. Listrik & Air Bersih
5. Konstruksi
6. Pergag, Htl & Rest
7. Angkutan & Komks
JUMLAH
ADHK (2000=100)
1. Pertanian
JUMLAH
644,908.97
788,994.80
852,296.35
855,221.58
Sumber: BPS, data diolah. 2014
Berdasarkan hasil pemilihan model ICOR yang memutuskan bahwa
nilai investasi yang efisien di Kabupaten Banyuwangi diperoleh dengan
menggunakan pendekatan Lag-2, maka setiap penambahan PDRB per tahun
sebagaimana disajikan pada Tabel 4.7 itu sudah barang tentu merupakan
dampak dari investasi yang ditanam selama dua tahun sebelumnya. Atau
penambahan PDRB dari tahun 2011 ke 2013 yang senilai 4,28 triliun itu
merupakan hasil dari penanaman investasi yang dilakukan pada tahun 2011
demikian juga untuk setiap penambahan PDRB per tahun yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya.
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi sepanjang periode 20042013 menunjukkannpertumbuhan yang lebih baik dibandingkan Jawa
Timur maupun nasional. Sektor pertanian masih menjadi penyumbang
utama dalam kontribusinya di PDRB Kabupaten Banyuwangi. Ini
menunjukkan bahwa Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang
strategis untuk dikembangkan khususnya dalam hal penanaman
investasi di sektor pertanian.
2. Hasil perhitungan ICOR Kabupaten Banyuwangi periode tahun 20042013 menunjukkan tren penurunan atau memiliki ICOR yang rendah.
Artinya bahwa penanaman investasi akan memberikan hasil output yang
menguntungkan. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor
yang efisien (ICOR rendah) dibandingkan sektor-sektor lainnya.
Sebaliknya, sektor pertanian yang memberikan kontribusi besar dalam
pembentukan PDRB, justru memiliki efisiensi tidak terbaik kedua setelah
sektor perdagangan, hotel dan restoran.
3. Pemilihan model ICOR berdasarkan lag waktu, memutuskan bahwa nilai
investasi yang efisien di Kabupaten Banyuwangi diperoleh dengan
menggunakan pendekatan Lag-2. Sementara, sektor paling efisien di
Kabupaten Banyuwangi pada periode 2004-2013 adalah pertambangan
dan penggalian. Sedangkan sektor paling tidak efisien adalah sektor
listrik, Gas & Air bersih. Dimana output dari kedua sektor tersebut
adalah barang publik yang nilainya tidak bisa dinilai dengan harga pasar.
Di samping itu investasi pada kedua sektor tersebut memerlukan proses
waktu yang lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan.
4. Meskipun ukuran ICOR mampu memberikan perhitungan tingkat
efisiensi, mamun tidaklah mudah mengatakan bahwa apabila suatu
sektor dengan koefisien ICOR lebih rendah dari pada sektor lain berarti
sektor yang disebut pertama lebih efisien dibandingkan sektor lain.
Karena karakteristik dari setiap sektor berbeda. Mungkin lebih relevan
kalau perbandingan itu dilakukan untuk sektor yang sama tetapi untuk
waktu dan tempat yang berbeda.
5. Penentuan suatu nilai ICOR sektoral yang mewakili untuk perkiraan
investasi dimasa akan datang masih bisa dikembangkan, tergantung
kebutuhan perencanaan. Namun demikian, koefisien dianggap mewakili
perilaku investasi dan produksi di setiap sektor. Untuk itu tidak
berlebihan bila angka yang sudah ditentukan dapat dijadikan sebagai
acuan perencanaan dalam menentukan kebutuhan investasi secara
makro pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, Berbagai Edisi, Jawa Timur Dalam Angka.
Bappenas.
2007.
Buku
Pegangan
Penyelenggaraan
Pemerintah
dan
Pembangunan Daerah. Jakarta
Blakely, Edward J. dan Leigh, Nancey Green. 2010. Planning Local
Economic Development. Sage Publication Inc. California.
Boediono, 1986. Pengantar Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta.
Jhingan, M.L, 2003, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Terjemahan, D
Guritno, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mankiw, N. Gregory, 2007. Macroeconomics. Worth Publishers, New York.
Nicholson, Walter, 2001. Teori Ekonomi Mikro. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C, 2003. Economic Development. Eighth
Edition, Pearson Addision-Wiley.
Download