identifikasi telur nematoda usus pada pemulung sampah di tempat

advertisement
IDENTIFIKASI TELUR NEMATODA USUS PADA PEMULUNG
SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR HANDAPHERANG
KECAMATAN CIJEUNGJING
KABUPATEN CIAMIS
TAHUN 2016
Karya Tulis Ilmiah
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan
pada Program Studi D3 Analis Kesehatan
Oleh :
RIRI RIMA OKTAPYANI
NIM. 13DA277039
PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
Identification of Worm Nematode Intestinal on Scavengers in
Landfills Handapherang Cijeungjing Ciamis 20161
Riri Rima Oktapyani2 Minceu Sumirah3 Atun Farihatun4
ABSTRACT
Indonesian population health problem characterized by diseases
related to the unfavorable environment. One of the still high prevalence of
the disease is an infection of the worm. One of Landfills in Handapherang
Cijeungjing Ciamis 2016.
The purpose of this study was to determine the presence or
absence of Intestinal Nematode eggs gut is a roundworm (Ascaris
lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), hookworm (Necator
americanus and Anylostoma duodenale ) in feces scavengers in Landfills
in Handapherang Cijeungjing Ciamis 2016.
This research uses descriptive method, research conducted by
sampling a total sampling. Feces examination conducted qualitatively by
direct means technique using lugol.
The results showed that of all of scavengers in Landfills the
District Handapherang Cijeungjing Ciamis 2016 , amounting to 35 people
or samples examined was not found intestinal nematode worm eggs .
Keywords
: Nematode Intestinal, Scavengers
Literature
: 15 pieces (2006-2014)
Information : 1 title, 2 student name, 3 supervisor I name , 4 supervisor II
name
v
IDENTIFIKASI NEMATODA USUS PADA PEMULUNG SAMPAH DI
TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR HANDAPHERANG KECAMATAN
CIJEUNGJING KABUPATEN CIAMIS Tahun 20161
Riri Rima Oktapyani2 Minceu Sumirah3 Atun Farihatun4
INTISARI
Masalah kesehatan penduduk Indonesia ditandai dengan penyakit
yang berkaitan dengan lingkungan yang kurang baik. Salah satu penyakit
yang prevalensi masih tinggi adalah infeksi cacing. Salah satunya di
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Handapherang Kecamatan
Cijeungjing Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau
tidaknya telur Nematoda Usus diantaranya cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing tambang
(Necator americanus dan Anylostoma duodenale) pada Feses Pemulung
Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Handapherang Kecamatan
Cijeungjing Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif, penelitian
dilakukan dengan menggunakan sampling secara total sampling.
Pemeriksaan feses dilakukan secara kualitatif dengan teknik cara
langsung menggunakan lugol.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari seluruh pemulung sampah
di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Handapherang Kecamatan
Cijeungjing Kabupaten Ciamis yang berjumlah 35 orang atau sampel yang
diperiksa tidak ditemukan telur cacing nematoda usus.
Kata kunci : Nematoda Usus, Pemulung
Kepustakaan : 15 buah (2006-2014)
Keterangan : 1 Judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I, 4 nama
pembimbing II
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% 90% terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh tergantung
pada lokasi dan sanitasi lingkungan. Di Pulau Jawa hampir sebagian
masyarakatnya
belum
terbebas
dari
infeksi
cacingan
yang
disebabkan oleh parasit usus (Mardiana, 2008).
Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat angka
kecacingan pada tahun 2005 sekitar 40% - 60%, begitu juga di
Ciamis pada tahun 2007-2009 terjadi sekitar 40,5% - 36,4%, dan
pada tahun 2011-2013 terjadi sekitar 11% - 8% (Dinkes, 2007).
Nematoda usus merupakan hospes beberapa nematoda usus.
Sebagian
besar
nematoda
tersebut
menyebabkan
masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus
terdapat sejumlah spesies yang di tularkan melalui tanah disebut Soil
Transmitted Helminths. Cacing yang terpenting bagi manusia adalah
Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichura, Strongyloides stercolaris dan beberapa spesies
Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia
adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spilaris (Staf Pengajar
Departemen FKUI, 2008).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi
telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku
yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama
makanan.
Tinggi
rendahnya
frekuensi
tingkat
kecacingan
berhubungan dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang
menjadi sumber infeksi. Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada
daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi
lingkungan yang ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan
1
2
dapat menyebabkan kekurangan gizi yang dapat mengakibatkan
turunnya kualitas hidup. Faktor yang menyebabkan seseorang
terkena cacingan ada 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal misalnya dorongan gaya hidup, sedangkan faktor
eksternal misalnya lingkungan, sanitasi, kebudayaan dan lain-lain
(Mardiana, 2008).
Pemulung adalah suatu pekerjaan yang selalu berada di
tempat-tempat yang kotor. Pemulung biasanya memungut barangbarang bekas seperti plastik, kardus bekas, botol-botol bekas, besi
dan yang lainnya. Pemulung itu sehari-harinya selalu berhubungan
dengan keadaan yang kotor, bau jauh dari keadaan yang bersih dan
juga terkadang mengkonsumsi air yang kurang bersih. Pada saat
pemulung itu bekerja pemulung tidak selalu memakai alat pelindung
diri yang baik dan bersih, setelah mereka melakukan pekerjaannya
mereka langsung melakukan aktivitas lain tanpa mencuci tangan
terlebih dahulu.
Berdasarkan faktor resiko tersebut, peneliti tertarik untuk
menjadikan bahan penelitian tentang Identifikasi Nematoda Usus
Pada Pemulung di Kecamatan Cijeungjing, alasannya karena
seorang pemulung itu
jauh dari kebersihan
sehingga
dapat
menimbulkan berbagai penyakit termasuk penyakit yang ditimbulkan
oleh nematoda usus.
Kita manusia harus selalu menjaga kebersihan diri karena
kebersihan itu sangat penting yaitu untuk selalu membersihkan
pakaian yang kita pakai seperti yang diterangkan dalam Q.S AlBaqarah ayat 222 yang berbunyi sebagai berikut :
….
Artinya : “…..Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222).
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut : “Apakah terdapat Telur
Cacing Nematoda usus pada pemulung sampah di Tempat
Pembuangan
Akhir
Handapherang
Kecamatan
Cijeungjing
Kabupaten Ciamis Tahun 2016 ?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada tidaknya Telur Cacing Nematoda Usus
pada sampel feses pemulung sampah di Tempat Pembuangan Akhir
Handapherang Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Tahun
2016.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Dapat mengaplikasikan bidang ilmu Parasitologi yang
telah di dapat penulis dimasa perkuliahan dan pemenuhan Karya
Tulis Ilmiah.
2. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi atau pengetahuan kepada
para pemulung agar lebih menjaga kebersihan dirinya sendiri
ataupun lingkungan sekitar.
3. Bagi Akademi
Hasil penelitian ini dapat menambah pembendaharaan
karya tulis ilmiah mengenai nematoda usus pada pemulung
sampah
di
Tempat
Pembuangan
Akhir
Handapherang
Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
4
E. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan yang akan
dilakukan oleh peneliti, pernah dilakukan oleh Rivana (2015) yaitu,
identifikasi nematoda usus pada petugas pengangkut sampah di TPA
Handapherang Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah pada sampel yang akan digunakan dan tempat penelitiannya.
Sedangkan perbedaannya adalah pada responden yang akan
diikutsertakan dalam penelitian adalah pemulung. Pada penelitian ini
sampel yang digunakan adalah feses pemulung sampah di Tempat
Pembuangan
Akhir
Handapherang
Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
Kecamatan
Cijeungjing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Nematoda
a. Pengertian
Nemathelminthes berasal dari kata yunani, nematos
yang berarti benang dan helminthes yang artinya cacing atau
cacing benang, cacing yang termasuk dalam filum ini sangat
banyak, sehingga dalam tanah terdapat jutaan jumlahnya,
ukurannya dari 2 mm-1 meter. Alat kelaminnya sudah
terpisah, yang jantan lebih kecil dari pada yang betina, ujung
posterior yang jantan melengkung. Tubuhnya berbentuk
memanjang dan simetris bilateral. Bagian ujung depan di
lengkapi dengan kaitan, gigi, lempang, seta dan papilla,
cacing betina setiap harinya 20-200.000 butir telur (Staf
Pengajar FKUI, 2008).
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen,
bilateral simetris, mempunyai saluran cerna yang berfungsi
penuh,
biasanya
berbentuk
silindris
serta
panjangnya
bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih dari satu
meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus,
dimana sebagian besar cacing dewasa melekat dengan kait
oral
atau
lempeng
pemotong.Cacing
ini
menyebabkan
penyakit karena dapat menyebabkan kehilangan darah, iritasi
dan alergi (Margono, 2008).
Nematoda yang di temukan pada manusia adalah
nematoda usus dan nematoda jaringan, nematoda ini
menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung
spesiesnya dan organ yang di hinggapinya.
5
6
b. PenggolonganNematodaUsusinimeliputi:
1)
Ascarislumbricoides
2)
Trichuristrichura
3)
Necatoramericanus
4)
Ancylostomaduodenale
5)
Strongyloidesstercoralis
6)
Oxyurisvermicularis
7)
Ancylostomacaninum
8)
Toxocaracanis
9)
Toxocaracati
Dalam Al Quran dijelaskan tentang berbagai mahluk di
alam ini sebagaimana dalam Q.S An Nur ayat 45 yang
berbunyi :
Artinya : Dan Allah telah menciptakan semua jenis
hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang
berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua
kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.
Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. Jenis-jenis Nematoda Usus antara lain sebagai berikut :
1) Ascaris lumbricoides
a) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris
lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut
ascariasis.
7
b) Klasifikasi
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Phasmida
Superfamilia : Ascaroidea
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris lumbricoides
(Irianto Koes, 2013)
c) Morfologi
Gambar 2.1 Telur Ascaris
lumbricoides dibuahi
(Pembesaran 10 x 40)
Gambar 2.2 Telur Ascaris
lumbricoides tidak dibuahi
(Pembesaran 10 x 40)
Gambar 2.3 Telur Ascaris lumbricoides berembrio
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber: Prianto dkk, 2008
Telur yang dibuahi mempunyai ukuran 45-75x
35-50 mikron berbentuk bulat atau lonjong, (a)
berdinding tebal berwarna coklat keemasan.
(b)
Dinding telur terdiri dari tiga, (c) lapisan luar terdiri
dari bahan albuminoid yang bergerigi,(d) lapisan
tengah transparan terbuat dari bahan glikogen, dan
8
(e) lapisan paling dalam adalah lapisan lipoid dan ada
juga bentuknya seperti bulan sabit yang terletak di
antara dinding lapisan glikoden dan lipoidal.Telur yang
tidak di buahi mempunyai ukuran 88-94 x 44 mikron,
(a) dinding terdiri dari dua lapis (tidak memiliki lapisan
lipoidal), (b) bagian dalam telur pernah granula yang
amorf.Telur yang di buahi atau tidak di buahi, kadangkadang lapisan albuminoidnya terkelupas.
d) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja penderita, telur cacing
yang telah dibuahi jika jatuh pada tanah yang lembab
dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi
telur infektif, yang mengandung larva cacing.
Telur yang belum infektif keluar bersama feses
(feses). Setelah 20-24 hari, maka telur ini menjadi
infektif dan bila telur ini tertelan, di dalam usus halus
dari telur ini keluar larva dan menembus dinding usus
halus mengikuti peredaran darah melalui saluran vena
ke hati, dari vena larva infektif menuju jantung kanan,
terus ke paru-paru. Diparu-paru larva menembus
alveoli dan melalui bronkiolus larva ke dalam trankea.
Selanjutnya melalui faring, esofagus, lalu turun ke
lambung dan akhirnya sampai ke usus halus.
Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi
cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah
yang mencapai organ paru tersebut disebut “lung
migration” (Staf Pengajar Departemen FKUI, 2008).
9
Gambar 2.4 Siklus Hidup Ascaris lumbricodes
Sumber : Staf Pengajar Departemen FKUI, 2008
e) Patologi Klinis
Infeksi yang di sebabkan oleh ascaris merupakan
infeksi
yang
sangat
menimbulkan kematian
umum,infeksi
ini
dapat
baik karena larva maupun
cacing dewasa. Larva Ascaris lumbricoides dapat
menimbulkan hepatitis, askariasis pneumonia, dan
juga kutaneus edema, yaitu edema pada kulit kulit,
terhadap anak dapat mengakibatkan nausea (rasa
mual), kolik (mulas), diare, urtikaria (gatal-gatal),
kejang-kejang, (meningitis) radang selaput (otak), juga
kadang-kadang
menimbulkan
demam,apatis,
rasa
ngantuk, strabismus (mata juling), dan (paralysis)
kelumpuhan anggota badan (Irianto Koes, 2013).
f) Epidemiologi
Infeksi pada manusia terjadi karena tertelannya
telur cacing yang mengandung larva infektif melalui
makanan dan minuman yang tercemar. Sayuran
mentah yang mengandung telur cacing yang berasal
dari pupuk kotoran manusia merupakan salah satu
media penularan. Vektor serangga seperti lalat juga
dapat menularkan telur pada makanan yang tidak
10
disimpan dengan baik. Penyakit ini dapat menyerang
anak-anak, terutama anak prasekolah (usia 3-8 tahun).
Bayi mendapatkan penyakit ini dari tangan ibunya
yang
tercemar
larva
infektif.
Askariasis
banyak
dijumpai pada daerah tropis (Irianto Koes, 2013).
g) Diagnosis
Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah
dengan pemeriksaan feses secara langsung. Adanya
telur cacing dalam feses memastikan diagnosis
Askariasis.
h) Pengobatan
Obat
untuk
mebendazol,
askariasis
pirantel
adalah
pamoat,
albendazol,
ivermektin
atau
levamizol (Pusarawati dkk, 2014).
i)
Penularan
Telur atau larva Ascaris lumbricoides masuk
kedalam
tubuh
manusia
melalui
makanan
atau
minuman yang terkontaminasi menembus dinding
usus, di dalam usus halus larva berkembang menjadi
caing
dewasa.
Selanjutnya
menuju
hati
untuk
kemudian menuju paru-paru,jumlahnya yang tinggi
dapat menimbulkan penyumbatan, juga komplikasi
seperti illeus appendicitis dan pankreatitis karena
cacing betina dapat mengeluarkan telur dalam jumlah
yang banyak, sampai 200.000 telur perhari, yang
dikeluarkan oleh feses (Zulkoni, 2010).
j) Pencegahan
Pencegahan
yang
dapat
dilakukan
dengan
menjaga hygiene dan sanitasi, tidak buang air besar
disembarang
tempat,
melindungi
makanan
dari
pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum
11
makan, dan tidak memakai tinja sebagai pupuk
tanaman, serta menghindari sayuran yang mentah
yang tidak dimasak terlebih dahulu (Rosdiana, 2010).
2) Trichuris trichiura
a) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari Trichuris
trichiura.
Penyakit
yang
disebabkannya
yaitu
Trichuriasis.
b) Klasifikasi
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Aphasmidia
Ordo
: Enoplida
Superfamili
: Trichuroidea
Familia
: Trichuridae
Genus
:Trichuris
Spesies
:Trichuris trichiura
c) Morfologi
Gambar 2.5 Telur Trichuris Trichiura
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber : Pusarawati dkk, 2014
Telur cacing ini berukuran 50-54 x 22-23 mikron.
Secara spesifik, bentuknya seperti tong anggur (barrel
shape) atau lemon shape dan pada kedua ujungnya
terdapat dua buah mucoid plug (sumbat yang jernih).
Dinding telur berwarna coklat dari warna empedu,
12
kedua ujungnya berwarna bening (Pusarawati dkk,
2014).
d) Siklus hidup
Telur mengalami pematangan dan menjadi
infektif di tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Jika
telur cacing yang infektif ini tertelan manusia, maka di
dalam usus halus dinding telur pecah dan larva keluar
menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing
dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur
infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa
dan cacing betina sudah mulai mampu bertelur.
Trichuris trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun
di dalam usus manusia (Irianto Koes, 2013).
Gambar 2.6 Siklus Hidup Trichuris trichiura
Sumber : Staf Pengajar Departemen FKUI, 2008
e) Patologi Klinis
Pasien yang mendapat infeksi kronis Trichiuris
menunjukan tanda-tanda klinis seperti anemia, feses
yang tercampur butir-butir darah, sakit perut, mual,
muntah, sakit kepala, demam, serta berat badan
menurun, prolaps rectal yang berisi cacing pada
mukosa rektum (Natadisastra dkk, 2009).
13
f) Epidemiologi
Di daerah tropis tercatat 80% penduduk positif,
sedangkan diseluruh dunia tercatat 500 juta yang
terkena infeksi. Infeksi banyak terdapat di daerah
curah hujan tinggi, iklim subtropis dan pada tempat
yang banyak populasi tanah.
Anak-anak lebih mudah terserang daripada
orang dewasa. Infeksi berat terhadap anak-anak yang
suka
bermain
di tanah
dan
mereka mendapat
kontaminasi dari pekarangan yang kotor. Infeksi terjadi
karena menelan telur yang telah berembrio melalui
tangan,
makanan,
atau
minuman
yang
telah
terkontaminasi, langsung melalui debu, hewan rumah
atau barang mainan (Irianto Koes, 2013).
g) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur
pada pemeriksaan tinja secara langsung (direct smear)
atau dengan cara konsentrasi (sedimentasi dan
flotasi).
h) Pengobatan
Obat untuk Trichuriasis yaitu mebendazol dan
albendazol (Zulkoni, 2010).
i) Penularan
Infeksi terjadi jika manusia menelan makanan
yang terkontaminasi telur Trichiuris trichiura, yang
telah mengeram ditanah selama 2-3 minggu. Larva
akan menetas didalam usus halus lalu berpindah ke
usus besar dan menancapkan kepalanya di dalam
lapisan usus karena cacing betina menghasilkan
sekitar 5000 telur perhari dan dibuang melalui feses.
14
j) Pencegahan
Pencegahan yang utama adalah kebersihan,
sedangkan infeksi di daerah yang sangat endemic
dapat dengan membuang feses pada tempatnya
sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan,
mencuci tangan sebelum makan, pendidikan terhadap
masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan
higine
dan
mencuci
memasaknya
bersih
sebelum
sayur-sayuran
dimakan
(Staf
atau
Pengajar
Departemen FKUI, 2008).
3) Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus)
a. Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes definitif dari cacing
tambang. Penyakit yang disebabkan oleh Necator
americanus yaitu Nekatoriasis, dan penyakit yang
disebabkan
oleh
Ancylostoma
duodenale
yaitu
Ankilostomiasis.
b. Klasifikasi
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas : Phasmida
Ordo
: Rhabditida
Familia
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma dan Necator
Spesies
: Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus
c. Morfologi
Telur
Necator
americanus
dan
Ancylostoma
duodenale sukar dibedakan. Telur ini berukuran 50-60
x 40-45 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding
15
tipis. Diantara massa telur dan dinding telur terdapat
ruangan yang jernih. Pada tinja segar, telur berisi
massa yang terdiri dari 1-4 sel (Pusarawati dkk, 2014).
Gambar 2.7 Telur Cacing Tambang
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber: Prianto dkk, 2008
d. Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja, dalam 24-48 jam dan
dengan suhu optimal 23-33oC telur akan matang lalu
menetas, keluar larva rhabditiform. Larva ini mulutnya
terbuka dan aktif memakan sampah organik atau
bakteri pada tanah di sekitar tinja. Pada hari ke-5,
berubah menjadi larva yang lebih kurus dan panjang
disebut larva filariform yang infektif. Larva ini tidak
makan, mulutnya tertutup, esopafus panjang, ekor
tajam, dapat hidup pada tanah yang baik selama 2
minggu. Jika larva menyentuh kulit manusia, biasanya
pada sela antara 2 jari kaki atau dorsum pedis, melalui
folikel rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang rusak,
larva secara aktif menembus kulit masuk ke dalam
kapiler darah, terbawa aliran darah. Waktu yang
diperlukan sampai ke usus halus kira-kira 10 hari.
Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih
10 tahun. Infeksi per oral jarang terjadi, tetapi larva
juga dapat masuk ke dalam badan melalui air minum
atau makanan yang terkontaminasi. Siklus hidup ini
16
berlaku
bagi
ke
dua
spesies
cacing
tambang
(Natadisastra dkk, 2009).
Gambar 2.8 Siklus Hidup Necator americanus
Sumber : Prianto dkk, 2008
e. Patologi Klinis
Larva yang menembus kulit menyebabkan rasa
gatal, apabila sejumlah larva menembus paru-paru,
bagi orang-orang yang peka maka suatu waktu dapat
menyebabkan bronkhitis.
Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa
usus, menimbulkan perasaan tidak enak di perut,
mual, dan diare. Seekor cacing dewasa menghisap
darah 0,2-0,3 mL sehari sehingga dapat menimbulkan
anemia hipokrommikrositer. Pada infeksi berat Hb
dapat turun sampai 2g %, penderita merasa sesak
napas waktu melakukan kegiatan, lemah dan pusing.
Terjadi perubahan pada jantung dan mengalami
hipertropi, adanya bising katup serta nadi cepat.
Keadaan demikian dapat menimbulkan kelemahan
jantung. Jika terjadi pada anak dapat menimbulkan
keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma
17
duodenale
lebih
berat
dari
Necator
americanus
(Natadisastra dkk, 2009).
f. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di
Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di
perkebunan. Tanah yang baik untuk pertumbuhan
larva yaitu tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu
optimum untuk N.americanus 28°-32°C sedangkan
untuk A.duodenale lebih rendah 23°-25°C, pada
umumnya A.duodenale lebih kuat (Staf Pengajar
Departemen FKUI, 2008).
g. Diagnosis
Diagnosa di tegakkan dengan menemukan telur
dalam feses segar. Dalam feses yang lama mungkin di
temukan larva (Staf Pengajar Departemen FKUI,
2008).
h. Pengobatan
Obat
untuk
ankilostomiasis
dapat
berupa
antelmintik mebendazol, albendazol atau pirantel
pamoat (Pusarawati dkk, 2014).
i.
Penularan
Telur dari kedua tersebut ditemukan di dalam
feses manusia dan menetas didalam tanah setelah
mengeram selama 1-2 hari. Setelah
telur menetas,
larva itu selanjutnya langsung hidup di dalam tanah,
manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa alas kaki
diatas
tanah
yang
terkontaminasi
karena
bisa
menembus kulit (Zulkoni, 2010).
j.
Pencegahan
Tidak membuang tinja disembarang tempat,
membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah,
18
dan tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia
(Rosdiana, 2010).
4) Strongyloides stercoralis
a) Hospes dan Nama Penyakit
Manusia
Strongyloides
adalah
hospes
stercoralis.
definitif
Penyakit
disebabkannya yaitu Strongiloidiasis.
b) Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Class
: Nematoda
Subclass
: Adenophorea
Ordo
: Enoplida
Famili
: Rhabiditoidea
Genus
: Strongyloides
Species
: Strongyloides stercoralis
c) Morfologi
a) Gambar 2.9 Larva rhabditiform
(Pembesaran 10 x 40)
b) Gambar 2.10 Larva filariform
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber : Prianto dkk, 2008
dari
yang
19
Larva rhabditiform berukuran 225 x 16 mikron,
sedangkan larva filariform ramping dan berukuran 630
x 16 mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan
berukuran 50-54 x 30-34 mikron (Staf Pengajar
Departemen FKUI, 2008).
d) Siklus hidup
Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam
mukosa usus, lalu menetas menjadi larva rhabditiform,
menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus, lalu
keluar bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki
3 macam siklus hidup, diantaranya adalah :
(1) Siklus Langsung
Dalam waktu 2-3 hari larva rhabditiform
bertukar kulit menjadi larva filariform yang panjang,
ramping, tidak makan dan infeksius. Larva filariform
ini menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi
vena melewati jantung kanan sampai ke paru-paru
dan menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke
glottis, tertelan, sampai ke usus halus dan menjadi
dewasa. Selama migrasi dalam tubuh inang, larva
mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi
dewasa
muda.
Cacing
betina
dewasa
menghasilkan telur 28 hari setelah infeksi.
(2) Siklus Tidak Langsung
Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi
cacing jantan dan betina bentuk bebas. Setelah
pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang
menetas menjadi larva rabditiform. Larva ini dapat
menjadi larva filariform yang infeksius dalam
beberapa hari dan masuk ke dalam hospes baru
atau larva rabditiform tersebut mengulangi fase
20
hidup bebas (Staf Pengajar Departemen FKUI,
2008).
Gambar 2.11 Siklus Hidup Strongyloides stercolaris
Sumber : Prianto dkk, 2008
e) Patologi Klinis
Infeksi Strongyloides dapat berupa gangguan
pencernaan, antara lain rasa sakit pada abdomen dan
diare. Selama migrasi ke paru-paru, larva dapat
menimbulkan gejala pada paru-paru. Manifestasi pada
kulit berupa gatal-gatal dan kemerahan (Pusarawati
dkk, 2014).
f) Epidemiologi
Dalam pekembangannya di alam bebas cacing
ini memerlukan suhu rata-rata sekurang-kurangnya
15oC dengan kelembaban tanah. Suhu optimal terletak
antara
230
penyebarannya
dan
300oC,
terdapat
di
dengan
daerah
demikian
tropis
dan
subtropis, serta di daerah pertambangan. Penyebab
21
utama penyebaran ini karena pembuangan tinja di
tanah (Irianto Koes, 2013).
g) Diagnosis
Diagnosa ditegakan dengan ditemukan telur
serta larva rhabditiform dan filariform pada feses.
h) Pengobatan
Obat untuk strongiloidiasis adalah ivermektin,
albendazol, mebendazol atau tiabendazol.
i)
Pencegahan
Tidak buang air besar disembarang tempat,
membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah,
dan tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia
(Pusarawati dkk., 2014)..
5) Toxocara canis dan Toxocara cati
a) Hospes dan nama penyakit
Toxocara canis ditemukan pada anjing. Toxocara
cati ditemukan pada kucing. Menyebabkan penyakit
yang disebut visceral larva migrans.
b) Klasifikasi Toxocara canis
Phylum
: Nemathelminthes
Class
: Nematoda
Subclass
: Secernentea
Ordo
: Ascaridida
Famili
: Ascarididae
Genus
: Toxocara
Species
: Toxocara canis
Klasifikasi Toxocara cati
Phylum
: Nemathelminthes
Class
: Nematoda
Subclass
: Secernentea
Ordo
: Ascaridida
22
Famili
: Ascarididae
Genus
: Toxocara
Species
: Toxocara cati
c) Morfologi
Gambar 2.12 Telur Toxocara sp
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber: Prianto dkk, 2008
Toxocara
canis
jantan
mempunyai
ukuran
panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang betina 5,7-10 cm,
Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm,
sedangkan
yang
betina
berukuran
2,5-14
cm.
Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda.
Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang
berbentuk seperti lanset, sedangakan pada Toxocara
cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya
menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua
spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk
seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk
(digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing
(Irianto Koes, 2013).
d) Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau
kucing akan berkembang menjadi telur infektif di tanah
yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik
dengan menelan telur infektif atau dengan memakan
hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti cacing
23
tanah dan semut. Penularan larva pada anak anjing
atau kucing dapat terjadi secara transplasental dari
induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari
induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia
(hospes paratenik) kemudian larva menembus usus
dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh
(hati, jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang
larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih
lanjut (Prianto dkk, 2008).
e) Patologi Klinis
Pada
manusia
larva
cacing
tidak
menjadi
dewasa dan mengembara di alat-alat dalam. Kelainan
yang timbul karena migrasi larva dapat berupa
perdarahan,
nekrosis,
dan
peradangan
yang
didominasi oleh eosinofil. Dengan gejala demam,
perbesaran hati, dan limfa, gejala saluran nafas
bawah seperti bronkhouspasme. Kelainan pada otak
menyebabkan
kejang,
gejala
neuro
psikitrik/ensefalopati berat ringannya gejala klinis
dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita.
Umumnya penderita adalah anak usia di bawah 5
tahun karena mereka banyak bermain di tanah atau
kebiasaan memakan tanah yang terkontaminasi tinja
anjing atau kucing (Staf Pengajar Departemen FKUI,
2008).
f)
Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati
tersebar
secara kosmopolit dan ditemukan juga di Indonesia.
Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada
kucing 26,0%. Prevalensi toxocariasis pada anjing dan
24
kucing pernah dilaporkan di Jakarta masing-masing
mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
g) Pencegahan
Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah
pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan
secara sembarangan terutama di tempat bermain
anak-anak dan kebun sayuran. Pada manusia,
pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap
anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah,
peningkatan kebersihan pribadi seperti, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging
yang kurang matang dan membersihkan secara
seksama sayur lalapan (Zulkoni, 2010).
6) Enterobius vermicularis
a) Hospes dan nama penyakit
Manusia adalah salah satu-satunya hosp[es
dan penyakitnya disebut enterobiasis dan oksiuriasis.
b) Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Class
: Nematoda
Subclass
: Secernentea
Ordo
: Oxyurida
Famili
: Oxyuroidea
Genus
: Enterobius
Species
:Enterobius vermicularis
25
c) Morfologi
Gambar 2.13 Telur Enterobius vermicularis
(Pembesaran 10 x 40)
Sumber: Prianto dkk, 2008
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm.
Pada ujung anteriornya ada pelebaran kutikulum
seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas
sekali ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing
yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan
berukuran 2-5 mm juga mempunyai sayap dan
ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat
cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar,
dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga
sekum (Rosdiana, 2010).
d) Siklus Hidup
Manusia
adalah
satu-satunya
hospes
Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi
dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus
besar dan usus halus yang berdekatan dengan
coecum. Telur menjadi matang dan infektif beberapa
jam setelah dikeluarkan. Telur jarang dikeluarkan di
dalam rongga usus maka pemeriksaan tinja tidak
penting. Bila telur ditelan, larva stadium pertama
menetas di dalam duodenum (Prianto dkk, 2008).
26
e) Patologi Klinis
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang
menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang
menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum,
dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi
ke daerah anus dan vagina. Terkadang cacing dewasa
muda bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai
ke
lambung,
esofagus
dan
hidung
sehingga
menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing
betina gravid mengembara dan dapat bersarang di
vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur. Beberapa gejala infeksi
Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan,
berat badan turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat
marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi,
tetapi
kadang-kadang
sukar
untuk
membuktikan
hubungan sebab dengan cacing kremi (Staf Pengajar
Departemen FKUI, 2008).
f) Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada
cacing lain. Penularan dapat terjadi pada keluarga atau
kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang
sama (asrama, rumah piatu).Di berbagai rumah tangga
dengan bebarapa anggota keluarga yang mengandung
cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di
lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus, bak
mandi alas kasur, pakaian dan tilam (Margono S,
2008).
27
g) Penularan
Penularan dapat dipengaruhi oleh :
(1) Penularan
dari
tangan
ke
mulut
sesudah
menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau
tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain
maupun kepada diri sendiri karena memegang
benda-baenda
maupun
pakaian
yang
terkontaminasi.
(2) Debu merupakan sumber infeksi karena mudah
diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui
debu dapat tertelan.
(3) Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang
menetas disekitar anus kembali masuk ke usus
(Staf Pengajar Departemen FKUI, 2008).
h) Pencegahan dan Pengendalian
(1) Menjaga kebersihan diri sendiri.
(2) Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci tangan
sebelum makan.
(3) Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan
tangan yang mengandung parasit.
(4) Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih
dan diganti setiap hari.
Dalam Al Quran dijelaskan tentang menjaga
kebersihan sebagaimana dijelaskan dalam Q. S Al
Muddatsir ayat 4-6 yang berbunyi :
Artinya : “Dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
28
memperoleh (balasan) yang lebih banyak”.(Q.S AlMuddatsir ayat 4-6 surat ke 74).
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan
cara memberikan obat-obatan seperti pyrantel pamoat,
mebendazol ataupun albendazol (Natadisastra dkk,
2009).
2. Feses
Kotoran manusia (feses) adalah semua benda atau zat
yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari
dalam tubuh karena kotoran manusia (feses) adalah sumber
penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit
yang bersumber pada feces dapat memulai berbagai macam cara.
Feses sangat berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit. Di
samping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman,
sayuran, air, tanah, dan serangga (Notoatmojodjo, 2013).
3. PemulungSampah di TPA Handapherang
Pemulung sampahdi TPA Handapherang adalah orang
yang
melakukan
pekerjaan
mengumpulkan,
pengangkut,
memproses, pendaur-ulang, atau pembuangan sampah. Sampah
yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan biasanya dikelola
untuk
mengurangi
dampaknya
terhadap
lingkungan
atau
keindahan (Notoatmojodjo, 2013).
Cacing Nematoda usus banyak diperoleh di daerah-daerah
tropis dan subtropis yang keadaan daerahnya menunjukan
kebersihan dan lingkungan yang kurang baik. Cacing Nematoda
usus memerlukan perkembangan didalam tanah untuk menjadi
infektif.
4. Pemeriksaan preparat
Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan
preparat menggunakan lugol, dimaksudkan untuk membedakan
29
lebih jelas telur-telur cacing dengan kotoran di sekitarnya. Lugol
memberikan latar bening kekuningan terhadap telur cacing,
sehingga memisahkan dengan jelas feses dengan kotoran yang
ada. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan meneteskan larutan
lugol pada gelas objek. Kemudian ambil tinja pada beberapa
tempat dengan menggunakan lidi. Tutup dengan kaca penutup
(hindari adanya gelembung udara) lalu periksa menggunakan
mikroskop (Pusarawati dkk, 2009).
B. Kerangka Konsep
Faktor risiko terjadinya kecacingan pada
pemulung sampah : kontak dengan sampah
yang kotor, kontak dengan tanah
Terinfeksi cacing
nematoda usus
Feses pemulung mengandung
telur nematoda usus
Pemeriksaan feses
Positif Telur
Nematoda Usus
Negatif Telur
Nematoda Usus
Gambar 2.14 Kerangka Konsep Telur Nematoda Usus
Keterangan :
Positif Nematoda Usus = Adanya salah satu telur nematoda usus.
Negatif Nematoda Usus = Tidak adanya telur nematoda usus.
DAFTAR PUSTAKA
AL Quran. (2010) Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : CV Penerbit
Dipenogoro.
Achmad, Hiskia. (2006) Kimia Larutan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Dinkes Ciamis. (2007) Prevalensi Cacingan. Ciamis : Dinkes Ciamis.
Gandasoebrata, R. (2010) Penuntun Praktikum Laboratorium Klinik.
Jakarta : Dian Rakyat.
Koes Irianto. (2013) Panduan Praktikum Parasitologi Medis. Bandung :
Alfabeta CV.
Mardiana, Djarismawati. (2008) Prevalensi Cacing Usus Pada Murid
Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan GerakanTerpadu
Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta,
Jurnal Ekologi KesehatanVolume 7, No.2, Agustus, 2008, hlm.19
Margono S. (2008) Nematoda Usus
Kedokteran.Edisi 4. Jakarta : FKUI.
Buku
Ajar
Parasitologi
Natadisastra, Dajaenudin, Agoes Ridad. (2009) Parasitologi Kedokteran
Ditinjau Dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2013) Kesehatan Masyarakat. Jakarta : ECG.
Prianto Juni, Tjahaya, Darmawanto. (2008) Atlas Parasitologi Kedokteran.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Pusarawati, Suhintam., Ideham, Bariah., Kusmartisnawati., Tantular,
Indah S., Basuki, Sukmawati. (2014) Atlas Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : EGC.
Rosdiana, S. (2010) Parasitologi Kedokteran: Protozoologi, Entomologi
dan Helmintologi. Cetakan I. Bandung: Yrama Widya.
Staf Pengajar Departemen FKUI. (2008) Parasitologi Kedokteran Edisi ke
Empat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Sugiyono. (2007) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & D. Bandung :
Alfabeta
Zulkhoni, Akhsin. (2010) Parasitologi. Yogyakarta : Muha Medika.
41
Download