BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fisiologi Flatus 1. Pengertian Flatus adalah gas atau udara dalam saluran cerna yang dikeluarkan lewat anus. Gas dapat ditemukan di lambung, usus kecil, maupun usus besar. Kebanyakan gas di lambung akan dikeluarkan lewat sendawa. Jumlah gas yang masuk atau dibentuk di usus besar setiap harinya ratarata 7 sampai 10 liter. Sedangkan jumlah rata-rata gas yang dikeluarkan biasanya hanya sekitar 0,6 liter. Sisanya diabsorbsi melalui mukosa usus (Budiyanto, 2010). 2. Fisiologi Otot-otot abdomen dan sfingter anus eksternus secara volunter dan simultan berkontraksi untuk melaksanakan ekspulsi gas secara selektif saat bahan feses juga terdapat di rektum. Pada saat kontraksi, otot-otot abdomen meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga terjadi perbedaan tekanan antara intra abdomen dengan anus yang mendorong udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus yang membentuk celah kecil sehingga terlalu kecil untuk dilewati feses. Gerakan peristaltik usus juga menjadikan ruang menjadi bertekanan, sehingga memaksa isi usus, termasuk gasnya untuk bergerak ke bagian yg bertekanan lebih rendah, yaitu sekitar anus. Keluarnya udara dengan kecepatan tinggi menyebabkan 6 7 tepi lubang anus bergetar, menimbulkan suara bernada rendah yang khas menyertai keluarnya gas (Sherwood, 2001). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya flatus a. Peristaltik usus Gerakan peristaltik usus juga menjadikan ruang menjadi bertekanan, sehingga memaksa isi usus, termasuk gasnya untuk bergerak ke bagian yg bertekanan lebih rendah, yaitu sekitar anus (Sherwood, 2001). b. Kontraksi otot-otot abdomen Pada saat kontraksi otot-otot abdomen meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga terjadi perbedaan tekanan antara intra abdomen dengan anus yang mendorong udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus (Sherwood, 2001). c. Makanan yang mengandung jenis-jenis karbohidrat yang enzim pencernaannya tidak dimiliki oleh manusia namun dapat difermentasi oleh bakteri-bakteri di saluran pencernaan. Karbohidrat-karbohidrat ini difermentasi oleh bakteri penghasil gas di kolon. Sebagian besar gas yang terbentuk diusus besar diserap melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus (Sherwood, 2001). d. Kompres hangat atau dengan penyinaran inra merah Suhu hangat dapat mengembangkan gas dan merangsang peristaltik usus (Long, 2002) sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan antara ruang intra abdomen dengan anus. 8 4. Komposisi gas flatus menurut Budiyanto (2010) : a. Nitrogen yang berasal dari udara yang kita telan. Semakin banyak kita menelan udara, semakin banyak nitrogen dalam saluran cerna. b. Karbondioksida yang berasal dari reaksi asam lambung dengan bikarbonat dan dari hasil fermentasi bakteri. c. Metana dan hidrogen yang berasal dari fermentasi bakteri. 5. Pengaruh anestesi spinal terhadap saluran pencernaan Beberapa menit setelah diberikan, anestesia dan paralisis mempengaruhi jari-jari kaki dan perineum, kemudian secara bertahap mempengaruhi tungkai dan abdomen (Keat Sally, 2013). Anestesi spinal memperlambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan mual, selama tahap pemulihan bising usus terdengar lemah atau menghilang. Menurunnya motilitas gastrointestinal dapat menimbulkan ileus paralitik yang mengakibatkan akumulasi gas dan distensi abdomen (Keat sally, 2013). B. Anestesi 1. Pengertian anestesi Anestesia adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya refleks (Keat Sally,2013). 2. Jenis anestesi Menurut Keat Sally 2013 pasien yang menjalani pembedahan akan menerima salah satu anestesi dari tiga jenis anestesi sebagai berikut : 9 a. Anestesi umum Klien yang mendapatkan anestesi umum akan kehilangan seluruh sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot akan mempermudah manipulasi anggota tubuh. Klien juga mengalami amnesia tentang seluruh proses yang terjadi selama pembedahan. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor dan membutuhkan manipulasi jaringan yang luas (Keat Sally,2013). b. Anestesi regional Anestesia regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan agen anestetik di sekitar saraf sehingga area yang disarafi teranestesi (Smeltzer, 2002). Infiltrasi obat anestesi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Keat Sally, 2013) : 1) Anestesi spinal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal pada ruang sub arakhnoid spinal dilakukan dengan pungsi lumbal. Anestesi akan menyebar dari ujung prosesus sipoideus ke bagian kaki. Posisi klien mempengaruhi pergerakan obat anestesi ke bawah atau ke atas medula spinalis. 2) Anestesi epidural lebih aman daripada anestesi spinal karena obat disuntikkan ke dalam epidural di luar durameter dan kandungan anestesinya tidak sebesar anestesi spinal. Karena menghilangkan sensasi di daerah vagina dan perineum, maka anestesi epidural merupakan pilihan terbaik untuk prosedur kebidanan. 10 3) Anestesi kaudal merupakan jenis anestesi epidural yang diberikan secara lokal pada dasar tulang belakang. Efek anestesinya hanya mempengaruhi daerah pelvis dan kaki. c. Anestesi lokal Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi ke dalam sirkulasi. Klien akan kehilangan rasa nyeri dan sentuhan, aktivitas motorik dan otonom (Keat Sally, 2013). 3. Proses farmakologis anestesi spinal Anestesi spinal merupakan tipe blok kondusi saraf yang luas dengan memasukkan anestesi ke dalam ruang subarakhnoid di tingkat lumbal 4 dan 5. Cara ini menghasilkan anestesia pada ekstremitas bawah, perineum dan abdomen bawah. Penyebaran anestesi dan tingkat anestesia bergantung pada jumlah cairan yang disuntikkan, kecepatan obat tersebut disuntikkan, posisi pasien setelah penyuntikan dan berat jenis agen. Jika berat jenis agen lebih besar dari cairan serebrospinal (CSS), cairan akan bergerak ke posisi dependen spasium subarakhnoid, jika berat jenis lebih kecil dari CSS, maka anestesi akan bergerak menjauhi bagian dependen. Anestesia dan paralisis mempengaruhi jari-jari kaki dan perineum, kemudian secara bertahap mempengaruhi tungkai dan abdomen (Keat Sally, 2013). 11 4. Efek samping anestesi spinal Jika anestesi mencapai thoraks bagian atas dan medula spinalis dalam konsentrasi yang tinggi, dapat terjadi paralisis respiratori. Mual, muntah, dan nyeri dapat terjadi selama pembedahan ketika digunakan anestesi spinal. Sebagai aturan, reaksi ini terjadi akibat traksi berbagai struktur, terutama sekali pada struktur di dalam rongga abdomen (Keat Sally, 2013). 5. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal (Keat Sally, 2013) : a. Sakit kepala terjadi sebagai komplikasi anestesi, beberapa faktor yang terlibat dalam insiden sakit kepala antara lain ukuran jarum spinal yang digunakan, kebocoran cairan dari spasium subarakhnoid melalui letak pungsi dan status hidrasi pasien. b. Jika anestesi spinal naik hingga ke dada, mungkin terjadi distres pernapasan. c. Mual dan muntah dapat terjadi akibat traksi di dalam rongga abdomen. d. Penurunan tekanan darah dapat terjadi dengan cepat karena terjadi akibat blok anestesi pada saraf motorik simpatis dan serat syaraf nyeri motorik menimbulkan vasodilatasi yang luas. e. Menurunnya motilitas gastrointestinal dapat menimbulkan ileus paralitik yang mengakibatkan akumulasi gas dan distensi abdomen (Keat Sally, 2013). 12 6. Penatalaksanaan pasien post anestesi spinal Selain memantau tanda vital, perawat mengobservasi dan mencatat waktu saat sensasi kaki dan jari kaki kembali . Tindakan untuk meningkatkan tekanan serebrospinal sangat membantu dalam menghilangkan sakit kepala, tindakan ini mencakup menjaga posisi tidur pasien terbaring datar, tenang dan terhidrasi dengan baik (Keat Sally, 2013). C. Sinar Infra Merah 1. Pengertian Sinar infra merah adalah pancaran galombang elektro magnetik dengan panjang gelombang 780 nm sampai dengan 12.500 nm (Starkey, 2004) 2. Klasifikasi sinar infra merah (Sujatno,1993) a. Berdasarkan panjang gelombang, dapat dibedakan: 1) Gelombang panjang (non penetrating) yaitu panjang gelombang diatas 12.000 A sampai dengan 150.000 A,daya penetrasi sinar ini hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis, sekitar 0,5 mm. 2) Gelombang pendek (penetrating) yaitu panjang gelombang antara 7.000 sampai dengan 12.000 A, daya penetrasi lebih dalam dimana lapisan kulit sub cutan dapat terpengaruh secara langsung, pembuluh darah kapiler, pembuluh lymphe, ujung-ujung syaraf, dan jaringan jaringan lain di bawah kulit. 13 b. Berdasarkan tipe 1) Tipe A, panjang gelombang 780-1.500 mm, penetrasi dalam 2) Tipe B, panjang gelombang 1.500 mm-3.000 mm, penetrasi dangkal 3) Tipe C, panjang gelombang 3.000 - ±10.000 mm, penetrasi dangkal 3. Manfaat sinar infra merah terhadap tubuh. Apabila dilakukan penyinaran infra merah, efek yang timbul antara lain: a. Meningkatkan proses metabolisme. Gabriel (2001) mengemukakan efek panas pada tubuh menyebabkan zat cair, padat dan gas mengalami pemuaian ke segala arah. Kecepatan reaksi akan meningkat karena peningkatan temperatur sesuai dengan hukum Vant Hoff. Permeabilitas membran sel akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Jaringan akan mengalami peningkatan metabolisme seiring dengan peningkatan pertukaran antara zat kimia tubuh dengan cairan tubuh. Peningkatan leukosit, inflamasi dan vasodilatasi menyebabkan peningkatan sirkulasi serta peningkatan tekanan kapiler. Tekanan Oksigen dan Karbondioksida di dalam darah akan meningkat b. Pengaruh terhadap jaringan otot. Kenaikan temperatur disamping membantu terjadinya relaksasi juga akan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi. Spasme 14 yang terjadi akibat penumpukan asam laktat dan sisa-sisa pembakaran lainya dapat dihilangkan dengan pemberian pemanasan. c. Mengaktifkan kerja kelenjar keringat. Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung syaraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat di daerah yang disinari, sehingga meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil upaya untuk metabolisme melalui keringat. 4. Pengkajian toleransi suhu Pengkajian toleransi suhu tubuh merupakan mengetahui adanya tanda potensial intoleransi terhadap panas pada kondisi fisik klien. Tubuh dapat mentoleransi suhu dalam rentang yang luas. Suhu normal permukaan kulit adalah 340C, tetapi reseptor suhu biasanya dapat cepat beradaptasi dengan suhu lokal antara 150-450C. Nyeri akan timbul jika suhu lokal berada di luar rentang ini. Panas yang berlebihan akan menimbulkan rasa terbakar dan jika terlalu dingin akan menimbulkan mati rasa sebelum rasa nyeri. Sebelum memberikan terapi panas, perawat perlu mengkaji adanya tanda potensial intoleransi terhadap panas pada kondisi fisik klien. Perawat harus mengobservasi area yang akan diberikan penyinaran. Perubahan integritas kulit seperti abrasi, luka terbuka, dan perdarahan meningkatkan resiko cedera pada klien. 15 5. Prosedur penyinaran infra merah (Sujatno, 1993) a. Peralatan. Peralatan yang perlu disiapkan 1) Lampu infra merah. 2) Penyambung kabel. 3) Penutup mata b. Persiapan pasien 1) Melakukan verifikasi program terapi. 2) Mencuci tangan. 3) Menempatkan alat di dekat pasien. 4) Memberi salam kepada pasien dan menyapa nama pasien. 5) Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan. 6) Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien. 7) Menjaga privasi. 8) Mengatur posisi pasien senyaman mungkin. 9) Usahakan sinar jatuh tegak lurus 10) Atur jarak penyinaran 40 - 60 cm, penyinaran selama 10 s/d 30 menit. 11) Memantau respon pasien. 12) Merapikan pasien. 13) Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan. 14) Berpamitan kepada pasien. 15) Membereskan alat. 16 16) Mencuci tangan. 17) Mendokumentasikan tindakan. 6. Efek samping Efek samping penyinaran infra merah antara lain : a. Luka bakar. Inframerah dapat menimbulkan superfisial heat burn yaitu kebakaran karena panas yang terjadi pada daerah superfisial epidermis. Warna merah yang nyata dan bergaris-garis, kadang disertai kerusakan kulit saat atau sesudah pengobatan b. Elektrik syock. Dapat terjadi apabila terdapat kabel penghantar yang terbuka dan tersentuh oleh penderita. c. Meningkatkan keadaan ganggren Pada keadaan defektif arterial blood supply, dengan pemberian penyinaran infra merah justru akan membahayakan penderita yang bersangkutan. d. Headache Yaitu perasan pusing setelah penyinaran infra merah. e. Kerusakan pada mata Sinar infra merah merupakan prodisposisi terjadinya katarak pada mata. 7. Kontra indikasi Kontra indikasi penyinaran infra merah antara lain: 17 a. Daerah dengan isufisiensi darah. b. Gangguan sensibilitas kulit. c. Luka terbuka dan kulit yang rusak. D. Sectio Caesarea 1. Pengertian Sectio Caesarea merupakan prosedur operatif yang dilakukan di bawah anestesia sehingga janin, plasenta dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Fraser, 2009). Menurut Wiknjosastro (2006), Sectio Caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. 2. Indikasi Fraser (2009) menyebutkan indikasi dari persalinan SC antara lain: a. Disproporsi sefalopelvik. b. Plasenta previa. c. Kehamilan kembar lebih dari dua. d. Presentasi bokong. e. Pre eklampsia sedang sampai berat. f. Abnormalitas tertentu pada janin (hidrosephalus). g. Perdarahan antepartum. h. Restriksi pertumbuhan intrauterus. i. Prolaps tali pusat. j. Ruptur uterus. 18 3. Komplikasi Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul pada pasien post SC antara lain (Wiknjosastro, 2006): a. Infeksi puerperal (infeksi masa nifas) setelah operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama terutama setelah ketuban pecah dan tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian antibiotika, akan tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali. b. Perdarahan, disebabkan karena banyaknya pembuluh darah yang terputus dan terbuka serta atonia uteri. c. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan emboli paru yang sangat jarang terjadi. d. Kurang kuatnya jaringan parut sehingga pada kehamilan selanjutnya terjadi ruptura uteri. 4. Masalah yang dialami pasien post SC Masalah yang sering dialami pasien post SC selama beberapa hari pertama dapat didominasi oleh nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas di organ intestinal. Obat nyeri biasanya diresepkan 3-4 jam, tindakan lain untuk mengupayakan kenyamanan seperti mengubah posisi, mengganjal insisi dengan bantal, memberi kompres hangat pada abdomen dan tehnik relaksasi (Bobak, 2005). 19 5. Penatalaksanaan pasien post SC Perawatan wanita setelah melahirkan secara SC merupakan kombinasi antara asuhan keperawatan bedah dengan maternitas, setelah pembedahan selesai, ibu akan dipindahkan ke area pemulihan. Pengkajian keperawatan segera setelah melahirkan meliputi pemilihan dari efek anestesi, status pasca operasi dan pasca melahirkan dan derajat nyeri. Kepatenan jalan nafas dipertahankan dan posisi pasien diatur untuk mencegah aspirasi. Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit selama satu sampai dua jam. Kondisi balutan insisi, fundus dan jumlah lokhea dikaji demikian pula masukan dan keluaran (Bobak, 2005). Ketika ibu dan bayinya dipindahkan ke bangsal pasca natal, tekanan darah, suhu, dan nadi biasanya diukur setiap 4 jam. Infus intravena tetap diberikan, kateter urine tetap terpasang sampai pasien mampu ke toilet, luka dan lokhea harus diobservasi setiap jam (Fraser, 2009). 20 E. Kerangka Teori Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor pencetus : Flatus - Anatesi spinal Faktor Pendukung : - Inframerah F. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep–konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan hubungan fungsional antara variabel satu dengan yang lainnya, variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel dependen dan variabel independen (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu: penyinaran infra merah sebagai variabel bebas (independen) dan waktu flatus pasien post SC sebagai variabel terikat (dependen). Dari landasan teori tersebut, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 21 Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Penyinaran infra merah Pada kelompok eksperimen Waktu flatus Tidak dilakukan penyinaran pada kel.kontrol Waktu flatus G. Variabel Penelitian Pada penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu: penyinaran infra merah sebagai variabel bebas (independen) dan waktu flatus pasien post SC sebagai variable terikat (dependen). H. Hipotesis Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris. Biasanya hipotesis terdiri dari pernyataan terhadap ada atau tidak adanya hubungan antara variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependen variable) (Notoatmodjo, 2005). 22 Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1. HO : Tidak ada pengaruh penyinaran infra merah terhadap waktu flatus pada pasien post SC dengan anestesi spinal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. 2. HA : Ada pengaruh penyinaran infra merah terhadap waktu flatus pada pasien post SC dengan anestesi spinal.