pembentukan peraturan daerah (perda)

advertisement
1
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BANJARNEGARA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI DI
DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA)
SKRIPSI
OLEH :
INDAH TRISIANA M
E1A109004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
2
Lembar Pengesahan Skripsi
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(STUDI DI DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA).
Di susun Oleh:
Indah Trisiana Maharaningtyas
E1A109004
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal 20 Februari 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Satrio Saptohadi S.H, M.H
NIP. 195410181983031002
Tenang Haryanto S.H, M.H
NIP. 196206221987021001
Penguji
H.A.Komari S.H, M.Hum
NIP. 195406061980111001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum
NIP.196409231989011001
3
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya ,
Nama
: INDAH TRISIANA MAHARANINGTYAS
NIM
: E1A109004
Judul Skripsi : PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA)
BERDASARKAN
TAHUN
2011
UNDANG UNDANG
TENTANG
NOMOR 12
PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI DI
DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA).
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenaranya.
Bila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, 17 Februari 2013
Indah Trisiana Maharaningtyas
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :
PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH (PERDA) BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ( Studi di DPRD Kabupaten
Banjarnegara).
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan
dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat
bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih yang tulus kepada:
1.Dr. Angkasa,SH,M.Hum,selaku DekanFakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
2.Bapak Satrio Saptohadi,S.H.M.H selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala
bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan
skripsi ini.
5
3.Bapak Tenang Haryanto,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing II skripsi atas segala
bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah
diberikan selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak H.A.Komari S.H, M.Hum selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan
masukan untuk skripsi ini.
5. Kedua orang tua saya (AKP.Padang Nur W dan Sumarni), kedua kakak saya
(Pandhu Sagita M ,S.S dan Desca Widya M, S.S), keluarga besar saya yang selalu
dan senantiasa mendoakan dan mensupport saya.
6. Teman-teman Chrysoberryl house (mba septi, ute, wira, micha, aqsha, qisty, aini,
ori), bapak dan ibu Adan .
7.Semua teman-teman FH Paralel Prikitiw dan Regular 2009.
8. Dan semua pihak yang selau mendukung saya ,yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian,
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kitas emua.
Purwokerto, 17 Februari 2013
Indah Trisiana Maharaningtyas
6
ABSTRAK
Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini merupakan
pembentukan daerah yang didasarkan pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Banjarnegara nomor 170/16 tahun 2010 tentang Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Kbaupaten Banjarnegara dimana tujuannya adalah untuk
mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara.
Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normative yang mana bahwa
hukum itu sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum sebagai kaidah norma tertulis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam pembentukan peraturan daerah
rancangan peraturan Daerah itu berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik
provinsi, kabupaten/ kota maupun Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati
/Walikota dimana akan dibahas melalui tingkat-tingkat pembicaraan antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten / Kota bersama dengan
Pemerintah Daerah .
Berkaitan dengan tersebut diatas bahwa peraturan daerah berdasarkan pada
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun
2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara. Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah maupun Bupati, yang dibahas melalui dua tingkat pembicaraan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati.Dan
apabila rancangan Peraturan Daerah itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Bupati maka akan disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah untuk dilakukan penetapan.Penetapan dilakukan 7 (tujuh) hari setelah
persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan
maksimal dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah persetujuan
bersama , maka Bupati harus sudah membubuhkan tandan tangan.
Kata kunci : rancangan, peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
7
ABSTRACT
Establishment of regulation based on of regional regulation of Banjarnegara
regency no. 170/16 year 2010 regarding the order at local house of Banjarnegara
regency. It purposes to know procedure establishment of regional at Banjarnegara
regency that based on the regulation of local house at Banjarnegara no. 170/16 year
2010 about regarding the order local house of Banjarnegara regency. In this research
uses yuridis normative method which is the law is written in statury law or rules of
lawas the written norm.
According of regulation no. 12 year 2011 establishment of legislation in
establishment of regional regulation, its draft is coming from Indonesian legislative
assembly either province, regency, city or regional government such as governor,
regent, mayor in which it will be discussed through the discussion between
Indonesian legislative assembly either province, regency, or city with territorial
government.
In connection with this type of legislation mentioned above that the local
regulation is shape based on the regulation of local house at Banjarnegara regency
no. 170/16 year 2010 regarding the order at local house of Banjarnegara regency.
Draft Regulation may be submitted by the Regional Representatives Council and the
Regent, which is discussed through two levels of talks conducted by the Regional
Representatives Council along with the draft Regional Regulation if it is approved by
the Board of Regents of the Regional Representatives and then be submitted to the
leadership of the Board Regional Representatives to do the determination.
Keywords: design, legislation, regulations, local house
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................... vi
ABSTRACT........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………......………………………… 1
B. Perumusan Masalah……..………………………………………... 7
C. Tujuan Penelitian……..…………………………………………... 8
D. Kegunaan Penelitian…..………………………………………….. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemerintahan Daerah
1. Pengertian Pemerintahan…………..………………………… 10
2. Landasan Hukum...................................................................... 14
a. Pasal 18 UUD 1945……………………..………………. 14
9
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah…………………...………………………………. 18
c. Asas-asas Pemerintahan Daerah………………………… 24
B. Peraturan Perundang-undangan
1. Pengertian Perundang-undangan……………………..……. 33
2. Azas Perundang-undangan……………………………….... 36
3. Teori Perundang-undangan……………………………….... 40
4. Materi Muatan Perundang-undangan………………………. 43
5. Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan………… 45
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan……………………………………………. 48
B. Spesifikasi Penelitian ………………………………………….. 49
C. Jenis Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Sekunder…………………………………… 49
2. Bahan Hukum Primer……………………...………………. 50
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum………………………..... 50
E. Metode Penyajian Bahan Hukum……………………………… 51
F. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………. 52
10
B. Pembahasan………………………………….………………….. 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………. …………………………….103
B. Saran …………………………..………………………………..104
DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan
negara kekuasaan (machstaat). Ini berarti bahwa kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum, dalam arti cita hukum
(rechtsidee) yang di dalamnya mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia.1
Hukum yang adil di Indonesia adalah hukum yang bersumber kepada kepribadian
dan filsafat hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan bangsa
Indonesia, mampu melindungi kepentingan-kepentingan material dan spiritual
dan mampu melindungi kepribadian dan kesatuan bangsa, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mengejar cita-cita nasional.2
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ,menyatakan bahwa
negara Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang mencerminkan
bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis karena mengikutsertakan
rakyatnya dalam suatu pengambilan kebijakan.Indonesia sebagai negara hukum
mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan atas hukum yang selaras dengan sistem
1
C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.
538
2
Ibid, hal. 539
12
hukum nasional Indonesia.Sistem hukum nasional Indonesia merupakan suatu
gabungan dari beberapa elemen–elemen hukum yang saling berkesinambungan
untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dari lingkup terkecil yaitu desa sampai lingkup terbesar adalah
negara.Sehingga peraturan yang mengatur itu pun berbeda-beda dari setiap
lingkupnya.
Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan umum
seluruh rakyat, pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan negara yang
biasanya disebut peraturan perundangan. Semua peraturan perundangan yang
dikeluarkan pemerintah harus didasarkan dan/ atau melaksanakan UndangUndang Dasar daripada negara Indonesia. Dengan demikian semua peraturan
perundangan Republik Indonessia
dikeluarkan harus berdasarkan dan/ atau melaksanakan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Pasal 1 angka (2) di dalam Bab I Ketentuan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan
bahwa
“Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.”
13
Hal tersebut menjelaskan, bahwa perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam
hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat
atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih
melalui pemilihan umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh
lembaga eksekutif yang menjalankan legislasi dan mendapatkan delegasi
kewenangan untuk mengatur (regulasi) itu dari legislasi yang bersangkutan.3
Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang interdisipliner yang berhubungan
dengan ilmu politik dan sosiologi tentang pembentukan hukum Negara. Ilmu
pengetahuan perundang-undangan secara garis besar terbagi kedalam dua bagian
yakni teori perundang-undangan (gezetzdebungsteorie) dan ilmu perundangundangan (gezetzgebungzlehrc).4
Pembentukan peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu
syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud
apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundangundangan. Dengan kata lain bahwa pembentukan Undang-Undang akan
mendukung proses pembangunan hukum nasional dan memenuhi harapan
masyarakat jika dilandasi oleh adanya suatu kajian yang memadai dan
3
Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal
27-28
4
Azis Syamsudin, 2011,Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Grafika,Jakarta,
hal.2.
14
komprehensif melalui prosedur yang tertata dalam tahap-tahap yang tersusun dan
adanya suatu teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membentuk Undang-undang.
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi;dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berbicara jenis peraturan perundang-undangan, kita perlu pemahanan
lebih dalam terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana yang
dimaksud didalamnya lebih menekankan pada ketentuan hierarki atau
perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Setiap jenis
peraturan perundang-undangan tersebut di atas memiliki fungsi, tujuan, teknik
pembentukan
yang
berbeda-beda,karena
dalam
pemakaiannya
berbeda.Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
itu
pun
15
Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :
“Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan PerundangUndangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati /Walikota.”
Berdasarkan pengertian peraturan daerah tersebut di atas, jelas menyebutkan
bahwa kedudukan DPRD, baik di tingkat provinsi maupun di Kabupaten dan kota
jelas merupakan lembaga menjalankan kekuasaan legislatif di daerah. Di samping
itu, pengisian jabatan keanggotaannya juga dilakukan melalui pemilihan umum.
Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota samasama dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya lembaga legislatif dan eksekutif,
sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, dan sama-sama terlibat dalam proses
pembentukan suatu Peraturan Daerah. Karena itu, seperti halnya Undang-Undang
di tingkat pusat, Peraturan Daerah dapat dikatakan juga merupakan produk
legislatif di tingkat daerah yang bersangkutan, dan tidak disebut sebagai produk
regulatif atau executive acts.5
Disusunnya Badan-Badan Perwakilan di daerah bukan untuk menyusun dan
membentuk ataupun mendirikan negara baru atau merubah Undang-Undang
Dasar 1945 baik sebagian maupun keseluruhan,melainkan untuk
menegakan,mempertahankan,mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan
UUD 1945 serta melaksanakan demokrasi.6
5
Jimly Assiddiqqie,op.cit, hal. 32-33
6
Kansil,C.S.T,.Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,Aksara Baru,Jakarta,1979.hal 12
16
Adanya pembentukan DPRD di daerah dapat pula dikatakan sebagai adanya
suatu perwujudan dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mana diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah yang mana lebih menekankan pentingnya otonomi daerah dalam rangka
pemerataan pembangunan nasional.Hal ini didasarkan pada suatu asumsi yang
mana masyarakat daerah yang bersangkutanlah yang lebih mengetahui dinamika
daerahnya sendiri.
Pembentukan peraturan daerah itu merupakan suatu pekerjaan yang
sulit,karena dituntut
kesempurnaan seperti
dalam hal
sistematis,tatanan
bahasa,istilah dan juga banyaknya berbagai jenis materi yang akan diatur sesuai
dengan kebutuhan. Suatu peraturan yang baik dalam persiapan pembuatannya
membutuhkan pengetahuan mendalam dari materi yang akan diatur,memiliki
kemampuan untuk menemukan inti dari fakta-fakta yang sudah tumbuh sejak
lama serta mengungkap ke dalam bentuk peraturan yang singkat dan dengan
bahasa yang jelas.
Wewenang dalam membuat peraturan daerah terdapat pada
eksekutif /
Kepala Daerah dan legislatif / DPRD. Dimana masing-masing badan baik
eksekutif maupun legislatif berhak mengajukan rancangan peraturan daerah ,dan
dalam hal penetapan peraturan daerah kepala daerah harus mendapat persetujuan
dari
DPRD.Peraturan
daerah
memiliki
kareakteristik
yang
sifatnya
mengatur,yakni mengatur hubungan antara pemerintah daerah, masyarakat dan
17
stake hoder local seperti dunia usaha.Peraturan daerah bukan hanya mengatur
hal-hal yang menyangkut atau berhubungan dengan kehidupan politik , sosial dan
budaya masyarakat. Daerah Kabupaten /Kota di Indonesia sangatlah banyak,yang
memiliki keanekaragaman budaya,adat istiadat yang berbeda.Peran Pemerintah
Daerah sangatlah penting dalam mengatur masyarakatnya, oleh karena itu dalam
pembuatan Peraturan Daerah harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya
yang cenderung dinamis.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis terdorong
untuk melakukan penelitian dengan judul “Pembentukan Peraturan Daerah
(PERDA) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Studi di DPRD Kabupaten
Banjarnegara).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan?
2. Bagaimanakah
prosedur
pembentukan
Peraturan
Daerah
berdasarkan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16
18
Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulisan
ini memiliki tujuan:
1. Untuk mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
2. Untuk mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16
Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Dalam penelitian ini di harapkan agar hasil penelitian nantinya dapat
memberikan ataupun menambah pengetahuan terutama dalam hukum hukum
tata negara di Indonesia, berkaitan dengan proses pembentukan peraturan
perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
dan peraturan atau Undang-Undang sebelumnya serta berdasarkan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun
19
2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara.
2. Kegunaan Praktis
Bagi praktisi hukum, dan pelaksana lembaga pemerintahan atau lembaga
Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif yang ada di Indonesia penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan atau menambah pengetahuan tentang
hal – hal yang berhubungan dengan proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemerintahan Daerah
1. Pengertian Pemerintahan
Dalam kepustakaan banyak dijumpai istilah “pemerintah” dan
“pemerintahan”.Kedua
istilah
tersebut
dalam
keseharian
seolah-olah
mempunyai pengertian yang sama, namun sebenarnya dalam kajian
etimologis, istilah pemerintah berasal dari kata „perintah” yang berarti
menyuruh melakukan sesuatu, sehingga dapat dikatakan bahwa:
1) Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara atau
badan yang tertinggi, yang memerintah suatu negara, seperti
kabinet merupakan suatu pemerintah;
2) Pemerintahan dilihat dari segi tata bahasanya merupakan kata
“jadian” yang memperoleh akhiran “an”, artinya pemerintah
sebagai subyek melakukan tugas/kegiatan. Sedangkan cara
melakukan tugas/kegiatan itu disebut sebagai “pemerintahan”
atau dengan kata lain, “pemerintahan” adalah perbuatan
manusia. Sedangkan akhiran “an” mengandung arti jamak.7
Apabila dipahami terhadap kedua istilah tersebut ,maka secara dasar
memiliki perbedaan yang signifikan, pemerintah mengandung
pengertian
yang menunjuk pada suatu badan atau alat kelengkapan yang menjalankan
7
Muhammad Fauzan,Hukum Pemerintahan Daerah(Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah),STAIN Press,Purwokerto,2002,hal.16
21
suatu fungsi. Sedangkan pemerintahan mengandung pengertian menunjuk
pada suatu fungsi yang dijalankan atau dikerjakan. Sehingga dapat
disimpulkan dari kedua istilah tersebut bahwa pemerintah lebih mengarah
kepada subjek sedangkan pemerintahan kepada objek.
Suatu organ pemerintah yang menjalankan fungsinya dalam suatu
bidang tertentu mempunyai lingkup arti yang berbeda,yaitu pemerintah dalam
arti sempit dan luas.
a. Pemerintah dalam arti sempit adalah menunjuk kepada aparatur atau
alat perlengkapan negara yang melaksanakan tugas dan kewenangan
pemerintahan dalam arti sempit yang diartikan hanya sebagai tugas
dan kewenangan negara dalam bidang eksekutif saja.
b. Pemerintah dalam arti luas adalah menunjuk kepada semua aparatur
/alat perlengkapan negara sebagai kesatuan yang menjalankan segala
tugas dan kewenangan / kekuasaan negara atau pemerintahan dalam
arti luas meliputi bidang legislative,eksekutif,dan yudikatif.8
Istilah “penyelenggaraan pemerintahan” adalah merupakan suatu
bentuk proses adanya pelaksanaan kegiatan yang merupaka dengan tugas atau
kewenangan negara yang dimiliki oleh badan pemerintah dalam hal ini
eksekutif saja. Hal ini berlaku baik ditingkat Pusat maupun Daerah yang
bermula dari adanya suatu pembagian kekuasaan dari pusat ke daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembagian kekuasaan dibagi menjadi
8
Ibid.,hal 17
22
dua yaitu pembagian kekuasan secara horizontal dan pembagian kekuasaan
secara vertikal.Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah merupakan
suatu pembagian kekuasaan yang ada dalam suatu negara yang mana
diserahkan ke dalam tiga badan yang sejajar kedudukannya yaitu kekuasaaan
eksekutif yang diserahkan kepada pemerintah,kekuasaan legislatif kepada
parlemen dan yudikatif kepada peradilan.Sedangkan pembagian kekuasaan
secara vertikal adalah merupakan pembagian kekuasaan dari pemerintah yang
lebih tinggi (pusat) ke yang lebih rendah “daerah”.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa :
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik,.
Kemudian Pasal 4 ayat (1) menentukan : “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dan
Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa : “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”
Berdasarkan Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka
(2), pemerintahan daerah yaitu: penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
23
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945.
Sehingga
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah
dan dengan pemerintah lainnya, yang meliputi hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya.
Ketentuan tersebut berbeda dengan yang ada dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kondisi
pemerintah daerah pada masa orde baru lebih menonjolkan peran eksekutif
sebagai
penyelenggara
pemerintah
daerah,seiring
dengan
adanya
pemberlakuan otonomi daerah yang baru maka Undang-Undang ini
menghendaki pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
sebagai suatu lembaga legislatif. Selain itu, Pemerintah daerah adalah
pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga
pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daaerah (DPRD).9Pemerintah daerah terdiri dari Gubernur, Bupati dan
Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Lembaga
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
9
H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.
140.
24
Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
tersebut
diatas,bahwa
penyelenggara pemerintahan di daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD).Dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan
,pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi,tugas pembantuan serta
dekonsentrasi sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, sedangkan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
2.Landasan Hukum
a. Pasal 18 Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara kesatuan berbentuk republik.” Sehingga adanya daerah yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan. Selain itu,
berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuklah daerah otonom yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang.
25
2. Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
4. Gubernur,Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat.
6. Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan
– peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan pembentukannya sesuai
dengan pasal 18 UUD 1945 maka kepada daerah diberikan wewenangwewenang untuk melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh
karena itu, setiap pembentukan Daerah Otonom Tingkat I ataupun II harus
selalu
memperhatikan
syarat-syarat
kemampuan
ekonomi,jumlah
penduduk,luas daerah pertahanan dan keamanan yang memungkinkan
26
daerah otonom melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.10
Selanjutnya bahwa di dalam pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah provinsi,kabupaten
dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur sebagaimana
mestinya oleh undang-undang dengan tetap memperhatikan keragaman
daerah.Hubungan yang diatur antara lain hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur berdasarkan undang-undang
dan dilaksanakan secara selaras, serasi dan seimbang. Selain itu dalam pasal
18 B UUD 1945 ,ditegaskan bahwa :
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undangundang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia,yang diatur didalam undang-undang.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pasal pasal tersebut (pasal
18, 18A, 18B ), Maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
10
B.N Marbun,DPRD Pertumbuhan,Masalah dan Masa Depannya,Jakarta,Ghalia Indonesia,1983,hal
83
27
a. Daerah bukan merupakan atau tidak bersifat “staat” atau
negara (dalam negara);
b. Daerah itu adalah merupakan daerah otonom atau daerah
administrasi;
c. Wilayah Indonesia adalah merupakan satu kesatuan yang akan
dibagi dalam daerah provinsi, dan dari daerah provinsi akan
dibagi ke dalam daerah –daerah yang lebih kecil seperti
kabupaten atau kota;
d. Negara Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serata
adanya suatu kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
dengan budanyanya sendiri dan hak-hak tradisionalnya, dan ini
merupakan dasar dalam pembentukan Daerah Istimewa dan
pemerintah desa;
e. Dalam suatu daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum;
f. Adanya suatu prinsip dalam menjalankan otonomi yang seluasluasnya (Pasal 18 ayat 5);
g. Adanya suatu prinsip di daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan rumah tangganya sendiri berdasar pada asa otonomi dan
tugas pembantuan.
28
h. Bahwa hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah harus
dijalankan selaras dan adil.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi
daerah,dipandang perlu untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi,peran
serta masyarakat,pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.11
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dan Lembaran Negara Republik Indonesia, diatur secara jelas
mengenai Otonomi Daerah yang tertulis dalam penjelasan UUD 1945 yaitu:
Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam menghadapi perkembangan keadaan baik didalam maupun
diluar negeri serta tantangan persaiangan global dipandang perlu adanya
penyelenggaraan oronomi daerah dengan memberikan kewenangan yang
11
HAW Widjaja,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2005,hal
36
29
luas ,nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan peraturan,pembagian,pemanfaatan sumber daya nasional
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi,peran serta masyarakat,pemerataan dan keadilan serta potensi dan
keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia.12
Sejak
dimunculkannya
otonomi
daerah
yang
pelaksanaannya
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang ternyata
dalam
kenyataannya
tidak
sesuai
dengan
perkembangan
keadaan
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,sehingga perlu
direvisi dan kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.Otonomi daerah berarti hak,wewenang dan
kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan
perundang-undangan otonomi daerah.
Otonomi daerah itu harus merupakan otonomi yang bertanggung
jawab dalam arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan
dengan tujuannnya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh
pelosok negara atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang
diberikan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara.
12
Ibid hal 40
30
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah dikemukakan bahwa daerah otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
masyarakat dalam sistem negara Kestuan Republik Indonesia. Selain itu
dalam pasal 10 (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , disebutkan
bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya di daerah,
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.Sehingga pada hakekatnya pembentukan
daerah otonom dimaksud untuk memperlancar roda pemerintahan yang
berorientasi pada pembangunan yang melibatkan adanya partisipasi dari
masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan,pemerintah daerah berpedoman
pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang dalam Hukum Administrasi
Negara dikenal dengan “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik” atau
“AUPB”.Di negara Belanda ,AUPB ini sudah diterima dan sebagai norma
hukum tak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan.
Secara Yudiris asas-asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam pasal
20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yang terdiri atas:
31
1. Asas Kepastian Hukum
Yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan landasan pertauran perundang-undangan,kepatutan dan
keadilan dalam setiap kebijaksanaan penyelenggaraan negara.
2. Asas Tertib Penyelenggara Negara
Yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan dan keseimbangan
dalam mengendalikan penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan Umum
Yaitu asas yang mendahulukan gankesejahteraan umum dengan cara
aspiratif,akomodatif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan
Yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar,jujur dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi golongan dan rahasia negara.
5. Asas Profesionalitas
Yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggaraan negara.
6. Asas Akuntabilitas
Yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
32
7. Asas Proporsionalitas
Yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari
kegiatan
penyelenggaraan
negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Asas Efisiensi dan Efektivitas
Yaitu asa yang menyangkut tentang pencapaian tujuan dari
kebijaksanaan
yang
ditetapkan
yaitu
untuk
mewujudakan
pemerintahan berdaya guna dan berhasil guna khususnya berkenaan
dengan prosedur.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah,mengatur bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah ,daerah
mempunyai
hak
dan
kewajiban.Adapun
hak
yang
dimiliki
dalam
menyelenggarakan otonomi meliputi:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. Memilih pimpinan daerah;
3. Mengelola aparatur daerah;
4. Mengelola kekayaan daerah;
5. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berada di daerah;
6. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;dan
7. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
33
Selain itu, dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
daerah juga dibebani beberapa kewajiban yaitu:
1. Melindungi
masyarakat,menjaga
persatuan,kesatuan
dan
kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Inodnesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan pelayanan fasilitas kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup;
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan
sesuai dengan kewenangannya;
15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, hak dan kewajiban tersebut
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja dalam sistem pengelolaan di daerah.
Sesuai dengan asas-asas yang dikemukakan diatas,bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dilakukan secara efektif,efisien,bertanggung
34
jawab,transparan dan sesuai atau taat terhadap peraturan perundangan yang
berlaku.
Walaupun demikian tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan
pada daerah menjadi urusan rumah tangganya.Tetapi berat bagi pemerintah
pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang
masih menjadi wewenangnya atas dasar asas desentralisasi dan tugas
pembantuan,mengingat keterbatasannya kemampuan perangakat pemerintah
pusat di daerah.
c. Asas-asas Pemerintahan Daerah
Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam suatu
konteks negara kesatuan merupakan salah satu hal yang penting.Adanya
satuan pemerintahan di tingkat daerah adalah konsekuensi adanya pembagian
kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum.Pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah adalah pembagian kekuasaan secara vertikal, yang
mana dalam hal tugas dan wewenang pemerintah yang sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan ,pemerintah harus berpedoman
terhadap beberapa asas yaitu :13
1. Asas Keahlian,asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah
pusat.Semua soal diolah oleh para ahli-ahli antara lain dalam
susunan kementerian-kementerian.Yang memegang pimpinan pada
13
Muhammad Fauzan,Op.cit,.hal 38
35
kementerian-kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan-urusan
yang menjadi kompetensinya;
2. Asas Kedaerahan,dengan bertambah banyaknya kepentingan –
kepentingan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat
(dalam
arti
luas)
karena
bertambah
majunya
masyarakat,pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingankepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas
kedaerahan dalam melakukan pemerintahan.
Berdasarkan asas keahlian,maka setiap urusan pemerintahan harus
secara benar diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian dalam
bidangnya.Adapun asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tertentu.
Selain
itu,
adanya
keterlibatan
pemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan urusan - urusan pemerintahan dilaksanakan melalui beberapa
asas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada 3 asas yang digunakan, antara
lain :
1. Asas Desentralisasi
Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin de=
lepas dan centrum= pusat,dengan demikian berarti melepaskan dari pusat.
Dari sudut ketatanegaraan,yang dimaksud dengan desentralisasi ialah
pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah yang mengurus
36
rumah tangganya sendiri.14Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai
dalam
bidang
pemerintahan
yang
merupakan
kebalikan
daari
sentralisasi.Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan
kekuasaan – kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan,inisiatif dan administrasi sendiri.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ,desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud
dengan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sisten Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa pakar asing maupun dalam negeri juga memberikan
pendefinisian mengenai desentralisasi dengan berbagai variasi dan
perkembangannya,antara lain :15
a. Webser
Webser mengatakan bahwa :
“To decentralize means to devide and distribute,as governmental
administration;to withdraw from the center or place of
14
Victor M Situmorang,Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah,Sinar Grafika,Jakarta,1994,hal
33
15
Muhammad Fauzan, Op.cit ,.hal 44
37
concentration”.(desentralisasi
berarti
membagi
dan
mendistribusikan,misalnya
administrasi,pemerintahan;mengeluarkan dari pusat atau tempat
konsentrasi.)
b.
Rondinelli dan Chemma
Menurut Rondinelli dan Chemma desentralisasi adalah
“… the transfer of planning,decision making,or administrative
authority
from
the
central
government
to
its
field
organizations,local administrative units,semi-autonomous and
parastatal
organizations.”(desentralisasi
perencanaan,pembuatan
keputusan
adalah
atau
penyerahan
kewenangan
administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi
tingkat
bawah,kesatuan-kesatuan
administrasi
daerah,semi
otonomii dan organisasi…)
c. J.H.A Logemann
Menurut J.H.A Logemann desentralisasi adalah
“Van
decentralizatie
spreek
men
als
regel,iindien
overheidswerkzaamheid va de landoverheid wordt afgewenteld op
zelfregerende gemeenschappen.”(orang berbicara desentralisasi
sebagai ketentuan,jika pekerjaan penguasa negara dilimpahkan
kepada persekutuan-persekutuan yang berpemerintahan sendiri).
38
Desentralisasi merupakan suatu bentuk pemencaran kekuasaan yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi, karena desentralisasi bersifat kenegaraan,
sehingga penyelenggaraan desentralisasi merupakan bagian dari organisasi
negara dan menunjukan adanya suatu tatanan negara.Berkaitan dengan
desentralisasi,cirri-ciri desentralisasi meliputi :
a. Bentuk pemencaran adalah penyerahan;
b. Pemencaran terjadi kepada daerah;
c. Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan; dan
d. Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan daerah.16
Ada dua jenis
desentralisasi
yaitu desentralisasi
territorial
dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah suatu penyerahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan batas
pengaturannya adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah
penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus suatu fungsi tertentu
dan batas pengaturan yang termaksud adalah jenis dan fungsi itu sendiri.
Apabila dilihat dari sudut pandang organisasi pemerintahan,desentralisasi
semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien yanitu yang
lebih dianggap utama untuk diurus pemerintah setempat dan pengurusannya
diserahkan kepada daerah.
16
Ibid
39
2. Asas Dekonsentrasi
Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan
Daerah,
dekosentrasi
adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan
/ atau kepada instansi vertikal di wilayah itu.
Amrah muslimin mengartikan dekonsentrasi ialah pelimpahan dari
sebagian kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang
ada di daerah. Irawan Soejito mengartikan dekonsentrasi adalah pelimpahan
kewenangan penguasa kepada pejabat bawahannya sendiri. Sedangkan
Joeniarto mengatakan dekonsentrasi adalah pemberian wewenang oleh
pemerintah pusat (atau pemerintah atasannya) kepada alat-alat perlengkapan
bawahan untuk menyelenggarakan urusan-urusannya yang terdapat di
daerah.17
R.D.H Koesoemahatmadja memberikan batasan bahwa yang dimaksud
dengan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari alat perlengakapan
negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya,misalnya menteri kepada
Gubernur,dari Gubernur kepada Bupati dan seterusnya.18
Dekonsentrasi dianggap sebagai salah salah satu bentuk sentralisasi
karena ada pemusatan kekuasaan negara pada pemerintah pusat atau
17
18
Ni‟Matul Huda,Hukum Tata Negara Indonesia,Rajawali Press,Jakarta,2011,hal 314
R.D.H Koesoemahatmadja dalam Muhammad Fauzan,Op.cit ,hal 51
40
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau
aparatnya untuk melakukan wewenang tertentu dalam hal penyelenggaraan
urusan pemerintahan pusat di daerah. Dekonsentrasi lebih menunjuk pada
kecenderungan-kecenderungan
untuk
menyebarkan
fungsi
–
fungsi
pemerintahan pada suatu jenjang tertentu secara meluas.
Berdasarkan uraian diatas ,dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri
dekonsentrasi antara lain:
a. Adanya suatu bentuk pemencaran kekuasaan yang berupa pelimpahan;
b. Pemencaran kekuasaan terjadi pada pejabat itu sendiri (perorangan);
c. Yang dipencarkan adalah wewenang untuk melaksanakan sesuatau;
d. Hal yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
1. Segi Wewenang ,asas ini memberikan atau melimpahkan wewenang
dari pemerintah pusat ke pejabat daerah untuk meelaksanakan tugas
pemerintah pusat yang ada di daerah.
2. Segi Pembentuk Pemerintah ,dapat membentuk pemerintah local
administrasi di daerah,untuk diberi tugas menyelenggarakan urusan
pemerintah pusat di daerah.
3. Segi Pembagian wilayah ,asas ini membagi wilayah negara menjadi
wilayah daerah-daerah pemerintah local administratif.19
3. Asas Tugas Pembantuan
19
Ni‟Matul Huda,Op.cit,.hal 315-316
41
Istilah medebewind sebagai terjemahan dari tugas pembantuan untuk
pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven.Secara etimologis,tugas
pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda medebewind yang
berasal dari kata ‘mede’= serta ,turut
dan bewind = berkuasa atau
memerintah.Medebewind merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun
oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi,oleh yang rendah.20
Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada
Daerah dan / atau desa ,dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/kota dan /
atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Apabila ditinjau dari kaitan tugas pembantuan dengan desentralisasi
dan hubungan antara pusat dan daerah ,maka dalam pelaksanaan tugas
pembantuan seharusnya bertitik tolak dari hal-hal sebagai berikut:
a. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi .Dengan demikian
seluruh
pertanggungjawaban
mengenai
penyelenggaraan
tugas
pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang bersangkutan;
b. Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi karena itu daerah
mempunyai
kebebasan
untuk
menentukan
melaksanakan tugas pembantuan; dan
20
Ibid., hal 69
sendiri
cara-cara
42
c. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi,mengandung unsur
penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen ).Perbedaan
kalau otonomi adalah penyerahan penuh, sedangkan tugas pembantuan
adalah penyerahan tidak penuh.21
Tugas Pembantuan “medebewind” itu merupakan suatu realisasi
dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,dimana
dalam pelaksanaanya diperlukan adanya koordinasi antara pemerintah daerah
dengan berbagai instansi yang terkait yang menyangkut segala aspek
kehidupan masyarakat yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal
yaitu :
1.) Materi yang dilaksanakan tidk termasuk rumah tangga daerah otonom
untuk melaksanakannya.Dalam penyelenggaraan pelaksanaan itu
daerah otonom mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala
sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan yang
mengharuskan member kemungkinan untuk itu.
2.) Yang dapat diserahkan hanya daerah-daerah saja.
Berdasarkan pasal tersebut ,maka yang terpenting dalam pelaksanaan
tugas pembantuan adalah adanya pertanggungjawaban yang diemban
oleh satuan pemerintahan yang membantu. Ketika menjalankan
“medebewind” urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah masih tetap menjadi urusan pusat dan daerah yang lebih atas
21
Ibid ,hal 75
43
tidak beralih menjadi urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan
,dan apabila dalam hal daerah yang dimintakan bantuan tidak dapat
diminta pertanggungjawaban maka pelaksanaan tugas pembantuan itu
dapat dihentikan.
B. Peraturan Perundang-undangan
1. Pengertian Perundang-undangan
Ilmu perundang-undangan adalah suatu ilmu yang berorientasi dalam
hal melakukan perbuatan (dalam hal ini adalah pembentukan peraturan
perundang-undangan dan bersifat normatif.Selanjutnya Burkhardt Krems
dalam bukunya Maria Farida Indrati menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan(Gezetzgebungswissenschaft)
merupakan
ilmu
yang
interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Teori Perundang-undangan (Gezetzgebungtheorie),yang berorientasi
pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertianpengertian dan bersifat kognitif;
2. Ilmu Perundang-undangan (Gezetzgebungzlehre),yang berorientasi
pasa melakukan perbuatan dlam hal
pembentukan peraturan
perundang-undangan dan bersifat normatif.
Burkhardt Krems membagi lagi ke dalam tiga bagian yaitu :
1. Proses Perundang-undangan (Gezetzgebungfahren);
2. Metode Perundang-undangan (Gezetzgebungmethode);
44
3. Teknik Perundang-undangan (Gezetzgebungtechnik).22
Lingkup batasan pengertian undang-undang tidak diterangkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 hanya
menyebutkan kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan
persetujuan bersama dengan pemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya
menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undangundang terhadap UUD.
Salah satu bentuk undang-undang atau statute yang dikenal dalam
literatur adalah local statute atau locale wet, yaitu undang-undang yang
bersifat lokal. Dalam literature dikenal pula adalah istilah local constitution
atau locale grondwet. Di lingkungan negara-negara federal seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan Jerman, dikenal adanya pengertian mengenai Konstitusi
Federal (Federal Constitution) dan Konstitusi Negara-negara Bagian (State
Constitution).23
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum (suatu
pengantar)
menyebutkan
bahwa
pengertian
undang-undang
dapat
dikategorikan kedalam 2 (dua) pengertian, diantaranya :
a. Undang-undang dalam arti materiil
Undang-undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang
dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang
secara umum.
b. Undang-undang dalam formil
22
Maria Farida Indrati ,Ilmu Perundang-undangan Dasar -Dasardan Pembentukannya,Jilid I
,Kansius,Yogyakarta,2007 hal 2-3
23
Jimly Asshiddiqie, tanpa tahun, Perihal Undang-Undang, tanpa penerbit dan kota, hal. 91
45
Keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut
undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain
merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “undangundang” karena cara pembentukannya.24
Istilah “perundang-undangan” (legislation atau gezetsgebung )
mempunyai dua pengertian yang berbeda,yaitu :
1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan-peeraturan negara baik ditingakt pusat maupun
di tiingkat daerah ; dan
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara,yang merupakan
hasil proses pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pust
maupun di tingkat daerah.25
Disamping itu, ada 3 (tiga) fungsi utama dari ilmu perundangundangan ,yaitu :
1. Untuk
memenuhi
kebutuhan
hukum
dlam
kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara yang senantiasa berkembang;
2. Untuk menjembatani lingkup hukum adat dengan hukum yang tidak
tertulis lainnya; dan
3. Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi
masyarakat.26
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila berbicara
tentang Ilmu perundang-undangan maka dalam prosesnya akan membahas
pula mengenai pembentukan peraturan-peraturan negara dan sekaligus semua
24
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 72
25
Aziz Syamsuddin,Op.cit,. hal 13
26
Ibid
46
peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan
negara baik yang ada ditingkat pusat maupun yang ada ditingkat daerah.
2. Azas Perundang-undangan
Peraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya berpedoman pada
asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai aksioma yang
memberi jalan pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau aturan
yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam
pelaksanaannya atau dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan universal yang
berupa pemikiran-pemikiran dasar untuk dijadikan landasan pengaturan
bersama dalam membuat peraturan perundang-undangan. Asas-asas sebagai
dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Asas lex speciali derogat lex generalis
b. Asas le posteriore lex priori
c. Asas undang-undang tidak berlaku surut
d. Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat
e. Asas welvaartstaat.27
Asas-asas lain yang perlu dikemukakan adalah asas yang merupakan
pegangan para pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu :
a. Asas deskresi
b. Asas adaptasi
27
Faried Ali, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 197
47
c. Asas kontinuitas
d. Asas prioritas.28
I.C Van der Vlies,membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut ke dalam asas formal dan asas material.
Asas-asas formal meliputi :
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling)
b. Asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ )
c. Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheids beginsel )
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitverbaarheid )
e. Asas Konsensus (het beginsel van consensus )
Asas – asas material meliputi :
a. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminology en duidelijke systematiek )
b. Asas Tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid )
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechszekerheidsbeginsel )
d. Asas kepentingan hukum (het rechtszekerheidsbeginsel )
e. Asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasar atas
hukum yang dianut negara Indonesia
f. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het
beginsel van de individuele rechtsbedeling ).
A.Hamid .Attamimi dalam bukunya Aziz Syamsuddin berpendapat
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut
adalah sebagai berikut:
28
Ibid, hal 200
48
1. Cita hukum Indonesia adalah Pancasila;
2. Asas negara berdasarkan atas hukum dan asa pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi;
3. Asas-asas lainnya :
 Asas –asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada
dalam keutamaan hukum;
 Asas pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi yang
menempatkan
undang-undang sebagai
dasar
dan
batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.29
Menurut Purnadi Purbacaraka ,ada enam jenis asas perundang
undangan yaitu:
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
,mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali );
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogate lex priori );
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai
kesejahteraan
individu,melalui
pembaharuan
atau
pelestarian.30
Berdasarkan perkembangannya ada 2 (dua) jenis asas, yaitu:
29
Aziz Syamsuddin,Op.cit hal 29-31
30
Purnadi Purbacaraka dkk,Perundang-undangan dan Yurisprudensi,Alumni,Bandung,1979,hal 15
49
1. Asas yang berlaku secara Internasional
Untuk membuat perundang-undangan terdapat 5 (lima) asas yaitu:
-
Lex specialis derogate legi generali
-
Lex Posterior derogate legi priori
-
Lex superior derogate legi inferiori
-
Undang-undang tidak berlaku surut (Asas Retroaktif)
-
Undang-undang tidak boleh diganggu gugat
2. Asas yang berlaku secara Nasional
Asas-asas peraturan perundng-undangan di Indonesia yang
berdasarkan ketentuan terbaru dalam pasal 5 dan pasal 6 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan,antara lain:
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan asas pembentukan peraturab
perundang-undangan yang baik,antara lain :
- Kejelasan Tujuan;
- Kesesuaian antara jenis , hierarki dan materi muatan;
- Dapat dilaksanakan;
- Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
- Kejelasan Rumusan;
- Keterbukaan.
50
Sedangakan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,menyebutkan bahwa materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas :
- Pengayoman;
- Kemanusiaan;
- Kebangsaan;
- Kekeluargaan;
- Kenusantaraan;
- Bhineka Tunggal Ika;
- Keadilan;
- Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
- Ketertiban dan kepastian hukum ; dan / atau
- Keselarasan,Keserasian dan Keseimbangan.
3. Teori Perundang-undangan
Suatu norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif tergantung
dari norma hukum yang lebih tinggi atau di atasnya.Sehingga apabila norma
hukum di atas dihapus maka norma hukum yang di bawahnya secara otomatis
terhapus .
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,tetapi
norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma
51
dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.31
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum Hans Kelsen
mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie),
dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi,norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma
Dasar (Grundnorm).32
Selain itu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal
ada 3 (tiga ) landasan teori agar suatu perundang-undangan itu baik.Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Gustav Redburg dari Eropa bahwa ada 3 (tiga)
landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diterapkan di
negara demokrasi antara lain :
a. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek yuridis.
b. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek filosofis.
c. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek sosiologis.
31
Maria Farida Indrati ,Op.cit,.hal 25
32
Aziz Syamsuddin,Op.cit,. hal 15
52
Hal itu sesuai yang dikemukakan oleh Rosjidi Ranggawijaya,bahwa
perturan perundang-undangan yang baik harus memiliki tiga landasan yaitu
landasan folosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis.33
a. Landasan Filosofis
Dasar filosofis merupakan cita hukum. Atau dengan kata lain bahwa
filsafat adalah pandangan hidup bangsa dan merupakan nilai-nilai moral
dari suatu bangsa tersebut.Dimana dalam moral itu berisi nilai baik dan
nilai buruk.Nilai baik adalah nilai yang mengandung keadilan,kebenarn,
kejujuran dan semua nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat.
b. Landasan Sosiologis
Dalam
membuat
suatu
peraturan
perundang-undangan
harus
didasarkan pada daya guna dan hasil guna, mempertimbangkan nilai-nilai
sosial yang berlaku dalam masyarakat.Peraturan yang dibuat harus
berdasarkan pada keyakinan umum dan kesadaran masyarakat karenan
nantinya peraturan itu akan diberlakukan kepada masyarakat.
c. Landasan Yuridis
Landasan yang menekankan bahwa dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan itu harus memberikan kepastian hukum seperti:
ketepatan waktu,tidak ada diskriminasi .Selain itu, landasan yuridis sangat
penting karena akan menunjukan adanaya kewenangan dari pembuat
33
Rosjidi Ranggawijaya,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,Mandar Maju, Bandung,
1998,hal 43
53
undang-undang, adanya hierarki (tidak bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi), adanya kesesuaian jenis, materi muatan yang akan
diatur. Landasan yuridis menjadi dasar kewenangan pembuat peraturan
perundang-undangan.Sehingga apabila pejabat atau badan hukum tidak
disebutkan dalam undang-undang memiliki kewenangan membuat suatu
peraturan maka pejabat atau badan hukum itu tidak berwenang untuk
itu.Seperti dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk Undangundang.
4. Materi Muatan Perundang-undangan
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa:
Materi Muatan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Dalam hal membuat suatu perundang-undangan terkait dengan adanya
materi muatan yang akan diatur, dala m Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menentukan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan asas :
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
54
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka Tunggal Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan / atau
j. Keseimbangan, keserasian, keselarasan.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa materi
muatan yang diatur dengan undang-undang berisi:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :
1. Hak-hak asasi manusia
2. Hak dan kewajiban warga negara
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
4. Wilayah negara dan pembagian daerah;
5. Kewarganegaraan dan kependudukan; dan
6. Keuangan negara34
b. Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undangundang;
34
Aziz Syamsuddin,Op.cit,,hal 43
55
a. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi;dan / atau
c. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
5. Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan
Indonesia adalah negara hukum , sehingga konsekuensi dari negara
hukum bahwa harus mencakup elemen penting seperti : adanya perlindungan
Hak Asasi Manusia, pembagian dan pemisahan kekuasaan, pemerintahan
berdasarkan dengan undang-undang.Terkait dengan pemerintahan berdasar
dengan undang-undang maka segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
harus berdasarkan hukum. Hukum yang dibuat untuk mengatur segala
penyelenggaraan pemerintahan itu berlandaskan sumber hukum yang lebih
tinggi.Berdasarkan perkembangannya Indonesia mempunyai 4 (empat)
landasan hukum perundang-undangan, antara lain :
1. Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan
Produk
Perundang-undangan
Hukum
yang
pertama
Republik
yang
Indonesia.Merupakan
menghasilkan
peraturan
perundang-undangan yang isinya:
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
56
c. Peraturan pemerintah;
d. Keputusan Presiden; dan
e. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
3.
Peraturan menteri;
4.
Instruksi menteri;
5.
Dan lain-lainnya.
2. Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang;
d. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden; dan
g. Peraturan Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/
Peraturan
Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
Pemerintah
Pengganti
Undang-
57
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah:

Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur;

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan
bupati/walikota;

Peraturan Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat oleh
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau lainnya.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/
Peraturan
Pemerintah
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah Provinsi; dan
f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pengganti
Undang-
58
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
Tipe pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Pada penelitian hukum ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas.35 Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh
pejabat negara yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu
sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat yang nyata.36
Metode pendekatan atau penelitian menggunakan perundang-undangan
(statute approach ) yaitu menelaah semua Undang-Undang dan peraturan yang
ada tentunya berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
dan juga adanya gambaran sebagai suatu sistem yang tertutup dengan sifat
comprehensive,all-inclusive dan systematic.
35
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.
36
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 13-14.
59
2.
Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini,
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian preskriptif, menurut
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Ilmu hukum mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep hukum, dan norma hukum.Sebagai
ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan, ramburambu dalam melaksanakan aturan hukum.37
3.
Jenis Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
sekunder karena pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan yuridis
normatif. Bahan hukum sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut
kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi :38
a) Bahan hukum primer yang terdiri dari :
1) Norma dasar Pancasila;
2) Peraturan dasar; batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR;
3) Peraturan perundang-undangan;
37
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group,,
Jakarta,2006, hal 22.
38
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hal. 11-12.
60
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, yang terdiri dari :
1) Rancangan peraturan perundang-undangan;
2) Hasil karya ilmiah para sarjana;
3) Hasil-hasil penelitian.
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya :
1) Bibliografi;
2) Indeks kumulatif.
b. Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini juga diperlukan bahan hukum primer yang
berfungsi sebagai pelengkap/pendukung bahan hukum sekunder. Bahan huk
um primer diperoleh melalui wawancara yang bersumber dari keteranganketerangan Kepala DPRD Kabupaten Banjarnegara.
4.
Metode Pengumpulan Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi
peraturan–peraturan dan ketentuan-ketentuan serta literature yang terkait
61
dengan pembentukan peraturan daerah. Selain itu digunakan juga berupa studi
kepustakaan, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi
dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara
dengan Kepala DPRD Kabupaten Banjarnegara.
5.
Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan Hukum yang diperoleh selanjutnya akan disajikan dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa bahan hukum sekunder
yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan
dengan pokok permasalahan sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh.
6.
Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan dianalisis
secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai
data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang berasal dari
norma-norma hukum, peraturan pernundang-undangan dan teori perundangundangan dan nantinya akan diratik kesimpulan.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kondisi Umum Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu bagian dari wilayah Provinsi
Jawa Tengah. Kabupaten Banjarnegara terletak di antara 7° 12' - 7° 31' Lintang
Selatan dan 109° 29' - 109° 45'50" Bujur Timur. Luas Wilayah Kabupaten
Banjarnegara adalah 106.970,997 ha atau 3,10 % dari luas seluruh Wilayah
Provinsi Jawa Tengah. Dengan lahan pertanian sawah seluas 14.663 hertar dan
lahan pertanian bukan sawah yang terdiri dari tegalan 44.478 ha , perkebunan
3223 ha dan kolam seluas 519 Ha. Dengan potensi yang ada tersebut sangat
relevan jika Banjarnegara sangat mengandalkan bidang pertanian sebagai potensi
utama di Banjarnegara. Kabupaten Banjarnegara mempunyai batas-batas wilayah
antara lain:
-
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten
Batang.
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo.
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen.
-
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga Barat dan
Kabupaten Banyumas.
63
Secara administratif, Kabupaten Banjarnegara terdiri dari 20 Kecamatan, 253
Desa dan 12 Kelurahan.Dari 20 Kecamatan yang ada, Kecamatan Punggelan
yang memiliki wilayah terluas dari Kecamatan lain yaitu 10.284,00 Ha yang
terdiri dari 17 Desa, 80 Dusun, 105 RW dan 415 RT dengan lahan basah yang
dipergunakan untuk bercocok tanam padi dan palawija dan Lahan Kering yang
potensial untuk pengembangan buah-buahan dan hasil hutan lainnya seperti
Salak, Kapulaga, Kopi, Singkong, Padi, jagung
Gambaran umum wilayah Kabupaten Banjarnegara terdiri dari 3 Zona
berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografis, yaitu :
a.
Zona Utara, adalah kawasan pegunungan yang merupakan bagian dari
Dataran Tinggi Dieng, Pegunungan Serayu Utara. Daerah ini memiliki relief
yang curam dan bergelombang. Di perbatasan dengan Kabupaten Pekalongan
dan Kabupaten
Batang terdapat
beberapa
puncak, seperti
Gunung
Rogojembangan dan Gunung Prahu. Merupakan wilayah pegunungan yang
lebih di kenal dengan pegunungan Kendeng Utara, rona alamnya bergunung
berbukit, bergelombang dan curam. Potensi utamanya adalah sayur mayur,
kentang, kobis, jamur, teh, jagung, kayu, getah pinus, sapi kereman, kambing
dan domba. Juga pariwisata dan tenaga listrik panas bumi di dataran tinggi
Dieng. Beberapa kawasan digunakan sebagai obyek wisata, dan terdapat pula
tenaga listrik panas bumi. Pada sebelah utara meliputi Kecamatan :
64
Kalibening,
Pandanarum,
Wanayasa,
Pagentan,
Pejawaran,
Batur,
Karangkobar, Madukara.
b.
Zona Tengah, merupakan zona Depresi Serayu yang cukup subur. Rona
alamnya relatif datardan subur. Potensi utamanya adalah padi, palawija, buahbuahan, ikan, home industri, PLTA Mrica, keramik dan anyam – anyaman
bambu. Bagian wilayah ini meliputi Kecamatan : Banjarnegara, Madukara,
Bawang, Purwanegara, Mandiraja, Purworejo Klampok, Susukan, Wanadadi,
Banjarmangu, Rakit.
c.
Zona Selatan, merupakan bagian dari Pegunungan Serayu, merupakan daerah
pegunungan yang berrelif curam selain itu pegunungan kapur dengan nama
pegunungan Serayu Selatan. yang meliputi Kecamatan : Pagedongan,
Banjarnegara, Sigaluh, Mandiraja, Bawang, Susukan. Rona alamnya
bergunung, bergelombang dan curam. Potensi utamanya adalah ketela pohon,
gula kelapa, bamboo. getah pinus, damar dan bahan mineral meliputi :
marmer,
pasir
kwarsa,
feld
spart,
asbes,
andesit,
pasir
dan
kerikil. Buah-buahan : duku, manggis, durian, rambutan, pisang dan jambu .
Topografi wilayah Kabupaten Banjarnegara ini sebagian besar (65% lebih)
berada di ketinggian antara 100 s/d 1000 meter dari permukaan laut. Secara rinci
pembagian wilayah berdasarkan topografi adalah sebagai berikut :
65
a.
Kurang dari 100 m dari permukaan air laut, meliputi luas 9,82 % dari seluruh
luas wilayah Kabupaten Banjarnegara, meliputi Kecamatan Susukan dan
Purworejo Klampok, Mandiraja, Purwanegara dan Bawang.
b.
Antara 100 - 500 m dari permukaan air laut, meliputi luas 37,04 % dari
seluruh luas
wilayah
Kabupaten
Banjarnegara,
meliputi
Punggelan,
Wanadadi, Rakit, Madukara, sebagian Susukan, Mandiraja, Purwanegara,
Bawang, Pagedongan, Banjarmangu dan Banjarnegara.
c.
Antara 500 -1.000 m dari permukaan air laut, meliputi luas 28,74% dari
seluruh luas wilayah Kabupaten Banjarnegara, meliputi Kecamatan Sigaluh,
sebagian Banjarnegara, Pagedongan dan Banjarmangu.
d.
Lebih dari 1.000 m dari permukaan air laut, meliputi luas 24,40% dari seluruh
wilayah Kabupaten Banjarnegara meliputi Kecamatan Pejawaran, Batur,
Wanayasa, Kalibening, Pandanarum, Karangkobar dan Pagentan.
Wilayah kabupaten Banjarnegara memiliki iklim tropis, dengan curah hujan
rata-rata 3.000 mm/tahun, serta suhu rata-rata 20°- 26° C.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Banjarnegara sampai akhir tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara
sebanyak 875.214 jiwa yang terdiri dari pria 440.816 jiwa dan wanita 434.398
jiwa yang secara rinci dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
66
Tabel 1.JumlahPenduduk Kabupaten Banjarnegara dari tahun 2007 sampai
2011.
Dasar Tahun
2011
2010
2009
2008
2007
Jumlah Pria (jiwa)
440.816 436.152 430.765 442.168 437.041
Jumlah Wanita (jiwa)
434.398 432.761 444.402 427.609 427.107
Total (jiwa)
875.214 868.913 875.167 869.777 864.148
Pertumbuhan Penduduk (%)
-
-1
1
1
1
Kepadatan Penduduk
(jiwa/Km²)
-
-
818
813
-
Sumber Data:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Banjarnegara
2. Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) Berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Peraturan Daerah pada dasarnya disebut sebagai undang-undang daerah
karena peraturan ini dibuat dan berlaku untuk mengatur daerah otonomi sendiri.
Oleh karena itu, peraturan daerah bersifat mengatur, sehingga perlu diundangkan
dan menempatkannya dalam lembaran daerah.
Peraturan daerah memiliki beberapa fungsi, antara lain :
a. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
67
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan ditingkat pusat.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan daerah yang lebih tinggi.
Ketentuan ini merupakan syarat bagi pembentukan peraturan daerah tingkat
II.
d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
Dalam hal ini suatu Peraturan Daerah Tingkat I itu boleh mengatur masalahmasalah yang belum diatur oleh peraturan-peraturan ditingkat pusat saja,
tetapi bagi Peraturan Daerah Tingkat II hal-hal yang diatur bukan saja
masalah-masalah yang belum diatur oleh peraturan di tingkat pusat, tetapi
juga hal-hal yang belum diatur oleh Peraturan Daerah Tingkat I dan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
e. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan
daerah yang lebih tinggi;
Ketentuan ini diperuntukan bagi Peraturan Daerah Tingkat II.
f. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak mengatur rumah tangga
daerah bawahannya;
Ketentuan ini diperuntukan bagi Peraturan Daerah Tingkat I.
Dalam hal ini peraturan daerah tingkat I, tidak boleh mengatur masalahmasalah yang sebenarnya merupakan kewenangan Daerah Tingkat II.39
39
Maria Farida ,Op.cit,.hal 121-122
68
Dalam perkembangannnya peraturan daerah mengalami perubahan dalam
pembentukannya.Di daerah dibentuk adanya DPRD sebagai badan legislatif
daerah dan Pemerintah Daerah sebagai eksekutif daerah, pada masa orde baru
dalam hal pembentukan peraturan daerah didominasi oleh eksekutif daerah atau
pemerintah daerah.Namun dalam era reformasi ini baik eksekutif maupun
legislatif daerah mempunyai keseimbangan dalam hal pembentukan peraturan
daerah.Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan ada dua macam peraturan daerah yaitu Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 ayat 7
menegaskan bahwa:
“Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur.”
Pasal 1 ayat 8 menegaskan pula bahwa :
“Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adlah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”
Dalam hal materi muatan yang harus diatur dalam pembentukan peraturan
daerah, Pasal 14 menentukan bahwa :
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.”
Berikut ini adalah Prosedur pembentukan Peraturan Daerah atau tata cara
pembentukan Peraturan Daerah :
69
1. Tahap Perencanaan Peraturan Daerah
Pembentukan
Peraturan
Peraturan
Daerah
baik
Provinsi
maupun
Kabupaten/Kota agar dapat dilaksanakan secara berencana dan terpadu harus
didasarkan pada Prolegda (Program Legislasi Daerah). Dalam pasal 1 ayat (10)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa :
“Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah
instrument perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
yang disusun secara
terencana,terpadu, dan sistematis.”
Dalam program legislasi daerah (prolegda) ditetapkan suatu skala prioritas
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum.Penyusunan program legislasi
daerah (prolegda) perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.Seperti halnya yang
disebutkan dalam pasal 33 bahwa:
(2) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 memuat program
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya.
(3) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundangundangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
(4) Materi yang diatur sebagaimana ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan
penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.
70
Proses penyusunan program legislasi daerah (prolegda) dilaksanakan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk
jangka waktu (1) satu tahun. Dalam penyusunan program legislasi daerah
dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menagani bidang
legislasi, sedangkan penyusunan program legislasi daerah dilingkungan
pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum atau bagian hukum ataupun
instansi vertikal yang terkait.Hal tersebut lebih lanjut sebagaimana ditentukan
dalam pasal 36 yang menyatakan bahwa :
(1) Penyusunan prolegda Provinsi anatara DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidng legislasi.
(2) Penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi di
lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislagi.
(3) Penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi
vertikal terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan prolegda Provinsi
di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan prolegda Provinsi
di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Selanjutnya dalam hal hasil penyusunan program legislasi daerah antara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah disepakati dalam rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dalam Keputusan
71
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal
37 yang menyatakan bahwa :
(1) Hasil dari penyusunan prolegda provinsi antara DPRD Provinsi dan
Pemerintah daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat
(1) disepakati menjadi prolegda provinsi dan ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 38 selanjutnya menegaskan bahwa :
(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas :
a. Akibat putusan mahkamah agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh
alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi
dan biro hukum.
Ketentuan terhadap tahap perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi
berlaku secara mutatis mutandis terhadap tahap perencanaan penyusunan
peraturan daerah kabupaten/kota.Sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 bahwa :
“Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 sampai dengan pasal 38 berlaku secara
mutatis mutandis terhadp perencanaan penyusunan peraturan daerah
Kabupaten/Kota.”
72
Selanjutnya dalam hal daftar kumulatif terbuka yang dapat dimuat dalam
prolegda Kabupaten /Kota itu berbeda dengan yang dapat dimuat dalam prolegda
Provinsi, hal tersebut sesuai dengan pasal 41 yang menyatakan bahwa :
“Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka
mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan kecamatan atau nama
lainnya dan / atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau
nama lainnya.”
2. Tahap Penyusunan Peraturan Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dikenal ada dua jenis peraturan daerah yaitu Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) dan
usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif). Ketentuan mengenai
penyusunan atau pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa :
“Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
a) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif)
Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh unit kerja dijajaran
pemerintah daerah. Dalam hal pengajuan Pra-Rancangan Peraturan Daerah itu
harus disertai dengan penjelasan-penjelasan pokok pikiran(naskah akademik)
dan diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, apabila daerah
73
Provinsi yang mengkaji adalah biro hukum untuk diadakan kajian awal dan
koreksi sedangan daerah Kabupaten/kota adalah bagian hukum.Setelah
dilakukan pengkajian awal atau koreksi oleh biro/bagian hukum maka usulan
pra-raperda diajukan kepada kepala daerah disertai dengan pertimbanganpertimbangan, saran dan penjelasan.Apabila pra-raperda ditolak maka akan
dikembalikan ke unit kerja yang bersangkutan sedangkan apabila prarancangan peraturan daerah diterima maka akan diproses lebih lanjut.
Pra-raperda
yang
diterima
akan
dikaji
ulang
untuk
diadakan
penyempurnaan oleh biro/bagian hukum atas perintah dari sekretaris daerah
untuk mendapatkan tanggapan yuridis.Apabila perlu dibahas pada forum yang
lebih luas maka biro/bagian hukum dapat mengikutsertakan unit kerja instansi
yang terkait sehingga ada persesuaian. Setelah rancangan peraturan daerah itu
final (selesai) disertai dengan penjelasan pokok,Rancangan Peraturan Daerah
itu disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya biro / bagian hukum
menyiapkan nota pengantar penyampaian rancangan peraturan daerah dari
kepala daerah kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sekaligus
pengantar penjelasan rancangan peraturan daerah pada rapat pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mengenai prosedur atau tata cara pembentukan rancangan peraturan
daerah yang berasal dari kepala daerah baik Gubernur ,Bupati/Walikota lebih
lanjut diatur dengan Peraturan Presiden.Hal ini sebagaimana dalam pasal 59
yang menyatakan sebagai berikut :
74
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan
Peraturan Presiden.”
Sebagaimana hal tersebut diatas bahwa Ketentuan mengenai penyusunan atau
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis
terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa :
“Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
b) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD)
Usulan Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.Tata cara pelaksanaannya adalah dapat diajukan oleh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdiri hanya dari 1
(satu) fraksi, barulah dapat mengajukan usul prakarsa mengenai pengaturan
suatu urusan daerah. Kemudian usulan itu disampaikan kepada pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah
disertai dengan pokok penjelasannya secara tertulis biasanya dengan bentuk
naskah akademik.
Usul prakarsa yang telah diajukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kemudian oleh Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diberi nomor pokok, dan setelah itu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
75
Daerah disampaikan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah.Dalam rapat
paripurna tersebut, pemrakarsa menyampaikan penjelasan atas usulnya
(inisiatif) dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun
kepala daerah (eksekutif) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan.
Pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tata cara pelaksanaan dapat
disampaikan oleh anggota, momisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada pasal 60 yang menyatakan bahwa:
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengakapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebh lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan daerah provinsi.
Selain itu dalam hal apabila rancangan peraturan daerah yang diajukan baik
dari kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai materi
yang sama dalam satu masa sidang, maka yang akan dibahas adalah rancangan
peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 62 yang menyatakan :
“Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah mengenai materi yang sama,
76
yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.”
Sebagaimana hal tersebut diatas bahwa Ketentuan mengenai penyusunan atau
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis
terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa :
“Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
3. Tahap Teknik Penyusunan Peraturan Daerah
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai
bagian dari peraturan perundang-undangan yang dilakukan dengan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada umumnya . Ketentuan ini
diatur secara tegas dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa :
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai
dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dlam lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
4. Tahap Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
a) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
77
Tata cara atau prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik
Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah sama . Proses pembahasan rancangan
peraturan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 75 yang menegaskan bahwa:
(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh
DPRD Provinsi bersama Gubernur.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Berdasarkan pasal 75 tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
bersama dengan Gubernur yang mana dilakukan melalui tingkaat-tingkat
pembicaraan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.Sedangkan ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi.
Pasal 76 selanjutnya menegaskan bahwa :
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPRDProvinsi dan Gubernur.
78
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan
Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Berdasarkan uraian pasal 76 di atas dapat dijelaskan bahwa Rancangan
Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur berdasarkan pada
persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Gubernur.Sedangkan
ketentuan
mengenai
tata
cara
penarikan
kembali
Rancangan Peraturan Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 75 dan 76 tentang tata cara
pembahasan dan penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah. Provinsi.
Bahwa tata cara pembahasan dan penarikan kembali Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi itu berlaku sama pada tata cara dalam hal pembahasan dan
penarikan kembali Racangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini diatur
dalam pasal 77 yang menegaskan bahwa :
“Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dan pasal 76 berlaku
secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.”
b) Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
79
Suatu Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
diatur dalam pasal 78 yang menegaskan bahwa :
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi
kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah seagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
Dari uraian tersebut diatas bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Gubernur
akan disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari dari tanggal persetujuan bersama.
Pasal 79 selanjutnya menegaskan bahwa :
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal
78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tersebut disetujui oleh DORD Provinsi dan Gubernur.
(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
80
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi : Peraturan
Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi
sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam
Lembaran Daerah.
Berdasarkan uraian dari pasal 79 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa
rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah provinsi itu
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur
ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tandatangan. Apabila dalam hal
rancangan peraturan daerah provinsi tersebut yang telah disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bersama Gubernur tidak ditandatangani oleh
Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan
peraturan daerah provinsi disetujui bersama maka rancangan peraturan daerah
provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
Berdasarkan
ketentuan
pasal
78
dan
79
menngenai
tata
cara
pengesahan/penetapan rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur itu berlaku
secara mutatis mutandis terhadap pengesahan/penetapan pperaturan daerah
Kabupaten/Kota.Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 yang
menegaskan bahwa :
81
“Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dan 79 berlaku secara
mutatis
mutandis
terhadap
penetapan
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota.”
5. Pengundangan dan Penyebarluasan
a) Pengundangan Peraturan Daerah
Agar setiap orang mengetahui peraturan perundang-undangan maka
peraturan perundang-undangan harus di undangakan, seperti halnya peraturan
daerah yang harus diundangkan dalam lembaran daerah dan peraturan yang
berasal dari kepala daerah diundnagkan dalam berita daerah. Hal ini diatur
dalam pasal 86 yang menegaskan bahwa :
(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundnagkan dalam Lembaran
Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam
Berita Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah
dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat (2)
dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
b) Penyebarluasan Program Legislasi Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah
Penyebarluasan Program Legislasi Daerah yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan tujuan untuk memberikan
informasi dan atau memperoleh masukan dari masyarakat maupun para
pemangku kepentingan( stake holders). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal
92 yang menegaskan bahwa :
82
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah,
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah hingga pengundangan
Peraturan Daerah.
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
dapat memberikan informasi dan/ atau memperoleh masukan masyarakat
dan para pemangku kepentingan.
Pasal 93 selanjutnya menegaskan bahwa :
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah
Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Berdasarkan uraian pasal 93 tersebut diatas bahwa program legislasi daerah
Provinsi maupun Kabupaten/Kota disebarluaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan dengan alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang
legislasi.Sedangkan
Rancangan
Peraturan
Daerah
Provinsi
maupun
Kabupaten/Kota yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
disebarluaskan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Rancangan
Peraturan
Bupati/Walikota
Daerah
disebarluaskan
yang
oleh
berasal
dari
Sekretaris
Gubernur
Daerah.
maupun
Dalam
hal
penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
83
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota.Hal ini diatur dalam pasal 94 yang menegaskan bahwa :
“Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang telah diundngkan dlam Lembaran Daeah dilakukan
bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota.”
Pasal 95 selanjutnya menegaskan bahwa :
“Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus
merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah,
dan Berita Daerah.”
Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa Naskah Akademik Peraturan
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang disebarluaskan adalah salinannya
dari naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah,Tambahan
Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
6. Partisipasi Masyarakat
Peraturan Daerah sebagai bagian dari suatu pertauran perundang-undangan
dalam proses pembentukannya memberikan adanya kesempatan bagi masyarakat
untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka pembentukan
peraturan perundnag-undangan . Partisipasi masyarakat dalam hal memberikan
masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam pasal
96 yang menegaskan bahwa :
84
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukkan secara lisan dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui :
a. Rapat dengar pendapat umum;
b. Kunjungan kerja;
c. Sosialisasi; dan/atau
d. Seminar,lokakarya,dan/atau diskusi
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan .
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalama meberikan masukan secara lisan
dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , setiap Rancnagan
Peraturan Perundang-undnagan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
3.
Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 170/ 16 Tahun 2010 Tentang
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa fungsi legislasi yang melekat pada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilaksanakan melalui pembentukan dan
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik yang berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah maupun Pemerintah Daerah di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Banjarnegara
mengacu kepada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara Nomor 170/ 16 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan
85
Rakyat
Kabupaten
Banjarnegara.
Adapun
penjelasan
mengenai
tahapan
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara menurut Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170 / 16 Tahun 2010
Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara
adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Sebagaimana ketentuan mengenai kekuasaan membentuk undang-undang
yang berada pada tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Presiden,itu seperti
halnya dengan kekuasaan membentuk Peraturan Daerah yang berada di tangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Dalam kaitannya ini Rancangan
Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun
Bupati yang harus disertai dengan penjelasan atau naskah akademik terkait
dengan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan dan didasarkan pada skala
prioritas program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Dalam hal ikhwal atau keadaan tertentu
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah diluar dari program legislasi daerah yang sudah disetujui
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Ketentuan ini
terdapat dalam pasal 81 yang menegaskan bahwa :
(1) Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Bupati.
(2) Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau Bupati disertai penjelasan
atau keterangan dan/atau naskah akademik.
86
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
berdasarkan program legislasi daerah.
(4) Dalam keadaan tertentu, DPRD atau Bupati dapat mengajukan rancangan
perda di luar program legislasi daerah.
Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan
Perwakilan Daerah tata cara pelaksanaanya adalah dapat diajukan oleh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, komisi, gabungan komisi, atau Badan
Legislasi Daerah yang mana disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan /
atau naskah akademik yang disertai nama dan tanda tangan pengusul yang
nantinya akan diberi nomor pokok oleh sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan akan dilakukan pengkajian oleh Badan Legislasi Daerah.Hasil dari
pengkajian oleh Badan Legislasi disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengusul akan
memberikan penjelasan atas Rancangan Peraturan Daerah dan fraksi serta anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan memberikan pandangan atas penjelasan
pengusul serta pengusul akan memberikan jawaban atas pandangan yang
diberikan oleh fraksi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Setelah
adanya jawab jinawab terkait dengan rancangan peraturan daerah itu ,maka dalam
rapat paripurna akan memutuskan usul rancangan peraturan daerah yang dapat
87
berupa persetujuan,persetujuan dengan pengubahan,dan penolakan. Apabila
dalam hal persetujuan dengan pengubahan maka Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menugasi komisi, Badan Legislasi Daerah atau panitia khusus untuk
menyempurnakan rancangan perda tersebut dan setelah siap akan disampaikan
kepada Bupati dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal
tersebut diatas diatur dalam pasal 82 yang menyatakan bahwa :
(1) Rancangan Perda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota
DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah.
(2) Rancangan Perda yang diajukan oleh anggota DPRD , komisi, gabungan
komisi, atau Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik daftar nama dan
tanda tangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat
DPRD.
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan
DPRD disampaikan kepada Badan Legislasi Daeah untuk dilakukan
pengkajian.
(4) Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada rapat paripurna DPRD.
(5) Rancangan Perda yang telah dikaji oleh Badan Legislasi Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada semua anggita DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum
rapat paripurna DPRD.
(6) Dalam rapat paripurna DPDR sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
a. Pengusul memberikan penjelasan;
b. Fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan;dan
c. Pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota
DPRD lainnya.
(7) Rapat paripurna DPRD memutuskan usul rancangan perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. Persetujuan;
b. Persetujuan dengan pengubahan; dan
c. Penolakan.
88
(8) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPRD menugasi komisi,
Badan Legislasi Daerah, ataua panitia khusus untuk menyempurnakan
rancangan perda tersebut.
(9) Rancangan perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan
surat pimpinan kepada Bupati.
Sebagaimana Rancangan perda yang diajukan atau berasal dari Bupati akan
diajukan dengan surat Bupati kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Ketentuan ini diatur
dalam pasal 83 yang menegaskan bahwa :
(1) Rancangan perda yang berasal dari Bupati diajukan dengan surat Bupati
kepada pimpinan DPRD.
(2) Rancangan perda yang berasal dari Bupati disiapkan dan diajukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 84 selanjutnya mengatur tentang adanya dua rancangan peraturan daerah
yang diajukan mengenai hal atau materi yang sama, maka yang akan dibicarakan
dan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan rancanagn peraturan daerah yang berasal dari Bupati sebagai
bahan untuk dipersandingkan. Ketentuan dalam pasal 85 tersebut selengkapnya
adalah sebagai berikut:
“Apabila dalam masa satu sidang Bupati dan DPRD menyampaikan
rancangan perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas raperda
yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang
disampaikan oleh Bupai digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.”
b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati atau yang ditunjuk
89
mewakilinya melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Apabila Rancangan Peraturan Daerah itu tidak mendapat
persetujuan bersama maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan yang sama. Ketentuan ini diatur dalam pasal
85 yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Rancangan Perda yang berasal DPRD atau Bupati dibahas oleh DPRD dan
Bupati untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(2) Pembahasan rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat
I dan pembicaraan tingkat II.
(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Dalam hal rancangan perda berasal dari Bupati dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut :
1. Penjelasan Bupati dalam rapat paripurna mengenai rancangan
perda;
2. Pemandangan umum fraksi terhadap rancangan perda;dan
3. Tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan
umum fraksi.
b. Dalam hal rancangan perda berasal dari DPRD dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut :
4. Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi,
pimpinan Badan Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus
dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda;
5. Pendapat Bupati terhadap rancangan perda; dan
6. Tanggapan dan/ atau jawaban fraksi terhadap pendapat Bupati.
c. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus
yang dilakukan bersama dengan Bupati atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya.
(4) Pembicaraan Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan :
7. Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan
komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan,
90
pendapat fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c; dan
8. Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan
rapat paripurna.
b. Pendapat akhir Bupati
(5) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka
2 tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.
(6) Dalam hal rancangan perda tidak mendapat persetujuan bersama antara
DPRD dan Bupati, rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan yang sama.
Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati dengan disertai
alasan-alasan penarikan.Selain itu,dalam hal rancangan peraturan daerah yang
sedang dibahas dapat ditarik kembali dengan persetujuan bersama antara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dalam rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri oleh Bupati. Apabila rancangan
peraturan daerah yang telah ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada
masa sidang yang sama. Hal ini diatur dalam pasal 86 yang menentukan
bahwa:
(1) Rancangan perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh
DPRD dan Bupati.
(2) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) oleh DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD dengan
disertai alasan penarikan.
(3) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) oleh Bupati, disampaikan dengan surat Bupati disertai alasan
penarikan.
91
(4) Rancangan perda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Bupati.
(5) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri
oleh Bupati.
(6) Rancangan perda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada
masa sidang yang sama.
c. Penetapan dan Pengundangan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah setelah disetujui
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan ditetapkan
oleh Bupati.Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan
Daerah didahului dengan penyampaian oleh pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Ketentuan ini terdapat pada pasal
87 yang menegaskan sebagai berikut:
(1) Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Bupati untuk ditetapkan
menjadi Perda.
(2) Penyampaian Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah oleh
Bupati dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Apabila dalam
jangka waktu 30 ( tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama
92
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati, Bupati tidak
menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama,
maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan
wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pengesahannya berbunyi “
Perda ini dinyatakan sah” dan kalimat ini dibubuhkan pada halaman terakhir
Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam
Lembaran Daerah dan berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Ada perkecualian dalam hal Peraturan Daerah yang berkaitan dengan APBD,
Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum diundangkan
dalam Lembaran Daerah harus diadakan evaluasi oleh pemerintah dan/atau
Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah Peraturan
Daerah diundangkan dalam Lembaran Daerah maka harus disampaikan
kepada Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal penetapan , pengesahan dan pengundangan Rancangan
Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah ini pasal 88 menentukan sebagai
berikut:
(1) Rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 ditetapkan oleh
Bupati dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh0
hari sejak rancangan perda tersebut disetujui bersama, oleh DPRD dan
Bupati.
(2) Dalam hal rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh Bupati paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan perda tersebut disetujui bersama, rancangan perda tersebut sah
menjadi perda dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah.
93
(3) Dalam hal sahnya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka
kalimat pengesahannya berbunyi : Perda ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dibubuhkan pada halaman terakhir perda sebelum pengundangan
naskah perda ke dalam Lembaran Daerah.
(5) Perda berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
(6) Perda yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan
Tata Ruang Daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus
dievaluasi oleh pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
94
B. Pembahasan
1. Prosedur pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan dalam suatu konteks di negara Indonesia
adalah merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan.
Di dalam suatu praktek penyelenggaraan pemerintahan, adanya peraturan
perundang-undangan yang baik akan banyak menunjang penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan tercapainya
tujuan negara. Untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik
sangat diperlukan adanya persiapan-persiapan yang matang seperti materi muatan
yang akan diatur, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Maria
Farida Indrati S mengatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang terdiri
atas tiga tahap , yaitu :
95
a. Proses penyiapan rancangan Undang-Undang, yang merupakan proses
penyusunan dan perancangan di lingkungan Pemerintah, atau di
lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat ( dalam hal RUU Usul inisiatif).
b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di Dewan
Perwakilan Rakyat.
c. Proses pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh Menteri
Negara Sekretaris Negara atas perintah Presiden).40
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pembentukan Undang-Undang dapat
dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dapat dilihat dan
diketahui dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).Dalam pasal 5 ayat (1)
menegaskan tentang hak presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang,
sebagai berikut :
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat (1) menegaskan mengenai kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam membentuk Undang-Undang , sebagai berikut:
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-Undang
merupakan bentuk imbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap
pemerintah, sebagai wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat, hal ini sesuai
dengan pendapat Soehino sebagai berikut :
40
Ibid ,hal 134
96
Dalam negara yang berasaskan demokrasi adanya hak mengajukan Rancangan
Undang-Undang Usul Inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat merupakan
imbangan daripada hak pemerintah untuk mengajukan Rancangan UndangUndang, sehingga dengan demikian prakarsa untuk mengatur sesuatu hal atau
materi dengan Undang-Undang tidak saja tergantung daripada kemauan
Pemerintah, melainkan diharapkan prakarsa itu datang pula dari Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat yang membawakan aspirasi rakyat
yang diwakilinya.41
Kekuasaan dalam membentuk peraturan perundang-undangan mengalami
pergeseran, salah satunya dalam membentuk peraturan daerah. Sebelum
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau pada masa orde baru pembentukan
peraturan daerah didominasi oleh eksekutif, namun di era reformasi atau sesudah
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adanya keseimbangan antara eksekutif
dan legislatif daerah dalam pembentukan peraturan daerah.Irawan Soejito dalam
hal peraturan daerah mengatakan bahwa :
Salah satu kewenangan yang sangat sangat penting dari suatu Daerah yang
berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah
kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah. Hak untuk menetapkan
Peraturan Daerah disebut hak legislatif. Peraturan Daerah adalah nama dari
hasil pekerjaan legislatif daerah.42
Irawan Soejito selanjutnya berpendapat bahwa:
41
Soehino,2003,Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan,Liberty,Yogyakarta,hal 59
42
Irawan Soejito,1989,Teknik Membuat Peraturan Daerah,Bina Aksara,Jakarta,hal 1
97
Peraturan Daerah dalam penetapannya terlebih dahulu haruslah dibuat
rancangan Peraturan Daerah tersebut. Membuat rancangan Peraturan Daerah
yang
baik sama halnya dengan membuat rancangan undang-undang,
merupakan pekerjaan yang sulit. Suatu peraturan perundang-undangan yang
baik, menghendaki dalam persiapannya pengetahuan yang mendalam dari
materi yang akan diatur dan pengetahuan akan daya upaya yang tepat untuk
mencegah penghindaran diri dari ketentuan-ketentuan itu, kecakapan untuk
mencari dan menemukan sarinya dari kumpulan fakta-fakta yang sudah
tumbuh sejak lama dan untuk menuangkannya di dalam bentuk peraturan
yang singkat tetapi jelas, agar maksud yang harus diperhatikan dapat dicapai
dengan sebaik-baiknya. Isi Peraturan Daerah dikatakan baik apabila dapat
dituangkan dalam suatu bentuk dan dengan suatu adat bahasa yang sopan,
baik dan mudah dipahami oleh siapapun, disusun secara sistematis, dengan
meninggalkan hal-hal yang kurang perlu, tidak membuat istilah yang dapat
memberikan interpretasi yang kembar, cukup member kepastian tetapi
sebaliknya cukup luwes atau elastic sehingga dapat mengikuti perkembangan
keadaan.43
Berkaitan dengan Undang-Undang, peraturan daerah atau dapat disebut juga
sebagai undang-undang daerah ( dalam arti luas) dapat dibuat atas usul dari
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang akan dibahas dalam
beberapa tingkat pembicaraan dalam sidang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selanjutnya Soenobo Wirjosoegito menegaskan bahwa:
Penyusunan rancangan peraturan daerah dapat diusulkan oleh kepala daerah
atau atas usul prakarsa DPRD. Rancangan peraturan daerah yang disampaikan
dari kepala daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD dengan nota
43
Ibid,hal 3
98
pengantar. Sedangakn rancangan peraturan daerah yang berasal dari usul
prakarsa DPRD disertai penjelasannya, disampaikan secara tertulis kepada
pimpinan DPRD,yang selanjutnya akan diperbanyak dan disampaikan kepada
seluruh anggota DPRD, untuk dibahas dalam sidang DPRD.44
Pasal 1 ayat 8 menentukan bahwa:
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Kepala Daerah
(Gubernur,Bupati/Walikota).
Prosedur atau tahap-tahap pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perencanaan Peraturan Daerah
Pembentukan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar
dapat dilaksanakan secara berencana dan terpadu harus didasarkan pada Prolegda
(Program Legislasi Daerah). Dalam program legislasi daerah (prolegda)
ditetapkan suatu skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum.
Proses penyusunan program legislasi daerah (prolegda) dilaksanakan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk jangka
waktu (1) satu tahun. Dalam penyusunan program legislasi daerah dilingkungan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan
44
Soenobo Wirjosoegito,Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan,Ghalia Indonesia, Jakarta,
2004,hal 36
99
Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menagani bidang legislasi, sedangkan
penyusunan
program
legislasi
daerah
dilingkungan
pemerintah
daerah
dikoordinasikan oleh biro hukum atau bagian hukum ataupun instansi vertikal
yang terkait. Selanjutnya dalam hal hasil penyusunan program legislasi daerah
antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah disepakati dalam
rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dalam
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Penyusunan Peraturan Daerah
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Kepala Daerah
(eksekutif) dan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif).
a) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif)
Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh unit kerja dijajaran
pemerintah daerah. Dalam hal pengajuan Pra-Rancangan Peraturan Daerah itu
harus disertai dengan penjelasan-penjelasan pokok pikiran (naskah akademik)
dan diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, apabila daerah
Provinsi yang mengkaji adalah biro hukum untuk diadakan kajian awal dan
koreksi sedangan daerah Kabupaten/kota adalah bagian hukum.Setelah dilakukan
pengkajian awal atau koreksi oleh biro/bagian hukum maka usulan pra-raperda
diajukan kepada kepala daerah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan,
saran dan penjelasan.Apabila pra-raperda ditolak maka akan dikembalikan ke
100
unit kerja yang bersangkutan sedangkan apabila pra-rancangan peraturan daerah
diterima maka akan diproses lebih lanjut.
Pra-raperda
yang
diterima
akan
dikaji
ulang
untuk
diadakan
penyempurnaan oleh biro/bagian hukum atas perintah dari sekretaris daerah
untuk mendapatkan tanggapan yuridis.Apabila perlu dibahas pada forum yang
lebih luas maka biro/bagian hukum dapat mengikutsertakan unit kerja instansi
yang terkait sehingga ada persesuaian. Setelah rancangan peraturan daerah itu
final (selesai) disertai dengan penjelasan pokok, Rancangan Peraturan Daerah
itu disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya biro / bagian hukum
menyiapkan nota pengantar penyampaian rancangan peraturan daerah dari
kepala daerah kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sekaligus
pengantar penjelasan rancangan peraturan daerah pada rapat pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD)
Usulan Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Tata cara pelaksanaannya adalah dapat diajukan oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdiri hanya dari 1 (satu) fraksi, barulah
dapat mengajukan usul prakarsa mengenai pengaturan suatu urusan daerah.
Kemudian usulan itu disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
101
Daerah dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan pokok
penjelasannya secara tertulis biasanya dengan bentuk naskah akademik.
Sebagaimana usulan prakarsa yang telah diajukan kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kemudian oleh Sekretaris Daerah diberi nomor
pokok, dan setelah itu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
disampaikan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setelah
mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah.Dalam rapat paripurna
tersebut, pemrakarsa menyampaikan penjelasan atas usulnya (inisiatif) dan
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun kepala daerah
(eksekutif) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan.Pembentukan Peraturan
Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tata cara pelaksanaan dapat disampaikan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.Selain itu dalam hal apabila
rancangan peraturan daerah yang diajukan baik dari kepala daerah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai materi yang sama dalam satu masa
sidang, maka yang akan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Teknik Penyusunan Peraturan Daerah
102
Pada proses penyusunan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/
Kota sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan dilakukan dengan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada umumnya.
d. Pembahasan dan Penetapan Peraturan Daerah
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi bersama dengan Gubernur yang mana dilakukan melalui tingkat-tingkat
pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/ Kota
bersama Gubernur,Bupati/Walikota berdasarkan pada persetujuan bersama antara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota dan Gubernur,
Bupati/Walikota.Sedangkan ketentuan mengenai tata cara penarikan kembali
Rancangan Peraturan Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota yang telah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi ,Kabupaten/kota dan
Gubernur,Bupati/Walikota akan disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota kepada Gubernur,Bupati/Walikota
untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari dari tanggal persetujuan bersama.
103
Rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui bersama oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah
provinsi itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
Gubernur ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tandatangan. Apabila
dalam hal rancangan peraturan daerah provinsi tersebut yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Gubernur tidak ditandatangani oleh
Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan
peraturan daerah provinsi disetujui bersama maka rancangan peraturan daerah
provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan
e. Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Daerah
Program legislasi daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota disebarluaskan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang
dikoordinasikan dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
khusus menangani bidang legislasi.Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah disebarluaskan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur maupun
Bupati/Walikota
disebarluaskan
oleh
Sekretaris
Daerah.
Dalam
hal
penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi
104
maupun Kabupaten/Kota. Dalam hal naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang disebarluaskan adalah salinannya dari naskah yang
telah diundangkan dalam Lembaran Daerah,Tambahan Lembaran Daerah dan
Berita Daerah.
f. Partisipasi Mayarakat
Peraturan Daerah sebagai bagian dari suatu peraturan perundang-undangan
dalam proses pembentukannya memberikan adanya kesempatan bagi masyarakat
untuk memberikan kesempatan secara lisan maupun tulisan dalam rangka
pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 170/ 16 Tahun
2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa fungsi legislasi yang melekat pada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilaksanakan melalui pembentukan dan
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik yang berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah maupun Pemerintah Daerah di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten
Banjarnegara mengacu kepada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/ 16 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan
105
Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara. Adapun penjelasan mengenai
tahapan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara menurut
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170 / 16
Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Banjarnegara adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Sebagaimana ketentuan mengenai kekuasaan membentuk undang-undang
yang berada pada tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Presiden,itu seperti
halnya dengan kekuasaan membentuk Peraturan Daerah yang berada di tangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Dalam kaitannya ini Rancangan
Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun
Bupati yang harus disertai dengan penjelasan atau naskah akademik terkait
dengan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan dan didasarkan pada skala
prioritas program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Dalam hal ikhwal atau keadaan tertentu
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah diluar dari program legislasi daerah yang sudah disetujui
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.
Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan
Perwakilan Daerah tata cara pelaksanaanya adalah dapat diajukan oleh anggota
106
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, komisi, gabungan komisi, atau Badan
Legislasi Daerah yang mana disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan /
atau naskah akademik yang disertai nama dan tanda tangan pengusul yang
nantinya akan diberi nomor pokok oleh sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan akan dilakukan pengkajian oleh Badan Legislasi Daerah.Hasil dari
pengkajian oleh Badan Legislasi disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengusul akan
memberikan penjelasan atas Rancangan Peraturan Daerah dan fraksi serta anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan memberikan pandangan atas penjelasan
pengusul serta pengusul akan memberikan jawaban atas pandangan yang
diberikan oleh fraksi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Setelah
adanya jawab jinawab terkait dengan rancangan peraturan daerah itu ,maka dalam
rapat paripurna akan memutuskan usul rancangan peraturan daerah yang dapat
berupa persetujuan,persetujuan dengan pengubahan,dan penolakan. Apabila
dalam hal persetujuan dengan pengubahan maka Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menugasi komisi, Badan Legislasi Daerah atau panitia khusus untuk
menyempurnakan rancangan perda tersebut dan setelah siap akan disampaikan
kepada Bupati dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Rancangan perda yang diajukan atau berasal dari Bupati akan diajukan dengan
107
surat Bupati kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Apabila ternyata ada dua rancangan
peraturan daerah yang diajukan mengenai hal atau materi yang sama, maka yang
akan dibicarakan dan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan rancanagn peraturan daerah yang berasal
dari Bupati sebagai bahan untuk dipersandingkan.
b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah bersama dengan Bupati atau yang ditunjuk mewakilinya melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(1) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud meliputi :
a. Dalam hal rancangan perda berasal dari Bupati dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut :
- Penjelasan Bupati dalam rapat paripurna mengenai rancangan
perda;
- Pemandangan umum fraksi terhadap rancangan perda;dan
- Tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum
fraksi.
b. Dalam hal rancangan perda berasal dari DPRD dilakukan dengan
kegiatan sebagai berikut:
- Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan
Badan Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat
paripurna mengenai rancangan perda;
- Pendapat Bupati terhadap rancangan perda; dan
- Tanggapan dan/ atau jawaban fraksi terhadap pendapat Bupati.
c. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus
yang dilakukan bersama dengan Bupati atau pejabat yang ditunjuk untuk
mewakilinya.
(2) Pembicaraan Tingkat II sebagaimana dimaksud meliputi :
108
a.
Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan :
1. Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan
komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan,
pendapat fraksi dan hasil pembicaraan;
2. Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat
paripurna.
b. Pendapat akhir Bupati
(3) Dalam hal apabila tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(4) Dalam hal rancangan perda tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD
dan Bupati, rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan yang sama.
Apabila Rancangan Peraturan Daerah itu tidak mendapat persetujuan bersama
maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan yang sama.
Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati dengan disertai alasanalasan penarikan.Selain itu,dalam hal rancangan peraturan daerah yang sedang
dibahas dapat ditarik kembali dengan persetujuan bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang dihadiri oleh Bupati. Apabila rancangan peraturan daerah
yang telah ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama.
c. Penetapan dan Pengundangan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah setelah disetujui
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan ditetapkan oleh
Bupati.Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah
109
didahului dengan penyampaian oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Bupati dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama.
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah oleh
Bupati dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Apabila dalam jangka waktu
30 ( tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati, Bupati tidak menandatangani rancangan
peraturan daerah yang telah disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah
tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dalam Lembaran
Daerah yang pengesahannya berbunyi “ Perda ini dinyatakan sah” dan kalimat ini
dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan
naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah dan berlaku setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah. Ada perkecualian dalam hal Peraturan
Daerah yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata
Ruang Daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus diadakan
evaluasi oleh pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setelah Peraturan Daerah diundangkan dalam Lembaran Daerah maka
harus disampaikan kepada Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
110
Salah satu contoh dalam pembuatan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten Banjarnegara adalah Peraturan Daerah tentang Investasi
Daerah. Sebagai daerah otonom Kabupaten Banjarnegara mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya yang
diharapkan akan meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Investasi bisa dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara yaitu dengan cara melakukan
penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam upaya
meningkatkan produktivitas pemanfaatan tanah dan atau bangunan serta
kekayaan lainnya milik pemerintah daerah dengan membentuk usaha bersama
yang saling menguntungkan.
Investasi menjadi celah bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan
pengelolaan potensi ekonomi yang didukung dengan baik tidaknya iklim
investasi di Kabupaten Banjarnegara. Banyak faktor yang mempengaruhi daya
tarik investasi daerah antara lain:
1. Faktor Kelembagaan
a.
Kepastian Hukum dan Penegakan Hukum
Kepastian Hukum merupakan gambaran konsistensi peraturan dan
penegakan hukum di daerah yang ditunjukan dengan adanya
peraturan yang dapat dijadikan pedoman untuk jangka waktu yang
cukup.
b.
Faktor Aparatur dan Pelayanan
111
Aparatur dalam hal ini menunjuk pada pegawai dalam pemerintah
daerah yang mempunyai tugas sebagai pelaksana administrasi daerah
dalam memberikan pelayanan public kepada masyarakat.
2. Faktor Sosial-Politik
a. Variabel Keamanan
Kondisi yang mendukung keselamatan jiwa dan aset-aset produktif
investor. Semakin kondusif kondisi keamanan suatu daerah maka
semakin menarik bagi investor.
b. Variabel Sosial Politik
Kondisi sosial politik dalam daerah menggambarkan relasi pranata
sosial dalam sistemsosial daerah. Baik pranata ekonomi, sosial
masyarakat, pemerintah dan elemen masyarakat itu sendiri. Semakin
harmonis hubungan pranata dalam sistem sosial daerah maka semakin
stabil kondisi sosial daerah tersebut.
c. Variabel Budaya Masyarakat
Terdapat emapat nilai-nilai budaya yang mempengaruhi daya tarik
investor terhadap daerah yaitu keterbukaan masyarakat tterhadap
investor, tidak ada diskriminasi terhadap investor, etos kerja
mmasyarakat yang tinggi dan adat istiadat masyarakat.
3. Faktor Ekonomi Daerah
Potensi ekonomi itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya sosial.
112
4. Faktor Tenaga Kerja dan Produktivitas
Adanya ketersediaan tenaga kerja berdasarkan spesifikasi yang
diperlukan seperti yang berpengalaman atau tidak berpengalaman.
Berdasarkan faktor-faktor daya tarik investasi daerah diatas, maka berkaitan
dengan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tentang Investasi Daerah partisipasi masyarakat adalah faktor yang paling
utama dibandingkan dengan yang lain karena merupakan fondasi dari
terselenggaranya investasi di daerah, karena apabila dilihat dari faktor daya tarik
investasi daerah mayoritas semua faktor berhubungan dengan masyarakat.
Sehingga sangat perlu untuk dibicarakan dengan matang. Bentuk dari partisipasi
masyarakat itu sendiri bisa secara lisan maupun tertulis, bentuk partisipasi secara
tertulis bisa dituangkan dalam pembentukan naskah akademik, sedangkan lisan
dengan adanya diskusi bersama antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan masyarakat terkait dengan adanya rencana pembentukan
rancangan peraturan daerah tentang Investasi Daerah ataupun adanya sosialisasi
atau pendekatan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada
masyarakat terkait dengan adanya investasi daerah yang akan diadakan pada
daerah atau tempat tertentu yang berarah pada dampak positif dan negatif yang
tentunya diharapkan dengan adanya diskusi akan lebih bijaksana dan mengcover
aspirasi dari masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah tersebut.
Sehingga tercapai keseimbangan yang saling menguntungkan antara para pihak
yang bersangkutan.
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pembentukan Peraturan
Daerah berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pembentukan Peraturan Daerah
berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara
Nomor 170/16 Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Banjarnegara, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam pembentukan
peraturan daerah rancangan peraturan Daerah itu berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten/ kota maupun
Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati /Walikota dimana akan
dibahas melalui tingkat-tingkat pembicaraan antara Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten / Kota bersama dengan
114
Pemerintah Daerah baik Gubernur, Bupati / Walikota sampai pada
keputusan untuk menerima atau menolak rancangan Peraturan Daerah.
Apabila rancangan Peraturan Daerah diterima maka akan dilakukan
penetapan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Banjarnegara didasarkan
pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara
Nomor 170/16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. Rancangan Peraturan Daerah
dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati,
yang dibahas melalui dua tingkat pembicaraan yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati.Dan apabila
rancangan Peraturan Daerah itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Bupati maka akan disampaikan kepada pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan penetapan.
B. Saran
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan adanya hak inisiatif
DPRD diharapkan untuk dapat menggunakan hak inisiatif tersebut secara
lebih efektif dan proaktif dalam pembuatan peraturan daerah dengan
menyesuaikan kepentingan masyarakat yang beragam, karena tidak
dipungkiri bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah fondasi
atau penyangga masyarakat dan negara.
115
2.
Pembentukan Peraturan Daerah dituntut untuk mengutamakan kepentingan
masyarakat, untuk itu diharapkan adanya kerjasama yang maksimal antara
Kepala Daerah / Bupati dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD)
sehingga menghasilkan suatu peraturan daerah yang mempunyai aspek
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Ali,Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asshiddiqqie, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi
Press, Jakarta.
________________, tanpa tahun, Perihal Undang-Undang, tanpa penerbit dan kota.
Fauzan,Muhammad, 2010,Hukum Pemerintahan Daerah (Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah), STAIN Press,
Purwokerto.
Hanitjo Soemitro,Ronny,1990,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Huda,Ni‟matul,2011,Hukum Tata Negara Indonesia,Rajawali Press,Jakarta.
Indrati,
Maria Farida,2007,Ilmu Perundang-undangan
Pembentukannya,Kansius,Yogyakarta.
Dasar-dasar
dan
Kansil, C.S.T., 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
116
________________, 1979,Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,Aksara Baru,Jakarta
Marbun,
B.N,1983,Pertumbuhan
Indonesia,Jakarta.
,masalah
dan
masa
depannya,Ghalia
Marzuki, Peter Mahmud, 2006,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.fika Persada,Jakarta.
Purbacaraka Purnadi, dkk,
Alumni,Bandung.
1979,
Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
Ranggawijaya,Rosjidi,1998,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,Mandar
Maju, Bandung.
Situmorang,Victor M,1994,Hukum Administrasi Pemerintahan di daerah,Sinar
Grafika, Jakarta.
Soehino,2003,Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan,Liberty,Yogyakarta
Soejito,Irawan,1989,Teknik Membuat Peraturan Daerah,Bina Aksara,Jakarta
Syamsudin,,Azis,2011, Praktek dan Teknik
Grafika, Jakarta.
Penyusunan Undang-Undang, Sinar
Widjaja,H.A.W., 2002Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
______________,2005,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,PT Grafindo Persada,
Jakarta.
Wirjosoegito,Soenobo,2004,Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Zainal Asikin,Amiruddin,2006,Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Raja
Grafindo Persada,Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
117
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembar Negara
Republik Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor:
170/16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Banjarnegara.
Download