1 PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BANJARNEGARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI DI DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA) SKRIPSI OLEH : INDAH TRISIANA M E1A109004 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 2 Lembar Pengesahan Skripsi PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI DI DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA). Di susun Oleh: Indah Trisiana Maharaningtyas E1A109004 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal 20 Februari 2013 Pembimbing I Pembimbing II Satrio Saptohadi S.H, M.H NIP. 195410181983031002 Tenang Haryanto S.H, M.H NIP. 196206221987021001 Penguji H.A.Komari S.H, M.Hum NIP. 195406061980111001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum NIP.196409231989011001 3 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya , Nama : INDAH TRISIANA MAHARANINGTYAS NIM : E1A109004 Judul Skripsi : PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKAN TAHUN 2011 UNDANG UNDANG TENTANG NOMOR 12 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI DI DPRD KABUPATEN BANJARNEGARA). Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya. Bila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh. Purwokerto, 17 Februari 2013 Indah Trisiana Maharaningtyas 4 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ( Studi di DPRD Kabupaten Banjarnegara). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada: 1.Dr. Angkasa,SH,M.Hum,selaku DekanFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2.Bapak Satrio Saptohadi,S.H.M.H selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 5 3.Bapak Tenang Haryanto,SH,M.H selaku Dosen Pembimbing II skripsi atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 4. Bapak H.A.Komari S.H, M.Hum selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 5. Kedua orang tua saya (AKP.Padang Nur W dan Sumarni), kedua kakak saya (Pandhu Sagita M ,S.S dan Desca Widya M, S.S), keluarga besar saya yang selalu dan senantiasa mendoakan dan mensupport saya. 6. Teman-teman Chrysoberryl house (mba septi, ute, wira, micha, aqsha, qisty, aini, ori), bapak dan ibu Adan . 7.Semua teman-teman FH Paralel Prikitiw dan Regular 2009. 8. Dan semua pihak yang selau mendukung saya ,yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kitas emua. Purwokerto, 17 Februari 2013 Indah Trisiana Maharaningtyas 6 ABSTRAK Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini merupakan pembentukan daerah yang didasarkan pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara nomor 170/16 tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Kbaupaten Banjarnegara dimana tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara. Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normative yang mana bahwa hukum itu sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum sebagai kaidah norma tertulis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam pembentukan peraturan daerah rancangan peraturan Daerah itu berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten/ kota maupun Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati /Walikota dimana akan dibahas melalui tingkat-tingkat pembicaraan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten / Kota bersama dengan Pemerintah Daerah . Berkaitan dengan tersebut diatas bahwa peraturan daerah berdasarkan pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati, yang dibahas melalui dua tingkat pembicaraan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati.Dan apabila rancangan Peraturan Daerah itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati maka akan disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan penetapan.Penetapan dilakukan 7 (tujuh) hari setelah persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan maksimal dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah persetujuan bersama , maka Bupati harus sudah membubuhkan tandan tangan. Kata kunci : rancangan, peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 7 ABSTRACT Establishment of regulation based on of regional regulation of Banjarnegara regency no. 170/16 year 2010 regarding the order at local house of Banjarnegara regency. It purposes to know procedure establishment of regional at Banjarnegara regency that based on the regulation of local house at Banjarnegara no. 170/16 year 2010 about regarding the order local house of Banjarnegara regency. In this research uses yuridis normative method which is the law is written in statury law or rules of lawas the written norm. According of regulation no. 12 year 2011 establishment of legislation in establishment of regional regulation, its draft is coming from Indonesian legislative assembly either province, regency, city or regional government such as governor, regent, mayor in which it will be discussed through the discussion between Indonesian legislative assembly either province, regency, or city with territorial government. In connection with this type of legislation mentioned above that the local regulation is shape based on the regulation of local house at Banjarnegara regency no. 170/16 year 2010 regarding the order at local house of Banjarnegara regency. Draft Regulation may be submitted by the Regional Representatives Council and the Regent, which is discussed through two levels of talks conducted by the Regional Representatives Council along with the draft Regional Regulation if it is approved by the Board of Regents of the Regional Representatives and then be submitted to the leadership of the Board Regional Representatives to do the determination. Keywords: design, legislation, regulations, local house 8 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv ABSTRAK .......................................................................................................... vi ABSTRACT........................................................................................................ vii DAFTAR ISI ......................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………......………………………… 1 B. Perumusan Masalah……..………………………………………... 7 C. Tujuan Penelitian……..…………………………………………... 8 D. Kegunaan Penelitian…..………………………………………….. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemerintahan Daerah 1. Pengertian Pemerintahan…………..………………………… 10 2. Landasan Hukum...................................................................... 14 a. Pasal 18 UUD 1945……………………..………………. 14 9 b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah…………………...………………………………. 18 c. Asas-asas Pemerintahan Daerah………………………… 24 B. Peraturan Perundang-undangan 1. Pengertian Perundang-undangan……………………..……. 33 2. Azas Perundang-undangan……………………………….... 36 3. Teori Perundang-undangan……………………………….... 40 4. Materi Muatan Perundang-undangan………………………. 43 5. Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan………… 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan……………………………………………. 48 B. Spesifikasi Penelitian ………………………………………….. 49 C. Jenis Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Sekunder…………………………………… 49 2. Bahan Hukum Primer……………………...………………. 50 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum………………………..... 50 E. Metode Penyajian Bahan Hukum……………………………… 51 F. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………... 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian…………………………………………………. 52 10 B. Pembahasan………………………………….………………….. 84 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………. …………………………….103 B. Saran …………………………..………………………………..104 DAFTAR PUSTAKA 11 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Ini berarti bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum, dalam arti cita hukum (rechtsidee) yang di dalamnya mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia.1 Hukum yang adil di Indonesia adalah hukum yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan bangsa Indonesia, mampu melindungi kepentingan-kepentingan material dan spiritual dan mampu melindungi kepribadian dan kesatuan bangsa, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar cita-cita nasional.2 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ,menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis karena mengikutsertakan rakyatnya dalam suatu pengambilan kebijakan.Indonesia sebagai negara hukum mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan atas hukum yang selaras dengan sistem 1 C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 538 2 Ibid, hal. 539 12 hukum nasional Indonesia.Sistem hukum nasional Indonesia merupakan suatu gabungan dari beberapa elemen–elemen hukum yang saling berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari lingkup terkecil yaitu desa sampai lingkup terbesar adalah negara.Sehingga peraturan yang mengatur itu pun berbeda-beda dari setiap lingkupnya. Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan umum seluruh rakyat, pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan negara yang biasanya disebut peraturan perundangan. Semua peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah harus didasarkan dan/ atau melaksanakan UndangUndang Dasar daripada negara Indonesia. Dengan demikian semua peraturan perundangan Republik Indonessia dikeluarkan harus berdasarkan dan/ atau melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 1 angka (2) di dalam Bab I Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.” 13 Hal tersebut menjelaskan, bahwa perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur (regulasi) itu dari legislasi yang bersangkutan.3 Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi tentang pembentukan hukum Negara. Ilmu pengetahuan perundang-undangan secara garis besar terbagi kedalam dua bagian yakni teori perundang-undangan (gezetzdebungsteorie) dan ilmu perundangundangan (gezetzgebungzlehrc).4 Pembentukan peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundangundangan. Dengan kata lain bahwa pembentukan Undang-Undang akan mendukung proses pembangunan hukum nasional dan memenuhi harapan masyarakat jika dilandasi oleh adanya suatu kajian yang memadai dan 3 Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal 27-28 4 Azis Syamsudin, 2011,Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Grafika,Jakarta, hal.2. 14 komprehensif melalui prosedur yang tertata dalam tahap-tahap yang tersusun dan adanya suatu teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membentuk Undang-undang. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi;dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berbicara jenis peraturan perundang-undangan, kita perlu pemahanan lebih dalam terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana yang dimaksud didalamnya lebih menekankan pada ketentuan hierarki atau perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Setiap jenis peraturan perundang-undangan tersebut di atas memiliki fungsi, tujuan, teknik pembentukan yang berbeda-beda,karena dalam pemakaiannya berbeda.Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. itu pun 15 Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa : “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan PerundangUndangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati /Walikota.” Berdasarkan pengertian peraturan daerah tersebut di atas, jelas menyebutkan bahwa kedudukan DPRD, baik di tingkat provinsi maupun di Kabupaten dan kota jelas merupakan lembaga menjalankan kekuasaan legislatif di daerah. Di samping itu, pengisian jabatan keanggotaannya juga dilakukan melalui pemilihan umum. Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota samasama dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya lembaga legislatif dan eksekutif, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, dan sama-sama terlibat dalam proses pembentukan suatu Peraturan Daerah. Karena itu, seperti halnya Undang-Undang di tingkat pusat, Peraturan Daerah dapat dikatakan juga merupakan produk legislatif di tingkat daerah yang bersangkutan, dan tidak disebut sebagai produk regulatif atau executive acts.5 Disusunnya Badan-Badan Perwakilan di daerah bukan untuk menyusun dan membentuk ataupun mendirikan negara baru atau merubah Undang-Undang Dasar 1945 baik sebagian maupun keseluruhan,melainkan untuk menegakan,mempertahankan,mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakan demokrasi.6 5 Jimly Assiddiqqie,op.cit, hal. 32-33 6 Kansil,C.S.T,.Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,Aksara Baru,Jakarta,1979.hal 12 16 Adanya pembentukan DPRD di daerah dapat pula dikatakan sebagai adanya suatu perwujudan dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mana diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mana lebih menekankan pentingnya otonomi daerah dalam rangka pemerataan pembangunan nasional.Hal ini didasarkan pada suatu asumsi yang mana masyarakat daerah yang bersangkutanlah yang lebih mengetahui dinamika daerahnya sendiri. Pembentukan peraturan daerah itu merupakan suatu pekerjaan yang sulit,karena dituntut kesempurnaan seperti dalam hal sistematis,tatanan bahasa,istilah dan juga banyaknya berbagai jenis materi yang akan diatur sesuai dengan kebutuhan. Suatu peraturan yang baik dalam persiapan pembuatannya membutuhkan pengetahuan mendalam dari materi yang akan diatur,memiliki kemampuan untuk menemukan inti dari fakta-fakta yang sudah tumbuh sejak lama serta mengungkap ke dalam bentuk peraturan yang singkat dan dengan bahasa yang jelas. Wewenang dalam membuat peraturan daerah terdapat pada eksekutif / Kepala Daerah dan legislatif / DPRD. Dimana masing-masing badan baik eksekutif maupun legislatif berhak mengajukan rancangan peraturan daerah ,dan dalam hal penetapan peraturan daerah kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD.Peraturan daerah memiliki kareakteristik yang sifatnya mengatur,yakni mengatur hubungan antara pemerintah daerah, masyarakat dan 17 stake hoder local seperti dunia usaha.Peraturan daerah bukan hanya mengatur hal-hal yang menyangkut atau berhubungan dengan kehidupan politik , sosial dan budaya masyarakat. Daerah Kabupaten /Kota di Indonesia sangatlah banyak,yang memiliki keanekaragaman budaya,adat istiadat yang berbeda.Peran Pemerintah Daerah sangatlah penting dalam mengatur masyarakatnya, oleh karena itu dalam pembuatan Peraturan Daerah harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya yang cenderung dinamis. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul “Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Studi di DPRD Kabupaten Banjarnegara).” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan? 2. Bagaimanakah prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 18 Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara? C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulisan ini memiliki tujuan: 1. Untuk mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 2. Untuk mengetahui prosedur pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Dalam penelitian ini di harapkan agar hasil penelitian nantinya dapat memberikan ataupun menambah pengetahuan terutama dalam hukum hukum tata negara di Indonesia, berkaitan dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan peraturan atau Undang-Undang sebelumnya serta berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun 19 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. 2. Kegunaan Praktis Bagi praktisi hukum, dan pelaksana lembaga pemerintahan atau lembaga Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif yang ada di Indonesia penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau menambah pengetahuan tentang hal – hal yang berhubungan dengan proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemerintahan Daerah 1. Pengertian Pemerintahan Dalam kepustakaan banyak dijumpai istilah “pemerintah” dan “pemerintahan”.Kedua istilah tersebut dalam keseharian seolah-olah mempunyai pengertian yang sama, namun sebenarnya dalam kajian etimologis, istilah pemerintah berasal dari kata „perintah” yang berarti menyuruh melakukan sesuatu, sehingga dapat dikatakan bahwa: 1) Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara atau badan yang tertinggi, yang memerintah suatu negara, seperti kabinet merupakan suatu pemerintah; 2) Pemerintahan dilihat dari segi tata bahasanya merupakan kata “jadian” yang memperoleh akhiran “an”, artinya pemerintah sebagai subyek melakukan tugas/kegiatan. Sedangkan cara melakukan tugas/kegiatan itu disebut sebagai “pemerintahan” atau dengan kata lain, “pemerintahan” adalah perbuatan manusia. Sedangkan akhiran “an” mengandung arti jamak.7 Apabila dipahami terhadap kedua istilah tersebut ,maka secara dasar memiliki perbedaan yang signifikan, pemerintah mengandung pengertian yang menunjuk pada suatu badan atau alat kelengkapan yang menjalankan 7 Muhammad Fauzan,Hukum Pemerintahan Daerah(Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah),STAIN Press,Purwokerto,2002,hal.16 21 suatu fungsi. Sedangkan pemerintahan mengandung pengertian menunjuk pada suatu fungsi yang dijalankan atau dikerjakan. Sehingga dapat disimpulkan dari kedua istilah tersebut bahwa pemerintah lebih mengarah kepada subjek sedangkan pemerintahan kepada objek. Suatu organ pemerintah yang menjalankan fungsinya dalam suatu bidang tertentu mempunyai lingkup arti yang berbeda,yaitu pemerintah dalam arti sempit dan luas. a. Pemerintah dalam arti sempit adalah menunjuk kepada aparatur atau alat perlengkapan negara yang melaksanakan tugas dan kewenangan pemerintahan dalam arti sempit yang diartikan hanya sebagai tugas dan kewenangan negara dalam bidang eksekutif saja. b. Pemerintah dalam arti luas adalah menunjuk kepada semua aparatur /alat perlengkapan negara sebagai kesatuan yang menjalankan segala tugas dan kewenangan / kekuasaan negara atau pemerintahan dalam arti luas meliputi bidang legislative,eksekutif,dan yudikatif.8 Istilah “penyelenggaraan pemerintahan” adalah merupakan suatu bentuk proses adanya pelaksanaan kegiatan yang merupaka dengan tugas atau kewenangan negara yang dimiliki oleh badan pemerintah dalam hal ini eksekutif saja. Hal ini berlaku baik ditingkat Pusat maupun Daerah yang bermula dari adanya suatu pembagian kekuasaan dari pusat ke daerah. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembagian kekuasaan dibagi menjadi 8 Ibid.,hal 17 22 dua yaitu pembagian kekuasan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal.Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah merupakan suatu pembagian kekuasaan yang ada dalam suatu negara yang mana diserahkan ke dalam tiga badan yang sejajar kedudukannya yaitu kekuasaaan eksekutif yang diserahkan kepada pemerintah,kekuasaan legislatif kepada parlemen dan yudikatif kepada peradilan.Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal adalah merupakan pembagian kekuasaan dari pemerintah yang lebih tinggi (pusat) ke yang lebih rendah “daerah”. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik,. Kemudian Pasal 4 ayat (1) menentukan : “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dan Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Berdasarkan Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (2), pemerintahan daerah yaitu: penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 23 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah lainnya, yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Ketentuan tersebut berbeda dengan yang ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kondisi pemerintah daerah pada masa orde baru lebih menonjolkan peran eksekutif sebagai penyelenggara pemerintah daerah,seiring dengan adanya pemberlakuan otonomi daerah yang baru maka Undang-Undang ini menghendaki pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai suatu lembaga legislatif. Selain itu, Pemerintah daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daaerah (DPRD).9Pemerintah daerah terdiri dari Gubernur, Bupati dan Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah. 9 H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 140. 24 Sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas,bahwa penyelenggara pemerintahan di daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD).Dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan ,pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi,tugas pembantuan serta dekonsentrasi sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. 2.Landasan Hukum a. Pasal 18 Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik.” Sehingga adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan. Selain itu, berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuklah daerah otonom yang tujuannya adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. 25 2. Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Gubernur,Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. 5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. 6. Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan pembentukannya sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 maka kepada daerah diberikan wewenangwewenang untuk melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh karena itu, setiap pembentukan Daerah Otonom Tingkat I ataupun II harus selalu memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi,jumlah penduduk,luas daerah pertahanan dan keamanan yang memungkinkan 26 daerah otonom melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.10 Selanjutnya bahwa di dalam pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah provinsi,kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur sebagaimana mestinya oleh undang-undang dengan tetap memperhatikan keragaman daerah.Hubungan yang diatur antara lain hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur berdasarkan undang-undang dan dilaksanakan secara selaras, serasi dan seimbang. Selain itu dalam pasal 18 B UUD 1945 ,ditegaskan bahwa : 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undangundang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur didalam undang-undang. Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pasal pasal tersebut (pasal 18, 18A, 18B ), Maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 10 B.N Marbun,DPRD Pertumbuhan,Masalah dan Masa Depannya,Jakarta,Ghalia Indonesia,1983,hal 83 27 a. Daerah bukan merupakan atau tidak bersifat “staat” atau negara (dalam negara); b. Daerah itu adalah merupakan daerah otonom atau daerah administrasi; c. Wilayah Indonesia adalah merupakan satu kesatuan yang akan dibagi dalam daerah provinsi, dan dari daerah provinsi akan dibagi ke dalam daerah –daerah yang lebih kecil seperti kabupaten atau kota; d. Negara Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serata adanya suatu kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan budanyanya sendiri dan hak-hak tradisionalnya, dan ini merupakan dasar dalam pembentukan Daerah Istimewa dan pemerintah desa; e. Dalam suatu daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum; f. Adanya suatu prinsip dalam menjalankan otonomi yang seluasluasnya (Pasal 18 ayat 5); g. Adanya suatu prinsip di daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasar pada asa otonomi dan tugas pembantuan. 28 h. Bahwa hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah harus dijalankan selaras dan adil. b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah,dipandang perlu untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi,peran serta masyarakat,pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.11 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Lembaran Negara Republik Indonesia, diatur secara jelas mengenai Otonomi Daerah yang tertulis dalam penjelasan UUD 1945 yaitu: Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam menghadapi perkembangan keadaan baik didalam maupun diluar negeri serta tantangan persaiangan global dipandang perlu adanya penyelenggaraan oronomi daerah dengan memberikan kewenangan yang 11 HAW Widjaja,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2005,hal 36 29 luas ,nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan peraturan,pembagian,pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,peran serta masyarakat,pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.12 Sejak dimunculkannya otonomi daerah yang pelaksanaannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang ternyata dalam kenyataannya tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,sehingga perlu direvisi dan kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.Otonomi daerah berarti hak,wewenang dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan otonomi daerah. Otonomi daerah itu harus merupakan otonomi yang bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannnya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara. 12 Ibid hal 40 30 Selanjutnya dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dikemukakan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan masyarakat dalam sistem negara Kestuan Republik Indonesia. Selain itu dalam pasal 10 (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya di daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Sehingga pada hakekatnya pembentukan daerah otonom dimaksud untuk memperlancar roda pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan yang melibatkan adanya partisipasi dari masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,pemerintah daerah berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik” atau “AUPB”.Di negara Belanda ,AUPB ini sudah diterima dan sebagai norma hukum tak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan. Secara Yudiris asas-asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: 31 1. Asas Kepastian Hukum Yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan landasan pertauran perundang-undangan,kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijaksanaan penyelenggaraan negara. 2. Asas Tertib Penyelenggara Negara Yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan dan keseimbangan dalam mengendalikan penyelenggaraan negara. 3. Asas Kepentingan Umum Yaitu asas yang mendahulukan gankesejahteraan umum dengan cara aspiratif,akomodatif dan selektif. 4. Asas Keterbukaan Yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi golongan dan rahasia negara. 5. Asas Profesionalitas Yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara. 6. Asas Akuntabilitas Yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 32 7. Asas Proporsionalitas Yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Asas Efisiensi dan Efektivitas Yaitu asa yang menyangkut tentang pencapaian tujuan dari kebijaksanaan yang ditetapkan yaitu untuk mewujudakan pemerintahan berdaya guna dan berhasil guna khususnya berkenaan dengan prosedur. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,mengatur bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah ,daerah mempunyai hak dan kewajiban.Adapun hak yang dimiliki dalam menyelenggarakan otonomi meliputi: 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. Memilih pimpinan daerah; 3. Mengelola aparatur daerah; 4. Mengelola kekayaan daerah; 5. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 6. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;dan 7. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 33 Selain itu, dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 daerah juga dibebani beberapa kewajiban yaitu: 1. Melindungi masyarakat,menjaga persatuan,kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Inodnesia; 2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; 3. Mengembangkan kehidupan demokrasi; 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan; 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 6. Menyediakan pelayanan fasilitas kesehatan; 7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 8. Mengembangkan sistem jaminan sosial; 9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; 10. Mengembangkan sumber produktif di daerah; 11. Melestarikan lingkungan hidup; 12. Mengelola administrasi kependudukan; 13. Melestarikan nilai sosial budaya; 14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; 15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja dalam sistem pengelolaan di daerah. Sesuai dengan asas-asas yang dikemukakan diatas,bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara efektif,efisien,bertanggung 34 jawab,transparan dan sesuai atau taat terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Walaupun demikian tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan pada daerah menjadi urusan rumah tangganya.Tetapi berat bagi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih menjadi wewenangnya atas dasar asas desentralisasi dan tugas pembantuan,mengingat keterbatasannya kemampuan perangakat pemerintah pusat di daerah. c. Asas-asas Pemerintahan Daerah Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam suatu konteks negara kesatuan merupakan salah satu hal yang penting.Adanya satuan pemerintahan di tingkat daerah adalah konsekuensi adanya pembagian kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum.Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah adalah pembagian kekuasaan secara vertikal, yang mana dalam hal tugas dan wewenang pemerintah yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ,pemerintah harus berpedoman terhadap beberapa asas yaitu :13 1. Asas Keahlian,asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah pusat.Semua soal diolah oleh para ahli-ahli antara lain dalam susunan kementerian-kementerian.Yang memegang pimpinan pada 13 Muhammad Fauzan,Op.cit,.hal 38 35 kementerian-kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan-urusan yang menjadi kompetensinya; 2. Asas Kedaerahan,dengan bertambah banyaknya kepentingan – kepentingan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat (dalam arti luas) karena bertambah majunya masyarakat,pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingankepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam melakukan pemerintahan. Berdasarkan asas keahlian,maka setiap urusan pemerintahan harus secara benar diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian dalam bidangnya.Adapun asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tertentu. Selain itu, adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan - urusan pemerintahan dilaksanakan melalui beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada 3 asas yang digunakan, antara lain : 1. Asas Desentralisasi Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin de= lepas dan centrum= pusat,dengan demikian berarti melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan,yang dimaksud dengan desentralisasi ialah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah yang mengurus 36 rumah tangganya sendiri.14Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan yang merupakan kebalikan daari sentralisasi.Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan – kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan,inisiatif dan administrasi sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ,desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sisten Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa pakar asing maupun dalam negeri juga memberikan pendefinisian mengenai desentralisasi dengan berbagai variasi dan perkembangannya,antara lain :15 a. Webser Webser mengatakan bahwa : “To decentralize means to devide and distribute,as governmental administration;to withdraw from the center or place of 14 Victor M Situmorang,Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah,Sinar Grafika,Jakarta,1994,hal 33 15 Muhammad Fauzan, Op.cit ,.hal 44 37 concentration”.(desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan,misalnya administrasi,pemerintahan;mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi.) b. Rondinelli dan Chemma Menurut Rondinelli dan Chemma desentralisasi adalah “… the transfer of planning,decision making,or administrative authority from the central government to its field organizations,local administrative units,semi-autonomous and parastatal organizations.”(desentralisasi perencanaan,pembuatan keputusan adalah atau penyerahan kewenangan administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi tingkat bawah,kesatuan-kesatuan administrasi daerah,semi otonomii dan organisasi…) c. J.H.A Logemann Menurut J.H.A Logemann desentralisasi adalah “Van decentralizatie spreek men als regel,iindien overheidswerkzaamheid va de landoverheid wordt afgewenteld op zelfregerende gemeenschappen.”(orang berbicara desentralisasi sebagai ketentuan,jika pekerjaan penguasa negara dilimpahkan kepada persekutuan-persekutuan yang berpemerintahan sendiri). 38 Desentralisasi merupakan suatu bentuk pemencaran kekuasaan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, karena desentralisasi bersifat kenegaraan, sehingga penyelenggaraan desentralisasi merupakan bagian dari organisasi negara dan menunjukan adanya suatu tatanan negara.Berkaitan dengan desentralisasi,cirri-ciri desentralisasi meliputi : a. Bentuk pemencaran adalah penyerahan; b. Pemencaran terjadi kepada daerah; c. Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan; dan d. Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan daerah.16 Ada dua jenis desentralisasi yaitu desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah suatu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan batas pengaturannya adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus suatu fungsi tertentu dan batas pengaturan yang termaksud adalah jenis dan fungsi itu sendiri. Apabila dilihat dari sudut pandang organisasi pemerintahan,desentralisasi semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien yanitu yang lebih dianggap utama untuk diurus pemerintah setempat dan pengurusannya diserahkan kepada daerah. 16 Ibid 39 2. Asas Dekonsentrasi Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal di wilayah itu. Amrah muslimin mengartikan dekonsentrasi ialah pelimpahan dari sebagian kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah. Irawan Soejito mengartikan dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan penguasa kepada pejabat bawahannya sendiri. Sedangkan Joeniarto mengatakan dekonsentrasi adalah pemberian wewenang oleh pemerintah pusat (atau pemerintah atasannya) kepada alat-alat perlengkapan bawahan untuk menyelenggarakan urusan-urusannya yang terdapat di daerah.17 R.D.H Koesoemahatmadja memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari alat perlengakapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya,misalnya menteri kepada Gubernur,dari Gubernur kepada Bupati dan seterusnya.18 Dekonsentrasi dianggap sebagai salah salah satu bentuk sentralisasi karena ada pemusatan kekuasaan negara pada pemerintah pusat atau 17 18 NiāMatul Huda,Hukum Tata Negara Indonesia,Rajawali Press,Jakarta,2011,hal 314 R.D.H Koesoemahatmadja dalam Muhammad Fauzan,Op.cit ,hal 51 40 penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melakukan wewenang tertentu dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat di daerah. Dekonsentrasi lebih menunjuk pada kecenderungan-kecenderungan untuk menyebarkan fungsi – fungsi pemerintahan pada suatu jenjang tertentu secara meluas. Berdasarkan uraian diatas ,dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri dekonsentrasi antara lain: a. Adanya suatu bentuk pemencaran kekuasaan yang berupa pelimpahan; b. Pemencaran kekuasaan terjadi pada pejabat itu sendiri (perorangan); c. Yang dipencarkan adalah wewenang untuk melaksanakan sesuatau; d. Hal yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri. Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi yaitu: 1. Segi Wewenang ,asas ini memberikan atau melimpahkan wewenang dari pemerintah pusat ke pejabat daerah untuk meelaksanakan tugas pemerintah pusat yang ada di daerah. 2. Segi Pembentuk Pemerintah ,dapat membentuk pemerintah local administrasi di daerah,untuk diberi tugas menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah. 3. Segi Pembagian wilayah ,asas ini membagi wilayah negara menjadi wilayah daerah-daerah pemerintah local administratif.19 3. Asas Tugas Pembantuan 19 NiāMatul Huda,Op.cit,.hal 315-316 41 Istilah medebewind sebagai terjemahan dari tugas pembantuan untuk pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven.Secara etimologis,tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda medebewind yang berasal dari kata ‘mede’= serta ,turut dan bewind = berkuasa atau memerintah.Medebewind merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi,oleh yang rendah.20 Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada Daerah dan / atau desa ,dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/kota dan / atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Apabila ditinjau dari kaitan tugas pembantuan dengan desentralisasi dan hubungan antara pusat dan daerah ,maka dalam pelaksanaan tugas pembantuan seharusnya bertitik tolak dari hal-hal sebagai berikut: a. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi .Dengan demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang bersangkutan; b. Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi karena itu daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan melaksanakan tugas pembantuan; dan 20 Ibid., hal 69 sendiri cara-cara 42 c. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi,mengandung unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen ).Perbedaan kalau otonomi adalah penyerahan penuh, sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.21 Tugas Pembantuan “medebewind” itu merupakan suatu realisasi dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,dimana dalam pelaksanaanya diperlukan adanya koordinasi antara pemerintah daerah dengan berbagai instansi yang terkait yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu : 1.) Materi yang dilaksanakan tidk termasuk rumah tangga daerah otonom untuk melaksanakannya.Dalam penyelenggaraan pelaksanaan itu daerah otonom mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan yang mengharuskan member kemungkinan untuk itu. 2.) Yang dapat diserahkan hanya daerah-daerah saja. Berdasarkan pasal tersebut ,maka yang terpenting dalam pelaksanaan tugas pembantuan adalah adanya pertanggungjawaban yang diemban oleh satuan pemerintahan yang membantu. Ketika menjalankan “medebewind” urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap menjadi urusan pusat dan daerah yang lebih atas 21 Ibid ,hal 75 43 tidak beralih menjadi urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan ,dan apabila dalam hal daerah yang dimintakan bantuan tidak dapat diminta pertanggungjawaban maka pelaksanaan tugas pembantuan itu dapat dihentikan. B. Peraturan Perundang-undangan 1. Pengertian Perundang-undangan Ilmu perundang-undangan adalah suatu ilmu yang berorientasi dalam hal melakukan perbuatan (dalam hal ini adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.Selanjutnya Burkhardt Krems dalam bukunya Maria Farida Indrati menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan(Gezetzgebungswissenschaft) merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : 1. Teori Perundang-undangan (Gezetzgebungtheorie),yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertianpengertian dan bersifat kognitif; 2. Ilmu Perundang-undangan (Gezetzgebungzlehre),yang berorientasi pasa melakukan perbuatan dlam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif. Burkhardt Krems membagi lagi ke dalam tiga bagian yaitu : 1. Proses Perundang-undangan (Gezetzgebungfahren); 2. Metode Perundang-undangan (Gezetzgebungmethode); 44 3. Teknik Perundang-undangan (Gezetzgebungtechnik).22 Lingkup batasan pengertian undang-undang tidak diterangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan pemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undangundang terhadap UUD. Salah satu bentuk undang-undang atau statute yang dikenal dalam literatur adalah local statute atau locale wet, yaitu undang-undang yang bersifat lokal. Dalam literature dikenal pula adalah istilah local constitution atau locale grondwet. Di lingkungan negara-negara federal seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman, dikenal adanya pengertian mengenai Konstitusi Federal (Federal Constitution) dan Konstitusi Negara-negara Bagian (State Constitution).23 Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum (suatu pengantar) menyebutkan bahwa pengertian undang-undang dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) pengertian, diantaranya : a. Undang-undang dalam arti materiil Undang-undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. b. Undang-undang dalam formil 22 Maria Farida Indrati ,Ilmu Perundang-undangan Dasar -Dasardan Pembentukannya,Jilid I ,Kansius,Yogyakarta,2007 hal 2-3 23 Jimly Asshiddiqie, tanpa tahun, Perihal Undang-Undang, tanpa penerbit dan kota, hal. 91 45 Keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “undangundang” karena cara pembentukannya.24 Istilah “perundang-undangan” (legislation atau gezetsgebung ) mempunyai dua pengertian yang berbeda,yaitu : 1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peeraturan negara baik ditingakt pusat maupun di tiingkat daerah ; dan 2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara,yang merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pust maupun di tingkat daerah.25 Disamping itu, ada 3 (tiga) fungsi utama dari ilmu perundangundangan ,yaitu : 1. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dlam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara yang senantiasa berkembang; 2. Untuk menjembatani lingkup hukum adat dengan hukum yang tidak tertulis lainnya; dan 3. Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi masyarakat.26 Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila berbicara tentang Ilmu perundang-undangan maka dalam prosesnya akan membahas pula mengenai pembentukan peraturan-peraturan negara dan sekaligus semua 24 Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 72 25 Aziz Syamsuddin,Op.cit,. hal 13 26 Ibid 46 peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan negara baik yang ada ditingkat pusat maupun yang ada ditingkat daerah. 2. Azas Perundang-undangan Peraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya berpedoman pada asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai aksioma yang memberi jalan pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau aturan yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam pelaksanaannya atau dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan universal yang berupa pemikiran-pemikiran dasar untuk dijadikan landasan pengaturan bersama dalam membuat peraturan perundang-undangan. Asas-asas sebagai dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut : a. Asas lex speciali derogat lex generalis b. Asas le posteriore lex priori c. Asas undang-undang tidak berlaku surut d. Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat e. Asas welvaartstaat.27 Asas-asas lain yang perlu dikemukakan adalah asas yang merupakan pegangan para pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu : a. Asas deskresi b. Asas adaptasi 27 Faried Ali, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 197 47 c. Asas kontinuitas d. Asas prioritas.28 I.C Van der Vlies,membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut ke dalam asas formal dan asas material. Asas-asas formal meliputi : a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling) b. Asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ ) c. Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheids beginsel ) d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitverbaarheid ) e. Asas Konsensus (het beginsel van consensus ) Asas – asas material meliputi : a. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek ) b. Asas Tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid ) c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechszekerheidsbeginsel ) d. Asas kepentingan hukum (het rechtszekerheidsbeginsel ) e. Asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasar atas hukum yang dianut negara Indonesia f. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling ). A.Hamid .Attamimi dalam bukunya Aziz Syamsuddin berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut: 28 Ibid, hal 200 48 1. Cita hukum Indonesia adalah Pancasila; 2. Asas negara berdasarkan atas hukum dan asa pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi; 3. Asas-asas lainnya : ļ· Asas –asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum; ļ· Asas pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.29 Menurut Purnadi Purbacaraka ,ada enam jenis asas perundang undangan yaitu: a. Undang-undang tidak berlaku surut; b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi ,mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali ); d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogate lex priori ); e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan individu,melalui pembaharuan atau pelestarian.30 Berdasarkan perkembangannya ada 2 (dua) jenis asas, yaitu: 29 Aziz Syamsuddin,Op.cit hal 29-31 30 Purnadi Purbacaraka dkk,Perundang-undangan dan Yurisprudensi,Alumni,Bandung,1979,hal 15 49 1. Asas yang berlaku secara Internasional Untuk membuat perundang-undangan terdapat 5 (lima) asas yaitu: - Lex specialis derogate legi generali - Lex Posterior derogate legi priori - Lex superior derogate legi inferiori - Undang-undang tidak berlaku surut (Asas Retroaktif) - Undang-undang tidak boleh diganggu gugat 2. Asas yang berlaku secara Nasional Asas-asas peraturan perundng-undangan di Indonesia yang berdasarkan ketentuan terbaru dalam pasal 5 dan pasal 6 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,antara lain: Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan asas pembentukan peraturab perundang-undangan yang baik,antara lain : - Kejelasan Tujuan; - Kesesuaian antara jenis , hierarki dan materi muatan; - Dapat dilaksanakan; - Kedayagunaan dan kehasilgunaan; - Kejelasan Rumusan; - Keterbukaan. 50 Sedangakan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,menyebutkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas : - Pengayoman; - Kemanusiaan; - Kebangsaan; - Kekeluargaan; - Kenusantaraan; - Bhineka Tunggal Ika; - Keadilan; - Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; - Ketertiban dan kepastian hukum ; dan / atau - Keselarasan,Keserasian dan Keseimbangan. 3. Teori Perundang-undangan Suatu norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif tergantung dari norma hukum yang lebih tinggi atau di atasnya.Sehingga apabila norma hukum di atas dihapus maka norma hukum yang di bawahnya secara otomatis terhapus . Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma 51 dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.31 Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).32 Selain itu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal ada 3 (tiga ) landasan teori agar suatu perundang-undangan itu baik.Seperti halnya yang dikemukakan oleh Gustav Redburg dari Eropa bahwa ada 3 (tiga) landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diterapkan di negara demokrasi antara lain : a. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek yuridis. b. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek filosofis. c. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek sosiologis. 31 Maria Farida Indrati ,Op.cit,.hal 25 32 Aziz Syamsuddin,Op.cit,. hal 15 52 Hal itu sesuai yang dikemukakan oleh Rosjidi Ranggawijaya,bahwa perturan perundang-undangan yang baik harus memiliki tiga landasan yaitu landasan folosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis.33 a. Landasan Filosofis Dasar filosofis merupakan cita hukum. Atau dengan kata lain bahwa filsafat adalah pandangan hidup bangsa dan merupakan nilai-nilai moral dari suatu bangsa tersebut.Dimana dalam moral itu berisi nilai baik dan nilai buruk.Nilai baik adalah nilai yang mengandung keadilan,kebenarn, kejujuran dan semua nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. b. Landasan Sosiologis Dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada daya guna dan hasil guna, mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.Peraturan yang dibuat harus berdasarkan pada keyakinan umum dan kesadaran masyarakat karenan nantinya peraturan itu akan diberlakukan kepada masyarakat. c. Landasan Yuridis Landasan yang menekankan bahwa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan itu harus memberikan kepastian hukum seperti: ketepatan waktu,tidak ada diskriminasi .Selain itu, landasan yuridis sangat penting karena akan menunjukan adanaya kewenangan dari pembuat 33 Rosjidi Ranggawijaya,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 1998,hal 43 53 undang-undang, adanya hierarki (tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi), adanya kesesuaian jenis, materi muatan yang akan diatur. Landasan yuridis menjadi dasar kewenangan pembuat peraturan perundang-undangan.Sehingga apabila pejabat atau badan hukum tidak disebutkan dalam undang-undang memiliki kewenangan membuat suatu peraturan maka pejabat atau badan hukum itu tidak berwenang untuk itu.Seperti dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk Undangundang. 4. Materi Muatan Perundang-undangan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: Materi Muatan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal membuat suatu perundang-undangan terkait dengan adanya materi muatan yang akan diatur, dala m Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas : a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; 54 d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka Tunggal Ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan / atau j. Keseimbangan, keserasian, keselarasan. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa materi muatan yang diatur dengan undang-undang berisi: a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi : 1. Hak-hak asasi manusia 2. Hak dan kewajiban warga negara 3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. Wilayah negara dan pembagian daerah; 5. Kewarganegaraan dan kependudukan; dan 6. Keuangan negara34 b. Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undangundang; 34 Aziz Syamsuddin,Op.cit,,hal 43 55 a. Pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi;dan / atau c. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat 5. Landasan Hukum Peraturan Perundang-undangan Indonesia adalah negara hukum , sehingga konsekuensi dari negara hukum bahwa harus mencakup elemen penting seperti : adanya perlindungan Hak Asasi Manusia, pembagian dan pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan dengan undang-undang.Terkait dengan pemerintahan berdasar dengan undang-undang maka segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum. Hukum yang dibuat untuk mengatur segala penyelenggaraan pemerintahan itu berlandaskan sumber hukum yang lebih tinggi.Berdasarkan perkembangannya Indonesia mempunyai 4 (empat) landasan hukum perundang-undangan, antara lain : 1. Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Produk Perundang-undangan Hukum yang pertama Republik yang Indonesia.Merupakan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang isinya: a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; b. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 56 c. Peraturan pemerintah; d. Keputusan Presiden; dan e. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti: 3. Peraturan menteri; 4. Instruksi menteri; 5. Dan lain-lainnya. 2. Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-undang; d. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang; e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden; dan g. Peraturan Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/ Peraturan Undang; c. Peraturan Pemerintah; Pemerintah Pengganti Undang- 57 d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah: ļ§ Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; ļ§ Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan bupati/walikota; ļ§ Peraturan Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau lainnya. 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Undang; d. Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah Provinsi; dan f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pengganti Undang- 58 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Tipe pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pada penelitian hukum ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.35 Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.36 Metode pendekatan atau penelitian menggunakan perundang-undangan (statute approach ) yaitu menelaah semua Undang-Undang dan peraturan yang ada tentunya berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga adanya gambaran sebagai suatu sistem yang tertutup dengan sifat comprehensive,all-inclusive dan systematic. 35 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 36 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 13-14. 59 2. Spesifikasi Penelitian Untuk mendekati pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian preskriptif, menurut Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep hukum, dan norma hukum.Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan, ramburambu dalam melaksanakan aturan hukum.37 3. Jenis Bahan Hukum a. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder karena pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi :38 a) Bahan hukum primer yang terdiri dari : 1) Norma dasar Pancasila; 2) Peraturan dasar; batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR; 3) Peraturan perundang-undangan; 37 Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group,, Jakarta,2006, hal 22. 38 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hal. 11-12. 60 4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat. b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yang terdiri dari : 1) Rancangan peraturan perundang-undangan; 2) Hasil karya ilmiah para sarjana; 3) Hasil-hasil penelitian. c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya : 1) Bibliografi; 2) Indeks kumulatif. b. Bahan Hukum Primer Dalam penelitian ini juga diperlukan bahan hukum primer yang berfungsi sebagai pelengkap/pendukung bahan hukum sekunder. Bahan huk um primer diperoleh melalui wawancara yang bersumber dari keteranganketerangan Kepala DPRD Kabupaten Banjarnegara. 4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan–peraturan dan ketentuan-ketentuan serta literature yang terkait 61 dengan pembentukan peraturan daerah. Selain itu digunakan juga berupa studi kepustakaan, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. b. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan Kepala DPRD Kabupaten Banjarnegara. 5. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan Hukum yang diperoleh selanjutnya akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa bahan hukum sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. 6. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang berasal dari norma-norma hukum, peraturan pernundang-undangan dan teori perundangundangan dan nantinya akan diratik kesimpulan. 62 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kondisi Umum Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banjarnegara terletak di antara 7° 12' - 7° 31' Lintang Selatan dan 109° 29' - 109° 45'50" Bujur Timur. Luas Wilayah Kabupaten Banjarnegara adalah 106.970,997 ha atau 3,10 % dari luas seluruh Wilayah Provinsi Jawa Tengah. Dengan lahan pertanian sawah seluas 14.663 hertar dan lahan pertanian bukan sawah yang terdiri dari tegalan 44.478 ha , perkebunan 3223 ha dan kolam seluas 519 Ha. Dengan potensi yang ada tersebut sangat relevan jika Banjarnegara sangat mengandalkan bidang pertanian sebagai potensi utama di Banjarnegara. Kabupaten Banjarnegara mempunyai batas-batas wilayah antara lain: - Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang. - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo. - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen. - Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga Barat dan Kabupaten Banyumas. 63 Secara administratif, Kabupaten Banjarnegara terdiri dari 20 Kecamatan, 253 Desa dan 12 Kelurahan.Dari 20 Kecamatan yang ada, Kecamatan Punggelan yang memiliki wilayah terluas dari Kecamatan lain yaitu 10.284,00 Ha yang terdiri dari 17 Desa, 80 Dusun, 105 RW dan 415 RT dengan lahan basah yang dipergunakan untuk bercocok tanam padi dan palawija dan Lahan Kering yang potensial untuk pengembangan buah-buahan dan hasil hutan lainnya seperti Salak, Kapulaga, Kopi, Singkong, Padi, jagung Gambaran umum wilayah Kabupaten Banjarnegara terdiri dari 3 Zona berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografis, yaitu : a. Zona Utara, adalah kawasan pegunungan yang merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng, Pegunungan Serayu Utara. Daerah ini memiliki relief yang curam dan bergelombang. Di perbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang terdapat beberapa puncak, seperti Gunung Rogojembangan dan Gunung Prahu. Merupakan wilayah pegunungan yang lebih di kenal dengan pegunungan Kendeng Utara, rona alamnya bergunung berbukit, bergelombang dan curam. Potensi utamanya adalah sayur mayur, kentang, kobis, jamur, teh, jagung, kayu, getah pinus, sapi kereman, kambing dan domba. Juga pariwisata dan tenaga listrik panas bumi di dataran tinggi Dieng. Beberapa kawasan digunakan sebagai obyek wisata, dan terdapat pula tenaga listrik panas bumi. Pada sebelah utara meliputi Kecamatan : 64 Kalibening, Pandanarum, Wanayasa, Pagentan, Pejawaran, Batur, Karangkobar, Madukara. b. Zona Tengah, merupakan zona Depresi Serayu yang cukup subur. Rona alamnya relatif datardan subur. Potensi utamanya adalah padi, palawija, buahbuahan, ikan, home industri, PLTA Mrica, keramik dan anyam – anyaman bambu. Bagian wilayah ini meliputi Kecamatan : Banjarnegara, Madukara, Bawang, Purwanegara, Mandiraja, Purworejo Klampok, Susukan, Wanadadi, Banjarmangu, Rakit. c. Zona Selatan, merupakan bagian dari Pegunungan Serayu, merupakan daerah pegunungan yang berrelif curam selain itu pegunungan kapur dengan nama pegunungan Serayu Selatan. yang meliputi Kecamatan : Pagedongan, Banjarnegara, Sigaluh, Mandiraja, Bawang, Susukan. Rona alamnya bergunung, bergelombang dan curam. Potensi utamanya adalah ketela pohon, gula kelapa, bamboo. getah pinus, damar dan bahan mineral meliputi : marmer, pasir kwarsa, feld spart, asbes, andesit, pasir dan kerikil. Buah-buahan : duku, manggis, durian, rambutan, pisang dan jambu . Topografi wilayah Kabupaten Banjarnegara ini sebagian besar (65% lebih) berada di ketinggian antara 100 s/d 1000 meter dari permukaan laut. Secara rinci pembagian wilayah berdasarkan topografi adalah sebagai berikut : 65 a. Kurang dari 100 m dari permukaan air laut, meliputi luas 9,82 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Banjarnegara, meliputi Kecamatan Susukan dan Purworejo Klampok, Mandiraja, Purwanegara dan Bawang. b. Antara 100 - 500 m dari permukaan air laut, meliputi luas 37,04 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Banjarnegara, meliputi Punggelan, Wanadadi, Rakit, Madukara, sebagian Susukan, Mandiraja, Purwanegara, Bawang, Pagedongan, Banjarmangu dan Banjarnegara. c. Antara 500 -1.000 m dari permukaan air laut, meliputi luas 28,74% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Banjarnegara, meliputi Kecamatan Sigaluh, sebagian Banjarnegara, Pagedongan dan Banjarmangu. d. Lebih dari 1.000 m dari permukaan air laut, meliputi luas 24,40% dari seluruh wilayah Kabupaten Banjarnegara meliputi Kecamatan Pejawaran, Batur, Wanayasa, Kalibening, Pandanarum, Karangkobar dan Pagentan. Wilayah kabupaten Banjarnegara memiliki iklim tropis, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun, serta suhu rata-rata 20°- 26° C. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sebanyak 875.214 jiwa yang terdiri dari pria 440.816 jiwa dan wanita 434.398 jiwa yang secara rinci dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. 66 Tabel 1.JumlahPenduduk Kabupaten Banjarnegara dari tahun 2007 sampai 2011. Dasar Tahun 2011 2010 2009 2008 2007 Jumlah Pria (jiwa) 440.816 436.152 430.765 442.168 437.041 Jumlah Wanita (jiwa) 434.398 432.761 444.402 427.609 427.107 Total (jiwa) 875.214 868.913 875.167 869.777 864.148 Pertumbuhan Penduduk (%) - -1 1 1 1 Kepadatan Penduduk (jiwa/Km²) - - 818 813 - Sumber Data:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banjarnegara 2. Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) Berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Daerah pada dasarnya disebut sebagai undang-undang daerah karena peraturan ini dibuat dan berlaku untuk mengatur daerah otonomi sendiri. Oleh karena itu, peraturan daerah bersifat mengatur, sehingga perlu diundangkan dan menempatkannya dalam lembaran daerah. Peraturan daerah memiliki beberapa fungsi, antara lain : a. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum; 67 b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan ditingkat pusat. c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan daerah yang lebih tinggi. Ketentuan ini merupakan syarat bagi pembentukan peraturan daerah tingkat II. d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Dalam hal ini suatu Peraturan Daerah Tingkat I itu boleh mengatur masalahmasalah yang belum diatur oleh peraturan-peraturan ditingkat pusat saja, tetapi bagi Peraturan Daerah Tingkat II hal-hal yang diatur bukan saja masalah-masalah yang belum diatur oleh peraturan di tingkat pusat, tetapi juga hal-hal yang belum diatur oleh Peraturan Daerah Tingkat I dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. e. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan daerah yang lebih tinggi; Ketentuan ini diperuntukan bagi Peraturan Daerah Tingkat II. f. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak mengatur rumah tangga daerah bawahannya; Ketentuan ini diperuntukan bagi Peraturan Daerah Tingkat I. Dalam hal ini peraturan daerah tingkat I, tidak boleh mengatur masalahmasalah yang sebenarnya merupakan kewenangan Daerah Tingkat II.39 39 Maria Farida ,Op.cit,.hal 121-122 68 Dalam perkembangannnya peraturan daerah mengalami perubahan dalam pembentukannya.Di daerah dibentuk adanya DPRD sebagai badan legislatif daerah dan Pemerintah Daerah sebagai eksekutif daerah, pada masa orde baru dalam hal pembentukan peraturan daerah didominasi oleh eksekutif daerah atau pemerintah daerah.Namun dalam era reformasi ini baik eksekutif maupun legislatif daerah mempunyai keseimbangan dalam hal pembentukan peraturan daerah.Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada dua macam peraturan daerah yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 ayat 7 menegaskan bahwa: “Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.” Pasal 1 ayat 8 menegaskan pula bahwa : “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adlah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.” Dalam hal materi muatan yang harus diatur dalam pembentukan peraturan daerah, Pasal 14 menentukan bahwa : “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” Berikut ini adalah Prosedur pembentukan Peraturan Daerah atau tata cara pembentukan Peraturan Daerah : 69 1. Tahap Perencanaan Peraturan Daerah Pembentukan Peraturan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar dapat dilaksanakan secara berencana dan terpadu harus didasarkan pada Prolegda (Program Legislasi Daerah). Dalam pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa : “Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrument perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana,terpadu, dan sistematis.” Dalam program legislasi daerah (prolegda) ditetapkan suatu skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum.Penyusunan program legislasi daerah (prolegda) perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.Seperti halnya yang disebutkan dalam pasal 33 bahwa: (2) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (3) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundangundangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. (4) Materi yang diatur sebagaimana ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik. 70 Proses penyusunan program legislasi daerah (prolegda) dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk jangka waktu (1) satu tahun. Dalam penyusunan program legislasi daerah dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menagani bidang legislasi, sedangkan penyusunan program legislasi daerah dilingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum atau bagian hukum ataupun instansi vertikal yang terkait.Hal tersebut lebih lanjut sebagaimana ditentukan dalam pasal 36 yang menyatakan bahwa : (1) Penyusunan prolegda Provinsi anatara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidng legislasi. (2) Penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislagi. (3) Penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. Selanjutnya dalam hal hasil penyusunan program legislasi daerah antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah disepakati dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dalam Keputusan 71 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 37 yang menyatakan bahwa : (1) Hasil dari penyusunan prolegda provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi prolegda provinsi dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. Pasal 38 selanjutnya menegaskan bahwa : (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas : a. Akibat putusan mahkamah agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. Ketentuan terhadap tahap perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap tahap perencanaan penyusunan peraturan daerah kabupaten/kota.Sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 bahwa : “Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 sampai dengan pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadp perencanaan penyusunan peraturan daerah Kabupaten/Kota.” 72 Selanjutnya dalam hal daftar kumulatif terbuka yang dapat dimuat dalam prolegda Kabupaten /Kota itu berbeda dengan yang dapat dimuat dalam prolegda Provinsi, hal tersebut sesuai dengan pasal 41 yang menyatakan bahwa : “Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan kecamatan atau nama lainnya dan / atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.” 2. Tahap Penyusunan Peraturan Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dikenal ada dua jenis peraturan daerah yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) dan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif). Ketentuan mengenai penyusunan atau pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa : “Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” a) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh unit kerja dijajaran pemerintah daerah. Dalam hal pengajuan Pra-Rancangan Peraturan Daerah itu harus disertai dengan penjelasan-penjelasan pokok pikiran(naskah akademik) dan diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, apabila daerah 73 Provinsi yang mengkaji adalah biro hukum untuk diadakan kajian awal dan koreksi sedangan daerah Kabupaten/kota adalah bagian hukum.Setelah dilakukan pengkajian awal atau koreksi oleh biro/bagian hukum maka usulan pra-raperda diajukan kepada kepala daerah disertai dengan pertimbanganpertimbangan, saran dan penjelasan.Apabila pra-raperda ditolak maka akan dikembalikan ke unit kerja yang bersangkutan sedangkan apabila prarancangan peraturan daerah diterima maka akan diproses lebih lanjut. Pra-raperda yang diterima akan dikaji ulang untuk diadakan penyempurnaan oleh biro/bagian hukum atas perintah dari sekretaris daerah untuk mendapatkan tanggapan yuridis.Apabila perlu dibahas pada forum yang lebih luas maka biro/bagian hukum dapat mengikutsertakan unit kerja instansi yang terkait sehingga ada persesuaian. Setelah rancangan peraturan daerah itu final (selesai) disertai dengan penjelasan pokok,Rancangan Peraturan Daerah itu disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya biro / bagian hukum menyiapkan nota pengantar penyampaian rancangan peraturan daerah dari kepala daerah kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sekaligus pengantar penjelasan rancangan peraturan daerah pada rapat pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai prosedur atau tata cara pembentukan rancangan peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah baik Gubernur ,Bupati/Walikota lebih lanjut diatur dengan Peraturan Presiden.Hal ini sebagaimana dalam pasal 59 yang menyatakan sebagai berikut : 74 “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.” Sebagaimana hal tersebut diatas bahwa Ketentuan mengenai penyusunan atau pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa : “Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” b) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Usulan Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Tata cara pelaksanaannya adalah dapat diajukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdiri hanya dari 1 (satu) fraksi, barulah dapat mengajukan usul prakarsa mengenai pengaturan suatu urusan daerah. Kemudian usulan itu disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan pokok penjelasannya secara tertulis biasanya dengan bentuk naskah akademik. Usul prakarsa yang telah diajukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kemudian oleh Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberi nomor pokok, dan setelah itu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat 75 Daerah disampaikan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah.Dalam rapat paripurna tersebut, pemrakarsa menyampaikan penjelasan atas usulnya (inisiatif) dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun kepala daerah (eksekutif) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan. Pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tata cara pelaksanaan dapat disampaikan oleh anggota, momisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada pasal 60 yang menyatakan bahwa: (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengakapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebh lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah provinsi. Selain itu dalam hal apabila rancangan peraturan daerah yang diajukan baik dari kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai materi yang sama dalam satu masa sidang, maka yang akan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 62 yang menyatakan : “Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah mengenai materi yang sama, 76 yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.” Sebagaimana hal tersebut diatas bahwa Ketentuan mengenai penyusunan atau pembentukan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 63 yang menegaskan bahwa : “Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” 3. Tahap Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang dilakukan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada umumnya . Ketentuan ini diatur secara tegas dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa : (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dlam lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 4. Tahap Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah a) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 77 Tata cara atau prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sama . Proses pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 75 yang menegaskan bahwa: (1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Berdasarkan pasal 75 tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur yang mana dilakukan melalui tingkaat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Pasal 76 selanjutnya menegaskan bahwa : (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRDProvinsi dan Gubernur. 78 (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Berdasarkan uraian pasal 76 di atas dapat dijelaskan bahwa Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur berdasarkan pada persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Gubernur.Sedangkan ketentuan mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 75 dan 76 tentang tata cara pembahasan dan penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah. Provinsi. Bahwa tata cara pembahasan dan penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi itu berlaku sama pada tata cara dalam hal pembahasan dan penarikan kembali Racangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini diatur dalam pasal 77 yang menegaskan bahwa : “Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dan pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.” b) Penetapan Rancangan Peraturan Daerah 79 Suatu Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur dalam pasal 78 yang menegaskan bahwa : (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. (2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah seagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Dari uraian tersebut diatas bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Gubernur akan disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari dari tanggal persetujuan bersama. Pasal 79 selanjutnya menegaskan bahwa : (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui oleh DORD Provinsi dan Gubernur. (2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. 80 (3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Berdasarkan uraian dari pasal 79 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah provinsi itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tandatangan. Apabila dalam hal rancangan peraturan daerah provinsi tersebut yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Gubernur tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah provinsi disetujui bersama maka rancangan peraturan daerah provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. Berdasarkan ketentuan pasal 78 dan 79 menngenai tata cara pengesahan/penetapan rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur itu berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengesahan/penetapan pperaturan daerah Kabupaten/Kota.Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 yang menegaskan bahwa : 81 “Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dan 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” 5. Pengundangan dan Penyebarluasan a) Pengundangan Peraturan Daerah Agar setiap orang mengetahui peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan harus di undangakan, seperti halnya peraturan daerah yang harus diundangkan dalam lembaran daerah dan peraturan yang berasal dari kepala daerah diundnagkan dalam berita daerah. Hal ini diatur dalam pasal 86 yang menegaskan bahwa : (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundnagkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat (2) dilaksanakan oleh sekretaris daerah. b) Penyebarluasan Program Legislasi Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah Penyebarluasan Program Legislasi Daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan tujuan untuk memberikan informasi dan atau memperoleh masukan dari masyarakat maupun para pemangku kepentingan( stake holders). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 92 yang menegaskan bahwa : 82 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah hingga pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/ atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pasal 93 selanjutnya menegaskan bahwa : (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. (3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Berdasarkan uraian pasal 93 tersebut diatas bahwa program legislasi daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota disebarluaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebarluaskan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota Daerah disebarluaskan yang oleh berasal dari Sekretaris Gubernur Daerah. maupun Dalam hal penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat 83 Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.Hal ini diatur dalam pasal 94 yang menegaskan bahwa : “Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundngkan dlam Lembaran Daeah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.” Pasal 95 selanjutnya menegaskan bahwa : “Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.” Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang disebarluaskan adalah salinannya dari naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah,Tambahan Lembaran Daerah dan Berita Daerah. 6. Partisipasi Masyarakat Peraturan Daerah sebagai bagian dari suatu pertauran perundang-undangan dalam proses pembentukannya memberikan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka pembentukan peraturan perundnag-undangan . Partisipasi masyarakat dalam hal memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam pasal 96 yang menegaskan bahwa : 84 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukkan secara lisan dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui : a. Rapat dengar pendapat umum; b. Kunjungan kerja; c. Sosialisasi; dan/atau d. Seminar,lokakarya,dan/atau diskusi (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan . (4) Untuk memudahkan masyarakat dalama meberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , setiap Rancnagan Peraturan Perundang-undnagan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. 3. Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 170/ 16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa fungsi legislasi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilaksanakan melalui pembentukan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Pemerintah Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Banjarnegara mengacu kepada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/ 16 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan 85 Rakyat Kabupaten Banjarnegara. Adapun penjelasan mengenai tahapan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara menurut Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170 / 16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara adalah sebagai berikut: a. Persiapan Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Sebagaimana ketentuan mengenai kekuasaan membentuk undang-undang yang berada pada tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Presiden,itu seperti halnya dengan kekuasaan membentuk Peraturan Daerah yang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Dalam kaitannya ini Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati yang harus disertai dengan penjelasan atau naskah akademik terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan dan didasarkan pada skala prioritas program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Dalam hal ikhwal atau keadaan tertentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah diluar dari program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 81 yang menegaskan bahwa : (1) Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Bupati. (2) Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau Bupati disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. 86 (3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan berdasarkan program legislasi daerah. (4) Dalam keadaan tertentu, DPRD atau Bupati dapat mengajukan rancangan perda di luar program legislasi daerah. Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah tata cara pelaksanaanya adalah dapat diajukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah yang mana disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan / atau naskah akademik yang disertai nama dan tanda tangan pengusul yang nantinya akan diberi nomor pokok oleh sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan akan dilakukan pengkajian oleh Badan Legislasi Daerah.Hasil dari pengkajian oleh Badan Legislasi disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengusul akan memberikan penjelasan atas Rancangan Peraturan Daerah dan fraksi serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan memberikan pandangan atas penjelasan pengusul serta pengusul akan memberikan jawaban atas pandangan yang diberikan oleh fraksi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Setelah adanya jawab jinawab terkait dengan rancangan peraturan daerah itu ,maka dalam rapat paripurna akan memutuskan usul rancangan peraturan daerah yang dapat 87 berupa persetujuan,persetujuan dengan pengubahan,dan penolakan. Apabila dalam hal persetujuan dengan pengubahan maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menugasi komisi, Badan Legislasi Daerah atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan perda tersebut dan setelah siap akan disampaikan kepada Bupati dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal tersebut diatas diatur dalam pasal 82 yang menyatakan bahwa : (1) Rancangan Perda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah. (2) Rancangan Perda yang diajukan oleh anggota DPRD , komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik daftar nama dan tanda tangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD. (3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan DPRD disampaikan kepada Badan Legislasi Daeah untuk dilakukan pengkajian. (4) Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada rapat paripurna DPRD. (5) Rancangan Perda yang telah dikaji oleh Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada semua anggita DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna DPRD. (6) Dalam rapat paripurna DPDR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) a. Pengusul memberikan penjelasan; b. Fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan;dan c. Pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD lainnya. (7) Rapat paripurna DPRD memutuskan usul rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Persetujuan; b. Persetujuan dengan pengubahan; dan c. Penolakan. 88 (8) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPRD menugasi komisi, Badan Legislasi Daerah, ataua panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan perda tersebut. (9) Rancangan perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan kepada Bupati. Sebagaimana Rancangan perda yang diajukan atau berasal dari Bupati akan diajukan dengan surat Bupati kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 yang menegaskan bahwa : (1) Rancangan perda yang berasal dari Bupati diajukan dengan surat Bupati kepada pimpinan DPRD. (2) Rancangan perda yang berasal dari Bupati disiapkan dan diajukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 84 selanjutnya mengatur tentang adanya dua rancangan peraturan daerah yang diajukan mengenai hal atau materi yang sama, maka yang akan dibicarakan dan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan rancanagn peraturan daerah yang berasal dari Bupati sebagai bahan untuk dipersandingkan. Ketentuan dalam pasal 85 tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “Apabila dalam masa satu sidang Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas raperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang disampaikan oleh Bupai digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.” b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati atau yang ditunjuk 89 mewakilinya melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Apabila Rancangan Peraturan Daerah itu tidak mendapat persetujuan bersama maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan yang sama. Ketentuan ini diatur dalam pasal 85 yang menyatakan sebagai berikut : (1) Rancangan Perda yang berasal DPRD atau Bupati dibahas oleh DPRD dan Bupati untuk mendapatkan persetujuan bersama. (2) Pembahasan rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. (3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Dalam hal rancangan perda berasal dari Bupati dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : 1. Penjelasan Bupati dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda; 2. Pemandangan umum fraksi terhadap rancangan perda;dan 3. Tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum fraksi. b. Dalam hal rancangan perda berasal dari DPRD dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : 4. Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda; 5. Pendapat Bupati terhadap rancangan perda; dan 6. Tanggapan dan/ atau jawaban fraksi terhadap pendapat Bupati. c. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan Bupati atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya. (4) Pembicaraan Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan : 7. Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan, 90 pendapat fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan 8. Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. b. Pendapat akhir Bupati (5) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. (6) Dalam hal rancangan perda tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Bupati, rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan yang sama. Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati dengan disertai alasan-alasan penarikan.Selain itu,dalam hal rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas dapat ditarik kembali dengan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri oleh Bupati. Apabila rancangan peraturan daerah yang telah ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama. Hal ini diatur dalam pasal 86 yang menentukan bahwa: (1) Rancangan perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Bupati. (2) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan. (3) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bupati, disampaikan dengan surat Bupati disertai alasan penarikan. 91 (4) Rancangan perda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Bupati. (5) Penarikan kembali rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh Bupati. (6) Rancangan perda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama. c. Penetapan dan Pengundangan Peraturan Daerah Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah setelah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan ditetapkan oleh Bupati.Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah didahului dengan penyampaian oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Ketentuan ini terdapat pada pasal 87 yang menegaskan sebagai berikut: (1) Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Bupati untuk ditetapkan menjadi Perda. (2) Penyampaian Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah oleh Bupati dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Apabila dalam jangka waktu 30 ( tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama 92 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati, Bupati tidak menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pengesahannya berbunyi “ Perda ini dinyatakan sah” dan kalimat ini dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah dan berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah. Ada perkecualian dalam hal Peraturan Daerah yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus diadakan evaluasi oleh pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah Peraturan Daerah diundangkan dalam Lembaran Daerah maka harus disampaikan kepada Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal penetapan , pengesahan dan pengundangan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah ini pasal 88 menentukan sebagai berikut: (1) Rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 ditetapkan oleh Bupati dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh0 hari sejak rancangan perda tersebut disetujui bersama, oleh DPRD dan Bupati. (2) Dalam hal rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Bupati paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan perda tersebut disetujui bersama, rancangan perda tersebut sah menjadi perda dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah. 93 (3) Dalam hal sahnya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka kalimat pengesahannya berbunyi : Perda ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir perda sebelum pengundangan naskah perda ke dalam Lembaran Daerah. (5) Perda berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah. (6) Perda yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus dievaluasi oleh pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 94 B. Pembahasan 1. Prosedur pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam suatu konteks di negara Indonesia adalah merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan. Di dalam suatu praktek penyelenggaraan pemerintahan, adanya peraturan perundang-undangan yang baik akan banyak menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan tercapainya tujuan negara. Untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan adanya persiapan-persiapan yang matang seperti materi muatan yang akan diatur, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Maria Farida Indrati S mengatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang terdiri atas tiga tahap , yaitu : 95 a. Proses penyiapan rancangan Undang-Undang, yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan Pemerintah, atau di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat ( dalam hal RUU Usul inisiatif). b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. c. Proses pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh Menteri Negara Sekretaris Negara atas perintah Presiden).40 Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pembentukan Undang-Undang dapat dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dapat dilihat dan diketahui dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).Dalam pasal 5 ayat (1) menegaskan tentang hak presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang, sebagai berikut : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1) menegaskan mengenai kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membentuk Undang-Undang , sebagai berikut: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-Undang merupakan bentuk imbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pemerintah, sebagai wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat, hal ini sesuai dengan pendapat Soehino sebagai berikut : 40 Ibid ,hal 134 96 Dalam negara yang berasaskan demokrasi adanya hak mengajukan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat merupakan imbangan daripada hak pemerintah untuk mengajukan Rancangan UndangUndang, sehingga dengan demikian prakarsa untuk mengatur sesuatu hal atau materi dengan Undang-Undang tidak saja tergantung daripada kemauan Pemerintah, melainkan diharapkan prakarsa itu datang pula dari Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat yang membawakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.41 Kekuasaan dalam membentuk peraturan perundang-undangan mengalami pergeseran, salah satunya dalam membentuk peraturan daerah. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau pada masa orde baru pembentukan peraturan daerah didominasi oleh eksekutif, namun di era reformasi atau sesudah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adanya keseimbangan antara eksekutif dan legislatif daerah dalam pembentukan peraturan daerah.Irawan Soejito dalam hal peraturan daerah mengatakan bahwa : Salah satu kewenangan yang sangat sangat penting dari suatu Daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah. Hak untuk menetapkan Peraturan Daerah disebut hak legislatif. Peraturan Daerah adalah nama dari hasil pekerjaan legislatif daerah.42 Irawan Soejito selanjutnya berpendapat bahwa: 41 Soehino,2003,Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan,Liberty,Yogyakarta,hal 59 42 Irawan Soejito,1989,Teknik Membuat Peraturan Daerah,Bina Aksara,Jakarta,hal 1 97 Peraturan Daerah dalam penetapannya terlebih dahulu haruslah dibuat rancangan Peraturan Daerah tersebut. Membuat rancangan Peraturan Daerah yang baik sama halnya dengan membuat rancangan undang-undang, merupakan pekerjaan yang sulit. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik, menghendaki dalam persiapannya pengetahuan yang mendalam dari materi yang akan diatur dan pengetahuan akan daya upaya yang tepat untuk mencegah penghindaran diri dari ketentuan-ketentuan itu, kecakapan untuk mencari dan menemukan sarinya dari kumpulan fakta-fakta yang sudah tumbuh sejak lama dan untuk menuangkannya di dalam bentuk peraturan yang singkat tetapi jelas, agar maksud yang harus diperhatikan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Isi Peraturan Daerah dikatakan baik apabila dapat dituangkan dalam suatu bentuk dan dengan suatu adat bahasa yang sopan, baik dan mudah dipahami oleh siapapun, disusun secara sistematis, dengan meninggalkan hal-hal yang kurang perlu, tidak membuat istilah yang dapat memberikan interpretasi yang kembar, cukup member kepastian tetapi sebaliknya cukup luwes atau elastic sehingga dapat mengikuti perkembangan keadaan.43 Berkaitan dengan Undang-Undang, peraturan daerah atau dapat disebut juga sebagai undang-undang daerah ( dalam arti luas) dapat dibuat atas usul dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang akan dibahas dalam beberapa tingkat pembicaraan dalam sidang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya Soenobo Wirjosoegito menegaskan bahwa: Penyusunan rancangan peraturan daerah dapat diusulkan oleh kepala daerah atau atas usul prakarsa DPRD. Rancangan peraturan daerah yang disampaikan dari kepala daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD dengan nota 43 Ibid,hal 3 98 pengantar. Sedangakn rancangan peraturan daerah yang berasal dari usul prakarsa DPRD disertai penjelasannya, disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD,yang selanjutnya akan diperbanyak dan disampaikan kepada seluruh anggota DPRD, untuk dibahas dalam sidang DPRD.44 Pasal 1 ayat 8 menentukan bahwa: Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur,Bupati/Walikota). Prosedur atau tahap-tahap pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Perencanaan Peraturan Daerah Pembentukan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar dapat dilaksanakan secara berencana dan terpadu harus didasarkan pada Prolegda (Program Legislasi Daerah). Dalam program legislasi daerah (prolegda) ditetapkan suatu skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum. Proses penyusunan program legislasi daerah (prolegda) dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk jangka waktu (1) satu tahun. Dalam penyusunan program legislasi daerah dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan 44 Soenobo Wirjosoegito,Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004,hal 36 99 Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menagani bidang legislasi, sedangkan penyusunan program legislasi daerah dilingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum atau bagian hukum ataupun instansi vertikal yang terkait. Selanjutnya dalam hal hasil penyusunan program legislasi daerah antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah disepakati dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b. Penyusunan Peraturan Daerah Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) dan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif). a) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh unit kerja dijajaran pemerintah daerah. Dalam hal pengajuan Pra-Rancangan Peraturan Daerah itu harus disertai dengan penjelasan-penjelasan pokok pikiran (naskah akademik) dan diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, apabila daerah Provinsi yang mengkaji adalah biro hukum untuk diadakan kajian awal dan koreksi sedangan daerah Kabupaten/kota adalah bagian hukum.Setelah dilakukan pengkajian awal atau koreksi oleh biro/bagian hukum maka usulan pra-raperda diajukan kepada kepala daerah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan, saran dan penjelasan.Apabila pra-raperda ditolak maka akan dikembalikan ke 100 unit kerja yang bersangkutan sedangkan apabila pra-rancangan peraturan daerah diterima maka akan diproses lebih lanjut. Pra-raperda yang diterima akan dikaji ulang untuk diadakan penyempurnaan oleh biro/bagian hukum atas perintah dari sekretaris daerah untuk mendapatkan tanggapan yuridis.Apabila perlu dibahas pada forum yang lebih luas maka biro/bagian hukum dapat mengikutsertakan unit kerja instansi yang terkait sehingga ada persesuaian. Setelah rancangan peraturan daerah itu final (selesai) disertai dengan penjelasan pokok, Rancangan Peraturan Daerah itu disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya biro / bagian hukum menyiapkan nota pengantar penyampaian rancangan peraturan daerah dari kepala daerah kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sekaligus pengantar penjelasan rancangan peraturan daerah pada rapat pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b) Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Usulan Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Tata cara pelaksanaannya adalah dapat diajukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdiri hanya dari 1 (satu) fraksi, barulah dapat mengajukan usul prakarsa mengenai pengaturan suatu urusan daerah. Kemudian usulan itu disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat 101 Daerah dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan pokok penjelasannya secara tertulis biasanya dengan bentuk naskah akademik. Sebagaimana usulan prakarsa yang telah diajukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kemudian oleh Sekretaris Daerah diberi nomor pokok, dan setelah itu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah.Dalam rapat paripurna tersebut, pemrakarsa menyampaikan penjelasan atas usulnya (inisiatif) dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun kepala daerah (eksekutif) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan.Pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tata cara pelaksanaan dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.Selain itu dalam hal apabila rancangan peraturan daerah yang diajukan baik dari kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai materi yang sama dalam satu masa sidang, maka yang akan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c. Teknik Penyusunan Peraturan Daerah 102 Pada proses penyusunan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan dilakukan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada umumnya. d. Pembahasan dan Penetapan Peraturan Daerah Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur yang mana dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/ Kota bersama Gubernur,Bupati/Walikota berdasarkan pada persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota dan Gubernur, Bupati/Walikota.Sedangkan ketentuan mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi ,Kabupaten/kota dan Gubernur,Bupati/Walikota akan disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,Kabupaten/Kota kepada Gubernur,Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari dari tanggal persetujuan bersama. 103 Rancangan peraturan daerah provinsi yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah provinsi itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tandatangan. Apabila dalam hal rancangan peraturan daerah provinsi tersebut yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Gubernur tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah provinsi disetujui bersama maka rancangan peraturan daerah provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan e. Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Daerah Program legislasi daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota disebarluaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebarluaskan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur maupun Bupati/Walikota disebarluaskan oleh Sekretaris Daerah. Dalam hal penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi 104 maupun Kabupaten/Kota. Dalam hal naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang disebarluaskan adalah salinannya dari naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah,Tambahan Lembaran Daerah dan Berita Daerah. f. Partisipasi Mayarakat Peraturan Daerah sebagai bagian dari suatu peraturan perundang-undangan dalam proses pembentukannya memberikan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan kesempatan secara lisan maupun tulisan dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan. 2. Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah (PERDA) berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 170/ 16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa fungsi legislasi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilaksanakan melalui pembentukan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Pemerintah Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Banjarnegara mengacu kepada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/ 16 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan 105 Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara. Adapun penjelasan mengenai tahapan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara menurut Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170 / 16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara adalah sebagai berikut: a. Persiapan Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Sebagaimana ketentuan mengenai kekuasaan membentuk undang-undang yang berada pada tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Presiden,itu seperti halnya dengan kekuasaan membentuk Peraturan Daerah yang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Dalam kaitannya ini Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati yang harus disertai dengan penjelasan atau naskah akademik terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan dan didasarkan pada skala prioritas program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Dalam hal ikhwal atau keadaan tertentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah diluar dari program legislasi daerah yang sudah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah tata cara pelaksanaanya adalah dapat diajukan oleh anggota 106 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah yang mana disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan / atau naskah akademik yang disertai nama dan tanda tangan pengusul yang nantinya akan diberi nomor pokok oleh sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan akan dilakukan pengkajian oleh Badan Legislasi Daerah.Hasil dari pengkajian oleh Badan Legislasi disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengusul akan memberikan penjelasan atas Rancangan Peraturan Daerah dan fraksi serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan memberikan pandangan atas penjelasan pengusul serta pengusul akan memberikan jawaban atas pandangan yang diberikan oleh fraksi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Setelah adanya jawab jinawab terkait dengan rancangan peraturan daerah itu ,maka dalam rapat paripurna akan memutuskan usul rancangan peraturan daerah yang dapat berupa persetujuan,persetujuan dengan pengubahan,dan penolakan. Apabila dalam hal persetujuan dengan pengubahan maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menugasi komisi, Badan Legislasi Daerah atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan perda tersebut dan setelah siap akan disampaikan kepada Bupati dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan perda yang diajukan atau berasal dari Bupati akan diajukan dengan 107 surat Bupati kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Apabila ternyata ada dua rancangan peraturan daerah yang diajukan mengenai hal atau materi yang sama, maka yang akan dibicarakan dan dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang berasal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan rancanagn peraturan daerah yang berasal dari Bupati sebagai bahan untuk dipersandingkan. b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati atau yang ditunjuk mewakilinya melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan untuk mendapatkan persetujuan bersama. (1) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud meliputi : a. Dalam hal rancangan perda berasal dari Bupati dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : - Penjelasan Bupati dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda; - Pemandangan umum fraksi terhadap rancangan perda;dan - Tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum fraksi. b. Dalam hal rancangan perda berasal dari DPRD dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: - Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan perda; - Pendapat Bupati terhadap rancangan perda; dan - Tanggapan dan/ atau jawaban fraksi terhadap pendapat Bupati. c. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan Bupati atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya. (2) Pembicaraan Tingkat II sebagaimana dimaksud meliputi : 108 a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan : 1. Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan, pendapat fraksi dan hasil pembicaraan; 2. Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. b. Pendapat akhir Bupati (3) Dalam hal apabila tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. (4) Dalam hal rancangan perda tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Bupati, rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan yang sama. Apabila Rancangan Peraturan Daerah itu tidak mendapat persetujuan bersama maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan yang sama. Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati dengan disertai alasanalasan penarikan.Selain itu,dalam hal rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas dapat ditarik kembali dengan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri oleh Bupati. Apabila rancangan peraturan daerah yang telah ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama. c. Penetapan dan Pengundangan Peraturan Daerah Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah setelah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati dan ditetapkan oleh Bupati.Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah 109 didahului dengan penyampaian oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah oleh Bupati dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.Apabila dalam jangka waktu 30 ( tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati, Bupati tidak menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pengesahannya berbunyi “ Perda ini dinyatakan sah” dan kalimat ini dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah dan berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah. Ada perkecualian dalam hal Peraturan Daerah yang berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah harus diadakan evaluasi oleh pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setelah Peraturan Daerah diundangkan dalam Lembaran Daerah maka harus disampaikan kepada Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 110 Salah satu contoh dalam pembuatan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara adalah Peraturan Daerah tentang Investasi Daerah. Sebagai daerah otonom Kabupaten Banjarnegara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya yang diharapkan akan meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Investasi bisa dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara yaitu dengan cara melakukan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam upaya meningkatkan produktivitas pemanfaatan tanah dan atau bangunan serta kekayaan lainnya milik pemerintah daerah dengan membentuk usaha bersama yang saling menguntungkan. Investasi menjadi celah bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan pengelolaan potensi ekonomi yang didukung dengan baik tidaknya iklim investasi di Kabupaten Banjarnegara. Banyak faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi daerah antara lain: 1. Faktor Kelembagaan a. Kepastian Hukum dan Penegakan Hukum Kepastian Hukum merupakan gambaran konsistensi peraturan dan penegakan hukum di daerah yang ditunjukan dengan adanya peraturan yang dapat dijadikan pedoman untuk jangka waktu yang cukup. b. Faktor Aparatur dan Pelayanan 111 Aparatur dalam hal ini menunjuk pada pegawai dalam pemerintah daerah yang mempunyai tugas sebagai pelaksana administrasi daerah dalam memberikan pelayanan public kepada masyarakat. 2. Faktor Sosial-Politik a. Variabel Keamanan Kondisi yang mendukung keselamatan jiwa dan aset-aset produktif investor. Semakin kondusif kondisi keamanan suatu daerah maka semakin menarik bagi investor. b. Variabel Sosial Politik Kondisi sosial politik dalam daerah menggambarkan relasi pranata sosial dalam sistemsosial daerah. Baik pranata ekonomi, sosial masyarakat, pemerintah dan elemen masyarakat itu sendiri. Semakin harmonis hubungan pranata dalam sistem sosial daerah maka semakin stabil kondisi sosial daerah tersebut. c. Variabel Budaya Masyarakat Terdapat emapat nilai-nilai budaya yang mempengaruhi daya tarik investor terhadap daerah yaitu keterbukaan masyarakat tterhadap investor, tidak ada diskriminasi terhadap investor, etos kerja mmasyarakat yang tinggi dan adat istiadat masyarakat. 3. Faktor Ekonomi Daerah Potensi ekonomi itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya sosial. 112 4. Faktor Tenaga Kerja dan Produktivitas Adanya ketersediaan tenaga kerja berdasarkan spesifikasi yang diperlukan seperti yang berpengalaman atau tidak berpengalaman. Berdasarkan faktor-faktor daya tarik investasi daerah diatas, maka berkaitan dengan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Investasi Daerah partisipasi masyarakat adalah faktor yang paling utama dibandingkan dengan yang lain karena merupakan fondasi dari terselenggaranya investasi di daerah, karena apabila dilihat dari faktor daya tarik investasi daerah mayoritas semua faktor berhubungan dengan masyarakat. Sehingga sangat perlu untuk dibicarakan dengan matang. Bentuk dari partisipasi masyarakat itu sendiri bisa secara lisan maupun tertulis, bentuk partisipasi secara tertulis bisa dituangkan dalam pembentukan naskah akademik, sedangkan lisan dengan adanya diskusi bersama antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan masyarakat terkait dengan adanya rencana pembentukan rancangan peraturan daerah tentang Investasi Daerah ataupun adanya sosialisasi atau pendekatan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada masyarakat terkait dengan adanya investasi daerah yang akan diadakan pada daerah atau tempat tertentu yang berarah pada dampak positif dan negatif yang tentunya diharapkan dengan adanya diskusi akan lebih bijaksana dan mengcover aspirasi dari masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah tersebut. Sehingga tercapai keseimbangan yang saling menguntungkan antara para pihak yang bersangkutan. 113 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun 2010 TentangTata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam pembentukan peraturan daerah rancangan peraturan Daerah itu berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten/ kota maupun Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati /Walikota dimana akan dibahas melalui tingkat-tingkat pembicaraan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten / Kota bersama dengan 114 Pemerintah Daerah baik Gubernur, Bupati / Walikota sampai pada keputusan untuk menerima atau menolak rancangan Peraturan Daerah. Apabila rancangan Peraturan Daerah diterima maka akan dilakukan penetapan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Banjarnegara didasarkan pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Banjarnegara Nomor 170/16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara. Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Bupati, yang dibahas melalui dua tingkat pembicaraan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan Bupati.Dan apabila rancangan Peraturan Daerah itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati maka akan disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan penetapan. B. Saran 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan adanya hak inisiatif DPRD diharapkan untuk dapat menggunakan hak inisiatif tersebut secara lebih efektif dan proaktif dalam pembuatan peraturan daerah dengan menyesuaikan kepentingan masyarakat yang beragam, karena tidak dipungkiri bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah fondasi atau penyangga masyarakat dan negara. 115 2. Pembentukan Peraturan Daerah dituntut untuk mengutamakan kepentingan masyarakat, untuk itu diharapkan adanya kerjasama yang maksimal antara Kepala Daerah / Bupati dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) sehingga menghasilkan suatu peraturan daerah yang mempunyai aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Literatur : Ali,Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Asshiddiqqie, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta. ________________, tanpa tahun, Perihal Undang-Undang, tanpa penerbit dan kota. Fauzan,Muhammad, 2010,Hukum Pemerintahan Daerah (Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah), STAIN Press, Purwokerto. Hanitjo Soemitro,Ronny,1990,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta. Huda,Niāmatul,2011,Hukum Tata Negara Indonesia,Rajawali Press,Jakarta. Indrati, Maria Farida,2007,Ilmu Perundang-undangan Pembentukannya,Kansius,Yogyakarta. Dasar-dasar dan Kansil, C.S.T., 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 116 ________________, 1979,Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,Aksara Baru,Jakarta Marbun, B.N,1983,Pertumbuhan Indonesia,Jakarta. ,masalah dan masa depannya,Ghalia Marzuki, Peter Mahmud, 2006,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.fika Persada,Jakarta. Purbacaraka Purnadi, dkk, Alumni,Bandung. 1979, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Ranggawijaya,Rosjidi,1998,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,Mandar Maju, Bandung. Situmorang,Victor M,1994,Hukum Administrasi Pemerintahan di daerah,Sinar Grafika, Jakarta. Soehino,2003,Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan,Liberty,Yogyakarta Soejito,Irawan,1989,Teknik Membuat Peraturan Daerah,Bina Aksara,Jakarta Syamsudin,,Azis,2011, Praktek dan Teknik Grafika, Jakarta. Penyusunan Undang-Undang, Sinar Widjaja,H.A.W., 2002Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. ______________,2005,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,PT Grafindo Persada, Jakarta. Wirjosoegito,Soenobo,2004,Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Zainal Asikin,Amiruddin,2006,Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta. Peraturan Perundang-undangan 117 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4437) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor: 170/16 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjarnegara.