Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI

advertisement
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
Harian Kompas yang terbit di Jakarta tanggal 1 Desember 2009 menulis, bahwa dalam sebuah
Seminar tentang “Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan Indonesia”, yang
diselenggarakan oleh sekelompok aktivis sehari sebelumnya, Ikrar Nusa Bhakti (IBN) seorang
peneliti senior dari LIPI dalam mengomentari kendala Reformasi TNI mengatakan, ”Yang
paling susah adalah budaya dan tingkah laku militeristik”. Sementara itu, Letjen TNI (Purn)
Agus Widjojo (AW) yang pernah menduduki beberapa jabatan teras di Mabes TNI, dalam
Seminar tentang “Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan Indonesia” tersebut
diatas mengatakan, bahwa “Ada beberapa agenda reformasi TNI yang belum tuntas,
diantaranya adalah transformasi pola pikir Dwifungsi TNI dari penjaga bangsa menjadi pola pikir
TNI sebagai tentara professional untuk pertahanan sesuai mandat konstitusi”.
Dengan membaca ringkasan berita yang bersangkutan dengan pernyataan baik yang
disampaikan oleh INB maupun pernyataan AW dalam harian Kompas tersebut diatas, saya
mempunyai kesan mereka sedang berfikir dan berbicara dalam rangka upaya untuk apa yang
mereka sebut sebagai mentuntaskan Reformasi TNI dengan subyek dan obyek mengubah apa
yang mereka sebut sebagai pola pikir TNI yang semula didasarkan pada doktrin Dwifungsi
ABRI/TNI menjadi pola pikir TNI yang hanya berperanan dibidang pertahanan, sehingga akan
tercipta adanya budaya baru TNI yang berbeda dengan budaya TNI sebelumnya. Bapak
Sayidiman Suryohadiprojo telah menanggapi pernyataan kedua tokoh tersebut dalam tulisan
beliau yang berjudul “Reformasi bukan Perombakan RI” dengan nada gusar, khususnya kepada
AW sebagai seorang Perwira Tinggi TNI (Purn) yang dengan pendapatnya dapat dianggap
berusaha menghujat perjalanan sejarah TNI dimasa lalu (sebagai sumber budaya TNI),
sedangkan AW sendiri sebagai anggota TNI dari kalangan generasi baru (lulusan AKMIL) yang
berhasil meraih pangkat Letnan Jenderal TNI, jelas juga ikut terlibat didalam proses sejarah TNI
yang panjang yang terjadi pada masa lalu terebut. Saya dapat memahami kegusaran Bapak
Sayidiman Suryohadiprojo, karena kesan saya, pandangan kedua orang tersebut, yakni INB
dan AW, merupakan upaya mendegradasi himpunan nilai yang selama ini saya pahami sebagai
Jati Diri
TNI atau Kepribadian TNI. Oleh sebab itu tulisan ini saya maksudkan untuk
mendukung tulisan Bapak Sayidiman Suryohadiprojo yang
menanggapi berita Kompas tanggal 1 Desember 2009 tentang pernyataan INB dan AW yang
menurut saya bernada mendiskreditkan dan menghendaki dihapusnya Jati Diri atau
Kepribadian TNI, sebagaimana yang saya pahami.
Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI adalah watak sebagai Perajurit Pejuang, yaitu sebuah
Kepribadian yang merupakan Resultante dari himpunan watak sebagai Warga Negara
Indonesia yang setia kepada Pancasila, watak sebagai Patriot Bangsa Indonesia, watak
sebagai Ksatria Indonesia yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan menurut ukuran
kemanusiaan sesuai ajaran Pancasila serta keterampilan Perajurit Profesional, baik
keterampilan dalam olah yuda maupun tingginya kekuatan moral, moril serta disiplin dalam
mengetrapkan profesinya,
sebagaimana terangkum
1/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
dalam Sapta Marga.
K
egusaran Bapak Sayidiman Suryohadiprojo dengan demikian menurut rasa hati saya
juga sangat wajar, karena berkaitan dengan masalah yang prinsipiil, yaitu Jati Diri TNI atau
Kepribadian TNI, yaitu himpunan watak yang telah membentuk integritas TNI sebagai kekuatan
perjuangan yang penting dari bangsa Indonesia, yang telah ikut menjamin tetap tegak
berdirinya NKRI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh
karenanya
saya berpendapat masalah yang membuat Bapak Sayidiman Suryohadiprojo gusar tentunya
juga akan menjadi perhatian Panglima TNI, Jenderal TNI Djoko Santoso, karena secara
kebetulan, sewaktu beliau menjabat sebagai KAS TNI AD/KASAD, beliau telah merestui
dibakukannya “Jati Diri TNI sebagai Perajurit Pejuang” melalui Saresehan dalam rangka
peringatan Ulang Tahun ke-60 Akademi Militer di AKMIL Magelang tanggal 10 Nopember 2008,
yang diselenggarakan oleh Persatuan Purnawirawan TNI-AD (PPAD) tahun yang lalu.
Tulisan ini saya buat dengan keyakinan bahwa sikap AW, yang apabila saya ulang, kurang
lebih menyatakan “TNI harus melanjutkan reformasinya dengan mentransformasi
pola pikir Dwifungsi TNI sebagai penjaga bangsa menjadi pola pikir TNI hanya sebagai
kekuatan pertahanan, sesuai dengan amanat Konstitusi”, adalah sebuah kesalahan yang
prinsipiil,
terjadi karena kesalahan berfikir AW
yang nampaknya
didasarkan pada ajaran demokrasi yang memanfatwakan “Angkatan Bersenjata adalah alat
Pemerintah, untuk melaksanakan fungsi pertahanan Negara; oleh karenanya TNI, sebagai
Angkatan Bersenjata RI dan sebagai alat Pemerintah harus bersikap tunduk dan patuh kepada
kemauan Pemerintah (golongan politik yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik yang diperoleh
dari Pemilu)”. Pola pikir semacam ini jelas tidak dikenal oleh TNI karena TNI mempunyai
sejarah kelahiran dan peranan sejarah yang khas dalam sejarah NKRI; TNI meskipun
menghormati peranan Pemerintah dan patuh pada UU serta Peraturan yang berlaku dalam
bernegara, tetapi TNI bukan alat Pemerintah, TNI tidak dibentuk oleh Pemerintah;
TNI adalah alat Negara, TNI adalah Kekuatan Bangsa Indonesia, sub-komponen NKRI yang
lahir dari kandungn Rakyat Indonesia dengan tekad menjaga dan menjamin tetap tegaknya
NKRI berdasarkan sendi-sendi kenegaraan yang disepakati pada saat Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
Oleh karenanya kegusaran Bapak Sayidiman Suryohadiprojo menurut pendapat saya perlu
mendapat tanggapan pembenaran mutlak dan dukungan dari jajaran Keluarga Besar TNI dan
saya mengusulkan agar Panglima TNI secepatnya meluruskan kesalahan berfikir yang saya
khawatirkan sudah terjadi dan merembet kepada banyak Perwira TNI, khususnya generasi baru
TNI yang masih aktif. Hal ini, seperti dikhawatirkan Bapak Syidiman Suryohadiprojo, mengingat
AW merupakan figur Perwira Tinggi TNI (Purn) yang telah mendapat predikat sebagai seorang
Perwira Tinggi TNI (Purn) yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan mempunyai posisi
penting dalam Pemerintahan maupun masyarakat (dekat dengan Presiden SBY dan dianggap
tokoh masyarakat), sehingga ucapan-ucapannya mempunyai peluang utk tersebar luas dan
dianggap seolah-olah sebagai kebenaran dan merupakan fatwa yang seolah-olah harus diikuti
TNI.
Pandangan AW tentang transformasi pola pikir TNI tersebut nampaknya berpotensi menjadi
masalah yang controversial dalam pembinaan TNI, karena pandangan AW yang apabila sekali
lagi diulang kurang lebih mengatakan bahwa “Reformasi TNI belum selesai karena TNI masih
harus mentuntaskan reformasinya dengan mentransformasi pola pikir Dwifungsi TNI
sebagai penjaga bangsa
menjadi pola
pikir TNI sebagai alat pertahanan dan dikatakannya hal itu sesuai dengan Konstitusi” yang
seolah-olah logis, menurut rasa hati saya bertentangan dengan prinsip-prinsip atau azas-azas
yang dianggap sebagai karakter dari Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI. AW nampak ingin
mengecilkan bobot peranan TNI bukan sebagai Perajurit Pejuang yang Sapta Margais, tetapi
sekedar hanya sebagai kumpulan Perajurit yang pandai menembak, pandai berkelahi dan
pandai bertempur, tetapi dadanya secara ideologis hampa, tidak mengandung sebutirpun watak
seperti terkandung dalam Sapta
Marga. AW nampaknya sudah lupa bahwa konsep pendidikan
pembentukan Perajurit TNI adalah justeru setiap Perajurit TNI harus tahu dan sadar bahwa
dirinya dibentuk berdasar Sapta Marga bukan sekedar untuk menjadi seorang Perajurit yang
pandai menembak, pandai berkelahi dan terampil bertempur,
tetapi profesionalisme keperajuritan yang diajarkan dan dilatihkan kepada setiap Perajurit TNI
adalah prasarana dan sarana untuk menjaga dan membela Negara dan Bangsa Indonesia;
pendidikan Perajurit TNI adalah mendidik Patriot-Patriot Bangsa Indonesia, Perajurit-Perajurit
yang berwatak Ksatria yang
3/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
harus membela kebenaran dan keadilan menurut ukuran-ukuran kemanusiaan yang diajarkan
Pancasila serta Perajurit-Perajurit professional dalam olah yudha yang tinggi bobot moral, moril
dan disiplinnya.
Seminar yang diselenggarakan PPAD atas restu KASAD, Jenderal TNI Djoko Santoso pada
saat itu, mengenai Jati Diri TNI, pada Hari Ulang Tahun AKMIL ke 60 bulan Nopember tahun
2008 yang lalu di AKMIL Magelang cukup menggambarkan betapa pentingnya makna Jati Diri
TNI dari sudut pandang KASAD, Jenderal TNI Djoko Santoso sebagai Pembina TNI AD, tokoh
yang kini menjabat sebagai Panglima TNI. Perajurit TNI AD harus tahu bahwa setiap insan TNI
dilahirkan dan dibentuk sebagai Perajurit professional atas dasar Jati Diri atau Kepribadian
yang berwatak:
- sebagai penjaga dan pembela tetap tegak berdiri dan utuhnya Negara Kesatuan RI hasil
Proklamasi 17 Agustus 1945;
- sebagai pendukung dan pembela Pancasila;
- sebagai pendukung dan melaksanakan UUD yang merupakan pelaksanaan dari
Pembukaan/Preambule UUD 1945;
- sebagai pendukung dan penjaga tetap kokohnya Persatuan dan Kesatuaan Bangsa
Indonesia, sesuai motto Bhineka Tungal Ika.
Untuk itu setiap insan TNI harus menjunjung
tinggi Sapta Marga, code etik kepribadian TNI yang merupakan sari dari tujuan pembentukan
TNI, yaitu:
- sebagai Warga Negara Indonesia yang mendukung dan setia kepada Pancasila;
- sebagai Patriot Bangsa Indonesia yang bertekad menjaga dan mengawal Negara dan
Bangsa Indonesia tanpa kenal menyerah;
- sebagai Ksatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa dalam membela
kejujuran, kebenaran dan keadilan sesuai ajaran Pancasila;
- sebagai Perajurit yang professional baik dalam aspek olah yudha maupun tingginya bobot
moral, moril dan disiplinnya.
Perubahan pandangan AW mengenai Jati Diri atau Kepribadian TNI, merupakan indikasi
hebatnya pengaruh ajaran demokrasi yang tidak berakar dari Sejarah Indonesia yang saya
yakin pernah diserapnya. Oleh karenanya saya juga condong berpendapat sikap-sikap ketidak
fahaman yang pada tingkat tertentu berubah menjadi penolakan masyarakat sipil tertentu
kepada Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI, adalah akibat lemahnya pelaksanaan “the National
and Character Building” setelah Bung Karno tidak ada dan hebatnya infiltrasi pengaruh ajaran
demokrasi dan teori-teori ketata negaraan yang tidak berakar pada Sejarah dan Budaya Rakyat
Indonesia, sehingga behasil masuk kedalam kalbu mereka. Ketidak senangan beberapa
kelompok masyarakat sipil di Indonesia terhadap Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI yang
disebabkan oleh kecurigaan seolah-olah Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI adalah sumber dari
sikap-sikap yang oleh INB disebut sebagai “budaya militeristik”, maka anggapan semacam itu
telah dikoreksi oleh para Pemikir TNI, dengan menekankan kembali bahwa TNI bukanlah
4/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
sebuah elit politik dengan ambisi politik tertentu, tetapi TNI adalah (menurut istilah yang pernah
saya dengar dari seorang rekan yang lebih senior) sebagai “Soldiers of the Peoples” (Perajurit
yang dilahirkan dari kandungan Rakyat, sebuah pengertian yang berbeda dengan sebutan the
People’s Army bentukan Partai Komunis di China); sedangkan sehubungan dengan ekses
pengetrapan peranan TNI sebagai kekuatan sosial politik selama masa Orde Baru, secara total
telah dikoreksi oleh TNI, dengan kesediaan TNI tanpa catatan apapun (tanpa reserve apapun)
menghapus peranan TNI sebagai Kekuatan Sosial Politik. Sebenarnya koreksi-koreski yang
telah dilakukan TNI inilah inti-inti Reformasi internal TNI yang pada hakikatnya telah dilakukan
dengan sempurna, sebagai konskwensi kesadaran TNI sehubungan dengan tuntutan
Reformasi disemua sector kehidupan yang terjadi sejak tahun 1998 di Indonesia. Namun
demikian koreksi-koreksi tersebut tidak berarti mengubah Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI
sebagai Perajurit Pejuang sebagaimana terkandung dalam kode etik TNI: Sapta Marga.
Dengan kata lain Reformasi TNI tidak berakibat mentransformasi Jati Diri TNI atau Kepribadian
TNI sebagai budaya TNI yang sudah kokoh menjadi budaya yang lain; setiap insan TNI tetap
seorang Sapta Margais.
Tidak ada Dokumen Kenegaraan yang bersifat Konstitusional (Ketetapan MPR) yang
mengarahkan Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Reformasi TNI yang selalu dituntut oleh
“the Civil Societies”, apa dasar Reformasi TNI, apa Tujuan Reformasi TNI, kemana Arah
Reformasi TNI, dan apa Sasaran Reformasi TNI serta ukuran-ukuran yang digunakan untuk
menilai Reformasi yang dilakukan TNI. Kini TNI selalu disudutkan dengan istilah
profesionalisme dan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, sedangkan UU adalah produk politik
yang berpotensi mengandung kesalahan, sehingga selalu terbuka kemungkinan untuk diuji
secara materi oleh Mahkamah Konstitusi. Saya (penulis) melalui sebuah naskah yang diajukan
dalam Saresehan Jati Diri TNI di AKMIL tahun 2008 juga pernah mengusulkan agar TNI
mengajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi, tentang azas “Supremasi Sipil”
yang disebut sebagai salah satu azas dari UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, karena menurut
saya (penulis) azas “Supremasi Sipil” tidak ada baik didalam UUD 1945 naskah asli maupun
dalam UUD hasil empat kali amandemen yang diberlakukan sekarang.
Pada kenyataannya gerakan Reformasi yang terjadi setelah Pak Harto menyatakan berhenti
sebagai Presiden RI pada bulan Mei 1998, memang cukup rancu, baik dilihat dari segi konsep
yang bersangkutan dengan dasar Pemikiran, Tujuan, Arah, Sasaran, Gerakan dan Pimpinan
gerakan Reformasi maupun Pelaksanaannya. Setelah Pak Harto menyatakan berhenti
sebagai Presiden RI pada bulan Mei 1998 dan diganti oleh Presiden BJ Habibie, ada dua
Sidang Umum MPR yang terjadi, yaitu Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Ketua MPR
Harmoko pada November tahun 1998 (MPR Hasil Pemilu 1998) dan SU MPR bulan Oktober
tahun 1999 yang dipimpin Ketua MPR Amien Rais (MPR hasil Pemilu Juli 1999) yang
dilanjutkan dengan SU MPR Tahunan tahun 2000 dan tahun 2001 (Presiden : Gus Dur) dan
tahun 2002 (Presiden: Megawati SP), dengan agenda utama melakukan amandemen terhadap
UUD 1945. Baik Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Ketua MPR Harmoko (Nopember 1998)
maupun SU MPR yang dipimpin Ketua MPR Amien Rais (Oktober 1999), kedua-duanya tidak
5/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
membuat Ketetapan MPR yang mendiskripsikan secara tegas dan jelas Apa
yang dimaksud dengan Reformasi termasuk Apa Reformasi internal TNI, apa Dasar, apa
Tujuan, bagaimana Arah dan apa Sasaran Reformasi, bagaimana Gerakan Reformasi harus
dilakukan dan siapa Pimpinan Gerakan Reformasi. Sebagai akibatnya gerakan reformasi
berjalan tanpa arah, masing-masing fihak membuat tafsirnya sendiri, gerakan, arah dan
sasarannya sendiri-sendiri. Termasuk Amandemen terhadap UUD 1945 naskah asli tidak
pernah ada Ketetapan MPR/TAP MPR (sebagai manifestasi keputusan politik tentang
kehendak Rakyat) yang menetapkan UUD 1945 naskah asli harus diamandemen baik sebagian
apalagi secara total, oleh karenanya amandemen UUD 1945 dilihat dari segi proses politik dan
proses konstitusional, dapat dianggap tidak syah; demikian pula Reformasi ABRI yang terus
bergulir menjadi isyu Reformasi TNI hingga saat ini tidak ada Dasar, Arah, Tujuan dan Sasaran
yang jelas, pada sisi lain selalu dikatakan Reformasi ABRI/TNI belum selesai. Oleh sebab itu
apabila AW menyatakan “dalam rangka mentuntaskan Reformasi TNI harus dilakukan
transformasi pola pikir Dwifungsi TNI sebagai penjaga bangsa menjadi TNI dengan budaya
yang berpola pikir sebagai alat pertahanan, sesuai dengan mandat Konstitusi”, maka dokumen
yang secara konstitusional(TAP MPR) menyebut pernyataan semacam itu tidak pernah ada:
Tidak pernah ada Ketetapan MPR/mandat Konstitusi yang memerintahkan TNI supaya
mentransformasi pola pikir Dwifungsi TNI yang mengidentifikasikan diri sebagai pembela
bangsa menjadi TNI dengan budaya yang berpola pikir sebagai alat pertahanan saja.
Demikian pula UU No 34 tahun 2004 tentang TNI yang ada sekarang, sebenarnya dari segi
materiil perlu diuji secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, karena seperti saya sebut
dimuka
istilah “Supremasi Sipil” tidak dikenal dalam UUD 1945 naskah asli maupun UUD hasil empat
kali amandemen yang diberlakukan sekarang. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, dalam tulisan saya (penulis) dalam artikel di situs
Foko.Or.Id ini yang berjudul “Harapan kepada Menhan baru”, saya sarankan agar Menhan
dapat menegaskan apa Dasar, apa Tujuan, kemana Arah dan
apa Agenda serta Sasaran Reformasi TNI, sehingga dapat terlihat jelas apakah Reformasi TNI
akan membuat TNI menjadi lebih hebat, atau sebaliknya Reformasi TNI bahkan akan
menjadikan TNI semakin kurus dan dada para Perajuritnya secara ideologis kosong dari
motivasi juang sebagaimana terkandung dalam Sapta Marga.
Dengan belum pernah adanya diskripsi yang secara konstitusional jelas menegaskan apa
Dasar, apa Tujuan, kemana Arah dan apa Agenda serta Sasaran Reformasi TNI, Reformasi
6/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
TNI bergerak tanpa arah maka kini mulai muncul suara-suara yang ingin melaksanakan
Reformasi TNI dengan memunculkan isyu keharusan bagi TNI mentransformasi pola pikir
Dwifungsi TNI sebagai penjaga bangsa menjadi pola pikir TNI sebagai alat pertahanan, baik
oleh INB seorang peniliti senior LIPI maupun oleh AW, seorang Letjen TNI (Purn).
Membaca dan merenungkan pernyataan INB dan AW tersebut, rasa hati saya yakin bahwa
sasaran dari apa yang disebut transformasi pola pikir Dwifungsi TNI menjadi pola pikir TNI
sebagai alat pertahanan yang oleh INB dan AW digambarkan sebagai budaya baru TNI,
hakikatnya adalah bertujuan menghapus
Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI sebagai Perajurit Pejuang, sebagaimana terkandung dalam
Sapta Marga. Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI, yang sebagai kode etik kehidupan TNI
dituangkan kedalam Sapta Marga adalah pedoman tingkah laku dan prilaku TNI. Jati Diri TNI
atau Kepribadian TNI tersebut tidak boleh diubah, berubah apalagi dihilangkan. TNI harus
menegaskan, bahwa sampai titik darah penghabisan Jati Diri TNI atau Kepribadian TNI sebagai
Perajurit Pejuang, harus terus dipertahankan oleh TNI sampai kapanpun, sebagai prinsip dan
pedoman bagi kehidupan TNI, tidak boleh diubah, tidak boleh
berubah apalagi
dihapus. Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan berfikir seperti yang dianut oleh AW harus
dikoreksi, diluruskan kembali sehingga TNI dapat diberi tugas apa saja oleh Negara sesuai
dengan kebijaksanaan Negara, tetapi Jati Dirinya
atau Kepribadiannya sebagai Pejuang Bangsa Indonesia
tidak pernah berubah apalagi hilang. Memaksakan secara politik pandangan seperti dinyatakan
oleh AW selain tidak nalar, karena bertentangan dengan sejarah juga
dapat mengakibatkan bukan hanya kerugian tetapi juga dapat mengakibatkan terjadinya situasi
yang fatal bagi NKRI, sebagai akibat rusaknya prinsip-prinsip dasar NKRI. Kegusaran Bapak Sayidiman Suryohadiprojo terhadap pernyataan AW, harus dianggap
hikmah yang menggugah
segenap eskponen TNI baik yang sudah Purnawirawan
maupun lebih-lebih yang masih aktif untuk secepatnya mengoreksi kesalahan
berfikir seperti yang terjadi pada diri AW sehingga tidak berkembang kepada
eksponen-eksponen TNI lainnya. Pikiran AW tentang apa yang ia sebut sebagai transformasi
pola pikir Dwifungsi TNI juga dikhawatirkan dapat menjadi embrio upaya untuk melakukan
7/8
Budaya TNI bersumber pada Jati Diri TNI
Written by Sudibyo
Friday, 22 January 2010 00:47 - Last Updated Friday, 22 January 2010 01:00
amandemen terhadap lambang-lambang Jati Diri TNI, misalnya Sapta Marga atau bahkan
sendi-sendi Negara RI lainnya, seperti Pembukaan UUD, yang berarti (seperti dikatakan oleh
Bapak Sayidiman Suryohadiprojo) merombak NKRI.
Untuk itu penulis berpendapat berbagai forum Purnawirawan TNI seperti PEPABRI, Forum
Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI (FOKO), PPAD, PPAL, PPAU, PP POLRI atau
Organisasi-organisasi Purnawirawan TNI lainnya serta individu-individu yang mencintai TNI dan
NKRI perlu untuk bersatu atau secara sinergis mendesak Panglima TNI, untuk mengingatkan
kembali TNI terhadap Jati Dirinya atau Kepribadiannya dan melakukan upaya-upaya
mengoreksi dan mencegah kekeliruan berfikir seperti yang terjadi pada AW agar tidak
berkembang di jajaran TNI.
Hasil Seminar PPAD
mengenai Jati Diri TNI AD yang diselenggarakan pada peringatan 60 tahun Akademi Militer
pada
10 Nopember 2008
kiranya perlu diangkat sebagai upaya segenap unsur TNI dan disebar luaskan kembali dalam
jajaran TNI. Merupakan kenyataan, sejarah TNI sebagai Tentara Kebangsaan Indonesia, bukan
hanya sejarah yang menyangkut keberadaan dan peranan TNI AD, tetapi juga catatan sejarah
tentang keberadaan dan peranan serta pengabdian segenap matra TNI, mungkin juga POLRI.
Untuk itu ada baiknya, agenda semacam “Pekan Penataran TNI dibidang Pemantapan Jati Diri
dan Kepribadian
TNI” seperti pernah dilakukan TNI pada periode 1983-1988 dengan Project Officer Kepala
Dinas BINTAL ABRI, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh TNI, agar semangat juang
TNI tetap tinggi dan tidak akan pernah padam.
Langkah TNI untuk menyelenggarakan upaya khusus dalam upaya menguatkan kembali Jati
Diri TNI atau Kepribadian TNI sebagai Perajurit Pejuang dinilai perlu dilakukan, karena
kekeliruan-kekeliruan persepsi yang memprihatinkan mengenai Jati Diri TNI pada jajaran TNI
disemua matra dikhawatirkan telah terjadi, sebagai akibat berbagai kesalahan
persepsi tentang Reformasi yang mengakibatkan kerancuan, khususnya yang terjadi pada TNI.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi NKRI khususnya TNI sebagai salah satu kekuatan
Bangsa Indonesia yang terpecaya dalam membela, melindungi dan menjaga tetap tegaknya
NKRI yang dikasilkan oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan didasarkan pada
sendi-sendi kenegaraan yang disepakati Bangsa Indonesia pada saat Proklamasi
Kemerdekaan.
Jakarta, 31 Desember 2009.
8/8
Download