BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
Bab II Tinjuan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Umum
Stabilisasi tanah dengan semen diartikan sebagai pencampuran antara tanah
yang telah dihancurkan, semen dan air, yang kemudian dipadatkan sehingga
menghasilkan suatu material baru disebut Tanah – Semen dimana kekuatan,
karakteristik deformasi, daya tahan terhadap air, cuaca dan sebagainya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan untuk perkerasan jalan, pondasi bangunan dan jalan,
aliran sungai dan lain-lain (Kezdi, 1979 : 108).
Pada umumnya ada dua cara stabilisasi tanah, yaitu dengan cara mekanis dan
cara kimiawi. Stabilisasi tanah secara mekanis bertujuan untuk mendapatkan tanah
yang bergradasi baik (well graded) sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
spesifikasi yang diinginkan. Pada prinsipnya stabilisasi tanah secara mekanis dengan
penambahan kekuatan dan daya dukung terhadap tanah yang ada dengan mengatur
gradasi dari butir tanah yang bersangkutan dengan meningkatkan kepadatannya.
Menambah dan mencampur tanah yang ada (natural soil) dengan jenis tanah yang
lain sehingga mempunyai gradasi baru yang lebih baik. Yang perlu diperhatikan
dalam stabilisasi tanah secara mekanis adalah gradasi butir tanah yang memiliki daya
ikat (binder soil) dan kadar air.
II - 1
Bab II Tinjuan Pustaka
Stabilisasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan penambahan bahan additive,
di Indonesia stabilisasi secara kimiawi dilakukan pada tanah-tanah kohesif (tanah
liat) karena tanah liat tersebut secara ekonomis dipakai stabilizing agent. Stabilizing
agent yang biasanya dapat dipergunakan adalah :
1. Stabilisasi tanah dengan kapur
Stabilisasi dengan kapur akan menaikkan kekuatan, kekakuan dan
tahan lama dari tanah – tanah butir halus. Penambahan kapur pada tanah
akan menghasilkan kepadatan maksimum yang rendah dan kadar
optimum yang lebih tinggi untuk tanah yang tidak diperbaiki.
2. Stabilisasi tanah dengan semen
Menurut Mitchell dan Freitag (1959) dapat diuraikan beberapa
kategori tanah dengan semen yaitu tanah – semen normal biasanya
mengandung 5 sampai 14 % pada volume semen yang umumnya
digunakan untuk menstabilisasikan tanah dengan plastisitas rendah.
3. Stabilisasi tanah dengan Fly Ash
Fly ash dapat juga dipergunakan sebagai stabilizing agent, karena
apabila dicampurkan dengan tanah akan terjadi reaksi pozzolonic. Pada
tanah lunak kapur yang akan dicampur fly ash dengan perbandingan satu
banding dua terbukti dapat meningkatkan daya dukung tanah.
II - 2
Bab II Tinjuan Pustaka
2.2
Daya Dukung Tanah
Tanah yang akan dibangun suatu konstruksi diatasnya, diharuskan mempunyai
nilai daya dukung tanah yang besar. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan tanah tidak
terlampaui oleh beban yang ada diatasnya. Apabila kekuatan tanah terlampaui maka
penurunan yang berlebihan akan berakibat terjadinya kerusakan struktur yang ada
diatasnya.
Untuk
tanah
lempung
pembuatan
konstruksi
diatasnya
akan
selalu
menimbulkan tegangan pori. Biasanya waktu yang diperlukan untuk penyusutan
tegangan pori jauh lebih lama daripada waktu yang diperlukan untuk mendirikan
konstruksi diatas lapisan lempung tersebut. Ini berarti kekuatan geser tanah lempung
tidak akan banyak mengalami perubahan selama masa pembangunan konstruksi
tersebut.
Nilai daya dukung tanah diperoleh dari hasil pengujian CBR (California
Bearing Ratio), baik dari pengujian lapangan maupun hasil pengujian laboratorium.
Untuk lapisan tanah dasar asli nilai CBR didapat dari uji lapangan dengan alat DCP
(Dynamic Cone Penetrometer) atau dengan alat sondir. Dapat juga dilakukan pengujian
di laboratorium dengan cara pengambilan contoh tanah dengan silinder (mold).
2.3
Klasifikasi Tanah
Sistem Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah
yang berbeda – beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok –
kelompok dan sub kelompok berdasarkan pemakaiannya. Klasifikasi tanah
II - 3
Bab II Tinjuan Pustaka
dibedakan berdasarkan tekstur dan pemakaiannya. Penjelasan lebih lanjut dapat di
lihat pada uraian dibawah ini :
1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur
Tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan. Tekstur
tanah dipengaruhi oleh ukuran tiap – tiap butir yang ada dalam tanah. Sistem
klasifikasi berdasarkan tekstur tanah dikembangkan oleh Departemen Pertanian
Amerika ( USDA ). Berdasarkan system ini tanah dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Pasir
: butiran dengan diameter 2,0 sampai dengan 0,05 mm.
b) Lanau
: butiran dengan diameter 0,05 sampai dengan 0,002 mm.
c) Lempung : butiran dengan diameter lebih kecil dari 0,002 mm.
2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Pemakaiannya
Sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur terlalu sederhana karena hanya
berdasarkan pada distribusi ukuran butirannya saja. Padahal dalam kenyataannya
di lapangan jumlah dan jenis dari material lempung yang dikandung oleh tanah
sangat mempengaruhi sfat fisis tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu harus
memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebabkan kandungan mineral
lempung untuk menafsirkan ciri – ciri suatu tanah.
Tanah yang terdiri dari kumpulan butiran yang beraneka ragam. Secara umum
butiran tanah dikenal dengan pasir, lanau dan lempung. Namun khusus dalam ilmu
teknik sipil kerikil dimasukkan pula dalam kategori tanah. Istilah kerikil (gravel),
pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay) akan melekat sebagai identitas jenis
tanah tergantung dari ukuran partikel paling dominan pada tanah tersebut. Ukuran
butiran tanah sangat bervariasi. Untuk menggambarkan tanah berdasarkan ukuran
II - 4
Bab II Tinjuan Pustaka
partikel penyusunnya, beberapa organisasi telah mengembangkan batasan - batasan
ukuran jenis tanah. Pada tabel 2.1 ditunjukkan batasan – batasan ukuran tanah yang
telah dikembangkan oleh Massachussets Institute of Technology (MIT) , U.S
Departement of Agriculture (USDA), American Association of State Highway and
Transportation Officials (AASHTO) dan Unified Soil Classification System (USCS).
Tabel 2.1 Penggolongan tanah oleh beberapa lembaga berdasarkan ukuran
butir (Braja, 1990)
Ukuran Butiran (mm)
Nama
Golongan
Krikil
MIT
>2
USDA
AASHTO
Pasir
Lanau
Lempung
2 - 0,06
0,06 - 0,002
< 0,002
>2
2 - 0,05
0,05 - 0,002
< 0,002
76,2 – 2
2 - 0,075
0,075 - 0,002
< 0,002
Halus ( lanau dan lempung)
USCS
76,2 - 4,75
4,75 - 0,075
< 0,0075
2.3.1 Sistem Klasifikasi Menurut Unfied
Sistem ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande (1942)
Untuk dipergunakan pada pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang
dilaksanakan oleh The Army Corps of Engineer selama perang dunia II.
Dalam rangka kerja sama dengan United States Bureau of Reclamation
tahun 1952.
II - 5
Bab II Tinjuan Pustaka
Pengklasifikasian
tanah
digunakan
untuk
mempermudah
pengelompokkan berbagai jenis tanah kedalam kelompok tanah yang
sesuai dengan karateristik tanah tersebut.faktor yang terpenting untuk
ditinjau yaitu sifat – sifat dari tanahnya, hal ini diantaranya jenis ukuran
dan gradasinya.
Dalam sistem cara USCS (Unified Soil Classification System)
pengelompokkan tanah dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Tanah berbutir halus ( Fine- grained soil ), yaitu tanah dimana lebih
dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No.200. simbol dari
kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau ( silt )
anorganik, C untuk lempung ( clay ) anorganik, dan O untuk lanau organik.
2. Tanah berbutir kasar ( coarse-grained-soil ), yaitu : tanah kerikil dan
pasir dimana kurang dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan
No. 200. Symbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau
S. G adalah untuk Kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah
untuk Pasir ( sand ) atau tanah berpasir.
Simbol- symbol lain yang dipergunakan untuk klasifikasi tanah USCS adalah :

Simbol Komponen
-
Kerikil G (Gravel)
- Pasir S (Sand)
-
Lanau M (Mo)
- Lempung C (Clay)
-
Organis O (Organis)
- Humus Pt (Peat)
II - 6
Bab II Tinjuan Pustaka


Simbol Gradasi
-
Bergradasi baik W (Well Graded)
-
Bergradasi Buruk P (Poorly graded)
Simbol Batas Cair
-
Tinggi H (High)
-
Rendah L (Low)
Tabel 2.2 Sistem klasifikasi unified ( Braja, 1990 )
II - 7
Bab II Tinjuan Pustaka
2.3.2
Sistem Kualifikasi menurut AASHTO
Sistem ini sudah mengalami beberapa perbaikan ; versi yang saat
ini berlaku adalah yang diajukan oleh Committee on Classification of
Materials for Subgrade and Granular Type Road of the Highway
Research Board (1945) (ASTM Standard no D-3282, AASHTO metode
M145).
Apabila
sistem
klasifikasi
AASHTO
dipakai
untuk
mengklasifikasi tanah, maka data hasil uji dicocokkan dengan angkaangka yang diberikan dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi tanah sistem AASHTO ( Braja,1990 )
Tanah Berbutir
( 35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200)
A–1
A-2
A-3
A-1-a
A-1-b
A-2-4
A-2-5
A-2-6
A-2-7
Klasifikasi umum
klasifikasi
kelompok
Analisis Ayakan
( % lolos )
No. 10
Maks50
No. 40
Maks25 Maks50 Min51
No. 200
Maks15 Maks25 Maks10
Maks35 Max35 Maks35 Max35
Sifat fraksi yang
lolos
ayakan No. 40
Batas Cair (LL )
Maks40 Min41
Maks40 Min41
Indeks
Plastisitas (PI )
Maks 6
NP
Maks10 Maks10 Min11
Min11
Tipe material yang Batu pecah, krikil, Pasir halus
Krikil dan pasir yang berlanau atau
paling
dan pasir
lempung
Dominan
Penilaian sebagai
bahan
Baik sekali sampai baik
tanah dasar
II - 8
Bab II Tinjuan Pustaka
Klasifikasi umum
klasifikasi kelompok
Analisis ayakan
( % lolos )
No. 10
No. 40
No. 200
Sifat fraksi yang lolos
ayakan No. 40
Batas Cair (LL )
Indeks Plastisitas (PI )
Tipe material yang
paling Dominan
penilaian sebagaibahan
tanah dasar
* Untuk A-7-5, PI ≤ LL – 30
* Untuk A-7-6, PI > LL – 30
Tanah Lanau – Lempung
( Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.
200)
A–7
A–4
A-5
A -6
A-7-5*
A-7-6*
Min 36
Min 36
Maks 40
Min 41
Maks 10
Maks 10
Tanah berlanau
Min 36
Min 36
Maks 40
Min 41
Min 11
Min 11
Tanah berlempung
Baik sekali sampai jelek
2.4 Sifat Fisik Tanah (Index Properties Tanah)
Sifat - sifat indeks tanah mengambarkan karakteristik tanah yang ditinjau,
maka sifat - sifat ini menuntun dalam menentukan serupa tanah – tanah di tempat
yang lain. Perbedaan sifat mekanik dua macam tanah yang berbeda lebih penting dan
lebih besar, karena itu pencarian metoda pembedaan tanah yang tergolong dalam
suatu kategori tertentu merupakan salah satu tujuan utama dari berbagai usaha untuk
mengurangi resiko dalam masalah tanah. Sifat - sifat indeks dan pengujian yang
diperlukan untuk menentukan sifat indeks disebut Uji Klasifikasi.
II - 9
Bab II Tinjuan Pustaka
Akibat susunan partikel di dalam massa tanah tersebut, karena itu sifat indeks
perlu dibagi menjadi dua kelas :
1. Sifat butiran tanah (soil grain properties)
Sifat yang utama dari butiran tanah adalah bentuk ukuran butiran tanah sangat
beragam dengan variasi yang cukup besar. Ukuran butiran ditentukan dengan
menyaring sejumlah tanah melalui seperangkat saringan yang disusun dengan lubang
yang paling besar berada paling atas dan semakin ke bawah semakin kecil.
2. Agregat tanah (soil aggregate properties)
Agregat secara keseluruhan berhubungan ke tanah itu sendiri bukan ke
bagian - bagian penyusunnya. Secara kualitatik agregat tanah memiliki tekstur
struktur dan konsistensi yang berbeda. Konsistensi berhubungan dengan derajat
adhesi antara partikel tanah dan tahanan yang muncul guna melawan gaya yang
cenderung merubah atau meruntuhkan agregat anah. Dari segi kuantitas agregatagregat tanah mungkin memiliki porisitas, kerapatan relatif, kadar air dan gas, serta
konsistensi yang berbeda. Informasi kualitatif diperoleh di lapangan melalui
pengamatan langsung (Visual), tanpa informasi diskripsi tanah belum lengkap.
Definisi dasar hubungan volume berat
Gambar 2.1. Diagram fase tanah
Sumber : Hardiyatmo, H.C. 2002, Teknik Pondasi 1, hal 3
II - 10
Bab II Tinjuan Pustaka
Keterangan :
V = Isi (volume) (cm3)
Vw = Isi air (volume of water) (cm3)
W = Berat (weight) (gr)
Vv = Isi pori/rongga (volume of void) (cm3)
Wa = Berat udara (weight of air)
Vs = Isi butir padat (volume of solid) (cm3)
Ww = Berat air (weight of water) (gr) Ws = Berat butir (weight of solid) (gr)
Pada gambar 2.1 dapat terlihat tanah terdiri dari beberapa bagian:
1. Pori atau ruang kosong (void), yang merupakan ruang – ruang terbuka antara
butir – butir tanah dengan berbagai ukuran.
2. Butir – butir tanah, baik yang berukuran makroskopik atau mikroskopik.
Makroskopik adalah partikel – partikel tanah yang dapat di lihat dengan mata,
sedangkan mikroskopik hanya dapat dilihat dengan bantuaan mikroskop atau
alat pembesar lainnya.
3. Kelembaban tanah yang akan menyebabkan tanah terlihat basah, lembab
ataupun kering. Air didalam pori atau ruang kosong disebut air pori.
Sifat fisik tanah merupakan parameter-parameter tanah yang tidak berkaitan
langsung dengan kekuatan tanah, tetapi hanya mengindikasikan jenis dan kondisi
tanah. Pada umumnya, untuk tanah berbutir kasar sifat-sifat partikelnya dan
derajat kepadatannya relative adalah sifat-sifat yang paling penting. Sedangkan
untuk tanah berbutir halus batas-batas konsistensi merupakan sifat-sifat yang
paling berpengaruh. Adapun sifat-sifat fisik tanah dalam penelitian ini
diantaranya : berat jenis, batas-batas konsistensi.
II - 11
Bab II Tinjuan Pustaka
2.4.1 Berat Spesifik (Gs)
Berat jenis tanah adalah perbandingan antara berat volume butiran padat
dengan berat volume air pada temperature tertentu. Harga berat jenis butiran tanah
sering dibutuhkan dalam bermacam–macam perhitungan mekanika tanah, hargaharga tersebut diperoleh dari pengujian di laboratorium. Berat jenis dari berbagai
jenis tanah berkisar antara 2,6 – 2,9. Oleh karena itu, perlu dilakukan terlebih dahulu
pengujian di laboratorium untuk memperoleh berat jenis sebenarnya dari suatu tanah
dan untuk memperoleh data-data yang akurat dari pengujian tersebut dapat
digunakan rumus :
W1 = Berat piknometer (atau tempatnya)
W2 = Berat piknometer + tanah (atau tempat + tanah)
W3 = Berat piknometer + tanah + air
W4 = Berat piknometer dengan air penuh, pada suhu percobaan (T). Ini
diambil dari tabel
Tabel 2.4 Berat jenis untuk berbagai macam tanah (Hardiyatmo, 2006)
Jenis Tanah
Krikil (gravel)
Pasir (sand)
Pasir kwarsa (Quartz sand)
Lanau (silt)
Lempung (clay)
Kapur (chalk)
Gambut (peat)
Berat Jenis ( Gs)
2,65 - 2,68
2,65 - 2,68
2,64 - 2,66
2,66 - 2,7
2,68 - 2,8
2,60 - 2,75
1.3 - 1,9
II - 12
Bab II Tinjuan Pustaka
2.4.2 Batas – Batas Konsistensi (Atterberg Limits)
Nilai-nilai batas atterberg (konsistensi) ditemukan pada tahun 1919 oleh
seorang bernama Atterberg. Nilai-nilai ini terdapat pada tanah berbutir halus (clay
atau silt) yang terdiri dari :
a.
Batas Cair (Liquit Limit) = LL
b. Batas Plastis (Plastis Limit) = PL
c.
Batas Susut (Skrink Limit) = ST
Bayangkanlah satu sample tanah berbutir halus yang telah di campur air
sehingga mencapai keadaan cair. Jika campuran ini kemudian dibiarkan menjadi
kering sedikit demi sedikit, maka tanah ini akan melalui beberapa tahapan keadaan,
dari keadaan padat sampai keadaan cair. Oleh karena itu, atas dasar air yang
dikandung tanah, tanah dapat dipisahkan kedalam empat keadaan dasar , yaitu: padat,
semipadat , plastis, dan cair, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.3.
Gambar 2.2 Batas – batas atterberg (Braja, 1988)
Suatu hal yang sangat penting pada tanah berbutir halus adalah sifat plastisnya.
Plastisnya disebabkan oleh adanya partikel lempung dalam tanah. Plastisitas
digambarkan sebagai kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk
dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa retak-retak
atau remuk.
II - 13
Bab II Tinjuan Pustaka
Kadar air (w) membentuk tanah menjadi : Cair, Plastis, Semi plastis dan padat.
Hal ini berhubungan dengan konsistensi yakni gaya tarik menarik antara partikel
lempung. Batas cair dan batas plastis merupakan nilai yang sangat penting, selisih
antara batas cair dan batas plastis di sebut indeks plastis.
Kadar air dinyatakan dalam persen,dimana terjadi transisi dari keadaan padat
ke keadaan semi-padat didefinisikan sebagai batas susut. Kadar air dimana transisi
dari keadaan semi-padat ke keadaan plastis terjadi dinamakan batas plastis dan dari
keadaan plastis ke keadaan cair dinamakan batas cair, dan batas-batas ini dinamakan
dan dikenal juga sebagai batas-batas atterberg.
1.
Batas Cair (Liquit limit)
Batas Cair (LL) adalah batas antara keadaan cair dan plastis atau kadar air
dimana tanah mempunyai kekuatan geser yang kecil, yang menyebabkan dapat
dengan mudah mengalir menutup celah.
Pengukuran batas cair dilakukan dengan alat Casagrande yang distandar
pada tahun1932, alat ini terdiri dari mangkok logam yang diletakan di atasplat
ebonit.
Tanah
diletakan di atas mangkok, diratakan dan digores dengan
groovingtool sehingga membentuk sebuah alur memanjang (ukuranstandar),
mangkok diputa rdengan kecepatan putaran konstan 2 putaran/detik dengan
ketinggian
jatuh 1 cm,
sehingga membentuk suatu ketukan teratur. Harga
liquid limit adalah kadar air dimana diperlukan 25 ketukan untuk menutup alur
grooving tool sepanjang ½“.
II - 14
Bab II Tinjuan Pustaka
Gambar 2.3 Skema uji batas cair
Gambar 2.4 Kurva pada penentuan batas cair
2.
Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis adalah kadar air pada batas bawah daerah plastis. Keadaan ini
ditandai dengan mulainya terjadi retak-retak rambut apabila tanah tersebut dibentuk
batang dengan diameter 3,2 mm. Pengujian batas plastis di lakukan dengan cara
memplintir tanah kohesif (butiran halus) dengan kadar air tertentu pada permukaan
kaca datar, sehigga pada diameter sekitar 3 mm tanah hasil plintiran tersebut menjadi
retak-retak. Tanah akan berperilaku plastis pada rentang kadar air antara batas plastis
(PL) sampai batas cair (LL), rentang kadar air tersebut di namakan indeks plastisitas
yang dapat di hitung dengan rumus :
II - 15
Bab II Tinjuan Pustaka
P = LL-PL
Keterangan :
IP = indeks plastis
LL = Batas cair
PL = Batas plastis
Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat
plastis. Karena itu indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan dari suatu jenis
tanah. Batasan mengenai indeks plastisitas, sifat, macam tanah dan kohesinya dapat
dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.5 Nilai indeks tanah dan macam tanah
PI
Sifat
Macam Tanah
Kohesif
0
Non Plastis
Pasir
Non kohesif
<7
Plastisitas rendah
Lanau
Kohesif sebagian
7-17
Plastisitas sedang Lempung berlanau
Kohesif
> 17
Plastisitas tinggi Lempung
Kohesif
(Sumber: Hardiyatmo,H.C,1995,Mekanika Tanah 1,Hal 34)
Batas plastis didefinisikan sebagai kadar air, dinyatakan dalam persen,
dimana tanah apabila digulung samapai dengan diameter 1/8 in (3,2 mm) menjadi
retak-retak. Batas plastis merupakan batas terendah dari tingkat keplastisitasan suatu
tanah. Cara pengujiannya adalah sangat sederhana, yaitu dengan menggulung massa
tanah berukuran elipsoida dengan telapak tangan di atas kaca datar.
3.
Batas Susut (Skrink Limit)
Batas susut adalah kadar air dimana tanah mulai berbentuk padat. Pada kadar air
ini, apabila tanah tersebut dikeringkan lebih lanjut tidak akan terjadi penyusutan
volume.
II - 16
Bab II Tinjuan Pustaka
Kegunaan Batas-Batas Atterberg
Batas Atterberg khususnya batas cair dan batas plastis tidak secara langsung
memberikan angka-angka yang dapat dipakai dalam perhitungan, yang kita peroleh
dari percobaan Atterberg adalah suatu gamabaran secara garis besar akan sifat-sifat
tanah yang bersangkutan. Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai sifat
teknik yang buruk, yaitu kekuatannya rendah, kompresibilitasnya tinggi. Tanah yang
indek plastisitasnya besar biasanya mempunyai penyusutan dan pengembangan
volume yang besar.
2.5
Sifat Mekanis Tanah ( Engineering Properties Tanah)
Sifat mekanis tanah merupakan parameter-parameter tanah yang berkaitan
langsung dengan kekuatan tanah. Adapun sifat-sifat mekanis tanah dalam penelitian
ini diantaranya : California Bearing Ratio (CBR).
2.5.1 California Bearing Ratio ( CBR)
California Bearing Ratio adalah kelanjutan dari uji pemadatan tanah
sehingga pengujian dilakukan dengan menggunakan sampel tanah yang telah
dipadatkan dengan pemadatan proctor. Pengujian ini dimaksudkan untuk dapat
mengetahui nilai CBR pada kepadatan dan kadar air tertentu. Dengan kata lain,
harga CBR akan menentukan sejauh mana tanah dapat menahan beban struktur
di atasnya.
Pengujian CBR yaitu, CBR soaked (terendam) Untuk pengujian ini tanah
berada dalam keadaan terendam air selama 4 hari agar dapat diukur
II - 17
Bab II Tinjuan Pustaka
pengembangannya setiap hari. Klasifikasi tanah dasar berdasarkan nilai CBR dapat
dilihat pada table 2.4.
Tabel 2.6 Klasifikasi tanah dasar berdasarkan CBR
Nilai
CBR
0–3
Tingkatannya
Penggunaan
Klasifikasi
Klasifikasi
USCS
AASHTO
(Kategori)
Sangat Buruk
Sub grade
OH, CH, MH,
A5, A6, A7
OL
3–7
Buruk sampai
Sub grade
sedang
7 – 20
Sedang
Sub grade
OH, CH, MH,
A4, A5, A6,
OL
A7
OL, CL, ML
A2, A4, A5,
A7
20-50
Baik
Base, Sub
GW
A2 – 6
grade
>50
2.6
Sangat baik
Base
A1, A2 – 5,
GW
A1, A2, A3
Bahan – Bahan yang Digunakan
2.6.1
Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat
(butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara
kimiawi) satu sama lain dari bahan – bahan organic yang telah melapuk (yang
berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang –
ruang kosong diantara partikel – partikel padat tersebut.
II - 18
Bab II Tinjuan Pustaka
Dalam teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik,
dan endapan - endapan yang relatif lepas (loose), yang terletak diatas batuan
dasar (bedrock). Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan
oleh karbonat, zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap diantara
partikel- partikel. Ruang diantara partikel - partikel dapat berisi air, udara
ataupun keduanya. Proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya yang
terjadi di dekat permukaan bumi membentuk tanah. Pembentukan tanah dari
batuan induknya, dapat berupa proses fisik maupun kimia. Proses
pembentukan tanah secara fisik yang mengubah batuan menjadi partikelpartikel yang lebih kecil, terjadi akibat pengaruh erosi, angin, air, es,
manusia, atau hancurnya partikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca.
Hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya, maka tanah ini disebut
tanah residual (residual soil) dan apabila tanah berpindah tempatnya, disebut
tanah terangkut (transported soil).
2.6.1.1 Tanah Ekpansif
Tanah mengembang adalah istilah yang mengacu pada tanah atau
batuan yang memiliki potensi untuk mengembangkan dan menyusut akibat
perubahan pada kondisi airnya.
Tanah merupakan suatu himpunan mineral bahan organic dan
endapan – endapan yang relative lepas ikatan antara butiran tanah yang
relative lemah. Ini disebabkan oleh ikatan karbonat, zat organic atau oksida
yang mengendap diantara partikel – partikel. Ruang diantara partikel –
partikel ini dapat berisi air, udara, atau campuran keduanya. Interaksi antara
II - 19
Bab II Tinjuan Pustaka
fisika – kimiawi pada butiran tanah inilah yang menyebabkan terjadinya
fenomena kohesi dan sifat plastisitas dari tanah, termasuk siat kembang
susut. Sifat – sifat ini dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah secara
langsung. Pada lempung,butir partikelnya kecil (berupa koloid dengan
ukuran < 0,0002 mm) maka tanah lempung dapat memiliki harga specific
surface yang besar. Hal ini menunjukan bahwa sifat tanah lempung
dipengaruhi oleh interaksi antar butirannya. Dari uraian tersebut, dapat
diketahui kembang susut hanya terjadi pada tanah lempung.
2.6.1.2 Lempung Ekspansif
Lempung Ekspansif merupakan jenis tanah lempung yang di
klasifikasikan kedalam jenis tanah yang memiliki nilai pengembangan dan
nilai penyusutan yang besar, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada
struktur yang berada diatasnya. Hal tersebut disebabkan karena besarnya
nilai aktivitas (A) tanah lempung, besar kecilnya nilai aktivitas tanah
lempung dipengaruhi oleh nilai indeks plastisitas (IP) tanah, pada Tabel 2.6
“Potensi Pengembangan” (Holzt, 1969: Gibbs, 1969: USBR, 1974) dapat
diketahui potensi pengembangan suatu jenis tanah berdasarkan nilai indeks
plastisitasnya (IP), untuk tanah lempung yang dapat dikategorikan kedalam
tanah lempung yang Expansive yaitu tanah yang memiliki potensi
pengembangan yang sangat tinggi batasan nilai indeks plastisitasnya (IP)
>35 %, selain itu nilai aktivitas tanah lempung juga dapat dipengaruhi oleh
jenis mineral yang terkandung pada tanah tersebut semakin plastis mineral
lempung semakin potensial untuk menyusut dan mengembang
II - 20
Bab II Tinjuan Pustaka
Tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan
volume atau mengalami pengembangan atau penyusutan ketika kadar air
berubah, perubahan itulah yang membahayakan bangunan. Oleh karena itu,
air berfungsi sebagai penentu sifat plastisitas dari lempung.
Tabel 2.7 Potensi pengembangan (Holzt, 1969: Gibbs,1969,USBR, 1974)
Potensi
Pengembangan(%) Persen koloid
Pengembangan (akibat tekanan
6,9 KPa)
Sangat tinggi
(<0,001mm)
(%)
Indek
Batas
Batas
plastisitas
susut
cair
PI (%)
SL
LL
(%)
(%)
>30
>28
>35
>11
>65
Tinggi
20 – 30
20-31
25-41
7-12
50-63
Sedang
10 – 20
13-23
15-28
10-16
39-50
Rendah
<10
<15
<18
<15
39
Tabel 2.8 Kriteria Tanah Ekspansif Berdasarkan Linier Shrinkage dan Shrinkage Limit
Linear Shrinkage
SL(%)
Potensi Swelling
Derajat Pengembangan
<5
> 12
< 0.5
Non kritis
5-8
10-12
0.5-1.5
Sedang
>8
< 12
> 1.5
Kritis
Sumber : Altmeyer (1955) dalam Altmeyer (1995)
II - 21
Bab II Tinjuan Pustaka
Tabel 2.9 Klasifikasi tanah ekspansif berdasarkan % lolos saringan No. 200
dan batas cair
Data Laboratorium dan Lapangan
Persen Lolos
Batas Cair
% Total
Pemadatan
Perubahan
Derajat
Pengembangan
No.200
(%)
Standar
Volume
> 95
>65
>30
>10
Sangat Tinggi
60 – 90
40 – 60
20 – 30
3 – 10
Tinggi
30 – 60
30 – 40
10 – 20
1–5
Sedang
< 30
<30
<20
<1
Rendah
Sumber : Chen (1965) dalam Chen (1988)
2.6.2
Semen
Semen adalah material yang mempunyai sifat-sifat adhesif dan
kohesif sebagai Perekat yang mengikat fragmen-fragmen mineral menjadi
suatu kesatuan yang kompak. Semen dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis
yaitu semen hidrolis dan semen non hidrolis (Istimawan Dipohusodo, 1999).
Semen hidrolis adalah suatu bahan pengikat yang mengeras jika
bereaksi dengan air serta menghasilkan produk yang tahan air. Contohnya
seperti semen Portland, semen putih dan sebagainya, sedangkan semen non
hidrolis adalah semen yang tidak dapat stabil dalam air (Istimawan
Dipohusodo, 1999).
Distribusi ukuran butir semen portland adalah antara 0, 5-100 mikron.
Campuran tanah dengan semen umumnya berkisar antara (4-15)% dari berat
tanah. Dalam pencampuran ini akan mengakibatkan kenaikan kekuatan
II - 22
Bab II Tinjuan Pustaka
dengan periode waktu kekuatan perawatan yang relatif singkat sehingga
untuk melanjutkan konstruksi tidak harus menunggu lama. Hal ini
menguntungkan jika pelaksanaan pekerjaan menunjukkan waktu yang kritis.
Oleh karena itu, waktu pelaksanaan stabilisasi tanah-semen tidak boleh
melebihi waktu proses pengerasan (pengikatan) PC yaitu kurang lebih 2 (dua)
jam, sebab tanah bisa pecah akibat pemadatan.
Tabel 2.10 Kandungan senyawa semen
Komposisi campuran
Silicon Dioxide (SiO2)
Alumunium Oxide (Al2O3)
Ferric Oxcide (Fe2O3)
Magnesium Oxide (MgO)
Sulfur Trioxide (SO3)
When (C3A), is 8% less
When (C3A), is more than 8 %
Loss in ignition, max 8 %
Insolube residu, max %
Tricalsium Silicate (C3S) , max %
Dicalsium Silicate (C2S), max %
Tricalsium Alumunate (C3A), max %
Tetracalcium Aluminate tambah dua kali
Tricalcium Aluminate {( C4AF + 2
I dan I
A
6,0
3,0
3,5
3,0
0,75
-
-
(C3A)}
Tipe Portland Cement
II dan II
III dan III
A
A
IV
20,2
6,0
6,0
6,5
6,0
6,0
6,0
3,0
3,5
2,3
NA*
4,5
NA*
3,0
3,0
2,5
0,75
0,75
0,75
35
40
8,0
15,0
7,0
-
-
V
6,0
2,3
NA*
3,0
0,75
-
Ada beberapa unsur paling penting dalam semen, yaitu :
Trikalsium silikat ( 3CaO.SiO2), disingkat C3S,
2.
Dikalsium Silikat (2CaO.SiO2), Disingkat C2S,
3.
Trikalsium aluminat (3CaO.Al2O3), disingkat C3A, dan
4.
Tetrakalsium Aluminoferit (4CaO.Al2O3.Fe2O3), disingkat C4Af
5,0
25,0
atau solid Solution (C4AF + C4F),a
aplicable, max %
Catatan : NA* = Tidak bisa diterangkan ( not applicable)
1.
-
II - 23
Bab II Tinjuan Pustaka
Unsur 1 dan 2 merupakan bagian yang paling dominan bagi sifat semen nya
karena kedua unsur tersebut merupakan bagian terbesar dari semen , yaitu 70 sampai
80 % (Tjokrodimuljo,1996). Proses hidrasi yang terjadi apabila semen tercampur air
dapat dituliskan sebagai berikut (Satyarno, 2003):
Waktu ikatan yang terjadi pada semen yang dicampur air terdiri atas dua
bagian yaitu waktu ikatan awal (initial setting time) dan waktu ikatan akhir (final
setting time) . Waktu ikatan dihitung sejak semen dicampur dengan air. Menurut
Tjokrodimulyo (1996) waktu awal yang cukup lama diperlukan pada pekerjaan
beton, yaitu untuk waktu transportasi, penuangan, pemadatan dan perataan
permukaan.
2.6.2.1 Tanah – Semen
Tanah semen banyak digunakan pada konstruksi jalan raya.
Pelaksanaan rekayasa tanah-semen meliputi penghacuran (pulverizing)
tanah,
penambahan
semen,
pencampuran
tanah
dengan
semen,
pembasahan campuran dan pemadatan. Sewaktu semen mengalami hidrasi
tanah akan terstabilisasi dan akan menjadi lebih kuat dan lebih tahan
terhadap air. Pengukuran paling umum untuk mengetahui daya guna
stabilisasi ialah kuat tekan bebas dan California Bearing Ratio (CBR) dan
ketahanan terhadap kondisi beku/cair atau basah/kering (Ingles dan
Meltcalf, 1972).
Sifat – sifat teknik tanah dan semen dipengaruhi oleh kadar semen
dan pemadatan. Ingles dan Meltcalf (1972) mengemukakan bahwa
II - 24
Bab II Tinjuan Pustaka
pemadatan yang dilakukan setelah terjadi hidrasi semen tidak efektif .
Dapat ditunjukan bahwa waktu tunda pemadatan (lose explased since
missing) akan menyebabkan kehilangan kekuatan. (loss in strength) yang
besar. Dapat dilihat seperti gambar 2.5
Gambar 2.5 Grafik kehilangan kekuatan (lost in strenght) akibat
penundaan pemadatan (Ingles and Metacalf).
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan semen
adalah sebagai berikut:
a. Absorbsi air dan reaksi pertukaran ion;
Bila cement Portland ditambahkan pada tanah, ion kalsium Ca++
dilepaskan melalui proses hidrolisa dan pertukaran ion berlanjut pada
permukaan partikel-partikel lempung, Butiran lempung dalam kandungan
tanah berbentuk halus dan bermuatan negatif. Ion positif seperti ion hidrogen
(H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+), serta air yang berpolarisasi, Dari
reaksi-reaksi kimia tersebut di atas, maka reaksi utama yang berkaitan dengan
kekuatan ialah hidrasi dari A-lit (3CaO. SiO2) dan B-lit (2CaO.SiO2),
II - 25
Bab II Tinjuan Pustaka
sehingga
membentuk
kalsium
silikat
dan
kalsium
aluminat
yang
mengakibatkan kekuatan tanah meningkat.
Reaksi pozolan; semuanya melekat pada permukaan butiran lempung.
Dengan reaksi
ini
partikel-partikel lempung menggumpal sehingga
mengakibatkan konsistensi tanah menjadi lebih baik.
b. Reaksi pembentukan kalsium silikat dan kalsium aluminat;
Secara umum hidrasi adalah sebagai berikut:
2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+3Ca(OH)2
2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+ Ca(OH)2
Reaksi antara silika (SiO2) dan alumina (AL2O3) halus yang
terkandung dalam tanah lempung dengan kandungan mineral reaktif,
sehingga dapat bereaksi dengan kapur dan air. Hasil reaksi adalah
terbentuknya kalsium silikat hidrat seperti: tobermorit, kalsium aluminat
hidrat 4CaO.Al2O3.12H2O dan gehlenit hidrat 2CaO.Al2O3.SiO2.6H2O
yang tidak larut dalam air. Pembentukan senyawa-senyawa ini berlangsung
lambat dan menyebabkan tanah menjadi lebih keras, lebih padat dan lebih
stabil.
Jadi semen yang umum digunakan untuk stabilisai tanah dengan
bahan semen adalah ordinary portland cement atau dikenal sebagai semen
tipe I.
II - 26
Bab II Tinjuan Pustaka
2.6.2.2 Portland Cement
cement portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan
cara mencampurkan batu kapur yang mengandung kapur (CaO) dan
lempung yang mengandung silika (SiO2), oksida alumina (Al2O3) dan
oksida besi (Fe2O3) dalam oven dengan suhu kira-kira 145°C sampai
menjadi klinker. Klinker ini dipindahkan, digiling sampai halus disertai
penambahan 3-5% gips untuk mengendalikan waktu pengikat semen agar
tidak berlangsung terlalu cepat (Aman Subakti, 1994).
Menurut
SK
SNI
S-04-1989-F
sesuai
dengan
tujuan
pemakaiannya, semen portland dibagi dalam 5 jenis, yaitu :
1. Semen Portland Jenis I (Ordinary Portland Cement- OPC)
2. Semen Portland Jenis II
3. Semen Portland Jenis III
4. Semen Portland Jenis IV
5. Semen Portland Jenis V
2.7
Penentuan Perkiraan Persentase Bahan Pengikat
Memperkirakan kebutuhan bahan pengikat semen. Kebutuhan bahan pengikat
semen dapat ditentukan dengan mengikuti langkah – langkah berikut :
Langkah
1 : Menentukan perkiraan awal kadar semen berdasarkan klasifikasi
tanah AASHTO ( Tabel 2.8)
Langkah 2 : Melakukan uji hubungan kepadatan-kadar air (moisturedensity
test)
untuk menentukan kadar air optimum dan
II - 27
Bab II Tinjuan Pustaka
kepadatan
maksimum
campuran
tanah- semen
dengan
menggunakan perkiraan awal kadar semen yang diperoleh dari
langkah 1.
Langkah 3 : Memeriksa perkiraan awal kadar semen dengan merujuk pada
Tabel 2.9 jika tanahnya kepasiran atau pada Tabel 2 . 1 0 jika
tanahnya kelanauan atau kelempungan. Kedua tabel tersebut
memperhitungkan kepadatan kering maksimum dan sifat-sifat
tanah lainnya sehingga dapat diperoleh perkiraan kadar
semen yang lebih akurat dengan variasi 2% di atas dan 2% di
bawah nilai yang didapatkan.
Tabel 2.11 Perkiraan bahan campuran (SNI stabilisasi tanah dengan bahan
serbuk pengikat untuk konstruksi jalan )
Lebih besar dari 25% lolos
saringan 0,075 mm
Jenis bahan
serbuk pengikat
PI ≤ 10
10<PI<20
PI≥20
Lebih kecil atau sama dari 25% lolos
saringan 0,075 mm
PI ≤ 6 atau
PI x% lolos #
6< PI ≤ 10
PI≥10
75μm ≤ 60
Semen dan
ikatan yang
dibentuk oleh
sementasi
Kapur
Polimer
Keterangan
Dianjurkan
Dipertimbangkan
Tidak dianjurkan
II - 28
Bab II Tinjuan Pustaka
Tabel 2.12 Penentuan perkiraan persentase semen yang dibutuhkan (SNI
stabilisasi tanah dengan bahan serbuk pengikat untuk konstruksi jalan)
Klasifikasi tanah
menurut
AASTHO
A-1.a
A-1.b
A-2
A-3
A-4
A-5
A-6
A-7
Rentang umum
kadar semen yang
diperlukan
Perkiraan kadar semen
(% berat) untuk uji
pemadatan
% berat
% berat
3–8
5–8
5–9
7 – 11
7 – 12
8 – 13
9 – 15
10 – 16
5
6
7
9
10
10
12
13
Tabel 2.13 Kebutuhan semen rata-rata untuk tanah kepasiran (SNI stabilisasi
tanah dengan bahan serbuk pengikat untuk konstruksi jalan)
Tanah
Bahan
tertahan lebih kecil
saringan dari 0,005
No.4
mm, %
0-19
20-39
40-50
0-14
0-19
20-39
40-50
15-29
0-19
20-39
40-50
30-45
Kadar semen, % berat
Berat isi maksimum, ton/m3
1,68 1,75
10
9
11
10
9
12
10
11
12
1,76 1,83
9
8
10
9
8
10
8
9
11
1,84 1.91
8
7
9
7
7
9
7
8
10
1,92 1.99
7
7
8
6
6
8
6
7
9
2,00 2,07
6
5
6
5
6
7
5
6
8
> 2,08
5
5
5
5
5
6
5
5
6
II - 29
Bab II Tinjuan Pustaka
Tabel 2.14 Kebutuhan semen rata-rata untuk tanah kelanauan dan kelempungan
(SNI stabilisasi tanah dengan bahan serbuk pengikat untuk konstruksi jalan)
Grup
Indeks
(GI)
0–3
4–7
8 - 11
12 – 15
16 – 20
Bahan
antara
0,05 mm
dan
0,005
mm,
0-19
20-39
40-59
> 60
0-19
20-39
40-59
> 60
0-19
20-39
40-59
> 60
0-19
20-39
40-59
> 60
0-19
20-39
40-59
> 60
Kadar semen, %berat
Berat isi maksimum, ton/m3
1,40 –
1,50
12
12
13
-13
13
14
15
14
15
16
17
15
16
17
18
17
18
19
20
1,51 –
1,59
11
11
12
-12
12
13
14
13
14
14
15
14
15
16
16
16
17
18
19
1,60 –
1,67
10
10
11
-11
11
12
12
11
11
12
13
13
13
14
14
14
15
15
16
1,68 1,75
8
9
9
-9
10
10
11
10
10
11
11
12
12
12
13
13
14
14
15
1,76 1,83
8
8
9
-8
9
10
10
9
9
10
10
11
11
12
12
12
13
14
14
1,841,91
7
8
8
-7
8
9
9
8
9
10
10
9
10
11
11
11
11
12
13
> 1,920
7
7
8
-7
8
8
9
8
9
9
10
9
10
10
11
10
11
12
12
Nilai Group Indeks (GI) ditentukan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini:
GI = (F - 35) [0. 2 + 0,005 (LL - 40)] + 0.01 (F - 15) (PI-10)
Keterangan:
F
: persentase butiran yang lolos saringan No.200
LL
: batas cair (liquid limit)
PI
: indeks plastisitas
Dalam meningkatkan
pelaksanaan proses stabilisasi semen untuk
konstruksi dan untuk mengurangi kegagalan ssetiap stabilisasi semen karena
penyusutan dari semen – tanah, maka perlu pengaturan dengan benar dalam
campuran semen – tanah.
II - 30
Bab II Tinjuan Pustaka
Tabel 2.15 Desain campuran semen untuk berbagai jenis tanah (SNI stabilisasi
tanah dengan bahan serbuk pengikat untuk konstruksi jalan)
Rentang
AASHTO
ASTM
soil classification
Soil classification
umum
Perkiraan kadar
kadar
semen (% berat)
semen yang untuk uji pemadatan
diperlukan
A-1-a
2.8
GW, GP, GM,
SW, SP, SM
3-8
5%
A-1-b
GM, GP, SM,SP
5-8
6%
A-2
GM, GC, SM, SC
5-9
7%
A-3
SP
7-11
9%
A-4
CL, ML
7-12
10%
A-5
ML,MH,CH
10-13
10%
A-6
CL,CH
10-15
12%
A-7
MH, CH
10-16
13%
Penelitian Yang Pernah Dilakukan Sebelumnya.
2.8.1 Stabilisasi Tanah dengan Semen
Penelitian tentang stabilisasi tanah dengan semen telah banyak dilakukan
sebelumnya, baik dengan penambahan zat additive ataupun tidak menggunakan
bahan tambah lainnya. Seperti yang dilakukan oleh :
1. Anastasia, 1991; dari hasil penelitian pada tanah lempung di daerah
bandung yang distabilisasi dengan semen , kadar semen yang digunakan 4
% - 10 % didapat hasil:
II - 31
Bab II Tinjuan Pustaka
a. Dapat menurunkan batas cair rata – rata 30 % - 40% dan menaikkan
batas plastis rata – rata 15 % - 20 % sehingga memberikan
penurunan indeks plastis cukup berarti.
b. Semen dapat meningkatkan kekuatan kompresif/ kuat tekan
tergantung dari jumlah semen yang diberikan dan didapat kadar
semen optimum sebesar 6 % dengan kekuatan ultimate sebesar
0,287 kg/cm². semen dapat menurunkan sensitivitas tanah rata – rata
sebesar 50 % - 70%.
2. Yosua, 2000; Stabilisasi tanah – semen di Barito Utara sebagai lapis
pondasi dengan perbandingan tanah – semen 100 : 0, 97 : 3, 94 : 6, 91 : 9,
88 : 12, dari keempat kombinasi campuran tanah – semen. Uji batas
atterberg pada campuran semen yang rendah hanya memberikan sedikit
perbaikan dan tidak dapat mencapai persyaratan untuk lapis pondasi bawah
maupun untuk lapis pondasi atas. Ini mengisyaratkan bahwa semen tidak
dapat berlaku sebagai modifer (cement modified soil). Sifat kekuatan tanah
dengan semen dari uji UCS dan CBR memperlihatkan kenaikan yang
berarti, seiring dinaikkannya jumlah semen dalam tanah. Didapat
kombinasi 94 : 6 (tanah : semen, % terhadap berat) memberikan lapis
pondasi bawah yang memenuhi dan ekonomis, dimana didapat nilai UCS 7
hari pemeraman 23,190 kg/cm² ( > 22 kg/cm²), CBR 3 hari permanen 4 hari
rendam 167,54 % (>80%).
3. Ferguson, 1983; Indraratna, et.al, 1995; Naik and Signh, 1997;
Menggunakan stabilisasi tanah-semen yang dicampur additive lain berupa
fly ash, fly ash digunakan sebagai pengganti semen. Stabilisasi dengan fly
ash menggunakan cementing agent yang digunakan relatif sangat tinggi (>
15% tanah asli).
II - 32
Bab II Tinjuan Pustaka
4. Sudirja (2008), meneliti pengaruh penambahan spent catalyst pada
stabilisasi tanah semen terhadap kembang susut tanah ekspansif sebagai
subgrade jalan.
5. Nurhidayanti (2012), meneliti stabilisasi tanah ekspansif di Puruk Cahu –
Muara teweh, dengan menggunakan kadar kapur 7%, 9%, 11%, 13%, 15%.
Masa pemeraman 7 hari, 14 hari dan 21 hari. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan stabilisasi tanah ekspansif seiring dengan peningkatan
persentase semen,sehingga didapat kadar semen optimum untuk stabilisasi
adalah 9%. Namun pada persentase yang tinggi (11%, 13%, 15%) terjadi
failure pada pengujian atterberg limits dan pengujian CBR.
6. Ahmad Arianto (2012), meneliti stabilisasi tanah ekspansif di Puruk Cahu
Muara taweh, dengan menggunakan semen 3%, 5%, 7%, 9%, 11%. Proses
pemeraman selama 7 hari,14 hari, Hasil dari pengujian CBR soaked dapat
dilihat bahwa campuran semen 9 % dengan masa pemeraman 7 hari dan 14
hari serta masa perendaman 4 hari merupakan kadar semen yang optimum,
dimana nilai CBR soaked sebesar 9.88 % dan 8.64 %.
2.8.2 Stabilisasi Tanah dengan Kapur
1. Ingles and metacalf (1972), meneliti tentang stabilitas kapur pada tanah
lempung berlanau, dengan kapur hidrasi (Ca(OH)2) pada temperature 25o
C, menunjukkan bahwa peningkatan prosentase kapur seiring dengan
peningkatan kekuatan tekan dengan alat UCS (Unconfined Compressive
Strength) sampai kurang lebih pada campuran dengan prosentase kapur 7
%, selanjutnya pada campuran kapur > 7% peningkatan UCS relatif kecil.
II - 33
Bab II Tinjuan Pustaka
2. Idrus (1991), meneliti stabilisasi tanah dengan kapur pada tanah Losari
Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuat tekan meningkat
dengan pertambahan prosentase kapur seiring dengan peningkatan masa
perawatan.
3. Syahirman Suriadi (2000), meneliti stabilitas tanah lempung di
Kabupaten Bantul Daerah Istimewah Yoyakarta dengan memakai kadar
kapur 4% dan garam 0%,1%,2%,2,5% dan 3% dengan masa perawatan 7
hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kadar garam dapat
meningkatkan berat jenis, batas plastis, batas susut, serta menurunkan
batas cair dan indeks plastisitas.
4. Lashari (2000), meneliti stabilisasi tanah lempung di Kabupaten
Grobogan Jawa Tengah dengan menggunakan kadar kapur 0%, 2,5%, 5%,
dan 7% serta bubuk bata merah dengan prosentase 0%, 5%, 10%, dan
15%. Masa pemeraman 0 hari, 2 hari, 7 hari, dan 14 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan stabilisasi tanah lempung seiring dengan
peningkatan prosentase kapur dan bubuk bata merah dapat memperbaiki
sifat fisik dan mekanik tanah serta menurunkan volume pengembangan
setelah melewati masa pemeraman 2 hari.
5. M. Akbar Adhi N (2013),
meneliti stabilisasi tanah lempung di
Kabupaten Rembang Jawa Tengah dengan menggunakan kadar kapur 1%,
2,5%, 4,5. Masa pemeraman 3 hari. Pengembangan/Swelling test pada
tanah yang distabilisasi membuktikan potensi pengembangan dapat
berkurang apabila kadar kapur semakin ditingkatkan, bahkan nilai swelling
0% pada kadar kapur 10,5%.
II - 34
Download