AKUATIK – Jurnal Sumberdaya Perairan ISSN 1978 – 1652 Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah PERBEDAAN LAMA PERENDAMAN BUBU KAWAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN PERLANG KABUPATEN BANGKA TENGAH Oleh : Mira Widana1), Dwi Rosalina2), Eva utami2) 1) Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung [email protected] 2) Staff Pengajar Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung Abstract Perlang waters is an area that has the potential and resources of fisheries. Fishing gear used one basic trap gear. The factors that influence the success in catching that soaking time traps. The purpose of this study is to determine the effective soaking time to catch fish by using a wire pots and determine the number and types of fish caught on wire pots. This research was conducted Aquatic Perlang. Carried out in April 2015 in Perlang waters. The method used in this study is testing experimental fishing or fishing. Each treatment was carried out six times repetition (six units trap). Kruskal Wallis test analysis showed that the 95% confidence interval on treatment two days, three days and four days there is no difference or effect of soaking time the wire pots to catch. The highest catches in the trap with a three day immersion is 56.17 kg or 318 tail and the lowest two day immersion traps is 31.08 kg or 201 tail of the total catch. The catch is obtained in a research location demersal fish that normally live in the waters of the reef . Keywords : Wire pots, Soaking Time and Demersal fish. PENDAHULUAN Latar Belakang Desa Perlang merupakan desa yang terletak di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah Kepulauan Bangka Belitung. Perairan Perlang adalah perairan yang memiliki potensi dan sumberdaya perikanan tangkap untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari masyarakat dan perairan Perlang masih alami, karena belum adanya aktivitas penambangan timah atau pencemaran perairan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada di perairan Perlang sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki usaha skala kecil. Alat tangkap yang masih sederhana, salah satunya alat tangkap bubu dasar. Bubu dasar bersifat pasif dengan menjebak ikan untuk masuk ke dalam bubu dan mempersulit ikan untuk keluar. Jenis alat tangkap bubu dasar yang digunakan nelayan Perlang yaitu bubu kawat (BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2013). Penggunaan alat tangkap bubu kawat untuk menangkap ikan sudah lama digunakan oleh nelayan Perlang, tetapi permasalahannya sampai saat ini hasil tangkapan ikan yang diperoleh belum optimal. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam penangkapan dengan menggunakan bubu dasar seperti lama perendaman, habitat, desain bubu dan umpan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam penangkapan, salah satunya yaitu lama perendaman bubu untuk hasil tangkapan. Penangkapan ikan karang dengan lama perendaman menggunakan alat tangkap bubu berpengaruh terhadap hasil tangkapan (Rumajar, 2001). Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Pengoperasian bubu kawat melalui proses perendaman, demikian halnya dengan nelayan di Perlang biasanya melakukan perendaman bubu. Untuk mengetahui tingkat efektif hasil tangkapan berkaitan dengan tingkat waktu lama perendaman. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang dapat dilakukan agar pengoperasian penggunaan bubu di Perairan Perlang lebih efektif, yaitu dilakukan analisis lama perendaman bubu kawat dalam penangkapan ikan. Lama perendaman dalam penangkapan ikan menggunakan bubu kawat diharapkan dapat menghasilkan hasil tangkapan yang maksimal. Tujuan penelitian ini menentukan lama perendaman yang efektif untuk menangkap ikan dengan menggunakan bubu kawat dan mengetahui jumlah dan jenis-jenis ikan yang tertangkap bubu kawat dan manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi para nelayan khususnya nelayan diperairan Perlang Bangka Tengah dalam penggunaan alat tangkap bubu dengan lama perendaman yang efektif untuk menangkap ikan dan diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman bagi penelitian selanjutnya. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 di Perairan Perlang Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. HALAMAN - 29 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubu dasar yang terbuat dari kawat sebagai alat untuk menangkap ikan dan GPS (Global Positioning System) sebagai alat bantu penentu posisi bubu pada saat dioperasikan. Metode Pengambilan Data Metode penelitian yang digunakan adalah metode experimental fishing (Zulkarnaen, 2007), yaitu melakukan uji coba pengoperasian 18 unit bubu kawat untuk menangkap ikan pada perbedaan lama perendaman (perlakuan) yaitu : dua hari, tiga hari dan empat hari. Jumlah bubu yang dioperasikan sebanyak 18 unit bubu diperoleh dari perhitungan dengan menggunkan rumus rancangan percobaan. Data yang diambil dari penelitian meliputi jumlah dan jenis ikan. Ikan yang tertangkap diidentifikasi menurut Allen (2000). Desain penelitian pada setiap perlakuan sebagai berikut : Pengoperasian bubu pada masing-masing perlakuan (lama perendaman) adalah sebagai berikut: 1. Lama perendaman dua hari, menggunakan enam unit bubu kawat dengan jarak setiap unit bubu ± 5 meter dan pemasangan bubu pada kedalaman kisaran 8-12 meter. 2. Lama perendaman tiga hari, menggunakan enam unit bubu kawat dengan jarak setiap unit bubu ± 5 meter dan pemasangan bubu pada kedalaman kisaran 8-12 meter. 3. Lama perendaman empat hari, menggunakan enam unit bubu kawat dengan jarak setiap unit bubu ± 5 meter dan pemasangan bubu pada kedalaman kisaran 8-12 meter. Pengambilan data pada penelitian ini sebanyak 4 kali. Setiap lokasi dilakukan empat kali pengoperasian dengan menggunakan 6 bubu. Pengambilan data dilakukan sebanyak empat kali dalam satu bulan dan dalam satu minggu dilakukan satu kali pengambilan data. Empat kali pengambilan data dalam hal ini bertujuan untuk memenuhi periode bulan yang dalam hal ini sangat berhubungan dengan kondisi perairan seperti pasang surut air laut yang sangat berpengaruh terhadap biota di dalamnya. Pengoperasian bubu pada setiap lokasi dengan perlakuan lama perendaman yaitu dua hari, tiga hari dan empat hari dilakukan pada lokasi yang berbeda dan dicatat menggunakan GPS (Global Positioning System). Lokasi penempatan bubu sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat melakukan pengoperasian bubu. Banyaknya bubu pada setiap perlakuan dinyatakan sebagai banyaknya ulangan yaitu 6 ulangan pada setiap perlakuan. Penempatan bubu pada setiap perlakuan dilakukan dengan sistem tunggal dan diupayakan cukup berjauhan untuk menghindari saling interaksi antara bubu satu dengan bubu yang lainnya. Ilustrasi posisi penempatan bubu pada perairan Perlang dapat dilihat pada Gambar 1. Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Gambar 1. Ilustrasi Peletakan Bubu Asumsi yang digunakan si peneliti adalah bahwa perairan di lokasi penelitian relatif sama, hal ini dapat diketahui secara visual, yaitu dengan melihat warna air laut yang relatif sama (kebiru-biruan), perairan berkarang, sumberdaya ikan menyebar merata di seluruh lokasi penelitian dan dalam pengoperasian kedudukan bubu di dasar perairan adalah normal (Chandra, 2010). Deskripsi Alat Tangkap Yang Digunakan Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian adalah alat tangkap bubu dasar berbentuk segi lima memanjang dengan panjang 110 cm, lebar 72 cm, tinggi 30 cm, bukaan mulut 30 cm dan mesh size 0,75 inci. Bahan bubu terbuat dari kawat dengan kerangka bubu terbuat dari rotan. Alat tangkap ini dilengkapi dengan pemberat dan tali pelampung yang berfungsi sebagai tali penarik saat pengambilan sampel serta pelampung yang terbuat dari bahan plastik dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Alat Tangkap Bubu Kawat Pengukuran Parameter Lingkungan Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada bagian permukaan perairan dengan pengambilan pada setiap lokasi yang telah ditetapkan. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali di lokasi yang sama. Adapun parameter yang diukur adalah suhu, kecerahan, salinitas, kecepatan arus, potensial hidrogen (pH) dan kedalaman. 1. Suhu Suhu perairan diukur menggunakan termometer batang. Termometer dimasukkan ke dalam air selama kurang lebih 2 menit, kemudian dilakukan pembacaan nilai suhu pada saat termometer masih di dalam air agar nilai suhu yang terukur tidak dipengaruhi oleh suhu udara (Hutagalung et al., 1997). 2. Kecerahan Kecerahan diukur menggunakan secchi disk. Secchi disk ini dicelupkan perlahan-lahan ke dalam air HALAMAN - 30 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah kemudian diamati saat secchi disk tidak terlihat warna hitam dan putih dan diukur ke dalamannya. Menghitung kecerahan dengan rumus: 5. Potensial Hidrogen (pH) Potensial Hidrogen (pH) diukur dengan menggunakan pH paper, caranya dengan mencelupkan kertas lakmus pH ke dalam perairan dan mencocokkannya dengan nilai pH yang tertera pada skala kertas pH (Hutagalung et al., 1997). 6. Kedalaman Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan roll meter. Pada ujung taliroll meter dipasang pemberat agar tegak lurus di perairan. Roll meter dimasukkan ke dalam perairan secara tegak lurus sampai ke dasar perairan, kemudian dilihat angka pada roll meter yang menunjukkan tinggi permukaan air (Hutagalung et al., 1997). Analisis Data Lama Perendaman Yang Efektif Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yakni uji Kruskal Wallis yaitu menguji tingkat perbedaan nyata atau tidak nyata pengaruh lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan. Untuk memenuhi persyaratan analisis dalam menarik kesimpulan, maka dirumuskan uji hipotesis sebagai berikut: 1 H0 : Lama perendaman bubu kawat mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. 2 H1 : Lama perendaman bubu kawat tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Rumus statistik uji Kruskal Wallis adalah (Supranto, 2009): Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Di mana: ( N = Banyaknya data dari seluruh perlakuan k = Banyaknya perlakuan Ri = Jumlah dari peringkat perlakuan ke-i ni = Banyaknya data dari perlakuan ke- i Pengambilan keputusan adalah : 1) Tolak Ho, terima jika H ≥ , berarti ada perbedaan atau pengaruh lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan. 2) Terima Ho, tolak , jika H ≤ , berarti tidak ada perbedaan atau tidak ada pengaruh lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan memberikan uraian mengenai jumlah dan jenis-jenis ikan dari hasil tangkapan bubu kawat yang didapatkan dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Perendaman Bubu yang Efektif V= Terhadap Hasil Tangkapan Hasil penelitian perbedaan lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan analisis uji Kruskal Wallis bahwa perendaman bubu dengan perlakuan dua hari, tiga hari dan empat hari diperoleh nilai KW berdasarkan bobot (kg) sebesar 12,102 lebih besar dari nilai (N-1) yaitu 5,991 yang didapat dari tabel Chi-kuadrat. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% lama perendaman bubu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan berdasarkan bobot (kg). Berdasarkan analisis uji Kruskal Wallis dengan perlakuan lama perendaman dua hari, tiga hari dan empat hari menunjukkan hasil tangkapan yang tertinggi pada perendaman bubu tiga hari yaitu 56,17 kg (Gambar 3) yang setara dengan jumlah individu sebanyak 318 individu (Gambar 4) lebih tinggi hasil tangkapan daripada lama perendaman bubu dua hari dan empat hari. Hasil Tangkapan (kg) 56,17 54,31 60 50 31,08 40 30 20 10 0 2 3 4 Berat (kg) Keterangan : D1 = Kedalaman secchi disk hilang D2 = Kedalaman saat secchi disk tampak lagi. 3. Salinitas Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer, yaitu sampel air laut diteteskan pada alat tersebut, kemudian dilakukan pembacaan skala yang terdapat pada alat teropong yang dilengkapi kaca pembesar di dalamnya. Sebelum air laut diteteskan pada refraktometer, alat ini dikalibrasi dulu dengan aquades (Hutagalung et al., 1997). 4. Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan diukur dengan menggunakan layang-layang arus yang diikat dengan tali sepanjang beberapa meter (s). Metode pengukuran kecepatan arus dengan cara menghanyutkan layanglayang arus tersebut di permukaan perairan hingga tali tertarik lurus (menegang), dan diukur waktu (t) dari awal penghanyutan hingga tali yang terikat lurus (Hutagalung et al., 1997). Setelah didapat nilai waktu (t), kecepatan arus (V) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : ∑ Lama Perendaman (hari) Gambar 3. Berat Total ikan HALAMAN - 31 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah Individu (ekor) Hasil Tangkapan (ekor) 400 300 318 307 3 4 201 200 100 0 2 Lama Perendaman (hari) Gambar 4. Jumlah individu Ikan 2. Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Kawat Hasil tangkapan bubu kawat selama penelitian berjumlah 21 (dua puluh satu) spesies ikan yaitu Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus), Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus), Kerapu Hitam (Ephinephelus timorensis), Seminyak (Diagramma pictum), Garis Singgang (Lutjanus carponotatus), Kurisi Pasir (Scolopsis taeniopterus), Kakap Mata Kucing (Psammoperca waigiensis), Baronang (Siganus canaliculatus), Ikan pasir (Gymnocranius sp), Ekor Kuning (Caeseo teres), Tanda-Tanda (Lutjanus russeli), Biji Nangka (Upeneus sundaicus), Ketarap (Caerodon schoenleini), Kuwe (Carangoides fulvoguttatus), Seriding (Sargocentrum rubrum), Kurisi Merah (Nemipterus furcosus), Ketambak (Lethrinus lentjan), Anjang-Anjang (Pentapodus setosus), Jebung (Abalister stellatus), Kunyit (Lutjanus madras) dan Komposisi hasil tangkapan bubu kawat pada perlakuan lama perendaman selama penelitian diperoleh bobot (kg) paling tinggi ialah Ikan Seminyak (Diagramma pictum) sebesar 28,37 kg dan yang terendah Ikan Chelmon rostratus ialah 0,26 kg dari total keseluruhan hasil tangkapan (Gambar 5). Berat Total Hasil Tangkapan(kg) Chelmon rostratus 0,26 Diagramm a pictum 28,37 Plectropomus maculatus Epinephelus fuscoguttatus Epinephelus timorensis Diagramma pictum Psammoperca waigiensis Choerodon schoenleini Sargocentrum rubrum Nemipterus furcosus Lethrinus lentjan Upeneus sundaicus Caeseo teres Gymnocranius sp Carangoides fulvogutattus Pentapodus setosus Lutjanus russelli Siganus canaliculatus Lutjanus carponotatus Lutjanus madras Scolopsis vosmeri Abalister stellatus Chelmon rostratus Gambar 5. Komposisi Total Hasil Tangkapan Bubu Kawat (kg) Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Kepe-Kepe (Chelmon rostratus). Hasil tangkapan dalam penelitian ini merupakan spesies yang biasa di tangkap menggunakan bubu dasar. Komposisi total hasil tangkapan selama penelitian sebanyak 826 individu dengan berat 141,56 kg dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Hasil Tangkapan Lama Perendaman Bubu Kawat No Hasil Tangkapan (spesies) Berat (kg) Individu (ekor) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Plectropomus maculatus Epinephelus fuscoguttatus Epinephelus timorensis Diagramma pictum Psammoperca waigiensis Choerodon schoenleini Sargocentrum rubrum Nemipterus furcosus Lethrinus lentjan Upeneus sundaicus Caeseo teres Gymnocranius sp Carangoides fulvogutattus Pentapodus setosus Lutjanus russelli Siganus canaliculatus Lutjanus carponotatus Lutjanus madras Scolopsis vosmeri Abalister stellatus 5,92 9,25 1,68 28,37 9,21 5,09 1,9 5,75 5,04 1,31 10,44 6,59 5,21 5,9 7,63 18,14 3,32 5,04 4,27 1,24 11 11 5 94 52 27 14 45 30 8 81 43 12 42 47 183 24 58 34 2 21 Chelmon rostratus 0,26 3 141,56 826 Total Hasil Tangkapan Pada Tabel 1 menunjukkan hasil tangkapan dari perlakuan perendaman dua hari, tiga hari dan empat hari. Jenis ikan yang paling banyak terdapat pada perendaman tiga hari dan empat hari yaitu 21 jenis ikan. Hal ini disebabkan pada saat penelitian dilakukan pada kedalaman yang berbeda yaitu kisaran 8-12 m, sehingga semakin dalam suatu perairan keanekaragaman ikan lebih tinggi dan semakin lama perendaman bubu ikan yang masuk ke dalam bubu juga akan bertambah banyak. Berdasarkan jumlah individu, ikan yang diperoleh pada perendaman tiga hari yang paling banyak, karena ikan jenis Siganus canaliculatus lebih suka bergerombol, sehingga lebih banyak terperangkap ke dalam bubu. Berdasarkan bobot, paling banyak pada perendaman tiga hari. Hal ini disebabkan ikan jenis Diagramma pictum memiliki bobot tubuh yang besar dan merupakan ikan yang hidup sendiri-sendiri (soliter), habitat pada dasar berlumpur dekat dengan terumbu karang (Burhanuddin, 2012). 3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter lingkungan perairan Perlang mempunyai karakteristik yang tidak berbeda jauh antara perendaman bubu dua hari, tiga hari dan empat hari. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada saat penelitian diketahui nilai salinitas perairan pada setiap perlakuan berkisar antara 30,33- HALAMAN - 32 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah 33,33%, nilai pH berkisar antara 7-8, nilai kecerahan berkisar antara 5,8-8,4 m, nilai suhu berkisar antara 2930°C, nilai kedalaman berkisar 8-12 m dan nilai kecepatan arus berkisar antara 0,37-0,57 m/s. Kondisi lingkungan perairan perlang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter Satuan Salinitas ‰ pH Perendaman Perlakuan Baku Perendaman Perendaman 2 Hari 3 Hari 4 Hari Mutu Air Laut * 30,33-33,33 30,66-33 30,66-32 32-34 7-7,5 7,5-8 7,5-8 7-8,5 Kecerahan m 5,8-6,8 7-8,4 6,8-8,2 >5 Suhu C 29-29,66 29,33-30 29-30 28-30 08-12 08-12 - 0,51-0,57 0,37-0,44 - Kedalaman m 08-12 Kecepatan Arus m/s 0,42-0,55 KEPMEN LH No. 51. 2004 Pembahasan 1. Perendaman Bubu yang Efektif Terhadap Hasil Tangkapan Hasil analisis uji Kruskal Wallis bahwa perendaman bubu dengan perlakuan dua hari, tiga hari dan empat hari diperoleh nilai KW berdasarkan bobot (kg) ialah 12,102 lebih besar dari nilai (N-1) yaitu 5,991 yang didapat dari tabel Chi-kuadrat. Hal ini menunjukkan bahwa tolak Ho, terima jika H ≥ , berarti ada perbedaan atau pengaruh lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan. Lama perendaman bubu tiga hari berbeda nyata dengan lama perendaman bubu dua hari dan empat hari. Hal ini disebabkan karena lama perendaman bubu tiga hari yang lebih tinggi hasil tangkapanya dan berbeda sangat nyata dengan lama perendaman lainnya, maka lama perendaman tiga hari merupakan pilihan yang tepat untuk menangkap ikan. Perendaman bubu dua hari lebih sedikit hasil tangkapannya daripada perendaman bubu tiga hari dan empat hari. Hal ini diduga karena pada pengoperasian bubu selama penelitian tanpa menggunakan umpan, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama bagi ikan untuk berkumpul dalam bubu. Menurut pendapat Zulkarnaen (2007), ikan masuk ke dalam bubu dimulai pada perendaman bubu dua hari dan semakin meningkat pada perendaman empat hari. Lama perendaman bubu tiga hari yang paling banyak hasil tangkapan ikan. Hal ini disebabkan, ikan baru masuk ke dalam bubu pada perendaman tiga hari dan diduga ikan besar tertarik pada ikan kecil yang terlebih dahulu masuk ke dalam bubu dan Selain itu ikan yang masuk ke dalam bubu diduga ikan menjadikan bubu sebagai tempat berlindung dan beristirahat sewaktu melakukan migrasi serta karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri. diperkuat pendapat Rumajar (2001), kondisi yang menyebabkan ikan masuk ke Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 dalam bubu adalah karena ikan menganggap bubu sebagai tempat berlindung. Lama perendaman bubu empat hari hasil tangkapannya tidak berbeda jauh dengan lama perendaman bubu tiga hari. Hal ini diduga ikan yang masuk ke dalam bubu berhasil meloloskan diri dan adanya serangan atau pemangsa. Semakin lama waktu perendaman berpeluang terjadinya pemangsa dalam bubu atau pun ikan yang tertangkap dapat meloloskan diri dengan semakin lamanya waktu perendaman bubu (Rumajar, 2001). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnaen (2007) yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan terbanyak untuk menangkap ikan tambangan dengan jenis bubu bambu dan bubu jaring efektif direndam selama empat hari. Hal ini diduga karena tingkah laku ikan yang menganggap bubu sebagai tempat untuk berlindung, sehingga ikan terperangkap ke dalam bubu dan ruaya ikan pada saat penelitian bergerak mengikuti kondisi siang dan malam dan pergerakan mengikuti pasang dan surut. Pola pergerakan ikan karang yang mengikuti kondisi siang dan malam sesuai dengan sifat ikan karang yang bersifat diurnal atau aktif pada siang hari dan bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari (Iskandar et al., 1997 dalam Noprianto, 2012). 2. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil penelitian selama satu bulan berjumlah 826 ekor dengan berat total 141,56 kg. Lama perendaman bubu dua hari yaitu 31,08 kg (201 ekor), lama perendaman bubu tiga hari yaitu 56,17 kg (318 ekor) dan lama perendaman bubu empat hari yaitu 54,31 kg (307 ekor) dari total keseluruhan hasil tangkapan. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan selama penelitian lama perendaman bubu tiga hari lebih efektif untuk melakukan penangkapan ikan menggunakan bubu kawat. Hal tersebut dapat memberikan masukkan kepada nelayan Perlang, bahwa penangkapan ikan dengan lama perendaman bubu tiga hari menghasilkan tangkapan yang lebih efektif. Berbeda dengan pendapat Candra (2010), menyatakan lama perendaman empat hari menggunakan bubu kawat merupakan pilihan yang tepat untuk menangkap ikan Kerapu Sunu. Hal ini diduga bahwa perairan tersebut didominasi oleh ikan Kerapu Sunu dan merupakan ikan predator yang aktif mencari makan pada malam hari, sehingga terjadi pemangsa di dalam bubu oleh ikan Kerapu Sunu terhadap jenis ikan yang lainnya. Ikan hasil tangkapan bubu kawat pada saat hauling masih dalam kondisi hidup, sehingga seleksi terhadap hasil tangkapan yang menjadi tujuan penangkapan dapat dilakukan dengan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan yang belum layak tangkap, demikian halnya dengan nelayan Perlang melakukan pelepasan kembali ikan yang belum layak ditangkap agar stok ikan yang ada di perairan tidak berkurang dan diharapkan penggunaan bubu adalah salah satu alat tangkap yang berwawasan lingkungan. Total hasil tangkapan selama penelitian yang didapat jenis ikan paling dominan ialah Ikan Seminyak (Diagramma pictum) dan Ikan Baronang (Siganus HALAMAN - 33 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah canaliculatus). Hal ini disebabkan Ikan Seminyak (Diagramma pictum) memiliki bobot tubuh yang besar dan merupakan ikan yang hidup sendiri-sendiri (soliter), habitat pada dasar berlumpur dekat dengan terumbu karang dan makanan utama adalah avertebrata bentik dan ikan kecil. Ikan ini diduga tertarik masuk ke dalam bubu karena adanya ikan-ikan mangsa yang berada di dalam bubu. Selain itu ikan Seminyak diduga tertarik masuk ke bubu karena sifat tigmotaksis ikan yang selalu ingin bersembunyi di karang dan menunggu mangsanya lewat. Ikan ini terggolong ikan yang aktif mencari makan pada malam hari, sedangkan siang hari bersembunyi di bawah terumbu karang dan termasuk jenis ikan demersal. Hal ini sesuai dengan pendapat dari nelayan setempat bahwa, ikan-ikan karnivora seperti Ikan Seminyak, Baronang, Ekor Kuning, Ketambak, Kerapu, Kurisi merupakan ikan yang selalu tertangkap pada alat tangkap bubu nelayan dan merupakan ikan konsumsi, meskipun alat tangkap bubu tersebut tidak menggunakan umpan. Spesies ikan karang yang beranekaragam merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi (food fish) dan ikan hias (ornamental fishing). Jenis-jenis ikan target penangkapan yang terdapat di terumbu karang adalah ikan yang termasuk ke dalam famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mullidae, Siganidae, Haemullidae, Labridae, Nemipteridae, Priacanthidae, Carangidae, dan Sphraenidae (Iskandar, 2010). Ikan Baronang (Siganus canaliculatus) memiliki sifat suka bergerombol aktif pada siang hari (diurnal), sehingga lebih banyak terperangkap ke dalam bubu. Ikan Baronang selalu bergerombol di daerah pantai pada saat pasang, baik pada saat berenang maupun mencari makan. Sebaliknya pada saat surut rendah, Ikan Baronang berenang ke wilayah terumbu karang (Kordi, 2009 dalam Latuconsina et al., 2011). Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan yang banyak ditemukan di sekitar ekosistem padang lamun dan terumbu karang, karena Ikan Baronang terggolong herbivora dengan makanan utamanya berupa lamun, alga atau lumut (Yuspriadipura et al., 2014). Menurut Kordi (2009) dalam Latuconsina (2011), salah satu ikan ekonomis penting yang diketahui berasosiasi dengan padang lamun adalah Ikan Baronang (Siganus canaliculatus) yang memanfaatkan ekosistem padang lamun sebagai daerah asuhan, pembesaran dan tempat mencari makan. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat hasil tangkapan Ikan Baronang bahwa di perairan Perlang kondisi terumbu karang dan lamun masih baik. Hasil tangkapan terendah pada saat penelitian ialah Ikan Kepe-Kepe (Chelmon rostratus). Hal ini diduga pada saat peletakkan bubu di perairan tidak di atas permukaan terumbu karang, sehingga Ikan KepeKepe sedikit tertangkap oleh bubu dan juga Ikan KepeKepe hidup berasosiasi secara langsung dengan terumbu karang yang merupakan penghuni terumbu karang sejati. Ikan Kepe-Kepe aktif di siang hari (diurnal) dan pada malam hari mencari tempat Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 perlindungan yang dekat dengan permukaan terumbu karang (Wenas, 2004 dalam Ari et al., 2013). Ikan Kepe-Kepe hidup di perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 18 m. Suhu pada saat penelitian kisaran antara 29-30°C, kisaran ini merupakan suhu yang baik bagi pertumbuhan karang. Suhu yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang adalah berkisar antara 25-30°C (Supriharyono, 2000 dalam Suryanti et al., 2011). Ikan Kepe-Kepe bisa hidup soliter, berpasangan maupun berkelompok. Ikan ini memiliki mulut yang berukuran kecil dan agak memanjang yang membantu dalam mengambil makanannya. Ikan KepeKepe memakan polip karang, alga, cacing, plankton dan invertebrata lainnya (Kuiter, 1992 dalam Ari et al., 2013). Hasil tangkapan pada perendaman bubu dua hari, tiga hari dan empat yang dominan di perairan Perlang ialah Ikan Seminyak (Diagramma pictum) dan Ikan Baronang (Siganus canaliculatus) dengan melihat pada setiap lokasi perendaman bubu kawat memiliki penyebaran ikan yang merata di perairan Perlang dan juga dengan kondisi perairan yang mendukung seperti ekosistem terumbu karang yang masih bagus dan perairan belum tercemar, sehingga keberadaan ikan yang ada di perairan Perlang menyebar secara merata. 3. Pengukuran Parameter Lingkungan Lama perendaman bubu kawat memberikan hasil tangkapan yang berpengaruh nyata. Namun, selain lama perendaman bubu faktor kondisi parameter lingkungan merupakan hal yang sangat menentukan dalam kehidupan ikan dan keberhasilan dalam penangkapan. Pengaruh suhu erat kaitannya dengan usaha penangkapan ikan. Hal ini disebabkan jika temperatur area penangkapan lebih tinggi dari temperatur rata-ratanya dan melebihi temperatur optimum maka kemungkinan besar penangkapan tidak akan berhasil. Kisaran suhu pada saat penelitian berkisar antara 29-30°C, keadaan ini menunjukkan tidak terjadinya fluktuasi suhu yang mencolok pada saat dilakukan penelitian. Pada suhu 28-30°C mendukung pertumbuhan dan keberadaan terumbu karang sebagai habitat utama bagi ikan karang (Anwar et al., 1984 dalam Liliana, 2009). Pada hasil penelitian ikan Baronang dan ikan seminyak yang mendominasi hasil tangkapan. Kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan Baronang adalah antara 25-34°C (Lam, 1974 dalam Latuconsina, 2011). Suhu memiliki fungsi yang sangat erat di dalam lingkungan laut. Secara tidak langsung, suhu mempengaruhi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan fisiologi hewan, khususnya metabolisme dan reproduksi. Semakin tinggi suhu, maka metabolisme akan meningkat dan salinitas akan semakin menurun. Perubahan suhu akan mengakibatkan terjadinya sirkulasi massa air sehingga akan mempengaruhi penyebaran biota laut (Bakhtiar et al., 2014). Kisaran salinitas pada saat penelitian antara 30,33-34‰. Salinitas di perairan Perlang masih sesuai dengan salinitas yang dijumpai di perairan Indonesia umumnya perairan tropis. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup HALAMAN - 34 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah No. Kep-51/MENKLH/2004 salinitas 33-34‰ untuk perairan karang, dimana parameter ini masih normal untuk kehidupan biota laut. Ikan Baronang dapat mentoleransi perubahan salinitas sampai 5‰. Salinitas di Perairan Indonesia umumnya berkisar antara 30,035,0 ‰. Daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34 ‰, sedang untuk laut terbuka antara 33-37 ‰ dengan rata-rata 35 ‰ (Romimohtarto dan Thayib dalam Edward dan Marasabessy, 2003). Kecepatan arus sangat berpengaruh dalam pengoperasian alat tangkap bubu, karena dari hasil penelitian yang didapat, bahwa hasil tangkapan yang terbanyak pada saat arus cepat yaitu 0,51-0,57 m/dtk. Hal tersebut disebabkan pergerakkan ikan yang memanfaatkan arus, sehingga ikan terperangkap ke dalam bubu. Arus merupakan faktor yang sangat penting terutama bagi alat tangkap yang pengoperasiannya memanfaatkan arus, seperti alat tangkap bubu. Kecepatan arus dapat dibedakan dalam 4 kategori yakni kecepatan arus mulai dari 0-0,25 m/s yang disebut arus lambat, kecepatan arus 0,25-0,50 m/s yang disebut arus sedang, kecepatan arus 50-1 m/s yang disebut arus cepat dan kecepatan arus diatas 1 m/s yang disebut arus sangat cepat (Ihsan, 2009 dalam Ersti et al., 2012). Kisaran nilai pH (Potensial hidrogen) yang terukur pada lokasi pengamatan berkisar antara 7-8. Hal tersebut masih mendukung untuk kehidupan biota di perairan Perlang. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/2004 untuk pH yaitu 7-8,5 maka nilai pH ini masih memenuhi baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut. Kecerahan pada saat penelitian kisaran antara 5,88,4 m. Nilai kecerahan di perairan Perlang memiliki nilai kecerahan yang cukup baik untuk kehidupan biota laut, hal ini terjadi karena perairan Perlang masih tergolong alami dan belum tercemar. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/2004 nilai kecerahan untuk daerah terumbu karang yaitu >5 m. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi (Effendi, 2003). Kedalaman pengoperasi alat tangkap bubu kawat kisaran antara 8-12 m. Terbatasnya kedalaman daerah pengoperasian penangkapan, disebabkan perairan Perlang merupakan perairan dangkal dan kebiasaan nelayan setempat melakukan pengoperasian bubu pada kedalaman < 15 m. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian lama perendaman bubu kawat terhadap hasil tangkapan di perairan Perlang, dapat disimpulkan bahwa: 1. Lama perendaman bubu tiga hari yang lebih tinggi hasil tangkapanya dan berbeda sangat nyata dengan lama perendaman lainnya, maka lama perendaman tiga hari merupakan pilihan yang tepat untuk menangkap ikan. Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 2. Hasil tangkapan bubu kawat selama penelitian berjumlah 21 (dua puluh satu) spesies ikan yaitu Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus), Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus), Kerapu Hitam (Ephinephelus timorensis), Seminyak (Diagramma pictum), Garis Singgang (Lutjanus carponotatus), Kurisi Pasir (Scolopsis taeniopterus), Kakap Mata Kucing (Psammoperca waigiensis), Ikan Pasir (Gymnocranius sp), Baronang (Siganus canaliculatus), Ekor Kuning (Caeseo teres), Tanda-Tanda (Lutjanus russeli), Biji Nangka (Upeneus sundaicus), Ketarap (Caerodon schoenleini), Kuwe (Carangoides fulvoguttatus), Seriding (Sargocentrum rubrum), Kurisis Merah (Nemipterus furcosus), Ketambak (Lethrinus lentjan), Anjang-Anjang (Pentapodus setosus), Jebung (Abalister stellatus), Kunyit (Lutjanus madras) dan Kepe-Kepe (Chelmon rostratus). Hasil tangkapan dalam penelitian ini merupakan spesies yang biasa di tangkap menggunakan bubu dasar. Saran Perlu adanya penelitian tentang penggunaan alat tangkap bubu kawat di perairan Perlang dan perlu adanya penelitian lain tentang teknis penangkapan menggunakan bubu, terutama jenis bubu dan bentuk bukaan mulut bubu, agar ikan mudah terperangkap ke dalam bubu. Daftar Pustaka Allen, G. 2000. Marine Fishes Of South-Easrt Asia. Periplus Edition (Hk) Ltd. Singapore. 292 hlm. Ari, B. Ruddy Dj. Moningkey1. Alex D. dan Adnan S. 2013. Ikan Karang Famili Chaetodontidae Di Terumbu Karang Pulau Para Kecamatan Tatoareng Kabupaten Kepulauan Sangihe. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Ilmiah Platax 1:(4). Hal 210-215. Burhanuddin, AI dan Iwatsuki, Y. 2012. The Grunts (Family Haemulidae) Of The Spermonde Archipelago, South Sulawesi. 1Laboratory of Marine Biology, Faculty of Marine Science and Fisheries, Hasanuddin. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Hlm. 229-238. Bakhtiar, D. Zamdial, T. dan Mukti, 2014. Struktur Komunitas Ekosistem Terumbu Karang Di Pantai Barat Pulau Enggano. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Badan Pusat Statistik. 2013. Profil Desa Perlang Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah. Candra, E. 2010. Analisis Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Kerapu HALAMAN - 35 Akuatik – Perbedaan Lama Perendaman Bubu Kawat Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Perlang kabupaten Bangka Tengah Sunu (Pleactropomus sp) Di Perairan Lepar Pongok Kabupaten Bangka Selatan [Skripsi]. Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi. Universitas Bangka Belitung. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Jogyakarta. Ersti, Y.S. dan Usman. 2012. Studi Parameter Fisika dan Kimia Daerah Penangkapan Ikan Perairan Selat Asam Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan 17(1) : 88-100. Iskandar, D. 2010. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan Bubu Yang Dioperasikan Di Perairan Karang Kepulauan Seribu. Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, No. 51. 2004. Tentang Kriteria Baku Mutu Perairan. Liliana, S. 2009. Studi Keanekaragaman Ikan Karang Di Kawasan Perairan Bagian Barat Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara Medan. Latuconsina, H. Rohani, A dan Nessa, N. 2011. Asosiasi Ikan Baronang (Siganus Canaliculatus Park, 1797) Pada Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Ambon Dalam. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam, Bogor. Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 Noprianto. 2012. Analisis Perbedaan Kedalaman Pemasangan Bubu Dasar Terhadap Hasil Tangkapan Ikan di Pusuk Bangka Barat. [Skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Rumajar, T.P. 2001. Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Usaha Perikanan Karang Dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. [Tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Biologi, Institut Pertanian Bogor. Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Supranto, J. 2009. Statistik Teori dan Aplikasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Suryanti, Supriharyono dan Indrawan, W. 2011. Kondisi Terumbu Karang dengan Indikator Ikan Chaetodontidae di Pulau Sambangan Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah. Jurusan Perikanan FPIK UNDIP. Yuspriadipura, A. Suprapto, D dan Suryanti. 2014. Jenis dan Kelimpahan Ikan Pada Karang Branching Di Perairan Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Zulkarnaen, I. 2007. Pemanfaatan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) dengan Bubu di Perairan HALAMAN - 36