Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..129 PROBLEMATIK IMUNITAS HUKUM ANGGOTA PARLEMEN DITINJAU DARI PRINSIP EQUALITY BEFORE THE LAW Wenly R.J. Lolong* Abstract: Immunity laws and ownership rights by members of Parliament as State officials into a huge deal lately. The right of immunity that attaches to the Member of Parliament is becoming attractive to examined in comparison with the existence of the principle of equality before the lawThe focus of this study is to analyze the basic concept of building immunity State officials especially ownership rights of immunity of members of Parliament, when faced with the fundamental problems in the country namely the presence of equality before the law in every citizen. The outline of issues raised, namely whether the juridical foundation of legal immunity for members of Parliament in Indonesia as a privilege that is owned in the context of his position as State officials? The second issue is how does the existence of the principle of legal immunity for State officials when it examined the position and enforceability before the principle of equality before the law? As a conclusion here is that the right of immunity of its existence included expressly in the UUD 1945 specially section 20A para 3. The elaboration of advanced settings of the existence of the right of immunity members of Parliament in fact provided for in Article 224 of the Act Number 17 of 2014 of the MPR, DPR, DPD, dan DPRD. While the principle of equality before the law as a basic principle in the concept of law and the human rights embodied in the Constitution by forming the State in article 27 paragraph (1) of the Constitution Keywords: Immunity, Parliament, Equality Before The Law Pendahuluan Imunitas hukum bagi pejabat negara khususnya anggota parlemen akhir-akhir ini menjadi sebuah persoalan pelik yang terus diperdebatkan keberadaan terutama penerapannya. Pro kontra muncul terhadap perlu tidaknya imunitas hukum bagi pejabat negara dalam tujuan untuk memaksimalkan pelaksanaan tugasnya. Terakhir berkembang wacana bagi perlunya personil pejabat negara di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memiliki hak istimewa ini. 1 Kepemilikan hak imunitas ini * Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Negeri Manado 1 Lihat berita media online: Republika Online, ―Hak Imunitas Rawan Disalahgunakan‖, tanggal 28 Januari 2015. Alamat url: http:// www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/ 15/01/28/ Lihat juga berita media online lainnya Aktual.co tanggal 26 Januari 2015 dengan judul berita ―Menkumham Sebut Hak Imunitas Langgar Konstitusi: yang memuat komentar Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly yang menyebut bahwa pemberian hak imunitas kepada personil KPK merupakan pelanggaran konstitusi. Alamat url: http://www.aktual.co/politik/ men kumham-sebut-hak-imunitas-langgar-konstitusi. menjadi sebuah isu menarik ditengah berkembangnya polemik kriminalisasi anggota KPK saat ini. Dapat dikatakan bahwa imunitas hukum saat ini menjadi sebuah persoalan publik mengingat keistimewaan keberlakuannya, yaitu ketika seseorang memiliki hak kekebalan hukum selama dalam fungsi menjalankan tugasnya. Khusus untuk persoalan imunitas hukum bagi anggota parlemen sebagai pejabat negara maka hak istimewa ini keberadaannya diatur dalam UUD 1945 maupun UU No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disingkat UU MD3). Ketentuan hukum ini secara garis besar mengatur perihal adanya kepemilikan hak imunitas hukum bagi anggota parlemen terkait dengan posisinya ketika menjalankan tugasnya sebagai anggota legislatif tersebut. Terkait dengan ini maka keberlakuan hak imunitas bagi personil lembaga legislatif terutama didasarkan pada UU MD3 diatas dalam kenyataan menimbulkan polemik dalam masyarakat. Kontra yang muncul merujuk kepada kenyataan ketakutan akan munculnya sikap dan perilaku yang tidak wajar dalam hal ini merasa kebal hukum dari para anggota dewan saat menjalankan 130 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 tugasnya. Ketakutan demikian setidaknya memang terwujud hanya beberapa bulan ketika UU MD3 ini disahkan dan diberlakukan saat secara faktual DPRD DKI bersitegang saat rapat dengan Gubernur DKI baru-baru ini. Reaksi masyarakat sungguh luar biasa menggugat keadaan tersebut.2 Diluar daripada ini yang harus dikatakan disini ialah bahwa memang sepatutnya diperlukan kajian mendasar lagi terhadap urgensitas eksistensi hak imunitas bagi pejabat negara. Penegasannya ialah bahwa sesungguhnya harus dipertanyakan lagi soal kesahihan landasan pemberlakuan imunitas sebagai hak yang diberikan Negara bagi pejabat yang menjalankan tugas kenegaraan dengan berdasar pada kenyataan kompleksitas persoalan penerapannya dilapangan. Jelas hal yang dimaksud ialah kokoh tidaknya bangunan konsepsi asas imunitas bagi pejabat Negara ketika dihadapkan pada persoalan yang lebih fundamental yaitu persamaan hak bagi setiap warga didalam negara. Dasar persoalan ini ialah jelas yaitu bukankah telah terjadi pembedaan, pengkhususan serta pengecualian mengenai persoalan kedudukan setiap warga dihadapan hukum? Bagaimana kemudian hukum itu sendiri dari sisi landasan keilmuannya memandang validitas imunitas hukum ini sebagai sebuah konsep yang telah diterjemahkan dan diterapkan di banyak negara sekian lama? Pada pertanyaan selanjutnya maka mampukah hukum kemudian sebagai sebuah entitas ilmu mereformasi diri dalam konteks menemukan sebuah kebenaran baru untuk sebuah per-tanyaan haruskah ada imunitas hukum bagi pejabat Negara? Sementara itu pada sisi lainnya secara kontra, imunitas hukum sungguh diperlukan untuk menjamin adanya kebebasan secara fisik dan mental dari para pejabat dalam hal ini anggota parlemen yang sementara menjalankan tug2 Lihat berita media online: Kompas.com anggal 6 Maret 2015, ―Makian Anggota DPRD DKI Terhadap Ahok Dikecam Netizen‖, Alamat url: http://megapolitan.-kompas.com. Lihat pula berita terkait: Kompas.com tanggal 10 Maret 2015, ―Dilaporkan Ke Polda Karena Memaki Ahok Ini Tanggapan Anggota Dewan‖, Alamat Url: http://megapolitan .kompas.com asnya melayani negara. Ancaman-ancaman tekanan pertanggungjawaban hukum dapat diminimalisir dengan adanya hak imunitas hukum. Pro kontra atas keberadaan hak imunitas terutama dalam implementasinya menyebabkan perlu adanya kajian ulang terhadap konsep sesungguhnya dari asas imunitas ini. Kajian ini diperlukan untuk mencari dasar pembenaran daripada keberadaan asas imunitas dimaksud. Hal ini akan menghadirkan pemahaman yang lebih baik terhadap nilai penting daripada imunitas hukum ini yang sesungguhnya telah diakui sejak lama penerapannya dalam negara. Menjadi penting untuk kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan demikian. Ketika persoalan imunitas bagi pejabat Negara ini terus meruncing maka menjadi keharusan akademik disini untuk kemudian mempertanyakan dan menelaah kembali kesahihan argumentasi dogmatik pemilikan hak imunitas oleh pejabat Negara. Dalam keterkaitan dengan uraian diatas ini maka ada dua rumusan masalah yang diangkat yaitu apakah landasan yuridis imunitas hukum anggota parlemen di Indonesia sebagai hak istimewa yang dimiliki dalam konteks kedudukannya sebagai pejabat negara? Permasalahan yang kedua ialah bagaimanakah eksistensi asas imunitas hukum bagi pejabat negara ketika diujikan posisi dan keberlakuannya dihadapan prinsip equality before the law? Konsep Imunitas Hukum Imunitas merupakan tejemahan dari kata “immunity” yang berarti kekebalan. Kekebalan berasal dari kata kebal yang dalam bidang hukum artinya tidak dapat dituntut.3Imunitas Hukum di Indonesia sendiri merupakan sebuah hak yang diberikan Negara untuk dimiliki oleh pihak legislatif dan pihak eksekutif dalam konteks menjalankan tugas kenegaraan. Dalam contoh dapat dikemukakan disini adanya imunitas hukum pada anggota DPR dengan berdasar pada landasan ketentuan dalam negara. Pasal 20 A UUD 1945 menegaskan imunitas 3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976 hal. 455. Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..131 sebagai salah satu hak individual yang dimiliki oleh setiap anggota DPR dalam menjalankan tugasnya. Dalam perbandingan dengan keberlakuannya pada institusi lembaga perwakilan rakyat di Indonesia maka Pasal 28 huruf f UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, menggariskan bahwa anggota DPR mempunyai hak imunitas atau hak kekebalan hukum dan selanjutnya oleh penjelasannya ditafsirkan bahwa hak imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan. Rumusan Pasal 28 huruf f tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 103 ayat 1 yang menyatakan hak kekebalan tersebut dibatasi yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Lembaga. Munir Fuady menjelaskan bahwa secara umum pengertian fungsi legislatif yang dilindungi berdasarkan konsep hak imunitas ini mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Kebebasan untuk berbicara dan berdebat didalam sidang-sidang atau rapatrapat di parlemen. 2. Pemungutan suara secara bebas di parlemen. 3. Penyediaan laporan-laporan fraksi, komisi atau pribadi anggota parlemen. 4. Partisipasi dalam hearing, rapat, sidang, di parlemen atau dalam tinjauan lapangan secara resmi oleh parlemen atau anggota parlemen. 5. Kebebasan untuk tidak ditangkap atau ditahan. 6. Kebebasan untuk tidak dituduh melakukan tindak pidana penghinaan atau penistaan.4 Dalam lanjutan penjelasannya, Munir Fuady menegaskan hak imunitas hukum merupakan teori hukum yang berlaku umum diakui secara universal dengan penjelasan bahwa hak ini pada pihak legislatif berfungsi untuk: 1. Membuat kedudukan pihak legislatif lebih mandiri. 2. Membuat pihak legislatif lebih berani dalam memberikan pendapatnya, tanpa harus dibayang-bayangi oleh gugatan atau tuduhan hukum yang akan menimpanya. 3. Membuat pihak legislatif lebih dapat berkonsentrasi kepada tugas-tugasnya tanpa harus membuang waktu, tenaga, pikiran dan ongkos-ongkos untuk beracara di pengadilan. 5 Seperti juga untuk pihak legislatif, kepada pihak eksekutif oleh hukum diberikan pula hak imunitas tertentu, baik dalam bidang acara perdata bahkan secara terbatas juga dalam bidang acara pidana sejauh tindakan dari pihak eksekutif tersebut dilakukan dalam ruang lingkup kerjanya selaku pihak eksekutif. Hak imunitas kepada Presiden atau eksekutif ini diberikan dengan rasional utamanya ialah agar Presiden mempunyai kewenangan yang luas dan seringkali kontroversial, sehingga sangat rentan terhadap gugatan perdata atau tuduhan pidana. Dan jika hak imunitas ini tidak diberikan, Presiden akan sangat sibuk melayani perkara-perkara perdata ataupun pidana di pengadilan yang ditujukan kepadanya termasuk oleh lawan-lawan politiknya. Selain daripada itu, pemberian hak imunitas kepada pihak eksekutif juga berkaitan dengan eksistensi dari pranata hukum berupa impeachhment terhadap pihak eksekutif (Presiden) manakala pihak eksekutif tersebut telah melakukan tindakan salah atau pidana berat. Artinya hukuman berupa impeachment dipandang sudah cukup berat baginya selaku Presiden disebuah negara, sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan penjatuhan hukuman-hukuman selanjutnya.6 Prinsip Equality Before The Law Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom. Bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal" terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 4 MunirFuady, Teori Negara Hukum Modern, Jakarta: PT. RefikaAditama, 2009, hal. 165. 5 Ibid., hal. 167. 6 Ibid., hal. 169. 132 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air. Ironisnya dalam gambaran umum oleh masyarakat maka hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the lawsebagai sebuah prinsip pokok dalam penerapan hukum tidak dilaksanakan secara setara pada setiap individu bahkan seringkali diabaikan, kepentingan penguasa lebih mengedepan dibandingkan kepentingan publik. Equality before the law sebagai prinsip kesetaraan dihadapan hukum menjadi minimal pengoperasian dan pengakuannya sebagai prinsip hukum umum ketika dihadirkan sebuah prinsip hukum umum yang lain seperti imunitas hukum pejabat negara. Landasan Yuridis Imunitas Hukum Anggota Parlemen Di Indonesia Pada prinsipnya hak imunitas, yang dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan hak kekebalan, secara konstitusional telah diatur keberadaannya dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.7 Aulawi menjelaskan bahwa dalam konteks kekinian, pelaksanaan hak imunitas anggota DPR RI telah diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Undang-Undang MD3). Terdapat 3 (tiga) hal pokok yang diatur dalam Pasal 224 tersebut, yaitu : 7 Akhmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen Dan Pelaksanaanya Di Beberapa Negara, Jurnal Rechtvinding, http://rechtsvinding.bphn.go.id/ jurnal_online, diakses 10 Agustus 2015 1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. 2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. 3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.8 Menurut Aulawi, ada prinsip penting yang harus diperhatikan terkait pelaksanaan hak imunitas anggota DPR ini. Aulawi menjelaskan bahwa pelaksanaan hak imunitas Anggota DPR ini tidak bisa dijalankan secara mutlak. Dalam ketentuan dalam Pasal 224 ayat (4) Undang-Undang MD39, mengecualikan terhadap anggota DPR RI yang mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Aulawi menegaskan bahwa ketentuan ini sangat penting agar Anggota DPR RI dapat menjaga kerahasiaan terhadap materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia Negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. 8 Ibid. 9 Pasal 224 ayat 4 UU MD3: ―Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundangundangan.‖ Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..133 Lebih dari yang demikian, memang harus tetap diakui bahwa keber-adaan Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini menghadirkan landasan nyata bagi keberlakuan imunitas hukum terhadap anggota parlemen. Namun demikian dilandaskan pada pasal ini pula maka harus diperhatikan bahwa imunitas hukum di maksud hanya dimiliki oleh anggota parlemen negara ini ketika berada dalam wilayah tugas kerja anggota parlemen. Artinya bahwa diluar tugas kerja tersebut, maka anggota parlemen tidak memiliki imunitas hukum. Dengan demikian imunitas hukum ini hadir secara terbatas dan tidak berlaku menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan sebagai sesuatu yang melekat mutlak pada diri pribadi anggota parlemen dimaksud. Pembatasan ini mutlak untuk menjamin tetap tegaknya prinsip kesetaraan dihadapan hukum dari setiap warga di dalam negara ini. Keberadaan imunitas anggota parlemen memang sangat penting demi menjamin hadirnya stabilitas dalam pemerintahan negara. Tugas fungsi parlemen sangat menuntut adanya jaminan kebebasan berbicara, sepanjang kebebasan tersebut hadir dalam konteks pelaksanaan tugas. Hal demikian menjadi sebuah kemutlakan dalam hal keberadaan dan keberlakuan asas imunitas hukum dalam negara ini. Sementara itu terkait prosedur pemeriksaan dalam situasi dugaan telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh anggota DPR maka Pasal 244 dan Pasal 245 dari UU MD3 ini telah mengaturnya. Pasal 244 memberikan landasan normatif terhadap dasar pemberhentian baik sementara maupun tetap. Pemberhentian sementara ketika anggota DPR menjadi seorang terdakwa diatur dalam Pasal 244 ayat 1 huruf a dan b lengkapnya menyebut demikian: Anggota DPR diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Anggota DPR diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.10 Selanjutnya ketika anggota DPR tersebut dalam pemeriksaan ternytaa bersalah maka secara langsung dia diberhentikan sebagai anggota DPR. Hal ini diatur dalam ayat 2 pasal ini. Secara lengkap ayat 2 Pasal ini mengurai demikian: Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.11 Perbandingan Kepemilikan Hak Imunitas Parlemen di Australia Sebagaimana dikutip Aulawi dari Simon Wigley bahwa hak imunitas parlemen dapat dipersamakan dengan hak imunitas legislatif, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang memberikan kekebalan terhadap anggota parlemen agar tidak kenai sanksi hukuman. Bahkan dalam English Bill of Rights, dinyatakan bahwa kebebasan untuk berbicara dan berdikusi atau berdebat di parlemen, tidak dapat di-impeach atau dipertanyakan dalam persidangan di lembaga peradilan.12 Pelaksanaan Hak Imunitas sudah merupakan ―senjata‖ efektif bagi legislator hampir di semua Parlemen di dunia untuk dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya. Tidak hanya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, namun juga untuk melaksanakan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. 13 Aulawi menjelaskan dalam penelitiannya bahwa untuk konteks pelaksanaan di Parlemen Australia, dinyatakan bahwa Istilah 'hak istimewa parlemen' mengacu pada dua aspek penting pertama hak-hak 10 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. 134 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 istimewa atau imunitas atas parlemen itu sendiri serta kedua, imunitas atau kekebalan untuk melindungi integritas dari para anggota parlemen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, terutama kekuasaan untuk memberikan sanksi terhadap pihak yang tidak menghormati (contempt) parlemen. Pelaksanaan atas hak imunitas ini menjadi sangat luas, dan menjadi dasar bagi anggota Parlemen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.14 Selanjutnya Di Parlemen Australia pun, pelaksanaan Hak Imunitas bertujuan untuk mengefektifkan fungsi anggota parlemen khususnya dalam melaksanakan fungsi legislasi (proses pembuatan undangundang). Pada prinsipnya, hak imunitas di Parlemen Australia digunakan untuk kebebasan parlemen dalam berdebat atau berdiskusi, dan hal ini tidak dapat dijadikan bahan untuk dipertanyakan dilembaga peradilan. Selain itu hak imunitas di Parlemen Australia juga menjamin anggota parlemen tidak dapat dituntut untuk setiap tindakannya yang dilakukan dalam proses debat di Parlemen. 15 Hak Imunitas Parlemen di Australia merupakan bagian dari hukum yang berlaku yang dijamin oleh konstitusi Australia. Pada prinsipnya hak imunitas di parlemen merupakan kekebalan anggota parlemen dan pihak lainnya yang mengambil bagian dalam proses di parlemen, dari tuntutan pidana atau perdata, dan pemeriksaan dalam proses hukum. Kekebalan atau imunitas ini di Parlemen Australia dikenal sebagai hak kebebasan berbicara di Parlemen. Terkait mengenai hak kebebasan berbicara ini, di Australia telah diatur dalam the Parliamentary Privileges Act 1987. Kebebasan berbicara ini meliputi: a) pemberian bukti di Parlemen; b) penyajian atau penyampaian dokumen ke Parlemen; c) penyusunan dokumen untuk tujuan tertentu yang terkait dengan tugas dan kewenangan Parlemen; dan d) membuat formulasi atau publikasi dokumen, termasuk laporan, oleh atau sesuai dengan perintah dari Parlemen, dari mulai perumusan hingga publikasian. 14 15 Perbandingan Kepemilikan Hak Imunitas Parlemen di Kanada Dalam pelaksanaan hak imunitas di Parlemen Kanada, hak imunitas anggota Parlemen bersifat terbatas, artinya Anggota Parlemen dapat diperiksa oleh Pengadilan apabila hak imunitas yang dimilikinya tersebut melanggar ketentuan dalam Konstitusi atau Undang-Undang. Dengan demikian Anggota Parlemen harus menghindari menciptakan konflik yang tidak perlu dengan hak pribadi, karena hal itu akan berimplikasi hak istimewa yang dimilikinya dibawa ke pengadilan. Selanjutnya dalam pelaksanaannya, hak imunitas yang paling penting yang diberikan kepada anggota Parlemen Kanada adalah pelaksanaan kebebasan berbicara di persidangan parlemen. Secara garis besar kebebasan berbicara diartikan sebagai hak dasar yang tanpanya Anggota Parlemen akan terhambat dalam melaksanakan tugasnya. Kebebasan berbicara ini memungkinkan Anggota Parlemen untuk berbicara di Parlemen tanpa hambatan, untuk mengacu pada sesuatu hal atau mengungkapkan pendapat apapun, untuk mengatakan apa yang Anggota Parlemen rasakan perlu dikatakan dalam kelanjutan dari kepentingan nasional dan aspirasi konstituen mereka.16 Kebebasan berbicara memungkinkan Anggota Parlemen untuk berbicara dengan bebas di Parlemen atau dalam komite selama pertemuan sambil menikmati kekebalan penuh dari penuntutan untuk setiap komentar mereka mungkin buat. Kebebasan berbicara ini ini sangat penting untuk kerja yang efektif dari DPR. Dalam pelaksanaan kebebasan berbicara di Parlemen Kanada ini pada prinsipnya tidak ada batasan, artinya bahwa Anggota Parlemen bebas untuk berbicara di Parlemen dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya.17 Namun demikian di Parlemen Kanada, kebebasan berbicara anggota Parlemen tidak berlaku untuk laporan proses atau perdebatan yang diterbitkan oleh surat kabar atau orang lain di luar parlemen, artinya pada saat Anggota Parlemen mengeluarkan pernyataan yang Ibid. 16 Ibid. Ibid. 17 Ibid. Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..135 berimplikasi pelanggaran di surat kabar atau tempat lain di luar Parlemen, Hak Imunitas Anggota Parlemen berupa Kebebasan Berbicara itu akan tidak berpengaruh apapun dan dapat dituntut oleh hukum. 18 Aulawi menegaskan bahwa berdasarkan pemaparan pelaksanaan Hak Imunitas bagi Anggota Parlemen baik di Indonesia maupun di beberapa parlemen di dunia, nampaknya dapat diambil kesimpulan beberapa hal: 1. Bahwa untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, Anggota Parlemen perlu dibekali suatu instrumen atau perangkat yang menjamin pelaksanaan tugas dan kewenangannya dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Instrumen atau perangkat ini berupa Hak Imunitas, yang menjamin Anggota Parlemen untuk bebas berbicara dan berpendapat dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya. 2. Dalam pelaksanaan Hak Imunitasnya yang lebih berbentuk kepada Hak Kebebasan Berbicara (Freedom of Speech) pada prinsipnya tidak dibatasi, sepanjang dilakukan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Anggota Parlemen, walaupun ada juga beberapa Parlemen yang membatasi Hak Kebebasan Berbicara ini hanya berada di dalam ruang Parlemen atau Komite. 3. Pelaksanaan Hak Imunitas berupa Kebebasan Berbicara ini dapat menjadi tidak berlaku pada saat Anggota Parlemen melakukannya di luar tugas dan kewenangannya, artinya seorang Anggota Parlemen dapat dituntut di hadapan hukum atas perbuatan atau tindakannya di luar tugas dan kewenangannya. Akhirnya, masyarakat dapat mengetahui bahwa Hak Imunitas merupakan suatu hak yang melekat bagi setiap anggota parlemen. Keberadaannya menjadikan Anggota Parlemen dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif untuk menyuarakan kepentingan bangsa dan negara. 18 Ibid. Namun demikian harus tetap dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of power.19 Prinsip Equality Before The Law Dalam Hubungan Dengan Imunitas Parlemen Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1945 kita. Asas ini menurut Reksodiputro mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini”. Beliau menegaskan bahwa kata kunci dari asas ini adalah ―perlindungan‖. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk ―perlakuan‖. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.20 Dengan kata-kunci ―perlindungan‖, maka yang dituju adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu. Namun, kalau dipergunakan katakunci ―perlakuan‖, maka penafsiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam ―kelas‖, maka 19 20 Ibid. Mardjono Reksodiputro, Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum dalam UU MD3, http://www.hukum online.com/ diakses tanggal 3 Agustus 2015. 136 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 ini mengandung makna jangan mem-beri perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu. Khususnya dalam beberapa kasus, protes ditujukan terhadap persang-kaan bahwa ―kelas pejabat Negara‖ dan/ atau ―kelas orang kaya‖ mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.21 Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal" terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air.22 Ironisnya dalam gambaran umum oleh masyarakat maka hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law sebagai sebuah prinsip pokok dalam penerapan hukum tidak dilaksanakan secara setara pada setiap individu bahkan seringkali diabaikan, kepentingan penguasa lebih didepan dibandingkan kepentingan publik. Equality before the law sebagai prinsip kesetaraan dihadapan hukum menjadi minimal pengoperasian dan pengakuannya sebagai prinsip hukum umum ketika dihadirkan sebuah prinsip hukum umum yang lain seperti imunitas hukum pejabat negara. Dalam kenyataan ketika diperbandingkan penerapan dilapangan maka tidak ada perlakuan yang sama (equal treatment) dihadapan hukum antara individu biasa dengan pejabat negara. Dengan nyatayang demikian ini menyebabkan hak-hak individu dalam memperoleh keadilan (access to 21 Ibid. justice) terabaikan. Bukankah ini merupakan perwujudan terlanggarnya hak asasi seseorang?. Jelas pula bahwa kepastian hukum telah terabaikan dengan posisi Pejabat Negara terlihat berada diatas hukum (above the law). Dalam perbandingan dengan keberadaan imunitas hukum oleh pejabat negara dalam hal ini anggota parlemen sepertinya mendapatkan penentangan yang sangat keras dihadapan prinsip equality before the law. Ingin dikatakan disini bahwa sejatinya perlu pembahasan yang sangat serius terhadap dasar keberlakuan imunitas hukum bagi pejabat negara sebagai hak yang dimilikinya walaupun memang hal itu hadir khusus dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai pejabat negara. Imunitas Dalam Hukum Pidana Hiariej menegaskan bahwa dalam hukum pidana, paling tidak ada dua asas pokok yang disebutnya sebagai postulat terkait imunitas. Dijelaskan beliau bahwa dua postulat dasar tersebut ialah: Imunitas continuum affectum tribuit delinquendi yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya.23 Hiariej menerangkan bahwa seorang kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat par in parem non hebet imperium bahwa kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Namun demikian beliau menegaskan bahwa ―postulat ini sudah disimpangi berdasarkan Pasal 27 Statuta Roma yang menurut Bruce 22 Rusma Dwiyana, Equality Before The Law Vs Impunity: Suatu Dilema, https:// rusmadwiyana.files. wordpress.com. diakses tanggal 10 September 2015. 23 Eddy OS Hiariej, Imunitas dalam Hukum Pidana, http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 10 September 2015. Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..137 Broomhall merupakan karakteristik hukum pidana internasional bahwa tanggung jawab individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi jabatan resmi‖.24 Sementara itu dalam konteks jalinan hubungan diplomatik antar negara maka hadir duta besar, konsul, dan diplomat. Terkait dengan ini makaHiariej menerangkan bahwa subjek-subjek hukum ini mempunyai imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Vienna 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Beliau menjelaskan bahwa Imunitas ini merujuk pada postulat legatus regis vice fungitur a quo destinatur, et honorandus est sicut ille cujus vicem gerit. Secara harfiah, postulat itu berarti seorang duta besar mewakili raja yang mengutusnya sehingga ia harus dihormati karena mengisi posisi sang raja.25 Pengakuan terhadap keberadaan imunitas lewat dua postulat di atas, memunculkan asumsi negatif keberadaan hak tersebut. Keberadaan imunitas yang dianggap merupakan hak yang mengandung potensi hadirnya kejahatan pada awal mulanya serta potensi kecenderungan munculnya kejahatan yang lebih besar dalam kenyataan memaksa orang untuk berpikir mengapa kemudian imunitas ini hadir bagi pejabat negara sebagai hak cukup penting untuk dimiliki secara personal. Dalam kenyataan maka hal ini sesungguhnya didasarkan pada dasar alasan bahwa hak tersebut dimiliki hanya khusus untuk kepentingan pelaksanaan tugas. Hak imunitas sejatinya hanya dilekatkan pada jabatan dan bukan secara personal melekat diluar konteks jabatan tersebut. Memang harus diakui bahwa potensi berhadapan dengan hukum dalam kenyataan, sungguh melekat pada jabatan pejabat negara. Jika ini benar-benar terjadi maka pejabat negara tentunya akan mengalami kesulitan dalam bekerja. Waktunya dalam menjalankan tugas akan tersita hanya untuk menghadapi kasus-kasus hukum yang menimpa dirinya yang dilatari pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai jabatannya. Pada titik ini maka tentu saja keberadaan imunitas 24 Ibid. 25 Ibid. hukum menjadi sebuah hal yang sangat diperlukan. Namun demikian persoalannya menjadi tidak selesai pada pembahasan tersebut sebab dalam kenyataan bukankah menjadi tidak adil ketika seseorang dengan posisi dan kedudukan istimewa dalam konteks strata sosial sebagai pejabat negara masih ditambah keperbedaannya dengan individu warga negara biasa dalam hal kedudukannya didalam negara?. Keberadaan hak imunitas ini dalam kenyataan mendapat penentangan secara keras dengan keberadaan prinsip equality before the law. Dalam kalimat berbeda bahwa keberadaan prinsip equality before the law ini seakan terlecehkan dengan hadinya hak imunitas hukum pejabat negara. Dilematika kehadiran imunitas bagi pejabat negara ini dalam kenyataan telah mendorong penggalian terhadap konsepkonsep pokok alasan penghapus pidana. Hiariej mengkaji hal ini dalam konteks perbandingan dengan pengaturan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni Pasal 50 KUHP. Hiariej melihat bahwa ada korelasi yang cukup kuat antara keberadaan imunitas hukum bagi pejabat negara dalam hal ini secara khusus anggota parlemen dengan substansi Pasal 50 KUHP dimaksud. Pasal 50 KUHP sendiri memang menjelaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Pertanyaannya kemudian apakah hal ini memang dapat dijadikan dasar logis dalam hal hadirnya argumentasi yuridis untuk menguatkan keberadaan dan keberlakuan prinsip imunitas hukum bagi anggota parlemen? Sebelum menjawab pertanyaan terurai diatas maka patut dicermati ulasan Hiariej yang mengurai terlebih dulu keberadaan pandangan George P Fletcher tentang teori terkait alasan penghapus pidana. Fletcher sebagaimana diterangkan kembali oleh Hiariej menyebut adanya theory of pointless punishment yang diterjemahkan sebagai teori hukuman yang tak perlu sebagai teori pertama dalam konteks ini. Teori ini merupakan landasan adanya alasan penghapus pidana, khususnya alasan pemaaf. Selanjutnya, theory of lesser evils yang merupakan teori alasan pembenar sebagai teori yang kedua dalam konteks ini. Teori ini 138 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 sendiri merupakan alasan penghapus pidana yang berasal dari luar diri pelaku. Sementara itu yang ketiga ialah theory of necessary defense atau teori pembelaan yang diperlukan. Pada yang ketiga ini Hiariej menegaskan bahwa ada ketidakesepakatan di antara para ahli hukum pidana, apakah teori terakhir ini merupakan dasar alasan pembenar ataukah alasan pemaaf.26 Hiariej menyebut, bahwa ada kalanya theory of necessary defense dapat menghapuskan sifat melawan hukum sehingga merupakan alasan pembenar. Namun, tidak jarang theory of necessary defense menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku sehingga theory of necessary defense digolongkan ke dalam teori alasan pemaaf. Salah satu alasan pembenar melaksanakan perintah undang-undang (te uitvoering van een wettelijke voorschrift) adalah untuk kemanfaatan publik dan kepentingan umum sehingga tidaklah dapat dipidana. Artinya, berdasarkan Pasal 50 KUHP (barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana), seorang pemimpin lembaga atau seorang pejabat negara dalam melaksanakan tugas, kewajiban, dan kewenangannya berdasarkan undang-undang tak dapat dipidana tanpa perlu penegasan dalam undang-undang yang memberi tugas, kewajiban, kewenangan, dan hak kepadanya. 27 Demikian pula seorang bawahan tidaklah dapat dipidana jika suatu perbuatan, meskipun melawan hukum, dilakukan dengan itikad baik dan berdasarkan perintah jabatan. Sejumlah ketentuan dalam hukum positif kita yang memberi imunitas tak dapat dituntut secara pidana dalam rangka melaksanakan tugasnya bukanlah konsep baru, melainkan lebih memperlihatkan ketidakpahaman pembentuk undang-undang terhadap konsep dasar hukum pidana. Dengan dasar Pasal 224 Undang-Undang MD3, anggota DPR tidaklah dapat dituntut selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sesuai dengan undang-undang. 28 Meski demikian ketentuan Pasal 50 KUHP ini sesungguhnya memiliki ruang 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Ibid. interpretasi yang sangat luas. Dalam konteks yang khusus untuk Pasal 50 dimaksud maka harus ada penjelasan lebih dan detail terhadap frase ―perbuatan untuk melaksanakan undang-undang‖. Dimaksudnya hal ini ialah lebih kepada batasan pengertian kata ―perbuatan‖ dalam konteks ini. Sebab kata perbuatan sebagaimana dimaksud disini sesungguhnya sangat kabur meskipun mendapat syarat lanjutan dengan frase untuk melaksanakan undang-undang dimana jelas bahwa perbuatan dimaksud disini ialah yang melaksanakan undang-undang. Secara faktual perbuatan yang selaras undang-undang atau bahkan menuruti perintah undang-undang sesungguhnya memiliki potensi multi tafsir. Ukuran pelak-sanaannya dapat menjadi berbeda-beda bagi para pihak. Semisal disini terkait batasan dimana Polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum berhak meletuskan senjata api terhadap pihak yang dianggap melawan atau melarikan diri saat akan ditangkap. Batasan penggunaan senjata api disini jika dicermati akan sangat bergantung pada batasan pengertian kata melawan atau melarikan diri. Sementara kata melawan atau kata melarikan diri masih dapat diartikan secara berbeda-beda bila tidak diberikan batasan secara langsung dan tegas dalam ketentuan undang-undang dimaksud. Asas bahwa tidak adanya pidana bagi perbuatan yang hadir dalam konteks melaksanakan undang-undang setidaknya memberikan penegasan yang tegas terhadap adanya kekebalan hukum terhadap perbuatan tertentu dimana perbuatan tertentu ini hadir dalam konteks keselarasan dengan hal yang baik yang berada pada koridor menjalankan tugas. Lebih dari pengertian ini maka keberadaan dan keberlakuan imunitas sesungguhnya akan berhadapan dengan persoalan prinsip kesetaraan dihadapan hukum. Hal yang harus dipertimbangkan disini ialah bahwa pejabat negara khusus dalam hal ini anggota parlemen merupakan individu yang memiliki beberapa hak istimewa termasuk hak imunitas dalam menjalankan tugas. Pada konteks perbandingan dengan warga negara biasa maka tentu saja individu pejabat negara dalam hal ini khusus anggota parlemen memiliki perbedaan dengan warga negara biasa tersebut. Terjadi perbedaan per- Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..139 lakuan oleh undang-undang kepada mereka dalam perbedaaan dengan warga negara biasa. Hal ini sesungguhnya tanpa disadari secara otomatis mendorong hadirnya jurang kesenjangan khususnya ketidaksetaraan antara warga negara dengan pejabat negara dalam hal ini anggota parlemen, walau memang ketidaksetaraan secara sosial ini sesungguhnya pun masih dapat diterima dalam logisitas keberadaan negara berikut adanya pejabat pemerintah dan warga biasa. Namun demikian pada konteks tertentu kondisi ini harus berpotensi mengancam keberadaan negara. Ingin dikatakan disini bahwa Imunitas hukum jika tidak dihadirkan dalam konteks yang benar Dan tepat pelaksanaannya dapat mendorong hadirnya kekacauan sosial yang sekali lagi berpotensi menghancurkan kepemimpinan dalam negara. Sejatinya pada konteks ini memang sangat nampak akan adanya persoalan ketidakadilan secara konseptual. Imunitas Hukum Dalam Konsep Keadilan Sosial Jika kemudian secara terus menerus keadilan itu diajukan untuk menggugat kekokohan asas hukum umum seperti imunitas hukum pejabat negara ini maka bagaimana sebenarnya konsep keadilan itu sendiri ketika dihadirkan dalam konteks ini? Sederhananya ialah bahwa disini imunitas hukum dari pejabat negara ketika diterapkan ialah tidak adil bagi warga lainnya dalam konteks kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law). Dalam artian selanjutnya ialah merujuk kepada bagaimana keadilan tidak menjadi sebuah konsep yang berada diluar jangkauan praktis namun dengan nyata mampu hadir ditengah-tengah kehidupan hukum masyarakat. Zainuddin Ali mempertanyakan mengapa sifat adil itu dianggap sebagai bagian konsitutif dari hukum? Alasannya ialah bahwa hukum dipandang sebagai tugas etis manusia didunia ini. Artinya manusia berkewajiban membentuk suatu kehidupan bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Menurut keinsafan keadilan yang timbul secara spontan dalam hati manusia, bahwa hukum merupakan pernyataan keadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum. Theo Huijbers dalam Zainuddin Ali menegaskan bahwa hal demikian didasari pada sebuah idealitas bahwa seharusnya : 1. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakannya dengan memperlihatkan keadilan yang nyata didalamnya. 2. Undang-undang yang tidak cocok lagi dengan prinsip-prinsip keadilan akan dianggap usang dan tidak berlaku lagi. 3. dengan bertindak secara tidak adil suatu pemerintah sebenarnya telah bertindak diluar wewenangnya, maka secara tidak sah juga. 29 Kesimpulan awal disini kemudian muncul dalam bentuk pertanyaan baru ialah apakah kemudian dengan berdasar pada beberapa argumentasi diatas maka berbagai rangkaian aturan yang memuat hak imunitas pejabat negara saat ini merupakan sekelompok norma yang usang dan seharusnya tidak berlaku lagi? Sebelum memastikannya maka ada baiknya menelaah konsep keadilan yang diperkemukakan oleh John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice. Dalam konsep justice as fairness ini Rawls berkeyakinan bahwa perlu adanya keadilan yang diformalkan melalui konstitusi dan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial atau keadilan formal menuntut kesamaan minimum bagi segenap masyarakat.30 Tujuan utama dari konsep Rawls ini adalah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan politik atau untuk menjelaskan dalam kondisi seperti apa warga negara dituntut untuk patuh terhadap hukum yang diciptakan oleh negara. Rawls membuat konsep ini berdasarkan hipotesa atas equality, sehingga tidak ada disparitas dalam bargaining power. 29 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: SinarGrafika, 2008, hal. 86-87 30 Darsis Humah, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Tata Negara Prinsip Keadilan dan Feminisme, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta:Pusat Studi HTN FHUI, 2003, hal. 40. 140 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 Pada dasarnya Rawls memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama. Dengan demikian Rawls percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat bergantung pada peng-aturan formal melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya.31 Konsep Rawls ini terdiri atas dua prinsip berikut, yaitu: 1. each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for others. 2. social and economic inequalities are to be arranged so that they are both:a) reasonably expected to be everyone‟s advantage and b) attached to positions and offices open to all.32 Prinsip pertama seringkali disebut sebagai prinsip kebebasan (Liberty Principle) yang dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut: ―Semua nilai-nilai sosial (kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri) harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang bermanfaat bagi orang banyak‖. Prinsip pertama ini memberikan pengakuan dasar sekaligus universal kepada tiap orang sebagai suatu standar minimum. Secara moral setiap orang adalah sama namun disisi lain, dalam dunia nyata (the real world) ada perbedaan secara signifikan antara individu yang berada dalam kondisi merdeka yang mengacu pada ketimpangan baik secara ekonomi maupun sosial.Prinsip kedua acapkali disebut prinsip perbedaan (Difference Principle), yang dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut: 1) setiap orang harus memiliki hak yang sama bagi semua orang 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: a) diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan b) semua 31 Lowrynata Ginting, Tinjauan Kritis Terhadap Keadilan Menurut Pandangan Para Filosof, Jurnal Tata Negara Prinsip Keadilan dan Feminisme, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta:Pusat Studi HTN FHUIPusat Studi HTN FHUI,2003, hal. 5 32 Ibid., hal. 6. posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. 33 Kekuatan dari keadilan justru terlepas pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Rawls berulang kali menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak boleh dikorbankan demi manfaat sosial dan ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu. Perbedaan ras, agama, dan warna kulit bukanlah penyebab terjadinya pembagian alamiah yang tidak adil. Ketidakadilan dalam pembagian yang alamiah tersebut lebih disebabkan oleh situasi. Oleh karena itulah Rawls menawar-kan suatu konsep yang menarik mengenai nilai keadilan ini, setiap orang harus kembali kepada posisi asali (original position). Posisi asali ini merupakan suatu keadaan dimana manusia berhadapan dengan manusia lain sebagai manusia dalam kodratnya.34 Dengan menggunakan pandangan Rawls ini maka diskursus hak imunitas bagi pejabat negara dengan demikian makin jelas arah kesimpulan bahasannya. Keadilan oleh Rawls yang diarahkan khusus pada persoalan sosial dan ekonomi (sebagai hal yang kodrati terwujud berbeda antara satu individu dengan individu lainnya namun diupayakan akses pemberlakuannya seharusnya sama bagi setiap individu untuk merubah sesuatu menjadi lebih bermakna positif sama bagi setiap individu), haruslah diupayakan dan digunakan logika pandangan teori Keadilan milik Rawls ini untuk kemudian menjadi dasar dari penerapan prinsip kesetaraan dihadapan hukum. Jelasnya bila kemudian menurut Rawls yang dipersoalkan ialah nilai keadilan maka setiap orang haruslah dikembalikan pada posisi asali (original position) sebagai manusia secara kodrati. Proposisi dasarnya ialah manusia terlahir sama antara satu dengan yang lain dengan pemilikan hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian antara pejabat negara dan rakyat biasa tersimpulkan dengan nyata bahwa keduanya 33 Ibid., hal 7. 34 Rusmadwiyana, Ibid. Wenly R.J. Lolong, Problematika Imunitas Hukum …..141 terposisi dalam kondisi yang sejajar. Bila kemudian ini menjadi asumsi nyata maka bolehlah disimpulkan bahwa kesetaraan manusia dihadapan hukum dengan demikian menjadi sesuatu yang mutlak. Simpulan Menjadi kesimpulan disini ialah bahwa hak imunitas keberadaannya termuat secara tegas dalam UUD 1945 khususnya pada Pasal 20A ayat 3. Pasal ini menyebutkan secara nyata bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki hak imunitas sebagai salah satu hak selain hak mengajukan pertanyaan, serta hak menyampaikan usul dan pendapat. Penjabaran lanjutan dari pengaturan keberadaan hak imunitas anggota DPR dalam kenyataan diatur dalam Pasal 224 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Prinsip equality before the lawsebagai prinsip dasar dalam konsep hukum dan hak asasi manusia diakomodir dalam konstitusi oleh pembentuk negara yakni pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan berdasar pada Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang didalamnya terkandung prinsip equality before the law, dalam kenyataan memaksa asas imunitas hukum bagi anggota DPR (parlemen) untuk diberlakukan secara terbatas. Keberlakuan secara terbatas dapat dilihat pada substansi pengaturan Pasal 224Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dimana diluar dari apa yang diatur dalam ketentuan ini maka imunitas sebagai hak kekebalan hukum yang dimiliki anggota parlemen sesungguhnya menjadi tidak ada. Hal yang perlu diperhatikan sebagai rekomendasi disini ialah bahwa imunitas hukum bagi anggota parlemen merupakan hal mutlak untuk disematkan bagi personal anggota parlemen dalam menjalankan tugas. Keberadaan dan keberlakuan hak imunitas hukum ini dalam kenyataan diperlukan untuk menjamin produktivitas maksimal kinerja anggota DPR. Dalam konteks demikian keberadaan formal dan substansi Pasal 224 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mutlak harus tetap dihadirkan dalam UU ini sebagai bagian penegasan kemutlakan dimaksud sebelumnya.Kehadiran Pasal 224 dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, harus mendapat penjabaran lanjutan dalam ketentuan normatif dibawah Undang-Undang dengan memperhatikan keberadaan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang didalamnya terkandung prinsip equality before the law. Penjabaran yang memperhatikan keberadaan prinsip equality before the law dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 sangat diperlukan dalam maksud untuk memberi batas-batas tegas keberadaan dan keberlakuan hak imunitas dimaksud. Reference Buku: Darsis Humah, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Tata Negara Prinsip Keadilan dan Feminisme, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2003. Lowrynata Ginting, Tinjauan Kritis Terhadap Keadilan Menurut Pandangan Para Filosof,Jurnal Tata Negara Prinsip Keadilan dan Feminisme, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2003. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Internet: Akhmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen Dan Pelaksanaanya Di Beberapa Negara, Jurnal Rechtvinding, http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal _online/PERSPEKTIF%20PELAKSA NAAN%20HAK%20IMUNITAS%20 ANGGOTA%20PARLEMEN%20DA 142 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015 N%20PELAKSANAANNYA%20DI %20BEBERAPA%20NEGARA.pdf, diakses 10 Agustus 2015 Aktual.co, 26 Januari 2015, Menkumham Sebut Hak Imunitas Langgar Konstitusi, http://www.aktual.co/politik/menkum ham-sebut-hak-imunitas-langgarkonstitusi. Eddy OS Hiariej, Imunitas dalam Hukum Pidana, http://nasional.kompas.com/read/2015 /02/18/15100061/Imunitas.dalam.Huk um.Pidana, diakses tanggal 10 September 2015. Kompas.com, 6 Maret 2015, Makian Anggota DPRD DKI Terhadap Ahok Dikecam Netizen, Alamat url: http://megapolitan.kompas.com/read/2 015/03/06/10473841/Makian.Anggota . DPRD.DKI. terhadap.Ahok.Dikecam.Netizen Kompas.com 10 Maret 2015, Dilaporkan Ke Polda Karena Memaki Ahok Ini Tanggapan Anggota Dewan, Alamat Url: http://megapolitan.kompas.com/read/2 015/03/10/ 13124551/Dilaporkan.ke.Polda.karena .Memaki.Ahok.Ini.Tanggapan.Anggot a.Dewan.?utm_source=news&utm_m edium=bpkompas&utm_campaign=related& Mardjono Reksodiputro, Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum dalam UU MD3, http://www.hukumonline.com/berita/b aca/lt540d7c056fc44/hak-imunitasdan-asas-persamaan-kedudukan-dihadapan-hukum-dalam-uu-md3broleh--prof-mardjono-reksodiputro-sh--ma, diakses tanggal 3 Agustus 2015. Republika Online, 28 Januari 2015, Hak Imunitas Rawan Disalahgunakan, Alamat url: : http://www.republika.co.id/berita/kora n/hukum-koran/15/01/28/nivi0916hak-imunitas-rawan-disalahgunakan Rusma Dwiyana, Equality Before The Law Vs Impunity: Suatu Dilema, https://rusmadwiyana.files.wordpress. com/.../equality-before-the-law-vs-i..., diakses tanggal 10 September 2015. Undang-Undang: Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.