alaya_2017_1 - 007 ery[NILAI KEARIFAN].indd

advertisement
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN
WARAG-WARAH DAN RINGGOK-RINGGOK
SUKU KOMERING, SUMATERA SELATAN *)
(Values of Local Wisdom in Oral Tradition of Warag-Warah
and Ringgok-Ringgok of Komering Tribe, South Sumatra)
Oleh/By
Ery Agus Kurnianto
Balai Bahasa Jawa Tengah
Jalan Elang Raya, Mangunharjo Tembalang, Semarang
Telepon 024-76744357, 70769945; Faksimile 024-76744358, 70799945,
[email protected]
Pos-el: [email protected]
*) Diterima: 12 Februari 2017, Disetujui: 25 Maret 2017
ABSTRAK
Fokus utama permasalahan tulisan ini adalah membahas nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi lisan
warag-warah dan ringgok-ringgok masyarakat suku Komering, Sumatera Selatan. Artikel ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsur-unsur kearifan lokal yang terdapat dalam kedua
tradisi lisan tersebut. Selain itu, penelitian ini dilakukan sebagai usaha nyata untuk mengeksplorasi,
menginventarisasi, dan mendokumentasikan tradisi lisan masyarakat Komering. Metode deskriptif
digunakan dalam penelitian ini. Data dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih ditekankan
pada etnografis untuk menunjukkan dan memaparkan nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi
lisan warag-warah dan ringgok-ringgok. Teori yang digunakan adalah sastra lisan dan kearifan lokal.
Simpulan yang didapat dari hasil analisis adalah terdapat kearifan lokal berupa konsep sosial dalam
hubungan antara individu dan individu, antara individu dan kelompok sosial, serta antara individu dan
Tuhan. Nilai kearifan lokal yang berhasil diidentifikasi adalah 1) berketuhanan, 2) musyawarah, 3)
bertanggung jawab, dan 4) tolong-menolong. Aktualisasi nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi
lisan warag-warah dan ringgok-ringgok berupa perilaku saling menolong, memecahkan persoalan
dengan cara bermusyawarah, dan tanggung jawab.
Kata kunci: tradisi lisan, warag-warah, ringgok-ringgok, nilai kearifan lokal.
ABSTRACT
The focus of the problem in this study is the values of local wisdom within two oral traditions of waragwarah and ringgok-ringgok of Komering tribe, South Sumatra. This study aimed to identify and to
describe elements of local wisdom within those oral traditions. In addition, this study was established
as a real effort to explore, to inventorize, and to document the oral traditions of Komering society. A
descriptive method was applied in this study. The data were analyzed by applying qualitative approach
on ethnographic elements to demonstrate and explain the value of local wisdom within those oral
traditions. The theories applied in this study were oral literature and local wisdom. The conclusion from
the analysis proved that there was a concept of social relations among individuals, among individuals
and society, among social groups, and among individuals and their God. The values of local wisdom that
had been identified were: 1) belief in God, 2) deliberation, 3) responsibility, and 4) helping each other.
The actualization of the value of local wisdom within the oral traditions of warag-warah and ringgokringgok was in form of behaving in ways that help each other, solving problems by means of deliberation,
and responsibility.
Keywords: oral tradition, warag-warah, ringgok-ringgok, local wisdom values.
1
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Warag-Warah dan ... (Ery Agus Kurnianto)
1
PENDAHULUAN
Warag-warah dan ringgok-ringgok
merupakan khazanah kekayaan hasil
budaya peninggalan leluhur masyarakat
Komering. Meskipun cukup sulit,
seni tersebut masih dapat ditemukan
keberadaannya. Tradisi ini bertahan
di masyarakat Komering dengan
menggunakan bahasa Komering sebagai
media untuk menuturkannya. Bahasa
Komering dipakai sebagai bahasa
ibu oleh masyarakat suku Komering
dalam berkomunikasi dengan sesama
masyarakat Komering.
Masyarakat Komering kaya dengan
tradisi lisan. Akan tetapi, sebagian besar
tradisi lisan Komering tidak diketahui
lagi, baik oleh masyarakat Komering
maupun masyarakat pendukung yang
ada di sekitar suku Komering. Secara
singkat dapat dinyatakan bahwa
hilangnya tradisi lisan masyarakat
Komering karena tidak diwariskan
secara baik ke generasi berikutnya.
Hal itu disebabkan kurang minatnya
generasi muda mempelajari warisan
leluhur, sedangkan satu persatu orang
yang memiliki kompetensi menuturkan
tradisi lisan tersebut meninggal dunia.
Jika tindakan revitalisasi, inventarisasi,
dan penelitian terhadap tradisi lisan
Komering tidak segera disemarakkan
lagi, tradisi lisan itu akan lenyap
sepeninggal orang-orang yang memiliki
kompetensi dalam menuturkannya.
Kehilangan sebuah tradisi lisan
tampaknya tidak menjadi hal yang
penting bagi masyarakat Komering
maupun pemerintah daerah Sumatera
Selatan. Akan tetapi, akibat yang
dimunculkan akan berdampak terhadap
penanaman nilai-nilai baru sebagai akibat
perkembangan teknologi dan informasi.
Tidak dapat dinafikan peranan budaya
2
leluhur sangat besar dalam pembentukan
karakter yang sarat dengan nilai-nilai
kearifan lokal dalam diri generasi
muda. Oleh karena itu, menyelamatkan
kebudayaan warisan leluhur penting
untuk segera dilaksanakan. Hiilangnya
tradisi lisan suatu komunitas sosial akan
menghilangkan pula nilai-nilai yang
mencerminkan kekayaan kejiwaan,
filsafat,
watak,
dan
lingkungan
peradaban yang sudah terbentuk dan
berkembang dalam suatu tradisi.
Berdasarkan pada hal tersebut,
artikel ini membahas tradisi lisan yang
dimiliki oleh masyarakat Komering,
yaitu warag-warah dan ringgokringgok. Masalah dalam penelitian ini
adalah nilai-nilai kearifan lokal apa
sajakah yang terdapat dalam kedua
tradisi lisan tersebut? Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif. Data dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif
yang lebih ditekankan pada etnografis,
yaitu menghubungkan folklor dengan
latar belakang masyarakat suku
Komering. Tahapan atau langkah kerja
yang dilakukan oleh penulis untuk
meneliti tradisi lisan warag-warah dan
ringgok-ringgok adalah sebagai berikut.
1. Langkah awal yang dilakukan
oleh penulis dalam melakukan
kajian terhadap tradisi lisan waragwarah dan ringgok-ringgok adalah
inventarisasi. Dalam melakukan
inventarisasi, penulis melalui tiga
tahap, yaitu tahap perekaman,
transkripsi,
dan
transliterasi.
Setelah tahapan tersebut dilakukan,
tahap berikutnya adalah dengan
melakukan pencatatan, pengamatan,
dan wawancara secara langsung
dengan narasumber.
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—10
2. Tahap klasifikasi atau analisis
data. Untuk menjawab persoalan
yang telah dirumuskan, peneliti
melaksanakan pengklasifikasian dan
penganalisisan terhadap data.
3. Tahap pembahasan dan penyimpulan.
4. Tahap pelaporan.
Artikel ini menggunakan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat Komering
dalam tradisi lisan warag-warah dan
ringgok-ringgok sebagai data utama.
Sumber data kajian ini didapatkan
secara langsung. Peneliti menemui
penutur tradisi lisan warag-warah dan
ringgok-ringgok yang bernama Gaffar
(75 tahun). Ia merupakan masyarakat
asli suku Komering yang tepat dijadikan
sebagai informan.
Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi,
mendeskripsikan
unsur-unsur kearifan lokal, dan
aktualisasi kearifan lokal yang terdapat
dalam tradisi lisan warag-warah dan
ringgok-ringgok Selain itu, penelitian
ini dilakukan sebagai usaha nyata untuk
mengeksplorasi,
menginventarisasi,
dan mendokumentasikan tradisi lisan
masyarakat Komering yang mungkin
akan segera hilang ditelan pragmatisme
budaya.
Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sastra lisan dan
kearifan lokal. Sastra lisan adalah jenis
karya sastra tertentu, yang dituturkan
dari mulut ke mulut, tersebar secara
lisan, anonim, dan menggambarkan
kehidupan masyarakat pada masa
lampau (Shipley, 1962:193). Senada
dengan hal tersebut, Endraswara
(2006:151) menyatakan bahwa sastra
lisan adalah karya yang penyebarannya
disampaikan dari mulut ke mulut secara
turun-temurun. Sastra lisan memiliki
ciri-ciri (1) lahir dari masyarakat yang
polos, belum melek huruf dan bersifat
tradisional, (2) menggambarkan budaya
milik kolektif tertentu, yang tidak jelas
siapa penciptanya, (3) lebih menekankan
aspek khayalan, ada sindiran jenaka,
dan pesan mendidik, (4) sering
melukiskan tradisi kolektif tertentu,
(5) banyak megungkapkan kata-kata
atau ungkapan-ungkapan klise, dan (6)
bersifat menggurui. Sedyawati (1996:5)
menyatakan bahwa sastra lisan berisi
cerita-cerita yang disampaikan secara
lisan dan bervariasi mulai dari uraian
genealogis, mitos, legenda, dongeng,
hingga berbagai cerita kepahlawanan.
Perkembangan sastra lisan dari mulut
ke mulut mengakibatkan banyak versi
cerita yang berbeda. Sementara itu,
menurut Pudentia (1999:32) sastra lisan
itu mencakup cerita rakyat, teka-teki,
perbahasa, nyanyian rakyat, mitologi,
dan legenda.
Lebih lanjut Hutomo (1991:62)
menjelaskan bahwa bahan sastra lisan
dapat dibedakan menjadi tiga bagian.
Ketiga bagian itu adalah (a) bahan yang
bercorak cerita, (b) bahan yang bercorak
bukan cerita, dan (c) bahan yang bercorak
tingkah laku (drama). Selanjutnya
Suyitno
(1986:1)
mengatakan,
berdasarkan fungsinya dapat dikatakan
bahwa sastra lisan dipengaruhi oleh
tata nilai kehidupan masyarakat. Sastra
memang lahir dan bersumber dari
kehidupan masyarakat lama yang bertata
nilai, dan pada gilirannya sastra lisan
itu akan memberikan sumbangan bagi
terbentuknya tata nilai dan seluk-beluk
serta nilai-nilai kehidupan personal,
tetapi memasuki ruang dan seluk-beluk
serta nilai-nilai kehidupan manusia
dalam arti kosmopolit-total. Nilai-nilai
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Warag-Warah dan ... (Ery Agus Kurnianto)
3
kehidupan yang terkandung dalam
sastra lisan inilah yang disebut dengan
kearifan lokal.
Suyatno
(http://badanbahasa.
kemdikbud.go.id/) menyatakan bahwa
kearifan lokal dapat didefinisikan
sebagai suatu kekayaan budaya lokal
yang mengandung kebijakan hidup;
pandangan hidup (way of life) yang
mengakomodasi kebijakan (wisdom);
dan kearifan hidup. Kearifan lokal itu
tidak hanya berlaku secara lokal pada
budaya atau etnik tertentu, tetapi juga
bersifat lintas budaya atau lintas etnik
sehingga membentuk nilai budaya yang
bersifat nasional. Sebagai contoh, hampir
di setiap budaya lokal di nusantara
dikenal kearifan lokal yang mengajarkan
gotong royong, toleransi, etos kerja,
dan seterusnya. Pada umumnya etika
dan nilai moral yang terkandung dalam
kearifan lokal diajarkan turun-temurun,
diwariskan dari generasi ke generasi
melalui sastra lisan (antara lain dalam
bentuk pepatah dan peribahasa, folklore),
dan manuskrip.
John Haba (dalam Rimang,
2010:344)
menyatakan
bahwa
kearifan lokal mengacu pada berbagai
kekayaan kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang yang dikenal, dipercayai,
dan diakui sebagai elemen-elemen yang
penting yang mampu mempertebal
kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Selanjutnya, John Haba (dalam Rimang,
2010:344) menginventarisasi setidaknya
ada lima signifikansi serta fungsi sebuah
kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan
sebagai salah satu bentuk pendekatan
dalam menyelesaikan sebuah konflik.
Lima signifikasi dan fungsi kearifan
lokal tersebut adalah sebagai berikut.
4
1. Sebagai penanda identitas sebuah
komunitas.
2. Sebagai elemen perekat lintas warga,
lintas agama, dan lintas kepercayaan.
3. Kearifan lokal tidak bersifat
memaksa atau dari atas ke bawah
(top down), tetapi sebuah unsur
kultural yang ada dan hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu, daya
ikatnya lebih mengena dan bertahan.
4. Kearifan lokal memberikan warna
kebersamaan bagi sebuah komunitas.
5. Kearifan lokal dapat mendorong
terbangunnya kebersamaan, apresiasi
sekaligus sebagai sebuah mekanisme
bersama untuk menepis berbagai
kemungkinan
yang
meredusir,
bahkan merusak solidaritas komunal,
yang dipercayai berasal dan tumbuh
di atas kesadaran bersama dari
sebuah komunitas terintegrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar Belakang Sosial Masyarakat
Komering
Daerah Komering terletak di wilayah
Sumatera Selatan. Secara geografis,
daerah Komering meliputi wilayah
Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan
Komering Ilir (OKI), Ogan Komering
Ulu Selatan (OKUS), dan Ogan
Komering Ulu Timur (OKUT). Waragwarah dan ringgok-ringgok merupakan
sastra lisan yang hidup dan berkembang
di masyarakat Ogan Komering Ulu.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
OKU sangat majemuk, yakni bahasa
Komering, bahasa Ogan, bahasa Kisam,
bahasa Semendo, bahasa Daya, bahasa
Ranau, bahasa Lengkayap, dan bahasa
Jawa.
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—10
Daerah Komering Ulu adalah
dataran rendah. Sebagian besar
penduduknya hidup dari pertanian.
Sebagian lainya ada yang menjadi
pedagang, buruh, dan PNS. Penghasilan
daerah ini selain beras adalah pisang,
duku, jeruk, durian, mangga, dan sayursayuran. Rumah penduduk hampir
semuanya bertiang dan terletak di
pinggir sungai Komering. Sebagai alat
lalu lintas, selain menggunakan jalan
raya, penduduk suku ini pada masa
lampau memanfaatkan sungai sebagai
alat penghubung. Mereka menggunakan
rakit-rakit dari bambu untuk membawa
hasil pertanian ke kota, terutama ke
Palembang. Sekarang angkutan sungai
telah menggunakan perahu bermotor.
Penduduk Komering umumnya
memiliki sifat ramah dan suka sekali
bergotong-royong. Sifat gotong-royong
ini terlihat bukan hanya pada musim
memotong padi di sawah atau pada waktu
mendirikan rumah, tetapi juga pada
waktu menyelenggarakan persedekahan,
misalnya acara pernikahan. Biaya
pernikahan ditanggung bersama-sama
oleh anggota keluarga besar pengantin
laki-laki dan perempuan dalam suatu
pertemuan yang dinamakan mumpung.
Mumpung adalah mengumpulkan
semua sanak keluarga. Acara ini
dilaksanakan pada saat mengawinkan
salah seorang anggota keluarga. Semua
yang hadir dan memenuhi undangan
tersebut akan bergotong royong untuk
meringankan beban pesta perkawinan.
Di antara mereka ada yang memberikan
bantuan berupa uang, beras, ayam,
kambing, dan keperluan lainnya guna
menyelenggarakan pesta perkawinan
anggota keluarganya.
Sekilas Tentang Tradisi Lisan
Warag-Warah dan Ringgok-Ringgok
Sastra lisan warag-warah akan
ditampilkan saat laki-laki meminang
seorang perempuan. Warag-warah
akan disampaikan oleh seseorang
yang dianggap tua dari pihak laki-laki.
Warag-warah berisi maksud atau tujuan
yang ingin disampaikan oleh keluarga
sang laki-laki kepada keluarga sang
perempuan. Masyarakat suku Komering
beranggapan bahwa acara meminang
dianggap kurang pantas dan kurang
lengkap jika tidak ada warag-warah.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
warag-warah menjadi sesuatu yang
wajib ada pada saat masyarakat suku
Komering mengadakan acara meminang
perempuan.
Ringgok-ringgok adalah sejenis
pantun yang dipergunakan pada
upacara perkawinan. Dalam adat suku
Komering, ringgok-ringgok dituturkan
oleh perempuan tua dari pihak
mempelai perempuan sebagai nasihat
yang ditujukan kepada mempelai dalam
menempuh hidup baru. Di dalam ringgokringgok dituturkan kisah kehidupan
pengantin perempuan sejak kecil
sampai ia besar dengan segala lika-liku
kehidupan yang dialaminya. Ringgokringgok dituturkan dengan maksud
agar sang pengantin tidak melupakan
orang-orang yang telah berjasa dalam
mengasuh dan membesarkannya.
Ringgok-ringgok
juga
bisa
dituturkan oleh mempelai perempuan
kepada keluarganya dan kepada pihak
mempelai laki-laki. Dalam hal ini
ringgok-ringgok berisi ucapan selamat
tinggal dan ucapan terima kasih kepada
kedua orang tua yang telah merawat
dan membesarkannya hingga dewasa.
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Warag-Warah dan ... (Ery Agus Kurnianto)
5
Sang mempelai perempuan juga bisa
menuturkan tradisi lisan ini kepada
mantan pacarnya.
Ringgok-ringgok juga dituturkan
oleh pihak mempelai laki-laki kepada
pihak mempelai perempuan pada acara
menjemput mempelai perempuan.
Untuk selanjutnya, pihak mempelai
perempuan pun menyambutnya dengan
ringgok-ringgok sebagai jawaban dari
ringgok-ringgok yang diucapkan oleh
pihak mempelai laki-laki.
Kearifan Lokal yang Terkandung
dalam Warag-Warah dan RinggokRinggok
a. Berketuhanan
Dalam pelaksanaan kehidupan seharihari, masyarakat Komering tidak dapat
terlepas dari prinsip keagamaan. Bagi
masyarakat Komering, agama adalah
sesuatu yang sakral dan harus dianut,
dijalankan, dan diamalkan sesuai dengan
perintah Tuhan. Masyarakat Komering
memercayai bahwa agama menjadi pilar
utama dalam pelaksanaan kehidupan
sehari-hari. Hal ini tampak pada saat
penulis berada di lokasi penjaringan
data. Masyarakat suku Komering taat
beribadah. Hal itu terbukti dengan
ramainya masjid pada saat waktu ibadah
tiba. Setiap ada acara adat pasti didahului
dengan melafalkan nama Allah sebagai
pembuka acara.
Agama menjadi dasar dan sumber
nilai-nilai luhur dalam masyarakat
Komering yang terepresentasi dalam
tuturan tradisi lisan. Nilai-nilai luhur
bermula dari nilai yang terkandung
dalam agama itu kemudian disalurkan
ke dalam ranah kognitif individu, salah
satu medianya melalui sastra lisan.
6
Setelah nilai-nilai tersebut tertanam
dalam ranah individu maka akan turun
ke ranah afektif. Dalam ranah afektif
ini nilai-nilai yang bersumber dari
agama semakin baik tertanam dalam
diri masyarakat Komering. Setelah kuat
tertanam maka akan ditransformasikan
menjadi tindakan oleh manusia. Maka,
nilai-nilai luhur itu menjadi asas dan
titik tolak dalam setiap proses kehidupan
masyarakat Komering. Hal itu dapat
dilihat dalam kehidupan keseharian
mereka.
Kehidupan
berketuhanan
masyarakat Komering tampak dalam
kutipan warag-warah berikut ini.
Mih sija rupana ijin jak Tuhan.
Kita nak pacak lagi
aga mungkiri takdir jak Tuhan.
‘Inilah rupanya kehendak Tuhan.
Kita tak dapat lagi
menghindari takdir Tuhan’
Dari
tuturan
tersebut
jelas
terepresentasi kehidupan berketuhanan
masyarakat Komering. Tuturan tersebut
menunjukkan keimanan dan ketaatan
masyarakat Komering kepada Tuhan.
Masyarakat
Komering
mengakui
bahwa Tuhan yang menentukan nasib
dan hidup mereka. Apa yang sudah
menjadi kehendak Tuhan, manusia
tidak akan memiliki kekuatan untuk
mengingkarinya. Nilai kearifan seperti
itulah yang menjadi dasar kehidupan
sosial dan pribadi masyarakat Komering
sehingga keberimanan yang ada dalam
diri masyarakat Komering bukan sekadar
ucapan dan pengakuan, tetapi teraplikasi
dalam kehidupan masyarakat. Hal itu
memperkuat, membuat dinamis, dan
mampu menggerakkan berbagai macam
bentuk interaksi yang muncul dalam
komunitas tersebut. Kebertuhanan
masyarakat Komering menimbulkan
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—10
ketangguhan dalam melaksanakan tugas
kemanusiaannya sebagai hamba Allah
maupun sebagai makhluk sosial yang
mampu melaksanakan kewajiban dengan
penuh tanggung jawab. Hal semacam
itulah yang menjadi penekanan nilainilai kearifan lokal warisan leluhur yang
sampai sekarang masih diaplikasikan
dalam kehidupan masyarakat Komering.
b. Musyawarah
Musyawarah untuk mengambil sebuah
putusan sudah menjadi ciri khas suku
Komering. Dengan musyawarah tidak
ada sosok yang merasa arogan atau
memiliki kekuasaan yang lebih besar jika
dibandingkan orang lain. Musyawarah di
lingkup sosial paling kecil dapat ditemui
di lingkungan keluarga masyarakat suku
Komering. Hal ini tecermin dari tradisi
lisan ringgok-ringgok yang dituturkan
oleh mempelai perempuan kepada pihak
keluarga besarnya. Kedua orang tua
memiliki peranan dalam menentukan
jodoh sang anak. Keputusan tidak hanya
terletak atau ada di tangan orang tua lakilaki. Akan tetapi, orang tua perempuan
juga memiliki hak untuk menentukan
nasib atau masa depan anaknya. Karena
diambil secara bersama-sama, jika suatu
saat putusan tersebut memunculkan efek
yang tidak diharapkan, efek tersebut
akan ditanggung secara bersama-sama.
Tidak ada istilah saling menyalahkan
dan mencari pembenaran. Kearifan
lokal musyawarah dalam keluarga dapat
dilihat dalam kutipan ringgok-ringgok
berikut ini.
Umak sai sonang hati
Niku dang susah-susah
Yo ja kok rasan uti
Rasan umak rik ubak
‘Ibu yang senang hati’
‘Engkau jangan bersusah-susah’
‘Inilah rundingan kamu’
‘Rundingan ibu dan bapak’
Berdasarkan kutipan ringgokringgok tersebut dapat dinyatakan
bahwa musyawarah untuk mencapai
mufakat adalah hal terpenting dalam
menyelesaikan satu persoalan. Ringgokringgok yang bertuliskan niku dang
susah-susah, yo ja kok rasan uti, rasan
umak rik ubak adalah sebuah bentuk
nilai kearifan warisan leluhur yang
mengisyaratkan bahwa segala putusan
dari sebuah persoalan yang diambil
dengan cara musyawarah hendaknya
menjadi tanggung jawab bersama
sehingga apa pun resiko dari putusan
yang diambil akan terasa ringan.
Nilai kearifan lokal tersebut masih
diaplikasikan oleh masyarakat Komering
dalam kehidupan sosial mereka.
Meskipun tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan yang semakin modern,
masyarakat Komering masih tetap
menghargai pendapat orang lain dalam
setiap menyelesaikan persoalan. Hal ini
mengakibatkan bentrok antarkeluarga,
partai, atau lembaga-lembaga hampir
bisa dikatakan tidak pernah terjadi dalam
kehidupan masyarakat suku Komering.
Duduk bersama untuk menyelesaikan
masalah mendapat apresiasi yang paling
tinggi dari masyarakat suku Komering.
Musyawarah adalah jalan yang terbaik
dalam mereduksi konflik.
c. Bertanggung Jawab
Tanggung jawab adalah bentuk
usaha manusia untuk menciptakan
situasi dan kondisi yang baik dalam
berinteraksi dengan pihak lain. Untuk
dapat mencapai hal tersebut, manusia
hendaknya memahami dan mengerti
tentang hak, kewajiban, pengorbanan,
dan norma sosial.
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Warag-Warah dan ... (Ery Agus Kurnianto)
7
Salah satu jenis tanggung jawab
manusia sebagai makhluk sosial dan
makhluk individu adalah tanggung
jawab terhadap Tuhan dan tanggung
jawab terhadap sesama manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
berinteraksi dengan manusia lainnya.
Dalam proses interaksi tersebut,
persoalan dan perselisihan dapat terjadi.
Perselisihan manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya di dalam suku
Komering tidak pernah berkepanjangan.
Hal tersebut disebabkan masyarakat
Komering masih menjunjung tinggi
norma-norma sosial yang berlaku dalam
komunitas tersebut. Norma-norma
sosial itulah yang pada akhirnya mampu
mereduksi konflik yang terjadi.
Ketika
anggota
masyarakat
Komering melakukan kesalahan atau
kekhilafan, norma sosial yang berlaku
dan masih dianut sampai sekarang
adalah ucapan permintaan maaf dan
siap menanggung semua konsekuensi
dari perilaku atau kesalahan yang telah
diperbuat. Hal ini terepresentasi dalam
ujaran warag-warah berikut ini.
Sikamdua muhun modok
gustipohngun. Nganyakko galah
haga kamarahan, api juga nyorah
di gustipohngun. Sebab sikamdua
ngaku salah nihan.
‘Saya mohon menghadap gusti.
Menyerahkan diri untuk dimarahi.
Apa pun kehendak gusti akan saya
turuti. Sebab kami benar-benar
merasa bersalah.’
Berdasarkan tuturan tersebut jelas
terlihat bagaimana kelapangan dada
masyarakat Komering untuk meminta
maaf kepada pihak lain yang merasa
dirugikan. Bukan hanya permintaan
maaf yang mereka lontarkan, tetapi juga
8
siap menerima hukuman apa pun sebagai
bentuk konsekuensi dari kesalahan atau
kekhilafan yang telah mereka lakukan.
Hal itu adalah perwujudan nyata dari
norma sosial yang berupa tanggung
jawab. Norma tersebut merupakan
bentuk dari sikap.
d. Saling menolong
Sebagai makhluk sosial manusia tidak
dapat memenuhi segala kebutuhannya
sendiri. Manusia pasti memerlukan
bantuan dari manusia lain dalam
pemenuhan kebutuhan hidup. Oleh
karena itu, terjadi interaksi sosial antara
manusia yang satu dan manusia yang
lain.
Dalam proses interaksi sosial,
saling memahami dan saling menolong
adalah kunci kesuksesan interaksi.
Saling menolong adalah salah satu
ciri khas yang ada dalam masyarakat
Komering. Pertolongan dapat berasal
dari saudara atau dari orang lain yang
bukan saudara. Sifat saling menolong
ini terimplementasi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Komering,
misalnya pada saat acara hajatan,
membangun rumah, dan sedang ditimpa
musibah atau kemalangan. Masyarakat
Komering akan datang dan membantu
tanpa diminta.
Pertolongan atau bantuan dari
keluarga, baik keluarga dekat ataupun
keluarga jauh, juga diberikan kepada
pasangan pengantin baru. Dalam
masyarakat Komering permintaan
bantuan pengantin baru kepada keluarga
yang dianggap mampu sudah biasa.
Kelak pasangan pengantin yang meminta
bantuan juga harus memberikan bantuan
jika ada kerabat atau saudara yang baru
menikah. Bantuan yang diberikan dapat
berupa perabotan rumah tangga atau
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—10
uang. Saling menolong menjadi salah
satu pilar dalam mempererat hubungan
antarkeluarga di masyarakat Komering.
Mereka yang kesusahan akan ditolong
oleh mereka yang dianggap sudah
mapan dalam segi materi. Mereka yang
kesusahan juga tidak segan utuk meminta
bantuan karena hubungan kekeluargaan
masyarakat Komering sangat kuat. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kutipan
tuturan ringgok-ringgok berikut ini
cak hulum ombai batin
kauntar dilom morga
nyak rogoh nak busalin
jaohna babubanda
Mama sai jongan rabai
Dongiko pai cawaku
Nyak haga kilu pai
Radio mudil baru
Poti balak ticutan
Kok lobon rumah kunci
Bibk Kaunda barang
Idan kupakai lagi
Cak hulun akas rami
Butindih rik bususun
Nyak haga kilu bukti
Banda sai ga kuusung
‘Kata orang nenek kaya’
‘Terkenal dalam marga’
‘Aku pergi tanpa pakaian baru’
‘Apa lagi harta benda’
‘Paman yang paling kusegani’
‘Dengarkan dulu kataku’
‘Aku ingin minta dulu’
‘Radio model baru’
‘Peti besar terhantar’
‘Telah hilang rumah kunci’
‘Bibi keluarkan barang’
‘Kapan kupakai lagi’
‘Kata orang nenek kaya’
‘Bertindih dan bersusun’
‘Aku ingin minta bukti’
‘Harta yang akan kubawa’
Tuturan nyak rogoh nak busalin
jaohna babubanda
yang berarti
‘aku pergi tanpa pakaian baru apa lagi
harta benda’ menunjukkan bahwa sang
pengantin menghiba kepada keluarganya
tentang kesusahan yang dihadapinya.
Secara materi mereka belum siap untuk
hidup secara mandiri karena baju baru
saja mereka tidak punya, apalagi harta
benda. Untuk menutupi kesusahan
yang dihadapinya, mereka meminta
kerabat dan saudara-saudaranya untuk
membantu.
SIMPULAN
Kearifan lokal masyarakat Komering
merupakan bagian dari nilai budaya
masyarakat tersebut. Hal itu tecermin
lewat telaah sastra lisan yang diciptakan,
hidup, dan berkembang di komunitas
Komering. Kearifan tersebut berupa
konsep sosial dalam hubungan antara
individu dan individu, antara individu
dan kelompok sosial, dan hubungan
antara manusia dan Tuhan. Nilainilai kearifan lokal yang berhasil
diidentifikasi melalui telaah tradisi lisan
warag-warah dan ringgok-ringgok
adalah 1) berketuhanan, 2) musyawarah,
3) bertanggung jawab, dan 4) tolongmenolong.
Kearifan lokal yang merupakan
warisan leluhur dalam tradisi lisan
warag-warah dan ringgok-ringgok
merupakan salah satu pilar dalam
melakukan interaksi antarmasyarakat
Komering yang memberikan ajaran
dan pengetahuan dalam menciptakan
keharmonisan sosial. Aktualisasi nilai
kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi
lisan warag-warah dan ringgok-ringgok
dalam masyarakat Komering berupa
perilaku saling menolong, memecahkan
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Warag-Warah dan ... (Ery Agus Kurnianto)
9
persoalan dengan cara bermusyawarah,
bersifat kesatria dengan keberanian
untuk menanggung semua konsekuensi
dari apa yang telah dilakukan, dan
memiliki keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
lamanbahasa/artikel/1366 diunduh
20 Agustus 2016. Pukul 10.30.
Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai, dan
Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi
Penelitian Sastra, Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara
yang Terlupakan: Pengantar Studi
Sastra Lisan. Surabaya: HISKI
Komda Jatim.
Pudentia, MPSS. 1999. “Makyong:
Transformasi Seni Melayu Riau”.
Laporan Penelitian. Jakarta: ATL.
Rimang, Siti Suwadah. 2010. “Kearifan
Lokal dalam Sinrili Syeh Yusuf
Tuanta Salamaka di Sulawesi
Selatan” dalam Prosiding Seminar
Internasional
1
Forkibastra.
Palembang: Balai Bahasa Provinsi
Sumatera Selatan
Shipley, Yosef T. et al. 1962. Dictionary
of World Literature. Catterson, New
Jersey: Littlefield, Adams & co.
Sedyawati, Edi. 1996. “Kedudukan
Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu
Sosial dan Ilmu-Ilmu Budaya”
dalam
Warta
ATL
Jurnal
Pengetahuan dan Komunikasi
Penelitian dan Pemerhati Tradisi
Lisan. Edisi II Maret. Jakarta: ATL.
Suyatno, Suyono. “Revitalisasi Kearifan
Lokal sebagai Upaya Penguatan
Identitas Keindonesiaan”. http://
badanbahasa.kemdikbud.go.id/
10
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—10
Download