VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI

advertisement
VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN
PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA
6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional
Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan berdasarkan suatu
kesepakatan adalah untuk melindungi pihak tertentu sebagai pelaku perdagangan.
Koo dan Kennedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa negara yang
menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi
industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi
tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi
kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya
hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang dapat digolongkan
menjadi tiga bidang yaitu tariff barrier, non tariff barrier, dan administrative
barrier.
Tariff barrier adalah kebijakan penetapan kuota dan tarif bea masuk oleh
suatu negara pengimpor terhadap suatu produk tertentu. Non tariff barrier
merupakan standar internasional dalam food safety sebagaimana dirumuskan oleh
Codex Alimentarius Commission yaitu suatu badan internasional antarnegara.
Persyaratan yang penting antara lain adalah konsep HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) sebagai instrumen untuk mengaplikasikan SPS (Sanitary
and Phytosanitary Agreement) dimana untuk dapat memenuhi standar tersebut
dibutuhkan biaya yang besar yang nantinya akan menambah biaya produksi.
Selain itu,
dalam technical barrier yang menetapkan health and sanitary
regulations, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda kriteria atau
ambang batasnya. Sedangkan yang termasuk dalam administrative barrier adalah
health certificate dari competent authority negara pengekspor dan ecolabelling
yang bertujuan untuk mempromosikan ramah lingkungan. Menurut Pruto (2001),
salah satu kelompok perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan
cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar
internasional tentang perdagangan adalah perjanjian General Agreement on Tariff
and Trade (GATT oleh WTO), dimana terdapat perjanjian Agreement on Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on
Trade (TBT oleh WTO).
6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa
Penetapan kuota dan tarif bea masuk merupakan kebijakan tarif yang
ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua tarif produk perikanan Uni Eropa telah
ditetapkan dalam Persetujuan Umum Perdagangan dan Tarif atau General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sekarang digantikan oleh Organiasi
Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Tujuan utama
dibentuknya GATT/WTO adalah:
1) Liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia
sehingga produksi meningkat.
2) Memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hamban
tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier).
3) Mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang intellectual property
rights dan investasi.
Penetapan tarif bea masuk yang ditetapkan oleh ketiga importir terbesar
dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan yang
dilakukan oleh Uni Eropa dengan negara lainnya. Tarif bea masuk yang
dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus,
digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang
olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh
persen, bahkan kadang udang diterapkan “special rate” yang lebih tinggi yaitu 20
persen. Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership
Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas
udang olahan adalah sebesar 4,8 - 6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan
sebesar 4,8 - 5,3 persen. “Special rate” yang diberikan negara Jepang untuk
produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk
kategori “other” diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung
dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan
Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami,
dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free.
Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa
berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk
kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang
39
diberlakukan oleh Uni Eropa tergolong paling tinggi jika dibandingkan negaranegara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Tarif bea masuk
biasanya akan semakin tinggi bagi “value added products”, namun Uni Eropa
menyediakan mekanisme yang berbeda untuk mengurangi pajak (duties) yaitu
rata-rata tarif dikurangi sekitar 3-4 persen (KKP, 2010). Data tarif bea masuk
komoditas udang di pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Tarif Bea Masuk komoditas udang di Uni Eropa, Amerika Serkikat, dan
Jepang
Tarif Bea Masuk (%)
Amerika
Kode HS
Produk
Uni Eropa
Jepang
Serikat
MFN GSP
MFN
MFN
030613100 Of the familiy pandalidae
12,0
4,2
Free
Free
030613300 Shrimp of the genus crangon
12,0
4,2
Free
Free
by boiling in water
030613400 Deepwater rose shrimps
12,0
4,2
Free
Free
(Parapenaeus)
030613500 Shrimps of the genus penaeus
12,0
4.2
Free
Free
030613800 Other
12,0
4,2
Free
Free
030621000 Rock lobster by boiling in
12,5
4,3
Free
Free
water
030622100 Live lobster
8,0
2,8
Free
Free
030623310 Shrimp of the genus crangon
18,0
14,5
Free
Free
fresh, chilled, live, dried, salted
160520100 Shrimps and prawns
20,0
7,0
5,0
Free
160530100 Lobster
20,0
7,0
10,0
Free
Sumber: DG Taxud (2012), USITC (2012), Japan Customs (2012), (diolah)
Keterangan:
Kode HS 03.06.13: Beku: udang kecil dan udang biasa
Kode HS 03.06.2x: Segar: udang besar, udang kecil, dan udang biasa
Kode HS 16.05.x0: Udang besar, kecil, dan udang biasa, diolah atau diawetkan
Tabel 10 menunjukkan bahwa penetapan tarif yang diberlakukan Uni
Eropa lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang. Tarif
yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk produk udang Indonesia adalah sebesar 12
persen untuk udang beku, 8-18 persen untuk produk udang segar, dan 20 persen
untuk produk udang olahan. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok negara
maju, memberikan skema khusus kepada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) guna
memperluas akses pasar ke negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan pasal 7 point 2
dari skema GSP untuk periode 1 Januari 2002 s/d 31 Desember 2004, produk
40
shrimps prawns merupakan produk yang termasuk dalam daftar “sensitif”. Oleh
sebab itu, produk tersebut mendapatkan preferensi 3,5 persen, namun pada skema
yang lama penurunan tarif yang diperoleh lebih besar dari 3,5 persen. Berdasarkan
pasal 7 point 3 beneficiary diperbolehkan untuk menggunakan ketentuan yang
lama jika tarif pada skema GSP sebelumnya lebih tinggi. Oleh sebab itu, tarif
produk udang beku di Uni Eropa dengan GSP akan diberlakukan sesuai dengan
tarif yang lama yaitu sebesar 4,2 persen dengan tarif MFN (Most Favoured
Nations) sebesar 12 persen.
Masyarakat Uni Eropa pertama kali menerapkan skema GSP pada tahun
1971. Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada
tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002.
Pemberlakuan skema tersebut dimulai tanggal 1 Januari 2002 - 31 Desember
2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang
dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun
2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan
untuk periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP
sejak tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang
dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi negara-negara
penerima GSP (European Commission, 2010). Selama periode 1 januari 2009
sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008,
terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan:
1) Skema umum (general scheme), yaitu kepada negara-negara berkembang
penerima GSP dapat menikmati fasilitas GSP
2) Skema intensif khusus (GSP+) untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan pemerintahan yang bersih, GSP (+) menyediakan
keuntungan tambahan terhadap negara yang menerapkan standar internasional
terhadap kebebasan manusia (HAM) dan buruh, perlindungan lingkungan,
perlawanan terhadap obat-obatan terlarang, dan pemerintahan yang bersih.
3) Skema khusus bagi negara tertinggal (LCDs) yang juga dikenal sebagai
Everything But Arms (EBA). EBA memberikan perlakuan yang paling
menguntungkan terhadap semua dengan tujuan membebaskan bea tarif dan
bebas kuota untuk akses pasar ke Uni Eropa.
41
Penetapan tarif oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor Indonesia
merupakan hambatan yang paling menonjol yang dihadapi industri perikanan
Indonesia. Jika dibandingkan penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa
terhadap Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa
seperti yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pacific Countries), tarif
yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar.
Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan
bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor
ke Inggris. Perlakuan istimewa tersebut tidak dialami Indonesia yang pernah
dijajah Belanda sebagai anggota Uni Eropa dalam kurun waktu sangat panjang.
Menurut Purnomo (2007b), pendekatan dan usulan untuk mendapatkan
kompensasi tarif dari Belanda karena Indonesia pernah dijajah Belanda memang
pernah dilakukan namun tidak berhasil.
Pemberlakuan tarif bea masuk oleh Uni Eropa sebagai salah satu negara
importir utama terbesar di dunia pada dasarnya telah memberatkan negara-negara
eksportir udang, khususnya Indonesia. Apabila pengurangan tarif dilakukan lebih
besar lagi dalam bentuk GSP, maka nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa
dapat lebih meningkat. Painthe (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
selama ini negara-negara impotir, khususnya negara berkembang terus berjuang
untuk mendapatkan zero tariff untuk komoditas ekspor negara tersebut. Selain itu,
hasil penelitian yang dilakukan juga menyebutkan dengan adanya penurunan tarif,
nilai ekspor komoditas udang Indonesia akan meningkat.
Meskipun demikian, Uni Eropa sebagai salah satu negara importir udang
terbesar di dunia tetap menjadi pangsa ekspor strategis untuk Indonesia karena
permintaan akan udang di pasar Eropa cenderung meningkat. Oleh karena itu,
untuk mengatasi pemberian tarif yang tergolong tinggi, Indonesia perlu
melakukan trade creation antara Indonesia dan Uni Eropa seperti yang telah
dilakukan antara Indonesia dengan Jepang dalam bentuk EPA (Economic
Partnership Agreement). Trade creation bagi Indonesia nantinya akan
memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa
dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara
Indonesia dan Uni Eropa.
42
6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa
Semua kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak
atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi pelaku eksportir dapat
dimasukkan ke dalam hambatan nontarif yang ternyata menjadi hambatan paling
dominan. Kesepakatan akan konsep Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang
mecakup keamanan pangan (food safety attributes) dan kandungan gizi (nutrion
attributes) yang ditetapkan oleh Komisi Eropa bila tidak dipenuhi, produk udang
Indonesia akan mengalami banyak hambatan yang akhirnya berakibat penolakan
dengan alasan non tariff barrier to trade. Hambatan nontarif ini pada hakekatnya
menjadi hambatan utama dan sering melebar ke berbagai hal (Purnomo, 2007b).
Perhatian utama Uni Eropa saat ini berada pada bahan pangan yang masuk ke Uni
Eropa. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi
hak importir dalam menjamin dan melindungi keselamatan konsumen. Ketentuanketentuan dari kelompok negara di Uni Eropa dapat yang diidentifikasikan
sebagai hambatan nontarif adalah sebagai berikut:
1) Kondisi kesehatan dalam produksi dan penempatan di pasar-pasar produk
perikanan.
2) Peraturan syarat hygiene minimum yang harus diterangkan pada produk
perikanan tangkap di tempat-tempat pelabuhan kapal perikanan.
3) Pengaturan maksimal kontaminasi-kontaminasi makanan.
Kebijakan terkait nontarif yang diterapkan Uni Eropa untuk produk udang
sebagian besar sama dengan peraturan yang diterapkan untuk produk perikanan
lainnya khususnya mengenai standar kesehatan, keselamatan konsumen, dan
perlindungan bagi kelestarian lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di negara
maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed,
2006). Hal ini menyebabkan negara pengimpor (negara maju) melakukan
pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Negara-negara
berkembang seperti Indonesia sering mengeluhkan terkena dampak aturan
sanitary and phytosanitary yang ketat dari negara-negara pengimpor utama.
Daftar kebijakan nontarif di Uni Eropa yang berpengaruh terhadap produk udang
dapat dilihat pada Tabel 11.
43
Tabel 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh
Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia
No
1.
Regulasi
Council Directive 91/493/EEC
2.
Council Directive No. 92/48/EEC
3.
Regulasi (EC) No. 446/2001 8
Maret 2001
Regulasi (EC) No. 178/2002 dari
Dewan dan Parlemen Eropa 28
Januari 2002
4.
5.
Regulasi (EC) No. 852/2004 29
April 2004
6.
Regulasi (EC) No. 853/2004 29
April 2004
7.
Regulasi (EC) No. 854/2004 29
April 2004
8.
Deskripsi
 Mengatur mengenai kondisi kesehatan
untuk produk dan pemasaran produk
perikanan
 Ketentuan bagi negara dunia ketiga harus
mempunyai sistem yang setara dengan
yang ada di UE agar adapat melakukan
ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa.
Menenai ketentuan batas minimum higien
untuk produk perikanan
Menetapkan taraf maksimum bagi pencemar
tertentu dalam bahan pangan.
Prinsip-prinsip umum dan persyaratan
hukum pangan, pembentukan otoritas
keamanan pangan eropa dan penetapan
prosedur yang terkait dengan keamanan
pangan
 Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS
dari WTO dan standar keamanan pangan
internasional yang memuat Codex
Alimentarius.
 Persyaratan umum produksi primer,
persyaratan teknis, HACCP, pendaftaran/
pengakuan usaha makanan, petunjuk
nasional untuk praktik yang baik.
Aturan higienis yang spesifik untuk makanan
dari asal hewan (pengakuan dari perusahaan,
kesehatan, dan identifikasi pendanaan,
impor, informasi rantai pangan)
Aturan khusus bagi organisasi pengawasan
resmi atas produk asal hewan yang
dimaksudkan untuk konsumsi manusia.
Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan
Regulasi (EC) No. 2073/2005 15
November 2005
9. Commission Decision
Kondisi khusus untuk produk perikanan asal
2006/236/EC 21 Maret 2006
Indonesia dan yang ditujukan untuk
konsumsi manusia dan mengatur systemic
border control yaitu mengecek setiap
consignment/container di setiap port entry
10. Commission Decision
Mengubah keputusan dari CD 2006/236/EC
2008/660/EC 31 Juli 2008
menjadi persyaratan untuk uji produk
perikanan yang berasal dari Indonesia untuk
keberadaan logam berat dan histamin pada
produk tangkap
11. Commission Decision
Mewajibkan uji sampel terhadap paling
2010/220/EU 16 April 2010
sedikit 20 persen dari produk perikanan
budidaya di semua pelabuhan pintu masuk
ke Eropa
Sumber: KKP (2011), Commission Decision (2012), (diolah)
44
Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission)
pada Tabel 11 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam
Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah
Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa
kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai
pengawasan mutu dan keamaan pangan (EU, 2010)
Menurut Ababouch (2006) yang diacu dalam Lambaga (2009), peraturan
yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam
perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama
produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas
program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan eskpor. Selain itu, tidak
harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan eskpor juga
menghambat perdagangan internasional. Uni Eropa memberlakukan persyaratan
mutu yang lebih ketat terhadap produk perikanan budidaya. Sesuai dengan EC
Food Law No. EC/2002/178 dan EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation
on Residue Control and Monitoring of Aqualucture Products, maka semua negara
eksportir produk perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan laporan
hasil monitoring residu obat-obatan dan antiobiotik kepada Directorate General
of Health and Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap tahun.
Peraturan tersebut pun terus berkembang menjadi ketentuan zero tolerance
terhadap residu antibiotik untuk setiap perikanan budidaya yang akan masuk ke
Uni Eropa.
Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada
perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamanan pangan
di Uni Eropa yaitu EC No. 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang
pangan secara prosedur keamanan pangan. Hal ini juga dikatakan oleh Painthe
(2008) dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu
kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni
Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF).
Pengaruh ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa.
RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan
risiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari
45
pangan atau pakan. Melalui RASFF yang diacu dalam Saputra (2011), produk
pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa
akan
menerima
tiga notification
yaitu
alert notification,
information
notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan
sebuah “pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF
ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau
ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan
sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar
negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak
memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification
untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar
Eropa atau mengalami penolakan di Eropa.
Peraturan lain pada EC/853/2004 yang juga dikeluarkan oleh Komisi
Eropa, menempatkan persyaratan kesehatan makanan untuk produk yang berasal
dari hewan, mencakup sistem prosedur HACCP. Aturan ini memberikan tanggung
jawab pada produsen pangan utama untuk keamanan pangan melalui pengecekan
sendiri dan teknik pengendalian terhadap bahaya. Peraturan ini diberikan karena
pengembangan
budidaya
produk
perikanan,
khususnya
udang,
hanya
mengutamakan peningkatan produksi dan menyampingkan aspek mutu dan
keamanan pangan, padahal menurut Putro (2008) produk udang budidaya sangat
rentan
terhadap
kontaminasi
bakteri-bakteri
patogen
maupun
residu
antibiotik/obat-obatan dan pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, ditetapkannya konsep HACCP oleh Komisi Eropa juga perlu
diterapkan dalam industri udang nasional dalam standardisasi budidaya untuk
mencegah residu obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia dalam
produk udang budidaya, serta mencegah terjadinya kontaminasi mikrobiologi
ketika udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di tempat pengolahan
menjadi produk beku untuk di ekspor.
Berdasarkan peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa
sebagai hambatan nontarif (Tabel 11), maka Kementerian Kelautan dan Perikanan
menetapkan kewajiban dasar bagi pengolah, buyer, dan competent authority dari
negara pengekspor yang akan melakukan ekspor produk udang ataupun produk
46
perikanan lainnya ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut, diantaranya:
1) Pengolah (Unit pengolahan/perusahaan/eksportir) harus menerapkan dan
memantau kegiatan pengolahan berdasarkan:
a.
Article 3 sampai 6 dari EC 852/2004, secara umum kewajiban bagi
perusahaan untuk mengawasi atau memonitor keamanan pangan produk
dan proses pengolahan yang menjadi tanggung jawabnya.
b.
Menerapkan keadaan umum hygienic primary production article 4.1 dan
PART A annex I dari EC 852/2004.
c.
Menerapkan detail (detail requirements) setelah primary production
(article 4.2 dan Annex II EC 852/2004).
d.
Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No.
2073/2005.
e.
Menerapkan prosedur prinsip-prinsip HACCP (article 5 dari EC
852/2004).
f.
Unit pengolah harus teregistrasi sesuai article 6 dari EC 852/2004.
2) Buyer/Importer (food business operators importing products) melaksanakan
pengawasan sesuai dengan persyaratan EC 853/2004, dan harus menjamin
bahwa produk-produk tersebut telah memiliki dan menerapkan sistem
penanganan pengolahan yang sehat dan produk tersebut diperiksa di border
inspection posts.
3) Pemerintah (competent authority) di negara pengekspor berkewajiban:
a.
Competent authority melakukan pengawasan (official control) yang
memenuhi kriteria yang tercantum dalam EC 882/2004
b.
Competent authority
mengawasi perusahaan yang diberi wewenang
untuk ekspor ke Uni Eropa agar tetap memenuhi European Community
Requirements
c.
Competent
authority
mempertahankan,
memperbaharui,
dan
mengkomunikasikan kepada Komisi Eropa mengenai perusahaan yang
tidak memenuhi atau tidak lagi memenuhi European Community
Requirements. Compentent authority melakukan ini sesuai dengan
Article 12 paragraf 2 EC 854/2004.
47
d.
Sertifikat-sertifikat yang dipersyaratkan harus diterbitkan sebelum
pengapalan atau meninggalkan pelabuhan.
Kewajiban lain dapat diterapkan seiring dengan perkembangan kebijakan
yang diberikan oleh Komisi Eropa dalam memberikan regulasi bagi negara-negara
eksportir.
Pada tahun 2008, Komisi Eropa menetapkan kebijakan CD 2008/660/EC
dimana keputusan dari CD 2006/236/EC tidak hanya mengatur systemic border
control yang mengecek setiap consignment/container di setiap port entry,
melainkan menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari
Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk perikanan
tangkap. Kebijakan yang ditetapkan Komisi Eropa mengharuskan eksportir
Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kebijakan
yang diterapkan Uni Eropa ini secara nyata juga menyebabkan volume ekspor
produk perikanan Indonesia khususnya tuna sebagai produk perikanan tangkap
mengalami penurunan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut yaitu dari 12,610
ton pada tahun 2007 menjadi 12,132 ton pada tahun 2008. Meskipun pada tahun
berikutnya terjadi kenaikan volume menjadi 13,370 ton, namun pada tahun 2010
kembali mengalami penurunan menjadi 8,434 ton.
Regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk perikanan
Indonesia, pada dasarnya telah membawa para pelaku eksportir untuk
meningkatkan kualitasnya. Keseriusan pelaku eksportir tersebut telah didukung
oleh pemerintah Indonesia dalam pemenuhan standardisasi yang ditetapkan Uni
Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2010 melalui CD 2010/219/EU, Komisi Eropa
mencabut CD 2006/236/EC dan CD 2008/660/EC untuk uji logam berat dan
histamin pada produk perikanan tangkap. Pencabutan ini didasari karena hasil tes
yang dilakukan Komisi Eropa terhadap produk perikanan di Indonesia tidak
melebih tingkat maksimum kandungan logam berat dan histamine. Oleh karena
itu, setiap kali pengiriman produk perikanan ke Uni Eropa tidak perlu dilakukan
tes uji logam berat dan histamin. Pada tahun 2011, pencabutan peraturan tersebut
membuat para pelaku ekspor perikanan tangkap kembali mengekspor secara
besar-besaran ke Uni Eropa, sehingga terjadi peningkatan volume ekspor untuk
produk perikanan tangkap seperti tuna, yakni dari 8,434 ton menjadi 30,134 ton.
48
Hingga saat ini, kebijakan nontarif untuk produk ekspor perikanan
Indonesia ke Uni Eropa diberatkan oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa
dalam CD 220/2010. Kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa memberikan dampak
yang berbeda untuk setiap produk perikanan, khususnya udang yang adalah
produk perikanan budidaya. Peraturan CD 220/2010 ini mewajibkan uji sampel
bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya
di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa. Kebijakan ini didasari karena
ditemukannya kandungan antibiotik pada penjual pakan ikan yang berada sekitar
tempat budidaya perikanan Indonesia. Kewajiban uji atas produk ekspor
perikanan budidaya dapat mengancam daya saing ekspor dan mengurangi
pendapatan negara dari produk udang yang biasanya diekspor ke Uni Eropa..
Berdasarkan data statistik ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, terbukti
bahwa pada tahun 2010 volume ekspor udang Indonesia mengalami penurunan
sebesar 43,51 persen. Penurunan ini terjadi selain karena produksi rendah pada
tahun tersebut, adalah akibat kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam CD
220/2010. Peraturan ini mewajibkan sampel yang diperiksa diambil 20 persen dari
total volume udang yang diekspor. Oleh sebab itu, jika ada lima kontainer udang,
maka satu kontainer harus diperiksa. Satu kontainer biayanya bisa mencapai 3.500
euro dan ditanggung sendiri oleh eksportir. Akibatnya, pengusaha atau pelaku
ekspor harus menanggung beban dengan mengurangi margin keuntungan 4. Hal ini
berarti kewajiban untuk uji sampel bebas antibiotik mengharuskan para pengusaha
ekspor membayar lebih untuk setiap kontainer yang diuji, sehingga untuk
mengimbangi biaya pengujian yang ditetapkan Uni Eropa, pengusaha ekspor
Indonesia bisa saja melakukan kenaikan harga ekspor. Namun, menurut
Darmawan (2011) sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran
Produk Perikanan Indonesia (AP5I), kenaikan harga ekspor udang hampir tidak
mungkin dilakukan Indonesia karena akan sulit bersaing dengan produk udang
dan perikanan lainnya dari Thailand dan Vietnam yang juga menjadi pemasok
terbesar ekspor perikanan di Asia Tenggara. Selain itu, produk perikanan dari
kedua negara itu pun tidak dikenai kewajiban pemeriksaan residu antibiotik
seperti Indonesia. Kewajiban uji sampel bebas antibiotik menjadi alasan kuat
4
(http://www.bbrse.kkp.go.id). Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 persen. Diakses
tanggal 20 Mei 2012.
49
banyaknya pelaku eksportir yang mengganti tujuan ekspornya ke negara lain,
sehingga pada tahun 2010 terjadi penurunan volume ekspor udang ke Uni Eropa
dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan analisis deskriptif tentang penerapan kebijakan Uni Eropa
terhadap seluruh produk perikanan yang diimpor, seluruh kebijakan nontarif oleh
Uni Eropa haruslah dipenuhi oleh seluruh eksportir karena menyangkut kesehatan
dan keamanan konsumen. Meskipun kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa
sangat ketat terhadap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk
perikanan budidaya, namun pasar Eropa masih tetap prospektif untuk terus
dimasuki oleh negara-negara pengekspor udang di dunia seperti Indonesia.
Ketetapan adanya zero tolerance yang diangkat oleh Uni Eropa terhadap produk
udang budidaya akan antibiotik seharusnya tidaklah menjadi masalah bagi pelakupelaku eksportir jika ingin memasuki pasar Eropa. Bagi Indonesia, adanya zero
tolerance harusnya membawa seluruh stakeholder untuk mencermati secara
intensif setiap tahapan dalam budidaya udang di tingkat petambak/pembudidaya
hingga unit pengolah.
6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa
Masalah lain yang dapat menjadi hambatan bagi produk ekspor hasil
perikanan adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Alasan yang paling
umum menjadi hambatan administratif adalah approval number, health
certificate, dan competent authority. Mengenai health certificate, Komisi Eropa
menetapkan bahwa setiap eksportir harus dilengkapi dengan dua health certificate
yaitu: (1) Health certificae atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor
untuk tujuan konsumsi manusia yang dikeluarkan oleh Balai/Laboratorium
Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan (2) Health certificate atau
sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor untuk hama dan penyakit ikan atau
media pembawanya yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina, Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang biasanya berlokasi di lingkungan pelabuhan umum
atau bandar udara.
Eksportir/pengolah/unit pengolahan juga harus dilengkapi Sertifikat
Kelayakan Pengolahan (SKP). Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan
dokumen yang menyatakan bahwa unit pengolahan tempat produk perikanan
50
diolah telah memenuhi standar kelayakan dasar penanganan/pengolahan ikan atau
Good Manufacturing Practices (GMP), dan prosedur standar sanitasi atau
Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP). Dalam proses mendapatkan
SKP, maka Dinas Perikanan dan Kelautan berkewajiban untuk melakukan
kegiatan penilikan awal/prainspeksi (preinspection) atau dapat diistilahkan praSKP. Hal ini merupakan pembinaan terhadap perusahaan/unit pengolahan ikan
sebelum institusi teknis yaitu Direktorat Standarisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP
melakukan penilikan/inspeksi SKP lebih lanjut. Sertifikat Kelayakan Pengolahan
(SKP) merupakan salah satu persyaratan bagi unit pengolahan ikan/eksportir
pengolah dalam memperoleh health certificate yang diterbitkan oleh LPPMHP.
Selain persyaratan SKP, eksportir produsen/pengolah juga harus memiliki
surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)
apabila melakukan eskpor produk perikanan ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan
Jepang. Khusus untuk ekspor ke Uni Eropa, eksportir harus dilengkapi dengan
approval number yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa atas usulan Badan
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan sebagai
Otoritas Kompeten (Competent Authority). Persetujuan (approval) izin ekspor
yang diberikan oleh Komisi Eropa kepada para eksportir ternyata hanya diberikan
kepada perusahaan eksportir yang sudah dianggap qualified-fulfiling the
equivalence conditions for production and plecing on the market dan bukan
diberikan kepada semua perusahaan di suatu negara. Selanjutnya, Komisi Eropa
akan memberikan informasi daftar perusahaan yang layak ekspor (list of
authorized countries) kepada publik melalui website dan dokumen publik lainnya.
Hingga tahun 2011, jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia
yang telah mempunyai approval number adalah 189 unit. Produk hasil perikanan
Indonesia umumnya ditolak karena unit pengolah (eksportir) yang bersangkutan
belum mempunyai approval number yang dikeluarkan Komisi Eropa.
Tahapan Pengawasan secara administratif hasil perikanan yang masuk
(impor) ke Uni Eropa dapat dilihat sebagai berikut (KKP, 2010):
1) Competent authority negara pengirim menghubungi Komisi Eropa untuk
memohon persetujuan approval number of fisheries establishments atau
perusahaan/eksportir hasil perikanan.
51
2) Approval number yang diusulkan, jika diterima atau ditolak akan diterbitkan
dalam official journal dari European Community dan disebarkan secara
elektronik ke semua member states.
3) Melalui commission decision ditetapkan format health certificate dan list of
establishments (unit pengolahan) yang disetujui (telah mendapat approval
number).
4) Competent authority dari negara pengirim menerbitkan health certificate dan
stempel yang dikeluarkan oleh commission decision.
5) Komisi Eropa melalui Food and Veterinary Office (FVO), Directorate
General of Consumer Protection (DG Sanco) melakukan kunjungan ke
negara pengirim baik member states maupun negara ketiga untuk misi
inspeksi sistem/standar higienis apakah ekuivalen dengan peraturan Uni
Eropa.
6) Prosedur ekspor harus masuk mealalui pos pengawasan perbatasan (Border
Inspection Post/BIP).
7) Buyer/Importer di negara Uni Eropa harus memberitahu kepada BIP tentang
kedatangan Consignment dalam kurun waktu 24 jam melalui laut dan enam
jam melalui udara.
8) Official fish inspector atau official veterinary surgeon melakukan
pemeriksaan seperti diuraikan berikut:
a.
Documentary check (pengecekan dokumen) adalah memeriksa dokumendokumen terkait dengan pengiriman barang/produk, termasuk certificate
of origin dan health certificate.
b.
Identity check (identifikasi dokumen) adalah pengecekan visual untuk
melihat kecocokan dan konsistensi antara dokumen-dokumen dan
produk-produk, termasuk dokumen lain seperti certificate of origin,
approval number, dll.
c.
Physical check (Pemeriksaan fisik) adalah pemeriksaan produk yang
dilakukan
oleh
organoleptik,
fish/veterinary
pengepakan
dan
inspector
sendiri
pengemasan
(BIP)
(packaging),
seperti
suhu
(temperature), dan atau memungkinkan mengambil contoh dan menguji
ke laboratorium (sampling and laboratory testing).
52
9) Jika pemeriksaan dokumen memuaskan pihak inspektur sesuai dengan
Common Veterinary Entry Document (CVED) yang diterbitkan, maka
consignment tersebut dapat masuk ke Uni Eropa. Jika hasil pemeriksaan
menunjukkan gagal karena masalah mutu dan keamanan produk yang tidak
memenuhi syarat atau kandungan tertentu melebih batas yang diberlakukan,
maka dilakukan salah satu dari dua pilihan yaitu: dikirim kembali (re-export)
atau dihancurkan (destroyed).
Berdasarkan Council Regulation (EC) No. 1005/2008 tanggal 28
September 2009 mengenai establishing a community system to prevent, deter, and
eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, Uni Eropa juga mewajibkan
adanya catch certification atas semua produk perikanan hasil tangkapan dari laut
yang diekspor ke kawasan tersebut sejak 1 Januari 2010. Sertifikat hasil
tangkapan ikan mencakup beberapa hal antara lain:
1) Sertifikasi hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan,
termasuk produk olahannya yang masuk pasar Uni Eropa.
2) Sertifikasi diisi dan dilengkapi oleh eksportir yang telah memiliki approval
number, serta diajukan kepada competent authority, yaitu Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap untuk divalidasi.
Hal ini berarti produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil
tangkapan dari kegiatan yang telah memenuhi ketentuan pengolahan/konservasi
perikanan.
6.2. Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa
Berdasarkan data yang dilansir oleh RASFF sejak 2004-2011, produk
perikanan Indonesia menerima tiga notification oleh European-RASFF, yaitu
alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert
notification merupakan sebuah “pemberitahuan peringatan” atau “peringatan” di
pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification
merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau
pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan
tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan
notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum
masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Perkembangan jumlah
53
kasus produk perikanan yang menerima notification dari European-RASFF dapat
dilihat pada Gambar 6.
45
Jumlah kasus
40
Ikan
Udang
35
30
25
20
15
10
5
0
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 6, secara menyeluruh dapat dilihat bahwa jumlah
kasus produk ikan dan udang yang menerima notification dari tahun 2004-2011
sudah mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa standardisasi produk hasil
perikanan Indonesia sudah semakin mendekati standar internasional. Dari tahun
2004-2011, produk ikan menerima notification sebanyak 149 kasus yang terdiri
dari 61 persen notification information, 29 persen alert notification, dan 10 persen
border rejection notification. Berbeda dengan produk ikan, produk udang hanya
menerima notification sebanyak 34 kasus yang terdiri dari 82 persen information
notification, dan sisanya alert notification dan border rejection notification
masing-masing sembilan persen.
Banyaknya produk yang menerima notification berupa information dan
alert berarti produk ikan dan udang diketahui memiliki masalah atau dapat
membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Uni Eropa, sedangkan
notification berupa border rejection berarti produk telah ditolak masuk ke pasar
Uni Eropa karena membahayakan kesehatan. Dari Gambar 6, khususnya untuk
produk udang terlihat perkembangan yang baik dimana sejak tiga tahun terakhir
produk udang Indonesia hampir tidak menerima notification dari EuropeanRASFF. Berbeda dengan produk ikan, meskipun sudah mengalami penurunan
54
penerimaan notification selama tahun 2004-2011, namun notification yang
diterima tetap tergolong membahayakan, khususnya dari tahun 2008-2011 yang
tercatat ada 11 kasus produk ikan yang menerima border rejection notification. Ini
berarti produk ikan Indonesia tidak bisa masuk ke Uni Eropa, dengan kata lain
harus dihancurkan atau dikembalikan. Produk ikan yang teridentifkasi berbahaya
dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan oleh beberapa
alasan yang diterima dari produk ikan tersebut. Alasan terjadinya notification
pada produk ikan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.
25
mercury
carbon monoxide treatment
20
histamine
Jumlah alasan
cadmium
15
poor hygienic state
unauthorised substances malachite green, chrystal
violet, and leucomalachite green
ohters
10
5
0
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 7. Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa notification yang diterima dari
European-RASFF adalah karena banyaknya produk ikan yang belum sesuai
dengan standardisasi Uni Eropa. Alasan terbesar terjadinya notification dari tahun
2004-2011 pada produk ikan tersebut adalah karena produk ikan Indonesia
melebihi batas kandungan logam berat seperti mercury dan cadmium. Untuk
alasan logam berat, setiap tahunnya Indonesia menerima notification karena
produk ikan terdeteksi mengandung mercury ataupun cadmium. Pada periode
tersebut, Indonesia menerima notification adanya kandungan logam berat untuk
produk ikan sebanyak 41 persen dari 169 total alasan yang diterima dari
European-RASFF, 10 persen karena alasan bahwa produk ikan Indonesia
55
mengandung zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan seperti histamine,
dan sisanya karena alasan proses seperti pengolahan, penangkapan, pengepakan,
dll.
Jika dilihat perkembangannya dari tahun 2004-2011, alasan notification
yang diterima Indonesia sudah banyak berkurang terutama mengenai standardisasi
proses seperti unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and
leucomalachite green, poor hygienc, dan carbon monoxide treatment, namun
untuk hal logam berat, produk ikan Indonesia masih terdeteksi adanya produk
ikan yang melebih batas maksimum. Adapun kasus notification yang diterima
karena produk ikan terdeteksi logam berat seperti mercury dan cadmium pada
tahun 2008 adalah karena adanya kebijakan CD 2008/660 yang ditetapkan Uni
Eropa yang mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap
setiap komoditas perikanan. Kasus penolakan ini dikarenakan produk ikan
Indonesia melewati batas maksimum kandungan logam berat untuk perikanan
tangkap. Meskipun sudah mengalami penurunan dari periode tahun 2004-2007,
namun kasus notification yang diterima tetap harus menjadi perhatian khusus bagi
seluruh stakeholder, terutama karena masih ditemukannya produk ikan yang
melebih batas kandungan logam berat.
Ikan dan produk perikanan lainnya secara umum diberikan regulasi atau
peraturan yang sama, tetapi setiap produk bisa menerima alasan yang berbedabeda, tergantung pada penanganan/budidaya untuk produk perikanan budidaya
dan penangkapan untuk produk perikanan tangkap. Seperti halnya udang, produk
udang sebagai produk perikanan budidaya teridentifkasi berbahaya dan menerima
notification oleh European-RASFF disebabkan paling banyak karena alasan
antibiotik. Kandungan antibiotik yang terkandung dalam produk perikanan
budidaya, khususnya udang telah menjadi perhatian khusus oleh Uni Eropa.
Berbagai alasan lain sehingga terjadinya notification pada produk udang asal
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8.
56
7
Cadmium
Prohibited subtance nitrofuran (metabolite),
furazolidone and nitrofurazone
Prohibited subtance chloramphenicol
6
Jumlah Alasan
5
Vibrio spp.
4
Too high count of aerobic mesophiles
3
Other
2
1
0
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
2009
2010
2011
Gambar 8. Perkembangan Jumlah Alasan Pasus Produk Udang yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Gambar 8 menunjukkan perkembangan penurunan kasus notification yang
diterima oleh Indonesia untuk produk udang. Untuk alasan antibiotik seperti
prohibited substance chloramphenicol, nitrofuran (metabolite) furazolidone, dan
nitrofurazone, notification yang diterima menunjukan penurunan kasus. Pada
tahun 2004, notification yang diterima sangat tinggi, tetapi pada tahun selanjutnya
notification untuk alasan antibiotik semakin berkurang. Berbeda dengan produk
ikan, produk udang lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu
menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta
alasan karena mengandung mikroorganisme seperti Vibrio parahaemolyticus.
Produk udang Indonesia dari Gambar 8 menunjukkan perkembangan yang baik
dalam hal pemenuhan standardisasi yang sesuai dengan negara importir. Hal ini
terbukti bahwa pada tahun 2009-2011, Indonesia tidak menerima notification
adanya produk yang membahayakan kesehatan. Adapun satu notification yang
diterima pada tahun 2010 hanya karena alasan proses yaitu poor temperature
control pada produk udang beku.
Adapun kebijakan yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk
udang sebagai produk perikanan melalui CD 2010/220, yang mewajibkan uji
sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan
budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa tidak mengakibatkan terjadi
57
notification oleh European-RASFF. Data kasus notification pada Gambar 8 telah
menunjukkan bahwa kebijakan CD 2010/220 yang ditetapkan Uni Eropa terhadap
residu antibiotik ternyata tidak ditemukan. Kebijakan CD 2010/220 dapat
diajukan kepada Komisi Eropa oleh competent authority untuk segera dicabut
karena berdasarkan ketetapan yang disepakati bahwa apabila kebijakan yang
ditetapkan sudah dipenuhi dalam waktu satu tahun maka kebijakan tersebut perlu
ditinjau ulang.
Kasus notification yang terjadi untuk produk udang dan ikan Indonesia di
Uni Eropa dapat menjadi jawaban untuk melihat bahwa kebijakan yang diterapkan
khususnya nontarif terkait Sanitary and Phytosanitary berpengaruh pada kinerja
ekspor udang dan produk perikanan Indonesia lainnya, dimana produk ekspor
udang Indonesia telah memenuhi standar keamanan dan kesehatan konsumen di
pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Selain itu, menurunnya jumlah kasus
notification untuk produk ikan dan udang yang diterima dari European-RASFF
menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan para pelaku eksportir Indonesia
sudah baik dalam memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan oleh Uni Eropa.
Berdasarkan hasil analisis penerapan kebijakan Uni Eropa dan kasus
notification yang di terima Indonesia oleh European-RASFF menunjukkan bahwa
setiap kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk setiap produk udang dan
perikanan yang masuk dari negara-negara eksportir memang haruslah dipenuhi
karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Penurunan volume
ekspor udang dan produk perikanan lainnya ke Uni Eropa tidak hanya sematamata karena peraturan yang ditetapkan Uni Eropa melainkan juga karena faktor
produksi udang dan penanganan pada setiap produk perikanan. Sedikitnya kasus
notification dalam tiga tahun terakhir yang di terima Indonesia dari EuropeanRASFF terhadap produk udang harus dapat dipertahankan oleh seluruh
stakeholder. Mengadopsi ketentuan Uni Eropa mengenai zero tolerance terhadap
antibiotik berbahaya sangat penting sebagai standar mutlak bagi seluruh pelaku
eksportir agar dapat meningkatkan kinerja ekspornya. Tindakan yang dapat
dilakukan dalam mengadopsi hal tersebut adalah dengan mencermati secara
intensif
setiap
tahapan
dalam
budidaya
udang
baik
di
tingkat
petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm
58
registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw
materials control.
6.3. Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia
Kebijakan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan
harusnya bertumpu pada kebijakan pengembangan mutu dan keamanan pangan.
Meskipun menurt Painthe (2008) perlu juga dilakukan kebijakan pengembangan
produk dan pasar yang berorientasi pada “market base development” melalui
diversifikasi produk dan pasarnya, namun dalam hal pengembangan pasar ekspor
hasil perikanan, Sub Direktorat Pengembangan Ekspor pada tahun 2010 telah
menetapkan target pencapaian pasar ekspor baru hingga tahun 2014. Target pasar
yang akan ditambah dalam ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya: Uni
Emirat Arab, Ceko, dan Ukraina pada tahun 2010; Slovakia, Turki, dan India pada
tahun 2011; Mesir, New Zealand, dan Islandia pada tahun 2012; Bahrain,
Venezuela, Brazil, dan Papua Nugini pada tahun 2013; Oman, Peru, Kroasia,
Afrika Selatan, dan Lithuania pada tahun 2014.
Untuk pencapaian pengembangan pasar sesuai target yang ditetapkan,
langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan ekspor hasil perikanan
di Indonesia adalah perlunya mengetahui prosedur umum ekspor barang (lampiran
1), alur prosedur ekspor hasil perikanan (lampiran 2), dan dokumen yang harus
dimiliki dalam perdagangan hasil perikanan (lampiran 3). Ketiga hal tersebut
menjadi dasar yang harus diketahui dan dimiliki oleh seluruh pelaku ekspor agar
dapat mengembangkan pasar ekspor hasil perikanan.
Menjawab tantangan peraturan negara-negara importir utama hasil
perikanan seperti Uni Eropa yang memiliki persyaratan yang cukup ketat
mengenai standar mutu dan keamanan pangan, pemerintah mempunyai tanggung
jawab dan peran penting untuk menghasilkan produk
perikanan yang sehat,
aman, dan bermutu baik. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membangun Sistem
Perkarantinaan Ikan dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Sistem tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk
memberikan jaminan terhadap produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian agar dapat
59
memenuhi persyaratan kesehatan ikan dan aman untuk dikonsumsi manusia.
Sebagai upaya pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit ikan karantina serta
penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Badan
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM)
yang kemudian ditunjuk sebagai otoritas kompeten dalam pengendalian.
Peraturan lainnya untuk meningkatkan mutu dan keamanan hasil
perikanan Indonesia, (BKIPM, 2012 ) yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan.
5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2005
tentang Tindakan Karantina Ikan untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama
dan Penyakit Ikan Karantina.
6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007
tentang Tindakan Karantina Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan
Penyakit Ikan Karantina dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area lain di
dalam Wilayah Republik Indonesia.
7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.26/MEN/2008
tentang Kewenangan Penerbitan, Format dan Pemeriksaan Sertifikat
Kesehatan dibidang Karantina Ikan dan Sertifikat Kesehatan dibidang Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan.
8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan.
60
9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010
tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
10) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2011
tentang Instalasi Karantina Ikan.
11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.25/MEN/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.53/MEN/2010
tentang Penetapan Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa
Hama dan Penyakit Ikan Karantina.
13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2010
tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan,
Media Pembawa dan Sebarannya.
14) Peraturan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Nomor PER. 03/BKIPM/2011
tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan.
15) Keputusan Kepala Pusat Karantina Ikan Nomor KEP.209/PKRI/VIII/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan
Karantina (HPIK).
Selain kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam pengembangan ekspor
hasil perikanan Indonesia, berlandaskan pada kebijakan Uni Eropa dalam
pemberlakuan ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik tertentu pada
udang seperti chloramphenicol, nitrofuran dan furazolidone yang dapat
mengakibatkan pada pemusnahan produk udang di port of entry Uni Eropa, maka
Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, KKP menetapkan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu
Control Plan) sebagai berikut (KKP, 2011):
1) Pelaku Usaha
Pelaku usaha bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi dan
dokumentasi segala informasi terkait produk perikanan budidaya yang
61
dihasilkan, sekurang-kurangnya satu langkah ke depan dan satu langkah ke
belakang.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) segera menarik
produk yang terdeteksi mengandung residu atau terkontaminasi dari pasar,
dan bila diperlukan segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan
setempat/otoritas kompeten; dan (2) Segera memusnahkan produk yang
terdeteksi tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dan
segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan setempat/otoritas kompeten.
2) Dinas Perikanan di Provinsi dan Kabupaten/Kota
Dinas perikanan di provinsi bertanggung jawab untuk (1) melakukan
monitoring pada setiap tahapan proses produksi dan distribusi produk
perikanan budidaya untuk memastikan sistem traceability berjalan sesuai
persyaratan; dan (2) emberlakukan sanksi berupa penalti pada perusahaan
atau pembudidaya yang tidak mampu memenuhi persyaratan traceability.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memastikan
bahwa pelaku usaha memenuhi kewajibannya dalam penerapan traceability;
(2) melakukan tindakan yang memadai dalam menjamin pelaksanaan sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan; dan (3) menelusuri risiko sepanjang
rantai produksi; dan (4) menginformasikan kepada otoritas kompeten bila
terjadi ketidaksesuaian.
3) Kementerian Kelautan dan Perikanan/Otoritas Kompeten
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertanggung jawab dalam
hal: (1) menerbitkan peraturan yang diperlukan terkait traceability; dan (2)
melakukan inspeksi secara berkala untuk memastikan pelaku usaha
memenuhi standar keamanan pangan termasuk penerapan traceabality.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memberikan
peringatan
dini
kepada
seluruh
provinsi
tentang
adanya
risiko
ketidaksesuaian; (2) meminta informasi lengkap dari pelaku usaha untuk
dapat dilakukan traceability dan penanganan secara terkoordinasi baik di
dalam maupun antara kementerian terkait; dan (3) bilamana perlu
mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor dan impor.
62
Download