Pembahasan Penelitian_2009ash1

advertisement
6
PEMBAHASAN PENELITIAN
6.1 Keragaan Perikanan Tangkap Skala Kecil
Penangkapan ikan pelagis di perairan pantai timur Kabupaten Bangka
berlangsung hampir sepanjang tahun, namun jumlah upaya penangkapan pada
setiap musimnya sangat berfluktuasi. Berfluktuasinya upaya penangkapan ikan
ditandai dengan bervariasinya rata-rata jumlah trip dan jumlah hasil tangkapan
yang didaratkan setiap musimnya (lihat Gambar 8). Secara umum, upaya
penangkapan menurun pada musim barat (Nopember-Pebruari) sebanyak 2-3 trip
per bulan dengan lamanya hari operasi penangkapan (HOP) antara 2-3 hari,
pada musim peralihan I (Maret-April) upaya penangkapan mulai meningkat
menjadi 3-4 trip per bulan dengan HOP 4-5 hari dan mencapai puncaknya pada
musim timur (Mei-Agustus) upaya penangkapan antara 4-5 trip per bulan dengan
HOP 4-5 hari, kemudian pada musim peralihan II jumlah trip kembali menurun
menjadi 3-4 trip per bulan. Dengan demikian faktor musim sangat
mempengaruhi intensitas operasi alat tangkap dan hasil tangkapan setiap
musimnya di perairan pantai timur Kabupaten Bangka.
Perkembangan upaya penangkapan perikanan skala kecil PPN Sungailiat
dari tahun 2002 hingga 2008 berfluktuasi dengan trend meningkat dari tahun ke
tahun (Gambar 9). Pada tahun 2004-2005 terjadi penurunan upaya penangkapan,
penurunan tersebut diduga disebabkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)
sehingga biaya operasional melaut menjadi tinggi sehingga nelayan mengurangi
operasi penangkapan. Pada tahun 2006, upaya penangkapan kembali mengalami
kenaikan dengan tajam. Hal ini diduga nelayan kembali meningkatkan upaya
penangkapan setelah harga ikan menyesuaikan dengan harga BBM, serta
terjadinya penambahan jumlah kapal sebesar 84% dan penambahan jenis alat
tangkap baru (seperti bubu). Akan tetapi peningkatan tajam upaya tangkap
tersebut hanya diikuti kenaikan produksi sebesar 2,69%. Dengan kata lain,
bertambahnya jumlah kapal ternyata tidak secara signifikan meningkatkan hasil
tangkapan, namun cenderung menurunkan produktivitas alat tangkap. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan skala kecil di
perairan pantai timur Kabupaten Bangka sudah mengalami kapasitas berlebih
90
input produksi (excess capacity). Jika jumlah input aktual yang digunakan lebih
besar dari jumlah input optimal yang dibutuhkan untuk berproduksi, maka
mengindikasikan telah terjadi economic overfishing (Fauzi 2005). Pernyataan ini
didukung oleh penelitian Febrianto (2008), menyatakan salah satu jenis ikan
pelagis yaitu ikan tenggiri di perairan Kabupaten Bangka mengalami gejala
overfishing baik secara biologi maupun ekonomi.
Produktivitas
alat
tangkap
ikan
pelagis
mengalami
perubahan
(berfluktuasi) setiap musimnya (Gambar 10). Produktivitas alat tangkap ikan
pelagis paling tinggi adalah mini purse seine dengan jenis ikan pelagis dominan
tertangkap yaitu tembang, lemuru dan kembung. Produktivitas alat tangkap
urutan kedua adalah payang dengan jenis ikan pelagis dominan tertangkap yaitu
tembang, selar dan lemuru. Produktivitas alat tangkap urutan ketiga adalah
gillnet hanyut dengan ej nis ikan pelagis dominan tertangkap yaitu tongkol,
tenggiri, dan tetengkek. Untuk produktivitas alat tangkap urutan keempat adalah
pancing ulur dengan jenis ikan pelagis dominan tertangkap yaitu tenggiri,
tetengkek dan selar. Meskipun mini purse seine memiliki produktivitas paling
tinggi, tetapi jumlah unit nya sangat sedikit yaitu 25 unit kapal. Hal ini
disebabkan kapal mini purse seine memerlukan investasi cukup besar,
pengoperasiannya perlu banyak ABK dengan keterampilan khusus, sedangkan
jenis ikan targetnya adalah ikan pelagis kecil untuk komsumsi lokal dan
harganya
relatif
murah.
Nelayan
PPN
Sungailiat
lebih
cenderung
mengoperasikan pancing ulur, selain biaya invesatsi lebih murah dan mudah
mengoperasikannya, serta jenis ikan targetnya pelagis besar dan ikan karang
yang harganya relatif tinggi. Secara umum dapat dikatakan, pemilihan dan
perkembangan jenis alat tangkap dipengaruhi faktor teknik dan kemampuan
ekonomi dari masyarakat nelayan setempat.
6.2 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan
Berdasarkan nilai indeks musim penangkapan (IMP), ada tiga pola musim
penangkapan ikan pelagis di perairan timur Kabupten Bangka, yaitu: 1). Musim
penangkapan ikan tenggiri, tetengkek, lemuru, kembung dan tembang (Gambar
15), terjadi pada bulan Pebruari hingga Juli dan bulan Oktober hingga Nopember
91
(peralihan I hingga musim timur) dan bulan Nopember (awal musim barat).
Secara rinci, musim penangkapan ikan lemuru dan kembung terjadi pada bulan
Pebruari hingga Mei dan Oktober hingga November musim. Untuk musim
penangkapan ikan tenggiri dan tetengkek terjadi pada bulan Maret hingga Mei
dan November. Sedangkan musim penangkapan ikan
tembang terjadi pada
bulan Maret hingga Juli; 2) musim penangkapan ikan tongkol berfluktuasi
sepanjang tahun (Gambar 16), musim penangkapan ikan tongkol terjadi tiga kali
dalam setahun yaitu sekitar bulan Pebruari hingga Mei, Juni hingga Agustus dan
Nopember; dan 3) musim penangkapan ikan selar (Gambar 17) terjadi pada
bulan Mei hingga Nopember (musim timur dan peralihan II) dengan puncaknya
terjadi pada bulan Agustus hingga September. Sedangkan musim paceklik
penangkapan ikan terjadi pada bulan Desember hingga Mei.
Pada pola musim penangkapan pertama pertama, dimulainya musim
penangkapan ikan ditandai dengan musim penangkapan ikan pelagis kecil
(lemuru dan kembung) pada bulan Pebruari dan Oktober, kemudian diikuti oleh
ikan pelagis besar (tenggiri dan tetengkek) pada bulan Maret dan Nopember.
Ikan pelagis kecil merupakan ikan yang makanan utamanya plankton sehingga
kelimpahannya tergantung pada faktor-faktor lingkungan perairan (Merta et al.
1998 diacu Desniarti 2007). Diduga pada bulan Pebruari dengan berakhirnya
musim hujan, kondisi oseanografi perairan cocok untuk pertumbuhan
produktivitas plankton. Kondisi ini mengundang datangnya ikan pelagis kecil.
Bergerombolnya ikan pelagis kecil mengundang datangnya ikan pelagis besar
yang makanan utamanya ikan-ikan kecil (mekanisme rantai makanan).
Untuk pola musim ke dua, musim penangkapan ikan tongkol berfluktuasi
sepanjang tahun. Polanya sebenarnya mengikuti ikan pelagis besar lainnya. Pada
bulan Pebruari, mulai musim penangkapan ikan lemuru dan kembung diikuti
musim penangkapan ikan tongkol, pada bulan Maret, musim penangkapan ikan
tembang diikuti musim ikan tongkol di bulan Mei dan bulan Nopember
berakhirnya ikan selar diikuti dengan munculnya musim penangkapan ikan
tongkol.
Untuk pola ketiga, musim penangkapan ikan selar pada bulan Mei hingga
Nopember (musim timur dan peralihan II). Sebagaimana ikan pelagis kecil
92
lainnya selar merupakan ikan pemakan plankton. Menurut Nontji (1993)
mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kir a
0,21 mg/m3 selama musim timur lebih tinggi dibanding selama musim barat
sebedar 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3. Diduga dengan produktivitas perairan yang
subur dan kondisi oseanografi yang mendukung pada musim timur seperti angin
cenderung bertiup lebih lemah, arus perairan relatif tidak kuat dan sinar matahari
yang cukup sangat sesuai bagi pertumbuhan plankton sehingga mengundang
datangnya ikan pelagis kecil termasuk selar. Selain itu, karakteristik behaviour
ikan pelagis sebagai perenang cepat memiliki keterkaitan kuat terhadap arus.
Pada musim timur (Juni-Nopember) ikan pelagis kecil bermigrasi dari Laut Jawa
ke arah utara menuju Natuna dan Laut Cina (Djamali 1971 diacu Almuas 2005).
Dari ketiga pola musim penangkapan ikan tersebut, memperlihatkan
musim penangkapan ikan pelagis terjadi pada musim peralihan I hingga
peralihan II dan puncaknya di musim timur sedangkan musim sedikit ikan terjadi
pada musim barat (Desember–Pebruari). Kondisi ini disebabkan perairan Bangka
dipengaruhi dua musim, yaitu musim timur (southeast monsoon) dan musim
Barat (northwest monsoon) beserta musim peralihan-peralihannya. Pada periode
musim timur, angin cenderung bertiup lebih lemah dan udara yang relatif kering
menyebabkan kondisi perairan terlihat tenang dan merupakan periode musim
banyak ikan, sehingga nelayan banyak melakukan aktivitas penangkapan. Pada
musim barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung banyak uap air,
sehingga kondisi perairan mengalami gelombang besar dan sering disertai hujan.
Pada periode ini umumnya hasil tangkapan tidak sebanyak pada musim timur
karena para nelayan banyak yang mengurangi aktivitas penangkapan. Musim ini
sering dikenal dengan istilah musim paceklik (Sedana et. al., 2006). Berdasarkan
wawancara terhadap nelayan, pihak PPN Sungailiat dan Dinas Kelautan
Perikanan Kabupaten Bangka, hasil tangkapan di perairan timur Kabupaten
Bangka dapat digolongkan tiga musim penangkapan, yaitu musim banyak ikan
(Mei-September), musim sedang (Maret-April dan Oktober-November), musim
paceklik ikan (Desember-Pebruari).
Perubahan
musim
penangkapan
tersebut
menyebabkan
daerah
penangkapan ikan mengalami perubahan secara spasial dan temporal. Pada
93
musim timur dan peralihan II secara spasial daerah penangkapan ikan pancing,
gillnet hanyut dan payang bergerak ke arah utara sekitar Laut Natuna tepatnya di
pulau Dua dan pulau Tujuh dekat Kabupaten Belinyu (kira-kira 5 - 10 mil dari
pantai). Pada musim barat dan peralihan I, daerah penangkapan bergerak ke arah
selatan dekat Selat Gaspar. Pernyataan ini didukung oleh Djamali (1971) diacu
Almuas (2005), menyatakan bahwa pada musim timur (Juni-Nopember) ikan
pelagis kecil bermigrasi dari Laut Jawa ke arah utara menuju Natuna dan Laut
Cina Selatan dan sebaliknya pada musim barat (Desember-Maret) bermigrasi
dari Natuna dan Laut Cina Selatan ke arah selatan menuju Laut Jawa. Hal ini
disebabkan sistem angin muson. Oleh karena sistem angin muson ini bertiup
secara tetap, walaupun kecepatan relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu
kondisi yang sangat baik untuk terjadinya suatu pola arus. Hembusan angin
muson timur pada bulan Juni – Agustus, mengerakan arus permukaan secara
umum menangalir dari Laut Jawa menuju Laut Cina Selatan dan pada musim
barat hembusan angin barat pada bulan Desember – Pebruari menyebabkan arus
permukaan berbalik arah mengalir ke arah selatan dari Laut Cina Selatan menuju
Laut Jawa (Wyrtki, 1961). Sebagaimana di uraikan sebelumnya, bahwa pada
musim barat sering angin bertiup kencang, kondisi perairan bergelombang besar
disertai hujan dan badai sehingga nelayan pancing, gillnet hanyut dan payang
cendrung menangkap ikan di sekitar perairan Selat Gaspar dan pulau-pulau kecil
sekitar Kabupaten Bangka Selatan. Hal ini diduga apabila terjadi gelombang
besar dan badai nelayan dapat cepat berlindung di pulau-pulau kecil tersebut.
Sedangkan daerah penangkapan mini purse seine sekitar 1-3 mil laut dari pantai
timur Kabupaten Bangka karena waktu operasinya hanya satu hari (one day
fishing), secara tematik disajikan pada Gambar 18.
Perikanan skala kecil memiliki berbagai keterbatasan modal, teknologi dan
ukuran kapal lebih kecil dari 10 GT, sehingga jangkauan penangkapan terbatas
dan terkonsentrasi di perairan pantai secara intensif. Berdasarkan penelitian
perikanan tangkap jenis ini, bukti empiris menunjukkan dari tahun ke tahun
jumlah kapal perikanan skala kecil terus bertambah kuantitasnya (lihat Gambar
9). Hal ini diduga menyebabkan pemanfaatan ikan pada setiap musim di daerah
penangkapan ikan menjadi sangat padat. Dengan bertambahnya jumlah kapal
94
meningkatkan persaingan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan pantai.
Kondisi ini berdampak nyata terhadap tingkat produktivitas per kapal yang terus
mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan pemanfaatan sumberdaya
perikanan di perairan timur Kabupaten Bangka sudah mengalami kapasitas
berlebih (excess capacity) dan mengarah pada gejala economic overfishing. Oleh
karena itu, solusi jangka pendek melalui regulasi mengurangi upaya
penangkapan (mengurangi effort yang tidak efisien), mengurangi inputan yang
berlebih dan membatasi akses kapal baru, serta peningkatan pengawasan
terhadap masuknya kapal-kapal ikan dari daerah lain tanpa izin (illegal fishing).
Dengan penerapan solusi ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi
sumberdaya ikan agar dapat pulih dan meningkatkan pertumbuhan populasinya.
Menurut Metzner (2005), pada jangka pendek kebijakan pengendalian input
produksi seperti pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan
aktual, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh berupa
peningkatan kapasitas penangkapan. Namun bila solusi tersebut diambil,
pemerintah diharapkan mampu menyediakan informasi musim dan peta daerah
penangkapan yang akurat dan mutakhir (up to date) sehingga nelayan tidak akan
terlalu lama mencari gerombolan ikan dan pemborosan penggunan BBM serta
biaya perbekalan melaut dapat diminimalisasi.
6.3 Kapasitas Penangkapan Armada Gillnet Hanyut
Hasil perhitungan kapasitas penangkapan armada gillnet hanyut PPN
Sungailiat, menunjukkan bahwa nilai CU multi output lebih baik (mendekati
nilai optimal) di banding nilai CU single output baik total maupun per musim.
Nilai total rata-rata CU mengalami kenaikan dari 0,91 (single output) menjadi
0,95 (multi output) atau sebesar 4,51%. Menurut Tingley et al. (2002),
pengukuran CU dan TE dengan multi output lebih akurat dibandingkan dengan
pengukuran single output.
Berdasarkan hasil analisis DEA single dan multi output, menunjukkan nilai
kapasitas pemanfaatan kapal gillnet hanyut baik total maupun per musim tidak
optimal (nilai CU<1). Hal ini diduga disebabkan penggunaan input secara
berlebih, seperti disajikan pada Tabel 9 dan 10. Agar kapasitas penangkapan
95
menjadi optimal diperlukan perbaikan dengan cara mengurangi penggunaan
input variabel (VIU) seperti input upaya HOP, BBM dan ABK dengan asumsi
input tetap (ukuran kapal, panjang dan lebar kapal dan ukuran mesin) diabaikan
karena input tersebut sangat kompleks untuk diterapkan. Upaya perbaikan
tingkat kapasitas pemanfaatan agar menjadi optimal dapat dilakukan dengan
penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirley dan Squire,
1999).
Tingkat VIU gillnet hanyut dapat diukur berdasarkan rasio dari
penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Dalam
konteks ini, input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi
efisiensi teknis penuh (kapasitas optimal). Jika rasio VIU kurang dari satu maka
telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga pelaku usaha sebaiknya
mengurangi penggunaan input tersebut (Fare et. al., 1994). Tingkat VIU kapal
gillnet hanyut yang beroperasi di perairan pantai timur Kabupaten Bangka
menunjukkan nilai masih kurang dari satu baik total maupun per musim (lihat
Tabel 9 dan 10). Hal ini mengindikasikan diduga perikanan gillnet hanyut PPN
Sungailiat mengalami kapasitas berlebih. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan
VIU agar usaha penangkapan menjadi optimal. Secara total, proyeksi perbaikan
pada single output dengan mengurangi VIU upaya HOP dan BBM sebesar
0,92% dan VIU ABK sebesar 18,86%. Sedangkan pada multi output dengan
mengurangi VIU upaya HOP dan BBM sebesar 1,15% dan ABK sebesar 9,13%.
Perbandingan relatif tingkat kapasitas pemanfaatan gillnet hanyut menurut
musim, menunjukkan bahwa hasil perhitungan single output pada empat musim
(barat, peralihan I, musim timur dan peralihan II) diperoleh rata-rata nilai CU
antara 0.89 (musim peralihan II) hingga 0,92 (musim timur). Hasil perhitungan
dengan multi ouput diperoleh rata-rata nilai CU antara 0,94 (musim peralihan II)
hingga 0,96 (musim peralihan I dan timur). Hal ini diduga,
pada musim
peralihan I mulai memasuki musim ikan dan musim timur tercapai puncaknya.
Hasil perhitungan IMP ikan target (tenggiri dan tetengkek) menunjukkan puncak
musim ikan terjadi pada awal peralihan I (Maret) dan musim timur (Mei hingga
Juni) dengan nilai IMP diatas 100, seperti tersaji pada Gambar 15. Kondisi ini,
direspon oleh nelayan gillnet hanyut dengan mengoperasikan seluruh armada
96
penangkapan. Pada musim peralihan II (September-Oktober), umumnya hasil
tangkapan mulai menurun seiring berakhirnya musim ikan. Namun diduga
jumlah upaya penangkapan tidak dikurangi pada periode ini (sama dengan
musim timur) sehingga terjadi kelebihan upaya tangkap. Kelebihan upaya
tangkap akan berimplikasi pada penggunaan BBM, ABK dan kebutuhan melaut
lainnya secara tidak efisien sehingga tingkat kapasitas gillnet hanyut pada musim
peralihan II menjadi rendah.
Hasil perhitungan single dan multi output per musim, menunjukkan bahwa
nilai VIU kapal gillnet hanyut masih kurang dari satu berarti diduga perikanan
gillnet hanyut PPN Sungailiat telah mengalami kapasitas berlebih. Hasil
perhitungan single output, nilai tertinggi VIU upaya HOP dan BBM sebesar satu
terjadi pada musim timur, sedangkan nilai terendah sebesar 0,989 terjadi pada
musim barat dengan proyeksi perbaikan pada periode ini sebesar 2,6%. Untuk
nilai VIU ABK pada keempat musim dibawah 0,95 (musim timur) sehingga
diperlukan pengurangan input ABK pada keempat musim tersebut, pengurangan
input ABK paling signifikan pada musim peralihan I sebesar 24,23%. Sedangkan
hasil perhitungan multi output, nilai tertinggi VIU upaya HOP dan BBM sebesar
satu terjadi pada musim timur dan nilai terendah sebesar 0,97 terjadi pada
musim barat dengan proyeksi perbaikan sebesar 5,8%. Nilai VIU ABK pada
keempat musim dibawah 0,97 (musim timur) sehingga diperlukan pengurangan
input ABK pada keempat musim tersebut, pengurangan input ABK paling
signifikan pada musim peralihan I sebesar 13,55%.
Dalam rangka mengatasi kapasitas berlebih di perairan pantai timur
Kabupaten Bangka, penerapan kebijakan pembatasan intensitas operasi
penangkapan dengan mengurangi VIU upaya HOP dan BBM berdasarkan
musim penangkapan merupakan strategi kebijakan relatif memiliki resiko kecil
dibandingkan dengan kebijakan pengendalian input dengan menarik kapal-kapal
skala kecil (vesel decommisioning) yang dinyatakan tidak efisien. Meskipun
kebijakan kedua ini secara ekonomi mampu mencegah kapas itas berlebih dengan
efektif, akan tetapi dampak sosial yang diperkirakan timbul akan jauh lebih
besar seperti pengangguran dan faktor resistensi pemilik kapal. Menurut Sularso
(2005), penerapan kebijakan ini perlu memperhatikan tindakan terhadap kapal-
97
kapal yang dikeluarkan dari perairan, bagaimana bentuk kompensasi dan siapa
yang akan memberikan kompensasi perlu dikaji secara hati-hati.
6.4 Kapasitas Penangkapan Armada Pancing Ulur
Hasil perhitungan kapasitas penangkapan armada pancing ulur PPN
Sungailiat, menunjukkan bahwa nilai CU multi output juga lebih baik di banding
nilai CU single output baik total maupun per musim. Secara total terjadi
kenaikan rata-rata nilai CU dari 0,81 (single output) menjadi 0,89 (multi output)
atau sebesar 10,29%. Namun rata-rata nilai CU tersebut masih kurang dari nilai
satu, berarti kapasitas penangkapan pancing ulur tidak optimal. Oleh karena itu,
diperlukan perbaikan kapasitas pancing ulur dengan cara mengurangi input
penangkapan khususnya VIU.
Hasil perhitungan nilai VIU dengan single dan multi output, menunjukkan
bahwa secara total tingkat VIU kapal pancing ulur berkisar antara 0,93 hingga
0,99. Nilai VIU tersebut masih kurang dari satu, berarti diduga perikanan
pancing ulur juga mengalami kapasitas berlebih. Secara total, proyeksi perbaikan
kapasitas penangkapan pancing ulur dengan mengurangi VIU upaya HOP dan
BBM sebesar 1,61% (single ouput) dan sebesar 0,71% (multi ouput). Sedangkan
pengurangan VIU ABK sebesar 9,11% (single ouput) dan sebesar 5,63% (multi
ouput).
Perbandingan relatif tingkat kapasitas pemanfaatan armada pancing ulur
berdasarkan musim, menunjukkan hasil perhitungan single output diperoleh ratarata nilai CU antara 0,75 (musim timur) hingga 0,86 (musim peralihan II).
Umumnya musim puncak ikan terjadi pada musim timur dan mulai menurun di
musim peralihan II, tetapi hasil perhitungan single output sebaliknya nilai CU
lebih tinggi dari musim timur. Hal ini dapat dipahami, mengingat target ikan
pancing ulur PPN Sungailiat lebih dari 16 spesies. Sehingga kemungkinan besar
untuk perhitungan single output (total hasil tangkapan 16 spesies) menghasilkan
nilai CU lebih umum (tidak hanya jenis pelagis tetapi juga demersal). Diduga
hasil tangkapan ikan demersal memberikan kontribusi lebih besar pada musim
peralihan II sehingga pada periode ini nilai CU lebih tinggi dibanding musim
lainnya. Sedangkan hasil perhitungan dengan multi output lebih spesifik
98
terhadap ikan pelagis (tenggiri, tetengkek dan selar) menghasilkan rata-rata nilai
CU pada musim peralihan II sebesar 0,87 lebih rendah dibanding pada musim
timur sebesar 0,94. Pernyataan ini didukung oleh Tingley et al. (2002),
pengukuran CU dan TE dengan multi output lebih akurat dibandingkan dengan
pengukuran single output.
Nilai CU tertinggi pada musim timur (multi output) karena periode ini
merupakan puncak musim ikan pelagis target pancing ulur (tenggiri, tetengkek
dan selar). Hasil analisis IMP terhadap ikan tenggiri dan tetengkek,
menunjukkan musim ikan mulai terjadi pada awal peralihan I (Maret-April) dan
puncaknya pada musim timur (Mei hingga Juni) dengan nilai IMP diatas 100
(Gambar 15). Sedangkan musim ikan selar terjadi pada musim timur dan
peralihan II dengan puncaknya pada bulan Agustus hingga September (Gambar
17). Kondisi ini, direspon oleh nelayan pancing ulur dengan mengoperasikan
seluruh kemampuan armada penangkapan. Sementara itu, pada peralihan II dan
musim barat (September-Pebruari) hasil tangkapan ikan target mulai menurun
seiring berakhirnya puncak musim ikan (Nilai IMP <100) dan kondisi cuaca
yang tidak mendukung. Diduga nelayan pancing ulur meresponnya dengan
mengurangi jumlah upaya penangkapan pada periode ini tetapi tidak signifikan
dengan hasil tangkapan yang terus cenderung menurun, sehingga berimplikasi
pada penggunaan input variabel (VIU) secara tidak efisien. Oleh karena itu, agar
kapasitas pemanfaatan pancing ulur menjadi optimal diperlukan pengurangan
VIU (upaya HOP, BBM dan ABK) pada peralihan II dan musim barat.
Hasil perhitungan nilai VIU dengan single ouput menurut musim,
menunjukkan bahwa pada musim barat tingkat VIU upaya HOP dan BBM
terendah sebesar 0,97 sehingga diperlukan perbaikan sebesar 3,68% (Tabel 11).
Nilai VIU ABK pada keempat musim dibawah 0,96 sehingga pada keempat
musim tersebut diperlukan pengurangan input ABK. Nilai VIU ABK terendah
terjadi pada musim barat sehingga diperlukan pengurangan input pada periode
ini sebesar 9,82%. Sedangkan hasil perhitungan nilai VIU dengan multi output,
menunjukkan bahwa pada musim timur, peralihan I dan II memiliki nilai VIU
upaya HOP dan BBM antara 0,99-1 (mendekati optimal) dan hanya musim barat
memiliki nilai 0,978 sehingga pada periode ini diperlukan perbaikan VIU upaya
99
HOP dan BBM sebesar 1,46 %. Untuk nilai VIU ABK pada keempat musim
dibawah 0,99 sehingga pada keempat musim tersebut diperlukan pengurangan
input. Secara signifikan, nilai VIU ABK terendah terjadi pada musim barat dan
diperlukan perbaikan VIU ABK sebesar 5,23%.
6.5 Kapasitas Penangkapan Armada Payang
Hasil perhitungan kapasitas penangkapan armada payang PPN Sungailiat,
menunjukkan bahwa nilai CU multi output lebih baik (mendekati optimal) di
banding nilai CU single output baik total maupun per musim. Secara total terjadi
kenaikan rata-rata nilai CU sebesar 4,48% dari 0,894 (single output) menjadi
0,934 (multi output). Akan tetapi rata-rata nilai CU masih kurang dari satu yang
berarti kapasitas penangkapan payang PPN Sungailiat masih tidak optimal. Oleh
karena itu, diperlukan perbaikan kapasitas payang menjadi optimal dengan cara
mengurangi input penangkapan khususnya VIU upaya HOP, BBM dan ABK.
Hasil perhitungan nilai VIU dengan single dan multi output, menunjukkan
bahwa secara total nila i VIU upaya HOP dan BBM sebesar 0,98 baik single
ouput maupun multi ouput, tetapi nilai VIU tersebut masih kurang dari satu
berarti diduga perikanan payang PPN Sungailiat mengalami kapasitas berlebih.
Oleh karena itu, diperlukan pengurangan VIU upaya HOP dan BBM dengan
mengurangi sebesar 2,76% (single ouput) dan sebesar 4,41% (multi ouput).
Sedangkan nilai VIU ABK sebesar 0,95 (single ouput) dan 0,97 (multi ouput)
juga masih kurang dari satu, sehingga diperlukan perbaikan VIU ABK dengan
mengurangi sebesar 9,55% (single ouput) dan sebesar 4,01% (multi ouput).
Perbandingan relatif tingkat kapasitas pemanfaatan armada payang
menurut musim, hasil perhitungan single output diperoleh rata-rata nilai CU
antara 0.86 (musim peralihan II) hingga 0,95 (musim timur) kurang dari satu.
Begitupula hasil perhitungan dengan multi ouput pada keempat musim diperoleh
rata-rata nilai CU antara 0,88 (musim peralihan II) hingga 0,97 (musim timur)
kurang dari satu. Hal ini diduga pada musim timur merupakan puncak musim
ikan target payang (lemuru, tembang dan selar). Hasil analisis IMP terhadap ikan
lemuru, tembang dan selar, menunjukkan musim ikan lemuru dan tembang mulai
terjadi pada awal peralihan I (Maret-April) dan ikan selar musim timur (Juni),
100
sedangkan puncaknya ikan lemuru dan tembang pada musim timur (Mei hingga
Juni) dan ikan selar pada musim timur dan peralihan II (Agustus-September)
dengan nilai IMP diatas 100. Kondisi ini direspon oleh nelayan payang dengan
mengoperasikan seluruh kemampuan armada penangkapan. Sementara itu, pada
musim peralihan II (September-Oktober) hasil tangkapan tembang dan lemuru
mulai menurun seiring berakhirnya puncak musim ikan tersebut (Nilai IMP
<100) dan hanya bergantung pada musim ikan selar (Juni-Nopember). Akan
tetapi hasil tangkapan nelayan payang pada periode ini tidak sesuai dengan
jumlah upaya tangkap (jumlahnya sama dengan musim timur), sehingga upaya
penangkapan menjadi berlebih dan berimplikasi pada penggunaan input variabel
(VIU) secara tidak efisien. Agar kapasitas pemanfaatan payang menjadi optimal
diperlukan perbaikan VIU dengan cara mengurangi VIU (upaya HOP, BBM dan
ABK) yang diduga berlebih.
Hasil perhitungan nilai VIU dengan single ouput berdasarkan musim,
menunjukkan bahwa pada musim timur rata-rata nilai VIU upaya HOP dan BBM
bernilai satu (optimal). Sedangkan rata-rata nilai VIU terendah terjadi pada
musim barat dengan nilai 0,97 dengan proyeksi perbaikan sebesar 3,45%. Untuk
keempat musim nilai VIU ABK dibawah 0,97 sehingga pada keempat musim
tersebut diperlukan pengurangan input, tetapi pengurangan input ABK yang
signifikan terjadi pada musim peralihan II sebesar 13,65%. Sedangkan hasil
perhitungan multi output,
VIU upaya HOP dan BBM optimal terjadi pada
musim timur dengan nilai satu. Rata-rata nilai VIU terendah terjadi pada musim
peralihan I dengan nilai 0,95 dengan proyeksi perbaikan sebesar 7,53%. Nilai
VIU ABK keempat musim dibawah 0,99 sehingga pada keempat musim tersebut
diperlukan pengurangan input, tetapi pengurangan input ABK yang paling
signifikan terjadi pada musim peralihan I sebesar 8,36%.
6.6 Kapasitas Penangkapan Armada Mini Purse seine
Hasil perhitungan kapasitas penangkapan dengan single dan multi output
pada armada mini purse seine, menunjukkan bahwa nilai CU multi output lebih
baik (mendekati optimal) di banding nilai CU single output baik total maupun
per musim. Secara total terjadi kenaikan rata-rata nilai sebesar 2,73% CU dari
101
0,95 (single output) menjadi 0,97 (multi output). Secara total rata-rata nilai CU
diatas 0,95 berarti tingkat kapasitas pemanfaatan mini purse seine telah
mendekati nilai satu (optimal).
Hasil perhitungan dengan single dan multi output secara total, nilai VIU
upaya HOP, BBM dan ABK mencapai 0,98 hingga 1 (optimal). Artinya
penggunaan input upaya HOP dan BBM pada armada kapal mini purse seine
telah sesuai kebutuhan. Meskipun ada nilai VIU<1 sangat kecil (penggunaan
input berlebih kurang dari 2%) sehingga nilainya tidak signifikan, gejala ini
bukan disebabkan karena kelebihan input yang digunakan tetapi disebabkan
ketidak-efisienan dalam menggunakan input (Wiyono dan Wahju 2006).
Perbandingan relatif tingkat kapasitas pemanfaatan armada mini purse
seine PPN Sungailiat berdasarkan musim, menunjukkan hasil perhitungan single
output pada empat musim diperoleh rata-rata nilai CU antara 0.91 (musim
peralihan II) hingga 0,99 (musim peralihan I). Sedangkan hasil perhitungan
dengan multi ouput diperoleh rata-rata nilai CU antara 0,95 (musim peralihan II)
hingga 1 (musim peralihan I). Hasil perhitungan nilai VIU berdasarkan musim
dengan single ouput, menunjukkan bahwa pada musim barat, peralihan I dan II
memiliki rata-rata nilai VIU upaya HOP dan BBM antara 0,99-1 (dapat
dikatakan sudah optimal). Begitu pula nilai VIU upaya penangkapan dan BBM
multi output,
pada keempat musim memiliki nilai antara 0,99-1. Artinya
penggunaan input target mencapai 99% hingga 100% dari kapasitas input aktual.
Sedangkan yang perlu perbaikan hanya VIU ABK pada musim peralihan II
dengan nilai 0,933 (single output) dan 0,955 (multi output) dengan pengurangan
sebesar 19,43% (single output) dan 7,92% (multi output).
6.7 Sintesis Penggunaan DEA Multi dan Single Output
Untuk mendukung pengelolaan kapasitas penangkapan ikan berkelanjutan
diperlukan pemahaman tingkat kapasitas penangkapan ikan di suatu perairan.
Pendekatan untuk mengestimasi tingkat kapasitas tersebut adalah data
envelopment Analysis (DEA). Pengukuran kapasitas penangkapan (CU)
menggunakan DEA masih relatif baru di bidang perikanan dan masih terbuka
bagi pengembangan metoda tersebut (Tingley et al. 2002). Model DEA untuk
102
mengukur kapasitas penangkapan ikan disarankan untuk perikanan oleh Kirley
dan Squires (1999).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penggunaan DEA cukup
praktis dan sesuai untuk mengukur kapasitas pemanfaatan pada perikanan yang
bersifat multi-spesies. Hal ini disebabkan, DEA mampu mengakomodasikan
multiple output (beragam spesies ikan yang ditangkap) dan multi input (input
tetap: ukuran kapal dan input variabel: upaya tangkap, ABK), nilai nol output
dan input serta output yang tak bebas. Disamping itu, metode DEA dapat mampu
menduga kapasitas dibawah kendala seperti waktu penangkapan dan daerah
penangkapan. Disisi lainnya, DEA juga mampu menentukan tingkat potensial
maksimum dari penangkapan atau variabel input secara umum dan rata-rata
kapasitas penangkapan optimal.
Nilai CU hasil perhitungan DEA multi output lebih baik di banding nilai
CU dengan perhitungan single output baik total maupun per musim. Pernyataan
ini didukung oleh Tingley et al. (2002), menyatakan bahwa pengukuran CU dan
TE dengan multi output lebih akurat dibandingkan dengan pengukuran single
output. Oleh karena itu, metode DEA multi output lebih tepat diterapkan pada
perikanan yang bersifat multi spesies dan multi gear. Namun aplikasi multi
output sering terkendala dalam penggunaan input dan output yang kompleks,
sehingga beberapa penelitian terdahulu cenderung menggunakan perhitungan
single input.
Dalam penelitian ini, kendala tersebut dapat diatasi dengan
mengaplikasikan software DEAP versi 2.1 (Coelli et al 2005). Hasil
perhitungannya dapat mengukur tingkat efisiensi CU pada tingkat per individu
(per kapal). Namun software DEAP ini masih berbasis direktory operting system
(DOS) sehingga masih kurang user prendly.
Download