17 BAB II TINJAUNAN TEORITIS A. Bahan Ajar 1. Pengertian Bahan

advertisement
17
BAB II
TINJAUNAN TEORITIS
A. Bahan Ajar
1.
Pengertian Bahan Ajar
Kata “bahan ajar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 87)
berarti “Segala sesuatu yang dapat dipakai atau dijadikan pedoman atau pegangan
untuk mengajar”. Pedoman atau pegangan untuk mengajar ini adalah acuan
kompetensi belajar untuk melaksanakan proses pembelajaran/perkuliahan
siswa/mahasiswa sehingga tujuan pembelajaran/perkuliahan tersebut akan tercapai
maksimal sesuai kurikulum dan silabus yang berlaku.
Bahan ajar merupakan bagian dari sumber belajar. Bahan ajar berisi
tentang bahan-bahan atau materi-materi perkuliahan yang digunakan oleh guru,
dosen dan peserta didik dalam proses perkuliahan atau pembelajaran, baik itu
bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Berdasarkan strukturnya, bahan ajar
mempunyai struktur dan urutan yang sistematis, menjelaskan tujuan yang akan
dicapai, serta dapat membantu peserta didik untuk dapat belajar mandiri.
Kementrian Pendidikan Nasional (2010 : 7) dalam website Dikmenjur
dikemukakan pengertian bahwa:
Bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran
(teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok
utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran. Dengan bahan ajar memungkinkan peserta didik dapat
mempelajari suatu kompetensi atau KD secara runtut dan sistematis
sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara
utuh dan terpadu.
18
Selain itu, bahan ajar menurut National Center for Vocational Education
Research (1998) dalam Sunardjo (2010) adalah segala bentuk bahan yang
dimanfaatkan untuk membantu pendidik (guru, dosen, dan lain-lain) dalam
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar atau perkuliahan di kelas. Bahan ajar
dapat bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Bahan ajar merupakan salah satu
faktor eksternal yang memperkuat motivasi belajar.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar memiliki peran
dalam proses pembelajaran yang diantaranya:
a.
Sebagai pedoman bagi pendidik untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran,
dan sebagai acuan kompetensi yang harus disampaikan kepada peserta didik.
b.
Sebagai pedoman bagi peserta didik untuk dapat mencapai tujuan
pembelajaran, dan sebagai acuan kompetensi yang seharusnya dipelajari.
c.
Sebagai alat evaluasi dalam proses pembelajaran.
Bahan ajar berbeda dengan buku teks. Perbedaan tersebut terletak pada
orientasi dan pendekatan. Dalam struktur penyusunan buku teks biasanya
berdasarkan pada struktur dan urutan bidang ilmu. Buku teks tidak dirancang
untuk belajar mandiri peserta didik, dengan demikian penggunaan buku teks
memerlukan pendamping yang berperan sebagai penerjemah substansi materi dari
buku tersebut kepada peserta didik.
Secara rinci perbedaan antara buku teks dan bahan ajar adalah sebagai
berikut menurut Lewis dan Paine (1985) dalam Zaenudin (2005: 16-17):
19
Buku Teks
Bahan Ajar
1. mengasumsikan minat dari pembaca
1. menimbulkan minat dari pembaca
2. ditulis untuk pengajar, dosen, dan 2.
guru
ditulis
dan
dirancang
untuk
digunakan siswa/mahasiswa
3.dirancang untuk dipasarkan secara 3. tidak dipasarkan secara umum
luas
4.
4. menjelaskan tujuan instruksional
belum
tentu
menjelaskan 5. disusun berdasarkan pola "belajar
instruksional
5.
disusun
yang fleksibel"
berdasarkan
kebutuhan 6. strukturnya berdasarkan kebutuhan
siswa/mahasiswa
mahasiswa dan kompetensi akhir yang
6. struktur berdasarkan pada logika akan dicapai.
bidang ilmu (content oriented)
7. berfokus pada pemberian kesempatan
7. belum tentu memberikan latihan
bagi siswa/mahasiswa untuk berlatih
8. tidak mengantisipasi kesulitan belajar 8. mengakomodasi kesukaran belajar
siswa/mahasiswa
siswa/mahasiswa
9. belum tentu memberikan rangkuman.
9. selalu memberikan rangkuman
10. gaya penulisan (bahasanya) naratif 10.
gaya
penulisan
(bahasanya)
tetapi tidak komunikatif
komunikatif dan semi formal
11. sangat padat
11. kepadatan berdasarkan kebutuhan
12. dikemas untuk dijual secara umum
siswa/mahasiswa
13. tidak mempunyai mekanisme untuk 12. dikemas untuk digunakan dalam
mengumpulkan
pemakai
umpan
balik
dari instruksional
13.
mempunyai
mekanisme
untuk
20
14.
tidak
memberika
saran
cara mengumpulkan
mempelajari buku tersebut
umpan
balik
dari
siswa/mahasiswa
14.
memberikan
saran
bagaimana
mempelajari bahan ajar
Dari rincian di atas, dapat dipahami bahwa bahan ajar lebih bersifat
fleksibel sesuai kebutuhan siswa/mahasiswa. Fleksibilitas ini mempertimbangkan
dan
memperhatikan
hal-hal
yang
mencakup
karakteristik
sasaran
(siswa/mahasiswa) berdasarkan faktor lingkungan sosial budaya, geografis,
tahapan perkembangan siswa/mahasiswa, latar belakang keluarga, minat dan
kemampuan siswa/mahasiswa (intelektual, emosional, dan spiritual), hambatanhambatan dalam belajar, dan lain-lain. Bahan ajar pun memberikan intruksiintruksi latihan beserta umpan baliknya, sehingga bersifat lebih interaktif.
Sementara itu, buku ajar bersifat kaku, padat, dan disusun berdasarkan logika
ilmu, bukan berdasarkan kebutuhan siswa/mahasiswa. Bahan ajar bersifat
eksklusif, tidak disebarkan secara luas, sedangkan buku ajar bersifat terbuka,
disebarkan untuk dipergunakan secara luas.
Pembelajaran di kelas diarahkan untuk membelajarkan siswa/mahasiswa.
Pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan kompetensi tertentu yang telah
ditetapkan standarnya. Oleh karena itu, bahan ajar yang akan dibahas dan
dipergunakan harus menjadi perwujudan dari kompetensi-kompetensi yang akan
dicapai dan dikuasai siswa/mahasiswa. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Depdiknas (2006) mengenai bahan ajar, bahwa:
21
Bahan ajar (instructional materials) secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam
rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara
terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta,
konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Rusman,
2011: 7)
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa pembelajaran
dengan bahan ajar memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan kegiatan kelas seharihari. Bahan ajar sebagai perwujudan kompetensi pembelajaran berarti bahwa
bahan ajar merupakan komponen dari pembelajaran itu sendiri. Sebagai sebuah
komponen, tentu baik-buruknya bahan ajar mempengaruhi baik-buruknya suatu
pembelajaran.
Bahan ajar sebagai komponen pembelajaran tentu memiliki hubungan
keterkaitan dengan komponen pembelajaran lainnya, seperti kurikulum, silabus,
evaluasi, guru/dosen, siswa/mahasiswa, dan lain-lain. Bahan ajar sebagai
perwujudan kompetensi harus mengacu pada kurikulum dan silabus yang berlaku,
sehingga
apa
yang
harus
diajarkan
kepada dan
yang harus
dicapai
siswa/mahasiswa akan jelas dan terarah. Bahan ajar dikembangkan oleh
guru/dosen
dengan
mempertimbangkan
kemampuan
dan
kebutuhan
siswa/mahasiswa. Berdasarkan sifat bahan ajar yang fleksibel, isi dari bahan ajar
tentu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa/mahasiswa sendiri. Bahan ajar
dapat digunakan oleh siswa/mahasiswa untuk belajar mandiri, karena strukturnya
yang sistematis. Selain itu, peran bahan ajar sebagai pedoman dan pegangan
pembelajaran bagi guru/dosen menjadi sangat penting bagi kelancaran dan
kesuksesan pembelajaran.
22
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar
adalah komponen pembelajaran yang disusun secara sistematis berupa
seperangkat materi pembelajaran berisi kompetensi yang akan dikuasai
siswa/mahasiswa. Bahan ajar bersifat lebih eksklusif daripada buku ajar dan
berdasarkan
kebutuhan
siswa/mahasiswa.
Kualitas
bahan
ajar
dapat
mempengaruhi kualitas pembelajaran.
2.
Tujuan, Manfaat, dan Fungsi Bahan Ajar
Bahan ajar sebagai komponen pembelajaran memiliki peran penting dalam
proses belajar-mengajar. Guru atau dosen dalam melaksanakan tugasnya pada
pembelajaran akan terbantu dan terarah dengan bahan ajar. Tujuan penyusunan
bahan ajar, sesuai dengan pengertiannya, adalah:
a.
menyediakan
sumber
belajar
yang
memadai
sesuai
kebutuhan
siswa/mahasiswa;
b.
membantu siswa/mahasiswa memperoleh alternatif sumber belajar yang lebih
variatif dibandingkan dengan buku teks yang terkadang kaku dan sulit
diperoleh;
c.
mendorong siswa/mahasiswa aktif dalam melaksanakan pembelajaran, karena
bahan ajar dapat dijadikan pedoman bagi siswa/mahasiswa untuk belajar
mandiri.
d.
menciptakan kegiatan pembelajaran yang lebih menarik dan bervariatif.
Keempat tujuan ini pada dasarnya adalah sebagai alat dan cara untuk
mencapai kompetensi. Berdasarkan sifat-sifat bahan ajar, terdapat beberapa
23
manfaat yang dapat kita ambil. Secara umum, sifat bahan ajar berdasarkan
pengertian yang telah dibahas di atas adalah fleksibel, interaktif, dan mandiri.
Salah satu sifat bahan ajar adalah fleksibel. Fleksibilitas bahan ajar yang
dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa/mahasiswa, berdampak pada guru atau
dosen dalam memilih alternatif materi yang diperlukan, dan tidak terpaku pada
buku ajar yang lebih kaku serta tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan
siswa/mahasiswa. Manfaat yang dapat diambil adalah efisiensi dan efektivitas
pembelajaran yang lebih tinggi. Efisiensi yang dapat diambil dari bahan ajar
dibandingkan buku teks adalah karena buku teks terkadang sulit diperoleh,
misalnya karena harga yang kurang terjangkau siswa/mahasiswa, sulitnya
menemukan buku yang sesuai tuntutan kompetensi, dan lain-lain. Efektivitas
bahan ajar dapat dikaji dari segi penyusunan bahan ajar yang memang bertujuan
untuk disesuaikan dengan tuntutan kompetensi belajar sekaligus kebutuhan
siswa/mahasiswa. Secara otomatis, pembelajaran akan lebih terarah dan tepat
guna sesuai kondisi siswa/mahasiswa.
Meskipun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan penggunaan buku
teks secara luas. Bahan ajar dan buku teks sebagai sumber belajar tentu dapat
saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya sama-sama bertujuan
untuk membantu guru/dosen dalam melaksanakan pembelajaran. Tetapi, bahan
ajar bersifat lebih kaya dengan khasanah pengetahuan karena berasal dari banyak
referensi, seperti dari buku-buku teks, informasi aktual, hingga pengalaman
guru/dosen itu sendiri.
24
Selain manfaat yang dapat diambil dari fleksibilitasnya, bahan ajar pun
dapat bermanfaat dari segi interaktifnya. Buku teks yang disusun berdasarkan
logika ilmu terkadang kurang memberikan ruang gerak bagi siswa/mahasiswa
untuk mengembangkan pemahaman melalui interaksi yang lebih intens. Sehingga
pada akhirnya siswa/mahasiswa tetap memerlukan peran guru/dosen dalam
mengembangkan pemahaman mereka terhadap materi. Dengan digunakannya
bahan ajar, maka pembelajaran akan lebih kaya dengan informasi dan khasanah
pengetahuan disertai pengalaman-pengalaman tertentu. Guru/dosen didorong
untuk menyusun bahan ajar yang sesuai kebutuhan siswa/mahasiswa, sehingga
guru/dosen
harus
mampu
memahami
dan
mempertimbangkan
kondisi
siswa/mahasiswa yang bersangkutan. Penyusunan bahan ajar yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan siswa/mahasiswa ini mendorong pembelajaran
yang lebih interaktif antara guru/dosen dengan siswa/mahasiswa.
Sifat pembelajaran yang ditawarkan dari penggunaan bahan ajar adalah
proses belajar yang mandiri. Bahan ajar disusun sesuai dengan kompetensi dan
kebutuhan siswa/mahasiswa, selain itu diperkaya dengan referensi dan
pengalaman yang beragam. Tentunya, hal ini dapat dipandang bahwa dengan
mempelajari bahan ajar akan lebih mudah dilakukan daripada mempelajari
langsung buku-buku teks. Siswa/mahasiswa dapat belajar secara mandiri dengan
melakukan instruksi-instruksi dari bahan ajar. Hal ini akan memudahkan
guru/dosen dalam menyampaikan kompetensi belajar yang harus dipelajari.
Guru/dosen cukup memantau siswa/mahasiswa dalam pembelajaran dan
mengarahkan mereka.
25
Manfaat interaktif dan pembelajaran yang mandiri dari bahan ajar di sini
tidak kontradiktif. Pembelajaran yang mandiri tidak berarti bahwa interaksi antara
siswa/mahasiswa dengan guru/dosen berkurang. Interaksi siswa/mahasiswa
dengan guru/dosen justru lebih membangun dan efektif dibandingkan dengan
hanya menggunakan buku teks. Guru/dosen dapat mengarahkan siswa/mahasiswa
untuk belajar lebih mendalam dan memperkaya pengetahuan mereka dengan
berbagai referensi yang disajikan dalam bahan ajar. Selain itu, siswa/mahasiswa
yang mengalami kesukaran dalam pembelajaran akan dapat segera ditangani oleh
guru/dosen dengan tindakan-tindakan yang lebih terarah pada kompetensi yang
belum dikuasai siswa/mahasiswa yang bersangkutan.
Fungsi bahan ajar sesuai dengan pengertiannya ada tiga, yaitu:
a.
sebagai pedoman pembelajaran yang mengarahkan siswa/mahasiswa dan
guru/dosen dalam mempelajari kompetensi belajar;
b.
sebagai pegangan kompetensi yang harus dicapai siswa/mahasiswa;
c.
sebagai salah satu alat evaluasi hasil pembelajaran.
Fungsi bahan ajar sebagai pedoman pembelajaran tentu diarahkan sesuai
dengan kebutuhan siswa, sehingga aktivitas-aktivitas dalam pembelajaran
diarahkan pada pencapaian kompetensi belajar. Fungsi pegangan kompetensi yang
harus dicapai siswa berarti bahwa bahan ajar merupakan perwujudan kompetensi
yang harus dicapai dalam akhir proses pembelajaran. Bahan ajar pun dapat
berfungsi sebagai alat evaluasi. Hal ini dikarenakan bahan ajar merupakan
perwujudan kompetensi belajar itu sendiri, sehingga secara otomatis hasil belajar
siswa/mahasiswa dapat dipantau langsung dari aktivitas pembelajaran. Evaluasi
26
ini pun dibutuhkan dalam menemukan siswa/mahasiswa yang menemukan
kesukaran dalam pembelajaran dan menentukan kompetensi apa saja yang sukar
dipelajari tersebut. Dengan begitu, efektivitas penggunaan bahan ajar lebih tinggi
daripada buku teks.
3.
Bentuk-bentuk Bahan Ajar
Bahan ajar sebagai komponen pembelajaran harus memuat kompetensi dan
tujuan pembelajaran, petunjuk belajar, informasi, latihan, petunjuk kerja, dan
penilaian. Bahan ajar dapat dikembangkan lanjut oleh guru/dosen sesuai
kebutuhan. Bahan ajar dapat dibuat dalam berbagai bentuk, baik tertulis maupun
tidak tertulis.
Bahan ajar memiliki komponen-komponen yang berisi susunan topik
beserta sub topik tertentu. Topik dan sub topik bahan ajar tersebut disusun
berdasarkan aturan atau sekuen tertentu. Menurut Zaenudin (2005: 16-17) secara
intisari ada beberapa cara untuk menyusun sekuen bahan ajar adalah: 1) sekuen
kronologis; 2) sekuen kausal; 3) sekuen struktural; 4) sekuen logis; 5) sekuen
spiral; dan 6) sekuen berdasarkan hierarki belajar.
Sekuen kronologis digunakan untuk menyusun topik dan sub topik bahan
ajar yang memiliki urutan kronologis waktu. Sekuen kronologis umum dipakai
dalam mengembangkan bahan ajar materi peristiwa sejarah. Sekuen kausal
digunakan untuk bahan ajar yang memiliki urutan sebab akibat. Contoh sekuen
kausal adalah materi elektromagnet, sebuah batang besi akan bersifat magnetis
karena dialiri arus listrik. Sekuen struktural digunakan pada bahan ajar yang
27
memiliki karakteristik struktural tertentu. Contoh sekuen struktural adalah materi
struktur tumbuhan yang terdiri dari daun, batang, dan akar. Sekuen logis
digunakan pada bahan ajar yang materinya bersifat menanamkan dahulu konsep
konkrit lalu beranjak ke konsep abstrak. Contohnya materi pengenalan konsep
segitiga, berlanjut dengan Teorema Phytagoras, lalu diikuti dengan trigonometri.
Sekuen spiral adalah bahan ajar yang dipusatkan pada topik yang diperdalam dan
diperluas. Contohnya materi musik ansambel yang diperjelas melalui sub topik
tentang vokal, alat musik, notasi, dan lain-lain. Sekuen hierarki belajar adalah
bahan ajar dengan prosedur tujuan khusus yang utama dianalisa dan dicari suatu
hierarki atau urutan bahan ajar untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya materi
interaksi benda-benda bermuatan listrik perlu dilakukan analisis yang didasarkan
pada hierarki, yaitu interaksi dua benda bermuatan listrik, hukum Coloumb, dan
kuat medan listrik.
Bahan ajar tersebut dapat berbentuk bahan cetak, audio, visual, audiovisual, dan multimedia. Bahan ajar cetak misalnya berupa handout, buku, modul,
lembar kerja, dan lain-lain. Bahan ajar audio misalnya melalui radio, kaset, MP3,
CD audio, dan lain-lain. Bahan ajar visual misalnya gambar, model, maket, dan
lain-lain. Bahan ajar audio-visual misalnya film, video, dan lain-lain. Bahan ajar
multimedia dapat berupa internet, CD interaktif, dan lain-lain.
Lembar kerja adalah lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan
siswa/mahasiswa. Tugas tersebut dapat berupa teori maupun praktek. Adapun
modul adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasanbatasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik
28
untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Modul dirancang untuk
siswa/mahasiswa agar mampu belajar mandiri. Handout berisi kompetensikompetensi
yang harus dicapai
siswa/mahasiswa beserta bentuk-bentuk
pembahasannya. Handout lebih bersifat sebagai pedoman belajar sehingga
pembelajaran diharapkan terarah pada kompetensi tertentu.
Bahan ajar berupa media seperti audio, visual, audio-visual, dan
multimedia merupakan bentuk penggunaan media pembelajaran. Dengan bahan
ajar yang memberdayakan media, diharapkan pembelajaran lebih menarik minat
siswa/mahasiswa dalam belajar. Bila minat belajar meningkat, maka motivasi
yang diharapkan tumbuh melalui bahan ajar dapat tercapai.
4.
Karakteristik dan Penggunaan Bahan Ajar Seni Musik
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan manusia. Salah satu jenis
kesenian tersebut adalah seni musik. Seni musik berhubungan dengan ungkapan
rasa keindahan dalam bentuk susunan bunyi yang membentuk karya musik.
Berikut ini pengertian seni musik menurut beberapa ahli (dalam Prasetyo, 2011:
3-4).
Seni musik adalah ungkapan rasa indah manusia dalam bentuk suatu
konsep pemikiran yang bulat, dalam wujud nada-nada atau bunyi-bunyi
lainnya yang mengandung ritme dan harmoni, serta mempunyai bentuk
dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri atau manusia lain dalam
lingkungan hidupnya, sehingga dapat dimengerti dan dinikmatinya.
(Sudarsono, 1992: 1).
Suatu hasil karya dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur
musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu, dan
ekspresi. (Rien, 1999: 1)
29
Suatu karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur
musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur lagu, dan
ekspresi sebagai satu kesatuan. Lagu atau komposisi musik baru itu
merupakan hasil karya seni jika diperdengarkan dengan menggunakan
suara (nyanyian) atau dengan alat-alat musik. (Jamalus, 1991: 1)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa seni
musik adalah salah satu jenis seni bunyi yang berbentuk lagu atau musik yang
penciptaan dan pengungkapannya melalui unsur-unsur musik menjadi sebuah
karya musik yang dapat didengar dan dinikmati. Seni musik sebagai salah satu
jenis seni tentu memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan seni rupa,
seni sastra, dan lain-lain.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006: 611) dijelaskan
bahwa “Pendidikan seni musik bersifat multilingual, multidimensional, dan
multikultural”.
Multilingual
berarti
bahwa
pengembangan
kemampuan
mengekspresikan diri secara kreatif dilakukan dengan berbagai cara dan media
seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya.
Multidimensional berarti bahwa pengembangan kompetensi yang beragam
meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan
kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika,
kinestetika,
dan
etika.
Multikultural
berarti
bahwa
pendidikan
seni
menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam
budaya Nusantara dan Mancanegara. Sikap ini mewujudkan sikap demokratis
30
warga negara dan toleransi dalam menghadapi kondisi masyarakat yang
multikultural.
Pendidikan
seni
musik
merupakan
pendidikan
yang
membantu
pengungkapan ide/gagasan seseorang yang ditimbulkan dari gejala lingkungan
dengan mempergunakan unsur-unsur musik. Dengan pendidikan musik,
diharapkan pembelajar dapat membentuk suatu karya musik atau apresiasi
terhadap karya musik yang tidak terlepas dari rasa keindahan. Pendidikan seni
musik lebih menekankan pada pemberian pengalaman seni musik, yang nantinya
akan melahirkan kemampuan untuk memanfaatkan seni musik pada kehidupan
sehari-hari. Pendidikan seni musik penting sebagai penanaman rasa dan
pengalaman estetik bagi pembelajar dalam bentuk ekspresi dan apresiasi.
Seni musik mempunyai peranan yang penting. Pembelajar yang
berpartisipasi dalam kegiatan seni musik selain dapat mengembangkan kreativitas,
musik
juga
dapat
membantu
perkembangan
individu,
mengembangkan
sensitivitas, membangun rasa keindahan, mengungkapkan ekspresi, memberikan
tantangan, melatih disiplin dan mengenalkan pada sejarah budaya bangsa.
Seorang pembelajar tingkat peguruan tinggi tentu memiliki kematangan
dan kemampuan yang lebih dibandingkan pembelajar pada tingkat dasar ataupun
menengah. Dalam hal ini, bahan ajar yang harus mereka pelajari pun harus sesuai
dengan kondisi perkembangan mereka.
Bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran seni musik di peguruan
tinggi mewujudkan kompetensi-kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa.
Secara umum, kompetensi yang harus dicapai tersebut dibagi menjadi dua garis
31
besar, yaitu ekspresi dan apresiasi. Dengan ekspresi, mahasiswa dididik dalam
mengungkapkan gagasan seninya dalam bentuk lagu atau musik. Dalam
berekspresi dituntut untuk dapat berkreasi. Apresiasi mendidik siswa dalam
memperhatikan, mengamati, dan menilai karya musik sehingga mengasah
kemampuan dan keterampilan mendengar musikal. Kedua kompetensi ini tidak
lepas dari keterampilan vokal, memainkan alat musik, dan apresiasi musik.
Kompetensi multidimensi yang diharapkan KTSP seperti pembahsan
sebelumnya adalah konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi),
apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika,
logika, kinestetika, dan etika. Unsur konsepsi dapat tercapai melalui bahan ajar
yang disusun lengkap berisi keterampilan pengetahuan, pemahaman, dan analisis
musik. Unsur apresiasi dapat tercapai melalui bahan ajar yang mendorong
mahasiswa untuk berlatih mengapresiasi karya musik dengan memperhatikan
etika dan cara mengapresiasi yang benar. Unsur kreasi merupakan unsur yang
paling dominan, dimana mahasiswa didorong melalui bahan ajar yang interaktif
dalam mengemukakan gagasan dan mencurahkannya ke dalam karya seni musik,
baik vokal, instrumen, atau gabungan keduanya. Kreativitas musik ini dapat
diwujudkan dalam bentuk berupa latihan, baik individual maupun kelompok.
Bahan ajar yang dapat digunakan misalnya bahan ajar cetak dan media.
Pemilihan dan penggunaan jenis bahan ajar disesuaikan dengan materi yang akan
disampaikan dan kondisi mahasiswa. Kebutuhan beberapa materi berbeda dengan
materi yang lainnya. Misalnya materi apresiasi lebih membutuhkan media audio
daripada materi konsep.
32
Jika materi yang akan disampaikan berkaitan dengan keterampilan
apresiasi, maka bahan ajar yang cocok adalah melalui media seperti audio (MP3,
CD audio, kaset) atau audio-visual (video, film). Jika materi yang akan
disampaikan berkaitan dengan konsepsi, maka yang tepat digunakan adalah bahan
ajar cetak (modul, lembar kerja) dan media visual (gambar, foto, maket, model).
Materi kreasi musik dapat dilakukan melalui penanaman konsep beserta latihanlatihan yang mendukung. Misalnya melalui bahan ajar cetak berupa lembar kerja
dan modul. Lembar kerja disusun dengan memasukkan berbagai bentuk latihanlatihan musik, seperti latihan vokal, latihan memainkan musik, dan lain-lain.
Modul dapat diisi dengan petunjuk menggunakan alat musik tertentu, misalnya
rekorder, gitar, piano, dan lain-lain. Dapat pula memasukkan petunjuk mengenai
latihan vokal yang benar beserta konsepnya, konsep membaca notasi dan istilahistilah musik serta praktek penggunaannya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahan ajar adalah bahwa
bahan ajar seni musik dapat sekaligus berfungsi sebagai alat evaluasi. Meskipun
alat evaluasi lain berupa tes dan nontes dapat digunakan, tetapi proses
pembelajaran pun perlu dievaluasi. Hal ini perlu diperhatikan karena karakteristik
dan perkembangan setiap mahasiswa berbeda dalam tingkat kemampuan
musikalnya. Untuk memantau perkembangan tersebut, perlu dilakukan evaluasi
rutin setiap pertemuan. Supaya lebih efektif dan efisien, evaluasi tersebut dapat
dilakukan melalui bahan ajar. Misalnya dengan memberikan lembar kerja berupa
latihan menggunakan alat musik, lalu keterampilan yang didapat mahasiswa
setelah latihan diuji oleh dosen, baik individu maupun kelompok.
33
Perlunya evaluasi dalam setiap pertemuan adalah untuk memperhatikan
kesukaran apa yang ditemui mahasiswa dalam proses pembelajaran. Dengan itu,
dosen dapat mempertimbangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa yang mengalami kesukaran tersebut.
Penggunaan bahan ajar ditekankan untuk bervariasi pada setiap pertemuan.
Hal ini mendorong mahasiswa agar tidak monoton mempelajari materi melalui
bahan ajar yang sama. Penggunaan buku teks pun dapat dilakukan, selama relevan
dengan pembelajaran. Meskipun demikian, tidak banyak buku teks yang mampu
menghadirkan media yang dibutuhkan, sehingga dosen harus tetap melengkapi
buku teks dengan bahan ajar yang lainnya.
B. SOLFEGGIO
1.
Pengertian Solfeggio
Solfeggio adalah salah satu cara untuk melatih kemampuan musik.
Solfeggio dapat diartikan suatu kegiatan mengidentifikasi kepekaan musikal, baik
itu kemampuan mengidentifikasi ritmik maupun kemampuan mengidentifikasi
melodi. Kodijat (1983) dalam Muttaqin dan Kustap (2008: 188) dalam kamusnya
memasukkan entri solfeggio dari bahasa Inggris dan solfege yang mengandung
dua pengertian. Keduanya berarti ”Latihan vokal tanpa perkataan, hanya dengan
suku kata terbuka” dan ”Latihan pendengaran yang sistematis”. Menurut
Kristianto yang dikutip oleh Kustaf (2005: 99) dalam Muttaqin dan Kustap (2008:
188), mengartikan solfeggio yaitu:
34
Latihan untuk vokal. Bisa dengan menggunakan satu bunyi vokal (semisal
”a” atau ”o”), bisa dengan solmisasi, bisa pula dengan kata-kata.
Belakangan istilah ini meluas untuk pelatihan dengan menggunakan vokal
namun bertujuan untuk melatih pengenalan not, interval, birama, hingga
pola ritme.
Menurut Stanly yang dikutip oleh Sumaryanto (2005: 40) solfeggio adalah
istilah yang mengacu pada menyanyikan tangga nada, interval, dan latihan-latihan
melodi dengan sillaby zolmization yaitu, menyanyikan nada musik dengan
menggunakan suku kata. Dalam perkembangannya, solfeggio tidak hanya
digunakan untuk latihan mendengar musik dan menyanyikannya, tetapi juga untuk
melatih membaca notasi nada.
Solfeggio umumnya membahas tangga nada, hubungan interval nada, ritme,
susunan nada dalam kord, dan notasi. Solfeggio menuntun mahasiswa dalam
menguasai pendengaran musikal, pembunyian nada, sekaligus pembacaan notasi.
Sejak lahir, manusia normal sudah dibekali kemampuan untuk mendengar
dan merespon rangsangan berupa bunyi. Musik sebagai salah satu bentuk bunyi
yang beraturan tentunya perlu direspon dahulu dengan kegiatan mendengar untuk
menghasilkan reaksi terhadap musik. Tanpa kegiatan mendengar, manusia tidak
dapat memberikan reaksi terhadap rangsangan berupa bunyi dan musik (Jamalus,
1981: 49). Oleh karena itu, pembelajaran solfeggio bertujuan untuk melatih
penguasaan kemampuan mengidentifikasi nada musikal yang didengar secara
spontan.
35
2.
Jenis-jenis Latihan Solfeggio
Dalam pembelajaran solfeggio, pelatihan mengidentifikasi kepekaan
musikal ditekankan pada tiga aspek, yaitu: (1) kemampuan mendengar atau Ear
Training; (2) kemampuan membaca notasi atau Sight Reading; (3) kemampuan
menyanyikan atau Sight Singing. Berikut pemahaman tentang tiga aspek tersebut.
a.
Ear Training
Ear training adalah latihan untuk mengasah kepekaan indra pendengaran
terhadap bunyi musik. Bunyi musik yang digunakan dapat berupa ritmik atau pun
melodi. Menurut Kodijat, “Ear training adalah latihan pendengaran secara
sistematis, latihan vokal tanpa perkataan dan hanya dengan suku kata terbuka”
(1983: 68). Ear training dilakukan secara bertahap dan bertujuan agar mahasiswa
mempunyai bayangan atau persepsi terhadap bunyi atau musik.
Latihan pendengaran atau ear training ini merupakan latihan yang sangat
mendasar dalam pembelajaran musik. Dengan latihan tersebut seorang mahasiswa
akan mendapat mengembangkan potensi sekaligus meningkatkan kemampuan
musikalnya. Dalam prosesnya latihan pendengaran ini dilakukan dengan cara
menirukan kembali bunyi yang didengar oleh mahasiswa. Bunyi tersebut dapat
berupa nada, ritmik, irama atau kord.
Menurut Florentinus (1997:62) yang dikutip oleh Mumpuni, membagi
kemampuan mendengar dalam tiga indikator kemampuan, yaitu:
1) kemampuan mendengar dan mengingat ritme/irama, menuliskan
sertamenyuarakan kembali, 2) kemampuan mendengar dan mengingat
melodi/rangkaian nada, menuliskan serta menyuarakan kembali; dan 3)
kemampuan mendengar dan mengingat kord/keselarasan gabungan nada.
36
Latihan pendengaran atau ear training pada umumnya dilakukan dengan
cara mendiktekan nada yang dinyanyikan oleh guru kemudian ditirukan oleh
mahasiswa. Nada yang didiktekan tersebut dapat berupa melodi, kord, atau ritme.
Latihan pedengaran ini membutuhkan konsentrasi sungguh-sungguh agar kesan
musik dapat dimengerti. Diharapkan setelah melakukan ear training ini secara
rutin dan berulang-ulang, kemampuan yang didapatkan oleh mahasiswa dapat
dijadikan dasar bagi tahap pelajaran membaca notasi (sight reading).
Perlunya latihan pendengaran yang berulang-ulang dan rutin untuk
mencapai keterampilan musikal sangat penting. Latihan pendengaran yang
dilakukan berulang-ulang akan memberikan kesan musikal bagi mahasiswa dan
mngaktifkan daya ingatnya dalam mengingat nada atau bunyi. Menurut Benward
dalam Sumaryanto (2001: 35), kemampuan pendengaran merupakan gabungan
dari faktor kebiasaan dan pembawaan. Faktor pembawaan tentu bersifat internal
dari siswa itu sendiri berupa bakat musikalitas, sementara faktor kebiasaan
didapat dari latihan pendengaran yang dilakukan berulang-ulang. Perpaduan dari
kedua faktor ini diharapkan dapat membentuk kemampuan mendengar musikal
yang baik.
Supaya mahasiswa dapat menyanyikan sebuah lagu dengan nada, ritme,
dan irama yang benar, maka mahasiswa perlu dididik untuk terbiasa mendengar
nada, ritme, dan irama yang benar melalui latihan pendengaran. Kemampuan
mahasiswa tersebut dapat dipahami sebagai kepekaannya menangkap interval
nada, tempo ritme, dan ingatan melodi yang tepat.
37
b.
Sight Reading
Berbekal kemampuan dasar mendengar yang baik, mahasiswa didorong
untuk menambah kemampuannya lagi dengan kemampuan membaca notasi atau
sight reading. Sight reading atau kemampuan membaca notasi menurut Stanley
yang dikutip oleh Sumaryanto (2001: 31-33) adalah “... membaca not tanpa
persiapan atau kesanggupan sekaligus untuk membaca dan memainkan notasi
musik yang belum pernah dikenal sebelumnya (sering disebut dengan istilah
prima vista)”.
Kemampuan sight reading mendorong mahasiswa untuk menambah
pengetahuannya tentang istilah-istilah dan simbol-simbol musik. Hal ini akan
membawa mahasiswa dalam menemukan hal-hal baru dalam dunia musik.
Diharapkan mahasiswa dapat menikmati musik dan dapat memberikan penyajian
musik yang dapat dinikmati hingga mahir dalam bermusik.
Florentinus membagi kemampuan membaca not (sight reading) ke dalam
tiga indikator, yaitu kemampuan membaca ritme, kemampuan membaca melodi,
dan kemampuan membaca kord. Ketiga indikator ini dapat mewakili sedalam apa
kemampuan mahasiswa dalam membaca not.
Kemampuan membaca ritme adalah kemampuan mahasiswa dalam
merespon irama dan cepat lambat bunyi. Kemampuan membaca melodi adalah
kemampuan mahasiswa dalam memahami interval dan loncatan nada.
Kemampuan membaca kord adalah kemampuan mahasiswa dalam merespon
keselarasan gabungan nada.
38
c.
Sight Singing
Sight singing adalah latihan menyanyikan notasi nada sesuai dengan
melodi. Sight singing dilakukan secara individual melalui latihan vokal dan
pengungkapan nada yang benar melalui suara. Perlu dicatat, mahasiswa dalam
latihan menyanyikan notasi ini tidak melalui persiapan sebelumnya, sehingga
mahasiswa harus terampil dulu dalam membaca notasi.
Keterampilan yang diasah dalam sight singing adalah kemampuan
menyanyikan nada untuk mengubah notasi menjadi suara vokal. Keterampilan
mengubah notasi menjadi suara ini tanpa dilakukan latihan ataupun persiapan
sebelumnya.
Florentinus membagi kemampuan sight singing ke dalam tiga indikator,
yaitu “kemampuan menyanyikan melodi atau rangkaian nada, kemampuan
menyanyikan interval nada, dan kemampuan menyanyikan tangga nada”.
Kemampuan menyanyikan melodi diartikan sebagai kemampuan mahasiswa
dalam menyanyikan melodi yang tepat sesuai nada yang dicantumkan dalam
notasi. Kemampuan menyanyikan interval nada adalah kemampuan mahasiswa
dalam menyanyikan rangkaian nada dengan interval bunyi nada yang tepat.
Kemampuan
menyanyikan
tangga
nada
adalah
kemampuan
mahasiswa
menyanyikan nada sesuai dengan tangga nada yang digunakan dalam notasi.
Terdapat dua sistem yang dapat digunakan dalam latihan sight singing,
yaitu sistem fixed do dan sistem movable do. Berikut ini penjelasan mengani
kedua sistem tersebut.
39
1) Fixed Do
Fixed do atau nada do yang tetap adalah bentuk latihan yang menyanyikan
nada-nada seperti apa adanya. Tangga nada C mayor menjadi patokan pengucapan
nada, dimana nada C tetap dinyanyikan sebagai do, meskipun dalam tangga nada
selain tangga nada C mayor. Misalnya latihan vokal dalam tangga nada F mayor
(1 mol) maka nada F tidak dilafalkan dan dibunyikan sebagai do, tetapi tetap
dilafalkan dan dibunyikan sebagai fa.
2) Movable Do
Movable do atau nada do yang berubah-ubah adalah bentuk latihan yang
menyanyikan nada-nada sesuai kedudukannya dalam tangga nada. Nada do
dilafalkan sesuai tangga nada yang digunakan. Jika tangga nada yang digunakan
adalah C mayor, maka nada C dilafalkan dan dibunyikan sebagai do, sedangkan
dalam tangga nada F mayor, maka nada F dilafalkan dan dibunyikan sebagai do.
Latihan solfeggio hendaknya dilakukan berulang-ulang, baik dalam
pertemuan kelas maupun belajar mandiri secara individual ataupun kelompok.
Meskipun latihan dilakukan secara kelompok, perlu ditekankan bahwa
keterampilan musikal yang dilatih adalah keterampilan individual.
Untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa dalam latihan solfeggio,
biasanya dapat digunakan cara tiru-tulis-baca. Cara meniru dilakukan untuk
mengetahui kemampuan musikal seseorang secara spontan. Cara menulis
dilakukan untuk mengetahui kemampuan dasar musikal seseorang dalam
menerjemahkan nada menjadi notasi. Cara membaca dilakukan untuk mengetahui
kemampuan mahasiswaa menerjemahkan notasi menjadi bunyi secara spontan.
40
C. TEORI-TEORI PEMBELAJARAN SOLFEGGIO
1.
Edwin Gordon
Edwin Gordon dalam Walter dalam Ghozali (2010: 43-48) mengemukakan
salah satu teori pembelajaran musik, yaitu teori Skill Learning Sequence atau
Rangkaian Kecakapan Belajar. Teori ini membagi kegiatan pembelajaran musik
ke dalam dua bagian, yaitu kegiatan Discrimination Learning (membedakan atau
mengelompokkan) dan Inference Learning (mengambil kesimpulan). Setiap
kegiatan ini dibagi kembali menjadi beberapa tahapan. Berikut ini penjelasan
mengenai teori tersebut.
a.
Discrimination Learning
Pada tahap ini, siswa sudah melakukan pembelajaran, meski belum
mengerti pembelajaran tersebut. Guru memiliki fungsi kontrol, sehingga
pembelajaran masih dapat diarahkan oleh guru. Sementara itu, siswa harus mulai
mengenal nada dan pola ritme. Hal seperti ini diibaratkan sebagaimana seseorang
belajar bahasa, saat orang tersebut memperkaya kosakata baru. Discrimination
Learning terdiri dari lima tahapan, yaitu: 1) the aural/oral level of learning; 2) the
verbal association level of learning; 3) the partial synthesis level of learning; 4)
the symbolic association level of learning; dan 5) the composit synthesis of
learning.
1) The aural/oral level of learning
Pada tahap ini, siswa memiliki dua kegiatan utama. Pertama, kegiatan
mendengarkan musikal, bagian dari kegiatan aural. Kedua, kegiatan bernyanyi,
41
bagian
dari
kegiatan
oral.
Siswa
mendengarkan
beberapa
lagu,
lalu
menyanyikannya sebagai respon terhadap apa yang mereka telah dengar. Pada
saat ini, siswa dilatih untuk mendengarkan pola nada tanpa ritmik, atau
mendengarkan pola ritmik tanpa nada, sebelum keduanya berpadu pada sebuah
lagu. Hal ini dilakukan agar siswa dapat peka terhadap pola nada dan ritmik dan
terampil mengidentifikasi keduanya.
2) The verbal association level of learning
Pada tahap ini, siswa mulai berusaha memberikan nama pada unsur-unsur
yang mereka pelajari pada tahap sebelumnya. Secara umum, unsur-unsur tersebut
dikelompokkan pada dua macam. Pertama, durasi dan pitch nada berkaitan
dengan pola nada dan pola ritme. Kedua, jarak nada, fungsi nada, dan birama.
3) The partial synthesis level of learning
Pada tahap ini, siswa mulai belajar menghubungkan pola nada dengan pola
ritme. Guru dapat memberikan dan memperdengarkan nada dan irama pada siswa
lalu siswa mengidentifikasi nada dan iramanya. Hal ini diibaratkan dengan
pembelajaran merangkai kalimat dengan menggunakan kosakata yang baru.
4) The symbolic association level of learning
Pada tahap ini, siswa belajar membaca notasi musik. Tetapi, pada tahap ini
tidak ditekankan pada pengenalan istilah dan simbol musik yang rumit. Mereka
hanya belajar membaca notasi dari apa yang mereka dengar dan nyanyikan. Guru
mengajarkan bahasa musik dengan lebih sederhana agar siswa mulai mengenal
istilah dan simbol musik yang bersifat dasar dan prinsip. Tahap ini lebih
menekankan pada kemampuan dasar siswa membaca notasi sederhana.
42
5) The composit synthesis of learning
Pada tahap ini, siswa dapat menentukan pola hubungan rangkaian nada,
rangkaian ritme, dan irama yang ada. Jika pada tahap sebelumnya siswa dapat
mengidentifikasi, maka pada tahap ini siswa juga mampu membaca dan menulis
rangkain nada dan ritme. Tahap ini hanya dapat dicapai jika siswa sudah melalui
tahap-tahap sebelumnya dengan baik.
b.
Inference Learning
Seperti pada tahap Discrimination Learning, pada kegiatan Inference
Learning pun siswa belum terbiasa dengan pembelajaran musik. Siswa harus
dapat menemukan persamaan dan perbedaan hal yang mendasar pada sebuah
materi. Bedanya, pada Inference Learning, siswa mengajari dirinya sendiri
tentang apa yang dipelajarinya. Pada umumnya, siswa sendri tidak menyadari apa
yang dia pelajari. Inference Learning terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1)
generalization; 2) creativity/improvisation; dan 3) theoritical understanding
1) Generalization
Tahap ini memiliki tiga sub tahap, yaitu generalisasi aural/oral, verbal, dan
simbolik. Generalisasi aural/oral adalah siswa mengidentifikasi dua pola nada atau
ritme dari persamaan dan perbedaannya. Generalisasi verbal adalah saat siswa
mendengarkan pola nada atau ritme tertentu tanpa melalui solfeggio, siswa
mampu memahaminya dan menyanyikannya dengan ketepatan seperti solfeggio.
Generalisasi simbolik contohnya pada saat siswa membaca dan menuliskan pola
nada atau ritme yang belum dikenal sebelumnya melalui pendiktean.
43
2) Creativity/improvisation
Pada tahap ini, semua keterampilan yang didapat pada Discrimination
Learning menjadi modal awal pembentukan ide musik dirinya sendiri dalam
kreativitas dan improvisasi sendiri. Bentuk kreativitas pada tahap ini adalah dapat
berupa respon siswa terhadap musik atau nada yang dinyanyikan oleh guru
dengan menyanyikannya lagi pada kerangka akor yang sama. Bentuk improvisasi
dapat berupa respon siswa menyanyikan pola irama yang berbeda dari gurunya.
3) Theoritical understanding
Pada tahap ini, intensitas mendengarkan musik mulai dikurangi. Tahap ini
mulai menekankan pada kemampuan teoritis musik dan pengenalan konsep,
istilah, serta simbol musik. Siswa mulai mempelajari bacaan musik, seperti notasi,
paranada, kres dan mol, kunci dan tanda kunci, birama, interval, akor, dan istilah
musik lainnya. Dikarenakan intensitas mendengarkan yang lebih sedikit, maka
siswa harus melalui tahap-tahap sebelumnya dengan baik. Idealnya, siswa tidak
diajari dahulu teori, sebelum menguasai tahapan-tahapan Discrimination Learning
dan Inference Learning.
Di samping teknik-teknik di atas, Gordon menganjurkan guru musik untuk
mengajarkan musik dengan teknik audiation. Teknik audiation adalah “Teknik
yang memotivasi siswa untuk belajar dengan cara mendengar sekaligus
memahami
2.
Zoltan Kodaly
Berdasarkan keterangan dari Jamalus dan Mahmud (1982: 21-23), Zoltan
Kodaly adalah seorang komponis Hungaria yang dilahirkan pada 16 Desember
44
1882 di Kecskemet. Kodaly memiliki perhatian dan minat terhadap lagu-lagu
rakyat daerah. Pasca Perang Dunia II, Kodaly mulai memusatkan diri pada
pendidikan musik.
Metode Kodaly lebih dikenal dan dikembangkan di Hungaria. Sebenarnya,
metode ini tidak diciptakan oleh Kodaly sendiri, melainkan beliau terinspirasi dan
mengembangkan penemuan tokoh musik yang lain. Misalnya suku kata irama
adalah penemuan Cheve di Perancis, dan teknik yang digunakan solfa diambil dari
karya Dalcroze, teknik handsign diadaptasi dari Curwen. Metode ini menjadi unik
karena merupakan penggabungan dari beberapa metode yang telah ada
sebelumnya
Metode Kodaly adalah suatu cara untuk membangun keterampilan musik
dan sebuah konsep untuk pengajaran musik yang dimulai sejak dini. Berikut ini
teknik-teknik yang digunakan dalam metode Kodaly (Boosey dan Hawks: tt).
a.
Tonic Solfa
Tonic Solfa adalah sebuah sistem penggunaan suku kata yang diterapkan
dalam tangga nada untuk penyebutan notnya, seperti do-re-mi-fa-sol-la-ti.
Penggunaan suku kata ini dapat membantu menganalisis musik, membaca notasi,
dan memahami hasil pendengaran terhadap suatu musik. Sistem ini memakai dua
metode, yaitu Fixed Do dan Infixed Do. Contoh:
45
b. Rhythm Syllables
Rhythm Syllables (atau disebut pula sebagai suku kata berirama) adalah
sebuah metode untuk mengajarkan bagimana cara membaca sebuah pola ritmik.
Metode ini sangat efektif sebab mereka lebih konkrit dalam memahami perbedaan
durasi dan harga dalam setiap notasi. Contoh:
c.
Hand Signs
Hand Signs atau simbol tangan adalah sebuah cara untuk menggambarkan
sebuah nada. Ciri dan bentuk tangan yang digunakan berbeda untuk setiap nada
yang tinggi rendahnya divisualisasikan dengan posisi tangan itu sendiri. Misalnya
dengan mulai dari bawah bagian perut dan yang tertinggi sejajar kepala dengan
variasi simbol dan bentuk tangan. Simbol tangan ini hanya diciptakan hingga satu
oktaf. Hal ini karena metode ini hanya cocok untuk lagu yang sederhana, seperti
lagu anak-anak dengan batas ambitus lagu satu oktaf.
46
3.
Emile Jacques-Dalcroze
Berdasarkan keterangan dari Jamalus dan Mahmud (1982: 17-20), Emile
Jacques-Dalcroze adalah warga Swiss, dilahirkan di Wina, 6 Juli 1865. Metode
Dalcroze,
juga
dikenal
sebagai
Dalcroze
Eurhythmics,
adalah
musik
menggunakan pendekatan pendidikan musik lain untuk mengajarkan konsepkonsep musik dalam apresiasi musik, latihan pendengaran dan improvisasi untuk
meningkatkan kemampuan musik (Boosey dan Hawks: tt). Secara sderhana,
pendekatan ini menghubungkan musik, gerakan, pikiran, dan tubuh.
Metode ini memiliki 3 aspek:
a.
Eurhythmics, yaitu bahasa Yunani yang berarti ritme yang baik. Aspek ini
dilakukan dengan pengungkapan ekspresi musik melalui gerakan atau latihan
musik secara kinestetik. Guru mengajarkan ritme dan nada dengan
meperdengarkan musik, lalu siswa mengungkapkan apa yang mereka dengar
dan rasakan melalui gerakan tubuh secara spontan.
b.
Solfege (fixed do), aspek ini dilakukan untuk membantu mengembangkan
keterampilan menyanyi melalui latihan pendengaran.
c.
Improvisasi, aspek ini dilakukan dengan menggunakan instrumen, gerak, dan
suara.
Metode Dalcroze membantu dalam perkembangan imajinasi, ekspresi
kreatif, koordinasi, fleksibilitas, konsentrasi, dalam pendengaran, apresiasi musik
dan pemahaman tentang konsep-konsep musik.
47
4.
Carl Orff
Carl Orff, dilahirkan di Munich pada tanggal 10 Juli 1895. Metode Orff
adalah pengembangan lebih lanjut dari Metode Kodaly, karena keduanya
memiliki banyak persamaan. Orff, begitu pula Kodaly, memiliki perhatian yang
termasuk besar terhadap lagu-lagu rakyat. Orff merasa tidak puas dengan
penggunaan piano dalam pengajaran musik. Beliau seringkali membiarkan
siswanya bermain secara improvisasi dengan alat atau instrumen yang mudah
dimainkan. Beliau tertarik pada alat-alat perkusi Asia dan gamelan Indonesia. Orff
membuat beberapa buku yang berisi gagasannya terhadap musik, terutama untuk
pendidikan musik bagi anak-anak. Salah satunya adalah buku Musik Fur Kinder.
Sejak tahun 1930, buku-buku beliau banyak yang dijadikan referensi pengajaran
musik setelah disarankan oleh tokoh-tokoh pendidikan. Buku-buku tersebut
digunakan di sekolah-sekolah di Berlin, hingga kemudian berhenti dipublikasikan
akibat Perang Dunia II yang dikobarkan oleh NAZI. (Jamalus & Mahmud, 1981:
24-27).
Metode yang diajarkan dan dikembangkan oleh Orff merupakan cara
memperkenalkan dan mengajar anak-anak mengenai musik dengan cara dan
pemahaman yang lebih mudah. Pendidikan musik yang dipelajari dalam metode
Orff biasanya dilakukan melalui kegiatan bernyanyi, menari, gerakan, drama dan
memainkan instrumen perkusi (xylophone, metalofon, glockenspiels, dan lainlain). Metode ini mementingkan adanya improvisasi, komposisi dan rasa alami
anak, sehingga tidak menutup kemungkinan anak memainkan alat musik yang dia
inginkan. Pembelajaran disajikan dalam suasana seperti bermain, sehingga
48
membantu dan memotivasi anak-anak untuk belajar musik pada tingkat
perkembangan dan pemahaman mereka sendiri yang cenderung pada suasana
menyenangkan dan permainan.
Metode Orff pun menekankan agar guru dan siswa untuk melakukan
pembelajaran yang berkaitan tentang ritme, melodi, harmoni, dan unsur-unsur
musik yang lainnya. Siswa belajar konsep-konsep ini dengan berbicara,
bernyanyi, menari, bergerak, dan bermain instrumen.
Misalnya, guru dapat memilih sebuah puisi, sajak atau cerita untuk
dibacakan di dalam kelas bersama siswa. Siswa kemudian diminta untuk
berpartisipasi dengan memilih instrumen untuk mewakili karakter atau kata dalam
cerita atau puisi yang dibacakan guru tersebut. Selama guru membacakan puisi
atau cerita, siswa membuat dan mengiringi bacaan guru tersebut dengan suara
atau perkusi sederhana. Setelah itu, guru menambahkan iringan dengan
memainkan instrumen lainnya, kemudian siswa diminta untuk memainkan suara,
instrumen, perkusi, atau tambahan lainnya. Tentunya, kegiatan kelas ini harus
melibatkan semua siswa.
Kegiatan pembelajaran musik dengan Metode Orff dilakukan dengan
memasukkan kegiatan bernyanyi, bertepuk, merentakkan kaki, dan conducting.
Metode ini memberikan ruang untuk siswa agar berkreasi dan berimprovisasi.
Sama seperti Metode Kodaly, Metode Orff dibentuk atas hubungan interval vokal,
berdasarkan irama bicara yang wajar. Metode ini pun menekankan pada
penguasaan keterampilan teknis alat-alat musik dan membaca notasi.
49
D. PSIKOLOGI PENDIDIKAN MUSIK
Musik adalah salah satu hasil kebudayaan manusia. Musik disinyalir sudah
ada sejak manusia mengenal peradaban. Selain itu, musik juga memberikan
pengaruh pada kehidupan manusia, terutama secara psikologis. Misalnya, musik
dapat memperkuat kesan dari suasana yang dirasakan manusia, seperti suasana
pernikahan akan lebih kuat kesannya jika mengumandangkan musik kebahagiaan
pernikahan. Sejak zaman Yunani Kuno pun musik sudah digunakan sebagai
bagian dari kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Tidak hanya sebagai
seni, tetapi juga untuk kepentingan relaksasi, komunikasi, hingga terapi
penyembuhan baik terhadap penyakit psikologis maupun fisik. Maka dari itu,
musik memiliki sejarah yang sangat panjang. Hal ini dan tidak menutup
kemungkinan bagi musik untuk mempengaruhi perkembangan peradaban manusia
sepanjang zaman.
Meskipun demikian, musik tidak diwariskan secara genetis. Kemampuan
manusia mengenali musik bukan berasal dari dari faktor keturunan, melainkan
hasil tempaan lingkungan yang mendukung perkembangan musik. Umumnya,
keterampilan musik dipahami sebagai bakat dari dalam diri manusia tertentu. Hal
ini tidak sesuai dengan kenyataan dalam dunia pendidikan dan psikologi.
Sebagaimana dibahas oleh Richard Howe, Jane Davidson, dan John Sloboda
dalam Djohan (2009: 105) berikut ini.
Intelegensi umum memiliki banyak komponen genetis, kemampuan dalam
bidang khusus seperti musik adalah hasil dari sebuah pengalaman, latihan,
dan kerja keras. Maka kemampuan musik dibangun atas dasar intelegensi
umum dan tidak ada genetika khusus musik.
50
Berdasarkan pembahasan di atas, tentunya peranan musik dalam
kehidupan manusia dapat dikatakan cukup penting. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Droscher dalam Gunara (2008: 21), disebutkan bahwa “...
pengajaran musik, berpikir kreatif, memecahkan masalah berani mengambil
resiko, bekerja dalam tim dan berkomunikasi dengan baik, merupakan alat yang
tepat untuk kebutuhan hidup di masa depan”.
Pentingnya musik dalam kurikulum pendidikan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Gunara (2008) memiliki peran sebagai upaya peningkatan
kecakapan sosial. Berbeda dengan proses pendidikan yang terpusat pada
penempaan kognitif. Hal ini sesuai dengan yang diucapkan Plato dalam Djohan
(2009: 175), bahwa “Di dalam pendidikan, musik menduduki posisi tertinggi
karena tidak ada satupun disiplin yang dapat merasuk ke dalam jiwa dan
menyertai dengan kemampuan bertahap melebihi irama dan melodi”.
Belajar musik adalah kegiatan yang positif bagi siswa. Dengan belajar
musik, siswa mampu mengasah kemampuan fisik dan mentalnya, sekaligus
kepekaan emosi seseorang. Kedudukan seni dengan pendidikan dapat dipahami
secara umum melalui dua pendekatan, yaitu seni dalam pendidikan dan
pendidikan dalam seni (Eisner dan Chapman dalam Gunara, 2008: 22-23). Seni
dalam pendidikan sejalan dengan konsep pendidikan sebagai upaya pembudayaan
nilai-nilai dari generasi ke generasi. Pendidikan dalam seni sejalan dengan
pengaruh musik terhadap jiwa dan penyaluran ekspresi kreatif yang produktif
yang juga merupakan salah satu tujuan pendidikan.
51
Menurut Mahmud, AT dalam Satrianingsih (2006: 25-27), kemampuan
dasar musik meliputi kemampuan mendengar, kemampuan memperagakan, dan
kemampuan berkreativitas. Kemampuan mendengar adalah kemampuan pertama
dan utama dalam pembelajaran musik. Kegiatan mendengar seyogianya selalu
terjadi saat siswa belajar musik. Kegiatan mendengar musik tidak hanya untuk
sekedar didengarkan, melainkan diapresiasi, dihayati, dan mengasah kepekaan
musikal. Hal ini sejalan dengan teknik solfaggio yang juga menerapkan latihan
pendengaran. Oleh karena itu, kemampuan dasar siswa dalam belajar musik yang
paling utama adalah kemampuan mendengar.
Tujuan kegiatan mendengar menurut Mahmud, A. T. dalam Satrianingsih
(2006: 25):
1.
mendalami dan membangun dalam perasaan suasana musik melalui
penghayatan peran birama dan pola irama;
2.
meningkatkan sensitivitas atau kepekaan terhadap musik beserta isi, makna,
dan pesan yang diungkapkan dalam musik atau nyanyian;
3.
mengapresiasi ungkapan musik;
4.
meningkatkan keterampilan mendengar untuk berolah musik dengan baik.
Kemampuan memperagakan dilakukan dengan bernyanyi dalam nada-nada
tertentu dengan baik, memainkan alat musik dengan nada-nada yang tepat dan
teknik yang sesuai, memainkan perkusi dengan ritme yang sesuai dan harmonis,
dan lain-lain. Kegiatan memperagakan pun tidak lepas dari kegiatan mendengar
musikal untuk mendalami ungkapan-ungkapan yang disajikan dalam musik.
52
Kemampuan memperagakan menurut Mahmud, A. T. dalam Satrianingsih (2006:
26) ditujukan untuk:
1.
meningkatkan keterampilan bernyanyi;
2.
mengungkapkan musik atau nyanyian dengan gerak jasmaniah yang sesuai;
3.
meningkatkan kemampuan memilih dan memainkan alat perkusi yang sesuai
dengan musik untuk iringan.
Kemampuan berkreativitas adalah kemampuan mengungkapkan isi dan
pesan musik atau nyanyian dengan perbuatan yang bersifat kreatif. Berbeda
dengan kemampuan memperagakan yang sama-sama mengungkapkan musik atau
nyanyian dengan perbuatan, tetapi tidak berasal dari ungkapan perasaan diri
sendiri. Menurut A. T. Mahmud dalam Satrianingsih (2006: 27), kegiatan
berkreativitas bertujuan antara lain:
1.
kemampuan memilih alat yang sesuai untuk mengungkapkan isi dan maksud
musik atau nyanyian yang diiringi;
2.
meningkatkan kemampuan mendengar musik atau nyanyian dengan
mengamati karakter khas unsur-unsur musik;
3.
meningkatkan sensitivitas terhadap isi dan pesan musik atau nyanyian untuk
dapat menikmati dan menghargai musik atau nyanyian;
4.
kemampuan menuangkan ide kreatif berupa karya musik.
Ketiga kemampuan tersebut di atas pada dasarnya saling berhubungan satu
sama lain. Meskipun kemampuan mendengar merupakan kemampuan yang paling
sering dilakukan, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan
lainnya dalam pembelajaran musik. Dapat disimpulkan bahwa ketiga kemampuan
53
tersebut ditujukan untuk tujuan mempertajam sensitivitas siswa terhadap musik,
memperdalam apresiasi terhadap pesan yang diungkapkan dalam musik, dan
meningkatkan kemampuan berkreativitas dalam menuangkan ide kreatif.
Download