9 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar dan

advertisement
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Belajar dan Pembelajaran Sains
Belajar adalah proses tingkah laku seseorang setelah memperoleh
informasi yang sengaja. Informasi tersebut berasal dari lingkungan seseorang.
Penerimaan informasi yang disengaja akan berakibat pada perubahan tingkah laku
baik itu menyangkut aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap (Uno, 2008:
17). Menurut Sagala (2010), belajar dapat dipahami sebagai berusaha atau berlatih
supaya mendapat suatu kepandaian. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka
dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah: a.
kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau
pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan evaluasi, b. afektif yaitu kemampuan mengutamakan perasaan,
emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori
penerimaan, partisipasi, penilaian atau penentuan sikap, organisasi, dan
pembentukan pola hidup, c. psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan
keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, kegiatan
terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
Menurut Hardy & Fleer (1996: 15-16), ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, sehingga guru memungkinkan untuk memahami pengertian sains
dalam perspektif yang lebih luas: a. Sains sebagai kumpulan pengetahuan. Sains
sebagai kumpulan pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains
yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan
yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang
sangat baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori, dan generalisasi
yang menjelaskan tentang alam, b. Sains sebagai proses penelusuran
(investigation). Sains
sebagai proses penelusuran
umumnya
merupakan
pandangan yang menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan
kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai sesuatu
yang memiliki disiplin yang ketat, obyektif, dan suatu proses yang bebas nilai dari
10
kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis, dan percobaan dalam alam, c. Sains
sebagai kumpulan nilai. Sains sebagai kumpulan nilai berhubungan erat dengan
penekanan sains sebagai proses, menekankan pada aspek nilai ilmiah yang
melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu, dan
keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru, d. Sains sebagai cara untuk
mengenal dunia. Proses sains dipengaruhi oleh cara di mana orang memahami
kehidupan dan dunia di sekitarnya. Sains dipertimbangkan sebagai suatu cara di
mana manusia mengerti dan memberi makna pada dunia disekeliling mereka.
Namun demikian, disadari pula bahwa sains memiliki keterbatasan sebagai
kumpulan pengetahuan dan strategi untuk menelusuri serta memahami dunia
secara komprehensif, e. Sains sebagai hasil konstruksi manusia, merupakan
penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat semesta alam.
Pengetahuan ilmiah ini tidak lain merupakan akumulasi kebenaran. Hal pokok
dalam pandangan ini adalah sains merupakan konstruksi pemikiran manusia. Oleh
karenanya, dapat saja apa yang dihasilkan sains memiliki sifat bias dan sementara,
f. Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang menyadari bahwa apa
yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat
dipengaruhi oleh sains. Bukan saja pemakaian berbagai jenis produk teknologi
sebagai hasil penelusuran dan pengetahuan, melainkan pula bagaimana cara orang
berpikir mengenai situasi sehari-hari sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan
ilmiah.
Sains merupakan bagian dari kehidupan kita dan merupakan bagian dari
pembelajaran sains. Interaksi antara siswa dengan lingkungan merupakan ciri
pokok dalam pembelajaran sains. Belajar sains bukan hanya untuk memahami
konsep-konsep ilmiah dan aplikasinya dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengembangkan berbagai nilai (Cross, 1996). Kebanyakan siswa tidak
berkembang dalam pemahaman konsep-konsep ilmiah dan prosesnya secara
terintegrasi dan fleksibel. Sebagai contoh, mereka dapat menghafalkan berbagai
konsep dan fakta, tetapi tidak dapat menggunakannya untuk menjelaskan
fenomena dalam kehidupan yang berhubungan dengan konsep tersebut.
Pembelajaran IPA di SMP lebih ditekankan pada penguasaan konsep dan
11
berkaitan dengan aspek lainnya. Disamping itu juga untuk memberikan tekat pada
siswa agar mampu menggunakan metode ilmiah dengan dilandasi sikap ilmiah
untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Untuk memperkecil permasalahan,
pembelajaran sains di sekolah diharapkan memberikan berbagai penelusuran
ilmiah yang relevan. Siswa didorong untuk memberikan penjelasan atas
pengamatan mereka dalam diskusi kelas.
Manakala sains hanya diajarkan melalui hafalan, siswa yang kerap kali
memiliki pengetahuan awal yang kaya tentang fenomena, tidak menggunakan
pengetahuan mereka dalam proses belajarnya. Belajar sains seharusnya
memberikan kesenangan intelektual bagi siswa dalam membongkar seluk-beluk
suatu teka-teki dan memperbaiki berbagai konsep yang masih keliru. Lebih lanjut,
Santa & Alverman (1991: 49) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains, anak
mengakui konsep atau penjelasan ilmiah bertentangan dengan teori yang mereka
miliki. Mereka butuh diyakinkan bahwa teori yang mereka miliki tidak lengkap,
tidak cocok, atau tidak konsisten dengan bukti eksperimen, dan bahwa penjelasan
ilmiah menyediakan alternatif yang lebih meyakinkan dan lebih berdaya. Anak
butuh pengulangan kesempatan dalam hal bergelut dengan ketidakkonsistenan
antara ide yang dimiliki dengan penjelasan ilmiah, mengorganisasikan cara
berpikir, menghilangkan atau memodifikasi berbagai ide yang telah memberikan
bantuan dalam kehidupan mereka selama ini, dan membuat hubungan yang cocok
antara berbagai ide yang mereka miliki dengan berbagai konsep ilmiah.
Pembelajaran sains dengan hafalan dan pemahaman konsep, siswa harus
diberi kesempatan untuk mengembangkan sikap ingin tahu, dan berbagai
penjelasan
logis.
Ini
akan
mendorong
siswa
untuk
mengekspresikan
kreativitasnya. Siswa juga didorong untuk mengembangkan cara berpikir logis
dan kemampuan untuk membangkitkan penjelasan ilmiah untuk alasan yang
bersifat hakiki dan praktis. Transfer belajar bukan hanya terletak pada aplikasi
dari prinsip dan konsep yang umum tetapi pada kemampuan untuk menciptakan
hubungan antara apa yang telah diketahui dan apa yang dibutuhkan untuk
diketahui. Siswa diharapkan dapat menggunakan berbagai tipe dalam berpikir
untuk memahami dunia mereka. Lebih banyak model berpikir kreatif yang
12
digunakan akan sangat mendorong mereka dalam memberikan alasan yang
bersifat ilmiah (Cullingford, 1990: 86).
Menurut Cain dan Evans dalam Rustaman et al (2011), pembelajaran sains
menandung empat hal yaitu konten (produk), proses (metode), sikap, dan
teknologi. Sains sebagai konten (produk) berarti bahwa dalam sains terdapat fakta,
hukum, prinsip, dan teori yang sudah diterima kebenarannya. Sains sebagai proses
atau metode berarti bahwa sains merupakan metode untuk mendapatkan
pengetahuan. Sains merupakan sikap, artinya dalam sains terkandung sikap seperti
tekun, terbuka, jujur, dan objektif. Sains sebagai teknologi mengandung
pengertian bahwa sains mempunyai keterkaitan dan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan pembelajaran sains disamping pemahaman berbagai konsep
adalah untuk mengembangkan skill siswa dalam proses keilmuan seperti
pengamatan, pengukuran, pembandingan, penyusunan kerangka, penyimpulan,
peramalan, dan pembentukan kesimpulan. Pembelajaran sains, siswa memperoleh
berbagai kesempatan dalam penelusuran, penemuan, dan penyelidikan. Siswa juga
memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikap ingin tahunya dan sikap untuk
mau bertanya sehingga mereka mulai memahami dan membangun ide-ide baru
serta menjelaskan alam ini.
2. Teori- Teori Belajar
a. Teori Belajar Piaget
Teori belajar kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan proses
internal, mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek
kejiwaannya. Belajar adalah suatu proses memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang didapatkan melalui proses yang menunjukkan terjadinya
kegiatan/berubahnya kegiatan sebagai akibat terjadinya reaksi terhadap keadaan
(Willis, 1989: 18). Salah satu sumbangan pemikirannya yang digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang
tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif
individu meliputi empat tahap yaitu: 1) sensory motor, 2) pre operational, 3)
concrete operational, dan 4) formal operational.
13
Menurut Piaget, tahap sensory motor (umur 0-2 tahun), ciri pokok
berdasarkan tindakan dan langkah demi langkah, tahap pre operational (umur 2-7
tahun), ciri pokok perkembangan penggunaan simbol bahasa dan konsep intuitif,
tahap concrete operational (umur 7-11 tahun) ciri pokok perkembangan
pemakaian aturan jelas/logis, reversible dan kekekalan, tahap operasi formal (11
tahun keatas) ciri pokok perkembangan hipotetis, abstrak dedukatif, induktif, logis
dan probabilities. Setiap tahap-tahap perkembangan kognitif mempunyai beberapa
sifat yaitu: Pada tahap formal operational, kemampuan skema kognitifnya
terbatas. Anak suka meniru perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru)
yang pernah ia lihat ketika orang itu merespon perilaku orang, keadaan dan
kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Anak mampu menggunakan kata-kata
yang benar dan mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek secara efektif.
Pada tahap operasional konkret, anak sudah mulai memahami aspek-aspek
kumulatif materi, mempunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan
beberapa golongan benda yang bervariasi tingkatannya, anak sudah mampu
berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
Pada tahap opersional formal, anak menginjak usia remaja, tahap ini anak
memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif baik
secara simultan (serentak) maupun berurutan. Mampu berpikir untuk memecahkan
masalah menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia
respon, mampu menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Usia diatas operasional
formal adalah anak berada di tingkat pendidikan SMP. Belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta
didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek
fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada
peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1) bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu,
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir
14
anak, 2) anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya, 3) bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing, 4) memberikan peluang agar anak belajar sesuai
tahap perkembangannya, 5) di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang
untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
b. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner dalam teorinya “free discovery learning”, mengatakan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan
pemahaman melalui contoh yang dijumpai dalam kehidupan. Hal ini berarti
bahwa pembelajaran hendaknya tidak dilakukan hanya satu arah, melainkan untuk
selalu melibatkan siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa bukan hanya melihat
dan mendengar informasi yang disampaikan oleh guru, akan tetapi diharapkan
dapat menemukan sendiri suatu konsep atau teori dari materi yang dipelajari.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enactive yaitu seseorang melakukan aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik seperti sentuhan, penglihatan,
pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic yaitu seseorang memahami objek atau
dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Artinya, dalam memahami dunia
sekitar anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan. Tahap
symbolic yaitu seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
c. Teori Belajar Ausubel
Menurut Willis (1989: 110-111), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam
dua dimensi yaitu cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa,
melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi yang kedua menyangkut bagaimana
15
siswa mengkaitkan informasi pada struktur kognitif yang ada. Struktur kognitif
ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah
dipelajari dan diingatkan oleh siswa. Pada tingkat pertama belajar, informasi dapat
mengkomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang
menyajikan informasi dalam bentuk final maupun dalam bentuk penemuan yang
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi
itu pada pengetahuan (konsep-konsep) yang telah dimilikinya, dalam hal ini
terjadi belajar bermakna.
Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi
sumber-sumber yang telah ada, tergantung pada sejarah pengalaman seseorang,
maka sumber itu dapat relatif besar dan berkembang atau kurang berkembang.
Belajar bermakna sangat diperlukan pada pembelajaran biologi, sebab banyak
konsep-konsep yang sangat luas, rumit sehingga terkadang siswa sulit memahami.
Perlibatan emosi, kebutuhan dan kesenangan aktualisasi diri siswa melalui
kegiatan yang melibatkan seluruh panca indera dan otak untuk berpikir sangat
membantu kebermaknaan belajar.
3. Concept Attainment Model
Model pembelajaran merupakan pendekatan alternatif yang dapat
dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran, dikembangkan untuk membuat
siswa belajar lebih efektif, dan perangkat evaluasi unggul saat guru ingin
mengetahui sejauh mana siswa mampu menguasai gagasan-gagasan penting yang
mereka ajarkan. Model ini dengan cepat akan memberikan laporan tentang
kedalaman pemahaman siswa sekaligus akan memperkuat pengetahuan mereka
sebelumnya.
Model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model)
didesain oleh Joyce dan Weil yang didasarkan pada hasil riset Jerome Bruner
dengan maksud bukan saja didesain untuk mengembangkan kemampuan berpikir
induktif, tetapi juga untuk menganalisis dan mengembangkan konsep pada diri
siswa. Penggunaan model pencapaian konsep (Concept Attainment Model)
16
dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan,
kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep
tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah
pemilihan contoh-contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh
tentang hal-hal yang akrab dengan siswa. Joyce dan Weil mengemukakan bahwa
model pembelajaran Concept Attainment Model memiliki unsur sebagai berikut:
a. Struktur Pengajaran/ Sintak Concept Attainment Model
Struktur pengajaran atau Sintak model pencapaian konsep adalah tahaptahap kegiatan dari model pembelajaran konsep. Model pembelajaran konsep
memiliki tiga fase, yaitu:
1) Tahap penyajian data dan identifikasi konsep
Guru
memberikan
contoh-contoh
kepada
siswa,
contoh
tersebut
merupakan data “contoh positif” dan “contoh negatif” konsep terpisah. Data
tersebut dapat berupa kejadian, manusia, objek, cerita, gambar atau lainnya yang
dapat dibedakan satu sama lain dan belum diberi nama konsep. Siswa diberitahu
oleh guru mengenai contoh positif yang memiliki satu gagasan umum.
Tugas siswa adalah mengembangkan satu hipotesis tentang sifat atau ciriciri dari konsep tersebut dengan cara membandingkan sifat dan ciri dalam contoh
positif dan negatif. Contoh-contoh disajikan dalam suatu instruksi yang telah
diatur sebelumnya dan dilabeli dengan “Ya” atau “Tidak”. Pada akhirnya, siswa
diminta untuk menamai konsep-konsep mereka dan menyampaikan aturan-aturan
atau definisi konsep menurut sifat yang paling esensial.
2) Pengujian pencapaian konsep
Siswa menguji penemuan konsep mereka dengan cara mengidentifikasi
secara tepat contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dari konsep dan
kemudian siswa membuat contoh-contoh menurut mereka. Langkah selanjutnya
guru dan siswa mengoreksi contoh positif dan contoh negatif kemudian merevisi
contoh mana saja yang benar, kemudian siswa mencari contoh lain yang sesuai
dengan konsep.
17
3) Analisis strategi berpikir
Pada tahap analisis strategi berpikir, siswa mendeskripsikan pemikiranpemikiran mereka, mendiskusikan
peran sifat-sifat dan hipotesis serta
mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis. Siswa menganalisis strategi-strategi
berpikir mereka untuk mencapai konsep yang dimaksud. Strategi berpikir siswa
bervariasi, ada yang mencoba dan mengkerucutkan konsep, dan ada pula yang
memperluas konsep. Siswa diminta mengungkapkan alasan-alasan yang berkenan
dengan membuat contoh tambahan, merumuskan konsep dengan kata-kata sendiri
dan menjabarkan langkah penyelesaian suatu konsep.
Berikut adalah struktur pengajaran model pencapaian konsep (Concept
Attainment Model) (Joyce & Weil, 2009: 136).
Tabel 2.1 Sintak Model Pembelajaran Pencapaian Konsep
a.
b.
c.
a.
b.
c.
Tahap Pertama:
Tahap Kedua:
Penyajian Data dan Identifikasi
Pengujian Pencapaian Konsep
Konsep
Guru menyajikan contoh-contoh a. Siswa mengidentifikasi contoh
yang telah dilabeli
tambahan yang tidak dilabeli
Siswa membandingkan sifat/ciri
dengan tanda Ya atau Tidak
dalam contoh yang negatif dan b. Guru menguji hipotesis, menamai
positif
konsep, dan menyatakan kembali
Siswa menjelaskan sebuah definisi
definisi-definisi menurut sifat/ciri
menurut sifat/ciri yang paling
yang paling esensial
esensial
c. Siswa membuat contoh-contoh
Tahap Ketiga:
Analisis Strategi-Strategi Berpikir
Siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran
Siswa mendeskripsikan peran sifat-sifat dan hipotesis-hipotesis
Siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis
b. Sistem Sosial
Sistem sosial model pembelajaran pencapaian konsep adalah situasi atau
susunan dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran pencapaian konsep.
Model ini memiliki struktur yang moderat. Guru melakukan pengendalian
terhadap aktivitas siswa tetapi tidak dapat dikembangkan menjadi kegiatan dialog
bebas dalam fase itu. Pengorganisasian kegiatan itu diharapkan siswa akan lebih
18
memperlihatkan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan dengan
bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri dalam kegiatan mengajar.
Guru memilih konsep, menyeleksi dan mengolah bahan menjadi contohcontoh positif dan contoh negatif, serta mengurutkan atau merangkai contohcontoh tersebut. Guru diharuskan menggali ide dan bahan-bahan dari sumber lain,
serta merancangnya sedemikian rupa sehingga ciri tersebut semakin jelas baik
contoh positif maupun negatif. Untuk penggunaan model pencapaian konsep, guru
bertindak sebagai perekam, yang mengawasi hipotesis dan konsep yang dibuat
siswa. Guru mencatat, memberikan isyarat kepada siswa, dan menyajikan data
tambahan, serta guru telah menyajikan data yang sudah terstruktur.
c. Tugas/ Peran Guru
Selama proses belajar berlangsung, tugas guru adalah bersikap simpatik
pada hipotesis yang dibuat oleh siswa, menciptakan dialog yang didalamnya siswa
dapat menguji hipotesis mereka dengan hipotesis teman-temannya yang lain,
fokus pada sifat-sifat dari contoh yang ada, dan mendampingi siswa dalam
mendiskusikan serta mengevaluasi strategi berpikir mereka. Guru harus dapat
menjadi motivator bagi siswa dalam menguji hipotesis yang mereka buat. Hal
yang dimaksud adalah guru tetap terbuka untuk berdialog dan beradu argumentasi
dengan siswa.
d. Sistem Pendukung
Model pencapaian konsep mensyaratkan adanya contoh-contoh negatif dan
positif pada siswa, tugas siswa adalah mencapai atau mendapatkan konsep yang
sebelumnya telah dipilih oleh guru. Oleh karenanya, sumber data yang diperlukan
harus sesuai dan terlihat jelas. Sarana, bahan, dan alat yang diperlukan dapat
berbentuk gambar, diagram, foto, slide, LKS dan data terpilih dapat terorganisasi
dalam bentuk unit-unit yang berfungsi untuk memberikan contoh-contoh. Siswa
disajikan dengan sebuah contoh, mereka menggambarkan karakteristik (ciri-ciri)
dari contoh tersebut yang kemudian dapat direkam oleh guru.
19
Dukungan dapat terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: 1) Materi-materi
yang telah diseleksi dan dikelola dengan cermat dan diteliti, 2) Data atau unit
yang berbeda disajikan untuk contoh. Saat siswa memiliki cukup pengalaman,
mereka bisa diminta untuk berdiskusi dalam membuat unit data, dengan catatan
siswa dapat menghasilkan contoh-contoh. Proses pelaksanaannya, model
pembelajaran pencapaian konsep memberikan tuntunan yang jelas. Proses
kegiatan dimulai dari kegiatan yang bersifat sederhana sampai kegiatan yang
bersifat komplek.
4. Media Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan sebuah proses komunikasi yakni ada yang
memberikan pesan dan ada yang menerima pesan. Pesan tersebut membutuhkan
media, di mana media merupakan tempat untuk menyalurkan pesan. Media
pembelajaran dapat menyampaikan pesan secara konkret atau lebih apabila
dibandingkan melalui kata-kata yang diucapkan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Hamalik (1989: 12) dalam Rahayu (2006: 24) bahwa yang dimaksud media
pendidikan adalah alat, metode, dan lukisan yang digunakan dalam rangka
mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Menurut Hamalik (1986) dalam Arsyad (2004: 5) mengemukakan bahwa
pemakaian
media
pembelajaran
dalam
proses
belajar
mengajar
dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
rangsangan kegiatan belajar. Penggunaan media pembelajaran membantu
keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian isi pesan. Selanjutnya Sudjana
(1989: 2) mengatakan bahwa manfaat media adalah: a. pengajaran lebih menarik
perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, b. bahan
pengajaran lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami siswa dan
memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran dengan baik, c. metode
mengajar lebih bervariasi, tidak semata melalui penuturan kata-kata guru sehingga
membosankan, d. siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab itu hanya
mendengar uraian guru, tetapi juga ikut mengamati, melakukan demonstrasi, dan
20
lain-lain. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi proses dan hasil
pengajaran adalah berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia
mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir konkret menuju ke berpikir
abstrak, dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks.
Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut
sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikonkretkan, dan halhal yang komplek dapat disederhanakan.
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Heinich et al, 2002:11)
Menurut Sanjaya (2009: 165), untuk memahami peranan media dalam
proses mendapatkan pengalaman belajar bagi siswa, Edgar Dale melukiskannya
dalam sebuah kerucut yang kemudian dinamakan kerucut pengalaman (cone of
experience). Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale itu
memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat
melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses
mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan
melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, contohnya
21
melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh
siswa. Sebaliknya, semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman, contohnya
hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang akan
diperoleh siswa.
5. Media Riil
Media asli merupakan obyek sebenarnya yang digunakan sebagai alat
bantu pembelajaran. Cakupan media asli dalam pembelajaran IPA sangat luas,
mulai dari bagian kecil suatu obyek sampai obyek utuh lengkap dengan
habitatnya. Berdasarkan ukurannya mulai dari obyek yang besar sampai dengan
obyek mikroskopis yang hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Media
asli sering juga disebut sebagai obyek nyata (riil), dalam kaitan materi biologi
adalah makhluk hidup utuh atau bagian-bagiannya.
Media riil sering kali dijumpai dan digunakan dalam pembelajaran.
Apabila kita cermati media pembelajaran riil adalah media pembelajaran yang
menggunakan benda-benda nyata secara fisik dapat dipegang atau berupa benda
konkret. Kegiatan pembelajaran IPA khususnya biologi, media riil pada umumnya
banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Ada beberapa keunggulan dan
kekurangan penggunaan media riil. Adapun keuntungan penggunaan media riil
antara lain, mampu memberikan gambaran secara jelas, melatih keterampilan
siswa dalam menggunakan alat. Kekurangan penggunaan media riil antara lain
dimungkinkan adanya kesalahan pembacaan dan perolehan data percobaan. Selain
itu, keterbatasan lingkungan sekolah yang kurang mendukung sehingga
mengakibatkan pembelajaran tidak dapat berjalan dengan maksimal. Namun
demikian media ini menjadi pilihan yang baik bagi guru dalam pengajaran karena
melatih kecermatan
ketelitian
dan keterampilan
siswa dalam
kegiatan
pembelajaran.
6. Media Gambar
Media banyak ragamnya, namun kenyataannya tidak banyak jenis media
yang bisa digunakan guru di sekolah. Beberapa media yang paling akrab dan
22
hampir semua sekolah memanfaatkan adalah media cetak (buku) dan papan tulis.
Selain itu, banyak sekolah yang telah memanfaatkan jenis media lain seperti peta,
kartu bergambar, OHP, dan obyek-obyek nyata. Menurut Latuheru (2002), jenis
gambar yang banyak digunakan dalam pembelajaran adalah foto dan ilustrasi dari
buku-buku. Maksud guru menggunakan foto adalah untuk mengatasi kesulitan
mendapatkan atau menampilkan benda aslinya dalam kelas. Gambar paling umum
dipakai dalam pembelajaran, gambar mempunyai sifat yang universal, mudah
dimengerti, dan tidak terikat oleh keterbatasan bahasa.
Penggunaan media pembelajaran tidak harus berbasis teknologi, tetapi
dapat berupa media sederhana yang mudah didapat dan mudah dalam proses
pembuatannya. Media gambar adalah salah satu media visual sederhana yang
dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan media. Media gambar adalah
media yang sering digunakan guru dalam penyampaian materi pelajaran. Menurut
Arsyad (2002), media
gambar menimbulkan
daya tarik
siswa,
dapat
menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk nyata, menyingkat suatu uraian,
memperjelas bagian-bagian yang penting, serta mudah disesuaikan dengan materi
pelajaran. Media gambar mampu memproyeksi ukuran benda yang sebenarnya
sehingga siswa mempunyai gambaran akan konsep yang dijelaskan oleh guru
melalui media gambar tersebut (Hamzah, 1987: 27). Penggunaan media gambar
dalam pembelajaran juga memiliki beberapa keunggulan. Media gambar
merupakan media pembelajaran yang dapat menunjukkan gambaran keadaan
tertentu dimasa lalu ataupun dimasa mendatang. Hal-hal yang abstrak yang tidak
dapat dihadirkan dalam pembelajaran di kelas dapat terwakili dengan adanya
media gambar. Keunggulan lain yaitu media gambar juga dapat mengatasi ruang
dan waktu, misalnya kejadian sejarah dimasa lalu.
7. Kemampuan Berpikir Kognitif
Pemilihan media yang tepat dapat menarik perhatian siswa serta
memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran yang
akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Siswa akan lebih mudah
mempelajari hal yang konkret ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan konkret-
23
abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa
pendapat. Pertama, Jerome Bruner (Heinich, et.al. 2002: 11) mengemukakan
bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar
dengan benda nyata/konkret (enactive), kemudian ke semi konkret (iconic) baru
ke abstrak (symbolic). Menurut Bruner, hal ini juga berlaku tidak hanya untuk
anak tetapi juga untuk orang dewasa. Kedua, Edgar Dale mengemukakan bahwa
sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses
penanaman konsep, ia membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling
nyata ke yang paling abstrak. Edgar Dale, membuat jenjang konkret-abstrak
dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian
menuju siswa sebagai pengamat nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat
terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai
pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkret-abstrak ini
ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of
experiment), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Pada tahap operasional konkret, siswa mulai untuk dapat memandang
“dunia” secara obyektif dan berorientasi secara konseptual. Berpikir secara
operasional konkret dapat dipandang sebagai tipe awal berpikir ilmiah. Baik dari
hasil penelitian maupun pengalaman praktis menunjukkan bahwa siswa kelas VIII
SMP (usia 11-15 tahun), sebagian besar siswa mulai bergeser dari sekedar
menamai dan mengelompokkan benda-benda menuju ke kemampuan dalam hal
memerikan, mengorganisasi, dan menghubungkan sifat-sifat benda (Trianto,
2009: 109 dalam Depdiknas, 2002: 11). Memberikan kesempatan melalui
persentuhan dengan benda-benda konkret dalam pengajaran sains, siswa pada
tahap operasional konkret memulai untuk mengorganisasi penyelidikan dalam
bentuk kelas-kelas dan variabel, mengukur variabel secara bermakna, dapat
memahami dan mencatat data pada tabel, membentuk dan memahami hubungan
sederhana, menggunakan apa yang mereka ketahui untuk membuat inferensi
langsung dan prediksi serta menggeneralisasi suatu gejala dari pengalaman yang
sering mereka jumpai.
24
Operasional konkret menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan
pengalaman empiris konkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam
mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman khusus. Ciri-ciri anak pada
tahap operasional konkret adalah sebagai berikut:
a. Transformasi Reversibel
Pada tahap ini seorang anak sudah mulai mengerti proses transformasi
(perubahan). “Anak mengerti bahwa perubahan itu merupakan satu kesatuan,
bukan berdiri sendiri. Misalnya, diberikan benda berputar, mereka sudah dapat
melihat seluruh proses perputarannya, bukan hanya kedudukan akhir dan
kedudukan awalnya”. (Wadsworth, 1989 oleh Paul Suparno, 2007: 40). Dalam
tahap ini ada dua macam transformasi reversible, yaitu inversi dan reciprosi.
Inversi adalah proses transformasi kebalikan, sedangkan reciprosi adalah
transformasi pencerminan atau pembalikan.
b. Konservasi (Sistem Kekebalan)
Menurut Piaget, pengertian kekekalan menjadi satu indikasi psikologis
akan adanya struktur operasional. Pada tahap operasional konkret anak sudah
dapat mengerti adanya konsep kekekalan yaitu kekekalan bilangan, substansi
(massa), panjang, luas, berat, dan volume.
c. Decentering
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan
secara bersamaan sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya. Mereka
secara bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam waktu bersamaan,
sehingga tidak hanya memusatkan pada satu titik tertentu.
d. Series
Menurut Piaget anak sudah mampu mengatur unsur- unsur menurut urutan
bertambah besar atau mengecil. Misalnya anak dihadapkan benda-benda yang
ukurannya volummenya berbeda-beda, anak sudah dapat mengurutkan dari
volume yang kecil ke yang lebih besar atau sebaliknya.
e. Ruang, waktu dan kecepatan
Anak-anak pada usia 10 dan 11 tahun sudah sadar akan konsep waktu dan
kecepatan. Anak sudah dapat memperhatikan hubungan antara waktu dengan
25
jarak. Anak juga sudah memperhatikan bertambah cepat atau bertambah
lambatnya suatu benda.
8. Persepsi Kreativitas
Menurut Munandar (2009: 12), bahwa kreativitas adalah hasil interaksi
antara individu dan lingkungannya, kemampuan untuk membuat kombinasi baru,
berdasarkan data, informasi, atau unsur-unur yang sudah ada atau dikenal
sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh
seseorang selama hidupnya baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari
lingkungan masyarakat. Ciri-ciri kreativitas diantaranya 1) siswa memiliki rasa
ingin tahu yang besar; 2) sering mengajukan pertanyaan yang berbobot; 3)
memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, biasanya siswa
yang kreatif mampu memberikan gagasan dan usul terhadap suatu masalah yang
yang perlu di selesaikan; 4) menghargai keindahan; 5) mempunyai daya imajinasi
yang kuat; 6) dapat bekerja sendiri, siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri
dan memiliki rasa percaya diri. Sehingga siswa selalu mengerjakan sendiri,
contohnya apabila mendapat tugas selalu berusaha mengerjakan sendiri; 7) senang
mencoba hal-hal baru, melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting
dan di sukai, mereka tidak menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain.
Kreativitas
adalah
kemampuan
untuk
membuat
kombinasi
baru
berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada (Munandar, 2004: 33).
Guilford dalam (Ali, et, al, 2004: 105), menandai orang-orang kreatif dengan cara
berpikir divergen, yaitu kemampuan individu untuk mencari berbagai alternatif
jawaban terhadap suatu persoalan. Kreativitas siswa dalam proses belajar
mengajar akan mempengaruhi hasil belajar siswa, karena siswa yang melakukan
kreativitas belajar akan cenderung mengulangi pelajaran yang diberikan guru di
kelas. Kreativitas siswa dalam hal ini merupakan suatu kemampuan berpikir siswa
untuk peka dalam menemukan masalah, pemecahan masalah dan membahas suatu
masalah dalam pembelajaran.
Kreativitas merupakan kemampuan siswa dalam menciptakan atau
memodifikasi cara belajar atau mengolah informasi sehingga mudah untuk
26
dipahami dan dimengerti. Untuk dapat memiliki kemampuan kreatif diperlukan
latihan dan ketekunan dalam mengembangkan kognitif dan psikomotorik.
Penilaian kreativitas bagi seorang siswa menurut Slameto (2003: 145) didasarkan
pada keaslian tingkah laku yang mereka laksanakan dengan banyak cara dan
kesempatan dalam menghadapi berbagai situasi belajar. Di samping itu juga
didasarkan pada kepekaan mereka terhadap pengertian-pengertian tertentu serta
penggunaan dalam hidupnya.
9. Hasil Belajar
Menurut Arikunto (2006: 83), hasil belajar adalah hasil yang dicapai
seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar ini merupakan
penilaian yang dicapai seorang siswa untuk mengetahui tingkat pemahaman
bahan pelajaran atau materi yang diajarkan. Untuk dapat menentukan
ketercapaian tujuan pembelajaran dilakukan usaha untuk menilai hasil belajar.
Penilaian ini bertujuan untuk melihat kemajuan peserta didik dalam menguasai
materi yang telah dipelajari dan ditetapkan. Hasil belajar yang diperoleh
merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui ketercapaian
siswa dapat memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk dapat
memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal diperlukan usaha yang cukup
keras bagi siswa, guru, dan juga pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran
baik yang langsung maupun tidak langsung.
Pada prinsipnya pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap
domain psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar
siswa. Menurut Sagala (2010: 12), bahwa untuk menangkap isi dan pesan
belajar maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada
beberapa ranah diantaranya ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif
yaitu
kemampuan
yang
berkenaan
dengan
pengetahuan,
pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang
mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan
penalaran yang terdiri dari penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi, dan
pembentukan hidup. Psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan
27
keterampilan jasmani terdiri dari kesiapan, persepsi, gerakan terbiasa, gerakan
terbimbing, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
10. Klasifikasi Makhluk Hidup
Ahli sistematika menggunakan taksonomi, yaitu identifikasi dan klasifikasi
spesies, dalam upaya menyusun organisme dalam kategori yang mencerminkan
filogeni. Taksonomi yang dikembangkan oleh Linnaeus pada abad ke-18 memiliki dua
ciri penting. Pertama metode ini memberikan setiap spesies sebuah nama Latin yang
terdiri atas dua kata atau binomial. Kata pertama nama itu adalaha genus (jamak,
genearal) ke mana spesies organisme itu tergolong. Bagian kedua nama binomial itu
atau epitet spesifik menunjukkan pada satu spesies di dalam genus tersebut (Campbell,
2003)
Protozoa membentuk suatu subkerajaan dari kerajaan Protista dalam
klasifikasi lima-kerajaan makhluk-makhluk hidup (Monera, Protista, Plantae,
Fungi, Animalia). Mereka lebih primitif dari hewan. Bagaimanapun kompleks
badan-badan mereka, dan banyak dari mereka sangat kompleks, semua struktur
yang berbeda itu berada di dalam sel. Protozoa adalah eukariotik yaitu
mempunyai nukleus yang dibungkus oleh membran, yang berlawanan dengan
bakteria yang prokariotik di mana apparatus nuklear tidak terpisah dari
sitoplasma. Protozoa berisi nukleus satu atau lebih, dapat terdiri dari berbagai tipe.
Dalam protozoa, berbeda dengan siliata, nukleusnya vesikuler dan semua nuklei di
dalam individu yang sama kelihatan sama (Levine, 1995: 1-2). Menurut Diah
(1995), sel eukariot memiliki beberapa struktur tambahan lain yang sebagian besar
terbungkus oleh membran. Untuk mempelajari sel eukariotik tumbuhan digunakan
sel tumbuhan yang khas. Tentu saja sebenarnya tidak ada benda yang mempnyai
kekhasan yang umum. Memang banyak ciri khas yang bisa disebutkan, tetapi
jarang semuanya sekaligus ditemui pada suatu individu. Walaupun demikian, sel
parenkim yang umumnya berdinding tipis dan berdiameter sama di seluruh bagian
memiliki sebagian besar keistmewaan sel tumbuhan khas itu. Sel parenkim
terdapat di empulur, korteks, mesofil, dan jaringan lain.
28
Fungi ialah heterotrof penghasil spora yang memiliki kitin, suatu
polisakarida nitrogen, dalam dinding selnya. Beberapa fungi hidup sebagai sel
tunggal, umumnya disebut sebagai khamir. Bagaimanapun, kebanyakan fungi
berupa multiseluler. Kapang dan cendawan ialah contoh fungi multiseluler yang
paling umum. Fungi multiseluler tumbuh sebagai jaringan filamen bercabang
yang secara kolektif disebut miselium (jamak:miselia). Tiap filamen ialah suatu
hifa (jamak: hifae). Hifa mengandung sel yang tersusun daru ujung ke ujung.
Bergantung pada kelompok funginya, terdapat atau tidak terdapat dinding
bersilangan antarsel hifa (Starr, 2012: 434).
Gambar 2.2 Tumbuhan Lumut dan Tumbuhan Paku
Anonim (2013), berdasarkan morfologi atau susunan tubuh tumbuhan bisa
dibedakan lagi atas dua jenis kelompok besar, yaitu tumbuhan tidak berpembuluh
(Thallophyta) yang meliputi lumut (Bryophyta) dan tumbuhan berpembuluh
(Tracheophyta) yang meliputi paku-pakuan (Pteridophyta), dan tumbuhan berbiji
(Spermatophyta). Menurut Tjitrosoepomo (1981: 27), Thallophyta meliputi
tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sebagai ciri utama tubuh yang berbentuk
talus. Yang disebut talus ialah tubuh tumbuhan yang belum dapat dibedakan
dalam tiga bagian utamanya, yang disebut akar, batang, dan daun. Tubuh
tumbuhan yang telah dapat dibedakan dalam ke 3 bagian tersebut dinamakan
kormus. Tumbuhan berkormus disebut Cormophyta. Tubuh yang berupa talus itu
mempunyai struktur dan bentuk dengan variasi yang sangat besar, dari yang
terdiri atas satu sel berbentuk bulat sampai yang terdiri atas banyak sel dengan
29
bentuk yang kadang-kadang telah mirip dengan kormusnya tumbuhan tingkat
tinggi. Sel yang menyusun tubuh telah memperlihatkan diferensiasi yang jelas,
dalam protoplasnya tampak nyata satu inti atau lebih dan plastida dengan bentuk
yang beraneka ragam.
Tumbuhan berbiji merupakan organisme yang multiseluler, berasal dari sel
tunggal yaitu zigot. Zigot kemudian membelah-belah dan berkembang menjadi
embrio dan akhirnya embrio tumbuh menjadi sporofit. Perkembangan embrio
menjadi sporofit, berbagai aktivitas sel terlibat didalamnya, yaitu proses
pembelahan sel, pertambahan volume sel, dan diferensiasi sel menjadi jaringanjaringan yang memiliki fungsi khusus. Embrio terdapat bentuk seperti daun
disebut kotileon. Jumlah kotiledon dapat satu atau dua. Di bagian bawah kotiledon
terdapat suatu sumbu yang mirip dengan sumbu batang disebut hipokotil. Pada
ujung bawah hipokotil terdapat calon akar dan di ujung atas calon tunas pucuk.
Setelah embrio menjadi sporofit, calon akar tumbuh menjadi akar dan calon tunas
pucuk menjadi tunas pucuk. Baik pada ujung akar maupun tunas pucuk terdapat
meristem apikal, yang terdiri atas sel-sel meristematik. Sel-sel tersebut akan
membelah membentuk tunas baru atau cabang, serta menambah panjang batang
atau akar (Sumardi, 1992).
Menurut Tjitrosoepomo (2013: 4-6), makhluk hidup yang menjadi objek
studi taksonomi tumbuhan adalah tumbuhan yang mencakup tumbuhan yang
sekarang masih hidup maupun tumbuhan dari masa lampau yang sekarang tinggal
ditemukan sisa-sisanya, yang biasanya telah menjadi fosil atau “cap” nya pada
batuan. Klasifikasi yang bertujuan untuk menyederhanakan objek studi itu pada
hakekatnya tidak lain daripada mencari keseragaman dalam keanekaragaman.
Betapapun besarnya keanekaragaman yang diperlihatkan oleh suatu populasi,
pastilah dapat kita temukan di antara warga populasi itu kesamaan ciri-ciri atau
sifa-sifat tertentu. Kesamaan-kesamaan atau keseragaman itulah yang dijadikan
dasar dalam mengadakan klasifikasi. Jelas bahwa dengan demikian warga suatu
unit atau takson itu mempunyai kesamaan sifat yang banyak tentulah merupakan
takson yang lebih kecil daripada takson yang warganya menunjukkan kesamaan
yang lebih sedikit. Dengan demikian dari seluruh tumbuhan yang ada di bumi ini
30
dapat disusun takson-takson besar kecil, yang dapat ditata mengikuti hierarki,
misalnya berturut-turut dari yang paling besar ke yang paling kecil atau
sebaliknya.
Hewan tidak bertulang belakang (Avertebrata) dikelompokkan menjadi
delapan
kelompok,
yaitu
hewan
berpori
(Porifera),
hewan
berongga
(Coelenterata), cacing pipih (Platyheminthes), cacing gilig (Nemathelminthes),
cacing berbuku-buku (Annelida), hewan lunak (Mollusca), hewan berkulit duri
(Echinodermata), dan hewan dengan kaki beruas-ruas (Arthropoda). Porifera
adalah hewan yang mempunyai pori-pori. Hewan ini tubuhnya seperti spons.
Habitatnya di perairan, warna tubuhnya bermacam-macam: merah, kuning, dan
hijau. Contoh hewan porifera: Spongilla, Euspongia, Poterion, Scypha (Anonim,
2013: 74-75). Menurut Jasin (1989: 77), Coelenterata merupakan hewan yang
tidak mempunyai usus yang sesungguhnya, tetapi pemberian nama istilah “hewan
berongga” itupun masih belum tepat, mengingat Coelenterata adalah hewan yang
tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarmya (coelom), yang memiliki
hanyalah sebuah rongga sentral yang ada di dalam tubuh yang di sebut
coelenteron. Dalam kenyataan coelenteron tersebut merupakan alat yang berfungsi
ganda, yaitu sebagai alat pencerna makanan dan sebagai alat pengedar sari-sari
makanan ke seluruh bagian tubuh.
Cacing pipih (filum Platyhelminthes) membentuk embrio tiga lapisan dan
memiliki sistem organ. Nama filum berasal dari bahasa Yunani, platy berarti
datar, dan helminth berarti cacing. Turbellaria, cacing isap (Trematoda) dan
cacing pita (Cestoda) ialah kelas utama. Kebanyakan turbellaria hidup di laut,
tetapi beberapa hidup di air tawar dan sedikit hidup di tempat basah di darat.
Sedangkan Annelida ialah cacing bilateral dengan selom dan tubuh bersegmen,
dalam dan luar. Molluska merupakan invertebrata simetris bilateral dengan selom
tereduksi. Kebanyakan hidup di laut, tetapi beberapa hidup di air tawar atau darat.
Semua memiliki mantel, struktur tambahan di dinding tubuh atas yang
membungkus rongga mantel (Starr, 2012: 458-463).
Echinodermata adalah hewan yang tubuhnya diselimuti duri, ada
lempengan zat kapur/zat kitin yang keras. Tubuhnya simetri radial dengan lima
31
lengan. Tubuhnya terdapat sistem ambulakral untuk alat gerak, bernapas, dan
menangkap mangsa. Ada 5 kelas yaitu Asteroidea (contohnya bintang laut),
Echinoidea (contoh landak laut, bulu babi), Ophiuroidea (contohnya bintang
ular), Crinoidea (contohnya lilia laut), Holothuroidea (contohnya teripang laut)
(Anonim, 2013: 76).
Gambar 2.3 Contoh Arthropoda (a) belalang, (b) kumbang, (c) kepiting, (d) labalaba, (e) kalajengking, (f) kutu, (g) caplak, (h) kelabang, (i) kaki seribu
Arthropoda berasal dari 2 kata yaitu arthres yang artinya bersendi-sendi
dan poda yang artinya kaki (alat ekstremitas). Arthropoda adalah kelompok hewan
yang mempunyai kaki yang bersendi-sendi, meliputi serangga, laba-laba, udang,
dan lipan. Phyllum ini mempunyai anggota yang paling banyak diantara phyllumphyllum yang lain. Kelompok hewan ini mempunyai ciri karakteristik,
diantaranya
adalah
mempunyai
segmen
tubuh
yang
heteronom
yaitu
segmentasinya tidak sampai pada alat-alat dalamnya. Hal ini hampir sama dengan
phyllum Annelida. Susunan saraf tangga tali yang terdiri dari ganglion cerebrale
dan ganglio longitudinale. Sistem peredaran darah terbuka dan belum mempunyai
cor, tetapi mempunyai pembuluh yang memanjang di sebelah dorsalnya yang
32
berfungsi seperti halnya jantung. Permukaan tubuh dilapisi eksoskeleton yang
keras berasal dari cuticula, merupakan hasil sekresi dari sel-sel epidermis
dibawahnya, tesusun dari zat kitin (amino polysakarida) yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan (Rahayu, 2004: 101-102).
Djuhanda (1983: 48-49), Vertebrata adalah hewan multisekuler yang kalau
diusut dari embrionya ia mempunyai tiga lapisan jaringan (lembaga) yaitu
disebelah luar disebut ektoderm, ditengah mesoderm, dan di dalam membatasi
rongga usus dinamakan entoderm. Badan bersifat bilateral simetris (samping kiri
kanan, ujung arterior dan posterior, permukaan dorsal dan ventral). Terdapat juga
rongga tubuh atau solom, yang dibatasi oleh mesoderm. Saluran pencernaannya
sempurna, yang berarti dalam lubang mulut dan lubang anus telah terpisah. Anus
berasal dari lubang permukaan tubuh embrio awal yang disebut blastoporus.
Rangka awal berasal dari mesoderm dan mesoderm dibentuk sebagian dari
jaringan yang berasal dari usus embrio.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan Singh (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Effectiveness of
Concept Attainment Model on Mental Process and Science Ability menerangkan
bahwa pada penelitian ini, berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
dengan menggunakan Concept Attainment Model merupakan salah satu model
pembelajaran yang efektif di dalam menemukan konsep-konsep yang akan dicapai
siswa. Di mana, model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam pencapaian konsep dan kemampuan sains siswa. Kesamaan antara
penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penerapan penggunaan model
pembelajaran Concept Attainment Model, di mana harapan penulis dengan
menggunakan model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi Klasifikasi Makhluk hidup karena pada materi tersebut terdapat
banyak konsep yang harus dipahami siswa, sehingga menurut penulis dengan
menerapkan model tersebut permasalahan siswa dapat teratasi.
33
Menurut Kalani (2008), Concept Attainment Model sangat berguna dalam
meningkatkan interaksi antara guru dan siswa. Penelitian ini, siswa mendapatkan
pengalaman secara langsung melalui eksperimen, sehingga konsep yang ada pada
materi tersebut dapat tercapai dengan baik. Siswa menjadi mampu melakukan
pencapaian konsep, merancang suatu percobaan, dan bekerjasama dalam
kelompok. Kesamaan penelitian ini menggunakan Concept Attainment Model,
merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan
pencapaian konsep pada siswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
akan dilakukan penulis adalah dari variabel moderatornya. Penulis menggunakan
variabel moderator kemampuan berpikir kognitif dan persepsi kreativitas siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Mukherjee (2011), dalam penelitiannya
yang berjudul Effectiveness of Concept Attainment Model (CAM) in Terms of
Achievement in Science of Class VIII dimana Concept Attainment Model
merupakan model pembelajaran yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar.
Rata-rata prestasi IPA kelas VIII menggunakan model pembelajaran ini dapat
meningkat daripada model pembelajaran yang tradisional. Dalam pengajarannya,
siswa dapat mendiskusikannya, sehingga dapat mengemukakan pendapatnya dan
bersikap terbuka menerima masukan dari siswa lain, sehingga konsep yang
diajarkan pada materi tersebut dapat tercapai. Kesamaan antara penelitian tersebut
di atas dengan penelitian penulis adalah penggunaan Concept Attainment Model
dalam pembelajaran. Perbedaan terletak pada subjek penelitian, penulis
menggunakan subjek penelitian kelas VII.
Kaur (2014), penelitian yang dilakukan menggunakan Concept Attainment
Model bertujuan untuk mempelajari pengaruh model tersebut dalam pembelajaran
dengan menggunakan sampel siswa kelas IX. Kesimpulan yang didapatkan bahwa
model pencapaian konsep yang dilakukan lebih efektif dibandingkan dengan
menggunakan model konvensional. Model pencapaian konsep ini dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam belajar. Model ini memainkan
peran penting dalam meningkatkan hasil belajar dan dapat memperkuat struktur
kognitif siswa. Selain itu, dengan model pencapaian konsep ini siswa
mendapatkan kesempatan untuk berpikir secara terbuka dan bebas dalam
34
mengemukakan pendapatnya. Perbedaan penelitian yang dilakukan terdapat pada
subjek penlitian dan mapel yang digunakan. Peneliti menggunakan subjek kelas
VII dan dilakukan pada mata pelajaran IPA.
Ostad (2014), dalam penelitiannya berjudul The Impact of Concept
Attainment Teaching Model and Mastery Teaching Method on Female High
School Student’s Academic Achievement and Metacognitive Skills bertujuan
menguji pengaruh/dampak menggunakan model pencapaian konsep dan
penguasaan metode untuk meningkatkan prestasi dan keterampilan metakognitif
siswa perempuan SMA. Kesimpulan penelitian ini menggunakan model
pencapaian konsep dapat mempengaruhi tingkat prestasi akademik dan
keterampilan kognitif siswa perempuan. Model ini menyebabkan siswa aktif
dalam melaksanakan pembelajaran. Kesamaan penelitian yang dilakukan
menggunakan Concept Attainment Model dan perbedaan terdapat pada subjek
penelitian yang dilakukan.
McDonald (2015), penelitian ini memberikan gambaran yang terkait
dengan efektifitas penggunaan model pembelajaran Concept Attainment Model.
Concept Attainment Model merupakan model pembelajaran yang menggunakan
model berpikir induktif yang dapat diterapkan berbagai macam jenjang siswa dan
efektif digunakan diberbagai macam mata pelajaran. Model ini merupakan strategi
pembelajaran induktif yang didesain guru untuk membantu siswa pada semua usia
dalam mempelajari konsep dan melatih dalam pengujian hipotesis. Perbedaan
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan subjek siswa SD sedangkan
peneliti menggunkan subjek siswa SMP.
Anjum (2014), penerapan model pencapaian konsep dengan metode
tradisional mempunyai pengaruh yang berbeda. Metode tradisional yang
digunakan menyebabkan ketidaktertarikan siswa dalam mempelajari konsep
geometri dalam mata pelajaran Matematika, sehingga hasil belajar siswa menjadi
rendah. Menurutnya, penggunaan model pencapaian konsep lebih efektif daripada
metode tradisional. Model pencapaian konsep akan mendorong siswa untuk
terlibat dalam kegiatan pembelajaran dengan antusias dan membantu mereka
memahami materi pelajaran lebih jelas. Model ini membantu menghubungkan
35
konsep teoritis, geometris, dan aplikasinya sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar.
Model pembelajaran concept attainment dapat meningkatkan self concept
siswa karena dalam tahapannya ada analisis tingkah laku melalui observasi dan
bertanya. Analisis tingkah laku didasarkan pada uji operasi mental siswa dengan
membuat catatan tentang apa yang mereka percayai tentang konsep yang telah
dimilikinya. Self concept siswa dapat terlihat ketika guru memberikan pertanyaan
dan ketika siswa berkolaborasi dengan temannya dalam menggabungkan ide yang
dimilikinya. Siswa yang memiliki self concept positif cenderung mampu
melakukan tugas yang diberikan dan optimis dengan jawaban yang dimilikinya
serta bersikap bijak dengan pendapat orang lain (Tina, 2015).
Danoebroto (2015), berpendapat bahwa pemahaman anak-anak perlu
kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat
tertentu berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf
berpikir operasional konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan
melalui objek konkrit yang dapat dimanipulasi oleh siswa. Belajar Matematika
menurut teori Piaget perlu disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif
individu. Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui
eksplorasi lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di
Indonesia yang cenderung individual dapat direduksi dengan mengelola
pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berinteraksi sosial. Guru harus
mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang sesuai dengan taraf berpikir
anak. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA dimana hendaknya dihadirkan
melalui objek konkrit di dalam pembelajarannya sehingga dengan kemampuan
berpikir kognitif dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Murtiningrum (2013), saat proses pembelajaran siswa yang berpikir
abstrak tinggi cenderung akan mudah memahami dibanding siswa yang berpikir
abstrak rendah. Karena siswa yang berpikir abstrak tinggi akan berusaha
merumuskan banyak alternatif hipotesis dalam menanggapi masalah dan
mengecek data terhadap setiap hipotesis untuk membuat keputusan yang layak.
Selain itu siswa tidak dibatasi pada benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang
36
konkret saja, tetapi mampu menangani proporsi yang berlawanan dengan fakta.
Ini berbeda dengan siswa yang berpikir abstrak rendah. Hal ini yang
menyebabkan adanya perbedaan terhadap hasil belajar siswa yang mempunyai
kemampuan berpikir abstrak tinggi atau rendah terhadap hasil belajar siswa.
Siswa dengan kemampuan berpikir abstrak tinggi memiliki hasil belajar
kognitif yang lebih baik daripada siswa dengan kemampuan berpikir abstrak
rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siswa yang memiliki kemampuan berpikir
abstrak yang tinggi akan lebih mudah mengkonkretkan materi-materi yang
bersifat abstrak dalam imajinasi mereka sehingga siswa akan lebih mudah pula
memahami konsep mereka pelajari. Siswa dapat berpikir fleksibel dan efektif,
serta mampu menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks (Wahyuni, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti yang berjudul
Penerapan Concept Mapping dengan Media Gambar untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran IPA disimpulkan bahwa concept mapping dengan media
gambar dapat meningkatkan keterampilan guru setiap siklusnya, siklus I
memperoleh persentase 55% dengan kategori cukup, siklus II memperoleh
persentase 73% dengan kategori baik, siklus III memperoleh persentase 93%
dengan kategori sangat baik. Aktivitas siswa meningkat, yaitu siklus I
memperoleh persentase 45,45% kategori cukup, siklus II memperoleh persentase
71,97% kategori cukup, dan siklus III memperoleh persentase 81,36 kategori baik.
Hasil belajar meningkat, yaitu siklus I mencapai ketuntasan belajar klasikal
57,57%, siklus II mencapai ketuntasan belajar klasikal 78,78%, dan siklus III
mencapai ketuntasan belajar klasikal 96,96%.
Berdasarkan penelitian diketahuai bahwa penerapan metode pembelajaran
student created case studies disertai media gambar dalam terbukti menimbulkan
interaksi yang efektif antara siswa dan guru, dimana siswa terlibat langsung dalam
proses pembelajaran yang dapat menimbulkan daya tarik siswa, dapat
menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk nyata, menyingkat suatu uraian,
memperjelas bagian-bagian yang penting, serta mudah disesuaikan dengan materi
pelajaran (Anggun, 2012). Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan peneliti
dalam menggunakan media gambar untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
37
Menurut Rela (2014), hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa
kelas X di SMA Gajah Mada Bandar Lampung bahwa penggunaan media gambar
berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa. Meningkatnya hasil belajar
oleh siswa tersebut dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran.
Hal tersebut dikarenakan media gambar yang digunakan dapat membuat peserta
berperan aktif pada setiap tahapan pembelajarannya, karena merasa lebih dekat
dengan contoh sehari-hari dalam lingkungannya sehingga dapat memperjelas
pemahaman siswa terhadap materi keanekaragaman hayati, media gambar juga
membuat pemahaman dan pengertian siswa menjadi lebih luas, lebih jelas dan
tidak mudah melupakan materi yang telah dipelajari. Media gambar yang
digunakan selama proses pembelajaran membantu siswa dalam menyelesaikan
LKK serta membuat siswa aktif dalam mengemukakan pendapat/ide, bertukar
informasi, mengajukan pertanyaan, bekerjasama serta berdiskusi dalam kelompok.
Menurut Sukarta, pembelajaran dengan media gambar dapat dibuktikan
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu: pada siklus I persentase
ketuntasan klasikal adalah 71,4%, dan pada siklus II sudah ada peningkatan
menjadi 90,5%, dapat dilihat bahwa dari kondisi awal ke siklus I terjadi
peningkatan nilai, berarti ada peningkatan kemampuan siswa memahami pelajaran
melalui media gambar. Hal ini terjadi karena dengan semangat belajar tinggi,
motivasi dari guru dan pembelajaran yang menyenangkan serta penggunaan media
maksimal dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran dan
memperoleh hasil sesuai tujuan yang diharapkan. Untuk memperoleh hasil
pembelajaran yang optimal, maka dalam proses pembelajaran semestinya
menggunakan media yang memungkinkan keterlibatan siswa secara maksimal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan media gambar dalam
pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Menurut Sarmi (2015), penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan
terdapat pengaruh pendekatan pembelajaran kontekstual berbantuan media
gambar terhadap minat belajar IPA siswa. Rata-rata skor minat belajar IPA siswa
terbukti lebih besar dibanding standar yang ditetapkan sehingga terbukti bahwa
pendekatan pembelajaran kontekstual berbantuan media gambar berpengaruh
38
positif terhadap minat belajar IPA siswa. Pembelajaran dengan bantuan media
gambar, guru bisa menarik perhatian peserta didik, memperjelas sajian ide,
mengilustrasikan fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila
tidak digrafiskan. Gambar termasuk media pembelajaran berbasis visual. Telah
diketahui bahwa media berbasis visual seperti gambar dapat memudahkan
pemahaman terhadap materi pelajaran yang rumit atau kompleks. Media gambar
dapat menyuguhkan elaborasi yang menarik tentang struktur atau organisasi suatu
hal, sehingga juga memperkuat ingatan. Media gambar dapat menumbuhkan
minat siswa dan memperjelas hubungan antara isi materi pembelajaran dengan
dunia nyata.
Wahyuni (2013), melalui laboratorium riil dan laboratorium virtuil melatih
siswa membuktikan hasil prediksinya melalui observasi secara langsung.
Berdasarkan bukti-bukti yang didapat, siswa menemukan dan mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Hal ini relevan dengan teori belajar Bruner tentang
belajar penemuan. Siswa berusaha sendiri mencari pemecahan masalah untuk
menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Kegiatan observasi mempermudah
siswa dalam memahami konsep karena siswa mengalami sendiri pengalaman
belajar. Peningkatan kemampuan psikomotor dalam diri siswa yang diperoleh
dalam pembelajaran akan berpengaruh pada hasil belajar afektif siswa. Hal ini
terlihat pada hasil belajar afektif siswa yang meningkat seiring dengan
peningkatan hasil belajar psikomotor siswa.
Ajoke (2012), penelitian yang digunakan dengan pendekatan demonstrasi
pada mata pelajaran Kimia ditinjau dari kreativitas dan keterampilan proses sains
siswa SMA. Kreativitas merupakan fenomena di mana seseorang menciptakan
sesuatu yang baru (produk, solusi, karya seni, dan lain-lain). Mempunyai
kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau
unsur-unsur yang ada, mencari alternatif jawaban terhadap suatu persoalan.
Berdasarkan penelitian tersebut, pendekatan demonstrasi dapat meningkatkan
kreativitas siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini mempunyai
kesamaan
dengan
peneliti
sama-sama
menggunakan
kreativitas
tetapi
39
menggunakan pendekatan yang berbeda. Peneliti menggunakan pendekatan
pencapaian konsep (Concept Attainment Model).
McGrath & Smith, penelitian ini menggunakan media poster untuk
meningkatkan kemampuan berpikir dan kreativitas. Poster merupakan cara yang
tepat untuk menyajikan, menganalisis dan memahami hasil penelitian. Siswa
mempresentasikan poster yang dibuat dan siswa yang lainnya mengajukan
pertanyaan untuk mengasah kemampuan berpikir siswa. Selain itu juga dapat
meningkatkan kreativitas siswa dalam membuat poster dan menjawab pertanyaan.
Penelitian yang dilakukan ini ternyata sangat efektif untuk meningkatkan
kemampuan berpikir dan kreativitas. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan
peneliti dalam hal peningkatan kemampuan berpikir dan kreativitas.
Simon, penelitian ini dibahas tentang penggunaan media power point
dalam pengajaran Fisika ditinjau dari kreativitas siswa. Hasil penelitian
disimpulkan bahwa pembelajaran Fisika dengan media power point disertai
animasi memberikan hasil belajar yang baik daripada menggunakan modul
dilengkapi alat peraga terhadap hasil belajar Fisika. Kesimpulan yang lain adalah
siswa memiliki kreativitas tinggi memiliki hasil belajar Fisika yang lebih baik
daripada memiliki kreativitas rendah. Kesamaan antara penulis sama-sama
menggunakan variabel moderator kreativitas siswa. Akan tetapi perbedaan terletak
pada media yang digunakan. Penulis menggunakan media riil dan media gambar
dalam melakukan pembelajaran dengan model pembelajaran pencapaian konsep
(Concept Attainment Model).
Sibel (2015) dalam penelitiannya yang berjudul A Comparative Look at
the Concepts of Creativity and Scientific Creativity didapatkan hasil bahwa
kreativitas dinyatakan dalam kebutuhan aktualisasi diri seseorang yang terletak di
bagian paling atas, berpikir kreatif tidak cukup membawa kreativitas saja
melainkan perlu dilengkapi dengan motivasi internal. Orang yang mempunyai
kreativitas didorong menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa,
lingkungan kelas, metode, dan teknik yang akan membantu meningkatkan
kemampuan berpikir. Penggunaan laboratorium merupakan salah satu yang
mengintegrasikan proses berpikir kritis dan kreatif di mana pemikiran logis
40
tentang isu ilmu pengetahuan dan belajar dapat dicapai dan merupakan metode
yang efektif dalam pembelajaran IPA.
Ovinawati (2013), berdasarkan penelitian pada hasil output SPSS
diperoleh deskripsi statistik hasil belajar keseluruhan siswa yang ditunjukkan pada
mean kategori kreativitas tinggi pada siswa= 84,2759 dan mean kategori
kreativitas rendah pada siswa= 78,6061, sehingga hasil belajar siswa yang
memiliki kreativitas tinggi lebih unggul daripada hasil belajar siswa yang
memiliki kreativitas rendah. Pada hasil output SPSS diperoleh hasil perhitungan
anava antara pengaruh kreativitas tinggi dan kreativitas rendah pada siswa yang
ditunjukkan dengan nilai uji-F= 8,065 dan memiliki P-value= 0,006 yang lebih
kecil dari α= 0,05, maka untuk hipotesisnya diterima, yaitu terdapat perbedaan
hasil belajar siswa antara siswa yang memiliki kreativitas tinggi dengan siswa
yang memiliki kreativitas rendah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ada pengaruh kreativitas belajar
tinggi dan kreativitas belajar rendah terhadap hasil belajar kognitif siswa tetapi
tidak berpengaruh terhadap hasil belajar ranah afektif, dan psikomotor. Nilai ratarata hasil belajar kognitif siswa dengan kreativitas belajar tinggi adalah 80,89 dan
siswa dengan kreativitas belajar rendah adalah 68,24. Berdasarkan perbedaan nilai
rata-rata ini dan nilai signifikansi yang 0,00 < 0,05 diketahui bahwa siswa dengan
kreativitas belajar tinggi lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar
rendah. Kreativitas bisa memberikan kemampuan yang mencerminkan kelancaran,
keluwesan, orisinalitas dalam berpikir dan kemampuan untuk mengelaborasi suatu
gagasan (Azizi, 2014).
Murtiningrum (2013), berdasarkan penelitian yang dilakukan ada pengaruh
yang signifikan kreativitas terhadap hasil belajar siswa ranah kognitif, tetapi tidak
ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar siswa ranah afektif. Tingkat
kreativitas antara masing-masing siswa tidaklah sama. Karena pengembangan
kreativitas dapat diperoleh dari masing-masing pengetahuan yang dimiliki siswa,
bisa pula dipengaruhi oleh lingkungan dan segala permasalahanya sehingga
menumbuhkan daya kreativitas. Dengan demikian kreativitas yang dimiliki
masing-masing siswa berbeda-beda pula. Siswa yang mempunyai kreativitas
41
tinggi selalu ingin mencari pengalaman yang baru, dan tidak merasa puas dengan
jawaban yang ada. Mereka akan selalu mencari alternatif untuk mendapatkan
solusi lain yang dapat memecahkan masalah. Selain itu siswa dengan daya
kreativitasnya tinggi akan senang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
termotivasi untuk mencari pengalaman baru serta penemuan yang memuasakan
bagi mereka. Munculnya kreativitas biasanya didasari oleh pengalaman dan
pengetahuan sebelumnya dan dapat berkembang menurut pengalaman atau proses
belajar dari siswa tersebut. Siswa yang kreativitasnya tinggi akan memahami
materi dengan caranya sendiri sehingga dapat mengoptimalkan proses belajarnya
dan mengakibatkan prestasi belajarnya meningkat. Sebaliknya siswa yang
kreativiasnya rendah akan cenderung pasif dan tidak ada inovasi sehingga dalam
memahami materi tidaklah maksimal, siswa tidak antusias dalam menyaelesaikan
masalah.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian teori yang telah diuraikan,
dapat disusun kerangka pemikiran guna memperoleh jawaban sementara atas
permasalahan yang dikemukakan. Kerangka pemikiran yang digunakan sebagai
acuan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Pengaruh pembelajaran menggunakan Concept Attainment Model dengan
media riil dan media gambar.
Concept Attainment Model merupakan salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep melalui
pengkonstruksian sejumlah informasi berupa contoh dan non contoh yang
diberikan. Melalui model ini, siswa diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan mereka dalam menganalisis sejumlah contoh dan non contoh
yang diberikan sehingga mereka dapat menemukan konsep tanpa diberikan
secara langsung oleh guru. Model ini memerlukan media yang dapat
mendukung pembelajaran. Media yang digunakan adalah media riil dan
media gambar. Penelitian ini diharapkan ada perbedaan hasil belajar siswa
pada saat menggunakan media riil dan media gambar. Penggunaan media riil
42
lebih memberikan pengaruh daripada media gambar. Pemakaian media riil
dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,
membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. Media riil
merupakan
obyek
sebenarnya
yang
digunakan
sebagai
alat
bantu
pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran IPA khususnya biologi, media
riil pada umumnya banyak ditemukan di lingkungan sekitar, sehingga siswa
dapat memperoleh pengalaman secara langsung melalui observasi.
2.
Pengaruh kemampuan berpikir kognitif.
Kemampuan berpikir kognitif merupakan faktor internal siswa yang dapat
mempengaruhi hasil belajar. Kemampuan berpikir kognitif yang digunakan
pada penelitian ini menggunakan kemampuan berpikir konkret dan abstrak.
Penelitian ini diharapkan siswa dengan kemampuan berpikir konkret dapat
mempunyai hasil belajar yang lebih baik. Siswa akan lebih mudah
mempelajari hal yang konkret daripada yang abstrak, memberikan kejelasan
objek yang diamatinya. Operasional konkret menunjukkan kenyataan adanya
hubungan dengan pengalaman empiris konkret yang lampau dan masih
mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari
pengalaman khusus. Kemampuan berpikir konkret-abstrak dengan dimulai
dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju
siswa sebagai pengamat nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat
terhadap kejadian yang disajikan dengan media.
3.
Pengaruh persepsi kreativitas.
Faktor internal yang mempengaruhi siswa adalah kreativitas. Tingkat
kreativitas siswa akan mempengaruhi cara belajar sehingga akan berpengaruh
pada hasil belajar. Siswa dengan persepsi kreativitas tinggi diduga akan
mempunyai hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan
kreativitas rendah. Siswa dengan persepsi kreativitas tinggi akan lebih aktif
dalam pembelajaran sehingga informasi yang diperoleh cenderung lebih
banyak dipahami dan menghasilkan hasil belajar yang lebih baik
dibandingkan siswa dengan persepsi kreativitas rendah.
43
4.
Interaksi antara media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir
kognitif.
Penggunaan media pembelajaran sangat membantu keefektifan proses
pembelajaran dan penyampaian isi pesan. Penggunaan media riil dan media
gambar merupakan contoh media yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Siswa dengan menggunakan media rii akan mampu mendukung siswa
mempunyai kemampuan berpikir konkret dan siswa dengan penggunan media
gambar akan mampu mendukung siswa dengan mempunyai kemampuan
berpikir abstrak. Pemilihan media yang tepat dapat menarik perhatian siswa
serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran
yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Siswa lebih
mudah mempelajari hal yang konkret daripada yang abstrak.
5.
Interaksi antara media riil dan media gambar dengan persepsi kreativitas.
Penggunaan media riil dan media gambar mendorong siswa ikut terlibat aktif
dalam pembelajaran, persepsi kreativitas merupakan bentuk tindakan inovatif
yang berasal dari pemikiran seseorang. Penggunaan media riil dengan
persepsi kreativitas tinggi dan media gambar dengan persepsi kreativitas
tinggi dapat meningkatkan hasil belajar daripada penggunaan media riil dan
media gambar dengan kreativitas rendah.
6.
Interaksi antara kemampuan berpikir kognitif dengan persepsi kreativitas.
Proses pembelajaran yang dilakukan membutuhkan kreativitas tinggi untuk
menemukan
konsep
berdasarkan
contoh
yang
ada
di
lingkungan
pembelajaran. Persepsi kreativitas siswa dalam hal ini merupakan
kemampuan berpikir kognitif siswa untuk peka dalam menemukan masalah,
pemecahan masalah dan membahas suatu masalah dalam pembelajaran IPA.
Kemampuan berpikir abstrak dan konkret dengan persepsi kreativitas tinggi
diharapkan siswa dapat mencapai konsep pembelajaran yang diinginkan, hasil
belajar siswa dapat meningkat.
7.
Interaksi antara media, kemampuan berpikir kognitif, dan persepsi kreativitas.
Penggunaan media riil dan media gambar memberikan variasi dalam
pembelajaran sehingga siswa dengan mempunyai kemampuan berpikir
44
kognitif dan persepsi kreativitas menghasilkan hasil yang beragam.
Diharapkan dengan menggunakan media tersebut terlibat aktif dalam
pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, maka diduga terdapat perbedaan
antara penggunaan media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir
kognitif dan persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar.
Berdasarkan uraian kerangka berpikir di atas, dapat dibuat gambar
kerangka berpikir sebagai berikut:
Fakta di Lapangan
Penerapan model pembelajaran yang kurang tepat, media pembelajaran
yang belum bervariasi, siswa memiliki pemahaman konsep IPA yang rendah
Solusi Permasalahan
Penerapan model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment
Model) menggunakan media riil dan media gambar pada materi
Klasifikasi Makhluk Hidup
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Media Riil
Media Gambar
Kemampuan Berpikir
Kognitif
Persepsi
Kreativitas
Hasil Belajar IPA Materi Klasifikasi Makhluk Hidup
Meningkat
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
45
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan pada
penelitan, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada pengaruh pembelajaran IPA menggunakan Concept Attainment Model
dengan media riil dan media gambar terhadap hasil belajar pada materi
Klasifikasi Makhluk Hidup.
2. Ada pengaruh kemampuan berpikir kognitif terhadap hasil belajar pada materi
Klasifikasi Makhluk Hidup.
3. Ada pengaruh tingkat persepsi kreativitas siswa antara siswa yang memiliki
persepsi kreativitas tinggi dan rendah pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup.
4. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model
dengan media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir konkret
siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup.
5. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model
dengan media riil dan media gambar dengan persepsi kreativitas siswa terhadap
hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup.
6. Ada interaksi antara kemampuan berpikir kognitif dengan persepsi kreativitas
siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup.
7. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model
dengan media riil dan media gambar, kemampuan berpikir kognitif, dan
persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi
Makhluk Hidup
Download