9 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar dan Pembelajaran Sains Belajar adalah proses tingkah laku seseorang setelah memperoleh informasi yang sengaja. Informasi tersebut berasal dari lingkungan seseorang. Penerimaan informasi yang disengaja akan berakibat pada perubahan tingkah laku baik itu menyangkut aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap (Uno, 2008: 17). Menurut Sagala (2010), belajar dapat dipahami sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapat suatu kepandaian. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah: a. kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi, b. afektif yaitu kemampuan mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian atau penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup, c. psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, kegiatan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Menurut Hardy & Fleer (1996: 15-16), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehingga guru memungkinkan untuk memahami pengertian sains dalam perspektif yang lebih luas: a. Sains sebagai kumpulan pengetahuan. Sains sebagai kumpulan pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang sangat baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori, dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam, b. Sains sebagai proses penelusuran (investigation). Sains sebagai proses penelusuran umumnya merupakan pandangan yang menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai sesuatu yang memiliki disiplin yang ketat, obyektif, dan suatu proses yang bebas nilai dari 10 kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis, dan percobaan dalam alam, c. Sains sebagai kumpulan nilai. Sains sebagai kumpulan nilai berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses, menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu, dan keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru, d. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia. Proses sains dipengaruhi oleh cara di mana orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Sains dipertimbangkan sebagai suatu cara di mana manusia mengerti dan memberi makna pada dunia disekeliling mereka. Namun demikian, disadari pula bahwa sains memiliki keterbatasan sebagai kumpulan pengetahuan dan strategi untuk menelusuri serta memahami dunia secara komprehensif, e. Sains sebagai hasil konstruksi manusia, merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat semesta alam. Pengetahuan ilmiah ini tidak lain merupakan akumulasi kebenaran. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan konstruksi pemikiran manusia. Oleh karenanya, dapat saja apa yang dihasilkan sains memiliki sifat bias dan sementara, f. Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Bukan saja pemakaian berbagai jenis produk teknologi sebagai hasil penelusuran dan pengetahuan, melainkan pula bagaimana cara orang berpikir mengenai situasi sehari-hari sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah. Sains merupakan bagian dari kehidupan kita dan merupakan bagian dari pembelajaran sains. Interaksi antara siswa dengan lingkungan merupakan ciri pokok dalam pembelajaran sains. Belajar sains bukan hanya untuk memahami konsep-konsep ilmiah dan aplikasinya dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengembangkan berbagai nilai (Cross, 1996). Kebanyakan siswa tidak berkembang dalam pemahaman konsep-konsep ilmiah dan prosesnya secara terintegrasi dan fleksibel. Sebagai contoh, mereka dapat menghafalkan berbagai konsep dan fakta, tetapi tidak dapat menggunakannya untuk menjelaskan fenomena dalam kehidupan yang berhubungan dengan konsep tersebut. Pembelajaran IPA di SMP lebih ditekankan pada penguasaan konsep dan 11 berkaitan dengan aspek lainnya. Disamping itu juga untuk memberikan tekat pada siswa agar mampu menggunakan metode ilmiah dengan dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Untuk memperkecil permasalahan, pembelajaran sains di sekolah diharapkan memberikan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan. Siswa didorong untuk memberikan penjelasan atas pengamatan mereka dalam diskusi kelas. Manakala sains hanya diajarkan melalui hafalan, siswa yang kerap kali memiliki pengetahuan awal yang kaya tentang fenomena, tidak menggunakan pengetahuan mereka dalam proses belajarnya. Belajar sains seharusnya memberikan kesenangan intelektual bagi siswa dalam membongkar seluk-beluk suatu teka-teki dan memperbaiki berbagai konsep yang masih keliru. Lebih lanjut, Santa & Alverman (1991: 49) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains, anak mengakui konsep atau penjelasan ilmiah bertentangan dengan teori yang mereka miliki. Mereka butuh diyakinkan bahwa teori yang mereka miliki tidak lengkap, tidak cocok, atau tidak konsisten dengan bukti eksperimen, dan bahwa penjelasan ilmiah menyediakan alternatif yang lebih meyakinkan dan lebih berdaya. Anak butuh pengulangan kesempatan dalam hal bergelut dengan ketidakkonsistenan antara ide yang dimiliki dengan penjelasan ilmiah, mengorganisasikan cara berpikir, menghilangkan atau memodifikasi berbagai ide yang telah memberikan bantuan dalam kehidupan mereka selama ini, dan membuat hubungan yang cocok antara berbagai ide yang mereka miliki dengan berbagai konsep ilmiah. Pembelajaran sains dengan hafalan dan pemahaman konsep, siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan sikap ingin tahu, dan berbagai penjelasan logis. Ini akan mendorong siswa untuk mengekspresikan kreativitasnya. Siswa juga didorong untuk mengembangkan cara berpikir logis dan kemampuan untuk membangkitkan penjelasan ilmiah untuk alasan yang bersifat hakiki dan praktis. Transfer belajar bukan hanya terletak pada aplikasi dari prinsip dan konsep yang umum tetapi pada kemampuan untuk menciptakan hubungan antara apa yang telah diketahui dan apa yang dibutuhkan untuk diketahui. Siswa diharapkan dapat menggunakan berbagai tipe dalam berpikir untuk memahami dunia mereka. Lebih banyak model berpikir kreatif yang 12 digunakan akan sangat mendorong mereka dalam memberikan alasan yang bersifat ilmiah (Cullingford, 1990: 86). Menurut Cain dan Evans dalam Rustaman et al (2011), pembelajaran sains menandung empat hal yaitu konten (produk), proses (metode), sikap, dan teknologi. Sains sebagai konten (produk) berarti bahwa dalam sains terdapat fakta, hukum, prinsip, dan teori yang sudah diterima kebenarannya. Sains sebagai proses atau metode berarti bahwa sains merupakan metode untuk mendapatkan pengetahuan. Sains merupakan sikap, artinya dalam sains terkandung sikap seperti tekun, terbuka, jujur, dan objektif. Sains sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa sains mempunyai keterkaitan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran sains disamping pemahaman berbagai konsep adalah untuk mengembangkan skill siswa dalam proses keilmuan seperti pengamatan, pengukuran, pembandingan, penyusunan kerangka, penyimpulan, peramalan, dan pembentukan kesimpulan. Pembelajaran sains, siswa memperoleh berbagai kesempatan dalam penelusuran, penemuan, dan penyelidikan. Siswa juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikap ingin tahunya dan sikap untuk mau bertanya sehingga mereka mulai memahami dan membangun ide-ide baru serta menjelaskan alam ini. 2. Teori- Teori Belajar a. Teori Belajar Piaget Teori belajar kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan proses internal, mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaannya. Belajar adalah suatu proses memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapatkan melalui proses yang menunjukkan terjadinya kegiatan/berubahnya kegiatan sebagai akibat terjadinya reaksi terhadap keadaan (Willis, 1989: 18). Salah satu sumbangan pemikirannya yang digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu: 1) sensory motor, 2) pre operational, 3) concrete operational, dan 4) formal operational. 13 Menurut Piaget, tahap sensory motor (umur 0-2 tahun), ciri pokok berdasarkan tindakan dan langkah demi langkah, tahap pre operational (umur 2-7 tahun), ciri pokok perkembangan penggunaan simbol bahasa dan konsep intuitif, tahap concrete operational (umur 7-11 tahun) ciri pokok perkembangan pemakaian aturan jelas/logis, reversible dan kekekalan, tahap operasi formal (11 tahun keatas) ciri pokok perkembangan hipotetis, abstrak dedukatif, induktif, logis dan probabilities. Setiap tahap-tahap perkembangan kognitif mempunyai beberapa sifat yaitu: Pada tahap formal operational, kemampuan skema kognitifnya terbatas. Anak suka meniru perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru) yang pernah ia lihat ketika orang itu merespon perilaku orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Anak mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek secara efektif. Pada tahap operasional konkret, anak sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, mempunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang bervariasi tingkatannya, anak sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Pada tahap opersional formal, anak menginjak usia remaja, tahap ini anak memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif baik secara simultan (serentak) maupun berurutan. Mampu berpikir untuk memecahkan masalah menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon, mampu menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Usia diatas operasional formal adalah anak berada di tingkat pendidikan SMP. Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah: 1) bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir 14 anak, 2) anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya, 3) bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing, 4) memberikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya, 5) di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. b. Teori Belajar Bruner Menurut Bruner dalam teorinya “free discovery learning”, mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan pemahaman melalui contoh yang dijumpai dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa pembelajaran hendaknya tidak dilakukan hanya satu arah, melainkan untuk selalu melibatkan siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa bukan hanya melihat dan mendengar informasi yang disampaikan oleh guru, akan tetapi diharapkan dapat menemukan sendiri suatu konsep atau teori dari materi yang dipelajari. Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu seseorang melakukan aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik seperti sentuhan, penglihatan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic yaitu seseorang memahami objek atau dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Artinya, dalam memahami dunia sekitar anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan. Tahap symbolic yaitu seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. c. Teori Belajar Ausubel Menurut Willis (1989: 110-111), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi yaitu cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi yang kedua menyangkut bagaimana 15 siswa mengkaitkan informasi pada struktur kognitif yang ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingatkan oleh siswa. Pada tingkat pertama belajar, informasi dapat mengkomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi dalam bentuk final maupun dalam bentuk penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan (konsep-konsep) yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi sumber-sumber yang telah ada, tergantung pada sejarah pengalaman seseorang, maka sumber itu dapat relatif besar dan berkembang atau kurang berkembang. Belajar bermakna sangat diperlukan pada pembelajaran biologi, sebab banyak konsep-konsep yang sangat luas, rumit sehingga terkadang siswa sulit memahami. Perlibatan emosi, kebutuhan dan kesenangan aktualisasi diri siswa melalui kegiatan yang melibatkan seluruh panca indera dan otak untuk berpikir sangat membantu kebermaknaan belajar. 3. Concept Attainment Model Model pembelajaran merupakan pendekatan alternatif yang dapat dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran, dikembangkan untuk membuat siswa belajar lebih efektif, dan perangkat evaluasi unggul saat guru ingin mengetahui sejauh mana siswa mampu menguasai gagasan-gagasan penting yang mereka ajarkan. Model ini dengan cepat akan memberikan laporan tentang kedalaman pemahaman siswa sekaligus akan memperkuat pengetahuan mereka sebelumnya. Model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model) didesain oleh Joyce dan Weil yang didasarkan pada hasil riset Jerome Bruner dengan maksud bukan saja didesain untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif, tetapi juga untuk menganalisis dan mengembangkan konsep pada diri siswa. Penggunaan model pencapaian konsep (Concept Attainment Model) 16 dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh-contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh tentang hal-hal yang akrab dengan siswa. Joyce dan Weil mengemukakan bahwa model pembelajaran Concept Attainment Model memiliki unsur sebagai berikut: a. Struktur Pengajaran/ Sintak Concept Attainment Model Struktur pengajaran atau Sintak model pencapaian konsep adalah tahaptahap kegiatan dari model pembelajaran konsep. Model pembelajaran konsep memiliki tiga fase, yaitu: 1) Tahap penyajian data dan identifikasi konsep Guru memberikan contoh-contoh kepada siswa, contoh tersebut merupakan data “contoh positif” dan “contoh negatif” konsep terpisah. Data tersebut dapat berupa kejadian, manusia, objek, cerita, gambar atau lainnya yang dapat dibedakan satu sama lain dan belum diberi nama konsep. Siswa diberitahu oleh guru mengenai contoh positif yang memiliki satu gagasan umum. Tugas siswa adalah mengembangkan satu hipotesis tentang sifat atau ciriciri dari konsep tersebut dengan cara membandingkan sifat dan ciri dalam contoh positif dan negatif. Contoh-contoh disajikan dalam suatu instruksi yang telah diatur sebelumnya dan dilabeli dengan “Ya” atau “Tidak”. Pada akhirnya, siswa diminta untuk menamai konsep-konsep mereka dan menyampaikan aturan-aturan atau definisi konsep menurut sifat yang paling esensial. 2) Pengujian pencapaian konsep Siswa menguji penemuan konsep mereka dengan cara mengidentifikasi secara tepat contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dari konsep dan kemudian siswa membuat contoh-contoh menurut mereka. Langkah selanjutnya guru dan siswa mengoreksi contoh positif dan contoh negatif kemudian merevisi contoh mana saja yang benar, kemudian siswa mencari contoh lain yang sesuai dengan konsep. 17 3) Analisis strategi berpikir Pada tahap analisis strategi berpikir, siswa mendeskripsikan pemikiranpemikiran mereka, mendiskusikan peran sifat-sifat dan hipotesis serta mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis. Siswa menganalisis strategi-strategi berpikir mereka untuk mencapai konsep yang dimaksud. Strategi berpikir siswa bervariasi, ada yang mencoba dan mengkerucutkan konsep, dan ada pula yang memperluas konsep. Siswa diminta mengungkapkan alasan-alasan yang berkenan dengan membuat contoh tambahan, merumuskan konsep dengan kata-kata sendiri dan menjabarkan langkah penyelesaian suatu konsep. Berikut adalah struktur pengajaran model pencapaian konsep (Concept Attainment Model) (Joyce & Weil, 2009: 136). Tabel 2.1 Sintak Model Pembelajaran Pencapaian Konsep a. b. c. a. b. c. Tahap Pertama: Tahap Kedua: Penyajian Data dan Identifikasi Pengujian Pencapaian Konsep Konsep Guru menyajikan contoh-contoh a. Siswa mengidentifikasi contoh yang telah dilabeli tambahan yang tidak dilabeli Siswa membandingkan sifat/ciri dengan tanda Ya atau Tidak dalam contoh yang negatif dan b. Guru menguji hipotesis, menamai positif konsep, dan menyatakan kembali Siswa menjelaskan sebuah definisi definisi-definisi menurut sifat/ciri menurut sifat/ciri yang paling yang paling esensial esensial c. Siswa membuat contoh-contoh Tahap Ketiga: Analisis Strategi-Strategi Berpikir Siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran Siswa mendeskripsikan peran sifat-sifat dan hipotesis-hipotesis Siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis b. Sistem Sosial Sistem sosial model pembelajaran pencapaian konsep adalah situasi atau susunan dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran pencapaian konsep. Model ini memiliki struktur yang moderat. Guru melakukan pengendalian terhadap aktivitas siswa tetapi tidak dapat dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas dalam fase itu. Pengorganisasian kegiatan itu diharapkan siswa akan lebih 18 memperlihatkan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri dalam kegiatan mengajar. Guru memilih konsep, menyeleksi dan mengolah bahan menjadi contohcontoh positif dan contoh negatif, serta mengurutkan atau merangkai contohcontoh tersebut. Guru diharuskan menggali ide dan bahan-bahan dari sumber lain, serta merancangnya sedemikian rupa sehingga ciri tersebut semakin jelas baik contoh positif maupun negatif. Untuk penggunaan model pencapaian konsep, guru bertindak sebagai perekam, yang mengawasi hipotesis dan konsep yang dibuat siswa. Guru mencatat, memberikan isyarat kepada siswa, dan menyajikan data tambahan, serta guru telah menyajikan data yang sudah terstruktur. c. Tugas/ Peran Guru Selama proses belajar berlangsung, tugas guru adalah bersikap simpatik pada hipotesis yang dibuat oleh siswa, menciptakan dialog yang didalamnya siswa dapat menguji hipotesis mereka dengan hipotesis teman-temannya yang lain, fokus pada sifat-sifat dari contoh yang ada, dan mendampingi siswa dalam mendiskusikan serta mengevaluasi strategi berpikir mereka. Guru harus dapat menjadi motivator bagi siswa dalam menguji hipotesis yang mereka buat. Hal yang dimaksud adalah guru tetap terbuka untuk berdialog dan beradu argumentasi dengan siswa. d. Sistem Pendukung Model pencapaian konsep mensyaratkan adanya contoh-contoh negatif dan positif pada siswa, tugas siswa adalah mencapai atau mendapatkan konsep yang sebelumnya telah dipilih oleh guru. Oleh karenanya, sumber data yang diperlukan harus sesuai dan terlihat jelas. Sarana, bahan, dan alat yang diperlukan dapat berbentuk gambar, diagram, foto, slide, LKS dan data terpilih dapat terorganisasi dalam bentuk unit-unit yang berfungsi untuk memberikan contoh-contoh. Siswa disajikan dengan sebuah contoh, mereka menggambarkan karakteristik (ciri-ciri) dari contoh tersebut yang kemudian dapat direkam oleh guru. 19 Dukungan dapat terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: 1) Materi-materi yang telah diseleksi dan dikelola dengan cermat dan diteliti, 2) Data atau unit yang berbeda disajikan untuk contoh. Saat siswa memiliki cukup pengalaman, mereka bisa diminta untuk berdiskusi dalam membuat unit data, dengan catatan siswa dapat menghasilkan contoh-contoh. Proses pelaksanaannya, model pembelajaran pencapaian konsep memberikan tuntunan yang jelas. Proses kegiatan dimulai dari kegiatan yang bersifat sederhana sampai kegiatan yang bersifat komplek. 4. Media Pembelajaran Proses pembelajaran merupakan sebuah proses komunikasi yakni ada yang memberikan pesan dan ada yang menerima pesan. Pesan tersebut membutuhkan media, di mana media merupakan tempat untuk menyalurkan pesan. Media pembelajaran dapat menyampaikan pesan secara konkret atau lebih apabila dibandingkan melalui kata-kata yang diucapkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamalik (1989: 12) dalam Rahayu (2006: 24) bahwa yang dimaksud media pendidikan adalah alat, metode, dan lukisan yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Menurut Hamalik (1986) dalam Arsyad (2004: 5) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. Penggunaan media pembelajaran membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian isi pesan. Selanjutnya Sudjana (1989: 2) mengatakan bahwa manfaat media adalah: a. pengajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, b. bahan pengajaran lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran dengan baik, c. metode mengajar lebih bervariasi, tidak semata melalui penuturan kata-kata guru sehingga membosankan, d. siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab itu hanya mendengar uraian guru, tetapi juga ikut mengamati, melakukan demonstrasi, dan 20 lain-lain. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran adalah berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir konkret menuju ke berpikir abstrak, dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks. Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikonkretkan, dan halhal yang komplek dapat disederhanakan. Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Heinich et al, 2002:11) Menurut Sanjaya (2009: 165), untuk memahami peranan media dalam proses mendapatkan pengalaman belajar bagi siswa, Edgar Dale melukiskannya dalam sebuah kerucut yang kemudian dinamakan kerucut pengalaman (cone of experience). Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale itu memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, contohnya 21 melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh siswa. Sebaliknya, semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman, contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh siswa. 5. Media Riil Media asli merupakan obyek sebenarnya yang digunakan sebagai alat bantu pembelajaran. Cakupan media asli dalam pembelajaran IPA sangat luas, mulai dari bagian kecil suatu obyek sampai obyek utuh lengkap dengan habitatnya. Berdasarkan ukurannya mulai dari obyek yang besar sampai dengan obyek mikroskopis yang hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Media asli sering juga disebut sebagai obyek nyata (riil), dalam kaitan materi biologi adalah makhluk hidup utuh atau bagian-bagiannya. Media riil sering kali dijumpai dan digunakan dalam pembelajaran. Apabila kita cermati media pembelajaran riil adalah media pembelajaran yang menggunakan benda-benda nyata secara fisik dapat dipegang atau berupa benda konkret. Kegiatan pembelajaran IPA khususnya biologi, media riil pada umumnya banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Ada beberapa keunggulan dan kekurangan penggunaan media riil. Adapun keuntungan penggunaan media riil antara lain, mampu memberikan gambaran secara jelas, melatih keterampilan siswa dalam menggunakan alat. Kekurangan penggunaan media riil antara lain dimungkinkan adanya kesalahan pembacaan dan perolehan data percobaan. Selain itu, keterbatasan lingkungan sekolah yang kurang mendukung sehingga mengakibatkan pembelajaran tidak dapat berjalan dengan maksimal. Namun demikian media ini menjadi pilihan yang baik bagi guru dalam pengajaran karena melatih kecermatan ketelitian dan keterampilan siswa dalam kegiatan pembelajaran. 6. Media Gambar Media banyak ragamnya, namun kenyataannya tidak banyak jenis media yang bisa digunakan guru di sekolah. Beberapa media yang paling akrab dan 22 hampir semua sekolah memanfaatkan adalah media cetak (buku) dan papan tulis. Selain itu, banyak sekolah yang telah memanfaatkan jenis media lain seperti peta, kartu bergambar, OHP, dan obyek-obyek nyata. Menurut Latuheru (2002), jenis gambar yang banyak digunakan dalam pembelajaran adalah foto dan ilustrasi dari buku-buku. Maksud guru menggunakan foto adalah untuk mengatasi kesulitan mendapatkan atau menampilkan benda aslinya dalam kelas. Gambar paling umum dipakai dalam pembelajaran, gambar mempunyai sifat yang universal, mudah dimengerti, dan tidak terikat oleh keterbatasan bahasa. Penggunaan media pembelajaran tidak harus berbasis teknologi, tetapi dapat berupa media sederhana yang mudah didapat dan mudah dalam proses pembuatannya. Media gambar adalah salah satu media visual sederhana yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan media. Media gambar adalah media yang sering digunakan guru dalam penyampaian materi pelajaran. Menurut Arsyad (2002), media gambar menimbulkan daya tarik siswa, dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk nyata, menyingkat suatu uraian, memperjelas bagian-bagian yang penting, serta mudah disesuaikan dengan materi pelajaran. Media gambar mampu memproyeksi ukuran benda yang sebenarnya sehingga siswa mempunyai gambaran akan konsep yang dijelaskan oleh guru melalui media gambar tersebut (Hamzah, 1987: 27). Penggunaan media gambar dalam pembelajaran juga memiliki beberapa keunggulan. Media gambar merupakan media pembelajaran yang dapat menunjukkan gambaran keadaan tertentu dimasa lalu ataupun dimasa mendatang. Hal-hal yang abstrak yang tidak dapat dihadirkan dalam pembelajaran di kelas dapat terwakili dengan adanya media gambar. Keunggulan lain yaitu media gambar juga dapat mengatasi ruang dan waktu, misalnya kejadian sejarah dimasa lalu. 7. Kemampuan Berpikir Kognitif Pemilihan media yang tepat dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Siswa akan lebih mudah mempelajari hal yang konkret ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan konkret- 23 abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat. Pertama, Jerome Bruner (Heinich, et.al. 2002: 11) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan benda nyata/konkret (enactive), kemudian ke semi konkret (iconic) baru ke abstrak (symbolic). Menurut Bruner, hal ini juga berlaku tidak hanya untuk anak tetapi juga untuk orang dewasa. Kedua, Edgar Dale mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak. Edgar Dale, membuat jenjang konkret-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju siswa sebagai pengamat nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkret-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of experiment), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pada tahap operasional konkret, siswa mulai untuk dapat memandang “dunia” secara obyektif dan berorientasi secara konseptual. Berpikir secara operasional konkret dapat dipandang sebagai tipe awal berpikir ilmiah. Baik dari hasil penelitian maupun pengalaman praktis menunjukkan bahwa siswa kelas VIII SMP (usia 11-15 tahun), sebagian besar siswa mulai bergeser dari sekedar menamai dan mengelompokkan benda-benda menuju ke kemampuan dalam hal memerikan, mengorganisasi, dan menghubungkan sifat-sifat benda (Trianto, 2009: 109 dalam Depdiknas, 2002: 11). Memberikan kesempatan melalui persentuhan dengan benda-benda konkret dalam pengajaran sains, siswa pada tahap operasional konkret memulai untuk mengorganisasi penyelidikan dalam bentuk kelas-kelas dan variabel, mengukur variabel secara bermakna, dapat memahami dan mencatat data pada tabel, membentuk dan memahami hubungan sederhana, menggunakan apa yang mereka ketahui untuk membuat inferensi langsung dan prediksi serta menggeneralisasi suatu gejala dari pengalaman yang sering mereka jumpai. 24 Operasional konkret menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empiris konkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman khusus. Ciri-ciri anak pada tahap operasional konkret adalah sebagai berikut: a. Transformasi Reversibel Pada tahap ini seorang anak sudah mulai mengerti proses transformasi (perubahan). “Anak mengerti bahwa perubahan itu merupakan satu kesatuan, bukan berdiri sendiri. Misalnya, diberikan benda berputar, mereka sudah dapat melihat seluruh proses perputarannya, bukan hanya kedudukan akhir dan kedudukan awalnya”. (Wadsworth, 1989 oleh Paul Suparno, 2007: 40). Dalam tahap ini ada dua macam transformasi reversible, yaitu inversi dan reciprosi. Inversi adalah proses transformasi kebalikan, sedangkan reciprosi adalah transformasi pencerminan atau pembalikan. b. Konservasi (Sistem Kekebalan) Menurut Piaget, pengertian kekekalan menjadi satu indikasi psikologis akan adanya struktur operasional. Pada tahap operasional konkret anak sudah dapat mengerti adanya konsep kekekalan yaitu kekekalan bilangan, substansi (massa), panjang, luas, berat, dan volume. c. Decentering Pada tahap ini anak sudah mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara bersamaan sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya. Mereka secara bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam waktu bersamaan, sehingga tidak hanya memusatkan pada satu titik tertentu. d. Series Menurut Piaget anak sudah mampu mengatur unsur- unsur menurut urutan bertambah besar atau mengecil. Misalnya anak dihadapkan benda-benda yang ukurannya volummenya berbeda-beda, anak sudah dapat mengurutkan dari volume yang kecil ke yang lebih besar atau sebaliknya. e. Ruang, waktu dan kecepatan Anak-anak pada usia 10 dan 11 tahun sudah sadar akan konsep waktu dan kecepatan. Anak sudah dapat memperhatikan hubungan antara waktu dengan 25 jarak. Anak juga sudah memperhatikan bertambah cepat atau bertambah lambatnya suatu benda. 8. Persepsi Kreativitas Menurut Munandar (2009: 12), bahwa kreativitas adalah hasil interaksi antara individu dan lingkungannya, kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unur yang sudah ada atau dikenal sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari lingkungan masyarakat. Ciri-ciri kreativitas diantaranya 1) siswa memiliki rasa ingin tahu yang besar; 2) sering mengajukan pertanyaan yang berbobot; 3) memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, biasanya siswa yang kreatif mampu memberikan gagasan dan usul terhadap suatu masalah yang yang perlu di selesaikan; 4) menghargai keindahan; 5) mempunyai daya imajinasi yang kuat; 6) dapat bekerja sendiri, siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Sehingga siswa selalu mengerjakan sendiri, contohnya apabila mendapat tugas selalu berusaha mengerjakan sendiri; 7) senang mencoba hal-hal baru, melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting dan di sukai, mereka tidak menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain. Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada (Munandar, 2004: 33). Guilford dalam (Ali, et, al, 2004: 105), menandai orang-orang kreatif dengan cara berpikir divergen, yaitu kemampuan individu untuk mencari berbagai alternatif jawaban terhadap suatu persoalan. Kreativitas siswa dalam proses belajar mengajar akan mempengaruhi hasil belajar siswa, karena siswa yang melakukan kreativitas belajar akan cenderung mengulangi pelajaran yang diberikan guru di kelas. Kreativitas siswa dalam hal ini merupakan suatu kemampuan berpikir siswa untuk peka dalam menemukan masalah, pemecahan masalah dan membahas suatu masalah dalam pembelajaran. Kreativitas merupakan kemampuan siswa dalam menciptakan atau memodifikasi cara belajar atau mengolah informasi sehingga mudah untuk 26 dipahami dan dimengerti. Untuk dapat memiliki kemampuan kreatif diperlukan latihan dan ketekunan dalam mengembangkan kognitif dan psikomotorik. Penilaian kreativitas bagi seorang siswa menurut Slameto (2003: 145) didasarkan pada keaslian tingkah laku yang mereka laksanakan dengan banyak cara dan kesempatan dalam menghadapi berbagai situasi belajar. Di samping itu juga didasarkan pada kepekaan mereka terhadap pengertian-pengertian tertentu serta penggunaan dalam hidupnya. 9. Hasil Belajar Menurut Arikunto (2006: 83), hasil belajar adalah hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar ini merupakan penilaian yang dicapai seorang siswa untuk mengetahui tingkat pemahaman bahan pelajaran atau materi yang diajarkan. Untuk dapat menentukan ketercapaian tujuan pembelajaran dilakukan usaha untuk menilai hasil belajar. Penilaian ini bertujuan untuk melihat kemajuan peserta didik dalam menguasai materi yang telah dipelajari dan ditetapkan. Hasil belajar yang diperoleh merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui ketercapaian siswa dapat memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk dapat memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal diperlukan usaha yang cukup keras bagi siswa, guru, dan juga pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran baik yang langsung maupun tidak langsung. Pada prinsipnya pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap domain psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Menurut Sagala (2010: 12), bahwa untuk menangkap isi dan pesan belajar maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada beberapa ranah diantaranya ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi, dan pembentukan hidup. Psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan 27 keterampilan jasmani terdiri dari kesiapan, persepsi, gerakan terbiasa, gerakan terbimbing, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. 10. Klasifikasi Makhluk Hidup Ahli sistematika menggunakan taksonomi, yaitu identifikasi dan klasifikasi spesies, dalam upaya menyusun organisme dalam kategori yang mencerminkan filogeni. Taksonomi yang dikembangkan oleh Linnaeus pada abad ke-18 memiliki dua ciri penting. Pertama metode ini memberikan setiap spesies sebuah nama Latin yang terdiri atas dua kata atau binomial. Kata pertama nama itu adalaha genus (jamak, genearal) ke mana spesies organisme itu tergolong. Bagian kedua nama binomial itu atau epitet spesifik menunjukkan pada satu spesies di dalam genus tersebut (Campbell, 2003) Protozoa membentuk suatu subkerajaan dari kerajaan Protista dalam klasifikasi lima-kerajaan makhluk-makhluk hidup (Monera, Protista, Plantae, Fungi, Animalia). Mereka lebih primitif dari hewan. Bagaimanapun kompleks badan-badan mereka, dan banyak dari mereka sangat kompleks, semua struktur yang berbeda itu berada di dalam sel. Protozoa adalah eukariotik yaitu mempunyai nukleus yang dibungkus oleh membran, yang berlawanan dengan bakteria yang prokariotik di mana apparatus nuklear tidak terpisah dari sitoplasma. Protozoa berisi nukleus satu atau lebih, dapat terdiri dari berbagai tipe. Dalam protozoa, berbeda dengan siliata, nukleusnya vesikuler dan semua nuklei di dalam individu yang sama kelihatan sama (Levine, 1995: 1-2). Menurut Diah (1995), sel eukariot memiliki beberapa struktur tambahan lain yang sebagian besar terbungkus oleh membran. Untuk mempelajari sel eukariotik tumbuhan digunakan sel tumbuhan yang khas. Tentu saja sebenarnya tidak ada benda yang mempnyai kekhasan yang umum. Memang banyak ciri khas yang bisa disebutkan, tetapi jarang semuanya sekaligus ditemui pada suatu individu. Walaupun demikian, sel parenkim yang umumnya berdinding tipis dan berdiameter sama di seluruh bagian memiliki sebagian besar keistmewaan sel tumbuhan khas itu. Sel parenkim terdapat di empulur, korteks, mesofil, dan jaringan lain. 28 Fungi ialah heterotrof penghasil spora yang memiliki kitin, suatu polisakarida nitrogen, dalam dinding selnya. Beberapa fungi hidup sebagai sel tunggal, umumnya disebut sebagai khamir. Bagaimanapun, kebanyakan fungi berupa multiseluler. Kapang dan cendawan ialah contoh fungi multiseluler yang paling umum. Fungi multiseluler tumbuh sebagai jaringan filamen bercabang yang secara kolektif disebut miselium (jamak:miselia). Tiap filamen ialah suatu hifa (jamak: hifae). Hifa mengandung sel yang tersusun daru ujung ke ujung. Bergantung pada kelompok funginya, terdapat atau tidak terdapat dinding bersilangan antarsel hifa (Starr, 2012: 434). Gambar 2.2 Tumbuhan Lumut dan Tumbuhan Paku Anonim (2013), berdasarkan morfologi atau susunan tubuh tumbuhan bisa dibedakan lagi atas dua jenis kelompok besar, yaitu tumbuhan tidak berpembuluh (Thallophyta) yang meliputi lumut (Bryophyta) dan tumbuhan berpembuluh (Tracheophyta) yang meliputi paku-pakuan (Pteridophyta), dan tumbuhan berbiji (Spermatophyta). Menurut Tjitrosoepomo (1981: 27), Thallophyta meliputi tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sebagai ciri utama tubuh yang berbentuk talus. Yang disebut talus ialah tubuh tumbuhan yang belum dapat dibedakan dalam tiga bagian utamanya, yang disebut akar, batang, dan daun. Tubuh tumbuhan yang telah dapat dibedakan dalam ke 3 bagian tersebut dinamakan kormus. Tumbuhan berkormus disebut Cormophyta. Tubuh yang berupa talus itu mempunyai struktur dan bentuk dengan variasi yang sangat besar, dari yang terdiri atas satu sel berbentuk bulat sampai yang terdiri atas banyak sel dengan 29 bentuk yang kadang-kadang telah mirip dengan kormusnya tumbuhan tingkat tinggi. Sel yang menyusun tubuh telah memperlihatkan diferensiasi yang jelas, dalam protoplasnya tampak nyata satu inti atau lebih dan plastida dengan bentuk yang beraneka ragam. Tumbuhan berbiji merupakan organisme yang multiseluler, berasal dari sel tunggal yaitu zigot. Zigot kemudian membelah-belah dan berkembang menjadi embrio dan akhirnya embrio tumbuh menjadi sporofit. Perkembangan embrio menjadi sporofit, berbagai aktivitas sel terlibat didalamnya, yaitu proses pembelahan sel, pertambahan volume sel, dan diferensiasi sel menjadi jaringanjaringan yang memiliki fungsi khusus. Embrio terdapat bentuk seperti daun disebut kotileon. Jumlah kotiledon dapat satu atau dua. Di bagian bawah kotiledon terdapat suatu sumbu yang mirip dengan sumbu batang disebut hipokotil. Pada ujung bawah hipokotil terdapat calon akar dan di ujung atas calon tunas pucuk. Setelah embrio menjadi sporofit, calon akar tumbuh menjadi akar dan calon tunas pucuk menjadi tunas pucuk. Baik pada ujung akar maupun tunas pucuk terdapat meristem apikal, yang terdiri atas sel-sel meristematik. Sel-sel tersebut akan membelah membentuk tunas baru atau cabang, serta menambah panjang batang atau akar (Sumardi, 1992). Menurut Tjitrosoepomo (2013: 4-6), makhluk hidup yang menjadi objek studi taksonomi tumbuhan adalah tumbuhan yang mencakup tumbuhan yang sekarang masih hidup maupun tumbuhan dari masa lampau yang sekarang tinggal ditemukan sisa-sisanya, yang biasanya telah menjadi fosil atau “cap” nya pada batuan. Klasifikasi yang bertujuan untuk menyederhanakan objek studi itu pada hakekatnya tidak lain daripada mencari keseragaman dalam keanekaragaman. Betapapun besarnya keanekaragaman yang diperlihatkan oleh suatu populasi, pastilah dapat kita temukan di antara warga populasi itu kesamaan ciri-ciri atau sifa-sifat tertentu. Kesamaan-kesamaan atau keseragaman itulah yang dijadikan dasar dalam mengadakan klasifikasi. Jelas bahwa dengan demikian warga suatu unit atau takson itu mempunyai kesamaan sifat yang banyak tentulah merupakan takson yang lebih kecil daripada takson yang warganya menunjukkan kesamaan yang lebih sedikit. Dengan demikian dari seluruh tumbuhan yang ada di bumi ini 30 dapat disusun takson-takson besar kecil, yang dapat ditata mengikuti hierarki, misalnya berturut-turut dari yang paling besar ke yang paling kecil atau sebaliknya. Hewan tidak bertulang belakang (Avertebrata) dikelompokkan menjadi delapan kelompok, yaitu hewan berpori (Porifera), hewan berongga (Coelenterata), cacing pipih (Platyheminthes), cacing gilig (Nemathelminthes), cacing berbuku-buku (Annelida), hewan lunak (Mollusca), hewan berkulit duri (Echinodermata), dan hewan dengan kaki beruas-ruas (Arthropoda). Porifera adalah hewan yang mempunyai pori-pori. Hewan ini tubuhnya seperti spons. Habitatnya di perairan, warna tubuhnya bermacam-macam: merah, kuning, dan hijau. Contoh hewan porifera: Spongilla, Euspongia, Poterion, Scypha (Anonim, 2013: 74-75). Menurut Jasin (1989: 77), Coelenterata merupakan hewan yang tidak mempunyai usus yang sesungguhnya, tetapi pemberian nama istilah “hewan berongga” itupun masih belum tepat, mengingat Coelenterata adalah hewan yang tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarmya (coelom), yang memiliki hanyalah sebuah rongga sentral yang ada di dalam tubuh yang di sebut coelenteron. Dalam kenyataan coelenteron tersebut merupakan alat yang berfungsi ganda, yaitu sebagai alat pencerna makanan dan sebagai alat pengedar sari-sari makanan ke seluruh bagian tubuh. Cacing pipih (filum Platyhelminthes) membentuk embrio tiga lapisan dan memiliki sistem organ. Nama filum berasal dari bahasa Yunani, platy berarti datar, dan helminth berarti cacing. Turbellaria, cacing isap (Trematoda) dan cacing pita (Cestoda) ialah kelas utama. Kebanyakan turbellaria hidup di laut, tetapi beberapa hidup di air tawar dan sedikit hidup di tempat basah di darat. Sedangkan Annelida ialah cacing bilateral dengan selom dan tubuh bersegmen, dalam dan luar. Molluska merupakan invertebrata simetris bilateral dengan selom tereduksi. Kebanyakan hidup di laut, tetapi beberapa hidup di air tawar atau darat. Semua memiliki mantel, struktur tambahan di dinding tubuh atas yang membungkus rongga mantel (Starr, 2012: 458-463). Echinodermata adalah hewan yang tubuhnya diselimuti duri, ada lempengan zat kapur/zat kitin yang keras. Tubuhnya simetri radial dengan lima 31 lengan. Tubuhnya terdapat sistem ambulakral untuk alat gerak, bernapas, dan menangkap mangsa. Ada 5 kelas yaitu Asteroidea (contohnya bintang laut), Echinoidea (contoh landak laut, bulu babi), Ophiuroidea (contohnya bintang ular), Crinoidea (contohnya lilia laut), Holothuroidea (contohnya teripang laut) (Anonim, 2013: 76). Gambar 2.3 Contoh Arthropoda (a) belalang, (b) kumbang, (c) kepiting, (d) labalaba, (e) kalajengking, (f) kutu, (g) caplak, (h) kelabang, (i) kaki seribu Arthropoda berasal dari 2 kata yaitu arthres yang artinya bersendi-sendi dan poda yang artinya kaki (alat ekstremitas). Arthropoda adalah kelompok hewan yang mempunyai kaki yang bersendi-sendi, meliputi serangga, laba-laba, udang, dan lipan. Phyllum ini mempunyai anggota yang paling banyak diantara phyllumphyllum yang lain. Kelompok hewan ini mempunyai ciri karakteristik, diantaranya adalah mempunyai segmen tubuh yang heteronom yaitu segmentasinya tidak sampai pada alat-alat dalamnya. Hal ini hampir sama dengan phyllum Annelida. Susunan saraf tangga tali yang terdiri dari ganglion cerebrale dan ganglio longitudinale. Sistem peredaran darah terbuka dan belum mempunyai cor, tetapi mempunyai pembuluh yang memanjang di sebelah dorsalnya yang 32 berfungsi seperti halnya jantung. Permukaan tubuh dilapisi eksoskeleton yang keras berasal dari cuticula, merupakan hasil sekresi dari sel-sel epidermis dibawahnya, tesusun dari zat kitin (amino polysakarida) yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Rahayu, 2004: 101-102). Djuhanda (1983: 48-49), Vertebrata adalah hewan multisekuler yang kalau diusut dari embrionya ia mempunyai tiga lapisan jaringan (lembaga) yaitu disebelah luar disebut ektoderm, ditengah mesoderm, dan di dalam membatasi rongga usus dinamakan entoderm. Badan bersifat bilateral simetris (samping kiri kanan, ujung arterior dan posterior, permukaan dorsal dan ventral). Terdapat juga rongga tubuh atau solom, yang dibatasi oleh mesoderm. Saluran pencernaannya sempurna, yang berarti dalam lubang mulut dan lubang anus telah terpisah. Anus berasal dari lubang permukaan tubuh embrio awal yang disebut blastoporus. Rangka awal berasal dari mesoderm dan mesoderm dibentuk sebagian dari jaringan yang berasal dari usus embrio. B. Penelitian Yang Relevan Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Singh (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Effectiveness of Concept Attainment Model on Mental Process and Science Ability menerangkan bahwa pada penelitian ini, berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menggunakan Concept Attainment Model merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif di dalam menemukan konsep-konsep yang akan dicapai siswa. Di mana, model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pencapaian konsep dan kemampuan sains siswa. Kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penerapan penggunaan model pembelajaran Concept Attainment Model, di mana harapan penulis dengan menggunakan model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Klasifikasi Makhluk hidup karena pada materi tersebut terdapat banyak konsep yang harus dipahami siswa, sehingga menurut penulis dengan menerapkan model tersebut permasalahan siswa dapat teratasi. 33 Menurut Kalani (2008), Concept Attainment Model sangat berguna dalam meningkatkan interaksi antara guru dan siswa. Penelitian ini, siswa mendapatkan pengalaman secara langsung melalui eksperimen, sehingga konsep yang ada pada materi tersebut dapat tercapai dengan baik. Siswa menjadi mampu melakukan pencapaian konsep, merancang suatu percobaan, dan bekerjasama dalam kelompok. Kesamaan penelitian ini menggunakan Concept Attainment Model, merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan pencapaian konsep pada siswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah dari variabel moderatornya. Penulis menggunakan variabel moderator kemampuan berpikir kognitif dan persepsi kreativitas siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Mukherjee (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Effectiveness of Concept Attainment Model (CAM) in Terms of Achievement in Science of Class VIII dimana Concept Attainment Model merupakan model pembelajaran yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar. Rata-rata prestasi IPA kelas VIII menggunakan model pembelajaran ini dapat meningkat daripada model pembelajaran yang tradisional. Dalam pengajarannya, siswa dapat mendiskusikannya, sehingga dapat mengemukakan pendapatnya dan bersikap terbuka menerima masukan dari siswa lain, sehingga konsep yang diajarkan pada materi tersebut dapat tercapai. Kesamaan antara penelitian tersebut di atas dengan penelitian penulis adalah penggunaan Concept Attainment Model dalam pembelajaran. Perbedaan terletak pada subjek penelitian, penulis menggunakan subjek penelitian kelas VII. Kaur (2014), penelitian yang dilakukan menggunakan Concept Attainment Model bertujuan untuk mempelajari pengaruh model tersebut dalam pembelajaran dengan menggunakan sampel siswa kelas IX. Kesimpulan yang didapatkan bahwa model pencapaian konsep yang dilakukan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan model konvensional. Model pencapaian konsep ini dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam belajar. Model ini memainkan peran penting dalam meningkatkan hasil belajar dan dapat memperkuat struktur kognitif siswa. Selain itu, dengan model pencapaian konsep ini siswa mendapatkan kesempatan untuk berpikir secara terbuka dan bebas dalam 34 mengemukakan pendapatnya. Perbedaan penelitian yang dilakukan terdapat pada subjek penlitian dan mapel yang digunakan. Peneliti menggunakan subjek kelas VII dan dilakukan pada mata pelajaran IPA. Ostad (2014), dalam penelitiannya berjudul The Impact of Concept Attainment Teaching Model and Mastery Teaching Method on Female High School Student’s Academic Achievement and Metacognitive Skills bertujuan menguji pengaruh/dampak menggunakan model pencapaian konsep dan penguasaan metode untuk meningkatkan prestasi dan keterampilan metakognitif siswa perempuan SMA. Kesimpulan penelitian ini menggunakan model pencapaian konsep dapat mempengaruhi tingkat prestasi akademik dan keterampilan kognitif siswa perempuan. Model ini menyebabkan siswa aktif dalam melaksanakan pembelajaran. Kesamaan penelitian yang dilakukan menggunakan Concept Attainment Model dan perbedaan terdapat pada subjek penelitian yang dilakukan. McDonald (2015), penelitian ini memberikan gambaran yang terkait dengan efektifitas penggunaan model pembelajaran Concept Attainment Model. Concept Attainment Model merupakan model pembelajaran yang menggunakan model berpikir induktif yang dapat diterapkan berbagai macam jenjang siswa dan efektif digunakan diberbagai macam mata pelajaran. Model ini merupakan strategi pembelajaran induktif yang didesain guru untuk membantu siswa pada semua usia dalam mempelajari konsep dan melatih dalam pengujian hipotesis. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan subjek siswa SD sedangkan peneliti menggunkan subjek siswa SMP. Anjum (2014), penerapan model pencapaian konsep dengan metode tradisional mempunyai pengaruh yang berbeda. Metode tradisional yang digunakan menyebabkan ketidaktertarikan siswa dalam mempelajari konsep geometri dalam mata pelajaran Matematika, sehingga hasil belajar siswa menjadi rendah. Menurutnya, penggunaan model pencapaian konsep lebih efektif daripada metode tradisional. Model pencapaian konsep akan mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran dengan antusias dan membantu mereka memahami materi pelajaran lebih jelas. Model ini membantu menghubungkan 35 konsep teoritis, geometris, dan aplikasinya sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Model pembelajaran concept attainment dapat meningkatkan self concept siswa karena dalam tahapannya ada analisis tingkah laku melalui observasi dan bertanya. Analisis tingkah laku didasarkan pada uji operasi mental siswa dengan membuat catatan tentang apa yang mereka percayai tentang konsep yang telah dimilikinya. Self concept siswa dapat terlihat ketika guru memberikan pertanyaan dan ketika siswa berkolaborasi dengan temannya dalam menggabungkan ide yang dimilikinya. Siswa yang memiliki self concept positif cenderung mampu melakukan tugas yang diberikan dan optimis dengan jawaban yang dimilikinya serta bersikap bijak dengan pendapat orang lain (Tina, 2015). Danoebroto (2015), berpendapat bahwa pemahaman anak-anak perlu kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat tertentu berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf berpikir operasional konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit yang dapat dimanipulasi oleh siswa. Belajar Matematika menurut teori Piaget perlu disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif individu. Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui eksplorasi lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung individual dapat direduksi dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berinteraksi sosial. Guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang sesuai dengan taraf berpikir anak. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA dimana hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit di dalam pembelajarannya sehingga dengan kemampuan berpikir kognitif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Murtiningrum (2013), saat proses pembelajaran siswa yang berpikir abstrak tinggi cenderung akan mudah memahami dibanding siswa yang berpikir abstrak rendah. Karena siswa yang berpikir abstrak tinggi akan berusaha merumuskan banyak alternatif hipotesis dalam menanggapi masalah dan mengecek data terhadap setiap hipotesis untuk membuat keputusan yang layak. Selain itu siswa tidak dibatasi pada benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang 36 konkret saja, tetapi mampu menangani proporsi yang berlawanan dengan fakta. Ini berbeda dengan siswa yang berpikir abstrak rendah. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan terhadap hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan berpikir abstrak tinggi atau rendah terhadap hasil belajar siswa. Siswa dengan kemampuan berpikir abstrak tinggi memiliki hasil belajar kognitif yang lebih baik daripada siswa dengan kemampuan berpikir abstrak rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siswa yang memiliki kemampuan berpikir abstrak yang tinggi akan lebih mudah mengkonkretkan materi-materi yang bersifat abstrak dalam imajinasi mereka sehingga siswa akan lebih mudah pula memahami konsep mereka pelajari. Siswa dapat berpikir fleksibel dan efektif, serta mampu menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks (Wahyuni, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti yang berjudul Penerapan Concept Mapping dengan Media Gambar untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA disimpulkan bahwa concept mapping dengan media gambar dapat meningkatkan keterampilan guru setiap siklusnya, siklus I memperoleh persentase 55% dengan kategori cukup, siklus II memperoleh persentase 73% dengan kategori baik, siklus III memperoleh persentase 93% dengan kategori sangat baik. Aktivitas siswa meningkat, yaitu siklus I memperoleh persentase 45,45% kategori cukup, siklus II memperoleh persentase 71,97% kategori cukup, dan siklus III memperoleh persentase 81,36 kategori baik. Hasil belajar meningkat, yaitu siklus I mencapai ketuntasan belajar klasikal 57,57%, siklus II mencapai ketuntasan belajar klasikal 78,78%, dan siklus III mencapai ketuntasan belajar klasikal 96,96%. Berdasarkan penelitian diketahuai bahwa penerapan metode pembelajaran student created case studies disertai media gambar dalam terbukti menimbulkan interaksi yang efektif antara siswa dan guru, dimana siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran yang dapat menimbulkan daya tarik siswa, dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk nyata, menyingkat suatu uraian, memperjelas bagian-bagian yang penting, serta mudah disesuaikan dengan materi pelajaran (Anggun, 2012). Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan peneliti dalam menggunakan media gambar untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 37 Menurut Rela (2014), hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa kelas X di SMA Gajah Mada Bandar Lampung bahwa penggunaan media gambar berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa. Meningkatnya hasil belajar oleh siswa tersebut dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan media gambar yang digunakan dapat membuat peserta berperan aktif pada setiap tahapan pembelajarannya, karena merasa lebih dekat dengan contoh sehari-hari dalam lingkungannya sehingga dapat memperjelas pemahaman siswa terhadap materi keanekaragaman hayati, media gambar juga membuat pemahaman dan pengertian siswa menjadi lebih luas, lebih jelas dan tidak mudah melupakan materi yang telah dipelajari. Media gambar yang digunakan selama proses pembelajaran membantu siswa dalam menyelesaikan LKK serta membuat siswa aktif dalam mengemukakan pendapat/ide, bertukar informasi, mengajukan pertanyaan, bekerjasama serta berdiskusi dalam kelompok. Menurut Sukarta, pembelajaran dengan media gambar dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu: pada siklus I persentase ketuntasan klasikal adalah 71,4%, dan pada siklus II sudah ada peningkatan menjadi 90,5%, dapat dilihat bahwa dari kondisi awal ke siklus I terjadi peningkatan nilai, berarti ada peningkatan kemampuan siswa memahami pelajaran melalui media gambar. Hal ini terjadi karena dengan semangat belajar tinggi, motivasi dari guru dan pembelajaran yang menyenangkan serta penggunaan media maksimal dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran dan memperoleh hasil sesuai tujuan yang diharapkan. Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal, maka dalam proses pembelajaran semestinya menggunakan media yang memungkinkan keterlibatan siswa secara maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan media gambar dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Sarmi (2015), penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan terdapat pengaruh pendekatan pembelajaran kontekstual berbantuan media gambar terhadap minat belajar IPA siswa. Rata-rata skor minat belajar IPA siswa terbukti lebih besar dibanding standar yang ditetapkan sehingga terbukti bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual berbantuan media gambar berpengaruh 38 positif terhadap minat belajar IPA siswa. Pembelajaran dengan bantuan media gambar, guru bisa menarik perhatian peserta didik, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Gambar termasuk media pembelajaran berbasis visual. Telah diketahui bahwa media berbasis visual seperti gambar dapat memudahkan pemahaman terhadap materi pelajaran yang rumit atau kompleks. Media gambar dapat menyuguhkan elaborasi yang menarik tentang struktur atau organisasi suatu hal, sehingga juga memperkuat ingatan. Media gambar dapat menumbuhkan minat siswa dan memperjelas hubungan antara isi materi pembelajaran dengan dunia nyata. Wahyuni (2013), melalui laboratorium riil dan laboratorium virtuil melatih siswa membuktikan hasil prediksinya melalui observasi secara langsung. Berdasarkan bukti-bukti yang didapat, siswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Hal ini relevan dengan teori belajar Bruner tentang belajar penemuan. Siswa berusaha sendiri mencari pemecahan masalah untuk menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Kegiatan observasi mempermudah siswa dalam memahami konsep karena siswa mengalami sendiri pengalaman belajar. Peningkatan kemampuan psikomotor dalam diri siswa yang diperoleh dalam pembelajaran akan berpengaruh pada hasil belajar afektif siswa. Hal ini terlihat pada hasil belajar afektif siswa yang meningkat seiring dengan peningkatan hasil belajar psikomotor siswa. Ajoke (2012), penelitian yang digunakan dengan pendekatan demonstrasi pada mata pelajaran Kimia ditinjau dari kreativitas dan keterampilan proses sains siswa SMA. Kreativitas merupakan fenomena di mana seseorang menciptakan sesuatu yang baru (produk, solusi, karya seni, dan lain-lain). Mempunyai kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada, mencari alternatif jawaban terhadap suatu persoalan. Berdasarkan penelitian tersebut, pendekatan demonstrasi dapat meningkatkan kreativitas siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan peneliti sama-sama menggunakan kreativitas tetapi 39 menggunakan pendekatan yang berbeda. Peneliti menggunakan pendekatan pencapaian konsep (Concept Attainment Model). McGrath & Smith, penelitian ini menggunakan media poster untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kreativitas. Poster merupakan cara yang tepat untuk menyajikan, menganalisis dan memahami hasil penelitian. Siswa mempresentasikan poster yang dibuat dan siswa yang lainnya mengajukan pertanyaan untuk mengasah kemampuan berpikir siswa. Selain itu juga dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam membuat poster dan menjawab pertanyaan. Penelitian yang dilakukan ini ternyata sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kreativitas. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan peneliti dalam hal peningkatan kemampuan berpikir dan kreativitas. Simon, penelitian ini dibahas tentang penggunaan media power point dalam pengajaran Fisika ditinjau dari kreativitas siswa. Hasil penelitian disimpulkan bahwa pembelajaran Fisika dengan media power point disertai animasi memberikan hasil belajar yang baik daripada menggunakan modul dilengkapi alat peraga terhadap hasil belajar Fisika. Kesimpulan yang lain adalah siswa memiliki kreativitas tinggi memiliki hasil belajar Fisika yang lebih baik daripada memiliki kreativitas rendah. Kesamaan antara penulis sama-sama menggunakan variabel moderator kreativitas siswa. Akan tetapi perbedaan terletak pada media yang digunakan. Penulis menggunakan media riil dan media gambar dalam melakukan pembelajaran dengan model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model). Sibel (2015) dalam penelitiannya yang berjudul A Comparative Look at the Concepts of Creativity and Scientific Creativity didapatkan hasil bahwa kreativitas dinyatakan dalam kebutuhan aktualisasi diri seseorang yang terletak di bagian paling atas, berpikir kreatif tidak cukup membawa kreativitas saja melainkan perlu dilengkapi dengan motivasi internal. Orang yang mempunyai kreativitas didorong menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa, lingkungan kelas, metode, dan teknik yang akan membantu meningkatkan kemampuan berpikir. Penggunaan laboratorium merupakan salah satu yang mengintegrasikan proses berpikir kritis dan kreatif di mana pemikiran logis 40 tentang isu ilmu pengetahuan dan belajar dapat dicapai dan merupakan metode yang efektif dalam pembelajaran IPA. Ovinawati (2013), berdasarkan penelitian pada hasil output SPSS diperoleh deskripsi statistik hasil belajar keseluruhan siswa yang ditunjukkan pada mean kategori kreativitas tinggi pada siswa= 84,2759 dan mean kategori kreativitas rendah pada siswa= 78,6061, sehingga hasil belajar siswa yang memiliki kreativitas tinggi lebih unggul daripada hasil belajar siswa yang memiliki kreativitas rendah. Pada hasil output SPSS diperoleh hasil perhitungan anava antara pengaruh kreativitas tinggi dan kreativitas rendah pada siswa yang ditunjukkan dengan nilai uji-F= 8,065 dan memiliki P-value= 0,006 yang lebih kecil dari α= 0,05, maka untuk hipotesisnya diterima, yaitu terdapat perbedaan hasil belajar siswa antara siswa yang memiliki kreativitas tinggi dengan siswa yang memiliki kreativitas rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ada pengaruh kreativitas belajar tinggi dan kreativitas belajar rendah terhadap hasil belajar kognitif siswa tetapi tidak berpengaruh terhadap hasil belajar ranah afektif, dan psikomotor. Nilai ratarata hasil belajar kognitif siswa dengan kreativitas belajar tinggi adalah 80,89 dan siswa dengan kreativitas belajar rendah adalah 68,24. Berdasarkan perbedaan nilai rata-rata ini dan nilai signifikansi yang 0,00 < 0,05 diketahui bahwa siswa dengan kreativitas belajar tinggi lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah. Kreativitas bisa memberikan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir dan kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan (Azizi, 2014). Murtiningrum (2013), berdasarkan penelitian yang dilakukan ada pengaruh yang signifikan kreativitas terhadap hasil belajar siswa ranah kognitif, tetapi tidak ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar siswa ranah afektif. Tingkat kreativitas antara masing-masing siswa tidaklah sama. Karena pengembangan kreativitas dapat diperoleh dari masing-masing pengetahuan yang dimiliki siswa, bisa pula dipengaruhi oleh lingkungan dan segala permasalahanya sehingga menumbuhkan daya kreativitas. Dengan demikian kreativitas yang dimiliki masing-masing siswa berbeda-beda pula. Siswa yang mempunyai kreativitas 41 tinggi selalu ingin mencari pengalaman yang baru, dan tidak merasa puas dengan jawaban yang ada. Mereka akan selalu mencari alternatif untuk mendapatkan solusi lain yang dapat memecahkan masalah. Selain itu siswa dengan daya kreativitasnya tinggi akan senang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan termotivasi untuk mencari pengalaman baru serta penemuan yang memuasakan bagi mereka. Munculnya kreativitas biasanya didasari oleh pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dan dapat berkembang menurut pengalaman atau proses belajar dari siswa tersebut. Siswa yang kreativitasnya tinggi akan memahami materi dengan caranya sendiri sehingga dapat mengoptimalkan proses belajarnya dan mengakibatkan prestasi belajarnya meningkat. Sebaliknya siswa yang kreativiasnya rendah akan cenderung pasif dan tidak ada inovasi sehingga dalam memahami materi tidaklah maksimal, siswa tidak antusias dalam menyaelesaikan masalah. C. Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian teori yang telah diuraikan, dapat disusun kerangka pemikiran guna memperoleh jawaban sementara atas permasalahan yang dikemukakan. Kerangka pemikiran yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh pembelajaran menggunakan Concept Attainment Model dengan media riil dan media gambar. Concept Attainment Model merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep melalui pengkonstruksian sejumlah informasi berupa contoh dan non contoh yang diberikan. Melalui model ini, siswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam menganalisis sejumlah contoh dan non contoh yang diberikan sehingga mereka dapat menemukan konsep tanpa diberikan secara langsung oleh guru. Model ini memerlukan media yang dapat mendukung pembelajaran. Media yang digunakan adalah media riil dan media gambar. Penelitian ini diharapkan ada perbedaan hasil belajar siswa pada saat menggunakan media riil dan media gambar. Penggunaan media riil 42 lebih memberikan pengaruh daripada media gambar. Pemakaian media riil dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. Media riil merupakan obyek sebenarnya yang digunakan sebagai alat bantu pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran IPA khususnya biologi, media riil pada umumnya banyak ditemukan di lingkungan sekitar, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman secara langsung melalui observasi. 2. Pengaruh kemampuan berpikir kognitif. Kemampuan berpikir kognitif merupakan faktor internal siswa yang dapat mempengaruhi hasil belajar. Kemampuan berpikir kognitif yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kemampuan berpikir konkret dan abstrak. Penelitian ini diharapkan siswa dengan kemampuan berpikir konkret dapat mempunyai hasil belajar yang lebih baik. Siswa akan lebih mudah mempelajari hal yang konkret daripada yang abstrak, memberikan kejelasan objek yang diamatinya. Operasional konkret menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empiris konkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman khusus. Kemampuan berpikir konkret-abstrak dengan dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju siswa sebagai pengamat nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media. 3. Pengaruh persepsi kreativitas. Faktor internal yang mempengaruhi siswa adalah kreativitas. Tingkat kreativitas siswa akan mempengaruhi cara belajar sehingga akan berpengaruh pada hasil belajar. Siswa dengan persepsi kreativitas tinggi diduga akan mempunyai hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan kreativitas rendah. Siswa dengan persepsi kreativitas tinggi akan lebih aktif dalam pembelajaran sehingga informasi yang diperoleh cenderung lebih banyak dipahami dan menghasilkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa dengan persepsi kreativitas rendah. 43 4. Interaksi antara media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir kognitif. Penggunaan media pembelajaran sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian isi pesan. Penggunaan media riil dan media gambar merupakan contoh media yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Siswa dengan menggunakan media rii akan mampu mendukung siswa mempunyai kemampuan berpikir konkret dan siswa dengan penggunan media gambar akan mampu mendukung siswa dengan mempunyai kemampuan berpikir abstrak. Pemilihan media yang tepat dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Siswa lebih mudah mempelajari hal yang konkret daripada yang abstrak. 5. Interaksi antara media riil dan media gambar dengan persepsi kreativitas. Penggunaan media riil dan media gambar mendorong siswa ikut terlibat aktif dalam pembelajaran, persepsi kreativitas merupakan bentuk tindakan inovatif yang berasal dari pemikiran seseorang. Penggunaan media riil dengan persepsi kreativitas tinggi dan media gambar dengan persepsi kreativitas tinggi dapat meningkatkan hasil belajar daripada penggunaan media riil dan media gambar dengan kreativitas rendah. 6. Interaksi antara kemampuan berpikir kognitif dengan persepsi kreativitas. Proses pembelajaran yang dilakukan membutuhkan kreativitas tinggi untuk menemukan konsep berdasarkan contoh yang ada di lingkungan pembelajaran. Persepsi kreativitas siswa dalam hal ini merupakan kemampuan berpikir kognitif siswa untuk peka dalam menemukan masalah, pemecahan masalah dan membahas suatu masalah dalam pembelajaran IPA. Kemampuan berpikir abstrak dan konkret dengan persepsi kreativitas tinggi diharapkan siswa dapat mencapai konsep pembelajaran yang diinginkan, hasil belajar siswa dapat meningkat. 7. Interaksi antara media, kemampuan berpikir kognitif, dan persepsi kreativitas. Penggunaan media riil dan media gambar memberikan variasi dalam pembelajaran sehingga siswa dengan mempunyai kemampuan berpikir 44 kognitif dan persepsi kreativitas menghasilkan hasil yang beragam. Diharapkan dengan menggunakan media tersebut terlibat aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, maka diduga terdapat perbedaan antara penggunaan media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir kognitif dan persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar. Berdasarkan uraian kerangka berpikir di atas, dapat dibuat gambar kerangka berpikir sebagai berikut: Fakta di Lapangan Penerapan model pembelajaran yang kurang tepat, media pembelajaran yang belum bervariasi, siswa memiliki pemahaman konsep IPA yang rendah Solusi Permasalahan Penerapan model pembelajaran pencapaian konsep (Concept Attainment Model) menggunakan media riil dan media gambar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Media Riil Media Gambar Kemampuan Berpikir Kognitif Persepsi Kreativitas Hasil Belajar IPA Materi Klasifikasi Makhluk Hidup Meningkat Gambar 2.4 Kerangka Berpikir 45 D. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan pada penelitan, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada pengaruh pembelajaran IPA menggunakan Concept Attainment Model dengan media riil dan media gambar terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 2. Ada pengaruh kemampuan berpikir kognitif terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 3. Ada pengaruh tingkat persepsi kreativitas siswa antara siswa yang memiliki persepsi kreativitas tinggi dan rendah pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 4. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model dengan media riil dan media gambar dengan kemampuan berpikir konkret siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 5. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model dengan media riil dan media gambar dengan persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 6. Ada interaksi antara kemampuan berpikir kognitif dengan persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup. 7. Ada interaksi antara pembelajaran IPA penggunaan Concept Attainment Model dengan media riil dan media gambar, kemampuan berpikir kognitif, dan persepsi kreativitas siswa terhadap hasil belajar pada materi Klasifikasi Makhluk Hidup