BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari hasil ekspornya ke beberapa negara-negara Uni Eropa, Jepang, Thailand, dan negara-negara lainnya. Melimpahnya hasil perikanan ini dapat dimanfaatkan pula dalam rangka pemenuhan gizi bagi masyarakat Indonesia sendiri dengan mengkonsumsi hasil perikanannya atau dapat dijadikan berbagai produk diversifikasi pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan-ikan air tawar memiliki nilai gizi serta nilai ekonomis yang tinggi, selain karena rasanya banyak disukai oleh penduduk Indonesia dan juga penduduk di negara-negara lain sehingga banyak dilakukan kegiatan ekspor untuk memenuhi permintaan pasarnya. Ikan air tawar memiliki nilai gizi yang tinggi seperti halnya ikan laut, mudah dalam pemeliharaannya dan harganya relatif murah, selain itu permintaannya yang tinggi di pasar domestik maupun pasar internasional, menyebabkan keberlanjutan usaha budidayanya dapat berlangsung dalam jangka panjang. Salah satu komoditi perikanan darat yang memiliki nilai gizi yang tinggi serta nilai ekonomis yang tinggi pula adalah ikan patin. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan pemenuhan ikan ini ke sejumlah negara. Sebenarnya ada 13 jenis ikan patin, namun yang berhasil dibudidayakan di Indonesia pada saat ini diantaranya adalah patin siam (Pangasius hypophthalmus) dan patin jambal (Pangasius djambal Bleeker). Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, rasa dagingnya yang lezat dan gurih mengakibatkan harga jualnya tinggi (Susanto dan Amri 2005). Negara Amerika Serikat menempatkan ikan catfish ini sebagai pilihan bagi mereka yang menginginkan hidup sehat (Hernowo 2005). Selain sebagai ikan konsumsi, beberapa jenis patin pun dapat dijadikan sebagai ikan hias, diantaranya yang banyak dikenal di Indonesia adalah patin Genghis Khan (Pangasius sanitwongsei) 1 2 dan Mekong Giant Catfish (Pangasionodon gigas) yang keduanya dapat diperoleh dari beberapa importir yang mendatangkan langsung ikan-ikan tersebut dari negeri asalnya. Seiring berkembangnya teknologi, rekayasa terhadap berbagai kegiatan perikanan banyak dilakukan, diantaranya adalah rekayasa hibridisasi yang merupakan salah satu rekayasa dalam proses persilangan dengan kesamaan famili, genus, maupun spesies. Hibridisasi terhadap ikan patin pun telah dilakukan dengan mengawinsilangkan antara ikan patin jambal dan patin siam sehingga menghasilkan spesies baru yaitu patin pasupati (Pangasius sp.). Hingga kini, bibit untuk indukan patin pasupati ini bisa diproduksi di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBAT) Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Munculnya patin pasupati adalah jawaban atas ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kuota ekspor patin berdaging putih. Hasil persilangan ini mampu mengeliminasi sifat patin jambal yang dagingnya berwarna merah (Khairuman dan Amri 2013). Tingginya kegiatan persilangan patin dengan jenis yang sama banyak terjadi pada kegiatan unit pembenihan rakyat sehingga menyebabkan sifat genetik yang diturunkan dari indukan pendahulunya mengalami degradasi. Hal ini banyak menimbulkan gen yang bersifat homozigot resesif muncul lebih banyak, sehingga sifat dominannya mulai berkurang. Gen yang bersifat homozigot resesif tidak akan terekspresi fenotipnya, sedangkan gen yang bersifat dominan akan terekspresi fenotipnya, sehingga variasi gen yang terekspresi ini disebut sebagai polimorfisme. Polimorfisme didefinisikan sebagai adanya individu-individu dengan sifat genetik yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, dimana frekuensi masing-masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi genetik (Nursida 2011). Penentuan tingkat polimorfisme dapat diketahui dengan beberapa metode PCR, salah satu diantaranya adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), penggunaan metode ini memerlukan primer RAPD sebagai titik awal untuk mengamplifikasi fragmen DNA polimorfik secara acak. PCR memanfaatkan enzim DNA polimerase yang secara alami berperan dalam penggandaan DNA pada proses replikasi (Liu and Cordes 2004). 3 Namun demikian, primer RAPD hanya dapat menyalin fragmen pendek DNA, karena ukuran sekuen primer tersebut hanya berkisar 10 – 20 basa nukleotida (Liu et al. 1998a). Polimorfisme erat kaitannya dengan kegiatan hibridisasi yang dilakukan dalam kegiatan akuakultur, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat adanya polimorfisme pada ikan, dalam hal ini pada ikan patin, baik patin konsumsi maupun patin hias dengan menggunakan metode RAPD-PCR untuk mengetahui keragaman genetik yang dihasilkan sebagai akibat dari kegiatan hibridisasi dan perbedaan lokasi pemeliharaan ikan-ikan tersebut. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka identifikasi masalah yang dirumuskan yaitu seberapa banyaknya variasi genetik yang dapat dihasilkan dari penggunaan metode PCR dengan beberapa jenis primer RAPD untuk melihat tingkat polimorfisme dari ikan patin, baik patin konsumsi maupun patin hias dari beberapa jenis spesies yang berbeda serta hubungan kekerabatan diantara jenis-jenis ikan patin tersebut. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik yang ditimbulkan dari beberapa spesies ikan patin konsumsi dan patin hias dan memperoleh pohon filogeni yang menggambarkan tingkat kekerabatan antar spesies ikan patin tersebut. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembudidaya dan peneliti ikan patin sehingga dapat diketahuinya variasi genetik yang memiliki korelasi dengan potensi sifat unggul ikan tersebut dalam upaya mencegah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas genetik. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sifat-sifat genetik pada ikan patin dari beberapa spesies dalam perlindungan terhadap pelestarian plasma nutfah biota akuatik. 4 1.5 Kerangka Pemikiran Budidaya ikan patin konsumsi (patin jambal, patin siam, dan patin pasupati) dewasa ini berkembang pesat di Indonesia dikarenakan sifat pertumbuhannya yang cepat. Manajemen genetika induk patin perlu dilakukan dengan program seleksi untuk memperoleh induk unggul. Penerapan program ini juga menguntungkan dilakukan dalam program budidaya patin hias diantaranya patin Genghis Khan (Pangasius sanitwongsei) dan Mekong Giant Catfish (Pangasionodon gigas) yang saat ini sudah masuk dalam jalur perdagangan internasional. Aplikasi program hibridisasi telah diterapkan pada persilangan patin siam betina dan patin jambal jantan yang menghasilkan patin pasupati (Pangasius sp.). Patin pasupati merupakan jenis ikan patin baru dan asli dari Indonesia (Khairuman dan Amri 2013). Patin pasupati merupakan patin hibrid yang memiliki beberapa keunggulan dari segi warna daging, kecepatan pertumbuhan, produksi telur, dan bobot badan yang lebih unggul yang merupakan gabungan dari kedua spesies indukannya. Namun persilangan antar spesies yang banyak dilakukan ini menimbulkan kerugian diantaranya adalah hilangnya sifat dominan dan superior pada ikan hasil hibridisasi. Hilangnya sifat dominan pada gen ikan hibrid ini menyebabkan epistasis alel dominan sehingga yang muncul adalah alel resesif. Deteksi alel-alel dominan yang terekspresi dapat dilakukan dengan analisis tingkat polimorfisme (keragaman genetik). Keanekaragaman genetika diakibatkan adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain sehingga mempengaruhi fenotipe suatu organisme (Suryanto 2003). Beberapa teknik yang biasanya digunakan untuk melihat keanekaragaman hayati pada tingkat molekuler DNA yang didasarkan pada polimorfisme gen secara langsung diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Restricted Fragment Length Polymorphism (RFLP), Degradative Gradien Gel Electrophoresis (DGGE), analisis sekuen, dan Macro-restricted Fragment Length Polymorphism (MFLP) (Suryanto 2003). 5 Metode RAPD adalah salah satu metode yang berdasarkan pada teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). RAPD merupakan salah satu teknik yang paling luas dipergunakan karena kesederhanaannya. Primer yang digunakan adalah primer oligonukleotida dimana urutan basanya dibuat secara random (acak) (Layla 2001). Kemampuan teknik RAPD untuk mengungkapkan variasi intraspesifik dapat digunakan dalam skrining untuk perkawinan sedarah dalam spesies hewan komersial untuk mencegah peningkatan frekuensi alel resesif yang merugikan dalam populasi (Bardakci 2001). Penggunaan metode RAPD membutuhkan beberapa primer yang komplementer dengan urutan DNA ikan uji yang akan diamplifikasi. Khusus untuk ikan patin, primer yang digunakan mengacu pada penelitian Champasri et.al. (2010) dan Muharam (2012), terutama primer OPA dari Operon Technology. Pita-pita polimorfisme yang akan dihasilkan pada lokus-lokus yang berbeda tersebut menunjukkan adanya keragaman genetik yang bervariasi pula, ini berarti sifat genetik yang akan timbul atau diturunkan juga akan berbeda-beda. Informasi polimorfisme ini dapat menjadi acuan para pelaku budidaya untuk menghasilkan keturunan ikan patin yang unggul dan tetap dapat mempertahankan tingkat keragaman genetiknya sehingga kualitas keturunannya terjaga untuk generasi selanjutnya. Informasi ini bermanfaat bagi pembenih dan pembudidaya patin, jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk keperluan rekayasa genetik dengan tujuan untuk menciptakan spesies ikan patin dengan sifat-sifat genetik yang baru. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas dapat diuraikan bahwa ikan patin konsumsi yang sering mengalami perkawinan antar spesies memiliki tingkat polimorfisme yang lebih rendah daripada ikan patin hias. 1.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang dirumuskan yaitu tingkat polimorfisme yang tinggi diperoleh pada patin hias, dibandingkan dengan patin konsumsi menggunakan beberapa primer RAPD yang berbeda. Hubungan kekerabatan patin yang memiliki polimorfisme tinggi lebih jauh dibandingkan patin yang memiliki polimorfisme rendah.