BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa „‟kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat‟‟.1 Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"2. Pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, "kedaulatan berada di tangan rakyat" dimaknai bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan3. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil1 2 3 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ibid Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1 wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Pada Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Per wakilan Rakyat (DPR), De wan Pe rwakilan Daerah (DPD), dan De wan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah4. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, op cit 2 bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun5. Masyarakat pemilih dapat melakukan pilihan terhadap calon pemimpinya dalam DPR dan DPRD yang dalam proses pemilu terdaftar dalam calon yang diajukan melalui partai politik. Partai politik dimaknai sebagai saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara dalam negara yang bersifar majemuk dan berwawasan kebangsaan. Sementara, pemilihan DPD dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilu bersamaan dengan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Hal ini, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU No mor 10 Tahun 2008 juga menga manat kan agar penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Tujuannya, agar tercipta derajat ko mpetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Dalam rangka memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan menguatkan sistem pula multipartai sistem sederhana pemerintahan yang selanjutnya presidensiil, akan undang-undang tersebut juga mengatur tentang penguatan persyaratan peserta pemilu, kriteria penyusunan daerah pemilihan, sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas, dan penetapan calon terpilih, serta penyelesaian sengketa pemilu. 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, op cit 3 Pada tataran pelaksanaan, Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada 2009 ternyata masih memunculkan sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut, antara lain terjadi pada: 1) Lemahnya legislasi dan regulasi pemilu Kelemahan pada legislasi dan regulasi menyebabkan sejumlah ketentuan yang memunculkan penafsiran berbeda dalam pelaksanaanya. Di samping permasalahan teknis pelaksanaan yang memunculkan tafsir norma secara berbeda, juga kelemahan seperti terancamnya hak pilih masyarakat yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas (dengan ketentuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30%) menjadi terbuka penuh, perbaikan pada hak pemenuhan warga negara untuk memilih, dan sistem penghitungan suara pada tahap kedua dan tahap ketiga, menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu yang belum sempurna. 2) Kelemahan pada penyelenggaraan pemilu Kelemahan ini tercermin dari munculnya berbagai permasalahan pada: pengaturan jangka waktu (time schedule) tahapan penyelenggaraan Pemilu, verifikasi peserta Pemilu, verifikasi daftar calon legislative, tahap pemungutan suara, tahap penghitungan suara, dan penetapan calon legislatif terpilih. Pada tujuan untuk menguatkan pula mewujudkan sistem multipartai sederhana untuk sistem pemerintahan presidensiil, ternyata belum menunjukan perkembangan yang signifikan. Perkembangan yang terjadi adalah semakin sederhananya partai politik yang memiliki wakil di DPR akibat diberlakukannya ambang batas kursi di DPR sebesar 2,5%. Namun, peserta pemilu masih belum berubah signifikan disbanding pada pemilu sebelumnya. Peserta pemilu tahun 2004 sebanyak 24 partai politik, pada pemilu tahun 2009 jumlahnya naik menjadi 34 partai politik. 4 Karena itu, berdasarkan perintah UU Nomor 10 Tahun 2008 dan evaluasi penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, dan DPRD, maka perlu perubahan terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD untuk penyelenggaran pemilu pada 2014. Perubahan ini diperlukan sebagai penyempurnaan terus menerus, meski UU sebelumnya juga merupakan penyempurnaan atau penggantian dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang. B. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud penyusunan naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD ini adalah untuk memberikan landasan konseptual dan pokok-pokok pemikiran yang diperlukan untuk melakukan penyempurnaan terhadap undangundang tersebut. Tujuan dari naskah akademis ini adalah tersedianya data-data dan bahan yang dapat digunakan sebagai sumber landasan penyusunan subtansi RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. 5 C. LANDASAN PENYEMPURNAAN 1. Landasan Filosofis Pembentukan UU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD diperlukan untuk penyempurnaan sistem pemilu DPR, DPRD, dan DPD sebagai aktualisasi dari penyelenggaraan kehidupan bernegara dan pemerintahan yang berdasarkan pada prinsipprinsip demokrasi. Perubahan dan penyempurnaan sistem pemilu merupakan keniscayaan sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi keseimbangan kekuasaan dengan pemerintah (check and balances) sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD. Wakil-wakil rakyat dipilih karena benar-benar mewakili aspirasi rakyat dengan penataan sistem dan dan penyelenggaraan pemilu yang semakin baik dan sempurna. Penyempurnaan UU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dilakukan untuk lebih menjamin terlaksananya kesetaraan satu orang, satu pilihan, dan satu nilai (one person one vote one value) dalam proses pemilihan DPR, DPD, dan DPRD. Setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih dan hak dipilih dapat melaksanakan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Landasan Sosiologis Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat, dan dapat dipertanggungjawabkan. 6 Penyempurnaan penyelenggaraan dan sistem pemilu DPR, DPD, dan DPRD diperlukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang ada pada pemilu sebelumnya. Perbaikan diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu, mulai dari penataan jangka waktu tahapan Pemilu, verifikasi peserta Pemilu, verifikasi daftar calon legislatif, tahap pemungutan suara, tahap penghitungan suara, dan penetapan calon legislatif terpilih. Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas diperlukan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara tepat dan memiliki derajat keterwakilan yang kuat melalui wakil-wakil mereka yang duduk di dalam kelembagaan DPR, DPD, dan DPRD. Pada akhirnya, masyarakat dapat merasakan manfaat atas sistem keterwakilan yang diwujudkan melalui pemilu dalam penyelenggaraan pengelolaan negara dan pemerintahan. 3. Landasan Yuridis Pemilu, baik pemilu Presiden, DPR, DPD, dan DPRD merupakan merupakan perwujudan dari amanat yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masingmasing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Secara yuridis, berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu dilaksanakan untuk menata sistem kelembagaan negara berkaitan pula dengan Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat 7 (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota Dewan Per wakilan Rakyat (DPR), De wan Per wa kilan Daerah (DPD), da n De wan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Penyelenggaran pemilu selama ini diatur dalam undang-undang yang diubah atau diganti setiap kali akan melaksanakan pemilu, baik pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD, maupun pemilu kepala daerah. Pada penyelenggaraan pemilu tahun 2009 lalu, penyelenggaran pemilu diatur dalam undang-undang paket politik: 1) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu; 2) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; 3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; dan 4) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Meski pengaturan pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam undang-undang tersendiri, namun penyelenggaraanya tidak bisa dilepaskan dari paket undang-undang politik tersebut. Di samping itu, dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2009 lalu, pengaturan secara teknis juga mengacu pada ketentuan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi atas Nomor Perkara 22 dan 24/PUU-VI/2008 tentang Ketentuan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008, dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 74-80-9459-67/PHPU.C-VII/2009 tentang Permohonan Lima Partai Politik. Selain itu, landasan teknis yuridisnya juga mengacu pada sejumlah keputusan dan ketetapan yang wewenangnya diberikan undang-undang kepada Komisi Pemilu (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Untuk penyelenggaran pemilu pada tahun 2014 mendatang diperlukan penyempurnaan,baik berbentuk perubahan atau penggantian terhadap 8 undang-undang paket politik, terutama UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu; UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal pemilu DPR, DPD, dan DPRD, penyempurnaan perlu dilakukan terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008. Penyempurnaan ini diperlukan untuk mewujudkan pemilu yang semakin berkualitas dari waktu ke waktu. D. METODE Penyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis terhadap fakta lapangan, sumber hokum material dan sumber hokum formal. Sumber hukum material mengenai RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD mengacu pada hasil inventarisasi terhadap subtansi yang berkaitan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dari hasil inventarisasi tersebut akan dikaji masalah subtansi dan rumusan norma yang akan digunakan sebagai landasan penyusunan RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Sumber hukum formal yang digunakan dalam penyusunan naskah akademis RUU ini adalah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, terutama undang-undang paket politik lainnya. 9 E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang permasalahan pemilu, maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik, landasan penyempurnaan undang-undang, metode pembahasan, dan sistematika pembahasan yang digunakan dalam naskah akademik. BAB II KAJIAN SISTEM PEMILU Berisi tentang kajian mengenai sistem pemilu proporsional dan variannya, sistem pemilu distrik, sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia, dan sistem pemilu berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008. BAB III EVALUASI PEMILU 2009 Berisi tentang evaluasi mengenai permasalahan pemilu dari aspek sistem, kelemahan dari aspek legislasi dan regulasi, kelemahan dari aspek penyelenggaraan dan kelemahan dari aspek putusan Mahkamah Konstitusi. BAB IV POKOK KETENTUAN DAN ARAH PERUBAHAN Berisi tentang arah perubahan dan pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam rancangan undang-undang. BAB V PENUTUP Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penyusunan naskah akademik rancangan undang-undang ini. 10 BAB II KAJIAN SISTEM PEMILU A. SISTEM PEMILU Sistem Pemilu menurut Lijphart, diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka 6. Sistem pemilu, dilihat dari kedudukan individu rakyat maka terdapat dua sistem, yakni sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis. Sistem pemilu mekanis melihat bahwa rakyat terdiri atas individu. Sedangkan pada sistem pemilu organis, rakyat ditempatkan sebagai jumlah kelompok individu atau dengan perkataan lain rakyat dibagi dalam organ-organ kelompok individu. Kelompok ini didasarkan misalnya geneologis, lapisan sosial, organisasi kelembagaan, dan sebagainya. Dengan demikian pada sistem pemilu organis hak suara terletak pada kelompok. Sistem pemilu mekanis dilaksanakan dengan tiga cara yaitu sistem semi proporsional, sistem representasi proporsional dan sistem mayoritas-pluralitas7. 1. Sistem Pemilu Semi Proporsional Sistem pemilu semi proporsional8 merupakan sistem yang mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara proporsionalitas sistem perwakilan proporsional dengan mayoritarian dari sistem mayoritaspluralitas. 6 7 8 Arend Lijphart, Electoral Systems, dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 255. Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES Ben Reilly and Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA, International Stockhlom, United Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001 hal. 84. 11 Terdapat tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang digunakan untuk pemilihan para anggota legislatif yaitu9 Single Non-Transferable Vote (SNTV), sistem paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV). a. Sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV) Dalam sistem SNTV ini, setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut dan calon anggota legislative yang memperoleh suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut. b. Sistem Paralel Sistem Paralel menggunakan dua sistem utama, baik daftar-daftar representasi proporsional maupun distrik-distrik mayoritas-pluralitas. Dalam sistem ini representasi proporsional daftar tidak memberikan imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian. c. Sistem Limited Vote Sistem LV terletak di antara SNTV dan Block Vote (varian dalam sistem pluralitas-mayoritas), karena dalam sistem ini ada distrik wakil mejemuk, dan para calon anggota legislative yang menang semata-mata adalah mereka yang mengumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat memberikan suara yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi, tetapi lebih dari satu suara. 2. Sistem Pemilu Representasi Proporsional Sistem pemilu proporsional ialah sistem dimana prosentase kursi di dewan perwakilan rakyat yang akan dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, 9 Andrew Reynolds, Semi Proporsional dalam “Sistem Pemilu”, op. cit. hal 94. 12 disesuaikan dengan jumlah prosentase suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Sistem proporsional ini dapat dilakukan dengan bervariasi, misalnya dengan hare system dan list system. Hare system, di mana pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik pemilih yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya, dan seterusnya. List system, di mana pemilih diminta memilih di antara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. Tujuan awal sistem proportional reprecentation adalah untuk menghasilkan lembaga perwakilan di mana proporsi kursi-kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai kurang lebih merefleksikan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai. Kandidat-kandidat dipilih dari distrik-distrik dengan wakil majemuk. Negara secara keseluruhan mungkin merupakan satu daerah pemilihan tempat para wakil dipilih, atau mungkin ada beberapa daerah pemilihan kabupaten/kota atau regional asal para wakil dipilih. Semakin besar jumlah daerah pemilihan yang digunakan, semakin kecil kemungkinan komposisi lembaga perwakilan akan mencerminkan proporsi suara yang dimenangkan oleh tiap partai. Keuntungan sistem proporsional : 1) Menjamin eksistensi partai-partai kecil. 2) Dianggap demokratis dan representatif, karena jumlah wakil partai sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilu secara nasional. Sistem ini dianggap lebih mencerminkan asas keadilan, karena semua 13 golongan dalam masyarakat termasuk yang paling minoritas sekalipun, mempunyai peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen 10. 3) Menjamin suara rakyat tidak terbuang dengan sia-sia. Kerugian sistem proporsional : 1) Hubungan antara rakyat dengan wakilnya kurang akrab, karena rakyat hanya memilih tanda gambar. Siapa orangnya, rakyat kurang tahu dengan pasti. 2) Sistem ini cenderung menggeser asas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Partai politik yang menentukan calon dan partai pula yang berhak me-recall-nya kapan saja. 3) Sistem ini akan memberikan peluang bagi radikalisasi partai politik, karena masing-masing partai politik akan melindungi kepentingannya dengan kuat. Akibatnya, akan sulit mempertahankan sebuah koalisi sebab partai yang kecil memiliki kemampuan untuk menteror partai besar (blackmailing power) dengan mengancam mundur dari koalisi sehingga kabinet setiap waktu terancam bubar. 4) Kualitas calon sukar dikontrol pemilih dan rasa tanggung jawab terhadap yang diwakili menjadi sangat abstrak11. Sistem proporsional ini mempermudah terjadinya fragmentasi antar-partai politik. Jika timbul konflik, anggota partai cenderung mendirikan partai baru, karena terdapat peluang partai baru itu memperoleh kursi melalui pemilu. Beberapa varian dari sistem proporsional ini antara lain List Proportional Reprecentation, Mixed Member Proportional (MMP) dan Single Transferable Vote (STV). 10 11 Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The Ridep Institute, Jakarta, 2001, hal, 74-75 Ibid, hal. 74-75. 14 a. Representasi Proporsional Daftar (RP Daftar) 12 Sejumlah bentuk RP Daftar diterapkan di sekitar 70 negara. Semua bentuk RP memiliki karakteristik umum sebagai berikut: (1) Partai memberikan daftar kandidat yang sama jumlahnya dengan kursi yang tersedia di daerah pemilihan. (2) Para pemilih memilih untuk satu partai. Jumlah kursi yang diperoleh tiaptiap partai ditentukan oleh dan secara langsung berkaitan dengan proporsi jumlah suara yang diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan. (3) Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai dapat ditentukan dengan menggunakan rumus yang dapat berupa metode „sisa terbanyak‟ (largestremainder) atau metode „rata-rata tertinggi‟ (highest average). Setiap cara yang berbeda dalam penghitungan suara ini menimbulkan hasil yang sedikit berbeda – dalam hal jumlah wakil yang terpilih dari tiap-tiap partai politik. (4) Mungkin ada persyaratan yang harus dipenuhi partai, seperti ambang batas (thresholds) agar dapat diikutsertakan dalam pembagian kursi – misalnya, memperoleh presentase suara minimal tertentu. (5) Varian-varian dari RP Daftar dapat dibedakan berdasarkan pemilihan kandidat yang terpilih untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh tiaptiap partai. Variasi dari RP Daftar ini, antara lain: (1) Daftar Tertutup Merupakan bentuk yang paling banyak digunakan di dunia ini. Kursi yang dimenangkan oleh partai politik diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan ranking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. 12 Andrew Reynolds, Representasi Proporsional Daftar, dalam “Sistem Pemilu”, op. cit., hal 100. 15 Biasanya, hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara, meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai biasanya diumumkan dan biasanya tidak dapat diubah setelah tanggal nominasi tertentu. Oleh karena itu, partai politik memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi kursikursi yang tersedia. (2) Daftar Terbuka Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam daftar partai politik tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan. (3) Daftar Bebas Tiap-tiap partai politik menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka diantara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri di dalam sebuah surat suara kosong. Contoh dari sistem ini diterapkan di Swiss. 16 Beberapa kelebihan sistem RP Daftar: (1) RP Daftar merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang berasal dari berbagai macam kekuatan politik, termasuk kelompok minoritas dalam masyarakat. (2) Cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi persentase wakil yang terpilih. (3) Pada Sistem RP Daftar, hanya sedikit pemilih yang tidak terwakili suara mereka yang terbuang. Oleh karena itu, jumlah pemilih lebih besar. (4) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam sistem multi partai. (5) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat, dan membantu terpilihnya kandidat dari kelompok minoritas. Contohnya, proporsi anggota legislatif perempuan biasanya lebih tinggi di bawah sistem-sistem RP. (6) RP Daftar cenderung menghalangi adanya dominasi regional partaipartai politik tertentu. (7) Beberapa bukti empiris dari Eropa menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif. (8) Dalam varian sistem RP daftar tertutup, pemilih dapat memahami dengan mudah dan secara relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. (9) RP Daftar menciptakan contoh yang sangat nyata mengenai sharing kekuasaan dan kerjasama. Beberapa kekurangan dari RP Daftar : (1) Di bawah sistem RP Daftar, seringkali tidak ada hubungan yang kuat antara para pemilih dengan wakilnya. (2) Terutama dalam RP Daftar Tertutup, para pemilih tidak memiliki pengaruh dalam menentukan wakil mereka. Hal ini dapat berakibat pada kurangnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Dengan demikian kekuasaan para pimpinan partai politik dalam menentukan daftar calon legislatif sangat dominan. 17 (3) Dalam penggunaan sistem RP Daftar, sangat jarang bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas dalam badan legislatif. Koalisi pemerintahan yang dihasilkan akan membutuhkan kompromi kebijakan, dan dapat memperlambat tindakan dan secara internal kurang stabil dibandingkan pemerintahan yang berasal dari satu partai. (4) RP Daftar membutuhkan sistem partai yang berfungsi dengan baik. (5) Terutama dalam sistem RP Daftar Tertutup, kurang dapat mengakomodasi kandidat independen. (6) RP Daftar menghasilkan banyak partai dan dapat menimbulkan fragmentasi sistem partai menjadi partai-partai yang hanya mengetengahkan satu wacana tertentu atau suatu „kepribadian‟ tertentu. (7) Memungkinkan bertahannya partai-partai ekstrimis. (8) Pemerintahan terpilih di bawah RP Daftar akan menjadi kurang bertanggung jawab karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan, partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu. (9) Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar Bebas) mungkin lebih sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan. b. Mixed Member Proportional (MMP)13 Sistem mixed member proportional (MM) ini diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Mexico, Bolivia, Italia, dan lain-lain. Karakteristiknya: (1) Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau satu surat suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu untuk pilihan partai (biasanya secara nasional), yang lain untuk kandidat di daerah pemilihan mereka (distrik lokal). (2) Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi representasi proporsional terhadap kursi daerah pemilihan – biasanya, antara 25 % - 50 % kursi merupakan kursi representasi proporsional. 13 Ibid 18 (3) Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam badan legislatif secara langsung ditentukan berdasarkan proporsi suara pemilihan RP. (4) Untuk menentukan anggota partai yang terpilih: - Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar partai untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk membuat presentase jumlah wakil sama dengan presentase suara pemilihan RP. - Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah parlemen yang fleksibel, untuk menangani situasi di mana kursi yang dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi jumlah kursi yang diperolehnya dari presentase suara RP. Beberapa kelebihan yang signifikan dari MMP, mirip dengan sistem RP: (1) Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem pemilihan RP secara keseluruhan. Ada hubungan langsung antara suara yang diperoleh dengan jumlah kursi yang dimenangkan, sementara juga menjamin pemilih memperoleh representasi geografis yang bertanggung jawab. (2) Memungkinkan pemilih memiliki dua suara, sehingga suara dapat dibagi antara partai/orang yang mewakili bagian yang berbeda dari pandangan pemilih. (3) Merupakan sistem yang inklusif, sehingga memungkinkan badan legislatif untuk terdiri dari berbagai macam gerakan politik, termasuk minoritas dalam masyarakat. (4) Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga jumlah pemilih yang memilih lebih besar. (5) Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat untuk pemilihan, membantu terpilihnya wakil dari kelompok minoritas dan menyediakan perwakilan untuk partai-partai minoritas. 19 Beberapa kekurangan sistem MMP: (1) MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau pemerintahan yang lemah, sulit untuk dijatuhkan dari kekuasaan. (2) Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang penting dibandingkan suara untuk partai politik dalam menentukan alokasi kursi secara keseluruhan. MMP dapat menimbulkan dua kelas perwakilan dalam parlemen, masing-masing dengan agenda yang berbeda, walaupun berasal dari partai yang sama. (3) Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi dialokasikan dalam MMP, dan mungkin membutuhkan usaha pendidikan pemilih yang substansial. (4) MMP dapat memberi peluang bagi „strategic voting’ di mana pemilih dianjurkan oleh partai politik yang didukungnya untuk memilih kandidat dari partai lain, tapi bersimpati pada partai yang mereka dukung, untuk memaksimalkan kursi partai mereka di bawah alokasi RP. (5) MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan administrator pemilu, dibandingkan dengan sistem RP Daftar. Namun hasil proporsional yang diperolehnya sama kualitasnya. 3. Sistem Pemilu Mayoritas-Pluralitas (Distrik) Sistem mayoritas-pluralitas atau sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh sejumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang diberikan kepada calon-calon lain dalm distrik itu dianggap 20 hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih itu kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon yakni A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India. Dalam sistem distrik ini biasanya yang dijadikan dasar pembagian distrik adalah jumlah penduduk14. Seperti di Amerika Serikat, luas atau besarnya wilayah sama sekali tidak menentukan. Oleh karena itu, isu yang sering menimbulkan pertentangan adalah penentuan distrik karena ada yang diuntungkan berkenaan bertambahnya penduduk dan ada pula yang dirugikan karena penduduknya berkurang. Yang menjadi hukum dasar dalam sistem distrik adalah the winner takes all. Artinya apabila dalam sebuah distrik ada dua calon atau lebih, seorang calon memenangkan 50 persen suara ditambah satu (simple majority) maka dialah yang akan memenangkan kursi didistrik tersebut. Jika tidak ada yang memenangkan dengan simple majority katakanlah ada tiga atau empat calon, maka harus diadakan pemilu atau run-off dari mereka yang dua terbesar mengumpulkan suara. Sistem distrik mempunyai beberapa aspek positif 15: (1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seserang merupakan faktor yang penting. 14 15 Afan Gaffar, Politik Indonesia…, op.cit, hal. 265. Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana (Bagian 2) dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2000. 21 (2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Di samping kecenderungan untuk membentuk partai baru sedikit banyak dapat dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa paksaan. (3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partaipartai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional. (4) Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan. Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan : (1) Sistem ini kurang menguntungkan bagi partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik pemilihan. Amat sukar bagi partai kecil untuk menjadi pemenang tunggal dalam suatu distrik. Sebaliknya sistem distrik menguntungkan partai besar. Partai yang besar dalam masyarakat akan menjadi lebih besar di parlemen dan partai yang kecil dalam masyarakat akan menjadi lebih kecil dalam parlemen. Penyebabnya adalah partai kecil sukar sekali untuk menang mutlak dalam suatu distrik. (2) Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan semua suara yang telah mendukungnya.Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak dihitung sama sekali; dan kalau ada banyak partai yang bersaing, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar.Hal ini sering dianggap tidak adil oleh golongan yang kalah. 22 (3) Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dalam parlemen. Sugiono menyatakan bahwa sistem distrik biasanya didasarkan pada beberapa hipotesa yang pernah dibuat oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Party (1954). Dari penelitiannya di Eropa, Duverger berpendapat bahwa terdapat “Hukum sosiologi yang riil” bahwa apabila sistem distrik dipakai dalm pemilu suatu negara maka akan timbul sistem dua partai, karena partai-partai yang nomor tiga dan seterusnya yang tidak pernah menang dalam pemilu akan berkoalisi dengan sesama partai kecil atau bergabung dengan dua partai besar, agar suaranya yang sedikit di suatu distrik pemilihan masih bisa dialihkan ke partai lain dengan imbalan politik tertentu. Dengan demikian, suara para pemilihnya tidak terbuang percuma, namun masih ada artinya sebagai bargaining chip. Akibatnya, partai politik akan semakin berkurang jumlahnya. Menurut Duverger keadaan tersebut akan menjamin stabilitas pemerintahan (kabinet) karena partai-partai yang berkuasa di Parlemen dan Pemerintahan, relative susah dijatuhkan oleh partai-partai kecil yang berkoalisi sesamanya atau mengalihkan dukungan dari partai pemerintahan kepada partai besar yang berada di luar pemerintahan. Teori ini tampaknya hanya cocok untuk negara-negara Eropa barat yang memang sudah tidak mempunyai masalah dengan identitas-identitas atau integrasi mereka, sehingga “perdebatan mengenai nilai budaya” atau “konflik antar kelompok budaya” sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Situasi tidak sama terjadi dalam negara Indonesia karena masih terdapat perbedaan nilai kelompok budaya yang masih sangat menonjol. Akibatnya, belum tentu sistem ini menghasilkan stabilisasi sistem politik kita sebagaimana yang 23 dikemukakan pada teori Duverger. Sebaliknya, sistem distrik justru akan mempertajam konflik politik16. Sementara, menurut Cornelis Lay17 : Titik yang paling rawan dari sistem pemilihan distrik adalah ia menyediakan ruang yang luas bagi, dan sekaligus dengan mudah memacu radikalisme daerah. Bisa dipastikan, daerah-daerah akan mematok “putra asli” sebagai syarat politik, sementara perilaku pemilih pun akan banyak didikte oleh keterkaitan primordialisme sempit. Pengalaman banyak bangsa memastikan eskploitasi berlebihan isu-isu primordial bisa merosot sangat tajam menjadi kecenderungan etnonasionalisme- provinsialisme atau daerahisme yang sangat menghancurkan. Bagi Indonesia, persoalan di atas akan menjadi semakin pelik karena realitas masyarakat Indonesia yang super-majemuk dengan derajat cross-cutting affiliation yang sangat rendah, merupakan faktor-faktor yang bisa mempercepat radikalisme daerah-daerah. Pemilahan masyarakat kita yang sangat tegas-etnik yang bertumpang tindih dengan agama, lokasi (pulau atau daerah), kultur, bahkan ciri-ciri fisik dan lain-lain- yang diikuti oleh keterbatasan arena dan sarana (antara lain, karena kendala geografis) bagi pembentukan jaringan afiliasi yang bersifat tumpang tindih, tentunya bukan merupakan kondisi yang kondusif bagi pemberlakuan sistem distrik. Apabila sistem distrik ini diberlakukan maka akan terjadi perubahan secara luar biasa di daerah. Dinamika hubungan politik akan lebih diwarnai dan dideterminasi oleh rute politik primordial, menyisihkan pertimbanganpertimbangan dan isu-isu lainnya. Dalam konteks ini, daerah-daerah ini dengan pemilahan masyarakat yang tegas berdasarkan garis etnik yang bertumpangtindih dengan agama, kultur 16 17 Sugiono, Bahaya Sistem Distrik Bagi Integrasi Bangsa dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. Cornelis Lay, Problem Sistem Pemilihan Distrik, dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. 24 dan seterusnya akan menjadi kawasan yang sangat ringkih terhadap kemungkinan terjadinya benturan antar aneka segmen yang terpilih di atas. Akibatnya, daerah-daerah dengan karakter diatas, arena pemilihan bukan sebatas sebagai arena perebutan pengaruh diantara elit-elit politik yang saling bersaing ke posisi di lembaga-lembaga perwakilan, tapi sebagai arena konsolidasi dan reproduksi “perbedaan-perbedaan di antara masyarakat yang memang sudah berbeda. Di ujungnya pada tingkat paling moderat, pemberlakuan sistem pemilihan distrik akan semakin mempertegas dan mengentalkan pemilahan masyarakat ke dalam sekat-sekat eksklusivisme berdasarkan kesamaan stink, agama, asal daerah, kultur, ciri fisik, dan seterusnya. Sistem ini mempunyai varian antara lain First Past The Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV) dan Two Round Sistem (TRS). a. First Past The Post (FPTP)18 Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan daerah-daerah bekas jajahannya. Sistem ini memiliki karakteristik: (1) Sistem ini didasarkan pada „distrik-distrik wakil tunggal‟ – satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan. (2) Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat yang mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti kandidat yang memperoleh suara mayoritas. Beberapa kelebihan yang signifikan dari „First Past The Post’: (1) FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, biasanya menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas, sehingga para pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini dapat membatasi kemungkinan adanya partai-partai yang ekstrim. (2) Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, dan berasal dari satu partai. 18 Andrew Reynold, First Past The Post, dalam Sistem Pemilu” op.cit., hal 82. 25 (3) Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-partai bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka. (4) Dapat mendorong adanya pihak oposisi untuk membuat pemerintah bertanggungjawab. (5) Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah pemilihan, dapat membuat hubungan yang erat antara pemilih dan wakilnya, juga lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilihnya. (6) Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti pemilu. (7) Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para kandidat secara individual. (8) Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan digunakan oleh para pemilih, serta mudah dalam pelaksanaannya. Beberapa kekurangan sistem „First Past The Post’: (1) Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional dengan keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu. Partai dengan jumlah suara mayoritas atau terbanyak, mungkin tidak mendapatkan mayoritas, atau bagian terbesar dari jumlah kursi yang ada. Partai dengan proporsi yang menonjol dari keseluruhan jumlah suara mungkin tidak mendapatkan kursi sama sekali; (2) Proses „pemenang memperoleh semua‟ (the winner takes all) mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada terbuang. Para pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai minoritas tidak terikutsertakan dalam perwakilan yang „adil‟; (3) Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang mungkin hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau mungkin kurang dari itu; (4) Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP tidak memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari partai-partai minoritas; (5) Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang pluralisits; (6) Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong adanya partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan; 26 (7) Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan opini publik (8) Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah pemilihan. b. Block Vote (BV)19 Secara prinsip sama dengan sistem FPTP, kecuali BV berwakil banyak. Para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan diisi dan biasanya mereka bebas memilih calon anggota legislative tanpa mempertimbangkan afiliasi partainya. Dalam sistem BV, para pemilih dapat menggunakan sebanyak mungkin atau sesedikit mungkin pilihan yang mereka inginkan. c. Alternative Vote (Preferential Voting atau AV) Sistem ini diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang telah dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji, hanya sekali, pada tahun 1999, dan juga di Papua Nugini dari tahun 1964 sampai 1975, ketika masih berada di bawah administrasi Australia. Karakteristik sistem ini adalah: (1) Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik wakil tunggal (dapat diterapkan untuk pemilu dengan distrik wakil majemuk, misalnya untuk Senat Australia sampai tahun 1949, sistem ini cenderung menghasilkan hasil yang lebih tidak berimbang dibandingkan dengan sistem-sistem Block Vote). (2) Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus mengurutkan semua kandidat sesuai urutan preferensi mereka (1,2,3,4, dan seterusnya). (3) Pada sistem optional preferential voting, para pemilih memiliki pilihan untuk menandai hanya satu kandidat atau memilih mengurutkan beberapa atau semua kandidat. 19 Ben Reilly dan Andrew Reynold, Block Vote dalam “Sistem Pemilu” op.cit 27 (4) Pada sistem „ticket voting‟ pemilih memilih sebuah partai politik, dan preferensi pemilih akan sama dengan urutan preferensi yang telah ditentukan partai yang bersangkutan, yang diumumkan oleh semua partai politik kepada pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan. (5) Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1 dari suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan. Apabila ketentuan ini tidak tercapai dari preferensi pertama para pemilih, maka kandidat dengan jumlah pilihan pertama yang terrendah akan disingkirkan, dan pilihan kedua yang ditandai di kertas suara kandidat tersebut dibagikan ke kandidat lainnya. Proses eliminasi kandidat dengan jumlah suara terendah dan membagikan kertas suaranya kepada kandidat lain yang tertinggal, di mana kepada mereka pemilih telah menentukan pilihan berikutnya, berlanjut sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara. Beberapa kelebihan dari Alternative Vote: (1) Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam mempererat hubungan pemilih dengan para wakil mereka, seperti juga halnya dalam sistem-sistem lain yang berdasar kepada distrik. (2) Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk mendapatkan lebih dari satu kesempatan untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakil mereka, meskipun argumentasi ini menjadi kurang kuat apabila varian „ticket voting‟ diterapkan. (3) Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi seorang kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini memberikan legitimasi kuat kepada para kandidat yang terpilih. (4) Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan mengurangi efek-efek ekstrimisme. (5) Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk berkoordinasi tanpa harus beraliansi secara formal. (6) Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan sistem majority yang lain seperti sistem dua putaran. 28 Beberapa kekurangan sistem Alternative Vote: (1) Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang bagi terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu partai dengan proporsi suara yang lebih kecil dalam total jumlah suara. (2) Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang memperoleh suara preferensi teratas kedua dan ketiga sering menjadi pemenang. (3) Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang tinggi diantara populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan banyaknya suara yang tidak sah sehingga akhirnya legitimasi pemilu dipertanyakan. (4) Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih rumit dan intensif. (5) Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di statu lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil sesuai sistem ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada aspek keamanan, transparansi dan logistik. (6) Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapacitas pelatihan dan penerapan administrator pemilu, dan tidak sepenuhnya dapat dipahami partai dan para pengamat. Bahkan dalam situasi yang ideal pun, akan membutuhkan waktu lama untuk menentukan pemenang. Ini bukanlah sistem yang mudah dan sederhana. (7) Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan bawah tangan dan praktek politik uang untuk menunjang upaya partai politik untuk mempengaruhi preferensi pemilih. (8) Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah pemilihan. 29 d. Two Round System (TRS)20 Bentuk terakhir sistem pluralitas mayoritas adalah two round system (TRS) atau sistem dua putaran yang juga dikenal dengan sistem run-off atau double ballot. Dalam sistem TRS ini, pemilihan dilakukan dalam dua putaran. Jarak antara putaran pertama dan kedua satu atau dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan seperti model FPTP. Jika seorang calon anggota legislatif mendapatkan suara mayoritas absolut, maka secara langsung dipilih dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi jika tidak ada calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan dan pemenang putaran ini dinyatakan terpilih. 4. Batas Representasi (Thresholds) Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi perwakilan. Artinya, tingkat dukungan minimal yang diperlukan sebuah partai untuk memperoleh perwakilan, yang diterapkan secara legal (efektif). Dalam beberapa hal, batas representasi ini merupakan produk sampingan dari sistem milihan umum yang lain, seperti jumlah kursi yang harus diisi dan jumlah partai atau caleg yang bertarung dalam milihan umum, dan dengan demikian disebu t batas representasi yang “efektif”. Meskipun demikian, pada banyak hal lagi, batas representasi ini dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang kemudian memunculkan sistem RP, dan dengan demikian disebut “formal”. Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya, diberlakukan batas representasi 5%21. Partai-partai politik yang tidak mencapai batas representasi lima persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari RP 20 21 Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Two Round System, dalam “Sistem Pemilu,” op.cit., hal.91 Sebagai pembanding, electoral threshold di Swedia 4%, Argentina dan Bolivia 3%, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2%. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, 2006, hal. 32. 30 Daftar. Sebagai perbandingan, lihat dalam Jerman: Sistem Mixed Member Proportional yang orisinal dan Rusia-Sistem Paralel yang terus berkembang. Ketentuan ini berasal dari Jerman dengan maksud untuk membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis, dan dimaksudkan untuk menghentikan partaipartai kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan. Meskipun demikian, baik di Jerman maupun di Selandia Baru ada jalan “pintu belakang” bagi sebuah partai sehingga mereka dapat memperoleh kursi dari daftar tersebut. Di Selandia Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya satu kursi konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk dapat lepas dari persyaratan batas representasi. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan “pintu belakang” dan hampir setengah dari suara partai berdasarkan daftar partai terbuang. Partai-partai yang mendapatkan kurang dari persentase ini dikeluarkan dari penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya batas representasi formal cenderung meningkatkan tingkat disproporsionalitas, karena suara yang sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi terbuang. Di Polandia pada tahun 1993, bahkan dengan batas representasi yang relative kecil yaitu sebesar lima persen, lebih dari 34 % suara diberikan untuk partai politik, yang ternyata tidak dapat melampaui batas representasi tersebut. Tetapi pada kebanyakan kasus lain, batas representasi mempunyai pengaruh yang kecil saja terhadap hasil secara keseluruhan. Maka dari itu, beberapa ahli pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali menambah rumitnya aturan pemilu, yang seharusnya dihindari. Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk mendiskriminasikan partai-partai kecil – dan ternyata dalam beberapa kasus memang inilah maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam banyak kasus diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang disengaja sebenarnya tidak diinginkan, terutama dalam kasus-kasus di mana beberapa partai kecil 31 dengan dasar pendukung yang hamper sama “memecah” suara mereka sendiri dan pada akhirnya terjatuh dibawah batas representasi. Padahal seandainya mereka menyatukan suara mereka, mereka pasti dapat memperoleh kursi di parlemen. Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara yang menggunakan sistem RP Daftar juga memperbolehkan partai-partai kecil membuat kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan demikian membentuk kartel atau apparentement untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti bahwa partai tersebut tetap merupakan partai-partai tersendiri, dan dicantumkan sendiri-sendiri dalam kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel. Maksudnya, meningkatkan kemungkinan bahwa suara mereka yang dijadikan satu secara keseluruhan akan berada diatas batas representasi, dan dengan demikian mereka mungkin dapat memperoleh perwakilan tambahan. B. SISTEM PEMILU YANG DITERAPKAN DI INDONESIA Pemilu merupakan mekanisme penting dalam sebuah negara, terutama yang menggunakan jenis sistem politik demokrasi liberal. Pemilu yang mendistribusikan perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam bentuk representasi orang-orang partai di parlemen. Karena itu, pemilihan sebuah sistem pemilu perlu disepakati bersama antara partai-partai politik yang terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah. Indonesia telah menyelenggarakan 10 kali pemilu22. Khusus untuk pemilihan anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis proporsional, yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai 22 Indonesia yang merdeka tahun 1945 cukup sering menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilu-pemilu yang pernah terjadi adalah 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 dan 2009. 32 politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah berlangsung. Masing-masing pemilu memiliki karakteristik, bergantung pada tipe sistem politik yang berlangsung. Sistem Demokrasi Liberal menaungi pemilu 1955, 1999, dan 2004. Pemilu lainnya terjadi di masa sistem politik rezim otoritarian kontemporer Orde Baru. Tipe sistem pemilu yang banyak dipakai di Indonesia adalah Proporsional, dengan beberapa pengecualian. 1. Sistem Pemilu Orde Baru Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi 33 menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak dengan persentase di atas 50%23. Berdasarkan kajian dan pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur demokrasi, tidak secara substansif. Pemilu masa itu lebih sebagai sebuah rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi kekuasaan sebagai sebuah prasyarat demokrasi24. Secara lebih rinci Pemilu pada masa Orde Baru dapat digambarkan sebagai berikut25: a. Pemilu 1971 Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan UU No. UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat oleh Presiden dari kalangan angkatan bersenjata dan pemerintahan. 23 24 25 Tahun 1971 Golkar memperoleh suara 59,04% (236 kursi); Pemilu 1977: 56,07% (232 kursi), Pemilu 1982: 64,38% (242 kursi), Pemilu 1987: 73,17% (299 kursi), Pemilu 1992: 68,1% (282 kursi), dan pemilu 1997: 74,51% (325 kursi). Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 200, hal 251-254. Lihat dalam www.kpu.go.id, Sejarah Pemilu di Indonesia, Jum'at, 19 Maret 2004 34 Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia dengan Sistem Proporsional Daftar: (1) Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Suara bagi setiap partai dibagi menurut BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Total pemilih yang terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% dari total suara. (2) Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga suara Golkar ”meroket” hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang. b. Pemilu 1982 Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi ”electoral quotient” di masing-masing wilayah. Jumlah tatal pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Sama seperti Pemilu 1977, sejumlah anggota Golongan Fungsional pun akhirnya bergabung dengan Golkar. Sehingga, total kursi yang diperoleh Golkar menjadi 267 (dari 246 ditambah 21). Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang. 35 c. Pemilu 1987 Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%. Daftar hasil pemilu 1987 adalah jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 4150 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang. d. Pemilu 1992 Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah adalah 97.789.534. Untuk hasil Pemilu 1992, anggota DPR yang berasal dari Angkatan Bersenjata dan kelompok Fungsional, yaitu sebanyak 100 orang diangkat langsung oleh Presiden Suharto. Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang. 36 e. Pemilu 1997 Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen. Hasil Pemilu 1997 dapat dilihat pada tabel berikut : Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri ”dihabisi” secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad. Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang. 2. Sistem Pemilu 1999 DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil. Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU 37 Pemilu, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru. Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal 26. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI. Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan 3 rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim 7 yang diketuai Prof. Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta. Pada awalnya Pemerintah yang diwakili menteri dalam negeri dalam draft RUU nya menghendaki sistem distrik dengan kombinasi sistem proporsional karena dianggap paling akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis dan praktek. Namun di lain pihak kekuatan di DPR menghendaki sistem yang tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru, alasan utamanya adalah karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem distrik serta kondisi geopolitik Indonesia yang tersebar dalam kepulauan.27 Pada akhirnya UU No. 3 Tahun 199 menyatakan bahwa sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar28. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 26 27 28 Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, (Makalah disampaikan pada Diskusi Meja Bundar Pemilu 1999 : Evaluasi dan Reformasinya yang diselenggarakan oleh Cetro (Center for Electoral Reform) pada tanggal 9 September 1999.) Lihat pidato pengantar Menteri dalam Negeri RI pada penyerahan 3 RUU bidang Politik tanggal 2 oktober 1998. Pasal 1 angka 7 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum 38 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Ada sekitar 27 partai politik yang tidak menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu : Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI. Oleh sebab adanya penolakan ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah. Lebih jauh, partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidaklah menyertakan point-points spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden kemudian memutuskan bahwa Pemilu 1999 adalah sah, dan masyarakat mengetahui hasil tersebut tanggal 26 Juli 1999. Problem selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam yang melakukan stembusaccord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan PPI (Panitia Pemiliha Indonesia) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim beroleh 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU (Komisi Pemilu). KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas 2 opsi. Opsi Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Opsi Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung Opsi Pertama, dan 43 suara mendukung Opsi Kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. 39 Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% dari suara yang sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa suara terbesar). Perbedaan dengan Pemilu 1997 adalah, pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, seorang Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971. Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8%. 3. Sistem Pemilu 2004 Secara garis besar sistem Pemilu Tahun 2004 mencampur-adukkan dua mazhab besar (proportional dan plural majority). Sistem tersebut secara teoritis membingungkan peserta Pemilu, baik kontestan maupun pemilih 29. 29 Riswandha Imawan, Mencari Alternatif Kuldesak Pemilu 2004, Yogyakarta, 2004 40 Sistem yang digunakan dalam Pemilu 2004 dalam pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten menggunakan proportional open list system yang dalam prakteknya lebih sebagai Proporsional Representation List Tertutup. Hal ini dapat dilihat dari cara memberi suara yang benar adalah mencoblos tanda gambar dan nama orang dalam daftar yang disediakan. Namun dalam aturan dapat disahkan pada tanda gambar saja, sehingga makna proporsional open-list sistem yang mengedepankan rasionalitas berbelok menjadi proportional closed-list system yang meminimalkan rasionalitas pemilih seperti pada pemilu-pemilu sebelumnnya. Adapun sistem pemilu yang dipakai untuk memilih anggota DPD adalah sistem First Past The Post dan Two Round System untuk memilih Presiden dan Wapres. Dari pandangan normative/legal, jabatan-jabatan publik menurut konstitusi dan tata perundangan yang berlaku, dapat dianalisis sebagai berikut30: (1) Jabatan politik eksekutif nasional (Presiden/Wakil Presiden) Tata perundangan di Indonesia secara tegas menandai fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, maka seorang Presiden adalah pemimpin bangsa ataupun semua teritori yang ada dalam sebuah negara. Ini berarti bahwa ia harus merepresentasikan mayoritas semua elemen dan wilayah sebuah negara. Untuk membuat seorang kepala negara efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia sebaiknya dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip majoritarian. Sedangkan sebagai kepala pemerintahan, maka seorang presiden adalah pemimpin yang diukung sebagian besar pemilih. Dalam proses pemilu, dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih (pemilihan langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan partai (pemilihan langsung atau tidak langsung). Ada berbagai sistem 30 I Ketut Putra Erawan, Logika perubahan dan Keberlanjutan Sistem pemilihan Umum Bagi Indonesia 2009, Seminar Nasional Mencari Format Baru Pemilu dalam rangka Penyempurnaan Undang-undang Bidang Politik, LIPI, Jakarta, 10 Mei 2006 41 pemilihan yang dapat melahirkan seorang presiden yang bisa efektif sebagai kepala pemerintahan. Biasanya adalah sistem plurality misalnya FPTP, kalau tekanannya adalah Presidensiil yang didukung oleh sebagaian besar pemilih. Bisa pula dengan sistem lainnya. Tetapi gabungan dari posisi seorang kepala pemerintahan dan kepala negara mensyaratkan pula gabungan dari dukungan dari mayoritas semua elemen dan wilayah sebuah negara (majoritarian) dan sebagaian besar pemilih dan atau dukungan partai atau gabungan partai (plurality). Beberapa tawaran cocok untuk memenuhi criteria tersebut adalah Sistem Plural Majority with Two Round System dan Alternative Vote System. Yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Plural Majority with Two Round System. (2) Jabatan politik legislatif nasional dan daerah (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) Tata perundangan di Indonesia secara kurang tegas menyebutkan substansi lembaga legislative nasional maupun daerah. Paling tidak ada tiga substansi yang bisa dilekatkan kepada legislator, yakni sebagai perwakilan rakyat, sebagai perwakilan partai atau kekuatan politik, ataupun sebagai perwakilan daerah. Sebagai wakil rakyat, maka legislator harus merepresentasikan mayoritas semua elemen masyarakat. Untuk membuat seorang legislator efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia sebaiknya dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip yang menekankan proporsionalitas. Pilihan yang kuat adalah sistem Proportional Reprecentation dengan List Terbuka. Sedangkan sebagai wakil partai, maka seorang legislator adalah pemimpin yang didukung partai mayoritas pemilu. Dalam proses pemilu, dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih (pemilihan langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan partai (pemilihan langsung ataupun tidak langsung). Ada berbagai sistem 42 pemilihan yang dapat melahirkan seorang legislator yang bisa efektif adalah sistem plurality misalnya FPTP ataupun Proportional Reprecentation dengan List Tertutup. (3) Pergeseran logika Pemilu 2004 Dalam Pemilu 2004 telah terjadi kompleksitas politik ketika logika normatif di atas coba diterapkan. Logika awal dari pemilihan Presiden Indonesia 2004 adalah upaya mencapai majoritarian karena presiden adalah kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang representatif bagi pemilih, bangsa, dan territorial Indonesia adalah Plural Majority dengan Two Round Sistem. Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah bobot yang bisa diberikan oleh wakil presiden. Bisa jadi seorang presiden adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan kekuatan politik, ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu partai besar pemenang pemilu legislatif. Persoalannya adalah apabila wakil presiden punya agenda yang kurang kompatibel dengan presiden. Presiden bisa dibiarkan sendirian menghadapi legislative, yang implikasinya adalah kebijakan tidak efektif. Dari kacamata pemilih, konstituen memilih mereka sebagai pasangan lebih seperti logika block vote ataupun alternative vote tanpa mereka sadari. Sistem yang demikian ini cenderung positif untuk membantu mengurangi konflik. Tetapi kelemahan yang paling dasar adalah majoritarian yang didapat dari dukungan kekuatan politik akan bersifat manufactured dan sangat tergantung konstelasi politik yang berkembang. Sangat negatif efeknya kalau presiden mengambil kebijakan tidak populis yang membuat ia ditinggalkan oleh pendukung popular pada saat yang sama dukungan dari partai pemegang mayoritas legislatif tidak kredibel. Apalagi presidennya tidak berani mengambil kebijakan decisive. Presiden 43 menjadi serba salah dan wakilnya merasa tidak perlu bertanggungjawab karena ia harus menghitung feasibilitasnya di kemudian hari. Hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi dalam pemilihan kepala daerah langsung (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, atau Walikota/Wakil Walikota). Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang representatif bagi pemilih, kekuatan politik, dan pada saat yang sama daerah adalah juga dengan Plural Majority dengan Two Round Sistem. Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah bobot yang bisa diberikan oleh wakil kepala daerah dan partai politik yang menjadi perahu tumpangannya untuk memenangkan pilkada. Bisa jadi seorang kepala daerah adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan politik ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu partai besar pemenang pemilu legislatif atau partai politik yang mendukungnya. Pergeseran logika juga melanda pemilu legislatif, baik di level nasional maupun di level daerah. Legislator diharapkan mampu merepresentasikan berbagai elemen masyarakat baru kemudian representasi kekuatan politik. Dengan kata lain mereka adalah wakil rakyat pertama, baru kemudian wakil partai. Logika ini yang menyebabkan mereka dipilih dengan cara proportional representation dengan list terbuka. Terbuka di sini berarti rakyat/pemilih yang menentukan siapa dari calon yang diajukan partai yang mereka dukung. Tetapi dalam prakteknya, ada berbagai persyaratan yang membuat sistem pemilihannya cenderung menggunakan logika proportional reprecentation list tertutup. Persyaratan tersebut misalnya penentuan bilangan pembagi pemilih (BPP) dibuat sangat tinggi, sehingga hanya segelintir kandidat saja yang dapat memenuhi. Sisanya harus mengikuti nomor urut atau ranking kandidat yang dibuat partai, belum lagi ada ketentuan yang mengatakan memilih partai saja adalah sah tetapi memilih kandidat saja tidaklah sah. 44 Apapun alasannya, implikasinya adalah pengakuan keberadaan partai lebih penting dari kandidat. Akibatnya, retorika untuk membuat keterkaitan pemilih dengan wakilnya menjadi lebih ilusi. Wakil harus menjadi delegasi dari partai daripada “trustee” yang menggunakan kesadaran individual untuk membawa aspirasi pemilihnya. Persoalannya menjadi rumit ketika partai tidak responsif pada keinginan pemilih. Wakil rakyat yang berada ditengahnya menjadi tidak relevan. Mereka menjadi wakil partai atau kelompoknya sendiri. DPD yang diharapkan untuk mewakili territorial, diharapkan mampu mengerti kepentingan daerah dan mampu memperjuangkannya pada level daerah. Sistem yang dipakai adalah Single Non Transferaable Vote. Lain dengan berbagai jabatan politik, maka DPD bukan mengalami pergeseran logika pada tahap implementasi. Tetapi DPD belum cukup banyak dipikirkan dan dikaji. Ada yang menganggap mereka sebagai kesalahan politik yang terlanjut melahirkan lembaga ini. Ada yang menganggap fungsi yang diberikan separuh hati. Belum lagi dengan isu bagaimana mereka bisa diakarkan, bagaimana mereka membangun popularitas juga dengan berbagai sumber-sumber ekonomi politik. Hal lain adalah apakah mereka bisa mempunyai kaki organisasi di daerah serta hubungannya dengan kekuatan politik seperti partai. C. SISTEM PEMILU BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2008 UU No. 10 Tahun 2008 mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Sistem Pemilu yang digunakan adalah Daftar Proporsional Representasi Terbuka untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Maknanya hampir sama dengan sistem Pemilu tahun 2004 meski berbeda dalam penamaannya. Pada sistem ini selain tanda gambar partai politik peserta pemilu, juga terdapat nama calon anggota DPR dan DPRD. Rakyat pemilih melakukan pemilihan dengan 45 cara memberikan tanda pada salah satu gambar partai politik atau nama calon atau dua-duanya yang dapat dianggap sah. Sehingga diharapkan rakyat pemilih juga tahu dan sadar bahwa ia memilih siapa. Berbeda dengan sebelumnnya jika pemilih tidak mencoblos tanda gambar partai politik maka dianggap tidak sah, pada Pemilu 2009 jika pemilih hanya memberi tanda pada calon anggota legislatif tetap dianggap sah31. Sementara sistem yang digunakan untuk memilih anggota DPD adalah tetap First Past The Post. Secara umum Pemilu 2009 yang menggunakan dasar UU No. 10 Tahun 2008 masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Perbedaan hanya pada digunakannya sistem daftar proporsional representasi terbuka secara konsisten di mana suara didasarkan pada suara terbanyak berdasarkan perolehan suara masing-masing calon anggota legislatif. Jadi berdasarkan sistem ini, maka perolehan suara dikonversi dulu menjadi perolehan kursi partai politik pada setiap daerah pemilihan, caranya dengan membagi perolehan suara partai politik dengan bilangan pembagi pemilih yang telah ditentukan sebelumnnya. Setelah ditentukan perolehan kursi masingmasing partai politik baru kemudian dilakukan penentuan pemilik kursi dengan cara diberikan kepada calon anggota legislatif dengan suara terbanyak. Sistem ini mengakibatkan nomor urut masing-masing calon tidak berpengaruh dalam penentuan calon terpilih asalkan calon tersebut dapat memperoleh suara terbanyak. Berdasarkan perkembangan dinamika politik Indonesia serta peningkatan populasi, maka jumlah kursi untuk DPR RI adalah 560 kursi atau meningkat 10 kursi dari sebelumnya (550). Hal ini dalam upaya meningkatkan derajat keterwakilan seluruh wilayah Indonesia yang sangat heterogen, tetapi tetap dengan memperhatikan komposisi Jawa – Luar Jawa yang proporsional. Oleh karena itu, alokasi kursi untuk tiap daerah pemilihan untuk memilih anggota DPR RI adalah berkisar antara 3-10 kursi. 31 Lihat dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. 46 Di samping itu terdapat ketentuan ambang batas (threshold) yang dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan kursi calon legislatif hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi suara di atas 2,5%. Akibat diterapkannya ambang batas kursi di DPR (Parliamentary Threshold), implikasinya sekitar 18,8% suara menguap begitu saja alias tidak diperhitungkan. Suara itu merupakan gabungan perolehan suara 29 partai nasional yang memperoleh suara di bawah 2,5%. Secara hitungan kasar, terdapat sekitar 30 juta suara yang tidak diperhitungkan dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009. Hal itu menjadi konsekuensi aturan parliamentary threshold sebagai seleksi awal penghitungan kursi DPR secara nasional. Suara rakyat yang jumlahnya cukup signifikan harus terbuang sia-sia. Sebelum pemilu berlangsung, memang ada upaya untuk mengajukan judicial review tentang aturan ini ke Mahkamah Kontistusi (MK) karena dianggap melanggar hak politik warga negara. Tapi MK dengan keputusannya yang bersifat final dan mengikat memutuskan aturan parliamentary threshold kontitusional tidak bertentangan dengan UUD 1945. 47 BAB III EVALUASI PEMILU 2009 A. PENYEMPURNAAN SISTEM MENUJU KONSOLIDASI DEMOKRASI Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik dan tetap yaitu Pemilu tahun 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Prestasi menyelenggarakan pemilu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan luar negeri dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia selain Amerika Serikat dan India. Di tengah kekhwatiran bahwa penyelenggaraan pemilu dapat menimbulkan konflik, ternyata bangsa Indonesia justru berhasil menyelenggarakan pemilu dengan aman, tertib dan demokratis. Padahal, banyak kalangan sejak tahun 2004 menilai bahwa Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia- seperti ditulis sebuah majalah luar negeri Far Ekonomic Review pada tahun 2004. Menyimak perjalanan tiga kali penyelenggaraan pemilu, tampak upaya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari dari berbagai aspek penyelenggaran seperti ketentuan undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan yang selalu disempurnakan sehingga terdapat perbedaan mendasar pada setiap pemilu. Salah satunya yang selalu disempurnakan adalah sistem pemilu yang digunakan. Sistem pemilu merupakan satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Dalam sistem Pemilu ini sejumlah suara ditransfer menjadi kursi dalam parlemen (DPR, DPD atau DPRD) sehingga dengan demikian terpilih sejumlah wakil dari partai politik yang duduk dalam parlemen. Jika pada tahun 1999, sistem pemilu yang digunakan adalah proporsional tertutup, Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas, sementara pada tahun 2009 sudah mengarah sistem proporsional terbuka 48 penuh. Meskipun sesungguhnya, jika menilik semangat pembentuk undang- undang, Pemilu 2009 semula masih akan menggunakan sistem proporsional terbatas (kuota BPP 30%), namun kemudian dibatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga menjadi terbuka penuh (suara terbanyak).32 Pemilu tahun 2009, merupakan Pemilu yang ketiga yang diselenggarakan sejak era reformasi diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas demokrasi dan bahkkan sudah meningkat menjadi sarana konsolidasi demokrasi. 33 Beberapa acuan parameter konsolidasi demokrasi, diantaranya disebutkan Juan Linz dan Alfred Stepan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi adalah kondisi di mana demokrasi berlaku sebagai aturan main baik dalam segi perilaku, sikap, maupun dalam segi tata aturan hukum (konstitusi). Secara lebih operasional Linz dan Stepan mengujukan lima syarat yang saling berkaitan bagi terciptanya konsolidasi demokrasi yaitu (1) masyarakat sipil yang bebas dan aktif.(2) masyarakat politik yang bebas dan otonom. (3) tokoh-tokoh politik utama yang tunduk pada aturan hukum. (4) birokrasi yang mendukung pemerintahan yang demokratis. (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan. Senada dengan parameter di atas Larry Diamond juga menegaskan bahwa esensi konsolidasi demokrasi terbentuknya perilaku dan sikap baik di tingkat elit maupun massa yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan mengutip Linsz, Diamond mengatakan bahwa “para elit/pemain politik harus menghormati demokrasi (hukum, posedur, dan isntitusi yang ditetapkan) sebagai satu-satunya olly game in town, satu-satunya kerangka kerja untuk mengatur kehidupan masyarakat dan memajukan kepentingan mereka. Sementara pada tingkat massa harus ada konsensus normatif dan perilaku pada tingkat yang luas baik dalam skala lintas kelas, etnis, kebangsaan dan pemisah-pemisah lainya.” 32 33 Fery Mursidan Baldan dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”. P3DI DPR-RI, Jakarta 2008. Lily Romly dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”, P3DI DPR-RI, Jakarta 2008. 49 Selanjutnya Diamond menekankan konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar yaitu pertama, kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis. Kedua, institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu dan penegakkan hukum). Dan ketiga, restrukturisasi hubungan sipil dan militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom. Menarik dicermati, bahwa parameter pertama dari Diamond adalah menujuk pada adanya pemerintahan yang efektif sebagai hasil pemilu sebagai salah satu para meter konsolidasi demokrasi. Apabila merujuk pada berbagai parameter konsolidasi demokrasi tersebut, nampaknya Pemilu 2009 dengan pilihan sistemnya yang sejak awal diharapkan sebagai sarana mengakhiri masa transisi dan mencipatakan konsolidasi demokrasi yang semakian kuat masih belum sepenuhnya tercapai. Meski kinerja hasil pemilu masih harus dinilai hingga lima tahun ke depan, namun indikasi awal- khususnya menyangkut terbentuknya sikap dan perilaku elit politik yang tunduk ada mekanisme demokrastis dan terciptanya pemerintahan demokratis yang efektif- masih belum terpenuhi sesuai harapan. Dengan demikian harus diakui secara substantif, sistem dan hasil Pemilu 2009 belum memenuhi target yang sejak awal ditentukan pada saat legislasi Pemilu disusun. Hal itu, tetap membuka ruang untuk kembali dikaji dan disempurnakan. B. KELEMAHAN LEGISLASI DAN REGULASI PEMILU 2009 Menyimak evaluasi Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Kemitraan, ada enam parameter proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratis (democratic electoral process), yakni mencakup : (1) Pengaturan semua tahapan Pemilu mengandung kepastian hukum (tidak ada kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal 50 dalam suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan sehingga dipahami dan dilaksanakan sama oleh seluruh pelaksana). (2) Pengaturan semua tahapan Pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel. (3) Pengaturan dan pelaksanaannya menjamin integritas proses dan hasil Pemilu (electoral integrity); (4) Semua sengketa Pemilu (pelanggaran ketentuan pidana Pemilu, peraturan administratif Pemilu, dan kode etik Pemilu) diselesaikan oleh penegak hukum secara adil dan cepat. Sedangkan perselisihan hasil Pemilu (electoral contest) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi secara terbuka, adil, secara prosedural serta akurat. (5) Pemilu diselenggarakan tidak hanya sesuai dengan peraturan perundangundangan, tetapi juga sesuai dengan tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan perencanaan oprerasioanl yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. (6) Penyelenggaran Pemilu yang profesional dan independen. Dari keenam parameter tersebut, diantaranya yang penting juga adalah aspek integritas proses dan hasil pemilu (electoral integrity). Proses penyelenggaraan Pemilu dapat dikatakan memiliki integritas apabila semua tahapan Pemilu diselenggarakan menurut peraturan perundang-undangan (undang-undang dan Peraturan KPU) yang tidak saja mengandung kepastian hukum (tidak ada kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal dalam suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan), tetapi juga dilaksanakan secara konsisten oleh intitusi yang berwenang. Integritas Pemilu sangat penting diwujudkan karena akan menjamin perlakuan yang sama terhadap pesrta dan calon, dan terhadap pemilih. Peserta Pemilu dan pemilih 51 akan dapat menerima legitimasi Pemilu apabila ketentuan yang mengatur berlaku sama dan ditegakkan secara konsisten tanpa kecuali. Seluruh bangun teknis Pemilu memang disandarkan pada legislasi dan regulasi yang semestinya ketentuan yang baik, lengkap dan mudah dilaksanakan sebagai dapat menjadi pegangan bagi penyelenggara dan menjamin integritas dan kualitas Pemilu. Begitu pentingnya legislasi dan regulasi Pemilu karena akan menjadi rujukan bagi semua pihak yang terkait Pemilu. Dalam konteks Pemilu 2009, legislasi yang dijadikan dasar adalah UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009. Proses penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2008 berlangsung alot dan memakan waktu yang cukup lama, sehingga dari semula ditargetkan selesai pada tahun 2007, mundur satu tahun dan baru disahkan tahun 2008. Dari segi proses ini saja dapat dilihat betapa penyusunan undang-undang ini sarat dengan kepentingan yang sulit dipertemukan. Maka dapat dipahami jika sebagian ketentuan yang dalam undang-undang tersebut dicapai melalui kesepakatan fraksi setelah melalui lobi yang alot dan tetap menimbulkan ketidakpuasan begitu disahkan. Akibatnya undang-undang ini banyak digugat dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi, dan sebagian diantaranya dikabulkan. Tak kurang dari sepuluh gugatan diajukan diantaranya yang dikabulkan adalah penentuan calon terpilih sehingga menjadi suara terbanyak, perlakuan bagi Parpol peserta Pemilu 2004 untuk mengikuti Pemilu dari semula yang hanya memperoleh kursi di DPR menjadi seluruh peserta Pemilu 2004 dapat menjadi peserta Pemilu serta 52 ketentuan pengumuman hasil survei oleh lembaga yang melakukan survei Pemilu. Dalam pengamatan Ramlan Surbakti, terdapat setidaknya 40 materi yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, namun kemudian tidak lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sehingga berpootensi menimbulkan kekosongan hukum dan menyulitkan pelaksanaan Pemilu. Berikut adalah beberapa identifikasi kelemahan pengaturan dalam Undangundang Nomor 10 Tahun 2008 yang antara lain meliputi: (1) Ketentuan tentang sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, tidak konsisten dengan ketentuan penetapan calon terpilih yang menetapkan kuota 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Hal ini dinilai menimbulkan ketidakadilan sehingga digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Ketentuan tentang pemutakhiran data pemilih, khususnya terkait jangka waktu pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), masa perbaikan dan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlalu singkat sehingga dalam praktek tidak mencukupi untuk perbaikan dan akurasi. (3) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) DPRRI paling sedikit 3 dan maksimal 10 kursi, belum sepenuhnya dapat mendorong keterwakilan karena dalam prakteknya dapat mencakup daerah yang sangat luas (terdiri atas beberapa kabupaten) terutama di luar Jawa, sehingga dapat terjadi satu propinsi hanya satu Dapil. (4) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) untuk DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya dapat diterapkan karena dalam praktek dapat terjadi karena jumlah penduduk 53 yang sangat besar sehingga satu Dapil dapat melebihi jumlah kursi maksimal di atas 12 kursi. (5) Ketentuan tentang penetapan jumlah kursi dalam satu Dapil DPRD Propinsi yang menegaskan bahwa jumlah kursi setiap Dapil anggota DPRD Propinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya (Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008). Ketentuan ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) yang menentukan dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu dilakukan penataan Dapil di Provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan demikian tidak mungkin Dapil tetap, karena jika ada pemekaran pasti ada pengurangan jumlah penduduk yang berdampak pada berubahnya Dapil. (6) Ketentuan yang mengatur penetapan kursi daerah pemilihan bagi anggota DPRD Propinsi agar disesuaikan dengan penetapan kursi daerah pemilihan anggota DPR-RI karena jumlah dan nama kabupaten/kotanya sama, sering terjadi kesulitan ketika dimplementasikan karena untuk beberapa daerah jika disamakan daerah pemilihannya akan menabrak ketentuan batas jumlah kursi dalam sutau daerah pemilihan yang telah ditentukan antara 312 kursi (Pasal 314 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini terjadi karena untuk menetapkan alokasi kursi tiap daerah pemilihan anggota DPRD propinsi didasarkan atas Bilangan Pembagi Penduduk dan BPP penduduk tersebut diperoleh dari hasil bagi total jumlah total jumlah penduduk di propinsi tersebut dengan jumlah kursi DPRD propinsi yang sudah secara pasti ditentukan yaitu paling sedikit 35 kursi dan paling banyak 100 kursi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010). (7) Ketentuan syarat bagi calon anggota legislatif (caleg) khususnya mengenai pemenuhan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g Undang- 54 Undang Nomor 10 Tahun 2010) perlu menyesuaikan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Pada intinya yang dilihat dalam pemenuhan syarat calon memnuhi 5 tahun atau lebih adalah ancaman pidana yang sudah pasti yang menjadi dasar pengenaan dakwaan. (8) Ketentuan pencalonan anggota legislatif khususnya mengenai syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen yang diajukanoleh Parpol peserta Pemilu Anggota DPR/DPRD dalam pelaksanaannya sulit dipenuhi. Parpol sering beralsan sulit memnuhi karena keterbatasan dan kekurangsiapan kader perempuan. Hal ini perlu diperjelas mengani sanksi jika Parpol tidak memnuhi kuota caleg perempuan apakah sanksi adminstratif atau sanksi lainya. (9) Ketentuan pemberian suara yang hanya membolehkan pemilih yang terdaftar dalam DPT yang dapat menggunakan hak pilihnya banyak mengakibatkan hilangnya hak pilih warga masyarakat. Hal ini terjadi karena pendaftaran pemilih tidak berjalan sebagaiman mestinya. (10) Ketentuan tentang teknis pemberian suara, dengan memberikan tanda dan kemudian didalam prakteknya diakui berbagai tanda yang dianggap sah menyulitkan warga sehingga banyak suara yang tidak sah. (11) Ketentuan tentang peserta Pemilu Tahun 2004 yang dapat mengikuti Pemilu Pada Tahun 2009, yang ditentukan hanya Parpol yang memiliki kursi di DPR dinilai diskrimintaif dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (12) Ketentuan tentang perhitungan pengkategorian sisa suara dan sisa kursi dalam suatu Dapil tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir dan sengketa di Mahkamah Agung maupun di Mahkamah Konstitusi. (13) Ketentuan tentang pembatasan pengumuman hasil survei oleh lembaga survei publik terkait persepsi masyarakat terhadap peserta Pemilu dianggap 55 membatasi dan tidak sejalan dengan nilai-nilai dalam konstitusi sehingga digugat dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Kosntitusi. (14) Ketentuan kampanye bagi parpol peserta Pemilu yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu yaitu 3 (tiga) hari setelah penetapan peserta Pemilu tidak secara tegas mengartu bentuk-bentuk dan media apa saja yang digunakan dalam kampanye dan apa sanksinya jika melanggar ketentuan bentuk dan waktu kampanye. Hal ini terkait dengan ketentuan sanksi kampanye hanya berlaku bagi kampanye terbuka (rapat umum). (15) Ketentuan ambang batas 2,4 persen perolehan suara sah Parpol secara nasional untuk menetapkan Parpol peserta Pemilu yang dapat diikutkan dalam pehitungan kursi DPR perlu dipertegas apakah hanya berlaku bagi suara sah DPR atauakah termasuk sura sah DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Perlu penegasan apakah ketentuan ambang batas ini hanya berlaku bagi pembagian kursi DPR ataukah juga berlaku bagi pembagian kursi DPRD Propinsi dan pembagian kursi DPRD Kabupaten/Kota. (16) Ketentuan penetapan/pembagian kursi perolehan kursi DPR, tidak mengatur secara tegas penempatan kursi hasil perhitungan tahap III, semestinya parpol yang memperoleh kursi tahap III baik berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilihan DPR yang baru pada tingkat propinsi maupun peringkat sisa suara maka penempatan kursinya didasarkan atas sisa suara suara terbanyak suatu parpol di daerah pemilihan yang masih tersedia sisa kursi yang belum terbagi dan sisa suara parpol tersebut juga lebih banyak dari sisa suara parpol lain di daerah pemilihan yang bersangkutan (Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 206 dan Pasal 208 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini juga perlu memperhatikan hasil putusan sengketa Pemilu yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009). 56 (17) Ketentuan parpol menjadi peserta Pemilu berikutnya apabila sudah ditentukan prosentasenya berdasarkan perolehan kursi DPR, atau kursi DPRD propinsi, atau kursi DPRD kabupaten/kota, semestinya tidak perlu diatur bahwa parpol yang memperoleh kursi seberapapun tetap dapat menjadi peserta Pemilu berikutnya. Hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai prosesntase berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh parpol untuk menjadi peserta pada pemilu beriktunya (Pasal 316 hurf d, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010). (18) Ketentuan mengenai logistik Pemilu, khususnya surat suara cadangan yang ditentukan sebanyak 2% dari jumlah pemilih tetap, dalam pelaksanaanya menyulitkan karena surat suara yang datang dari percetakan tidak selalu persis jumlahnya karena setiap dus seringkali jumlahnya tidak tepat karena menggunakan mesin hitung elektronik, sehingga cadangan riil yang diperoleh oleh KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota tidak sesuai dan selalu kurang dari hitungan yang ditetapkan (Pasal 145 ayat (2) dan Pasal 150 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010). Selain berbagai kelemahan tersbut masih terdapat sejumlah ketentuan dalam Pasal maupun ayat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 yang dalam pelaksannaannya menyulitkan pelaksana pemilu di lapangan sehingga perlu dikaji dan disempurnakan dalam rangka memperbaiki pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 yang akan datang. Setelah mengidentifikasi kelemahan legislasi, -dalam hal ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010,- dalam penyelenggaraan Pemilu juga ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilu sebagai penyelenggara Pemilu. Ketentuan ini merupakan regulasi lanjutan yang diperintahkanh oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 untuk diatur lebih lanjut atau sering disebut sebagai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) bagi pelaksana Pemilu. 57 Selama ini terdapat cukup banyak regulasi yang dikeluarkan oleh KPU, terkait penyelenggaraan Pemilu. Fakta-fakta empiris menunjukkan KPU sering kesulitan ataupun terlambat dalam menyiapkan regulasi sehingga mengganggu kelancaran penyelenggaraan Pemilu. Tercatat sejumlah tahapan Pemilu yang sudah berjalan seperti tahapan kampanye Pemilu 2009 namun regulasinya belum tuntas atau bahkan ada yang mengalami perubahan-perubahan saat dilaksanakan. Di antara regulasi yang mengandung kelemahan dan menimbulkan persoalan adalah Peraturan KPU yang mengatur teknis penetapan perhitungan suara dan perolehan kursi. Peraturan ini kemudian digugat ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010. MA kemudian mengabulkan gugatan dan membatalkan peraturan KPU namun dalam prakteknya tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menyisakan permasalahan yang masih menggantung dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. C. KELEMAHAN PENYELENGGARAAN Penyelenggaraan Pemilu 2009 sampai saat ini masih menyisakan banyak permasalahan dan menimbulkan kekecewaan masyarakat. Bahkan, baru terjadi kali ini, efek penyelenggaraan Pemilu berujung pada diajukannya hak angket DPR terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Banyak kecaman dan tudingan diarahkan kepada ketidakprofesionalan KPU karena sumberdaya manusianya dianggap lemah. Berikut berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu yang terjadi: (1) Banyak pemilih tidak dapat menggunakan haknya Pemilu 2009 yang semula diharapakan lebih baik, dengan alasan sudah ada contoh sebagai pembelajaran dari Pemilu 2004 ternyata justru berbanding terbalik. Pemilu 2009 disebut-sebut sebagai Pemilu yang paling 58 buruk dilihat dari persiapan dan kesiapan lembaga penyelenggara. KPU tampak sangat kedodoran sehingga berbagai tahapan menjadi terganggu atau tertunda. Salah satu kelemahan yang sampai saat ini masih menyisakan persoalan adalah banyaknya pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tercatat kurang lebih 59 (dichek lagi) juta pemilih dari pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya karena kelalaian KPU. Penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilu (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menyelenggarakan Pemilu tahun 2009, baik Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden/ Wakil Presiden, dua institusi ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari berbagai pihak, khususnya yang ditujukan kepada KPU. Kritik tajam tersebut disebabkan oleh penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan serius, terutama dalam proses penyelenggaraan tahap pemutakhiran data pemilih timbul masalah seputar akurasi DP4, DPS dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sejumlah pihak menilai, KPU dianggap tidak profesional, kinerjanya rendah, tidak memiliki kemampuan mengantisipasi masalah, koordinasi diantara jajarannya lemah, dan sebagainya. Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, memberi penilaian bahwa KPU mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan politik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang kompeten dan kurang profesional. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa KPU telah terbukti melakukan penghilangan terhadap hak konstitusional warga negara dalam Pemilu. Panitia Angket DPR RI juga menyimpulkan bahwa KPU patut dinilai tidak mampu dalam melakukan pemutakhiran daftar pemilih sehingga DPS dan DPT Pemilu Legislatif 2009 tidak akurat. Berbagai kalangan dan pengamat di media massa juga turut memperkuat 59 bahwa KPU memiliki sejumlah kelemahan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Permasalahan DPT ini tidak dapat hanya dipandang sebagai persoalan teknis administrasi, melainkan juga permasalahan penghilangan hak konstitusi warga negara untuk memilih. Selanjutnya, DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket Mengenai Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara Untuk Memilih. Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan Panitia Angket DPR RI Tentang Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara Untuk Memilih, pada tanggal 29 September 2009, menemukan fakta-fakta adanya berbagai permasalahan yang dilakukan oleh KPU dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, antara lain : a) Pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU terlambat dan proses itu dilakukan dengan cara tidak profesional sehingga mengakibatkan banyak terjadi penggelembungan data pemilih serta warga masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2009 (padahal sebelumnya terdaftar dalam Pemilu 2004 atau bahkan terdaftar dalam DPS Pemilu Legislatif 2009). Selain itu, KPU berulangkali melakukan pemutakhiran data yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang. KPU dinilai tidak mampu dalam melakukan Pemutakhiran Daftar Pemilih yang kemudian menghasilkan DPS serta DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 yang tidak akurat. b) Jumlah pemilih berdasarkan Keputusan Nomor 383/SK/KPU/2008 tanggal 24 Oktober 2008, dalam DPT sebanyak 170.022.239. Selanjutnya berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 427/SK/KPU/2008 tanggal 24 November 2008, DPT secara nasional berjumlah 171.068.667. Kemudian setelah kurangnya Perppu Nomor 1 Tahun 2009 jumlah pemilih dalam DPT menjadi 171.265.442 pemilih, terdiri atas 169.789.595 pemilih dalam negeri dan 1.475.847 pemilih luar 60 negeri yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 164/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 7 Maret 2009. Terkait dengan ditetapkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2009, KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor 607/KPU/III/2009 tanggal 27 Maret 2009 mengenai pemeriksaan dan penelitian pasca Perppu Nomor 1 Tahun 2009. Jumlah DPT Pemilu Legislatif 2009 tersebut dinilai terlalu tinggi sebesar 9 juta dibandingkan data proyeksi BPS (dan sekitar 14 juta dibandingkan data untuk Pilpres 2009), jika dibandingkan dengan data proyeksi jumlah penduduk berumur 17 tahun ke atas ditambah dengan penduduk umur 10-16 tahun yang pernah kawin pada pertengahan tahun 2009 adalah sejumlah 160,8 juta. Dengan demikian DPS dan DPT PemiluLegislatif 2009 dapat dinyatakan tidak valid. Padahal disisi lain, banyak terdapat warga negara yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk memilih karena tidak terdaftar dalam DPT. c) Kekisruhan dalam penyiapan data kependudukan yang menghasilkan DP4, serta pemutakhiran data pemilih yang menhasilkan DPS dan DPT Pemilu Legislatif 2009, tidak dapat diawasi secara optimal oleh pihak pengawas pemilu baik Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, maupun oleh Pengawas Pemilu Lapangan (termasuk Pengawas Pemilu Luar Negeri) karena terbentuk secara kelembagaan (terutama panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/ kota serta Panwaslu kecamatan dan pengawas pemilu lapangan). Oleh karena itu Panwaslu di setiap tingkatan pun tidak dapat memberikan rekomendasi apapun terkait dengan kekisruhan daftar pemilih. Hal yang sama terjadi di Pengawas Pemilu Luar Negeri khususnya di Malaysia ang baru terbentuk 4 (empat) hari sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009. Namun demikian diakui Bawaslu (pengawas Pemilu Pusat yang bersifat permanen) bahwa telah terjadi pelanggaran hak warga negara untuk memilih. Terhadap hal itu, Bawaslu telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada KPU untuk membentuk Dewan Kehormatan karena adanya 61 dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para anggota KPU terkait dengan tahapan penyusunan Daaftar Pemilih. Dalam perjalanannya, hingga saat ini tidak ada tindak lanjut atas rekomendasi Bawaslu dimaksud. Oleh karena itu patut dinilai bahwa KPU tidak serius menangani masalah DPT Pemilu Legislatif 2009. d) DPT Pemilu Legislatif 2009 yang disusun oleh KPU tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2008 karena tidak seluruhnya memuat Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat. Bahkan justru memuat NIK double (dua kali), triple (tiga kali), atau lebih dalam satu TPS. Selain itu terdapat data pemilih dalam DPT Pemilu Legislatif 2009 yang berisikan warga negara yang sudah meninggal, anggota TNI/Polri, serta pemilih di bawah umur. Ketidakakuratan DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 berpotensi terjadinya penggelembungan suara dibeberapa daerah, termasuk DPT luar negeri. e) Bahwa terbukti secara meyakinkan, telah terjadi pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk memilih pada pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 yang disebabkan oleh tidak diterapkannya sistem penyiapan DP4, sistem pemutakhiran data pemilih, dan sistem penyusunan DPS dan DPT sebagaiman mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan KPU. f) Dalam melaksanakan tugasnya menyusun DPT Pemilu Legislatif 2009 yang sesuai peraturan perundang-undangan, KPU patut dinilai tidak mampu melakukan pemutakhiran data pemilih dengan baik dan akurat. g) Diduga telah terjadi tindak pidana terkait dengan perubahan secara sepihak isi dan komposisi DPT Pemilu Legislatif 2009 yang dilakukan oleh pihak rekanan percetakan DPT (PT. Jasuindo Tiga Perkasa Tbk) yang berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur. 62 (2) Pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih tidak akurat Salah satu tahapan awal dalam penyelenggaraan Pemilu yang sangat penting dalam kaitan seseorang dapat menggunakan hak pilihnya adalah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Permasalahan hilangnya hak pilih warga negara yang semestinya berhak memilih adalah karena lemahnya akurasi pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Akibatnya jumlah pemilih yang tidak terdaftar sangat besar meskipun angka pastinya sulit dipastikan. Proses pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih yang dalam pelaksanaanya menjadi tanggungjawab Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDT) sebelum ditetapkan oleh KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota. Kelemahan yang terjadi antara lain disebabkan pendafatrannya menggunakan asas domisili de jure (berdasarkan KTP dan Nomor Induk Kependudukan/NIK) sehingga orang yang tinggal disuatu tempat tapi tidak memiliki KTP tidak terdaftar. Pada saat yang sama validitas administrasi kependudukan yang berbasis NIK belum optimal karena masih banyak penduduk ber-KTP ganda. Hal ini memicu munculnya pemilih siluman yaitu seorang terdata lebih dari satu kali, pemilih yang sudah pindah lama tetap tercatat, pemilih yang sudah meninggal masih juga dicatat dan lain-lain, dalam jumlah yang cukup besar. Semua itu masih ditambah dengan lemahnya SDM dan ketersediaan perangkat pendukung (teknologi) di PPS dan PPDP serta mekanisme pengawasan atas pelaksanaan tugas penyusunan dan pemutakhiran data pemilih. Jika dicermati permasalahan data pemilih memang terjadi dalam setiap Pemilu sejak tahun 2004, namun untuk tahun 2009 tergolong lebih buruk sehingga perlu perubahan dan perbaikan secara total. 63 (3) Pemilih kesulitan menggunakan haknya Selain masalah hilangnya hak pilih warga negara, Pemilu 2009 juga tergolong menyulitkan pemilih. Padahal, salah satu indikator Pemilu yang demokratis adalah memudahkan pemilih dalam menggunakan haknya. Kesulitan tersebut terutama terjadi ketika pemilih akan menggunakan haknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini disebabkan antara lain oleh hal-hal sebagai berikut: a) Untuk dapat menggunakan hak pilih, harus terdaftar dalam DPT, padahal akurasi DPT sangat lemah. b) Bentuk dan ukuran surat suara sangan besar (ukuran jumbo) sehingga ketika membuka dan mencari calon atau partai yang akan dipilih sangat sulit karena gambar partai dan nama calon kecil. Tingkat kesulitan semakin bertambah di beberapa daerah karena selain ukurannya sangat besar lembar surat suara lebih dari satu. Akibatnya banyak terjadi suara yang tidak sah yang besaranya mencapai kurang lebih 14,41% atau sekitar 16 juta suara. c) Pemberian tanda dengan mencontreng atau tanda lain dengan menggunakan balpoint, karena bentuk surat suara yang besar juga dapat mengakibatkan tercoretnya bagian lain sehingga tidak sah. d) Kolom yang disediakan untuk nama calon terlalu kecil sehingga sulit dicari, apalagi bagi pemilih yang sudah tidak mahir membaca dan sudah terhambat penglihatanya atau sudah tua. e) Ketika melipat surat suara juga sering terjadi kesulitan (salah lipat) untuk dimasukan kedalam kotak suara. f) Waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan hak pilih cukup lama karena ada empat jenis surat suara dengan ukuran yang terlalu besar dan lebar. 64 (4) Jumlah peserta Pemilu terlalu banyak Pemilu tahun 2009 diikuti oleh 38 partai untuk tingkat nasional dan 6 partai lokal di Aceh sehingga total peserta pemilu legislatif menjadi 44 partai. Jumlah 38 partai untuk tingkat nasional dinilai terlalu banyak dan tidak sejalan dengan sistem Pemilu yang digunakan yaitu sistem proporsional dengan daftar calon terbuka yang mengharuskan suarat suara harus memuat gambar partai peserta pemilu dan nama calon anggota (caleg). Banyaknya peserta pemilu inilah yang mengakibatkan ukuran surat suara menjadi terlalu besar dan menyulitkan. Kalangan ahli dan pakar sering memperkirakan mestinya dengan sistem proporsioanl terbuka maka jumlah peserta Pemilu yang ideal berkisar antara 10-16 partai. (5) Verifikasi peserta Pemilu tidak valid Jumlah peserta Pemilu ditentukan oleh sejauh mana kualitas dan validitas proses verifikasi peserta Pemilu. Sesungguhnya dengan ketentuan persyaratan menjadi peserta Pemilu yang ada sudah cukup berat. Apabila verifikasi dilakukan dengan benar banyak kalangan yang memperkirakan peserta Pemilu legislatif tidak lebih dari 10 parpol. Salah satu hal yang menentukan dalam verifikasi, terutama verifikasi faktual adalah kejelasan metode verifikasi dan kualitas petugas verifikasi serta jangka waktu yang cukup. Selama ini, selain karena metode verifikasi yang kurang jelas, biaya, petugas dan jangka waktu yang tersedia terbatas sehingga proses verifikasi tidak berjalan optimal. (6) Jumlah calon anggota legislatif terlalu banyak Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 memperbolehkan setiap peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR/DPRD Propinsi/DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 120% dari jumlah kursi yang tersedia pada setiap Dapil. Dengan ketentuan batas jumlah kursi pada setiap Dapil berkisar antara 3-10 kursi untuk DPR RI dan 3-12 kursi untuk 65 DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota maka dalam satu surat suara akan terpampang nama calon paling sedikit 152 calon dan paling banyak 532 calon dari 38 partai peserta Pemilu. Dapat dibayangkan, bagaiamana pemilih dengan mudah mengenal dan memilah dan pada akhirnya memilih salah seorang calon karena banyaknya calon yang harus dicermati. Banyaknya jumlah calon ini juga yang mempengaruhi besarnya ukuran surat suara yang lagi-lagi akan menyulitkan para pemilih ketika memberikan suara. (7) Kerumitan logistik Pemilu tahun 2009 yang diikuti oleh 38 peserta pemilu juga menimbulkan kerumitan logistik yang tinggi. Pertama, terkait dengan surat suara bagi 2500 Dapil DPR/DPD dan DPRD. Dengan demikian untuk surat suara terdapat kurang lebih 2500 jenis dan masih ditambah dengan logistik untuk daftar calon, dan berkas adminitrsasi perhitungan suara dan empat kotak suara pada masing-masing TPS. Kerumitan juga terjadi terkait pengiriman (distribusi) logistik karena cakupan wilayah Indonesia yang begitu luas dan kondisi geografis yang beragam tingkat kesulitannya sehingga pada Pemilu 2009 terjadi berbagai kekacauan logistik. Kekacauan itu diantaranya banyak logistik khususnya suarat suara yang tertukar (salah kirim) bahkan beberapa diataranya tetap digunakan karena tidak cukup waktu untuk mengganti. Kesulitan logistik ini juga yang mengakibatkan penundaan Pemilu, untuk wilayah Papua sehingga Pemilu tidak dapat dilaksanakan secara serentak. (8) Administrasi perhitungan suara rumit Ketentuan dan tata cara pengisian berita acara hasil perhitungan suara di TPS dinilai banyak pihak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi sehingga menyulitkan dan melelahkan pelaksana Pemilu khususnya KPPS. Hal ini 66 terjadi karena variabel yang harus dimasukan dalam komponen berita acara maupun sertifikat surat suara terlalu banyak. Dalam pelaksanaannya banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan pengisian apalagi jumlah partai peserta Pemilu juga terlau banyak sehingga formulir berita acara tebal. Kesulitan ini memicu berbagai kesalahan penulisan dan memasukan variabel, sehingga akhirnya terjadi ketidakauratan pengisian berita acara dan dapat mendorong terjadinya sengketa perselisihan hasil Pemilu. (9) Biaya mahal Pemilu tahun 2009 membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sebagaimana diketahui pada tahap awal KPU menghitung kebutuhan Pemilu legisltif sebesar kurang lebih Rp 40 triliun. Namun karena kondisi keuangan negara yang terbatas, dan perlunya penghematan anggaran untuk meneyelenggarakan Pemilu tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, biaya tersebut dilakukan penghematan besar-besaran. Mahalnya biaya Pemilu karena berbagai faktor seperti bentuk dan ukuran suarat suara, jumlah peserta Pemilu, dan banyaknya formulir yang dibutuhkan. Selain itu juga karena besarnya jumlah TPS dan petugas pelaksana juga membutuhkan anggaran yang besar untuk honorarium petugas. Jumlah biaya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilu akan semakin besar jika dihitung dengan pengeluaran yang dikeluarkan oleh peserta dan para calon, meskipun untuk pos ini tidak berasal dari anggaran negara. (10) Kampanye belum mendidik Pelaksanaan kampanye Pemilu tahun 2009 berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Peserta Pemilu sudah dapat melakukan kampanye setelah tiga hari ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Selain itu kampanye banyak 67 dilakukan oleh caleg sebagai akibat sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Namun berbagai kalangan menilai muatan dan substansi materi kampanye belum mengarah pada mencerdaskan pemilih karena masih mengandalakan pengerahan massa yang serintg juga menelan korban. Dari segi akuntabilitas dana kampanye juga masih lemah. Sistem administrasi dan pelaporan dana kampanye masih lemah sehingga setiap Pemilu sering muncul dugaan penggunaan dana yang tidak sah untuk kepentingan kampanye, namun sulit dibuktikan. (11) Potensi sengketa Pemilu tinggi Pelaksanaan Pemilu yang baik dan memenuhi asas-asas Pemilu yaitu Luber dan Jurdil menjadi idaman semua pihak. Jika hal itu tercapai maka kredibilitas dan integritas Pemilu dapat ditegakkan. Namun sejauh ini, termasuk Pemilu 2009 masih menimbulkan berbagai kelemahan yang mengundang ketidakpuasan dan peserta Pemilu tidak sepenuhnya menerima hasil Pemilu. Hal ini tampak dari banyaknya sengketa hasil Pemilu tahun 2009 yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Pokok materi sengketa juga meluas, tidak semata-mata hasil perhitungan namun juga memasuki materi lain seperti praktek politik uang (money politics) dan penetapan kursi caleg terpilih. Pemilu 2009 juga tercatat sebagai Pemilu yang sengketa Pemilu berkepanjangan bahkan untuk satu materi sengketa diajukan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait penentuan hasil perolehan kursi dengan putusan yang berbeda. (12) Tingkat partisipasi pemilih tidak optimal Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya (votting-turn-out) dalam Pemilu legislatif 2009 mengalami penurunan dibanding Pemilu tahun 2004. Pada Pemilu tahun 2004 partisipasi pemilih mencapai 87%, sedangkan 68 pada Pemilu 2009 turun menjadi 70%. Dengan demikian 30% warga negara yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya dan jika mengacu pada pemilih terdaftar yang jumlahnya mencapai kurang lebih 170 juta maka berarti terdapat kurang lebih 57 juta pemilih yang tidak menggunakan haknya. D. KELEMAHAN DARI ASPEK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga kekuasaan kehakiman tersebut memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban konstitusional. Pasal 24C ayat (1) UUD menyebut secara eksplisit mengenai empat kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji undang-undang terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan 1 (satu) kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat (2) UUD yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang dasar.” Semenjak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah menangani 3 (tiga) kewenangan konstitusionalnya, yaitu; (1) menguji undang-undang terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; dan (3) memutus perselisihan hasil Pemilu. MK sejak 2003 sampai dengan 2009 telah melaksanakan persidangan dari 404 perkara yang masuk dalam registrasi perkara. Di antara 404 perkara tersebut, terdapat 247 perkara pengujian UU, 11 perkara sengketa kewenangan lembaga Negara, 116 perkara PHPU legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan 30 perkara lainnya terkait sengketa Pemilu Kepala Daerah. 69 Dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD, undang-undang yang telah diuji sejak 2003 hingga 31 Desember 2009 adalah sebanyak 108 UU. Jika dilihat dari frekuensi undang-undang yang diuji maka data menunjukkan bahwa UU Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan UU yang paling banyak diuji yakni sebanyak 22 kali. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: No. Registrasi Gugatan Pemilu Pokok Masalah 1. Nomor 15/PUU-VIII/2010 “Alokasi Dapil Kota Tangerang Selatan” 2. Nomor 132/PUU-VII/2009 “Definisi Keuangan Negara” 3. Nomor 131/PUU-VII/2009 “Ketidakpastian hukum norma-norma UU Pemilu Legislatif” 4. Nomor 130/PUU-VII/2009 “Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi” 5. Nomor 119/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan pelanggaran Pemilu” 6. Nomor 114/PUU-VII/2009 “Pembatasan pengajuan permohonan Pemilu 3 x 24 jam” 7. Nomor 113/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua” 8. Nomor 112/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua” 9. Nomor 111/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua” 10. Nomor 110/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua” 11. Nomor 107/PUU-VII/2009 “Suara rakyat yang tidak terwakili tidak boleh terbuang” 12. Nomor 105/PUU-VII/2009 “Perolehan kursi partai politik” 13. Nomor 100/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan 70 pelanggaran pemilu” 14. Nomor 9/PUU-VII/2009 “Hasil survei pemilu” 15. Nomor 4/PUU-VI/2008 “Diskriminasi hak terpidana terhadap hak dipilih dalam pemilu legislative” 16. Nomor 3/PUU-VII/2009 “Parliamentary Threshold” 17. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam pemilu” 18. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan syarat perolehan suara caleg terpilih” 19. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam Pemilu” 20. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan syarat perolehan suara caleg terpilih” 21. Nomor 12/PUU-VI/2008 “Persyaran mengikuti Pemilu tahun 2009” 22. Nomor 10/PUU-VI/2008 “Pemilihan Anggota DPD” Terkait dengan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD yang dinyatakan dapat diterima oleh Mahkamah Konstiusi dapat dipetakan sebagai berikut: 1. Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 “Persyaratan Mengikuti Pemilu Tahun 2009” Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 Pemohon 1. Partai Persatuan Daerah 2. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 3. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 4. Partai Patriot Pancasila 5. Partai Buruh Sosial Demokrat 71 6. Partai sarikat Indonesia 7. Partai Merdeka Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Norma yang diuji Pasal 316 huruf d Norma UUD 1945 sebagai alat pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Amar Putusan Menyatakan pasal 316 huruf d UU 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 2. Putusan Nomor 32/PUU-VI/2008 “Media Massa Boleh Menyiarkan Iklan Kampanye” Putusan Nomor 32/PUU-VI/2008 Pemohon H. Tarman Asma, Kristanto Hartadi, Sasongko Tedjo, Ratna Susilowati, Badiri Siahaan, Dedy Pristiwanto, dan Ilham Bintang. Pokok Perkara Pengujuan UU No. 10 Tahun 2008 Norma yang diuji Pasal 98 ayat (2), Pasal 98 ayat (3), Pasal 98 ayat (4), Norma UUD 1945 sebagai alat pengujian Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 F, Amar Putusan (1) Pasal 99 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (2) Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (1) Mahkamah berpendapat sejak era reformasi negara telah memberikan jaminan yang sangat tegas atas perlindungan kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun dengan tulisan sebagai hak konstitusional warga 72 negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. (2) Jaminan tersebut semula dilakukan dengan pencabutan ketentuan tentang keharusan adanya surat izin bagi usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya sebagaimana diatur dalam UU NO. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang kemudian diperkuat posisinya melalui ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. (3) Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU 10 Tahun 2008 bertentangan dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. (4) Kedua Pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (5) Dalam konklusinya, MK menyatakan pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif menyebabkan ketidakpastian bertentangan hukum, dengan ketidakadilan, prinsip dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945. Dalil-dalil 73 para pemohon juga beralasan. Tanggal Putusan 24 Februari 2009 3. Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 “Syarat bukan narapidana lima tahun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat” Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 Pemohon Robertus Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Norma yang Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g diuji Norma UUD Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), 1945 sebagai Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) alat pengujian Amar Putusan (1) Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohonan untuk sebagian; (2) Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f UU No. 12 tahun 2008 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional); (3) Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f UU No. 12 tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syaratsyarat: 74 (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang; (4) Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; (5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Tanggal 24 Maret 2009 putusan 4. Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 “Pelarangan Pengumuman Hasil Quick Count pada hari Pemilu Legislatif Bertentangan dengan UUD 1945” Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 Pemohon Denny A.Yanuar dan Umar S.Bakry Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Norma yang Pasal 245 ayat (2), (3), (5), Pasal 282, dan Pasal 307 diuji 75 Norma UUD Pasal 27 ayat (2), Pasal 28ª, Pasal 28C ayat (2), Pasal 1945 sebagai 28D ayat (1), dan Pasal 28F alat pengujian Amar Putusan (1) Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohonan untuk sebagian; (2) Mahkamah menyatakan pendapat bahwa Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10 Tahun 2008 adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan Jiwa UUD 1945 yang mengedepankan kebebasan berekspresi. (3) Mahkamah juga berpendapat bahwa terhadap Pasal 245 ayat (2) UU 10 Tahun 2008 yang berbunyi, ”Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”, Mahkamah menilai bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan oleh ketentuan a quo. Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah diatur dalam Pasal 89 ayat (5) UU 10 Tahun 2008. Tanggal 30 Maret 2009 Putusan 5. Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 “Perhitungan Kursi Tahap Kedua Konstitusional Bersyarat” 76 Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 Pemohon Wiranto dan Yus Usman Sumanegara dari Partai Hanura (Pemohon I) Ahmah Yani, Zainut Tauhid Sa‟adi, M. Romahurmuziy, Machmud Yunus, Muhammad Arwani (Pemohon II) Suhardi dan Ahmad Muzani dari Partai Gerindra (Pemohon III) Tifatul Sembiring dan Anis Matta dari PKS (Pemohon IV) Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Norma yang Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 diuji ayat (3) Norma UUD Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), 1945 sebagai Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) alat pengujian Amar Putusan (1) Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian; (2) Menyatakan Pasal 205 ayat (4) UU No 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut: (i) Menentukan kesetaraan 50% suara sah dari angka BPP, yaitu 50% dari angka BPP di setiap daerah pemilihan anggota DPR; 77 (ii) Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu anggota DPR, dengan ketentuan: a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol peserta pemilu anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP, maka partai politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi. b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta pemilu anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka: 1) suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan 2) sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga. (3) Menyatakan Pasal 211 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: (i) Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan 78 tahap pertama. (ii) Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD Provinsi tersebut, dengan cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah partai politik tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang diperoleh Partai Politik tersebut dikategorikan sebagai sisa suara. (iii) Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta pemilu anggota DPRD Provinsi dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu anggota dprd Provinsi satu demi satu berturut – turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh Partai Politik. (4) Menyatakan Pasal 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat. Artinya konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: (i) Menentukan jumlah sisa kursi yang Belem terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan anggota 79 DPRD kabupaten/kota tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama. (ii) Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota tersebut dengan cara: (iii) Menetapkan perolehan cursi partai politik peserta pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi lepada partai politik peserta Pemilu anggota DPRD Kabupaten/kota satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik. (5)Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan umum tahun 2009 berdasarkan putusan mahkamah ini; (6) Memerintahkan pemuatan keputusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; (7) Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya. Tanggal 7 Agustus 2009 Putusan 80 Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukan adanya kelemahan sehingga perlu penyempurnaan UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di samping evaluasi sistem, legislasi dan regulasi, penyelenggaraan Pemilu, putusan Mahkamh Konstitusi menjadi salah satu acuan dalam arah pokok perubahan dan materi yang dimuat dalam RUU Perubahan No 10 Tahun 2008 tersebut. Berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang telah dipaparkan di atas mungkin belum sepenuhnya merangkum semua kelemahan yang ada. Namun sudah barang tentu kelemahan tersebut menjadi catatan penting dan menjadi bahan untuk dicarikan alternatif perbaikannya yang kemudian dijadikan bahan untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang. 81 BAB IV ARAH PERUBAHAN DAN POKOK-POKOK MATERI A. ARAH PERUBAHAN Pada dasarnya penyempurnaan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD diarahkan untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu dari waktu ke waktu secara konsisten khususnya berkaca dari pengalaman Pemilu 2009 dan adanya berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Upaya memperbaiki penyelenggaraan pemilihan umum ini merupakan bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif. Dengan penyempurnaan UU Nomor 10 Tahun 2008 ini diupayakan bahwa proses demokratisasi tetap berlangsung melalui pemilihan umum yang lebih berkualitas dan pada saat yang bersamaan proses demokratisasi berjalan dengan baik, terkelola dan terlembaga. Sejalan dengan hasil identifikasi kelemahan Pemilu Legislatif tahun 2009, maka bisa ditentukan solusi atas kelemahan untuk menjawab permasalahan Pemilu Legislatif Tahun 2009. Solusi ini mengarahkan perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang selanjutnya akan dijabarkan dalam pokok-pokok materi perubahan. Tujuan pokok yang ingin dicapai dari perubahan tidak lain adalah memperbaiki sistem, legislasi dan regulasi, kelemahan teknis penyelenggaraan, memperkuat keterwakilan sekaligus mendorong efektifitas pemerintahan hasil Pemilu ke depan. Adapun arah perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD meliputi: 82 1. Penyederhanaan Sistem Pemilu Sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia, menurut majalah Far Eastern Ecnomic Review pada salah satu edisi tahun 2004, merupakan the most complex electoral system in the world (sistem Pemilu yang paling kompleks) di dunia. Hal ini karena jumlah Dapil mencapai 2057 dengan besaran kursi berkisar 3-12, sehingga terdapat sekitar 20.000 kursi anggota DPR/DPRD. Jumlah partai politik peserta Pemilu peserta Pemilu tercatat 24 partai dengan calon anggota DPR/DPRD berkisar 96 sampai dengan 336 (asumsi batas kursi 3-12 per daerah pemilihan). Pemilih harus memberikan suara dengan mencoblos partai, partai dan calon atau calaon saja. Sedangkan pembagian kursi dilakukan dengan memberikan kepada calon berdasarkan nnomor urut, kecuali calon yang memperoleh BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan) sampai 100 persen.34 Pada Pemilu 2009 kompleksitasnya bertambah karena jumlah Dapil bertambah terutama untuk pusat karena batasan alokasi kursi pada setiap Dapil disederhankan menjadi 3-10. Jumlah peserta juga meningkat menjadi 38 prtai pada Pemilu Nasional dan 6 partai untuk Pemilu lokal di Aceh. Kompleksitas itu secara jelas tergambar dalam bentuk surat suara yang ukuranya sangat besar selebar kertas koran sehingga semakin menyulitkan pemilih. Apalagi cara memberi tanda juga berubah dari mencoblos menjadi mencontreng. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penyederhanaan sistem Pemilu. Langkah penyederhanaan sistem Pemilu menurut setidaknya menyangkut lima langkah;35 (1) Memperkecil daerah pemilihan dari 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD menjadi 3-6 kursi pada setiap Dapil. Bagi wilayah kabupaten/kota dan kecamatan yang mendapat alokasi kursi yang 34 35 Ramlan Surbakti, Penyederhanaan Pemilu, Jakarta, 2010. Ibid halaman 5. 83 melebihi batas maksimal jumlah kursi (karena memiliki jumlah penduduk yang besar harus mengikuti besaran yang telah ditetapkan dengan memilah wilayah itu menjadi satu, dua atau lebih Dapil). (2) Jumlah perserta Pemilu perlu disederhanakan, sehingga dapat sejalan dengan sistem Pemilu yang digunakan. Dis amping mempermudah penyelenggaraan (surat suara, administrasi dan lainlain) lebih simpel. Dan yang lebih penting jika jumlah peserta tidak terlalu banyak maka hal ini akan memudahkan pemilih. Selain itu juga akan lebih memungkinkan partai berkompetisi secara lebih sehat dan optimal dalam menarik dukungan rakyat sehingga di kemudian hari setelah selesai Pemilu pemilih akan lebih mudah mengontrol parpol. (3) Jumlah calon yang dapat diajukan oleh setiap partai politik peserta Pemilu sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Apabila batasan kursi setiap Dapil 3-6 kursi maka jumlah calon akan berkisar 3-6 kali jumlah peserta Pemilu. Dengan demikian dalam suarat suara tidak akan terlalu banyak calon dan ukuranya juga kemungkinan lebih kecil sehingga pemilih tidak terlalu kesulitan dalam menentukan pilihan terhadap calon. (4) Tata cara pemberian suara Pemilu DPR dan DPRD perlu disederhanakan yang mencakup; a) Pemilih memberikan suara kepada calon dari satu partai politik peserta Pemilu atau kepada satu partai peserta Pemilu. Jika memberikan suara kepada calon berarti suara itu diberikan juga kepada partai politik. Jika memberikan suara kepada partai maka suara akan diberikan kepada calon yang ditentukan oleh partai politik atau tetap hanya dihitung sebagai suara partai. 84 b) Pemberian suara dilakukan dengan memberikan tanda contreng pada kolom nama partai atau pada kolom nomor urut calon atau kolom nama calon. (5) Pembagian kursi di setiap Dapil kepada partai peserta Pemilu dilakukan berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa kursi diberikan kepada peserta Pemilu berdasarkan urutan sisa suara terbanyak. 2. Penyempurnaan Legislasi dan Regulasi Pemilu (1) Perbaikan Mekanisme Verifikasi Peserta Pemilu Jumlah peserta Pemilu akan menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan bagi kelancaran dan kemudahan teknis maupun pada akhirnya dapat mengarahkan pada efektivitas ak hasil Pemilu. Semestinya dengan sistem Pemilu yang menggunakan proporsional terbuka penuh, maka jumlah peserta Pemilu tidak bisa terlalu banyak. Hal ini terkait dengan desain surat suara agar tidak terlalu besar dan memberikan kemudahan bagi pemilih pada saat menggunakan hak suaranya. Namun penyederhanaan jumlah peserta Pemilu harus dilakukan dengan cara-cara yang legal dan demokratis yaitu mengacu pada ketentuan undang-undang yang telah disepakati. Mengacu pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 maka mekanisme yang telah ditentukan adalah verifikasi peserta Pemilu secara cermat dan akurat. Banyak ahli menyakini sesungguhnya sarat untuk menjadi peserta Pemilu baik pada Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sudah sangat ketat, namun sayanganya dalam verifikasi yang dilakukan oleh KPU tidak cermat dan akurat. Ke depan, hal ini mesti menjadi perhatian dan perlu ada pengawasan khusus terhadap regulasi lanjutan (juklak) yang dibuat oleh KPU dan 85 pelaksanaanya, karena ketentuan tentang tata cara verifikasi selalu didelegasikan lebih lanjut dalam peraturan KPU. Namun, tentu saja jika verifikasi diharapkan dapat berjalan secara cermat dan akurat dibutuhkan waktu yang cukup sehingga tahapan Pemilu harus cukup waktu (waktunya panjang). (2) Melindungi dan melayani hak pilih Pada intinya Pemilu adalah memberikan kesempatan kepada warga negara yang berhak (pemilih) untuk dapat menggunakan hak pilihnya memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga perwakilan. Oleh karena itu, harus diupayakan sungguh-sungguh agar jangan sampai ada pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya. Pilihan yang harus dilakukan adalah memperbaiki tata cara dan jadwal pemutakhiran data pemilih sehingga memungkinkan prosesnya berlangsung dengan baik. Dalam konteks ini pilihan untuk mempercayakan pemutakhiran data Pemilih kepada PPS semata perlu dipertimbangkan dengan lebih memberdayakan KPU Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab. Jika memungkinkan dan waktu yang tersedia cukup panjang maka pelaksanaan Pantarlih langung dikordinasikan oleh KPU Kabupaten/Kota dengan mengangkat PPDP (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih). Jangka waktu penyusunan DPS, perbaikan dan penetapan DPT dibuat dalam jangka waktu yang cukup panjang agar dapat diawasi untuk meminimlisir kesalahan dan ketidakakuratan. Dengan mekanisme ini maka dimungkinkan hambatan SDM dan teknologi dapat lebih diatasi. Asumsinya KPU harus melatih PPDP dan menyediakan sarana pengolahan data yang memadai dengan SDM yang kapabel. Setiap pemilih harus diberikan tanda bukti daftar, yang nantinya dapat digunakan sebagai salah satu bukti memiliki hak pilih saat akan melaksanakan hak pilihnya di TPS. 86 (3) Penyederhanaan administrasi Pemilu Administrasi Pemilu, khususnya di tingkat TPS, variabel yang harus diisi oleh KPSS perlu disederhanakan agar tidak menyulitkan. Apalagi seringkali pelatihan dan pembekalan bagi KPPS tidak memadai sehingga ketika melaksanakan tugas banyak terjadi kesalahan. Jika memungkinkan lebih mengutamakan data tentang jumlah pemilih yang menggunakan, suara sah, perolehan calon dan perolehan partai. 3. Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu (1) Pengaturan kembali kalender Pemilu Penyelenggaraan Pemilu merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan masif apabila dilihat dari cakupan wilayah dan keterlibatan personil. Kegiatan ini akan mencakup seluruh wilayah Indonesia bahkan juga di luar negeri, melibatkan kurang lebih 170 juta pemilih, dengan ribuan macam jenis logistik. Dari segi personil terdapat kurang lebih 5 juta orang baik personil di KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Jumlah itu masih ditambah dengan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDT), Pengawas Pemilu mulai tingkat pusat (Bawaslu), Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Mengingat begitu kompleks penyelenggaran Pemilu maka perlu dikelola dan dirancang sedimikian rupa dengan alokasi waktu yang mencukupi. Kilas balik penyelenggaraan Pemilu 2004 sebagai awal Pemilu yang kompleks dan rumit dipersiapakan dalam jangka waktu terbatas yaitu kurang 2 dari tahun karena undang-undangnya baru disahkan pada tahun 2003 (UU Nomor 12 Tahun 2003) sehingga menimbulkan permasalahan yang memprihatinkan. Meskipun Pemilu 87 berjalan sukses, demokratis dan damai dan diakui dunia internasional sebagai Pemilu yang berjalan cukup baik, namun para penyelenggaranya (KPU) terjerat permasalahan hukum. Masalah hukum ini dipicu oleh keterbatasan waktu, khususnya terkait pengadaan logistik (barang) yang ketentuannya membutuhkan jangka waktu yang panjang. Problem keterbatasan waktu untuk persiapan Pemilu tahun 2009 kembali terulang. Perangkat hukum yang dijadikan dasar hukum baru selesai pada tahun 2008 (setahun sebelum Pemilu UU Nomor 10 Tahun 2008 baru disahkan). Akibatnya lebih parah lagi dibandingkan dengan Pemilu 2004, di mana banyak tahapan Pemilu yang kedodoran dan hasilnya tidak maksimal seperti tampak pada kasus pemutakhiran data pemilih yang berujung pada hak angket DPR karena banyaknya hak pilih yang hilang karena warga yang berhak memilih tidak dapat melaksanakan haknya. Dari segi penyelenggara Pemilu (KPU dan jajaranya) juga menghadapi permasalahan keterlambatan pergantian masa keanggotaan. KPU Pusat masa periode 2002-2007 diperpanjang masa tugasnya selama 6 bulan dan bahkan sampai dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undnag (Perpu) untuk mengatasi masalah ini. Imbas dari perpanjangan masa tugas KPU pusat ini juga berimbas ke bawah baik KPU Propinsi maupun KPU Kabupaten/Kota yang masa tugasnya diperpanjang kurang lebih 6 bulan. Kondisi ini mengakibatkan KPU periode berikutnya 2007-20012 juga mundur sehingga terjadi situasi yang tidak ideal bagai penyiapan tahapan Pemilu. Masa tugas KPU periode saat ini (2007-2012) baru dilantik pada akhir 2007, sehingga terlalu pendek waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2009. Sebaliknya, kekosoangan tugas KPU 88 saat ini terjadi lebih pajang setelah Pemilu 2009 selesai, mereka praktis kegiatan KPU setelah Pemilu tidak terlalu signifikan lagi. Situasi tersebut harus dipecahkan dengan melakukan pengaturan kembali kalender Pemilu baik menyangkut penyelenggara maupun tahapannya. Cara yang ditempuh adalah dengan mengalokasikan waktu untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu lebih panjang sekurang-kurangnya 3 (tiga tahun). Demikian halnya dengan masa keanggotaan penyelenggara Pemilu juga perlu ditata kembali agar masa tugasnya sesuai dengan jangka waktu persiapan tahapan Pemilu di atas (minimal 3 tahun). (2) Efisiensi Biaya Pada akhirnya apabila berbagai arah perubahan dan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat membuat Pemilu dapat berkurang kompleksitasnya sehingga dari segi pembiyaan juga dapat lebih diefsienkan. Apabila bentuk surat suara tidak terlalu besar dan jumlah peserta Pemilu maupun calon juga dapat disederhanakan akan mengurangi biaya logistik pokok Pemilu yaitu surat suara dan formulirnya. B. POKOK-POKOK MATERI PERUBAHAN Berdasarkan pada arah dan langkah-langkah perubahan di atas maka beberapa ketentuan yang perlu dilakukan perubahan dalam perubahan UU Nomor 10 Tahun 208 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD antara lain sebagai berikut; 1. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu. Dalam RUU perubahan Pasal 4 ayat (5) Diatur bahwa: ”Tahapan penyelenggaraan Pemilu dimulai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) bulan 89 sebelum hari pemungutan suara”. Tahapan tersebut dimulai sejak penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. 2. Hari Pemungutan Suara di Luar Negeri. Dalam RUU perubahan Pasal 4 ayat (4) diatur bahwa pemungutan suara di luar negeri dapat dilaksanakan bersamaan atau sebelum pemungutan suara di dalam negeri”. 3. Persyaratan Partai Politik Menjadi Peserta Pemilu Dalam RUU Perubahan Pasal 8 ayat (1) diatur bahwa: “Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan antara lain memiliki kepengurusan di seluruh Provinsi, memiliki kepengurusan di 75% jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 4. Pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu. Dalam RUU perubahan Pasal 14 ayat (4) diatur bahwa: ”Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan sebelum hari pemungutan suara” 5. Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Dalam RUU perubahan Pasal 16 ayat (2) diatur bahwa: “verifikasi terhadap partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu harus sudah diselesaikan oleh KPU paling lambat 18 (delapan belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara”. 6. Mekanisme Pengajuan Keberatan Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Dalam RUU perubahan Pasal 17A diatur bahwa Partai Politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi KPU dapat mengajukan keberatan pada Pengadilan tata Usaha Negara. Pengajuan keberatan tersebut diajukan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak putusan KPU dikeluarkan. Selanjutnya 90 diatur mengenai mekanisme banding atas putusan Pengadilan tata Usaha Negara ke Pengadilan Tinggi tata usaha Negara sampai putusan bersifat final dan mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU. 7. Mekanisme Penggunaan Hak Pilih Warga Negara. Dalam RUU perubahan Pasal 20 ayat (2) diatur bahwa ”Dalam hal terdapat Warga negara Indonesia yang belum terdaftar sebagai pemilih dapat menggunakan hak memilihnya dengan bukti kartu tanda penduduk atau paspor”. 8. Daerah Pemilihan Provinsi dan Kabupaten Dalam RUU perubahan Pasal 24 dan Pasal 27 diatur bahwa ”dalam hal penentuan jumlah kursi melebihi 12 kursi di sebuah dapil di Provinsi maupun kabupaten/kota, maka jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut dapat melebihi ketentuan. Sebagai contoh di dapil Jakarta Timur yang lebih dari 12 kursi. 9. Penyedia Data Pemilih Dalam RUU perubahan diatur bahwa KPU wajib menyediakan data pemilih secara nasional. Data pemilih tersebut disusun KPU berdasarkan data pemilih pada pemilu terakhir yang dimiliki KPU Kabupaten/Kota dan data kependudukan dari pemerintah. 10. Penyerahan Data Pemilih dari KPU ke KPU Kabupaten/Kota Dalam RUU perubahan Pasal 33 ayat ayat (1) dan ayat (2) diatur bahwa KPU menyerahkan data pemilih ke KPU Kabupaten/Kota paling lambat 18 bulan sebelum tanggal pemungutan suara. Oleh KPU Kabupaten/Kota data tersebut menjadi bahan penyusunan daftar pemilih. 91 11. Pemutakhiran Data Pemilih Dalam RUU perubahan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diatur bahwa KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data pemilih dari data yang disediakan oleh KPU. Pemutakhiran data pemilih harus diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya data dari KPU. Dalam pemutakhiran data ini KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPDP, PPS dan PPK. Hasil pemutakhiran data ini kemudian menjadi daftar pemilih sementara. 12. Daftar Pemilih Sementara Dalam RUU perubahan Pasal 36 dan Pasal 37 diatur mekanisme pengumuman Daftar pemilih sementara pada masyarakat, penerimaan masukan/tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu dan kewajiban KPU Kabupaten/Kota untuk memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan/tanggapan dari masyarakat. KPU Kabupaten/Kota juga harus memberikan salinan daftar pemilih sementara kepada peserta pemilu dikecamatan. 13. Daftar Pemilih Tetap Dalam RUU perubahan ini Pasal 38 diatur bahwa KPU Kabupaten/Kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara yang telah diperbaiki. Daftar pemilih tetap tersebut ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perbaikan terhadap daftar pemilih sementara. Diatur lebih lanjut mengenai kewajiban KPU Kabupaten/Kota untuk memberikan salinan daftar pemilih dalam bentuk softcopy atau cakram padat kepada Partai Politik Peserta Pemilu. 14. Sistem Informasi Data Pemilih Dalam RUU perubahan ini ditambahkan satu Pasal baru yaitu Pasal 47A yang mengatur mengenai Sistem Informasi Data Pemilih yang berisi data pemilih secara nasional. Data tersebut wajib dipelihara dan dimutakhirkan oleh KPU Kabupaten/Kota agar dapat digunakan dalam Pemilu selanjutnya. 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem Informasi data pemilih ini diatur dengan peraturan KPU. 15. Mekanisme Memilih bagi Pemilih yang Tidak Terdaftar Sebagai Pemilih Dalam RUU perubahan ini ditambahkan satu Pasal baru yaitu Pasal 149A yang mengatur mengenai mekanisme Pemilih yang tidak terdaftar pada pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat menggunakan KTP dan Paspor dengan ketentuan harus memilih di TPS yang sesuai dengan alamat yang tertera di KTP atau paspor pemilih. 16. Mekanisme Pemberian Suara Dalam RUU perubahan Pasal 153 diatur mengenai mekanisme pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau nama calon pada surat suara. 17. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Treshold) Ketentuan Pasal 202 tentang ambang batas parlemen masih berupa alternative draft. Alternatif rumusan 1 mensyaratkan 3% bagi ambang batas partai politik peserta pemilu untuk bisa dihitung dalam perolehan kursi dan alternative rumusan 2 mensyaratkan antara 2,5 persen sampai dengan 5 persen dan diberlakukan secara nasional. Artinya pada tingkat DPRD juga berlaku ketentuan ambang batas ini. Terhadap ketentuan ini DPR berpendapat agar penentuan angka ambang batas yang tetap akan lebih baik apabila diputuskan dalam rapat pembahasan bersama antara DPR dengan Pemerintah. 18. Konversi Suara menjadi Kursi Ketentuan dalam Pasal 205 tentang Konversi suara menjadi kursi masih terdapat dua alternatif rumusan yang diusulkan oleh DPR. Alternatif 1 adalah konversi suara menjadi kursi dengan prinsip habis di dapil, dan alternative 2 93 adalah konversi suara menjadi kursi dengan prinsip sisa suara ditarik ke Provinsi. Terhadap ketentuan dalam pasal ini, DPR berpendapat agar penentuan konversi suara menjadi kursi ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembicaraan tingkat I dengan Pemerintah. 19. Penetapan Calon Terpilih Dalam RUU perubahan Pasal 214 diatur bahwa Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. 20. Penghitungan Cepat Hasil Pemilu Dalam RUU perubahan Pasal 245 diatur bahwa pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan sumber dana dan metodologi yang digunakan untuk menjamin obyektifitas. Di samping itu diatur juga bahwa pengumuman penghitungan cepat hasil Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. 21. Ketentuan Pidana Dalam RUU perubahan terkait dengan ketentuan pidana dilakukan perubahan dan penambahan Pasal baru yang pada prinsipnya semakin memberatkan sanksi pidana bagi: a. Unsur penyelenggara pemilu yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara, tidak memberikan salinan daftar pemilih tetap kepada partai politik peserta pemilu; b. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan suara seorang pemilih tidak bernilai atau mendapat tambahan suara; dan c. Setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan cepat sebelum selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. 94 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil perlu terus menerus ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu, sehingga Pemilu 2014 dapat menghasilkan anggoat DPR, DPD, dan DPRD yang semakin berkualitas dalam menyelenggarakan pengelolaan negara dan pemerintahan. B. SARAN Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD merupakan keharusan untuk memperbaiki sistem dan penyelenggaraan pemilu. RUU ini perlu segera dibahas untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Demikianlah Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dibuat untuk dijadikan acuan dalam perumusan dan pembahasan yang dilaksanakan oleh DPR bersama dengan pemerintah. UU yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi 95 maskud dan tujuan bersama dalam menata sistem kelembagaan negara dan pemerintahan. 96 DAFTAR PUSTAKA Affan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Alan Ware, Political Party and Party System, Oxford University Press, New York, 2000 Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA International Stockhlom, United Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu, Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The Ridep Institute, Jakarta, 2001 Robert Dahl, Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 Ramlan Surbakti, Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003. Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES, 2001 Indra Pahlevi, Pemilu Legislatif 2009 dan Kesiapan Infra Struktur Politik Demokrasi di Daerah, Studi Pelaksanaan Pemilu 2009 di Provinsi Sumatera Utara, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009 Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislative Pemilu 2004, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 97 Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, Rumah Demokrasi, Jakarta, Maret 2010. Lili Romli (ed), Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008. Makalah : I Ketut Putra Erawan, Ph.D, Logika Perubahan dan Keberlanjutan Sistem Pemilu Bagi Indonesia 2009, Jakarta, Mei 2006. Riswandha Imawan, Penyempurnaan Sistem Pemerintahan dan Sistem Perwakilan, Jakarta, Mei 2006. C. Effendi, Phd, Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Jakarta, Mei 2006 Dr. Ir. Sudarsono H, MA,SH, Pembahasan Berbagai Sistem Pemilihan dan Sistem Pemilu 2009, Jakarta, Mei 2006 Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, (Makalah disampaikan pada Diskusi Meja Bundar Pemilu 1999 : Evaluasi dan Reformasinya yang diselenggarakan oleh Cetro (Center for Electoral Reform) pada tanggal 9 September 1999.) Leonard Sebastian, Indonesia’s Historic First Presidential Elections, UNISCI Discussion Papers, Octubre de 2004 Surat Kabar : Fuad Bawazier, Pemilihan Presiden Langsung, Republika, 12 Juni 2000 Joko Siswanto, DPD Ibarat Macan Ompong, Sriwijaya Post, 26 Agustus 2002. 98 Laporan: Mengawal Demokrasi menegakkan Keadilan Substantif, laporan tahunan 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia The Carter Center 2004 Indonesia Election Report, June, 2005, (Atlanta : The Carter Center, 2004) Internet Bali Post, Dari Pemilu ke Pemilu, http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/3/12/n5.htm www.kpu.go.id Sumber lain: Undang-undang No.7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, Departemen Dalam Negeri, 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 15/PUU-VIII/2010 tentang Alokasi Dapil Kota Tangerang Selatan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 132/PUU-VII/2009 tentang Definisi Keuangan Negara Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 131/PUU-VII/2009 tentang Ketidakpastian Hukum Norma-norma UU Pemilu Legislatif 99 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 130/PUU-VII/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kursi DPRD Provinsi Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 119/PUU-VII/2009 tentang Tenggang Waktu Pelaporan Pelanggaran Pemilu Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 114/PUU-VII/2009 tentang Pembatasan Pengajuan Permohonan Pemilu 3 x 24 Jam Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 tentang Pembagian Kursi Tahap Kedua Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 107/PUU-VII/2009 tentang Suara Rakyat yang Tidak Terwakili Tidak Boleh Terbuang Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 105/PUU-VII/2009 tentang Perolehan Kursi Partai Politik Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 100/PUU-VII/2009 tentang Tenggang Waktu Pelaporan Pelanggaran Pemilu Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 9/PUU-VII/2009 tentang Hasil Survei Pemilu Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 4/PUU-VI/2008 tentang Diskriminasi Hak Terpidana terhadap Hak Dipilih dalam Pemilu Legislatif Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang Parliamentary Threshold Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 22/PUU-VI/2008 tentang Keterwakilan Caleg Perempuan dan Syarat Perolehan Suara Caleg Terpilih 100 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 32/PUU-VI/2008 tentang Iklan Kampanye dalam Pemilu Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 12/PUU-VI/2008 tentang Persyaran Mengikuti Pemilu Tahun 2009 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Anggota DPD 101