Kajian Sosiologis Fenomena Mudik

advertisement
PENGANTAR PENULIS
Penulisan buku ini berawal dari rasa iseng penulis, ketika memeriksa
berkas-berkas berserakan di ruang kerja. Berkas-berkas tersebut
berisi kertas-kertas kerja yang sebagian sudah berwarna kecoklatan.
Sepuluh tahun lalu selepas menimba ilmu di negeri Jerman dan
penulis kembali ke tanah air tercinta, begitu banyak kesempatan
yang diberikan pada penulis untuk menuangkan pemikiran mengenai
sosiologi perkotaan khususnya tentang Jakarta. Kertas kerja yang
lahir dari pemikiran dalam berbagai kesempatan, suasana zaman
(zeitgeist), kadang berupa ”pesanan” untuk berbicara mengenai suatu
topik seakan mengajak bercengkerama. Dari cengkerama itulah, lahir
ide untuk melakukan kompilasi naskah-naskah tercecer itu ke dalam
sebuah buku mengenai Jakarta dan problematikanya.
Kesulitan pertama menghadang realisasi penulisan buku ini, yaitu
masalah etika untuk menulis ulang naskah-naskah yang pernah
diterbitkan. Akhirnya, penulis mencoba menghubungi beberapa surat
kabar yang pernah memuat beberapa naskah tulisan dan meminta
ijin. Masalah kedua, lebih terkait dengan substansi dan akurasi data.
Upaya ini relatif bisa diatasi dengan mencoba mengumpulkan data
dari surat kabar, internet, data-data statistik mengenai Jakarta.
Akhirnya, buku kecil ini hadir ke hadapan Anda. Semoga bisa
memberi
setetes
air
atas
beragam
problematika
sosial
yang
menghadang kita semua. Begitu banyak pihak yang kepadanya
penulis berhutang sangat besar. Prof. Hans Dieter Evers sebagai guru
dan
sekaligus
teman
yang
tiada
lelah
membimbing
penulis,
khususnya ketika menjalani pendidikan di Universitas Bielefeld
Jerman. Istri dan anak-anak yang merelakan sebagian waktunya
dirampas untuk kesibukan dan kesendirian penulis di ruang kerja.
Asisten mata kuliah Sosiologi Perkotaan serta kolega di Departemen
Sosiologi FISIP-UI.
1
Kajian Sosiologis Fenomena Mudik
Mudik merupakan fenomena sosial yang rutin setiap tahun
terjadi. Mudik di sini di fahami sebagai liburan massal warga kotakota besar di daerah asal mereka (desa atau kota-kota yang lebih
kecil). Kegiatan ini biasanya di lakukan menjelang hari raya Idul Fitri,
natal dan tahun baru. Jumlah warga kota yang mudik setiap tahun
diperkirakan berkisar sekitar sepuluh hingga enampuluh persen. Hal
ini dapat dilihat pada bukti empiris: saat liburan di atas jalan-jalan
dan pusat-pusat keramaian kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang dan sebagainya, menjadi relatif sepi. Hal ini
sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kota-kota besar
Indonesia dibangun oleh keberadaan para “pendatang” (Abeyasekere
1989; Jelinek 1991; Evers dan Korff 2000: Somantri 2001).
Fenomena mudik muncul dan menjadi trend menarik sejak
kota-kota di Indonesia berkembang pesat sebagai imbas integrasi
pada sistem ekonomi kapitalis di awal tahun 1970-an. Dinamika
sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota besar menjadi
“enersi” pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi.
Warga kota yang banyak diantaranya para pendatang melakukan
aktivitas mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu pada
hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural (lebaran, natal,
dan tahun baru).
Berbicara mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat
melihat melalui konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi
masyarakat Indonesia pada sistem ekonomi kapitalis dunia, di mana
tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang, mudik mempunyai
motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali “ruh” polapola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan
modernisasi di kota-kota besar. Mudik dapat dipandang sebagai
penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah
asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Mudik pun sarat simbol
2
kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di kerasnya
kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik
biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti
berhalangan (positif) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif).
Tampaknya kini, di awal abad ke-21, setelah masyarakat
Indonesia lebih dari tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi
berorientasi pasar, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih
rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan
praktis
sebagai
berikut:
1)
rekreasi
keluarga
dalam
suasana
kekeluargaan; 2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan
pada saat yang tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa
kasus, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dan ekonomi dalam
kerangka penguatan dan perluasan modal sosial. Warga yang tidak
mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka difahami dalam
penjelasan
rasional
seperti
sibuk
dengan
pekerjaan,
masalah
transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya.
Akankah fenomena mudik di masa yang akan datang hilang?
Kota-kota besar Indonesia mempunyai konteksnya sendiri-sendiri
yang tipikal. Namun demikian, kenyataan bahwa secara umum kotakota besar berperan penting dalam dinamika sistem ekonomi
kapitalis secara umum, adalah sulit untuk dipungkiri (Smith dan
Feagin 1991; Sassen 1994). Dalam kaca mata ini, kota-kota besar
merupakan “locus” dari rasionalisasi. Dalam kaitan ini, tampaknya
kita dapat memprediksi beberapa hal sebagai berikut. Pertama, di
masa datang akan terjadi pengurangan jumlah warga yang mudik
sebagai konsekuensi dari efisiensi. Kedua, mudik akan menjadi
semacam gaya hidup yang bersifat rasional dan dilakukan tidak
hanya pada even hari raya namun pada saat cuti kerja. Ketiga, mudik
dapat bertalian dengan aspek pengembangan jaringan ekonomi.
Dengan kata lain, mudik akan tetap ada meskipun dalam format
berbeda, yaitu menjadi instrumen ekonomi.
Terlepas dari diskusi mudik di masa datang di atas, tampaknya
fenomena mudik yang terjadi kini secara sistemik mempunyai sisi
3
untung dan rugi. Keuntungan pertama adalah ia merupakan moda
alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formal, melalui
peran negara dan swasta dirasakan banyak kekurangannya. Orang
mudik biasanya membawa cukup uang yang dibelanjakan dan
didistribusikan dikalangan keluarga dekat di daerah asal. Sehingga,
aktivitas ini mampu menyumbang pada bertambahnya jumlah
perputaran uang di daerah
Keuntungan kedua bertalian dengan reproduksi ekonomi warga
kota besar. Mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses untuk
memulihkan enersi produktif (lihat Saunders 1995). Keuntungan lain
diantaranya adalah modal sosial (jaringan ekonomi diantara anggota
keluarga
luas
dan
kenalan)
dapat
terpupuk
yang
kemudian
diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke
kota.
Kerugian sistemik mudik pun dapat kita identifikasi. Ia terkait
dengan melonjaknya masalah transportasi, keamanan, lingkungan
(polusi), dan ekonomi rumah tangga. Namun demikian, masalah ini
dapat dilihat sebagai tantangan bagi negara untuk melakukan
fasilitasi: 1) pengembangan sistem transportasi cepat dan massal
yang bersifat luas dan lintas daeral/pulau; 2) keamanan berbasis
kesejahteraan warga; 3) pembangunan sistem keamanan sosial dan
kerja termasuk cuti. Melalui peran negara di atas, mudik akan
menjadi perilaku warga Jakarta yang nyaman dan berdimensi sosialekonomi rasional-produktif.
4
Ethnik dan Kelas Sosial di Jakarta
Jakarta adalah kota utama (major city) di Indonesia. Kota ini dihuni
oleh lebih dari 10 juta warga dan menempati areal seluas hampir 700
km2. Sebagai kota besar yang menjadi pusat berbagai kegiatan
penting, komposisi etnis warga Jakarta sangatlah heterogen. Menurut
hasil survey yang dilakukan oleh penulis di tahun 1990-an,
kebanyakan warga Jakarta berafiliasi secara berurutan terutama ke
etnis Jawa, Sunda, Betawi, Minang, Tionghoa, Tapanuli, dan kategori
lain-lain. Termasuk pada kategori yang disebutkan terakhir adalah
Bugis, Bali, Menado, Aceh, dan sebagainya. Tampaknya, fakta ini
tidak jauh berbeda dengan hasil kajian seorang ilmuwan sosial
Australia, Lance Castles, pada tahun 1960-an. Bahkan, komposisi
etnis dewasa ini diduga tidaklah jauh bergeser dari kedua data hasil
survey yang dirujuk di atas.
Warga Jakarta yang beraneka ragam ini kebanyakan tinggal di
kampung-kampung.
Istilah
kampung
di
sini
mengacu
pada
permukiman padat warga lapisan miskin di dalam kota Jakarta.
Jumlah warga kota Jakarta yang tinggal dipermukiman “struktur
tradisional” ini sangatlah besar, yaitu diperkirakan mencapai 70
persen. Selebihnya, tinggal di permukiman “struktur modern”. Dalam
kaitan ini, terdapat tiga kategori kampung. Pertama adalah kampung
lama terletak di pusat kota. Kedua adalah kampung transisi yang
berdekatan dengan kawasan pusat perdagangan (Central Business
District). Ketiga adalah kampung pinggiran kota yang berpenduduk
relatif jarang, masih hijau, dan corak kehidupan pertanian terutama
buah buahan masih nampak. Biasanya di kampung kategori pertama
5
dan kedua mayoritas warga secara berurutan masuk pada etnis
Jawa, Sunda, Betawi, Minang, Tionghoa, dan lain-lain. Sedangkan
pada kampung kategori ketiga, kita akan mendapati penduduk
Betawi masih merupakan mayoritas (sekitar 40 persen).
Melihat fakta di atas, perbincangan mengenai kelompok etnis di
Jakarta secara sosiologis akan lebih bermakna jika merujuk pada
realitas kampung. Tampaknya untuk konteks kampung di Jakarta
adalah sulit untuk mengatakan terdapat pemisahan kelompok etnis.
Sebuah
komunitas
di
kampung
tersebut
lebih
mencerminkan
suasana multi ethnis dan budaya dalam kerangka kesamaan ciri
kelas sosial. Meskipun memang jaringan sosial-ekonomi berdasar
ikatan etnis seringkali dapat diamati dengan Jelas. Demikian pula
praktek-praktek tradisi dan kebudayaan yang bersifat ethnis tumbuh
dalam komunitas mereka. Akan tetapi tampaknya hal tersebut masih
jauh untuk dirujuk sebagai bukti adanya segregasi ethnis seperti
terjadi di masa kolonial Belanda dahulu ketika Jakarta masih
bernama Batavia-Weltevreden.
Pada masa kolonial tersebut di Jakarta dapat ditemukan permukiman
spesifik ethnis seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung
Ambon, Kampung Jawa, dan sebagainya. Dengan berkembangnya
kota Jakarta, terutama tingginya migrasi penduduk yang masuk dari
berbagai kawasan dan kepulauan sejak awal kemerdekaan hingga
1970-an, wajah kampung di Jakarta berubah drastis. Ia tidak lagi
mewakili warna sfesifik ethnis, namun telah bergeser ke kesamaan
kelompok
status
sosial-ekonomi.
Yaitu,
kampung
dihuni
oleh
kumpulan orang-orang yang mempunyai penghasilan relatif rendah
dalam
struktur
ekonomi
kota.
Kampung-kampung
di
Jakarta
merupakan lokalitas lengkap dengan nilai-nilai dan idiologi setempat,
serta jaringan sosial yang fungsional bagi kehidupan sosial ekonomi
warga. Kasus-kasus tawuran antar kampung seperti terjadi di
kawasan Jakarta Timur, Selatan dan Utara baru-baru ini pada
6
umumnya tidak berbasis ethnis, namun lebih mencerminkan kuatnya
ikatan sentimen kampung setempat yang dibarengi oleh rasa frustasi
pada
ketidakberdayaan.
Tentu
saja
kekuatan
ikatan
setempat
tersebut dapat menjadi hal positif apabila langkah pemberdayaan
dilakukan secara tepat.
Sebaliknya,
apabila
pemerintah
kurang
hirau
dengan
upaya
pembangunan sosial yang mampu melahirkan keberdayaan, rasa adil,
dan sejahtera; permasalah serius akan muncul di kota Jakarta ini.
Misalnya tawuran antar kampung akan semakin marak. Sementara
itu gerakan sosial berbasis komunitas dapat meledak setiap waktu
dan menjadikan negara sebagai sasaran nyata kemarahan dan rasa
frustasi mereka. Tidak mustahil, identifikasi atas dasar kelas sosial
dapat bercampur aduk dengan sentimen ethnis. Kasus penyerangan
ethnis Tionghoa oleh “warga kampung” sepanjang sejarah Jakarta,
bertalian dengan aneka motif yang berbaur menjadi satu seperti
ekonomi, ethnis dan politik.
Tata-Kelola Mutu Total
Pada Pendidikan Tinggi
Globalisasi dunia pendidikan tinggi kini mulai deras merambah
Indonesia. Kota-kota besar di tanah air mulai menjadi pasar incaran
banyak universitas ternama manca nagara.
Hal ini ditandai dengan mulai beroperasinya perguruan tinggi asing di
Jakarta. Selain itu, kerjasama penyelenggaraan program pendidikan,
riset, dan sebagainya antara universitas manca-nagara dengan
lembaga pendidikan serupa di dalam negeri mulai bermunculan.
Masyarakat pengguna jasa pendidikan tinggi pun kini dilihat tidak
terbatas hanya di dalam negeri, namun menjangkau tataran regional
bahkan internasional. Tuntutan rasional masyarakat pengguna jasa
7
pendidikan
tinggi
akan
mutu
layanan
yang
konsisten
dan
memuaskan menjadi hal sangat penting yang tidak dapat diabaikan
lagi.
Banyak perguruan tinggi mulai menyadari tantangan di atas dan
mulai
mencoba
meningkatkan
menerapkan
daya
saing.
penjaminan
Namun,
pada
mutu
dalam
umumnya
rangka
lembaga
pendidikan tinggi tersebut menghadapi kesukaran mendasar dalam
proses
“transformasi
budaya”
mutu
berkesinambungan
dan
berorientasi pada pelanggan.
Tulisan ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran dan
pengalaman, bagaimana kita menjalankan transformasi tersebut.
**
Wacana mutu mulai menyeruak di dunia bisnis manufaktur
tahun 1950-an di Jepang. Pada saat awal kemajuan industri di negeri
Sakura, disadari bahwa mati-hidupnya perusahaan ditentukan oleh
penilaian pelanggan atas produk yang dihasilkan.
Dalam kaitan ini mutu difahami sebagai totalitas karakteristik
dan gambaran produk atau jasa yang muncul dari kemampuannya
untuk memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau diakibatkan
(Hills dan Stewart-David, 2001).
Di era tahun 1970-an, ketika industri berkembang pesat di
negara-negara
maju
wacana
penjaminan
mutu
mulai
ramai
didiskusikan.
Perlu dibedakan di sini dua istilah yang sering campur-aduk,
yaitu kendali mutu dan penjaminan mutu. Kendali mutu (quality
control) biasanya bertalian dengan penggunaan tehnik dan kegiatan
operasional untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dalam rangka
mencapai standar tertentu dari produk. Sedangkan penjaminan mutu
(quality assurance) adalah tindakan terencana dan sistematis yang
perlu dilakukan dalam rangka memberikan rasa percaya diri bahwa
8
sebuah layanan akan memuaskan pada mutu yang ditentukan (Ho
dan Wearn, 1995).
Istilah pertama lebih konsen terhadap proses mutu dihasilkan,
sedangkan istilah kedua berbicara mengenai sistem dalam rangka
memastikan mutu. Menegaskan pengertian yang disebut terakhir,
penjaminan mutu tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sistem
mutu (quality system).
Pada tahun 1980-an, kalangan dunia usaha mulai merasakan
adanya kebutuhan akan standardisasi dari sistem mutu yang handal.
Sebagai puncaknya, organisasi internasional untuk standardisasi,
yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, memperkenalkan seri sistem
mutu ISO 9000 pada tahun 1987.
Sistem
mutu
di
atas,
selain
memungkinkan
pengguna
memperoleh sertifikasi, juga merupakan standar yang diterima secara
luas. Ia banyak dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan ternama
di dunia.
Kritik terhadap sistem mutu ISO 9000 muncul dari perspektif
terbaru tata-kelola mutu. Menurut mereka, sistem mutu di atas
sangat mementingkan aspek keuntungan. Ia mengabaikan titik
pandang
membatasi
pengguna
ruang
produk
gerak
atau
jasa,
organisasi
bahkan
untuk
secara
secara
nyata
kreatif
mengembangkan daya saing.
Bahkan sertifikasi dibuktikan secara empirik hanya fungsional dalam
rangka memenuhi persyaratan administratif bisnis (Santos dan
Escanciano, 2001). Ia tidak bertalian secara signifikan dengan
kewirausahaan
dan
upaya
terus-menerus
meningkatkan
mutu
layanan dan kepuasan pelanggan.
Sebagai jalan keluar, perspektif yang banyak dikenal sebagai
“Tata-Kelola Mutu Total” (Total Quality Management/TQM) di atas
menawarkan konsep yang lebih menyentuh sisi budaya organisasi
untuk terus-menerus memperbaiki mutu dan berorientasi penuh
pada kepuasan pelanggan.
Perspektif ini banyak diadopsi oleh pendidikan tinggi pada
9
tahun tahun 1990-an. Tata Kelola Mutu Total dalam pendidikan
tinggi difahami sebagai pilosofi tata-kelola yang meletakan sistemsistem
dan
proses-proses
pada
posisi
untuk
mencapai
atau
melampaui harapan pelanggan (Spanbauer, 1995).
Sistem
dan
penjaminan
mutu
menurut
perspektif
ini
menjangkau setiap sisi kebudayaan organisasi, dari mulai aspek
administrasi dan penunjang, hingga proses belajar-mengajar di ruang
kelas.
Kami menyarankan perguruan tinggi di tanah air menentukan
lima
prioritas
mesin
penggerak
“budaya
mutu”,
yaitu
aspek
administrasi akademik dan non akademik terutama keuangan, infrastruktur, sumber daya-manusia, riset, serta proses belajar-mengajar
di kelas termasuk kurikulum yang berbasis kopetensi.
Penting dicatat, komitmen pimpinan pendidikan tinggi yang
kuat dan penuh dalam rangka merealisasikan transformasi budaya
organisasi yang sinambung menjadi prasyarat mutlak. Banyak ahli
berpendapat bahwa proses transformasi tersebut sangat tergantung
pada perspektif dan gaya kepemimpinan. Proses transformasi budaya
memang menjadi tugas eksekutif.
Dalam menjalankan tugasnya, eksekutif dapat ditopang oleh
kehadiran staf yang sangat ahli mengenai sistem mutu, yaitu orang
yang disebut oleh Karapetrovic dan Wilborn (1999) sebagai “quality
champion”. Staf inilah yang akan berperan sebagai ketua panitia dari
proyek pengembangan sistem mutu. Anggota dari tim biasanya terdiri
dari pimpinan, staf, dan dapat diperluas sesuai keperluan.
***
Studi kasus pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, peran quality champion dilakukan oleh Wakil
Dekan terkait. Ia menjadi panitia proyek dengan anggota termasuk
dekan, manajer, ketua program, beberapa staf, dan beberapa tenaga
bantuan profesional.
10
Diantara kelima prioritas mesin penggerak transformasi mutu
yang disarankan di atas, yang teramat penting untuk didahulukan
adalah membangun sistem mutu di segmen administrasi, baik
keuangan
maupun
akademik.
Transparansi
dan
akuntabilitas
keuangan menjadi fondasi pertama dari dibangunnya kredibilitas dan
kepercayaan di mata pelanggan dan stake-holders lainnya, termasuk
staf pengajar. Sementara itu, sistem administrasi akademik akan
menjadi tolok ukur pertama stake-holders, terutama mahasiswa,
untuk menilai apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan
layanan yang diterima.
Fakultas tersebut melihat kepercayaan adalah kunci untuk
diperoleh terlebih dahulu. Oleh karena itu, ia memilih membangun
sistem mutu di segmen administrasi keuangan sebagai langkah
pertama membangun fondasi transformasi.
FISIP-UI
merumuskan
sistem
dan
prosedur
administrasi
keuangan, dengan pendekatan dari “bawah” ke “atas”, yaitu dari
program studi sebagai front-liner, ditarik ke departemen, kemudian
dikonsolidasi di tingkat Fakultas.
Langkah yang dilakukan adalah, cara kerja pengelolaan dan
administrasi keuangan yang terdapat di salah satu program studi,
yaitu DIII Ilmu Administrasi; diidentifikasi, kemudian per komponen
dipetakan. Pemetaan dilakukan dengan menggambarkan cara kerja
dari semua komponen, dari awal (masuk) hingga akhir (file), dengan
menggunakan “bahasa” flow-chart.
Dengan melihat peta di atas, kita dapat mendiskusikan dan
mengevaluasi cara kerja yang selama ini dijalankan. Kita akan
terkejut, melihat bagaimana selama ini sumber-daya manusia, waktu,
dan sebagainya dihambur-hamburkan karena proses yang terlalu
panjang atau prosedur yang berbelit-belit.
Fakultas tersebut pada intinya merumuskan operation-line yang
ringkas dan akurat untuk setiap komponen yang terdapat di program
studi tersebut.
Agar operation-line dapat dijalankan secara manual, kita
11
merumuskan sistem menu untuk setiap komponen dan langkah.
Dalam kaitan dengan pengembangan sistem akuntasi, FISIP-UI
merumuskan pula akun-akun yang merupakan rujukan dalam proses
penjurnalan. Akun tersebut sama dengan yang dipergunakan dalam
sistem oracle di tingkat universitas, namun dirumuskan sedemikian
rupa
sehingga
dapat
diterjemahkan
pada
sistem
MAK
dalam
pelaporan keuangan formal Depdiknas.
Operation-line diuji-cobakan secara manual selama beberapa
bulan, hingga para staf familiar dengan hal tersebut. Pada bulan
ketiga
baru
dilakukan
kemudian
dengan
dilakukan
dijitalisasi.
menterjemahkan
Proses
operation-line
tersebut
pada
bahasa
pemograman IT. Dengan kata lain, kita membangun sistem digital di
bidang administrasi keuangan secara taylor-made. Namun, ia dapat
dikoneksi ke modul-modul yang terdapat pada sistem oracle yang
dipergunakan pada tingkat universitas.
Setelah sistem di program studi tersebut berjalan dengan baik,
tim menduplikasikannya pada program S1 dan Pascasarjana di
Departemen Ilmu Administrasi. Selanjutnya Duplikasi dilakukan
pada
program
Antropologi,
studi
yang
Komunikasi,
terdapat
dan
dilingkungan
Kesejahteraan
Departemen
Sosial.
Menyusul
penerapan pada empat Departemen lain seperti Sosiologi, Kriminologi,
Ilmu Politik dan Hubungan Internasional.
Hal yang sangat membanggakan adalah engagement penuh dari
para anggota panitia terutama yang berasal dari hampir empat puluh
program studi yang terdapat di FISIP-UI. Proses pembangunan sistem
administrasi non akademik tersebut diselesaikan dalam waktu
kurang lebih tujuh bulan, yaitu dari Maret hingga September 2003.
Kini tata-kelola keuangan pada FISIP-UI ditopang oleh sistem
akuntansi standar, yang memungkinkan kita melihat posisi keuangan
rekapitulatif secara akurat, dan real-time. Sistem ini memungkinkan
pula ia melihat daily-balance yang penting artinya bagi proses tatakelola.
Pada awal 2004, dengan metoda yang sama tim mulai
12
mengembangkan
sistem
mutu
di
bidang
layanan
administrasi
akademik. Saat ini kami telah mencapai tahap uji-coba digital dan
registrasi mahasiswa pada bulan September 2004 akan dilakukan
melalui sistem ini.
Sistem mutu di bidang infra-struktur telah dirintis seperti
dibangunnya perpustakaan terbuka semi-digital Miriam Budiardjo
dan pusat riset Selo Sumardjan. Penataan sumber daya manusia dan
proses
belajar-mengajar
akan
dilakukan
pada
tahun
depan.
Singkatkata, fakultas yang kini mempunyai lebih dari 7000 mahasiwa
dan 500 dosen tetap dan tidak tetap ini tersebut, mengharapkan pada
tahun 2006 kerangka dasar transformasi budaya mutu secara
sistimatik mulai mewujud.
****
Sebagai penutup, pembangunan sistem mutu pada perguruan
tinggi seperti digambarkan pada studi kasus di atas secara embedded
memuat mekanisme dokumentasi dari sistem dan prosedur dan data.
Dokumentasi dan data yang baik akan sangat berguna untuk
aneka keperluan penting seperti audit, akreditasi dan sertifikasi. Ia
dapat menjadi dasar akurat dalam merancang rencana anggaran
berbasis aktivitas dan pembuatan laporan tahunan. Bahkan ia
merupakan modal untuk unggul dalam kompetisi pendanaan hibah
tingkat nasional maupun internasional.
Pada saat yang sama, sistem mutu jelas memberikan jaminan
kepada
stake-holders
untuk
memperoleh
layanan
memuaskan.
Bahkan, ia menambah kepercayaan organisasi, terutama eksekutif,
dalam menjalankan strategi transformasi budaya mutu menyeluruh
yang saat ini masih merupakan PR pelik perguruan tinggi di Republik
ini.
Mudah-mudahan perguruan tinggi mampu menjadi inspirator
dan
teladan
bagi
transformasi
budaya
mutu
bangsa
secara
keseluruhan termasuk mutu birokrasi negara kita yang dewasa ini
masih carut-marut dan memprihatinkan kondisinya.
13
Sampah adalah Rahmat
Sampah Jakarta memusingkan Gubernur. Langkah pemecahan
diambil dari dahulu hingga kini tetap sama: konvensional, non-kreatif
dan
non-produktif.
Tampaknya
kita
perlu
terobosan
politik
penanganan sampah secara “maju”. Langkah ini hanya dapat
dilakukan oleh seorang Gubernur visioner dan kreatif.
Diperlukan beberapa prasyarat. Pertama cara pandang baru
mengenai sampah. Timbunan sampah rumah tangga, kantor, dan
lain-lain adalah rahmat: uang. Sampah dapat menjadi sumber
pemasukan di era otonomi daerah. Kedua regulasi yang konsisten
dengan program serta pelaksanaan mengenai penanganan sampah
secara “maju”. Ketiga, sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat
dan aparat birokratis dapat diarahkan untuk merubah perilaku agar
kondusif. Keempat, Pemda perlu menyulap dinas kebersihan “wajah
baru”: SDM, manajemen, teknologi dan kapital.
Secara konvensional, sampah rumah tangga dan lain-lain
dikumpulkan di tempat pembuangan sementara, kemudian diangkut
ke tempat pembuangan akhir. Sampah dibiarkan hancur, membusuk,
atau dimanfaatkan para pemulung sebagai ujung tombak industri
daur ulang selektif. Cara penanganan sampah secara tradisional ini
mudah, namun jelas tidak cerdas dan boros ruang. Pemda cukup
merasa telah bekerja keras mempunyai dinas yang mempunyai
otoritas mengangkut sampah.
Adalah
memprihatinkan
menyaksikan
pemerintah
daerah,
terutama Gubernur, panik menghadapi bertumpuknya sampah di
tempat pembuangan sementara, manakala tempat pembuangan akhir
di kawasan Bekasi ditutup Pemda setempat dengan alasan ekologis.
Sebagai solusi jangka pendek Gubernur mencari alternatif di
beberapa lokasi. Tentu saja protes dampak ekologis serupa hanya
14
tinggal waktu.
Di masa datang tampaknya “pembuangan” sampah harus
bersifat kreatif-produktif dan menghilangkan ketergantungan pada
keberadaan
tempat
pembuangan
akhir.
Kalaupun
tempat
pembuangan akhir harus ada, sifatnya hemat tempat, ramah
lingkungan, serta ditopang teknologi pemadatan atau pemusnahan
yang modern.
Sementara itu, penanganan sampah dimulai ditingkat rumah
tangga dan komunitas. Sampah telah dipilah-pilah berdasarkan
spesifikasi daur ulang (plastik, kertas, kaca, logam dan sebagainya).
Sampah yang tidak dapat didaur ulang dipisahkan menurut beberapa
kategori produktif: sampah biologis untuk produksi kompos, sampah
elektronik (radio, mesin cuci, kulkas, televisi dan lain-lain) dan
furniture untuk produksi kanibalisme kreatif, yaitu barang bekas
dengan fungsi baik.
Sampah dibawa tidak ke tempat pembuangan akhir, namun ke
bengkel-bengkel daur ulang dan produksi lainnya. Sisa dan bagian
sampah yang tidak dapat didaur ulang atau dimanfaatkan di bengkelbengkel di atas baru dibawa ke tempat pembuangan akhir untuk
dimusnahkan atau dipadatkan agar tidak membahayakan.
Jika kebijakan ini diambil, tampaknya lima lokasi alternatif
tempat pembuangan akhir sampah dapat dijadikan lokasi bengkelbengkel di atas. Sementara itu, dinas kebersihan akan naik derajat
dari tukang angkut sampah menjadi motor yang berperan di bengkelbengkel produktif dan kreatif. Dinas ini akan didominasi para teknisi
trampil berkualifikasi lulusan politeknik dan fakultas terkait. Bahkan
ia menjadi salah satu profit center yang paling maju dan makmur
serta di era otonomi mampu menyumbang pemasukan kas Pemda
secara signifikan dan sinambung.
Gubernur dan jajarannya tidak perlu cemas lagi akan menuai
protes ekologis warga. Jakarta akan lebih tertib, bersih, maju dan
makmur.
15
Relevankah Memperingati Sumpah Pemuda?
Hampir delapan windu lalu, pada tanggal 28 Oktober 1928, para elit
pemuda
dari
berbagai
daerah
dan
suku
berikrar:
berbangsa,
berbahasa, dan bernegara satu yaitu Indonesia. Sumpah Pemuda
merupakan komitmen moral yang secara cerdas mengakui bahwa
nationhood telah terbentuk. Ia pun dapat dipandang sebagai tekad
politik untuk dibangunnya statehood. Pada saat Sumpah Pemuda
didengungkan, “bangsa” Indonesia disatukan oleh identitas dan
sentimen yang sama. Yaitu, anti penjajahan dan imperialisme Barat.
Kemudian di era Soekarno, kita memasuki masyarakat pasca
penjajahan (post colonial society). Sumpah pemuda pada era ini setiap
tahun diperingati di tengah demokrasi dan masyarakat madani
lemah, serta ekonomi pasar yang tidak berkembang. Namun, warga
masyarakat masih dapat dengan jernih menghayati komitmen moral
dan tekad politik untuk maju bersama sebagai bangsa merdeka.
Pada era berikutnya, kita memasuki era peralihan di rejim Soeharto.
Pada
masa
ini
Sumpah
Pemuda
diperingati
dalam
tatanan
masyarakat yang telah mengalami liberalisasi ekonomi. Namun,
demokrasi dan masyarakat madani terpasung dan tidak berdaya.
Sehingga,
Sumpah
Pemuda
diperingati
sebagai
ritual
yang
berlangsung ditengah sumpah serapah sementara daerah yang
terpinggirkan secara ekonomi, sosial dan politik. Mereka tidak
menangkap khidmat peringatan Sumpah Pemuda ditengah luka
pelanggaran hak asasi manusia yang telah membiasa, keadilan sosial
ekonomi
dikesampingkan,
politik
bias
kepentingan
penguasa.
Bahkan, pada masa ini Sumpah Pemuda telah menjadi dogma
instrumentalis agar kawasan dan warga negara yang tertindas
bungkam atas nama ikrar para pemuda.
Pada awal abad 21 ini kita memasuki era yang dinamakan sebagai
16
“the end of post colonial society”, akhir dari pasca penjajahan.
Sumpah Pemuda diperingati ditengah bangsa Indonesia berbenah
meletakan fondasi orientasi berbangsa dan berbegara yang “baru”.
Fondasi ini dibangun oleh tiga pilar yang diharapkan mampu
membawa bangsa pada kemakmuran di abad ke-21 ini. Pilar tersebut
adalah: (1) membangun demokrasi pada landasan nilai universal, (2)
pembangunan masyarakat madani, dan (3) partisipasi kreatif dalam
sistem ekonomi pasar.
Namun, secara empiris kita melihat banyak kenyataan yang belum
memuaskan. Upaya demokratisasi berlangsung masih pada struktur
dan sistem lama sehingga berlangsung secara perlahan. Masyarakat
madani pun belum berkembang sebagai dampak masih dipeliharanya
nilai-nilai feodalistik. Kiprah kita dalam arena luas ekonomi global
pun ditandai oleh ketidaksiapan yang merisaukan. Sementara itu
persoalan bangsa berupa ancaman disintegrasi belum juga kunjung
reda.
Dalam konteks di atas Sumpah Pemuda dapat diperingati dengan dua
kutub ekstrim penghayatan: pesimis dan optimis. Kalangan pertama
melihat Peringatan Sumpah Pemuda sebagai hal yang tidak bermakna
lagi. Mereka beranggapan Sumpah Pemuda sebagai peristiwa sejarah
yang mengikat kita semua sebagai suatu bangsa. Namun, ikatan
tersebut dipertanyakan manfaat, bahkan keabsahannya. Kalangan
kedua melihat peringatan hari Sumpah Pemuda dengan optimisme
dan rasionalitas. Mereka beranggapan peringatan hari Sumpah
Pemuda
merupakan
momentum
yang
tepat
untuk
melakukan
perenungan kembali atas hikmah peristiwa sejarah di atas dalam
konteks kekinian. Mereka dengan jernih berargumentasi bahwa
kemelut bangsa saat ini lahir bukan karena Sumpah Pemuda.
Justeru peristiwa sejarah itu merupakan guru bijak jaman, yang
penting untuk kita simak bersama dan dijadikan bekal memperbaiki
keadaan. Semoga sebagian besar bangsa Indonesia memperingati
17
Sumpah Pemuda dengan optimisme.
Penjaminan Mutu
Pada Pendidikan Tinggi
I
Pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan luar
biasa
untuk
terus
meningkatkan
mutu
kompetitif
tingkat
internasional. Mereka dituntut dari waktu ke waktu untuk mengejar
standar mutu yang semakin tinggi karena inovasi teknologis,
dinamika sistemis, dan respon perilaku pasar pragmatis-rasional.
Banyak
lembaga
pendidikan
tinggi
mulai
menjalankan
reformasi dalam rangka memperbaiki mutu yang secara komparasi
masih relatif memprihatinkan. Salah satu langkah yang ditempuh,
mereka mengembangkan sistem penjaminan mutu. Namun, pada
umumnya
lembaga
pendidikan
tinggi
terjebak
oleh
kekeliruan
mendasar dalam memahami, merumuskan dan menerapkan sistem
penjaminan mutu.
Tulisan ini bermaksud meluruskan kekeliruan tersebut agar
penjaminan mutu tidak menjadi kemewahan yang menambah parah
masalah, tetapi ia benar-benar tampil sebagai solusi.
II
Lembaga pendidikan tinggi di tanah air tumbuh bak jamur di
musim
penghujan.
Dewasa
ini
terdapat
dua
ribuan
lembaga
pendidikan tinggi swasta dan 77 lembaga pendidikan tinggi negeri.
Lembaga pendidikan tinggi tersebut, terutama universitas dan
institut, dapat dibedakan pada beberapa kategori kasar seperti kecil,
menengah dan besar. Universitas besar, hampir semuanya berada di
18
pulau Jawa dengan jumlah dapat dihitung oleh jari. Kebanyakan dari
universitas besar tersebut berstatus negeri.
Empat universitas dan institut negeri terkemuka, yaitu UI,
UGM, ITB, dan IPB sejak Desember tahun 2000 mulai memasuki era
tata-kelola yang lebih otonom. Semangat yang kental mewarnai era
baru
tersebut
adalah
mendorong
potensi
keempat
lembaga
pendidikan tingga menjadi motor penggerak reformasi pendidikan
tinggi di tanah air. Diharapkan keempat lembaga pendidikan tinggi di
atas dalam waktu yang tidak terlalu lama mampu menjadi unggulan
di tengah kancah percaturan internasional.
Keempat lembaga pendidikan tinggi tersebut bergiat melakukan
reformasi termasuk memelopori upaya penerapan sistem penjaminan
mutu. Gaung reformasi tersebut mulai dapat dirasakan hingga ke
seluruh pelosok tanah air.
Kini sistem penjaminan mutu menjadi wacana dan praktek
yang mulai ramai dilakukan oleh banyak lembaga pendidikan swasta
dan negeri, baik pada kategori kecil, sedang, maupun besar.
Jika kita cermati respons terhadap wacana dan praktek sistem
penjaminan mutu yang terjadi dewasa kini, kita akan mendapati tiga
corak ekstrim sebagai berikut.
Ekstrim pertama, mereka mencampur-adukan pemahaman
konsep dan praktek sistem penjaminan mutu dengan akreditasi.
Dengan mengikuti prosedur akreditasi, mereka beranggapan telah
menerapkan sistem penjaminan mutu. Nilai akreditasi memang dapat
mencerminkan potret mutu pada saat tertentu, menurut standar
yang telah ditentukan oleh badan terkait. Namun, ia sebenarnya
tidak langsung terkait dengan komitmen internal lembaga pendidikan
tinggi yang bersangkutan untuk menjalankan tata-kelola berdasarkan
sistem dan prosedur baku yang dirumuskan sendiri.
Singkat kata, akreditasi merupakan instrumen birokratis untuk
“kendali mutu”. Sedangkan sistem penjaminan mutu merupakan
mekanisme internal organisasi yang menjadi cetak-biru seperti apa
mutu prediktif dihasilkan dan dikembangkan.
19
Ekstrim
kedua,
ditengah-tengah
ketidakjelasan
mengenai
kedua hal tersebut di atas, lembaga pendidikan tinggi tergoda untuk
mendirikan badan struktural penjaminan mutu. Namun, namun
secara konsep dan peran tidak lain dan tidak bukan lembaga ini
merupakan miniatur dari badan akreditasi yang terdapat di tingkat
supra-struktur.
Ekstrim ketiga, meskipun pemahaman mengenai penjaminan
mutu telah relatif jelas, namun mereka terperangkap pada perspektif
deduktif-generalistik serta salah kaprah di tataran operasional.
Setidak-tidaknya kita akan menemukan dua pola kekeliruan
dari kelompok ekstrim ketiga ini. Pola pertama, lembaga pendidikan
tinggi membentuk badan struktural tersendiri yang menjalankan
tugas penjaminan mutu. Biasanya tugas pertama yang mereka
jalankan adalah merumuskan sistem dan prosedur baku yang
bersifat general dan diberlakukan untuk semua unit.
Sistem dan prosedur generalistis memuat kelemahan fatal
dalam hal rigiditas dan akomodasi pola-pola unit yang bersifat tipikal,
namun produktif. Sementara itu, keterlibatan unit dalam perumusan
sistem dan prosedur biasa sangat terbatas dan bersifat tambahan.
Pola kedua adalah lembaga pendidikan tinggi mencari jalan
pintas dengan ”membeli” sistem dan prosedur untuk diterapkan.
Langkah seperti ini biasanya menjebak lembaga pendidikan tinggi
pada harapan berlebihan dan politis dari sertifikasi, yang tipis
batasnya dengan strategi semu mengelabui pasar. Lebih parah lagi,
kastemisasi menjadi suatu persoalan yang luar biasa sulit dilakukan,
ditengah sosok sistem yang kaku dan umum.
Singkat
kata,
ketiga
ekstrim
pemahaman
dan
praktek
penjaminan mutu pendidikan tinggi seperti diuraikan di atas
merepresentasikan kegagalan kita semua dalam mengambil solusi
masalah akut daya saing rendah.
20
III
Istilah “mutu” pendidikan tinggi idealnya difahami pada mata
rantai proses produksi, konsumsi, dan reproduksi akademis. Sering
kita terjebak melihat mutu universitas hanya secara indikatifkuantitatif pada produk akademis semata seperti lulusan, hasil riset,
publikasi, serta “pelayanan” masyarakat.
Padahal, mutu produk akademis tersebut sangat ditentukan
oleh proses produksi dalam suatu kompleks struktur akademis dan
non-akademis. Proses produksi akademis tersebut melibatkan subjek
ajar, staf akademis, staf non-akademis; nilai bersama, kepemimpinan,
infrastruktur,
kapital
kebudayaan,
kekuatan
finasial,
jejaring,
komunikasi, dan sebagainya.
Selain itu, mutu pendidikan tinggi dapat ditelusuri jauh pada
relevansi serta kepuasan pemakai; bahkan pada proses reproduksi
lembaga maupun aktor yang terkait di dalamnya. Proses reproduksi
difahami sebagai “pemulihan tenaga” dari lembaga dan aktor demi
kesinambungan proses produksi itu sendiri.
Memang dalam proses tata kelola mutu pendidikan tinggi
dilihat hanya pada dua hal: produk akademis dan proses produksi
yang merahiminya. Agar mutu produk akademis dapat diprediksi dan
dapat dikembangkan menurut penaraan tertentu, proses produksinya
perlu ditopang oleh sistem dan prosedur “baku” dari aspek akademik
maupun non-akademik.
Istilah baku merujuk pada sistem dan prosedur akademik atau
non akademik yang dirumuskan secara cermat dan ringkas atas
dasar cara kerja yang ada. Jadi, ia berbeda dengan generalisasi yang
umumnya
menggunakan
pendekatan
dari
atas
kebawah,
dan
menutup ruang tipikalitas.
Sistem dan prosedur baku tersebut menjamin terjadinya
efisiensi dan efektivitas tata-kelola akademis dan non akademis,
sekaligus menjamin konsistensi mutu proses dan produk dari
universitas. Penjaminan mutu pendidikan tinggi, dengan demikian,
21
berjalan dengan sendirinya, melekat pada penerapan sistem dan
prosedur baku baik di bidang akademis maupun non-akademis.
Agar komitmen lembaga dan aktor yang terkait konsisten dalam
menjalankan sistem dan prosedur yang telah dirumuskan sendiri,
dapat menggunakan lembaga sertifikasi profesional untuk melakukan
evaluasi.
Esensi
sertifikasi
di
sini
tidak
lain
adalah
“penegasan”
komitment dari lembaga pendidikan tinggi untuk menjalankan sistem
dan prosedur yang disepakati. Sekaligus, wujud pertanggungjawaban
lembaga pendidikan tinggi kepada publik berkepentingan untuk
memberikan layanan bermutu.
Sebenarnya, kita dengan menerapkan sistem dan prosedur
baku itu sendiri, tanpa sertifikasi, sudah lebih dari cukup. Publik
berkepentingan cukup cerdas untuk menilai mutu produk dan proses
dari suatu lembaga pendidikan tinggi.
IV
Sebaiknya penjaminan mutu dilakukan secara “total”, yaitu
menjangkau
aspek
akademik
maupun
non
akademik,
serta
mengintegrasikan keduanya. Perumusan sistem dan prosedur dapat
paralel atau salah satu didahulukan.
Menurut pengalaman, lebih besar manfaat membangun sistem
dan prosedur non akademik terlebih dahulu dari pada sebaliknya.
Hal
ini
terkait
dengan
logika
mendasar
strategi
membangun
kepercayaan dan merangsang keterlibatan semua unit yang menjadi
ujung tombak operasional.
Sistem dan prosedur, baik akademik maupun non akademik,
perlu
dirumuskan
secara
partisipatif
dengan
pendekatan
dari
“bawah” ke “atas”. Artinya, cara kerja akademik dan non akademik
yang
ada
di
unit
terkecil
universitas,
yaitu
program
studi,
diidentifikasi per komponen dan dipetakan.
22
Cara umum pemetaan adalah dengan menggambarkan cara
kerja dari semua komponen, dari awal (masuk) hingga akhir (file),
dengan menggunakan “bahasa” flow-chart. Dengan melihat peta di
atas, kita dapat mendiskusikan dan mengevaluasi cara kerja yang
selama ini dijalankan.
Biasanya kita akan terkejut, melihat bagaimana selama ini
sumber-daya manusia, waktu, dan sebagainya dihambur-hamburkan
karena proses terlalu panjang atau prosedur yang berbelit-belit. Kita,
melalui evaluasi cara kerja, intinya merumuskan operation-line yang
ringkas dan akurat untuk setiap komponen yang ada.
Agar operation-line dapat dijalankan secara manual, kita
pertama-tama
perlu
merumuskan
sistem
menu
untuk
setiap
komponen dan langkah. Sebaiknya, operation-line diuji-cobakan
secara manual, baru kemudian dilakukan dijitalisasi. Proses tersebut
dilakukan
dengan
menterjemahkan
operation-line
pada
bahasa
pemograman IT.
Sistem dan prosedur yang dijalankan seperti diuraikan di atas,
baik
digital
maupun
manual,
pada
dasarnya
memuat
secara
embedded mekanisme penjaminan mutu.
V
Sebagai penutup, lembaga pendidikan tinggi jika ingin benarbenar keluar dari lingkaran setan masalah rendahnya mutu, perlu
melakukan penjaminan mutu total.
Kita sepakat di sini, istilah total lebih merujuk pada upaya yang
mendasar, integratif, dan menyeluruh; sebagai kebalikan dari upaya
permukaan, .tambal-sulam, dan parsial.
Langkah penjaminan mutu seperti dikemukakan di atas akan
berhasil dengan baik apabila ditopang oleh gaya kepemimpinan
tertentu dari semua level hierarkhi lembaga pendidikan.
Diperlukan kepemimpinan yang jeli melihat prioritas, disiplin
23
dalam merajut sistem secara menyeluruh, fasilitatif, inspiratif,
pekerja keras, serta konsisten dalam menegakan berperspektif goodgovernance.
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT JAKARTA
Jakarta merupakan “jantung” masyarakat Indonesia transisi
menuju era the end of post-colonial Asia Tenggara abad ke-21. Ciri
dari masyarakat masa datang di atas adalah: 1) demokrasi; 2)
ekonomi pasar; dan 3) civil society. Ketiga indikator ideal di atas
menyiratkan signifikansi paripurna peranan masyarakat di bidang
politik, ekonomi, maupun sosial. Tampaknya, pergeseran “besar” ini
bersifat “unavoidable”: sebagai ikutan globalisasi dan perubahan
konteks sosio-politik nasional. Dalam rangka menyongsong era di
atas, Jakarta perlu melakukan langkah pemberdayaan dengan
orientasi pada tiga agenda besar di atas.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prioritas
utama.
Masyarakat
Jakarta
perlu
dipersiapkan
agar
mampu
menciptakan tata nilai, perilaku, dan arena demokrasi. Sementara
itu, secara ekonomi, masyarakat Jakarta dapat menikmati kiprah di
tataran
rumah tangga,
komunitas,
maupun
sistemik
ditengah
beroperasinya mekanisme ekonomi pasar. Demikian pula, secara
sosial ia terhimpun dalam aneka ragam asosiasi lokal sebagai ujung
tombak kehidupan multi-kultur yang produktif.
Pemberdayaan
masyarakat
Jakarta
banyak
mengalami
kemajuan jika dilihat jauh ke belakang. Pada tahun awal 1980-an,
konsep pemberdayaan masyarakat diterima dengan syak wasangka
pemerintah pusat dan daerah. Ia dilihat sebagai “ancaman” terhadap
kemapanan pendekatan keamanan yang bersifat fisik, mudah, dan
kurang cerdas. Pada awal 1990-an, tekanan” dari lembaga-lembaga
24
eksternal dan, untuk tingkatan tertentu, internal “mengarahkan
pemerintah untuk lebih serius mengadopsi konsep tersebut. Namun,
wujud konsep dan implementasi bersifat“hibrid”, distortif, serta tuna
“ruh”.
Memasuki abad ke-21, di awal tahun 2000-an ini, semangat
pemberdayaan masyarakat telah merasuki birokrasi, praktisi sosial,
bahkan kelompok masyarakat lokal itu sendiri. Hawa segar ini
dibarengi perkembangan metode yang kreatif, namun mandul di
tataran strategis. Hal ini tampaknya bertalian dengan “ketertinggalan”
horison filosofis dan teoritis.
Metode community development serta turunan inovatifnya yang
lebih menekankan fokus pada “orang”, partispatoris, serta nilai dan
teknologi
lokal;
kehilangan
ketajaman
dalam
menciptakan
perubahan. Ia tenggelam dalam lautan ekonomi-politik yang secara
sistemik memandulkan setiap langkah stimulasi dan intervensi.
Kembali di tataran hasil pemberdayaan masyarakat, dilakukan oleh
siapa pun, menjadi asesoris sosial yang mahal dengan hasil minimal.
Perlu menggeser cara pandang konvensional ke arah yang
mengakar dengan perkembangan filosofis dan teoritis baru dalam
rangka pemberdayaan masyarakat Jakarta. Di tengah mobilitas global
yang semakin “diverse”, peranan negara sukar diletakan pada wujud
“gardening”, developmentalis, serta dominan. Ia perlu bergeser ke
arah “game-keeper”, fasilitatif, serta terbatas. Negara, termasuk di
tingkat lokal, berperan dalam pemberdayaan di tataran regulasi dan
atmosfir yang kondusif bagi masyarakat untuk bernafas menurut
ritmenya sendiri.
Namun terdapat transisi yang perlu diteratas. Pada era ini
pembangunan masyarakat Jakarta perlu diprioritaskan pada tiga
dimensi triangular: 1) pengakuan atas hak tanah dan tempat tinggal
warga; 2) pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan komunitas; dan
3) kanalisasi politik warga. Jika sukses menjalankan tiga strategi di
atas, ritme nafas masyarakat akan produktif dalam ruang negara
yang nyaman.
25
Otonomi Daerah dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat di NTB
I
Sejak tahun 1970-an, masyarakat Indonesia telah terintegrasi pada
sistem ekonomi kapitalis dunia. Mulai dekade tersebut daerah-daerah
di Indonesia berkembang pesat. Kemudian stagnan dan lambat pada
krisis ini. Memang perkembangan di atas lebih dapat diamati dalam
konteks kota. Dalam hal ini pembangunan lebih bias kota dan
cenderung mengenyampingkan perdesaan. Tidaklah mengherankan
apabila kesenjangan kota dan desa muncul. Lebih dramatis lagi, kotakota berkembang secara tidak seimbang. Terdapat kota utama yang
berkembang pesat, namun kota-kota lain bersifat periferal dan
tumbuh lambat.
Sebagai contoh kota Jakarta muncul sebagai kota utma yang relatif
“maju”, “modern”, “makmur”. Penduduk kota Jakarta pada awal
tahun 1970 berjumlah sekitar 4 juta orang. Jumlah ini berlipat
menjadi sekitar 12 juta di tahun 2001 ini (estimasi konservatif).
Sedangkan luas wilayah kota dalam kurun waktu yang sama
bertambah dari sekitar 300 km2 menjadi sekitar 700 km2. Sementara
itu, kepadatan penduduk pun turut meningkat pesat. Catatan
statistik memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk (population
density) Jakarta dewasa ini berada pada kisaran di atas 13 ribu orang
per km2. Pertumbuhan kota di atas di sumbang oleh tiga hal.
Pertama adalah jumlah migrasi masuk (net in migration). Kedua,
adalah kelahiran alamiah. Dan ketiga adalah aneksasi wilayah
perdesaan menjadi bagian dari administrasi-politik Jakarta.
Gambaran di atas sangat kontras dengan situasi kota Mataram yang
relatif kecil. Perubahan dari segi perkembangan kota dari tahun
26
1970-an hingga kini memang ada. Namun, perubahan tidak terjadi
secara dramatis seperti dialami kota-kota metropolitan. Penduduk
kota ini bertambah memang hampir dua kali lipat selama tiga
dasawarsa terakhir. Demikian pula perluasan wilayah kota terjadi
secara signifikan. Namun kawasan-kawasan bisnis di kota ini relatif
lamban berkembang, meskipun untuk sektor industri parawisata
mengalami kemajuan besar.
Salah satu solusi untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, kota,
bahkan kawasan adalah otonomi daerah. Otonomi daerah sebagai
konsep telah lama diwacanakan. Namun demikian, keputusan politik
berupa perumusan konsep dalam bentuk peraturan perundangundangan baru dilakukan beberapa tahun yang lalu. Implementasi
dari otonomi daerah ini kini masih tersendat-sendat dan terkantuk
beberapa hal seperti SDM yang belum memadai, budaya birokratis
serta masyarakat yang tidak kondusif, dan sebagainya. Sebagai
contoh, SDM terbaik daerah selama ini banyak terserap ke Jakarta.
Hal ini dimengerti karena pada sistem yang sentralistik, kesempatan
karier dan lain sebagainya lebih menjanjikan apabila mereka berada
di pusat. Budaya birokrasi pun tidak kalah penting untuk disimak.
Selama tiga dekade rekrutmen staf birokrasi bias kepentingan politik
partai pemerintah. Rekrutmen tidak didasarkan pada perhitungan
yang mengacu pada efisiensi dan profesionalitas, namun lebih
merujuk
pada
pertimbangan
sosial
politik.
Birokrasi
menjadi
“gemuk”, “idle” dan bersifat “high-cost”. Dalam situasi seperti korupsi
dapat meruyak dipelbagai lapisan, karena kontrol yang lemah dan
tingkat gaji yang rendah. Di tengah situasi tersebut, pemerintah
mengambil posisi sebagai aktor utama dari pembangunan dan tidak
memberi ruang untuk tumbuh subur partisipasi masyarakat. Aspek
budaya ini tampaknya hingga kini masih kental melekat di tingkat
birokrasi maupun masyarakat.
27
II
Budaya korupsi merupakan penyakit yang harus dikikis di era
otonomi daerah. Upaya yang dilakukan tampaknya perlu bersifat
komprehensif. Pertama harus diciptakan suatu keteladanan dari para
pemimpin untuk bersikap jujur, bersih, dan mempunyai integritas.
Langkah kedua kedua diciptakan semacan “anti-corruption scheme”.
Hal tersebut merupakan langkah sistimatis dan strategis dalam
upaya membersihkan birokrasi dari korupsi. Skim ini mulai dengan
batasan
dan
pemahan
yang
jelas
mengenai
tindak
korupsi,
perumusan dalam bentuk tata aturan hukum, pembenahan birokrasi
termasuk perbaikan
kesejahteraan
secara
bertahap,
penerapan
manajemen dan pengawasan terbuka, dan sebagainya. Hal ketiga
yang perlu dilakukan adalah law-enforcement. Penegakan hukum ini
dilakukan secara tegas, keras dan kosisten sehingga terdapat suatu
kepastian
dikalangan
anggota
masyarakat
mengenai
implikasi
pelanggaran hukum.
III
Otonomi daerah mempunyai saudara kembar, yaitu partisipasi
masyarakat (citizen participation). Partisipasi masyarakat dengan
demikian identik dengan otonomi daerah. Dengan kata lain, otonomi
daerah sukar dibayangkan untuk sukses tanpa partisipasi dari warga
masyarakat. Hal ini terkait dengan bergesernya peranan pemerintah
dari “gardening” menuju “game-keeper”.
Masyarakat Indonesia kini tengah memasuki era kehidupan global.
Dalam kaitan ini globalisasi difahami sebagai proses yang ditandai
oleh adanya mobilitas yang semakin aneka ragam di atas muka bumi
ini. Mobilitas fisik, uang, imaji, barang, hingga sampah kini terjadi
secara lintas masyarakat. Mobilitas yang diverse di atas dapat bersifat
28
hibrid (Urry, 1999). Perkembangan di atas secara nyata merubah
peran negara, termasuk pemerintah daerah (local state). Peran ini,
meminjam istilah Bauman (1997), berubah dari “gardening” menjadi
“gamekeeper”.
Peran pertama (gardening) merujuk pada peran pemerintah daerah
yang demikian “besar”. Peranan tersebut analog dengan seorang
pekebun/petani yang tengah melakukan kegiatan “bertani”. Dalam
kaitan ini, analogi menunjukan terdapat pembedaan yang tegas
antara “kebun” (garden) dan pekebun (gardener). Pekebun terlibat
dalam aspek detil kegiatan pengolahan kebun seperti menentukan
jenis tanaman, metoda dan praktek bercocok tanam, bahkan jenis
ternak yang terdapat di area pertanian tersebut.
Secara lebih kongkret peran pemerintah daerah di atas dicontohkan
oleh fenomena “developmentalist state” (negara/pembangun) dari
pemerintah daerah selama tiga dasa warsa silam. Pemerintah daerah
selain berperan di level regulasi juga menjadi aktor pembangunan
yang signifikan. Sementara itu para wakil rakyat berperan dalam
menentukan mana yang perlu dan tidak perlu untuk digarap. Dalam
posisi serupa, ilmuwan sosial dilibatkan dilibatkan dalam proses
“husbandry” sumber daya. Mereka memberikan sodoran model-model
intervensif serta masukan mengenai apa yang perlu dan tidak perlu
diprioritaskan.
Peranan pemerintah daerah seperti digambarkan di atas di era global
berubah pada bentuk fasilitatif (“gamekeeper”). Ia seyogyanya tidak
masuk ke area detail. Negara mempunyai peran regulatif, yaitu
mengatur lalu lintas “gembalaan” (modal, barang, informasi, dsb.) di
dalam arealnya, maupun secara lintas area (lintas batas masyarakat
baik secara nasional maupun internasional). Dengan kata lain, peran
pemerintah daerah melalui kebijakan dan regulasi diibaratkan
sebatas menjaga “jumlah khewan buruan” agar mencukupi bagi para
29
“pemburu” yang akan melakukan kegiatan perburuan pada musim
tertentu. Para wakil rakyat, dalam konteks ini, layaknya lebih
disibukan
dengan persoalan
mendasar
masyarakat
yang
lebih
eksistensial-universal. Dalam cara pandang yang sama, para ilmuwan
sosial, dengan orientasi pada pemeliharaan semangat keilmuan yang
otonom,
hirau
pada
penciptaan
iklim
yang
kondusif
bagi
perkembangan civil society.
III
Jadi, “mitos” bahwa pemerintah daerah bersifat “superior” di atas kini
tidak relevan lagi dan perlu dirubah. Pemerintah daerah mempunyai
keterbatasan yang nyata dalam banyak hal termasuk sumber daya
manusia, finansial, dan informasi yang akurat mengenai mekanisme
kongkrit kehidupan dan kebutuhan warganya. Warga “miskin”, yang
merupakan
bahagian
terbesar
penduduk
tidaklah
mungkin
dientaskan oleh program-program pemerintah yang berfokus pada
indikator output ekonomi dan pembagian sumber daya finansial.
Mereka
membutuhkan
sentuhan
yang
berbeda,
yaitu
yang
menempatkan mereka sebagai fokus utama. Langkah pembangunan
sosial pun dapat ditempuh dengan pendekatan empatis, people
centred social development, sehingga partisipasi dan sinergi daya
masyarakat dapat diciptakan.
30
Perlu dicatat di sini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
sejalan dengan semangat di atas. Pertama, penggunaan kekuasaan
dalam
setiap
implementasi
pembangunan
sosial
termasuk
perencanaan, sepatutnya disosialisasikan terlebih dahulu. Kedua,
pemunculan lembaga baru akan lebih bermanfaat (fungsional) jika
ditempuh melalui mekanisme “bottom up” yang demokratis. Ketiga,
proses belajar masyarakat dalam “lembaga baru” tersebut bersifat
kontekstual-alamiah. Selain ketiga hal di atas, kami mencatat
signifikansi
pemanfaatan
teknologi
yang
bersifat
lokal
serta
dipadukan dengan pengetahuan “akademis”. Proses pemaduan ini
sangat
tergantung
pada
kepiawaian
“manajer
pembangunan”
bertindak fasilitatif.
IV
Contoh pendekatan yang keliru dapat disimak dalam praktek
program JPS di masa krisis sosial melanda NTB. Krisis (crisis)
dimengerti secara umum sebagai “an unstable or crucial time or state
of affairs” (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Secara
sfesifik, krisis sosial mengacu pada kehidupan masyarakat yang
penuh ketidakpastian, rawan, mempunyai kohesi yang rapuh, serta
lemahnya peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial dapat
disimak dewasa ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak
didik, maraknya fenomena anak jalanan, rawan pangan yang
merebak di perkotaan dan perdesaan, tingkat kriminalitas yang
meningkat secara dramatis, penafian hukum, pelanggaran hak asasi
kerap terjadi, lemahnya moral birokrasi, serta bangkitnya visi
komunalisme yang sempit dan destruktif.
Sebagaimana dikenal luas, salah satu langkah kongkrit yang diambil
31
pemerintah, termasuk pemerintah NTB, untuk mengurangi intensitas
maupun dampak krisis sosial bagi kalangan miskin adalah program
Jaring Pengaman Sosial (social savety net program). Program ini telah
dilaksanakan dalam bentuk lain jauh sebelum krisis melanda.
Program pengentasan kemiskinan Orde Baru, lengkap dengan segala
kekuranganya, dapat dilihat sebagai bagian dari hal ini. Sedangkan
penerapan pada masa krisis semakin banyak di dukung oleh dana
pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi dana telah banyak dilakukan
meskipun dinilai masih lambat. Kelambatan ini diakibatkan tidak
adanya infrastruktur sistem distribusi yang komunikatif terhadap
pola
kehidupan
sosial
masyarakat
sasaran
program
Selama
penerapan yang telah dilakukan terutama pada paruh terakhir 1998
dan awal tahun ini, evaluasi menunjukkan bahwa efektivitas program
ini sebagai salah satu langkah mengatasi krisis sosial adalah relatif
rendah.
Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan
masyarakat yang berada dalam kondisi “emergensi”, sehingga mereka
dapat bangkit dan pada gilirannya membawa dampak pada daya
tahan serta perbaikan ekonomi secara keseluruhan (lihat Gunawan
Sumodiningrat 1999). Namun sayangnya titik berat implementasi
program lebih bersifat jangka pendek, “delivery”, dan sekali beri.
Implementasi semacam ini terbukti merupakan salah satu major
culprits dari kegagalan JPS selama ini di tanah air kita. Program ini
akhirnya bersifat tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan, dan
menebar bibit baru penyalahgunaan uang rakyat (lihat Rubin dan
Rubi 1987). Faktor kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program
yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang rentan
penyelewengan dan korupsi. Transparansi alokasi program dan
pertanggungjawaban sulit diharapkan dalam mekanisme kronis
seperti saat ini.
Bahkan secara politik, praktek program ini mengundang kecurigaan
32
sementara
masyarakat
bahwa
pemerintah
mempergunakannya
sebagai instrumen “money politics”. Hal ini bertalian dengan waktu
pelaksanaan program, yang entah secara kebetulan, berdekatan
dengan penyelenggaraan Pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari
pinjaman luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari
berhutang. Jadi dana ini bukan milik pemerintah (rejim) atau partai
politik yang berkuasa, namun milik negara atau seluruh rakyat yang
harus dipergunakan secara bertanggung jawab.
Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait
juga dengan aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah
hanya membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan,
kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal,
yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi
seperti dilakukan di tingkat komunitas.
Kalau pun ada disadari pentingnya tataran ini, pemahaman diwarnai
penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal
yang potensial dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Wirutomo
1997).
Selanjutnya,
pemahaman
semacam
ini
menafikan
pula
struktur dan organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan
“entry point” yang efektif untuk mengatasi persoalan mikro secara
berkesinambungan seperti upaya mengatasi krisis sosial di atas.
Menilik beberapa kekeliruan seperti digambarkan di atas, program
JPS yang secara real ditopang dana pinjaman luar negeri yang cukup
besar, implementasinya harus mendapat koreksi total di tingkat
palsafah strategi maupun implementasi. Palsafah dari JPS adalah
pemberdayaan
sosial
(social
empowerment).
Jadi
program
ini
sebaiknya bersifat mendidik untuk mampu mengatasi permasalahan
dengan
mengerahkan
potensi
sendiri.
Jadi
program
bersifat
berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa dampingan, dan
ditumbuhkan perilaku kolektif ditingkat mikro yang mencerminkan
33
nilai rukun, perduli, mandiri dan produktif dari ide dasar JPS yang
semestinya
berorientasi
pada
agenda
lebih
luas
seperti
pemberdayaan, demokratisasi, dan penegakkan hak asasi dalam
kerangka pembangunan civil society. Dalam konteks ini civil society
dipahami sebagai “a social sphere of freedom, voluntary association,
and plurality of human relationships, identities, differences, and values
as contrsted with the coercive political power of state and government
(Lihat Payne 1998).
VI
Beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan di sini adalah
peranan pemerintah daerah dalam pembangunan masyarakat. Ia
seyogyanya bergeser ke bentuk yang lebih fasilitatif. Namun demikian,
pergeseran
ini masih
mengembangkan
memungkinkan
secara
optimal
pemerintah
program
daerah
pembangunan
untuk
sosial.
Berbicara mengenai pembangunan sosial di perkotaan, salah satu hal
yang perlu ditempuh adalah memilih strategi pembangunan yang
melihat
“masyarakat”
sebagai
fokus utama.
Dengan
demikian,
program pembangunan sosial akan dijalankan dalam pijakan potensi
lokal. Strategi ini mencakupi tehnik yang cermat dalam pemanfaatan
pengetahuan/teknologi lokal, organisasi akar rumput, dan sebagainya.
Referensi
Fischer, C (1984) The Urban Experience. Harcourt, New York.
Jarry, R and J. Jarry (1987) Dictionary of Sociology. Collins, London.
Krausse, G (1975) “Kampung of Jakarta”. Dissertation at Pitsburg
University.
Nakagawa, N (1998) The Crisis in Indonesia (unpublished paper).
PSJ-UI, Jakarta.
Payne, Michael (ed.) (1998) A dictionary of Cultural and Critical Theory.
34
Blackwell, Cambridge.
Rubin, Herbert J and Irene Rubin (1992) Community Development and
Community Organization. Macmillan, New York.
Somantri, Gumilar (1995) Migration within Cities: A Study of
Socioeconomic Processes, Intra-City Migration, and Grassroots Politics
in Jakarta. UMI, Michigan.
Somantri,
Gumilar
(2000)
Village
in
Motion.
Time
Publisher,
Singapore.
Urry, John (1999) Sociology beyond Societies. Routledge, London.
Webster New Encyclopedic Dictionary 1994. HR, New York.
Mudik Warga Jakarta
Menjelang hari raya Idul Fitri dan tahun baru banyak diantara
warga
Jakarta
mudik.
Jumlah
warga
mudik
setiap
tahun
diperkirakan secara kasar mencapai lebih dari separuh warga kota.
Tidaklah mengherankan, apabila pada saat liburan di atas, lalu-lintas
dan
pusat-pusat
keramaian
kota
Jakarta
menjadi
lengang.
Tampaknya, hal ini sejalan dengan tesis yang mengatakan bahwa
kota Jakarta dibangun oleh keberadaan para “pendatang” (Jelinek
1991; Evers dan Korff 2000).
Pada masa awal integrasi masyarakat pada Indonesia sistem
ekonomi dunia, tingkat rasionalisasi masyarakat Jakarta relatif
belum berkembang (Somantri 2001). Fenomena mudik di masa
tersebut bertalian dengan motif pengisian kembali “enersi” sosiokultural tradisional warga kota terkikis dalam persentuhan dengan
pola-pola kehidupan modern-metropolitan. Jadi, mudik merupakan
penegasan rutin keanggotaan warga Jakarta pada komunal daerah
asal.
Warga
yang
tidak
mudik
biasanya
diinterpretasikan
berdasarkan alasan yang familiar: berhalangan atau mulai “lupa”
asal-usul.
Tampaknya globalisasi telah menggeser motif mudik ke arah
35
yang lebih rasional. Warga Jakarta mudik karena alasan praktis: 1)
rekreasi
keluarga
dalam
suasana
kekeluargaan;
2)
pertemuan
keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat. Warga
yang tidak mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka
difahami dalam penjelasan rasional seperti sibuk dengan pekerjaan,
masalah transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya. Meskipun
demikian, pada kalangan tertentu, ketidakhadiran di hari raya masih
dapat menjadi pertanyaan penting.
Akankah fenomena mudik sirna? Warga Jakarta mempunyai
konteksnya sendiri yang tipikal. Namun demikian, kenyataan bahwa
Jakarta merupakan kota utama yang turut menyangga sistem
ekonomi kapitalis, adalah sulit untuk dipungkiri (Smith dan Feagin
1991; Sassen 1994). Dalam kaca mata ini, kota Jakarta merupakan
pintu arus rasionalisasi. Dalam kaitan ini, tampaknya kita dapat
memprediksi beberapa hal sebagai berikut. Pertama, di masa datang
akan
terjadi
pengurangan
jumlah
warga
yang
mudik
sebagai
konsekuensi dari efisiensi. Kedua, mudik akan menjadi semacam
gaya hidup yang bersifat rasional dan dilakukan tidak hanya pada
even hari raya namun pada saat cuti kerja. Ketiga, mudik dapat
bertalian dengan aspek pengembangan jaringan ekonomi. Dengan
kata lain, mudik akan tetap ada meskipun dalam format berbeda.
Tampaknya fenomena mudik secara sistemik mempunyai sisi
untung dan rugi. Keuntungan yang jelas adalah mudik merupakan
moda sosial-alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formal
dirasakan buntu. Orang mudik biasanya membawa cukup uang yang
dibelanjakan dan didistribusikan dikalangan keluarga dekat di
daerah. Mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses
reproduksi
ekonomi
yang
berguna
bagi
warga
Jakarta
untuk
memulihkan enersi produktif (lihat Saunders 1995). Melalui mudik
modal sosial (jaringan ekonomi diantara anggota keluarga luas dan
kenalan) warga Jakarta dapat dipupuk. Kerugian sistemik adalah
terkait dengan masalah transportasi, keamanan, lingkungan, dan
ekonomi rumah tangga. Namun demikian, masalah ini dapat dilihat
36
sebagai tantangan bagi negara untuk fasilitasi: 1) pengembangan
sistem
transportasi
cepat
dan
massal;
2)
keamanan
berbasis
kesejahteraan warga; 3) sistem keamanan sosial dan kerja termasuk
cuti. Melalui peran negara di atas, mudik akan menjadi perilaku
warga Jakarta yang nyaman dan berdimensi sosial-ekonomi rasionalproduktif.
Benarkah PK-5 Biang Kemacetan?
Kemacetan lalu-lintas di Jakarta sering terjadi. Telah banyak
diskusi dan seminar dilakukan. Namun masalah ini tidak pernah
dapat terselesaikan. Hal yang menarik adalah, beberapa fihak
terutama
pemerintah,
menjadikan
PK-5
sebagai
biang
kerok
kemacetan lalu lintas. Atas nama kemacetan razia dan penertiban
PK-5 dilakukan. Tampaknya terdapat beberapa persepsi yang harus
diluruskan mengenai penyebab kemacetan yang sebenarnya dan
peranan PK-5 bagi kehidupan ekonomi kota Jakarta.
Tidaklah meragukan lagi, dampak dari kemacetan lalu-lintas
sangat luas dan kompleks. Kemacetan lalu lintas diyakini berkorelasi
positif dengan tingkat polusi udara. Kemacetan lalu lintas pun
diketahui berkaitan dengan produktivitas kota. Dapat dibayangkan
orang-orang di kota Tokyo, Hongkong, atau Singapura mampu
menyelesaikan transaksi tiga hingga lima kali per hari. Di Jakarta,
kita paling-paling hanya mampu menyelesaikan satu transaksi
karena dihadang kemacetan. Dampak lain masih banyak, misalnya
stress warga, kriminalitas, pemborosan, dan sebagainya.
Untuk kasus Jakarta tampaknya terdapat beberapa penyebab
kemacetan. Pertama adalah tingkat kepadatan kendaraan yang
terlampau tinggi. Perbandingan panjang jalan (5000 km) dengan
jumlah kendaraan (3 juta buah) diwakili oleh angka sangat tidak
masuk akal (Dikun 1996). Kedua adalah sistem infrastruktur
37
transportasi yang tidak terintegrasi. Arus keluar masuk jalan tol
sering kali menimbulkan kemacetan lalu-lintas di seksi arteri atau
jalan dalam kota lainnya. Sementara itu, sistem pengaturan limpahan
arus lalu lintas di bagian persimpangan jalan belum tertata dengan
baik. Ketiga, sistem terminal dan parkir yang kacau. Penyebab lain
adalah banjir, unjuk rasa, kerusakan mesin, dan kecelakaan lalu
lintas.
Adalah menyesatkan apabila kita memasukan PK-5 sebagai
biang
kemacetan.
Memang
PK-5
sering
tampak
memperparah
kemacetan yang terjadi di dekat pusat-pusat keramaian. Namun,
penyebab utamanya adalah tingkat kepadatan kendaran tinggi, parkir
kendaraan pribadi, dan sistem pengaturan lalu lintas yang kacau di
kawasan tersebut (Somantri 1997). Di negara-negara maju, pusat
keramaian dibebaskan dari lalu-lalang kendaraan beroda empat. Ia
dibiarkan menjadi zona pejalan kaki. Bahkan, di Eropa, Jepang, dan
Australia, PK-5 dapat beroperasi di kawasan ini dan menyemarakan
suasana kota.
Bagi kota Jakarta, keberadaan shadow economy seperti PK-5
adalah penting. Ia bukan saja menyediakan lapangan kerja alternatif
di tengah-tengah krisis ekonomi yang menghimpit. Namun, bertalian
dengan mekanisme ekonomi dari rumah tangga ketika berhadapan
dengan derasnya ekspansi pasar (Portes 1994: Evers 1991). Karena
alasan serupa pemerintah Bangkok pada tahun 1980-an membangun
kawasan PK-5 yang sangat luas di tengah kota. Kawasan ini menjadi
objek wisata dan belanja turis. Tampaknya kebijakan di atas perlu
ditiru di Jakarta dan menjadi imbangan “mimpi” dikembangkannya
kawasan perbelanjaan modern. Bahkan
Sementara itu, kemacetan lalu lintas perlu diatasi secara
istematis dan terintegrasi, mulai dari memperpanjang ruas jalan,
memperbaiki sistem jalan dan rambu lalu-lintas, menata sistem
parkir (vertikal), serta pengembangan moda transfortasi alternatif
ramah
lingkungan.
Hal
yang
tampaknya
penting
adalah
mengembangkan sistem dan moda transportasi modern yang efisien
38
dan ramah lingkungan semisal kereta bawah tanah (mass rapid
transit), jalan susun tiga light rapid transit, tol dan arteri serta KRL
untuk akses dari dan ke daerah penyangga.
Menggagas Kementrian Jabotabek
1. Kawasan
Jabotabek
secara
sosio-ekonomis
terintegrasi.
Kawasan ini mendekati gambaran sebuah “megapolitan”, yaitu
gabungan atas beberapa kota metropolitan. Secara umum
sebuah kota metropolitan mencakupi keberadaan sebuah kota
utama dan sekurang-kurangnya satu kota satelit.
2. Dahulu, kita dapat memahami terdapat satu kota metropolitan
di Jabotabek, yaitu Jakarta. Kota utama Jakarta dikelilingi oleh
tiga kota “satelit” Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Ketiga kota
“satelit” tersebut kini telah berkembang pesat menjadi kota
utama yang masing-masing mempunyai satelitnya sendiri. Jadi,
terdapat empat kota metropolitan kini di kawasan Jabotabek
yang secara sosiologis dan ekonomis membentuk Megapolitan
Jabotabek dibentuk dari integrasi empat kota metropolitan
Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.
3. Fenomena integrasi di atas membawa implikasi pada semakin
kompleksnya dimensi masalah kota dan pelayanan publik.
Misalnya, masalah banjir, kemacetan lalulintas, sampah, dan
lain-lain. Hal tersebut tidaklah mungkin ditangani pada lingkup
kewenangan dan kebijakan spesifik kota tersebut.
4. Tidaklah mengherankan manajemen kota acap menjadikan
parsialitas penanganan masalah kota sebagai kambing hitam
dari kegagalan mereka langkah mereka dalam mengatasi banjir,
tidak lancarnya mobilitas warga, dan sebagainya.
5. Dalam konteks ini mengemuka suatu ide untuk menyatukan
Jabotabek
sebagai
suatu
kesatuan
administrative
politik
dibawah suatu kementrian. Apakah ide ini suatu solusi? Atau
39
hanya sebuah langkah yang akan menambah runyamnya
persoalan?
6. Tampaknya tampa konsep dan persiapan yang matang hampir
dipastikan realisasi gagasan kementrian yang baru akan
menjadi asesori politik yang kurang berguna dan mahal
harganya.
7. Terdapat sekurang-kurangnya tiga keuntungan sosio-ekonomis
yang dapat diraih apabila gagasan tersebut terealisir. Pertama,
manajemen Jabotabek akan mempunyai payung politis yang
relatif kuat. Dengan meletakan manajemen kota dibawah
sebuah kementrian khusus, Jabotabek, terutama Jakarta,
dapat melepaskan diri segala kegamangan dan tumpang tindih
kewenangan dengan pemerintah pusat. Kedua, penanganan
masalah kota tidak terkotak-kotak oleh sekat administrasi
politik kota-kota yang melibatkan keperluan koordinatif dari
tiga propinsi yang berbeda. Ketiga, akan lahir suatu kekuatan
social-ekonomi yang luar biasa baik dari segi skala, dinamika,
maupun potensi pengembangan sebagai kawasan unggulan di
samping kawasan-kawasan lain.
8. Namun demikian, terdapat prasyarat yang apabila tidak
dipenuhi, akan berakibat pada tidak tercapainya harapan di
atas.
Pertama
Kementrian
adalah
yang
kepemimpinan
ditandai
oleh
ciri:
dari
“top-manajer”
full
commitment,
mempunyai kemampuan manajemen komunikasi prima, kreatif
dan mempunyai naluri bisnis tinggi, mempunyai visi jauh ke
depan dengan orientasi pada tataran pergaulan bangsa yang
lebih luas, serta mempunyai keberanian dalam mengambil
terobosan-terobosan strategis.
9. Kedua, dilakukan pembenahan terlebih dahulu pada system
birokrasi di keempat kota Jabotabek, terutama DKI Jakarta.
Pembenahan administrasi dimulai dengan penataan system
administrasi keuangan dan akuntasi mulai dari unit terkecil
ditarik hingga tingkat “pusat”. Perlu identifikasi dan perumusan
40
kembali operation line, menu system sekaligus komponen yang
diperlukan
dalam
rangka
digitalisasi.
Dengan
demikian,
keempat kota secara administrasi keuangan akan rapih dan
bersih. Akuntabilitas, transparan dan efisiensi ditopang oleh
tampilan data yang bersifat real-time, on-line, serta diketahui
neraca harian, mingguan, serta bulanannya.
10.Core business Dari keempat kotaadalah pelayanan publik.
Dalam konteks ini perlu pula dilakukan penataan dalam format
yang kurang lebih sama. Sehingga, pelayanan yang berkualitas
dapat dihasilkan.
11.Dalam kondisi DKI Jakarta dan kota-kota lainnya yang secara
manajemen kota rapih seperti dikemukakan di atas sangat
produktif
apabila
dipersatukan
dalam
koordinasi
suatu
kementrian. Kawasan ini akan menjadi motor luar biasa dari
proses perubahan birokrasi, ekonomi, dan social dari bangsa
ini.
Memerangi Korupsi
1) Terdapat ironi yang melekat dalam kehidupan intelektual kita.
Persoalan-persoalan besar seperti korupsi dalam masyarakat
ini tenggelam dalam saputan “kanibalisme intelektual”. Yaitu,
suatu wacana “semu” yang bersifat dangkal, involutif, dan jauh
dari pemecahan persoalan secara mendasar.
2) Hal di atas salah satunya bertalian dengan mandegnya tradisi
riset yang “serius”. Riset seperti ini, selain dilakukan secara
ekstensif dan komprehensif, juga mempergunakan perspektif
teoritis dan metodologis yang tepat. Artinya, riset tanggap akan
konteks masyarakat yang diteliti dan perkembangan ilmu yang
terjadi.
3) Ditengah mandegnya tradisi riset, hasil karya PSPK ini
41
merupakan langkah yang patut diberi penghargaan. Terutama,
studi ini berusaha mempergunakan perspektif mutakhir dalam
melihat
kompleks
persoalan
yang
terjadi.
Yaitu,
ia
menggabungkan perspektif ekonomi politik dan kajian budaya.
Meskipun, dari segi penggunaan metode, masih merujuk
tradisi kualitatif-positivistik.
4) Beberapa kritik yang merupakan tantangan kedepan bagi kita
semua untuk mengembangkan riset lebih lanjut adalah sebagai
berikut.
5) Perspektif
ekonomi
politik
disadari
sebagai
bagian
perkembangan mutakhir tradisi konstruktivis. Ciri yang umum
adalah daya kritis terhadap realitas. Ia menerima kapitalisme
sebagai kerangka besar kehidupan masyarakat manusia, juga
menerima “pencerahan” sebagai ruh dari “kemajuan” dan
“perkembangan”. Ia mempunyai keberpihakan pada “rakyat”
yang tertindas, agar mereka dapat mempunyai posisi lebih baik
dalam struktur kapitalistik yang tak terhindarkan.
6) Kajian budaya pada umumnya melihat realitas dalam posisi
yang berbeda: sebagai konstruksi lingistik. Faktor bahasa,
terutama bahasa pakai, adalah sangat penting. Namun, perlu
difahami di sini bahwa kajian budaya pada umumnya bersifat
dekonstruktivis. Mereka menolak, jika tidak melarang, ide
“pencerahan”. Mereka melihat realitas modern penuh dengan
hirarki
sehingga
perlu
diruntuhkan.
Apa
yang
mereka
namakan sebagai realitas baru, masyarakat posmo, tidak
dilihat sebagai kelanjutan histories masyarakat tradisional dan
modern, namun sebagai realitas alternatif-dekonstruktivis.
7) Ditengah
dua
“rekonstruktivis”.
tradisi
di
Habermas
atas,
terdapat
termasuk
kalangan
diantaranya.
Ia
mengkritik “pencerahan” dan modernitas, seperti halnya tradisi
filsafat Kartesian. Ia menelanjangi positivisme dengan daya
kritis “scientism”. Namun ia merasa tidak perlu menolak
“pencerahan”.
Ia
lebih
setuju
dengan
“redirection”
dari
42
“pencerahan”.
8) Ketiga tradisi di atas membawa implikasi metodologis. Sebagai
contoh
tradisi
perkembangan
dekonstruktivis
di
bidang
sangat
metoda
lekat
kualitatif
dengan
(misalnya
semiologi), yang tidak memisahkan antar teori dan metode.
Metode tidak semata-mata instrumen pengumpulan data,
namun juga pisau analisa.
9) Jadi studi korupsi di masa dating memang baik melakukan
semacam penggabungan perspektif. Namun perlu disadari
posisi teoritis dan implikasi metodologis. Tentu saja terdapat
implikasi serius pada formulasi pemecahan masalah. Sebagi
contoh
jika
kajian
budaya
dilihat
tidak
pada
tataran
“konvensional” tentunya akan merujuk pada peran media.
Dalam
kaitan
ini,
media
dapat
dijadikan
“alat”
untuk
penyebarluasan ide-ide dan ideologi-ideologi (difahami sebagai
distorted language) anti korupsi. Di sinilah kita berbicara
memerangi korupsi dalam arti tepat.
43
44
Download