4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Karakteristik Morfologis Ikan Bilih Klasifikasi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) menurut Sa’anin (1979) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Cyprinoidea Familia : Cyprinidae Sub Familia : Cyprininae Genus : Mystacoleucus Spesies : Mystacoleucus padangensis (Blkr.) Sinonim : Mystacoleucus marginatus CV. Ikan bilih adalah ikan endemik yang hidup di Danau Singkarak, Sumatera Barat. Sebagai ikan endemik, ikan bilih hidup dalam geografis yang terbatas sehingga di dunia hanya ditemukan di Danau Singkarak. Oleh karena itu, Danau Singkarak merupakan habitat asli dari ikan bilih. Nama Indonesia ikan ini adalah “Bako” dan nama lokalnya Bilih. Secara morfologik bentuk tubuh ikan bilih hampir menyerupai ikan tawes (Puntius javanicus CV) namun tubuhnya lebih ramping. Panjang ikan bilih dewasa berkisar antara 58,00-107,00 mm dengan panjang rata-rata 89,00 mm. Berat badan ikan bilih berkisar antara 3,00-10,50 gram dengan berat rata-rata 6,80 gram. Tinggi badan rata-rata 18,50 mm dan ekor bertipe “homocercal”. Pada garis sisi (linea lateralis) terdapat sisik yang bertipe sikloid sebanyak 35 buah dan di atas garis sisi sebanyak 5 buah. Sisik daerah perut sampai ekor bagian bawah berwarna putih keperakan, sedangkan sisik di atas garis sisi atau bagian punggung berwarna agak 5 gelap (kecoklatan). Ikan bilih tidak mempunyai sungut (Jafnir 1989 in Yonwarson 1996). Bentuk morfologi ikan bilih dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan bilih merupakan jenis ikan yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan. Hal ini diduga karena ikan bilih bersifat ”endemik” dan relatif sulit beradaptasi dengan lingkungan di luar perairan umum Danau Singkarak, sehingga tidak dapat menyebar secara alami (Azhar 1993). Gambar 1. Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) (Dokumentasi pribadi 2009) 2.2. Habitat dan Ruaya Pemijahan Ikan bilih adalah ikan air tawar yang hidup di perairan umum, terutama di Daerah Sumatera Barat (Weber & Beaufort 1916 in Azhar 1993). Selanjutnya Rachmatika (1986) in Azhar (1993) menyatakan bahwa ikan bilih adalah jenis ikan yang dominan hidup di Danau Singkarak. Hal ini diduga karena habitat danau ini sangat mendukung semua proses daur hidupnya. Disamping itu ikan bilih ini dikategorikan sebagai ikan yang hidup di kolom air dari dasar sampai ke permukaan (bentho-pelagis), terutama di perairan dangkal atau litoral dan tergolong pemakan plankton (plankton feeder) (FISHBASE). Seluruh habitat perairan Danau Singkarak disukai oleh ikan bilih dengan tingkat kesukaan (keterkaitan) yang sama. Hal ini terlihat dari distribusi ikan bilih yang hampir merata di seluruh perairan, sehingga peluang ikan ini untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia relatif besar jika dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya yang hidup di Danau Singkarak (Yonwarson 1996). 6 Koesbiono (1980) in Azhar (1993), mengemukakan bahwa dalam suatu habitat tertentu anggota-anggota dari suatu spesies akan dipengaruhi oleh anggota-anggota spesies yang lain, bila niche ekologi kedua spesies ini sama. Bila ada dua spesies yang kebutuhannya akan pangan dan atau faktor-faktor ekologi lainnya sama, maka akan terjadi persaingan (kompetisi). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa secara umum kompetisi yang terjadi dalam suatu habitat bertindak sebagai pengatur, misalnya dalam mengatur kepadatan populasi spesies lain yang hidup dalam niche ekologi yang sama. Secara umum ikan bilih menyukai perairan yang jernih, suhu perairan rendah (26,0-28,0 oC) dan daerah litoral perairannya berbatu kerikil dan atau berpasir (Azhar 1993). Karakteristik limnologis Danau Singkarak, hasil pengamatan tahun 2003, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakterisitik hidrologis Danau Singkarak No. Parameter Hidrologis Satuan 1 Luas permukaan air Ha 11.220 2 Kedalaman maksimum M 250 3 Kecerahan air cm, secchi disk 4 Suhu air o 5 pH Unit 8,10-9,00 6 Alkalinitas mg/l 11,10-26,50 7 Kandungan oksigen terlarut mg/l 2,60-8,20 8 Nitrat (NO3) mg/l 0,00-0,27 9 Fosfat (PO4) mg/l 0,90-0,21 10 Produktivitas primer mg C/m3/hari 11 Kelimpahan plankton sel/l 12 Tekstur daerah litoral - C Danau Singkarak 320-380 27,20-29,50 125,20-625,60 55.470-230.515 Pasir, lumpur Keterangan: Parameter hidrologis diukur pada permukaan air sampai kedalaman 25 meter Sumber data : Purnomo et al. (2003) Ikan bilih memiliki pola ruaya pemijahan (spawning migration) yaitu ikan melakukan ruaya pemijahan secara teratur dan berkala ke daerah “spawning ground” (daerah /tempat dimana ikan-ikan tersebut dilahirkan) dan selanjutnya melakukan ruaya ke daerah “feeding ground” untuk mendapatkan makanan. Dalam hal ini, 7 konsep reproductive homing merupakan faktor penting dan dominan dari beberapa stok ikan dimana ikan kembali dan menempati daerah asal kelahirannya untuk melangsungkan proses reproduksi, daripada pergi ke tempat lain walaupun lingkungannya sama. Ikan bilih masuk ke danau dengan kondisi airnya jernih, berarus, dasar perairannya berbatu kerikil dan atau pasir. Induk-induk ikan tersebut mulai masuk sungai pada sore hari secara bergerombol untuk memijah di muara sungai. Puncak pemijahan terjadi pada malam hari menjelang pagi, sekitar jam 3 sampai 5 pagi. Telur yang transparan hasil pemijahan yang telah dibuahi akan bergerak terbawa arus air masuk ke danau dan menetas di perairan muara, sedangkan larva dan benihnya tumbuh di danau sampai dewasa (Purnomo et al. 2006). Ikan bilih menuju kedaerah pemijahan dengan sifat pemijahan ”partial spawner” yaitu tidak mengeluarkan telur matang sekaligus dalam satu kali periode pemijahan (Syandri 1996). Menurut Lowe Mc Connel (1975) in Syandri (1996), pemijahan ikan yang bersifat partial merupakan adaptasi ikan terhadap lingkungan perairan sungai yang kondisinya relatif labil. Ikan bilih tergolong heteroseksual yakni spermatozoa dan sel telur masingmasing dihasilkan oleh individu yang berbeda. Oleh sebab itu testis dan ovari ditemukan berkembang secara terpisah sejak fase benih dan kemudian setiap individu tetap berkelamin betina atau jantan selama hidupnya. Ikan bilih yang masih kecil (< 48 mm) testis dan ovarinya belum berkembang sehingga tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya secara makroskopis. Ikan bilih memiliki tanda-tanda luar (ciri kelamin sekunder) yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk membedakan antara ikan betina dan jantan. Ikan bilih jantan bentuk tubuhnya agak langsing sedangkan betina lebih gemuk. Ikan jantan dan betina matang gonad pertama kali masing-masing pada ukuran 50 mm dan betina 55 mm, berumur enam bulan. Pada ikan bilih matang gonad terdapat sirip ekor yang berwarna keemasan, sedangkan yang belum matang gonad tidak ditemukan warna demikian. Warna kuning pada sirip ekor ikan bilih merupakan ciri tingkat kematangan gonad yang tinggi dan akan memasuki saat pemijahan (Syandri 1996). 8 2.3. Makanan dan Kebiasaan Makan Makanan adalah organisme, bahan, maupun zat yang dimanfaatkan ikan untuk menunjang kehidupan organ tubuhnya. Makanan merupakan faktor yang mengendalikan populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan. Kebiasaan makanan (food habits) ikan merupakan hal yang berhubungan dengan jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sementara itu, kebiasaan cara makan (feeding habits) merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan caranya makanan tersebut didapat. Kebiasaan makanan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, dan umur ikan. Suatu spesies ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanannya. Tidak semua jenis makanan yang tersedia di sekitarnya dimakan dan dapat dicerna dengan baik oleh ikan (Durr and Gonzales 2002). Nikolsky (1963) menyatakan bahwa urutan kebiasaan makan pada ikan dibedakan atas empat kategori berdasarkan persentase bagian terbesar yang terdiri dari: (1) makanan utama yaitu makanan yang biasa dimakan dalam jumlah yang besar; (2) makanan pelengkap yaitu makanan yang ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan tambahan yaitu makanan yang terdapat dalam saluran pencernaan dalam jumlah sangat sedikit. Selain itu ada pula makanan pengganti yaitu makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia. Tidak semua jenis makanan yang ada di lingkungan perairan disukai oleh ikan. Beberapa faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu makanan oleh ikan adalah ukuran, warna, tekstur, dan selera ikan terhadap makanan. Ikan cenderung mencari makan pada daerah yang disukainya dan kaya akan sumberdaya makanan (Effendie 2002). Struktur organ pencernaan juga sangat berperan dalam adaptasi ikan terhadap makanan. Struktur organ pencernaan tersebut diantaranya adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung, dan usus (Lagler et al. 1977). Ikan pada umumnya akan mencari makanan yang jenis dan ukurannya sesuai dengan bentuk dan ukuran mulutnya. Apabila ikan tersebut bertambah besar maka ia akan mengubah makanannya, baik dalam ukuran maupun kualitasnya. Panjang usus menggambarkan spesialisasi penyesuaian di dalam kebiasaan makanan. Berdasarkan kepada jenis makanannya ikan dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu ikan 9 herbivora dan pemakan detritus, ikan karnivora, serta ikan omnivora (Effendie 2002). Masing-masing kelompok tersebut mempunyai struktur anatomis saluran pencernaan yang agak berbeda (Huet 1971), seperti disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan struktur anatomis saluran pencernaan pada ikan-ikan herbivora, karnivora, dan omnivora (Huet 1971) Kategori Ikan Organ Herbivora Karnivora Omnivora Tulang tapis insang Banyak, panjang, dan rapat Sedikit, pendek dan kaku Tidak terlalu banyak, tidak terlalu panjang, dan tidak terlalu rapat Rongga mulut Sering tidak bergigi Umumnya bergigi tajam dan kuat Bergigi kecil Lambung Tidak berlambung/ Berlambung palsu Berlambung dengan bentuk yang bervariasi Berlambung dengan bentuk kantung Usus Ukurannya sangat panjang, beberapa kali dari panjang tubuhnya Pendek, kadangkadang lebih pendek dari panjang tubuhnya Sedang, 2-3 kali dari panjang tubuhnya Berdasarkan kepada jumlah variasi dari macam makanan yang dikonsumsi, ikan dapat dikelompokkan atas: (1) euryphagic, yaitu ikan pemakan bermacammacam makanan; (2) stenophagic, yaitu ikan pemakan makanan yang macamnya sedikit atau sempit; dan (3) monophagic, yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja (Nikolsky 1963). Lagler et al. (1977) mengemukakan studi-studi makanan dapat memperlihatkan secara mendetail hubungan ekologis diantara organisme-organisme, maka diperlukan indentifikasi secara menyeluruh dari jenis–jenis makanan tersebut. Organisme yang hidup juga berinteraksi satu dengan yang lainnya dan dengan lingkungan abiotik melalui beberapa cara serta tidak ada organisme yang hidup bebas dari pengaruh lingkungannya. Ikan bilih merupakan jenis ikan pemakan fitoplankton dan zooplankton (plankton feeder). Jenis fitoplankton yang dominan dimakan adalah Surirella sp., Cymbella sp., Navicula sp., dan Cyclotella sp. (Bacillariophyceae), selanjutnya adalah Pediastrum sp., Chlorella sp., Cosmarium sp., dan Oocystis sp., 10 (Chlorophyceae), Oscilatoria sp., Croccocus sp., (Cyanophyceae), Peridinium sp., (Dinophyceae), sedangkan jenis-jenis zooplankton adalah Keratella sp., (Rotifera), Cyclops sp., Diatomus sp., serta Daphnia sp., (Crustacea) (Azhar 1993; Syandri 1996; Kaz 1996 in Kham 1998). Menurut Azhar (1993) dan Yonwarson (1996), sebagai pemakan plankton (plankton feeder), makanan utama ikan bilih adalah fitoplankton dan zooplankton, sedangkan makanan pelengkapnya adalah detritus dan potongan tumbuhan. Ada sekitar 43 genus plankton dimanfaatkan sebagai makanan oleh ikan bilih. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jenis makanan ikan bilih beragam. Disamping beragamnya jenis makanan, ikan bilih juga selektif memilih jenis makanannya. Ada 3 jenis plankton yang disukai ikan bilih, yaitu Euastrum sp., dan Microspora sp., (Desmidiaceae) serta Oedogonium sp., (Chlorophyceae). Fitoplankton mempunyai peranan yang besar dan merupakan dasar dari kehidupan organisme perairan. Fitoplankton mampu mengikat energi matahari melalui proses fotosintesa dalam bentuk substansi organik yang dapat digunakan sebagai pakan bagi organisme konsumen. Kesuburan suatu perairan tergantung kepada produksi fitoplankton (Ilyas 1989 in Kham 1998). Menurut Effendie (2002), kebanyakan cara ikan mencari makanan adalah dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makanan terutama oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya atau dalam perairan keruh. Pada umumnya ikan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kebiasaan makanannya serta dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Selanjutnya Bhukaswan (1980) menyatakan bahwa variasi distribusi ikan di suatu perairan adalah berhubungan dengan kebiasaan makanan dan ketersediaan makanan. 2.4. Relung Makanan Relung makanan adalah kebiasaan makan suatu spesies ikan terhadap satu atau beberapa jenis makanan yang mengindikasikan adanya perbedaan sumberdaya makanan yang dimanfaatkan oleh suatu organisme (Pianka 1981 in Asyarah 2006). Relung ekologis suatu organisme harus tersedia di dalam habitatnya. Akan tetapi, konsep relung menyangkut pertimbangan yang tidak hanya sekedar tempat tinggal 11 organisme. Kedudukan yang ditempati oleh suatu spesies di dalam jaring-jaring makanan merupakan faktor utama dalam menentukan relung ekologisnya. Beberapa faktor lain juga ikut terlibat, diantaranya adalah suhu, kelembaban, salinitas dan sebagainya, yang dapat diterima oleh setiap dua spesies dalam suatu habitat untuk ikut menentukan relung ekologisnya. Tiap faktor yang merupakan bagian dari relung suatu spesies biasanya berkisar sekitar suatu kisaran nilai (Asyarah 2006). Luas relung makanan yang besar mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lebih beragam. Sebaliknya, jika luas relung makanannya sempit atau kecil berarti ikan cenderung melakukan seleksi terhadap makanan tertentu. Organisme yang memakan sejumlah sumberdaya makanan diduga luas relungnya akan meningkat, walaupun ketersedian sumberdaya tersebut rendah (Anakkota 2002 in Asyarah 2006). Luas relung akan tinggi jika organisme mengkonsumsi jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis yang dikonsumsi dalam jumlah yang sama. Sebaliknya, luas relung akan rendah jika organisme hanya memanfaatkan satu jenis makanan (Levins 1968 in Krebs 1989). Selanjutnya Keast (Steele 1970 in Effendie 2002) mengemukakan bahwa ikan yang berukuran kecil menggunakan tingkat makanan atau niche tunggal. Semakin besar ukurannya (tumbuh), maka ikan akan merubah dietnya dan bersama-sama mengisi dua macam niche makanan atau lebih. Hal tersebut mengakibatkan pengurangan persaingan intraspesifik sehingga mungkin terjadi transisi yang meliputi perubahan proporsi dasar makanan yang dimakannya. Tumpang tindih relung (niche overlap) makanan adalah penggunaan bersama atas seluruh sumberdaya makanan oleh dua spesies ikan atau lebih. Bila nilai tumpang tindih yang diperoleh berkisar satu, maka kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama. Bila nilai tumpang tindih yang diperoleh sama dengan nol, menyatakan bahwa tidak diperoleh jenis makanan yang sama antar kedua kelompok yang dibandingkan (Colwell and Futuyma 1971). Persaingan dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya makanan yang sama oleh dua atau lebih spesies dapat menimbulkan kematian atau kepunahan jenis ikan tertentu. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumberdaya makanan di suatu perairan. Persediaan makanan di perairan akan mempengaruhi pertumbuhan ikan 12 dan hanya ikan-ikan yang kuat dalam persaingan yang dapat tumbuh dengan baik (Weatherley 1972). 2.5. Hubungan Panjang - Berat dan Faktor Kondisi Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis hubungan panjang dan berat ikan tersebut. Hubungan ini juga dapat menerangkan pertumbuhan ikan, kemontokan, dan perubahan lingkungan (Effendie 1979). Azhar (1993) mendapatkan hasil pengukuran panjang total ikan bilih jantan berkisar antara 43 - 88 mm dengan berat berkisar antara 1,00 - 8,70 gram. Ikan bilih betina, ukurannya relatif lebih panjang dan beratnya lebih besar dibanding ikan jantan, yang mana panjang dan berat total masing-masing berkisar antara 50 – 99 mm dan 1,90 – 14,40 gram. Pertumbuhan panjang total ikan bilih jantan dan betina lebih cepat dari pada pertumbuhan berat. Ikan bilih betina mempunyai berat tubuh lebih berat daripada ikan jantan pada ukuran panjang total yang sama. Hal yang sama juga dilaporkan dari hasil penelitian Anhariah (1988), bahwa ikan bilih jantan lebih kecil daripada ikan betina. Panjang rata-rata ikan bilih betina dan jantan dari hasil penelitiannya, masing-masing adalah 92,60 mm dan 75,70 mm. Hasil penelitian Kham (1998) memperlihatkan pola pertumbuhan yang berbeda pada ikan bilih jantan dan betina. Panjang total ikan bilih jantan berkisar antara 75 – 96 mm dengan kisaran berat antara 3,12 - 6,35 gram, sedangkan panjang total dan berat ikan bilih betina berkisar antara 86 – 101,75 mm serta kisaran antara 4,78 – 8,15 gram. Pola pertumbuhan yang ditentukan melalui hasil analisis hubungan panjang-berat menunjukkan untuk ikan bilih jantan adalah W = 7,5895 x 10-9 L 4,5690 (r = 0,9057) dan untuk ikan bilih betina adalah W = 1,3299 x 10-3 L 1,8591 (r = 0,9484). Dengan demikian didapatkan pola pertumbuhan allometrik positif untuk ikan bilih jantan dan allometrik negatif untuk ikan bilih betina (Kham 1998). Berdasarkan hasil laporan Institute for Regional Economic Research pada tahun 1988, ikan bilih yang tertangkap mempunyai berat mencapai 17,00 gram. Disamping itu Sa’anin (1979) menyatakan bahwa panjang tubuh ikan bilih tidak pernah lebih dari 116 mm. Bervariasinya berat dan panjang ikan bilih yang ditemukan oleh setiap peneliti, kemungkinan disebabkan karena alat tangkap yang 13 digunakan berbeda dan pengaruh faktor lingkungan yang berbeda karena waktu pelaksanaan penelitian yang juga berbeda-beda (Azhar 1993). Faktor kondisi didefinisikan sebagai keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi (Effendie 2002). Selain itu faktor kondisi dapat dipengaruhi oleh makanan, umur, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi dalam siklus hidup ikan mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini merupakan indikasi dari musim pemijahan. Ikan yang menggunakan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, pada umumnya akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie 1979). Kebutuhan ikan usia muda terhadap makanan cukup tinggi yang berguna untuk bertahan hidup dan melangsungkan pertumbuhannya sehingga faktor kondisi ikan yang berukuran kecil relatif tinggi dan akan menurun ketika ikan bertambah besar (Effendie 2002). 2.6. Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, atau massa dari suatu unit kehidupan secara bertahap dalam hitungan waktu. Hal ini dapat berlaku dalam bagian organisme, atau bahkan hingga dalam skala populasi. Dalam populasi, setiap bagiannya memiliki perbedaan dalam pertumbuhan bahkan ada yang bersifat negatif (Royce 1973). Dari sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas, dan reproduksi. Hanya sebagian kecil (biasanya 1/3 bagian) yang tersedia untuk pertumbuhan (King 1995). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar baik yang terkontrol maupun tidak terkontrol. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002), ketersediaan makanan, laju memakan makanan, nilai gizi makanan, dan faktor abiotik seperti ammonia dan pH (Woothon 1990 in Welcomme 2001). 14 Dalam menganalisis suatu populasi diperlukan ekspresi matematika yang menggambarkan pertumbuhan. Melalui ekspresi matematika ini maka ukuran baik panjang maupun berat suatu individu ikan pada umur tertentu dapat diduga (Gulland 1969). Beberapa model telah digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan matematika yang sederhana (Allen 1971 in King 1995). Menurut King (1995) salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan von Bartalanffy yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von Bartalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini karena persamaan pertumbuhan von Bartalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton dan Holt 1957). Kualitas dan kuantitas makanan merupakan hal yang paling mempengaruhi pertumbuhan, namun temperatur juga memiliki pengaruh yang besar. Kombinasi dari kedua faktor ini biasanya sangat berpengaruh di daerah perairan temperate atau wilayah artik yang membeku pada musim dingin. Hal ini dikarenakan ketika suhu mendekati 0oC maka aktivitas metabolisme dan pertumbuhan bersifat minimal (Royce 1973). Pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh perbedaan musim yang terjadi. Pada umumnya pertumbuhan ikan akan meningkat pada musim hujan (air naik) dan akan melambat pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan perubahan musim akan menyebabkan perubahan ketersediaan makanan, temperatur, aktivitas makan, dan aktivitas memijah (Welcomme 2001).