2 - ETD UGM

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam khazanah tafsir al-Qur’an kata dīn, millah dan syarī‘ah sering
dihubungkan. Tujuannya tiada lain untuk mendapatkan penjelasan mengenai
maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena tafsir itu sendiri sebagaimana
diungkapkan oleh Az-Zarkasī (1984: 13) adalah ilmu untuk memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjelaskan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
Dalam tafsir al-Manār misalnya, Rasyīd Riḍā (1947: 3/257) memaknai
ad-dīn dalam ayat
 
 
  
  
 
  
  (1)
(1) /Inna ad-dīna ‘indallāhi al-islāmu/
‘Sesungguhnya dīn di sisi Allah hanyalah Islam.’ (QS Ali Imran [3]:
19)
secara umum dengan al-millah dan
asy-syar‘u atau asy-syarī‘ah. Dengan
mengambil makna taklif (beban tanggung jawab manusia pada Tuhan) secara
umum ketiganya bermakna sama.
Kemudian dalam kitab tafsir al-Jāmi’u al-Ahkām al-Qurʼan, karya alQurthubī (t.t.: 4/137) dijelaskan bahwa, perintah mengikuti millah Ibrāhīm dalam
ayat
            (2)
(2) /Qul ṣadaqallāhu, fattabi‘ū millata Ibrāhīma ḥanīfan wa mā kāna min
al-musyrikīna/
2
‘Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”, maka ikutilah
millah Ibrāhīm yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang musyrik.’ (QS. Ali Imran [3]: 95)
adalah perintah untuk mengikuti dīn Ibrāhīm. Jadi millah menurut penafsiran ini
sama atau paling tidak identik dengan dīn.
Selanjutnya dalam tafsir al-Mishbah. Ketika menafsirkan ayat
             (3)
       
(3) /Li kulli ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājān, walau syā’allāhu
laja‘alakum ummatan wāḥidatan walākin liyabluwakum fī mā ātākum,
fastabiqū al-khairāt/
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan syarī’at dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan”. (QS al-Maidah [5]: 48),
Quraisy Shihab (2009: 3/139) menjelaskan bahwa al-Qur’an menggunakan kata
syarī‘ah dalam arti yang lebih sempit dari kata dīn yang biasa diterjemahkan
dengan agama. Syari’at adalah jalan terbentang untuk satu umat tertentu dan nabi
tertentu, seperti syari‘at Nūh, syari‘at Ibrāhīm, syari‘at Mūsā, syari‘at ’Īsā, serta
syari‘at Muhammad saw., sedangkan dīn/agama adalah tuntunan Ilahi yang
bersifat umum dan mencakup semua umat. Dengan demikian, agama dapat
mencakup sekian banyak syari‘at.
Apabila dilihat dalam kamus ternyata tiga unsur bahasa ini juga memiliki
keterkaitan. Di antaranya dalam kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia
karya Ahmad Warson Munawwir (1997: 437). Di sana kata dīn di antaranya
diartikan dengan kata millah. Kemudian Ibnu Manẓūr (t.t: 4271) dalam Lisān al-
3
‘Arab menerjemahkan kata millah di antaranya dengan kata asy-syarī‘ah dan addīn.
Dari fenomena tafsir ini dapat diketahui bahwa kata dīn,
millah dan
syarī‘ah ditafsirkan memiliki relasi makna. Adapun relasinya ditafsirkan
bervariasi. Sebagian menyatakan bahwa dīn, millah dan syarī‘ah memiki relasi
persamaan dan sebagian yang lain menyatakan bahwa syarī‘ah maknanya berada
dalam cakupan kata dīn.
Dari sudut pandang linguistik, berbagai kontruksi relasi makna memiliki
logika sendiri-sendiri. Relasi persamaan misalnya, ia membolehkan adanya
subtitusi. Sementara relasi ketercakupan, ia tidak memperbolehkan adanya
subtitusi. Hal ini dapat berdampak pada produk penafsiran. Apabila logika bahasa
ini digunakan untuk membaca ayat-ayat tentang hubungan antaragama
sebagaimana data (1), (2) dan (3) diatas, maka produk tafsir hubungan antaragama
bisa jadi juga bervariasi. Pembacaan subtitusi berarti menghindari konfrontasi
antara ayat yang satu dengan yang lain, tidak demikian bila dibaca dengan tidak
adanya subtitusi.
Kalau dilihat dari sisi ilmu tafsir, menghubung-hubungkan ayat dengan
ayat lain dalam menggali maksud kalam Tuhan ini bisa dijumpai dalam metode
muqārin,
mawḍū‘ī,
juga
dalam
teori
munāsabat
al-Qur’an.
Metode
muqārin (komparatif) adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau suatu
surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara
ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspekaspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan (Farmawy-al, 1977: 45).
4
Mengenai pembandingan ayat dengan ayat bisa pada ayat-ayat yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau bisa juga pada
ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.
Adapun tafsir mawḍū‘ī (tematik) adalah tafsir berdasarkan tema atau topik
tertentu. Penafsiran dengan metode ini di antaranya dilakukan dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari
berbagai ayat dan surat al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut
untuk menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan
dibahas. Menurut Nasrudin Baidan (2011:381) metode tafsir tahlīlī/tafṣīlī
(analitis) sangat mungkin memasuki wilayah mawḍū‘ī (tematik) bila pembahasan
yang dilakukan tidak lagi sebatas pemahaman yang luas, melainkan telah
menyelesaikan tema yang diangkat dalam ayat itu secara tuntas dan komprehensif.
Memang ada persoalan dalam metode ini, yaitu mengenai tolok ukur bahwa suatu
ayat ditafsirkan oleh ayat lain (al-Qur’ānu yufassiru ba‘ḍuhu ba‘ḍā), padahal
ayat-ayat tersebut secara susunan mushafi berjauhan letaknya. Dalam hal ini
Fazlur Rahman menyatakan bahwa tolok ukurnya adalah logis tidaknya hubungan
ayat tersebut (Mustaqim, 2006: 384).
Pembicaraan mengenai keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an tersebut juga bisa
diketemukan dalam teori munāsabat al-Qur’an. Teori ini menggarisbawahi bahwa
aspek-aspek tertentu yang menghubungkan antara satu kalimat dengan kalimat
lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam himpunan
beberapa ayat, ataupun satu surat dengan surat yang lain itu ada, baik ia dalam
5
bentuk konkret (hissī) ataupun dalam bentuk abstrak (aqlī atau khayalī) (Baidan,
2011:183-4).
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa peranan bahasa terhadap produk
tafsir adalah sangat besar. Hal ini disebabkan bahwa hubungan antara pikiran dan
bahasa adalah sangat erat, tidak terkecuali pikiran tentang agama dalam sebuah
tafsir. Pikiran-pikiran keagamaan itu merupakan bahasa, karena tiada cara lain
untuk berpikir tentang kenyataan agama selain lewat bahasa. Sebagaimana
dinyatakan oleh Kaelan (2009: 340) bahwa sesungguhnya bahasa itu merupakan
suatu ’pikiran’, sebab tiada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan itu selain
lewat bahasa. Dengan demikian logika bahasa juga sangat berpengaruh terhadap
konstruksi pikiran atau wujud pemahaman, tak terkecuali pemahaman agama
dalam sebuah tafsir. Sudut pandang tertentu terhadap bahasa akan mempengaruhi
bentuk pemahaman terhadap pesan bahasa tersebut.
Berangkat dari sini penulis akan meneliti apa sesungguhnya makna dīn,
millah dan syarī‘ah itu, bagaimana pandangan linguistik terhadap relasi makna
tiga unsur bahasa tersebut, dan apa implikasinya terhadap tafsir lugawī (bahasa)
mengenai hubungan antaragama? Sebagaimana telah diuraikan bahwa variasi
relasi makna tiga unsur bahasa ini diasumsikan memiliki pengaruh terhadap
bervariasinya produk tafsir hubungan antaragama.
1.2. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan
sebelum ini, maka masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah apa
6
sesungguhnya relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah menurut analisis linguistik,
dan apa implikasinya terhadap tafsir lugawī (bahasa) mengenai hubungan
antaragama. Secara terinci problem tersebut akan diurai secara berurut dengan
menjawab persoalan-persoalan berikut:
1) Apa makna dīn, millah, dan syarī‘ah?
2) Apa relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah?
3) Bagaimana implikasi relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah terhadap tafsir
lugawī (bahasa) tentang hubungan antaragama?
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah
untuk:
1) Menjelaskan makna dīn, millah, dan syarī‘ah.
2) Merumuskan relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah.
3) Mendeskripsikan implikasi metodologis rumusan relasi makna dīn, millah,
dan syarī‘ah terhadap tafsir lugawī (bahasa) tentang hubungan antaragama.
Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kajian linguistik dan
tafsir al-Qur’an. Dalam linguistik penelitian ini memberikan kontribusi terhadap
pengembangan teori bahasa, utamanya dalam bidang perkembangan makna dan
relasi makna tiga unsur bahasa al-Qur’an, yaitu dīn, millah, dan syarī‘ah. Adapun
dalam bidang tafsir penelitian ini berguna untuk pengembangan tafsir al-Qur’an
sebagai kitab petunjuk dengan pendekatan linguistik. Penting untuk mendekati alQur’an dengan pendekatan ilmiah meskipun al-Qur’an itu sendiri bukan kitab
7
ilmiah. Sebagaimana diungkapkan oleh Syahrūr (2014: 5) bahwa Kitab yang
diwahyukan bukan merupakan dalīl ilmiah, tapi dalīl keimanan. Untuk mengikuti
risalah Muhammad penyampaian dalīl ilmiah atas kebenarannya adalah dari sisi
luar Kitab itu sendiri.
1.4 Tinjauan Pustaka
Beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan relasi makna, dan tafsir
al-Qur’an tentang hubungan antaragama di antaranya adalah kajian yang
dilakukan oleh Waryono Abdul Ghafur (2008: 147-194) dalam disertasinya yang
berjudul “Millah Ibrāhīm dalam Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qurʼān” karya Muhammad
Husein Ath-Thabāthabā’ī. Dalam karyanya ini ia memperlihatkan bahwa
pengertian millah Ibrāhīm dalam tafsir Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qurʼān memiliki
hubungan dengan pengertian dīn dan syarī‘ah. Dīn memiliki pengertian yang
lebih umum dari pada syarī‘ah, dan millah. Millah adalah contoh kongkrit dalam
mengarungi dan menjalankan syarī‘ah sehingga sesuai dengan dīn. Namun
demikian penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menganalisis relasi makna
ketiga unsur bahasa al-Qur’an itu, tetapi untuk menggali pengertian millah
Ibrāhīm secara komprehensif sehingga dapat ditentukan siapa yang saja yang
termasuk di dalam millah tersebut dan berhak mendapatkan keselamatan dan
kesejahteraan.
Selanjutnya mengenai relasi tanda bahasa dan makna dalam bahasa Arab
pernah dikaji oleh Muhammad Yusuf (2008: 292-293) dalam disertasinya yang
berjudul “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab (Kajian atas
8
Pemikiran Ibn Fāris dalam al-Shāḥibī)”. Setelah melakukan kajian terhadap
pemikiran Ibn Fāris dalam al-Shāḥibi, ia menyimpulkan bahwa yang pertama, Ibn
Faris merupakan seorang yang menerima adanya sinonimi dalam bahasa Arab.
Adapun
sinonimi
yang
dimaksud
disini
adalah
sinonim
proposisional
(propositional synonymy) yang terwujud dalam perbedaan dialek, seperti kata
halafa/aqsama, dan sinonim menyepi (near synonymy) seperti (arāda/raghiba fi)
‘ingin’. Adapun mengenai sinonim mutlak (absolute synonymy), ibnu Fāris tidak
banyak berbeda dengan linguis-linguis modern baik yang berasal dari Barat,
seperti Cruse dan Lyons maupun yang berasal dari Arab seperti al-Tawwāb dan
Ya’kub yang menyatakan bahwa sinonim mutlak merupakan barang mahal yang
sangat sulit untuk dihidangkan oleh suatu bahasa.
Kedua, dalam hal relasi kehiponiman Ibnu Fāris tampak tidak
membedakannya dengan relasi makna kesinoniman. Dimana relasi makna
kehiponiman seperti nama-nama singa, madu, dan ular dimasukkan ke dalam
kajian kesinoniman. Adapun mengenai relasi kemeroniman Muhammad Yusuf
tidak menemukannya di dalam kitab al-Shāḥibi karya Ibnu Fāris yang ditelitinya
itu. Lebih lanjut Muhammad Yusuf menjelaskan bahwa sesungguhnya kajian
tentang kehiponiman dan kemeroniman merupakan kajian yang baru dalam
linguistik Arab (Yusuf, 2008: 293).
Ketiga, dalam hal relasi makna pertentangan, tampak adanya perbedaan
definisi yang cukup jauh antara Ibnu Fāris dengan linguis modern. Menurut Ibnu
Faris, pertentangan itu adalah satu kata sama bentuk yang memiliki dua makna
yang saling bertentangan. Adapun menurut kajian linguis modern relasi makna
9
pertentangan adalah dua kata yang memiliki bentuk yang berbeda dan berlawanan
makna (Yusuf, 2008: 294). Bila dilihat dari jenis oposisi maknanya menurut
penulis disertasi ini yang didasarkan pada karya Ibn Fāris juga tapi dalam kitab
yang berbeda, yakni al-Maqāyīs fi al-Lughah, kontranim dalam bahasa Arab itu
ada tiga macam jenis, yaitu kontranim antonim, komplementer dan direksional.
Kontranim antonim memiliki dua sub tipe, yakni kontranim antonim berkutub dan
kontranim antonim equipalen. Kontranim komplementer tidak memiliki sub tipe.
Adapun kontranim direksional meliputi, kontranim antipodal, kontranim
imbangan, kontranim reversif dan kontranim konversif (Yusuf, 2008: 295).
Kemudian secara khusus mengenai persoalan adakah relasi makna
sinonimi dalam al-Qur’an pernah dikaji oleh Muhammad Nuruddin al-Munajjad
(1997: 135-226), dalam penelitiannya At-Tarāduf fi al-Qurʼān al-Karīm (baina
an-Naẓariyyah wa at-Taṭbīq). Ia menyimpulkan bahwa sinonimi dalam al-Qur’an
itu tidak ada, namun ia tidak mengingkari adanya sinonim dalam Bahasa Arab
(Munajjad, 1997: 226). Pernyataannya ini disimpulkan setelah mengadakan
penelitian beberapa kata-kata dalam al-Qur’an yang tampak sinonim. Setelah
dilacak maknanya kemudian di dirujuksilang dengan definisi sinonim yang
sebelumnya telah disimpulkan. Menurutnya sinonim adalah dua kata yang
menunjukkan pada pengertian yang hakiki (bukan majazi/kiasan) serta tertentu
pada makna yang satu, deskripsi yang satu, dan lingkungan bahasa yang satu.
Oleh karena itu, tidak masuk dalam pengertian sinonim kata-kata yang termasuk
lafaẓ
murakab, kata-kata yang bermakna majazi/kiasan, dan kata-kata yang
digunakan karena alasan balagah. Juga tidak masuk dalam definisi sinonim dua
10
kata atau lebih yang tampak sama tapi berbeda deskripsi dan berbeda lingkungan
bahasanya (Munajjad,1997: 135). Setelah dirujuk silang ditemukan bahwa, dalam
kata-kata yang tampak sinonim tersebut terdapat; (1) perbedaan penunjukan (2)
perbedaan dari sisi keumuman dan kekhususannya. (3) perbedaan i’tibar (4)
sebab-sebab balagah dalam penggunaan kata-kata itu, misalnya kata-kata yang
bermakna majazi (kiasan), contohnya adalah kata syadīdun yang maknanya adalah
”bakhil”, dan (5) perbedaan dialek.
Masih dalam persoalan adakah relasi sinonimi dalam al-Qur’an, Abdul
Mustaqim (2006: 216-219) dalam disertasinya yang berjudul ”Epistemologi Tafsir
Kontemporer (Studi Komparatif antara Fazlur Rahman dan Mihammad Syahrur)”
melihat bahwa keberadaan relasi makna sinonimi dalam al-Qur’an itu masih
diperdebatkan. Fazlur Rahman agaknya masih mengakui prinsip sinonimitas atau
paling tidak ia mengakui similarity kata-kata dalam al-Quran. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa penjelasan Rahman ketika mengaplikasikan metode tafsir tematik.
Contohnya ketika ia menafsirkan konsep etika al-Quran dari term iman, islam dan
taqwa. Rahman melihat ketiga term tersebut secara esensial memiliki hubungan
dan similaritas makna sebagai basis dari konsep etika al-Qur’an. Sementara itu,
Syahrur menolak konsep sinonimitas dalam al-Quran, sebab menerima
sinonimitas sama dengan menolak historisitas perkembangan bahasa. Padahal
faktanya bahasa itu mengalami perkembangan diakronis. Namun demikian
pembahasan relasi makna sinonimi dalam disertasi ini dimaksudkan sebagai entri
perbedaan prinsip-prinsip penafsiran antara Fazlur Rahman dan Muhammad
Syahrur, tidak dimaksudkan untuk mengkaji secara komprehensif relasi makna
11
dīn, millah, dan syarī‘ah sebagai mana yang akan penulis lakukan dalam
penelitian ini.
Kemudian mengenai penggunaan pendekatan pragmatik dalam mengkaji
ayat-ayat al-Qur’an diantaranya pernah dilakukan oleh Mardjoko (2010). Dalam
disertasinya yang berjudul “Kalimat Interogatif (jumlah Istifhamiyyah) dalam alQur’ān (analisis Pragmatik)”, ia mendiskripsikan struktur kalimat interogatif
dalam al-Qur’an untuk selanjutnya dianalisis fungsi pragmatiknya dan prinsipprinsip jawabannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab kegelisahan
peneliti mengenai pemaknaan terhadap wacana kalimat interogatif (jumlah
istifhamiyyah) dalam al-Qur’an. Kalimat interogatif tersebut diasumsikan tidak
semuanya dimaksudkan untuk makna konvensional yang menuntut datangnya
jawaban dari lawan tutur, tetapi lebih banyak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan
lain diluar tujuan sebenarnya.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada beberapa fungsi pertanyaan
dalam al-Qur’an ditinjau dari perspektif tindak tutur ilokusi, diantaranya adalah
perintah, menghibur, penegasan, mengejek, dan menjelekkan. Adapun dari
jawabannya (jawab istifham) ada yang diduga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
kerja sama yang ditawarkan oleh Grice, terutama mengenai prinsip kuantitas dan
relevansi. Sebagai contoh penyimpangan terhadap prinsip kuantitas adalah jawab
istifham dalam QS al-A’raf [7]: 113-114. Dalam ayat ini penambahan jawaban
memang disengaja oleh penuturnya dan dimaksudkan untuk menunjukkan betapa
seriusnya penutur (Fir’aun) berkeinginan mendapatkan kemenangan dalam
pertandingan. Dengan adanya maksud tersebut, maka ketidak sesuaian jawaban
12
terhadap prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan (Mardjoko, 2010:
255)
Mengenai contoh penyimpangan terhadap prinsip relevansi adalah jawab
istifham dalam QS al-Baqarah [2]: 189. Ketidak sesuaian jawaban dalam ayat ini
memang disengaja oleh penutur, dan dimaksudkan untuk memberitahu kepada
lawan tutur bahwa jawaban yang lebih pantas bagi mereka adalah guna dan fungsi
bulan sabit itu, bukan sebab hakikinya tentang keadaan bulan secara ilmiah.
Pengalihan jawaban pertanyaan (istifham) ini disebabkan pada waktu itu akal
mereka belum disiapkan untuk mengetahui sebab yang sebenarnya, juga
mengingat untuk mengetahui sebab perubahan bulan sabit tersebut membutuhkan
ilmu yang berkaitan dengan falak dan geografi. Mereka belum disiapkan untuk
menerima pengetahuan tersebut. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa
Rasul memalingkan jawaban dari yang semestinya diberikan. Dengan alasan
tersebut kiranya dapat dimaklumi jika lawan tutur memberikan jawaban berbeda
dengan topik yang ditanyakan penanya (Mardjoko, 2010: 270).
Penelitian-penelitian terdahulu ini menunjukan bahwa makna itu
berkembang dikalangan pengguna bahasa. Sebagai contoh millah yang asalnya
bermakna ‘mengimlakkan’ kemudian ditafsirkan sebagai contoh kongkrit dalam
pengamalan syarī‘at. Dari fenomena perkembangan makna inilah para pengguna
bahasa sering dihadapkan pada pesan yang berbeda di dalam menangkap sebuah
tanda atau simbol bahasa. Dengan demikian tidak mustahil juga muncul berbagai
variasi relasi makna di dalam beberapa unsur bahasa yang bisa berdampak pada
penafsiran teks.
13
Berangkat dari fenomena perkembangan bahasa dan belum adanya
pembahasan mengenai “relasi makna dīn, millah, dan syarī‘ah serta implikasinya
terhadap tafsir hubungan antaragama” sebagaimana yang terlihat dalam kajian
pustaka yang penulis lakukan, maka penulis bermaksud untuk mengkajinya secara
komprehensif
relasi tiga kata tersebut untuk kemudian dicari implikasi
penafsirannya. Kajian ini menurut hemat penulis layak dan penting dilakukan,
untuk menyajikan analisis linguistik terhadap tafsir hubungan antaragama.
1.5 Kerangka Teori
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis relasi
makna kata dīn, millah, dan syarī‘ah dan implikasinya terhadap penafsiran alQur’an tentang hubungan antaragama, maka pada bagian ini akan diuraikan
apakah makna itu, bagaimana linguistik menganalisis relasi makna, dan metode
apa yang akan digunanakan untuk mengaplikasikannya dalam penafsiran alQur’an.
1.5.1 Makna dan Pemaknaan
Menurut Ogden dan Richard (1972: 186-187) makna adalah: 1) Suatu
perbendaharaan kata yang intrinsik. 2) Hubungan dengan benda-benda lainnya
yang unik, yang tak dapat dianalisis. 3) Kata lain tentang suatu kata yang terdapat
di dalam kamus. 4) Konotasi kata. 5) Suatu esensi. 6) Suatu aktivitas yang
diproyeksikan ke dalam suatu objek. 7) Suatu peristiwa yang dimaksud. 8)
Keinginan. 9) Tempat sesuatu dalam suatu system. 10) Konsekuensi praktis suatu
14
benda dalam pengamalan kita untuk waktu mendatang. 11) Konsekuensi teoritis
yang terkandung dalam suatu pertanyaan. 12) Emosi yang ditimbulkan oleh
sesuatu. 13) Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh
hubungan yang telah dipilih. 14) Efek-efek yang membantu ingatan kalau
mendapat rangsangan. Asosiasi-asosiasi yang diperoleh. 15) Beberapa kejadian
lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang pantas. 16) Suatu lambang
seperti yang kita tafsirkan. 17) Suatu yang kita sarankan. 18) Penggunaan
lambang yang dapat mengacu apa yang dimaksud. 19) Kepercayaan menggunakan
lambang sesuai dengan yang dimaksud. 20) Tafsiran lambang yang berkaitan
dengan hubungan-hubungannya, percaya tentang apa yang diacu, dan percaya
kepada pembicara apa yang ia dimaksud.
Selanjutnya menurut al-Khuli (1982: 166) makna adalah “mā yafhamuhu
asy-syakhṣu min al-kalimāti aw al-‘ibārāti aw al-jumali” (apa yang dapat
dipahami seseorang dari suatu kata, ungkapan atau kalimat.
Definisi ini memperlihatkan bahwa dengan mengetahui makna kata, baik
pembicara , pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar
atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya
tentang apa yang dibicarakan, didengar atau dibaca.
Dilihat dari jenisnya, Abdul Chaer (2007: 289-296) membagi
makna
menjadi 6 kategori, yaitu; 1) makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual, 2)
makna referensial dan non-referensial, 3) makna denotatif dan makna konotatif, 4)
makna konseptual dan makna asosiatif, 5) makna kata dan makna istilah, dan 6)
makna idiom dan peribahasa.
15
Makna bisa digali atau dicari melalui beberapa pendekatan, diantaranya
adalah melalui pendekatan analitik atau referensial, dan melalui pendekatan
operasional (Pateda, 2001: 86-87). Pendekatan analitik ingin mencari makna
dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan
operasional
ingin
mempelajari
kata
dalam
penggunaannya.
Pendekatan
operasional lebih menekankan, bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak
fonasi sehari-hari.
Kemudian bila dilihat dari sisi hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di
dalam bahasa pencarian makna juga bisa dilakukan dengan pendekatan
ekstensional dan pendekatan intensional (Nida, 1975: 22). Pendekatan
ekstensional ialah pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata
di dalam konteks, sedang yang dimaksud dengan pendekatan intensional adalah
pendekatan yang memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang
berhubungan dengan unit-unit utama.
Adapun teknik untuk menganalisis makna bisa menggunakan teknik
penamaan, parafrasis, pendefinisian dan pengklasifikasian (Nida, 1975: 64).
Beberapa cara yang digunakan dalam proses penamaan adalah penyebutan bagian,
penyebutan sifat khas, dan penyebutan pengistilahan. Selanjutnya parafrasis
merupakan deskripsi lain dari suatu leksem. Sementara pendefinisian merupakan
suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata dengan menyampaikan
seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan dari kata-kata lainnya,
sedangkan pengklasifikasian merupakan cara memberikan pengertian pada suatu
kata dengan cara menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain.
16
1.5.2 Perkembangan Makna
Di dalam memberikan makna yang juga harus diperhatikan adalah adanya
perubahan makna dalam bahasa. Perkembangan makna mencakup segala hal
tentang makna yang berkembang atau berubah.
1.5.2.1 Ruang Lingkup Perkembangan Makna
Dalam hal ini Parera membedakannya menjadi dua macam, yaitu (1)
Pergeseran makna. Pergeseran makna merupakan gejala perluasan, penyempitan,
pengonotasian
(konotasi), penyinestesiaan (sinestesia), dan pengasosiasiaan
sebuah makna kata yang masih hidup dalam satu medan makna. Dalam
pergeseran makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi rujukan awal
mengalami perluasan rujukan atau penyempitan rujukan. (2) Perubahan makna.
Perubahan makna merupakan gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang
sama. Ini berarti dalam konsep perubahan makna terjadi pergantian rujukan yang
berbeda dengan rujukan semula (Parera, 2004: 107)
Adapun menurut Pateda perubahan makna itu menyangkut banyak hal,
yaitu 1) Perluasan makna. Perluasan makna berhubungan dengan pemakaian
bahasa. Masyarakat pemakai bahasa, apakah dengan jalan analogi, atau dengan
swadaya bahasa itu sendiri meluaskan makna yang terdapat pada sebuah kata. 2)
Pembatasan makna. Di dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami
pembatasan makna. 3) Melemahkan makna. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak
kata yang tetap dipertahankan penggunaannya namun lambangnya diganti.
Maksud penggantian lambang tersebut adalah untuk melemahkan makna agar
17
orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung.
Pelemahan kata ini terjadi
disebabkan oleh: i). pertimbangan psikologis, maksudnya agar orang tidak
tersinggung perasaannya (orang tidak merasa tertekan secara psikologis; ii).
pertimbangan secara politis, maksudnya agar masyarakat tidak sampai terganggu
ketentramannya,
mengganggu
keamanan;
iii)
pertimbangan
sosiologis,
maksudnya agar masyarakat tidak resah; iv) pertimbangan religious, maksudnya
agar orang yang dikenai kata tidak akan tertekan imannya; dan v) pertimbangan
kemanusiaan, manusia mempunyai hak yang disebut hak-hak asasi manusia, yang
antara lain menyangkut martabat dan kehormatan pribadi, dan bahwa manusia
yang satu dengan yang lain memiliki hak yang sama. 4) Kekaburan makna.
Kekaburan makna disebabkan i) sifat kata atau kalimat yang bersifat umum
(generic); ii) kata atau kalimat tidak pernah homogen seratus persen, kata akan
jelas maknanya jika berada dalam kalimat dan kalimat akan jelas maknanya jika
berada dalam konteks; iii) batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan
yang berada diluar bahasa tidak jelas; iv) kurang akrabnya kata yang digunakan
dengan acuannya. (Pateda: 2001: 193-194)
1.5.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Makna
Perubahan makna merupakan gejala yang terjadi di dalam suatu bahasa
akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Parera
(2004: 110-117) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran dan
perubahan makna adalah faktor linguistik, historis, sosial, psikologis, pengaruh
asing, keperluan dan kekuasaan.
18
Senada dengan Parera, menurut Abdul Chaer (2007: 311-313) faktorfaktor penyebab perkembangan makna adalah,
1) Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi.
Adanya
perkembangan
konsep
keilmuan
dan
teknologi
dapat
menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna
B atau bermakna C.
2) Perkembangan Sosial Budaya.
Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan
budaya dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata atau
leksem.
3) Perkembangan Pemakaian Kata
Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah
kosakata yang berkenaan dengan bidangnya itu. Kosa kata yang pada mulanya
hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian
digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna yang baru atau agak
lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya.
4) Pertukaran Tanggapan Indra.
Alat indra yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap
gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas dan asin
ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah dan gejala yang berkenaan
dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga. Namun dalam
perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat
19
indra untuk menangkap gejala yang terjadi disekitar manusia itu. Perubahan
tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestesia.
5) Adanya Asosiasi
Yang dimaksud dengan adanya asosiasi di sini adalah adanya hubungan
antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan
bentuk ujaran itu. Dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang
dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Asosiasi
itu dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, hubungan waktu dengan
kejadian atau hubungan tempat dengan peristiwa atau lembaga.
Selanjutnya menurut linguis Arab, ‘Ūdah Khalīl Abū ‘Ūdah (1985: 83-86),
bahwa hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan makna adalah,
1) Penggunaan Kata.
Makna kata berubah mengikuti konteks penggunaannya. Dalam waktu
yang lama sebagaian makna kata yang sering dirujuk oleh konteks
penggunaannya tersebut menghilangkan makna umumnya. Dimana konteks
yang secara umum digunakan tersebut membatasi maknanya. Contoh katakata yang demikian ini dalam agama Islam banyak sekali. Kata-kata yang
dulunya memiliki makna umum oleh
Islam digunakannya untuk makna
khusus, misalnya ‫ اﻟﺼﻼة‬/aṣ-ṣalāh/, ‫ اﻟﺤﺞ‬/al-hajj/, ‫ اﻟﺼﻮم‬/aṣ-ṣaum/, ‫ اﻹﯾﻤﺎن‬/alīmān/,‫ اﻟﻜﻔﺮ‬/al-kufr/, ‫ اﻟﺮﻛﻮع‬/ar-rukū/, dan ‫ اﻟﺴﺠﻮد‬/as-sujūd/. Sebaliknya ada
juga kata yang asalnya bermakna khusus kemudian digunakan untuk makna
umum. Contoh hal ini adalah kata ‫ اﻟﺒﺄس‬/al-ba’ts/, ‫ اﻟﻮرد‬/al-warad/ dan ‫اﻟﺮاﺋﺪ‬
/ar-rā’id/. ‫ اﻟﺒﺄس‬/al-ba’ts/ asalnya bermakna ‫ اﻟﺤﺮب‬/al-harb/ (perang),
20
kemudian sering digunakan untuk makna segala kekerasan. ‫ اﻟﻮرد‬/al-wird/
asalnya hanya bermakna mendatangi air, kemudian menjadi mendatangi
segala sesuatu. Adapun ‫ اﻟﺮاﺋﺪ‬/ar-rā’id/ pada asalnya mencari perlindungan
kemudian menjadi mencari segala kebutuhan.
2) Perpindahan Makna Hakiki kepada Makna Majazi.
Penggunaan makna majazi ini bukan suatu keharusan sebagaimana
yang terdapat dalam gaya bahasa pada syair, ia terjadi pada suatu masa
tertentu dan dalam lingkungan bahasa tertentu. Contoh dalam hal ini adalah
kata ‫ اﻟﻮﻏﻰ‬/al-waga/, ‫ اﻟﻐﻔﺮ‬/al-gufru/, dan kata ‫ اﻟﻌﻘﯿﻘﺔ‬/al-‘aqīqah/. Telah
berpindah makna ‫ اﻟﻮﻏﻰ‬/al-waga/ dari kekacauan suara dalam perang menjadi
perang itu sendiri. Telah berpindah makna ‫ اﻟﻐﻔﺮ‬/al-gufru/ dari tabir menjadi
memaafkan dari dosa-dosa. Sedang makna kata ‫ اﻟﻌﻘﯿﻘﺔ‬/al-‘aqīqah/ awalnya
adalah rambut yang sudah ada pada anak sejak ia keluar dari rahim ibunya
kemudian bermakna sembelihan ketika mencukur rambut itu.
3) Kejelasan Makna Kata dalam Pikiran.
Perubahan makna kata terkadang tergantung pada sampainya kejelasan
makna tersebut dalam pikiran. Ketika yang ditunjuk oleh kata tersebut telah
jelas dalam pikiran, maka sedikit sekali kemungkinan berubah maknanya,
sebaliknya bila samar maka ia memungkinkan banyak menyimpang.
4) Perkembangan Bunyi Kata.
Terkadang perkembangan bunyi kata menjadi sebab terjadinya
perkembangan makna. Stabilnya kata mengantarkan pada tetapnya makna,
sebaliknya berubah-ubahnya mendorong pada perubahan maknanya
21
5) Tata Bahasa
Kaidah-kaidah bahasa berperan terhadap perubahan makna kata dan
juga membantu mengorientaskan pada arah yang khusus. Kalimat ‫ وﻟﺪ‬/walad/
dalam bahasa Arab, misalnya dalam ucapan seseorang “ ‫ وﻟﺪ ﺻﻐﯿﺮ‬/waladun
ṣagīrun/”, menjadikan maknanya terikat dengan laki-laki.
6) Pergantian Zaman
Makna sebagaian kata berubah bersamaan dengan perpindahan zaman
dari zaman klasik menjadi modern. Faktor-faktornya yang mempengaruhi
perubahan makna kata ini banyak sekali. Keserupaan dari sisi tertentu
merupakan faktor sosiologis dan psikologis yang mempengaruhi perubahan
makna kata. Contoh dalam hal ini adalah kata ‫ اﻟﺒﮭﻠﻮل‬/al-bahlūl/, ‫ اﻟﻐﺎﻧﯿﺔ‬/algāniyah/, ‫ اﻟﺤﺎﺟﺐ‬/al-ḥājib/. ‫ اﻟﺒﮭﻠﻮل‬/al-bahlūl/ dalam syair zaman dahulu
bermakna orang yang mulia, sebagaimana ucapan Hasan bin Tsabit dalam
syairnya:
‫ﻭﻝﹺ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻫﻠ‬ ‫ﻰ ﺍﹾﳉﹶﺎ‬‫ ﻓ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻟ‬‫ﻛﹶﺄﹶﻭ‬
‫ ﹸﻜﻦ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﻭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻼ ﹺﻡ ﺳ‬
‫ ﹶ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﹾﺍﻻ‬‫ﻴﻞﹸ ﻓ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬
(4)
(4) /Bahālīlu fī al-Islāmi sādū wa lam yakun ka`awwalihim fi aljāhiliyati awwali/
Para Bahlul di dalam Islam adalah mulia tidak seperti pada masa
Jahiliyah dulu.
Akan tetapi sekarang maknanya adalah orang dungu yang tidak mengerti apa
yang mereka lakukan. Orang telah merubah harakat ba’ dalam kata tersebut
dari dhammah
menjadi
fathah. ‫اﻟﻐﺎﻧﯿﺔ‬
/al-gāniyah/ pada zaman dulu
bermakna wanita yang tidak bisa disifati kecantikannya, adapun sekarang
bermakna wanita yang hina. Adapun ‫ اﻟﺤﺎﺟﺐ‬/al-ḥājib/ dulu di dalam daulah
22
Andalusiyah maknanya sepadan dengan perdana menteri sekarang, namun
pada zaman sekarang tidak lebih dari pengawal atau pelayan.
7) Peran Adat.
Adat dan nilai-nilai perubahan dari masa kemasa mempengaruhi
perubahan sebagian makna. Itu semua merupakan akibat dari faktor-faktor
yang bercampur aduk dalam kehidupan manusia. Diantara kata yang terus
menerus berkembang dan berubah maknanya adalah kata yang merujuk pada
pengertian buang air kecil atau buang air besar dan alat kelamin. Hampirhampir tidak ada kata darinya yang tersebar sehingga daya rasa masyarakat
menetapkannya. Peradaban yang berpengaruh tidak menyukai, maka ia
menggantikannya dengan kata lain dari bahasanya sendiri atau dari bahasa
asing.
8) Perbedaan Dialek.
Makna kata bisa berubah ketika terjadi perpindahan dari satu dialek
kepada dialek lain atau dari satu bahasa ke bahasa lain. Disini masuk faktorfaktor psikologis dan sosiologis di dalam menetapkan makna kata. Beberapa
kata menonjol sehingga dianggap menjadi bagian dari kata-kata yang baik
dan dipilih dan beberapa kata yang lain tenggelam dan menjadi bagian dari
kata yang tidak baik. Akhirnya makna dasarnya hilang dan dipakailah makna
yang baru.
9) Pemahaman yang tidak Tepat.
Pemahaman yang tidak baik dapat menjadi sebab terjadinya perubahan
makna, khususnya pada masa kanak-kanak. Terkadang anak-anak salah
23
memahami makna kata dan tidak dibetulkan kesalahan-kesalahan ini. Maka
meluaslah kesalahan pemahaman ini bersama berjalannya waktu sehingga
menjadi menetap. Sesungguhnya tidak dibatasi masalah ini hanya terjadi pada
anak-anak, akan tetapi juga terjadi pada orang dewasa sebagai hasil dari
analogi yang salah.
10) Perubahan Reference.
Makna kalimat terkadang berubah karena sesuatu yang ditunjuk oleh
kata itu telah berubah watak, unsur, fungsi serta keadaan masyarakat yang
berkaitan dengan itu. Sebagai contoh adalah kata ‫ اﻟﺮﯾﺸﺔ‬/ar-rīsyah/ (pena),
‫ اﻟﻘﻄﺎر‬/al-qiṭār/ (kereta api), dan ‫ اﻟﺒﺮﯾﺪ‬/al-barīd/ (pos). ‫ اﻟﺮﯾﺸﺔ‬/ar-rīsyah/ (pena)
dulu berkaitan dengan alat tulis yang dibuat dari bulu burung, adapun sekarang
secara umum menunjuk pada bagian dari hasil tambang tertentu dalam bentuk
khusus. ‫ اﻟﻘﻄﺎر‬/al-qiṭār/ (kereta api) pada zaman dulu adalah kumpulan unta
yang dirangkai jadi satu untuk membantu perjalanan, adapun sekarang ia
adalah alat sebagaimana yang telah diketahui secara umum. Adapun ‫ اﻟﺒﺮﯾﺪ‬/albarīd/ (pos) secara umum pada masa lalu adalah binatang yang digunakan
untuk mengangkut surat-surat, kemudian saat ini secara umum ia adalah
system atau sarana yang digunakan untuk mengatur kegiatan tersebut.
11)
Pebedaan Tingkatan dan Golongan
Perbedaan
manusia
dalam
tingkatan
dan
golongan
banyak
memunculkan perbedaan dalam memberikan makna kata dan keluar dari
maknanya yang awal. Hal ini dapat dijumpai
ditengah-tengah kelompok
pengguna bahasa tertentu yang berbeda di dalam suku, etnik, kejiwaan, dan
24
perbedaan keadaan sosial, politik, budaya, pendidikan, arah pemikiran,
perasaan, tingkatan-tingkatan pekerjaan serta jabatan. Masing-masing tingkatan
atau kelompok memerlukan ungkapan-ungkapan yang halus dan cepat
sehingga lahir istilah-istilah khusus sesuai dengan tujuan urusan mereka
masing-masing yang sering mereka sebutkan dalam kehidupan mereka.
Dalam perubahan itu, makna yang muncul sebagai akibat dari pergeseran
dan perubahan makna masih mempunyai kaitan dengan makna dasar sebelumnya.
Asosiasi menjadi salah satu dasar utama hubungan antara makna yang lama dan
makna yang telah bergeser dan berubah. (Parera, 2004: 119) Dengan demikian di
dalam perubahan makna terdapat ṣilah (penghubung) antara makna baru dengan
makna lama.
Asosiasi sebagai fenomena perkembangan bahasa telah melahirkan teori
medan asosiasi.
Teori medan asosiasi sebagai hipotesis kerja, membedakan
pergeseran dan perubahan makna pada dua kategori, yaitu pergeseran dan
perubahan makna berdasarkan asosiasi antara penangkapan panca indera, dan
pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi nama-nama. Kemudian
masing-masing kategori pergeseran dan perubahan makna dibedakan lagi atas dua
asosiasi, yakni asosiasi berdasarkan kemiripan dan asosiasi berdasarkan
hubungan. Jadi ada empat kategori. (Parera, 2004: 119)
1.5.3 Medan dan Relasi Makna
Makna satuan bahasa sering memiliki relasi dengan satuan bahasa yang
lain. Dalam sebuah wacana, relasi makna ini mejadi suatu hal yang sangat penting
25
dalam memberikan interpretasi terhadap makna wacananya, karena makna wacana
tidak sekedar makna leksikal. Dengan demikian beberapa unsur bahasa menjadi
satu kesatuan membentuk makna dalam sebuah wacana. Begitu juga dengan
wacana tafsir hubungan antaragama sebagaimana yang akan diteliti dalam
penelitian ini, makna tidak hanya lahir dari unsur-unsur bahasa secara berdiri
sendiri, tapi secara keseluruhan. Hubungan kata dengan kata lahir makna kalimat
dan kalimat dengan kalimat lahir makna wacana.
Wujud relasi makna unsur-unsur bahasa itu bermacam-macam. Abdul
Chaer (2007: 297-305) menyebutkan beberapa wujud relasi makna, yaitu
sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi. Adapun Mansoer Pateda
(2001: 240) dengan mengutip pendapatnya Nida menyatakan bahwa ada empat
prinsip untuk menyatakan hubungan makna, yaitu
(1) prinsip tercakup
(inclusion), (2) prinsip tumpang tindih (overlapping), (3) prinsip komplementasi
(complementation) dan (4) prinsip persinggungan (contiguity).
Untuk menguji asumsi mengenai wujud relasi makna ini dapat
memanfaatkan analisis komponen makna. Menurut Parera (2004: 162) bahwa
dengan analisis komponen atau komposisi makna kata, kita dapat meramalkan
hubungan antar makna. Sebagai contoh dua kata mempunyai kesinoniman jika
dua kata itu memiliki komponen atau komposisi semantik yang identik dan dua
kata berantonim jika dua kata itu memiliki satu pertentangan dalam komposisi.
Komponen makna adalah the total meaning of a word being seen in term
of a number of distinct elements or components of meaning (Palmer, 1976: 85).
Dimana makna yang dimiliki oleh setiap unsur bahasa itu terdiri dari sejumlah
26
komponen yang membentuk keseluruhan makna kata atau unsur bahasa itu.
Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu
berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya (Chaer, 2007: 318).
Namun demikian sebelum menganalisis wujud relasinya tentu harus
dipastikan terlebih dulu apakah unsur-unsur bahasa itu memang benar-benar
memiliki relasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mengetahui hal ini, maka
analisis medan makna dapat dimanfaatkan.
1.5.3.1 Medan Makna
Setiap bahasa sebagai sistem memiliki tingkat keterhubungan medan makna.
Kaitannya dengan ini Nida (1974: 174) pernah menyatakan, “A semantic domain
consists essentially of a group of meanings (by no means restricted to those
reflected in single word) which share certain semantic components.
Makna yang berkembang secara diakronis sebagaimana diuraikan diatas
merujuk pada kemungkinan semakin variatifnya kata-kata atau leksem-leksem
dalam suatu bahasa itu dikelompok-kelompokkan berdasarkan ciri-ciri semantik
yang dimiliki oleh kata-kata itu. Dari sini nampak penting mengetahui
perkembangan makna kata-kata tertentu sebelum mengelompokannya untuk
kemudian ditentukan ada atau tidaknya relasi maknanya.
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata
yang berada dalam satu medan makna (semantic domain, semantic field) atau satu
medan
leksikal.
Kata-kata
itu
maknanya
saling
berhubungan
karena
27
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu (Chaer, 2007: 315-316).
Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan
makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok
medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik
yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Sebagai contoh, katakata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada berada dalam satu kolokasi,
yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur (Chaer, 2007: 317).
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, kerena sifatnya
yang linier, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena
kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubtitusikan.
Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama,
dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh
tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu.
Umpamanya kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Sedangkan kata sejuk merupakan suhu di antara dingin dan
hangat. Maka kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan
adalah “manula/lansia – dewasa – remaja – kanak-kanak – bayi”, dan “terik –
panas – hangat – sejuk – dingin” (Chaer, 2007: 317-318). Pengelompkan kata atas
medan makna ini hanya bertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makna
pusatnya saja (Chaer, 2007: 318).
28
1.5.3.2 Relasi Makna
Setelah dipastikan bahwa beberapa unsur bahasa itu berada dalam satu
medan makna, maka dapat dipastikan bahwa antar unsur bahasa itu memiliki
relasi makna. Dari sini analisis linguistik terhadap bentuk relasi makna dapat
dilanjutkan.
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa
kata, frase, maupun kalimat. Menurut Nida (1975: 15-19), makna unit-unit
semantik yang berbeda dapat dihubungkan satu dengan yang lain dengan empat
cara utama; yaitu (1) inclusion (ketercakupan), contohnya makna ‘dog (anjing)’
termasuk di dalam makna ‘animal (hewan)’. (2) Overlapping (saling meliputi),
contohnya kata ‘ill/ sick (sakit)’, kata-kata yang berpasangan ini biasanya disebut
synonyms. (3) Complementation (pelengkap), relasi ini secara umum memiliki
tiga tipe, yaitu opposites (kontras), misalnya kata ‘go/come (pergi/kembali)’,
reversives
(berkebalikan),
misalnya
kata
‘aliniate/reconcile
(memisahkan/menyatukan)’ serta conversives (bertentangan), misalnya kata
‘buy/sell (membeli/menjual)’ . (4) Contiguity (kontak), contohnya kata ‘walk
(berjalan), run (berlari), hop (menjingkat), skip (meloncat), dan crawl (merayap)’.
Selanjutnya Chaer (2007: 297), menurutnya relasi semantik itu dapat
menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna,
kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Tambahnya bahwa, dalam
pembicaran tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang
disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan
29
redundansi. Begitu juga Pateda (2001: 206-226), berkaiatan dengan relasi makna
ini ia juga menguraikan masalah antonimi, hiponimi, homonimi, polisemi dan
sinonimi dalam pembahasannya ‘Sekitar Makna’.
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan
adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya
(Chaer, 2007: 297). Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu
satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu
bersinonim dengan satuan ujaran A. Antonim atau antonimi adalah hubungan
semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan,
pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain (Chaer, 2007: 299).
Selanjutnya sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu
mempunyai makna lebih dari satu (Chaer, 2007: 301). Kemudian homonimi
adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama tetapi
maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran
yang berlainan (Chaer, 2007: 302). Adapun hiponimi adalah hubungan semantik
antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran
yang lain (Chaer, 2007: 305). Kalau disebut hiponimnya, maka sudah dapat
dibayangkan nama kelompoknya (superordinatnya). Begitu juga bila disebut nama
kelompoknya, maka sudah termasuk di dalamnya hiponimnya (Pateda, 2001:
210).
Adapun Ahmad Muhtār ‘Umar (1982: 54-138) dalam bukunya ‘Ilmu adDilālah, ia membagi kalam menjadi tiga bagian, yaitu (1) al-Mutabāyin, yakni
satu kata mengandung satu makna saja, (2) al-musytarak al-lafẓi, yakni satu kata
30
mengandung banyak makna, dan (3) al-mutarādif, yakni kata yang banyak akan
tetapi mengandung satu makna yang sama. Selanjutnya ia juga menguraikan
pandangannya tentang sinonimi, hiponimi, meronimi dan antonimi. Menurutnya,
hubungan sinonimi (‘alāqat at-tarāduf) adalah dua kata atau lebih mengandung
unsur konseptual yang mirip atau semakna, seperti kata “‫ أب‬/abun/” dan “‫واﻟﺪ‬
/wālidun/”.
Hubungan hiponimi (‘alāqat al-isytimāl) adalah hubungan yang
melibatkan sejumlah makna yang terkandung dalam sebuah kata yang setiap
anggotanya memilkiki kemiripan acuan, misalnya kata “‫ إﻧﺴﺎن‬/insānun”/ dan katakata yang menjadi cakupannya “‫ أﺣﻤﺪ‬/Ahmad, ‫ ﻋﻤﺮ‬/‘Umar/, ‫ ﺧﺎﻟﺪ‬/Khālid/ dan
sebagainya”. Hubungan bagian dengan keseluruhan (‘alāqat al-juz bi al-kull) atau
meronimi adalah seperti hubungan kata “‫ اﻟﯿﺪ‬/al-yadu/” dengan “‫ اﻟﺠﺴﻢ‬/al-jismu/”
atau “‫ اﻟ َﻌ َﺠﻠَﺔ‬/al-‘ajalatu/” dengan “‫ اﻟﺴﯿﺎرة‬/as-sayāratu/”. Perbedaan antara
meronim dan hiponimi adalah bahwa “‫ اﻟﯿﺪ‬/al-yadu/ (tangan)” bukan termasuk
jenis “‫ اﻟﺠﺴﻢ‬/al-jismu/ (badan)”, melainkan bagian darinya. Sedang “‫ ﺧﺎﻟﺪ‬/Khālid/
(Khalid)” adalah jenis “‫ إﻧﺴﺎن‬/insān/ (manusia)” dan bukan bagian darinya.
Adapun
hubungan pertentangan adalah hubungan kata yang memiliki relasi
pertentangan, misalnya kata “‫ ﺣﻲ‬/ḫayyun/” dengan kata “‫ ﻣﯿﺖ‬/mayyitun/”.
Demikian bebarapa pandangan para ahli mengenai relasi makna. Namun
demikian ada bebarapa hal yang perlu mendapat penekanan disini berkaitan
dengan analisis komponen makna sebagai sarana untuk memetakan relasi makna.
Berkaitan dengan sinonimi, bahwa acuan kesinoniman adalah kata-kata yang
memiliki kesamaan semantik yang lebih menonjol daripada perbedaannya (Cruse,
2004: 156). Jadi dalam relasi sinonimi ini satu kata dengan yang lainnya tidak
31
harus dapat disubtitusi dalam semua konteks, tapi sudah cukup dalam beberapa
konteks dengan tanpa ada perubahan yang signifikan mengenai isi konseptual
tuturannya (Nida, 1975: 17). Selanjutnya berkaitan dengan relasi hiponimi bahwa
ia adalah hubungan makna yang mengandung pengertian hirarki (Djadjasudarma
1993: 48). Yakni sebuah kata mengandung semua komponen makna kata lainnya.
1.5.4 Implikasi Relasi Makna terhadap Metode Penafsiran Al-Qur’an
Ada dua metode untuk mengkaitkan antara relasi makna dīn, millah dan
syarī‘ah dengan penafsiran al-Qur’an tentang hubungan antaragama dalam
penelitian ini. Pertama metode subtitusi. Bahwa hubungan overlapping (saling
meliputi) antar unit-unit semantik mengindikasikan kebolehan dilakukan subtitusi
antar unit-unit semantik tersebut dengan tanpa ada perubahan makna (Palmer,
1976: 91-92). Dalam penerapannya metode ini tidak menghadap-hadapkan unitunit semantik tersebut secara diametral. Dengan demikian penafsiran ini tidak
menghadapi problem ta‘āruḍ al-adillah (pertentangan antar dalil).
Kedua, metode inklusi (ketercakupan). Metode ini diaplikasikan dalam
beberapa bentuk,
a)
Penyebutan
superordinatnya
maka
pengertiannya
mencakup
seluruh
hiponimnya kecuali apabila penyebutannya diberi atribut tertentu, maka ia
merujuk pada hiponim tertentu pula. Superordinat adalah kata yang berada
pada tingkat atas dalam sistem hierarki relasi ketercakupan sedang hiponim
adalah anggota-anggota yang berada pada tingkat bawahnya (Pateda, 2001:
209-210). Jadi penyebutan superordinat dengan atribut tertentu sama dengan
32
memilih hiponim yang sesuai dengan atribut yang disebut dan menghapus
semua hiponim yang tidak sesuai.
b) Penyebutan holonimnya (keseluruhan) maka sudah termasuk di dalamnya
semua meronim atau partonim (bagian)nya. Hal ini bila semua bagian
menjadi kepentingan dari keseluruhannya. Sebab kedudukan antar bagian
terhadap keseluruhannya dalam relasi ini tidak harus sama. Beberapa bagian
bisa jadi menjadi kepentingan dari keseluruhannya, sedangkan bagian yang
lainnya bersifat opsional (Djajasudarma, 2012: 90). Apabila beberapa bagian
tidak menjadi kepentingan dari keseluruhannya, maka beberapa bagian
(meronim)nya bisa dikeluarkan darinya dengan cara memberikan atribut
tertentu pada holonimnya.
Pembatasan dengan atribut tertentu pada superordinat dan holonim ini
dalam penafsiran al-Qur’an sama dengan menggunkan metode naskh-mansūkh
(menghapus-dihapus). Penggunaan metode ini dalam penafsiran al-Qur’an
dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar dari problem ta‘āruḍ al-adillah
(pertentangan antar dalil). Dengan ketentuan yang dihapus adalah naṣ yang
terdahu oleh naṣ yang datang belakangan.
1.5.5. Paradigma Tafsir Hubungan Antaragama
Menurut Cobb sebagaimana yang dikutip oleh Alwi Shihab dalam
bukunya Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (1999: 84)
menyebutkan bahwa hampir semua agama terdapat tiga pandangan teologis dalam
berinteraksi dengan golongan lain.
Tiga pandangan teologis itu adalah
33
eksklusivis, inklusivis, dan pluralis. Eksklusivis berpandangan bahwa keselamatan
atau kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui agama tertentu, kemudian
inklusivis berpandangan bahwa keselamatan suatu agama akan diberikan kepada
umat yang lain, sedangkan pluralis beranggapan bahwa keselamatan dapat dicapai
melalui aneka jalan.
Tiga pandangan teologis ini mainstream-nya adalah teologi eksklusif, dan
teologi inklusif. Adapun teologi pluralis merupakan perkembangan lebih lanjut
dari teologi inklusif. Hal ini dapat dipahami dari apa yang disampaikan oleh
Nurcholish Madjid (1999: xix) dalam bukunya Tiga Agama Satu Tuhan, bahwa
sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan
merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Dari sini untuk tujuan
penelitian ini penulis akan menggunakan dua paradigma tafsir yang bersifat
kontra produktif
tersebut, yaitu tafsir eksklusif dan tafsir inklusif. Hal ini
mengingat paradigma pluralis berada pada posisi yang selaras dengan paradigma
inklusif.
1.5.6 Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam
Pertemuan umat Islam dengan agama lain telah terjadi sejak masa
kelahiran Islam (Shihab, 1999: 92). Dari sini wajar bila al-Qur’an sebagai Kitab
petunjuk banyak berbicara mengenai pola hubungan antar pemeluk umat
beragama. Diantaranya adalah Surat al-Baqarah [2]: 256
34
               (6a)
           
(6a) /Lā ikrāha fī ad-dīni, qad tabayyana ar-rusydu min al-gayyi, fa man
yakfur bi aṭ-tagūti wa yu’min bi Allāhi faqad istamsaka bi al-‘urwati alwuṡqa lā infiṣāma lahā, wa Allāhu samī‘un ‘alīmun/
‘Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama, sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus,
dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.’
Ayat ini sering ditafsirkan sebagai ayat toleransi Islam. Setiap orang
diakui hak-haknya untuk menentukan agamanya. Tidak ada paksaan terhadap
seseorang untuk masuk agama Islam. Islam juga menghormati setiap orang untuk
menjalankan agamanya masing-masing. Dalam Surat Al-Kāfirūn [109]: 1-6
disebutkan,
    .     .    (7a)
   .      .      .
. 
(7a)
/Qul yā ayyuhā al-kāfirūn. Lā a‘budu mā ta‘budūn. Wa lā antum
‘abidūna mā a‘budu. Wa lā ana ‘abidun mā ‘abadtum. Wa lā antum
‘abidūna mā a‘budu. Lakum dīnukum wa liya dīni./
‘Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah,
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.’
Contoh toleransi dalam praktek sejarah di antaranya dapat dijumpai dalam
tulisan Ibnu Kaṡīr dalam kitab tafsirnya. Ketika menafsirkan surat Āli ‘Imrān [3]:
59-63 ia mengutib riwayat dari Ibnu Ishaq, bahwa ‘Nabi Muhammad didatangi
35
utusan orang-orang Nasrani dari Najran yang berjumlah 60 orang. Di antara
mereka terdapat 14 orang pemuka mereka yang menjadi tumpuan segala urusan
mereka. Mereka tiba di Madinah dan menemui Nabi Muhammad di Masjid
Nabawi. Ketika itu Nabi Muhammad sedang shalat ‘aṣar dan saat itu juga, telah
masuk waktu shalat mereka, maka mereka pun berdiri shalat di Masjid Nabawi
dan mereka mengerjakan shalat dengan menghadap ke timur. Lalu Nabi
Muhammad bersabda kepada para sahabatnya, ‘‘Biarkan mereka” (Kaṡīr, 1999:
1/454).
Dalam ayat lain juga dinyatakan bahwa umat Islam dianjurkan untuk
membuat kedamaian selama tidak diperangi karena agama atau diusir dari negeri.
Tersebut dalam surat Al-Mumtaḥanah [60]: 7-9 sebagai berikut,
                (8)
            . 
  .    
       
          
.         
(8) /‘Asā Allāhu an yaj‘ala bainakum wa baina al-lażīna ‘ādaitum minhum
mawaddatan, wa Allāhu qadīrun, wa Allāhu gafūrun raḥīm. Lā
yanhākumu Allāhu 'āni al-lażīna lam yuqātilūkum fī ad-dīni wa lam
yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsiṭū ilaihim, inna Allāha
yuḥibbu al-muqsiṭīna. Innamā yanhākumu Allāhu 'āni al-lażīna qātalūkum
fī ad-dīni wa akhrajūkum min diyārikum wa ẓāharū ‘alā ikhrājikum an
tawallauhum , wa man yatawallahum fa ūlāika humu aẓ-ẓālimūna./
‘Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan
orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka, dan Allah adalah Maha
Kuasa, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
36
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.
Dalam perspektif ini peperangan dalam Islam boleh dilakukan karena
orang Islam diperangi terlebih dulu atau di ganggu (Qardhawi, 2010: 178). Jadi
perang dimaksudkan untuk membela dan meninggikan kalimat Allah. Namun
demikian, dalam perspektif lain Islam juga tidak jarang ditafsirkan sebagai agama
pedang. Secara normatif penafsiran yang demikian ini di antaranya didasarkan
pada surat at-Taubah [9]: 5,
         (9)
          
   
     
(9) /Fa iżā insalakha al-asyhuru al-ḥurumu faqtulū al-musyrikīna ḥaiṡu
wajadtumūhum wakhużūhum waṣurūhum waq‘udū lahum kulla marṣadin,
fa in tābū wa aqāmū aṣ-ṣalāta wa ātawū az-zakāta fakhallū sabīlahum,
inna Allāha gafūrur raḥīmun/
‘Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka,
kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian, jika mereka
bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan, sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.
Di sini, peperangan dalam Islam itu tidak hanya bersifat ad-difā’ī/defensif
tapi juga aṭ-ṭalabi/offensif. Alasan disyari’atkannya perang adalah karena
kekafiran
(http://thoriquna.wordpress.com/dasar-hubungan-umat-islam-dengan-
orang-orang-kafir/jihad-melawan-orang-orang-kafir-yang-tidak-memerang/. Diak-
37
ses tanggal 23 Nopember 2011). Jadi kobolehan orang Islam menyerang orang
kafir adalah karena kekafiran mereka.
Demikian dua kecenderungan penafsiran mengenai pola hubungan
antaragama yang kontraproduktif. Satu bersifat inklusif atau membuka diri untuk
menerima perbedaan sedang yang lain mengarah kepada sikap eksklusif atau
menutup diri untuk menerima perbedaan. Namun demikian secara metodologis
penafsiran yang demikian ini masih terbuka peluang untuk dikaji ulang, bahkan
pada bentuk tafsir bi ar-riwāyah (periwayatan) sekalipun. Menurut Amin alKhūli (1961: 302) persoalan metodologi tafsir, -- yang nota bene-nya adalah
seperangkat konsep dan teori, proses dan prosedur untuk mengembangkan tafsir—
merupakan ilmu yang belum matang (gayr an-naḍj), sehingga selalu terbuka
untuk diperbaharui dan dikembangkan.
Sebelum diuraikan mengenai dialektika pemikiran antara inklusivisme dan
eksklusivisme Islam berikut akan dijelaskan lebih dulu mengenai pengertian
inklusivisme dan eksklusivisme Islam, dasar skriptual dan perkembangan
wacananya.
1.5.6.1 Pengertian Inklusivisme dan Eksklusivisme dalam Agama
Di dalam kamus kata inklusif dan eksklusif diartikan sebagai berikut.
Pertama, dalam bahasa inggris, di antaranya terdapat dalam kamus ‘Oxford
Learner’s Pocket Dictionary’. Dalam kamus ini dijelaskan arti
inclusive (adj.) adalah including everything (Bull, 2011: 224) adapun
exclusive (adj.) artinya 1. only to be used by or given to one particular
person or group 2. (of a group) admitting only carefully chosen people 3.
of a high quality and expensive and therefore not used by many people.
38
Exlusive sebagai noun adalah report published by only one newspaper,
sedang exclusively (edverb) artinya only (Bull, 2011: 153).
Kedua dalam bahasa Indonesia. Setelah masuk ke dalam perbendaharaan
kata Indonesia inclusive berubah menjadi inklusif dan exclusive menjadi eksklusif.
Menurut ‘Kamus Bahasa Indonesia’,
Inklusif (adverbia) artinya; termasuk; terhitung, contoh: kendaraan itu
bermuatan 40 orang termasuk pengemudi, kondektur, dan kenek (Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 589) adapun eksklusif /éksklusif/
(adjektiva) artinya; 1 bersifat mengasingkan diri (tentang orang); 2 tidak
bersedia menerima atau mengizinkan masuknya anggota baru (tentang
kelompok atau perkumpulan); 3 tidak termasuk. Eksklusif /éksklusif/
(adjektiva) artinya; terpisah; khusus. Keeksklusifan (nomina) artinya;
perihal eksklusif. Pengeksklusifan (nomina) artinya;
proses, cara,
perbuatan mengeksklusifkan. Adapun eksklusivisme /éksklusivisme/
(nomina) suatu paham tentang kecerderungan untuk memisahkan diri dari
masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 379).
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa inklusif secara bahasa
adalah terbuka sebaliknya eksklusif adalah tertutup. Namun bila dinisbatkan pada
agama apakah yang dimaksud dengan inklusivisme dan eksklusivisme itu?
Teologi inklusivis – papar Alwi Shihab – terutama dikaitkan dengan pandangan
Karl Rehner, seorang teolog Katolik berpengaruh abad ini, yang intinya menolak
asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil.
Mereka yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus,
tetap akan mendapatkan keselamatan (Shihab, 1999: 84). Senada dengan ini
Nurcholis Madjid, ia memaknai inklusivisme Islam dalam dua hal. Pertama,
pandangan terhadap agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama
tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama non-Islam
(Madjid, 1992: 234).
39
Adapun teologi eksklusif - masih dari paparan Alwi Shihab – dalam dunia
Kristen, eksklusivis berarti kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui Yesus,
dan hanya mereka yang percaya pada-Nya yang selamat (Shihab, 1999: 84).
Senada dengan ini Nurcholish Madjid menyatakan sikap eksklusif dalam melihat
agama lain adalah melihat agama-agama lain sebagai jalan yang salah, yang
menyesatkan bagi pengikutnya (Madjid, 1999: xix).
Jadi inklusivisme dalam agama adalah pandangan bahwa keselamatan
suatu agama akan diberikan kepada umat yang lain, sedangkan eksklusivisme
adalah pandangan bahwa keselamatan atau kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai
melalui agama tertentu (Shihab, 1999: 84-85).
1.5.6.2 Dasar Skriptual Pandangan Inklusif dan Eksklusif dalam Islam
Baik pandangan inklusif ataupun eksklusif dalam Islam memiliki dasar
skriptual yang cukup memadai. Berikut akan diuraikan dasar-dasar skriptual
pandangan inklusif dan eksklusif dalam Islam.
1)
Dasar Skriptual Pandangan Inklusif
Mengutip tulisan Alwi Shihab (1999: 84-85), bahwa dasar-dasar skriptual
pandangan inklusif adalah
          (10a)
           
 
(10a) /Inna al-lażīna āmanū wa al- lażīna hādū wa al-naṣārā wa aṣṣābiʼīna man āmana billāhi wa al-yaumi al-ākhiri wa ‘amila ṣālihan
40
fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim wa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum
yaḥzanūn/
‘Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’
(QS al-Baqarah [2]: 62)
Selanjutnya dikuatkan dengan ayat yang mirip redaksinya dengan ayat di atas,
yaitu
         (11a)
          
(11a) /Inna al-lażīna āmanū wa al- lażīna hādū wa aṣ-ṣābiʼūna wa alnaṣārā man āmana billāhi wa al-yaumi al-ākhiri wa ‘amila ṣālihan fa
lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn/
‘Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin
dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benarbenar beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.’ (QS al-Maidah [5]: 69)
Sementara yang lebih mengarah pada pandangan pluralis mendasarkan
penafsirannya pada dasar skriptual berikut
          (12a)
             
             
            
     
(12a) /Wa anzalnā ilaika al-kitāba bi al-haqqi muṣaddiqan limā baina
yadaihi min al-kitābi wa muhaiminan ‘alaihi, faḥkum bainahum bimā
41
anzalallāhu, wa lā tattabi’ ahwā’ahum ‘ammā jā’aka min al-ḥaqqi, li
kullin ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājān, wa lau syāʼallāhu
laja’alakum ummatan wāḥidatan wa lakin liyabluwakum fī mā
ātākum, fastabiqū al-khairāt, ilāllāhi marji’ukum jamī’an
fayunabbi’ukum bi mā kuntum fīhi takhtalifūn/
‘Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab
yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syari’at dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu’
(QS al-Maidah [5]: 48)
2)
Dasar Skriptual Pandangan Eksklusif
Masih menurut Alwi Shihab (1999: 84-85), dasar-dasar skriptual
pandangan eksklusif adalah ayat
             (13a)
             

(13a) /Inna ad-dīna ‘indallāhi al-islām, wa makhtalafa al-lażīna ūtū alkitāba illā min ba‘di mā jāʼahum al-‘ilmu bagyān bainahum, wa man
yakfur biʼayātillāhi fa innallāha sarī‘u al-ḥisāb/.
‘Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.’ (QS Ali
Imran [3]: 19)
dan dikuatkan dengan ayat
42
             (14a)
(14a) /Wa man yabtagi gaira al-islāmi dīnān falan yuqbala minhu wa
huwa fī al-ākhirati min al-khāsirīn/
‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.’ (QS Ali Imran [3]: 85)
1.5.6.3 Perkembangan Wacana Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam
Islam sebagai agama yang dilahirkan untuk membawa rahmat bagi seluruh
alam (QS al-Ambiya’ [21]: 107) melahirkan asumsi bahwa Islam adalah pilar
perdamaian, bersifat universal dan inklusif. Namun disisi lain keterlibatan Islam
dalam berbagai konflik sosial juga telah mengasumsikan bahwa sebagai institusi
iman-idiologis, Islam juga bersifat partikular dan eksklusif sebagaimana tercermin
dalam konsep jihād.
Dalam literatur tafsir pandangan inklusif dapat dijumpai dalam beberapa
tafsir, di antaranya tafsir al-Manār karya Syaikh Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha, tafsir al-Mīzān
karya at-Thabathabai, dan tafsir al-Mubīn karya
Muhammad Jawad Mughniyah. Menurut mereka, QS al-Baqarah [2]: 62 dan QS
al-Maidah [5]: 69 telah menjanjikan keselamatan penganut agama Kristen,
Yahudi, dan Shabiin, yang percaya kepada keesaan Tuhan, pengadilan hari
kemudian, dan menghiasi diri dengan amal kebajikan. Adapun pandangan
eksklusivis dapat dengan mudah dijumpai dalam beberapa tafsir klasik Islam
hingga sampai kepada penafsir modern, seperti Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fī
Ẓilāli al-Qur’an, Wahbah al-Zuhaily dalam tafsirnya At-Tafsīr al-Munīr, Said
Hawwa dalam tafsirnya Al-Asas fi at-Tafsīr, Mutawalli al-Sya‘rawi dalam Tafsīr
43
asy-Sya‘rawi, dan penafsir Syiah Muhammad al-Balaghi dalam ‘Ala ar-Rahmān fi
Tafsīr al-Qur’an.
Seiring dengan perkembangan dunia yang sangat cepat dan globalisasi
yang telah menjadikan dunia menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi
kultural dan multi-religius, wacana inklusivisme Islam juga semakin menguat.
Harapannya adalah agar Islam ikut memberi andil bagi upaya-upaya perdamaian
dunia global yang multi-religius ini. Sebagaimana disadari banyak pihak bahwa
peran agama memang sangat penting bagi upaya-upaya perdamaian dunia. Hans
Kung (1999: xvii) menyebutnya bahwa, ‘Tidak ada perdamaian dunia tanpa
perdamaian antaragama’.
Terus bergulirnya wacana inklusivisme Islam ini dapat dilihat dari
pernyataan para pakar, di antaranya Ismail Raji al-Faruqi, ia menjelaskan bahwa
asal semua agama adalah satu, karena bersumber pada yang satu, Tuhan. Agama
yang menjadi asal semua agama ini disebutnya Ur-Religion atau “agama fitrah”
(din al-fithrah) yang bersifat meta-religion, sebagaimana firman Allah
              (15)
          
(15) /Fa ʼaqim wajhaka li ad-dīni ḥanīfan, fiṭratallāhi al-latī faṭara annāsa ‘alaihā, lā tabdīla li khalqillāhi, żālika ad-dīnu al-qayyimu wa
lākinna akṡara an-nāsi lā ya‘lamūn/
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum
[30]: 30).
44
Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama fitrah” ini. Tetapi kemudian,
sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang
menerimanya, “agama fitrah” atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi
agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural) (Faruqi-al,
1982: 102-105).
Di Indonesia, wacana inklusivisme Islam ini juga terus berkembang, di
antaranya melalui Nurcholish Madjid. Dalam bukunya “Tiga Agama Satu Tuhan”,
Nurcholish Madjid (1999: xix) menulis, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan,
pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang
semakin pluralis. Sebagai contoh filsafat perenial yang belakangan banyak
dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan
pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi
keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan,
dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi
agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda
dengan dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level
esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”. Dengan kata
lain pluralis memandang bahwa segenap agama-agama besar mengajak
penganutnya ke pantai keselamatan. Jadi banyak jalan menuju keselamatan
(Shihab, 1999: 84-85).
Kemudian
Alwi
Shihab
(1999:
108-109)
menyebutkan
bahwa
eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab alQur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip
45
ini digariskan oleh dua ayat al-Qur’an, sebuah eksposisi yang jarang sekali terjadi
sebuah ayat al-Qur’an tampil dua kali dan hampir mirip kata per kata, yang
menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani dan
kaum Shabi’in, mereka yang percaya pada Allah dan hari akhir dan berbuat
kebaikan, akan menerima pahala dari Tuhan mereka, mereka tidak akan merugi,
dan tidak akan berduka cita” (QS. Al-Baqarah [2]: 62 dan al-Māidah [5]: 69)
Apa yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di atas , bahwa “Sebagai
sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan
merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis”, menunjukkan bahwa
pandangan teologi inklusif ini berkembang kearah pluralis. Dari sini terlihat
kajian tentang pluralisme agama ini menjadi semakin berkembang. Di Indonesia
yang merupakan negara yang pluralitas keagamaannya cukup tinggi nampak
sangat merespon terhadap pandangan teologi ini. Bermunculanlah akhirnya para
pengkaji yang apresiatif terhadap pandangan teologi ini, diataranya adalah Ulil
Abshar Abdalla. Ia menyatakan bahwa semua agama sama. Semuanya menuju
jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (Majalah GATRA, 21
Desember 2002). Kemudian Budhy Munawar Rahman (2002: 51-53) dalam buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), ia menulis satu artikel berjudul
“Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”. Dalam pandangannya teologi
pluralis memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk
agama apa pun layak disebut sebagai orang yang beriman, dengan makna orang
yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan. Karena itu sesuai QS alHujurat [49]: 10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Siapapun
46
yang beriman - tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama dihadapan Allah.
Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.
Seiring dengan semakin mengemukanya pandangan teologi inklusif yang
berkembang kearah pluralisme ini, muncul pula upaya-upaya pertahanan terhadap
pandangan teologi eksklusif yang dianggap sebagai upaya untuk menjaga
kemurnian aqidah Islam dari pencemaran teologi inklusif maupun pluralis.
Reprentasi dari pertahanan dari
eksklusivisme Islam ini di Indonesia adalah
keluarnya fatwa majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman
sekularisme, liberalism dan pluralisme pada 28 Juli 2005.
Beranjak dari pengertian bahwa; “Pluralisme agama adalah suatu paham
yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga.” Maka MUI menilai bahwa paham yang
demikian ini adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh
karena itu umat Islam haram mengikuti paham ini. Selanjutnya MUI menfatwakan
bahwa dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,
dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan
akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Adapun bagi masyarakat muslim yang
tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial
yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif,
47
dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain
sepanjang tidak saling merugikan (Majelis Ulama Indonesia, 2011: 91-92).
1.5.6.4 Dialektika Pemikiran
Pemikiran mengenai inklusivisme dan eksklusivisme Islam terus saja
berkembang. Hal ini tidak lepas dari urgensi tema ini dalam konteks kehidupan
masyarakat global yang plural dewasa ini dan keterpautannya dengan persoalan
yang sangat fondamental dalam Islam yaitu masalah teologi. Secara ekstrem
persoalan ini menyangkut persoalan iman dan kufur. Dari sini tidak jarang dalam
diskusinya muncul klaim kesesatan pada salah satu paham dari dua paham ini.
Dalam dialektika pemikirannya, inklusivisme dan eksklusivisme Islam
sesungguhnya menyoal pada masalah pluralitas atau keberbedaan. Poros ekstrim
masing-masing adalah penolakan dan penerimaan terhadap pluralitas. Namun
dalam perkembangannya diskusi lebih banyak membincangkan persoalan
bagaimana menyikapi perbedaan atau pluralitas itu. Di antaranya adalah eksistensi
klaim kebenaran, dan misi agama-agama ditengah-tengah masyarakat yang plural.
1)
Kebenaran Agama-agama
Persoalan mendasar mengenai kebenaran agama-agama adalah apakah
kebenaran itu hanya milik Islam saja atau juga milik agama-agama lain selain
Islam? Dalam pandangan Islam inklusif klaim kebenaran dapat mengantarkan
pada sikap tidak toleran. Jika setiap agama hanya menganggap agama sendiri
yang benar, maka sikap itu akan merupakan potensi untuk konflik, karena saling
menklaim kebenaran yang hanya satu itu. Dari sini tampak terlihat terhadap klaim
48
kebenaran kaum inklusivis berusaha menjahui. Kebenaran agama tidak bisa
diklaim hanya milik salah satu agama saja.
Budhy
Munawar-Rahman
(2010:
LIII)
misalnya,
mendefinisikan
kebenaran, termasuk kebenaran agama sebagai persepsi manusia yang sifatnya
tunggal dimensi dalam menangkap “Yang Nyata” (The Real). “The Real” itu bisa
diumpamakan sebagai seekor gajah. Sedangkan manusia adalah seperti orang buta
yang mencari bentuk gajah, sehingga gambaran mengenai gajah bagi setiap orang
buta adalah yang dirasakan secara individu. Ada yang mengatakan bahwa gajah
itu seperti tali karena memegang ekornya, seperti tembok karena memegang
tubuhnya yang keras, atau seperti sebatang pohon, karena memegang kakinya.
Dari gambaran ini dapat dipahami bahwa kebenaran itu banyak dan
berbeda-beda. Jika kebenaran itu hanya satu dan mutlak menurut persepsi
manusia yang berbeda posisinya, maka yang diperoleh adalah kebenaran parsial
atau kebenaran sepotong-potong yang terfragmentasi.
Pengakuan
terhadap
banyak
kebenaran
inilah
di
antara
yang
menggelisahkan kaum eksklusivis. Pluralitas kebenaran akan menjatuhkan pada
relativisme, pemahaman bahwa semua agama itu sama, yaitu sama-sama benar.
dan karena sama-sama benar orang akan mudah terjatuh pada penyatuan agamaagama atau sinkritisme. Hal ini sejatinya membawa pada jenis keyakinan baru
atau agama baru dengan teologi baru, yaitu “teologi semua agama” (Husaini,
2005: 352-353).
49
Dalam pandangan kaum eksklusivis al-Qur’an secara konkret mengecam
keras kepercayaan-kepercayaan tertentu, di antaranya adalah kepercayaan kaum
Kristen.
             (16)
             
   ,         
                
 
,       
     ,       
            
.          
(16) /Laqad kafara al-lażīna qālū innallāha huwa al-Masīḥu ibnu
Maryam, wa qāla al-masīḥu yābanī Isrā’īla u‘budūllāha rabbī wa
rabbakum,innahū man yusyrik billāhi fa qad ḥarramallāhu ‘alaihi
al-jannata wa ma’wāhu an-nār, wa mā li aẓ-ẓālimīna min anṣār.
Laqad kafara al-lażīna qālū innallāha ṡāliṡu ṡalāṡatin wa mā min
ilāhin illā ilāhun wāḥidun, wa in lam yantahū ‘ammā yaqūlūna
layamassanna al-lażīna kafarū minhum ‘ażābun alīmun. Afalā
yatūbūna ilāllāhi wa yastagfirūnahū, wallāhu gafūrun raḥīm, mā almasīḥū ibnu Maryama illā rasūlun qad khalat min qablihi ar-rusul
wa ummuhu shiddīqah, kānā ya’kulāni aṭ-ṭa‘āma, unẓur kaifa
nubayyinu lahumu al-ayāti ṡumma unżur annā yu’fakūna/
‘Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal Al
masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga",
Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika
50
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orangorang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon
ampun kepada-Nya ?. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Al masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul
yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan
ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan
makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka
(Ahlul Kitab ) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian
perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan
ayat-ayat Kami itu. (QS al-Maidah [5]: 72-75).
Kecaman demikian ini disampaikan tiada lain menunjukkan akan kesalahan dan
kesesatan keyakinan tersebut. Lantas bagaimana bisa semua agama dianggap
benar?
Dengan demikian jelas bahwa keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan adalah bagian dari lurus
dan benarnya aqidah seseorang. Ketetapan tentang agama Islam sebagai satusatunya agama yang benar adalah hal yang jelas dan gamblang. QS Ali Imran [3]:
19 dan 85 secara tegas menjelaskan hal itu. Ditetapkan pula pintu gerbang
memasuki agama Islam adalah membaca Kalimah Syahadat: “Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah”. (Husaini, 2005: 363)
Terhadap anggapan bahwa sikap eksklusif dan klaim kebenaran mengarah
pada disharmonisasi sosial, maka hal ini dalam pandangan eksklusivis tidak bisa
dituduhkan pada Islam. Baik secara normatif maupun historis Islam sangat
apresiatif terhadap pluralitas (bukan pluralisme) dan tidak ada paksaan dalam
seruan terhadap Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 256).
51
     (6b)
(1b) /Lā ikrāha fī ad-dīni/
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama.”
Sebaliknya anggapan bahwa inklusivisme Islam mengantarkan pada
relativisme dan sinkritisme dalam agama, sesungguhnya juga terdapat penolakan.
Dimana penyamaan semua agama itu lebih merupakan kebijakan (policy) public.
Dalam kebijakan itu, setiap pemeluk agama masih terus bisa mengaggap
agamanyalah yang benar. Tapi sikap ini tidak perlu dinyatakan secara terbuka,
karena arahnya ke dalam, kepada iman individual (M. Dawam Rahardjo dalam
Rachman, 2010: LV).
Alwi Sihab menegaskan bahwa konsep pluralisme tidak dapat disamakan
dengan relativisme. Karena sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama,
doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama
adalah sama,” karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan
bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis
tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku
untuk semua dan sepanjang masa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan
tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut
pada pihak lain. Paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme
yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain (Shihab, 1999: 42).
Selanjutnya pluralisme agama juga bukan sinkretisme, yakni menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagaian komponen
ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru
52
tersebut. Dengan demikian seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka
ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati
mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang
dianutnya. Pengertian pluralisme bersyarat ini menurut Alwi Shihab (1999: 43)
terekam dalam anjuran Allah dalam al-Qur’an surat Saba’ [34]: 24-26)
      
         (17)
        ,     
.            , 
(17) /Qul man yarzuqukum mina as-samāwāti wa al-arḍi, qulillāhu, wa
innā au ʼiyyākum la‘alā hudan au fī ḍalālin mubīnin, qul lā tus’alūna
‘ammā ajramnā wa lā nus’alu ‘ammā ta‘malūna, qul yajma‘u bainanā
rabbuna ṡumma yaftaḥ bainanā bi al-ḥaqqi wa huwa al-fattāḥu al‘alīmu/
“Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit
dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau
kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau
dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya
(bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak
akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah:
“Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi
keputusan antara kita dengan benar, dan Dia-lah maha pemberi
keputusan lagi maha mengetahui”.
2)
Dakwah dan Jihad
Apabila Islam tidak boleh diakui sebagai satu-satunya agama yang benar
lantas kenapa ada seruan dakwah dan jihad dalam Islam.?
Inilah di antara
pertanyaan argumentatif eksklusivisme Islam. Ini adalah ekspresi dari ajaran
monoteisme Islam yang direpresentasikan oleh syahadat tauhid. Monoteisme
Islam
jelas mengarahkan pada penolakan terhadap kemusyrikan dan
mengarahkan pada penyatuan bagian-bagian yang terpisah. Penyatuan itu
53
mencakup pula agama-agama monoteistik sebelumnya, sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an,
              (18)
              
.   
(18) /Qul yā ahla al-kitābi ta‘ālau ilā kalimatin sawāin bainanā wa
bainakum allā na‘buda illāllāha wa lā nusyrika bihī syai’an wa lā
yattakhiża ba‘ḍunā ba’ḍan arbābān min dūnillahi, fa in tawallau fa
qūlū isyhadū bi annā muslimūna/
“Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab , marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”
(QS. Ali Imran [3]: 64).
Secara eksklusif upaya-upaya penyatuan ke dalam satu kebenaran
sebagaimana direkam dalam kisah nabi Sulaiman dan ratu Saba’ dalam al-Qur’an
tampak dilakukan dengan cara paksaan dan menggunakan kekuatan.
    ,         (19)

(19) /Innahu min sulaimāna wa innahu bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīmi,
allā ta‘lū ‘alayya wa’tūnī muslimīna/
“Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya:
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong
terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri” (QS an-Naml [27]: 30-31).
54
Dan ketika ratu Saba’ bermaksud untuk menawarkan perdamaian dengan nabi
Sulaiman dengan cara mengirimkan hadiah padanya, maka nabi Sulaiman justru
mengancam akan memerangi mereka
            (20)

(20) /Irji’ ilaihim falana’tiyannahum bi junūdin lā qibala lahum bihā wa
lanukhrijannahum minhā ażillatan wa hum ṣāgirūna/
“Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka
dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti
Kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina
dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”(QS anNaml [27]: 37).
Kemudian dalam paradigma jihad tampak juga nash-nash yang secara
tekstual tampak mengarah pada upaya-upaya penyatuan dengan kekuatan. Di
antara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut
‫ﻝﹶ‬‫ﺪ‬‫ ﺑ‬‫ﻣﻦ‬ " :‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺳﻠﱠﻢ‬ ‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻋﻠﹶﻴ‬ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ‬
 ‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺎﺱﹺ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ﺒ‬‫ﺑﻦﹺ ﻋ‬ ‫ﻋﻦﹺ‬ ‫ﻟﻚ‬‫ﺎ‬‫ﺑﻦﹺ ﻣ‬ ‫ﻧﺲﹺ‬‫ ﺃﹶ‬‫ﻋﻦ‬ (21)
."‫ﻩ‬‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ ﻓﹶﺎﻗﹾ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﺩ‬
(21) /’An Anasi ibni Māliki ‘an ibni ‘Abbasi anna an-Nabiyya shalla
Allāhu ‘alaihi wa sallama qāla, ‘man badala dīnahu faqtulūhu/
“Dari Anas bin Malik, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. Bersabda,
“Barang siapa yang mengganti agamanya (pindah dari Islam ke
agama lain), maka bunuhlah ia” (Shahih Ibnu Hibban Juz X: 327,
dalam al-Maktabah al-Syamilah).
Dalam pandangan yang inklusif arahan terhadap penyatuan monoteisme
Islam ini tidak harus dengan melenyapkan segala perbedaan. Sebab penghapusan
terhadap keberbedaan itu berarti pelanggaran terhadap salah satu tujuan
penciptaan keragamaan dan keberbedaan oleh Allah (Ghanoushi, 2007: 58).
55
Telah menjadi sunnatullah keragaman itu ada. Ayat-ayat yang
menjelaskan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah.
 
           (22)
.   
(22) /Wa min āyātihi khalqu al-samāwāti wa al-arḍi wakhtilāfu
alsinatikum wa alwānikum, inna fī żālika la’āyātin lil ‘alimīna/
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS ar-Rum [30]: 22).
           (23)
            
   
(23) /Wa fī al-arḍi qiṭa‘un mutajāwirātun wa jannātun min a‘nābin wa
zar‘un wa nakhīlun ṣinwānun wa gairu ṣinwānin yusqā bi mā’in
wāḥidin wa nifaḍḍilu ba‘ḍahā ‘ala ba’ḍin fi al-ukul, inna fī żālika
la’āyātin liqaumin ya‘qilūna/
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama.
Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian
yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS
ar-Ra’d [13]: 4).
            (24)
.          
 
(24) /Yā ayyuhā al-nāsu innā khalaqnākum min żakarin wa unṡā wa
ja’alnākum syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū, inna akramakum
‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr/
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
56
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha mengenal” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
  ,            (25)
     
(25) /Walau syā’a rabbuka laja‘ala al-nāsa ummatan wāḥidatan, walā
yazālūna mukhtalifīna, illa man raḥima rabbuka, waliżālika
khalaqahum/
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk
itulah Allah menciptakan mereka” (QS. Hud [11]: 118-119).
Kemudian dalam konteks keberagaman agama, secara tegas QS. Al-Hajj [22]: 40
juga menekankan pada kehendak Allah untuk melindungi keberagaman rumah
ibadah dari berbagai agama yang berbeda.
          (26)


            
.   
(26) /Walaulā daf’ullāhi an-nāsa ba‘ḍahum bi ba‘ḍin lahuddimat
ṣawāmi’u wa biya’un wa ṣalawātun wa masājidu yużkaru
fīhāsmullāhi kaṡīran, walayanṣurannallāhu man yanṣuruhu,
innallāha laqawiyyun ‘azīzun/
“….dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biarabiara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa”.
Adapun tujuan penciptaan keragaman itu sebagaimana terlihat dalam ayat
di atas adalah untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah. Selain itu terlihat
57
dalam ayat berikut bahwa tujuan penciptaan keberagaman itu juga
untuk
memberi ujian pada manusia,
          (27)
(27) /Waja‘alnā ba‘ḍakum li ba‘ḍin fitnatan ataṣbirūna, wa kāna rabbuka
baṣīran/
“dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang
lain, maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat”
(QS. Al-Furqan [25]: 20).
Ayat-ayat
ini menekankan kehendak Allah ketika mencipta manusia
secara berbeda, dan mengajak mereka untuk tidak cepat-cepat dan berusaha
menghapus perbedaan-perbedaan itu. Hendaknya perbedaan dapat menjadi faktor
pertumbuhan, unifikasi, maupun kesatuan, dan bukannya sebagai faktor
otoritarianisme dan kekacauan. Untuk itu sebelum mencapai penyatuan, maka
harus ada terlebih dahulu pengakuan akan adanya hakikat perbedaan yang inheren
di alam semesta dan masyarakat.
Unifikasi adalah ciri khas yang juga inheren pada struktur alam semesta,
manusia, dan hubungan-hubungan sosial. Tanpa unifikasi tidak mungkin ada
pengetahuan, tatanan sosial, pemahaman masalah yang menyatu, ataupun
penetapan hubungan-hubungan kemanusiaan apapun. Namun bagaimana upaya
penyatuan oleh syahadat tauhid (monoteisme) ini dihadapan kelompok-kelompok
yang menyekutukan Allah (musyrik) dan mengingkari pengabdian (beribadah)
pada Allah, karena disisi keberbedaan tujuan penciptaan juga beribadah kepada
Allah sebagaimana ditegaskan dalam ayat
.       (28)
(28) /Wa mā khalaqtu al-jinna wa al-insa illā liya‘budūni/
58
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” (QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Ayat ini menekankan bahwa tujuan penciptaan adalah beribadat (mengabdi)
kepada Allah, sementara perbedaan sebagai tujuan penciptaan yang lain menjurus
kepada pengakuan akan adanya orang-orang yang tidak beriman dan tidak
mengabdi kepada Allah.
Pandangan yang lebih terbuka menyatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan dan taggung jawab individual. Islam mengakui perbedaan dan
selanjutnya menganggap perbedaan sebagai gejala alam dan tanda kemahabesaran
dan kehendak kreatif Allah (Ghanoushi, 2007: 60).
Jadi penyatuan dalam monoteisme (syahadat tauhid) adalah penyatuan
dalam keberagaman. Cara mengabdi (beribadat) kepada Allah yang Maha Esa
yang merupakan tujuan utama penciptaan alam semesta tidak diraih dengan
pengingkaran terhadap perbedaan. Sebaliknya, yaitu melalui pengakuan terhadap
perbedaan dan perjuangan untuk mengembangkannya hingga sampai ke beberapa
peringkat kesatuan yang rumit. Dengan demikian akan memungkinkan berbagai
cakupan keragaman dan pluralisme yang luas dalam masyarakat Muslim.
Hubungan antara keragaman dengan masyarakat-masyarakat dan agama-agama
lain yang berdamai dengannya berlangsung melalui berbagai mekanisme syura
(permusyawaratan), dialog, sembari mencegah kemungkaran dan menyuruh
kebaikan, dengan mengakui sepenuhnya hak-hak orang lain untuk berbeda,
sekaligus
menolak
penggunaan
sebagaiamana disebut dalam ayat
paksaan
untuk
mengubah
keyakinan,
59
     (6c)
(6c) /Lā ikrāha fī ad-dīni/
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama” (QS. Al-Baqarah [2]:
256).
dan juga ayat
.     (7b)
(7b) /Lakum dīnukum wa liya dīni/
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS al-Kafirun
[109]: 6).
Dalam sikap inklusif meskipun menganggap diri kita yang paling benar,
tetapi pada kelompok lain juga ada yang benar. Orang lain tidak dipersalahkan
hanya karena berbeda dengan kita. Oleh karena itu dakwah dalam pandangan
Islam inklusif adalah cerminan dari ketulusan jiwa untuk mengajak orang lain ke
jalan kebenaran yang diyakininya dengan membuang jauh-jauh primordialisme.
Dengan demikian tidak akan sakit hati atau kecewa bila yang diajak tidak
menunaikannya. Tidak ada pula pemaksaan dan penghinaan terhadap objek
dakwah.
Dengan demikian teks-teks suci yang secara literal tampak mengarah pada
upaya-upaya penyatuan ke dalam Islam dengan kekuatan yang kemudian
diterjemahkan dalam pengertian jihad, maka dalam pandangan ini harus
dikembalikan pada konteksnya. Dalam kasus hadits Ibnu Hibban sebagaimana
dikutib pada data (16) di atas dikembalikan pengertiannya pada konteks wurudnya hadits ini, yaitu dalam konteks peperangan. Dalam kondisi peperangan,
apabila ada orang memisahkan diri dari jamaah Islam, maka ia akan sangat
membahayakan Islam. Ia akan dapat menceritakan rahasia-rahasia umat Islam
60
kepada musuh umat Islam saat itu. Maka wajar ketika itu, Nabi Saw. menyuruh
membunuh orang itu (Mustaqim, 2012: 22-23).
Berkenaan dengan hukuman pada orang murtad ini Mohamed S. El Awa
(1982: 63), mantan guru besar hukum di Universitas Riyad, menjelaskan bahwa
yang melakukan murtad tidak dihukum karena keimanannya, tapi ia dihukum
apabila mengancam stabilitas dan keamanan umat Islam. Seorang berpindah
agama dikenakan sangsi jika ia menunjukkan ketidak-loyalannya kepada
komunitas atau negaranya. Atau jika ia murtad dan membentuk kekuatan dengan
kelompok lain untuk menyerang negaranya sendiri yang dalam sistem hukum
modern disebut treason atau conspiracy. Kalau seorang hanya berpindah agama
tanpa adanya kekhawatiran membawa kekacauan kepada umat atau negara Islam,
ia tidak dikenakan hukuman.
Uraian tentang kebenaran dan dakwah (misi) agama-agama ini telah
menggambarkan akan adanya dialektika pemikiran pro dan kontra absolutisme
(kebenaran tunggal) serta pro dan kontra penghapusan keberagaman di dalam
Islam. Menurut Syamsul Hidayat (2012: 39) sebagaimana dikutip dari Richard J.
Mouw dan Sandra Griffioen penerimaan terhadap keragaman dapat dibedakan
dalam dua sikap. Pertama deskriptif, yaitu sekadar mengakui keragaman, dan
kedua normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau
memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, keberagaman (pluralisme)
adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya
sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh
arus modernisasi. Selanjutnya pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga
61
ranah keragaman, yaitu konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi
kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan
pada kehidupan manusia (directional pluralism).
1.6 Metode Penelitian
Berikut akan diuraikan metode dalam penelitian ini, yang meliputi metode
pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
1.6.1 Metode Pengumpulan Data
Langkah pertama yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah
mengumpulkan data. Data yang berupa bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1995:
9; Kesuma, 2007: 25) pada penelitian ini adalah data linguistik dan data tafsir.
Data linguistik adalah berupa kata dīn, millah dan syarī‘ah. Sumber datanya
adalah teks-teks sya’ir jāhilī, al-Qur’an dan al-Hadis. Data dari al-Qur’an
merupakan data pokok sedang data dari sya’ir dan
al-Hadis adalah data
pendukung analisis. Keduanya digunakan sebagai pendukung analisis karena
secara kontekstual mereka lahir di seputar turunnya al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an
tidak diturunkan dalam ruang yang kosong, akan tetapi dalam konteks budaya
Arab 15 abad yang lampau, di mana perihal hidup termasuk bahasanya
direpresentasikan dalam syair-syair jahili. Adapun al-Hadis ia menjadi penjelas
bagi teks-teks al-Qur’an yang terbatas tersebut. Selanjutnya data tafsir merupakan
tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama. Sumber datanya adalah berbagai
penafsiran al-Qur’an dari para ahli tafsir, diantaranya adalah tafsir ‘al-Qur`ān al-
62
‘Azhīm’ karya Ibnu Kaṡīr, tafsir ‘al-Manār’ karya Rasyid Ridha, dan tafsir ‘alMishbah’ kaya Quraisy Shihab. Data al-Qur’an yang merupakan data pokok
dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan metode korpus.
Berikut adalah contoh data dari teks sya’ir,
1
‫ﻖ‬‫ﻳ ﹾﻠﺤ‬ ‫ﻃﻞﹴ ﹶﻻ‬ ‫ ﺑﺎﹶ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻊ‬‫ﺗﻀ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻭﻣ‬
‫ﻳ ﹶﻘﻞﹾ‬ ‫ﻘﻞﹾ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻳﻦﹺ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻧﺖ‬‫ﻭﺃﹶ‬ (29)
(29) /Wa ʼanta ‘amūdu ad-dīni mahma taqil yuqal wa mahmā taḍa’ min
bāṭilin lā yulḥaq/.
‘Engkau adalah penopang kekuasaan, meski tak seberapa yang
dikatakan orang, dan meskipun ada kebatilan yang tidak sanggup kamu
tuntaskan’.
Sya’ir ini diucapkan oleh al-Mumazaq al-‘Abdī ketika ia memuji salah seorang
raja .(Abu ‘Udah, 1985: 115) Selanjutnya contoh data dari teks Hadis adalah,
‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻧﹺﻲ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬‫ﺒﺮ‬‫ﺎﻡﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺧ‬‫ﻫﺸ‬ ‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺪﺛﹶﻨ‬ ‫ﻰ ﺣ‬‫ﺜﹶﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺤﻤ‬
 ‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫( ﺣ‬30)
‫ﻣﻦ‬ ‫ﺃﹶﺓﹲ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ﺎ ﺍ‬‫ﻫ‬‫ﻨﺪ‬‫ﻋ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻋﻠﹶﻴ‬ ‫ﺧﻞﹶ‬ ‫ ﺩ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺸﺔﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬
 ‫ﺋ‬‫ﺎ‬‫ﻋ‬
‫ﻪ ﻟﹶﺎ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻥﹶ ﹶﻓﻮ‬‫ﻄ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﹶﻠﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻣﻪ‬ ‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﺎﺗ‬‫ ﺻ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺬﹾ ﹸﻛﺮ‬‫ﻧﺔﹸ ﺗ‬‫ ﻓﹸﻠﹶﺎ‬‫ ﻗﹶﺎﹶﻟﺖ‬‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﻫ‬
‫ )ﺭﻭﺍﻩ‬‫ﺒﻪ‬‫ﺎﺣ‬‫ ﺻ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﻡ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻳﻦﹺ ﹺﺇﻟﹶ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﺣﺐ‬ ‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶ‬‫ﻠﱡﻮﺍ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻰ ﺗ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻞﱡ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻳ‬
(41:‫ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬
(30) Ḥaddaṡanā Muḥammadu ibn al-Muṡanna, ḥaddaṡanā Yaḥya ‘an
Hisyāmin qāla ʼakhbaranī ʼabī ‘an ‘Aʼisyata ʼanna an-Nabiyya
ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama dakhala ‘alaihā wa ‘indahā ʼimraʼatun
qāla man hāżihi qālat fulānatu tażkuru min ṣalātiha, qāla mah
‘alaikum bimā tuṭiqūna fa wallāhi lā yamallu Allāhu ḥatta tamallū wa
kāna ʼaḥabba ad-dīni ʼilaihi mā dāma ‘alaihi ṣāḥibuhu/
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah
menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam. Ia berkata, telah
mengabarkan kepadaku bapakku dari ‘Aisyah bahwa Nabi shallallāhu
ʼalaihi wa sallam mendatanginya sedang bersamanya ada seorang
wanita lain, lalu Nabi shallallāhu ʼalaihi wa sallam bertanya: “siapa
ini?” ‘Aisyah menjawab: “si fulanah”, Lalu diceritakan tentang
shalatnya. Maka Nabi shallallāhu ʼalaihi wa sallam bersabda: “mah
(pernyataan kurang senang), hendaknya kalian mengerjakan yang
1
Abu ‘Udah, 1985: 115
63
kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian
sendiri yang menjadi bosan, dan agama yang paling dicintai-Nya
adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin” (HR al-Bukhari,
hadis no. 41).
1.6.2 Metode Analisis Data
Setelah data dapat disediakan dengan baik dalam arti telah diklasifikasikan
dengan cukup rapi, tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis. Data linguistik
akan dianalisis dengan langkah-langkah berikut: Pertama, data akan dianalisis
akar kata dan derivasinya sehingga dapat dikatahui kelas kata atau kategorinya.
Selanjutnya data akan dilacak maknanya dalam berbagai kamus, diantaranya
kamus Munawwir, al-Mawrid Qamus Araby-Inglizy (A Modern Arabic English
Dictionary), Mu’jam Maqayis al-Lughah, dan kamus Lisān al-‘Arab. Baru
kemudian data dianalisis maknanya berdasar penggunaannya dalam sya’ir, alQurʼan dan Hadis.
Kedua, data dari berbagai sumber data tersebut dianalisis dengan analisis
medan asosiasi untuk menemukan perkembangan maknanya. Sebagai hipotesis
kerja teori medan asosiasi dapat ditempuh melalui empat kategori, yaitu (1)
pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi antara penangkapan
pancaindera atas dasar kemiripan, (2) pergeseran dan perubahan makna
berdasarkan asosiasi antara penangkapan pancaindera atas dasar hubungan, (3)
pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi nama-nama atas dasar
kemiripan, dan (4) pergeseran dan perubahan makna berdasarkan asosiasi namanama atas dasar hubungan. Sebagai contoh adalah perkembangan makna kata
syarī‘ah. Kata syir‘ah demikian juga syarī‘ah pada mulanya berarti ‘air yang
64
banyak atau jalan menuju sumber air’. Kemudian agama dinamai syarī‘ah karena
ia adalah sumber kehidupan ruhani sebagaimana air sumber kehidupan jasmani.
Di sisi lain, tuntunan agama berfungsi membersihkan kotoran ruhani, serupa
dengan air yang berfungsi membersihkan kotoran material (Shihab, 2002, Vol 3:
139). Perkembangan makna yang demikian ini termasuk perkembangan makna
asosiasi kesamaan tanggapan panca indera (metafora) atas dasar kemiripan.
Ketiga, analisis relasi makna. Untuk menganalis unsur bahasa dīn, millah
dan syarī‘ah sehingga ia dapat dipetakan relasinya akan dipergunakan beberapa
perangkat, diantaranya adalah, sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis
membahas kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain
sebagai suatu satuan ujaran. (Chaer, 2007: 206) Dalam struktur sintaksis dibahas
kategori dan fungsi sintaksis. Melalui perspektif ini kata dīn, millah dan syarī‘ah
akan dianalisis relasi maknanya. Sebagai contoh data yang terdapat dalam ayat
berikut:
                (31)

(31) /Qul innanī hadānī rabbī ilā ṣirāṭin mustaqīmin dīnan qiyamān
millata Ibrāhīma ḥanīfan, wa mā kāna mina al-musyrikīn/
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku
kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, millah Ibrahim
yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik”
(QS al-An’am [6]: 161).
Secara gramatikal kata millah dalam ayat ini merupakan pengganti (badal) dari
dīn. Jadi dīn dan millah dalam konteks ayat ini adalah sama karena yang satu
menggantikan yang lain. Sebagai pengganti ia memiliki rujukan yang sama
dengan yang digantikan yaitu ṣirāṭ.
65
Selain sintaksis data juga akan dianalisis dengan analisis semantik. Analisis
ini diperuntukkan untuk menggali makna. Dalam hal ini penggalian makna akan
dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya adalah melalui pendekatan
analitik atau referensial, dan melalui pendekatan operasional (Pateda, 2001: 8687). Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan cara menguraikannya atas
segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional ingin mempelajari kata
dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih menekankan, bagaimana
kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari.
Bila dilihat dari sisi hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam
bahasa pencarian makna juga akan dilakukan dengan pendekatan ekstensional dan
pendekatan intensional (Nida, 1975: 22). Pendekatan ekstensional ialah
pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam konteks,
sedang yang dimaksud dengan pendekatan intensional adalah pendekatan yang
memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan
dengan unit-unit utama.
Di samping sintaksis dan semantik analisis pragmatik juga akan
dimanfaatkan dalam penelitian ini. Pragmatik dalam penelitian ini akan digunakan
untuk menganalisis relasi makna din, millah dan syarī‘ah berdasarkan konteks
penggunaan tiga kata tersebut. Dengan demikian makna yang didapatkan akan
semakin komprehensif karena tidak hanya makna tekstual tapi juga kontekstual.
Operasionalisasinya, pragmatik disini akan menganalisis pengetahuan yang
diasumsikan dimiliki bersama antara penutur dengan petutur sehingga tidak
terjadi ketimpangan dalam komunikasi. Berikut penjelasan mengenai konsep dan
66
istilah-istilah operasional dari teori pragmatik yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
1) Tindak Tutur
Pijakan utama penerapan teori pragmatik dalam penelitian ini adalah
terletak pada konsepsi tindak tutur sebagai unit pembicaraan atau percakapan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan data penelitian akan dilihat dari sudut
pandang ini. Karena dari sudut pandang ini bahasa sebagai ujaran dapat dianalisa
berdasarkan konteks penggunaannya. Jadi bukan berpijak pada kata, frasa atau
kalimat secara struktural.
Yang dimaksud dengan tindak tutur adalah tuturan yang menjadi unit
fungsional dalam komunikasi (Richards, 1985: 265; Allan, 1998: 164). Ada tiga
konsepsi tindak tutur, yaitu 1) tindak lokusi (locutionary act), 2) tindak ilokusi
(illocutionary act), dan 3) tindak perlokusi (perllocutionary act).
Tindak lokusi adalah tindak tutur sebagai the act of saying something atau
tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Nababan
(1987: 4) mengidentifikasi
bahwa konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proporsi kalimat.
Tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri atas dua unsur,
yakni subjek dan predikat atau topik dan comment. Tindak lokusi ini menurut
Wijana (1996: 17-8) merupakan tindak tutur yang relatif paling mudah untuk
diidentifikasi karena dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang
tercakup dalam situasi tutur. Selanjutnya menurut Parker (1986: 15) dari
perspektif pragmatik tindak lokusi sebenarnya kurang begitu penting perannya
dalam memahami tindak tutur.
67
Apabila kita menyertakan identifikasi tuturan tersebut dengan situasi
tertentu yang menyertainya, maka tuturan tersebut bisa mempunyai daya ilokusi
(illocutionary act). Jika dipandang dari segi penutur, tuturan ini dapat dikatakan
merupakan strategi pemecahan masalah. Sebuah tuturan dapat memiliki daya
ilokusi jika tindak tutur tersebut dikaitkan dengan situasi yang menyertai tuturan
tersebut. Dengan kata lain, tindak ilokusi adalah tuturan yang dipergunakan untuk
melakukan sesuatu atau the act of doing something.
Selanjutnya, jika tuturan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi orang
lain, maka tuturan itu mempunyai pengaruh atau daya perlokusi (perllocutionary
act). Dengan kata lain, tindak perlokusi adalah tuturan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur atau disebut sebagai the act of affecting someone. Daya
perlokusi ini bisa disengaja atau tak disengaja. Jika daya ilokusi dapat dianalisis
melalui pihak penutur, maka daya perlokusi ini muncul dari penafsiran pendengar
atau mitra tutur.
2) Presupposisi
Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 1996: 43). Analisis
presupposisi ini penting untuk mengasumsikan pengetahuan bersama antara
penutur dengan petutur. Karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui,
maka informasi yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan oleh penutur dan
akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan.
Interpretasi presupposisi ayat tentang dīn, millah dan syarī‘ah akan
melengkapi informasi dari tuturan ayat. Hasil interpretasi ini sedapat mungkin
68
dirujuk silang dengan konteks ayat. Dalam hal ini konteks ayat akan mengacu
pada asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), baik mikro maupun makro.
3) Konteks
Untuk menginterpretasikan tindak tutur sesuai dengan penggunaannya
maka hal yang penting dilihat adalah konteks tuturan tersebut. Karena berbeda
konteks tuturan yang sama bisa bermakna berbeda. Adapun yang dimaksud
konteks adalah lingkungan (environment; circumstances) dimana bahasa itu
digunakan. (Brown & Yule, 1983: 25)
Lingkungan yang dimaksud dapat
mencakup lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik atau lingkungan sosial.
Lingkungan fisik tuturan dapat disebut dengan koteks (cotext) sedangkan
lingkungan sosial tuturan dapat disebut dengan konteks (context). Kemudian
Wijana (1996: 11) lebih memperjelas maksud dari konteks dalam ilmu pragmatik.
Konteks dalam pragmatik pada hakikatnya adalah segala latar belakang
pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.
Keempat analisis komponen makna. Tujuan analisis ini adalah untuk
menguji lebih lanjut pemetaan relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah yang telah
dilakukan sebelumnya. Untuk tujuan ini, data dīn, millah dan syarī‘ah akan
diambil dari al-Qurʼan. Analisis ini akan menjelaskan makna yang dimiliki oleh
setiap kata yang terdiri atas sejumlah komponen yang membentuk keseluruhan
makna kata itu. Komponen makna ini akan dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu
persatu berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Teknik yang akan digunakan untuk menganalisis komponen makna dīn,
millah dan syarī‘ah adalah tekniknya Nida (1975: 64) yaitu penamaan, parafrasis,
69
pendefinisian dan pengklasifikasian. Proses penamaan
berkaitan dengan
acuannya. Beberapa cara yang akan digunakan dalam proses penamaan adalah
penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, dan penyebutan pengistilahan.
Selanjutnya parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem. Sementara
pendefinisian merupakan suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata
dengan menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat
dibedakan dari kata-kata lainnya, sedangkan pengklasifikasian merupakan cara
memberikan pengertian pada suatu kata dengan cara menghubungkan kata yang
satu dengan kata yang lain.
Selanjutnya data tafsir akan dideskripsikan secara kualitatif melalui
langkah-langkah berikut: Pertama kategorisasi, yakni ditinjau dari sisi produk
tafsir hubungan antaragama dan dari sisi metodologinya. Kedua adalah penafsiran
data. Dalam hal ini data yang sudah dikatagorisasikan ditafsirkan secara logis dan
luas, yakni apa dan bagaimana implikasi metodologi tafsir terhadap produk tafsir
hubungan antaragama.
1.6.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode
sajian informal. Dengan perkataan lain disajikan dalam bentuk kata-kata biasa
yang sangat teknis sifatnya.
70
1.7 Sistematika Pembahasan
Berdasarkan
latar belakang dan tujuan penelitian, maka sistematika
pembahasan penelitian ini disusun sebagai berikut:
Bab I, adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah untuk
menjelaskan secara akademik mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan.
Selanjutnya dirumuskan masalah atau problem akademik yang hendak dipecahkan
dalam penelitian ini sehingga menjadi jelas masalah yang akan dijawab.
Sedangkan untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini dan kontribusinya bagi
pengembangan keilmuan, maka pada bab ini juga dijelaskan mengenai tujuan dan
manfaat penelitian. Selanjutnya akan diuraikan juga mengenai penelitianpenelitian terdahulu yang sejenis untuk memberikan penjelasan dimana posisi
penulis dalam penelitian ini dan apa yang baru dalam penelitian ini. Kemudian
dilanjutkan dengan landasan teori, yaitu teori tentang makna, perkembangan
makna, medan, komponen dan relasi makna, implikasi relasi makna terhadap
metode penafsiran al-Qur’an serta paradigma tafsir hubungan antaragama. Uraian
lebih lanjut adalah mengenai metode penelitian dan langkah-langkahnya. Hali ini
dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana proses dan prosedur serta langkahlangkah yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini, sehingga sampai
kepada tujuan menjawab problem-problem akademik dalam penelitian ini.
Bab II, membahas analisis linguistik terhadap relasi makna dīn, millah
dan syarī‘ah. Pembahasan dimulai dengan analisis akar kata, dilanjutkan dengan
analisis perkembangan makna dīn, millah dan syarī‘ah, yakni mulai dari
penggunaannya dalam sya’ir jāhilī sampai dengan pengunaannya dalam al-Qurʼan
71
dan Hadis. Selanjutnya adalah analisis relasi makna tiga unsur bahasa tersebut dan
diselesaikan dengan analisis komponen maknanya guna menguji kesimpulan
rumusan relasi makna sebelumnya.
Bab III, menguraikan implikasi relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah
terhadap tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama. Pembahasan dimulai
dengan pemetaan relasi makna dīn, millah dan syarī‘ah. Dari hasil pemetaan ini
akan dirumuskan implikasi logis bentuk-bentuk relasi tiga unsur bahasa tersebut
terhadap tafsir al-Qur’an tentang hubungan antaragama.
Bab IV, adalah problematika epistemologi penafsiran. Isi pembahasannya
adalah diskusi mengenai produk tafsir hubungan antaragama dan epistemologi
penafsirannya kemudian diakhiri dengan pembahasan universalisme Islam sebagai
sebuah sintesa.
Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan jawaban
atas rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri dengan saran-saran konstruktif
bagi pemangku kebijakan mengenai hubungan antaragama.
Download