PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SOSIAL PADA MASA ORDE

advertisement
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SOSIAL PADA MASA ORDE BARU
DALAM LIMA PUISI WIJI THUKUL
oleh Ria Maha Putri, M. Yoesoef
[email protected]
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK
Judul Skripsi: Protes-Protes atas Permasalahan Sosial dalam Lima Puisi Wiji Thukul
Skripsi ini mendeskripsikan lima puisi Wiji Thukul di tahun 1986-1996 yang terdapat
dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Lima puisi itu berjudul “Apa yang berharga
dari puisiku, “Peringatan”,” Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan Aku
Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”. Dalam skripsi ini, penulis menganalisis struktur
instrinsik dapat merepleksikan keadaan yang dianalisis dari segi bahasa pengarang dalam
membuat puisi. Penulis juga menganalisis struktur ekstrinsik yang ada dalam puisi, yakni
analisis protes sosial yang dijelaskan pengarang.
Dalam skripsi ini juga menjelaskan
keterkaitan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik.
Kata Kunci: Wiji Thukul, Lima Puisi, Protes Sosial.
ABSTRAC
Title : The reactions toward The Social Problems in the poems Wiji Thukul
This paper describes the five phoems of Wiji Thukul’s poem in 1986-1996 which was
taken from the poem collection of Aku ingin jadi Peluru. The five poems titled “Apa yang
Berharga dari puisiku”, “Peringatan”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,
and “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa”. In this paper, the writer analyses the
intrinsic elementsby investigating social reflection through the research of figurative
language and the image of the poems. The writer also analyses the extrinsic elements by
investigating the problems toward social protest reflection in the poems Wiji Thukul, and the
explanation of the social condition of the author. In other words, the paper explains the
relationship between intrinsic and extrinsic elements when a work is created.
Keywords : Wiji Thukul, Five Poems, Social Reaction.
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil rekaan yang dibuat manusia, baik lisan maupun
tulisan.Karya sastra, seperti novel, puisi, dan cerpen diciptakan salah satunya untuk dipahami
dan dijadikan bahan pembelajaran. Menurut Damono (1978:1), karya sastra diciptakan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Sebuah karya sastra dapat memberikan gambaran
mengenai berbagai segi kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra, pengarang dapat
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
menggambarkan situasi yang terjadi pada diri atau lingkungannya.Karya sastra juga
biasadigunakan pengarang sebagai sarana untuk mengomunikasikan berbagai gagasannya.
Dalam proses pembuatan karya sastra, pengarang dapat terinspirasi dari peristiwa di
sekelilingnya. Sebagai contoh, dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji
Thukul, pengarang banyak menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat
memprihatinkan pada masa Orde Baru karena terinspirasi dari keadaan masyarakat Indonesia
pada saat itu. Dalam kumpulan sajak tersebut, disiratkan berbagai permasalahan masyarakat
Indonesia pada masa itu, seperti banyak anak Indonesia yang putus sekolah, sulitnya orang
mendapatkan pekerjaan, dan kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai untuk masyarakat.
Penulis puisi pamflet antara lain, W.S Rendra, Taufik Ismail, Soe Hok Gie, dan Wiji
Thukul (Waluyo, 1995:62). Wiji Thukul merupakan salah satu tokoh demonstrasi yang juga
diketahui menulis sajak-sajak pamflet ataupun sajak demonstrasi.Selama ini, Wiji Thukul
dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakkan PRD (Partai Rakyat Demokratik).Wiji Thukul
adalah seorang sastrawan yang menciptakan karya-karyanya dengan bahasa yang lugas dan
frontal. Dalam sajak-sajaknya tersebut ia banyak mengkritisi sebuah pemerintahan yang
otoriter.
Berbicara mengenai pemerintahan apalagi yang otoriter memang tidak ada
habisnya.Ada cukup banyak karya sastra yang mengangkat mengenai hal ini.Menarik untuk
melihat bagaimana karya sastra, khususnya puisi, mengangkat persoalan pemerintahan yang
otoriter. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menganalisis persoalan-persoalan yan terjadi
pada masa Orde Baru pada lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”,
“Peringatan”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “ Nyanyian Akar Rumut”, dan “ Aku Masih Utuh
dan Kata-kata Belum Binasa” dalam kumpulan puisi yang berjudul Sajak Aku Ingin Jadi
Peluru yang menggambarkan keadaan masyarakat pada masa Orde Baru
Gambaran Keadaan Rakyat Indonesia pada Masa Orde Baru
Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu
(terj.), (2013: 267), mengungkapkan pada tahun 1976-1978 terjadi persoalan kemiskinan di
Indonesia, yakni 40% penduduk berpenghasilan kurang dari 90 USD per tahun,
pengangguran naik hingga dua juta jiwa setiap tahun. Tingkat konsumsi 40% penduduk
miskin pendesaan turun hingga tiga persen per tahun.
Masyarakat Indonesia mengalami masa-masa sulit hal ini disebabkan karena pemerintah
mengutamakan pembangunan di kota dibandingkan di desa. Pemerintah banyak melakukan
pembangunan di kota sedangkan di desa kurang diperhatikan, sehinggat terjadilah
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
ketimpangan antara di kota dan di desa. Terutama membangun masyarakat desa dan
memberikan kesempatan belajara dan mengenyam pendidikan yang tinggi bagi masyarakat
desa agar masyarakat dapat mengelola sumber daya alam daerahnya masing-masing. Namun,
pada kenyataannya membangun masyarakat desa secara mandiri belum berhasil dilakukan
pemerintah, bahkan pada kenyataannya banyak anggaran pendidikan dan beberapa anggaran
daerah untuk mensejahterakan rakyatnya banyak yang dikorupsi.
Masyarakat desa tidak dapat mengelola sumber daya alam disebabkan karena kurangnya
pengetahuan yang dimiliki sehingga sumber daya alam yang harusnya dikelola oleh
masyarakat jadi dikelola oleh pihak asing karena banyak penduduk desa tidak memiliki
pendidikan yang tinggi disebabkan biaya sekolah mahal seperti yang dikatakan Utomo (2005:
2) biaya sekolah yang mahal makin lama tak terjangkau sehingga semakin sulit
menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi. Indonesia yang kaya dengan sumber daya
alam seharusnya dapat dikelola secara mandiri oleh penduduk setempat.
Namun, kenyataanya pemerintah Orde Baru yang terkenal dengan pembangunannya,
realitanya tidak dapat membangun desa dengan baik. Masyarakat desa yang tidak
mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak ahli dalam mengelola daerahnya, alhasil
masyarakat desa yang bodoh karena tidak ada soft skill mengelola daerah tempat tinggalnya,
sehingga yang mengelola kekayaan sumber daya alam indonesa seperti tambang emas, nikel,
tembaga, dll dikelola oleh pihak asing dan yang untung adalah pihak asing.
Sumber daya alam seperti tambang yang ada di Papua dikelola pihak asing karena
masyarakatnya tidak dapat mengelola sumber daya alam yang ada, karena tidak memiliki
pendidikan yang menunjang dalam mengelola sumber daya alam di daerah asalnya.
Akibatnya, banyak masyarakat di desa berpindah ke kota (urbanisasi). Masyarakat desa
masih beranggapan bahwa hidup di kota besar seperti Jakarta, mereka akan mendapatkan
kehidupan yang layak. Namun, setelah sampai kota banyak rakyat miskin yang sulit mencari
pekerjaan yang layak karena pendidikan mereka biasanya hanya tingkat SD atau paling tinggi
tingkat SMP. Sehingga sampai di kota besarpun seperti di Jakarta mereka hanya dapat
bekerja sebagai buruh atau kuli, dengan penghasilan yang sangat kecil.
Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu
(terj.), (2013: 268), pada 1979 upah standar adalah Rp 350 (0,56 dolar) untuk delapan jam
kerja, sementara buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari itu. Kepala Federasi
Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono, menyatakan 60%
buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Menurut Sediono (2010: 249), pada zaman Orde Baru banyak anak yang putus sekolah
dan kesempatan kerja terbatas, sulitnya mencari pekerjaan sehingga banyak yang bekerja
menjadi kuli, calo, pengamen, polisi gadungan, pengemis, dan tukang parkir. Akibatnya
mereka tidak mampu untuk membeli tanah untuk membangun rumah sehingga banyak yang
mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau bantaran sungai seperti sungai ciliwung.
Penduduk miskin yang berada di kota tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan,
bantaran sungai, dan di bawah jembatan, banyak dari mereka yang mendirikan rumah yang
terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan mereka
terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau kepolisian
karena didirikan tanpa izin atau didirikan secara ilegal.
Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa yang dapat
dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduknya di masing-masing daerah dengan potensi
yang ada di daerahnya. Padahal apabila desa itu melaksanakan sistem kuat mengenai cultur
dan kembali lagi direvitilisasi secara membudaya, maka urbanisasi bisa menjadi terbalik dari
kota ke desa. Hal ini, dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dari berbabagi pihak, yakni
pemerintah, swasta, dan juga masyarakat setempat. Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam
kuliah Jepang Kontemporer Antar Disiplin di pusat Studi Jepang FIB, ia mengatakan untuk
membuat penduduk desa sejahtera, pemerintah daerah dan pusat dapat melaksanakan
program revitalisasi, cara-cara revitalisasi, yakni dapat memanfaatkan orang luar kemudian
galakkan (volunter) komunitas pencinta desa, membuat produk banggaan, dan berupaya
untuk meningkatkan perhatian luar dengan promosi melalui media sosial. Oleh sebab itu,
perlunya kerjasama antar berbagai elemen, pemerintah, swasta, pihak asing, dan masyarakat
untuk menaikan devisa daerah khususnya di tempat tersebut, dalam harmoni Kebhinekaaan
menuju Masyarakat Sejahtera dan Mandiri.
Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam perubahan paradigma pertumbuhan ekonomi di
Jepang, ada kaum muda yang menuju Desa.Mereka diharapkan menjadi pelopor untuk
meningkatan nilai Desa dengan bentuk bisnis komunitas atau sosial yang baru dan
berkelanjutan.Pengembangan produk dapat dilakukan awalnya dengan memanfaatkan sumber
daya lokal dengan memenuhi aspek kearifan lokal daerah setempat.Pembangunan desa dapat
dilakukan mengutamakan “only one” atau lokalitas yang hanya ada di desa kita, dan
meningkatkan mutunya secara berkelanjutan yang dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di
desa sehingga desa dapat diibaratkan seperti gula didatangi semut (didatangi turis asing dan
lokal) yang otomatis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Faktanya banyak masalah yang terjadi di Indonesia karena pemerintah kurang cakap
mengelola alam yang Tuhan berikan, Pemerintah hanya mengutamakan kepentingan pribadi
sebagian kalangan tertentu dibandingkan kepentingan rakyatnya. Sehingga tidak heran
banyak jabatan pemerintah digunakan secara sewenang-wenang untuk mementingkan ego
para kaum borjuis di atas segalanya dibandingkan kepentingan rakyat. Hal inilah
menimbulkan berbagai masalah, seperti masalah pendidikan, kelaparan, kesehatan,
penggusuran, pekerjaan, dan masalah hukum seperti yang tercermin di dalam lima puisi Wiji
Thukul. Lima Puisi Wiji Thukul tersebut merefleksikan keadaan situasi pada masa Orde
Baru.
Refleksi Keadaan Situasi Pada Masa Orde Baru
Sajak-sajak Wiji Thukul tahun 1986-1997 yang dapat merefleksikan situasi pada masa
Orde Baru “Apa yang Berharga dari Puisiku”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Peringatan”, “Satu
Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan kata-kata Belum Binasa” Penjabaran refleksi
keadaan sosial, adalah sebagai berikut.
Permasalahan-Permasalahan pada masa Orde Baru yang direfleksikan dari Lima Puisi
Wiji Thukul
Masalah Pendidikan dan Kelaparan
Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku“ bait demi baitnya merupakan
protes rakyat kepada pemerintah terhadap berbagai persoalan hidup. Sejak 1970
jumlah penduduk Indonesia miskin mencapai angka 60% dari total penduduk
Indonesia (Zon, 2004: 3). Rakyat yang mengalami kemiskinan di Indonesia semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehingga
terjadi berbagai persoalan, seperti masalah pendidikan dan kelaparan.
Menurut Utomo (2005: 2) biaya sekolah mahal dan semakin lama semakin tak
terjangkau sehingga semakin sulit menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi
sama halnya dengan yang ada pada kutipan
apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar uang spp
dan jika yang dimakan tidak ada?
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Kutipan di atas menggambarkan pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang
putus sekolah karena biaya sekolah mahal, jangankan untuk mendapatkan pendidikan
yang layak, untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti makan saja rakyat
mengalami kesulitan. Pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang mengalami
kelaparan karena harga-harga bahan pokok mahal. Pada masa itu memenuhi
kebutuhan pokok saja sulit apalagi memenuhi kebutuhan yang lain.
Masalah Pekerjaan
Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan Puisi yang berjudul “Satu
Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah pekerjaan. Menurut
Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu
(terj.), (2013: 267) penduduk miskin Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih
lama untuk dapat bertahan hidup. Salah satu kutipan dari puisi “Apa yang Berharga
dari Puisiku” berbunyi
Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah
Dari kutipan tersebut tergambar persoalan-persoalan tarif yang tidak adil pada
masa itu. Harga bus lebih murah dibandingkan becak, sehingga orang-orang lebih
memilih naik bus dibandingkan becak. Pada sajak itu aku lirik mengungkapkan
kekecewaannya yang ditunjukkan pada pemerintah karena pemerintahlah yang
seharusnya bertanggung jawab mengatur negara agar sejahtera, sehingga tidak terjadi
permasalahan
dalam
pekerjaan.
Pada
sajak
ini
sebenarnya
Wiji
Thukul
menggambarkan kehidupan di sekitarnya karena ayahnya Wiji Thukul adalah tukang
becak (Suyono, dkk. dalam Tempo, 2013:108).
Menurut Zon (2004 :5—7) pada masa Orde Baru tahun 1998 tingkat
pengangguran melonjak hingga 20 juta orang, sama seperti yang ada pada kutipan
dari puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” berikut
di majalaya ada kawan eman buruh pabrik handuk dulu kini luntanglantung cari kerjaan
Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa pada masa Orde Baru rakyat miskin sulit
untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga pada masa itu banyak orang yang menjadi
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
pengangguran. Rakyat sulit mendapatkan gaji yang sesuai dengan kerja keras yang
dilakukan, seperti pada kutipan
di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemas letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam.
Selanjutnya, permasalahan gaji yang tidak sesuai dengan kerja keras sehingga
banyak buruh yang melaksanakan aksi mogok, seperti pada kutipan
di lembang ada kawan Sofyan
jualan bakso kini karea dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah yak karena upah
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa buruh sulit melaksanakan mogok
untuk kenaikan gaji karena apabila melaksanakan mogok kerja buruh tersebut akan
dipecat. Kutipan ini merefleksikan keadaan pada masa Orde Baru memang terdapat
peraturan mengenai pemogokkan kerja.
Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas
Bambu (terj.), (2013: 268) pada 1979 upah standar adalah Rp. 350 (0,56 dolar) untuk
delapan jam kerja; buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari ini. Kepala
Federasi Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono,
menyatakan 60% buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka.
Pada Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan untuk buruh yang mogok lebih
dari enam hari maka buruh tersebut dianggap mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Peraturan mengenai pemutusan tenaga kerja, yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 04/Men/1986, selanjutnya digantikan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 03/Men/1996 tentang cara pemutusan hubungan kerja. Dalam peraturan ini
diberikan batasan kepada buruh untuk menolak melakukan pekerjaan dengan cara
mogok, yaitu selama-lamanya enam hari berturut-turut, apabila buruh melakukan aksi
mogok lebih dari enam hari, buruh tersebut dianggap mengundurkan diri. Peraturan
ini semakin membuat buruh tersubordinasi.
Masalah Kesehatan
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan puisi yang berjudul “Satu
Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah kesehatan. Pada
puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah kesehatan pada
kutipan
Apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit di rumah
karena rumah sakit mahal?
Makna dari puisi ini adalah rakyat miskin sulit untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan karena biaya rumah sakit mahal. Oleh karena itu, rakyat miskin lebih
memilih tinggal di rumah dan tidak berobat. Puisi ini merupakan protes terhadap
pemerintah yang mengelola negara. Seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan
kebijakan biaya rumah sakit yang murah untuk rakyat miskin sehingga rakyat miskin
dapat berobat ke rumah sakit. Pendapatan rakyat miskin yang rendah pun
mengakibatkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya seperti berobat di rumah
sakit.
Pada puisi berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” masalah kesehatan terdapat pada
kutipan
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang umpama ronsen pasti nampak isi
dadaku ini pasti rusak/ karena amoniak ya amoniak
Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh yang bekerja di pabrik
berbahan kimia. Amonia adalah gas tajam yang tidak berwarna dengan titik didih 35,5 derajat celcius cairannya mempunyai panas penguapan yang bebas yaitu 1,37
Kj/g pada titik didihnya dan dapat ditangani dengan peralatan laboratorium yang
biasa. Cairan Nitrogen (NH3) mirip air dalam perilaku fisikanya bergabung dengan
sangat kuat melalui ikatan hidrogen. Tetapan dielektriknya -22 pada -34 derajat
celcius kira-kira 81 untuk H2O pada 25 derajat cukup tinggi untuk membuatnya
sebagai pelarut pengion yang baik (Cotton dan Wilkinson, 1989). Amonia dan garamgaramnya bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari
amonia. Amonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia,
serta industri bubur kertas dan kertas (pulp dan paper). Tinja dari biota akuatik yang
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber
amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara
atmosfer, limbah industri, dan domestik.
Amonia apabila terhirup oleh manusia dengan jumlah yang besar, sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia terutama kesehatan paru-paru. Buruh pabrik rentan
sekali terkena zat kimia berbahaya. Oleh sebab itu, sangat disarankan bagi pengusaha
yang mendirikan pabrik, pengolahan limbahnya harus sudah baik agar masyarakat
sekitar dan para buruh pekerja tidak terkena dampak dari bahan-bahan kimia yang
sangat berbahaya bagi tubuh. Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh pada
masa Orde Baru dan keadaan sekitar Wiji Thukul. Selain menanggapi hal ini dengan
membuat puisi, pada tahun 1992, Wiji Thukul juga pernah membantuk masyarakat
yang protes terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil PT
Sariwarna Asli.
Masalah Penggusuran
Puisi yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput” dan puisi yang berjudul “Apa yang
Berharga dari Puisiku” sama-sama membicarakan tentang masalah penggusuran. Pada
puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah penggusuran
pada kutipan
jalan raya dilebarkan kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-ditembok-tembok tercabut
terbuang
kami rumput/butuh tanah.
Dalam puisi yang berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” terdapat kutipan
berikut
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin mahal
Kami tak mampu membeli
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
yang merefleksikan keadaan masa Orde Baru. Dari kutipan tersebut tergambar
bahwa pada masa itu harga tanahnya mahal, masyarakat tidak mampu membeli tanah
sehingga banyak yang mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau di pinggiran
sungai, tetapi keadaan tersebut menyalahi aturan sehingga banyak juga yang terkena
penggusuran. Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto,
Komunitas Bambu (terj.), (2013: 267) pada masa Orde Baru, penduduk miskin yang
berada di kota banyak yang tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan,
bantaran sungai, dan di bawah jembatan karena harga tanah mahal. Rumah-rumah
mereka terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan
mereka terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau
kepolisian. Bukan hanya
masyarakat yang berada di wilayah pinggiran rel atau
sungai yang digusur, tetapi masyarakat yang berada di wilayah perkotaan atau pesisir
perkotaan juga ikut tergusur. Jika rumah mereka berada di tempat pemukiman yang
strategis untuk mendirikan mal atau proyek-proyek pemerintah yang lain, mereka
harus merelakan rumah mereka digusur kalau pemerintah memintanya.
Menurut Anggota IKAPI yang berjudul Masih(kah) Indonesia (2000: 49—50)
(2007: 49—50) mengungkapkan bahwa Orde Baru telah menjadi bagian sistem
ekonomi global yang berwatak dasar eksploitatif—kapitalistik dekatnya pengusaha—
dan pengusaha menyebabkan terjadi investasi luar biasa pada proyek-proyek
pembangunan gedung, seperti Dragon Tower, pembangunan Sudirman Central
Business District (CBD), Mega Kuningan, BNI City, Waterfront Development, dan
lain-lain. Presiden Soeharto juga mencanangkan Jakarta Waterfront City, sebuah
megaproyek yang mentransformasikan daerah pesisir ibukota menjadi kota terpadu
dengan kantor, apartemen, dan hotel berbentuk pencakar langit di atas ekstensi lahan
buatan.
Menurut Yoesoef (2003: 63—64), pemerintah sebagai pihak yang menentukan
kebijakan
pembangunan
bebas
melaksanakan
berbagai
langkah
yang
bisa
mengamankan dan menyukseskan pembangunan. Dalam hal ini rakyat adalah pihak
yang diabaikan.Meskipun ada wakil rakyat di DPR,sebagian besar mereka tidak
menjadi perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Dalam melaksanakan proses
perencanaan, sudah diketahui secara jelas bahwa pemerintah dipastikan mendapat
persetujuan tentang proyek pembangunan yang mereka rencanakan dan mendapat
legitimasi yang kuat dari wakil-wakil rakyat yang sebenarnya tidak mewakili
kepentingan rakyat, tetapikepentingan pribadi dan kalangannya.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Masalah Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia)
Menurut Iskandar, dkk. (2007: 128) Rezim Orde Baru telah melakukan tindakan
antidemokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).Amnesty International pun
dalam laporannya pada 10 Juli 1991, menyebutkan bahwa Indonesia dan beberapa
negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai negara
pelanggar HAM. Dalam tahun yang sama, Human Development Report yang disusun
oleh United Nation Development Program menetapkan Indonesia berada pada urutan
ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong d.k.k, 2005: 190).
Pada puisi berjudul “Peringatan” tergambar masalah pelanggaran hak asasi
manusia.Masyarakat yang mengeluarkan pendapat dianggap melawan pemerintah dan
banyak dari mereka yang melawan pemerintah hilang atau meninggal secara misterius
seperti pada kasus-kasus di atas. Di dalam puisi, hal tersebut tercermin pada kutipan
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menganggu keamanan.
Maknanya dari kutipan tersebut adalah rakyat pada masa Orde Baru dilarang
mengeluarkan kritikan dan saran karena akan dinilai subversif (melawan pemerintah).
Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan subversif yang diatur oleh
Peraturan Presiden No.11 tahun 1963.Pada pemerintahan Orde Baru undang-undang
ini sering dijadikan landasan dalam menangkap orang-orang yang dianggap melawan
pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada pada saat melaksanakan aksi buruh PT
Siritex.Pada aksi ini, Wiji Thukul ditangkap dan dipukuli hingga matanya hampir
buta. Hal ini juga yang menyebabkan Wiji Thukul menulis di salah satu bait sajak
yang berjudul “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” /ia tak mati-mati meski
bola mataku diganti/. Menurut Sunyono, dkk (2013: 100), Wiji Thukul menggelar
demonstrasi tersebut bersama aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya dari Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa untuk Buruh. Pada saat itu
ribuan buruh melakukan pemogokkan kerja pada tanggal 11 Desember 1995 untuk
menuntut kenaikan gaji buruh yang dibayar hanya Rp 1.600 per hari, jauh dari gaji
minimal provinsi Rp 2.600 per hari. Pada saat menuntut kenaikan gaji PT Sri Rejeki
Isman (Sritex) di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo ketika itu datang Kodim
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
(Komando Distrik Militer) yang memukuli Wiji Thukul ke kap mobil aparat militer
hingga matanya hampir buta.
Pada puisi “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” terdapat kutipan
/meski bercerai dengan rumah/ ditusuk-tusuk sepi/ kutipan tersebut bermakna tentang
perasaan Wiji Thukul yang sedang dirasakannya ketika menjadi buronan dan harus
berpisah dengan keluarganya,Wiji Thukul merasakan kesepian yang sangat sebagai
refleksi dari peristiwa kehidupan Wiji Thukul yang menjadi buronan, sehingga harus
berpisah dengan keluarga
karena dianggap dalang dari kerusuhan 27 Juli 1996.
Penguasa Orde Baru sangat otoriter dan melarang segala bentuk keritik dan saran.
Hak mengeluarkan pendapat tidak ada, ruang gerak media mempublikasikan sesuatu
yang berkaitan dengan penguasa harus diperiksa dan bila tidak sesuai yang diinginkan
penguasa akibatnya dapat fatal seperti pelarangan penerbitan yang lebih parah dapat
dihentikannya izin terbit seperti yang dipaparkan berikut ini. Menurut Asia Watch
(dalam Semma, 2008:134) masa Orde Baru adalah masa pemerintahan yang sangat
jelas menonjolkan ideologi diktator-otoriter. Ini tercermin pada saat pemerintah
mencabut izin 14 penerbitan termasuk tujuh surat kabar utama di Jakarta selama dua
minggu. Kemudian, sepanjang tahun 1980-an pers Indonesia terus mengalami
pelarangan demi pelarangan. Sebagai contoh, Jurnal Ekuin yang dilarang terbit akibat
menulis tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi harga minyak
yang dapat merugikan negara. Selanjutnya pada tahun 1983, saat terjadinya
permasalahan kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar, tiga buah majalah
dilarang terbit karena menerbitkan masalah kesenjangan tersebut yang dianggap
sensitif oleh pemerintah.
Damono
(1978:34)
mengungkapkan
bahwa
pemerintah
sebenarnya
menganggap bahwa tulisan atau karangan dari sastrawan seperti Wiji Thukul
memiliki peran yang penting bahkan dapat mempengaruhi sistem kekokohan yang ada
di pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan-tulisannya dikontrol oleh penguasa, apabila
dianggap melawan dan mengkritik pemerintah maka izin penerbitan akan dicabut. Hal
serupa sebenarnya sudah pernah terjadi di negara Rusia dan Cina yang memiliki
pandangan umum tentang hubungan antara sastra dan Marxisme. Di beberapa negara
komunis tersebut, pemerintah akan mengarahkan karya-karya sastrawan untuk
menuruti garis partai sehingga di negara-negara tersebut dapat diketahui partailah
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
yang menentukan segala-galanya. Apabila ada karya sastra yang melenceng dari garis
partai, akan dianggap tidak sesuai untuk masyarakat dan akan disingkirkan.
Menurut Hisyam (2003:58), bukan hanya keotoriteran yang sangat
mendominasi pada kepemimpinan Soeharto, tetapi rezim Orde Baru memang sangat
antikritik. Hal ini terlihat ketika ada orang yang mengkritik dan melawan sistem
pemerintahan, maka orang tersebut akan berhadapan langsung dengan aparat militer,
seperti yang dialami para mahasiswa yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Selain itu seperti kasus kerusuhan Malari, banyak mahasiswa yang ditangkap dan
dianggap dalang pada kerusuhan tersebut di zaman Orde Baru. Wiji Thukul yang
banyak menulis tentang sajak-sajak yang berisi protes terhadap pemerintahan Orde
Baru juga menjadi buronan. Pelarangan yang dilakukan pemerintah tersebut membuat
Wiji Thukul tidak gentar bahkan semakin sering menulis puisi-puisi yang berisi
protes. Selanjutnya, penulis memaparkan permasalahan Indonesia pada masa Orde
Baru dalam bentuk tabel.
Refleksi dari Situasi Sosial dan Sosial Pengarang Pada Masa Orde Baru
No
1
Sajak
Refleksi dalam Sajak
“Apa yang Berharga dari Apa yang berharga
dari puisiku
Puisiku”
kalau adikku tak
berangkat sekolah
karena belum
membayar uang spp
dan jika yang dimakan
tidak ada?
Realitas Sosial Pengarang
Pada 1978 terjadi persoalan
kemiskinan di Indonesia,
yakni 40 % penduduk
berpenghasilan kurang dari
90 USD per tahun sehingga
masyarakat banyak yang
putus sekolah.
2
“Nyanian Akar Rumput” jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembokditembok-tembok
tercabut
terbuang kami rumput
butuh tanah
Pada 1978 terjadi persoalan
kemiskinan di Indonesia,
yakni 40 % penduduk
berpenghasilan kurang dari
90 USD. Realitas yang
terjadi pada masa Orde Baru
adalah penduduk miskin
banyak yang tinggal di
bangunan tambal-sulam, di
pinggir jalan, bantaran
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
sungai, dan di bawah
jembatan karena harga tanah
mahal. Rumah-rumah
mereka terbuat dari karton,
potongan kardus bekas, dan
terkadang papan besi, bahkan
mereka terpaksa pindah
karena digusur oleh
pemerintah daerah, petugas
militer, atau kepolisian.
3
4
“Peringatan”
“Satu Mimpi Satu
Barisan”
dan bila omongan
penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti
terancam
apabila usul ditolak
tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik
dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan
menganggu keamanan
Pada masa pemerintahan
di lembang ada kawan
Sofyanjualan
bakso
kini karena dipecat
perusahaankarena
mogok karena ingin
perbaikankarena upah
yak karena upah
Pada
Orde Baru kritikan
merupakan tindakan
pelarangan, apabila
melaksanakan kritikan akan
dianggap subversif akan
ditindak dengan Peraturan
Presiden No.11 tahun 1963.
1979
upah
standar
adalah Rp 350 (0,56 dolar)
untuk delapan jam kerja;
buruh perempuan dan anakanak dibayar kurang dari ini.
Menurut
Buruh
Kepala
Seluruh
Federasi
Indonesia
yang. KOPKAMTIB Agus
Sudono
buruh
menyatakan
Indonesia
60%
dibayar
lebih rendah dari kebutuhan
hidup.
5
“Aku Masih Utuh dan
Kata-kata Belum
aku
bukan
artis Refleksi dari kehidupan Wiji
pembuat berita
Thukul
yang
menjadi
tapi
aku
memang
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Binasa”
selalu kabar buruk bagi
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
ia tak mati-mati meski
bola mataku diganti
meski bercerai dengan
rumah ditusuk-tusuk
sepi ia tak mati-mati
kau masih utuh
dan kata-kata belum
binasa
buronan,
berpisah
sehingga
dengan
harus
keluarga
karena dianggap dalang dari
kerusuhan 27 Juli 1996.
Menurut
Sunyono,
dkk
(2013: 100),Wiji Thukul juga
pernah
menggelar
demonstrasi bersama aktivis
Partai Rakyat Demokratik
lainnya
dari
Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia
dan Solidaritas Mahasiswa
untuk Buruh. Pada saat itu
ribuan
buruh
pemogokkan
melakukan
kerja
pada
tanggal 11 Desember 1995
untuk
gaji
menuntut
buruh
kenaikan
yang
dibayar
hanya Rp 1600 per hari, jauh
dari
gaji minimal provinsi
Rp 2.600 per hari. Pada saat
menuntut kenaikan gaji PT
Sri Rejeki Isman (Sritex) di
Desa
Jetis,
Kabupaten
Sukoharjo ketika itu datang
Kodim
(Komando
Distrik
Militer) yang memukuli Wiji
Thukul ke kap mobil aparat
militer
hingga
matanya
hampir buta.
Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima
puisi itu saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang
sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan dari
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
keotoriteran pemerintahan Orde Baru, yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan,
pendidikan, penggusuran, dan hukum. Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah
tanggung jawab pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan
dalam membuat kebijakan seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan
mengelola Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya.
Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang
mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan
segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengan atas), akibatnya
terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena
pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi kalangan
rakyat miskin, mementingkan kepentingan pribadi.
Gambaran Permasalahan Indonesia
Pada Lima Puisi Wiji Thukul
No
1
Judul Puisi
Permasalahan
“Apa yang Berharga dari Puisi yang ditulis tahun 1986 ini menggambarkan
Puisiku”
pertanyaan-pertanyaan batin Wiji Thukul tentang
kontribusi apa yang ia dapat ia berikan untuk bangsa
Indonesia
yang
sedang
kesulitan
memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan papan karena
dipimpin penguasa yang zalim.
2.
“Peringatan”
Puisi yang ditulis pada tahun 1986 menggambarkan
situasi Indonesia yang semakin bobrok karena
dipimpin oleh pemimpin yang otoriter dan antikritik.
3.
“Nyanyian Akar Rumput”
Puisi yang ditulis tahun 1988 ini menggambarkan
keadaan Indonesia yang semakin sulit, rakyat
Indonesia disimbolkan seperti rumput yang diinjakinjak pemerintahan yang zalim.
4
“Satu Mimpi Satu Barisan”
Puisi yang ditulis tahun 1992 ini menggambarkan
kesenjangan sosial yang dialami buruh dan gambaran
kesewenangan-wenangan presiden dalam memimpin
Indonesia.
5
“Aku Masih Utuh dan Kata- Puisi yang ditulis tahun 1997 ini berfungsi sebagai
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
kata Belum Binasa”
alat untuk memprovokasi masyarakat Indonesia agar
berani
bergerak
bersama
melawan
kezaliman
pemerintahan Orde Baru
Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima
puisi karya Wiji Thukul tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu sama-sama
mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami
kesulitan hidup pada masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu, kelima puisi tersebut
semuanya sama-sama menggambarkan kesewenang-wenangan presiden yang otoriter,
diktator, dan antikritik dalam memimpin rakyat Indonesia. Selanjutnya pada tabel di bawah
ini digambarkan keseluruhan dari situasi sosial pengarang dan realitas yang terjadi pada masa
Orde Baru.
KESIMPULAN
Setelah menganalisis lima puisi Wiji Thukul dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi
Peluru, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama adalah unsur-unsur
intrinsik dalam lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”, Nyanyian
Akar Rumput”,”Peringatan”,” Satu Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata
Belum Binasa” dipengaruhi oleh hal-hal di luar teks, seperti latar belakang sosial atau
peristiwa dan pandangan Wiji Thukul terhadap sebuah masalah atau pengetahuan.
Salah satu unsur intrinsik dari kelima puisi Wiji Thukul tersebut adalah penggunaan
majas atau gaya bahasa yang terdiri atas penggunaa majas metafora, personifikasi, sinisme,
hiperbola, dan ironi. Tingkat kemunculan paling sering ada pada majas personifikasi dan
hiperbola. Unsur intrinsik lainnya yang terdapat dalam kelima puisi tersebut adalah
pencitraan, baik dari segi pengelihatan dan pendengaran. Namun pencitraan yang ada dalam
puisi Wiji Thukul lebih banyak imaji penglihatan dibandingkan dengan imaji pendengaran
karena hanya imaji pendengaran hanya ditemukan satu buah. Unsur intrinsik yang
selanjutnya adalah tema. Tema dari lima puisi ini semuanya bertemakan protes. Oleh sebab
itu, penulis menyimpulkan puisi Wiji Thukul merupakan puisi pamflet. Sarena seperti yang
diungkapkan Pradopo (1987: 142) bahwa puisi pamflet adalah puisi yang mengungkapkan
protes sosial, puisi ini merupakan puisi-puisi demontrasi.
Puisi Wiji Thukul menggunakan imaji pendengaran dan imaji penglihatan untuk dapat
dengan mudah mengimajinasikan peristiwa yang terjadi pada Orde Baru. Hal ini bertujuan
untuk membuat pembaca merasakan hal yang sama yang dirasakan Wiji Thukul, ketika
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
rakyat dapat merasakan hal yang sama maka rakyat akan tergerak dan terpengaruh dengan
yang Wiji Thukul inginkan, yakni mempengaruhi rakyat untuk melaksanakan perlawanan
terhadap pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter dalam memimpin negeri.
Wiji Thukul menggunakan berbagai majas dalam lima puisinya, di dalam puisi
pertama yang berjudul “Apa yang Berharga daru Puisiku” Wiji Thukul menggunakan majas
metafora, sinisme, dan personifikasi, selanjutnya dalam puisi kedua yang berjudul
“Peringatan” majas yang digunakan dalam puisi kedua ini terdapat majas personifikasi,
metafora, sinisme, dan ironi, kemudian dalam puisi ketiga yang berjudul “Nyanyian Akar
Rumput” Wiji Thukul mengguanakan majas personifikasi dan hiperbola.
Dalam puisi keempat yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” terdapat majas
personifikasi dan hiperbola dan pada puisi kelima yang berjudul “Aku Masih Utuh dan KataKata Belum Binasa” terdapat majas hiperbola dan personifikasi. Dalam kelima puisi Wiji
Thukul majas personifikasi adalah majas yang banyak digunaka dalam lirik-lirik Wiji Thukul
dalam ke lima puisi tersebut selalu ada personifikasi, posisi terbanyak kedua ada pada majas
hiperbola yang terdapat dalam tiga puisi, yakni “Nyanyian Akar Rumput”, “ Satu Mimpi Satu
Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata belum Binasa”, tersebut, majas sinisme dan
metafora hanya terdapat dalam dua puisi Wiji Thukul, yakni terdapat dalam pusi yang
berjudul “Apa yang berharga dari puisiku” dan “Peringatan”, sedangkan majas ironi hanya
tedapat dalam satu pusi Wiji Thukul yang berjudul “Peringatan”.
Dalam lima puisi Wiji Thukul banyak menggunakan majas personifikasi, yakni benda
mati dianggap hidup untuk memberikan dramatis dalam puisi tersebut yang dapat
dibayangkan pembaca dengan mudah, Wiji Thukul juga menggunakan majas hiperbola
untuk melebih-lebihkan sesuatu agar pembaca dapat dengan mudah dipengaruhi dengan
kejadian-kejadian yang dibuat secara berlebihan, majas metafora dan majas sinisme adalah
bentuk kiasan yang dibuat Wiji Thukul serta sindiran untuk menyindir pemerintah Orde Baru,
dan majas ironi digunakan Wiji Thukul untuk menunjukkan ke ironisan yang terjadi di
masyarakat, yakni sindiran halus yang dibuat Wiji Thukul bahwa semua permasalahan yang
terjadi adalah tanggung jawab dari pemerintah pada masa itu, yakni masa Orde Baru, semua
majas yang terdapat dalam lima puisi Wiji Thukul beserta imaji yang dibuatnya, bertujuan
untuk membuat pembaca dapat mengimajinasikan dan merasakan berbagai peristiwa yang
terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter sehingga masyarakat dapat tersentuh
hatinya untuk bergerak bersama melawan pemerintahan Orde Baru jadi inti dari lima puisi
Wiji Thukul secara tersurat memang tentang ketidakadilan berbagai permasalahan bangsa
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Indonesia, tetapi makna tersiratnya Wiji Thukul ingin mengajak masyarakat Indonesia
bersama-sama untuk melaksanakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru.
Kesimpulan dari segi ekstrinsik puisi-puisi Wiji Thukul dari kumpulan puisi Aku
Ingin Jadi Peluru adalah bahwa kelima puisi tersebut dapat dijadikan sebagai cermin yang
dapat merefleksikan situasi sosial masyarakat dan situasi sosial pengarang ketika karya
tersebut dibuat.
Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat
Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan
pemerintah yang sewenang-
wenang dalam memimpin negeri ini, akibatnya timbul berbagai permasalahan yang terjadi,
yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan, pendidikan, penggusuran, dan hukum.
Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam membuat kebijakan
seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan mengelola Indonesia yang sangat
kaya sumber daya alamnya.
Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang
mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan
segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengah atas), akibatnya
terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena
pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi di
kalangan rakyat miskin, hanya mementingkan kepentingan pribadi.
Selain itu, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan mancusuar ekonomi yang
besar dan membuka seluas-luasnya penanaman modal dan kerjasama dengan pihak asing,
seandainya saja pemerintah mengutamakan pemerataan kesempatan belajar untuk seluruh
anak di Indonesia mendapatkan hak yang sama mendapatkan kesempatan pendidikan hingga
perguruan tinggi, tentunya permasalahan bangsa dapat diatasi karena masyarakat akan dapat
mengelola sumber daya alam secara mandiri di daerahnya masing-masing.
Masyarakat akan mandiri tidak ada lagi penggusuran, kelaparan, pengangguran, dan
orang sakit yang tidak dapat berobat. Namun, pada kenyataannya yang mengelola sumber
daya alam Indonesia bukan masyarakat setempat, melainkan pihak asing alhasil banyak anak
Indonesia menjadi buruh di negerinya sendiri dan ini sangat ironis negeri yang kaya namun
penduduknya banyak yang tidak sejahtera.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Daftar Referensi:
Anggota IKAPI, 2007. Masih(kah) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Cotton dan Wilkinson.1989.Dasar Kimia Anorganik . Jakarta:UI-Press
Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan.
Gonggong, Anhar, Musa Asy’arie, ed. 2005.
Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi: 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Komunikasi dan
Informatika.
Hisyam, Muammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Mohammad, dkk. 2007. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman.
Bekasi: Ganeca Exact.
Peraturan Presiden No. 11 tahun 1963. Pasal Subversif.
Pradopo, Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang. No. 04 Tahun 1999 tentang Peraturan
Pemutusan Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja. Jakarta.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Studies. Southwood dan Flanangan. 2013. Teror Soeharto. Depok: Komunitas Bambu
(terj).
Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo.
Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo.
Utomo, Tatag. 2005. Mencegah dan Mengatasi Krisis Anak. Jakarta: Grasindo.
Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan: Pembicaraan atas Drama-drama Karya
W.S. Rendra. Depok: Wedatama Widya Sastra.
Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute for Poicy
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Download