Kel.5-Global Warming

advertisement
GLOBAL WARMING: ANCAMAN NYATA SEKTOR PERTANIAN
DAN UPAYA MENGATASI KADAR CO2 ATMOSFER
Oleh Made Suarsana1 dan Putu Sri Wahyuni2
Abstrak: Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya
proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan
Bumi. sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia melalui efek rumah kaca. Efek rumah kaca disebabkan
karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gasgas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO 2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak. Upaya
Khusus Mengatasi Global Warming adalah menanam pohon dan
menggunakan bioenergi.
Kata Kunci: Efek rumah kaca, anomali Iklim, menanam
pohon, dan bioenergi.
Pendahuluan
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C
(1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah
kaca. Simpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan
akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan
tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa simpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990
dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta modelmodel sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus
1
Made Suarsana adalah staf edukatif pada Fakultas Pertanian Unipas Singaraja.
2
Putu Sri Wahyuni adalah staf edukatif pada Fakultas Pertanian Unipas Singaraja.
31
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan
terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca
telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat
pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser,
dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan
serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi
gas-gas rumah kaca.
Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824,
merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau
satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian
besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak.
Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang
menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer
bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain uap air, karbon
dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan
akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi
terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan makin
meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
32
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida
(CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan
oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik
lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:

25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer

25% diserap awan

45% diserap permukaan bumi

5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi
Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah
oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan
bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek
rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang
dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO 2) serta beberapa senyawa organik, seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Dampak Efek Rumah Kaca
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan
iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan
dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon
dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung
es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah
kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan
akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu ratarata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar
tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO 2 di atmosfer, maka akan makin
banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer.
Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
33
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di
bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur
rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari
temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila
gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
Dampak Pemanasan Global
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model
tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan
hewan liar, dan kesehatan manusia.
a. Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian
Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari
daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan
akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan
makin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di
beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut
malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini
disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga
akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara
rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan
di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini).
Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.
Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan
bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai
34
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
(hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih
besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat
dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
b. Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan
yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan
juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di
seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para
ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad
ke-21.
Gambar 1. Perubahan tinggi muka laut dari tahun ke tahun
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah
pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda,
17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi dari tebing,
pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai,
banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan
negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa35
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di
area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
c. Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan
lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain
pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak
dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gununggunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin,
yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan
masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.
d. Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena
habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan
yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati.
Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub
mungkin juga akan musnah.
e. Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang
panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan
malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai, dan kebakaran) dan kematian akibat
trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke
tempat-tempat pengungsian di mana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
36
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vectorborne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya
ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (misalnya, Aedes aegipty),
virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target
nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi bahwa ada beberapa spesies
yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perubahan ekosistem yang ekstrem ini. Hal ini juga akan berdampak terhadap perubahan iklim (climate
change) yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti
ISPA (kemarau panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak
menentu).
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai
juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan
berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi,
coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia
Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan di dunia ini
bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah bergaung sejak beberapa abad lalu.
Malthus, dalam karyanya yang menimbulkan perdebatan sengit, Essay on the Principle
of Population, mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa,
kelahiran yang tidak terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret
ukur, sementara persediaan makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari deret
hitung.
Kekhawatiran Malthus, dan juga banyak orang lainnya, jelas beralasan. Indikasi
yang ditunjuknya telah hampir menjadi kenyataan. Menurut Bank Dunia, populasi
global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih 8,3 milyar pada tahun 2025, dari
hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang pada asumsi bahwa seluruh manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi yang meningkat,
maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus persen, dari tingkat produksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya harus diberikan pada sektor pertanian,
sebagai sektor utama penghasil bahan pangan.
Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi
37
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
lewat dorongan terhadap peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak
disertai dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly
technology). Tulisan singkat ini, dengan menggunakan model Computable General
Equilibrium, bertujuan mencari relasi antara perdagangan bebas, peningkatan suhu
global warming, dan dampaknya pada sektor pertanian di Indonesia. Semoga dapat
menjadi bahan introspeksi bagi kebijakan sektor pertanian kita, setelah melewati
bulan pangan, Oktober tahun lalu.
Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan
salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan
iklim. Letak geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan
terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC,
Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi
di Indonesia.
Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di
daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc
Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris, menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter
dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim. Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini.
Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir
dan kekeringan juga diperkirakan akan makin sering terjadi, beberapa daerah di
bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah
yang paling rawan terhadap ancaman ini. Meningkatnya suhu memicu peningkatan
prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti malaria, diare, dan penyakit
saluran pernapasan. Untuk kasus malaria, peningkatan suhu menyebabkan nyamuk,
vektor malaria, yang sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di
daerah dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan peningkatan penyakit malaria di berbagai daerah di Indonesia. Kelangkaan air bersih akibat
kekeringan dan merembesnya air asin karena kenaikan permukaan air laut, memicu
peningkatan penyakit diare di masa depan.
Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan
lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di bebe38
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
rapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain
pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak
dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gununggunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin,
yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan
masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.
1) Panen padi kosong di Indramayu
Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap
dampak meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global. Menanam varietas Talimas
itu gagal panen di sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung ratarata kerugian petani untuk satu hektar mencapai satu juta lebih. Meningkatnya suhu
bumi membuat iklim terus berubah, menjadi sulit untuk diraba. Sehingga Sering terjadi keterlambatan tanam. Ini pertanda telah terjadi dampak pemanasan global.
2) Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim)
Pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawatnya, maupun lamanya. Namun dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak
langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana
banjir dan kekeringan.
Para petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan langsung dengan kondisi
cuaca dibuat pusing oleh anomali cuaca ekstrem. Musim kemarau seolah bertumpuk
dengan musim hujan sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di sejumlah
tempat hujan lebat tempat telah mengakibatkan banjir bandang yang menenggelamkan ratusan hektar sawah, dan ladang. Anomali cuaca ini juga menggandeng angin
puting beliung yang memporak porandakan sejumlah rumah dan pepohonan.
Anomali cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak dari global warming.
Fenomena global ini membuat kalang kabut para petani dan pengusaha agribisnis.
Tidak hanya banjir yang diterima juga terdapat peningkatan populasi hama. Banyak
terjadi kasus ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak dapat
dipanen akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek juga mengalami peningkatan sehingga mengganggu petani padi. Dampak ini juga berpengaruh kepada petani
tebu, karena mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan rendemen tebu.
39
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Global warming dalam jangka panjang akan mengubah perilaku iklim. Untuk di
Indonesia, teori iklim dua musim sudah kurang tepat, karena pada kenyataannya di
musim kemarau sering terjadi hujan dan di musim penghujan sering juga terjadi
kemarau. Perubahan iklim ini tentunnya akan mempengaruhi tumbuhan dan hewan,
baik secara fisiologis maupun morfologisnya dalam jangka panjang. Pada tanaman
yang tidak tahan air peka pada curah hujan yang tinggi, maka tidak akan tumbuh
dengan baik pada iklim yang tidak menentu. Dalam jangka panjang akan terjadi
pengurangan populasi tumbuhan yang tidak dapat hidup dalam iklim yang tidak menentu. Demikian juga terjadi sebaliknya.
3) Kalender tanam berubah
Di Subang yang merupakan sentra produksi pangan, hasil studi menunjukkan:
jika intensitas anomali kuat, maka masa tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim
kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi
kalau anomalinya sedang, mundurnya cuma 20 hari.
Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender
tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim
hujan, yang dialami cuma banjir. Petani jelas rugi.
Karena ramalan iklim susah ditebak. Kita kecolongan terus di lapangan. Yang
kita mampu adalah menyiasati bagaimana sebelum kekeringan, panen sudah selesai.
Ternyata perkiraan meleset. Seperti sekarang, kita perkirakan tanam Oktober 2010,
tapi sekarang belum menanam. Apa ada prediksi kalau Januari 2011 tidak banjir?
Sangat sulit untuk memprediksi hal tersebut.
Sukar ditentukan kapan persisnya dampak perubahan iklim terjadi. Ada pakar
yang berpendapat perubahan iklim sudah terjadi pada tahun 1970an, tapi ada juga
yang bilang baru tahun 1997. Pemerintah sendiri melalui Direktur Pengelolaan Air
Departemen Pertanian, mengakui dampak perubahan iklim untuk sektor pertanian di
Indonesia baru diawasi 1997.
4) Penurunan Produksi Pertanian Indonesia
Global Warming yang selanjutnya berakibat pada ketidakpastian perubahan
iklim, seperti banyak disinyalir oleh para pakar iklim, disebabkan oleh meningkatnya
kadar CO2, CFCs, gas Metana, dan gas-gas lainnya — tergabung dalam gas ‘rumah kaca’
— di atmosfir. Seperti diketahui, emisi gas-gas rumah kaca biasanya dihasilkan oleh
proses produksi dari industri-industri, terutama yang menjadikan bahan kimia sebagai salah satu bahan dasarnya. Untuk menghindari keadaan tersebut, maka tak ada
40
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
jalan lain kecuali mengurangi kadar/akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer,
lewat pembatasan/pengendalian terhadap pola produksi dan konsumsi yang polutif.
Namun, tampaknya, masih dibutuhkan waktu yang panjang untuk sampai pada
keadaan tersebut. Kondisi mutakhir menunjukkan bahwa kecenderungan emisi gasgas rumah kaca ternyata makin meningkat dari waktu ke waktu. Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat
dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan
sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam
banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya
mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen.
Adapun tahun lalu, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari
577.046 hektar sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi
5 ton gabah per hektar, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006
mencapai 948.865 ton. Untuk tahun ini, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan lahan pertanian yang mengalami puso karena banjir dan kekeringan hingga
Februari mencapai 33 ribu hektar. Jumlah tersebut bukan angka tetap karena pada
Maret lalu puluhan hektar tanaman juga terkena banjir. Akibat curah hujan yang
tinggi dan pengelolaan irigasi yang tidak optimal, air yang diidentikkan sebagai rezeki
dari langit tidak memberi berkah bagi penduduk bumi.
Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari
Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali
karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September
nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada 2002,
Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian
tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi
produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan
bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta
ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.
Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan frekuensi kehadiran El Nino, yang memicu makin besarnya kebakaran hutan. Inilah yang
terjadi di Indonesia pada 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat
kebakaran hutan pada 1997/1998 saja, menurut Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia, mencapai US$ 8.855, termasuk di dalamnya kerugi41
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
an sektor perkebunan (berdasarkan luas area lahan yang terbakar) US$ 319 juta dan
kerugian sektor tanaman pangan (berdasarkan penurunan produksi beras) mencapai
US$ 2.400 juta. Melihat berbagai realitas di atas, tidak salah jika Intergovernmental
Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts,
Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan iklim
makin mengancam produksi pangan Indonesia.
Upaya Umum Mengatasi Global Warming
1. Konferensi Climate Change (UNFCCC)
Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada
pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian
mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan
sistem iklim bumi. Konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak terkendali
adalah penyebab terjadinya perubahan iklim secara global. Di Indonesia sendiri, isu
perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan. Laporan para ahli perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini, menjadi
salah satu pemicu munculnya kesadaran berbagai kalangan terhadap ancaman perubahan iklim di negeri ini. Laporan yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation,
and Vulnerability menunjukkan ancaman-ancaman perubahan iklim yang sudah terjadi dan diperkirakan akan terjadi di masa depan. Selain itu, posisi Indonesia sebagai
tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim tahunan yang akan diselenggarakan di Nusa
Dua, Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.
2. Mitigasi
Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan menurunkan
tingkat emisi secara kolektif 5,2 persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus diusahakan. Sejauh ini negara maju memang mengucurkan banyak dana untuk berbagai
skema penyelamatan hutan di Indonesia, antara lain melalui program Clean Development Mechanism. Namun, tidak bisa tidak, mereka juga harus menurunkan tingginya
tingkat konsumsi energi fosil yang menyumbang besar pada pemanasan global dan
secara bertahap menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.
42
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga karbon dioksida salah satu jenis gas rumah kaca -akibat kebakaran hutan, perlu mengambil langkah
yang revolutif. Meski terlambat, inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem
nasional, pembangunan, dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium logging di
daerah-daerah tertentu. Pilihan kita, menahan sesaat kalkulasi ekonomi sektor ini
atau bencana berkepanjangan. Dari data Badan Planologi (2004), diketahui kerusakan
hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektare, di kawasan hutan
lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan hutan konservasi mencapai 4,69
juta hektare. Departemen Kehutanan menyebutkan pada 2000-2005, laju kerusakan
hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan hutan negeri ini
disebabkan oleh praktik ilegal, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara
paling masif dalam laju kerusakan hutan.
3. Adaptasi
Langkah adaptasi juga perlu dijalankan karena sekuat apa pun usaha kita mengurangi gas rumah kaca, kita tidak akan mampu sepenuhnya terhindar dari dampak
perubahan iklim. Di berbagai negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan strategi manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan infrastruktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan
di Indonesia. Setidaknya pemerintah membangun sistem identifikasi dan informasi
mengenai dampak perubahan iklim serta mengembangkan sistem peringatan dini dan
manajemen dampak perubahan iklim. Untuk sektor pertanian, sistem penyuluhan
sebagai pusat informasi cuaca dan perubahan iklim harus dibangun serius. Menghadapi perubahan iklim yang kian nyata menjelang 2050, perlu dikembangkan jenis padi
yang tahan kekeringan atau cara budidaya padi yang lebih efisien terhadap air. Selain
itu, pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi.
Kita perlu mempertanyakan bagaimana pemetaan wilayah yang rawan kekeringan, informasi perubahan dan prediksi iklim, peta zona agroekologi potensial, teknologi pemanenan hujan, serta embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan
pemerintah. Pada kenyataannya, bila El Nino tiba, selalu menyebabkan sebagian besar
wilayah dan lahan pertanian kita mengalami defisit air. Penghijauan/reboisasi, pembangunan dan manajemen irigasi, serta penataan daerah resapan air dan daerah aliran sungai yang telah diprogramkan sejak Orde Baru tidak jelas hasilnya. Bahkan
dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (8 Maret 2007) terungkap sebagian besar sungai yang ada di Pulau Jawa dalam keadaan kritis.
43
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Upaya Khusus Mengatasi Global Warming
Upaya khusus untuk mengatasi global warming adalah dengan menanam
pohon sebanyak-banyaknya, khususnya pohon dengan kemampuan menyerap
karbondioksida tinggi dan mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi baru
yang tanpa emisi karbon.
a) Menanam Pohon Trembesi
Penanaman pohon merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh setiap
orang untuk mengatasi masalah pemanasan global yang ramai diperbicangkan saat
ini. Konferensi Tingkat Tinggi Puncak Perubahan Iklim yang baru selesai terselenggara adalah di Copenhagen-Denmark 18 Desember 2009. Konferensi yang diselenggarakan PBB ini menuntut adanya pengurangan emisi karbon dunia harus di
bawah ambang batas yang ditargetkan, yaitu 25 hingga 40 persen.
Mengutip dalam situs resmi Kementrian KESRA disebutkan bahwa Pemerintah
Indonesia dalam konferensi tersebut berkomitmen akan mengurangi 26 persen emisi
karbon pada 2020. Penanaman pohon bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi
karbon dan Pohon Trembesi efektif menyerap karbon dari udara. Maka pada 13
Januari 2010 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan pencanangan pohon trembesi untuk menyerap karbondioksida (CO2) sebagai
salah satu cara guna mengurangi pemanasan global.
Pohon Trembesi atau dikenal dengan Pohon Hujan atau Ki Hujan adalah pohon
berkanopi seperti payung yang memiliki ukuran daun yang tak lebih dari koin Rp 100,
namun paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Menurut Dr. Ir. H. Endes N.
Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor mengungkapkan bahwa
Pohon Trembesi suatu terobosan untuk mengatasi pemanasan global, karena memiliki daya rosot gas CO2 yang sangat tinggi. Satu batang pohon Trembesi mampu menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahunnya (diameter tajuk 15 m). Penanaman jenis ini
secara luas dapat menurunkan konsentrasi gas ini secara efektif dalam waktu yang
lebih singkat.
Soal kehebatan Pohon Trembesi, Doktor Ilmu Kehutanan alumnus Institut Pertanian Bogor itu meriset 43 pohon yang acap dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Hasilnya, Pohon Trembesi terbukti paling banyak menyerap karbondioksida
dan memiliki kemampuan menyerap air tanah yang kuat. Dalam setahun, tanaman
yang didatangkan Belanda dari Semenanjung Yucatan, Meksiko, 16.400 km di seberang Jakarta itu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida.
44
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Kini pencanangan penanaman Pohon Trembesi yang banyak ditanam sebagai
tempat peneduh di pinggir jalan itu merupakan bagian dari gerakan “One man one
tree” yang telah digerakkan oleh Pemerintah sebelumnya.
b) Pohon Nipah sebagai sumber energi baru
Sebuah sumber energi baru ditemukan untuk menggantikan bahan bakar
minyak, yakni ethanol dari pohon nipah yang dipercaya dapat menghentikan pemanasan global. Dengan metode penyulingan minyak ditemukan sebuah penemuan,
yaitu memproduksi ethanol secara komersial dari pohon nipah, yang bisa ditemukan
di negara-negara yang berada di wilayah ekuator, yang bisa menjadi bahan bakar
mulai dari kendaraan bermesin hingga pembangkit listrik.
Nipah tumbuh di bagian belakang hutan bakau, terutama di dekat aliran sungai
yang memasok lumpur ke pesisir. Palma ini dapat tumbuh di wilayah yang berair agak
tawar, sepanjang masih terpengaruh pasang-surut air laut yang mengantarkan buahbuahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang sesuai, tegakan nipah membentuk
jalur lebar tak terputus di belakang lapisan hutan bakau, kurang lebih sejajar dengan
garis pantai. Nipah mampu bertahan hidup di atas lahan yang agak kering atau yang
kering sementara air surut. Palma ini umum ditemukan di sepanjang garis pesisir
Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik, khususnya di antara Bangladesh hingga
pulau-pulau di Pasifik. Nipah termasuk jenis tumbuhan yang terancam punah di
Singapura.
Getah nipah akan digunakan dalam sebuah proses untuk menghasilkan ethanol
yang tidak memproduksi satupun emisi karbon yang selama ini dianggap menyebabkan efek rumah kaca, yakni pengubah cuaca dan penipisan ozon. Pohon nipah tidak
termasuk sumber bahan makanan dan getahnya bisa diambil setiap hari tanpa harus
memanen tanaman tersebut. Tanaman ini bisa hidup hingga 50 tahun dan yang perlu
dilakukan hanyalah mengumpulkan getahnya dan disuling untuk menghasilkan bahan
bakar alternatif.
Daftar Pustaka
www.acehpedia.org. 2009. Dampak Global Warming Terhadap Pertanian. Tanggal
Akses: 15 Januari 2011.
Abimanyu Anggito, Satriawan Elan. www.republika.co.id. 1995. Dampak Global
Warming. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
www.indonesiancommunity.multiply.com. 2007. Global Warming dan Keamanan
Pangan Indonesia. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
45
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
www.broadcast-edu.or.id. 2007. Bahan Bakar Biologis dari Nipah Bisa Membantu
Menghalangi Pemanasan Global. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
www.id.wikipedia.org. 2010. Nipah. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
www.id.wikipedia.org. Efek Rumah Kaca. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
www.id.wikipedia.org. Pemanasan Global. Tanggal AKses: 15 Januari 2011.
Suberjo. www.aa-pemanasanglobal.blogspot.com. 2009. Adaptasi Pertanian Dalam
Pemanasan Global. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
www. antonsutrisno.webs.com. 2010. Anomali Iklim. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.
46
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Download