tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Superovulasi
Superovulasi
adalah
usaha
meningkatkan
diovulasikan dengan stimulasi hormon.
jumlah
sel
telur
yang
Superovulasi pada mencit dapat
dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin secara bertahap yaitu
Pregnant
Mare’s
Serum
Gonadotropin
(PMSG)
dan
human
Chorionic
Gonadotropin (hCG). Waktu yang paling tepat untuk penyuntikan hormon PMSG
adalah pada pukul empat sore dan diikuti 46-48 jam kemudian dengan hCG
(Ittner & Götz 2007). Mekanisme kerja hormon PMSG analog dengan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) yang berperan dalam pematangan folikel dan sedikit
berperan dalam pembentukan korpus luteum. Sedangkan hormon human
Chorionic Gonadotropin (hCG) bekerja analog dengan Luteinizing Hormone (LH)
yang berperan dalam mempercepat proses ovulasi (Hafez et al. 2000).
Respon mencit terhadap superovulasi dipengaruhi beberapa faktor antara
lain strain, umur, berat badan, dosis hormon gonadotropin serta fase siklus
estrus. Mencit mencapai dewasa kelamin pada umur 6 mingggu. Jumlah embrio
yang dihasilkan pada perkawinan normal adalah 7-10 embrio, sedangkan setelah
perlakuan superovulasi dihasilkan 20-30 embrio per individu (Rianti 2005).
Hogan et al. (1994) menjelaskan bahwa secara normal perkawinan pada
mencit terjadi saat pertengahan siklus gelap pada siklus 12 jam siklus terang dan
12 jam siklus gelap. Ovulasi merupakan kejadian pelontaran sel telur yang telah
matang dari folikel de Graaf dan pada mencit terjadi secara spontan. Ovulasi
terjadi pada pertengahan siklus gelap yaitu antara pukul 19.00 - 05.00.
Terjadinya perkawinan dapat diamati pada keesokan paginya dengan mengamati
terbentuknya masa berwarna putih kekuningan (vaginal plug) yang merupakan
campuran antara plasma semen dan lendir vagina dalam lumen vagina.
Perkembangan Embrio Praimplantasi
Fahrudin et al. (2008) menjelaskan bahwa proses perkembangan
embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya pembuahan sel telur oleh
sperma sehingga terbentuk zigot. Zigot merupakan bentuk paling awal dari
perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang terbuahi.
Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan
istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satu sel menjadi dua sel, masing-
5
masing anak hasil pembelahan disebut blastomer. Masing-masing blastomer
selanjutnya akan membelah menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya.
Sel-sel blastomer akan saling menyatu dan menjadi kompak, bergerombol
berbentuk seperti anggur, maka embrio tahap ini disebut morula. Pada tahap
morula sel bagian tengah akan memadat dibandingkan sel bagian luar.
Hubungan antar sel pada sel-sel bagian dalam terjadi melalui gap junction,
sedangkan sel-sel permukaan melalui tight junction. Tight junction diyakini
menjadikan sel-sel pada daerah permukaan lebih permeabel dibandingkan selsel sebelah dalam. Terbentuknya tight junction pada sel-sel permukaan akan
merangsang akumulasi cairan dalam morula. Akumulasi cairan ini terjadi karena
konsentrasi ion di bagian dalam meningkat sehingga air akan masuk ke dalam
embrio, dan mulai membentuk rongga yang disebut blastosul. Embrio yang
sudah memiliki rongga blastosul disebut blastosis.
Sel-sel blastomer pada blastosis akan terus bermitosis dan akumulasi
cairan akan semakin bertambah. Sel-sel bagian dalam blastosis akan saling
berkomunikasi melalui gap junction membentuk inner cell mass
(ICM),
sedangkan sel-sel di bagian permukaan yang berkomunikasi dengan tight
junction akan menjadi trofoblas. Trofoblas memproduksi enzim proteolitik yang
berfungsi untuk menipiskan zona pelusida, sehingga zona pelusida mudah
pecah. Adanya pertambahan jumlah sel, akumulasi cairan dan melemahnya zona
pelusida menyebabkan zona pelusida pecah dan embrio keluar dari zona
pelusida. Proses ini disebut hatching (menetas). Selanjutnya embrio tanpa zona
ini (hatched) akan berkomunikasi dengan endometrium untuk proses implantasi.
Tahapan dan waktu pembelahan embrio disajikan pada Tabel 1.
Kecepatan pembelahan embrio sangat bervariasi pada spesies hewan. Pada
mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya,
namun secara umum akan menghabiskan waktu 3.5 hari untuk perkembangan
dari mulai tahap pembelahan sel (cleavage) sampai dengan tahap blastosis
(Kispert & Gossler 2004).
6
Tabel 1 Tahapan dan waktu perkembangan embrio mencit
Tahap Perkembangan Embrio
1 sel
2 sel
4 sel
8 sel
Morula
Blastosis
Blastosis hatched – Implantasi
Sumber : Theiler (1989).
Waktu (Jam)
0-20
24
48
52
72
96
120
Vitrifikasi
Pembekuan (kriopreservasi) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari teknologi reproduksi berbantuan (Assisted Reproductive Technology, ART).
Penelitian dasar dan aplikatif selama ini telah menghasilkan beberapa prosedur
kriopreservasi embrio. Berdasarkan prosedur pendinginan dan konsentrasi
krioprotektan yang digunakan, dikenal metode konvensional dengan pembekuan
lambat (conventional slow freezing), pembekuan cepat (ultra rapid freezing) dan
metode vitrifikasi.
Metode konvensional membutuhkan biaya yang relatif mahal karena
menggunakan mesin pendingin yang dapat diprogram (program freezer machine)
untuk mengatur pendinginan secara bertahap. Selain itu, metode ini juga
melibatkan proses pembekuan bertahap dengan menekankan pentingnya proses
seeding. Seeding merupakan proses inisiasi pembentukan kristal es ekstraseluler
dengan menyentuhkan forceps dingin pada bagian luar straw. Laju pendinginan
yang lambat menyebabkan tingginya peluang terbentuknya kristal es yang
bersifat letal bagi sel (Boediono 2005). Terbentuknya kristal es intraseluler dapat
menyebabkan kerusakan membran, organel sel dan hilangnya kemampuan
embrio untuk tumbuh setelah proses pembekuan. Penggunaan metode slow
freezing untuk kriopreservasi embrio tahap blastosis pada semua spesies
termasuk manusia, memberikan hasil yang kurang memuaskan karena terjadi
penurunan viabilitas, ketidakstabilan bentuk dan kemampuan implantasi setelah
dilakukan thawing (Lane et al. 1999).
Pengembangan metode kriopreservasi pada dasarnya memiliki tujuan
mekanisme yang sama yaitu terjadinya dehidrasi osmotik dari sel sebelum
penyimpanan dalam nitrogen cair dan melindungi sel terhadap pengaruhpengaruh merugikan dari toksisitas kimia dan pembekuan intraseluler. Kunci
7
keberhasilan tidak terlepas dari pengoptimalan masing-masing tahap prosedur
yang digunakan dalam hubungannya dengan ukuran, permeabilitas, dan sifat
fisiologis awal sel tersebut. Dengan demikian keseluruhan prosedur tersebut
dapat mempertahankan sel (Rall 1992).
Upaya modifikasi metode pembekuan terus dilakukan sebagai alternatif
kriopreservasi metode konvensional slow freezing, antara lain dengan metode
pembekuan cepat (rapid dan ultra rapid freezing) sampai pada metode vitrifikasi
di mana pembentukan kristal es dihindari pada saat pembekuan. Rall dan Fahy
(1985) melaporkan bahwa metode vitrifikasi lebih efektif, cepat, sederhana dan
lebih murah tanpa menggunakan alat pembekuan khusus.
Vitrifikasi adalah pembekuan sel ataupun embrio yang dilakukan secara
cepat pada nitrogen cair bersuhu -196°C sehingga diharapkan sel dan
lingkungan sekitarnya di dalam medium kriopreservasi berubah menjadi vitreus
atau glassy state. Keunggulan prosedur vitrifikasi adalah mampu mengeliminasi
secara
total pembentukan
kristal es
baik secara
intraseluler maupun
ekstraseluler, protokol lebih sederhana dan waktu pengerjaan yang lebih singkat.
Liebermann et al. (2002) melaporkan bahwa metode ini dapat diaplikasikan
secara luas pada embrio mamalia.
Tujuan vitrifikasi adalah menyimpan embrio dalam waktu lama dengan
cara menghentikan aktivitas metabolismenya yang dilakukan pada suhu -196ºC
dalam nitrogen cair. Dengan metode ini sebagian besar air di dalam sel
dikeluarkan sebelum terjadi pembekuan intraseluler dan digantikan dengan
krioprotektan, sehingga pada saat pembekuan tidak terjadi kristal es (Rall & Fahy
1985). Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi,
antara lain: (1) Jenis dan konsentrasi krioprotektan yang digunakan; (2) Suhu
larutan vitrifikasi yang digunakan saat memapar sel; (3) Lama waktu yang
digunakan dalam memapar sel pada krioprotektan sebelum dicelupkan dalam
nitrogen cair; (4) Jenis wadah yang digunakan untuk vitrifikasi, karena ukuran
permukaan pemaparan mempengaruhi laju pendinginan dan (5) Kualitas sel dan
jaringan yang divitrifikasi.
Hemi-straw
Banyak metode vitrifikasi yang dikembangkan sebagai pertimbangan atas
toksisitas krioprotektan dan menghindari terbentuknya kristal es, antara lain
metode konvensional dan minimalis krioprotektan. Pada metode vitrifikasi
8
konvensional, embrio dikemas dalam straw ukuran 0.25 ml untuk selanjutnya
didinginkan secara cepat langsung dalam nitrogen cair. Namun pada
kenyataannya, ketebalan dan bahan dari straw yang digunakan akan
mempengaruhi proses pendinginan dan pencairan secara cepat sehingga diduga
masih dapat menyebabkan terbentuknya kristal es intraseluler. Sedangkan pada
metode vitrifikasi minimalis krioprotektan, volume krioprotektan yang digunakan
minimum sehingga dapat menurunkan pengaruh osmosis dan toksisitas
(Boediono 2005).
Memperkecil volume krioprotektan dapat dilakukan dengan menggunakan
wadah khusus selama proses vitrifikasi. Jenis wadah yang digunakan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi.
Penggunakan wadah tersebut bertujuan untuk memperoleh laju pendinginan
yang tinggi. Beberapa metode menggunakan wadah seperti open pulled straw
(OPS; Vajta et al. 1998; Chen et al. 2000a,b; Hurtt et al. 2000; Oberstein et al.
2001), flexipet-denuding pipette (FDP; Liebermann et al. 2002), micro-drops
(Papis et al. 2000), electron microscope copper grids (EM; Hong et al. 1999;
Chung et al. 2000; Park et al. 2000), hemi-straw system (Vandervorst et al. 2001;
Vanderzwalmen et al. 2003), nylon mesh (Matsumoto et al. 2001), cryoloop
(Lane et al. 1999; Oberstein et al. 2001; Yeoman et al. 2001; Batan et al. 2009)
dan cryotop (Murakami et al. 2011).
Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah modifikasi hemi-straw
yang menggunakan straw 0.25 ml yang telah disayat bagian ujungnya, sehingga
volume krioprotektan yang digunakan minimum dan proses pendinginan dapat
berjalan lebih cepat. Wadah ini awalnya dikembangkan oleh Vandervorst et al.
(2001) dengan menempatkan embrio dan sedikit krioprotektan (< 1.0 µl) diatas
straw yang telah disayat bagian ujungnya sepanjang 1 cm. Dengan demikian,
embrio langsung dicelupkan dalam nitrogen cair dengan posisi vertikal sehingga
didapatkan derajat pendinginan yang cukup tinggi.
Krioprotektan
Keberhasilan vitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah jenis dan konsentrasi krioprotektan. Krioprotektan adalah zat kimia yang
dibutuhkan pada proses kriopreservasi dan berfungsi untuk melindungi sel dari
pengaruh buruk yang dapat bersifat letal bagi sel pada saat proses pembekuan
atau pendinginan (Liebermann et al. 2002). Selain dapat melindungi sel,
9
krioprotektan juga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat sifatnya yang
toksik (Fahy 1986; Fahy et al. 1990).
Boediono (2005) mengelompokkan krioprotektan menjadi dua, berdasarkan
sifat krioprotektan terhadap permeabilitas membran sel, yaitu: (1) krioprotektan
yang dapat masuk ke dalam sel (permeable cryoprotectants), misalnya etilen
glikol (EG), dietilen glikol, gliserol, 1.2-propanediol (PROH) dan dimetilsulfoksida
(DMSO); (2) krioprotektan yang tidak dapat masuk ke dalam sel (permeable
cryoprotectants), misalnya polivinilpirolidon (PVP), protein (susu, kuning telur,
albumin, serum), karbohidrat seperti gula (glukosa, sukrosa, trehalosa, manosa,
rafinosa).
Penggunaan
krioprotektan
pada
proses
kriopreservasi
umumnya
mengkombinasikan lebih dari satu krioprotektan intraseluler (bersifat permeabel)
dan juga menambahkan krioprotektan ekstraseluler (bersifat non-permeabel). Hal
ini bertujuan untuk mengurangi efek toksik krioprotektan. Etilen glikol,
dimetilsulfoksida, dan gliserol merupakan krioprotektan yang banyak digunakan
dalam proses kriopreservasi (Liebermann et al. 2002). Menurut Dattena et al.
(2004) penggunaan krioprotektan dengan permeabilitas yang tinggi, seperti etilen
glikol dan dimetilsulfoksida, secara tunggal atau kombinasi dapat mengurangi
kerusakan sel akibat pembekuan dan mengurangi tahapan pemaparan.
Penggunaan etilen glikol sebagai larutan dasar vitrifikasi sangat efektif
untuk membekukan berbagai tahap perkembangan embrio (Kasai et al. 1990;
Miyake et al. 1993; Mukaida et al. 2003). Etilen glikol mempunyai kemampuan
masuk dan keluar sel yang lebih cepat dibandingkan dengan gliserol. Hal ini
disebabkan oleh berat molekul etilen glikol lebih kecil dibandingkan dengan
gliserol. Selain karena kemampuan etilen glikol yang mudah menembus masuk
dan keluar sel dalam waktu yang lebih singkat, toksisitas etilen glikol juga lebih
kecil jika dibandingkan dengan gliserol sehingga mempengaruhi ketahanan hidup
embrio yang lebih tinggi (Rusiyantono et al. 2000).
Download