BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Guru a. Profesi guru Kata

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Guru
a. Profesi guru
Kata profesi idientik dengan kata keahlian. Jarvis via Yamin (2007: 3)
mengartikan seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang ahli
(expert). Pada sisi lain, profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni
pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berdasarkan
intelektualitas.
Sardiman (2009: 133) berpendapat secara umum profesi diartikan sebagai
suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut dalam science dan teknologi
yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam
kegiatan yang bermanfaat. Pengertian profesi menurut Sardiman ini dikuatkan
dengan pengertian profesi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut KBBI (2005: 897), kata profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
Dari beberapa pengertian mengenai istilah profesi menurut Javis,
Sardiman, dan KBBI, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan
yang memerlukan keterampilan khusus untuk melakukannya. Karena dua kata
kunci dalam istilah profesi adalah pekerjaan dan keterampilan khusus, maka guru
merupakan suatu profesi. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Uno. Menurut Uno
(2008: 15), guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang
memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan.
b. Pengertian guru
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa guru adalah pendidik.
Lalu, siapakah guru? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:
377), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar. Pengertian guru menurut KBBI di atas,
masih sangat umum dan belum bisa menggambarkan sosok guru yang
sebenarnya, sehingga untuk memperjelas gambaran tentang seorang guru
diperlukan definisi-definisi lain.
Suparlan dalam bukunya yang berjudul ―Menjadi Guru Efektif‖,
mengungkapkan hal yang berbeda tentang pengertian guru. Menurut Suparlan
(2008: 12), guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan
emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Namun, Suparlan (2008:
13) juga menambahkan bahwa secara legal formal, guru adalah seseorang yang
memperoleh surat keputusan (SK), baik dari pemerintah maupun pihak swasta
untuk mengajar.
Selain pengertian guru menurut Suparlan, Imran juga menambahkan
rincian pengertian guru dalam desertasinya. Menurut Imran (2010: 23), guru
adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam tugas
utamanya seperti mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan menengah.
Pengertian-pengertian mengenai guru di atas sangat mungkin untuk dapat
dirangkum. Jadi, guru adalah seseorang yang telah memperoleh surat keputusan
(SK) baik dari pihak swasta atau pemerintah untuk menggeluti profesi yang
memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya untuk mengajar dan
mendidik siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan menengah, yang tujuan utamanya untuk mencerdaskan
bangsa dalam semua aspek.
c. Peran guru
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran. Peserta
didik memerlukan peran seorang guru untuk membantunya dalam proses
perkembangan diri dan pengoptimalan bakat dan kemampuan yang dimiliki
peserta didik. Tanpa adanya seorang guru, mustahil seorang peserta didik dapat
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Hal ini berdasar pada pemikiran
manusia sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan bantuan orang lain
untuk mencukupi semua kebutuhannya.
Mulyasa (2007: 37) mengidentifikasikan sedikitnya sembilan belas peran
guru dalam pembelajaran. Kesembilan belas peran guru dalam pembelajaran
yaitu, guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat,
pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong
kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa
cerita, aktor, emansivator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.
2. Kualifikasi guru
a. Pengertian kualifikasi guru
Menurut Suparlan (2008: 146), guru merupakan salah satu unsur masukan
instrumental yang amat menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan. Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
baik, guru harus memiliki standar kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan
yang memadai.
Lalu apa yang dimaksud dengan kualifikasi? Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005: 603), yang dimaksud dengan kualifikasi adalah (1)
pedidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian; (2) keahlian yang
diperlukan untuk melakukan sesuatu (menduduki jabatan, dsb); (3) tingkatan; (4)
pembatasan atau penyisihan (di olah raga).
Berdasarkan pengertian guru dan kualifikasi yang telah dijabarkan
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai kualifikasi guru. Kualifikasi
guru adalah keahlian yang diperlukan seseorang untuk menjalankan profesi guru.
Namun, kualifikasi guru ini perlu diperjelas lagi untuk dapat dikaitkan dengan
pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia SMA. Untuk itu, perlu
dijabarkan lebih dalam lagi mengenai kualifikasi guru ini.
b. Kualifikasi guru mata pelajaran bahasa Indonesia SMA
Menurut Suparlan (2008: 27), berdasarkan tanggung jawab yang
diembannya, guru dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: (1) guru
kelas; (2) guru mata pelajaran; (3) guru bimbingan konseling; (4) guru
pustakawan, dan; (5) guru ekstrakulikuler. Dari kelima jenis guru tersebut, guru
yang mengajar di SMA/MA merupakan guru mata pelajaran. Yang dimaksud
dengan guru mata pelajaran adalah jika guru hanya memiliki tugas untuk
mengajarkan satu mata pelajaran saja.
Hal tersebut dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, Bab IV, bagian kesatu, pasal 30, butir
kelima. Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi bahwa pendidik pada SMP/MTS
atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat
terdiri atas guru mata pelajaran dan instruktur bidang kejuruan yang
penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan yang sesuai
dengan keperluan.
Kualifikasi guru untuk jenjang pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain
sederajat tercantum dalam Peraturan Pemerintah yang sama dengan di atas, pasal
29, butir keempat. Peraturan Pemerintah itu berbunyi pendidik pada SMA/MA,
atau bentuk lain yang sederajat memiliki: (1) kualifikasi akademik pendidikan
minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1); (2) latar belakang pendidikan
tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan; (3) sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA.
Pemerintah memang belum mengatur kualifikasi khusus untuk profesi
guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, menurut kualifikasi secara umum
tersebut, jelas bahwa guru mata pelajaran bahasa Indonesia harus mempunyai
latar belakang pendidikan tinggi sesuai mata pelajaran yang diajarkan. Latar
belakang tersebut adalah D-IV atau S1 program studi pendidikan bahasa
Indonesia.
Selain latar belakang pendidikan tinggi D-IV atau S1 program studi
pendidikan bahasa Indonesia, guru mata pelajaran bahasa Indonesia juga harus
tersertifikasi. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik yang dilakukan dalam bentuk
penilaian portofolio.
Penilaian portofolio ini selanjutnya juga dijelaskan dalam Peraturan
Mendiknas. Menurut Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, pasal 2, penilaian portofolio merupakan
pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap
kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
(1) kualifikasi akademik;
(2) pendidikan dan pelatihan;
(3) pengalaman mengajar;
(4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
(5) penilaian dari atasan dan pengawas;
(6) prestasi akademik;
(7) karya pengembangan profesi;
(8) keikutsertaan dalam forum ilmiah;
(9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial;
(10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
c. Kualifikasi guru yang berpengaruh dalam pengelolaan kelas pada
pembelajaran bahasa Indonesia
Secara umum, kualifikasi guru SMA/MA ada tiga yaitu: (1) kualifikasi
akademik; (2) latar belakang pendidikan tinggi; dan (3) sertifikasi profesi.
Namun, berdasarkan deskripsi dalam penilaian portofolio, untuk dapat
menentukan kualifikasi guru yang dapat berhubungan dengan pengelolaan kelas,
perlu diubah dan ditambahkan lagi menjadi kualifikasi guru sebagai berikut.
1) Kualifikasi akademik
Menurut Depdiknas dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi
guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan kualifikasi akademik,
yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti
sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau
Post Graduate diploma), baik dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang
terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma.
Depdiknas juga sudah mengelompokkan dan memberikan nilai dalam
penilaian fortofolio mengenai kualifikasi akademik guru. Berikut merupakan
pedoman penilaian kualifikasi akademik guru dalam Buku III Rubrik Penilaian
Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007.
Tabel 1. Pedoman Penilaian Kualifikasi Akademik Guru
Ijazah
S1
Relevansi
Skor
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
150
Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel) 150
Post
Graduate
Diploma
S2
S3
memiliki akta mengajar
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi
(mapel)
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi
dan rumpun bidang studi (mapel) memiliki akta
mengajar
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi
dan rumpun bidang studi (mapel)
Sesuai bidang studi
Tidak sesuai
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi
(mapel)
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi
dan rumpun bidang studi (mapel)
Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi
(mapel)
Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel)
Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan
rumpun bidang studi (mapel)
Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi
dan rumpun bidang studi (mapel)
140
130
120
120
110
80
50
175
160
160
145
130
200
180
180
160
140
2) Sertifikasi guru
Menurut Muslih (2009: 2), sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat
pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi
dengan peningkatan kesejahteraan yang layak. Mendiknas juga menjelaskan
sertifikasi guru dalam Peraturannya. Menurut Peraturan Mendiknas Nomor 18
Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, pasal 1, yang
dimaksud sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat
pendidik untuk guru dalam jabatan.
Dari dua pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sebelumnya.
Guru
yang
telah
tersertifikasi
tentu
akan
lebih
diakui
keprofesionalannya daripada guru yang belum tersertifikasi.
3) Pengalaman mengajar
Menurut Depdiknas dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi
guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan pengalaman mengajar
yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang
(dapat
dari
pemerintah,
dan/atau
kelompok
masyarakat
penyelenggara
pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/surat
keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang.
Depdiknas juga mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam
penilaian fortofolio mengenai masa kerja guru. Berikut merupakan pedoman
penilaian masa kerja guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi
Guru Dalam Jabatan Tahun 2007.
Tabel 2. Pedoman Penilaian Masa Kerja Guru
Masa Kerja Guru
>25 tahun
23 – 25 tahun
20 – 22 tahun
Skor
160
145
130
17 – 19 tahun
14 – 16 tahun
11 – 13 tahun
8 – 10 tahun
5 – 7 tahun
2 – 4 tahun
115
100
85
70
55
40
Keterangan: Tugas belajar diperhitungkan dalam pengalaman mengajar
4) Diklat
Menurut Depdiknas, dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi
guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan
(diklat) yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan
dalam
rangka
pengembangan
dan/atau
peningkatan
kompetensi
dalam
melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten
atau kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini
dapat
berupa sertifikat,
piagam,
atau surat
keterangan dari lembaga
penyelenggara diklat.
Suhadak (2010: 34) dalam desertasinya juga berpendapat bahwa guru
perlu dikutsertakan sesering mungkin dalam berbagai diklat peningkatan profesi
guru (inservice training) yang dikelola secara profesional dan merujuk pada
kebutuhan guru dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dasar pemikirannya
adalah seiring dengan perkembangan IPTEK, dimungkinkan kebutuhan siswa
dalam belajar akan meningkat, baik kebutuhan informasi, kebutuhan cara
pendekatan, maupun kebutuhan pembimbingan dalam belajar. Kondisi tersebut
jelas menuntut guru untuk selalu mengembangkan diri. Untuk itulah diperlukan
inservice training pengelolaan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk
menghasilkan karakteristik guru yang mampu melakukan baik pengelolaan
pembelajaran maupun pengelolaan kelas, termasuk di dalamnya berkomunikasi
dengan siswa secara efektif.
Terdapat
beberapa
macam
diklat
(inservice
training)
menurut
Indrafachruni via Suhadak (2010: 35-36). Macam-macam diklat tersebut adalah
sebagai berikut.
a) Up-garding
Up-grading ini merupakan salah satu usaha meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan khusus yang dibutuhkan guru tentang suatu masalah tertentu.
Misalnya,
tentang
cara-cara
pembuatan
alat-alat
pelajaran
dalam
pengembangan kurikulum muatan lokal, pembaharuan metode suatu mata
pelajaran, dan cara-cara pembimbingan calon guru berpraktek pembelajaran.
b) Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar
Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar umumnya dilakukan dalam bentuk
persentasi tentang suatu masalah yang perlu dipecahkan oleh nara sumber,
kemudian dilakukan tanya jawab atau diskusi untuk menemukan alternatif
solusi dari permasalahan yang timbul dalam presentasi tersebut. Ceramahceramah, rapat, dan seminar yang dimaksud di sini tentu saja bentuk ceramah,
rapat, dan seminar yang ada kaitannya dengan profesi sebagai guru. Jika guru
sering mengikuti seminar tetapi seminar tersebut tidak terkait dengan profesi
gurunya, maka seminar tersebut tidak akan banyak berpengaruh pada kinerja
sebagai guru.
c) Work-shop
Work-shop umumnya dilakukan dalam beberapa hari pada suatu tempat
dengan agenda utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta
yang
diundang
oleh
lembaga
yang
mempunyai
otoritas
untuk
menyelenggarakan work-shop tersebut.
d) Study tour
Di lingkungan diklat bagi guru, study tour dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan guru dengan melakukan kunjungan untuk studi
banding ke sekolah yang lebih maju. Study tour kini sering dirasakan lebih
efektif bagi guru karena peserta diklat dapat mengetahui tingkat kemajuan
sekolah yang dikunjungi secara langsung. Mereka juga mempunyai
kebebasan untuk melakukan tanya jawab dengan guru-guru dan staf sekolah
yang dikunjungi.
e) Intervisitation
Intervisitation ini pada prinsipnya sama dengan study tour, hanya saja
sifatnya timbal balik. Masing-masing guru di suatu sekolah saling melakukan
kunjungan untuk sharing pengetahuan dan pengalaman dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan guru dan staf sekolah lain.
Selain itu, diklat juga dapat digunakan untuk mengetahui jenjang karier
seorang guru. Berikut merupakan standar pola pembinaan karier guru menurut
Suparlan (2008:186).
Tabel 3. Standar Pola Pembinaan Karier Guru
No
1.
2.
Jenjang
Karier
Pejabat
Pimpinan
di
Kantor Dinas
Pendidikan
dan
atau
Departemen
Pendidikan
Nasional
Pengawas
3.
Kepala
Sekolah
4.
Wakil Kepala
Sekolah
5.
Guru Utama
6.
Guru Dewasa
Standar
Gaji
Standar
Mengikuti diklat internasional
Mengikuti diklat kepemimpinan IX
tingkat menengah dan tinggi
Persyaratan
Berpengalaman menjadi kepala
sekolah baik di sekolah negeri
maupun swasta
Mengikuti diklat kepengawasan
dan diklat lain yang menunjang
kompetensinya
Memahami standar kompetensi
pengawas
Pernah menjadi wakil kepala
sekolah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat tinggi
Memahami standar kompetensi
kepala sekolah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat menengah
Memahami standar kompetensi
guru
Telah
mengikuti
diklat
instruktur/pengembangan tingkat
menengah
Mengikuti
diklat
instruktur/pengembangan tingkat
menengah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat lanjut
Memiliki pengalaman dalam tugas
sebagai wali kelas, dan tugas
sekolah lainnya
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat dasar
Mengikuti diklat jenjang tinggi
Mengikuti pendidikan jenjang
Standar
VIII
Standar
VII
Standar
VI
Standar
V
Standar
IV
degree
lebih
sebelumnya
tinggi
dari
7.
Guru Madya
Mengikuti diklat jenjang lanjut dan Standar
III
menengah
Pengalaman mengajar lima tahun
8.
Guru Muda
Lulus seleksi secara objektif Standar
II
dengan tes perbuatan
Mengikuti diklat jenjang tingkat
dasar
9.
Guru Baru atau
Calon PNS
10.
Guru Bantu
Standar I
Pengalaman sebagai guru bantu
Mengikuti tes standar kompetensi
guru
Nonstan
Lulus seleksi guru bantu
Lulus LPTK program beasiswa dar
prestasi
Menurut Suparlan (2008: 182), pembinaan profesionalisme guru dapat
dilakukan melalui beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut yaitu: (1) peningkatan
kualifikasi melalui jenjang pendidikan formal; (2) peningkatan kompetensi
melalui pendidikan dan pelatihan; (3) peningkatan kompetensi melalui kegiatan
yang dirancang oleh oraganisasi profesi; (4) belajar mandiri.
Depdiknas juga mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam
penilaian fortofolio mengenai pendidikan dan pelatihan guru. Berikut merupakan
pedoman penilaian masa kerja guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007.
Tabel 4. Pedoman Penilaian Pedidikan dan Pelatihan Guru
Lama
Diklat
(jam
Pelatihan)
> 640
481—640
Internasional
Nasional Provinsi
Kab/Kota
Kecamatan
R
TR
R
TR
R
TR
R
TR
R
TR
60
55
45
40
50
45
40
35
45
40
35
30
40
35
30
25
35
30
25
20
161 – 480
45
81 – 160
40
30 – 80
35
8 – 29
30
Keterangan:
35
30
25
20
40
35
30
25
30
25
20
15
35
30
25
20
25
20
15
10
30
25
20
15
20
15
10
5
25
20
15
10
15
10
7
3
R : relevan; materi diklat mendukung pelaksanaan tugas profesional guru
TR : tidak relevan: materi diklat tidak mendukung pelaksanaan tugas
profesional guru
3. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia
a. Pengertian pengelolaan kelas
Sebelum mengetahui pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu akan
dijabarkan mengenai arti kedua kata tersebut secara terpisah. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), pengelolaan adalah (1) proses, cara,
perbuatan mengelola;
(2) proses melakukan kegiatan tertentu
dengan
menggerakkan tenaga orang lain; (3) proses yang membantu merumuskan
kebijaksanaan dan tujuan organisasi; (4) proses yang memberikan pengawasan
pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian
tujuan.
Yamin dan Maisah (2009: 34) mengungkapkan bahwa kata pengelolaan
memiliki arti yang sama dengan management dalam bahasa Inggris. Kata
mangement dalam bahasa Inggris tersebut selanjutnya diserap ke dalam bahasa
Indonesia sehingga menjadi kata manajemen.
Beralih pada kata kelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:
529-530), kelas adalah (1) tingkat; (2) ruang tempat belajar di sekolah; (3)
kelompok masyarakat berdasarkan pendidikan; (4) golongan atau kumpulan
(sesuai persamaan berbagai sifat tertentu), dan; (5) bio klasifikasi dalam biologi
sesudah devisi dan sebelum bangsa. Namun, Yamin dan Maisah (2009: 34)
mengungkapkan pengertian kelas sebagai kelompok orang. Jika kedua pendapat
mengenai pengertian kelas tersebut digabungkan, maka akan terbentuklah sebuah
pengertian kelas yang cukup ideal. Kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh
empat dinding, tempat sejumlah orang berkumpul untuk mengikuti proses belajar
mengajar.
Gabungan antara kata pengelolaan dan kata kelas adalah kata pengelolaan
kelas. Kata pengelolaan kelas di sini akan memunculkan makna yang berbeda
dengan hanya menggabungkan dua kata yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (2005: 708), manajemen kelas
adalah manajemen untuk mencapai tujuan pengajaran di kelas secara efektif dan
efisien.
Manajemen kelas sebenarnya tidak berbeda dengan pengelolaan kelas.
Wragg memiliki pengertian sendiri mengenai pengelolaan kelas. Menurut Wragg
(1996: 8), pengelolaan kelas adalah segala sesuatu yang dilakukan guru agar
anak-anak berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, bagaimanapun
cara dan bentuknya. Mulyasa mengungkapkan pengertian yang berbeda dengan
Wragg. Menurut Mulyasa (2007: 91), pengelolaan kelas adalah keterampilan
guru
untuk
menciptakan
iklim
pembelajaran
yang
kondusif
dan
mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran.
Pujiastuti (2009: 5), memberikan pengertian mengenai mengelola kelas.
Menurutnya, mengelola kelas adalah menciptakan dan memelihara kondisi
belajar yang optimal, dan/atau mengembalikan ke kondisi yang optimal dari
gangguan dalam proses belajar.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai pengelolaan kelas dari teoriteori tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan kelas adalah
keterampilan guru yang berupa kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang optimal dan kondusif, serta mengendalikannya ketika terjadi
gangguan, sehingga siswa dapat berpatisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan begitu, pengelolaan kelas merupakan kunci penting untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pembelajaran.
Rohani dan Ahmadi (1995: 116) membedakan antara pengelolaan
pengajaran dan pengelolaan kelas, walaupun keduanya memiliki hubungan yang
sangat erat. Jika pengelolaan pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara
langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran, maka
pengelolaan kelas menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar. Yamin dan
Maisah (2009: 34) juga mendukung pendapat Rohani dan Ahmadi tersebut.
Menurut mereka, dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya
dua kelompok masalah yaitu masalah pengelolaan kelas dan pengelolaan
pembelajaran.
b. Tujuan pengelolaan kelas
Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi
terjadinya proses belajar mengajar yang efektif (Rohani dan Ahmadi, 1995: 117).
Dengan kata lain, kemampuan pengelolaan kelas yang efektif merupakan hal
yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Menurut Wragg (1996: 1), kemampuan pengelolaan kelas sering juga
disebut kemampuan menguasai kelas. Hal ini berarti seorang guru harus mampu
mengontrol atau mengendalikan prilaku muridnya sehingga mereka terlibat
secara aktif dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan pengelolaan kelas ini memiliki beberapa tujuan. Menurut
Hasibuan (via Suwarna, 2006: 82), tujuan keterampilan pengelolaan kelas yaitu:
(1) mendorong siswa mengembangkan tingkah lakunya sesuai tujuan
pembelajaran; (2) membantu siswa menghentikan tingkah lakunya yang
menyimpang dari tujuan pembelajaran; (3) mengendalikan siswa dan sarana
pembelajaran dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, untuk mencapai
tujuan pembelajaran, dan; (4) membina hubungan baik antara guru dengan siswa
dan siswa dengan siswa, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi efektif.
c. Komponen pengelolaan kelas
Menurut Yamin dan Maisah (2009: 34), terdapat beberapa prinsip yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1)
kehangatan dan keantusiasan; (2) tantangan; (3) bervariasi; (4) luwes; (5)
penekanan pada hal-hal positif; (6) penanaman disiplin diri.
Selain prinsip-prinsip pengelolaan kelas, Pujiastuti (2009: 5) juga
mengungkapkan tentang hal yang perlu dihindari dalam pengelolaan kelas. Hal
yang perlu dihindari tersebut adalah (1) campur tangan yang berlebihan; (2)
ketidaktepatan waktu kegiatan; (3) bertele-tele; (4) pengulangan penjelasan yang
tidak perlu.
Menurut Mulyasa (2007: 91), terdapat dua komponen keterampilan
mengelola kelas. Komponen keterampilan mengelola kelas tersebut adalah (1)
penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal, dan; (2)
keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang
optimal.
Keterampilan penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang
optimal ini terdiri dari enam. Enam hal tersebut adalah (1) menunjukkan sikap
tanggap di kelas; (2) membagi perhatian secara visual dan verbal; (3)
memusatkan perhatian kelompok dengan cara menyiapkan peserta didik dalam
pembelajaran; (4) memberikan petunjuk yang jelas; (5) memberikan teguran
secara bijaksana, dan; (6) memberi penguatan ketika diperlukan.
Keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar
yang optimal menurut Mulyasa (2007: 91-92) terdiri dari tiga hal. Keterampilan
tersebut yaitu: (1) modifikasi perilaku; (2) pengelolaan kelompok dan; (3)
menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah. Masing-masing
keterampilan tersebut kemudian akan dijabarkan lagi dalam kutipan sebagai
berikut.
Modifikasi perilaku terdiri dari tiga hal penting yaitu: (1) mengajarkan
perilaku baru dengan contoh dan pembiasaan; (2) meningkatkan perilaku
yang baik melalui penguatan dan; (3) mengurangi perilaku buruk dengan
hukuman. Pengelolaan kelompok terdiri dari dua hal penting yaitu: (1)
peningkatan kerjasama dan keterlibatan dan; (2) menangani konflik dan
memperkecil masalah yang timbul. Sedangkan menemukan dan mengatasi
perilaku yang menimbulkan masalah, terdiri dari sembilan hal penting
yaitu: (1) pengabdian yang direncanakan; (2) campur tangan dengan
isyarat; (3) mengawasi secara ketat; (4) mengakui perasaan negatif peserta
didik; (5) mendorong peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya;
(6) menjauhkan benda-benda yang dapat mengganggu konsentrasi; (7)
menyususn kembali program belajar; (8) menghilangkan ketegangan
dengan humor dan; (9) mengekang secara fisik.
Muijs dan Reynold (2008: 117) dalam bukunya yang berjudul Effective
Teaching Teori dan Aplikasi, mengemukakan elemen-elemen manajemen kelas
yang efektif. Menurut mereka, elemen-elemen manajemen kelas yang efektif
adalah (1) memulai pelajaran tepat waktu; (2) penataan tempat duduk yang tepat
di kelas; (3) mengatasi disrupsi atau gangguan yang berasal dari luar kelas; (4)
menetapkan aturan dan prosedur yang jelas sejak awal tahun pembelajaran; (5)
peralihan yang mulus antar segmen pelajaran; (6) menangangi murid yang
berbicara selama pelajaran berlangsung; (7) memberikan pekerjaan rumah; (8)
mempertahankan momentum selama pelajaran; (9) menghindari downtime, dan;
(10) mengakhiri pelajaran.
Menurut Djamarah dan Zain (2006: 2), pengelolaan kelas yang baik akan
melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun
dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Sayangnya, pengelolaan
kelas yang baik tidak selamanya dapat dipertahankan. Hal tersebut disebabkan
adanya gangguan yang tidak dikehendaki datang secara tiba-tiba. Suatu gangguan
yang datang secara tiba-tiba dan berada di luar kemampuan guru adalah kendala
spontanitas dalam pengelolaan kelas. Dengan hadirnya kendala spontanitas,
suasana kelas biasanya akan terganggu yang ditandai dengan pecahnya
konsentrasi anak didik. Setelah kejadian itu, tugas terberat guru adalah
mengupayakan anak didik untuk kembali belajar dengan mempertahankan tugas
belajar yang diberikan oleh guru.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditangkap bahwa terdapat masalahmasalah yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam pengelolaan kelas. Untuk
lebih mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kelas, maka
selanjutnya akan dijabarkan mengenai masalah-masalah dalam pengelolaan kelas
tersebut.
d. Masalah dalam pengelolaan kelas
Masalah pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 117). Masalah pengelolaan kelas tersebut
adalah masalah individual dan masalah kelompok.
Dreikus dan Cassel (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 118) membedakan
empat kelompok masalah pengelolaan kelas individual yang didasarkan pada
asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya pencapaian tujuan
pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai
harga diri. Empat kelompok masalah individu tersebut adalah (1) tingkah laku
yang ingin mendapatkan perhatian orang lain; (2) tingkah laku yang ingin
menunjukkan kekuatan; (3)tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain,
dan; (4) peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk tidak mau melakukan
segala sesuatu yang diperintahkan guru karena merasa tidak mampu.
Johnson dan Bany (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 119) mengemukakan
enam kategori masalah kelompok dalam pengelolaan kelas. Masalah-masalah
yang dimaksud adalah (1) kelas kurang kohesif; (2) kelas mereaksi negatif
terhadap salah seorang anggotanya; (3) membesarkan hati anggota kelas yang
justru melanggar norma kelompok; (4) kelompok cenderung mudah dialihkan
perhatiannya dari tugas yang tengah digarap; (5) semangat kerja rendah; (6) kelas
kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Selain masalah dalam pengelolaan kelas, terdapat juga faktor-faktor yang
menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas. Faktor-faktor tersebut adalah (1)
faktor guru; (2) faktor peserta didik; (3) faktor fasilitas, dan; (4) faktor keluarga.
Faktor guru yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1)
tipe kepemimpinan guru; (2) format belajar yang monoton; (3) kepribadian guru;
(4) pengetahuan guru, dan; (5) pemahaman guru tentang peserta didik.
Kekurangsadaran peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai
anggota suatu kelas juga dapat menjadi faktor utama penyebab masalah
pengelolaan kelas. Sedangkan faktor fasilitas yang menjadi penghambat dalam
pengelolaan kelas adalah (1) jumlah peserta didik dalam kelas; (2) besar ruang
kelas; (3) ketersedian alat. Kebiasaan yang kurang baik di lingkungan keluarga
seperti tidak tertib, tidak patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan, atau
pun terlampau dikekang, juga dapat menjadi latar belakang yang menyebabkan
peserta didik melanggar disiplin di kelas.
e. Tindakan pengelolaan kelas
Masalah-masalah kelas di atas tidak perlu terjadi apabila guru melakukan
tindakan pengelolaan kelas yang baik. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 119),
tindakan pengelolaan kelas dibagi menjadi dua, yaitu tidakan pencegahan dan
tindakan korektif.
1) Tindakan pencegahan
Tindakan pencegahan seperti yang dimaksud tersebut, dapat dilakukan
dengan mengatur kondisi dan situasi pembelajaran maupun mengatur disiplin dan
tata tertib.
a) Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran
Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran dapat meliputi tiga aspek.
Ketiga aspek tersebut adalah (1) mengatur kondisi fisik; (2) mengatur kondisi
sosio-emosional, dan; (3) mengatur kondisi organisasional.
Lingkungan fisik yang menguntungkan dan memenuhi syarat minimal
mendukung meningkatnya intensitas proses perbuatan belajar peserta didik dan
mempunyai pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran (Rohani dan
Ahmadi, 1995: 120-121). Kondisi fisik yang dimaksud adalah (1) ruang
berlangsungnya proses pembelajaran; (2) pengaturan tempat duduk; (3) ventilasi
dan pengaturan cahaya, dan; (4) pengaturan penyimpanan barang-barang.
Ruang tempat berlangsungnya proses belajar harus memungkinkan semua
bergerak leluasa tidak berdesak-desakan dan saling mengganggu antara peserta
didik yang satu dengan yang lain pada saat melakukan aktivitas belajar. Besarnya
ruang sangat tergantung pada dua hal yaitu jenis kegiatan dan jumlah peserta
didik. Sedangkan dalam mengatur tempat duduk, yang penting adalah
memungkinkan terjadinya tatap muka. Dengan demikian perilaku peserta didik
dapat terkontrol dengan baik. Ventilasi harus cukup menjamin kesehatan peserta
didik. Jendela harus cukup besar sehingga memungkinkan panasnya matahari
masuk. Barang-barang hendaknya disimpan ditempat khusus yang mudah
dicapai.
Kondisi sosio-emosional dalam kelas juga akan mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap proses pembelajaran. Menurut Rohani dan Ahmadi
(1995: 123), kondisi sosio-emosional dalam situasi pembelajaran ada tiga, yaitu:
(1) tipe kepemimpinan guru; (2)sikap guru, dan; (3) suara guru.
Tipe kepemimpinan guru akan mewarnai suasana emosional di dalam
kelas. Tipe kepemimpinan guru yang otoriter tentu akan berbeda pengaruhnya
dengan tipe kepemimpinan guru yang demokratis. Sikap guru dalam menghadapi
peserta didik hendaknya sabar dan bersahabat. Suara guru, walaupun bukan
faktor yang besar, tetapi turut mempunyai pengaruh dalam belajar. Suara yang
melengking tinggi atau demikian rendah sehingga tidak terdengar oleh peserta
didik secara jelas dari jarak yang agak jauh akan membosankan dan membuat
peserta didik tidak memperhatikan pembelajaran. Suara macam ini juga akan
mengundang tingkah laku yang tidak diinginkan.
Kegiatan rutin yang secara organisasional dilakukan baik tingkat kelas
maupun tingkat sekolah akan dapat mencegah masalah pengelolaan kelas.
Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 125), kegitan tersebut yaitu: (1) pergantian
pelajaran; (2) guru yang berhalangan hadir, dan; (3) masalah peserta didik, seperti
peserta didik yang berkelahi dan lain sebagainya.
b) Disiplin dan tata tertib
Di sekolah, disiplin banyak digunakan untuk mengontrol tingkah laku
peserta didik yang dikehendaki agar tugas-tugas di sekolah dapat berjalan dengan
optimal. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 128) terdapat dua sumber
pelanggaran disiplin di sekolah. Pertama, pelanggaran disiplin yang bersumber
pada lingkungan sekolah dan kedua, pelanggaran disiplin yang bersifat umum.
Pelanggaran disiplin yang bersumber dari lingkungan sekolah tidak akan
dibahas karena sifatnya yang kompleks. Yang akan di jelaskan adalah masalah
pelanggaran disiplin yang bersifat umum. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995:
129), terdapat tiga sebab pelanggaran disiplin yang bersifat umum, yaitu: (1)
kebosanan dalam kelas; (2) perasaan kecewa dan tertekan karena peserta didik
dituntut untuk bertingkah laku yang kurang wajar sebagai remaja, dan; (3) tidak
terpenuhinya kebutuhan akan perhatian, pengenalan, atau status.
Ada berbagai cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi
pelanggaran disiplin. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 129), cara-cara tersebut
adalah (1) pengenalan peserta didik; (2) melakukan tindakan korektif; (3)
melakukan tindakan penyembuhan, dan; (4) tertib ke arah siasat.
2) Tindakan korektif
Tindakan korektif dapat dibagi menjadi dua yaitu, tindakan yang
seharusnya segera diambil guru pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan)
dan tindakan penyembuhan terhadap tingkah laku yang menyimpang.
a) Dimensi tindakan
Dimensi tindakan merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan guru
bila terjadi masalah pengelolaan. Guru dituntut untuk berbuat sesuatu dalam
menghentikan perbuatan peserta didik secepat dan setepat mungkin. Guru harus
segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan tata tertib yang dibuat dan
ditetapkan bersama dan konsekuensinya, untuk kemudian melaksanakan sanksi
yang seharusnya berlaku. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memonitor efektifitas
aturan dan tata tertib.
b) Tindakan penyembuhan
Pelanggaran
yang sudah terlanjur dilakukan peseta didik perlu
ditanggulangi dengan tindakan penyembuhan baik secara individu, maupun
secara kelompok. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tindakan
penyembuhan ini meliputi:
(1) mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima
dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran
yang dibuatnya
(2) membuat rencana yang diperkirakan tepat tentang langkah-langkah yang
akan ditempuh dalam mengadakan kontrak dengan peserta didik
(3) menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik yang disetujui bersama
bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan
(4) saat bertemu dengan peserta didik, jelaskan maksud pertemuan tersebut,
dan manfaat yang mungkin diperoleh dari pertemuan tersebut
(5) tunjukkan kepada peserta didik bahwa guru pun bukan manusia yang
sempurna dan tidak bebas dari kekurangan
(6) bila pertemuan yang dilakukan ternyata tidak responsip, maka guru dapat
mengajak peserta didik untuk diskusi dilain kesempatan
(7) pertemuan guru dan peserta didik harus sampai pada pemecahan masalah
(8) melakukan kegiatan tindak lanjut.
f. Pengelolaan Kelas dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Jamaluddin
(2003:
18)
juga
mengemukakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembelajaran. Faktor tersebut adalah (1) faktor internal yang
meliputi faktor fisiologis dan psikologis dan; (2) faktor eksternal yang meliputi
faktor sosial dan nonsosial. Guru berada dalam salah satu faktor sosial yang
mempengaruhi pembelajaran.
Jika guru merupakan salah satu faktor sosial yang sangat berpengaruh
dalam proses pembelajaran, maka guru harus memiliki kemampuan dan
keterampilan leadership yang baik dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut
dibutuhkan untuk dapat mengontrol dan mengelola kelas peserta didik dengan
baik.
Arends (via Tumisih, 2003: 37) mengemukakan tree important leadership
functions of teaching are planning, menaging classroom life, and assessing
student progress. Maksudnya, tiga hal penting dalam fungsi kepemimpinan
seorang guru adalah merencanakan, mengelola kelas, dan menilai perkembangan
peserta didik.
Wragg (1996: 8) menambahkan bahwa dalam pembelajaran, kemampuan
menggunakan waktu secara efisien dan menggunakan sarana dan prasarana yang
serba kurang secara efektif merupakan inti kemampuan profesional. Demikian
juga halnya dengan penggunaan waktu dan pengelolaan kelas.
Hal tersebut berlaku untuk semua jenis pembelajaran tidak terkecuali
dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia terkadang
masih sering dipandang sebelah mata oleh peserta didik karena dianggap sebagai
pelajaran yang mudah. Dalam prakteknya, saat pembelajaran bahasa Indonesia
tengah berlangsung, ada saja peserta didik yang kurang memperhatikan guru. Jika
keadaannya seperti itu, tugas berat guru mata pelajaran bahasa Indonesia adalah
untuk mengontrol peserta didik dengan keterampilan pengelolaan kelas yang
efektif dan baik untuk pembelajaran bahasa Indonesia.
4.
Hubungan
kualifikasi
guru
dengan
pengelolaan
kelas
dalam
pembelajaran bahasa Indonesia
Yamin (2007: 2) menyatakan bahwa guru profesional di samping mereka
memiliki kualifikasi, juga dituntut memiliki kompetensi. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan
bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
Suparlan (2008: 147) juga melengkapi pernyataan Yamin tersebut. Ia
mengungkapkan bahwa kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru
merupakan tiga aspek yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiganya
harus dapat terpenuhi agar tercapai kompetensi guru yang optimal.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal
10 dan Peraturan Pemerintah tentang standar Nasional Pendidikan Pasal 28 (via
Muslich, 2007: 12), terdapat empat kompetensi guru. Kompetensi guru tersebut
meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Standar Kometensi dan Sertifikasi
Guru banyak mengulas tentang keempat kompetensi di atas. Menurut Mulyasa
(2009: 136), pengelolaan kelas merupakan salah satu kompetensi profesional
yang harus dimiliki oleh guru.
Menurut Wragg (1996: 7), ketidakmampuan mengelola kelas secara
efektif sering merupakan satu-satunya alasan yang paling umum terjadinya
kegagalan mahasiswa praktek mengajar dan kegagalan calon guru dalam masa
percobaan. Pernyataan Wragg ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa untuk
dapat mengelola kelas dengan baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi.
Logikanya, semakin tinggi kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman
yang di dapatkan oleh guru, dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan
kelasnya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah tesis berjudul
Hubungan Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, dan Motivasi Dengan Kinerja Guru
SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas, yang dilakukan oleh Suparjo
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2008.
Populasi dalam penelitian Suparjo ini adalah 58 guru yang selanjutnya digunakan
seluruhnya sebagai sampel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1)
tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kinerja guru SMP
Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas; (2) adanya hubungan antara masa
kerja dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas; (3)
adanya hubungan antara motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan
Purwojati Kabupaten Banyumas, dan; (4) adanya hubungan antara tingkat
pendidikan, masa kerja, dan motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan
Purwojati Kabupaten Banyumas.
Penelitian yang dilakukan Suparjo relevan dengan penelitian ini karena
dua variabel dari tiga variabel bebas dalam penelitian Suparjo yaitu, tingkat
pendidikan dan masa kerja termasuk dalam dua komponen variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu kualifikasi guru. Selain itu, variabel terikat dalam penelitian
Suparjo, kinerja guru juga berhubungan dengan variabel terikat dalam penelitian
ini, pengelolaan kelas. Kedua varibel tersebut saling berhubungan dikarenakan
pengelolaan kelas merupakan salah satu hal penting yang perlu diteliti dalam
pelaksanaan kinerja guru.
C. Kerangka Pikir
Guru yang merupakan salah satu faktor sosial yang dapat mempengaruhi
pembelajaran. Di samping harus memiliki kualifikasi, guru juga dituntut untuk
memiliki kompetensi. Pengelolaan kelas merupakan salah salah satu kompetensi
profesional yang wajib dimiliki guru. Oleh karena itu, kualifikasi dan kompetensi
guru akan mempengaruhi satu sama lain. Jadi, untuk dapat mengelola kelas
dengan baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi yang baik. Semakin tinggi
kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman yang di dapatkan oleh guru,
dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan kelasnya.
Dari penjelasan di atas, terdapat hubungan antara kualifikasi guru dengan
pengelolaan kelas. Kualifikasi guru yang meliputi kualifikasi akademis, sertifikasi
profesi, pengalaman mengajar, dan diklat yang pernah diikuti guru akan
mempengaruhi seorang guru dalam mengelola kelas saat pembelajaran
berlangsung. Dengan adanya hubungan tersebut, akhirnya peneliti memutuskan
untuk meneliti hubungan antara kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam
proses pembelajaran bahasa Indonesia SMA Negeri di Kabupaten Sleman.
D. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, dapat disusun suatu hipotesis
yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini. Hipotesis tersebut adalah terdapat
hubungan antara kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesia SMA di kabupaten Sleman.
Download