BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Guru a. Profesi guru Kata profesi idientik dengan kata keahlian. Jarvis via Yamin (2007: 3) mengartikan seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang ahli (expert). Pada sisi lain, profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas. Sardiman (2009: 133) berpendapat secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam kegiatan yang bermanfaat. Pengertian profesi menurut Sardiman ini dikuatkan dengan pengertian profesi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI (2005: 897), kata profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Dari beberapa pengertian mengenai istilah profesi menurut Javis, Sardiman, dan KBBI, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan khusus untuk melakukannya. Karena dua kata kunci dalam istilah profesi adalah pekerjaan dan keterampilan khusus, maka guru merupakan suatu profesi. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Uno. Menurut Uno (2008: 15), guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. b. Pengertian guru Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa guru adalah pendidik. Lalu, siapakah guru? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 377), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Pengertian guru menurut KBBI di atas, masih sangat umum dan belum bisa menggambarkan sosok guru yang sebenarnya, sehingga untuk memperjelas gambaran tentang seorang guru diperlukan definisi-definisi lain. Suparlan dalam bukunya yang berjudul ―Menjadi Guru Efektif‖, mengungkapkan hal yang berbeda tentang pengertian guru. Menurut Suparlan (2008: 12), guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Namun, Suparlan (2008: 13) juga menambahkan bahwa secara legal formal, guru adalah seseorang yang memperoleh surat keputusan (SK), baik dari pemerintah maupun pihak swasta untuk mengajar. Selain pengertian guru menurut Suparlan, Imran juga menambahkan rincian pengertian guru dalam desertasinya. Menurut Imran (2010: 23), guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya seperti mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah. Pengertian-pengertian mengenai guru di atas sangat mungkin untuk dapat dirangkum. Jadi, guru adalah seseorang yang telah memperoleh surat keputusan (SK) baik dari pihak swasta atau pemerintah untuk menggeluti profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya untuk mengajar dan mendidik siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah, yang tujuan utamanya untuk mencerdaskan bangsa dalam semua aspek. c. Peran guru Guru memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran. Peserta didik memerlukan peran seorang guru untuk membantunya dalam proses perkembangan diri dan pengoptimalan bakat dan kemampuan yang dimiliki peserta didik. Tanpa adanya seorang guru, mustahil seorang peserta didik dapat mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Hal ini berdasar pada pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mencukupi semua kebutuhannya. Mulyasa (2007: 37) mengidentifikasikan sedikitnya sembilan belas peran guru dalam pembelajaran. Kesembilan belas peran guru dalam pembelajaran yaitu, guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansivator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator. 2. Kualifikasi guru a. Pengertian kualifikasi guru Menurut Suparlan (2008: 146), guru merupakan salah satu unsur masukan instrumental yang amat menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, guru harus memiliki standar kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan yang memadai. Lalu apa yang dimaksud dengan kualifikasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 603), yang dimaksud dengan kualifikasi adalah (1) pedidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian; (2) keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu (menduduki jabatan, dsb); (3) tingkatan; (4) pembatasan atau penyisihan (di olah raga). Berdasarkan pengertian guru dan kualifikasi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai kualifikasi guru. Kualifikasi guru adalah keahlian yang diperlukan seseorang untuk menjalankan profesi guru. Namun, kualifikasi guru ini perlu diperjelas lagi untuk dapat dikaitkan dengan pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia SMA. Untuk itu, perlu dijabarkan lebih dalam lagi mengenai kualifikasi guru ini. b. Kualifikasi guru mata pelajaran bahasa Indonesia SMA Menurut Suparlan (2008: 27), berdasarkan tanggung jawab yang diembannya, guru dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: (1) guru kelas; (2) guru mata pelajaran; (3) guru bimbingan konseling; (4) guru pustakawan, dan; (5) guru ekstrakulikuler. Dari kelima jenis guru tersebut, guru yang mengajar di SMA/MA merupakan guru mata pelajaran. Yang dimaksud dengan guru mata pelajaran adalah jika guru hanya memiliki tugas untuk mengajarkan satu mata pelajaran saja. Hal tersebut dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, Bab IV, bagian kesatu, pasal 30, butir kelima. Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi bahwa pendidik pada SMP/MTS atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran dan instruktur bidang kejuruan yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan yang sesuai dengan keperluan. Kualifikasi guru untuk jenjang pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain sederajat tercantum dalam Peraturan Pemerintah yang sama dengan di atas, pasal 29, butir keempat. Peraturan Pemerintah itu berbunyi pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: (1) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1); (2) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; (3) sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA. Pemerintah memang belum mengatur kualifikasi khusus untuk profesi guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, menurut kualifikasi secara umum tersebut, jelas bahwa guru mata pelajaran bahasa Indonesia harus mempunyai latar belakang pendidikan tinggi sesuai mata pelajaran yang diajarkan. Latar belakang tersebut adalah D-IV atau S1 program studi pendidikan bahasa Indonesia. Selain latar belakang pendidikan tinggi D-IV atau S1 program studi pendidikan bahasa Indonesia, guru mata pelajaran bahasa Indonesia juga harus tersertifikasi. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik yang dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio ini selanjutnya juga dijelaskan dalam Peraturan Mendiknas. Menurut Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, pasal 2, penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: (1) kualifikasi akademik; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. c. Kualifikasi guru yang berpengaruh dalam pengelolaan kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia Secara umum, kualifikasi guru SMA/MA ada tiga yaitu: (1) kualifikasi akademik; (2) latar belakang pendidikan tinggi; dan (3) sertifikasi profesi. Namun, berdasarkan deskripsi dalam penilaian portofolio, untuk dapat menentukan kualifikasi guru yang dapat berhubungan dengan pengelolaan kelas, perlu diubah dan ditambahkan lagi menjadi kualifikasi guru sebagai berikut. 1) Kualifikasi akademik Menurut Depdiknas dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma. Depdiknas juga sudah mengelompokkan dan memberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai kualifikasi akademik guru. Berikut merupakan pedoman penilaian kualifikasi akademik guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007. Tabel 1. Pedoman Penilaian Kualifikasi Akademik Guru Ijazah S1 Relevansi Skor Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) 150 Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel) 150 Post Graduate Diploma S2 S3 memiliki akta mengajar Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) memiliki akta mengajar Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) Sesuai bidang studi Tidak sesuai Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) Kependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan sesuai dengan bidang studi (mapel) Kependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) Nonkependidikan tidak sesuai dengan bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel) 140 130 120 120 110 80 50 175 160 160 145 130 200 180 180 160 140 2) Sertifikasi guru Menurut Muslih (2009: 2), sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak. Mendiknas juga menjelaskan sertifikasi guru dalam Peraturannya. Menurut Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, pasal 1, yang dimaksud sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Dari dua pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Guru yang telah tersertifikasi tentu akan lebih diakui keprofesionalannya daripada guru yang belum tersertifikasi. 3) Pengalaman mengajar Menurut Depdiknas dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah, dan/atau kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang. Depdiknas juga mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai masa kerja guru. Berikut merupakan pedoman penilaian masa kerja guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007. Tabel 2. Pedoman Penilaian Masa Kerja Guru Masa Kerja Guru >25 tahun 23 – 25 tahun 20 – 22 tahun Skor 160 145 130 17 – 19 tahun 14 – 16 tahun 11 – 13 tahun 8 – 10 tahun 5 – 7 tahun 2 – 4 tahun 115 100 85 70 55 40 Keterangan: Tugas belajar diperhitungkan dalam pengalaman mengajar 4) Diklat Menurut Depdiknas, dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan (diklat) yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat. Suhadak (2010: 34) dalam desertasinya juga berpendapat bahwa guru perlu dikutsertakan sesering mungkin dalam berbagai diklat peningkatan profesi guru (inservice training) yang dikelola secara profesional dan merujuk pada kebutuhan guru dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dasar pemikirannya adalah seiring dengan perkembangan IPTEK, dimungkinkan kebutuhan siswa dalam belajar akan meningkat, baik kebutuhan informasi, kebutuhan cara pendekatan, maupun kebutuhan pembimbingan dalam belajar. Kondisi tersebut jelas menuntut guru untuk selalu mengembangkan diri. Untuk itulah diperlukan inservice training pengelolaan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan karakteristik guru yang mampu melakukan baik pengelolaan pembelajaran maupun pengelolaan kelas, termasuk di dalamnya berkomunikasi dengan siswa secara efektif. Terdapat beberapa macam diklat (inservice training) menurut Indrafachruni via Suhadak (2010: 35-36). Macam-macam diklat tersebut adalah sebagai berikut. a) Up-garding Up-grading ini merupakan salah satu usaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibutuhkan guru tentang suatu masalah tertentu. Misalnya, tentang cara-cara pembuatan alat-alat pelajaran dalam pengembangan kurikulum muatan lokal, pembaharuan metode suatu mata pelajaran, dan cara-cara pembimbingan calon guru berpraktek pembelajaran. b) Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar Ceramah-ceramah, rapat, dan seminar umumnya dilakukan dalam bentuk persentasi tentang suatu masalah yang perlu dipecahkan oleh nara sumber, kemudian dilakukan tanya jawab atau diskusi untuk menemukan alternatif solusi dari permasalahan yang timbul dalam presentasi tersebut. Ceramahceramah, rapat, dan seminar yang dimaksud di sini tentu saja bentuk ceramah, rapat, dan seminar yang ada kaitannya dengan profesi sebagai guru. Jika guru sering mengikuti seminar tetapi seminar tersebut tidak terkait dengan profesi gurunya, maka seminar tersebut tidak akan banyak berpengaruh pada kinerja sebagai guru. c) Work-shop Work-shop umumnya dilakukan dalam beberapa hari pada suatu tempat dengan agenda utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta yang diundang oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan work-shop tersebut. d) Study tour Di lingkungan diklat bagi guru, study tour dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dengan melakukan kunjungan untuk studi banding ke sekolah yang lebih maju. Study tour kini sering dirasakan lebih efektif bagi guru karena peserta diklat dapat mengetahui tingkat kemajuan sekolah yang dikunjungi secara langsung. Mereka juga mempunyai kebebasan untuk melakukan tanya jawab dengan guru-guru dan staf sekolah yang dikunjungi. e) Intervisitation Intervisitation ini pada prinsipnya sama dengan study tour, hanya saja sifatnya timbal balik. Masing-masing guru di suatu sekolah saling melakukan kunjungan untuk sharing pengetahuan dan pengalaman dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dan staf sekolah lain. Selain itu, diklat juga dapat digunakan untuk mengetahui jenjang karier seorang guru. Berikut merupakan standar pola pembinaan karier guru menurut Suparlan (2008:186). Tabel 3. Standar Pola Pembinaan Karier Guru No 1. 2. Jenjang Karier Pejabat Pimpinan di Kantor Dinas Pendidikan dan atau Departemen Pendidikan Nasional Pengawas 3. Kepala Sekolah 4. Wakil Kepala Sekolah 5. Guru Utama 6. Guru Dewasa Standar Gaji Standar Mengikuti diklat internasional Mengikuti diklat kepemimpinan IX tingkat menengah dan tinggi Persyaratan Berpengalaman menjadi kepala sekolah baik di sekolah negeri maupun swasta Mengikuti diklat kepengawasan dan diklat lain yang menunjang kompetensinya Memahami standar kompetensi pengawas Pernah menjadi wakil kepala sekolah Mengikuti diklat kepemimpinan tingkat tinggi Memahami standar kompetensi kepala sekolah Mengikuti diklat kepemimpinan tingkat menengah Memahami standar kompetensi guru Telah mengikuti diklat instruktur/pengembangan tingkat menengah Mengikuti diklat instruktur/pengembangan tingkat menengah Mengikuti diklat kepemimpinan tingkat lanjut Memiliki pengalaman dalam tugas sebagai wali kelas, dan tugas sekolah lainnya Mengikuti diklat kepemimpinan tingkat dasar Mengikuti diklat jenjang tinggi Mengikuti pendidikan jenjang Standar VIII Standar VII Standar VI Standar V Standar IV degree lebih sebelumnya tinggi dari 7. Guru Madya Mengikuti diklat jenjang lanjut dan Standar III menengah Pengalaman mengajar lima tahun 8. Guru Muda Lulus seleksi secara objektif Standar II dengan tes perbuatan Mengikuti diklat jenjang tingkat dasar 9. Guru Baru atau Calon PNS 10. Guru Bantu Standar I Pengalaman sebagai guru bantu Mengikuti tes standar kompetensi guru Nonstan Lulus seleksi guru bantu Lulus LPTK program beasiswa dar prestasi Menurut Suparlan (2008: 182), pembinaan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut yaitu: (1) peningkatan kualifikasi melalui jenjang pendidikan formal; (2) peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan; (3) peningkatan kompetensi melalui kegiatan yang dirancang oleh oraganisasi profesi; (4) belajar mandiri. Depdiknas juga mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam penilaian fortofolio mengenai pendidikan dan pelatihan guru. Berikut merupakan pedoman penilaian masa kerja guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007. Tabel 4. Pedoman Penilaian Pedidikan dan Pelatihan Guru Lama Diklat (jam Pelatihan) > 640 481—640 Internasional Nasional Provinsi Kab/Kota Kecamatan R TR R TR R TR R TR R TR 60 55 45 40 50 45 40 35 45 40 35 30 40 35 30 25 35 30 25 20 161 – 480 45 81 – 160 40 30 – 80 35 8 – 29 30 Keterangan: 35 30 25 20 40 35 30 25 30 25 20 15 35 30 25 20 25 20 15 10 30 25 20 15 20 15 10 5 25 20 15 10 15 10 7 3 R : relevan; materi diklat mendukung pelaksanaan tugas profesional guru TR : tidak relevan: materi diklat tidak mendukung pelaksanaan tugas profesional guru 3. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia a. Pengertian pengelolaan kelas Sebelum mengetahui pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai arti kedua kata tersebut secara terpisah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), pengelolaan adalah (1) proses, cara, perbuatan mengelola; (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; (3) proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; (4) proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Yamin dan Maisah (2009: 34) mengungkapkan bahwa kata pengelolaan memiliki arti yang sama dengan management dalam bahasa Inggris. Kata mangement dalam bahasa Inggris tersebut selanjutnya diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi kata manajemen. Beralih pada kata kelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 529-530), kelas adalah (1) tingkat; (2) ruang tempat belajar di sekolah; (3) kelompok masyarakat berdasarkan pendidikan; (4) golongan atau kumpulan (sesuai persamaan berbagai sifat tertentu), dan; (5) bio klasifikasi dalam biologi sesudah devisi dan sebelum bangsa. Namun, Yamin dan Maisah (2009: 34) mengungkapkan pengertian kelas sebagai kelompok orang. Jika kedua pendapat mengenai pengertian kelas tersebut digabungkan, maka akan terbentuklah sebuah pengertian kelas yang cukup ideal. Kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah orang berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar. Gabungan antara kata pengelolaan dan kata kelas adalah kata pengelolaan kelas. Kata pengelolaan kelas di sini akan memunculkan makna yang berbeda dengan hanya menggabungkan dua kata yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (2005: 708), manajemen kelas adalah manajemen untuk mencapai tujuan pengajaran di kelas secara efektif dan efisien. Manajemen kelas sebenarnya tidak berbeda dengan pengelolaan kelas. Wragg memiliki pengertian sendiri mengenai pengelolaan kelas. Menurut Wragg (1996: 8), pengelolaan kelas adalah segala sesuatu yang dilakukan guru agar anak-anak berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, bagaimanapun cara dan bentuknya. Mulyasa mengungkapkan pengertian yang berbeda dengan Wragg. Menurut Mulyasa (2007: 91), pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Pujiastuti (2009: 5), memberikan pengertian mengenai mengelola kelas. Menurutnya, mengelola kelas adalah menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, dan/atau mengembalikan ke kondisi yang optimal dari gangguan dalam proses belajar. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai pengelolaan kelas dari teoriteori tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan kelas adalah keterampilan guru yang berupa kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang optimal dan kondusif, serta mengendalikannya ketika terjadi gangguan, sehingga siswa dapat berpatisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dengan begitu, pengelolaan kelas merupakan kunci penting untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran. Rohani dan Ahmadi (1995: 116) membedakan antara pengelolaan pengajaran dan pengelolaan kelas, walaupun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Jika pengelolaan pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran, maka pengelolaan kelas menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar. Yamin dan Maisah (2009: 34) juga mendukung pendapat Rohani dan Ahmadi tersebut. Menurut mereka, dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah yaitu masalah pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran. b. Tujuan pengelolaan kelas Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif (Rohani dan Ahmadi, 1995: 117). Dengan kata lain, kemampuan pengelolaan kelas yang efektif merupakan hal yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut Wragg (1996: 1), kemampuan pengelolaan kelas sering juga disebut kemampuan menguasai kelas. Hal ini berarti seorang guru harus mampu mengontrol atau mengendalikan prilaku muridnya sehingga mereka terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Kemampuan pengelolaan kelas ini memiliki beberapa tujuan. Menurut Hasibuan (via Suwarna, 2006: 82), tujuan keterampilan pengelolaan kelas yaitu: (1) mendorong siswa mengembangkan tingkah lakunya sesuai tujuan pembelajaran; (2) membantu siswa menghentikan tingkah lakunya yang menyimpang dari tujuan pembelajaran; (3) mengendalikan siswa dan sarana pembelajaran dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan; (4) membina hubungan baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi efektif. c. Komponen pengelolaan kelas Menurut Yamin dan Maisah (2009: 34), terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1) kehangatan dan keantusiasan; (2) tantangan; (3) bervariasi; (4) luwes; (5) penekanan pada hal-hal positif; (6) penanaman disiplin diri. Selain prinsip-prinsip pengelolaan kelas, Pujiastuti (2009: 5) juga mengungkapkan tentang hal yang perlu dihindari dalam pengelolaan kelas. Hal yang perlu dihindari tersebut adalah (1) campur tangan yang berlebihan; (2) ketidaktepatan waktu kegiatan; (3) bertele-tele; (4) pengulangan penjelasan yang tidak perlu. Menurut Mulyasa (2007: 91), terdapat dua komponen keterampilan mengelola kelas. Komponen keterampilan mengelola kelas tersebut adalah (1) penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal, dan; (2) keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal. Keterampilan penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal ini terdiri dari enam. Enam hal tersebut adalah (1) menunjukkan sikap tanggap di kelas; (2) membagi perhatian secara visual dan verbal; (3) memusatkan perhatian kelompok dengan cara menyiapkan peserta didik dalam pembelajaran; (4) memberikan petunjuk yang jelas; (5) memberikan teguran secara bijaksana, dan; (6) memberi penguatan ketika diperlukan. Keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal menurut Mulyasa (2007: 91-92) terdiri dari tiga hal. Keterampilan tersebut yaitu: (1) modifikasi perilaku; (2) pengelolaan kelompok dan; (3) menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah. Masing-masing keterampilan tersebut kemudian akan dijabarkan lagi dalam kutipan sebagai berikut. Modifikasi perilaku terdiri dari tiga hal penting yaitu: (1) mengajarkan perilaku baru dengan contoh dan pembiasaan; (2) meningkatkan perilaku yang baik melalui penguatan dan; (3) mengurangi perilaku buruk dengan hukuman. Pengelolaan kelompok terdiri dari dua hal penting yaitu: (1) peningkatan kerjasama dan keterlibatan dan; (2) menangani konflik dan memperkecil masalah yang timbul. Sedangkan menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah, terdiri dari sembilan hal penting yaitu: (1) pengabdian yang direncanakan; (2) campur tangan dengan isyarat; (3) mengawasi secara ketat; (4) mengakui perasaan negatif peserta didik; (5) mendorong peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya; (6) menjauhkan benda-benda yang dapat mengganggu konsentrasi; (7) menyususn kembali program belajar; (8) menghilangkan ketegangan dengan humor dan; (9) mengekang secara fisik. Muijs dan Reynold (2008: 117) dalam bukunya yang berjudul Effective Teaching Teori dan Aplikasi, mengemukakan elemen-elemen manajemen kelas yang efektif. Menurut mereka, elemen-elemen manajemen kelas yang efektif adalah (1) memulai pelajaran tepat waktu; (2) penataan tempat duduk yang tepat di kelas; (3) mengatasi disrupsi atau gangguan yang berasal dari luar kelas; (4) menetapkan aturan dan prosedur yang jelas sejak awal tahun pembelajaran; (5) peralihan yang mulus antar segmen pelajaran; (6) menangangi murid yang berbicara selama pelajaran berlangsung; (7) memberikan pekerjaan rumah; (8) mempertahankan momentum selama pelajaran; (9) menghindari downtime, dan; (10) mengakhiri pelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2006: 2), pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Sayangnya, pengelolaan kelas yang baik tidak selamanya dapat dipertahankan. Hal tersebut disebabkan adanya gangguan yang tidak dikehendaki datang secara tiba-tiba. Suatu gangguan yang datang secara tiba-tiba dan berada di luar kemampuan guru adalah kendala spontanitas dalam pengelolaan kelas. Dengan hadirnya kendala spontanitas, suasana kelas biasanya akan terganggu yang ditandai dengan pecahnya konsentrasi anak didik. Setelah kejadian itu, tugas terberat guru adalah mengupayakan anak didik untuk kembali belajar dengan mempertahankan tugas belajar yang diberikan oleh guru. Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditangkap bahwa terdapat masalahmasalah yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam pengelolaan kelas. Untuk lebih mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kelas, maka selanjutnya akan dijabarkan mengenai masalah-masalah dalam pengelolaan kelas tersebut. d. Masalah dalam pengelolaan kelas Masalah pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 117). Masalah pengelolaan kelas tersebut adalah masalah individual dan masalah kelompok. Dreikus dan Cassel (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 118) membedakan empat kelompok masalah pengelolaan kelas individual yang didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya pencapaian tujuan pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri. Empat kelompok masalah individu tersebut adalah (1) tingkah laku yang ingin mendapatkan perhatian orang lain; (2) tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan; (3)tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain, dan; (4) peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk tidak mau melakukan segala sesuatu yang diperintahkan guru karena merasa tidak mampu. Johnson dan Bany (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 119) mengemukakan enam kategori masalah kelompok dalam pengelolaan kelas. Masalah-masalah yang dimaksud adalah (1) kelas kurang kohesif; (2) kelas mereaksi negatif terhadap salah seorang anggotanya; (3) membesarkan hati anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok; (4) kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap; (5) semangat kerja rendah; (6) kelas kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Selain masalah dalam pengelolaan kelas, terdapat juga faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas. Faktor-faktor tersebut adalah (1) faktor guru; (2) faktor peserta didik; (3) faktor fasilitas, dan; (4) faktor keluarga. Faktor guru yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1) tipe kepemimpinan guru; (2) format belajar yang monoton; (3) kepribadian guru; (4) pengetahuan guru, dan; (5) pemahaman guru tentang peserta didik. Kekurangsadaran peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai anggota suatu kelas juga dapat menjadi faktor utama penyebab masalah pengelolaan kelas. Sedangkan faktor fasilitas yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1) jumlah peserta didik dalam kelas; (2) besar ruang kelas; (3) ketersedian alat. Kebiasaan yang kurang baik di lingkungan keluarga seperti tidak tertib, tidak patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan, atau pun terlampau dikekang, juga dapat menjadi latar belakang yang menyebabkan peserta didik melanggar disiplin di kelas. e. Tindakan pengelolaan kelas Masalah-masalah kelas di atas tidak perlu terjadi apabila guru melakukan tindakan pengelolaan kelas yang baik. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 119), tindakan pengelolaan kelas dibagi menjadi dua, yaitu tidakan pencegahan dan tindakan korektif. 1) Tindakan pencegahan Tindakan pencegahan seperti yang dimaksud tersebut, dapat dilakukan dengan mengatur kondisi dan situasi pembelajaran maupun mengatur disiplin dan tata tertib. a) Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran dapat meliputi tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah (1) mengatur kondisi fisik; (2) mengatur kondisi sosio-emosional, dan; (3) mengatur kondisi organisasional. Lingkungan fisik yang menguntungkan dan memenuhi syarat minimal mendukung meningkatnya intensitas proses perbuatan belajar peserta didik dan mempunyai pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran (Rohani dan Ahmadi, 1995: 120-121). Kondisi fisik yang dimaksud adalah (1) ruang berlangsungnya proses pembelajaran; (2) pengaturan tempat duduk; (3) ventilasi dan pengaturan cahaya, dan; (4) pengaturan penyimpanan barang-barang. Ruang tempat berlangsungnya proses belajar harus memungkinkan semua bergerak leluasa tidak berdesak-desakan dan saling mengganggu antara peserta didik yang satu dengan yang lain pada saat melakukan aktivitas belajar. Besarnya ruang sangat tergantung pada dua hal yaitu jenis kegiatan dan jumlah peserta didik. Sedangkan dalam mengatur tempat duduk, yang penting adalah memungkinkan terjadinya tatap muka. Dengan demikian perilaku peserta didik dapat terkontrol dengan baik. Ventilasi harus cukup menjamin kesehatan peserta didik. Jendela harus cukup besar sehingga memungkinkan panasnya matahari masuk. Barang-barang hendaknya disimpan ditempat khusus yang mudah dicapai. Kondisi sosio-emosional dalam kelas juga akan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap proses pembelajaran. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 123), kondisi sosio-emosional dalam situasi pembelajaran ada tiga, yaitu: (1) tipe kepemimpinan guru; (2)sikap guru, dan; (3) suara guru. Tipe kepemimpinan guru akan mewarnai suasana emosional di dalam kelas. Tipe kepemimpinan guru yang otoriter tentu akan berbeda pengaruhnya dengan tipe kepemimpinan guru yang demokratis. Sikap guru dalam menghadapi peserta didik hendaknya sabar dan bersahabat. Suara guru, walaupun bukan faktor yang besar, tetapi turut mempunyai pengaruh dalam belajar. Suara yang melengking tinggi atau demikian rendah sehingga tidak terdengar oleh peserta didik secara jelas dari jarak yang agak jauh akan membosankan dan membuat peserta didik tidak memperhatikan pembelajaran. Suara macam ini juga akan mengundang tingkah laku yang tidak diinginkan. Kegiatan rutin yang secara organisasional dilakukan baik tingkat kelas maupun tingkat sekolah akan dapat mencegah masalah pengelolaan kelas. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 125), kegitan tersebut yaitu: (1) pergantian pelajaran; (2) guru yang berhalangan hadir, dan; (3) masalah peserta didik, seperti peserta didik yang berkelahi dan lain sebagainya. b) Disiplin dan tata tertib Di sekolah, disiplin banyak digunakan untuk mengontrol tingkah laku peserta didik yang dikehendaki agar tugas-tugas di sekolah dapat berjalan dengan optimal. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 128) terdapat dua sumber pelanggaran disiplin di sekolah. Pertama, pelanggaran disiplin yang bersumber pada lingkungan sekolah dan kedua, pelanggaran disiplin yang bersifat umum. Pelanggaran disiplin yang bersumber dari lingkungan sekolah tidak akan dibahas karena sifatnya yang kompleks. Yang akan di jelaskan adalah masalah pelanggaran disiplin yang bersifat umum. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 129), terdapat tiga sebab pelanggaran disiplin yang bersifat umum, yaitu: (1) kebosanan dalam kelas; (2) perasaan kecewa dan tertekan karena peserta didik dituntut untuk bertingkah laku yang kurang wajar sebagai remaja, dan; (3) tidak terpenuhinya kebutuhan akan perhatian, pengenalan, atau status. Ada berbagai cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi pelanggaran disiplin. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 129), cara-cara tersebut adalah (1) pengenalan peserta didik; (2) melakukan tindakan korektif; (3) melakukan tindakan penyembuhan, dan; (4) tertib ke arah siasat. 2) Tindakan korektif Tindakan korektif dapat dibagi menjadi dua yaitu, tindakan yang seharusnya segera diambil guru pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan) dan tindakan penyembuhan terhadap tingkah laku yang menyimpang. a) Dimensi tindakan Dimensi tindakan merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan guru bila terjadi masalah pengelolaan. Guru dituntut untuk berbuat sesuatu dalam menghentikan perbuatan peserta didik secepat dan setepat mungkin. Guru harus segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan tata tertib yang dibuat dan ditetapkan bersama dan konsekuensinya, untuk kemudian melaksanakan sanksi yang seharusnya berlaku. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memonitor efektifitas aturan dan tata tertib. b) Tindakan penyembuhan Pelanggaran yang sudah terlanjur dilakukan peseta didik perlu ditanggulangi dengan tindakan penyembuhan baik secara individu, maupun secara kelompok. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tindakan penyembuhan ini meliputi: (1) mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran yang dibuatnya (2) membuat rencana yang diperkirakan tepat tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengadakan kontrak dengan peserta didik (3) menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik yang disetujui bersama bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan (4) saat bertemu dengan peserta didik, jelaskan maksud pertemuan tersebut, dan manfaat yang mungkin diperoleh dari pertemuan tersebut (5) tunjukkan kepada peserta didik bahwa guru pun bukan manusia yang sempurna dan tidak bebas dari kekurangan (6) bila pertemuan yang dilakukan ternyata tidak responsip, maka guru dapat mengajak peserta didik untuk diskusi dilain kesempatan (7) pertemuan guru dan peserta didik harus sampai pada pemecahan masalah (8) melakukan kegiatan tindak lanjut. f. Pengelolaan Kelas dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Jamaluddin (2003: 18) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran. Faktor tersebut adalah (1) faktor internal yang meliputi faktor fisiologis dan psikologis dan; (2) faktor eksternal yang meliputi faktor sosial dan nonsosial. Guru berada dalam salah satu faktor sosial yang mempengaruhi pembelajaran. Jika guru merupakan salah satu faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran, maka guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan leadership yang baik dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut dibutuhkan untuk dapat mengontrol dan mengelola kelas peserta didik dengan baik. Arends (via Tumisih, 2003: 37) mengemukakan tree important leadership functions of teaching are planning, menaging classroom life, and assessing student progress. Maksudnya, tiga hal penting dalam fungsi kepemimpinan seorang guru adalah merencanakan, mengelola kelas, dan menilai perkembangan peserta didik. Wragg (1996: 8) menambahkan bahwa dalam pembelajaran, kemampuan menggunakan waktu secara efisien dan menggunakan sarana dan prasarana yang serba kurang secara efektif merupakan inti kemampuan profesional. Demikian juga halnya dengan penggunaan waktu dan pengelolaan kelas. Hal tersebut berlaku untuk semua jenis pembelajaran tidak terkecuali dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia terkadang masih sering dipandang sebelah mata oleh peserta didik karena dianggap sebagai pelajaran yang mudah. Dalam prakteknya, saat pembelajaran bahasa Indonesia tengah berlangsung, ada saja peserta didik yang kurang memperhatikan guru. Jika keadaannya seperti itu, tugas berat guru mata pelajaran bahasa Indonesia adalah untuk mengontrol peserta didik dengan keterampilan pengelolaan kelas yang efektif dan baik untuk pembelajaran bahasa Indonesia. 4. Hubungan kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia Yamin (2007: 2) menyatakan bahwa guru profesional di samping mereka memiliki kualifikasi, juga dituntut memiliki kompetensi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Suparlan (2008: 147) juga melengkapi pernyataan Yamin tersebut. Ia mengungkapkan bahwa kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru merupakan tiga aspek yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiganya harus dapat terpenuhi agar tercapai kompetensi guru yang optimal. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah tentang standar Nasional Pendidikan Pasal 28 (via Muslich, 2007: 12), terdapat empat kompetensi guru. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Standar Kometensi dan Sertifikasi Guru banyak mengulas tentang keempat kompetensi di atas. Menurut Mulyasa (2009: 136), pengelolaan kelas merupakan salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh guru. Menurut Wragg (1996: 7), ketidakmampuan mengelola kelas secara efektif sering merupakan satu-satunya alasan yang paling umum terjadinya kegagalan mahasiswa praktek mengajar dan kegagalan calon guru dalam masa percobaan. Pernyataan Wragg ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa untuk dapat mengelola kelas dengan baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi. Logikanya, semakin tinggi kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman yang di dapatkan oleh guru, dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan kelasnya. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah tesis berjudul Hubungan Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, dan Motivasi Dengan Kinerja Guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas, yang dilakukan oleh Suparjo mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2008. Populasi dalam penelitian Suparjo ini adalah 58 guru yang selanjutnya digunakan seluruhnya sebagai sampel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas; (2) adanya hubungan antara masa kerja dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas; (3) adanya hubungan antara motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas, dan; (4) adanya hubungan antara tingkat pendidikan, masa kerja, dan motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas. Penelitian yang dilakukan Suparjo relevan dengan penelitian ini karena dua variabel dari tiga variabel bebas dalam penelitian Suparjo yaitu, tingkat pendidikan dan masa kerja termasuk dalam dua komponen variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kualifikasi guru. Selain itu, variabel terikat dalam penelitian Suparjo, kinerja guru juga berhubungan dengan variabel terikat dalam penelitian ini, pengelolaan kelas. Kedua varibel tersebut saling berhubungan dikarenakan pengelolaan kelas merupakan salah satu hal penting yang perlu diteliti dalam pelaksanaan kinerja guru. C. Kerangka Pikir Guru yang merupakan salah satu faktor sosial yang dapat mempengaruhi pembelajaran. Di samping harus memiliki kualifikasi, guru juga dituntut untuk memiliki kompetensi. Pengelolaan kelas merupakan salah salah satu kompetensi profesional yang wajib dimiliki guru. Oleh karena itu, kualifikasi dan kompetensi guru akan mempengaruhi satu sama lain. Jadi, untuk dapat mengelola kelas dengan baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi yang baik. Semakin tinggi kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman yang di dapatkan oleh guru, dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan kelasnya. Dari penjelasan di atas, terdapat hubungan antara kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas. Kualifikasi guru yang meliputi kualifikasi akademis, sertifikasi profesi, pengalaman mengajar, dan diklat yang pernah diikuti guru akan mempengaruhi seorang guru dalam mengelola kelas saat pembelajaran berlangsung. Dengan adanya hubungan tersebut, akhirnya peneliti memutuskan untuk meneliti hubungan antara kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia SMA Negeri di Kabupaten Sleman. D. Pengajuan Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, dapat disusun suatu hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini. Hipotesis tersebut adalah terdapat hubungan antara kualifikasi guru dengan pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia SMA di kabupaten Sleman.