Keragaman Fenotip Ikan Cupang (Betta foerschi, Betta pallifina, dan

advertisement
Keragaman Fenotip Ikan Cupang (Betta foerschi, Betta pallifina, dan Betta
strohi) Berdasarkan Studi Morfometrik dan Meristik
Laksmi Sholihati, Eni Kusrini, dan Abinawanto
1. Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
2. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok 16436
3. Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Beberapa spesies ikan cupang Indonesia telah diketahui mengalami ancaman kepunahan, sehingga diperlukan
upaya konservasi. Upaya konservasi membutuhkan informasi atau data dasar keragaman genetik, baik berupa
genotip maupun fenotip. Informasi keragaman fenotip dapat diperoleh melalui studi morfometrik dan meristik.
Studi morfometrik dan meristik dilakukan pada tiga spesies ikan cupang (B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi)
dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan spesies pembanding B. imbellis dan B. splendens untuk
memperoleh sebagian informasi mengenai keragaman fenotip ikan cupang Indonesia. Hasil yang diperoleh
menunjukkan adanya keragaman fenotip yang tinggi antarspesies. Hasil lain yang diperoleh berupa hubungan
kekerabatan antarspesies yang menunjukkan bahwa B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dan ketiga spesies tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan B.
imbellis dan B. splendens berdasarkan studi morfometrik.
Phenotypic Diversity of Betta fishes (Betta foerschi, Betta pallifina, and Betta strohi) from
Kalimantan Tengah Based on Morphometric and Meristic Study
Abstract
Some of the Betta species in Indonesia is under threat of extinction. Therefore, conservation is needed to
prevent Betta extinction from their habitats. Information or data bases about genetic diversity, either genotype or
phenotype are needed for conservation. Information about phenotypic diversity can be obtained by
morphometric and meristic study. The morphometric and meristic of three Betta species (B. foerschi, B.
pallifina, and B. strohi) from Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah andtwo other species (B. imbellis and B.
splendens) are studied to obtain a part of data bases/information about phenotypic diversity of Betta fish in
Indonesia. The results showed that there is significant phenotypic diversity interspecies. Furthermore, according
to cluster analysis,B. foerschi, B. pallifina, and B. strohiare closely related to each other and have farther
relationship with B. imbellis and B. splendens based on morphometric study.
Keywords: Betta, meristic, morphometric, phenotypic diversity
Pendahuluan
Ikan cupang atau Betta Bleeker, 1850 merupakan salah satu genus ikan air tawar yang
merupakan anggota dari famili Osphronemidae (ITIS 2004: 1).
Ikan cupang umum
ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Daulay 2013: 1). Ikan
cupang memiliki habitat di berbagai jenis perairan tawar, seperti sungai, danau, dan rawa
(Schindler & Smith 2006: 47). Ciri khas dari ikan cupang antara lain, memiliki sifat yang
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
agresif dan protektif terhadap teritorinya, sehingga ikan tersebut umum dikenal sebagai
fighting fish (ITIS 2004: 1; Monvises dkk. 2009: 13).
Berdasarkan data dari Froese dan Pauly (2013: 1--3) terdapat 78 spesies ikan cupang di
dunia, dengan 50 spesies ikan cupang merupakan spesies asli Indonesia.
Akan tetapi,
berdasarkan data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) (2013: 1),
diketahui beberapa spesies ikan cupang asli Indonesia telah terancam punah karena termasuk
ke dalam kategori terancam (threatened) pada Red List IUCN, antara lain Betta macrostoma
Regan, 1910 dan Betta pinguis Tan & Kottelat, 1998 yang memiliki status konservasi rentan
(vulnerable), serta Betta spilotogena Ng & Kottelat, 1994 dan Betta miniopinna Tan & Tan,
1994 yang memiliki status konservasi kritis (critically endangered).
Faktor-faktor yang dapat mengancam keberadaan ikan dari habitat aslinya, yaitu aktivitas
penangkapan ikan yang berlebihan atau overeksploitasi (Neff dkk. 2011: 1140) serta
degradasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti, deforestasi dan polusi
(Piorski dkk. 2008: 1040; Monvises dkk. 2009: 11).
Berdasarkan data dari Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat (2013: 1) diketahui bahwa penangkapan ikan cupang Indonesia
dari habitatnya semakin meningkat akibat tingginya jumlah peminat ikan tersebut baik dari
dalam maupun luar negeri. Selain itu, adanya aktivitas pembukaan lahan untuk berbagai
kepentingan seperti, permukiman penduduk dan perkebunan kelapa sawit membuat semakin
sempitnya habitat bagi ikan cupang di alam. Apabila hal-hal tersebut terus terjadi, maka
spesies-spesies ikan cupang dapat mengalami kepunahan di masa mendatang (Monvises dkk.
2009: 12).
Salah satu informasi atau data dasar yang diperlukan dalam upaya konservasi, yaitu
informasi mengenai keragaman genetik. Informasi keragaman genetik dapat berupa informasi
keragaman fenotip maupun genotip (Falk dkk. 2001: 1).
Informasi keragaman genetik
dibutuhkan dalam penentuan spesies yang perlu diprioritaskan dalam upaya konservasi (Carty
dkk. 2009: 44). Selain itu, informasi mengenai keragaman genetik diperlukan sehubungan
dengan pengembangan plasma nutfah yang akan digunakan untuk meningkatkan kualitas
genetik ikan baik untuk tujuan konservasi maupun komersial (Sukadi 2002: 65--66).
Informasi mengenai keragaman genetik dapat diperoleh melalui dua pendekatan, yaitu
karakter genotip dan fenotip. Pendekatan melalui karakter fenotip lebih umum digunakan
karena lebih cepat dan mudah diamati dibandingkan dengan pendekatan melalui karakter
genotip. Karakter fenotip yang umum digunakan adalah morfologi (Mulyasari 2010: 52).
Studi yang umum digunakan untuk menganalisis karakter morfologi ikan, yaitu
morfometrik dan meristik (Dwivedi & Dubay 2013: 23). Studi morfometrik dan meristik
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
telah banyak digunakan untuk tujuan taksonomi dan konservasi ikan. Tan (2013: 324--328)
mendeskripsikan spesies baru, yaitu Betta dennisyongi Tan, 2013 dan menyatakan spesies
tersebut merupakan spesies yang berbeda dengan Betta rubra Perugia, 1893 berdasarkan
analisis morfometrik dan meristik. Hurlbut dan Clay (1998: 2280) melaporkan bahwa dua
populasi Urophycis tenuis Mitchill, 1815 yang berasal dari dua kedalaman yang berbeda
(<100 m dan >200 m) pada Sungai St. Lawrence merupakan dua stok yang berbeda karena
memiliki perbedaan morfologi yang cukup tinggi berdasarkan analisis morfometrik dan
meristik.
Penelitian mengenai ikan cupang di Indonesia telah banyak dilakukan (Dewantoro 2001:
49--52; Septiana 2013: 91--94). Akan tetapi, penelitian mengenai keragaman genetik ikan
cupang Indonesia baik berupa fenotip dan genotip masih belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu, dilakukan studi morfometrik dan meristik padabeberapa spesies ikan cupang
Indonesia, yaitu Betta foerschi Vierke, 1979, Betta pallifina Tan & Ng, 2005, dan Betta strohi
Schaller & Kottelat, 1989 untuk memperoleh informasi keragaman fenotip ketiga
spesiestersebut. Ketiga spesies tersebut merupakan spesies ikan cupang asli Indonesia yang
berasal dari Kalimantan (IBC 2007: 1). Spesies Betta imbellis Ladiges, 1975 dan Betta
splendens Regan, 1910 juga digunakan dalam penelitian sebagai spesies pembanding.
Penelitian dilakukan sebagai bagian dari penelitian mengenai produksi induk wild Betta (Betta
sp.) hasil selective breeding dan hasil rekayasa genetika (transgenik) yang telah dilakukan
oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok sejak tahun 2011. Hasil
dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bagian dari informasi atau data dasar
yang diperlukan dalam upaya konservasi ikan cupang di Indonesia.
Tinjauan Teoritis
Ikan cupang (Betta) adalah ikan air tawar yang umum ditemukan di wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia.
Ikan cupang di Indonesia umum ditemukan di wilayah
Sumatera dan Kalimantan (Daulay 2013: 1). Ikan cupang memiliki ciri khas berupa organ
labirin. Keberadaan organ labirin pada ikan cupang, memungkinkan ikan tersebut dapat
mengambil oksigen dari atmosfer dan hidup pada kondisi oksigen yang rendah (Smith 1995:
1--2). Tubuh ikan cupang secara umum memiliki panjang yang berkisar antara 50--120 mm
dengan bentuk tubuh memanjang (Richter 1982: 1). Ciri khas lain dari ikan cupang, antara
lain memiliki sirip ekor berbentuk membulat (rounded) atau meruncing (pointed)(Rainboth
1996 dalam Lim 2009: 4), sirip ventral yang terdiri atas satu jari-jari keras dan lima jari-jari
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
lunak, sirip dorsal yang terdiri atas 1--2 jari-jari keras dan 6--10 jari-jari lunak, serta sirip anal
yang terdiri atas 1--5 jari-jari keras dan 18--30 jari-jari lunak (Richter 1982: 1).
Ikan cupang hidup pada berbagai jenis perairan tawar, antara lain, sungai, rawa, dan danau
(Schindler & Schmidt 2006: 47). Beberapa spesies ikan cupang dapat hidup pada kondisi
lingkungan yang ekstrem seperti, perairan dengan tingkat keasaman yang tinggi (Smith 1995:
2--3). Ikan cupang ditemukan hidup di habitatnya baik secara berkelompok maupun soliter
(Monvises dkk. 2009: 13).
Taksonomi Betta berdasarkan ITIS (2004: 1) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Actinopterygii
Order
: Perciformes
Family
: Osphronemidae
Genus
: Betta Bleeker, 1850
Informasi mengenai keragaman genetik dapat diperoleh melalui fenotip maupun genotip
(Dalziel dkk. 2009: 5). Fenotip merupakan karakter yang ekspresinya diatur oleh genotip
dengan pengaruh dari faktor lingkungan. Genotip merupakan informasi genetik yang dimiliki
oleh suatu organisme (Pierce 2005: 48).
Penggunaan karakter fenotip untuk memperoleh informasi mengenai keragaman genetik
memiliki baik keunggulan maupun kelemahan. Keunggulan penggunaan karakter fenotip
yaitu lebih murah, dan mudah diamati, dibandingkan dengan penggunaan karakter genotip
(Mulyasari 2010: 52). Kelemahan dari penggunaan karakter fenotip, yaitu informasi yang
diperoleh (keragaman fenotip) kemungkinan kurang mencerminkan keragaman genetik dari
suatu spesies atau populasi karena adanya faktor lingkungan yang dapat memengaruhi
ekspresi dari fenotip.
Hal tersebut terkait dengan phenotypic plasticity pada ikan yang
memungkinkan ikan dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, seperti mengalami
perubahan morfologi dan fisiologi, sehingga adanya perubahan pada karakter fenotip tidak
berarti terdapat perubahan genetik pada suatu spesies atau populasi ikan. Namun demikian,
informasi keragaman fenotip tetap dapat digunakan terutama apabila dibutuhkan informasi
keragaman genetik dalam waktu singkat (Turan 1999: 259).
Morfologi merupakan karakter fenotip yang telah umum digunakan untuk identifikasi stok
ikan. Variasi morfologi pada ikan dapat dipertimbangkan sebagai indikator perbedaan
genetik, antarspesies, strain, jenis kelamin, atau populasi (McGlade & Boulding 1985 dalam
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Hadie 1997: 2). Karakter morfologi ikan umum dianalisis menggunakan studi morfometrik
dan meristik (Begg & Waldman 1999: 38). Studi morfometrik adalah studi yang melibatkan
pengukuran bagian-bagian tubuh ikan. Beberapa contoh karakter morfometrik yang umum
digunakan, antara lain panjang kepala (head length) dan panjang standar (standard length).
Studi meristik adalah studi yang melibatkan penghitungan jumlah bagian tubuh ikan (Vasave
& Saxena 2013: 1--2). Beberapa contoh karakter meristik yang umum digunakan, antara lain
jumlah jari-jari sirip dorsal (dorsal fin rays) dan jumlah sisik lateral (lateral scales) (Lim
2009: 23).
Studi morfometrik dan meristik telah terbukti dapat digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai keragaman morfologi dari populasi atau spesies ikan (Mulyasari 2010:
55). Akbar (2008: 33) melaporkan bahwa tiga populasi ikan betok (Anabas testudineus
Bloch, 1792) yang berasal dari tiga stasiun,yaitu rawa, sungai, dan danau di daerah aliran
Sungai Mahakam Tengah, merupakan satu unit populasi yang sama, karena masih memiliki
nilai kisaran morfometrik dan meristik yang sama. Mulyasari (2010: 50) melaporkan bahwa
ikan nilem hijau (Osteochilus hasselti Valenciennes, 1842) dan ikan nilem merah
(Osteochilus sp.) memiliki perbedaan yang cukup nyata dengan ikan nilem were
(Labiobarbus sp.) dan ikan nilem beureum panon (Puntius orphoides Valenciennes, 1842)
berdasarkan analisis morfometrik, meristik, dan RAPD (Randomly Amplified Polymorphism
DNA).
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Departemen Biologi FMIPA UI dan
Laboratorium Genetika Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH)
Depok, mulai bulan Juli 2013 hingga Maret 2014. Pengukuran karakter morfometrik
dilakukan berdasarkan Tan dan Kottelat (1998: 48) dan Schindler dan Schmidt (2006: 48)
dengan mengukur 15 karakter morfometrik menggunakan caliper dengan ketelitian 0,01 cm
(lihat Tabel 1). Karakter morfometrik panjang standar ikan juga diukur karena karakter
tersebut digunakan untuk merelatifkan hasil pengukuran untuk menghindari hasil yang bias
akibat perbedaan ukuran tubuh ikan dan umur ikan. Studi meristik dilakukan berdasarkan Lim
(2009: 23) menggunakan 9 karakter (lihat Tabel 2). Analisis data selanjutnya dilakukan
menggunakan program SPSS ver. 20. Program SPSS ver. 20 digunakan untuk melakukan uji
normalitas, analisis diskriminan, dan hierarchical cluster.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Tabel 1. Karakter Morfometrik
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Karakter morfometrik
Panjang standar (Standard
length)
Panjang di depan sirip
dorsal (Predorsal length)
Panjang di belakang sirip
dorsal (Postdorsal length)
Panjang di depan sirip anal
(Preanal length)
Tinggi badan pada awal
sirip dorsal (Body depth at
dorsal fin origin)
Tinggi badan pada awal
sirip pektoral (Body depth
at pectoral fin origin)
Tinggi batang ekor
(Caudal peduncle depth)
Panjang kepala (Head
Length)
Diameter mata (Orbit
diameter)
Panjang moncong (Snout
length)
Panjang kepala di
belakang mata (Postorbital
length)
Jarak di antara mata
(Interorbital width)
Panjang dasar sirip dorsal
(Dorsal fin base length)
Panjang dasar sirip anal
(Anal fin base length)
Panjang sirip ventral
(Pelvic fin length)
Panjang sirip pektoral
(Pectoral fin length)
Deskripsi
Jarak antara bagian terdepan kepala hingga pangkal
sirip ekor
Jarak antara bagian terdepan kepala hingga pangkal
jari-jari pertama sirip dorsal
Jarak antara belakang jari-jari terakhir sirip dorsal
hingga pangkal sirip ekor
Jarak antara bagian terdepan kepala hingga pangkal
jari-jari pertama sirip anal
Akronim
2.
3.
4.
5.
Karakter meristik
Jumlah sisik transversal
(Transversal scales)
Jumlah sisik lateral
(Lateral scales)
Jumlah sisik di depan sirip
dorsal (Predorsal scales)
Jumlah sisik di belakang
sirip dorsal (Postdorsal
scales)
Jumlah sisik di bawah
sirip dorsal (Subdorsal
scales)
PreDL
PDL
PreAL
Jarak antara pangkal jari-jari pertama sirip dorsal
hingga ke bagian ventral
BDD
Jarak antara bagian dorsal yang sejajar dengan
pangkal sirip pektoral hingga ke bagian ventral
BDP
Jarak terendah atau minimum pada bagian batang
ekor
Jarak antara bagian terdepan kepala hingga ujung
operkulum
Jarak maksimum dari ujung tepi mata hingga ujung
tepi yang lain
Jarak antara bagian terdepan kepala hingga bagian
terdepan mata
Jarak antara bagian ujung belakang tepi mata hingga
ujung operkulum
Jarak pada bagian dorsal dari tepi satu mata ke tepi
mata yang lain
Jarak bagian dasar sirip dorsal dari pangkal jari-jari
sirip dorsal hingga jari-jari terakhir sirip dorsal
Jarak bagian dasar sirip anal dari pangkal jari-jari
sirip anal hingga jari-jari terakhir sirip anal
Jarak antara pangkal sirip ventral hingga ujung
terpanjang sirip ventral
Jarak antara pangkal sirip pektoral hingga ujung
terpanjang sirip pektoral
Tabel 2. Karakter Meristik
No.
1.
SL
Deskripsi
Jumlah sisik dari permulaan sirip dorsal
miring ke bawah depan hingga sisik
lateral, kemudian dari sisik lateral miring
kebawah belakang hingga ke dasar sirip
anal
Jumlah sisik di belakang operkulum
hingga permulaan pangkal ekor
Jumlah sisik dari pangkal sirip dorsal
hingga kepala
Akronim
TS
LS
PreDS
Jumlah sisik dari belakang sirip dorsal
hingga permulaan pangkal ekor
PDS
Jumlah sisik pada bagian bawah sirip
dorsal dari ujung sirip dorsal hingga
akhir sirip dorsal
SDS
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
CPD
HL
OD
SNL
PL
IW
DFBL
AFBL
PVFL
PCFL
Tabel 2. Lanjutan
No.
6.
7.
8.
9.
Karakter meristik
Jumlah jari-jari sirip dorsal
(Dorsal fin rays)
Jumlah jari-jari sirip anal
(Anal fin rays)
Jumlah jari-jari sirip
pektoral (Pectoral fin
rays)
Jumlah jari-jari sirip
ventral (Pelvic fin rays)
Deskripsi
Akronim
Jumlah jari-jari sirip dorsal
DFR
Jumlah jari-jari sirip anal
AFR
Jumlah jari-jari sirip pektoral
PCFR
Jumlah jari-jari sirip ventral
PVFR
Hasil dan Pembahasan
Keragaman Karakter Fenotip Berdasarkan Studi Morfometrik
Pengukuran karakter morfometrik telah dilakukan pada lima spesies ikan cupang, yaitu
B.foerschi, B. pallifina, B. strohi, B. imbellis, dan B. splendens (Lampiran 2). Hasil uji
signifikansi karakter morfometrik menunjukkan, dari 12 karakter morfometrik yang
digunakan, terdapat 10 karakter yang berbeda nyata (P<0,05) dan 2 karakter yang tidak
berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 4.1(1)). Sepuluh karakter morfometrik yang berbeda nyata,
yaitu predorsal length (PreDL), postdorsal length (PDL), preanal length (PreAL), body depth
at dorsal fin origin (BDD), body depth at pectoral fin origin (BDP), head length (HL), orbit
diameter (OD), snout length (SNL), postorbital length (PL), dan pectoral fin length (PCFL).
Hampir seluruh karakter morfometrik yang diuji berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kelima spesies memiliki keragaman fenotip yang tinggi karena memiliki perbedaan
pada karakter morfometrik secara signifikan.
Perbedaan karakter morfometrik yang
signifikan terjadi karena meskipun seluruh ikan yang diuji merupakan kelompok ikan cupang,
ikan-ikan tersebut berasal dari spesies ikan cupang yang berbeda. Tan (2009: 502--503)
melaporkan bahwa Betta pardalotos Tan, 2009 memiliki perbedaan morfologi dengan Betta
chloropharynx Kottelat & Ng, 1994, antara lain memiliki corak berupa bintikpada operkulum,
kepala lebih panjang (32,5--35,8% dari panjang standar), dan batang ekor yang lebih tinggi
(18,4--21,7% dari panjang standar).
Karakter morfometrik yang tidak berbeda nyata, yaitu caudal peduncle depth (CPD) dan
anal fin base length (AFBL). Adanya karakter yang tidak berbeda nyata diduga terjadi karena
kelima spesies merupakan spesies dari genus yang sama, yaitu Betta, sehingga memiliki
nenek moyang yang sama. Dua karakter yang tidak berbeda nyata tersebut diduga merupakan
karakter yang diperoleh dari nenek moyang dan dipertahankan oleh kelima spesies. Kusmini
dkk. (2010: 510) melaporkan bahwa adanya kesamaan karakter morfometrik pada ikan
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
tengadak asal Kalimantan Barat, ikan tengadak albino, dan ikan tawes asal Jawa Barat
mungkin terjadi karena ketiga jenis ikan termasuk ke dalam genus yang sama (Barbonymus
Kottelat, 1999).
Tabel 3. Hasil uji signifikansi karakter morfometrik
1
Predorsal length (PreDL)
0,035
Wilks’
Lambda
0,601
2
Postdorsal length(PDL)
0,029
0,286
20,565
0*
3
Preanal length(PreAL)
0,028
0,626
4,930
0,003*
4
Body depth at dorsal fin origin(BDD)
0,028
0,488
8,650
0*
5
Body depth at pectoral fin origin (BDP)
0,026
0,507
8,034
0*
6
Caudal peduncle depth (CPD)
0,023
0,920
0,716
0,587
7
Head length(HL)
0,021
0,616
5,134
0,002*
8
Orbit diameter (OD)
0,012
0,371
13,969
0*
9
Snout length (SNL)
0,018
0,438
10,566
0*
10
Postorbital length (PL)
0,018
0,671
4,048
0,009*
11
Anal fin base length (AFBL)
0,035
0,903
0,888
0,482
Pectoral fin length(PCFL)
12
Keterangan: * = Berbeda nyata (P < 0,05)
SD = Standar Deviasi
0,025
0,588
5,786
0,001*
No
Karakter morfometrik
SD
F
Signifikansi
5,478
0,002*
Hasil analisis sharing component memperlihatkan bahwa hanya ada sedikit kesamaan
karakter morfometrik antara kelima spesies ikan, yang berarti kelima spesies tersebut
memiliki keragaman fenotip yang tinggi (Tabel 4.1(2)). Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai
sharing antarspesies yang rendah (0--20%). Spesies B. pallifinadan B. splendens memiliki
nilai kesamaan intraspesies 100% dan tidak memiliki kesamaan (0%) dengan spesies
manapun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut memiliki perbedaan
karakter morfometrik yang signifikan dengan spesies-spesies lain karena tidak terjadi sharing
dengan spesies lain. Spesies B. foerschimemiliki nilai kesamaan intraspesies yaitu 80% dan
sharing dengan spesiesB. pallifina dan B. strohi masing-masing sebesar 10%. Spesies B.
strohi memiliki nilai kesamaan intraspesies yaitu 85,7% dan sharing dengan spesies B.
foerschi sebesar 14,3%. SpesiesB. imbellis memiliki nilai kesamaan intraspesies yaitu 80%
dan sharing dengan spesies B. splendens sebesar 20%. Ketiga spesies tersebut juga memiliki
perbedaan karakter morfometrik yang signifikan karena meskipun terjadi sharing, nilai
sharing antarspesiesnya rendah (10--20%). Sharing antarspesies diduga disebabkan oleh
adanya karakter fenotip berupa karakter morfometrik yang dipertahankan dari nenek moyang.
Karakter morfometrik yang diduga menyebabkan sharing merupakan karakter yang tidak
berbeda nyata pada uji signifikansi, yaitu caudal peduncle depth (CPD) dan anal fin base
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
length (AFBL). Kusmini dkk. (2010: 512) melaporkan bahwa adanya sharing componentatau
kesamaan antaraikan tengadak (Barbonymusschwanenfeldii Bleeker, 1854) asal Kalimantan
Barat (Kapuas Hulu, Sintang, dan Sekadau) dan ikan tengadak albino asalJawa
Barat,menunjukkan adanya gejala pencampuranantarpopulasi yang disebabkan oleh adanya
karakter yang dipertahankan sewaktu terjadi gene flow.
Tabel 4. Persentase sharing component berdasarkan karakter morfometrik
Betta
foerschi
Betta
pallifina
Betta
strohi
Betta
imbellis
Betta
splendens
Total
(%)
Betta foerschi
80
10
10
0
0
100
Betta pallifina
0
100
0
0
0
100
14,3
0
85,7
0
0
100
Betta imbellis
0
0
0
80
20
100
Betta splendens
0
0
0
0
100
100
Spesies
Betta strohi
Kelima spesies menunjukkan keragaman fenotip yang tinggi berdasarkan karakter
morfometrik (Tabel 4.1(1) dan Tabel 4.1(2)). Hal tersebut diduga terjadi karena adanya
perbedaan kondisi lingkungan. Spesies B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi berasal dari
daerah yang sama yaitu Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, namun ketiga spesies diperoleh
dari area yang berbeda di sepanjang rawa banjiran di daerah tersebut (Kusrini, komunikasi
pribadi 2014).
Meskipun pengambilan data kondisi lingkungan perairan pada area
pengambilan sampel tidak dilakukan, perbedaan kebutuhan kondisi lingkungan yang
diperlukan antarspesies ikan cupang untuk hidup dapat mengindikasikan bahwa
terdapatperbedaan kondisi lingkungan hidup antarhabitat ketiga spesies tersebut. Berdasarkan
data dari IBC (2007: 1),B. foerschi hidup pada perairan dengan suhu yang berkisar antara 24-26° C dan pH antara 4,8--5,5. Kondisi perairan tersebut berbeda dengan yang dibutuhkan oleh
Betta edithaeVierke, 1984, yang juga merupakan salah satu spesies ikan cupang yang dapat
ditemukan di wilayah Kalimantan Tengah (IBC 2007: 1). Berdasarkan data dari Froese dan
Pauly (2013: 1), B. edithae hidup pada perairan dengan suhu antara 24--28° C dan pH antara
6,5--7,5. Menurut Wurts dan Durborow (1992: 1 &4) ikan membutuhkan lingkungan dengan
pH yang optimum karena pH yang terlalu rendah dapat meningkatkantoksisitas logam, seperti
tembaga dan seng, sedangkan pH yang terlalu tinggi dapat meningkatkan toksisitas
amonia.Selain itu, pH yang terlalu rendah dapat menurunkan pH darah ikan, yang
menyebabkan penurunan kemampuan darah ikan dalam mengikat oksigen. Apabila ikan terus
hidup pada lingkungan dengan pH yang tidak sesuai bagi ikan tersebut, maka ikan akan
mengalami stres bahkan kematian. Prochazka (2009: 3) menyatakan bahwa tinggi rendahnya
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
suhu dapat memengaruhi laju kematangan telur ikan. Selain itu, suhu yang terlalu tinggi pada
telur ikan dapat menyebabkan kecacatan pada ikan, seperti tubuh memendek dan tulang
belakang bengkok.
Selain berpengaruh pada telur ikan, menurut Roessig dkk. (2004:
260),suhu juga memengaruhi laju metabolisme ikan, pertumbuhan ikan, bahkan kelangsungan
hidup ikan.
Perbedaan daerah asal antara spesies pembanding (B. imbellis dan B. splendens) dengan
ketiga spesies sebelumnya diduga juga menyebabkan adanya keragaman fenotip yang tinggi.
Hal tersebut karena daerah yang berbeda diduga memiliki kondisi lingkungan yang berbeda
pula.SpesiesB. imbellismerupakan spesies ikan cupang yang berasal dari Sumatera (Kottelat
dkk. 1993: 225), sedangkan B. splendens merupakan spesies ikan cupang introduksi yang
berasal dari Thailand (Froese & Pauly 2013: 3; Kowasupat dkk. 2012: 387). Sulistiyarto
(2010: 187) melaporkan bahwa Rawa Banjiran Sungai Rungan, Kalimantan Tengah memiliki
rata-rata suhu 28,4° C dan pH 5,8. Kondisi perairan tersebut berbeda dengan yang dilaporkan
oleh Azrita (2013: 32--33)pada perairan di Sumatera dan Nakkaew dkk. (2013: 4) di Thailand.
Azrita (2013: 32--33) melaporkan bahwaDanau Singkarak, Sumatera Barat, Rawa Banjiran
Pematang Lindung, Jambi, dan Rawa Banjiran Mentulik Kampar, Riau,berturut-turut
memiliki rata-rata suhu 25,66° C, 28,66° C, dan 27,16° C serta pH 7,56, 4,5, dan 4,4.
Nakkaew dkk. (2013: 4) melaporkan bahwa Sungai Wang, Thailand memiliki rata-rata suhu
27,8° C dan pH 8,01.
Perbedaan kondisi lingkungan diduga menyebabkan perbedaan ekspresi karakter
morfometrik pada kelima spesies ikan cupang, sehingga keragaman fenotip antarspesies
tinggi. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan Turan (1999: 259) yang menyatakan
bahwa ikan memiliki phenotypic plasticity. Hal tersebut memungkinkan ikan mengalami
perubahan morfologi maupun fisiologi apabila terdapat perubahan kondisi lingkungan.
Grafik penyebaran spesies berdasarkan karakter morfometrik menunjukkan bahwa kelima
spesies
terkelompok
menjadi
tiga
kelompok.
Spesies
B.
foerschi
cenderung
mengelompokdengan B. strohi, sedangkan spesies B. imbelliscenderung mengelompok
dengan B. splendens.
Spesies B. pallifinacenderung tidak mengelompok dengan spesies
manapun (Gambar 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa spesies terkelompok berdasarkan
species group.
Berdasarkan data dari Lim (2009: 7), spesies B. foerschi dan B. strohi
merupakan anggota dari species groupB. foerschi, sedangkan spesies B. imbellis dan B.
splendens merupakan anggota dari species groupB. splendens. Spesies B. pallifina yang
terpisah dengan spesies-spesies lain merupakan anggota dari species group B. unimaculata.
Spesies terkelompok berdasarkan species groupdiduga terjadi karena spesies yang berada
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
pada species group yang sama memiliki karakter morfometrik yang hampir mirip. Oleh
karena itu, dalam membedakan spesies ikan cupang yang satu dengan yang lain selain
karakter morfometrik, karakter-karakter morfologi lain, seperti bentukbagian-bagian tubuh
dan karakter meristik juga diperlukan. Tan (2009: 503) mendeskripsikan spesies baru, Betta
pardalotos Tan, 2009, dengan ciri-ciri, antara lain memiliki sirip ekor membulat dengan jarijari sirip bagian tengah lebih panjang, jari-jari sirip anal bagian belakang lebih panjang
dibandingkan dengan bagian depan, sirip pektoral membulat, jumlah sisik lateral 33--34,
jumlah jari-jari sirip dorsal 9--10, dan jumlah jari-jari sirip pektoral 12.
Gambar 1. Grafik penyebaran spesies berdasarkan karakter morfometrik
Hasil analisis hierarchical cluster berupa nilai matrik disimilaritas antarspesies (Tabel 5)
menunjukkan bahwa spesies yang memiliki nilai matrik disimilaritas terbesar yaitu B.
splendens dengan B. strohidengan nilai matrik disimilaritas sebesar 0,014, diikuti oleh B.
splendens dengan B. foerschi dan B. splendens dengan B. pallifina, yaitu sebesar 0,013, B.
imbellis dengan B. pallifina 0,012, B. imbellis dengan B. strohi 0,009, B. imbellis dengan B.
foerschi 0,008, B. imbellis dengan B. splendens 0,005, B. foerschi dengan B. pallifina 0,003,
dan spesies yang memiliki nilai matrik disimilaritas terkecil, yaitu B. foerschi dengan B.
strohidengan nilai matrik disimilaritas 0,001. Semakin besar nilai matrik disimilaritas maka
semakin jauh hubungan kekerabatan antarspesies dan sebaliknya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa spesies B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi memiliki hubungan
kekerabatan yang sangat dekat satu sama lain karena memiliki nilai matrik disimilaritas yang
sangat kecil (0,001--0,005). Ketiga spesies tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
lebih jauh dengan B. imbellis dan B. splendens yang merupakan spesies pembanding karena
memiliki nilai matrik disimilaritas yang lebih tinggi, yaitu 0,008--0,014. Penelitian mengenai
matrik kekerabatan juga pernah dilakukan pada ikan nilem.
Mulyasari (2010: 41--42)
melaporkan bahwa ikan nilem hijau memiliki jarak matrik kekerabatan yang lebih rendah
dengan ikan nilem merah (0,0034), dibandingkan dengan ikan nilem were (0,4403) dan ikan
nilem beureum panon (0,8718). Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan nilem hijau memiliki
kekerabatan yang lebih dekat dengan ikan nilem merah dibandingkan dengan ikan nilem were
dan ikan nilem beureum panon.
Tabel 5. Nilai matrik disimilaritas antarspesies berdasarkan karakter morfometrik
Spesies
Betta
foerschi
Betta
pallifina
Betta
strohi
Betta
imbellis
Betta foerschi
0
Betta pallifina
0,003
0
Betta strohi
0,001
0,005
0
Betta imbellis
0,008
0,012
0,009
0
Betta splendens
0,013
0,013
0,014
0,005
Betta
splendens
0
Hasil analisis hierarchical cluster berupa dendrogram menggambarkan kekerabatan
kelima spesies ikan dalam empatclusterutama (Gambar 2).Cluster pertama antara B. foerschi
dengan B. strohi. Cluster kedua antara B. foerschi-B. strohi dengan B. pallifina.
Clusterketiga antara B. foerschi-B. pallifina-B. strohi dengan B. imbellis. Cluster terakhir
antara B. foerschi-B. pallifina-B. strohi-B. imbellis dengan B. splendens. Hasil tersebut
memperkuat hasil dari analisis hierarchical cluster berupa nilai matrik disimilaritas.
Spesies B. foerschi memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan B. strohi
dibandingkan dengan B. pallifina berdasarkan karakter morfometrik. Hasil tersebut diduga
terjadi karena kedua spesies berasal dari species group yang sama sehingga memiliki karakter
morfometrik yg lebih mirip satu sama lain dibandingkan dengan B. pallifina yang berasal dari
species group yang berbeda.Dugaan tersebut juga dapat menjelaskan hubungan kekerabatan
yang dekat antara B. imbellis dan B. splendens, yang juga merupakan anggota dari species
group yang sama. Menurut Lim (2009: 7), B. foerschi dan B. strohi merupakan anggota dari
species groupB. foerschi, sedangkan spesies B. imbellis dan B. splendens merupakan anggota
dari species groupB. splendens. Kowasupat dkk. (2012: 52) melaporkan bahwa Betta
mahachaiensisKowasupat, Panijpan, Ruenwongsa, & Sriwattanarothai, 2012 memiliki
kemiripan karakter morfometrik dengan B. splendens yang juga merupakan anggota dari
species groupB. splendens, yaitu padapredorsal length (PreDL), anal fin base length (AFBL),
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
dan caudal peduncle depth (CPD). Spesies B. mahachaiensis memiliki kisaran PreDL sebesar
59,1--68,2% dari panjang standar, AFBL sebesar 56,1--69,8% dari panjang standar, dan CPD
sebesar 14,9--20,2% dari panjang standar. Kisaran tersebutmirip dengan kisaran PreDL,
AFBL, dan CPDyang dimiliki oleh B. splendens(PreDL57,1--68,2% dari panjang standar,
AFBL 53,3--70% dari panjang standar, dan CPD 13,9--21,3% dari panjang standar).
Spesies B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi memiliki hubungan kekerabatanantarspesies
yang lebih dekat dibandingkan dengan spesies pembanding (B. imbellis dan B. splendens)
berdasarkan karakter morfometrik. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya pengaruh
kondisi lingkungan yang memengaruhi ekspresi karakter morfometrik. Spesies B. foerschi, B.
pallifina, dan B. strohi merupakan spesies yang berasal dari daerah yang sama, yaitu
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, ketiga spesies tersebut kemungkinan
mengalami tekanan lingkungan yang mirip, sehingga ketiga spesies tersebut memiliki
kemiripan pada karakter morfometrik. Spesies pembanding (B. imbellis dan B. splendens)
memiliki kekerabatan yang lebih jauh dengan B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi
berdasarkan karakter morfometrik, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan daerah asal
spesies. SpesiesB. imbellismerupakan spesies ikan cupang yang berasal dari Sumatera
(Kottelat dkk. 1993: 225), sedangkan spesies B. splendens merupakan spesies ikan cupang
introduksi yang berasal dari Thailand (Froese & Pauly 2013: 3; Kowasupat dkk. 2012: 387).
Daerah yang berbeda kemungkinan memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, sehingga
kedua spesies memiliki karakter morfometrik yang berbeda pula. Sulistiyarto (2010: 187)
melaporkan bahwa rawa banjiran sungai Rungan Kalimantan Tengah memiliki rata-rata pH
5,8 dan CO2 terlarut 30,12 mg/L. Kondisi perairan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
yang dilaporkan Azrita (2013: 32--33) bahwa rawa banjiran Pematang Lindung Jambi dan
Mentulik Kampar Riau berturut-turut memiliki rata-rata pH 4,5 dan 4,4 serta CO2 terlarut
15,65 mg/L dan 18,46 mg/L. Perbedaan kondisi lingkungan memungkinkan perbedaan
karakter fenotip karena ekspresi karakter fenotip tidak hanya dipengaruhi oleh genotip, tetapi
juga kondisi lingkungan. Pierce (2005: 48) menyatakan bahwa ekspresi karakter fenotip
diatur oleh genotip dengan pengaruh dari lingkungan.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Gambar 2. Dendrogram berdasarkan karakter morfometrik
Keragaman Fenotip Berdasarkan Karakter Meristik
Hasil penghitungan karakter meristik menunjukkan bahwa secara umum kelima spesies
memiliki karakter meristik yang berbeda, meskipun terdapat karakter yang menunjukkan
kesamaan kisaran jumlah (Tabel 6). Perbedaan kisaran jumlah karakter meristik terjadi karena
meskipun seluruh ikan yang digunakan merupakan ikan cupang, ikan-ikan tersebut berasal
dari spesies yang berbeda. Schindler dan Linke (2013: 38) melaporkan bahwa Betta hendra
Schindler & Linke, 2013 memiliki perbedaan karakter meristik dengan Betta burdigala
Kottelat & Ng, 1994, yaitu pada jumlah jari-jari sirip dorsal yang lebih sedikit (10--12)
dibandingkan dengan jumlah jari-jari sirip dorsal B. burdigala (> 12). Adanya kesamaan
kisaran karakter meristik dapat terjadi mengingat kelima spesies berasal dari genus yang sama
(Betta). Kowasupat dkk. (2012: 54) melaporkan bahwa B. mahachaiensis memiliki kesamaan
karakter meristik dengan B. splendens, yaitu pada jumlah sisik subdorsal (5--7), jumlah sisik
transversal (8--9), dan jumlah sisik predorsal (20--27).
Tabel 6. Hasil penghitungan meristik kelima spesies
Karakter
Transversal scales (TS)
Lateral scales (LS)
Predorsal scales (PreDS)
Postdorsal scales (PDS)
Subdorsal scales (SDS)
Dorsal fin rays (DFR)
Anal fin rays (AFR)
Pectoral fin rays (PCFR)
Pelvic fin rays (PVFR)
Betta
foerschi
9--12
30--32
20--22
9--11
5--6
5--9
18--27
13
6
Betta
pallifina
9--11
31--33
20--41
10--12
5--6
8--9
23--37
13
6
Betta strohi
9--12
30--32
21--23
9--10
5--6
5--8
20--26
13
6
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Betta
imbellis
9--11
27--30
20--22
6--9
7--12
10--16
25--30
13
0--6
Betta
splendens
9--10
26--29
20--22
8--10
6--7
10--12
25--29
13--14
6
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
1.
Spesies B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohimemiliki keragaman fenotip yang tinggi
berdasarkan studi morfometrik dan meristik.
2.
Spesies B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat satu sama lain dan memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan B.
imbellis dan B. splendens berdasarkan studi morfometrik.
Saran
Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya yaitu
1.
Studi keragaman genotip (secara molekuler) perlu dilakukan untuk memverifikasi hasil
dari studi keragaman fenotip berdasarkan karakter morfometrik dan meristik.
2.
Informasi kondisi lingkungandaerah asal sampel, seperti suhu,pH, dan CO2 terlarut, perlu
diketahui sebagai data pendukung penelitian.
Daftar Referensi
Ahluwalia, K. B. 2009. Genetics. 2nd ed. New Age International (P) Limited, New Delhi: xvi
+ 451 hlm.
Akbar, H. 2008. Studi karakter morfometrik-meristik ikan betok (Anabas testudineus Bloch)
di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. Skripsi, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor: vi + 45 hlm.
Azrita. 2013. Parameter fisika, kimia, dan biologi penciri habitat ikan bujuk (Channa lucius,
Channidae). Dalam H. Syandri, Arlius, A. Zein, & Junaedi (Eds.). Prosiding Seminar
Nasional Perikanan(29--41). Padang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Bung Hatta.
Begg, G. A. & J. R. Waldman. 1999. An holistic approach to fish stock identification.
Fisheries Research 43: 35--44.
Carty, J., C. Ljunggvist, D. Prest, C. Segura, & H. Zimmering. 2009. How can molecular
genetics help us to prioritize taxa for conservation. Journal of Conservation
Biology3065(1): 38--45.
Chandra, G., I. Bhattacharjee, S. N. Chatterjee, & A. Ghosh. 2008. Mosquito control by
larvivorous fish. Indian Journal of Medical Research127:13--27.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Dalziel, A. C., S. M. Rogers, &P. M. Schulte. 2009. Linking genotypes to phenotypes and
fitness: How mechanistic biology can inform molecular ecology. Molecular Ecology
18: 1--21.
Daulay, J. 2013. Cupang hias dan wild Betta nan menawan bernilai dolar tinggi. 1 hlm.
http://dkp.sumbarprov.go.id/index.php?mod=artikel&id=12. 22 Agustus 2013, pk.
14.45 WIB.
Dewantoro, G. H. 2001. Fekunditas dan produksi larva pada ikan cupang (Betta splendens
Regan) yang berbeda umur dan pakan alaminya. Jurnal Iktiologi Indonesia1(2): 49-52.
Dwivedi, A. K.&V. K. Dubay. 2013. Advancements in morphometric differentiation: A
review on stock identification among fish populations. Reviews in Fish Biology and
Fisheries23: 23--39.
Falk, D. A., E. Knapp, & E. O. Guerrant. 2001. An introduction to restoration genetics. 1 hlm.
http://www.nps.gov/plants/restore/pubs/restgene/toc.htm. 5 Mei 2014, pk. 17.49 WIB.
Froese, R.& D. Pauly. Editors. 2013. List of freshwater fishes in Indonesia. 24 hlm.
http://www.fishbase.org/Country/CountryChecklist.php?resultPage=3&c_code=360&
vhabitat=fresh. 22 Agustus 2013, pk. 23.33 WIB.
Hadie, W. 1997. Studi morfometrik dan keragaman genetika pada populasi ikan
Lele (Clarias batrachus) di Sungai Musi dan Bengawan Solo. Tesis, Program Studi
Biologi, Universitas Indonesia (UI): x + 34 hlm.
Hammer, O., D. A. T. Harper, & P. D. Ryan. 2001. PAST - Palaeontological statistics. 31
hlm.http://www.uv.es/pe/2001_1/past/pastprog/past.pdf. 12 Februari 2014, pk. 14.01
WIB.
Hurlbut, T & D. Clay. 1998. Morphometric and meristic differences between shallow- and
deep-water populations of white hake (Urophycis tenuis) in the southern gulf of St.
Lawrence. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 55: 2274--2282.
Integrated Taxonomic Information System (ITIS). 2004. Taxonomy, nomenclature, and
taxonomic hierarchy Betta. 1 hlm.
http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=17
2610. 25 Agustus 2013, pk. 22.06 WIB.
International Betta Congress (IBC). 2007. Betta species. 1 hlm.
http://ibcbettas.org/smp/species/index.html. 20 September 2013, pk. 11.47 WIB.
International Union for Conservation of Nature (IUCN). 2013. IUCN Red list of threatened
species. 1 hlm. http://www.iucnredlist.org/search. 25 Agustus 2013, pk. 23.42 WIB.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Jamsari, A. F. J., S. Noraznita., M. N. Siti Azizah, &T. Y. Lim. 2009. Phylogenetics of
Malaysian Betta bubblenest brooders based on 16s rRNA. DalamProceedings of the
8th Malaysia Congress on Genetics (257--261). Pahang: Genetics Society of
Malaysia.
Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of
Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited Press, Hongkong: 293
hlm.
Kowasupat, C., B. Panijpan, P. Ruenwongsa, &T. Jeenthong. 2012. Betta siamorientalis, a
new species of bubble-nest building fighting fish (Teleostei: Osphronemidae) from
Eastern Thailand. Vertebrate Zoology62(3): 387--397.
Kowasupat, C., B. Panijpan, P. Ruenwongsa, & N. Sriwattanarothai. 2012. Betta
mahachaiensis, a new species of bubble-nesting fighting fish (Teleostei:
Osphronemidae) from Samut Sakhon Province, Thailand. Zootaxa3522: 49--60.
Kusmini, I. I., R. Gustiano, & Mulyasari. 2010. Karakterisasi truss morfometrik ikan tengadak
(Barbonymus schwanenfeldii) asal Kalimantan Barat dengan ikan tengadak albino dan
ikan tawes asal Jawa Barat. Dalam A. Sudrajat (Ed.). Prosiding Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur (507--513). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya.
Liebetrau, S. 1994. The wild Bettas - Part 1. 5 hlm.
http://www.ibcbettas.org/2012/11/IBC%20TA%20Articles/WT-71.pdf. 16 Januari
2014, pk. 20.43 WIB.
Lim, T. Y. 2009. Comparative taxonomy and breeding behaviour of five populations of Betta
pugnax group (Osphronemidae) from Johor, Malaysia. Tesis, School of Biological
Sciences, Universiti Sains Malaysia (USM), Penang: xvi + 139 hlm.
Monvises, A., B. Nuangsaeng, N. Sriwattanarothai, & B. Panijpan. 2009. The siamese
fighting fish: Well-known generally but little-known scientifically. ScienceAsia 35: 8-16.
Mulyasari. 2010. Karakteristik fenotipe morfomeristik dan keragaman genotipe RAPD
(Randomly Amplified Polymorphism DNA) ikan nilem (Osteochilus hasseltii) di Jawa
Barat. Tesis, Program Studi Ilmu Akuakultur Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor:
xviii + 63 hlm.
Nakkaew, S., J. Pekkoh, & Y. Peerapornpisal. 2013. The trophic status of the main rivers and
reservoirs of the Wang River, Thailand. Journal of Environment6(2): 1--7.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Neff, B. D., S. R. Garner, & T. E. Pitcher. 2011. Conservation and enhancement of wild fish
populations: Preserving genetic quality versus genetic diversity. Canadian Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences 68: 1139--1154.
Ningsheng, Y., G. Chansui, & O. Haiying. 2011. Information system of fish germplasm
resources in China. 4 hlm.
http://www.afita.org/files/web_structure/20110126174028_862349/20110201101261_
862349_32.pdf. 20 Mei 2014, pk. 23.07 WIB.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (PemProv KalBar). 2013. Eksotisme wildBetta
Kalimantan Barat diincar para kolektor luar dan dalam negeri. 1 hlm.
http://www.kalbarprov.go.id/berita.php?id=3479. 22 Agustus 2013, pk. 14.36 WIB.
Pierce, B.A. 2005. Genetics: A conceptual approach. 2nded. W. H. Freeman & Company,
New York: 709 hlm.
Piorski, N. M., A. Sanches, L. F. Carvalho-Costa, T. Hatanaka, M. Carrillo-Avilla, P. D.
Freitas, & P. M. Galetti Jr. 2008. Contribution of conservation genetics in assessing
neotropical freshwater fish biodiversity. Brazillian Journal of Biology 68(4, suppl.):
1039--1050.
Prochazka, E. 2009. Incidence of malformations in fish embryos/larvae. 11 hlm.
http://www.daff.qld.gov.au/__data/assets/pdf_file/0003/51726/23-NFHITF-IncidenceMalformations-Fish-Embryos.pdf. 24 Mei 2014, pk. 01.24 WIB.
Richter, H. J. 1982. The Betta genus excerpts from Das Buch der Labrinthfische. 9 hlm.
http://www.ibcbettas.org/2012/wpcontent/uploads/2012/11/IBC%20TA%20Articles/WT-14.pdf. 8 Oktober 2013, pk.
15.25 WIB.
Roessig, J. M., C. M. Woodley, J. J. Cech Jr., & L. J. Hansen. 2004. Effects of global climate
change on marine and estuarine fishes and fisheries. Reviews in Fish Biology and
Fisheries14: 251--275.
Sari, D. I. 2013. Pentingnya plasma nutfah dan upaya pelestariannya. 6 hlm.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpsurabaya/tinymcpuk/gambar/file/PEPENTING
N%20PELESTARIAN%20PLASMA%20NUTFAH.pdf. 20 Mei 2014, pk. 23.13
WIB.
Schindler, I.& J. Schmidt. 2006. Review of the mouthbrooding Betta (Teleostei,
Osphronemidae) from Thailand, with descriptions of two new species. Zeitschrift für
Fischkunde8(1/2):47--69.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Schindler, I. & J. Schmidt. 2008. Betta kuehnei, a new species of fighting fish (Teleostei,
Osphronemidae) from the Malay Peninsula. Bulletin of Fish Biology10(1/2): 39--46.
Schindler, I. & H. Linke. 2013. Betta hendra - a new species of fighting fish (Teleostei:
Osphronemidae) from Kalimantan Tengah (Borneo, Indonesia). Vertebrate
Zoology63(1): 35--40.
Septiana, Y. 2013. Manajemen pengembangan agribisnis pembesaran ikan cupang di
kelurahan Ketami kecamatan Pesantren kota Kediri. Jurnal Manajemen
Agribisnis13(1): 91--94
Smith, A. 1995. The wild Bettas. 8 hlm. http://www.ibcbettas.org/2012/wpcontent/uploads/2012/11/IBC%20TA%20Articles/WT-66.pdf. 20 September 2013, pk.
9.56 WIB.
Sukadi, M. F. 2002. Peningkatan teknologi budidaya perikanan. Jurnal Iktiologi
Indonesia2(2): 61--66.
Sukowati, S. 2010. Masalah vektor demam berdarah dengue (DBD) dan pengendaliannya di
Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi 2: 26--30.
Sulistiyarto, B. 2010. Beberapa karakteristik fisik kimiawi perairan rawa hutan di dataran
banjir sungai Rungan Kalimantan Tengah. Media Sains2(2): 186--190.
Tan, H. H. 2009. Betta pardalotos, a new species of fighting fish (Teleostei: Osphronemidae)
from Sumatra, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology57(2): 501--504.
Tan, H. H. 2013. The identity of Betta rubra (Teleostei: Osphronemidae) revisited, with
description of a new species from Sumatra, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology
61(1): 323--330.
Tan, H. H. & M. Kottelat. 1998. Two new species of Betta (Teleostei: Osphronemidae) from
the Kapuas basin, Kalimantan Barat, Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 46(1):
41--51.
Turan, C. 1999. A note on the examination of morphometric differentiation among fish
populations: The truss system. Turkish Journal of Zoology 23: 259--263.
Vasave, S. & A. Saxena. 2013. Morphological and meristic studies of rainbow trout
(Onchorynchus mykiss) and snow trout (Schizothorax richardsonii). Journal of
Agriculture and Food Technology 3(4): 1--6.
Vierke, J. 1979. Betta anabatoides and Betta foerschi, Two fighting fishes from Borneo. 3
hlm. http://www.ibcbettas.org/2012/wpcontent/uploads/2012/11/IBC%20TA%20Articles/WT-12.pdf. 13 Mei 2014, pk. 19.57
WIB.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Wurts, W. A. & R. M. Durborow. 1992. Interactions of pH, carbon dioxide, alkalinity, and
hardness in fish ponds. Southern Regional Aquaculture Center Publications464: 1--4.
Keragaman fenotip…, Laksmi Sholihati, FMIPA UI, 2014
Download