Bab 2 Landasan Teori Di dalam bab kedua berisikan mengenai

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
Di dalam bab kedua berisikan mengenai landasan teori. Penulis akan memberikan
teori-teori yang akan digunakan oleh penulis pada bab selanjutnya.
2.1 Teori Sintaksis
Menurut Verhaar (2004) sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan tata
bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan (speech).(hal.161)
Menurut Arifin, Zaenal & Junaiyah (2008) yang dimaksud dengan sintaksis adalah
sebagai berikut :
Sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarakata dalam
tuturan (speech). Unsur bahasa yang termasuk di dalam lingkup sintaksis adalah frasa,
klausa, dan kalimat. (hal.1)
Seperti yang dapat kita lihat dari pendapat Arifin, et al (2008, hal.1) dapat dilihat
bahwa di dalam lingkup sintaksis terdapat frasa, klausa dan kalimat. Arifin, et al (2008,
hal 4) mengemukakan frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang
bersifat nonpredikatif atau satu kontruksi ketatabahasaan yang terdiri atau dua kata atau
lebih. Selanjutnya Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas
subyek dan predikat. Klausa berpotensi menjadi kalimat. (Arifin, et al.,2008, hal.4)
Arifin, et al (2008) juga mengemukakan pengertian kalimat dan pembagian kalimat
berdasarkan bentuknya adalah sebagai berikut :
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai intonasi
final (kalimat lisan), dan secara actual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dapat
dikatakan bahwa kalimat membicarakan hubungan antara klausa dan klausa yang lain.
Jika dilihat dari fungsinya, unsur-unsur kalimat terdiri atas subyek, predikat, obyek,
pelengkap, dan keterangan. (hal.54)
Menurut Arifin, et al (2008) subyek adalah bagian klausa yang berjuwud nomina atau
frasa nominal yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara atau penulis. (hal.35)
sedangkan predikat adalah bagian kalimat yang membantu subyek melakukan apa atau
subyek dalam keadaan bagimana (Aryamdini, 2005, hal.3). Objek adalah bagian klausa
yang berwujud nomina atau frasa nominal yang dikenai perbuatan. (Arifin, et al., 2008,
hal.35) Pelengkap adalah bagian kalimat yang melengkapi predikat, umumnya
dibelakang predikat (Aryamdini, 2005, hal.7) Masih menurut Aryamadini (2005)
keterangan adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal tentang bagian
kalimat. Unsur keterangan dapat berfungsi menerangkan subyek, predikat, obyek, dan
pelengkap (hal.7)
2.2 Teori Semantik
Dalam menganalisis lagu, tidak dapat terlepas dari semantik. Keraf (2002)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan semantik adalah sebagai berikut :
Telah dikemukakan bahwa kata atau bentuk bahasa mempunyai relasi dengan dunia
nyata. Sehingga istilah referensi dipakai untuk menyatakan relasi antara bahasa dengan
sesuatu yang bukan bahasa. Bidang yang mempelajari bidang itu biasanya disebut
“semantik” (hal.31-32)
Hiejima (1991), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik
adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, dan kalimat. Menurut Chaer
(2009) semantik ialah bidang linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan kata lain, bidang studi dalam
linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa (hal.2). Parera (2004) juga
mengatakan semantik ialah suatu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.
Saeed juga mengatakan bahwa “semantics is the study of meaning communicated
through language and the study of the meanings of word and sentences” (hal.3) artinya
semantik adalah studi tentang makna yang dikomunikasikan melalui bahasa dan studi
tentang makna kata dan kalimat.
Menurut Keraf (2007, hal.25), semantik adalah studi tentang makna, untuk
memahami makna dalam komunikasi. Makna kata pertama-tama dibedakan atas makna
yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau
maknanya disebut makna denotatif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti
tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum
dinamakan makna konotatif atau konotasi (Keraf, 2007, hal.27-28)
Menurut Slametmuljana dalam Pradopo (1990, hal.48), makna denotatif dan
konotarif yang dimiliki sebuah kata sangat penting karena kata adalah alat penting yang
digunakan seorang pengarang, dalam hal ini penulis lirik, untuk mencapai nilai seni
yang diwujudkan dalam sebuah karya.
2.2.1 Pengertian Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna dari sebuah frasa atau kata yang tidak mengandung
arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini seorang penulis yang hanya menyampaikan
informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung mempergunakan kata-kata
yang denotatif. Tujuan utamanya adalah untuk memberi pengenalan yang jelas terhadap
fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca (Keraf, 2007,
hal.28). Makna denotatif juga memiliki beberapa istilah lain seperti, makna denotasional,
makna kognitif, makna konseptual, dll. Menurut Keraf (2007) disebut makna
denotasional, referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk
(denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. (hal.28)
Sementara menurut Parera (2004), imbuhan de-
yang mengawali kata denotasi,
memiliki arti tetap dan wajar sebagaimana adanya. Jadi denotasi adalah makna yang
wajar, asli, yang muncul pertama, yang diketahui pada mulanya, makna sebagai adanya
dan makna yang sesuai dengan kenyataannya.
Setiap kata memiliki makna denotasi, memilih sebuah denotasi yang tepat, dengan
sendirinya lebih mudah dari memilih konotasi yang tepat. Seandainya ada kesalahan
dalam denotasi, maka hal itu disebabkan oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip
bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau kekeliruan karena tidak jela maksud dan
referennya (Keraf, 2007, hal.28-29)
2.2.2 Pengertian Makna Konotatif
Keraf (2007) mengungkapkan pengertian dari makna konotatif adalah sebagai
berikut :
Makna konotatif adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu,
atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umumnya. Makna tersebut
sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju,
senang atau tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar dengan orang lain,
sebab itu, bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotative atau
ideasional dan sebagainya (hal.29)
Dari pengertian di atas dapat di lihat bahwa respons seseorang bergantung dari apa
yang ada di dalam konsep atau ide di dalam kepala pendengar, karena awalan ko- yang
mengawali kata konotasi memiliki arti “bersama yang lain, ada tambahan yang lain”
terhadap notasi yang bersangkutan (Parera, 2004, hal.97).
Memilih makna konotasi jauh lebih sulit dibandingkan dengan memilih makna
denotasi. Oleh karena itu, piliha kata atau diksi berkaitan erat dengan pemilihan kata
yang bersifat konotatif. Menurut Keraf (2007) sulitnya pemilihan makna konotasi
dikarenakan perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin
mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu (hal.29)
2.3 Teori Medan Makna
Menurut Chaer (1994, hal.315-316) yang dimaksud dengan medan makna atau
medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan
karena maknanya menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam
alam semesta tertentu. Parera (1991) juga menjelaskan pengertian tentang medan makna
ialah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas atau kesamaan,
kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata
(hal.138)
Medan makna dikembangkan oleh Trier, dalam Parera (1991) Trier mengemukakan
bahwa :
Vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan, dan dalam medan itu
setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada
tumpang tindih antara sesame makna, Trier mengatakan bahwa medan makna itu
tersusun sebagai satu mosaik. Dan setiap medan makna itu akan selalu tercocokkan
antar sesame medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal
tumpang tindih. Pendekatan medan makna memandang bahasa sebagai satu
keseluruhan yang tertata yang dapat dipenggal-penggal atas beberapa bagian yang
saling berhubungan secara teratur. (hal.139)
Perlu diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa,
misalnya dalam bahasa Indonesia medan makna “melihat” dibedakan atas “melirik,
mengintip, memandang, menatap, meninjau, melotot”, dan sebagainya (Parera, 1991,
hal.140)
2.4 Konsep Yaruki
Dalam kamus bahasa Jepang populer 広辞苑 koujien menurut Shinmura (1992), kata
yaruki mempunyai makna “物事を積極的に進めようとする目的意識” (hal.2703)
artinya, “Menjalankan sebuah tujuan dengan segala perasaan positif” dan menurut
Matsumura (1995) yaruki mempunyai makna “進んで物事をなしとげようとする気
持ち” (hal.2683) artinya “maju menyelesaikan segalanya atau sesuatu dengan perasaan”.
Dalam jurnal yang berjudul yaruki (n.d) mengungkapkan “やる気とは興味を持っ
て、積極的にものごとに取り組む力” artinya “yaruki adalah mempunyai perhatian
terhadap sesuatu, mengatasi dengan kekuatan positif.”.
Itou mengemukakan definisi yaruki dikutip oleh Koike (2011) ”やる気(学習意
欲)は学術的な概念ではないと述べている。心理学で似た概念をあげると「動
機づけ」”(hal.1) artinya “Yaruki (pembelajaran keinginan) tidak ada kata dalam ilmu
pengetahuan yang dapat mengungkapkan apa itu yaruki. Dalam ilmu psikologi mirip
dengan pengertian ‘doukitzuke’” dan Itou juga mengungkapkan definisi doukitzuke
“「動機づけ」とは「欲求―動機―目標に到達」という一連の過程をいうと述べ
ている” (hal.1) artinya “doukitzuke adalah dapat dikatakan proses dari serangkaian
keinginan – dorongan – pencapaian tujuan”
Menurut Kajita (2002) yaruki di dalam psikologi adalah “心理学では、「行動を始
発し、解発したその行動を維持し、さらにその行動を一定の方向に導き終始さ
せる過程」”(hal.85) artinya “Di dalam psikologi ialah tindakan pertama, cara untuk
mempertahankan tindakan, dan juga proses untuk menuntun kearah tertentu dari awal
sampai akhir”
Menurut Watari (2004) yaruki adalah “やる気とは人をある行動に向かわせる力
である。やる気には向かう先、方向が必要でありこれがはっきりしていればし
ているほどその持続時間は長くなると考える。”(para.3) artinya “yaruki adalah
orang yang melakukan suatu tindakan dengan sekuat tenaga. Di dalam yaruki juga
diperlukan penentuan arah yang jelas, sebab jika ini dilakukan maka kelangsungan
pencapaian tujuan menjadi lebih panjang.”
Kawamoto (1989) mengungkapkan :
目標達成に向けての行動を促し、完遂に至るまでその行動を持続させる「心
理的エネルギー」を表す概念である。心理的エネルギーとは、平易な表現を
すれば「意欲」「やる気」のことです。” (hal.1)
Terjemahan
Tindakan seseorang dalam mencapai sebuah tujuan, dalam pelaksanaan pencapaian
tujuan seseorang harus mempunyai ‘energi psikologis’ agar terus tindakan itu terus
berlanjut. ‘energi psikologis’. Untuk mempermudah penyebutan energi psikologis itu
adalah ‘iyoku’ dan ‘yaruki’
.
Setelah melihat definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa yaruki adalah sebuah
dorongan, tindakan energi atau perilaku seseorang dalam melakukan atau menggapai
suatu tujuan atau keinginan.
Di dalam jurnalnya, Kawamoto (1989) memberikan beberapa teori tentang apa yang
menyebabkan seseorang mendapat sebuah dorongan dan bagaimana kelangsungan dari
tindakan seseorang untuk menggapai tujuannya. Kawamoto mengatakan bahwa teori dua
faktor dari Herzberg dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana sebuah dorongan
atau yaruki bisa terus berlanjut. Teori dua faktor dari Herzberg adalah sebagai berikut
Teori Herzberg dikenal dengan “Model Dua Faktor”, yaitu faktor motivasional dan
faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Hal-hal yang mendorong yang sifatnya intrinsik,
yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor
hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrintik yang berarti
bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan
seseorang. (Yudhawati et al., 2011, hal.84)
Dalam jurnalnya kawamoto (1989) memaparkan tiga teori untuk menjelaskan suatu
dorongan, energi atau suatu perilaku seseorang atau yang biasa disebut yaruki. Teori itu
adalah shakaiteki gakushuuriron 社会的学習理論, jikokettei riron 自己決定理論, dan
mokuhyousettei riron 目標設定理論.
Shakaiteki gakushuuriron 社会的学習理論 atau teori pembelajaran sosial adalah
tentang perilaku melalui peniruan. Proses belajar semacam ini disebut pembelajaran
melalui pengamatan. Teori pembelajaran sosial membahas tentang bagaimana perilaku
seseorang dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan
pengamatan, cara pandang dan cara pikir yang seseorang miliki terhadap informasi, dan
juga bagaimana perilaku seseorang mempengaruhi lingkungannya dan menciptakan
penguat dan memberikan pengamatan. (Kawamoto, 1989, hal.15)
Jikokettei riron 自己決定理論 atau teori penentuan nasib teori ini mengatakan bahwa
manusia memiliki tiga kebutuhan inti yaitu otonomi, kompetensi, dan pergaulan.
Otonomi menyangkut tentang kebebasan seseorang dan memiliki kemampuan untuk
mengatur perilaku sendiri. Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur
atau mengelola lingkungan sekitarnya dalam rangka pengembangan diri. Pergaulan
dapat juga diartikan suatu hubungan diri sendiri dengan masyarakat. Mengerti dan
memiliki perasaan empati terhadap orang lain sehingga mampu memberikan arahan
kepada orang lain. (Kawamoto, 1989, hal.16)
Mokuhyousettei riron 目標設定理論 atau teori penetapan tujuan, Kawamoto (1989)
menjelaskan bahwa teori penetapan tujuan adalah sebagai berikut :
人は、目標を持つことでやる気になります。ある人の仕事意欲を向上させる
には、その人に適切な目標を与えなければなりません。そして、その目標が
仕事の意欲を高めるのは、その目標が「困難度」と「明瞭度」の点で一定水
準以上である時に限られます。それに加え、適切なフィードバックにより、
方向性の修正等で、自分の行動が認められることにより、人はやる気になる
のです。ここで重要なのは、相手の成 長を願ったフィードバックなのです。
当社では、これをストローク(認めること)、相手に「大切にされている」
と感じさせる働きかけ、ふれあいを核にフィー ドバックすることで 成長をう
ながします。(para.5)
Terjemahan :
Seseorang jika mempunyai sebuah tujuan makan dia akan mempunyai suatu dorongan.
Untuk meningkatkan kemauan kerja seseorang maka orang itu harus diberikan tujuan
yang tepat. Selanjutnya, untuk meningkatkan kemauan tersebut, harus mempunyai
tingkat kesulitan dan tingkat kejelasan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Selain itu memberikan ketepatan feedback, perbaikan arah tujuan, dan mengenali
tindakan sendiri, hal-hal ini yang memberikan dorongan. Yang penting di sini adalah
keinginan untuk berkembang dari teman disebut feedback. Jika mengenali stroke ini,
akan merasakan perasaan pentingnya teman, kontak feedback ini mendorong
perkembangan.
Lunenburg (2011) juga mengungkapkan teori tentang goal-setting theory atau teori
penetapan tujuan:
Goal-setting theory. A goal is defined simply as what the individual is consciously
trying to do. Goals also affect behavior (job performance) through other mechanisms.
Goals need to be specific: specific goals (often quantified) let organization members
know what to reach for and allow them to measure their own progress. Goals must be
difficult but attainable: a goal that is too easily attained will not bring about the desired
increments in performance. The key point is that a goal must be difficult as well as
specific for it to raise performance. However, there is a limit to this effect.goals
become too difficult, performance suffers because organization members reject the
goals as unreasonable and unattainable. Feedback must be provided on goal
attainment: feedback helps organization members attain their performance goals.
Feedback helps in two important ways. First, it helps people determine how well they
are doing. Second, feedback also helps people determine the nature of the adjustments
to their performance that are required to improve. (Lunenburg, 2011, hal.2)
Terjemahan :
Teori menetapkan tujuan. Sederhananya, sebuah tujuan didefinisikan sesuai dengan
apa yang individu tersebut coba lakukan secara sadar. tujuan juga mempengaruhi
perilaku (performa kerja) melalui mekanisme lain. Tujuan harus spesifik : tujuan yang
spesifik (biasa diukur) membuat anggota sebuah organisasi tahu apa yang mereka tuju
dan mempermudah mereka untuk mengukur kemajuan mereka. Tujuan haruslah dibuat
sulit tapi terjangkau : sebuah tujuan yang terlalu mudah diraih tidak akan bisa
membawa kemajuan yang diinginkan dalam sebuah performa. Poin utamanya adalah
sebuah tujuan harus sulit namun spesifik agar bisa menaikkan performa. Akan tetapi,
ada batasan dalam efek tersebut. Ketika sebuah tujuan menjadi terlalu sulit, performa
akan menurun karena anggota organisasi menganggapnya tak beralasan dan tak
mungkin terwujud. Hubungan timbal balik harus disertakan dalam pencapaian sebuah
tujuan : hubungan timbal balik membantu anggota organisasi mencapai tujuan
performa mereka. Hubungan timbal balik membantu dalam 2 jalur yang penting.
Pertama, membantu untuk menentukan seberapa baik mereka melakukannya. Kedua,
juga membantu untuk melakukan penyesuaian alami yang dibutuhkan untuk
meningkatkan performa mereka
Robbins, et al. (2007) juga mengemukakan teori tentang penetapan tujuan yaitu dapat
dikatakan bahwa tujuan khusus meningkatkan kinerja, tujuan yang sulit ketika diterima,
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang mudah, dan umpan balik
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari umpan balik (hal.237).
Robbins, et al. (2007) juga menjelaskan lebih dalam tentang teori penetapan tujuan,
yaitu :
Pertama, tujuan-tujuan yang menantang mendapatkan perhatian kita dan akhirnya
cenderung membantu kita untuk berfokus. Kedua, tujuan yang sulit menambah
semangat kerja karena kita harus bekerja lebih keras untuk mencapainya. Ketiga,
ketika tujuan-tujuan yang sulit, individu tetap berusaha mencapainya yang selanjutnya
akan membantu individu menemukan strategi-strategi yang membantu pekerjaan lebih
efektif karena apabila mengusahakan sebuah cara untuk menyelesaikan pekerjaan yang
sulit, kita sering memikirkan cara yang lebih baik untuk memulainya. (hal.238)
Seperti yang dapat dilihat dalam teori penetapan tujuan, untuk meningkatkan
dorongan atau keinginan untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya suatu
kesulitan dalam pencapaian tujuan. Akai (2006) mengatakan “人が達成しようとして
いる目標の困難度と明瞭度(specificity)によって次のように規定される。”(hal.28)
artinya “Seseorang yang mencoba meraih tujuannya, untuk memberikan ketetapan
tujuan maka itu adanya kesulitan dan kejelasan dalam pencapaiannya”. Aldefer juga
menyebutkan di dalam teorinya bahwa semakin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan atau
keinginan, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya. Semakin sulit memuaskan
kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan
kebutuhan yang lebih mendasar. (Yudhawati et al., 2011, hal.83) Dalam teori penetapan
tujuan dapat dilihat juga adanya pengaruh dari luar yaitu feedback atau umpan balik.
Seperti yang telah disebutkan dalam teori dua faktor dari Herzberg bahwa dorongan dari
luar diri juga turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang
(Yudhawati et al., 2011, hal.84). Hal ini juga terlihat di dalam teori penetapan tujuan
dari Kawamoto, Lunenburg dan juga Robbins, et al (2007) yang menyebutkan bahwa
umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari umpan balik (hal.237).
Download