INTEGRITAS AKADEMIK “Sekedar Kata atau Nyata?” Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. 2. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). INTEGRITAS AKADEMIK “Sekedar Kata atau Nyata?” Disusun oleh: Prof. Dr. dr. Sjamsuhidajat Ronokusumo, Sp.B-KBD, dr. Isnani Azizah Salim Suryono, M.S, Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, M.S, SpParK Ariel Pradipta, S.Ked, M.Res, dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed, dr. Alexandra Gabriella, dr. Anton Dharma Saputra, dr. Ardeno Kristianto, dr. Arif Adimulya, dr. Candra Adi Nugroho, dr. Dini Lestari, dr. Hendy Kurniawan, dr. Indina Sastrini, dr. Ngabila Salama. Editor: Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, M.S, SpParK dr. Alexandra Gabriella Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2012 Judul Buku: INTEGRITAS AKADEMIK “Sekedar Kata atau Nyata?” Editor : Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, M.S, SpParK dr. Alexandra Gabriella Desain cover : dr.Alexandra Gabriella 14,8 cm x 21 cm 98 halaman ISBN: Copyright © 2012 Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jalan Salemba Raya No. 6 Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10430 Indonesia Telepon: (021) 3906939 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip, menyalin, mencetak, dan memperbanyak isi buku dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari editor atau penerbit Kata Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Integritas adalah salah satu nilai budaya utama FKUI dalam I’VE Care, yaitu menjalankan tugas dan fungsi dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan berbudi luhur serta menjunjung tinggi etika profesi. Nilai-nilai tersebut dilatihkan dan ditanamkan kepada staf pengajar FKUI untuk kemudian diteladani dan dimiliki oleh peserta didik FKUI ketika mereka berkarya dalam masyarakat. Penegakkan integritas akademik di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah diupayakan melalui kebijakan Tata Krama Kehidupan Kampus FKUI yang menyatakan bahwa peserta didik harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam setiap aspek kehidupan akademis. Integritas akademik merupakan hal yang harus ditumbuhkembangkan dalam setiap institusi pendidikan. Lima nilai utama yang tercakup dalam integritas akademik adalah kejujuran, kepercayaan, keadilan, penghargaan, dan tanggung jawab. Pelanggaran terhadap integritas akademik yang umum ditemukan adalah melakukan tindak kecurangan (meminta orang lain untuk mengerjakan tugas dan mengumpulkan atas namanya sendiri), plagiarisme, menyontek, fabrikasi (manipulasi data atau sitasi yang digunakan dalam laporan), mencuri dan menyebarluaskan materi ujian, dan memalsukan tanda tangan pihak berwenang pada dokumen akademik. Saya menyambut baik penerbitan “Buku Kejujuran Akademik – Integritas Akademik: Sekedar Kata atau Nyata” yang menunjukkan kesadaran mahasiswa FKUI akan pentingnya pengembangan integritas akademik dalam pendidikan kedokteran. Saya berharap buku ini sungguh dicermati dan diterapkan oleh segenap sivitas akademika sehingga lulusan FKUI dapat dibanggakan tidak hanya karena kecerdasan intelektual, melainkan juga kejujuran intelektual. Saya ucapkan v selamat kepada panitia dan segenap pihak yang terlibat, semoga buku ini akan mencapai manfaatnya bagi kita semua. Jakarta, 20 Desember 2012 Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia vi Prakata Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya penyusunan buku “Integritas Akademik: Sekedar Kata atau Nyata”. Buku ini dapat diterbitkan berkat kerja keras dan partisipasi para penulis, editor, desain, layout, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Buku ini direkomendasikan untuk seluruh civitas academica, baik mahasiswa maupun staf pengajar, terutama dalam pendidikan kedokteran di Indonesia. Setiap kegiatan akademik di bidang kedokteran, baik dalam pendidikan S1, S2, maupun S3, tidak luput dari tugas karya tulis. Orisinalitas sebuah karya merupakan hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, pendidikan dokter dimaksudkan untuk membentuk individu yang mawas diri sehingga dokter mampu menerapkan life-long study dengan kemampuan refleksi yang baik. Kedua komponen tersebut membentuk integritas akademik seseorang. Dalam buku ini, dijelaskan definisi plagiarisme, cara menghindari plagiarisme, metode sitasi yang dianjurkan dalam pembuatan karya tulis, dan cara membuat refleksi diri yang baik. Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan mahasiswa dalam menyusun karya tulis ilmiah. Salam Redaksi vii Daftar Isi Kata Sambutan Dekan FKUI .......................................................................... v Prakata ........................................................................................................... vii Daftar Isi ....................................................................................................... viii Latar Belakang ............................................................................................... ix Integritas Akademik ........................................................................................ 3 Prof. Dr. dr. Sjamsuhidajat Ronokusumo, SpB-KBD Plagiarisme dalam Penulisan Artikel Ilmiah .................................................. 9 dr. Isnani Azizah Salim Suryono, M.S Penulisan daftar pustaka dengan sistem Vancouver .................................... 23 Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, M.S, SpParK Cara Dasar Menghindari Plagiarisme .......................................................... 35 Ariel Pradipta, S.Ked, M.Res Kajian Bioetik Integritas Akademik ............................................................. 43 dr. Alexandra Gabriella, dr. Anton Dharma Saputra, dr. Ardeno Kristianto, dr. Arif Adimulya Tasela, dr. Candra Adi Nugroho, dr. Dini Lestari, dr. Hendy Kurniawan, dr. Indina Sastrini Sekarnesia, dr. Ngabila Salama Refleksi Diri sebagai Salah Satu Cara Pengembangan Kemampuan Mawas Diri dan Belajar Sepanjang Hayat ............................. 59 dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed Naskah Refleksi Diri ...................................................................................... 73 dr. Anton Dharma Saputra viii Latar Belakang Integritas merupakan kualitas sikap (behavior) yang makin sulit ditemukan pada pribadi bangsa, terutama dalam kehidupan akademik. Integritas akademik, terutama dalam kehidupan perguran tinggi, sulit untuk dijaga, contohnya dengan dilakukannya berbagai bentuk ketidakjujuran untuk mencapai tujuan. Tindakan seperti menyontek, memplagiat, atau menitipkan absen menjadi hal yang mudah dilakukan. Apabila dibiarkan, hal ini akan semakin merusak sikap dan perilaku dalam berbangsa dan bernegara. Ada berbagai alasan untuk melakukan ketidakjujuran tersebut, mulai dari ketidaktahuan peraturan dan etika yang berlaku hingga niat yang disengaja karena ketakutan tidak dapat mencapai tujuan, ingin mendapatkan kesuksesan tanpa usaha keras, ataupun sekedar mencari tantangan. Perlu dilakukan intervensi, terutama ketidaktahuan yang mengarahkan pada perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Oleh karena itu, buku ini dibuat sebagai perwujudan edukasi dan intervensi pada mahasiswa dan civitas academica Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang belum mengetahui dan memahami seluk beluk ketidakjujuran yang mungkin dilakukan sehingga dapat menghindarkan dan menurunkan kejadian ketidakjujuran di kehidupan universitas, terutama dalam pendidikan kedokteran. Buku ini berisi pedoman kejujuran dan integritas akademik. Semua materi dan tulisan dalam buku ini ditulis oleh kontributor yang pakar dalam bidangnya masing-masing dan dibukukan sehingga dapat menjadi bahan bacaan bagi seluruh mahasiswa dan civitas academica FKUI. Penulis mengharapkan buku ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya dan menciptakan atmosfer kejujuran akademik di institusi pendidikan FKUI. ix 2 Integritas Akademik Sjamsuhidajat R. Budaya Akademik Integritas akademik adalah bagian utama dari budaya akademik. Integritas akademik dirasakan sebagai suatu bentuk kepatuhan terhadap beberapa prinsip. Setiap orang, mahasiswa maupun pendidik, memiliki kemampuan intelektual yang dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang secara baik, jika ada keyakinan bahwa apapun yang dihasilkan berdasarkan kemampuan intelektual ini akan dihargai oleh masyarakat akademik di lingkungannya. Keyakinan ini tidak akan tergoyahkan selama hasil yang diperolehnya tidak akan “dicuri” oleh orang lain. Selanjutnya, juga ada kesepakatan (codes) bahwa seseorang tidak akan “mencuri” hasil karya orang lain. Kejujuran, yang tergambar dari sikap “tidak akan mencuri” hasil kerja intelektual orang lain ini, merupakan dasar dari kehidupan akademik dan budaya akademik yang baik.2 Integritas akademik sebagai sebuah konsep telah berkembang lebih luas dan lebih dalam. Sekurangnya terdapat empat prinsip lain yang juga sangat penting, selain sebagai prinsip kejujuran akademik, yang mendukung tegaknya integritas akademik. Keempat prinsip ini adalah saling percaya, keterbukaan, saling menghormati, dan rasa bertanggungjawab. Atas dasar inilah maka integritas akademik diartikan sebagai “kepatuhan yang tinggi terhadap kesepakatan perilaku akademik”, yang terdiri dari lima prinsip tersebut. 3 Universitas Sebagai Inkubator Ilmu Pengetahuan Dalam menjaga dan memelihara integritas akademik di kalangan mahasiswa, diperlukan suatu pelatihan yang dimulai secara dini sehingga pola perilaku mahasiswa setelah menjalani pelatihan akan dilandasi nilai-nilai yang dianut dalam integritas akademik. Sebuah lembaga tersier seperti universitas, selain terdapat kegiatan belajar dan mengajar, di dalamnya juga ada kegiatan penelitian. Pelatihan terutama ditujukan pada pembuatan karya tulis atau penelitian. Pelatihan dalam penelitian untuk pemula hendaknya dimulai dengan cara pembinaan perilaku yang benar. Cara pembinaan ini merupakan awal dari pembentukan kebiasaan (budaya) seorang intelektual dalam lingkungan yang terbina secara terencana dan meliputi jangka waktu yang panjang. 1 3 Pengetahuan (knowledge) yang dihasilkan oleh seorang peneliti melalui penelitian yang dilakukan secara benar merupakan produk intelektual yang sangat berharga. Pengetahuan yang diawali dari penelitian, walaupun tanpa ada kesalahan dalam penelitian yang menghasilkannya, selalu dapat diperbaharui oleh penelitian pada kurun waktu berikutnya yang menemukan kebenaran baru. Pengetahuan ini dapat merupakan bagian dari ilmu yang sudah terbentuk sebelumnya. Masyarakat secara umum mempunyai pandangan yang tinggi terhadap ilmu yang terbentuk berdasarkan pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan oleh seorang peneliti, jika dicapai melalui penelitian yang dilakukan secara tidak jujur, maka masyarakat akan tertipu, walaupun tidak akan mudah mengetahuinya. Kesalahan yang terselip dalam tindakan penelitian yang menghasilkan pengetahuan tersebut dapat dilakukan secara sengaja (intentional mistake) atau secara tidak sengaja (unintentional error). Kedua bentuk kesalahan ini tetap merupakan kesalahan yang pada akhirnya menyebabkan pengetahuan yang dihasilkan tetap akan keliru. Perhatikan kutipan berikut ini: “The only ethical principle which has made science possible is that truth shall be told all the time. If we do not penalized false statements made in error, we open up the way for false statements by intention. And, of course, a false statement of fact made deliberately, is the most serious crime a scientist can commit.” (C.P. Snow, 1959)4 Ketidakjujuran dalam melakukan penelitian ini bukan saja merusak budaya akademik yang seharusnya terbentuk secara benar, tetapi pada akhirnya akan menodai kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Mata rantai yang dimulai dari fenomena alam – penelitian – pembentukan pengetahuan – ilmu pengetahuan – sampai pada masyarakat pengguna ilmu, akan ternoda pada langkah pembentukan pengetahuan. Masyarakat tidak akan secara mudah dapat mengenali kesalahan ini. (Smith, 1992) 5 Oleh karena itu, seorang ilmuwan hendaknya selalu memiliki sikap yang skeptis menilai kebenaran ilmu pengetahuan yang dihadapi pada suatu saat. Kebenaran ilmiah yang menjunjung prinsip – prinsip integritas akademik. Daftar Pustaka 4 1. 2. 3. 4. 5. Koppi AJ, Chaloupka MJ, Llewellyn R, Cheney G,Clark S, Fenton-Kerr T. Academic culture, flexibility and the national teaching and learning database. Ascilite. 1998; 425-31. Pavela G. Applying the power of association on campus: a model code of academic integrity [homepage on the Internet]. c1997 [cited 2012 Sep 22]. Available from: http://www.academicintegrity.org/icai/assets/model_code.pdf. Hinman LM. Fundamental principles of academic integrity. San Diego: University of San Diego; 1998. Snow P. The two cultures. Cambridge: Cambridge University Press; 1959. Smith R. Research misconduct and biomedical journals [homepage on the Internet]. c2002. Available from: http://www.bmj.com/talks. 5 6 8 Plagiarisme dalam Penulisan Artikel Ilmiah Isnani A.S. Suryono Pendahuluan Plagiarisme merupakan salah satu di antara berbagai pelanggaran di dunia ilmiah baik penelitian maupun pendidikan. Pelanggaran tersebut tidak kalah memusingkan dibandingkan kejahatan ilmiah lain yaitu pencurian, rekayasa, dan penipuan data.1 Di dunia akademik, plagiarisme selalu menjadi topik perbincangan yang menghebohkan, namun, tidak sedikit ilmuwan yang belum secara tegas dapat memastikan “apakah „tulisan‟ yang mereka buat merupakan plagiarisme, kecerobohan, ketidaktahuan yang tak disengaja, kesalahpengertian, kebingungan atau kekeliruan dalam mengacu”.2 Bagian pertama tulisan ini akan membahas pengertian dan definisi plagiarisme yang selanjutnya akan diuraikan kiat-kiat menghindarinya. Selain itu, dijelaskan pula apa yang dianggap sebagai common knowledge* dan ditutup dengan uraian mengenai Undang Undang Hak Cipta. Apakah Plagiarisme? Plagiarisme berasal dari bahasa Latin yaitu plagiari(us) yang berarti penculik dan plagi(um) yang berarti menculik. Melihat akar kata tersebut, nyatalah bahwa plagiarisme dalam penulisan makalah ilmiah, mengandung unsur „pencurian‟ intelektual karena terjadi pengambilan paksa kata-kata/gagasan tanpa seizin pemiliknya.3 Ada berbagai definisi plagiarisme, namun pada intinya semua menyatakan bahwa plagiarisme merupakan pemanfaatan/penggunaan hasil karya orang lain yang diakui sebagai hasil kerja diri sendiri tanpa memberi pengakuan pada penciptanya. Beberapa Definisi Plagiarisme Menurut Sastroasmoro,4 plagiarisme adalah penyajian hasil karya atau gagasan orang lain, seakan-akan milik si penyaji. Sementara itu Lindey1 menyatakan bahwa plagiarisme adalah pengakuan secara tidak jujur hak penulisan orang lain, ... mengambil hasil pemikiran orang lain dan menyajikannya sebagai milik pribadi. Definisi plagiarisme lainnya adalah tindakan mencuri ide atau hasil Artikel ini sudah pernah dipublikasi di dalam buku “Panduan Penulisan Artikel Ilmiah Untuk Publikasi Bagi Klinisi” oleh PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2008 9 pemikiran dan tulisan orang lain yang digunakan dalam tulisan seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide atau hasil tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain.3 Dari definisi plagiarisme di atas terlihat unsur penipuan. Meskipun demikian, sebagai manusia yang memiliki keyakinan akan kebaikan, sebenarnya kesalahan dapat disebabkan oleh ketidaksengajaan atau kelalaian bahwa gagasan yang dipakai merupakan hasil karya ilmiah orang lain. 1 Jenis Plagiarisme Plagiarisme tidak hanya terbatas pada pencurian gagasan atau hasil karya orang lain di bidang ilmiah saja, namun berlaku juga di bidang lainnya seperti dunia seni, budaya, dsb. Bentuknya pun dapat beraneka ragam tidak terbatas pada tulisan saja, namun dalam tulisan ini hanya dibahas plagiarisme di bidang penulisan ilmiah saja. Klasifikasi plagiarisme dapat dibuat bergantung pada berbagai aspek pandang yaitu dari segi substansi yang dicuri, kesengajaan, volume/proporsi, dan pola pencurian. Plagiarisme dapat dilakukan kata demi kata atau diseling dengan berbagai sumber dan dengan kata-kata sendiri (mozaik). Berdasarkan individu sumber gagasan, ada pula yang dikenal sebagai auto-plagiarism/self-plagiarism.4 Bila makalah karya sendiri sudah pernah diajukan sebelumnya, harus dinyatakan bahwa makalah tersebut sudah diajukan dalam suatu presentasi atau publikasi. Bila tidak, publikasi tersebut dianggap sebagai auto-plagiarism atau self-plagirism. Auto-plagiarism sebenarnya dapat dianggap “ringan”, namun bila dimanfaatkan untuk menambah kredit akademik, dianggap sebagai pelanggaran berat etika akademik. 4 Berdasarkan bahasa asal sumber gagasan, apabila berasal dari bahasa lain dapat terjadi plagiarisme antar bahasa (plagiarisme interlingual) yaitu penerjemahan yang dilakukan tanpa izin. Tindakan semacam itu lebih sulit diungkap. Penulis, yaitu penerjemah, boleh mendapat hak selaku penerjemah, tetapi tidak sebagai penulis/penggagas. 10 Beberapa Alasan Melakukan Plagiarisme Sebagian penulis mengaku tidak sengaja melakukan plagiarisme, mereka mengaku bahwa kemungkinan amat terpengaruh dengan apa yang mereka baca, sehingga secara tidak sengaja mengulangi apa yang mereka baca kata per kata (bahkan ada yang menyalin hingga 55 kata, sehingga 8 halaman penuh tanpa disadari).1 Di dunia akademik, kadang terjadi plagiarisme oleh karena beban yang diterima peserta didik amat berlebihan dan tidak sesuai dengan waktu yang tersedia, sehingga terjadilah “gunting tempel” apalagi bila penulis yang dalam hal ini peserta didik tidak mengetahui cara melakukan sitasi/perujukan dengan benar. 2 Pencegahan Plagiarisme Pencegahan plagiarisme yang terbaik ialah dengan memasukkan pelatihan penulisan ilmiah sedini mungkin, ke dalam kurikulum pendidikan menengah ke bawah, dengan demikian calon penulis akan terlatih cara melakukan perujukan yang efektif dan benar, juga teknik menyarikan dan parafrase. Untuk pendidikan di universitas, telah dikembangkan perangkat lunak, antara lain Turnitin dan Ferret yang mampu memeriksa karya tulis dan mendeteksi/menandai nas yang diambil dari referensi dengan membandingkan karya tulis tersebut dengan database yang berisi bermilyar artikel.2 Perangkat itu pernah dilatihkan pada sejumlah peserta didik yang diberi tugas membuat rangkuman dari beberapa artikel penelitian, sehingga mereka mendapat umpan balik mengenai seberapa jauh keaslian kata-kata karya tulis mereka. Ternyata sekitar 26% karya tulis melampui batas toleransi, akan tetapi setelah diberi umpan balik, pelanggaran menurun hingga hanya pada 3% karya tulis saja. 2 Cara Menghindari Plagiarisme Memakai, menganalisis, membahas, mengritik, atau merujuk hasil karya intelektual orang lain sebetulnya boleh dilakukan selama kaidah pemakaian yang adil dan „beradab‟ tetap dilakukan. Caranya adalah rangkum hasil karya orang lain, atau melakukan parafrase di bagian khusus dalam nas dengan cara penguraian menggunakan kata-kata sendiri, dan nyatakanlah sumber gagasan dan masukkan sumber yang dipakai dalam daftar rujukan. Menggunakan kata-kata asli penulis juga diperkenankan dengan cara memberi tanda kutip pada kalimat yang dipakai, lalu disebutkan sumber gagasannya.2 11 Berikut ini sebuah kuis untuk menguji sejauh mana pemahaman plagiarisme:2 Apakah keadaan di bawah ini termasuk Ya/Tidak Plagiarisme? 1. Anda melihat kutipan dalam buku, Anda menyalin kutipan tersebut kata demi kata ke dalam karya tulis Anda tanpa merujuk sumbernya. 2. Anda melihat kutipan dalam buku atau situs internet dan menyalin beberapa di antara kata-katanya dan menambahkan beberapa kata sendiri tanpa merujuk sumber. 3. Anda melihat sesuatu di situs internet, misalnya, sebuah artikel dari jurnal yang bernama dengan nama penulisnya. Anda menyalin, atau copy and paste dari situs ke dalam karya tulis Anda, tanpa merujuk sumbernya. 4. Anda melihat suatu cara pandang yang berbeda dan menarik mengenai suatu subjek pada suatu situs internet. Tanpa nama penulis. Anda melakukan copy and paste gagasan tersebut. Ke dalam karya tulis Anda tanpa mencantumkan nama situs. 5. Anda menemukan beberapa foto/ilustrasi yang menarik pada situs. Anda „meng-copy‟ foto-foto dan ilustrasi, dan melekatkannya pada karya tulis Anda. Tanpa merujuk artis/fotografer ataupun situsnya. 6. Anda membaca sejumlah rangkuman yang menarik dari berbagai pendekatan mengenai suatu subjek pada sejumlah situs internet. Anda tidak melakukan copy and paste. Anda melakukan parafrase kesimpulannya dengan kata-kata sendiri dan memasukkannya ke dalam karya tulis, tanpa mencantumkan sumbersumber situsnya. 7. Anda akan membuat tinjauan/review mengenai suatu keadaan yang berlangsung lama, sebagai contoh, kecenderungan perkembangan penyakit TBC. Anda 12 membaca 3 atau 4 buku ajar mengenai topik tersebut. Semua buku tersebut menyatakan hal yang lebih kurang sama jadi Anda menyimpulkan dengan katakata sendiri dan tidak merujuk sumbernya. 8. Anda melihat analisis statistik dalam sebuah jurnal yang sesuai dengan laporan penelitian yang sedang Anda tulis. Tak ada nama penulis. Anda terapkan analisis statistik tersebut. Tanpa menyebutkan sumbernya, misalnya Nama jurnalnya. 9. Anda membaca sebuah artikel yang merangkum hasil penelitian dari peneliti sebelumnya (mr X). Anda menyukai rangkuman tersebut, dan yakin akan hasil riset mr X. Anda menganggap penulis rangkuman telah menyimpulkan dengan sangat baik, sehingga Anda hanya menyalin saja rangkumannya tanpa merujuk nama penulis rangkuman. 10. Anda melakukan penelitian. Dalam proses penulisan karya tulis Anda, timbul inspirasi suatu cara pendekatan baru pada subjek penelitian. Anda mengajukan perspektif yang menurut pendapat Anda unik tersebut, dan mengajukannya dalam tulisan Anda, namun 1 atau 2 hari kemudian, Anda menemukan bahwa telah terbit publikasi seseorang dengan gagasan dan persepsi sama yang ternyata telah dilakukannya beberapa tahun sebelumnya. Jawaban kuis terlampir pada bagian akhir bab ini. Latihan Plagiarisme:5 Nas** asli, tulisan Panji Koming dkk, berjudul: Pengalaman keluarga Cemara dalam perubahan masyarakat Bekasi sejalan dengan industrialisasi dan perkembangan perkotaan, pada akhir tahun 70-an. Kebangkitan industri, pertumbuhan kota Jakarta, dan pertambahan penduduk yang pesat merupakan tiga perkembangan besar yang terjadi pada akhir tahun 70-an di Indonesia. Dengan bermunculannya pabrik-pabrik berenerji bahan bakar sejalan dengan peralihan dari negara „agraris‟ ke bentuk negara „industri‟, 13 terjadi pula perubahan kecenderungan jenis tenaga kerja, dari pekerja tani di desadesa menjadi pekerja pabrik. Dengan industrialisasi terjadilah urbanisasi – dan berkembangnya kota-kota besar (seperti Bekasi, yang menjadi bagian dari „Jabodetabek‟ tempat keluarga Cemara tinggal), yang menjadi pusat produksi di samping juga perniagaan dan perdagangan. Berikut bentuk parafrase*** yangtak dapat diterimakarena merupakan plagiarisme: Peningkatan industri, pertumbuhan perkotaan, dan peledakan populasi merupakan tiga faktor utama di Indonesia dalam seperempat abad terakhir. Makin meluasnya perusahaan berbasis industri di bagian-bagian negara ini, mengubah pekerja tani dan domestik menjadi pekerja industri, dan terjadilah gelombang mengalirnya tenaga pekerja dari desa ke kota. Dengan industrialisasi terjadilah perluasan kota seperti Bekasi, bagian dari „Jabodetabek‟ tempat tinggal keluarga Cemara, yang menjadi pusat perniagaan, perdagangan dan juga produksi. Salinan di atas dianggap plagiarisme karena dua alasan yaitu, pertama penulis hanya mengubah beberapa kata dan frasa, atau mengganti urutan kalimat dari paragraf aslinya dan kedua penulis telah lalai mencantumkan sumber gagasan atau fakta yang dipakainya. Bila kita melakukan salah satu atau kedua hal diatas, maka kita telah melakukan plagiarisme. Perhatikan bahwa paragraf di atas juga bermasalah karena telah terjadi perubahan dalam esensi beberapa kalimatnya (sebagai contoh: “perusahaan berbasis industri” pada kalimat kedua kehilangan penekanan “pada pabrik-pabrik berenerji bahan bakar” yang ada pada kalimat aslinya). Langkah Menghindarkan Plagiarisme Bila menggunakan ide orang lain harus dicantumkan sumbernya dan bila mengutip kata atau kalimat orang lain, sebutkan sumbernya, dengan catatan gunakan tanda kutip bila kata atau kalimat aslinya disalin secara utuh, tanda kutip tidak diperlukan bila kata atau kalimat telah diubah menjadi kalimat penulis sendiri tanpa mengubah artinya (telah dilakukan parafrase), mengubah satu atau beberapa kata dalam paragraf bukan merupakan parafrase sehingga tanda kutip perlu disertakan dan parafrase tanpa menyebut sumbernya adalah plagiarisme. Kiat melakukan parafrase: jangan hanya mengubah susunan atau mengganti beberapa kata saja. Sebaiknya baca tulisan yang akan digunakan dengan 14 teliti; lalu tutuplah nas sehingga Anda tak dapat membacanya. Lalu tulislah gagasan tersebut menggunakan kata-kata Anda sendiri. Kemudian periksa ulang parafrase untuk memastikan bahwa Anda tidak menggunakan frasa atau kata-kata asli dari sumber, dan pastikan bahwa informasi sudah betul. 5 Enam langkah melakukan parafrase yang efektif,yaitu: 6 1. Baca tulisan asli berulang kali hingga dimengerti sepenuhnya 2. Tulis parafrase pada sebuah kartu untuk mencatat 3. Coret beberapa kata di bawah parafrase tersebut untuk mengingatkan bagaimana rencana penggunaan materi tersebut dan di bagian atas kartu catatan, tuliskan satu kata kunci yang mewakili subjek parafrase 4. Cocokkan tulisan Anda dengan tulisan asli, untuk memastikan bahwa versi Anda telah mengekspresikan semua informasi penting dalam bentuk yang baru 5. Gunakan tanda kutip untuk menandai istilah unik yang Anda pinjam secara tepat dari sumber dan keenam catat sumber (termasuk halamannya) pada kartu catatan Anda hingga mudah merujuknya pada makalah Anda. Berbagai kiat melakukan parafrase dari segi bahasa yaitu gunakan sinonim untuk semua kata yang bukan generik, ubah bentuk aktif ke bentuk pasif, atau sebaliknya, ubah struktur kalimat, anak kalimat menjadi frasa dan bagianbagian dari teks. Berikut contoh parafrase yang diterima dari nas asli tulisan Panji Koming dkk: Bekasi, bagian dari Jabotabek, tempat tinggal keluarga Cemara, merupakan kota industri yang khas di era permulaan tahun 80-an. Pabrik-pabrik yang bermunculan menyebabkan peralihan tenaga kerja dari pertanian ke perindustrian, dan terjadilah urbanisasi, dengan mengalirnya para „mantan‟ petani ke pabrik-pabrik baru tersebut. Sebagai akibat, terjadi perkembangan penduduk, dan timbul daerah-daerah perkotaan baru. Bekasi merupakan salah satu contoh pusat industri dan perniagaan semacam itu. (Panji Koming 1) Cara ini dapat diterima karena penulis secara tepat meneruskan informasi aslinya, menggunakan kata sendiri dan mencantumkan sumber aslinya. Berikut contoh penggunaan dan parafrase yang juga diterima: 15 Bekasi, tempat keluarga Cemara tinggal, khas untuk kota industri di era seperempat abad terakhir. Pabrik-pabrik menimbulkan peralihan lahan pekerjaan dari pertanian ke industri, dan kebutuhan akan tenaga kerja pun mengalami peralihan dari “pekerja tani, di desa-desa menjadi pekerja pabrik”; maka terjadilah urbanisasi. Bekasi merupakan salah satu di antara tempat “yang menjadi pusat produksi dan juga perniagaan dan perdagangan” (Panji Koming 1). Hal di atas merupakan parafrase yang bisa diterima karena penulis mencatat infromasi pada tulisan asli dengan tepat, memberi pengakuan untuk gagasan dari penulis aslinya, dan menunjuk bagian yang langsung diambil dari sumber dengan memberi tanda kutip, dan mengutip nomor halaman. Perhatikan bahwa bila penulis telah menggunakan frasa dan kalimat-kalimat tersebut dalam artikelnya sendiri tanpa menggunakan tanda kutip, maka ia dianggap melakukan plagiarisme. Menggunakan frasa atau kalimat orang lain tanpa tanda kutip dianggap plagiarisme, BAHKAN BILA PENULIS DALAM NASKAHNYA SENDIRI TELAH MENSITASI SUMBER DARI KALIMAT ATAU FRASA YANG IA “PINJAM”.5 Hal-hal yang bukan Plagiarisme Dalam Peraturan tentang Etika Akademik Universitas Indonesia pasal 10 tertulis: “Menggunakan konsep-konsep atau kata-kata dan kalimat yang sudah menjadi milik umum tanpa menyebutkan sumbernya tidaklah digolongkan sebagai plagiarisme atau pencurian”.3 16 Kapan sesuatu Hal Boleh Dianggap Sebagai Pengetahuan Umum (Common Knowledge)?3,4 Suatu informasi dapat dianggap sebagai common knowledge apabila pengetahuan/informasi itu merupakan hal lazim yang diketahui secara umum dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Misalnya: “Mencuci tangan dapat menghindarkan diri dari penyakit infeksi” (ini merupakan pengetahuan umum untuk masyarakat umum atau “Aorta mengalirkan darah dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh”) ini merupakan pengetahuan umum untuk dokter. Informasi yang sama ditemukan pada lima tulisan lain, tanpa menyebutkan sumbernya. Pengetahuan ini sudah diketahui pembaca. Informasi tersebut mudah ditemukan dalam sumber referensi umum. Merupakan informasi di dalam buku ajar. Contoh common knowledge: - Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. - Kode genetik dibawa oleh DNA. - Dongeng “Bawang merah bawang putih”.3 - Susunan lazim suatu artikel dalam jurnal, sudah ada susunan buku yang umum untuk artikel ilmiah biomedik (IMRAD). 5 - Susunan lazim untuk buku ajar, sehingga bila menulis buku ajar tak perlu menulis sumber format penulisan yang diikuti. 5 Sanksi Plagiarisme:3,4,7 Sebesar apakah dosa plagiarisme? Tindakan plagiarisme tidak dibenarkan di semua bidang. Umumnya plagiarisme dianggap „dosa‟ besar, setara dengan pemalsuan data dan setidaknya dosanya sama besar, kalau tidak lebih besar dari pelanggaran ilmiah semacam penipuan data. Komunitas ilmiah belum memperlakukan pelaku plagiarisme secara konsisten, sehingga hukuman terhadap pelaku plagiarisme bervariasi mulai dari penolakan tulisan untuk dipublikasikan, hambatan kenaikan jabatan sampai pemecatan dari tempat kerja. Sanksi plagiarisme sampai saat ini sangat bergantung pada tempat asal plagiator, untuk Universitas Indonesia misalnya, mengenai sanksi telah dituangkan dalam konsep Pedoman Penyelesaian Masalah Ilmiah yang dibuat oleh tim ad hoc pada tanggal 10 Oktober 2004 yang lalu, dibedakan sanksi untuk para plagiator yang masih mahasiswa, yang dalam hal ini bersifat lebih ringan ketimbang dengan 17 para plagiator yang berstatus staf pengajar/dosen. Sanksi terhadap plagiarisme, tercantum pada bab VI, pasal 9, (rencananya akan diperkuat dengan SK Rektor UI), berkisar dari sekedar peringatan lisan, tulisan, hingga penundaan dan pembatalan kenaikan pangkat hingga pencabutan gelar dan bahkan dapat dituntut ke pengadilan, baik pengadilan pidana maupun perdata, tergantung sifat pelanggarannya. Undang-undang Hak Cipta8 Undang-undang Hak Cipta (UUHC) dibuat untuk melindungi kekayaan intelektual seseorang. Kekayaan intelektual dapat mencakup hasil karya musik, gambar, tulisan, video, dan berbagai media lainnya. Siapapun yang mereproduksi hasil karya orang lain yang telah dilindungi UUHC, dapat dituntut secara hukum, walaupun bentuk atau kandungan aslinya telah diubah selama dapat dibuktikan isinya „sama‟ dengan yang asli, maka dapat dianggap pelanggaran hak cipta. Apakah Semua Materi Publikasi Dilindungi Hak Cipta? Jawabnya: TIDAK! Peraturan ini hanya melindungi hasil karya yang merupakan gagasan/informasi asli. Contoh materi yang tidak dilindungi UUHC: - Kompilasi informasi yang mudah didapat (misalnya: buku telepon). - Publikasi karya resmi pemerintah (Buku Putih, misalnya dari Dept. Hankam). - Fakta yang bukan hasil riset asli (misalnya: pepaya banyak mengandung vitamin A). - Karya di domain publik (misalnya: “Guide to good prescribing” yang diterbitkan WHO pada tahun 1940 dan “Uniform requirements for Manuscripts” keluaran ICJME: International Committee of edical Journal Editors). Dapatkah “fakta” dilindungi UU Hak Cipta? Dapat, semua fakta yang telah dipublikasikan sebagai hasil penelitian individual dianggap sebagai Hak Intelektual (HakI) penciptanya. Contoh: hak paten obat yang dapat dimintakan oleh perusahaan farmasi. Misalnya hak paten untuk antibiotika generasi baru. 18 Apakah Kita Perlu Mensitasi Sumber Semua Fakta yang Kita Gunakan? Tidak semua sumber fakta yang dipakai perlu disebutkan, tetapi hanya yang merupakan hasil penelitian khusus individu. Fakta yang tersedia dari banyak sumber (Universitas Indonesia: minimal lima sumber) dan telah dikenal dalam masyarakat, dianggap sebagai “pengetahuan umum”, dan tak dilindungi UUHC. Fakta tersebut boleh digunakan dengan bebas dalam tulisan, tanpa mensitasi penciptanya. Takarir/Glosarium: *Common knowledge – fakta yang dapat ditemukan dalam banyak tempat dan „agaknya‟ diketahui oleh orang banyak.3 ** Nas – teks (KBBI, ed 3, Depdiknas, Balai Pustaka) ***Parafrase – menggunakan gagasan orang lain, tetapi memakai kata-kata sendiri. Cara itu mungkin merupakan keterampilan yang akan sering dipakai saat menulis dengan memakai tulisan orang lain sebagai sumber informasi. Walaupun dalam melakukan parafrase digunakan kata-kata sendiri, penulis tetap harus mencantumkan sumber informasi.10 Jawaban Kuis Plagiarisme: Keadaan no. 6, 7, dan 10. Bukan merupakan Plagiarisme: 6. Berhati-hatilah dalam hal ini dan selalu usahakan mendapatkan nama penulis asli. Apabila nama penulis memang ada, maka sebaiknya dicantumkan. Apabila gagasan yang dikutip merupakan ide yang orisinil, maka lebih bijaksana untuk merujuk situsnya apabila tidak ditemukan nama penulisnya. 7. Apabila Anda membuat rangkuman mengenai kejadian-kejadian di masa lalu, maka hal ini tidak merupakan plagiarisme, apabila Anda mengambil sumber dari berbagai macam sumber, dan tidak ada pertentangan antara sumbersumber tersebut. Bila Anda hanya menggunakan satu sumber saja, atau bila Anda langsung menyitir, atau membuat parafrase, dari salah satu sumber, maka nama para pengarang harus disitasi dan dirujuk. 10. Plagiarisme baru terjadi apabila seseorang dengan sadar menggunakan hasil kerja orang lain dan mengakuinya baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai karya sendiri. Keadaan ini merupakan contoh kecerobohan dan Anda mungkin akan dikritik oleh karenanya, akan tetapi hal ini tidak tergolong plagiarisme. Anda harus selalu mencek suatu gagasan: sebisa19 bisanya, sebelumnya Anda mengajukan sebagai pencipta aslinya. Anda dapat mendiskusikan gagasan Anda dengan pembimbing/mitra bestari/pakar sebidang ilmu, karena kemungkinan mereka mempunyai wawasan yang lebih luas, dan mengetahui peneliti lain yang mungkin lebih dahulu mempublikasikan hal yang sama dengan Anda. Daftar Pustaka 1. LaFollette MC. Stealing into print: fraud, plagiarism, and misconduct in scientific publishing. Los Angeles: University of California Press, Ltd; 1996. 2. Neville C. Plagiarism. The complete guide to referencing and avoiding Plagiarism. New York: Open University Press, the McGraw-Hill; 2007. 3. Tarmidi LT, Purba V, Hadjodisastro D, Tambunan USF, Gunarwan A, Harkrisnowo H. Pedoman penyelesaian masalah plagiarisme di Universitas Indonesia. Jakarta, 10 Oktober 2004. 4. Sastroasmoro S. Beberapa catatan tentang plagiarisme. Maj Kedokt Indon. 2006;56(1):1-6. 5. Anonymous. Examples of plagiarism, and of appropiate use of other‟s words and ideas [homepage on the Internet]. Indiana: Indiana University; c2004 [updated 7 Sept 2004]. Available from: www.indiana.edu/~wts/wts/plagiarism.html 13 Feb. 2008. 6. Sastroasmoro S. Scientific or academic misconduct/fraud: cheating, fabrication, falsification, plagiarism. Jakarta. 2005 Sep (diskusi forum guru besar FKUI). 7. Taylor RB. What‟s special about medical writing? In: The clinician‟s guide to medical writing. Oregon: Springer; 2005:122. 8. Plagiarism FAQ [homepage on the Internet]. [cited 2008 Nov 3]. Available from: http://www.plagiarism.org/learning_center/plagiarism_faq.html. 20 22 Penulisan Daftar Pustaka dengan Sistem Vancouver Saleha Sungkar Penulisan daftar pustaka atau referensi merupakan metode yang sudah terstandardisasi untuk menampilkan sumber informasi atau ide yang digunakan pada tulisan ilmiah seseorang. Penulisan daftar pustaka dapat menggunakan beberapa format, namun dalam ranah kedokteran sistem Vancouver paling sering digunakan. Daftar pustaka harus terlihat pada akhir sebuah karya tulis dengan penomoran yang sistematis sesuai dengan urutan pada karya tulis tersebut. Tujuan daftar pustaka ini sendiri ialah untuk menghindari plagiarisme, memverifikasi kutipan, dan memungkinkan pembaca untukmenindaklanjutidan membaca lebih detail sumber asli dari karya tulis. Sumber informasi atau ide ini dapat berupa kutipan langsung, fakta-fakta, gambar-gambar, baik dari sumber yang sudah dipublikasi maupun belum. Aturan penulisan sitasi pada teks dalam sebuah karya tulis secara umum dijelaskan sebagai berikut : Sitasi pada teks sebuah tulisan diidentifikasi dengan angka Arab ditambah tanda kurung (biasa digunakan pada perangkat lunak End Note), misalnya “Moir and Jessel maintain that the sexes are interchangeable (1)” atau superscript, misalnya “Moir and Jessel maintain that the sexes are interchangeable1”. Ketika jumlah sumber lebih dari satu, gunakan tanda hubung “-“ untuk menghubungkan angka awal dan akhir tulisan yang inklusif dan gunakan koma (tanpa spasi) untuk memisahkan angka non inklusif pada sitasi multipel, misalnya 2,3,4,5,7,10 menjadi 2-5,7,10. Tanda hubung tidak digunakan jika tidak ada angka sitasi di antara angka awal dan akhir, misalnya 1-2, seharusnya 1,2. Pengaturan letak angka sitasi pada teks harus diperhatikan. Beberapa daftar pustaka dapat relevan hanya pada beberapa kalimat, misalnya “There have been efforts to replace mouse inoculation testing with in vitro tests, such as ELISA57,60 or PCR20-22 but it is still experimental”. Secara garis besar, angka ditulis setelah tanda titik dan koma, misalnya “Moir and Jessel maintain that the sexes are interchangeable1”. 23 Jika sebuah sumber ditulis oleh beberapa penulis, maka gunakan “et al” atau “dkk” setelah penulis pertama, misalnya “Simons et al3 state that the principle of effective stress is imperfectly known and understood by many practising engineers”. Pada beberapa tulisan, mungkin terdapat sumber dari seorang penulis yang merujuk pada penulis lain, hal ini dinamakan referensi sekunder. Perhatikan kalimat berikut : “Higgins15 discusses Newman‟s research in his work…” Kita dapat melihat bahwa Higgins dalam bukunya mendiskusikan hasil penelitian orang lain yaitu Newman. Pada daftar pustaka, kita mencantumkan buku/tulisan Higgins, bukan Newman, misalnya “Higgins D. Horizons: The poetics and theory of the intermedia. Illinois: Southern Illinois University Press; 1984”. Penulisan daftar pustaka atau referensi memiliki format baku yang dipakai. Sebuah referensi yang berasal dari artikel sebuah jurnal memiliki secara berturut-turut unsur-unsur berikut: nama penulis (authors), judul artikel (article title), judul jurnal (journal title), tanggal publikasi (date of publication), volume, nomor/issue, dan halaman. Perhatikan Gambar 1 sebagai contoh. Gambar 1 Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber jurnal Untuk penulisan nama penulis, harus diperhatikan hal-hal berikut : Urutan penulisan nama penulis harus berdasarkan naskah asli, nama keluarga atau nama akhir ditulis di awal referensi, nama awal dan tengah ditulis sebagai inisial dengan maksimal dua inisial, antar nama penulis dipisahkan oleh tanda koma diikuti spasi, misalnya “Suryono IA, Sungkar S, Aswin L”. Tanda hubung, prefiks, compound surname, atau partikel seperti O‟,D‟,L pada sebuah nama akhir tetap ditulis. Perhatikan contoh berikut : 24 “Estelle Palmer-Canton” menjadi “Palmer-Canton E” (tanda hubung tetap ditulis). 2. “Lama Al Bassit” menjadi “Al Bassit L” (prefiks tetap ditulis). 3. “Sergio Lopez Moreno” menjadi “Lopez Moreno S” (compound surname tetap ditulis). 4. “Alan D. O‟Brien” menjadi “O‟Brien AD” (partikel O‟ tetap ditulis). 5. “U. S‟adeh” menjadi “S‟adeh U” (partikel S‟ tetap ditulis). Hilangkan semua tanda baca yang ada pada nama akhir, misalnya “Charles A. St. James” menjadi “St James CA”. Nama awal dan tengah yang menggunakan tanda hubung tetap disingkat tanpa tanda hubung, misalnya “Jean-Louis Lagrot” menjadi “Lagrot JL”. Gunakan hanya huruf awal dari nama awal dan tengah meskipun terdapat prefiks, preposisi, atau partikel lain, misalnya “D‟Arcy Hart” menjadi “Hart D” atau “W. St. John Patterson” menjadi “Patterson WS”. Gunakan hanya huruf awal pada abreviasi misalnya “Ch. Wunderly” menjadi “Wunderly C”. Untuk nama non -English yang telah diromanisasikan (ditulis dalam alfabet roman), kapitalisasi hanya huruf awal ketika inisial asli ditulis lebih dari satu huruf, misalnya “Iu. A. Lakontov” menjadi “Lakontov IuA”. Jika tidak terdapat nama penulis atau organisasi, mulailah dengan judul artikel, jangan tulis “anonymous”, misalnya “New accreditation product approved for systems under the ambulatory and home care programs. Jt Comm Perspect. 2005 May;25(5):8”. Semua jenis gelar atau penghargaan tidak ditulis pada daftar pustaka, misalnya “James A. Reed, M. D., F.R.C.S” menjadi “Reed JA” atau “Sir Frances Hildebrand” menjadi “Hildebrand F”. Jika sumber referensi memiliki lebih dari enam penulis maka enam penulis awal ditulis diikuti oleh “et al”, misalnya “Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury. Brain Res. 2002;935(1):40-6”. Jika penulis sumber referensi merupakan sebuah organisasi, hal berikut harus diperhatikan: hilangkan kata “The”, nama divisi (jika ada) ditulis setelah nama organisasi dengan dipisah oleh tanda baca koma, jika penulis sumber referensi merupakan nama orang dan organisasi maka tuliskan keduanya 1. 25 secara berurutan sesuai urutan artikel asli dengan antara nama orang dan organisasi dipisahkan oleh tanda baca titik koma. Perhatikan contoh berikut: 1. “The American Cancer Society” menjadi “American Cancer Society” (kata “The” dihilangkan). 2. “International Union of Pure and Applied Chemistry, Organic and Biomolecular Chemistry Division” (nama divisi ditulis setelah organisasi dengan pemisah tanda baca koma). 3. “Vallancien G, Emberton M, Harving N, van Moorselaar RJ; Alf-One Study Group. Sexual dysfunction in 1,274 European men suffering from lower urinary tract symptoms. J Urol. 2003;169(6):2257-61” (antara nama orang dan organisasi dipisahkan oleh tanda baca titik koma). Jika volume atau issue dengan suplemen, maka penulisannya sebagai berikut: “Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with short- and long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan. Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9” (volume dengan suplemen). “Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12 Suppl 7):S6-12” (issue dengan suplemen). Jika volume atau issue dengan bagian/part, maka penulisannya sebagai berikut: “Abend SM, Kulish N. The psychoanalytic method from an epistemological viewpoint. Int J Psychoanal. 2002;83(Pt 2):491-5”. “Ahrar K, Madoff DC, Gupta S, Wallace MJ, Price RE, Wright KC. Development of a large animal model for lung tumors. J Vasc Interv Radiol. 2002;13(9 Pt 1):923-8”. Jika issue tanpa volume atau tidak ada volume atau issue, maka penulisannya sebagai berikut : “Banit DM, Kaufer H, Hartford JM. Intraoperative frozen section analysis in revision total joint arthroplasty. Clin Orthop. 2002;(401):230-8”. “Outreach: bringing HIV-positive individuals into care. HRSA Careaction. 2002 Jun:1-6”. Jika halaman menggunakan penomoran romawi, maka penulisan yang benar ialah “Chadwick R, Schuklenk U. The politics of ethical consensus finding. Bioethics. 2002;16(2):iii-v”. Jika tipe artikel dibutuhkan untuk ditunjukkan, maka penulisannya ialah sebagai berikut: 26 “Tor M, Turker H. International approaches to the prescription of long-term oxygen therapy [letter]. Eur Respir J. 2002;20(1):242”. “Lofwall MR, Strain EC, Brooner RK, Kindbom KA, Bigelow GE. Characteristics of older methadone maintenance (MM) patients [abstract]. Drug Alcohol Depend. 2002;66 Suppl 1:S105”. Jika artikel mengandung retraksi (retraction), maka penulisannya ialah “Feifel D, Moutier CY, Perry W. Safety and tolerability of a rapidly escalating dose-loading regimen for risperidone. J Clin Psychiatry. 2002;63(2):169. Retraction of: Feifel D, Moutier CY, Perry W. J Clin Psychiatry. 2000;61(12):909-11”. Jika sebuah sumber artikel telah dipublikasikan kembali dengan koreksi maka penulisan yang benar yaitu “Mansharamani M, Chilton BS. The reproductive importance of P-type ATPases. Mol Cell Endocrinol. 2002;188(1-2):22-5. Corrected and republished from: Mol Cell Endocrinol. 2001;183(1-2):123-6”. Selain dari artikel jurnal, sebuah tulisan mungkin berasal dari beberapa sumber lain misalnya buku atau monograf lain. Kaidah penulisan daftar pustaka untuk sumber berasal dari buku atau monograf dijelaskan sebagai berikut: Urutan penulisan daftar pustaka buku atau monograf lain ialah sebagai berikut: penulis (authors), judul buku (title), edisi (edition), penulis sekunder (jika ada) atau secondary author, tempat publikasi (place of publication), penerbit (publisher), tanggal publikasi (date of publication), dan halaman (pagination). Perhatikan gambar 2 sebagai contoh. Gambar 2. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber buku atau monograf lain Aturan penulisan nama penulis baik itu perorangan maupun organisasi tidak berbeda dengan penulisan nama penulis pada artikel jurnal. 27 Jika hanya terdapat editor atau compiler, maka penulisannya sebagai berikut : “Gilstrap LC 3rd, Cunningham FG, VanDorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2002”. Jika sumber merupakan tulisan dari sebuah konferensi maka ditulis sebagai berikut: “Christensen S, Oppacher F. An analysis of Koza's computational effort statistic for genetic programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic programming. EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91”. Perhatikan gambar 3 dan 4 sebagai contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber berupa paper dan poster pada sebuah konferensi. Gambar 3. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari konferensi (paper) Gambar 4. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari sebuah konferensi (poster) Jika issue merupakan agen sponsor, maka penulisannya sebagai berikut “Yen GG (Oklahoma State University, School of Electrical and Computer Engineering, Stillwater, OK). Health monitoring on vibration signatures. 28 Final report. Arlington (VA): Air Force Office of Scientific Research (US), Air Force Research Laboratory; 2002 Feb. Report No.: AFRLSRBLTR020123. Contract No.: F496209810049”. Jika sumber merupakan disertasi atau sebuah paten, maka ditulis sebagai berikut : “Borkowski MM. Infant sleep and feeding: a telephone survey of Hispanic Americans [dissertation]. Mount Pleasant (MI): Central Michigan University; 2002” (sumber berasal dari sebuah disertasi). “Pagedas AC, inventor; Ancel Surgical R&D Inc., assignee. Flexible endoscopic grasping and cutting device and positioning tool assembly. United States patent US 20020103498. 2002 Aug 1” (sumber berasal dari sebuah paten). Selain artikel jurnal dan buku/monograf lain, sebuah karya tulis mungkin mengambil kepustakaan dari sumber lain seperti artikel surat kabar, materi audiovisual, peta/map, kamus, material yang belum dipublikasikan atau materi elektronik (CD-ROM, jurnal dari internet, monograf dari internet, situs jaringan atau website/homepage, blog), maka kaidah penulisannya ialah sebagai berikut : Sumber referensi merupakan surat kabar : Gambar5. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari surat kabar 29 Sumber merupakan material audiovisual: “Chason KW, Sallustio S. Hospital preparedness for bioterrorism [videocassette]. Secaucus (NJ): Network for Continuing Medical Education; 2002” . Sumber referensi merupakan peta/map : Gambar 6. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari sebuah peta/map. Sumber merupakan kamus: “Dorland's illustrated medical dictionary. 29th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2000. Filamin; p. 675“. Untuk sumber referensi berasal dari materi yang belum dipublikasi, sebaiknya lebih dipilih kata “forthcoming” dibandingkan “in press” karena tidak semua item akan diprint. Gambar 7. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber materi belum dipublikasi 30 Jika sumber berasal dari CD-ROM : Gambar 8. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari CD-ROM Jika sumber berasal dari jurnal di internet : Gambar 9. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber dari jurnal di internet Jika sumber berasal dari homepage atau website: “Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [Internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]”. Gambar 10. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber homepage atau website Jika sumber berasal dari sebuah blog : 31 Gambar 11. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber blog(1) Gambar 12. Contoh format baku penulisan daftar pustaka dengan sumber blog(2) Daftar Pustaka International Committee of Medical Journal Editors (ICMJE) Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals: Sample References [internet]. Available from: http://www.icmje.org/. 32 34 Cara Dasar Menghindari Plagiarisme Ariel Pradipta Kemajuan ilmu pengetahuan masa kini sangat pesat termasuk di bidang penelitian. Penelitian tersebut seringkali menemukan sesuatu yang diharapkan dapat berguna sebagai dasar informasi untuk penemuan berikutnya. Agar hasil penelitian berguna dan dapat dimanfaatkan, penelitian harus dipublikasi baik di jurnal atau dalam seminar. Nilai publikasi lebih tinggi bila dipublikasikan di jurnal, sehingga peneliti harus terampil menulis artikel penelitian agar dapat diterima oleh redaksi jurnal. Untuk menciptakan tulisan yang baik, tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang dengan sengaja mengambil buah pikiran orang lain dan melakukan kecurangan. Ada pula orang yang tidak sengaja mengambil buah pikiran orang lain; hal ini harus ditelusuri lagi lebih lanjut apakah karena ketidaktahuan mengenai cara menulis yang baik atau yang lebih menyedihkan karena tidak mengetahui bahwa hal yang dilakukannya tersebut merupakan sebuah bentuk kejahatan penulisan yang disebut plagiarisme. Seringkali para peneliti, baik yang baru atau pun yang sudah lama berkecimpung dalam proses menggunakan informasi yang berasal dari penulis lain, merasa tidak yakin akan cara meminjam buah pikiran orang lain dengan baik. Ketika meminjam buah pikiran penemu sebelumnya, sudah selayaknya memberi penghargaan kepadanya dengan menuliskan sitasi dengan tepat. Penulisan sitasi sebaiknya mencantumkan nama penulis, nama artikel, tahun penerbitan, edisi majalah, buku sumber bacaan, penerbit, dan alamat halaman elektronik dalam keadaan tertentu. Ada berbagai teknik yang harus diikuti namun untuk dunia kedokteran dan kesehatan, cara yang banyak digunakan adalah sistem Vancouver dan Harvard. Komunitas akademik atau jurnal penelitian tertentu memiliki gaya sitasi yang berbeda dan perlu diikuti jika ingin berpartisipasi di dalamnya. Selain mensitasi, buah pikiran juga harus ditulis dengan cara tertentu sehingga tidak terjerumus ke dalam plagiarisme yang merupakan pencurian ide. Dua cara dasar untuk melakukannya adalah dengan melakukan kuotasi (mengutip) dan parafrase.1,2 Kuotasi adalah teknik meminjam buah pikiran seseorang dengan meletakkannya di antara tanda kutip. Tanda kutip tersebut digunakan untuk 35 memberitahu kepada pembaca bahwa keseluruhan kalimat di dalamnya, termasuk struktur dan pemilihan kata, adalah hasil kerja keras penulis yang dikutip. Dengan melakukan kutipan yang benar, seorang penulis dapat memberikan penghargaan yang sesuai kepada sumber informasi yang digunakan. Dengan sitasi yang tepat, maka pembaca yang tertarik untuk mendalami ilmu yang dipinjam dapat mencarinya sendiri dan mengetahui langsung sumber informasi tersebut sehingga juga menguntungkan bagi penulis sebelumnya. Hal yang harus diawasi ketika mengutip langsung adalah persentase kesamaan hasil tulisan dengan sumber informasi tersebut. Setiap jurnal atau majalah memiliki standar persentase kemiripan yang berbeda. Hal ini berguna untuk memastikan hasil kerja yang baru tersebut sudah melalui proses tertentu, sehingga tidak hanya „asal menyalin‟ dan menyatukan pekerjaan orang lain. Berikut adalah contoh penggunaan kutipan: Acute inflammation has three major components: (1) alterations in vascular caliber that lead to an increase in blood flow, (2) structural changes in the microvasculature that permit plasma proteins and leukocytes to leave the circulation, and (3) emigration of the leukocytes from the microcirculation, their accumulation in the focus of injury, and their activation to eliminate the offending agent. Dapat dikutip seperti berikut: - Kumar, Abbas and Fausto stated in Robbins and Cotran Pathologic basis of diseases, there are 3 major factors in acute inflammation “(1) alterations in vascular caliber that lead to an increase in blood flow, (2) structural changes in the microvasculature that permit plasma proteins and leukocytes to leave the circulation, and (3) emigration of the leukocytes from the microcirculation, their accumulation in the focus of injury, and their activation to eliminate the offending agent”1 - References: Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005. Pg49. Perlu diingat bahwa mengutip dapat menghabiskan batas persentase kemiripan kata yang ditentukan. Maka pengunaan kutipan harus dibatasi pada bagian yang sulit diubah kata-katanya karena sangat spesifik atau terdapat kekhawatiran bahwa suatu pengubahan akan membuat salah pengertian. 36 Teknik berikutnya yang lebih sering digunakan adalah parafrase. Teknik ini menuliskan suatu informasi dari sumber lain dengan mengubah cara penulisan. Parafrase dapat dilakukan dengan cara mengubah kata-kata yang digunakan dengan sinonim yang sesuai, atau dengan mengubah struktur kalimat. Perlu diperhatikan pula arti dari kalimat tersebut tidak boleh berubah terlalu jauh karena dapat menyesatkan pengertian pembaca atau merusak reputasi penulis yang dipinjam buah pikirannya. Cara yang paling baik untuk melakukan parafrase adalah dengan membaca keseluruhan artikel tersebut terlebih dahulu beberapa kali, kemudian diulang membaca bagian yang ingin digunakan di dalam artikel sehingga dapat dimengerti dan ditemukan cara untuk menjelaskannya dengan kata-kata sendiri. Pengertian tersebut dapat dituliskan di artikel tanpa melihat lagi sumber informasi. Lebih baik lagi jika ditulis dengan kalimat singkat sehingga memperkecil penggunaan kata atau struktur kalimat yang mirip. Melakukan parafrase dengan teknik tersebut paling aman karena tidak lagi melihat sumber informasi yang dapat mempengaruhi pemilihan kata dan struktur kalimat yang terlalu mirip. Baik peneliti yang sudah mahir atau pun yang belum mahir, misalnya mahasiswa, terkadang tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengikuti langkah yang baik. Hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan parafrase yaitu mengambil kalimat inti yang diubah kata-katanya menggunakan sinonim. Struktur kalimat dapat diubah, seperti peletakkan subjek yang tadinya di depan menjadi di belakang. Berikut adalah contoh pengunaan parafrase: A homeostatic control system is a functionally interconnected network of body components that operate to maintain a given factor in the internal environment relatively constant around and optimal level. To maintain homeostasis, the control system must be able to detect deviations from normal in the internal environmental factor that needs to be held within narrow limits. Integrate this information with any other relevant information, and make appropriate adjustments in the activity of the body parts responsible for restoring this factor to its desired value. Dapat diparafrase sebagai berikut: - Homeostatic control system can be defined as a working network in the body that works together to maintain a certain optimal condition. The body may 37 - recognize changes that happen in the body and adapt so that important factors can stay in an acceptable range.1 References: Sherwood L. Human physiology: From cells to systems. 6 th Ed. Belmont: Thomson Brooks/Cole. 2007. Pg10. Ketika diubah menjadi bahasa Indonesia, dapat menjadi: - Sistem homeostasis dapat diartikan sebagai jejaring di dalam tubuh yang bekerja sama untuk menetapkan suatu keadaan optimal. Dengan homeostasis, tubuh dapat mengenali perubahan yang terjadi dan beradaptasi seperlunya untuk menciptakan keadaan yang masih sesuai untuk fungsi tubuh normal. 1 - Referensi: Sherwood L. Human physiology: From cells to systems. 6 th Ed. Belmont: Thomson Brooks/Cole. 2007. Pg 10. Contoh lain melakukan parafrase: Ada yang menganalogikan menuanya manusia seperti ausnya suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi secara fisik/somatik. Analogi ini memang dapat diterima, tetapi penulis tak setuju dengan hal ini karena manusia mempunyai jiwa dan budaya yang dapat mempengaruhi fisiknya. Banyak orang yang fisiknya sakit berat tetapi karena mentalnya masih tinggi dapat masih hidup lama. Dapat diparafrasekan seperti berikut: - Karena sering terlihat beberapa orang tua yang menderita sakit parah tetapi dapat berumur panjang, para penulis Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri berpendapat bahwa proses penuaan manusia juga dipengaruhi oleh jiwa dan budaya yang ada dalam diri mereka.1 - Referensi: Boedhi-Darmojo R, et al. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2011. Hal 4. Dalam contoh di atas, perubahan struktur menjadi pusat parafrase. Suatu bagian yang tadinya terletak di akhir kalimat dapat dipindah ke depan dengan sedikit perubahan pilihan kata-kata. Hal yang harus diingat adalah pentingnya meletakkan langsung bahwa kalimat tersebut bersumber dari buah pikiran orang lain. 38 Penggunaan parafrase memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak memakan batas persentase kemiripan yang banyak dan sering dapat membuat suatu informasi yang panjang menjadi lebih singkat. Hal tersebut dapat sangat berguna ketika terdapat batas jumlah kata dari jurnal. Jika sumber informasi yang didapatkan adalah bahasa lain, sangat penting bagi penulis untuk tidak hanya menerjemahkan sumber tersebut, tetapi juga tetap mengubah struktur dan kata-kata yang digunakan. Sudah mulai tumbuh banyak kekhawatiran plagiarisme yang terjadi antar bahasa, maka sebaiknya mulai berlatih untuk menghindarinya. Walaupun belum sempurna, beberapa perguruan tinggi di luar negeri sudah mulai mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi “crosslanguage plagiarisme” atau plagiarisme beda bahasa. Sebenarnya yang paling penting dari segala tindakan ini adalah mengakui bahwa apa yang ditulis memiliki bagian yang merupakan buah pikiran penulis lain. Harus diakui bahwa penulis meminjam karya orang lain dan sudah menjadi kewajibannya untuk menghargai mereka dengan menuliskan sitasi yang tepat. Dalam kegiatan sehari-hari seringkali pekerjaan seseorang sebenarnya bersifat „internal‟, dalam artian tidak akan disebarluaskan ke khalayak ramai dan tidak bersifat mengambil keuntungan untuk pribadi yang membuatnya (tidak membagikan keuntungan tersebut baik materiil maupun imateriil kepada sumber informasi yang sebenarnya). Plagiarisme dan tindak kecurangan lain sering terjadi karena kurangnya keahlian dalam menghindarinya. Ditambah jalan pikiran „pekerjaan internal‟ membuat penulis semakin jarang lagi berlatih kedua teknik dasar di atas (mengutip dan parafrase). Oleh karena itu, dalam kegiatan sehari-hari seperti presentasi kasus maupun lembar tugas mahasiswa perlu dipelajari cara pengutipan dan parafrase yang baik. Plagiarisme merupakan masalah global dan sudah banyak orang yang memiliki niat besar untuk membantu mencegahnya. Selain itu, berbagai upaya pencegahan dibuktikan dengan banyaknya sumber latihan yang dapat ditemukan di dalam internet. Dengan membaca buku ini, marilah berlatih dengan melakukan teknik-teknik di atas dalam kegiatan sehari-hari. Semakin sering berlatih dan bertindak, kemahiran dalam membuat tulisan yang baik dan tanpa unsur plagiarisme di dalamnya akan lebih mudah untuk diwujudkan. Selamat berlatih. 39 Daftar Pustaka 1. Writing Tutorial Services. Plagiarism: What it is and how to recognize and avoid it [Internet]. Indiana: Indiana University Bloomington; 2004 [cited 2012 Dec 9]. Available from: http://www.indiana.edu/~wts/pamphlets/plagiarism.shtml. 2. The Writing Center @The University of Wisconsin. The writer‟s handbook avoiding plagiarism [Internet]. Madison: University of Wisconsin; 2012 [cited 2012 Dec 10]. 40 42 Kajian Bioetik Integritas Akademik Alexandra Gabriella, Anton D.Saputra, Ardeno Kristianto, Arif A.Tasela, Candra A.Nugroho, Dini Lestari, Hendy Kurniawan, Indina S.Sekarnesia, Ngabila Salama Definisi Integritas dan Kejujuran Akademik Integritas didefinisikan sebagai kualitas seseorang dalam menjaga dirinya tetap jujur dan memiliki prinsip moral yang kuat di dalam kamus Oxford. 1 Dengan integritas, seseorang dapat mempertahankan diri untuk tetap berpegang pada norma, moral, dan etika yang benar. Sejalan dengan definisi tersebut, integritas juga diartikan sebagai suatu kontrak sosial pada diri sendiri untuk bertindak penuh tanggung jawab.2 Dengan melanggar aturan atau prinsip kebenaran, seseorang telah melanggar integritas diri dan mengacaukan tatanan norma, selain merugikan dirinya sendiri. Dalam kaitan dengan kehidupan universitas dikenal istilah integritas akademik. Menurut University of Illinois, integritas akademik merupakan perilaku jujur dan bertanggungjawab terhadap semua hal yang berkaitan dengan akademik dan bergantung pada usaha individual setiap mahasiswa. 1 Sementara itu, The Center for Academic Integrity (CAI)3 menyebutkan, “Academic integrity as a commitment, even in the face of adversity, to five fundamental values:honesty, trust, fairness, respect, and responsibility.” Lain lagi dengan Pusat Integritas Akademik Kolese Fisher di Boston. Dikatakan bahwa integritas akademik adalah “Sebuah komitmen, bahkan dalam menghadapi kesulitan, yang memiliki lima nilai dasar, yaitu kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mengalirkan prinsip perilaku yang memungkinkan komunitas akademik untuk menerjemahkan ide, pikiran, atau cita-cita ke dalam tindakan.”4 Integritas akademik penting dan perlu dijaga oleh seluruh civitas academica di institusi pendidikan. Hal yang ingin dijaga dengan integritas akademik adalah kepercayaan (trust). Kepercayaan itu diperlukan agar civitas tidak takut hasil kerja keras dan kreasi buah pikirannya diakui dan dijadikan milik orang lain. Selain itu, buah pemikiran dan karya tulisan yang dihasilkan akan menjadi referensi pengetahuan bagi komunitas akademik sehingga validitas dan kesahihannya harus dapat dipertanggungjawabkan. 5 Kejujuran adalah salah satu nilai dasar dalam komitmen kita terhadap integritas akademik.6 43 Bentuk dan Contoh Ketidakjujuran Akademik Ketidakjujuran akademik terkait erat dengan niat yang dimiliki oleh pelaksana tindakan tersebut, yaitu meliputi tindakan yang tidak etis dan dilakukan secara sengaja. Hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengakuan hasil kerja milik orang lain sebagai miliknya sendiri. Ketidakjujuran akademik didefinisikan pula sebagai pelanggaran kebijakan institusi pendidikan terkait kejujuran. 7 Berdasarkan definisi tersebut, tampak jelas bahwa ketidakjujuran akademik mencakup semua bentuk pelanggaran intelektual di institusi pendidikan. Kistilensa7 mengategorikan ketidakjujuran akademik sebagai berikut: kecurangan, fabrikasi, plagiarisme, fasilitasi, misrepresentasi, dan sabotase. 7-10 Bentuk ketidakjujuran tersebut perlu dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa agar terhindar dari ketidakjujuran akademik, baik disengaja maupun tidak. Di dalam ketentuan integritas akademik berbagai universitas dicontohkan bentuk ketidakjujuran akademik lain, seperti: mengumpulkan tugas yang sama ke dosen yang berbeda tanpa izin, berkolaborasi secara tidak tepat, melakukan misrepresentasi, melakukan impersonasi, menahan data, melakukan obstruksi atau interferensi, mengganggu aktivitas kelas, melanggar akses yang dilarang, menyebarkan rahasia, membantu pelanggaran standar integritas akademik, serta berlaku tidak jujur dalam ujian.8 Perbuatan sederhana seperti menyalin jawaban dari pekerjaan milik orang lain (menyontek) sudah dapat digolongkan sebagai ketidakjujuran akademik, yaitu plagiarisme.7,8,11 Satu ketidakjujuran akan mengarahkan pada ketidakjujuran lain. Seperti pada kasus menyontek tersebut, apabila pihak yang dicontek tahu dan mengizinkan hasil karyanya dicontek, ia telah melakukan fasilitasi, walaupun pada dasarnya ia berniat baik untuk membantu teman.7,8,11 Selain menyontek, plagiarisme juga terjadi apabila di dalam karya tulis tidak dicantumkan referensi yang digunakan oleh penulis. Sebaliknya, apabila pada daftar pustaka karya tulis ditambahkan referensi yang sebenarnya tidak digunakan atau tidak ada, penulis tersebut telah melakukan fabrikasi. Fabrikasi juga terjadi pada saat mahasiswa menyajikan data yang dibuat sendiri pada penelitian atau percobaan yang dilakukan.8,11 Mirip seperti fabrikasi, falsifikasi terjadi ketika mahasiswa mengubah data untuk menyesuaikan dengan hasil yang diduga dan biasa terjadi karena kemalasan mahasiswa dalam membuat penelitian atau mahasiswa sudah mengetahui perkiraan hasil akhir penelitian tersebut. 8,11,12 Hal ini merugikan banyak pihakkarena penelitian yang dibuat menjadi tidak sahih dan 44 tidak valid sehingga orang lain tertipu data penelitian yang disajikan. Hal yang dianggap “sepele” seperti melakukan “titip absen” juga merupakan bentuk ketidakjujuran dan digolongkan sebagai misrepresentasi.13 Kerja sama dalam mengerjakan tugas akademik merupakan hal wajar karena beberapa tugas memang diberikan untuk melatih kemampuan bekerja sama dan berorganisasi mahasiswa, namun, dalam pelaksanaannya perlu sikap dewasa untuk memahami dan membedakan antara tugas yang dapat dikerjakan bersama-sama dan tugas yang harus dikerjakan sendiri.5 Apabila mahasiswa gagal dalam membedakan hal ini, ia dapat terjebak pada kolaborasi yang tidak tepat. Mahasiswa dapat memberikan saran untuk proses revisi suatu karya tulis orang lain secara umum, tetapi ia tidak dapat melakukan revisi tersebut secara langsung pada karya tulis tersebut atau ia akan terjebak dalam kolaborasi yang tidak tepat. Tindakan sabotase untuk mencegah orang lain berprestasi juga tergolong dalam bentuk ketidakjujuran akademik.7 Penjelasan Spesifik Mengenai Plagiarisme Plagiarisme merupakan salah satu pelanggaran kejujuran akademik yang dianggap sangat serius. Menurut Sastroasmoro,12 “Plagiarisme adalah tindakan menyerahkan (submitting) atau menyajikan (presenting) idea atau kata/kalimat orang lain tanpa menyebutkan sumbernya”. Publikasi tulisan secara resmi tidak menjadi syarat dalam kriteria plagiarisme. Plagiarisme dapat terjadi dalam bentuk: menyajikan karya pribadi yang diambil dari seluruh atau sebagian karya orang lain yang telah dipublikasi, melakukan parafrase terhadap tulisan orang lain tanpa mencantumkan sumbernya, menyajikan kembali hasil karya yang bersifat artistik atau teknik milik orang lain sebagai karya pribadi, mencuri data milik orang lain, menggunakan data milik pribadi yang sebelumnya pernah digunakan untuk tugas lain, serta melakukan sitasi secara kurang tepat.3,8,14 Perlu dipahami bahwa terdapat beberapa hal di luar cakupan tersebut yang masih tergolong sebagai pencurian. Oleh karena itu, lebih baik bila dilakukan program pencegahan plagiarisme, dimulai dari pemahaman plagiarisme yang dilanjutkan dengan pembelajaran mengenai teknik sitasi dan teknik mengutip yang tepat. Selain itu, perlu pengawasan dan pembinaan berkelanjutan. Pengawasan dilaksanakan dengan harapan agar tidak terjadi plagiarisme yang dapat dicapai melalui bimbingan pembimbing atau pengawasan program komputer. Perlu diingat 45 bahwa sebagian besar program tersebut didesain untuk mengenali kemiripan, tidak untuk mengenali plagiarisme sehingga lebih tepat bila program digunakan untuk penyaringan awal sebelum dilakukan telaah oleh ahlinya. Hal yang tidak kalah penting adalah kepribadian berbagai pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Menurut Sunyoto,15 langkah yang dapat dilakukan untuk menghindari plagiarisme, antara lain dengan membuat kutipan langsung, yaitu menyalin persis suatu kalimat, frase, atau sebagian teks secara langsung disertai tanda petik. Selain itu, tindakan pencegahan plagiarisme dapat dilakukan dengan membuat parafrase, yaitu menuliskan kembali referensi yang telah dibaca dengan interpretasi sendiri, namun, inti tulisan harus tetap sama disertai pencantuman nama pemilik ide. Pencantuman nama pemilik ide dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menulis nama lengkap, tahun penulisan, penyertaan tautan, dan sebagainya sesuai dengan standar sitasi yang digunakan. Terakhir, perlu dilakukan pembuatan daftar pustaka yang baik dan benar. Penyebab Pelanggaran Kejujuran dan Integritas Akademik Berbagai alasan dapat dikemukakan sebagai dasar dilakukannya ketidakjujuran akademik. Kistilensa7 menjabarkan tiga alasan dilakukannya ketidakjujuran akademik di fakultas kedokteran, berturut-turut dari yang paling sering, yaitu: panik/takut mendapatkan nilai yang tidak memuaskan, rasa inferior (merasa tidak mampu mengerjakan sendiri), dan penyangkalan atas tanggung jawab untuk belajar (merasa tidak mempunyai waktu cukup dalam belajar). Hal tersebut sebenarnya timbul akibat semakin meluasnya mentalitas dan budaya pragmatis pada mahasiswa. Proses pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses sehingga menyebabkan timbulnya mentalitas tersebut. 16 Sikap lain yang sering mengarahkan individu pada ketidakjujuran akademik adalah prokrastinasi atau menunda-nunda pekerjaan sehingga sebagian besar pekerjaan dilakukan setelah mendekati tenggat waktu (deadline) dan dalam keadaan terburuburu. Dengan demikian, selain hasilnya tidak optimal, seseorang cenderung mencari jalan pintas untuk mengerjakan secepat-cepatnya. Sementara itu, bentuk ketidakjujuran fasilitasi sering terkait dengan individu yang berada dalam tekanan atau posisi yang tidak menguntungkan, misalnya seseorang terpaksa memberikan contekan karena diancam oleh orang lain atau oleh teman dekat sehingga sulit untuk menolak permintaan tersebut. Keadaan itu menempatkan orang tersebut dalam posisi yang dilematis, antara membela nilai kejujuran atau nilai kesejawatan 46 (solidaritas). Seringkali dalam prosesnya, orang tersebut bisa dibenci atau dijauhi. Dilema tersebut tidak perlu terjadi apabila setiap individu mampu menjaga integritas dirinya masing-masing. Seseorang yang dalam pengalamannya pernah bersikap tidak jujur, dalam kesempatan berikutnya sangat mungkin untuk mengulang ketidakjujuran yang sama. Banyak orang bahkan menjadi arogan dan mengganggap tindakan tidak jujur sebagai tantangan sehingga dengan melakukannya, mereka mendapatkan suatu dukungan sosial, misalnya dengan dianggap sebagai pahlawan atau pemberani. 7 Predikat seperti itu benar-benar salah dan dapat menyebabkan ketidakjujuran semakin berkembang. Akibat dari ketidakjujuran tersebut sungguh fatal di kemudian hari. Akibat Ketidakjujuran Akademik Ketidakjujuran akademik dapat berdampak luas, misalnya mahasiswa yang menyontek mendapatkan nilai yang lebih baik dibandingkan mahasiswa yang telah belajar tekun dan mempersiapkan diri dengan baik. Contoh lain, mahasiswa yang kerap membolos dan menitipkan absen pada temannya, tetapi tidak mengalami masalah apapun dalam kegiatan akademik, padahal mahasiswa yang teratur datang sering menjadi sasaran amarah apabila hal tersebut diketahui. Tampak bahwa kondisi tersebut mendukung terciptanya mentalitas pragmatis, yaitu mahasiswa mengambil keuntungan dari berbuat tidak jujur. Mahasiswa yang telah berusaha dengan jujur dan bekerja keras dapat menjadi kecewa. Lebih lanjut lagi, mentalitas pragmatis tersebut dapat menular sehingga mahasiswa yang tadinya jujur dapat menjadi pribadi yang turut melakukan ketidakjujuran akademik. Hal itu diperparah oleh kondisi ketika pihak yang melakukan ketidakjujuran dapat lolos begitu saja dan tetap mendapatkan keuntungan yang tidak selayaknya. 17 Apabila dianalogikan, hal ini sama seperti orang yang melanggar busway (jalur bus Transjakarta) dan menjadi lebih cepat mencapai tujuannya dibandingkan orang yang menaati larangan tersebut. Ketika terlihat bahwa pelanggar tersebut dapat mencapai tujuannya lebih cepat tanpa ditindak tegas oleh siapa pun, orang yang tadinya taat pun akan tergoda untuk melanggar busway sehingga pada akhirnya hampir semua orang akan melanggar busway karena mendapatkan keuntungan dari situ. Efek dari ketidakjujuran tersebut dapat membawa bangsa ini pada kehancuran. Dari hasil penelitian oleh Harding et al,18 tampak bahwa ketidakjujuran akademik yang dilakukan dapat menjadi prediktor dilakukannya ketidakjujuran seseorang dalam menekuni profesinya di kemudian hari. 47 Ketidakjujuran akademik juga menghilangkan nilai sportivitas dan sikap kesatria, yang saat ini sudah sedemikian merosot. Seiring dengan ketidakjujuran yang dilakukan, mahasiswa juga semakin tidak sportif untuk mengakui ketidakjujuran yang telah ia lakukan dan berani menerima konsekuensinya. Tampak bahwa nilai tanggung jawab menjadi hal yang semakin dipertanyakan dengan semakin berkembangnya perilaku seperti itu. Kondisi dan pandangan sosial masyarakat seringkali justru menjerumuskan sehingga bisa dirumuskan sebagai berikut: “Kita hidup di zaman yang salah, yaitu ketika seseorang berbohong, ia dapat selamat dan lolos sepenuhnya dari tanggung jawab, sementara ketika ia bertindak dan berkata jujur, ia dapat dihukum seberat-beratnya”. Hukuman tersebut belum tentu berupa hukuman dari pihak yang berwenang, tetapi dapat pula berupa sanksi sosial dari masyarakat yang justru mengucilkan orang-orang yang berperilaku jujur. Dengan demikian, merupakan hal yang jelas alasan semakin meningkatnya ketidakpedulian terhadap ketidakjujuran ini di masyarakat. Pandangan masyarakat kita terhadap sikap kesatria dan sportif sangat terbatas. Oleh karena itu, harus dilakukan pencegahan terhadap berbagai bentuk ketidakjujuran akademik agar pribadi bangsa ini tetap terjaga. Kajian Bioetika Ketidakjujuran Akademik Bioetika dalam profesi kedokteran mengenai hubungan langsung antara dokter-pasien memiliki empat hal, yaitu beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice.19 Kajian bioetika itu dapat diterapkan terkait dengan plagiarisme dan beberapa bentuk ketidakjujuran akademik. Beneficence adalah sebuah prinsip yang menggambarkan kemurahan hati, kebaikan, amal, cinta, kemanusiaan, dan mengutamakan altruisme.20 Ditinjau dari prinsip tersebut, plagiarisme merupakan tindakan yang bertentangan dan upaya untuk menguntungkan diri sendiri. Selain itu, plagiarisme tidak mengindahkan kebaikan, amal, dan kemanusiaan. Dari beneficence kita diajarkan untuk berusaha maksimal dalam berbuat baik. Seseorang yang menerapkan dan mempertahankan nilai kejujuran akademik secara tidak langsung telah berbuat baik kepada lingkungan pendidikan. Di dalam beneficence terdapat prinsip yang dapat diaplikasikan langsung terkait kejujuran akademik, yaitu prinsip altruisme yang berarti seseorang harus lebih memperhatikan kesejahteraan atau kebahagiaan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. 21 Dengan menanamkan altruisme di dalam diri masing-masing, setiap pribadi akan berusaha 48 semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kecurangan akademik yang merugikan atau merusak kebahagiaan orang lain. Non-maleficence adalah prinsip untuk tidak melakukan perbuatan yang memperburuk kondisi orang lain atau menciptakan kerugian bagi orang lain (pasien), baik melalui tindakan, maupun kelalaian. 22 Plagiarisme ditinjau dari prinsip ini memiliki nilai yang bertentangan. Tindakan plagiarisme, baik disengaja maupun tidak disengaja, merupakan tindakan yang merugikan orang lain. Seseorang memperoleh keuntungan yang sesungguhnya bukan hak miliknya, melainkan hak milik orang lain. Autonomyadalah prinsip yang menganut penguasaan terhadap diri sendiri. Seseorang dianggap memiliki hak untuk mengelola hidupnya sendiri dan membuat keputusan terhadap dirinya sendiri.23 Dari segi autonomy, seseorang memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya, demikian juga dalam tindakan untuk membentuk kepribadian diri. Seseorang dapat memilih untuk melakukan plagiarisme atau tidak melakukannya (yang disengaja). Seseorang perlu memahami bahwa prinsip autonomy menjunjung tinggi hak perorangan, tetapi hak tersebut perlu digunakan dengan bijaksana dan memperhatikan prinsip etika lainnya dalam kehidupan. Justice merupakan prinsip keadilan yang menjunjung tinggi tindakan yang dapat memberikan nilai adil bagi orang yang terlibat.23 Prinsip ini memberlakukan segala sesuatu secara universal dan menghargai hak orang lain.22 Dari sisi ini, tindakan plagiarisme dapat dinilai sebagai pelanggaran atas prinsip keadilan. Setiap orang memiliki kewajiban menghormati dan menghargai orang lain, demikian pula dengan hasil karya orang lain. Tindakan plagiarisme tidak menghargai hasil karya orang lain, dengan tidak memberikan apa yang seharusnya diberikan pada orang lain. Tindakan tersebut menimbulkan kerugian baik materi maupun nonmateri dan ketidakadilan bagi orang lain. Plagiarisme dari Sudut Pandang Etika Dalam keseharian, seseorang selalu berhadapan dengan suatu tindakan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Magee24 mengatakan, ”... dan sering kali kita sungguh mudah untuk berbuat kekeliruan, namun, tidak mungkin untuk benar-benar pasti bahwa kita benar, dan dalam hal ini, kritik merupakan agen kemajuan.” Salah satu sudut pandang yang paling sering digunakan adalah etika. 49 Bertens25 menjabarkan etika dalam beberapa arti, yaitu 1) pegangan bertingkah laku individu atau kelompok terkait nilai dan norma moral yang ada, 2) kode etik yang merupakan kumpulan asas dan nilai moral, dan 3) sebagai “filsafat moral” dalam menentukan suatu hal adalah baik atau buruk. Terdapat berbagai teori etika dalam kehidupan sehari-hari. Bertens25 membagi menjadi dua yaitu teori etika kewajibandan etika keutamaan. Dalam pustaka lainnya, Keraf26 mengategorikan tiga teori etika untuk bertindak dalam situasi konkret, yaitu deontologi, teleologi, dan etika keutamaan.Etika kewajiban dan etika deontologi memiliki dasar yang sama, yaitu kewajiban berdasarkan norma dan prinsip moral yang berlaku. 25,26 Etika deontologi. Kata „deon‟ diambil dari kata Yunani yang berarti kewajiban. Sesuatu dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Akibat suatu tindakan tidak diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Sebagai contoh, plagiarisme dalam lingkup yang kecil dan tidak menimbulkan dampak yang besar, tetap dinilai sebagai hal yang buruk. Keraf26 menyatakan, “Immanuel Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.” Etika deontologi sangat menekankan motivasi awal, kemauan baik, serta watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban.25-27 Etika teleologi. Kata „telos‟ diambil dari kata Yunani yang berarti tujuan. Teori etika teleologi meninjau baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik. Etika teleologi mengajarkan untuk memilih tindakan yang membawa akibat baik sebagai panduan dalam bertindak. Hal tersebut membuat etika teleologi lebih bersifat situasional dan subjektif. Permasalahan yang timbul adalah untuk siapa tujuan yang baik itu; untuk satu pribadi, untuk pihak yang mengambil keputusan dan yang melaksanakan keputusan, atau bagi orang lain. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, etika teleologi digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.26,27 Berdasarkan egoisme etis, suatu tindakan dinilai baik apabila berdampak baik bagi pelakunya. Walaupun bersifat egois, tindakan tersebut dapat dinilai baik secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar kebahagian bagi dirinya. 26,27 50 Sementara itu, utilitarianismemeninjau baik buruknya tindakan berdasarkan dampaknya bagi khalayak ramai.26,27 Pelaku plagiarisme melanggar kedua nilai etika itu karena membohongi diri sendiri dan publik. Walaupun demikian, ada kemungkinan pelaku melakukannya secara tidak sadar atau tidak sengaja. Etika keutamaan. Etika ini menjunjung pengembangan karakter moral pada diri setiap orang dengan mencontoh tokoh besar dalam suatu masyarakat untuk memecahkan persoalan. Keraf26 menggambarkan etika keutamaan sebagai nilai moral yang muncul dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh tokoh tertentu, bukan dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah. Nilai keutamaaan moral yang umum dimasyarakat, seperti kesetiaan, rasa percaya, kejujuran, ketulusan, toleransi, jiwa mau berkorban, serta kasih sayang diharapkan akan muncul dengan contoh dari seorang tokoh. Berdasarkan teori ini, seseorang dinyatakan bermoral tidak hanya dilihat dari satu tindakan saja, tetapi juga ditinjau dari rangkaian tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. 25-27 Tindakan plagiarisme merupakan pelanggaran berdasarkan teori etika ini karena para tokoh kedokteran sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pertanyaan umum yang sering timbul adalah “Bagaimana jika pelanggaran etika dilakukan secara tidak sadar?” Dalam menelaah apakah seseorangmelakukan tindakan plagiarisme atau tidak, harus dilihat siapa subjek/pelaku yang melakukan hal tersebut. Jika seorang mahasiswa yang melakukan tindakan tersebut, dapat dikatakan bahwa ia melakukan tindakan yang tidak benar karenadalam pendidikannya ia diberikan pengetahuan mengenai plagiarisme dan kewajiban dalam mengutip. Hal di atas menimbulkan pertanyaan baru, “Apakah seorang yang melakukan plagiarisme untuk program doktoral sama bersalahnya dengan seorang mahasiswa yang melakukan plagiarisme dalam koran kampus?” Untuk menilai besarnya kesalahan dalam tindakan yang tidak etis, harus dilihat subjek/pelaku, predikat/tindakan, objek, dan keterangan (waktu dan tempat) yang dinilai berdasarkan harapan dan akibat dari tindakan tersebut. Dari segi pelaku, tentu berbeda hukuman seorang pelajar dengan seorang dosen karena pengetahuan dan kesadaran dari seseorang yang lebih dewasa dan berpendidikan diharapkan lebih tinggi. Dari segi predikat/tindakan, jelas berbeda antara membunuh dan memplagiat karya seseorang. Dari segi objek hukuman, plagiat sebuah kalimat dibandingkan plagiat seluruh tulisan tentu berbeda. Sementara, ditinjau dari keterangan (misalnya tempat), plagiat karya dalam sebuah perlombaan 51 dibandingkan dalam diskusi kelompok kecil juga berbeda. Semua yang membuat perbedaan dari hal tersebut sebenarnya adalah harapan dan akibat yang terjadi. Terkait etika praktis, Soeparto et al28 menyatakan poin penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan tugas akademik,antara lain: 1. “Seorang insan akademik dilarang mengakui hasil karya orang lain sebagai hasil karya pribadinya sendiri (plagiat) ataupun memalsukan hasil sebuah penelitian.”28 Pada poin di atas, terdapat dua unsur yang menjadi perhatian utama, yaitu peniru dan yang ditiru. Si peniru telah melanggar beneficence, sebab ia tidak berbuat baik dan juga membodohi dirinya sendiri. Selain itu,prinsip nonmaleficence juga dilanggar karena peniru merugikan pihak yang ditiru dengan mengambil hasil karya orang lain dan mengakuinya sebagai hasil karya sendiri. Prinsip justice juga dilanggar. Apabila si peniru berada dalam posisi sebagai pembuat asli karya tulis, tentu ia tidak ingin hasil kerja kerasnya diakui sebagai hasil karya orang lain. Dengan kata lain, si peniru tidak ingin dirinya dirugikan oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri merugikan orang lain (tidak adil). Pelanggaran kaidah dasar bioetika(KDB) yang paling utama adalah non-maleficence sebab tindakan plagiarisme jelas merugikan orang lain. 2. “Seorang insan akademik dilarang membocorkan rahasia kegiatan akademik, seperti penemuan atau hasil penelitian yang belum waktunya untuk diketahui umum.”28 Pelanggaran poin kedua ini terkait dengan KDB beneficence. Sebagai contoh: suatu institusi meneliti obat baru dan uji coba awal menunjukkan hasil yang baik. Hasil penemuan tersebut belum dipublikasikan karena obat masih harus melewati berbagai uji coba lainnya. Apabila hasil tersebut dibocorkan ke pihak yang memiliki dana untuk memproduksi obat baru tersebut, tindakan tersebut akan merugikan. Apalagi jika obat dijual di pasaran sebelum dilakukan uji klinis, dapat timbul efek samping yang belum terdeteksi (nonmaleficence juga dilanggar). Tindakan tersebut hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan tidak memiliki niat baik. 3. “Insan akademik dilarang menyesatkan pengetahuan pihak lain atau menimbulkan kekeliruan presepsi dalam berpikir, meskipun perbuatan itu berdasarkan alasan yang dianggapnya penting.”28 52 4. 5. 6. Dalam kehidupan akademik seringkali kita belajar secara berkelompok untuk memudahkan proses belajar. Contoh sederhana tampak ketika seorang insan akademik bertanya kepada temannya mengenai teori landasan diagnostik penyakit H. Karena merasa temannya adalah saingan, ia memberikan informasi yang salah secara sengaja. Hal itu melanggar etika KDB. Penyesatan ilmu pengetahuan melanggar prinsip KDB beneficence karena ia tidak berbuat baik terhadap sesama insan akademik. Dampak fatal jangka panjang yang dapat terjadi misalnya kesalahan cara diagnosis penyakit H di kemudian hari yang merupakan pelanggaran KDB non-maleficence secara tak langsung terhadap pasien sejawatnya. “Insan akademik dilarang bertindak angkuh dan sewenang-wenang, melakukan „kolusi‟ akademik dan melakukan tekanan fisik maupun mental kepada pihak lain.”28 Contoh ekstrem misalnya X mengetahui rahasia A yang memalukan dan X mengetahui bahwa A tidak ingin hal itu diketahui oleh teman-temannya karena takut dijauhi. X menggunakan informasi itu sebagai paksaan atau ancaman kepada A untuk setuju mengerjakan tugas si X (terjadi kolusi akademik). Tindakan di atas melanggar KDB justice sebab sebenarnya setiap insan akademik mendapatkan tugas yang sama sesuai dengan kurikulum yang berlaku. KDB beneficence juga jelas dilanggar sebab tidak ada niat baik sama sekali dalam perbuatan mengancam. Dalam contoh tersebut, X melakukan plagiarisme karena mengakui karya A sebagai karyanya sendiri. “Insan akademik dilarang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya, melakukan perbuatan curang, dan/atau mengkhianati tugas akademik dan profesinya.”28 Poin ini memiliki arti yang luas dan semuanya berhubungan dengan penerapan KDB beneficence dan non-maleficence. “Insan akademik wajib senantiasa menjaga kelestarian keutuhan keluarga, keharmonisan dan kesejahteraan keluarga, serta reputasi di masyarakat.”28 Pada akhirnya,dalam usaha manusia untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan diperlukan kesinambungan intra- dan antargenerasi. Dalam pencapaian tersebut, diperlukan sikap intelektual yang disertai dengan kejujuran, akan tetapi kejujuran yang diharapkan seringkali dinodai oleh tindakan plagiarisme. Baik plagiarisme tersebut dilakukan secara sengaja maupun tidak 53 disengaja, secara etik dari deontologi, egoisme etis, utilitarianisme, dan etika keutamaan, hal itu merupakan perbuatan salah. Perlu disadari bahwa dalam proses belajar, baik dalam keseharian maupun dalam bidang akademik, manusia dapat melakukan kekhilafan atau kesalahan. Semuanya merupakan proses belajar; pendidik dapat memberikan hukuman yang sesuai sebagai konsekuensi terhadap tindakan yang melanggar moral etik. Bagian terpenting dari pendidikan inilah yang akan membentuk pelajar menjadi seorang manusia yang lebih baik di kemudian hari. Daftar Pustaka 1. Integrity [homepage on internet]. Oxford: Oxford dictionaries; c2012 [updated not stated; cited 2012 Jul 22]. Available from: http://oxforddictionaries.com/definition/english/integrity. 2. Jones LR. Academic integrity & academic dishonesty: a handbook about cheating & plagiarism. Florida: Florida Institude of Technology; 2011. 3. The Fundamental Values of Academic Integrity [homepage on Internet]. Center for Academic Integrity; c1999 [cited 2012 Jul 23]. Available from: http://conduct.truman.edu/docs/AcademicIntegrity.pdf. 4. Academic integrity at fisher college: a brief guide. Massachusetts: The Center of Academic Integrity; c2012 [cited 2012 Jul 21]. Available from: http://www.fisher.edu/assets/downloads/academics/academic_integrity.pdf. 5. Academic integrity [homepage on the Internet]. Princeton: Office of the Dean of the College Princeton University; c2005-2011 [updated 2011 Aug; cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www.princeton.edu/pr/pub/integrity/pages/intro/index.htm. 6. Academic integrity and plagiarism [homepage on the Internet]. Illinois: University of Illinois at Urbana-Champaign; c2012 [cited 2012 Jul 23]. Available from: http://www.library.uiuc.edu/learn/research/academicintegrity.html. 7. Kistilensa, A. Ketidakjujuran akademis dalam ruang lingkup perguruan tinggi dan sekolah menengah atas. Universitas Kristen Maranatha. Bandung. 2009. Available from: http://www.scribd.com/doc/23863771/KetidakjujuranAkademis-dalam-Ruang-Lingkup-Perguruan-Tinggi-dan-Sekolah-MenengahAtas. [cited 2012 Jul 20] 54 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Academic integrity [homepage on the Internet]. Ottawa: Student Affairs of Carleton University; c2006-2012 [updated 2008 Jul 1; cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www1.carleton.ca/studentaffairs/academic-integrity/. Academic honesty [homepage on the Internet]. Claremont Graduate University Student Services; c2012 [cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www.cgu.edu/pages/1132.asp. Florida Institute of Technology. Academic Honesty [homepage on Internet]. Florida: Florida Institute of Technology; c2012 [cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www.fit.edu/current/documents/plagiarisme.pdf. Cook, R. Dow, J. Academic integrity a handbook for students. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology (MIT); 2011. Sastroasmoro S. Beberapa catatan tentang plagiarisme. Maj Kedokt Indon. 2007;57(8): 239-44. Academic Honesty Policy and Appeal Procedure [homepage on the Internet]. Massachusetts: Dean of Students Office University of Massachusetts Amherst; c2008-2011 [updated not stated; cited 2012 Jul 201]. Available from: http://www.umass.edu/dean_students/codeofconduct/acadhonesty/. Suryono IAS. Plagiarisme [powerpoint slide]. Available from: https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:dDukHL9VxzYJ:staff.ui.ac.id/ internal/130536781/material/PLAGIARISMEInter-LingualMA25-408.ppt+&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiYBhfmDc_oz_pjHDTqE3v uGbwDHM_C76lyOPN_w1jnU9ti9nwSpq1xVOpLwZmNt5fxo8ACeJTi1PMJblsTYWopeLyh-tHnD4SqcQHxZIHtTWEcF_tcEX1qr9Z9v2PICUcNE6&sig=AHIEtbTyHfw7AZyDdjytnzWMvlB_oD1NA [cited 2012 Aug 6]. Sunyoto. Menghindari plagiarisme dalam karya tulis [homepage on the Internet]. Available from: http://fkm.unsri.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=82: menghindari-plagiarisme-dalam-karya-tulis&catid=2:berita [cited 2012 Jul 23 Jul]. Sugiantoro H. Kejujuran mahasiswa [online newspaper article]. Suara Merdeka 2012 Feb 18 [cited 2012 Jul 28]. Available from: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/18/177507/ Kejujuran-Mahasiswa-. 55 17. Academic integrity [homepage on the Internet]. Princeton: Office of the Dean of the College Princeton University; c2005-2011 [updated 2011 Aug; cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www.princeton.edu/pr/pub/integrity/pages/intro/index.htm. 18. Harding TS, Carpenter DD, Finelli CJ, Passow HJ. Does academic dishonesty relate to unethical behavior in professional practice? an exploratory study. Sci and Eng Eth. 2004; 10(2): 1-14. 19. Martaadisoebrata D. Pengantar ke dunia profesi kedokteran. In: Aisah S, editor. Komunikasi dengan empati citra profesionalisme kedokteran. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2004. 20. The principle of beneficence in apllied ethics [homepage on the Internet]. c2008 [cited 2012 Aug]. Available from: http://plato.stanford.edu/entries/principle-beneficence. 21. Medical ethics [homepage on the Internet]. c2012 [cited 2012 Aug 7].Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics#Beneficence. 22. McCormick, Thomas. Principles of bioethics [homepage on the Internet]. c1998 [cited 2012 Aug]. Available from: http://depts.washington.edu/bioethx/tools/princpl.html#prin2. 23. Rainbow, Catherine. Description of ethical theories and principles [homepage on the Internet]. Davidson College; c2002 [cited 2012 Aug]. Available from: http://www.bio.davidson.edu/people/karbernd/indep/carainbow/Theories.htm. 24. Magee B. Memoar seorang filosof: pengembaraan di belantara filsafat. Jakarta: Mizan; 2006. 25. Bertens K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2011. 26. Keraf AS. Etika lingkungan hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas: 2003. 27. Salam HB. Etika sosial: asas moral dalam kehidupan manusia. Bandung: Penerbit Rineka Cipta; 1997. 28. Soeparto P, Hariadi R, Koeswadji HH, Daeng BH, Sukanto H, Atmodirono AH. Etik dan Hukum di bidang kesehatan: etik akademik. Jakarta: Airlangga University Press; 2006. 56 58 Refleksi Diri sebagai Salah Satu Cara Pengembangan Kemampuan Mawas Diri dan Belajar Sepanjang Hayat Diantha Soemantri “The hardest conviction to get into the mind of a beginner is that the education upon which he is engaged is not a college course, not a medical course, but a life course, for which the work of a few years under teachers is but a preparation” Sir William Osler (1897) Pendahuluan Masalah atau konflik yang timbul dalam praktik kedokteran, salah satunya dalam bentuk medical error, umumnya terjadi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan dokter.1 Oleh karena itu, dokter memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan kemampuannya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Walaupun tidak semua medical error disebabkan oleh kurang kompetennya dokter, usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi dokter akan berkontribusi terhadap turunnya jumlah medical error. Data Institute of Medicine2 menunjukkan sekitar 98.000 kasus medical error di Amerika Serikat sebenarnya dapat dicegah. Tugas dokter untuk senantiasa mengembangkan kemampuannya ini bukan hanya untuk memenuhi persyaratan badan atau institusi yang berwenang – misalnya dalam rangka program resertifikasi dokter – namun lebih dari itu. Penelitian telah membuktikan bahwa dokter harus terlibat dalam apa yang disebut dengan deliberate practice.3 Ericsson3 menekankan pentingnya keterlibatan dokter dalam usaha yang secara sengaja ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya (deliberate practice). Tanpa keterlibatan dalam suatu deliberate practice dan terbiasanya dokter dengan praktik sehari-hari,akan menyebabkan kemampuan dokter tersebut semakin lama semakin menurun. Misalnya, seorang dokter dapat dengan mudah mendiagnosis penyakit dengan gejala utama demam yang mengikuti pola tertentu, namun jika dihadapkan pada pola demam atau penyakit yang tidak biasa, maka seharusnya kasus tersebut memicu proses deliberate practice. Dokter tersebut dapat membuka literatur kembali, berdiskusi 59 dengan teman sejawat, bahkan meminta umpan balik dari atasan atau sejawatnya, untuk mengasah kemampuannya mendiagnosis berbagai jenis kasus klinis, baik yang lazim maupun yang jarang ditemui, secara tepat. Sebagai pertanggungjawaban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan juga terhadap dirinya sendiri sebagai seorang profesional, dokter perlu secara berkesinambungan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan dirinya melalui proses pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). Pembelajaran sepanjang hayat selama seorang dokter berpraktik sebagai dokter merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi karena beberapa alasan yang telah dijelaskan pada dua alinea di atas. Selain itu, seperti telah ditekankan oleh Osler 4 bahwa proses pendidikan di institusi pendidikan dokter hanyalah sebuah persiapan, yang harus dilanjutkan dengan proses pembelajaran sepanjang hayat pada saat seseorang telah lulus dari sebuah institusi pendidikan dokter. Agar seorang dokter memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk belajar sepanjang hayat, diperlukan suatu proses untuk memperkenalkan dan melatihkan konsep ini sejak masa pendidikan sebagai calon dokter. Mahasiswa perlu mengenal konsep mawas diri, belajar sepanjang hayat, deliberate practice dan refleksi diri, untuk kemudian secara sadar melatih kemampuan tersebut serta menyadari bahwa pengembangan kemampuan tersebut seharusnya berjalan bersamaan dengan pengembangan pengetahuan dan keterampilan bidang kedokteran. Sebuah langkah awal bagi mahasiswa kedokteran adalah terteranya mawas diri dan pengembangan diri sebagai salah satu dari sekian kompetensi yang harus dikuasai oleh dokter Indonesia secara eksplisit dalam dokumen Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 5 Salah satu cara untuk menanamkan kemampuan mawas diri dan belajar sepanjang hayat dalam dunia kedokteran adalah dengan melatih mahasiswa kedokteran untuk melakukan refleksi diri terhadap proses belajar, pengalaman dan pencapaiannya. Melalui refleksi diri, seseorang dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, dan kemudian menyusun sebuah rencana tindak lanjut yang sesuai, dengan tujuan utama untuk memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kemampuannya. Kemampuan refleksi diri ini nantinya diharapkan akan dibawa sampai pada praktiknya sehari-hari sebagai seorang dokter. Melalui refleksi diri seseorang akan dapat menjalankan proses belajar sepanjang hayat, untuk senantiasa meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya walaupun sudah tidak lagi duduk di bangku pendidikan formal. Selanjutnya konsep refleksi diri akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini. 60 Definisi Refleksi Diri Refleksi diri sesuai definisi Boud dan Keogh, 6 adalah “...a generic term for those intellectual and affective activities in which individuals engage to explore their experiences in order to lead to newunderstandings and appreciation”. Rayment et al7 menekankan bahwa refleksi diri bukan sekedar mendiskusikan pengalaman yang telah terjadi, namun merupakan analisis kritis terhadap pengalaman tersebut, meliputi apa yang telah terjadi, mengapa hal tersebut terjadi dan apa yang dapat dilakukan di masa mendatang untuk mencegah timbulnya hal serupa. Konsep refleksi diri dapat diterapkan pada berbagai konteks, mulai dari pendidikan sampai dunia kerja. Hinett8 menjabarkan bahwa refleksi diri dalam proses dan pengalaman belajar dapat membantu peserta didik untuk mengetahui apa yang telah mereka tahu dan pahami, mengidentifikasi apa yang mereka perlukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu subjek pengetahuan, memahami pengetahuan baru tersebut dan menetapkan rencana pembelajaran selanjutnya. Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa refleksi diri dimulai dari adanya pengalaman, baik itu pengalaman kerja, belajar, berorganisasi dan sebagainya. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara aktif, kritis dan sadar oleh individu yang menjalani pengalaman tersebut. Proses refleksi diri tidak hanya melibatkan komponen intelektual atau kognitif, tetapi juga komponen afektif. Hasil refleksi diri ini adalah pemahaman baru yang dapat diterapkan pada kondisi serupa di masa mendatang. Komponen Refleksi Diri Merujuk pada definisi refleksi diri dari Boud & Keogh, 6 terlihat bahwa refleksi diri melibatkan komponen intelektual (kognitif) dan afektif. Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang mendasari sebuah refleksi diri yang baik. Tanpa kemampuan berpikir secara analitik dan kritis, seseorang akan menghadapi kesulitan untuk menyusun sebuah refleksi diri yang tajam dan sistematis. Selain kemampuan intelektual untuk berpikir kritis dan sistematis, komponen afektif juga memegang peranan penting dalam mewujudkan refleksi diri yang baik. 61 Sikap keterbukaan merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki jika ingin menghasilkan refleksi diri yang baik, karena proses tersebut akan „memaksa‟ seseorang untuk melihat kembali pengalaman yang mungkin kurang menyenangkan. Sikap keterbukaan ini juga diperlukan untuk memampukan individu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan masalah (action plan) yang mampu laksana. Selain itu, seseorang sebaiknya memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar untuk menggali makna sebuah pengalaman sedalam-dalamnya. Schon9 dalam bukunya The Reflective Practitioners: how professionals think in action membedakan dua proses refleksi diri. Pertama adalah reflection-inaction, dimana individu melakukan refleksi diri terhadap suatu pengalaman atau kejadian pada saat kejadian tersebut masih atau sedang berlangsung. Sedangkan, yang kedua yaitu reflection-on-action adalah proses refleksi diri yang dilakukan setelah suatu kejadian berlangsung. Kedua bentuk refleksi diri ini penting dan saling berhubungan. Kebiasaan melakukan reflection-on-action terhadap suatu pengalaman atau kejadian yang signifikan akan memampukan individu melakukan refleksi diri pada saat masalah masih berlangsung, sehingga masalah tersebut dapat ditangani saat itu juga. Seperti pada contoh yang telah disajikan pada bagian pendahuluan, seorang dokter yang menemui kesulitan karena kasus yang dihadapinya memiliki gejala dan tanda yang tidak mengikuti pola yang seharusnya, maka sebaiknya setelah menghadapi kasus ini, dokter tersebut dapat melakukan reflection-onaction. Reflection-on-action ini berguna untuk menyelami apa yang telah terjadi, mengidentifikasi mengapa kasus tersebut tidak mudah untuk didiagnosis, apa pengetahuan dan keterampilan yang kurang dikuasai, dst. Setelah reflection-onaction dilakukan, akan terbentuk pemahaman atau pola pikir baru pada dokter tersebut. Jika kemudian dihadapkan pada kasus serupa, dokter dapat langsung melakukan reflection-in-action pada saat itu juga dan menerapkan pola pikir baru yang telah dihasilkan melalui proses reflection-on-action. Pentingnya keberadaan reflective practitioners ini seringkali dikaitkan dengan keharusan mengedepankan konsep dan prinsip patient safety dalam praktik pelayanan kesehatan sehari-hari.10 Skema Refleksi Diri Berbagai penulis telah menyusun skema atau tahap untuk membantu individu melakukan sebuah refleksi diri. Berbagai skema tersebut akan dijelaskan 62 pada bagian di bawah ini, namun secara umum, skema-skema tersebut dikembangkan berdasarkan proses dasar refleksi diri yang berusaha menjawab 3 komponen pertanyaan Boud et al11 seperti tersaji pada Gambar 1. What happened? How did it happen? What have you learned and what changed? Gambar 1. Tahap refleksi diri 11 Komponen pertama berhubungan dengan deskripsi pengalaman atau kejadian yang hendak direfleksikan. Pengalaman perlu dijabarkan secara mendetil, deskriptif dan sistematis, tanpa melupakan perasaan yang terlibat pada saat menjalani pengalaman tersebut. Umumnya pengalaman atau kejadian yang direfleksikan adalah sesuatu yang kompleks dan memiliki makna signifikan atau kesan mendalam bagi individu tersebut. Dengan demikian, menjabarkan perasaan yang dialami menjadi satu butir refleksi diri yang penting. Pada tahap berikutnya individu mencoba mengeksplorasi pengalaman tersebut untuk mencari tahu penyebab yang paling mungkin. Tanpa deskripsi pengalaman yang detil dan sistematis, seseorang akan sulit untuk sampai pada eksplorasi pengalaman yang cukup mendalam. Proses selanjutnya adalah menarik kesimpulan mengenai apa yang telah dipelajari (lessons learned) dan apa yang masih perlu dipelajari (learning issues/needs). Selain itu, pada tahap terakhir ini, individu seharusnya telah memperoleh pemahaman baru berdasarkan eksplorasi terhadap pengalamannya, dan juga siap mengimplementasi rencana tindak lanjut (action plan) yang bermanfaat untuk memenuhi learning needs yang telah diidentifikasi. Raw et al12 menyusun skema refleksi diri yang dimulai dengan membangkitkan kesadaran, melalui proses menanyakan kepada diri sendiri, apakah kejadian yang terjadi ini sudah tepat, atau mungkin saya dapat melakukannya dengan lebih baik. Setelah itu proses dilanjutkan dengan analisis kritis terhadap situasi atau pengalaman tersebut yang pada akhirnya menghasilkan perspektif baru 63 terhadap sebuah kejadian. Rayment et al7 juga mengembangkan sebuah panduan untuk mendukung refleksi diri yang dinamakan IDEA. Panduan itu terdiri atas empat komponen, sebagai berikut: 1. I – Identifikasi kejadian atau situasi yang telah menimbulkan perasaan atau pikiran kurang nyaman 2. D – Deskripsi situasi atau kejadian tersebut - Apa yang terjadi? - Siapa yang terlibat? - Apa yang diharapkan pada saat itu? - dst 3. E – Evaluasi situasi atau kejadian tersebut - Apa perasaan dan pikiran yang terlibat pada saat itu? - Apa yang dirasakan dan dipikirkan setelahnya? - Mengapa perasaan dan pikiran tersebut muncul? - Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ini? - dst 4. A – Analisis isu pembelajaran yang muncul - Apakah yang sudah saya pelajari dari kejadian tersebut? - Apakah yang belum saya ketahui? - Apakah yang harus saya lakukan selanjutnya? - Rencana tindak lanjut seperti apa yang sesuai? - dst Salah satu skema yang juga cukup menarik dan bermanfaat untuk membimbing proses refleksi diri adalah self-regulated learning microanalytic assessment and training (SRL-MAT).13 Skema itu pertama kali ditujukan untuk membantu staf pengajar menstimulasi proses refleksi diri peserta didik, khususnya dalam konteks pendidikan dokter. Skema tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh peserta didik itu sendiri dalam tahap-tahap proses refleksi dirinya. Pertanyaan dalam SRL-MAT dapat digunakan untuk membantu individu mengetahui penyebab suatu kejadian, kekurangan dan kelemahan individu tersebut, dan apa 64 yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan dan keterampilan yang ada. Berikut ini disajikan beberapa contoh pertanyaan dalam skema SRL-MAT:13 - Apakah pendekatan yang anda gunakan sejauh ini sudah sesuai? - Apakah anda merasa melakukan kesalahan yang spesifik? - Apa yang menjadi alasan utama kesuksesan atau kegagalan anda? - Apakah yang harus anda lakukan untuk meraih kesuksesan di masa mendatang? Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa refleksi diri merupakan perilaku aktif dan sadar untuk mengeksplorasi pengalaman lalu dalam rangka memperoleh perspektif baru. Refleksi diri seharusnya tidak terjadi hanya di dalam pikiran seseorang, namun perlu dituangkan menjadi suatu bentuk yang sifatnya nyata. Dalam konteks pendidikan dokter khususnya, refleksi diri seharusnya menjadi sebuah kegiatan formal yang menghasilkan „bukti‟ refleksi diri dalam bentuk seperti critical incident journal, learning log, learning portfolio, reflective diary dan lain sebagainya.9 Selain dalam bentuk tertulis, refleksi diri juga dapat terjadi dalam proses reflective discussion atau dialog reflektif yang dapat berlangsung antara peserta didik dengan staf pendidik/pengajar, maupun antara sesama peserta didik (peer reflective discussion). Skema refleksi diri yang diterapkan dalam reflective discussion tidak berbeda dengan yang digunakan untuk refleksi diri tertulis. Saat ini penelitian dalam bidang pendidikan kedokteran memang umumnya memiliki fokus terhadap refleksi diri yang diungkapkan melalui tulisan atau dialog reflektif, namun sebenarnya tidak tertutup kemungkinan bahwa di kemudian hari dapat dikembangkan refleksi diri yang diekspresikan melalui video, gambar dan berbagai media komunikasi lain. Refleksi diri dalam dunia pendidikan merupakan salah satu aktivitas akademis. Walaupun salah satu isi dalam refleksi diri adalah deskripsi pengalaman pribadi, refleksi diri tertulis (dalam bentuk naskah refleksi diri) perlu disusun dengan tetap memperhatikan berbagai aspek akademik, antara lain kejujuran, orisinalitas, akurasi data yang disampaikan serta penggunaan bahasa yang benar. Naskah refleksi diri sebaiknya disusun setelah melalui proses refleksi diri yang sebenarnya, bukan karena sekedar ingin menghasilkan sebuah tulisan yang bagus. Selain itu, refleksi diri adalah buah pemikiran pribadi seseorang, sehingga walaupun pengalaman yang direfleksikan sama, naskah refleksi diri yang 65 dihasilkan seharusnya tidak sama antara dua orang atau lebih yang menjalani pengalaman tersebut. Setiap individu tentunya memiliki perspektif, lessons learned, learning issues dan action plan masing-masing. Tips: Langkah-Langkah Melakukan Refleksi Diri 1. Pilih satu pengalaman, kejadian atau insiden yang bermakna (sertakan bukti yang mendukung pengalaman tersebut, misalnya makalah, kuesioner, nilai ujian, dsb) 2. Eksplorasi pengalaman/kejadian/insiden tersebut menggunakan salah satu dari berbagai kerangka yang ada, misalnya kerangka dari Boud, Keogh & Walker (1996), atau Rayment, Wale & Hicks (2011), dsb. 3. Cari konfirmasi dari sumber lain (guru, teman, literatur, dsb) yang akan meningkatkan/mendukung akurasi anda dalam melakukan refleksi diri 4. Jika memungkinkan, akan lebih baik lagi apabila naskah refleksi diri kemudian didiskusikan dengan pembimbing untuk memperoleh umpan balik yang konstruktif Manfaat Melakukan Refleksi Diri Secara implisit, melalui serangkaian uraian di atas telah dinyatakan manfaat refleksi diri. Refleksi diri ditujukan untuk membantu seseorang dalam mengeksplorasi pengalamannya sehingga dapat diperoleh pemahaman dan perspektif baru. Pengalaman dapat menjadi sumber pembelajaran yang sangat kaya apabila telah diterapkan proses refleksi diri yang tepat terhadap pengalaman tersebut. Refleksi diri juga melatih kemampuan berpikir kritis, analitik dan sistematis. Tanpa deskripsi pengalaman yang sistematis, sulit bagi individu untuk mengeksplorasi pengalaman tersebut secara kritis. Tanpa eksplorasi pengalaman atau kejadian yang sistematis dan kritis, tidak dapat diperoleh lessons learned dan learning needs yang bermakna, dan selanjutnya tidak dapat diformulasikan suatu rencana tindak lanjut yang sistematis dan spesifik. Manfaat lain refleksi diri adalah melatih sikap keterbukaan dan mawas diri. Melalui kebiasaan melakukan refleksi diri, individu diharapkan menjadi lebih mawas diri dan mampu menilai dirinya sendiri dengan lebih baik. Kruger & Dunning14 menyatakan bahwa secara umum, seseorang tidak dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri secara cukup akurat. Seseorang yang pandai cenderung akan menilai dirinya sendiri lebih rendah, sedangkan seseorang yang 66 kurang pintar akan merasa dirinya lebih baik jika dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya. Kenyataan ini perlu menjadi perhatian penting dalam proses refleksi diri. Refleksi diri memerlukan bukti eksternal atau dukungan dari pihak lain, 15 artinya dalam melakukan refleksi diri, seseorang perlu mencari masukan atau konfirmasi dari sumber lain, misalnya berupa sumber bacaan (literatur) tertentu, data objektif, atau dalam bentuk umpan balik dari tutor, teman sejawat, pasien, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akurasi hasil refleksi diri. Dalam konteks pendidikan dokter, refleksi diri diharapkan dapat melatih kemampuan mahasiswa kedokteran dalam mengenali kelemahan dan kekuatan dirinya, mengidentifikasi isu pembelajaran yang harus dikuasai lebih jauh serta menyusun rencana pembelajaran yang spesifik, sistematis dan mampu laksana. Kemampuan ini diharapkan dapat dipraktikkan pada saat telah menjadi dokter, khususnya pada saat menghadapi kasus atau masalah yang sulit dan kompleks. Dokter diharapkan dapat menyusun rencana pengembangan diri yang sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut seharusnya dapat diidentifikasi melalui refleksi diri yang kritis dan akurat. Proses refleksi diri dalam masa pendidikan menjadikan seorang peserta didik sebagai reflective learner dan pada saat telah menjalani dunia profesional, dia akan menjadi seorang reflective practitioner. Faktor-faktor yang Dapat Menghambat Refleksi Diri Refleksi diri bukanlah sebuah proses yang bebas hambatan. Penelitian Pee et al16 serta Platzer et al17 berhasil mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadi penghambat dilakukannya refleksi diri yang akurat. Faktor penghambat tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal dari individu yang sedang melakukan refleksi diri. Kurangnya pengetahuan mengenai konsep dan proses refleksi diri menjadi salah satu faktor. Tidak pahamnya peserta didik mengenai manfaat yang dapat diperoleh melalui refleksi diri menjadi salah satu penyebab kurangnya komitmen peserta didik dalam melakukan refleksi diri. Komponen afektif juga dapat menjadi penghambat refleksi diri. Seorang peserta didik dapat saja merasa tidak nyaman untuk merefleksikan pengalamannya, karena jika refleksi diri dilakukan dengan tepat, maka kekurangannya akan terekspos. Lebih jauh lagi jika refleksi dilakukan dalam konteks reflective discussion, keberadaan orang lain, baik itu tutor maupun teman, dapat menjadikan seseorang semakin menutup diri. Kurangnya waktu untuk melakukan refleksi diri juga menjadi salah satu penyebab. Beban tugas atau pekerjaan lain dapat menyebabkan seseorang merasa 67 bahwa refleksi diri adalah kegiatan yang membuang-buang waktu. Oleh karena itu, khususnya dalam konteks pendidikan dokter, ada baiknya jika refleksi diri dijadikan salah satu kegiatan pembelajaran yang terstruktur dan menjadi bagian dari kurikulum. Pengaturan seperti ini diharapkan dapat membuat, baik staf pengajar maupun mahasiswa, paham mengenai kepentingan refleksi diri. Jika institusi dan pengelola pendidikan dokter menekankan pentingnya refleksi diri, maka perlahan-lahan akan terbentuk kultur dan sistem pendidikan yang membiasakan seseorang untuk merefleksikan pengalaman dan kejadian yang signifikan secara kritis agar diperoleh pengetahuan dan perspektif baru. Proses refleksi diri ini tidak terbatas pada peserta didik, namun harus diterapkan juga oleh staf pengajar, misalnya dalam merefleksikan pengalaman mengajar, ataupun oleh pimpinan unit pendidikan, misalnya dalam melihat kembali kemampuan kepemimpinannya. Pengelola pendidikan perlu menyusun sebuah sistem sedemikian rupa untuk membantu mahasiswanya melatih kemampuan refleksi dirinya dan meminimalisasi faktor-faktor penghambat yang mungkin muncul. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melengkapi staf pengajar dengan pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan refleksi diri, sekaligus kemampuan untuk memberikan umpan balik konstruktif terhadap refleksi diri mahasiswa. Mahasiswa harus memperoleh panduan yang memadai dan memahami aturan main dalam pelaksanaan proses refleksi diri. Uraian hak dan kewajiban yang jelas sangat penting agar refleksi diri memberikan manfaat baik untuk mahasiswa maupun pengelola pendidikan. Selain itu mahasiswa juga harus memiliki keyakinan bahwa naskah refleksi diri mereka tidak akan jatuh ke tangan yang tidak berhak dan disalahgunakan. Hal tersebut diharapkan akan membuat mereka lebih leluasa dalam merefleksikan suatu pengalaman atau kejadian. Simpulan Refleksi diri merupakan bagian dari pengembangan kemampuan mawas diri dan belajar sepanjang hayat. Refleksi diri merupakan sebuah keterampilan yang harus dilatihkan. Staf pengajar maupun peserta didik perlu terlibat dalam proses refleksi diri yang berkelanjutan. Komitmen dan pemahaman mengenai manfaat refleksi diri menjadi titik awal penting untuk keberhasilan penerapan refleksi diri, khususnya dalam konteks pendidikan dokter. Keberhasilan menjadi 68 seorang calon dokter yang reflektif diharapkan dapat dibawa terus sampai pada dunia pekerjaan dan menjadi seorang dokter atau praktisi yang reflektif. Daftar Pustaka 1. Kato H. Maintaining safety management in the field of surgery. Nihon Geka Gakkai Zasshi.2002;103(3):314-7. 2. Institute of Medicine. To err is human: building a safer health system. Washington DC:The National Academies Press;1999. 3. Ericsson KA. Deliberate practice and the acquisition and maintenance of expert performance in medicine and related domains. Academic Medicine. 2004;79(10):S70-82. 4. Osler S. Evolution of modern medicine.New Heaven: Yale University Press; 1921. 5. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia;2006. 6. Boud D, Keogh R.Reflection: turning experience into learning. London: Kogan; 1985. 7. Rayment C, Hicks F, Wale J. On behalf of SAC in palliative medicine: guidance notes for trainee and trainer in palliative medicine for the record of reflective practice. London:Joint Royal Colleges of Physicians Training Board; 2011. 8. Hinett K. Developing reflective practice in legal education. Warwick: Warwick Printing Company Ltd; 2002. 9. Schon DA. The reflective practitioner: how professionals think in action. New York: Basic Books Inc;1991. 10. World Health Organization. WHO patient safety curriculum guide for medical schools. Geneva: WHO Press; 2009. 11. Boud D, Keogh R,Walker D.Reflection: turning experience into learning. London: Kogan Page; 1996. 12. Raw J, Brigden D, Gupta R. Reflective diaries in medical practices. Reflective Practice. 2005;6(1):165-9. 13. Artino AR, Cleary TJ, Durning SJ, Hemmer P, Kokotailo P, Sandars J. Perspective: viewing “strugglers” through a different lens: how a self- 69 14. 15. 16. 17. 70 regulated learning perspective can help medical educators with assessment and remediation. Academic Medicine.2011;86:488-95. Dunning D, Kruger J. Unskilled and unaware of it: how difficulties in recognizing one's own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology. 1999;77: 1121-34. Thompson N, Thompson S. The critically reflective practitioner.New York: Palgrave Macmillan; 2008. Pee B, Davenport ES, Fry H, Woodman T. Practice-based learning: views on the development of a reflective learning tool. Medical Education. 2000;34:754-61. Platzer H, Ashford D, Blake D. Barriers to learning from reflection: a study of the use of group work with post-registration nurses. Journal of Advanced Nursing. 2000;31(5):1001-8. 72 Naskah Refleksi Diri Anton Dharma Saputra Saat saya menjalani pendidikan di FKUI, pengalaman yang paling berkesan adalah ketika menjalani kepaniteraan modul geriatri. Pengalaman tersebut meyakinkan saya akan pentingnya komunikasi efektif untuk mendapatkan rasa percaya pasien sehingga mau terbuka kepada dokternya. Saat itu, saya mendapat pasien perempuan berusia 72 tahun dengan keluhan utama muntah darah berwarna merah kehitaman. Pasien geriatri memiliki banyak masalah sehingga perlu dilakukan pemeriksaan fisik, status mental dan fungsional secara teliti yang dilanjutkan dengan pendekatan secara holistik untuk mencapai kesehatan optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan rasa percaya agar pasien mau menceritakan masalahnya dan bersedia diperiksa. Saat pertama kali bertemu, pasien tidak mau bercerita banyak. Setiap pertanyaan yang saya ajukan hanya dijawab seadanya. Bahkan setelah beberapa pertanyaan pasien berkata “Maaf dok, saya sudah diperiksa sama dokter yang perempuan, kok diperiksa lagi?” Saya pun langsung menyadari bahwa pendekatan saya salah karena dari awal hanya menanyakan data yang saya butuhkan dan bukan membuat pendekatan sesuai kebutuhan pasien. Hal tersebut mengingatkan saya saat ujian pasien di modul psikiatri. Saat itu saya mendapat teguran karena terlalu banyak menanyakan data anamnesis yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis tanpa memberikan kesempatan pada pasien untuk berbicara. Selain itu saya juga merasa pasien psikiatri yang memiliki pekerjaan seorang apoteker tersebut menilai saya kurang pintar, karena pengetahuan saya mengenai obat psikotropika di bawah pasien. Setelah mendapatkan teguran, saya menanyakan dalam hati apakah teguran yang disampaikan oleh konsulen itu benar? Saya mencoba melihat kembali kemampuan saya dalam berkomunikasi menggunakan bantuan teman yang sudah saya kenal sejak SMA. Setelah mengobservasi saat saya melakukan anamnesis pada pasien psikiatri di bangsal, teman saya mengatakan bahwa saya berbicara terlalu cepat sehingga menyebabkan pasien tidak sempat untuk bertanya. Selain itu dalam menganamnesis saya juga kurang melakukan refleksi perasaan dan refleksi isi. Saya melihat bahwa kemampuan saya dalam berkomunikasi masih kurang dan saya menyadari bahwa saya harus belajar lebih jauh dalam berkomunikasi. 73 Saya pun mulai membaca buku-buku mengenai komunikasi tulisan psikolog Dale Carnegie. Dari buku tersebut saya mempelajari bahwa dasar komunikasi adalah mendengarkan, sehingga saya menyadari bahwa komunikasi yang baik haruslah bersifat dua arah. Saya harus mulai belajar untuk mendengarkan aktif terhadap masalah pasien dan berusaha membantu semampu saya. Pelajaran penting lainnya adalah kadang-kadang terdapat pasien yang berpendidikan lebih tinggi/sama dengan kita, sehingga sejak saat itu saya selalu mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan pasien. Belajar dari pengalaman tersebut, saya jelaskan kepada pasien geriatri tersebut bahwa dokter perempuan yang ditemui sebelumnya adalah dokter residen, sedangkan saya adalah dokter muda yang dalam masa pendidikan dan pengetahuannya masih kurang jika dibandingkan dengan dokter residen. Akhirnya dengan modal dasar kejujuran saya berhasil membina hubungan dengan pasien. Pasien geriatri ini memiliki latar belakang pendidikan bidan, sehingga pertanyaan yang diajukan sekitar keluhan penyakit yang dideritanya yaitu sirosis hepatis. Setelah berhasil membina hubungan, pasien menjadi terbuka sehingga mau menyampaikan masalah keluarga. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan daftar masalah penyakit sirosis hepatis, pneumonia, katarak dan depresi. Penyakit itu juga menimbulkan komplikasi berupa hematemesis melena, ensefalopati, asites, anemia dan sepsis yang menyebabkan malnutrisi, depresi, dan bergantung pada pelaku rawat. Dalam melakukan pemeriksaan, seringkali pasien bertanya kondisi penyakitnya dan menyampaikan harapannya untuk sembuh total. Pasien juga menanyakan mengenai perutnya yang semakin membuncit dan tegang sambil menitikkan air mata ketika menyampaikan kekuatirannya bahwa perutnya serasa akan meledak. Saya berusaha menjelaskan bahwa dinding perut tidak akan meledak karena memiliki elastisitas yang cukup. Selain itu dijelaskan dapat timbul komplikasi terburuk yang dapat menyebabkan kematian yakni spontaneous bacterial peritonitis. Meskipun demikian, pasien tidak perlu kuatir karena telah diberikan antibiotik profilaksis. Banyaknya masalah pasien menyebabkan obat yang diberikan juga banyak. Hal tersebut dapat menimbulkan interaksi obat. Dengan demikian obat harus diresepkan secara seksama. Setelah mendengar penjelasan tersebut, pasien semakin terbuka dan mau menerima kunjungan dengan senang hati selama rotasi saya di modul geriatri. 74 Bahkan untuk mendapatkan data sensitif pun pasien bersedia bercerita setelah dijelaskan bahwa data tersebut diperlukan untuk menyusun naskah ujian saya. Pertemuan ini memberikan pelajaran dalam bersikap dan berkomunikasi dengan pasien lanjut usia dan keluarganya. Saya menyadari pasien akan jauh lebih terbuka jika kita peduli dan mau memberikan edukasi ataupun berbagi ilmu dengan pasien. Untuk mengasah keterampilan tersebut diperlukan teknik komunikasi efektif yang tidak didapat begitu saja, melainkan harus dilatih secara terus menerus dan dipraktikkan dengan banyak orang. Hal tersebut mendorong saya untuk terus berpartisipasi dalam bakti sosial yang diadakan oleh angkatan maupun organisasi yang saya ikuti. Saya juga tidak akan menolak jika diberikan kesempatan menjadi pembicara dalam suatu kegiatan. Pengalaman tersebut akan membuat saya dapat bertemu dengan banyak orang yang memiliki pribadi dan sifat yang berbeda yang tentu saja dapat melatih kemampuan berkomunikasi dengan banyak orang. Menjelang ujian akhir menjadi dokter umum membuat saya merenung. Bagaimana cara menjadi dokter yang baik? Saya pernah mendengar bahwa menjadi dokter yang baik hanya memerlukan dua hal, yakni rasa sayang terhadap pasien dan rasa ingin tahu yang besar. Rasa sayang akan memunculkan empati pada sikap dan tindakan sehingga dapat terjalin komunikasi dan hubungan yang baik. Rasa ingin tahu akan menjadi akar dalam pendekatan diagnosis dan tatalaksana berbasis bukti. 75 76