E. MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH Dalam kertas kerjanya yang berjudul Models of Public Sphere in Political Philosophy, Gürcan Koçan (2008:5-9) mengidentifikasi beberapa tokoh filosof yang mencoba mendefinisikan ruang publik (public sphere). Filosof pertama yang mendefinsikan ruang publik adalah Aristoteles. Menurut Aristoteles, ruang publik digambarkan sebagai kehidupan publik yang terbentuk melalui pengaturan dalam suatu spasial-temporal di mana warga negara secara setara berkumpul untuk mendialogkan hal-hal yang menjadi perhatian bersama warga kota (polis). Kemudian Hannah Arendt mengungkapkan bahwa gagasan ruang publik pada dasarnya merupakan suatu arena yang dapat terakses oleh seluruh warga. Fungsi utama dari ruang publik bukanlah untuk membentuk konsensus rasional kritis dan opini melalui dialog. Namun demikian, ruang publik merupakan ruang otonom bagi setiap pribadi warga negara yang memiliki semangat untuk berkompetisi dan berpikir kritis (rasional) dalam merumuskan kebajikan bersama. Ruang publik menjadi arena kontestasi diskursif yang mendasari terbentuknya ruang sosial dan politik yang dinamis di mana individu yang mewakili berbagai tradisi dan perspektif saling bertemu dan berargumen. Filosof selanjutnya yang mendefinisikan ruang publik adalah Jurgen Habermas. Menurut penjelasannya ruang publik memiliki beragam makna dan konotasi. Pertama, ruang publik menggambarkan keotonomian yang muncul pada masyarakat sipil yang membedakannya dengan negara. Definisi ini mengasumsikan adanya perbedaan yang jelas antara yang pribadi dan yang publik. Kedua, ruang publik merupakan semacam interaksi komunikasi publik dengan pertimbangan yang ditujukan pada keputusan maupun pendapat. Ketiga, ruang publik dilihat sebagai suatu fungsi dari struktur, institusi, dan pelaku. Dengan kata lain, struktur sosial dan ekonomi itu sendiri yang menjadi alasan utama bagi pengembangan dan berlakunya ruang publik. Berdasarkan hal tersebut maka ruang publik pada prinsipnya dapat diakses dan terbuka untuk semua dan dipastikan setiap warga negara yang memiliki kemampuan yang sama dapat berpartisipasi dalam debat publik serta mengekspresikan pendapat mereka. Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh 99 F. Budi Hardiman (2010:10-13) mendeskripsikan lebih jauh pandangan Habermas bahwa ruang publik merupakan ruang yang memungkinkan para warganegara secara bebas menyatakan sikap mereka. Ruang publik menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warganegara mempergunakan kekuatan argumentasi. Oleh karena itu, ruang publik dapat diakses oleh semua orang dan bercirikan terbuka serta inklusif maka ruang publik menjadi bersifat politis. Ruang publik politis hidup dan bertumbuh dari hubungan-hubungan saling pengertian secara intersubjektif di antara para warganegara.Ruang publik politis terdapat di mana saja sehingga para warganegara dapat bertemu untuk mendiskusikan tematema yang relevan untuk masyarakat. Ruang publik politis hidup dan tumbuh dari hubungan-hubungan saling pengertian secara intersubjektif di antara para warganega yang berlangsung dalam bahasa sehari-hari, yakni dari tindakan komunikatif. Dalam ruang publik yang politis maka kepentingan-kepentingan yang menjadi diskursus adalah kepentingankepentingan yang bisa diuniversalkan atau persoalan-persoalan normatif tentang keadilan bukan persoalan-persoalan yang bersumber pada kepentingan primordial. Dalam ruang publik, kelompok anak semestinya dipandang sebagai bagian dari warga negara (children as citizenship) yang memiliki hak-hak yang setara dengan warga negara yang lain. Namun seringkali, dalam kehidupan bernegara anak-anak dianggap bukan sebagai aktor sosial yang memiliki kompetensi politik sehingga anak-anak tidak dibukakan akses dan kesempatan untuk berperan dalam kehidupan bernegara. Partisipasi anak sebagai warga negara dalam ruang publik berada pada 2 (dua) ranah relasi sekaligus yakni, ranah masyarakat sipil dan ranah negara. Menurut Ruth Lister (2007: 694-695), untuk dapat memahami permasalahan kewarganegaraan anak maka harus berangkat dari pemahaman bahwa permasalahan kewarganegaraan tidak hanya terkait dengan hak-hak hukum semata, namun juga terkait dengan proses sosial sebagai upaya bagi individu dan kelompok sosial terlibat dalam mengklaim, memperluas atau kehilangan hak. Dengan mengutip Isin dan Turner, Ruth Lister menyatakan teori kontemporer yang membangun konstruksi kewarganegaraan penekanannya tidak hanya pada ruang lingkup aturan hukum namun juga meliputi ruang lingkup norma, praktik, makna, dan identitas. Kemudian Ruth Lister juga mengacu perspektif feminis yang diungkapkan oleh Werbner dan Yuval-Davis untuk mendefinisikan kewarganegaraan bahwa kewarganegaraan tidak lagi dipahami hanya dalam hal hubungan formal antara individu dan tetapi sebagai hubungan yang lebih total misalnya mengenai permasalahan posisi sosial, asumsi budaya, praktik-praktik kelembagaan dan rasa memiliki. Dengan kata lain, kewarganegaraan menyangkut permasalahan hubungan antara warga 100 Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh negara, yakni suatu konstruksi dinamis sebagai upaya membuka percakapan antara kewargaan dalam lingkup kewargaan sebagai status hukum dan kewarganegaraan sebagai praktik sosial-politik. Sementara dari perspektif sosiologis, Ruth Lister menegaskan bahwa sosiologi kontemporer juga mengkonstruksikan anak sebagai aktor (pelaku) sosial dengan beragam derajat kompetensi. Pandangan ini membuka suatu pengakuan bahwa anak-anak sebagai warga negara yang aktif sehingga mereka tidak hanya menjadi obyek kebijakan dan praktik orang dewasa. Dalam kaitan ini, berdasarkan pandangan Habermas maka wilayah Aceh semestinya tidak hanya dimaknai sebagai ruang administrasi kewilayahan semata, namun wilayah Aceh seharusnya dimaknai sebagai ruang yang mewadahi realitas yang dinamis bagi seluruh elemen masyarakat dalam bermasyarakat. Dengan kata lain, wilayah Aceh menjadi ruang publik yang dapat mewadahi beragam isu-isu yang terkait dengan urusanurusan publik. Masa depan Aceh semestinya menjadi wilayah dialektika intersubyektif sehingga terdapat titik-titik temu antargenerasi tentang gambaran masa depan Aceh. Masa depan Aceh harus menjadi urusan politik bersama sehingga kehendak-kehendak yang bersifat primordial, sektarian, dan partikular dapat dihindari. Artinya, masa depan Aceh bukan lagi menjadi wilayah prapolitik melainkan wilayah politik. Selain itu, partisipasi anak-anak dalam perencanaan masa depan Aceh akan menambahkan pemahaman mengenai fenomena politik terkait dengan adanya hubungan antargenerasi antara orang dewasa dan anak-anak. Oleh karena itu, untuk mempertimbangkan partisipasi anak dalam ruang publik maka perlu untuk mempertimbangkan pengaruh struktural sosial dan politik yang ada di sekitarnya. Oleh karena model-model aturan yang ada selalu dikembangkan oleh orang-orang dewasa maka seringkali menampilkan diri sebagai struktur yang jusru mewakili kepentingan orang dewasa sehingga menghambat penciptaan ruang yang didedikasikan untuk partisipasi anak. Lebih jauh menurut Manuel Jacinto Sarmento, Natália Fernandes Soares dan Catarina Tomás dengan mengutip Louise Chawla (1997:7), dalam konteks perencanaan ruang pada setiap proses pengambilan keputusan pada institusi atau organisasi lingkup publik seringkali dikelilingi oleh hambatan yang berhubungan bahasa teknokratis dan gaya negosiasi sehinga tidak menganggap masuk akal atau dimasukkannya suara anak-anak dalam proses-proses perencanaan tersebut. Dengan kata lain, kemungkinan anak-anak untuk berpartisipasi dalam ruang publik hampir tidak ada kecuali dilakukan transformasi tatanan struktur politik dan sosial yang secara khusus didedikasikan untuk kepentingan anak. Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh 101 Menurut Communication for Governance & Accountability Program Bank Dunia (tanpa tahun: 7) yang mengacu pandangan Odugbemi, pada prinsipnya fungsi ruang publik demokratis bertumpu pada 5 (lima) pilar sebagai berikut: 1. Kebebasan Sipil Dijamin Adalah Konstitusi Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul sebagai bagian dari hak-hak sipil harus diatur dalam konstitusi. Negara harus menjamin kebebasan sipil dasar seperti telah dijamin dalam Deklarasi Universal HAM dan instrumen hukum HAM internasional lainnya; 2. Kebebasan, Plural, dan Sistem Media Yang Merdeka Tidak di Bawah Kontrol Negara Sistem media sering dilihat sebagai institusi utama ruang publik. Media harus menjamin akses dan suara yang sama kepada warga dan independen dari kepentingan politik dan korporasi; 3. Akses ke Informasi Publik Akses ini termasuk undang-undang kebebasan informasi dan budaya transparansi dan keterbukaan. Namun, perangkat hukum tersebut perlu dilengkapi dengan budaya yang kondusif untuk keterbukaan dan penyelidikan. 4. Masyarakat Sipil Sebuah masyarakat sipil yang dinamis menjadi prasyarat yang mendukung akuntabilitas dan partisipasi warga dalam ruang publik. Organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting untuk mengatur dan mempromosikan agenda warga; 5. Terdapat Wahana (Sarana) Pembicaraan Sehari-hari Tentang Urusan Publik Berbicara sehari-hari adalah faktor penting dalam membentuk opini publik. Lokasi (situs) percakapan sehari-hari dapat berada pada semua tempat di mana orang berkumpul untuk membahas politik, seperti kafetaria, tempat kerja, atau sekolah. Adapun unsur-unsur konstitutif dari ruang publik adalan bekerja sama berdasarkan prinsip dasar keterbukaan dan publisitas. Dalam hal ini, Immanuel Kant menekankan prinsip publisitas sebagai kaidah hukum dan sebagai prinsip dasar demokrasi. Kant menyatakan bahwa semua tindakan yang mempengaruhi orang lain salah jika tidak melibatkan pengawasan publik. Selain itu, menurut Kant ruang publik menjadi ruang yang mendasari penggunaan alasan kepentingan umum. Penggunaan alasan kepentingan umum berdasarkan prinsip-prinsip etika komunikasi, seperti menghormati lawan bicara dan sudut pandang lawan bicara, kemampuan untuk berkompromi, dan prinsip-prinsip adil yang lain dalam perdebatan publik. 102 Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh Ruang publik demokratis adalah kekuatan struktural dalam politik dan bagian penting dari arsitektur tata pemerintahan yang baik. Ruang publik adalah ruang partisipatif dan sarana penguatan suara-suara warga negara. Konsep ruang publik erat dengan masyarakat sipil, karena melalui pemanfaatan ruang publik masyarakat dapat bertindak dan bisa mendapatkan suara serta pengaruh sehingga dapat mempengaruhi otoritas resmi melalui opini publik. Ruang publik semestinya bebas dan terbuka bagi gerakan sosial untuk menguatkan suara publik, memperjuangkan upaya pengakuan, menyatakan diri, berusaha untuk membentuk opini publik, memimpin upaya memberikan pengaruh dan dalam pembuat kebijakan, dan membawa perubahan. Dengan demikian, dalam ruang publik mensyaratkan adanya aliran bebas informasi, kebebasan berekspresi, dan diskusi bebas terkait hal-hal yang menjadi perhatian politik (Communication for Governance & Accountability, tanpa tahun:3). Opini publik adalah produk dari ruang publik dan konsep penting dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan politik. Opini publik terbentuk melalui proses pengambilan keputusan kolektif (Communication for Governance & Accountability, tanpa tahun:5), yakni: 1. Mengartikulasikan isu yang menjadi fokus perhatian; 2. Mengembangkan kemungkinan solusi untuk masalah yang hendak diselesaikan; 3. Pengambil keputusan menilai konsekuensi dari memilih satu pilihan dari yang lainnya; 4. Pengambil keputusan mengevaluasi solusi alternatif; 5. Pengambilan keputusan. Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh 103 Lebih jauh mengacu pada pandangan Communication for Governance & Accountability Program, terdapat 5 (lima) aktor (pelaku) dalam ruang publik, yakni: 1.Masyarakat Pemahaman tradisional mengenai masyarakat merujuk kepada sekelompok orang yang secara imajiner terhubung karena kepentingan bersama mereka dalam satu atau beberapa isu yang menjadi perhatian publik. Anggota masyarakat tidak perlu berada di tempat yang sama. Dalam ilmu sosial kontemporer, istilah ini sering disamakan dengan kelompok-kelompok politik yang relevan dari warga, misalnya para pemilih, masyarakat sipil (masyarakat warga), masyarakat lokal, atau audiens (pendengar) media massa; 2.Masyarakat Sipil (Masyarakat Warga) Masyarakat warga dan publik berkaitan erat, tetapi secara konseptual tidak sama. Masyarakat warga dibentuk oleh organisasi dan kegiatan utamanya tidak memiliki karakter politik atau komersial, dan tidak termotivasi oleh keuntungan atau kekuasaan. Dalam kondisi tertentu mereka bisa menjadi bagian dari ruang publik; 3. Pejabat Publik Negara bukan merupakan bagian dari lingkup publik, tetapi memiliki kapasitas dan berkewajiban untuk menjadi aktor dalam ruang publik. Dalam ruang publik demokratis, otoritas mendengarkan publik dan menentukan keinginan publik, mengkomunikasikan masalah dan posisi mereka sendiri, dan memberikan informasi tentang keputusan dan tindakan mereka; 4. Media Media massa memiliki makna sentral dalam penciptaan sebuah kelembagaan (infra) struktur yang memungkinkan organisasi menyalurkan kepentingannya baik nasional maupun internasional. Selain itu, menyediakan saluran komunikasi, media massa juga memperkenalkan topik dan bentuk diskusi publik; 5. Aktor Swasta Ketika warga negara pribadi atau perusahaan memasuki ruang publik, mereka biasanya melakukannya upaya mempromosikan kepentingan pribadi atau publik. Dalam kasus yang terakhir, mereka menjadi bagian dari masyarakat. 104 Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh Keterkaitan ruang publik demokratis dengan aktor-aktornya dalam menghasilkan opini publik dapat dilihat pada ragaan di bawah ini. Ruang Publik Nasional yang Demokratis Arus Informasi Berbasis Isu Ruang Privat Elemen Konstitutif: Warga/ Penduduk Rumah Tangga Diskusi dan Debat publik • Kebebasan sipil (khususnya kebebasan berbicara, kemerdekaan pers, kebebasan berkumpul dan berkeyakinan) • Kebebasan, keragaman, sistem media yang independen • Akses terhadap informasi publik • Masyarakat warga • Semua lokasi setiap hari untuk membincangkan urusan publik. Perusahaan Negara (Nasional, Provinsi, dan Lokal) Pemerintah Isu Berbasis Kontestasi Publik DPR Kehakiman Opini/Pendapat Publik Sumber: Odugbemi dalam Communication for Governance & Accountability, tanpa tahun Dalam konteks pembangunan masa depan Aceh pasca transisi, keterlibatan kelompok anak dalam mendialogkan permasalahan tersebut dianggap tidak penting sehingga kepentingan kelompok anak seringkali hanya ditempatkan sebagai isu pelengkap. Orang dewasa seringkali memiliki asumsi bahwa mereka lebih mengetahui kebutuhan anak dari pada anak itu sendiri. Kedua, anak dianggap belum memiliki kapasitas untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Padahal anak-anak lebih mengetahui apa yang mereka hadapi berdasarkan pengalaman hidup kesehariannya. Ketiga isu anak seringkali dianggap tidak bersifat politis. Dampak lebih jauh, situasi ini menjadikan isu anak semakin terpinggirkan dari diskursus penanganan permasalahan tersebut. Berdasarkan doktrin HAM memiliki hak untuk mempengaruhi kebijakan publik merupakan salah satu hak politik yang mendasar bagi setiap warga negara. Namun demikian anak-anak dan kaum muda belum dianggap memiliki hak politik. Padahal sejak ditetapkannya KHA anak-anak diakui memiliki hak politik termasuk dalam mempengaruhi kebijakan politik yang mempengaruhi kehidupan anak dan lingkungan sosialnya. Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh 105 Menurut John Wall (2010:2-3), pengakuan anak sebagai subyek politik telah mementahkan pendapat filosof yang mendasari teori demokrasi seperti John Locke, Jean-Jacque Rousseau, dan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa anak-anak milik ruang pribadi pada rumah tangga karena ketidakmampuan anak-anak pada wilayah otonomi publik dan dalam upaya memberikan pengaruh dalam urusan yang bersifat publik. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Dalam kaitan ini, KHA tidak secara eksplisit menyebutkan hak anak untuk memilih atau hak lain yang mengarahkan pada representasi politik. Pasal 12 KHA mengatur bahwa setiap anak memiliki hak untuk mengekspresikan pandangan mereka secara bebas dan diberikan kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif yang mempengaruhi anak. Hak untuk didengar memang tidak sama dengan hak suara tapi bisa ditafsirkan menyiratkan hal tersebut. Oleh karenanya, John Holt berpendapat bahwa untuk mewakili kepentingan politik anak-anak disyaratkan bukan hanya menurunkan usia pemilih, namun harus ada hak untuk memilih bagi orang-orang dari segala usia, harus dilaksanakan, apakah oleh anak atau orang dewasa, semata-mata atas dasar apakah seseorang ingin mengambil bagian dalam urusan publik (John Wall, 2010: 6). Berdasarkan uraian di atas, maka Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun 2018 harus diletakkan dalam kerangka ruang publik Aceh khususnya dalam rangka mendialogkan masa depan Aceh pasca transisi. Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun 2018 harus dikerangkakan dalam ruang publik sehingga menjadi opini publik dan bersifat politik. Namun demikian, anak-anak dan kaum muda harus diposisikan secara setara. Prasyarat mendasar untuk mewujudkan kesetaraan tersebut maka sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat partisipasi anak harus dihilangkan. Dengan demikian, dalam ruang publik tersebut akan didialogkan konstruksi masa depan Aceh baik yang didasarkan atas isu yang berbasis informasi maupun isu berbasis kontestasi kepentingan. Pada akhirnya melalui ruang publik yang demokratis akan dihasilkan konstruksi masa depan Aceh yang mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat Aceh, termasuk kelompok anak dan kaum muda. 106 Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh