STRUMA DIFFUSA TOKSIK Berliana Natalia Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta Latar Belakang Di dalam tubuh manusia hormon berperan mengatur dan mengontrol fungsi organ. Pelepasannya bergantung pada perangsangan atau penghambatan melalui faktor yang spesifik. Pada keadaan dimana terjadinya gangguan seperti adanya kekurangan atau peningkatan pengaruh hormon pada tubuh dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang ditemukan pada organ target maupun pada oragan-organ sekitarnya. Pada kasus ini terjadi gangguan terhadap pelepasan hormon terhadap organ tiroid yang memperlihatkan adanya pembesaran kelenjar tiroid (struma). Struma atau goiter didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid atau gondok yang terlihat di leher. Penyakit ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar tiroid dengan fungsi yang meningkat (hipertiroid), menurun (hipotiroid), ataupun normal (eutiroid). Berdasarkan dari morfologinya, struma dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik. Dikatakan struma toksik apabila menghasilkan hormon tiroid yang berlebih-lebihan sehingga gejala dan keluhan yang timbul pada pasien bergantung pada banyak atau sedikitnya kelebihan dari hormon tiroid tersebut. Di samping dari fungsinya, perlu juga ditemukan penyebab pembesaran kelenjar tiroid, oleh karenanya penatalaksanaan masing-masing kelainan akan berbeda-beda. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Telepon : 08170110057, Email : [email protected] NIM : 10-2009-076; kelompok : D7 ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK LABORATORIUM PENUNJANG DIAGNOSIS KERJA Pada kasus ini pasien dapat didiagnosis menderita Struma Difusa Toksik. Hal ini dikarenakan adanya keluhan seperti palpitasi/berdebar-debar, sesak nafas, banyak keringat (akibat hipermetabolisme), berat badan yang turun, terdapat hipertensi, takikardi, suhu tubuh naik menjadi subfebril, dan terlihat perbesaran leher yang bersifat difusa dan diagnosis ini diperkuat dengan adanya exoptalmus. Selain itu untuk struma difusa toksik juga akan didapatkan hasil pemeriksaan lab berupa kadar TSH yang rendah, sedangkan kadar fT3 normal/tinggi dan kadar fT4 tinggi. Struma disebut toksik apabila ia menghasilkan hormon tiroid yang berlebihlebihan. Struma difusa toksik memiliki nama lain antara lain: tirotoksikosis primer; primary hypertiroid; idiopatic hypertiroidi; Grave’s disease; Morbus Basedow; Exophtalmic goiter.1 Penyakit Graves adalah bentuk tirotoksikosis yang paling umum dan dapat terjadi pada segala umur, lebih sering pada wanita daripada pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari hal-hal ini : 2 1) Tirotoksikosis akibat hipertiroidisme yang terjadi karena pembesaran difuse tiroid yang hiperfungsional terjadi pada semua kasus 2) Goitter Pada bentuk struma difus biasanya tiroidnya keras dan membesar simetris warnanya pada pemotongan merah kecoklatan, menyerupai otot, batasnya tidak tegas, konsistensi lunak. Histologis tampak sebagai hiperplasia sel-sel epitel. Sel epitel sendiri membesar seperti berbentuk kolumnar, kadang sampai berlipat-lipat, merupakan gambaran papiler. Kelenjar gondok pada penyakit ini selain membesar juga menjadi hipervaskular, sehingga dengan auskultasi mungkin terdengar suara bising (bruit). 3) Oftalmopati (eksoftalmos) Aktivitas berlebihan saraf simpatis menyebabkan pasien menatap dengan lebar dan melotot serta kelopak matanya terbuka.Oftalmopati pada penyakit Graves, disebabkan oleh infiltrasi limfosit, pengendapan glikosaminoglikan, dan adipogenesis dalam jaringan ikat orbita sehingga terjadi penonjolan abnormal bola mata (eksoftalmus). Proptosis mungkin menetap atau bertambah walaupun tirotoksikosisnya berhasil diatasi, dan kadang menyebabkan cedera kornea dan jika parah bisa buta. 4) Dermopati (miksedema pretibial) Dermopati, yang kadang disebut miksedema pratibia, terdapat pada sebagian kecil kasus. Kelainan ini biasanya bermanifestasi sebagai penebalan dan hiperpigmentasi kulit lokal di aspek anterior kaki dan tungkai bawah. Temuan laboratorium pada penyakit Graves adalah peningkatan kadar T4 dan T3 bebas serta penurunan kadar TSH. Karena folikel tiroid terus mendapat rangsangan dari thyroid-stimulating immunoglobulin, penyerapan radioaktif meningkat dan pemindaian yodium radioaktif memperlihatkan penyerapan difus yodium. DIAGNOSIS BANDING 1. Struma Multinodular Toksika (Plumer Disease) 2. Struma Difus Nontoksik (Simple Goiter) 3 Kelenjar tiroid yang membesar disebut goiter atau struma. Goiter dapat menyertai hipofungsi ataupun hiperfungsi tiroid. Bila secara klinik tidak ada tanda-tanda yang khas disebut goiter non-toksik. Bentuk struma difusa nontoksik ini mengenai keseluruhan kelenjar secara difus tanpa menimbulkan nodularitas. Karena folikel kelenjar terisi oleh koloid, istilah penyakit gondok koloid harus digunakan bagi keadaan ini. Simple goiter terjadi dengan distribusi endemik maupun sporadik. Gondok endemik terjadi pada daerah-daerah geografik dimana tanah, air dan pasokan pangan hanya mengandung iodium dengan kadar yang rendah. Keadaan semacam ini terutama ditemukan di derah pegunungan. Kekurangan iodium menyebabkan penurunan sintesis hormon tiroid dan peningkatan TSH kompensatorik yang menimbulkan hipertrofi serta hiperplasia sel folikel dan pembesaran goiter. Dengan peningkatan pasokan iodium dari makanan,frekuensi dan intensitas penyakit gondok endemik mengalami penurunan signifikan. Gondok sporadik lebih jarang terjadi dibandingkan gondok endemik. Biasanya lebih sering terjadi pada wanita dan usia dewasa muda. Gondok sporadik dapat disebabkan oleh sejumlah keadaan yang meliputi konsumsi zat-zat yang mengganggu sintesis hormon tiroid (zat-zat goitrogen yang ditemukan pada sejumlah syuran dan tanaman). Pada kasus lainnya dapat terjadi karena defek enzimatik yang herediter dan mengganggu sintesis hormon tiroid; defek ini diturunkan sebagai keadaan autosomal-resesif. Defek pada sintesis hormon tiroid tersebut meliputi defek pada transportasi, organifikasi, serta dehalogenesi iodium dan perangkaian iodotirosin. Morfologi Ada dua stadium yang dapat ditemukan dalam proses evolusi gondok difus nontoksik yaitu: stadium hiperplasia dan involusi koloid. Pada stadium hiperplasia, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris. Perubahan histologi meliputi hipertrofi dan hiperplasia epitel folikuler dengan koloid yang sedikit. Jika kebutuhan akan hormon tiroid menurun, epitel folikel yang terstimulasi akan mengalami involusi untuk membentuk kelenjar tiroid yang membesar dan kaya akan koloid (gondok koloid). Gambaran klinis Mayoritas terbesar pasien gondok biasa bersifat eutiroid secara klinis. Karena itu, manifestasi klinisnya terutama berkaitan dengan efek massa akibat kelenjar tiroid yang membesar. Hipotiroidisme lebih sering ditemukan pada anak-anak dengan defek biosintesis yang mendasari. 3. Ca- Tiroid ETIOLOGI Struma difus / penyakit Graves dipandang sebagai penyakit autoimun yang penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15% pasien Graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan sama dan kira-kira 50% keluarga pasien dengan penyakit Graves mempunyai auto antibodi tiroid yang beredar di darah. 2 Kemungkinan yang mengenai satu atau lain kasus adalah kekurangan yodium ringan, masuknya bahan makanan yang bersifat goitrogenik (kubis, kol, singkong, lobak), kelainan biosintesis herediter dan reaksi autoimun. Selain bahan goitrogen tersebut di atas, terdapat pula factor lain seperti stress, kehamilan, infeksi, pubertas neoplasma yang dapat meningkatkan kebutuhan fungsi tiroid sehingga menyokong terjadinya goiter.1 EPIDEMIOLOGI Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak daripada pria. Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur, dengan insiden puncak pada kelompok umur 20-40 tahun . Bisa timbul secara edemik yaitu hampir > 10% penduduk dan didapatkan didaerah yang mengalami kekuranga yodium. Gambaran sporodis kemungkinan semua sebabnya adalah multifactor. 1 PATOGENESIS Pada penyakit Graves, limfosit T disensitasi terhadap antigen dalam kelenjar tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen-antigen ini. Satu dari antibodi ini bisa ditunjukan terhadap tempat resptor TSH pada membran sel tiroid dan memiliki kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam hal peningkatan dan pertumbuhan fungsi.1 Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari, namun tidak jelas apa yang mencetuskan episode akut ini. Beberapa faktor yang mendorong respon imun pada penyakit graves ialah : 1 1) kehamilan, khususnya masa nifas 4) Infeksi bakteri atau virus 2) kelebihan iodida 5) Penghentian glukokortikoid 3) terapi litium Berikut merupakan gambaran perjalanan penyakitnya : Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun, pada gangguan tersebut terdapat beragam autoantibody dalam serum. Antibodi ini mencakup antibody terhadap reseptor TSH, peroksison tiroid dan tiroglobulin; dari ketiganya, reseptor TSH adalah autoantigen terpenting yang menyebabkan terbentukanya antibody; efek antibody yang terbentuk berbeda-beda, bergantung pada epitop reseptor TSH mana yang menjadi sasarannya. Sebagai contoh, salah satu antibody, yang disebut thyroid-stimulating imunoglonulin (TSI), mengikat reseptor TSH untuk merangsang jalur adenilat siklase/AMP siklik, yang menyebabkan peningkatan pembebasan hormone tiroid. Golongan antibody yang lain, yang juga ditujukkan kepada reseptor TSH, dilaporkan menyebabkan proliferasi epitel folikel tiroid (thyroid growth-stimulating immunoglobulin, atau TGI). Antibodi yang lain lagi, yang disebut TSH-binding inhibitor imunoglobulins (TBII), menghambat pengikatan normal TSH ke reseptornya pada sel epitel tiroid. Dalam prosesnya, sebagian bentuk TBII bekerja mirip dengan TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel epitel tiroid, sementara bentuk yang lain menghambat fungsi sel tiroid. Tidak jarang ditemukan secara bersamaan immunoglobulin yang merangsang dan menghambat dalam serum pasien yang sama, suatu temuan yang dapat menjelaskan mengapa sebagian pasien dengan penyakit Graves secara spontan mengalami episode hipotiroidisme. Meskipun peran antibody sebagai penyebab penyakit Graves tampaknya sudah dipastikan, apa yang menyebabkan sel B menghasilkan autoantibody tersebut masih belum jelas. Tidak diragukan lagi bahwa sekresi antibody oleh sel B dipicu oleh sel T penolong CD4+ yang banyak diantaranya terdapat di dalam kelenjar tiroid. Sel T penolong intratiroid juga tersensitisasi ke reseptor tirotropin, dan sel ini mengeluarkan factor larut, seperti interferon gamma dan factor nekrosis tumor. Faktor ini pada gilirannya memicu ekspresi molekul HLA kelas II dan molekul kostimulatorik sel T pada sel epitel tiroid, yang memungkinkan antigen tiroid tersaji ke sel T yang lain. Hal inilah yang mungkin mempertahankan pengaktifan sel spesifik reseptor TSH dalam tiroid. Sesuai dengan sifat utama pengaktifan sel T penolong pada autoimunitas tiroid, penyakit Graves memperlihatkan keterkaitan dengan alel HLA-DR tertentu dan polimorfisme antigen 4 limfosit T sitotoksik (CTLA-4). Pengaktifan CTLA-4 dlam keadaan normal meredam respons sel T yang tak terkendali terhadap autoantigen.4 Patogenesis oftalmopati dapat melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik tersensitasi oleh antigen yang umum pada fibroblas orbita, otot orbita, dan jaringan tiroid. Sitokin yang berasal dari limfosit tersensitasi ini dapat menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan miositis orbita, berakibat pembengkakan otot-otot orbita, protopsi bola mata, dan diplopia sebagaimana juga menimbulkan kemerahan, kongesti, dan edema konjungtiva dan periorbita. Patogenesis dermopati tiroid (miksedema pretibial) dan inflamasi subperiosteal yang jarang pada jari-jari tangan dan kaki (osteopati tiroid) mungkin juga melibatkan stimulasi sitokin limfosit dari fibroblas pada tempattempat ini. 2 GAMBARAN KLINIS 1 1. Metabolisme : secara menyeluruh metabolisme meningkat, sehingga penderita lebih banyak makan. Tetapi intake makanan ini biasanya tidak mencukupi kebutuhan metabolisme juga, sehingga meskipun banyak tetapi badan tambah kurus. Metabolisme yang meningkat menyebabkan perasaan panas dan penderita jadi tidak tahan hawa panas, mudah berkeringat, bahkan telapak tanganpun berkeringat, bahkan tlapak tanganpun berkeringat. Absorbsi glukosa di usus meningkat sehingga kadar gula darah juga meningkat naik, bahkan terkadang seperti terjadi glukosura. Kecepatan respirasi, karena kadar CO2 meningkat, jadi ikut bertambah pula. Metabolisme ini diukur dengan BMR. Biasanya didapat harga +30%. Bila berat toksikosisnya BMR yang lazim adalah secara spirometri. Yang diukur adalah oksigen somsumption rate. Secara kasar BMR dapat diperkirakan dengan formula REID yaitu: %BMR = 0,75 (0,74(S-D)+N)-72. Hendaknya diingatkan bahwa BMR bisa meningkat pada hipertensi berat, dekompensatio kordis, leulopenia, dan pada perforasi membran timpani. 2. Sistem saraf : pasien menjadi mudah terangsang, nervous, gelisah, depresi, dan mencemaskan hal-hal yang sepele. Terkadang mungkin dijumpai pasien yang menggerakkan tangannya tanpa maksud/tujuan tertentu, timbul tremor halus pada tangan, ini dapat kita periksa dengan menyuruh pasien merentangkan tangannya ke depan, jari-jari dengan dorsum manus menghadap ke atas diregangkan, akan tampak tremor itu. Dan agar lebih jelas dapat kita letakkan sehelai kertas pada tangan tadi. Tremor juga dapat kita lihat bila penderita menjulurkan lidahnya sekurang-kurangnya 30detik. 3. Kardiovaskuler : pederita mengeluh berdebar-debar dan terasa berat pada daerah jantungnya. Bila akhirnya penyakit ini menghebat, bisa timbul fibrilasi atrial dan akhirnya gagal jantung kongestif. Tekanan nadi hampir selalu dijumpai meningkat (pulsus celer). Pada orang tua di atas 60tahun gejala kardiovaskuler jelas menonjol karena jantungnya sendiri memang kurang baik, tidak sanggup memompa jantung untuk meningkatkan curah jantung. Akibat sirkulasi yang meningkat ini, outflow urin juga meningkat dan ditambah dengan metabolisme yang dipercepat, sehingga pasien akan selalu merasa haus, dan sering kencing. Dengan adanya nafsu makan yang bertambah, BASEDOW ini mungkin dikelirukan dengan diabetes malitus. Kelenjar gondok pada penyakit BASEDOW ini selain membesar juga menjadi lebih hipervaskuler, sehingga dengan auskultasi mungkin terdengar suara bising. 4. Mata: Tabel 1: Kalsifikasi Perubahan Mata pada Penyakit Graves 2 Tingkat Definisi 0 Tidak ada tanda atau gejala-gejala 1 Hanya ada tanda, tidak ada gejala (tanda-tanda terbatas pada retraksi kelopak bagian atas, membelalak, lambat menutup mata) 2 Tekenanya jaringan lunak (gejala dan tanda-tanda) 3 Protopsis (diukur dengan eksoftalmometer Hertal) 4 Terkenanya otot-otot ektraokuler 5 Terkenanya kornea 6 Hilangnya penglihatan (terkenanya nervus optikus Tanda-tanda kelainan mata pada penyakit Graves telah diklasifikasikan oleh American Thyroid Association. Klasifikasi ini berguna untuk menggambarkan keterlibatan mata, walau tidak berguna untuk mengikuti perjalanan penyakit karena tingkat yang satu tidak selalu berkembang ke tingkat yang lainnya. Tingkat 1 termasuk spasme kelopak atas yang berhubungan dengan tirotoksikosis aktif dan biasanya sembuh spontan bila tirotoksikosis telah cukup terkendali. Tingkat 2-6 mewakili penyakit infiltrative yang betul yang menyangkut otot-otot orbital dan jaringan orbital. Tingkat 2 mewakili terkenanya jaringan lunak dengan edema periorbital, kongesti atau kemerahan konjungtiva (kemosis). Tingkat 3 mewakili proptosis sebagaimana diukur dengan eksoftalmometer Hertel. Instrumen ini terdiri dari 2 prisma dengan skala dipasang pada suatu batang. Prisma-prisma ini diletakkan pada tepi orbital lateral dan jarak dari tepi orbital ke kornea anterior diukur dengan skala. Batas atas dari normal, tergantung dari ras, diberikan pada catatan kaki. Tingkat 4 mewakili keterlibatan otot yang paling sering terkena adalah rektus inferior, yang merusak lirikan ke atas. Otot yang kedua paling sering terkena adalah rektus medialis dengan gangguan lirikan ke lateral. Tingkat 5 mewakili keterlibatan kornea (keratitis) dan tingkat 6 hilangnya penglihatan akibat terkenanya nervus optikus. 2 Gejala pada mata terdapat pada tirotoksikosis yang primer, pada tirotoksikosis yang sekunder, gejala mata ini biasanya tidak selalu ada dan bilapun ada, tidak seberapa jelas. Mengapa sampai bisa terjadi suatu exophtalmus, seperti juga mengapa bila timbul BASEDOW, sampai sekarang masih belum jelas betul. Penyebab exopthalmus ini sering kali dihubungkan dengan: kelebihan tirotropin; suatu fraksi dari tirotropin; semacam hormon dari hipofisis anterior. 5. Gastro-intestinal: peristaltik usus akan meningkat sehigga terjadi diare. Dengan diare maka banyak calsium yang dikeluarkan bersama feces, lagipula pada hipertiroidi terjadi pula mobilisasi calsium keluar dari tulang dan ini ditambah dengan faktor diare itu akan menyebabkan tulang-tulang menjadi osteoporosis. Kehilangan calsium ini perlu diperhitungkan, karena pasca tiroidektomi mungkin timbul tetani akibat terganggunya hormon paratiroid. 6. Perubahan kadar hormon tiroid mempengaruhi juga system adrenal sehingga ada gangguan keseimbangan hormon seks. Mesnstruasi penderita terganggu. 7. Kulit penderita: akibat perubahan metabolisme dan hormonal, menjadi lebih halus, karena vasodilatasi, tetapi bila digaruk, kulit akan berbekas. 8. Dermopatia tiroid terdiri dari penebalan kulit, terutama kulit di atas tibis bagian bawah, yang disebabkan penumpukan glikosaminoglikan. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit. Kadang mengenai seluruh tungkai bawah dan dapat meluas sampai ke kaki. PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI PENCEGAHAN PROGNOSIS KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA 1. Santoso, M. Struma Difusa Toksik. Jakarta: Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida; 2005. h.6-19 2. Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrionologi Dasar dan Klinik. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2002. h.256-66. 3. Robbins, Cotran. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2008.h.658. 4. Kumar V, Cotran R, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta: EGC;2007.h. 811-5.