akibat hukum penghapusan piutang pajak atas kepailitan

advertisement
AKIBAT HUKUM PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK
ATAS KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BAGI
PARA KREDITOR
Stefanus Kurniawan Dharmadji
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Email : [email protected]
ABSTRAK
Perseroan Terbatas sebagai suatu badan usaha merupakan salah satu wajib
pajak yang memiliki hak dan kewajiban di bidang perpajakan. Suatu perseroan
terbatas yang mengalami pailit akan menimbulkan akibat hukum bagi para
kreditor atas piutang-piutangnya terhadap perseroan terbatas tersebut. Kreditor
berhak mendapatkan pemenuhan atas seluruh harta budel pailit debitor setelah
adanya putusan pailit pengadilan niaga. Kreditor dalam Undang-undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdiri dari kreditor
preferen, kreditor separatis dan kreditor konkuren. Utang pajak sebagai hak
negara memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai kreditor preferen yang
diprioritaskan mendapatkan pembagian harta budel pailit debitor yang pertama
berdasarkan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada
dasarnya kedudukan kreditor preferen dan kreditor separatis adalah berbeda.
Utang pajak memiliki kedudukan kedua atas harta budel pailit debitor dan
mengesampingkan para kreditor lain. Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan
sebagai sarana untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum kepada para
kreditor yang juga berhak atas pemenuhan segala piutang-piutangnya terhadap
harta budel pailit debitor.
Kata kunci: kreditor, kepailitan, utang pajak, penghapusan piutang pajak.
ABSTRACT
A Limited Company as a corporation is one of taxpayers obtaining the
rights and obligations in taxation. A limited company in bankruptcy shall cause
legal consequences for the creditors on their receivables against the questioned
limited company. The creditor is entitled to obtain the satisfaction of all debtor’s
1
bankruptcy assets following the bankruptcy awards by the commercial court. The
Law of Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligation divides
creditor as preferential, separatist, and concurrent creditors. Tax payable is the
right of the country, and the country is authorized to act as the preferential
creditor obtaining the first priority of the debtor bankruptcy assets distribution
subject to the Laws of Taxation General Condition and Procedures. The
preferential and separatist creditors have basically different position. Tax payable
has the second position on debtor bankruptcy assets and waives other creditors.
Tax Receivables Write off is applicable as a mean to protect and give legal
assurance to those creditors who are also entitled to all of their receivables
satisfaction against debtor’s bankruptcy assets.
Keywords: creditor, bankruptcy, tax payable, tax receivables write-off.
PENDAHULUAN
Menjalankan sistem pemerintahan dan untuk mencapai tujuan negara
Indonesia yang tercantum dalam alenia ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, maka diperlukan biaya atau anggaran
untuk memenuhi kebutuhan negara serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Anggaran tersebut berasal dari berbagai macam sumber penerimaan negara,
diantaranya pajak, kekayaan alam, bea dan cukai, retribusi, iuran, sumbangan,
laba dari badan usaha milik negara, serta sumber lainnya. Dari berbagai macam
sumber penerimaan negara tersebut, sumber penerimaan negara yang paling besar
adalah berasal dari pajak.
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk
mendapatkan penerimaan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung
dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional
dan ekonomi masyarakat. Semakin bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka
dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan
dengan itu maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela berubah
menjadi pembayaran yang ditetapkan secara terpisah oleh negara dalam bentuk
2
undang-undang dan dapat dipaksakan. Pembayaran atau penyetoran pajak yang
dilakukan oleh subjek pajak dilakukan dengan tata cara yang telah diatur oleh
pemerintah dengan menetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Secara garis besar subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang
akan dikenakan pajak, sedangkan objek pajak adalah segala sesuatu yang akan
dikenakan pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syaratsyarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan membayar pajak. Dengan
perkataan lain, setiap wajib pajak adalah subjek pajak (Suandy, 2011:1).
Salah satu subjek pajak yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang
Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh)
adalah badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, perseroan, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap. Sebagai salah satu badan hukum, perseroan terbatas memiliki
hak-hak serta kewajiban-kewajiban dalam perpajakan. Perseroan terbatas sebagai
badan hukum dan juga merupakan subjek pajak wajib membayar pajak atas usaha
maupun laba yang diperoleh kepada negara.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 mengakibatkan
kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Keadaan tersebut
berdampak pada badan usaha dalam negeri khususnya yang memiliki kewajibankewajiban yang tergolong besar pada kreditor. Banyak perusahaan yang tidak
mampu membayar utangnya kepada kreditor mengakibatkan banyak perusahaan
gulung tikar satu demi satu. Hal ini mempengaruhi perkembangan dunia usaha
dalam negeri untuk memajukan usahanya dan untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya, sehingga pemasukan penerimaan negara menjadi tidak maksimal.
Disamping itu, berbagai persoalan ekonomi yang mempengaruhi dunia usaha
secara langsung mempengaruhi proses pencapaian target penerimaan negara
3
melalui pajak. Persoalan pailit perusahaan menjadi salah satu fenomena
perekonomian yang tidak dapat dihindari dalam dunia usaha. Selain pengaruhnya
dalam berkurangnya ketersediaan lapangan kerja, hal lain adalah pengaruhnya
pada berkurangnya penerimaan negara yang diperoleh dari pajak perusahaan
perusahaan tersebut.
Permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah jika terjadi keadaan
dimana perusahaan dalam hal ini perseroan terbatas mengalami pailit dan piutang
pajaknya dihapuskan lalu apa akibat hukum bagi kreditor atas piutang-piutangnya
terhadap perseroan terbatas tersebut. Terutama apabila pailit tersebut terjadi pada
perseroan-perseroan besar yang memiliki kontribusi signifikan dalam penyetoran
pajaknya.
Agar utang pajak tersebut dapat dilunasi oleh wajib pajak maka
dilakukanlah penagihan pajak melalui serangkaian tindakan berdasarkan tata cara
penagihan pajak yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP).
Pada dasarnya pemerintah telah mengatur mengenai permasalahan hukum
untuk kondisi penunggak pajak yang mengalami kepailitan sejak awal-awal
kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan menerbitkan Ordonantie Pajak Pendapatan
1944. Kini masalah tersebut diatur masing-masing dalam Undang-undang Nomor
16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP), UU PPSP dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU PP). Beberapa pasal dalam undangundang tersebut menyebutkan antara lain bahwa bisa dilakukan penagihan
seketika dan sekaligus tanpa harus memperhatikan jatuh tempo dan juga untuk
semua jenis pajak.
Pengoperasian suatu perseroan terbatas pada setiap perseroan berpeluang
mempunyai utang. Utang perseroan tersebut bukan merupakan suatu hal yang
buruk bagi perseroan (debitor) apabila perseroan tersebut masih mampu untuk
membayar kembali utang-utangnya. Sebaliknya, jika perusahaan terus mengalami
kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan dimana perseroan berhenti
membayar atau tidak mampu lagi membayar utang-utangnya, maka pihak debitor
4
ini melakukan kelalaian yang disebabkan karena ketidakmampuan (keterpaksaan).
Selain itu juga terdapat kesengajaan debitor yang tidak mempunyai itikad baik
untuk membayar utang-utangnya yang disebabkan karena ketidakmauan pihak
debitor.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membenahi
sistem hukum mengenai pemenuhan kewajiban yang dilakukan oleh debitor
kepada kreditor dengan mengupayakan penyelesaian yang adil, yaitu dengan jalan
pembentukan peraturan kepailitan yang dapat digunakan secara cepat, adil,
terbuka dan efektif, serta sesuai dengan perkembangan kondisi zaman yang terjadi
saat ini. Peraturan kepailitan yang diatur dalam Faillissements Verordening 1905
Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad 1906-348 dirasakan sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman dan diharuskan dilakukan amandemen sebagai
sebuah agenda yang amat diprioritaskan saat itu.
Menghadapi masalah pembayaran utang debitor tersebut, maka hukum telah
menyiapkan jalan keluar untuk menyelesaikan perseolan tersebut, yakni melalui
dua cara :
1. Melalui Kepailitan
2. Melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kepailitan adalah merupakan sita umum terhadap semua kekayaan debitor
yang nantinya masuk dalam budel pailit. Ini menggambarkan bahwa dengan
adanya status pailit, maka secara otomatis debitor tidak lagi memiliki penguasaan
atas harta kekayaannya (Manik, 2012:31-32) Ketentuan ini sejalan dengan prinsip
dasar utang piutang yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang
menyatakan, “Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan” (Manik, 2012:32).
Sebagai langkah antisipatif, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, yang telah ditetapkan menjadi
Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang telah dicabut oleh
Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU). UUK-PKPU menjelaskan
bahwa dalam kondisi perusahaan pailit atau menunda kewajiban pembayaran
5
utang, kreditor yang lebih tinggi kedudukannya harus didahulukan dalam hal
pembayaran. Disamping harus memperhatikan kedudukan kreditor, UUK-PKPU
juga memperhatikan perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang,
salah satunya adalah membayar pajak. Namun demikian dalam UUK- PKPU
hanya terfokus pada aspek niaga dan tidak secara tegas (tersurat) menyinggung
pajak melainkan hak mendahulu secara umum. Artinya, jika sebuah perusahaan
mengalami pailit atau menunda kewajiban pembayaran utang, maka kedudukan
Direktorat Jenderal Pajak harus didahulukan namun dengan pertimbangan hakim.
Dalam praktiknya, tidak sedikit subjek pajak dalam hal ini perseroan terbatas yang
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Permasalahan baru muncul ketika
apabila perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit ternyata penanggung pajak
tidak memiliki harta atau aset yang cukup untuk membayar segala utang-utangnya
termasuk utang pajak yang seharusnya dibayarkan terlebih dahulu setelah
membayar biaya perkara dan biaya eksekusi. Maka untuk itu Direktur Jendral
Pajak dapat menghapuskan piutang pajak melalui Keputusan Menteri Keuangan.
Utang pajak merupakan aturan khusus, oleh karena itu negara melalui
Direktorat Jenderal Pajak mempunyai hak mendahulu untuk melaksanakan sita
atas barang-barang wajib pajak yang manjadikan barang-barang miliknya atau
asetnya sebagai jaminan atas utang-utangnya. Dengan adanya utang ini maka hak
mendahulu atas penagihan utang pajak lebih kuat daripada utang-utang lainnya.
Artinya, apabila debitor mempunyai utang lebih dari satu, maka pemerintah
sebagai pemegang hak mendahulu yang diutamakan. Apabila barang yang
dijaminkan itu dilelang maka hasilnya akan digunakan untuk melunasi utang
pajak debitor kepada pemerintah, baru kemudian utang-utangnya kepada kreditorkreditor lain.
Namun di dalam praktiknya, tidak sedikit subjek pajak dalam hal ini
perseroan terbatas yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Permasalahan
baru muncul ketika apabila perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit
ternyata penanggung pajak tidak memiliki harta atau aset yang cukup untuk
membayar segala utang-utangnya termasuk utang pajak yang seharusnya
dibayarkan terlebih dahulu setelah membayar biaya perkara dan biaya eksekusi.
6
Maka untuk itu Direktur Jendral Pajak dapat menghapuskan piutang pajak melalui
Keputusan Menteri Keuangan
Penghapusan piutang pajak tersebut, pemerintah telah menyediakan aturan
tentang penghapusan piutang pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan. Masalah baru muncul ketika apabila suatu perseroan
terbatas yang telah dinyatakan pailit dan telah dikenakan penghapusan piutang
pajak memiliki utang-uatng kepada kreditor lain yang belum terselesaikan atas
piutang-piutang mereka kepada debitor pailit.
PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana suatu perseroan terbatas dapat di putus pailit serta hak-hak
kreditor pasca putusan pailit sesuai dengan ketentuan Undang-undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang ?
2. Apa akibat hukum penghapusan piutang pajak atas kepailitan suatu
perseroan terbatas bagi para kreditor ?
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek. Metode pendekatan yang
dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statute Approach) dan
Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan Hukum yang digunakan
adalah Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/atau badan-badan
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang
dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara (Soekanto, 2007:13). Bahan
Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan
hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
7
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah Teknik Kepustakaan. Data yang telah diperoleh
dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisis secara interpretasi hukum.
PEMBAHASAN
Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UU PT), menegaskan bahwa perseroan merupakan badan
hukum yang terjadi karena undang-undang. Hal ini berbeda dengan KUHD yang
tidak tegas menyebutkan suatu perseroan merupakan badan hukum. Dikatakan
suatu badan hukum apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya harta kekayaan yang terpisah.
2. Mempunyai tujuan tertentu.
3. Mempunyai kepentingan sendiri; dan
4. Ada organisasi yang teratur.
Salah satu alasan bentuk badan usaha perseroan sangat dinikmati adalah
memiliki karakteristik yang khusus, perseroan merupakan asosiasi modal yang
berbentuk badan hukum yang mandiri, yang memberikan pertanggung jawaban
yang bersifat terbatas kepada para pemegang sahamnya. Dengan demikian,
pemegang saham tidak perlu khawatir bahwa kekayaan pribadinya akan terserap
ke dalam setiap perikatan yang dibuat oleh perseroan.
PT dalam pendiriannya harus terlebih dahulu memperoleh status badan
hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sebelum menjalankan kegiatan usahanya. Hal ini menjadikan PT sebagai suatu
subjek hukum yang berdiri sendiri dan disamakan kedudukannya dengan orang
pribadi, sehingga dalam menjalankan kegiatan usahanya terpisah dari harta
pribadi atau harta kekayaan milik pendiri atau pemegang sahamnya (Baryadi,
2011:5).
Pemisahan harta kekayaan yang selanjutnya disertai dengan pemisahan
kewajiban dan tanggung jawab hukum akan membuatnya memiliki tanggung
jawab terbatas sebagai suatu badan hukum tersendiri. Dengan demikian, maka
kumpulan modal ini selanjutnya berkembang menjadi suatu badan hukum yang
8
merupakan subjek hukum yang berbeda dengan mereka yang melakukan
pengelolaan dan pengurusan harta kekayaan badan hukum, maupun mereka yang
menyisihkan bagian harta kekayaannya tersebut (Widjaja, 2006:7). Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang berarti
merupakan subjek hukum yang dapat dibebani hak dan kewajiban berarti
merupakan subjek hukum yang daseperti manusia pada umumnya (Supramono,
2007:2).
Kepailitan
Tujuan dari kepailitan adalah untuk melakukan pembagian kekayaan milik
debitor kepada para kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan
debitor dapat dibagikan kepada kreditor sesuai dengan haknya. Selain itu fungsi
dari hukum kepailitan adalah untuk mencegah kreditor melakukan kesewenangwenangan untuk memaksa debitor agar membayar utangnya. Menurut Rudhi
Prasetya yang dikutip oleh Ardytia, “adanya lembaga kepailitan berfungsi untuk
mencegah kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan berbagai
cara agar debitor membayar utangnya” (Ardytia, 2009:31).
Syarat permohonan pernyataan pailit, yaitu: adanya dua kreditor atau lebih,
adanya minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketentuan
Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa setiap permohonan
pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya
meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Perkara-perkara kepailitan
menurut UUK-PKPU telah menentukan jangka waktu pemeriksaannya di tingkat
pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali. Upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan
pengadilan niaga tersebut dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi ke
tingkat Mahkamah Agung tanpa upaya banding terlebih dahulu melalui
pengadilan tinggi, dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat
bila dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila dipelajari seluruhnya maka
akan diketahui bahwa sebagian besar dari Pasal-pasal undang-undang tersebut
9
merupakan hukum formil yang berisi pengaturan proses pengajuan permohonan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya
hukumnya dari tingkat kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru
yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905
Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga.
Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa perkembangan sejarah
peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti, darisegi
struktur organisasi, kedudukan pengadilan niaga merupakan bagian khusus di
dalam lingkungan peradilan umum (Susanti, 2013: 20-21). Berlakunya Undangundang Kepailitan Tahun 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut)
dari pengadilan umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan
pengadilan niaga sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima
permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Pasal 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dapat menjadi
pemohon dalam suatu perkara pailit adalah suatu pihak sebagai berikut: pihak
debitor itu sendiri, salah satu atau lebih dari pihak kreditor, pihak Kejaksaan jika
menyangkut dengan kepentingan umum, pihak Bank Indonesia jika debitornya
adalah suatu bank, pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah
suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, pihak Menteri Keuangan jika debitornya adalah
perusahaaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha
Milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Sedangkan, pihak-pihak yang dapat diajukan permohonan pailit menurut
ketentuan Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah debitor, debitor yang dimaksud
adalah: orang-perorangan, debitor yang menikah, harta peninggalan, Perkumpulan
perseroan (holding Company) dan anak-anak perusahaannnya, Penjaminan
(guarantor), badan hukum, Perkumpulan bukan badan hukum, Bank, Perusahaan
Efek, Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik
Negara.
10
Akibat Hukum bagi Debitor Pailit
Perseroan Terbatas (PT) yang dinyatakan pailit tentu membawa akibat
hukum terhadap usaha dan hubungan antara debitor dan kreditor. Menurut Munir
Fuady yang dikutip Tyassari, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor
dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu sebagai berikut (Tyassari, 2008:110111):
a. Berlaku demi hukum
Akibat yang paling besar dari berlakunya demi hukum adalah berlaku sitaan
umum atas seluruh harta debitor (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang) dan debitor kehilangan hak mengurus (Pasal 24 Undang-undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Adanya akibat hukum yang besar tersebut, selayaknya hakim benar-benar cermat
dalam mengambil keputusan pailit suatu perusahaan, apalagi menyangkut
kewajiban perpajakan suatu perseroan terbatas yang berhubungan dengan
penerimaan Negara.
b. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason.
Akibat-akibat hukum yang lain yang merupakan dampak kepailitan tersebut
adalah menyangkut pembayaran kompensasi pada pegawai/pekerja. Pembayaran
kompensasi akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan
pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan
segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi
dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Satu-satunya kegiatan perusahaan
adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih piutang, menghitung
seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan
pembayaran utang-utang perusahaan (Lumowa, 2013: 19).
11
Hak Kreditor Pasca Putusan Pailit
Tanpa adanya kreditor didalam proses kepailitan maka kepailitan tidak akan
terjadi. Kreditor merupakan subjek hukum yang mempunyai hak untuk menagih
kepada debitor dan debitor wajib membayar utang tersebut kepada kreditor
(schuld). Namun apabila, debitor wanprestasi maka seluruh harta benda debitor
merupakan objek pelunasan dari perikatan mereka (haftung) berdasarkan Pasal
1311 KUH Perdata. Permasalan bagi kreditor separatis dan kreditor preferen
dalam pemenuhan prestasi atas harta budel pailit debitor. Dalam frase kalimat:
“Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk
didahulukan”, pada frase kalimat tersebut menafsirkan bahwa kedudukan kreditor
separatis dan kreditor preferen memiliki kedudukan yang sama atas seluruh
agunan dan harta budel pailit debitor. Dengan adannya hal tersebut, maka
memunculkan suatu masalah atas siapa kreditor yang berhak untuk didahulukan
terhadap agunan dan harta budel pailit debitor, apakah kreditor separatis ataukah
kreditor preferen. Bila dihubungkan dengan Pasal 1134 KUH Perdata, Pasal 21
UU KUP dan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan serta peraturan perundangundangan lainnya maka pada dasarnya membedakan kedudukan mendahulu antara
kreditor separatis dan kreditor preferen.
Kreditor
separatis
adalah
kreditor
pemegang
jaminan
kebendaan
berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Sedangkan yang
dimaksud kreditor preferen adalah kreditor yang mempunyai hak mendahului
karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor
preferen terdiri dari kreditor preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal
1139 KUH Perdata, dan kreditor preferen umum, sebagaimana diatur dalam Pasal
1149 KUH Perdata. Selain kreditor separatis dan kreditor preferen, terdapat
kreditor konkuren yang mendapatkan pemenuhan prestasi terakhir setelah
kredeitor separatis dan kreditor preferen mendapatkan prestasinya (Pasal 1131 –
Pasal 1132 KUH Perdata). Berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata diatas sebagai
lex generalis, maka jelas membedakan antara kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yaitu disebut juga kreditor separatis dengan kreditor preferen yang di
12
atur berdasarkan undang-undang. Ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata
memberikan kesempatan bagi kreditor preferen untuk didahulukan pelunasan atas
piutangnya kepada debitor.
Prioritas Pembayaran Utang Dalam Kepailitan
1. Upah Pekerja atau Buruh
Definisi upah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 39 UUK-PKPU
adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang
telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja dan keluarga.
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang
sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang
harta pailit. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) UUK-PKPU. Suatu
perusahaan yang pailit dapat saja memang tidak mampu untuk membayar
kreditornya sehingga sekaligus dapat pula mempunyai utang upah terhadap
pekerjanya. Dalam hal terjadi pailit tersebut, maka Bab X UU Ketenagakerjaan
yaitu pada Pasal 95 ayat (4) dan Penjelasannya telah mengatur perihal kedudukan
utang upah pekerja atau karyawan debitor pailit sebagai berikut :”Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.67/PUU-XI/2013 dalam
pokok permohonan pengujian konstitusionalitas frasa “yang didahulukan
pembayarannya” dalam pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pada dasarnya antara kreditor separatis dan pekerja dasar
hukumnya sama yaitu perjanjian, namun ketika dilihat dari aspek lain maka
terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya secara konstitusional. Dari
aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik dan fidusia merupakan perjanjian
yang dilakukan pengusaha dan pemodal. Secara sosial ekonomis para pihak itu
dapat dikatakan sama, terlebih lagi pemodal yang bisa jadi juga pengusaha.
13
Sebaliknya, perjanjian kerja dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda yaitu
pengusaha dan pekerja. Secara sosial ekonomis, kedudukan mereka tidak sejajar
karena posisi pengusaha lebih kuat dan tinggi ketimbang buruh. Maka dari itu
diperlukan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh
tersebut.
2. Utang Pajak
Kedudukan utang pajak dalam KUH Perdata telah menempatkan utang
pajak untuk didahulukan daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 1134 dan 1137 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1134 dan 1137 KUH
Perdata tersebut maka kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa
dengan hak mendahulu yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang
khusus, yaitu Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sebelum membahas mengenai bagaimana undang-undang mengatur mengenai
kedudukan utang pajak dalam kepailitan, perlu kita ingat lagi mengenai utang
dalam kepailitan. Dilihat dari pengertian utang dalam UUK-PKPU secara luas,
utang adalah kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari perikatan yang
lahir berdasarkan undang-undang.
Utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau penanggung
pajak. Wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat diwakili antara lain badan oleh pengurus.
Badan yang telah dinyatakan pailit maka kurator bertugas untuk melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit debitor. Negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak tersebut atas segala harta milik debitor. Hak
mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yang berbunyi:
“Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak”.
Hak mendahulu dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP ini juga menetapkan
negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang dimuka umum.
Pembayaran kepada kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak (Fernandez, 2012:38).
14
UU KUP memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak melebihi
kedudukan semua kreditor dalam kepailitan, termasuk hak jaminan kebendaan,
biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator serta hak kreditor konkuren kecuali atas
biaya pelelangan atau penyelesaian warisan dan upah pekerja/buruh.
3. Utang dengan Hak Jaminan Kebendaan
Timbulnya hak kebendaan harus dengan melalui perjanjian accessoir yaitu
perjanjian tambahan dari perjanjian awalnya (induknya), dengan kata lain, harus
diperjanjikan terlebih dulu mengenai benda yang akan dijaminkan secara khusus
(Pasal 1132 KUH Perdata) (Putra, 2013:33). Ciri-ciri yang istimewa yang dimiliki
oleh hak jaminan kebendaan yaitu: 1) bersifat mutlak, hak itu dapat ditegakkan
terhadap siapa pun juga, termasuk rekan-rekan sekontrak atau pihak-pihak lain
yang ikut terkait di kemudian hari; 2) droit de suite, hak tersebut akan tetap
mengikuti (melekat) bendanya ke tangan siapa pun benda itu berada. Jika benda
tersebut berpindah tangan, maka yang bersangkutan juga wajib menghormati hak
kebendaan tersebut; 3) terdapat preferensi (Pasal 1132 KUH Perdata). Jika obyek
jaminan telah laku dilelang, maka kreditor preferen harus didahulukan
pelunasannya
daripada
piutang
kreditor-kreditor
lainnya
(konkuren);
4)
mengandung asas prioritas, hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu akan
didahulukan untuk pelunasan piutangnya daripada hak kebendaan yang mana lahir
belakangan, yang tentunya pelunasan piutangnya akan dibayar belakangan. Asas
prioritas ini digunakan apabila terjadi benturan antara sama-sama pemegang hak
kebendaan; 5) mengandung asas separatis.
Hak jaminan khusus yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 1134
KUH Perdata adalah hak istimewa. Sedangkan hak jaminan khusus yang timbul
karena diperjanjikan adalah: gadai, hipotek (kapal dan pesawat serta helikopter),
hak tanggungan, fidusia dan hak jaminan atas resi gudang. Berikut ini akan
dijelaskan masing-masing mengenai hak jaminan khusus yang diperjanjikan,
yaitu:
a. Hak Gadai;
b. Hipotik;
c. Fidusia;
d. Hak Tanggungan;
15
e. Hak Jaminan Atas Resi Gudang.
4. Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator
Menurut Rachmadi Usman yang dikutip oleh Fernandez, pengaturan tentang
imbalan kurator terdapat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 UUK-PKPU yang pada
intinya menyatakan bahwa imbalan jasa kurator ditentukan setelah kepailitan
berakhir dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri yang ruang lingkup dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan. Saat ini, besarnya
imbalan jasa kurator ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
Nomor M.09/HT.05.10/1998 tanggal 12 Desember 1998 tentang Pedoman
Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus. Sedangkan bagi kurator yang
dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan, sebelumnya telah diatur dalam
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-UM.01.06 Tahun 1993 tentang
Penetapan Biaya Pelayanan Jasa Hukum di Lingkungan Kantor Balai Harta
Peninggalan (Fernandez, 2012:49). Selain itu pembayaran biaya kepailitan dan
imbalan jasa Kurator dilaksanakan melalui penetapan eksekusi oleh Ketua
Pengadilan atas permohonan Kurator yang diketahui oleh Hakim Pengawas sesuai
dengan Pasal 18 ayat (7) UUK dan PKPU.
5. Utang pada Kreditor Konkuren
Menurut Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Aruan, kreditor konkuren
adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lain secara proporsional,
atau disebut juga pari passu prorata parte, yaitu menurut perbandingan besarnya
masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang
tidak dibebani dengan hak jaminan (Aruan, 2010:147). Kreditor konkuren atau
Unsecured Creditors adalah kreditor selain kreditor preferen dan kreditor dengan
hak istimewa. Sesuai Pasal 1136 KUH Perdata: “Para kreditor dengan hak
didahulukan yang mempunyai tingkatan sama, dibayar secara berimbang”.
Kedudukan kreditor konkuren menempati kedudukan paling akhir setelah kreditor
preferen dan separatis, yang artinya pelunasan atas piutangnya adalah setelah
piutang kedua jenis kreditor tersebut dilunasi, dan pelunasan piutang kreditor
konkuren tersebut dilakukan pembagian secara proporsional diantara mereka.
16
Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap Piutang Pajak
Mekanisme Penghapusan Piutang Pajak
Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan dalam hal hak menagih
Direktorat Jenderal Pajak telah melampaui jangka waktu dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sesuai Pasal 21 ayat (4) UU KUP terhitung sejak penerbitan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Selain itu menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan, menyebutkan bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan
untuk wajib pajak badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi
karena:
a. wajib pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan;
b. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
c. dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah
dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang perpajakan; atau
d. hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan
karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan
dan/atau berdasarkan
pertimbangan
yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Khusus untuk suatu badan dalam hal ini Perseroan Terbatas (PT) yang telah
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka secara formil dapat dikenakan
penghapusan piutang pajak. Penghapusan piutang pajak ini diajukan oleh kurator
sebagai pengampu dari debitor pailit sebagai wajib pajak badan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak badan tersebut. Sesuai Pasal 2 ayat (1)
PMK Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak
dan Penetapan Besarnya Penghapusan: “untuk memastikan keadaan Wajib Pajak
atau piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud dalam
17
Pasal 1, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh
Kantor Pelayanan Pajak”.
Kepala Kantor Wilayah DJP menyampaikan daftar usulan penghapusan
piutang pajak yang telah dilakukan penelitian kepada Direktur Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak memberikan arahan pelaksanaan bimbingan teknis kepada
Kantor Wilayah DJP dalam proses pengusulan penghapusan piutang pajak dan
melanjutkan usulan penghapusan piutang pajak kepada Menteri Keuangan.
Berdasarkan usulan penghapusan piutang pajak yang diusulkan oleh
Direktur Jenderal Pajak, selanjutnya Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan
Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak. Keputusan Menteri
Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak untuk menghapuskan piutang
pajak dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 68/PMK.
03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya
Penghapusan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang
pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan :
a. penetapan mengenai rincian atas besarnya penghapusan piutang pajak; dan
b. hapus tagih dan hapus buku atas piutang pajak tersebut sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku.
Selanjutnya menurut Pasal 6 PMK Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan:
“Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atas penugasan dari Menteri
Keuangan melakukan reviu atas usulan penghapusan piutang pajak yang
disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak”.
Akibat Hukum Penghapusan Piutang Pajak Bagi Kreditor
Dalam hal suatu perseroan terbatas (wajib pajak badan) dinyatakan pailit
oleh pengadilan niaga, maka kedudukan piutang pajak menempati kedudukan
kedua setelah upah pekerja/buruh. Dari hal ini dapat ditemukan suatu
permasalahan apabila seluruh harta budel pailit debitor telah habis digunakan
untuk membayar segala utang pajaknya kepada fiskus, maka tentu membawa
18
akibat kepada para kreditor lain dalam pemenuhan segala utang-utangnya
terhadap harta debitor pailit. Baik kreditor pemegang jaminan hak kebendaan
(kreditor separatis), biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, serta utang kepada
kreditor konkuren mempunyai hak atas pemenuhan utang-utang terhadap harta
debitor pailit.
Kedudukan piutang pajak ini berdasarkan Pasal 1137 KUH Perdata yang
memberikan kedudukan piutang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan
hak mendahulu yang merujuk pada peraturan perundang-undangan khusus, yaitu
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi
Undang-undang. Hal ini tidak lepas dari piutang pajak yang lahir berdasarkan
undang-undang sesuai Pasal 1233 KUH Perdata.
Utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau penanggung
pajak. Wajib pajak badan yang dinyatakan pailit diwakili oelh kurator yang
bertugas mengurus dan membereskan seluruh harta budel pailit debitor. Negara
mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak tersebut atas barang-barang milik
penanggung pajak. Hak mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU
KUP terkecuali untuk Pasal 21 ayat (3) UU KUP (Fernandez, 2012:39).
Tidak dipenuhinya utang-utang kreditor dan kewajiban-kewajiban lainnya
yang lebih mengutamakan pelunasan utang pajak tentu sangat merugikan para
kreditor dan melanggar hak-hak mereka didalam pemenuhan prestasi mereka.
Selain
itu
ketidakserasian
antar
peraturan
perundang-undangan
juga
mempengaruhi konsistensi penerapan aturan hukum didalam pembagian harta
budel pailit debitor yang pada akhirnya merugikan para kreditor.
Oleh karena itu, menurut penulis agar menjamin kepastian hukum dan hakhak para kreditor maka majelis hakim pengadilan niaga didalam memutus suatu
perkara kepailitan harus mempertimbangkan segala putusannya dengan adil dan
bijaksana. Selain itu menurut penulis walaupun debitor pailit mempunyai harta
budel pailit yang cukup untuk membayar seluruh utang pajaknya, sebaiknya untuk
19
pejabat pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak, Direktorat Jendral Pajak sampai pada tingkat Kementerian
Keuangan dapat menghapuskan sebagian utang pajak wajib pajak setidaknya atas
sanksi administrasi perpajakan berdasarkan ketentuan Pasal 16 jo Pasal 36 UU
KUP untuk memenuhi pemenuhan prestasi atas pembayaran utang-utang debitor
pailit kepada para kreditor.
PENUTUP
Kesimpulan
Pernyataan pailit dapat diputus oleh pengadilan niaga apabila memenuhi
syarat-syarat : adanya dua kreditor atau lebih, adanya minimal satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pada dasarnya kedudukan antara kreditor
separatis, kreditor preferen dan kreditor konkuren berbeda. Berdasarkan Pasal
1134 KUH Perdata sebagai lex generalis, Pasal 21 UU KUP maka jelas
membedakan antara kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu disebut juga
kreditor separatis dengan kreditor preferen yang di atur berdasarkan undangundang. Ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata memberikan kesempatan bagi
kreditor preferen untuk didahulukan pelunasan atas piutangnya kepada harta budel
pailit debitor mengesampingkan kreditor separatis dan kreditor konkuren.
Pada saat perseroan terbatas (wajib pajak badan) dinyatakan pailit oleh
pengadilan niaga, maka kedudukan piutang pajak menempati kedudukan kedua
setelah upah pekerja/buruh dan diatas kreditor-kreditor
lainnya.
Namun
penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam atas piutang pajak
ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi kepailitan terhadap
debitor yang masih memiliki utang pajak. Salah satu alasannya adalah belum ada
keseragaman pemahaman mengenai hak mendahulu yang dimiliki negara atas
piutang pajak di kalangan para hakim. Walaupun debitor pailit mempunyai harta
budel pailit yang cukup untuk membayar seluruh utang pajaknya, sebaiknya
pejabat pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak, Direktorat Jendral Pajak sampai pada tingkat Kementerian
Keuangan dapat menghapuskan sebagian utang pajak wajib pajak setidaknya atas
sanksi administrasi perpajakan berdasarkan ketentuan Pasal 16 jo Pasal 36 UU
20
KUP untuk memenuhi pemenuhan prestasi atas pembayaran utang-utang debitor
pailit kepada para kreditor sesuai PMK Nomor 68/PMK.03/2012.
Rekomendasi
Saran bagi Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, serta pihakpihak yang terkait harus meneliti kembali dan merubah isi Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memperjelas kedudukan masing-masing
kreditor. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, serta pihak-pihak yang
terkait harus meneliti kembali dan merubah peraturan perundangan-undangan
yang memberikan multi tafsir yang berbeda dan tidak seragam dengan peraturan
perundang-undangan lainnya khususnya tentang kedudukan kreditor dalam hal
terjadi kepailitan untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat. Selain itu,
Pemerintah bersama pihak-pihak yang terkait agar mensosialisasikan kepada
masyarakat terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK. 03/2012 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan.
Bagi Majelis hakim pengadilan niaga serta pihak-pihak terkait harus
memberikan putusan yang adil dan bijaksana serta dengan penuh tanggung jawab
dalam menangani dan menyelesaikan perkara kepailitan. Selain itu dalam
menangani suatu perkara kepailitan yang berhubungan dengan pajak, maka
majelis hakim pengadilan niaga harus berkoordinasi dengan lingkungan peradilan
pajak serta pejabat pajak yang berwenang.
DAFTAR BACAAN
Buku-Buku :
Binoto Nadapdap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas (Berdasarkan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007), Jala Permata Aksara, Jakarta.
Irawan, Bagus, 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi,
Alumni, Bandung.
Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Jakarta, Sinar Grafika.
Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundangundangan, dan Yurisprudensi, Total Media Yogyakarta, Yogyakarta.
Khairandy, Ridwan dan Camelia Malik, 2007, Good Corporate Govermence,
Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Manik, Edward, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Mandar Maju.
21
Mardiasmo, 2011, Perpajakan, Yogyakarta, Andi Offset.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik, 2010, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung, Alumni.
Nating, Imran, 2005, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan
dan Pemberesan Harta Pailit, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta, RajaGrafindo
Persada.
Shubhan, M. Hadi, M., 2008. Hukum Kepailitan, Cet. 2, Jakarta, Kencana.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penilitian Hukum Normatif,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Ed. 5, Jakarta, Salemba Empat.
Supramono, Gatot, 2007, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan
Perdata di Pengadilan, Cet. 1, Rineka Cipta, Jakarta.
───────, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, Cet. 4, Djambatan, Jakarta.
Usman, Rachmadi, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Waluyo, 2009, Perpajakan Indonesia, Ed. 9, Jakarta, Salemba Empat.
Widjaja, Gunawan, 2006, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet. 2, Penada Media
Group, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,
Sinar Grafika.
Jurnal :
Billy, Andy Lumowa, Tanggung Jawab Perusahaan yang Dinyatakan Pailit
Terhadap Pihak Ketiga, Lex Privatum, Vol. I, 3 Juli 2013.
Ginting, Jamin, 2005, Kedudukan Pemegang Saham (Investor) Dalam Kepailitan
Perusahaan Go Public, Jurnal Law Review, Vol. IV No. 3, Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan.
Lumowa, Ardy Billy, 2013, Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dinyataklan
Pailit Terhadap pihak ketiga, Jurnal Lex Privatum, Vol.1/No.3/Juli/2013.
Rambing, Nicky Yitro Mario, 2013, Syarat-syarat Sahnya Pendirian Perseroan
Terbatas (PT) di Indonesia. Lex Privatum, Vol. 1, No. 2.
Retnowati, Tutik dan Sylvia, Setjoatmadja, 2010, Tinjauan Yuridis Upaya
Penyelesaian Sengketa Utang Pajak Melalui Pengadilan Pajak, Jurnal
Hukum, Vol. XIX No. 19.
Putra, Fani Martiawan Kumara, 2013, Benturan Antara Kreditor Privilege
Dengan Kreditor Preferen Pemegang Hipotek Kapal Laut Terkait Adanya
Force Majeure, Jurnal Perspektif, Vol. XVIII No. 1, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya.
Purwadi, Ari, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang
Bermasalah, Jurnal Perspektif, Vol. XVI No. 3, Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
22
Tesis/Disertasi :
Ardytia, Wisnu, 2009, Perlindungan Hukum Kreditor dalam Kepailitan (Studi
Kasus Terhadap Peninjauan Kembali Reg. No. 07PK/N/2004), Tesis,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Aruan, Albert Richi, 2010, Kedudukan Negara Atas Utang Pajak PT. Artika
Optima Inti dalam Kasus Kepailitan, Tesis, Program Studi Magister
Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Baryadi, Juniarty, 2011, Perubahan Bentuk Persekutuan Komanditer (CV)
Menjadi Perseroan Terbatas, Tesis, Program Studi Kenotariatan Universitas
Indonesia.
Fernandez, 2012, Tinjauan Yuridis Hak Mendahulu Pelunasan Utang Pajak Atas
Harta Pailit dan Penyelesaian Utang Pajak dalam Kepailitan, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depoi.
Kurniawan, 2007, Pemberesan Harta Pailit Pada Perusahaan Perorangan (Studi
Kasus Pada PT. Sierad Produce Tbk), Tesis, Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.
Niffari, Hanifan, 2012, Akibat Hukum Bagi Kreditur Yang Tidak Mendaftarkan
Piutangnya Kepada Kurator Untuk Dilakukan Pencocokan Piutang Pda
Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 192. K/PDT.SUS/2011, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Rahmadewi, Maria Regina Fika, 2007, Penyelesaian Utang Debitor Terhadap
Kreditor Melalui Kepailitan, Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.
Susanti, 2013, Penolakan Permohonan Kasasi dalam Perkara Kepailitan (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah
Agung), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tyassari, Yudaning, 2008, Akibat Hukum Putusan Pailit Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero), Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Website :
Hukum Online, 2010, Ada Lembaga Baru dalam Revisi UU Sistem Resi Gudang,
http://www. hukumonline.com/ berita/ baca/lt4c52c8de65 ccb/adalembaga- baru- dalam- revisi- uu- sistem- resigudang, Akses tanggal 19
Oktober 2014.
Legal Akses, 2014, Hukum Kepailitan, http://Hukum Kepailitan_Legal
Akses.htm, Akses tanggal 23 Juni 2014.
P. Sofie Widyana, Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum yang Didirikan
Berdasarkan
Perjanjian,
http://www.
Hukumperseroan
terbatas.com/2011/12/15/ perseroan- terbatas- sebagai– badan–hukum –yang
didirikan berdasarkan-perjanjian-2/, Akses tanggal 1 Oktober 2014.
Siregar, Nien Rafles, 2012, Perbedaan Antara Kreditur Separatis dengan
Kreditur Konkuren, http://www.hukumonline.com/ klinik/ detail/ cl1998/
perbedaan –antara –kreditur –separatis –dengan –kreditur-konkuren, Akses
tanggal 23 Oktober 2014.
23
Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman
Tentang Komisaris Independen, Bab II angka 6, http://www. governanceindonesia.com, Akses tanggal 2 Oktober 2014.
Peraturan Perundang-undangan :
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
───────, Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847, Burgerlijk Wetboek (Kitab
Undang-undang Hukum Perdata).
───────, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
───────, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312.
───────, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3632.
───────, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3778.
───────, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889.
───────, Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987.
───────, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
───────, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
───────, Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740.
───────, Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
───────, Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893.
24
───────, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5231.
───────, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan besarnya Penghapusan,
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 480.
───────, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor Se-13/Pj/2013 Tanggal 26 Maret
2013 tentang Tata Cara Pengusulan dan Tindak Lanjut Penghapusan Piutang
Pajak.
───────,Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.67/PUU-XI/2013.
25
Download