UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan berkembang biak disebut ternak fertil atau subur. ternak keturunan atau dapat Kesanggupan atau kemampuan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan dikenal dengan istilah Fertilitas. Sebaliknya ternak yang tidak mampu untuk berkembang biak menghasilkan keturunan disebut infertilitas. Infertilitas ini dapat beruapa infertilitas sementara maupun permanen. Infertilitas yang bersifat sementara disebut dengan istilah infertilitas sedangkan infertilitas permanen disebut dengan sterilitas. Penyebab variasi fertilitas dan infertilitas pada ternak adalah faktor genetik dan lingkungan. Dengan mengetahui dan mendeteksi bentuk-bentuk fertilitas dan infertilitas serta usaha-usaha pengendalian faktor-faktor penyebabnya agar tingkat normal fertilitas dapat dipertahankan dan tingkat infertilitas dapat diperkecil. PERILAKU SEKSUAL Sexual desire (kuat seksual) yang lemah atau tidak ada sama sekali adalah kejadian patologik dan merupakan suatu bentuk infertilitas penting pada kuat seksual. Pada umumnya sapi dewasa dan dara memiliki kuat seksual yang kuat, normal atau bahkan lemah, sedangkan jika tingkat kelemahannya luar biasa hingga terliaht seperti birahi tenang maka kondisi ini akan menyulitkan dalam pendeteksiannya. Ekspresi perilaku seksual bervariasi sangat besar, kondisi ini disebabkan oleh karena : faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terletak pada steroid, aktivitas ovari setelah melahirkan, kelenjar pineal, kelenjar thyroid dan adrenal. Faktorfaktor eksternal dapat berupa frekuensi dan intensitas ulang alik rangsangan seksual dari pejantan dan betina (misal pheromon spesifik dari suatu spesies), pengalaman seksual, faktor-faktor stres oleh karena pengaruh iklim / cuaca, pemeliharaan induk, sakit, gelisah, perubahan lingkungan mendadak, pakan, tatalaksana dsb. KRITERIA UKURAN FERTILITAS A. Fertilitas Normal. 1. Dewasa kelamin atau Pubertas. Pada sapi-sapi dara dewasa kelamin mulai ditandai dengan adanya birahi dan ovulasi pertama serta perkembangan dari kuat seksual yang menunjukan keinginan untuk kopulasi. Idealnya sapi-sapi dara dapat diharapkan menghasilkan anak untuk saat pertama sebelum umur 30 bulan. Pada kondisi tropis seperti di Indonesia dengan pakan normal banyak sapi-sapi dara mencapai pubertas saat berumur 18 bulan bahkan kadang bisa lebih awal tergantung bangsa dan berat tubuh sapi. Keterlambatan dewasa kelamin mengakibatkan kerugian secara ekonomis terutama pada sapi perah dara sebab akan menyebabkan tambahan biaya , tidak produktif untuk beberapa bulan. Pada sapi-sapi FH atau PFH di jawa tengah umur pertama kawin rata-rata 1,50 + 0,30 tahun (Soenarjo, 1988). Sedangkan untuk sapi potong bangsa American Brahman, Ongole / PO atau persilangan AB dengan Ongole / PO dicapai pertama kawin rata-rata umur 638,80 + 98,75 hari (Soenarjo, 1988). Untuk penggunaan pejantan sebaiknya digunakan sebagai pemacek terutama untuk sapi FH maupun PFH pada umur antara 18 sampai dengan 24 bulan, agar tidak menghasilkan fertilitas rendah. Sedangkan untuk sapi potong seperti AB, PO atau AB X PO dan ongole sebaiknya digunakan sebagai pemacek pada umur 24 sampai dengan 30 bulan. 2. Kuat Seksual (Sexual Desire) Jika dewasa kelamin telah dicapai maka ternak betina akan mengalami birahi secara siklik (siklus birahi) dan untuk ternak jantan akan memiliki kemampuan untuk melayani / mengawini betina birahi. Nafsu sek atau libido pejantan banyak ditandai oleh fluktuasi kadar hormon testosteron dalam darah dan libido ini ditentukan oleh pusat perilaku seks. Kuat seksual seekor pejantan dapat diukur dengan mengetahui waktu reaksi mulai kontak pertama hingga optimum kawin seekor sapi betina, sehingga ereksi dan kopulasi sempurna dapat dicapai. Kecepatan reaksi dan intensitas reaksi adalah suatu parameter nyata bagi kuat seksual. Variasi reaksi pejantan tergantung pada bangsa, umur dan kondisi fisik. Kuat seksual pejantan juga dapat diukur dengan uji pernafasan, yaitu dengan mengetahui banyaknya jumlah pelayanan dalam satu periode waktu. pejantan sapi dengan kuat seksual tinggi dapat mengawini 10 kali Pejantandi padang, sedangkan pejantan-pejantan dengan kuat seksual rendah mungkin hanya 3 kali saja. Pada sapi-sapi betina dewasa dan dara ekspresi dan lama birahi sub – normal merupakan kasus infertilitas sementara, sehingga kesempatan untuk membuntingi hilang. Pada beberapa gangguan dimana sapi-sapi betina dewasa yang memperlihatkan gejala birahi yang jelas akan lebih fertil dari pada sapi betina dengan gejala birahi sub-birahi yang ditandai dengan variasi derajat sekresi lendir dalam serviks. 3. Non Return atau NR Non Return atau NR adalah suatu persentase sapi-sapi betina dewasa dan dara yang tidak kembali birahi dalam waktu 30, 30 -60 atau 60 – 90 hari setelah inseminasi pertama. NR merupakan suatu parameter yang sangat berguna karena merupakan penggabungan fertilitas pejantan dan sapi betina dewasa atau dara dan pada kenyataannya fertilitas ini menurun setelah perkawinan. NR setelah 30 hari akan mencapai 70%, sedangkan pada NR 60 – 90 hari 70% adalah gambaran yang sangat memuaskan.Hasil penelitian Soenarjo (1985) menunjukan bahwa besarnya NR yang dicapai pada suatu program IB menunjukan besarnya NR 30, 30 – 60 dan 60 – 90 hari berturut-turut adalah 87,50 + 5,00; 87,50 + 6,45 dan 87,50 + 12,5% dicapai pada sapi perah FH / PFH. Pada sapi potong besar NR pada 60 – 90 hari dicapai rata-rata 68,33 + 10,03% pada sapi PO 66,77 + 15,58% pada sapi AB dan 70,83 + 20,83% pada sapi hasil silang AB atau AB dan Ongole (Soenarjo, 1988). 4. Angka Konsepsi atau Conception Rata (CR). Adalah persentase dari betina-betina yang telah bunting setelah di inseminasi pertama. Pada sapi FH / PFH di daerah IB diketahui CR nya adalah 97,50 + 5,71 persen dan sapi potong (AB, PO dan AB X PO) rata-rata CR nya adalah 86,24 + 5,19 % (Soenarjo, 1988). 5. Angka Lahir (Calving Rate). Adalah persentase dari betina-betina yang melahirkan dari kelompok betina yang dikawinkan dan bunting serta anak sapi yang dilahirkan dapat hidup secara normal. 6. Indeks Kebuntingan (Services per Conception = S/C). Adalah jumlah perkawinan yang diperlukan untuk terjading kebuntingan (IB atau alam per kebuntingan). Pada ternak sapi rakyat daerah IB di Bantul menunjukan angkan S/C sekitar 1,54 (Utomo,S., 2002) dan umumnya berkisar antara 1,4 – 1,7. Indeks kebuntingan ini sangat penting artinya secara ekonomis, karena semakin tinggi nilainya maka biaya operasionalnya pun semakin tinggi sekaligus adanya keterlambatan untuk mendapatkan pedet. 7. Interval Beranak (Calving Interval = CI). CI adalah periode waktui antara dua keberhasilan beranak pada sapi. Dikehendaki optimalnya CI pada sapi adalah 12 bulan, namun umumnya dicapai pada 13 bulan. Untuk dapat mencapai CI 12 bulan dibutuhkan tatalaksana yang baik dan penilaian fertilitas yang memadai. 8. Lama Hidup Reproduktif Adalah jumlah tahun selama pejantan dan induk betina sapi mempertahankan suatu kapasitas reproduksi secara normal. Banyak sapi-sapi induk tidak mencapai lima kali beranak dan laktasi, hal ini berhubungan dengan umurnya yaitu antara 7 – 8 tahun. Namun terdapat juga sapi-sapi induk yang dapat beranak sampai 7 kali laktasi hingga umurnya mencapai 10,5 tahun. Produksi susu akan meningkat dari laktasi pertama sampai laktasi ke empat atau ke lima serta berada dalam keadaan puncak produksi, hingga laktasi ke tujuh, ke delapan atau kadang sampai laktasi ke sepuluh (Soenarjo, 1988). Sapi perah secara individual ada yang dapat mencapai 10 laktasi, sedang kekecualian pada sapi-sapi perah yang memproduksi susu tinggi dapat mencapai 10 laktasi atau bahkan lebih dan mencapai umur di atas 20 tahun. Faktor-Faktor yang mempengaruhi variasi efisiensi reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi dengan perkawinan IB disebabkan oleh faktor-faktor seperti inseminator, peternak, ternak betinanya dan faktor semen beku yang digunakannya. Pada perkawinan alam maka faktor inseminator dan semen beku tidak ada, sedang faktor peternak akan sangat berpengaruh terhadap capaian fertilitasnya baik betina maupun pejatannya. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat efisiensi reproduksi diantaranya adalah waktu mengawinkan sapi, iklim, nutrisi dan kesehatan. Inseminasi sebaiknya dilakukan selama ternak betina dalam kondisi standing heat atau saat optimum untuk kawin, sebab IB yang dilakukan sesudah akhir birahi akan memberikan penurunan angka kebuntingan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya regenerasi oocyte yang banyak memberikan resiko terjadinya fertilitas polispermi. Iklim adalah suatu faktor yang sangat komplek termasuk di dalamnya adalah suhu, kelembaban, curah hujan, variasi panjang siang dan malam hari dan radiasi sinar matahari. Organ reproduksi merupakan salah satu organ yang sangat peka fungsi fisiologiknya. Embryo sangat peka terhadap heat sterss atau stress panas. Pengaruh pengurangan tingkat makan, kehilangan berat badan, infeksi kuman dan parasit dan pengaruh vaksinasi tertentu akan menurunkan resistensi secara umum pada ternak terhadap stress baru. Sapi-sapi didaerah tropis dan sub tropis umumnya nutrisi merupakan faktor yang sangat berperan terhadap sub fertilitas dan infertilitas ternak. Kehilangan Berat badan 50 – 80 kg menyebabkan menurunnya fertilitas, terutama sebagai akibat infertilitas ovariumnya. Pada kenyataannya dilapangan gangguan fertilitas pada sapisapi di daerah tropis terutama disebabkan oleh kurang pakan (kualitas dan kuantitasnya) atau under-feeding. Gejala kekurusan selama musim kemarau sebagai akibat kekurangan pakan akan berakibat langsung terhadap timbulnya dewasa kelamin (sexual maturuty) terhambat dan inaktifitas ovarium yang berhubungan dengan pendeknya waktu pelepasan hormon gonadotrophin atau GRH dari kelenjar hipothalamus dan gonadotrophin dari kelenjar hipofise. Kesehatan seekor ternak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti cahaya dan kegelapan, radiasi sinar matahari, suhu dan kelembaban lingkungan dan latihan fisik (Physical exercise). Cahaya tidak berperan penting mengontrol efisiensi reproduksi pada sapi (kecuali pada unggas), bahkan derajat kegelapan tidak menyebabkan infertilitas ternak. Penambahan cahaya buatan hingga 18 jam per hari menyebabkan suatu penurunan fertilitas yang serius terutama melalui gangguan fungsi ovariumnya. Latihan fisik ternak (physical exercise) pad ternak dengan pemberian hijauan yang cukup baik akan menghasilkan kesehatan umum yang lebih baik.Kontak sapi yang satu dengan sapi lainnya atau kelompok sapi lainnya bahkan dengan sapi-sapi pejantan lainnya dapat merangsang tingkah laku seksual dan fungsi ovarium menjadi lebih baik. Latihan fisik melalui jalan-jalan atau penggembalaan tiap hari bagi sapi-sapi akan mempercepat involusi uteri sesudah melahirkan dan cepat kembali ke fertilitas normal. Suhu dan kelembaban yang mempunyai hubungan dengan fertilitas sapi, meskipun pengaruhnya bervariasi tergantung pada bangsa sapi, iklim dan kondisi kandang. Suhu kritis sekitar 35ºC (siang hari) dan 30ºC (malam hari). Sapi betina tropis cepat beradaptasi, walaupun resiko kematian awal embryo antara hari kedua sesudah perkawinan lebih kecil dibandingkan dengan bangsa sapi eropa.