BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam melakukan aktivitas seksual, laki-laki umumnya memiliki pasangan seksual yang adalah lawan jenis kelamin, yaitu perempuan. Akan tetapi, beberapa orang menyatakan dirinya pernah melakukan hubungan seksual dengan orang dari jenis kelamin yang sama (Laumann et all, dalam Papalia, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Kinsey (1948) menemukan bahwa 46% dari laki-laki yang menjadi subjek penelitiannya bereaksi secara seksual kepada orang-orang dari kedua jenis kelamin, lebih jauh lagi 37% dari subjek tersebut memiliki, setidaknya, satu pengalaman berhubungan seks dengan sesama jenis kelaminnya. Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki memiliki frekuensi yang lebih sering dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Hal ini bisa disebabkan karena laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Vohs et all, dalam Miller & Perlman, 2009). Miller & Perlman menyatakan bahwa laki-laki memiliki sikap dan perilaku seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oliver dan Hyde pada tahun 1991, yang memperlihatkan tiga perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pertama, laki-laki 1 Universitas Sumatera Utara 2 memiliki frekuensi masturbasi yang lebih sering dibandingkan perempuan. Kedua, laki-laki lebih terbuka berkaitan dengan aktivitas seks bebas. Ketiga, laki-laki memiliki pasangan seks yang lebih banyak dibandingkan perempuan (Miller & Perlman, 2009). Kort, seorang psikoterapis (2006) menyatakan bahwa sering sekali klien laki-lakinya mengaku pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, tetapi tidak merasa bahwa diri mereka adalah gay ataupun biseksual. Mereka tidak menunjukkan perkembangan mental dan identitas diri sebagai homoseksual. Kort (2006) menyatakan bahwa sulit untuk mengkategorikan orang-orang seperti ini sehingga mereka dinyatakan dalam kelompok M-S-M (Men who have Sex with Men), yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain. Tidak semua M-S-M mendefinisikan diri mereka sebagai gay atau biseksual (Argyo, 2012). Salah satunya dapat dilihat dari pengalaman SN, laki-laki berusia 24 tahun yang pernah lebih dari sekali melakukan hubungan seksual dengan sesama laki-laki tetapi tidak merasa dirinya gay atau biseksual. “Kami memang masih sering tidur sama.. kadang dia di kamarku atau aku di kamarnya… aku sayang kali samanya (seorang lakilaki).. tapi kau pun taukan dek aku sukaknya sebetulnya sama perempuan, aku gak ngerasanya aku ini gay, aku cuman sukak sama dia dek, bukan ke laki-laki lain.. yahh.. tapi ya gitu dek..” (Komunikasi personal 1 Desember, 2014) M-S-M bukanlah suatu penemuan baru, dimana hal ini sudah lama diteliti oleh para pakar di bidang seksual. Pada tahun 1948, Kinsey bersama rekannya, Pomeroy dan Martin, membuat sebuah skala rating yang merupakan evaluasi diri terhadap pengalaman seksual seseorang. Skala Kinsey ini memperlihatkan rentang Universitas Sumatera Utara 3 gambaran perilaku seksual, yang pada satu sisi hanya bersama lawan jenis (eksklusif heteroseksual) dan pada sisi lain hanya bersama sesama jenis (eksklusif homoseksual). Kinsey (1948) berpendapat bahwa mengukur perilaku seksual lebih tepat dibandingkan menyatakan seseorang sebagai gay, biseksual, ataupun straight. Skala Kinsey tersebut dapat dilihat seperti gambar 1.1 di bawah ini: Perilaku seksual dengan lawan jenis Perilaku seksual dengan sesama jenis 0 1 2 3 4 5 Eksklusif heteroseksual 6 Eksklusif homoseksual Gambar 1.1 Argyo (2012) menjelaskan bahwa M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang orientasi seksual mereka. Laki-laki yang disebut M-S-M adalah laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks dengan perempuan, laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan, misalnya di penjara dan ketentaraan. M-S-M mengacu pada orang yang melakukan hubungan seksual sesama laki-laki. Untuk setiap perilaku hubungan seksualnya dinyatakan sebagai perilaku M-S-M. Universitas Sumatera Utara 4 Aktivitas seksual M-S-M memiliki banyak faktor penyebab dan alasannya. Ada karena alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada yang coba-coba melakukan hubungan seksual, ada yang membutuhkan kasih sayang ayah, ada yang karena kebutuhan seksual yang tinggi, tetapi khawatir melakukannya dengan perempuan, dan banyak penyebab lainnya (Kort, 2013). Dari wawancara personal, SN menyatakan alasan melakukan hubungan seksual sejenis dikarenakan adanya nafsu seksual yang tinggi namun khawatir terhadap konsekuensi jika melakukannya dengan perempuan. “…..mudah kali sebetulnya aku jatuh di situ (seks).. misalnya kan kulihat adegan-adegan yang sejenis saja aku bisa terangsang dek. Kurasa kan memang kalo cowok senormal apapun dia kalau nafsu seksnya tinggi nggak bakal peduli dia sama siapa dilampiaskannya.. itu jugalah yang aku alami dek.. waktu ada rangsangan masuk ke otak memang aku nafsu kali.. kan nggak mungkinlah aku salurkan ke cewek dek, kan konsekuensinya bahaya, bisa hamil.. makanya waktu ada kesempatan sama adek itu kami lakukanlah…” (Komunikasi personal 1 Desember, 2014) M-S-M bukanlah perilaku yang wajar pada masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, dalam pandangan agama mayoritas yang ada di Indonesia, yakni Islam dan Nasrani, sangat menentang perilaku ini. Dalam ajaran Nasrani, baik Katolik maupun Protestan, aktivitas seksual M-S-M yang melibatkan perilaku sodomi dijelaskan pada beberapa kitab yang memperlihatkan kisah, akibat, dan ketidakberkenanan Tuhan terhadap perilaku tersebut. Gilbert (2002) menegaskan bahwa seks bebas yang dilakukan dengan sesama jenis disebut sebagai seks liar, yang mana sangat dimurkai oleh Tuhan. Hal ini tercatat dalam Alkitab pada kitab Kejadian pasal 19 ayat 1 sampai 29 mengenai pemusnahan kota Sodom dan Universitas Sumatera Utara 5 Gomora dengan api dan belerang akibat kebejatan berupa perilaku sodomi sesama laki-laki. Peristiwa tersebut diyakini sebagai awal terjadinya perilaku sodomi yang merujuk pada perilaku homoseksualitas (Stamps, 1991). Selain tertulis di kitab suci agama Nasrani, perilaku sodomi di kota Sodom dan Gomora juga terdapat di kitab A‟raaf: 80-81 Al-Quran. Al-Quran mengisahkan fakta bahwa kaum keturunan Nabi Luth merupakan orang-orang yang pertama kali melakukan peraktik sodomi. Perbuatan ini dinyatakan sebagai perbuatan dosa yang sangat menjijikkan, perbuatan yang keji dan melampaui batas (Philips dan Khan, 2003). Peristiwa ini juga digambarkan sebagai kebobrokan moral akibat ketidakmampuan untuk menahan nafsu mereka. Dasar Philips dan Khan (2003) dalam menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku yang bertentangan dikutip dari ayat Al-Quran, yakni Al A‟raaf: 80-81 yang berbunyi “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) Tatkala dia berkata kepada kaumnya, „Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk memuaskan nafsu kalian (kepada mereka), kalian adalah kaum yang melampaui batas.‟” Berdasarkan uraian di atas, M-S-M dalam sudut pandang agama bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan sehingga orang yang melakukannya dinyatakan bersalah dan disebut sebagai orang yang berdosa (Cohen dan George, dalam Syahputra, 2011). Orang dinyatakan berdosa jika melanggar hukum dan kehendak Tuhan (Fromm dalam Crapps, 1994). Cohen dan George (dalam Syahputra, 2011) berpendapat bahwa rasa bersalah memiliki hubungan yang Universitas Sumatera Utara 6 signifikan dengan pengalaman spiritual seseorang. Hal ini tergambar dari wawancara yang dilakukan dengan SN, dimana ia memiliki perasaan bersalah, ketidaknyamanan, dan perasaan telah berkhianat kepada Tuhan karena aktivitas M-S-M tersebut. “…gitulah dek kalo waktu itu memang aku ngerasa sangat tidak nyaman… rasa bersalah.. intimidasi.. wah semua-semualah itu…… waktu kita melakukannya ya kalau kita tau yang benar, ya kita merasa bersalah…jadi waktu itu aku memang benar-benar menduakan Tuhan” (Komunikasi personal, 1 Desember 2014) “aku ini gila sex.. aku mau dilayani rasanya (oleh seorang lakilaki), tapi aku malu kali sambil melayani Tuhan sambil melakukan dosa itu” (Komunikasi personal, 28 Maret 2015) Selain wawancara dengan SN, data hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Subhi, Mohamad, Sarnon, Nen, Hoesni, Alavi, dan Chong (2011) memperlihatkan bahwa sekitar 80% dari 20 subjek penelitiannya yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis juga mengalami konflik berkaitan dengan perilaku tersebut dengan keyakinan akan ajaran agama. Salah seorang laki-laki dalam penelitian tersebut menyatakan sebagai berikut: “It was hard in a way. I knew I couldn't change God. God doesn't change. He's the same. So I knew I had to change but I just didn't know how. That was the wrestle. I would pray to change. I had people pray for me to change. I prayed to heart. And then I would get disillusioned and I would become weary from the battle. And I would go back out in frustration thinking that I can't do it, it's impossible. Then I would be up in the lifestyle, living the same lifestyle and then in time the pull towards God again began”. (Dikutip dari jurnal Subhi, dkk. 2011) Universitas Sumatera Utara 7 Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa keyakinannya terhadap Tuhan sangat sulit untuk mewajarkan perilaku seksual sejenis yang diinginkannya. Freud (dalam Gangemi dan Mancini; dalam Tranka, Balcar, dan Kuska, 2011) menjelaskan bahwa konflik batin yang dialami oleh orang-orang tersebut, termasuk SN, merupakan proses intrapsychic conflict. Intrapsychic conflict merupakan proses yang terjadi dalam internal diri seseorang, bukan karena faktor dari luar, dimana proses tersebut merupakan pertentangan dari dorongan libidinal dengan komponen yang mengontrol ego (Freud dalam Rangell, 1963). Intrapsychic conflict dikaitkan dengan pemahaman Freud tentang pikiran manusia. Baginya, pikiran memiliki tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Komponen tersebut merupakan prinsip kesenangan, prinsip realitas, dan dunia moralitas sosial. Ketiganya terus berinteraksi dan berkompromi satu sama lain. Apabila ketiganya mengalami pertentangan maka hal ini menimbulkan konflik batin dalam diri seseorang (Johnson, 2007). Dunia moralitas sosial, yakni superego tidak hanya berbicara mengenai pandangan agama, tetapi juga pandangan budaya masyarakat yang ada di sekitarnya. Perilaku seks sejenis, misalnya, tidak hanya dipandang negatif dari ajaran agama, tetapi juga pandangan masyarakat itu sendiri yang menganggap hal ini menyimpang. Ada penemuan bahwa hubungan seksual antara pasangan yang berjenis kelamin sama tidak akan dapat berjalan secara bebas karena masyarakat masih menganggap bahwa hal ini merupakan suatu disfungsi suatu aktivitas (Savin, William, Cohen, 1996). Banyak sekali hambatan dan risiko yang dihadapi oleh pelaku seks sejenis jika diketahui oleh masyarakat, bahkan lebih parahnya Universitas Sumatera Utara 8 keluarga juga kemungkinan ikut serta mengucilkan mereka (Walker, dalam Fajriani, 2013). Hal ini sejalan dengan pernyataan Musdah (dalam Fajriani, 2013) bahwa pada masyarakat Indonesia, perilaku seks sejenis adalah perilaku yang sangat menyimpang dan merupakan penyakit sosial. Konflik batin yang dialami oleh SN dan beberapa subjek penelitian yang terkait dengan perilaku seks sejenis memperlihatkan bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan nilai yang ada pada diri mereka sehingga mereka mengalami ketidaknyamanan. Ketika seseorang sulit untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada mengindikasikan bahwa mereka belum mampu mengelola diri mereka. Hal tersebut menjadi sumber yang berkontribusi pada rendahnya kesejahteraan seseorang (Ryan dan Deci, 2001) Tidak semua M-S-M mengalami konflik atau kondisi psikologis yang negatif dalam melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Di antara mereka terdapat orang-orang yang memilih melakukan perilaku tersebut tanpa adanya perasaan kegelisahan. Mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah diri mereka yang sesungguhnya sehingga dalam menyalurkan hasrat tersebut dianggap sebagai aktivitas dari dirinya yang sejati. Hal ini tergambar dari hasil wawancara personal peneliti dengan FA, 20 tahun, berikut ini: “yaa… gimana ya.. aku sih ngelakuinnya enjoy aja.. ia emang salah sih kalo dari aturan agama.. eh.. tapikan itu urusan aku sama Tuhanku ajalah, Dia kok yang ciptain aku, pasti ngertilah Tuhan itu.. hahaha” (Komunikasi personal, 4 Maret 2015) Universitas Sumatera Utara 9 “Kalo apa kata orang ya kan… selagi nggak ngerugikan orang itulah ya kan, aku gak ada masalah, terserah mau dibilang apa, kan gak kuganggu hidup orang itu… yang penting sekarang aku nyaman aku senang sama diriku sendiri… bisa jadi pacar abang itu, hidupku senang.. ngapain stress mikirin apa kata orang, ya kan?” (Komunikasi personal, 4 Maret 2015) Demikian pula pada JW, 29 tahun, merasakan bahwa aktivitas tersebut adalah aktivitas yang menyenangkan dan tidak menimbulkan suatu kondisi psikologis yang negatif. “Aduh.. kok gelisah pulak? Kitanya yang buat itu… Apa ya kubilang, kalau kataku itu bagian hidupkulah.. dapat dikatakan semangat kali pun aku kalau aku bisa main sama orang-orang yang kusukak. Apalagi aku tipikalnya pembosankan dek.. jadi yah aku nggak mau ribetlah, kalau sukak dekatin.. ajak kenal lebih dalam, terus baru diajak main, kalau dia gak mau kita nggak maksa juga ya kan? Salah sih salah emang, tapi kitanya itu yang milih kekmananya… hidup ini kan pilihan.” (Komunikasi personal, 21 Februari 2015) Tidak hanya itu, TS, 34 tahun, juga menyatakan bahwa dirinya tidak terlalu memikirkan perilaku tersebut. Baginya yang terpenting adalah ia bisa mencapai kesuksesannya melalui pengembangan potensi, yakni bakat dan kreativitasnya dalam hal men-disign batik. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam salah satu media sosial: “Hidupku udah ditakdirkan spt ini, well.. ak ngga mau stuck di situ, kapan ak brkembang kalo pkranku cuma cowo2 aj. Kalo tar ak nemu cowo y ku suka ak bakal ngajakin dia nikah mungkin bkn skdar sex doang hahaha :D tapi y plg ptg jauh lebih seneng bisa menorehkan nama kita di kancah internasional dr talenta y kita miliki. Soal cowok blaknganlah, tp bkn dtinggalin. Hehehe.. eh ada y mau meluk ak mlm ini? Butuh pelukan nih. hahaha” (Pesan dinding Facebook, 10 Agustus 2015) Universitas Sumatera Utara 10 Konsep kesejahteraan (well-being) mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis berkisar dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasa tertekan, rasa percaya diri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradburn, dalam Liwarti, 2013). Ada dua perspektif mengenai kesejahteraan yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan pertama adalah hedonic, yang memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal untuk mencapai kebahagian serta menghindari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan (Diener dan Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001). Pandangan kedua adalah eudaimonic, yang memandang kesejahteraan sebagai suatu konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan (Keyes, Shmotkin, dan Ryff, dalam Rahayu, 2008). Kesulitan M-S-M terkait dengan memilih melakukan hubungan seksual sejenis dengan nilai-nilai yang dianutnya terkait dengan kesejahteraan yang sifatnya eudaimonic. Pendekatan eudaimonic, berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana seorang individu mampu untuk mengaktualisasikan potensi dirinya (Waterman, dalam Ryan & Deci, 2001). Mereka yang memiliki kesejahteraan eudaimonic yang tinggi harusnya tahu memilih apa yang paling sesuai untuk dirinya. Universitas Sumatera Utara 11 Waterman bersama rekannya (2010) mengistilahkan kesejahteraan yang didasari perspektif eudaimonic sebagai Eudaimonic Well-Being (EWB). Eudaimonic well-being mengacu pada kualitas hidup seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimilikinya serta bagaimana potensi tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan kesesuaian dengan tujuan hidup (Waterman, et al, 2010). Waterman, yang mendasari konsepnya dengan eudomonic tersebut, berpendapat bahwa konsep kesejahteraan psikologis sudah banyak yang meluas cakupan variabelnya dari apa yang didefinisikan oleh Aristoteles. Konsep Waterman lebih sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles tentang eudaimonic yang mengacu pada “Living a Good Life”, yakni hidup secara konsisten pada daimon-nya atau diri yang sejati. Dari dasar pandangan tersebut, Waterman tidak menyetujui jika konsepnya disamakan dengan konsep kesejahteraan psikologis lainnya sekalipun bersama-sama memandang dari segi eudaimonic, salah satunya adalah kesejahteraan psikologis yang diungkapkan oleh Ryff. Waterman mengakui bahwa konsep Ryff masih searah dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles, tetapi konsepnya yang luas karena dipengaruhi perkembangan psikologi klinis dan perkembangan manusia ternyata lebih mampu mengukur elemen objektif, yakni perilaku. Sedangkan, konsep Waterman mampu mengukur elemen subjektif, yakni perasaan bahagia yang dialami oleh seseorang (Waterman, 2010). Waterman menjelaskan ada enam aitem katagori yang saling berkaitan dalam eudaimonic well-being, yakni penemuan diri, pengembangan potensi terbaik seseorang, adanya tujuan yang berarti dalam hidup, memiliki upaya yang Universitas Sumatera Utara 12 signifikan dalam mengejar keunggulan, keterlibatan intens dalam setiap kegiatannya, dan menikmati setiap kegiatan sebagai pribadi ekspresif. Lebih jauh lagi, Schutee, Wissing, dan Khumalo (2013) melakukan analisis faktor pada alat ukur yang digunakan Waterman dalam mengukur EWB, dimana penelitian tersebut menghasilkan tiga aspek dalam teori tersebut, yakni Sense of Purpose (SoP), Purposeful Personal Expressiveness (PPE), dan Effortful Engagement (EE). Sense of Purpose (SoP) mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang, Purposeful Personal Expressiveness (PPE) merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya , dan Effortful Engagement (EE) yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan (Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013). Keberhasilan seseorang dalam pencapaian EWB yang tinggi akan sejalan dengan kemampuannya dalam mengelola setiap permasalahan (Waterman, dkk. 2010). Mengelola permasalahan yang ada termasuk juga di dalamnya adalah mengelola kecemasan yang dialami. Seorang yang terlibat dalam perilaku seksual sejenis, seperti M-S-M, tentunya memiliki nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya berkaitan dengan menjadi diri yang ideal. Akan tetapi, dalam situasi yang dialami M-S-M, konflik muncul ketika nilai-nilai yang tertanam tidak sejalan dengan perilaku seksual yang ingin dilakukan terutama apabila baru pertama kali dilakukan. Individu yang termotivasi untuk mengekspresikan id yang berlawanan dengan superego akan merasa malu atau bersalah. Biasanya individu dengan superego yang kuat akan mengalami konfllik yang lebih hebat daripada individu yang mempunyai kondisi Universitas Sumatera Utara 13 toleransi moral yang lebih longgar (Freud, dalam Andri dan Dewi, 2007). Keadaan ini mengarahkan seseorang pada suatu kecemasan, yang mana sangat terkait dengan rendahnya kesejahteraan dalam dirinya. Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang tidak menyenangkan akibat ketegangan-ketegangan dalam internal seseorang (Freud, dalam Hall, 1995). Selain itu, Johnston (dalam Trismiati, 2006), mendefinisikan kecemasan sebagai reaksi yang tidak menyenangkan karena adanya hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, dan rasa tidak aman. Kecemasan hampir sama dengan ketakutan, akan tetapi ketakutan hanya terjadi terhadap sesuatu hal di dunia luar, sedangkan kecemasan bisa terjadi baik dari luar maupun dari dalam diri seseorang (Hall, 1995). Kasus yang dialami oleh SN dan beberapa lainnya yang berkonflik menunjukkan bahwa ia mengalami kecemasan yang menimbulkan suatu keinginan yang tidak realistis, yakni harapan bahwa kedua pilihan antara id dan superego dapat ia lakukan. Hal ini tersirat dari kalimat yang diutarakan oleh SN meskipun pada akhirnya ia mengerti bahwa pikirannya tidak dapat terjadi. “….aku ingin itu tetap bisa dilakukan dan bisa dibenarkan sama Tuhan sekalipun Tuhan nggak mungkin bersatu dengan iblis dek.. tapi yah.. apa yang dilakukan yang disenangi iblis nggak mungkin juga diterima sama Tuhan.. jadi waktu itu aku memang benarbenar menduakan Tuhan, padahal Tuhan bilang gak mungkin ada hamba yang setia pada dua tuan secara bersamaan..” (Komunikasi personal, 1 Desember 2014) Universitas Sumatera Utara 14 Selain SN, pada penelitian Subhi juga ditemukan bahwa dari 80% subjek penelitiannya yang mengalami konflik, 31,3% mengaku mengalami kecemasan dalam dirinya terkait dengan perilaku seksual sejenis, sedangkan yang lainnya mengalami kondisi psikologis yang buruk, seperti menyalahkan diri sendiri, hasrat ingin bunuh diri, merasa terasing, depresi, dan malu, yang mana semuanya kondisi tersebut erat kaitannya dengan kecemasan (Subhi, dkk., 2011). Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, bersifat internal dan konfliktual, serta tidak rasional. Definisi ini terkait dengan teori Spielberg dimana kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan kegagalan, tekanan, kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik, yang dinyatakan sebagai suatu situasi (state), akan membawa seseorang pada kecemasan (dalam McDowell, 2006). Spielberg menyebut kecemasan seperti ini sebagai state anxiety. Kecemasan juga terjadi pada seseorang yang baru pertama kali melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma. Konflik yang merujuk pada kecemasan akan terjadi pada M-S-M ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan dilakukan berulang-ulang. Perilaku seksual, termasuk perilaku M-S-M adalah suatu aktivitas yang berpotensi menyebabkan seseorang kecanduan. Orford (dalam Moeljosoedjono, 2008) menyatakan bahwa seks adalah perilaku yang bersifat adiktif sehingga perilaku ini sifatnya berulang dilakukan, kompulsif, sulit dihentikan dan diubah. Ketika seseorang melakukan perilaku tersebut secara Universitas Sumatera Utara 15 berulang, maka kesenangan dan kebahagiaan yang ia peroleh akan menghilangkan rasa bersalah dan kecemasan yang dialami saat pertama kali (Moeljosoedjono, 2008). Selain kecemasan akibat konflik yang dialami oleh M-S-M, sumber kecemasan lainnya juga bervariatif pada setiap pelakunya. Bagi beberapa orang, sumber yang menjadi kecemasan adalah risiko aktivitas seksual tersebut. Berbagai macam penyakit seks menular dapat menginfeksi para M-S-M, misalnya HIVAIDS, terutama pada perilaku seksual ini lazim menggunakan alat tubuh yang tidak sesuai fungsinya misalnya mulut dan anus untuk penetrasi, sehingga mudah terjadi luka yang menyebabkan penyakit mudah masuk (UNAIDS, 2006). Tidak adanya ikatan yang pasti pada pelaku seks sejenis menyebabkan perilaku ini sering dilakukan secara berulang dan dengan orang yang berbeda-beda (Savin, William Cohen, 1996). Oleh sebab itu, memungkinkan penyakit lebih mudah menyebar. Namun, bagi beberapa orang M-S-M memang sudah memiliki antisipasi yang tinggi dalam menghadapi risiko ini, misalnya penggunaan kondom, obat antibiotik, dan sebagainya. Akan tetapi, ini juga dapat menyebabkan kecemasan pada beberapa M-S-M lainnya. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berdampak pada kesehatan mental seseorang (Vivi, 2012). Sereen, dkk (dalam Feroze et. Al, 2010) menyebutkan secara khusus kecemasan berpengaruh kepada kondisi fisik, kualitas hidup yang buruk, dan perasaan ketidakberdayaan. Selain itu, dari hasil penelitian Juan, Romedios, David, Maria, dan Manuel (2012) menemukan bahwa kecemasan berkorelasi negatif dengan kesejahteraan psikologis seseorang, yang Universitas Sumatera Utara 16 mana artinya orang-orang yang tinggi tingkat kecemasannya memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa kecemasan umumnya disertai dengan kesejahteraan psikologis yang rendah karena kecemasan merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, mengganggu, bahkan menyakitkan sehingga meyebabkan seseorang sulit untuk menikmati hidup (Arsip UII, 2012). Akan tetapi, kecemasan yang diungkapkan pada penelitian ini adalah kecemasan secara umum, yang mana Spielberg menyatakan bahwa kecemasan yang secara umum dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya dikategorikan sebagai trait anxiety. Kecemasan ini adalah kondisi ketidaknyaman psikologis akibat adanya ancaman terhadap diri seseorang (Carducci, 2009). Kesejahteraan psikologis yang dikaitkan dengan kecemasan pada penelitian sebelumnya adalah kesejahteraan psikologis dari teori Ryff, Ryan, dan Deci. Sedangkan, pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui kaitan kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being Waterman. Lebih jauh lagi, uraian di atas menunjukkan bahwa kecemasan yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis seseorang adalah kecemasan umum (trait anxiety), yang mana tidak dapat disamakan dengan kecemasan state yang ada pada M-S-M. Situasi konflik, rasa bersalah, dan sebagainya yang dialami oleh M-S-M pada paparan di atas memiliki dua sisi, yakni rendahnya Eudaimonic Well-Being dan adanya kecemasan akibat perilaku tersebut. Untuk itu, pada penelitian ini fokus untuk mengetahui lebih lanjut hubungan Kecemasan akan perilaku seks Universitas Sumatera Utara 17 sejenis yang adalah state anxiety dengan Eudaimonic Well-Being Waterman pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men). B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan Kecemasan akan perilaku seks sejenis dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men)?” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan Kecemasan akibat perilaku seks sejenis dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men). D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memperkaya pemahaman dan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, bidang Psikologi Seksual, bidang Kesehatan Mental, dan Psikologi Sosial. Adapun manfaat praktis penelitian ini yaitu dengan adanya gambaran dari hasil penelitian ini diharapkan pihak-pihak yang bergerak di bidang kesehatan mental dan psikologi seksual lebih mengerti dinamika hubungan kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M. Manfaat praktis penelitian ini juga ditujukan pada M-S-M untuk mengembalikan kesejahteraan psikologis yang terganggu akibat dampak konflik yang dialaminya dan juga untuk menurunkan kecemasan yang mereka alami. Selain itu, manfaat penelitian ini juga membantu Universitas Sumatera Utara 18 setiap individu yang membacanya, khususnya tentang dinamika psikologis M-SM. E. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai latar belakang peneliti mengangkat topik tentang M-S-M, konflik batin yang dialami antara dorongan perilaku seksual dengan sejenis dan nilai dan norma, bagaimana kecemasan yang timbul serta kaitannya dengan EWB, identifikasi permasalahan, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori mengenai kecemasan, Eudaimonic Well-Being Waterman beserta aspek-aspeknya, teori M-S-M. Bab ini juga akan diakhiri dengan dinamika kaitan antara teori yang digunakan. BABIII : Metode Penelitian Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian ini yang mencakup metode penelitian kuantitatif korelasi, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik pengambilan subjek, serta prosedur penelitian dan analisis data. Universitas Sumatera Utara 19 BAB IV : Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi uraian hasil penelitian, seperti gambaran umum dan karakteristik subjek penelitian dan cara analisa data, serta interpretasi data dan pembahasan. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan interpretasi data penelitian, yang juga dilengkapi dengan saran-saran bagi peneliti lain berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh. Universitas Sumatera Utara