45 BAB III PERLINDUNGAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN A. Pengertian Perkawinan Campuran R. Subekti menegaskan: “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”. 89 Perkawinan merupakan salah satu bentuk “perikatan” antara seorang pria dengan seorang wanita.90 Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang dikenal dengan istilah “hukum perkawinan”, yakni sebuah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah laku masyarakat dalam perkawinan.91 Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan, salah satunya yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran, yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898), yang disingkat GHR. 89 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 23. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, cet. 3, (Jakarta: Mandar Maju, 2007), hlm. 6 91 Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi Mereka yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hlm. 18. 90 45 Universitas Sumatera Utara 46 Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam GHR. Artikel 1 dari Staatblaad ini memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda dinamakan perkawinan campuran.”92 Pengertian yang demikian mengandung arti yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang bersangkutan yang hendak menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda kewarganegaraannya.93 Pasal 1 GHR menjelaskan arti perkawinan campuran adalah: “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.94 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar WNI atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran. Perkawinan antara 2 (dua) orang yang berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di luar Indonesia, misalnya orang Prancis dan orang Arab. Perkawinan campuran dalam GHR termasuk pula perkawinan- 92 Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 10 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 1). 93 Sudargo Gautama, Aneka Masalah dalam Praktek Pembaruan Hukum di Indonesia, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 226 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 2). 94 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblaad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 60 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 3). Universitas Sumatera Utara 47 perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara 2 (dua) orang WNI yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara seorang WNI dan seorang asing. Akan tetapi, bila pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum perkawinan KUHPerdata, maka perkawinan tersebut berlakulah ketentuan KUHPerdata.95 Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR dan bahkan juga dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia karena Pasal 2 ini dengan tegas menjunjung tinggi asas persamarataan pengharapan terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan Pasal 2 GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru pada tahun 1848, dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada Hukum Perdata Eropa.96 Terkait mengenai asas persamarataan seperti dimuat dalam Pasal 2 GHR, walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang secara strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum dalam keluarga.97 95 Ibid., hlm. 61. Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1980), hlm. 128 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 4). 97 Ibid. 96 Universitas Sumatera Utara 48 Perkawinan campuran apabila dilihat dari pandangan agama Kristen Katolik, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) Buku VI Kanonik 1124 menyatakan bahwa “perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara 2 (dua) orang yang dibaptis, yang antara 1 (satu) dipermandikan dalam gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah dibaptis dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan pihak yang lain tercatat pada gereja atau persekutuan gerejani yang tidak mempunyai persatuan penuh dengan gereja Katolik, tanpa izin tegas dari kuasa berwenang dilarang”.98 Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengertian perkawinan campuran dalam agama Katolik adalah lebih sempit dari pengertian Pasal 1 GHR, perkawinan campuran hanyalah perbedaan antara orang yang beragama Kristen Katolik dengan orang yang beragama Kristen tetapi bukan Katolik. Ketentuan dalam Kanonik 1124, seorang pemeluk agama Katolik hanya boleh melakukan perkawinan campuran, bilamana telah memperoleh izin tegas dari kuasa yang mempunyai wewenang (pastor/paroki/uskup) dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Pihak yang beragama Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur, bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja Katolik (Kanonik 1125 angka 1). 2. Mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, hendaknya pihak yang lain diberitahukan pada waktunya sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (Kanonik 1125 angka 2). 98 Piet Go dan O. Carm, Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks dan Komentar, (Malang: Dioma, 2006), hlm. 126. Universitas Sumatera Utara 49 3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan dan sifatsifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang pun dari keduanya (Kanonik 1125 angka 3).99 Perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia: 1. Perkawinan di luar wilayah Indonesia antara 2 (dua) orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan ini (Pasal 56 ayat (1)). 2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56 ayat (2)).100 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut: “Perkawinan internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.” B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan campuran adalah sebagai berikut: 1. Menurut Asas-Asas Umum Hukum Perdata Internasional di Indonesia Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaidah HPI secara lengkap, 99 Ibid., hlm. 128-129. Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian”, Bahan Seminar, Diselenggarakan di Batam oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam, pada tanggal 22 Mei 2014, hlm. 2. 100 Universitas Sumatera Utara 50 komprehensif dan terintergrasi. Asas dan kaidah HPI tersebar diberbagai aturan yang terpisah-pisah. Kaidah-kaidah HPI umum yang ada dan melupakan peninggalan sistem hukum Hindia Belanda, termuat di dalam Pasal 16, 17 dan 18 AB. Peraturan tersebut isinya adalah sebagai berikut:101 a. Pasal 16 AB “Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi kawula Negara Belanda (para warga di wilayah terjajah), apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di Negara Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal disitu, berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku disana”. Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang. Asas yang digunakan dalam pasal ini adalah asas domicile of origins. Artinya, untuk menentukan seseorang cakap atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu ukuran yang digunakan adalah ukuran yang berlaku di dalam hukum tempat orang tersebut berasal. b. Pasal 17 AB “Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlaku undang-undang dari negara atau tempat dimana barang-barang tersebut berada”. Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang digunakan di dalam pasal ini adalah asas selexitus atau lex rei sitae. Artinya, ukuranukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benda tetap, hak 101 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 73. Universitas Sumatera Utara 51 kebendaan atas benda tetap, serta akibat hukumnya harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari benda tetap berada atau terletak. c. Pasal 18 AB “Bentuk setiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-undangan dari negeri atau tempat, dimana tindakan hukum dilakukan”. Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam penetapan status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubungan-hubungan hukum (yang mengandung unsur asing). Asas HPI yang digunakan di dalam pasal ini adalah asas lex loci actus, artinya bentuk dari perbuatan hukum serta keabsahannya akan ditentukan dimana hukum dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk menentukan kualifikasi hukum dari suatu perbuatan hukum.102 Mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang berisi asas HPI yang menggantikan ketiga pasal AB tersebut, maka AB hingga saat ini masih berlaku dan menjadi acuan penting untuk menentukan hukum yang berlaku untuk menyelesaikan perkara HPI. Penjabaran lebih jauh ketiga asas tersebut akan dibahas sebagai berikut:103 1) Status personal dan kecakapan hukum: hukum dari tempat kewarganegaraan. Pasal 16 AB diatur dalam konteks penjajahan Belanda karena peraturan ini ditujukan untuk menentukan status personal dari kawula Negara Belanda yang tetap 102 103 Ibid., hlm. 75. Ibid., hlm. 77. Universitas Sumatera Utara 52 tunduk pada sistem hukum dari wilayah hukum berasal, kecuali jika ia tinggal di Belanda atau di salah satu wilayah koloni Belanda (pada saat itu beberapa negara jajahan Belanda lainnya adalah Suriname, Netherlands Antilles dan Curacao). Kawula Negara Belanda akan tunduk pada hukum Belanda atau hukum negara terjajah lainnya dimana kawula negara tersebut berada. Jika, seorang Bumi Putera pada tahun 1921 tinggal di Amerika Serikat, penentuan status personalnya akan tunduk pada hukum adatnya sendiri. Status hukumnya akan diatur dengan hukum Curacao apabila seorang Bumi Putera tinggal di Curacao. Terkait mengenai Negara Indonesia yang telah merdeka, asas yang dapat disimpulkan dari Pasal 16 AB adalah status personal dan kecakapan bertindak dari seorang WNI yang tunduk pada hukum Indonesia, status personal dan kecakapan bertindak dari setiap WNA akan tunduk pada hukum dari tempat mereka berasal (asas country of origin atau domicile of origin). Mengadopsi dari sistem yang berlaku di Belanda, di Indonesia domicile of origin ini diterapkan dengan menggunakan patokan hukum dari tempat seseorang berkewarganegaraan (national principle). 2) Benda tetap: asas lex situs Pasal 17 AB Indonesia menetukan status benda tetap diatur dengan menggunakan asas lex situs atau lex rei sitae yang artinya hukum dari tempat tersebut berada yang akan digunakan untuk menentukan status benda tetap. Asas ini adalah asas yang sangat tepat, mengingat dengan ditundukkannya status benda pada hukum dari benda tersebut akan membuat eksekusi atau Universitas Sumatera Utara 53 penegakan atas hak benda menjadi lebih mudah dilaksanakan karena telah sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.104 Pasal 17 ini harus ditegaskan kembali bahwa hanya diberlakukan untuk menentukan status benda tetap. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia tidak memiliki kaidah HPI yang mengatur tentang hukum yang seharusnya berlaku terhadap status benda bergerak. Secara doktrinal dan juga dalam praktik, asas yang digunakan untuk menentukan status hukum dari benda bergerak adalah asas mobilia sequuntur personam, yang menentukan keberlakuan hukum personal pemilik/penguasa benda bergerak untuk mengatur status hukum dari benda bergerak. Penerapan asas mobilia sequuntur personam dalam menentukan status benda bergerak dapat lebih memberikan kepastian hukum penerapan asas lex situs yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.105 3) Perbuatan hukum atau hubungan hukum: asas lex loci actus Bentuk, formalitas dan keabsahan dari sebuah perbuatan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat terlaksana/dilaksanakannya perbuatan hukum (asas lex loci actus). Asas ini diturunkan dari asas locus regit actum, yang memberi kualifikasi atas bentuk perbuatan hukum atau masalah hukum 104 105 Ibid., hlm. 77. Ibid. Universitas Sumatera Utara 54 tertentu berdasarkan sistem hukum dimana perbuatan hukum atau masalah hukum terjadi.106 2. Menurut Staatsblad 1896 No. 158 Pengertian perkawinan campuran masa Pemerintahan Kolonial Besluit Kerajaan 29 Desember 1896/158 (Regeling op de Gemengde Huwelijken, selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut: “Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1)”. Menurut Pasal 1 GHR tersebut maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran, yaitu: a. Perkawinan campuran internasional Perkawinan campuran internasional selalu merupakan perkawinan campuran. Perkawinan antara warga negara dan orang asing jelas merupakan perkawinan yang berada di bawah hukum yang berlainan. Berdasarkan sebuah Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 1 September 1954, ternyata perkawinan yang dilangsungkan di Kairo antara seorang laki-laki WNI dengan seorang perempuan warga negara Mesir berdasarkan Pasal 2 dan 10 GHR merupakan perkawinan campuran. b. Perkawinan campuran antar regio. Perkawinan antar regio adalah perkawinan campuran sebelum tanggal 27 Desember 1949 hukum interregional ini masih mempunyai arti, tetapi sekarang hanya merupakan sejarah. Dasar dari hubungan hukum interregional itu adalah Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving selanjutnya disebut AB. Bagi kaula Belanda yang berasal dari Hindia Belanda dan berada di Negeri Belanda atau lain jajahan dari kerajaan Belanda, tetap berlaku hukum yang dikenal staat en bevoegheid, yang tengah berlaku di Belanda, kecuali bila mana ia bertempat tinggal dan menetap di negeri lain, dimana berlaku hukum setempat karena terjadi perkawinan campuran. c. Perkawinan campuran antar tempat. Perkawinan campuran antar tempat adalah perkawinan antara kaula negara dan kaula daerah yang memiliki pemerintahan sendiri. d. Perkawinan campuran antar agama, adalah: 1) Antara Indonesia Nasrani dan Indonesia bukan Nasrani; 2) Antara Indonesia Islam dan bukan Islam; 3) Antara Arab Nasrani dan Arab bukan Nasrani; 106 Ibid. Universitas Sumatera Utara 55 e. 3. 4) Antara Indonesia Hindu dan bukan Hindu. Perkawinan campuran antar golongan Berlaku untuk perkawinan antar golongan rakyat dari Pasal 163 IS.107 Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kewarganegaraan, yang mana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan yang lainnya berkewarganegaraan Indonesia.108 Konsep perkawinan campuran UndangUndang Perkawinan berlainan dengan konsep perkawinan campuran dalam Pasal 1 Staatsblad 1898 Nomor 158, perkawinan campuran adalah perkawinan antara orangorang Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan.109 Faktor penyebab hukum yang berlainan, yaitu adanya perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama, sedangkan perkawinan campuran dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus kewarganegaraan Indonesia.110 Aturan pelaksananya dari Undang-Undang Perkawinan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam rangka pelaksanaan undang-undang tersebut ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Peradilan Agama dan Petunjuk Mahkamah Agung Nomor: MA/ Pemb/ 0807/ 75. Sementara itu, sebagai pedoman di 107 Sudargo Gautama 3, Op. Cit., hlm. 8. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 109 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 104. 110 Ibid. 108 Universitas Sumatera Utara 56 dalam pelaksanaannya maka digunakan Regeling op de Gemengde Huwelijken (Staatsblad 1898 No. 158), dengan ketentuan tidak bertentangan pada Pasal 2 angka (1) Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan menganut beberapa asas dalam pelaksanaan perkawinan. Asas-asas tersebut juga berlaku bagi perkawinan campuran karena adanya perbedaan kewarganegaraan. Adapun asas-asas yang tertuang dalam UndangUndang Perkawinan adalah sebagai berikut:111 a. Asas perkawinan terdaftar Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama yang sah menurut hukum positif, apabila didaftarkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Perkawinan yang tidak terdaftar tidak akan diakui sah menurut undang-undang yang berlaku. b. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Sekali kawin dilakukan, berlangsunglah ia seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu, tidak mengenal batas waktu. Sehingga perkawinan yang bersifat sementara bertentangan dengan asas ini, apabila dilakukan juga maka perkawinan batal. c. Asas kebebasan berkehendak Perkawinan harus berdasarkan persetujuan bebas antara seorang pria dan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain. d. Asas monogami terbuka Perkawinan hanya boleh dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang berarti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami dilarang untuk kawin lagi dengan perempuan lain. e. Asas kematangan jiwa Perkawinan dapat dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa yaitu sudah genap 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi apabila sebelum 21 (dua puluh satu) tahun mereka akan melangsungkan perkawinan, batas umur minimal bagi wanita 16 (enam belas) tahun, bagi pria 19 (sembilan belas) tahun. f. Asas mempersulit perceraian Asas ini ada hubungannya dengan tujuan perkawinan kekal dan kebebasan untuk kawin. Asas ini menuntut kesadaran pihak-pihak untuk berpikir dan bertindak secara matang dan dewasa sebelum melangsungkan perkawinan. 111 Ibid., hlm. 70-73. Universitas Sumatera Utara 57 Sekali perkawinan dilangsungkan, sulit untuk dilakukan perceraian, karena perkawinan itu kekal. g. Asas keseimbangan Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai ibu rumah tangga, diantara keduanya suami istri tidak ada yang satu mempunyai kedudukan di atas di bawah yang lainnya. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut:112 “Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia. Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UndangUndang Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsurunsur perkawinan campuran, sebagai berikut: a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita; b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan; c. Karena perbedaan kewarganegaraan; dan d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan. Perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan agama, suku bangsa dan golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga, yaitu 112 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 58 adanya perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan tersebut adalah kewarganegaraan Indonesia.113 Tegasnya, perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:114 a. Seorang pria WNI kawin dengan seorang wanita WNA. b. Seorang wanita WNI kawin dengan seorang pria WNA. Selanjutnya dalam Pasal 59 Undang-Undang Perkawinan juga menentukan bahwa:115 a. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. b. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan, menegaskan sebagai berikut:116 Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syaratsyarat telah terpenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi 113 Muhammad Abdulkadir, Op. Cit., hlm. 103. 114 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hlm. 46. 115 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 116 Universitas Sumatera Utara 59 tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut di atas. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan tersebut diberikan. Selanjutnya, dalam Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan, menyebutkan sebagai berikut: a. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang; b. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) undang-undang ini dihukum kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. c. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. C. Prosedur Dan Pencatatan Perkawinan Campuran 1. Pencatatan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Indonesia Perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan berbeda kewarganegaraan dalam Undang-Undang Perkawinan disebut juga sebagai Perkawinan Campuran. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, berbunyi: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Universitas Sumatera Utara 60 Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia ataupun di luar Indonesia (luar negeri). Apabila dilangsungkan di luar negeri maka perkawinan sah bilamana perkawinan dilaksanakan menurut hukum negara yang berlaku, menurut di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.117 Sementara itu, apabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran harus dilaksanakan menurut Undang-Undang Perkawinan.118 Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi: “Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.”119 “Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.”120 Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, “apabila pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat untuk perkawinan campuran telah terpenuhi maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi mengenai persoalan apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.”121 117 Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 119 Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 120 Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 121 Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm. 555. 118 Universitas Sumatera Utara 61 Pengadilan ini adalah pengadilan menurut Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu pengadilan agama bagi masyarakat muslim dan pengadilan umum bagi masyarakat non muslim. Terhadap hal ini, pengadilan akan memeriksa dan memberikan keputusan tentang penolakan tersebut apakah beralasan atau tidak, pemeriksaannya akan menghasilkan suatu keputusan yang merupakan keputusan pertama dan terakhir, artinya terhadap keputusan pengadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding berdasarkan Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan dapat segera dilangsungkan setelah surat keterangan atau putusan pengadilan diperoleh. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agama. Berlangsungnya perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat. Apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia, tata caranya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu, jika perkawinan dilangsungkan di negara pihak lainnya maka berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan.122 Setelah surat keterangan atau putusan pengadilan diperoleh para pihak, ada kemungkinan perkawinan tidak segera dilaksanakan. Apabila perkawinan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan tersebut tidak mempunyai kekuatan lagi.123 122 123 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 60 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 62 Terkait mengenai pencatatan perkawinan, perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.124 Pegawai pencatat yang berwenang bagi masyarakat yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR), sedangkan bagi masyarakat yang bukan beragama Islam ialah Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa memperlihatkan terlebih dahulu surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan kepada pegawai pencatat, maka yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.125 Pegawai pencatat perkawinan yang mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.126 Adapun surat keterangan atau dokumen yang harus dipersiapkan sebelum dilangsungkan perkawinan campuran yaitu:127 Calon mempelai yang berkewarganegaraan asing (WNA) harus memiliki surat keterangan dari negara asalnya untuk dapat melangsungkan perkawinan di Indonesia dan surat keterangan yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan 124 Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. 126 Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. 127 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11 November 2016. 125 Universitas Sumatera Utara 63 orang berkewarganegaraan Indonesia. Surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negara asalnya. Selain itu harus pula melampirkan: a. b. c. d. e. Fotokopi Surat Tanda Melapor Diri dari Kepolisian; Fotokopi Paspor; Fotokopi Id Card; Fotokopi Akta Kelahiran; dan Surat Keterangan Belum Pernah Menikah yang dikeluarkan oleh negara atau perwakilan negara atau Akta Cerai bila sudah pernah kawin atau Akta Kematian istri/suami bila istri/suami meninggal. Surat-surat tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah yang disumpah, kemudian harus dilegalisasi oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang berada di Indonesia. Mekanisme pelayanan pernikahan yang harus dipenuhi calon mempelai WNI pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yaitu: a. Calon mempelai datang ke kantor kepala desa atau kelurahan untuk mendapatkan: 1) Surat keterangan untuk menikah (N1); 2) Surat keterangan asal usul (N2); 3) Surat persetujuan mempelai (N3); 4) Surat keterangan tentang orang tua (N4); 5) Surat pemberitahuan kehendak menikah (N7). b. Calon mempelai datang ke puskesmas untuk mendapatkan: 1) Imunisasi Tetanus Toxoid I bagi calon mempelai pengantin wanita; 2) Imunisasi Tetanus Toxoid II; 3) Kartu imunisasi. Setelah proses pada poin (a) dan (b) selesai, calon mempelai datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat, untuk: c. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model N7). Apabila calon mempelai berhalangan, pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya. d. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pernikahan dilaksanakan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; 2) Pernikahan yang dilaksanakan di luar Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, ditambah biaya panggilan untuk menikahkan calon Universitas Sumatera Utara 64 pengantin di rumah (di luar kantor) sesuai ketentuan yang ditetapkan kepala kanwil masing-masing daerah; e. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh PPN: 1) Surat keterangan untuk nikah (Model N1); 2) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa/pejabat setingkat (Model N2); 3) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); 4) Fotokopi Kartu Keluarga; 5) Data orang tua : KTP ayah dan ibu; 6) Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3); 7) Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat setingkat (Model N4); 8) Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun (Model N5); 9) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas diperlukan izin dari pengadilan; 10) Pasfoto gandeng ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar; 11) 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat dengan melampirkan fotokopi KTP. 12) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun; 13) Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari atasannya atau kesatuannya; 14) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang; 15) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 16) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian Model N6 bagi janda/duda yang akan menikah; 17) Surat ganti nama bagi WNI keturunan. f. Petugas pencatatan sipil memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 (sepuluh) hari sejak saat pendaftaran. g. Pendeta/pastor segera menyerahkan Surat Pemberkatan Nikah kepada kedua mempelai setelah pelaksanaan pemberkatan nikah. h. Pendaftaran kehendak nikah diajukan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat minimal 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan. Universitas Sumatera Utara 65 Kutipan Akta Perkawinan yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat perlu dilegalisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), serta didaftarkan di kedutaan negara asal pasangan yang WNA. Dengan adanya legalisasi, perkawinan sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal pasangan yang berkewarganegaraaan asing maupun menurut hukum Indonesia.128 2. Pelaporan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Luar Wilayah Indonesia Perkawinan WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). WNI yang mempunyai Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan oleh negara lain, setelah kembali ke Indonesia yang bersangkutan melaporkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tempat domisilinya (Pasal 14 ayat (1) Permendagri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain).129 Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan perkawinan WNI di luar negeri pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di wilayah Indonesia, yaitu: 128 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11 November 2016. 129 Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian”, Bahan Seminar, Diselenggarakan di Batam oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam, pada tanggal 22 Mei 2014, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara 66 a. Akta Perkawinan dari negara asal yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan telah dilegalisasi oleh Perwakilan RI setempat; b. Surat Keterangan Menikah dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat; c. Salinan Akta Kelahiran suami dan istri; d. Salinan KTP dan Kartu Keluarga; e. Salinan paspor suami/istri yang WNA; f. Pasfoto gandeng ukuran 4x6 dengan latar belakang merah sebanyak 3 lembar; Akta Perkawinan dari negara asal harus dilegalisasi oleh KBRI setempat agar dapat digunakan di Indonesia. Sebelumnya, Akta Perkawinan harus dilegalisasi secara berurutan oleh, sebagai berikut: a. b. c. d. Kantor yang mengeluarkan Akta Perkawinan; Regional Register Office; Kementerian Luar Negeri (Kemlu) setempat; Akta Perkawinan selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi; e. Legalisasi130 oleh KBRI setempat yang mana prosesnya adalah 3 (tiga) hari kerja. Surat pengantar dari RT/RW, Lurah atau Camat tidak diperlukan untuk mendaftarkan Akta Perkawinan Campuran ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Para pihak langsung saja mendatangi Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di wilayah tempat tinggal. Pendaftaran perkawinan luar negeri di Indonesia dilakukan selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah yang bersangkutan tiba di Indonesia (dapat ditunjukkan dengan cap Imigrasi pada paspor).131 D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran Secara umum ada 3 (tiga) akibat dari suatu perkawinan, yaitu: 1. Terhadap hubungan suami istri 131 Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Universitas Sumatera Utara 67 Suami istri harus setia, tolong-menolong dan saling membantu, Pasal 105 KUHPerdata menyatakan bahwa: a. b. c. d. e. Suami adalah kepala dan persatuan suami istri. Suami harus memberikan bantuan kepada istrinya. Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik. Suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya. 2. Terhadap harta kekayaan Sejak dilangsungkannya perkawinan, demi hukum berlakulah persatuan harta kekayaan suami istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.132 Persatuan harta kekayaan terjadi selama perkawinan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu perjanjian suami istri. Persatuan bulat meliputi:133 a. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian hari. b. Penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan. c. Utang-utang suami atau istri sebelum dan sesudah perkawinan. d. Kerugian-kerugian yang dialami sebelum perkawinan. Terkait mengenai persatuan harta bersama, para calon suami istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.134 Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan 132 Pasal 119 KUHPerdata. Pasal 120 jo. Pasal 121 KUHPerdata. 134 Pasal 139 KUHPerdata. 133 Universitas Sumatera Utara 68 menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian akan mulai berlaku pada saat perkawinan berlangsung, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.135 3. Terhadap Kedudukan Anak Dalam KUHPerdata, ada 3 (tiga) jenis anak, yaitu: a. Anak sah Adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.136 Hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan:137 “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Dengan demikian hubungan anak dan bapak merupakan hubungan yang sah.138 b. Anak luar kawin yang diakui Adalah anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, jika kemudian orang tuanya kawin dan dapat diakui jika tidak kawin.139 c. Anak luar kawin yang tidak diakui Adalah anak yang dilahirkan dari ibu, tetapi antara mereka terdapat larangan untuk kawin menurut undang-undang dengan laki-laki yang membenihkannya.140 Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPerdata yang menegaskan bahwa anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun sumbang, sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali dengan cara dispensasi oleh Presiden dengan cara mengakuinya dalam Akta Perkawinan.141 Sementara itu, jika dikaitkan dalam perkawinan campuran, kedudukan anak akibat perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 GHR yang menegaskan sebagai berikut: “Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut kedudukan hukum-hukum yang dulu mempunyai kedudukan hukum 135 Pasal 147 KUHPerdata. Ali Afandi, Op. Cit., hlm. 140. 137 Pasal 250 KUHPerdata. 138 Ibid. 139 Pasal 272 KUHPerdata. 140 Pasal 283 KUHPerdata. 141 Pasal 273 KUHPerdata. 136 Universitas Sumatera Utara 69 menurut kedudukan hukum ayah mereka, baik terhadap hukum publik maupun hukum sipil”. Perkawinan campuran di Indonesia melibatkan salah satu pihak WNA sehingga tunduk pada 2 (dua) yurisdiksi hukum yang berbeda, maka disini timbul permasalahan, bagaimana status kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran. Dari uraian di atas, kedudukan anak di dalam perkawinan campuran sangat ditentukan oleh kewarganegaraan ayahnya. Dengan ketentuan anak harus dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Jika perkawinan tidak dilakukan dalam perkawinan yang sah, anak hanya mengikuti hubungan keperdataan dengan ibunya. Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam UndangUndang Kewarganegaraan yang lama adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang dinyatakan berstatus Warga Negara Indonesia (WNI), naturalisasi, pewarganegaraan biasa, akibat kewarganegaraan, kewarganegaraan istimewa, Universitas Sumatera Utara 70 kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan siapa yang dinyatakan berstatus orang asing.142 Penjelasan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan bahwa, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.143 Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anakanak.144 Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950) yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap HAM dan hak warga negara.145 Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat 142 Mulyadi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 7. 143 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 103. 144 Ibid. 145 Ibid. Universitas Sumatera Utara 71 internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan jender.146 Terkait mengenai perkawinan campuran di Indonesia, masalah yang sering terjadi di dalamnya adalah mengenai kewarganegaraan anak. Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki 1 (satu) kewarganegaraan yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia orang tuanya harus terus-menerus memperpanjang izin tinggalnya. Persoalan lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anak yang WNA.147 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 tidak lagi mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang melakukan perkawinan campuran, berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah. Setelah anak-anak berkewarganegaraan ganda berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, kewarganegaraannya harus segera dipilih, apakah mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau menjadi Warga Negara Indonesia 146 Ibid. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran”, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/status-hukumkewarganegaraan-anak-hasil-perkawinan-campuran/, tanggal 14 Desember 2016, pukul 05.20 WIB. 147 Universitas Sumatera Utara 72 (WNI). Pernyataan untuk memilih harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah.148 Undang-Undang Kewarganegaraan ini juga mengatur bahwa anak yang sudah lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah adalah termasuk WNI. Caranya yaitu dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 disahkan. 149 Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tidak hanya diperoleh oleh anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan ganda juga berlaku untuk anak luar kawin, Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.yaitu:150 “Anak WNI yang lahir di luar perkawinan sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI”. Beberapa aspek hukum terhadap anak luar kawin, yaitu aspek dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan kerabat ibunya. Jika anak tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan ketentuan hukum 148 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran”, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/status-hukumkewarganegaraan-anak-hasil-perkawinan-campuran/, tanggal 14 Desember 2016, pukul 05.20 WIB. 149 Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2006), hlm. 8. 150 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Universitas Sumatera Utara 73 perdata maka anak tersebut secara perdata mempunyai hubungan hukum dengan ayah tetapi tidak dengan keluarga ayahnya.”151 Terkait tentang status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran, berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, anak yang lahir dari perkawinan seorang perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang laki-laki WNA dengan perempuan WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai WNI. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan pilihannya dengan membuat pernyataan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 yang berturut-turut berbunyi sebagai berikut: “Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan”.152 “Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin”.153 Kewarganegaraan ganda terjadi apabila pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing, tetapi status kewarganegaraan anaknya dapat menjadi tunggal dalam hal: a. Pasangan suami istri berbeda kewarganegaraan menjadi WNI, apabila suami/istri yang berkewarganegaraan asing memilih untuk menjadi WNI. Apabila hal ini terjadi maka anak-anak yang lahir sudah tentu 151 Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Op. Cit., hlm. 13. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. 153 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. 152 Universitas Sumatera Utara 74 berkewarganegaraan Indonesia. Dari segi hukum, keadaan yang demikian memberikan dampak positif. Ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan antara lain: keturunan dipakai sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan. Suatu hal yang wajar apabila suatu negara menganggap seorang anak sebagai warga negaranya, dimanapun ia dilahirkan, apabila orang tuanya merupakan warga negara dari negara tersebut.154 b. Jika suami/istri berkewarganegaraan Indonesia mengikuti kewarganegaran pasangannya yang WNA maka oleh karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menganut asas ius sanguinis (asas keturunan) sebagai dasar untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, sudah tentu anak-anak yang terlahir dari orang tua yang berkewarganegaraan asing adalah termasuk WNA. Kecuali bila UndangUndang Kewarganegaraan dari negara orang tuanya tidak dapat menerima anak tersebut menjadi warga negaranya, misalnya karena undang-undang tersebut mengandung asas ius soli (tempat kelahiran) untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. c. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, anak tersebut menjadi WNI apabila lahir di dalam wilayah NKRI. Kenyataan dalam hal ini di Indonesia jarang sekali terjadi bahkan hampir tidak ada karena anak bagi orang tua merupakan permata hati yang tak ternilai harganya. Apabila anak masuk kewarganegaraan lain, semua harta milik orang tua tidak dapat dimiliki oleh anak setelah nantinya orang tua tiada. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 Undang-Undang Kewarganegaraan, bahwa status kewarganegaraan Indonesia terhadap anak, yaitu: a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA. b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI. 154 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, menegaskan bahwa: “Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Universitas Sumatera Utara 75 c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya adalah WNI. d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI. Terobosan lain dari Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 adalah anak yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akta kelahiran di Indonesia dan juga akta kelahiran dari negara lain dimana anak tersebut diakui sebagai warga negara. Dengan demikian, ia berhak mendapat pelayanan publik di Indonesia seperti warga negara lainnya termasuk untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, jangankan untuk mendapatkan akta kelahiran, apabila izin tinggalnya telah melewati batas ketentuan, ia diusir secara paksa dari wilayah NKRI.155 WNA yang menikah secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi WNI di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut. Hal ini diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 156 155 156 Ibid., hlm. 14. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Universitas Sumatera Utara 76 Pasal 26 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 menegaskan: “Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut”.157 Secara subtansial dan konseptual, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 ini mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan WNA dan anak-anak dari hasil perkawinan campuran serta telah menghapus aturan kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif. E. Tinjauan Umum Tentang Anak Dan Anak Luar Kawin Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk. 158 Secara umum kata “anak” dalam Hukum Keluarga mengandung 2 (dua) pengertian dasar, yaitu: anak dalam pengertian orang yang belum dewasa dan anak dalam pengertian orang yang memiliki hubungan hukum dengan ibu atau kedua orang tuanya baik karena dilahirkan olehnya atau karena memperoleh status sebagai anak. 157 158 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Bandung: Jabal, 2007), hlm. 229. Universitas Sumatera Utara 77 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengenai pengertian anak juga belum terdapat keseragaman. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.159 Batasan umur 18 (delapan belas) tahun pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 berbeda dengan batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.160 Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu untuk mengatakan apakah seorang belum atau sudah dewasa. Hal ini tergantung pada keadaan dalam mana dilihat apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh dengan seorang dari jenis kelamin lain (geslachtsrijp) atau apakah seorang anak itu sudah cukup “kuat gawe” (kerja) untuk mencari nafkah sendiri secara menggarap sawah atau sebagainya. Dan biasanya ini terjadi pada usia lebih kurang 16 (enam belas) tahun”.161 159 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 160 Penjelasan: batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ini mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. 161 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), hlm. 63. Universitas Sumatera Utara 78 Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa yang dinamakan orang belum dewasa (minderjarig) adalah orang-orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. Apabila ia sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun melakukan perkawinan dan perkawinannya putus juga sebelum ia berusia 21 (dua puluh satu) tahun maka ia tetap dianggap sudah dewasa (meerderjarig). UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar kawin” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42162 dan Pasal 43163. Dilihat dari bunyi pasal di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Menurut KUHPerdata, anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut. Pengertian anak luar kawin dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut: 1. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan sumbang. 162 Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. 163 Pasal 43: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Universitas Sumatera Utara 79 Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar kawin antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain, sedangkan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Sebagaimana diketahui, Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan melarang perkawinan antara 2 (dua) orang yang:164 a. b. c. d. e. f. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya; berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah. 2. Anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Orang tua biologis dari anak luar kawin dapat menikah satu sama lain. Akibat dari perkawinan ini maka kedudukan hukum anak luar kawin menjadi sama dengan anak sah. Akan tetapi kalau kedua orang tua biologis anak luar kawin tidak menikah maka hubungan hukum antara ayah biologis dengan 164 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 80 anak luar kawin baru ada setelah ayah biologis mengakuinya secara formil atau karena suatu Putusan Hakim. F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan Yang Telah Disahkan. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi anak.hukum.165 Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memenuhi rasa keadilan dan dalam tataran yuridis bertentangan dengan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi (UUD 1945) yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.166 Salah satu fakta ketidakadilan hukum yang diterima oleh anak luar kawin adalah dalam akta kelahirannya tidak tercantum atau menyebut nama ayahnya. Adanya fakta yang demikian selain membawa dampak psikologis bagi anak juga 165 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB. 166 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB. Universitas Sumatera Utara 81 melanggar hak-hak anak untuk mengetahui asal usul orang tuanya. Apalagi pandangan masyarakat umumya memberikan stigma negatif terhadap anak luar kawin. Oleh karena itu, terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinan, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak luar kawin, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.167 Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, membawa terobosan hukum berupa perlindungan hukum terhadap kedudukan anak luar kawin biasa maupun anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan. Kedudukan anak luar kawin status hukumnya menjadi sejajar dengan anak sah, sehingga anak luar kawin mempunyai hubungan hukum (hak keperdataan) dengan ayah (biologis) dan keluarga ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa “anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan punya hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya”. Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa “setiap anak berhak untuk mengetahui orang 167 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB. Universitas Sumatera Utara 82 tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”, termasuk hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya.168 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010 bahwa diakuinya anak luar kawin yang terlahir dari perkawinan di bawah tangan, status hukumnya sama sebagai anak sah apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (hasil test DNA) sehingga demi hukum anak luar kawin dapat menuntut hak-hak keperdataannya kepada ayah biologisnya, terutama yang terkait dengan kewajiban nafkah untuk kebutuhan hidup oleh orang tua terhadap anak.169 Globalisasi di bidang informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi menyebabkan batas negara bukan lagi halangan untuk berinteraksi. Hal tersebut berdampak semakin meningkatnya perkawinan antar bangsa yang terjadi hampir di seluruh dunia. Perkawinan pasangan beda kewarganegaraan yang paling banyak terjadi adalah perkenalan melalui internet, kemudian teman kerja atau teman bisnis, berkenalan saat berlibur, dan sebagainya.170 Perkawinan campuran di Indonesia dapat terjadi dalam 2 (dua) bentuk yaitu: Pertama, perempuan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) yang 168 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, (Jakarta: Kaifa, 2012), hlm. 220. 169 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB. 170 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. Universitas Sumatera Utara 83 menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA); dan Kedua, laki-laki WNI menikah dengan perempuan WNA. Faktor perbedaan kewarganegaraan di antara para pihaklah yang kemudian membedakan suatu perkawinan campuran dengan perkawinan yang bersifat intern. Perbedaan kewarganegaraan tersebut tidak saja terjadi saat awal dimulainya suatu perkawinan campuran, tetapi dapat berlanjut setelah terbentuknya suatu keluarga perkawinan campuran.171 Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kewarganegaraan lama) maupun UndangUndang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kewarganegaraan baru) tidak memberikan status kewarganegaraan Indonesia secara otomatis bagi perempuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI, tetapi apabila perempuan WNA tersebut ingin menjadi WNI maka ia harus mengajukan permohonan resmi sesuai peraturan yang berlaku. Demikian juga perempuan WNI yang menikah dengan seorang laki-laki WNA dapat tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia, bila ia hendak mengikuti kewarganegaraan suami menjadi WNA, maka perempuan tersebut diharuskan untuk mengajukan permohonan sesuai peraturan yang berlaku seperti tertuang dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Kewarganegaraan lama, dan Pasal 26 Undang-Undang 171 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. Universitas Sumatera Utara 84 Kewarganegaraan baru. Hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan kewarganegaraan dalam keluarga suatu perkawinan campuran.172 Perbedaan kewarganegaraan tidak saja terjadi antara pasangan suami istri dalam suatu perkawinan campuran, tetapi juga terjadi pada anak-anak hasil perkawinan campuran. kewarganegaraan untuk Menurut anak Undang-Undang dari pasangan Kewarganegaraan suami istri yang lama, berbeda kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan ayahnya, apabila anak yang lahir pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan ibunya WNI dan ayahnya WNA, anak tersebut secara otomatis menjadi WNA, sehingga terjadi perbedaan kewarganegaraan antara anak yang lahir tersebut dengan ibunya yang WNI.173 Perbedaan kewarganegaraan antara anak WNA dengan ibunya WNI menimbulkan banyak masalah hukum, baik selama masa perkawinan campuran itu berlangsung maupun setelah putusnya perkawinan campuran. Terdapat banyak kasus yang muncul, dimana Undang-Undang Kewarganegaraan lama tidak dapat melindungi anak-anak yang lahir dari seorang ibu WNI suatu perkawinan campuran, teristimewa saat putusnya perkawinan dan anaknya yang WNA harus berada dalam 172 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 173 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. Universitas Sumatera Utara 85 pengasuhan ibunya WNI serta bertempat tinggal di Indonesia yang notabene merupakan negara ibunya sendiri.174 Setelah Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru diundangkan, aturan ini memberikan kewarganegaraan ganda hanya terbatas pada anak-anak hasil perkawinan campuran sampai anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah menikah, setelah itu ia harus memilih salah satu untuk menjadi kewarganegaraannya. Hal ini juga berlaku untuk anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan yang diakui.175 Status kewarganegaraan ganda yang dianut dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru merupakan terobosan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam perkawinan campuran, maupun setelah putusnya perkawinan campuran, dimana terdapat perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan anakanak hasil perkawinan itu.176 Seiring dengan melekatnya kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil perkawinan campuran, maka anak tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari 2 (dua) negara yang terkait kewarganegaraan dari kedua orangtuanya, sehingga menimbulkan 174 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 175 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 176 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. Universitas Sumatera Utara 86 permasalahan hukum di bidang Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum dari negara mana yang berlaku atas status personalnya. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional (HPI) untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orangtua perlu dilihat lebih dahulu, perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan perkawinan orang tuanya sah, bila anak lahir dalam suatu perkawinan yang sah maka bila salah satu atau kedua orang tuanya meninggal maka anak adalah ahli waris.177 Berdasarkan yurisprudensi dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) baik di Belanda maupun di Indonesia, hukum yang berlaku mengenai warisan adalah hukum nasional dari pewaris. Terkait kewarganegaraan ganda anak dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, bila salah satu orang tuanya, yaitu ibunya WNI atau ayahnya WNI meninggal dunia, tentunya anak-anak tersebut merupakan ahli waris ibu atau ayahnya yang adalah WNI.178 Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru menggantikan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama mulai diundangkan tertanggal 1 Agustus tahun 2006. Kehadiran Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru disambut penuh antusias oleh pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan karena anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan tetap 177 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 178 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. Universitas Sumatera Utara 87 diakui sebagai WNI di samping kewarganegaraan asing yang mengikuti ayahnya atau dengan kata lain anak-anak hasil perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan ganda.179 Pasal 4 huruf c Undang-Undang Kewarganegaraan baru menegaskan: ”Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan Ibu Warga Negara Asing.”180 Selanjutnya, Pasal 4 huruf d menyatakan: ”Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia.”181 Pasal 6 ayat (1) menegaskan: ”Status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.”182 Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru tersebut, kewarganegaraan ganda anak dalam suatu perkawinan campuran bersifat terbatas sampai pada usia 18 tahun saja, kemudian ia diberi waktu 3 (tiga) tahun untuk memilih apakah akan menjadi WNI atau WNA. 179 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 180 Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. 181 Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. 182 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Universitas Sumatera Utara 88 Anak-anak yang lahir sebelum undang-undang ini diundangkan, mereka dapat memperoleh kewarganegaraan ganda atau dapat menjadi WNA. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan ganda, bila orang tua atau walinya mendaftarkan mereka kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Dengan didaftarkannya anak-anak tersebut, maka mereka memperoleh Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM bahwa mereka adalah WNI. Bila sampai dengan Tahun 2010 anak-anak tersebut tidak didaftarkan maka mereka dianggap sebagai WNA.183 Sedangkan anak-anak yang lahir di Indonesia setelah undang-undang ini diundangkan, pencatatan dilakukan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan memperoleh akta kelahiran sebagai WNI. Masalah kewarganegaraan seseorang tidak hanya terbatas pada paspor serta izin tinggal di suatu negara tetapi mempunyai implikasi yang lebih jauh yaitu mengenai hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara yang harus dijalaninya. Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 AB bahwa kewarganegaraan seseorang menentukan hukum yang berlaku baginya di bidang status personal, yaitu meliputi hubungan-hubungan kekeluargaan seperti hubungan antara suami istri, ayah dan anak, perwalian termasuk soal-soal yang bertalian dengan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, status di bawah umur dan lain-lain. 183 Lihat Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 jo. Permen Hukum dan HAM Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Anak untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI. Universitas Sumatera Utara 89 Status personalnya berlaku hukum asing yaitu hukum nasional dari negaranya, apabila seseorang berkewarganegaraan asing. Seseorang yang berkewarganegaraan ganda harus tunduk pada 2 (dua) yurisdiksi dari 2 (dua) negara yang berbeda, sehingga asas kewarganegaraan yang dianut dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia melalui Pasal 16 AB sulit diterapkan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan status personalnya. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam undangundang ini sebagai berikut:184 1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka 184 Melani Wuwungan, “Status dan Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2009, hlm. 123. Universitas Sumatera Utara 90 hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Berdasarkan undang-undang ini, anak yang lahir dari perkawinan seorang perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang perempuan WNA dengan laki-laki WNI, sama-sama diakui sebagai WNI. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda dan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah maka anak tersebut harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau setelah menikah. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewarganegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada 2 (dua) yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal Indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 AB (mengikuti Pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan Pasal 16 AB dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. WNI yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Negara Universitas Sumatera Utara 91 Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, status anak-anak yang di bawah umur. Bila dikaji dari segi Hukum Perdata Internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. a. Hak Anak Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan anak, namun Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa anak yang berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih salah satu dari kewarganegaraannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 1 tersebut di atas, batasan usia seorang anak Universitas Sumatera Utara 92 adalah 18 (delapan belas) tahun, bila sebelum 18 (delapan belas) tahun anak tersebut telah menikah misalnya pada usia 14 tahun maka ia dianggap telah dewasa.185 Dalam Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, juga ditegaskan batasan usia seorang anak adalah 18 (delapan belas) tahun. Pasal tersebut menyatakan ”Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya, selama mereka tidak atau belum dicabut dari kekuasaannya”.186 Sejalan dengan adanya ketentuan usia 18 (delapan belas) tahun bagi seorang anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak lebih jelas memberikan definisi tentang anak yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:187 ”Anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, kesimpulan yang dapat ditarik bahwa batas usia seseorang yang dianggap sebagai anak di Indonesia adalah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah. Dalam Hukum Perdata, manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan, kecuali apa yang diatur dalam Pasal 2 KUHPerdata bahwa anak yang masih berada dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum bila ada kepentingan 185 Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 187 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 186 Universitas Sumatera Utara 93 yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.188 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, namun untuk anak sebagai pendukung hak dan kewajiban, selama anak tersebut belum dewasa atau belum kawin, pada umumnya anak hanya mempunyai hak dan belum mempunyai kewajiban, sehingga mereka lebih banyak mendapat keuntungan akibat kewarganegaraan ganda. Oleh sebab itu bila mereka telah dewasa atau sudah menikah mereka harus memilih salah satu di antara kewarganegaraan ganda tersebut. Bila mereka tidak memilih salah satu dari kedua kewarganegaraannya maka mereka dianggap sebagai orang asing. Indonesia telah menjamin perlindungan atas hak-hak anak. Hal ini dapat dilihat dari diratifikasinya Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Conventions on the Right of The Child) dan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang menjamin perlindungan hak seorang anak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setiap anak berhak atas suatu perlindungan dan jaminan hukum yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang 188 Pasal 2 KUHPerdata. Universitas Sumatera Utara 94 Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang meletakkan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:189 (1) Non diskriminasi; (2) Kepentingan yang terbaik bagi anak; (3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak sebagai berikut:190 (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. (2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. (3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. (4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Kesejahteraan anak yang dimaksud adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sedangkan usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.191 b. Kewajiban Orang Tua 189 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), hlm. 105. 190 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 191 Pasal 1 ayat 1 a dan b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Universitas Sumatera Utara 95 Perlindungan atas hak-hak anak tidak terlepas dari peran serta orang tua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan: Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Bila orang tua terbukti melalaikan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan perkembangan anak, kuasa asuhnya dapat dicabut.192 Kemudian dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dinyatakan bahwa “orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu mengkehendakinya”.193 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua juga mempunyai kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta kekayaan anak-anak mereka dan berhak memindahkan dan menggadaikan hak atas harta benda kekayaan tersebut apabila kepentingan anak tersebut mengkehendakinya. Di kalangan masyarakat masih banyak dilakukan proses perkawinan yang tidak dicatatkan atau pernikahan di bawah tangan, yang menimbulkan pendapat yang pro dan kontra. Perkawinan di bawah tangan tidak diakui oleh hukum formil karena tidak tercatat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tidak tercatatnya perkawinan akan berdampak negatif pada status anak yang dilahirkan di 192 193 Pasal 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 48 KUHPerdata. Universitas Sumatera Utara 96 mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Artinya, anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam/atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 100 KHI yang menegaskan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.194 Hal ini tentu saja merugikan anak, oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 100 KHI tersebut anak tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya. Walaupun demikian, perkawinan yang dilakukan di bawah tangan setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 akan mengalami kesulitan, kecuali terdapat alasan-alasan yang kuat yang menyebabkan tidak dilakukannya pencacatan perkawinan tersebut, misalnya karena alasan konflik yang menyebabkan tidak berfungsinya Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di suatu tempat tertentu. Dalam Mukadimah Deklarasi PBB tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Semua pihak menyetujui peran anak (role of the child) merupakan harapan masa depan. Ketentuan undang-undang tentang 194 Pasal 100 KHI. Universitas Sumatera Utara 97 perlindungan hukum dimuat dalam Pasal 34 UUD 1945, ketentuan ini ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 195 Secara garis besar Deklarasi Mukadimah PBB memuat: tentang hak-hak anak, yaitu: hak untuk memperoleh perlakuan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan karena mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang merasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tinggal bersama orang tua mereka sendiri, mendapat pendidikan, dan dalam kecelakaan/malapetaka, mereka termasuk yang pertama mendapat perlindungan terhadap segala bentuk kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke bentuk diskriminasi.196 Apabila keadilan dikaitkan dengan perlindungan anak, dapat dikatakan bahwa dimana ada keadilan, disitu seharusnya terdapat perlindungan anak yang baik. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat malaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan terhadapnya dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Status sebagai anak luar kawin merupakan suatu masalah baginya karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya 195 Emeliana Krinawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Utomo, 2005), 196 Ibid., hlm. 2. hlm. 1. Universitas Sumatera Utara 98 seperti anak sah. Secara hukum, mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak luar kawin tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya karena ketidakabsahan pada anak tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah, tidak memiliki kewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Sebaliknya, anak luar kawin tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajiban yang dipandang menjadi hak, bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan biasanya bersifat materiil. Anak luar kawin dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayah biologisnya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadapnya. Pasal 280 s/d Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah atau ibunya. G. Perbandingan Antara Perlindungan Hukum Anak Luar Kawin Di Indonesia Dan Di Belanda Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas mengenai kedudukan hukum seorang anak luar kawin. Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.197 Hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur secara tegas perihal kedudukan anak luar kawin tersebut. Oleh karenanya, mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang- 197 Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 99 Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih diberlakukan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lama.198 Dengan demikian terhadap kedudukan anak luar kawin yang belum diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut, akan berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lama yaitu ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Seperti yang telah disebutkan di atas, KUHPerdata mengatur kedudukan dan perlindungan hukum yang cukup berbeda antara anak sah dan anak luar kawin, dimana anak luar kawin cenderung memiliki kedudukan hukum yang lebih rendah. Apabila dibandingkan dengan di Belanda, jaminan dan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin di Indonesia jauh berbeda dengan perlindungan hukum anak luar kawin di Belanda. Belanda telah mengalami banyak kemajuan dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari telah diadakannya beberapa kali perubahan terhadap KUHPerdata atau Civil Code mereka, termasuk di dalamnya perubahan terhadap ketentuanketentuan mengenai anak luar kawin. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan karena berkembangnya masalah HAM dalam sistem hukum Belanda beberapa dekade terakhir sehingga mengakibatkan penegak hukum Belanda menghadapi berbagai masalah dalam menerapkan Civil Code pada putusan-putusannya, terutama di bidang hukum 198 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 100 keluarga.199 Oleh karenanya, diadakan beberapa perubahan dalam hukum keluarga Belanda dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan-perkembangan yang ada di masyarakat, khususnya perkembangan mengenai masalah HAM. Sementara bila dilihat di Indonesia, KUHPerdata kita yang pada dasarnya berasal dari Belanda hingga saat ini masih belum banyak mengalami perubahan dan masih mengatur kedudukan hukum yang berbeda antara anak luar kawin dengan anak sah. Selain perubahan terhadap Civil Code, Belanda juga telah meratifikasi dan mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam European Convention on the Legal Status of Children Born Out of Wedlock. Konvensi ECHR ini dibuat untuk menjamin pelaksanaan hak bersama dari HAM dan kebebasan mendasar manusia.200 Salah satu hal penting yang diterapkan dalam konvensi tersebut adalah persamaan antar status hukum dari anak-anak yang lahir di dalam atau di luar perkawinan.201 199 Zulfa Djoko Basuki, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 73. 200 Ibid., hlm. 74. 201 Ibid. Universitas Sumatera Utara 101 BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN NEGERI BATAM NO. 79/ PDT.P/ 2014/ PN.BTM A. Kronologi Kasus Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm Dari sekian banyak kasus pengakuan anak luar kawin, yang akan diteliti dalam tesis ini adalah penetapan pengakuan anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan (Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm). Sebelum menganalisis argumentasi yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara dalam Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm tanggal 18 Maret 2014, terlebih dahulu dideskripsikan mengenai para pihak, kronologis kasus, fakta-fakta hukum, penetapan dan pertimbangan Hakim. 1. Identitas Para Pihak Para pihak dalam perkara penetapan pengakuan anak tersebut terdiri atas Pemohon DKJ (Pemohon I) dan Pemohon MNF (Pemohon II) yang berstatus sebagai pasangan suami istri. Pemohon I adalah suami, yang bernama DKJ, 45 tahun, Warga Negara Selandia Baru, Pekerjaan Swasta dan bertempat tinggal di Jalan Cemara Tiang No. 10 RT. 002 RW. 001 Kelurahan Sukajadi Kota Batam, sedangkan Pemohon II merupakan istri dari Pemohon I yang bernama MNF, 41 tahun, Warga Negara Indonesia, Pedagang dan bertempat tinggal di Jalan Cemara Tiang No. 10 RT. 002 RW. 001 Kelurahan Sukajadi Kota Batam.202 202 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm. 101 Universitas Sumatera Utara 102 2. Pokok Perkara Posita atau pokok perkara merupakan penjelasan tentang keadaan atau peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat.203 Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah mendaftarkan surat permohonannya pada tanggal 4 Maret 2014 yang terdaftar dalam Register Perkara Permohonan di Pengadilan Negeri Kota Batam dengan Nomor Perkara: 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm yang hal-hal pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut: Para pemohon adalah sepasang suami istri berbeda kewarganegaraan yang menikah secara resmi (hukum negara) pada tanggal 26 April 2008 dengan Kutipan Particulars of Marriage Nomor: 49/08 yang telah didaftarkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam Nomor: 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014, tanggal 10 Februari 2014. Sebelumnya, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah melakukan hubungan layaknya suami istri dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama RDD yang lahir di Batam pada tanggal 26 Juni 2000. Akan tetapi, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF belum meresmikan pernikahan mereka secara hukum negara karena pengurusan administrasi yang memerlukan waktu lama. Permohonan penetapan pengakuan anak diajukan oleh Pemohon DKJ dan Pemohon MNF karena RDD akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dalam akta kelahiran sebelumnya, nama Pemohon DKJ sebagai ayah tidak dicantumkan dan bermaksud agar nama Pemohon DKJ dicantumkan sebagai ayah. Namun keinginan 203 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 40. Universitas Sumatera Utara 103 tersebut tidak dapat dilaksanakan karena Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam meminta surat yang menerangkan bahwa anak tersebut adalah anak biologis dari Pemohon DKJ dan Pemohon MNF. Oleh karena itu, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF mengajukan permohonan penetapan pengakuan anak agar dapat dijadikan sebagai alasan hukum, sehingga keinginannya supaya nama Pemohon DKJ dicantumkan sebagai ayah dalam akta kelahiran dapat dipenuhi. Berdasarkan uraian dan alasan tersebut diatas, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Kota Batam melalui Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memberikan penetapan sebagai berikut:204 a. Mengabulkan permohonan pemohon; b. Menyatakan bahwa anak pemohon bernama RDD, jenis kelamin laki-laki, lahir di Batam, tanggal 26 Juni 2000 adalah anak suami istri dari Pemohon DKJ dan Pemohon MNF; c. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Kota Batam untuk mengirimkan salinan penetapan tersebut ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam untuk memasukkan kembali ke dalam Buku Register yang tersedia untuk itu, selanjutnya oleh Pejabat Pencatatan Sipil dibuat Catatan Pinggir pada Kutipan Akta Kelahiran Nomor: 238/ PPN/ KICS-BTM/ 2004, tanggal 9 Agustus 2004 atas adanya perubahan tersebut; d. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. Selanjutnya, terkait mengenai pembuktian dalam perkara ini, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang 204 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm. Universitas Sumatera Utara 104 diajukannya,205 sehingga didapatkan suatu kepastian bahwa suatu peristiwa yang diajukan tersebut benar-benar terjadi. Membuktikan berarti mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Adapun alat bukti yang diajukan Pemohon DKJ dan Pemohon MNF guna memperteguh permohonan di persidangan adalah alat bukti surat dan alat bukti saksi. a. Alat Bukti Surat Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai alat bukti.206 Adapun alat bukti surat yang diajukan oleh Pemohon DKJ dan Pemohon MNF adalah sebagai berikut:207 1) Fotokopi Kartu Ijin Tinggal Terbatas Elektronik (e-KITAS) Nomor: BKGAA39127 atas nama DKJ yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Imigrasi, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.1). 2) Fotokopi Passport Nomor: LA315588, tanggal 20 Desember 2010, atas nama DKJ, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.2). 3) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk RI Nomor: 2171105911729003, tanggal 16 April 2010 atas nama MNF yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.3). 4) Fotokopi Particulars of Marriage Nomor: 49/08 terdaftar pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam Nomor: 11/ 205 Mukti Arto, Op. Cit., hlm. 139. Ibid., hlm. 148. 207 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ 206 PN.Btm. Universitas Sumatera Utara 105 P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014, tanggal 10 Februari 2014, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.4). 5) Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran Nomor: 238/ PPN/ KI-CS-BTM/ 2004, tanggal 09 Agustus 2004 atas nama RDD yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kota Batam, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.5). 6) Fotokopi Salinan Akta Pengakuan Anak Nomor: 32 tanggal 23 Januari 2014 yang dikeluarkan oleh Maria Magdalena Ginting, SH Notaris Kota Batam, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.6). 7) Kartu Keluarga Nomor: 2171100904100034, tanggal 14 April 2010, yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup oleh Majelis Hakim diberi kode (P.7). b. Alat Bukti Saksi Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka siding dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya suatu peristiwa atau keadaan.208 Dalam penetapan tersebut, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF menghadirkan 2 (dua) orang saksi, yaitu Saksi P, lahir di Jombang pada tanggal 01 April 1960, beragama Islam, pekerjaan Mengurus Rumah Tangga, bertempat tinggal di Tiban Baru RT. 002 RW. 001, Kelurahan Tiban Lama Kota Batam dan Saksi M, lahir di Mojokerto, tanggal 31 Desember 1960, beragama Islam, pekerjaan Wiraswasta, beretmpat tinggal di Tiban Lama RT. 001 RW. 001 Kelurahan Tiban Lama Kota Batam. Saksi-saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:209 208 209 Mukti Arto, Op. Cit., hlm. 165. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm. Universitas Sumatera Utara 106 1) Bahwa para saksi kenal dengan para pemohon; 2) Bahwa para saksi mengetahui bahwa para pemohon mengajukan permohonan pengakuan anak; 3) Bahwa para saksi mengetahui para pemohon adalah pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan secara sah pada tanggal 26 April 2008; 4) Bahwa para saksi mengetahui sebelum para pemohon melangsungkan perkawinan secara sah para pemohon telah melakukan perkawinan secara tidak sah, menikah secara agama; 5) Bahwa para saksi mengetahui dari perkawinan para pemohon secara tidak sah tersebut telah lahir seorang anak yang diberi nama: RDD, jenis kelamin laki-laki, lahir di Batam pada tanggal 26 Juni 2000; 6) Bahwa para saksi mengetahui anak bernama RDD, jenis kelamin laki-laki, lahir di Batam pada tanggal 26 Juni 2000 adalah anak dari para pemohon yang dilahirkan sebelum para pemohon melangsungkan perkawinan secara sah. Dalam proses pembuktian tersebut, para pemohon telah membenarkannya, baik terhadap bukti surat maupun keterangan para saksi serta memohon kepada Majelis Hakim untuk membacakan penetapan. 3. Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm Pertimbangan hukum merupakan gambaran tentang bagaimana Hakim mengkualifikasikan fakta, kemudian melakukan penilaian terhadap fakta-fakta yang diajukan secara rinci serta memuat dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh Hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara, baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Di dalam Salinan Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Universitas Sumatera Utara 107 Pdt.P/ 2014/ PN.Btm tentang penetapan anak luar kawin terdapat beberapa pertimbangan-pertimbangan hukum, yaitu:210 Maksud dan tujuan permohonan Pemohon DKJ dan Pemohon MNF adalah sebagaimana tersebut di atas. Majelis Hakim telah memberikan nasihat yang cukup kepada Pemohon DKJ dan Pemohon MNF di persidangan tentang akibat hukum dari permohonannya. Akan tetapi, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF tetap ingin melanjutkan permohonannya. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa:211 “Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara tersebut karena para pemohon adalah orang yang berkepentingan langsung terhadap anak yang dimohonkan asal-usulnya tersebut dengan tujuan agar sang anak terjamin kelangsungan hidupnya, tumbuh dan perkembangan kejiwaan anak, pendidikannya serta kepastian hukum dari siapapun.” Inti dari permohonan tersebut adalah Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah melakukan hubungan layaknya suami istri sebelum perkawinan mereka sah secara hukum negara, kemudian Pemohon MNF mengandung dan melahirkan anak laki-laki bernama RDD, yang lahir pada tanggal 26 Juni 2000. Sekitar 14 (empat belas) tahun kemudian tepatnya tanggal 10 Februari 2014, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF mendaftarkan pernikahan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam sehingga Particulars of Marriage Nomor: 49/08 terdaftar dengan Nomor: 11/ P. PKW.CS.BTM/ II/ 2014 tanggal 10 Februari 2014. 210 Wawancara Netty Sihombing, Panitera Muda Hukum, Pengadilan Negeri Kota Batam. Wawancara dilakukan pada 15 Nopember 2016. 211 Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 108 Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF bermaksud mengurus perbaikan Akta Kelahiran dari anak yang bernama RDD pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam. Namun, hal ini terkendala dengan status RDD, sehingga Pemohon DKJ dan Pemohon MNF mengajukan permohonan penetapan pengakuan anak ke Pengadilan Negeri Kota Batam agar anak tersebut ditetapkan sebagai anak sah atau setidak-tidaknya anak biologis antara Pemohon DKJ dan Pemohon MNF. Pokok permasalahan dalam perkara a quo adalah apakah anak yang bernama RDD, yang lahir pada tanggal 26 Juni 2000 adalah anak sah menurut hukum atau setidak-tidaknya anak biologis antara Pemohon DKJ dan Pemohon MNF. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjawab permasalahan tersebut di atas dan sebelum menilai bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon DKJ dan Pemohon MNF, perlu terlebih dahulu menguraikan hal-hal sebagai berikut. Dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”. Dengan demikian untuk menentukan apakah perkawinan tersebut sah atau tidak, tentunya harus merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa “suatu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaannya itu”. Anak yang terbukti lahir di luar perkawinan maka hubungan perdata dapat dimaknai secara umum, yaitu anak memiliki hubungan perdata terhadap ayah dan keluarga ayahnya, bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah, serta Universitas Sumatera Utara 109 kewajiban memberi nafkah. Majelis Hakim berpendapat demikian karena UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak menyangkal berlakunya ketentuanketentuan hukum agama bagi pemeluk atau kepercayaannya, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum angka 3 Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan landasan yang telah dipaparkan tersebut di atas selanjutnya Majelis Hakim menjawab perkara a quo dengan pertimbangan sebagai berikut. Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah mengajukan bukti-bukti berupa P.1, P.2, P.3, dan P.7, yang mana bukti tersebut adalah fotokopi e-KITAS, Paspor, KTP dan Kartu Keluarga sebagai identitas diri bagi para pemohon, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, ternyata identitas diri para pemohon cocok sebagaimana dalam permohonannya, maka alat bukti tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Pemohon DKJ dan Pemohon MNF juga mengajukan bukti P.4 berupa fotokopi Particulars of Marriage Nomor: 49/08 terdaftar di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam Nomor: 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014, tanggal 10 Februari 2014 yang telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup. Oleh karena bukti P.4 tersebut merupakan bukti autentik yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan, maka dengan demikian Pemohon DKJ dan Pemohon MNF terbukti sejak tanggal 10 Februari 2014 telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah hingga saat ini. Pemohon disamping telah mengajukan bukti tertulis tersebut di atas juga telah mengajukan 2 (dua) orang saksi yang telah memberikan keterangan di bawah sumpah Universitas Sumatera Utara 110 dan di depan persidangan. Majelis Hakim telah mendengar keterangan para saksi sehingga dapat diperoleh fakta bahwa Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah berhubungan sejak tahun 2000 dan melakukan hubungan suami istri serta telah dikaruniai seorang anak bernama RDD yang lahir pada tanggal 26 Juni 2000. Pemohon DKJ dan Pemohon MNF kemudian menikah dan mencatatkan pernikahannya tanggal 10 Februari 2014 pada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam. Kesaksian yang diberikan oleh kedua orang saksi tersebut didasarkan atas pengetahuan, penglihatan dan pendengaran langsung saksi dan keterangannya saling bersesuaian antara satu dengan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 171 dan 172 HIR, saksi-saksi dipandang telah memenuhi syarat formil dan materil saksi, maka keterangan saksi-saksi tersebut dinyatakan telah mempunyai nilai pembuktian. Pada petitum angka 2, Pemohon DKJ dan Pemohon MNF di dalam permohonannya memohon agar Pengadilan Negeri Kota Batam menetapkan anak yang bernama RDD adalah anak sah atau setidak-tidaknya sebagai anak biologis Pemohon DKJ dan Pemohon MNF, maka Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pemeriksaan perkara ini berdasarkan bukti-bukti yang ada, Majelis Hakim telah menemukan fakta–fakta hukum yang intinya adalah bahwa Pemohon DKJ dan Pemohon MNF telah melakukan hubungan suami istri di luar nikah dan akhirnya lahir anak yang bernama RDD, pada tanggal 26 Juni 2000 dan Universitas Sumatera Utara 111 kemudian Pemohon DKJ dan Pemohon MNF melaksanakan perkawinan dan mendaftarkannya pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam tanggal 10 Februari 2014. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 jo Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dapat disimpulkan bahwa anak Pemohon DKJ dan Pemohon MNF merupakan anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukum negara. Oleh karenanya, anak tersebut dapat ditetapkan sebagai anak biologis dari Pemohon DKJ dan Pemohon MNF. Dikarenakan RDD termasuk sebagai anak biologis yang sah diakui Pemohon DKJ dan Pemohon MNF maka hubungan perdata harus dimaknai secara umum, yaitu masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban anak sah pada umumnya. Terkait mengenai anak luar kawin, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 7 menegaskan: “setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri” adalah kurang arif dan bijaksana bahkan jauh dari rasa keadilan apabila di dalam akta kelahiran tersebut tidak dicantumkan pula ayah sah dari anak tersebut. Demi perlindungan dan kepastian hukum, ayah sah dari anak tersebut juga harus dicantumkan dalam akta kelahiran. 4. Penetapan Hakim No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm Putusan ialah penyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentiosa). Sedangkan penetapan ialah pernyataan Universitas Sumatera Utara 112 hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan permohonan (voluntair).212 Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 menegaskan bahwa putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Berbeda dengan penetapan yang diambil oleh hakim apabila perkaranya adalah permohonan, kekuatan penetapannya bersifat declaratoir. Putusan diambil oleh hakim apabila perkaranya berupa suatu sengketa di mana para pihak saling mempertahankan hak masing-masing. Jadi, perkaranya diperiksa secara contradictoir (timbal balik) sehingga putusannya bersifat condemnatoir (menghukum) pihak yang kalah.213 Terkait mengenai Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm tentang pengakuan anak luar kawin, berdasarkan pertimbangan- pertimbangan yang telah diuraikan sebelumnya maka permohonan Pemohon DKJ dan Pemohon MNF dinyatakan beralasan hukum, dan oleh karenanya dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa RDD merupakan anak sah dari Pemohon DKJ dan Pemohon MNF, yang selengkapnya sebagaimana tertuang di dalam amar penetapan perkara ini. Berdasarkan Pasal 57 A angka (5) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, biaya perkara ini dibebankan kepada pemohon.214 212 Mukti Arto, Op. Cit., hlm. 168. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 32. 214 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm. 213 Universitas Sumatera Utara 113 Mengingat segala peraturan hukum yang berlaku berkaitan dengan perkara ini, Majelis Hakim menetapkan:215 a. Mengabulkan permohonan para pemohon; b. Menyatakan bahwa anak pemohon yang bernama RDD, jenis kelamin lakilaki, lahir di Batam pada tanggal 26 Juni 2000 adalah anak suami istri dari Pemohon DKJ dan Pemohon MNF; c. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Kota Batam untuk mengirimkan salinan penetapan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam untuk dilakukan pencatatan pada register pencatatan kelahiran yang diperuntukkan untuk itu dan pada Kutipan Akta Kelahiran Nomor: 238/ PPN/ KI-CS-BTM/ 2004 tertanggal 9 Agustus 2004 atas nama RDD yang semula tertulis anak pertama dari perempuan MNF, menjadi tertulis anak pertama dari suami istri DKJ dengan MNF; d. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 141.000,- (seratus empat puluh satu ribu rupiah); Penetapan tersebut di atas dijatuhkan pada hari Selasa, tanggal 18 Maret 2014 oleh Cahyono, Hakim Pengadilan Negeri Kota Batam, selaku Hakim Tunggal. Penetapan tersebut diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dan dibantu oleh Samiem sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Pemohon DKJ dan Pemohon MNF.216 Secara khusus tidak ada kriteria terhadap permohonan penetapan seorang anak karena kriteria tentang anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.217 Secara yuridis, perkawinan yang sah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: 215 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ 216 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ 217 Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PN.Btm. PN.Btm. Universitas Sumatera Utara 114 a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya;218 b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;219 Oleh karena perkawinan Pemohon DKJ dan Pemohon MNF tidak sah maka anak yang dilahirkan dapat dikatakan dengan anak luar kawin. Akibat hukum dari adanya anak luar kawin, yaitu ia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Namun dalam masalah keabsahan perkawinan Pemohon DKJ dan Pemohon MNF, Hakim tidak mempertimbangkannya karena lebih mementingkan hak-hak RDD.220 c. Menimbang Pasal 1923 KUHPerdata jo Pasal 174 HIR Dalam Pasal 1923 KUHPerdata dijelaskan bahwa “suatu pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak, ada yang dilakukan di depan Hakim, dan ada yang dilakukan di luar siding pengadilan.”221 Meskipun dalam hal pengakuan anak tersebut, para pemohon tidak memberikan bukti berupa teknologi yang dalam hal ini biasa dilakukan dengan tes DNA222. Namun pengakuan yang dilakukan oleh 218 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 220 Wawancara dengan Netty Sihombing, Panitera Muda Hukum, Pengadilan Negeri Kota Batam, pada tanggal 15 November 2016. 221 Pasal 1923 KUHPerdata. 222 DNA adalah singkatan dari Deoxyribo Nucleic Acid (Asam Nukleat), yaitu suatu persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dan sel khusus dari makhluk secara keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam DNA terkandung informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya. Jadi, DNA bertugas untuk menyimpan dan mentransfer informasi genetik kemudian menerjemahkan informasi ini secara tepat. Dengan karakteristiknya yang sedemikian itu, DNA pada dasarnya amat potensial untuk dimanfaatkan dalam melacak asal-usul keturunan seseorang. Hilman Ali Fardhinand, “Eksistensi Tes 219 Universitas Sumatera Utara 115 Pemohon DKJ dan Pemohon MNF di hadapan Hakim dapat dijadikan alat bukti yang sempurna. Hal ini berdasarkan Pasal 1925 KUHPerdata yang berbunyi:223 “Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu”. Seharusnya dalam penunjukan alat bukti224 tidak hanya dilakukan dengan pengakuan di hadapan Hakim di persidangan, meskipun di dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa sebuah pengakuan dapat dijadikan alat bukti yang sempurna. Karena dalam pengakuan yang dilakukan oleh para pemohon besar kemungkinan terjadi pemalsuan ataupun kekeliruan. Untuk itu, disamping adanya pengakuan dari para pemohon diperlukan juga hasil uiji labolatorium seperti DNA ataupun bukti teknologi lain yang dapat memperkuat pembuktian jika anak tersebut benar anak para pemohon. d. Menimbang Pasal 43 ayat (1) tentang anak luar kawin Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/ PUU-VII/ 2012 tanggal 17 Februari 2012 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang: “anak yang dilahirkan di luar DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Hukum Pidana”, diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/8042/7603, tanggal 21 September 2016, pukul 15.00 WIB. 223 Pasal 1925 KUHPerdata. 224 Penjelasan: Pasal 1866 KUHPerdata menegaskan bahwa alat-alat bukti terdiri atas: 1. Bukti tulisan, 2. Bukti dengan saksi-saksi, 3. Persangkaan-persangkaan, 4. Pengakuan, 5. Sumpah. Selanjutnya, dalam Pasal 164 HIR menyebutkan alat-alat bukti meliputi: 1. Bukti surat, 2. Bukti saksi, 3. Persangkaan, 4. Pengakuan, 5. Sumpahan. Universitas Sumatera Utara 116 perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya”,225 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Selanjutnya harus dibaca, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Karena belum ada aturan secara spesifik adanya kewajiban Hakim untuk menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi pijakan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bersifat mengikat, sehingga dipakai atau tidaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi kewenangan masing-masing Pengadilan Negeri. B. Analisa Penetapan Hakim Terkait Dengan Status Dan Hak-Hak Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan Yang Telah Disahkan Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm Pengadilan Negeri Batam di dalam Penetapan No. 79/Pdt.P/ 2014/ PN.Btm, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon DKJ (Warga Negara Selandia Baru) dan Pemohon MNF (WNI). Penetapan demikian telah tepat karena pada 225 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 117 dasarnya setiap kelahiran anak wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administari kependudukan untuk dibuatkan aktanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013. Untuk menerbitkan akta kelahiran bagi anak luar kawin RDD diperlukan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri Batam guna perlindungan dan kepastian hukum anak luar kawin RDD. 1. Status Kewarganegaraan Anak Yang Telah Disahkan Berdasarkan Pencatatan Perkawinan No. 11/P.PKW.CS.BTM/II/2014 (Studi Analisis) Dari pencatatan perkawinan No. 11/P.PKW.CS.BTM/II/2014 tertanggal 10 Februari 2014 yang dilakukan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam turut disahkan pula seorang anak luar kawin yang bernama RDD, berusia 16 (enam belas) tahun dari pasangan suami istri DKJ, Warga Negara Selandia Baru dengan MNF, Warga Negara Indonesia. Sebelum adanya pencatatan perkawinan dan pengesahan status anak, anak luar kawin tersebut berkewarganegaraan Indonesia mengikuti ibunya yang WNI (Pasal 4 huruf g Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006). Dengan dilakukannya pencatatan dan pengesahan, maka status anak yang sebelumnya anak luar kawin berubah menjadi anak sah. Hal ini berpengaruh terhadap kewarganegaraan anak luar kawin yang masih di bawah umur sehubungan dengan perkawinan orang tuanya yang berbeda kewarganegaraan. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan terdahulu mengatur bahwa “anak-anak hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan Universitas Sumatera Utara 118 ayahnya”. Apabila ayah anak tersebut berkewarganegaraan asing, setelah pencatatan dan pengesahan anak dilaksanakan maka secara otomatis kewarganegaraan anak yang sebelum adanya pengesahan kewarganegaraan Indonesia, setelah pengesahan berubah menjadi WNA mengikuti ayahnya yang WNA. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 tidak diberlakukan lagi, sehingga status anak luar kawin RDD dari pasangan suami istri Pemohon DKJ dan Pemohon MNF yang telah disahkan berdasarkan pencatatan perkawinan No.11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 tetap menjadi WNI dan setelah RDD berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, ia harus menentukan pilihannya.226 2. Hak-Hak Anak Luar Kawin Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Batam No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm Hukum memberikan perlindungan terhadap orang-perseorangan tanpa terkecuali. Perlindungan hukum ditemukan dalam konsepsi ketentuan peraturan perundang-undangan, bertolak dari ketentuan konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”227 226 Wawancara dengan Netty Sihombing, Panitera Muda Hukum, Pengadilan Negeri Kota Batam, tanggal 15 November 2016. 227 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Universitas Sumatera Utara 119 Ketentuan konstitusional di atas sebenarnya adalah bentuk perlindungan hukum dan HAM warga negara yang partikularistik.228 Namun dikaitkan dengan Amandemen UUD 1945 yang telah secara khusus mengatur HAM (Bab XA) dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, maka perlindungan hukum dan HAM yang partikularistik tersebut selain mengakui sifat universal juga memandang sebagai masalah internal suatu bangsa, yaitu bangsa dan Negara Republik Indonesia, sehingga perlu pula diatur secara nasional. Muladi menjelaskan “sikap bangsa Indonesia sudah jelas, bahwa yang kita anut adalah pandangan partikularistik-relatif”.229 Melalui Amandemen UUD 1945, jelaslah bahwa HAM ditempatkan sebagai bagian dari ketentuan konstitusional yang dengan demikian ditempatkan pada kedudukan tertinggi di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Hak setiap orang untuk hidup tidak memandang latar belakang, faktor-faktor penyebab kehidupan dan ke arah mana kehidupan akan berlangsung. Setiap orang berhak untuk hidup tanpa memerlukan pengakuan dari negara, pemerintah, hukum bahkan dari masyarakat, oleh karena kehidupan merupakan suatu hal yang alamiah. Hak untuk hidup dalam Deklarasi Universal HAM (Pasal 3), sejalan dengan ketentuan konstitusional di Indonesia. Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 228 229 Muh. Budairi Idjehar, HAM versus Kapitalisme, (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hlm. 67. Muladi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm.116. Universitas Sumatera Utara 120 Pasal 28A menjelaskan kedudukan dan arti penting dari hak untuk hidup pada posisi utama dan teratas dari sekian banyak ketentuan tentang HAM dalam Bab XA UUD 1945, sekaligus menunjukkan bahwa hak untuk hidup adalah landasan utama dalam HAM. Pengakuan dan pengaturan tentang hak untuk hidup dalam perspektif hukum di Indonesia ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Pasal 1 KUHPerdata yang menegaskan bahwa “menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraan”230, serta dalam ketentuan Pasal 2 KUHPerdata bahwa “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan, bilamana kepentingan anak menghendakinya. Meninggal sewaktu dilahirkan, dianggap tidak pernah ada”231, dan terakhir ialah dalam ketentuan bahwa “tiada suatu hukum pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraan”232. Berdasarkan sejumlah ketentuan hukum yang mengatur hak untuk hidup setiap orang di atas, merupakan bagian dari jaminan, hukum dan perlindungan hukum terhadap subjek hukum. Perihal subjek hukum ini ialah pendukung hak dan kewajiban menurut hukum, yang mempunyai sejumlah hak yang melekat dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Subjek hukum pada hakikatnya tidak memandang jenis kelamin, asal suku dan agama, melainkan karena ia adalah orang. 230 Pasal 1 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata. 232 Pasal 3 KUHPerdata. 231 Universitas Sumatera Utara 121 Hak yang melekat dan ada pada setiap anak tersebut memiliki 2 (dua) alasan utama, yaitu: a. Manusia mempunyai hak-hak subjektif; b. Kewenangan hukum. Kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.233 Seorang anak (bayi) yang masih dalam kandungan dianggap oleh hukum telah dilahirkan (ada) jika dilahirkan dalam keadaan hidup. Pengakuan hukum seperti ini berkaitan dengan kepentingan hukum pada anak tersebut, misalnya dalam kaitannya dengan kewarisan. Perlindungan hukum terhadap anak dalam kandungan tersebut di atas, semakin mendapat tempat dalam perumusan hukum di Indonesia, misalnya ditemukan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 1 Angka 5 menegaskan: “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.234 Rumusan yang serupa ditemukan pula dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan 233 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 24. 234 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Universitas Sumatera Utara 122 belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.235 Status hukum anak dalam kandungan: yang diberikan hak oleh hukum sebagaimana diuraikan di atas, lebih menegaskan adanya hak anak dari pada kewajiban anak, oleh karena kedudukan dan segala keterbatasannya, karena ia anak (dalam kandungan). Anak dalam kandungan tersebut dalam situasi dan kondisi serta keterbatasannya mulai dilekatkan hak padanya oleh hukum sekaligus menjadi bagian dari perlindungan hukum. Sementara itu, kewajiban belum melekat pada anak dalam kandungan, mengingat persoalan dan prioritas utamanya ialah bagaimana ia dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya kelak, baik sebagai anak dalam kandungan, anak, remaja, dewasa dan seterusnya. Selanjutnya, anak luar kawin juga berhak atas pencatatan kelahirannya. Pengaturan tentang pencatatan akta kelahiran anak luar kawin di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dalam Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap peristiwa kelahiran dicatatkan pada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya kelahiran”. Dalam hal pelaporan kelahiran jika tidak disertai kutipan akta nikah/akta perkawinan orang tua karena anak merupakan anak luar kawin, maka pencatatan kelahiran tetap dilaksanakan.236 235 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 236 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam. Wawancara dilakukan pada tanggal 11 November 2016. Universitas Sumatera Utara 123 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 27 ayat (1): “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.”237 Sesuai amanat Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013 secara jelas diperintahkan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan orang tua sebelum 60 (enam puluh) hari kelahiran. Undang-undang tersebut tidak ada dinyatakan bahwa ‘pemberian akta lahir secara gratis’ diberikan pada bayi yang berusia 0 hari hingga 60 (enam puluh) hari. Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, mengatur perihal pencatatan pengakuan anak dan pencatatan pengesahan anak. Kedua aspek ini merupakan bentuk prosedural yang bersifat administratif yang bertolak dari arti pentingnya pencatatan, baik pencatatan pengakuan anak maupun pencatatan pengesahan anak. Pencatatan pengakuan anak bersambungan dengan pencatatan pengesahan anak (diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50). Penjelasan Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa “pengakuan anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut.” Dapat disimpulkan, pengakuan anak merupakan pengakuan terhadap anak luar kawin menjadi anak sah sepanjang disetujui bersama kedua orang tuanya. Untuk itu, 237 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Universitas Sumatera Utara 124 hak-hak keperdataan anak luar kawin yang sudah diakui dan disahkan sama kedudukannya dengan anak sah. Anak pada umumnya baik anak sah maupun anak luar kawin menurut hukum memiliki hak-hak keperdataan yang melekat dengan dirinya, dikarenakan ia adalah seorang anak. Dalam Pasal 1 KUHPerdata ditegaskan bahwa menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraan. Selain itu, hak-hak keperdataan berbeda dari hak-hak kenegaraan, walaupun pada dasarnya hak-hak kenegaraan itu juga mengatur hak-hak keperdataan.238 Hak-hak kenegaraan seperti hak sipil, hak ekonomi, hak politik dan hak lainnya yang menurunkan antara lain hak untuk dijamin persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) berkaitan erat dengan hak keperdataan bahwa jaminan persamaan kedudukan di hadapan hukum berlaku bagi semua orang, semua suku, semua agama tanpa adanya ketentuan yang diskriminatif oleh negara dan praktiknya dalam masyarakat.239 Terkait mengenai hak anak luar kawin, hak senantiasa berpasangan dengan kewajiban dan merupakan hubungan hukum. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa “hak memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam 238 Isyana K. Konoras, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Luar Nikah Di Indonesia”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, diakses melalui http://Repo.Unsrat.Ac.Id/393/1/Perlindungan Hukum Terhadap Anak Diluar Nikah.pdf, pada tanggal 24 Januari 2017, pukul 06.53 WIB. 239 Isyana K. Konoras, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Luar Nikah Di Indonesia”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, diakses melalui http://repo.unsrat.ac.id/393/1/Perlindungan Hukum Terhadap Anak Diluar Nikah.pdf, pada tanggal 24 Januari 2017, pukul 06.53 WIB. Universitas Sumatera Utara 125 melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban.”240 Hak juga dapat dibedakan atas hak mutlak dan hak relatif. Salim HS menjelaskan, yang termasuk hak mutlak ialah segala hak publik, yaitu: 241 a. hak menyatakan pikiran dan perasaan, dengan perantaraan pers; b. hak untuk mengajukan permohonan secara tertulis kepada pihak yang berhak atau berwenang; c. hak untuk memeluk dan menganut agama dan kepercayaannya masing-masing secara bebas. Sedangkan sebagian dari hak-hak keperdataan, yaitu hak-hak yang bersandar pada Hukum Perdata dalam arti objektif, misalnya: 242 a. hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten), adalah hak-hak manusia atas dirinya sendiri, seperti hak-hak manusia atas jiwa, raga, kehormatan, nama kecil dan nama keluarganya; b. hak-hak keluarga (familierechten), adalah hak-hak yang timbul dari hubungan keluarga. Yang termasuk hak-hak keluarga adalah hak marital, yakni kekuasaan suami terhadap istrinya, kekuasaan orang tua terhadap anaknya, kekuasaan wali terhadap anaknya dan hak pengampu terhadap yang diampunya; c. hak-hak harta benda (vermogensrechten), yaitu hak-hak yang mempunyai nilai uang; d. hak-hak kebendaan (zakelijkerechten), adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Kekuasaan langsung berarti, bahwa terdapat sesuatu hubungan langsung antara orang-orang yang berhak atas benda tersebut; e. hak-hak atas barang yang tak berwujud (rechten opimmateriele gorderen), adalah hak-hak mengenai hasil pemikiran manusia seperti Hak Cipta dan Hak Oktroi. Pembahasan tentang hak-hak tersebut di atas telah menemukan hak-hak keluarga sebagai bagian penting yang akan menjelaskan kedudukan dan status hukum 240 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), 241 Salim HS, Op. Cit., hlm. 33. Ibid., hlm. 34. hlm. 42. 242 Universitas Sumatera Utara 126 anak luar kawin, karena bertitik tolak dari perlindungan hukum terhadap orangperseorangan yang tidak dimulai dari status hukumnya apakah sebagai anak sah atau anak tidak sah.243 Prinsip pengaturan tentang anak luar kawin dalam hubungan kekeluargaan dengan ayah dan ibunya mendapat pengaruh yang sangat besar dari asas perkawinan monogami yang dianut oleh KUHPerdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi: “Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan seorang perempuan saja dan seorang perempuan hanya terikat dengan seorang lelaki saja”.244 Asas pengakuan mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata yang berbunyi: “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara si anak dengan ayah dan ibunya.”245 sehingga hukum perdata barat menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya, baik kepada ayahnya maupun kepada ibunya. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan ayah maupun ibu biologisnya.246 243 Ibid. Pasal 27 KUHPerdata. 245 Pasal 280 KUHPerdata. 246 Wawancara dengan Netty Sihombing, Panitera Muda Hukum, Pengadilan Negeri Kota Batam, pada tanggal 15 November 2016. 244 Universitas Sumatera Utara 127 Prinsip tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dianut oleh hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan, yang mana hubungan perdata antara anak luar kawin dengan pihak ibu terjadi secara otomatis sejak anak tersebut lahir.247 Syarat seorang anak luar kawin untuk bisa mendapatkan hak waris dari orang tua biologisnya menurut hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam Pasal 872 KUHPerdata adalah jika ia telah diakui oleh orang tua biologisnya karena KUHPerdata menganut prinsip bahwa hanya mereka yang mempunyai hubungan keperdataan dengan pewaris saja yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah atau ibunya timbul setelah adanya pengakuan dari ayah dan ibunya dalam arti bahwa hubungan hukum tersebut hanya ada antara anak luar kawin yang telah mendapat pengakuan dengan ayah atau ibu yang mengakuinya saja.248 Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “kedudukan anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri”,249 namun sampai dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih belum jelas karena Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang 247 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 106-107. 248 Ibid., 145-146. 249 Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 128 Perkawinan hanya menyebutkan mengenai hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak tersebut dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Ketentuan tersebut sekilas mengandung ketidakadilan bagi ibu dan anaknya karena untuk membenihkan anak dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan ayahnya karena ayahnya tidak mengakui atau tidak kawin dengan ibunya, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh anak luar kawin untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya. Dalam penetapan ini diketahui bahwa para pemohon merupakan sepasang suami istri berbeda kewarganegaraan yang telah menikah pada tanggal 26 April 2008 di Selandia Baru. Sebelum menikah para pemohon telah mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir pada tanggal 26 Juni 2000. Kurang tahunya para pemohon saat melangsungkan perkawinan tersebut sehingga para pemohon tidak mengesahkan secara langsung anak luar kawinnya sebagai anak sah para pemohon dan dibutuhkan untuk dicatat dan didaftar mengenai pengakuan dan pengesahan anak luar kawin ke dalam register akta kelahiran. Universitas Sumatera Utara 129 Para pemohon kemudian meminta penetapan dari pengadilan. Akhirnya, Pengadilan Negeri Kota Batam menyatakan bahwa para pemohon mengakui dan mengesahkan anak luar kawin tersebut sebagai anak dari pemohon dan memerintahkan panitera untuk mengirimkan salinan sah penetapan tersebut kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam guna kepentingan penerbitan akta kelahiran. Penetapan ini merupakan bentuk pengakuan ayah dan ibunya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan, sebagai berikut:250 1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Terkait mengenai hak-hak anak luar kawin RDD dalam Penetapan Nomor 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm tidak ada disebutkan secara jelas perihal hak-hak RDD setelah Pemohon DKJ mengakuinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, penetapan pengadilan diperlukan untuk menerbitkan akta kelahiran anak luar kawin RDD. Tugas Dispendukcapil adalah mencatat dan tidak dapat membuktikan siapa orang tua dari RDD. Oleh karena itu, untuk membuktikan kebenaran tersebut harus melalui pengadilan agar dikeluarkan suatu penetapan. Pemohon (DKJ dan MNF) 250 Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Sumatera Utara 130 harus mengajukan sendiri permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak dengan membawa alat bukti di antaranya Akta Pengakuan Anak yang dibuat di hadapan Notaris MMG. Universitas Sumatera Utara 131 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Uraian pada bab pembahasan yang dikemukakan dalam tesis ini, sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Pengesahan anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan berdasarkan Particulars of Marriage No. 49/08 yang terdaftar pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam No. 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 pada prinsipnya sama dengan proses pengesahan anak luar kawin biasa yang kedua orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia. Proses pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dilakukan secara bersamaan dengan pencatatan perkawinan kedua orang tuanya di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Setelah dilaksanakannya pencatatan perkawinan, dalam akta perkawinan dicantumkan nama anak luar kawin yang disahkan. Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak. 2. Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan adalah dengan cara pengakuan anak baik oleh ayahnya ataupun oleh kedua orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 280-Pasal 281 KUHPerdata. Undang-undang Perkawinan tidak memberikan perincian mengenai pengakuan anak luar kawin. Hanya saja dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa anak luar kawin adalah anak 131 Universitas Sumatera Utara 132 yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin akan diatur secara tersendiri dalam peraturan pemerintah, namun sampai sekarang peraturan pemerintah yang dimaksud belum ada. Dengan pengakuan terhadap anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak tersebut dan bapak atau ibunya. Adapun prosedur pengakuan anak luar kawin, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 3. Pengadilan Negeri Batam di dalam Penetapan No. 79/Pdt.P/ 2014/ PN.Btm, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon DKJ (Warga Negara Selandia Baru) dan Pemohon MNF (WNI). Penetapan demikian telah tepat karena pada dasarnya setiap kelahiran anak wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administari kependudukan untuk dibuatkan aktanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013. Selanjutnya untuk menerbitkan akta kelahiran bagi anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan diperlukan adanya penetapan dari pengadilan negeri. B. Saran 1. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hendaknya secara terus-menerus memberikan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Universitas Sumatera Utara 133 Administrasi Kependudukan dan juga memberikan informasi yang mudah dipahami oleh masyarakat perihal pentingnya melaksanakan pencatatan perkawinan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap istri dan anak. 2. Sebaiknya Undang-Undang Perkawinan yang berlaku saat ini diperbaharui guna memperjelas kedudukan hukum anak luar kawin, dan penambahan Pasal yang berkaitan dengan pengakuan anak luar kawin untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak luar kawin. 3. Bagi pasangan suami istri yang perkawinannya belum pernah dicatatkan, disarankan untuk dapat dimintakan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri setempat. Pengesahan terhadap anak-anak luar kawin harus dilakukan demi kebahagiaan dan masa depannya, sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara