bab 2 landasan teori

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Manajemen
Manajemen berasal dari bahasa Inggris “management” yang berasal dari kata
dasar “manage”. Definisi manage menurut kamus oxford adalah “to be in charge or
make decisions in a business or an organization” (memimpin atau membuat
keputusan di perusahaan atau organisasi). Dan definisi management menurut kamus
oxford adalah “the control and making of decisions in a business or similar
organization” (pengendalian dan pembuatan keputusan di perusahaan atau organisasi
sejenis).
Disamping itu banyak definisi yang diberikan terhadap istilah manajemen.
Beberapa penulis memberikan pengertian manajemen sebagai berikut:
Koontz dan O’donnel mengemukakan bahwa manajemen adalah usaha
mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian
manajer mengadakan koordinasi atas aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian.
Terry (2009), manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari
tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian
yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.
Stooner
(2006)
mengemukakan
bahwa
manajemen
adalah
proses
perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian sumber daya-sumber daya
organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Plunket et al (2005) mendefinisikan manajemen sebagai “One or more
managers individually and collectively setting and achieving goals by exercising
related functions (planning organizing staffing leading and controlling) and
coordinating various resources (information materials money and people)”.
15
16
Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa manajemen merupakan satu
atau lebih manajer yang secara individu maupun bersama-sama menyusun dan
mencapai tujuan organisasi dengan melakukan fungsi-fungsi terkait (perencanaan,
pengorganisasian,
penyusunan
staff,
pengarahan,
dan
pengawasan)
dan
mengkoordinasi berbagai sumber daya (informasi, material, uang, dan orang).
Adapun unsur-unsur manajemen itu terdiri dari: man, money, method,
machines, materials, dan market. Manajer sendiri menurut Plunket (2005),
merupakan people who are allocate and oversee the use of resources jadi merupakan
orang yang mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya.
Dalam pengertian lain, manajemen adalah suatu seni dan ilmu perencana,
pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan dari pada sumber daya
manusia untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu atau
sebelumnya. Manajemen juga mengatur hal yang dikelola agar tercapai hasil yang
memuaskan. Para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda namun maksudnya
tetap sama. Dengan demikian istilah manajemen mengacu pada upaya-upaya untuk
menggerakan
organisasi
melalui
implementasi
fungsi
perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dalam rangka mencapai tujuan
organisasi secara efisien dan efektif. Dalam implementasi fungsi manajemen, setiap
organisasi memiliki cara dan metode yang berbeda-beda tergantung pada
karakteristik dan jenis organisasi.
2.1.1.2 Fungsi Manajemen
Robbins and Coulter (2012), organisasi ada untuk mencapai tujuan tertentu,
seorang manajer ditugaskan untuk menetapkan tujuan tersebut dan menentukan cara
untuk mencapainya. Manajer menjalankan empat fungsi manajemen yaitu:
1. Planning (perencanaan), yaitu menetapkan tujuan, membangun strategi untuk
mencapainya,
serta
mengembangkan
rencana-rencana
untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas.
2. Organizing (pengorganisasian), yaitu menyusun struktur kerja untuk
mencapai tujuan organisasi. Dalam fungsi ini, seorang manajer menentukan
tugas-tugas yang harus dilaksanakan, orang-orang yang melaksanakannya,
pengelompokan tugas-tugas tersebut dan kepada siapa pekerjaan harus
dilaporkan, serta keputusan terkait tugas-tugas tersebut.
17
3. Leading
(kepemimpinan),
yaitu
memotivasi
karyawan,
membantu
penyelesaian konflik tim kerja, mempengaruhi individu-individu atau tim
selama bekerja, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, dan
mengatasi masalah perilaku karyawan.
4. Controlling (pengendalian), yaitu mengawasi dan mengevaluasi kinerja serta
pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan dalam perencanaan untuk
memastikan tugas-tugas yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan organisasi
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan.
2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen. Oleh karena itu, teori
manajemen umum menjadi dasar pembahasannya. Manajemen sumber daya manusia
lebih memfokuskan mengenai pengaturan peranan tenaga kerja dalam mewujudkan
tujuan perusahaan. Pengaturan itu meliputi masalah perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian tenaga kerja.
Adapun beberapa definisi manajemen sumber daya manusia menurut
perspektif para ahli, yaitu:
Manajemen sumber daya manusia maenurut Sofyandi (2008:6) didefinisikan
sebagai suatu strategi dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning,
organizing, leading & controlling dalam setiap aktifitas atau fungsi operasional
SDM, mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan pengembangan,
penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian kerja, pemberian
kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan kerja yang ditujukan
bagi peningkatan kontribusi produktif dari SDM organisasi terhadap pencapaian
tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) menurut Mathis & Jackson
(2011:3) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk
memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai
tujuan organisasi.
18
Dan dapat diambil kesimpulan berdasarkan definisi-definisi dari pendapat
para ahli yang beberapa sudah diuraikan diatas bahwa manajemen sumber daya
manusia adalah suatu pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang ada pada
tiap individu atau karyawan itu sendiri. Pengelolaan dan pendayagunaan sumber
daya yang ada tersebut dapat dikembangankan lebih lanjut secara maksimal didalam
dunia kerja melalui suatu perusahaan untuk mencapai tujuan organisasi secara
optimal dan juga untuk pengembangan daripada individu atau karyawan yang terlibat
secara langsung didalam suatu perusahaan.
2.1.2.1 Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia
Terdapat tujuh aktivitas manajemen sumber daya manusia, menurut Mathis
dan Jackson (2011), diantaranya:
1. Perencanaan dan analisis sumber daya manusia
Melalui perencanaan sumber daya manusia, manajer-manajer berusaha untuk
mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan
para karyawan di masa depan.
2. Kesetaraan kesempatan kerja
Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan kesempatan kerja/ equal
employment opportunity (EEO) mempengaruhi semua aktivitas sumber daya
manusia yang lain dan integral dengan manajemen sumber daya manusia.
3. Pengangkatan pegawai
Tujuan dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang
memadai atas individu-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan
pekerjaan di sebuah organisasi.
4. Pengembangan sumber daya manusia
Pengembangan dimulai dengan orientasi pada karyawan yang baru,
pengembangan sumber daya manusia juga meliputi berbagai keterampilan
pekerjaan.
5. Kompensasi dan tunjangan
Kompensasi memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan
pekerjaan melalui gaji, insentif, dan tunjangan. Para pemberi kerja harus
memperbaiki dan mengembangkan sistem upah dan gaji dasar mereka.
19
6. Kesehatan, keselamatan dan keamanan
Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan dan kesehatan para
karyawan adalah hal yang sangat penting.
7. Hubungan karyawan dan buruh atau hubungan manajemen
Hubungan para manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif
apabila para karyawan dan organisasi ingin sukses bersama.
2.1.3 Stres Kerja
Masalah stres yang dialami oleh karyawan sangat berdampak negatif bagi
suatu perusahaan, karena stres yang dialami oleh karyawan dapat mengakibatkan
kerugian yang relatif cukup diperhitungkan oleh perusahaan. Berikut ini adalah
definisi stres kerja menurut para ahli sebagai berikut:
Mc. Shane dan Von Glinow (2010) mendefinisikan stres sebagai “an
individual’s adaptive response to a situation that is perceived as challenging or
threatening to the person’s well being”. Merujuk pada definisi tersebut, stres
dipandang sebagai suatu proses adaptasi seseorang terhadap suatu situasi yang
dianggap menantang atau menghambatnya. Stres merupakan suatu keadaan di mana
seseorang
mengalami
ketegangan
karena
adanya
kondisi-
kondisi
yang
mempengaruhi dirinya.
Menurut Mangkunegara (2013) dalam bukunya perilaku dan budaya
organisasi, dikatakan pengertian stres adalah “perasaan yang menekan atau merasa
tertekan yang dialami seorang karyawan dalam menghadapi pekerjaan”.
Robbins dan Judge (2014), stres sering dikatakan membawa konteks negatif,
namun juga memiliki nilai positif jika masih dalam keadaan yang wajar, karena akan
menambah semangat dalam bekerja, motivasi dan kinerja. Namun beberapa
karyawan menganggap tekanan dari beban kerja yang tinggi merupakan tantangan
positif yang mampu memperkaya kualitas kerja dan kepuasan kerja.
20
Menurut Luthans (2006:441), stres kerja didefinisikan sebagai respons adaptif
terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, atau
perilaku anggota organisasi.
Stres kerja dilambangkan sebagai kekuatan, tekanan, kecenderungan atau
upaya seseorang dalam kekuatan mental dalam pekerjaan (Salleh, Bakar, dan Keong,
2008)
Beehr & Newman dalam Luthans (2006:441), mendefinisikan stres kerja
sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta
dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk
menyimpang dari fungsi normal mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan
kondisi dimana karyawan mengalami gangguan psikologis maupun fisik dalam
menghadapi suatu permasalahan atau pekerjaan yang dapat berpengaruh terhadap
kinerjanya didalam perusahaan dan membuat ketidakseimbangan antara karateristik
kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya.
2.1.3.1 Gejala Stres Kerja
Robbins dan Judge (2014), seseorang yang mengalami stres pada
pekerjaannya akan menampilkan gejala-gejala yang meliputi tiga kategori umum,
yaitu:
1. Gejala Fisiologis
Gejala fisiologis merupakan gejala awal yang bisa diamati, terutama pada
penelitian medis dan ilmu kesehatan. Stres cenderung berakibat pada
perubahan metabolisme tubuh, meningkatnya detak jantung dan pernafasan,
peningkatan tekanan darah, timbulnya sakit kepala, serta yang lebih berat lagi
terjadinya serangan jantung.
2. Gejala Psikologis
Dari segi psikologis, stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Hal itu
merupakan efek psikologis yang paling sederhana dan paling jelas. Namun
bisa saja muncul keadaan psikologis lainnya, misalnya ketegangan,
kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan suka menunda-nunda pekerjaan.
Bukti menunjukkan bahwa ketika orang ditempatkan dalam pekerjaan dengan
21
tuntutan yang banyak dan saling bertentangan atau dimana ada ketidakjelasan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemegang jabatan, maka stres maupun
ketidakpuasan akan meningkat.
3. Gejala Perilaku
Gejala stres yang berkaitan dengan perilaku meliputi perubahan dalam tingkat
produktivitas, absensi, kemangkiran, dan tingkat keluarnya karyawan, juga
perubahan dalam kebiasan makan, bicara cepat, gelisah, gangguan tidur,
merokok, dan konsumsi alkohol.
2.1.3.2 Faktor Penyebab Stres
Stres yang dialami oleh individu dalam lingkungan pekerjaannya seringkali
dipicu oleh hal-hal yang berasal dari dalam diri karyawan (internal factor) dan dari
luar (external factor) yang membawa konsekuensi berbeda bagi masing-masing
individu tergantung pada kekuatan respon dirinya yang menentukan besar kecilnya
toleransi karyawan terhadap stres.
Menurut Anatan dan Ellitan (2007) faktor penyebab stres meliputi:
a. Extra organizational stresor, yaitu penyebab stres dari luar organisasi
meliputi perubahan sosial dan teknologi yang berakibatkan adanya perubahan
gaya
hidup masyarakat, perubahan ekonomi dan finansial mempengaruhi pola kerja
seseorang, kondisi relokasi masyarakat dan kondisi keluarga.
b. Organizational stresor, penyebab stres dari dalam organisasi yang meliputi
kondisi kebijakan dan strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses
organisasi, dan kondisi lingkungan kerja.
c. Group stresor, penyebab stres dan kelompok dalam organisasi yang timbul
akibat kurangnya kesatuan dalam melaksanakan tugas dan kerja terutama pada level
bawahan, kurangnya dukungan dari atasan, munculnya konflik antar personal,
interpersonal, dan antar kelompok.
d. Individual stresor, stres yang berakibat dari dalam diri individu yang
muncul akibat konflik dan ambiguitas peran, beban kerja yang terlalu berat, dan
kurangnya pengawasan dari pihak perusahan.
22
Mangkunegara (2013) mengemukakan bahwa stres kerja diukur oleh
beberapa hal, antara lain: beban kerja yang terlalu berat, waktu kerja yang mendesak,
kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja
yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, serta
perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin.
Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2014) terdapat tiga faktor penyebab
stres, yaitu:
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain
dari
struktur
suatu
organisasi,
ketidakpastian
tersebut
juga
dapat
mempengaruhi tingkat stres dikalangan karyawan.
a. Ketidakpastian ekonomi
Ketidakpastian harga barang yang cenderung terus naik sedangkan
kenaikan gaji karyawan tidak terlalu signifikan dengan kenaikan
harga barang dan bahkan gaji karyawan cenderung tetap, hal inilah
yang akan memicu karyawan untuk menjadi stres karena kebutuhan
pokoknya bisa saja tidak terpenuhi.
b. Ketidakpastian politis
Batasan birokrasi menjadi salah satu sumber stres yang berpengaruh
dengan pekerjaan. Karyawan akan merasa tertekan atau stres apabila
karyawan merasa ada ancaman terhadap perubahan politik yang
mungkin akan berdampak pada kebijakan perusahaan.
c. Ketidakpastian teknologis
Inovasi-inovasi baru dapat membuat keterampilan dan pengalaman
seorang karyawan usang dalam waktu yang sangat pendek oleh karena
itu ketidakpastian teknologi merupakan tipe ketiga yang dapat
menyebabkan stres. Misalnya komputer, robotika, otomatisasi, dan
ragam-ragam lain dari inovasi teknologis merupakan ancaman bagi
karyawan dibanyak organisasi yang dapat menyebabkan stres.
2. Faktor organisasi
Banyak sekali faktor didalam organisasi yang dapat menimbulkan stres pada
karyawan. Diantaranya tekanan untuk menghindari ketidakpastian, kekeliruan
dalam menyelesaikan tugas pada suatu kurun waktu yang terbatas, beban
23
kerja yang terlalu berlebihan, seorang atasan yang menuntut terlalu banyak
dan tidak peka, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Hal seperti inilah
yang dapat menyebabkan stres dalam waktu berkepanjangan dan berikut
beberapa contoh yang dapat disajikan:
a. Tuntutan tugas
Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan
seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu, kondisi
kerja, dan tata letak kerja fisik.
b. Tuntutan peran
Tuntutan peran berpengaruh dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan
dalam organisasi itu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan
hampir tidak bisa dirujukkan atau dipuaskan.
c. Tuntutan antar pribadi
Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan
lain, kurangnya dukungan sosial, rekan-rekan, teristimewa diantara
para karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi, dan pengaruh
pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar.
d. Struktur organisasi
Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi,
tingkat aturan dan peraturan, serta dimana keputusan diambil. Aturan
yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan
keputusan berdampak pada seorang karyawan merupakan suatu
contoh dari variabel struktural yang dapat menjadi sumber potensial
stres.
e. Kepemimpinan organisasi
Menggambarkan gaya manajerial dari eksekutif senior organisasi.
Beberapa pejabat eksekutif menciptakan keputusan suatu budaya yang
dicirikan oleh ketegangan, rasa takut dan kecemasan karyawan,
membangun tekanan tidak realistis untuk berprestasi dalam jangka
pendek, memaksakan pengawasan yang berlebihan ketatnya dan
secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikutinya.
24
f. Tata hidup organisasi
Organisasi berjalan melalui suatu siklus, didirikan, tumbuh dan
menjadi dewasa dan akhirnya merosot. Suatu tahap kehidupan
organisasi yaitu dimana organisasi ada didalam empat tahap daur ini,
yang kemudian menciptakan masalah tertentu dan tekanan yang
berbeda untuk para karyawan. Tahap pendirian dan kemerosotan
tersebut dapat menimbulkan stres.
3. Faktor individual
Faktor individual bisa mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi
karyawan, terutama sekali faktor-faktor ini adalah isu keluarga, masalah
ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi.
a. Masalah keluarga
Keluarga secara konsisten menunjukkan bahwa orang menganggap
hubungan pribadi dan keluarga sebagai sesuatu yang berharga.
Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin
pada
anak-anak
merupakan
contoh
dari
masalah
hubungan
menciptakan stres bagi para karyawan dan terbawa ke tempat kerja.
b. Masalah ekonomi
Masalah
ekonomi
diciptakan
oleh
individu
yang
terlalu
merentangkan. Sumber daya keraguan karyawan merupakan suatu
perangkat kesulitan pribadi lain yang dapat menciptakan stres bagi
karyawan dan mengganggu perhatian karyawan terhadap pekerjaan.
c. Kepribadian
Suatu faktor individual penting yang mempengaruhi stres adalah
kodrat kecenderungan dasar dari seseorang, artinya gejala stres yang
diungkapkan pada pekerjaan itu sebenarnya mungkin berasal dalam
kepribadian orang itu.
2.1.3.3 Hubungan Stres Kerja dengan Turnover Intention
Menurut Robbins dan Judge (2014) akibat stres yang dikaitkan dengan
perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, turnover karyawan tinggi, tingkat
absensi yang tinggi dan kecelakaan kerja.
25
Husni (2013) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa stres kerja sangat
berpengaruh positif bersama-sama maupun secara parsial terhadap intensi
meninggalkan perusahaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa stres kerja memiliki andil yang besar untuk
mempengaruhi niat karyawan meninggalkan perusahaan.
2.1.3.4 Dimensi Stres Kerja
Dimensi stres kerja menurut Salleh, Bakar dan Keong (2008) terbagi atas 5
skala penilaian yaitu:
1. Faktor intrinsik pekerjaan yang terbagi atas tuntutan tugas, tekanan waktu
karena deadline pekerjaan dan harus melakukan pengambilan keputusan yang
terlalu banyak.
2. Peran dalam organisasi yang terbagi atas ketidakpastian dan kurangnya
informasi peran pekerjaan, harapan dalam pekerjaan, dan tanggung jawab
dalam pekerjaan.
3. Hubungan di tempat kerja yang terbagi atas hubungan dengan atasan dan
hubungan dengan rekan kerja.
4. Pengembangan karir yang terbagi atas kurangnya keamanan kerja (ketakutan
akan tidak dipakai lagi atau pensiun dini) dan ketidakcocokan status misalnya
promosi yang berlebihan, promosi yang kurang dan frustasi karena harus
mengejar karir yang tinggi.
5. Struktur dan iklim organisasi yaitu kesempatan yang lebih besar untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
2.1.4 Kepuasan Kerja
Kepuasan adalah cermin dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.
Robbins dan Judge (2014) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu sikap umum
seorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang
diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka
terima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja yang secara
26
mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang mendukung,
serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Dikemukakan oleh Koesmono (2005), “kepuasan kerja merupakan penilaian,
perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan
berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar
teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya”. Dapat disimpulkan
dari penjelasan diatas bahwa kepuasan kerja adalah merupakan suatu sikap dari
seorang karyawan yang menggambarkan sikap terpenuhinya beberapa keinginan dan
kebutuhan mereka melalui kegiatan kerja atau bekerja.
Luthans (2006) mengutip pendapat Locke mengemukakan bahwa kepuasan
kerja merupakan keadaan emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan
dari penghargaan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih
lanjut bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang yang mengacu
pada hingga seberapa baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna
baginya. Locke (dalam Luthans, 2006) memberikan definisi komprehensif dari
kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluasif dan
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi
positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik
pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja merupakan evaluasi seseorang terhadap kerja dan pekerjaannya, dapat berupa
perasaan yang mendukung maupun tidak mendukung dirinya dalam bekerja.
2.1.4.1 Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang memicu sebagian karyawan
lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa karyawan yang lainnya. Teori
ini juga menjadi landasan tentang proses perasaan karyawan terhadap kepuasan kerja
itu sendiri.
Dibawah ini disajikan teori-teori mengenai kepuasan kerja menurut
Mangkunegara (2013), yaitu sebagai berikut:
27
1. Teori keseimbangan (equity theory)
Teori ini dikembangkan oleh Adam, adapun komponen dari teori ini adalah
input, outcome, comparison person, dan equity--in--equity. Wexley dan Yuki
(1977), mengemukakan bahwa input adalah semua nilai yang dirasakan
karyawan memberikan kontribusi untuk pekerjaannya. Misalnya, pendidikan,
pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, dan jumlah jam kerja. Outcome
adalah semua nilai yang dirasakan karyawan diperoleh dari pekerjaannya.
Misalnya, upah, keuntungan tambahan, status symbol, pengenalan kembali
(recognition), kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri.
Sedangkan comparison person adalah seorang karyawan dalam organisasi
yang sama, seorang karyawan dalam organisasi yang berbeda atau bahkan
dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya. Menurut teori ini, puas atau
tidak puasnya karyawan merupakan hasil perbandingan input-outcome
karyawan lain (comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut
dirasakan seimbang (equity) maka karyawan tersebut akan merasa puas.
Tetapi, apabila ketidakseimbangan (inequity) dapat menyebabkan dua
kemungkinan, yaitu ketidakseimbangan yang menguntungkan dirinya (over
compensation
inequity)
dan
sebaliknya
ketidakseimbangan
yang
menguntungkan karyawan lain (under compensation inequity) yang menjadi
pembanding atau comparison person.
2. Teori perbedaan (discrepancy person)
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter, ia berpendapat bahwa mengukur
kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa
yang seharusnya diperoleh dengan kenyataan yang dirasakan karyawan.
Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan bergantung
pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh
karyawan. Apabila yang diperoleh karyawan ternyata lebih besar dari yang
diharapkan, akan menyebabkan karyawan puas.
3. Teori pemenuhan kebutuhan (need fulfilment theory)
Menurut teori ini kepuasan kerja karyawan bergantung pada terpenuhi atau
tidaknya kebutuhan karyawan. Karyawan akan merasa puas apabila ia
mendapatkan apa yang dibutuhkannya, makin besar kebutuhan karyawan
terpenuhi, makin puas pula karyawan tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila
kebutuhan karyawan tidak terpenuhi, karyawan akan merasa tidak puas.
28
4. Teori pandangan kelompok (social reference theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja karyawan bukanlah bergantung pada
pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan
pendapat kelompok yang oleh para karyawan dianggap sebagai kelompok
acuan. Kelompok acuan tersebut oleh karyawan dijadikan tolak ukur untuk
menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, karyawan akan merasa puas
apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan
oleh kelompok acuan.
5. Teori dua faktor
Teori dua faktor ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg dengan
menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Penilaian
Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap subyek, insinyur,
dan akuntan. Masing-masing subyek diminta menceritakan kejadian yang
dialami, baik yang menyenangkan (memberi kepuasan) maupun yang tidak
menyenangkan atau tidak memberi kepuasan. Kemudian dianalisis dengan
analisis isi (content analysis) untuk menentukan faktor-faktor yang
menyebabkan kepuasan atau ketidakpuasan. Dua faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut Herzberg yaitu
faktor pemeliharaan (maintenance factors) dan faktor pemotivasian
(motivation factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfiers, hygiene
factors, job context, extrinsic factors yang meliputi administrasi dan
kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas,
hubungan dengan subordinate, upah, keamanan kerja, kondisi kerja, dan
status. Sedangkan faktor pemotivasian disebut pula satisfiers, motivators, job
content, intrinsic factor yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan,
kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri, kesempatan berkembang, dan
tanggung jawab.
6. Teori pengharapan (expectancy theory)
Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom, kemudian teori ini
diperluas oleh Potteer dan Lawyer. Ketika Davis mengemukakan bahwa
“Vroom explains that motivation is a product of how much one wants
something and one’s estimate of the probability that a certain will lead to it”.
Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari seberapa
besar keinginan seseorang terhadap sesuatu dan perkiraan seseorang akan
29
probabilitas mengenai tindakan tertentu yang akan menuntunnya kesana.
Pernyataan diatas berhubungan dengan rumus dibawah ini:
Valensi x Harapan = Motivasi
Keterangan:
-
Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu
-
Harapan merupakan keinginan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu
-
Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada
tujuan tertentu
Valensi lebih menguatkan pilihan seorang karyawan untuk sesuatu hasil. Jika
seseorang karyawan mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka
berarti valensi karyawan tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Valensi timbul dari
internal karyawan yang dikondisikan dengan pengalaman.
Selanjutnya Keith Davis dikutip oleh Mangkunegara (2013) mengemukakan
bahwa harapan merupakan kekuatan keyakinan bahwa suatu tindakan akan diikuti
oleh hasil tertentu. Hal ini menggambarkan penilaian karyawan mengenai
probabilitas bahwa mencapai suatu hasil dapat menuntunnya ke hasil lainnya.
Harapan merupakan suatu aksi yang berhubungan dengan hasil, yang berkisar dari 0
hingga 1. Jika karyawan merasa suatu tindakan tidak memiliki kemungkinan
mendapatkan hasil tertentu maka harapannya bernilai 0. Disisi lain, jika tindakan
tersebut berhubungan dengan hasil tertentu maka harapannya bernilai 1. Secara
normal, harapan karyawan adalah diantara 0-1.
2.1.4.2 Hubungan Kepuasan Kerja dan Turnover Intention
Robbins dan Judge (2014) menjelaskan juga bahwa kepuasan kerja
dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan, tetapi faktor-faktor lain seperti
pasar kerja, kesempatan kerja alternatif, dan panjangnya masa kerja merupakan
kendala penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada. Kepuasan kerja
dihubungkan secara negatif dengan keinginan untuk berpindah karyawan, tetapi
kolerasi itu lebih kuat daripada apa yang ditemukan dalam kemangkiran.
30
Dapat disimpulkan bahwa karyawan yang merasa terpuaskan dengan
pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan karyawan yang
merasa kurang terpuaskan dengan pekerjaannya akan memilih keluar dari organisasi.
2.1.4.3 Dimensi Kepuasan Kerja
Menurut Luthans (2006) terdapat 6 faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja yaitu:
1. Pekerjaan itu sendiri
Dimana suatu pekerjaan-pekerjaan dapat menyediakan tugas-tugas yang
menarik bagi individual itu sendiri. Hal menarik dari individu terhadap
pekerjaannya merupakan sumber utama dari kepuasan kerja.
Elemen utamanya adalah:
a. Autonomy, yaitu tingkat dimana pekerjaan memberikan kebebasan
atau
kemandirian
menjadwalkan
serta
keleluasaan
pekerjaannya
dan
bagi
menentukan
karyawan
prosedur
dalam
yang
digunakan dalam menyelesaikan pekerjannya tersebut.
b. Feedback, yaitu tingkat dimana dalam menyelesaikan aktivitasaktivitas
kerja
yang
dituntut
oleh
pekerjaan
memberikan
konsekuensinya pada pekerjaan guna memperoleh informasi langsung
dan jelas mengenai aktivitas pekerjaan tersebut.
2. Gaji
Gaji sebagai faktor multidimensi dalam kepuasan kerja yang merupakan
sejumlah upah atau uang yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa
dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain
dalam organisasi. Uang tidak hanya membantu orang memperoleh kebutuhan
dasar, tetapi juga alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat
yang lebih tinggi. Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana
manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika
karyawan fleksibel dalam memilih jenis benefit yang mereka sukai dalam
sebuah paket total (rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan
signifikan dalam kepuasan benefit dan kepuasan kerja secara keseluruhan.
(Robbins dan Judge, 2014). Gaji merupakan suatu balas jasa yang diterima
karyawan dalam bentuk finansial atas pekerjaan yang telah mereka lakukan.
31
3. Peluang promosi
Merupakan
peluang
untuk
mengalami
peningkatan
dalam
hierarki.
Kesempatan promosi tampaknya memiliki berbagai pengaruh terhadap
kepuasan kerja, ini dikarenakan promosi memiliki bentuk-bentuk yang
berbeda, didampingi dengan imbalan-imbalan yang mendampinginya.
Misalnya, individu-individu yang dipromosikan atas lamanya bekerja
seringkali menerima kepuasan kerja namun tidak sebesar kepuasan yang
diterima jika dipromosikan atas dasar kinerja. Demikian juga halnya suatu
promosi dengan 10% kenaikan gaji akan menghasilkan kepuasan kerja yang
tidak sebesar kepuasan kerja yang diperoleh dari kenaikan gaji 20%.
Perbedaan ini menjelaskan mengapa promosi-promosi eksekutif lebih
memuaskan daripada promosi pada level bawah.
4. Pengawasan
Merupakan hal yang cukup mempengaruhi dari kepuasan kerja, bergantung
pada kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknik dan
dukungan. Hal tersebut dapat berupa dari adanya pengawasan yang langsung
dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya
5. Kelompok kerja
Pada dasarnya kelompok kerja akan memiliki efek terhadap kepuasan kerja.
Keramahan dari rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber yang
sederhana terhadap kepuasan kerja untuk satu individu karyawan. Kelompok
kerja berfungsi sebagai sumber dukungan kenyamanan, saran, nasihat, dan
bantuan-bantuan terhadap satu individu pekerja. Kelompok kerja yang baik
membuat pekerjaan lebih menyenangkan. Akan tetapi, faktor ini tidaklah
terlalu penting terhadap kepuasan kerja. Dilain pihak, jika kondisi sebaliknya
terjadi ketika orang-orang tidak akrab, maka faktor ini memiliki efek negatif
terhadap kepuasan kerja.
6. Kondisi kerja
Kondisi kerja memiliki efek yang sederhana terhadap kepuasan kerja, jika
kondisi kerjanya baik (bersih dan memiliki lingkungan yang menarik), maka
para karyawan akan menemukan bahwa sangat mudah untuk melakukan
pekerjaan mereka. Tetapi jika kondisi kerja buruk (panas dan lingkungan
yang berisik), maka para karyawan akan merasakan sangat sulit untuk
melakukan pekerjaan. Dalam kata lain, pengaruh kondisi kerja terhadap
32
kepuasan kerja sama dengan kelompok kerja. Jika kondisinya baik maka
tidak akan terdapat masalah, tetapi jika kondisinya buruk, maka akan terdapat
masalah kepuasan kerja.
Keenam dimensi diatas, digunakan oleh para peneliti untuk mengukur
kepuasan kerja, dan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan.
Kepuasan kerja merupakan masalah yang cukup menarik dan penting untuk
diselidiki karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan karyawan, perusahaan
atau organisasi dan masyarakat.
2.1.4.4 Respon Karyawan terhadap Ketidakpuasan Kerja
Didalam suatu organisasi yang sebagian besar karyawannya memperoleh
kepuasan kerja, tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil dari karyawan merasakan
ketidakpuasan.
Menurut Robbins dan Judge (2014) ketidakpuasan kerja dapat diungkapkan
dengan empat respon yang berbeda satu sama lain dalam dimensi konstruktif atau
destruktif dan aktif atau pasif, yaitu;
1. Exit
Ketidakpuasan
ditunjukkan
melalui
perilaku
yang
mengarah
pada
meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri, termasuk mencari
pekerjaan baru.
2. Voice
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk
memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan
masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan.
3. Loyalty
Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif namun secara optimis menunggu
kondisi membaik, termasuk dengan membela organisasi terhadap kritik dari
luar serta mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal
yang tepat.
33
4. Neglect
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif yang membiarkan
kondisi menjadi lebih buruk, seperti sering absen atau terlambat, mengurangi
usaha dalam menyelesaikan pekerjaan, dan meningkatkan tingkat kesalahan
dalam pekerjaan.
2.1.5 Turnover Intention (Intensi Keluar)
Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar
dari organisasi. Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi organisasi
berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu,
sedangkan keinginan karyawan untuk berpindah mengacu pada hasil evaluasi
individu mengenai kelanjutan hubungan dengan organisasi yang belum diwujudkan
dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran
diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota
organisasi.
Dijelaskan oleh Robbins dan Judge (2014), penarikan diri seseorang keluar
dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary
turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover) yaitu:
a. Sukarela (voluntary turnover)
Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk
meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor
seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif
pekerjaan lain.
b. Tidak sukarela (involuntary turnover)
Involuntary turnover atau pemecatan dan keputusan pemberi kerja (employer)
untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi
karyawan yang mengalaminya
Widjaja (2008), menjelaskan bahwa turnover intention adalah keinginan
untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan
dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Intensi keluar merupakan
34
ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dapat memicu keinginan seseorang untuk
keluar mencari pekerjaan yang baru.
Dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah niat atau keinginan
karyawan yang dengan sengaja dan sadar, keluar secara aktual dari perusahaan
mereka bekerja pada saat ini yang biasanya diikuti dengan adanya persiapan untuk
mencari pekerjaan baru di perusahaan atau organisasi lain.
2.1.5.1 Elemen dalam keputusan Turnover Karyawan
Ployhart (2006), mengemukakan elemen penting dalam keputusan perputaran
(turnover) karyawan, yaitu:
1. Ketertarikan terhadap pekerjaan saat ini (attraction of the present job)
Masalah kepuasan kerja menangkap sebagian besar penelitian tentang daya
tarik pekerjaan ini.
2. Ketertarikan masa depan terhadap pekerjaan saat ini (future attraction of the
present job)
Meskipun Baysinger dan Mobely memasukkan ini sebagai kategori terpisah,
review dari literature kepuasan kerja menunjukkan ini merupakan masalah
mapan yang termasuk dalam pemikiran karyawan ketika mengevaluasi
kepuasan kerja saat ini. Bahkan, salah satu langkah yang paling sering
digunakan untuk mengukur kepuasan kerja (job descriptive index atau JDI)
mencakup penilaian kesempatan promosi.
3. Alternatif eskternal yang dirasakan (perceived external alternatives)
Di pasar tenaga kerja yang ketat, dimana pekerjaan langka, perputaran lebih
rendah terjadi ketika ekonomi sedang booming. Pada tingkat individu, ini
artinya bahwa karyawan lebih percaya ada alternatif yang lebih menarik
daripada pekerjaan yang sekarang, sehingga semakin besar kemungkinan
mereka untuk meninggalkan organisasi.
4. Investasi ekonomi dan psikologis (economic and psychological investment)
5. Investasi moneter (monetary investment)
Meliputi isu-isu seperti program pensiun. Karyawan yang diberi adalah
mereka yang telah tinggal cukup lama dengan perusahaan. Kebanyakan
perusahaan mengharuskan karyawan bekerja beberapa periode waktu
sebelum mereka berhenti, dari 6 bulan sampai 10 tahun. Contoh benefit
35
termasuk rencana bonus, kebijakan asuransi, kepemilikan saham, dsb. Ketika
karyawan memilih untuk tetap dengan perusahaan karena manfaat moneter,
imbalan ini disebut “golden handcuffs”. Disisi psikologis, investasi dapat
berupa bentuk komitmen terhadap organisasi. Misalnya, seseorang yang telah
sejak awal dengan organisasi akan berkomitmen terhadap organisasi.
Meninggalkan organisasi akan menyakitkan secara emosional bahkan ketika
itu terlihat seperti hal yang rasional untuk dilakukan.
6. Faktor bukan pekerjaan (non-job factors)
Kategori ini mencakup isu-isu seperti tanggung jawab keluarga dan
kesesuaian pekerjaan dan tanggung jawab, bukan pekerjaan yang dirasakan.
2.1.5.2 Faktor yang mempengaruhi Turnover Intention
Menurut Staffelbach (2008) faktor-faktor penyebab turnover intention
dikategorikan sebagai berikut:
1. Faktor psikologi
Penentu psikologis merujuk pada proses mental dan perilaku karyawan,
seperti harapan, orientasi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, keterlibatan
kerja, atau efektifitas. Konsep turnover secara psikologis berkaitan dengan
faktor-faktor yang dipengaruhi oleh emosi karyawan, sikap, atau persepsi.
Menurut Brinkmann dan Stapf (2005), faktor psikologi, yaitu:
-
Kontrak psikologis atau psychological contract mengacu pada keyakinan
individu mengenai syarat dan ketentuan perjanjian timbal balik
pertukaran antara seseorang dan pihak lain. Konsep kontrak psikologis
didasarkan pada wawasan, bahwa motivasi karyawan dan tingkat kinerja
mereka harus dipelihara oleh organisasi melalui insentif dan penghargaan.
Kontrak psikologis berisi semua harapan timbal yang balik tidak
terungkapkan, harapan dan keinginan karyawan atau atasan dan
merupakan perjanjian tambahan tidak dirumuskan dalam pekerjaan yang
mengikat kontrak sah. Jika pemenuhan keinginan dan harapan karyawan
gagal untuk muncul dalam jangka panjang dan keinginan tidak seimbang
dengan keuntungan, maka konflik batin pada karyawan akan semakin
buruk. Jika seorang karyawan tidak mampu membawa perubahan apapun,
ketidakpuasan akan terjadi dan kemudian merusak kontrak psikologis.
36
Dasar dari kontrak psikologis didasarkan pada teori pertukaran sosial,
yang mengasumsikan bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh
pemaksimalan utilitas individu itu sendiri. Dimana manusia berusaha
untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Jadi jika
karyawan merasakan adanya kontrak psikologis yang tidak berjalan
seperti semestinya, maka turnover intention akan meningkat dan semakin
tinggi.
-
Kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosional menyenangkan yang dihasilkan
dari penilaian pekerjaan seseorang dalam mencapai atau memfasilitasi
pencapaian nilai pekerjaannya. Kepuasan kerja menjadi terikatan efektif
seseorang, hal ini dikonseptualisasikan sebagai respon afektif dan emosional.
Kepuasan didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan memiliki orientasi
afektif yang positif terhadap pekerjaan oleh organisasi. Orientasi afektif
negatif terhadap organisasi akan muncul ketika karyawan tidak puas.
Kepuasan kerja mencakup otonomi, pay satisfaction, participation,
fleksibilitas pekerjaan, job design, dan supervisory support.
-
Komitmen organisasi
Mowday dan Steers mendefinisikan komitmen “sebagai kekuatan relatif
dari individu dalam identifikasi dengan dan keterlibatan dalam organisasi
tertentu”. Komitmen dapat dilihat sebagai loyalitas sebuah organisasi atau
suatu pekerjaan. Meyer dan Allen mengkonsepkan komitmen dalam tiga
keadaan psikologis yang berbeda yang mempengaruhi apakah karyawan
akan tetap atau meninggalkan organisasi, yaitu:
i.
Komitmen afektif: keterikatan emosional terhadap organisasi
ii.
Komitmen berkelanjutan: pengakuan biaya yang terkait dengan
meninggalkan organisasi
iii.
Komitmen normatif: kewajiban yang dirasakan untuk tetap dengan
organisasi
-
Ketidakamanan kerja atau job insecurity
Job insecurity sebagai kekhawatiran pribadi tentang kelangsungan
pekerjaan. Karyawan dapat merasa tidak aman meskipun tidak ada alasan
untuk itu. Namun, ketidakamanan pekerjaan lebih dikenal sebagai
37
ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan dalam pengembangan
pekerjaan dan juga diskontinuitas.
2. Faktor ekonomi
Ketika reward sama dengan ditempat kerja lain, karyawan akan memutuskan
untuk tidak meninggalkan organisasi. Pandangan ekonomi menganalisis
proses turnover lebih menekankan pada interaksi antara penentuan variabel
eksternal seperti gaji atau peluang.
Faktor-faktor ekonomi terdiri dari:
-
Upah
Upah pembayaran memainkan peran penting dalam pekerjaan pada masa
ini dan masa depan. Bahwa karyawan yang dibayar lebih tinggi dalam
tingkat hirarki yang sama cenderung untuk tetap bertahan dalam
organisasi (Poza, 2007)
-
Peluang eksternal
Peluang eksternal mengacu pada tersedianya alternatif, daya tarik dan
pencapaian dari pekerjaan di lingkungan. Interaksi antara kekuatan
penawaran dan permintaan ekonomi harus dipertimbangkan dalam
mengukur peluang eksternal. Ketersediaan ini terutama tentang seberapa
banyak peluang diluar organisasi. Daya tarik yang mengacu pada pay
level dari peluang tersebut. Pencapaian didefinisikan sebagai kepemilikan
keahlian yang dibutuhkan didalam suatu pekerjaan.
-
Ukuran perusahaan atau company size
Selama fase resesi di pertengahan tahun sembilan puluhan, organisasi
yang lebih kecil dihadapkan dengan tingkat turnover yang lebih tinggi,
sedangkan organisasi yang lebih besar mampu mempertahankan
karyawan mereka (Poza, 2007). Banyak orang beranggapan bahwa
perusahaan-perusahaan besar membayar gaji lebih tinggi, memiliki
kesempatan promosi yang lebih (mobilitas vertikal dan horisontal) dan
menawarkan keselamatan kerja yang lebih tinggi daripada perusahaan
kecil (Poza, 2007).
3. Faktor demografis
Faktor demografis yang sering disebut juga sebagai karakteristik personal
yang terdiri dari:
38
-
Usia
Faktor usia berkolerasi negatif dengan turnover intention (Poza, 2007).
Orang yang lebih muda memiliki tahap percobaan pada awal kehidupan
profesional mereka, sehingga lebih sering berpindah kerja.
-
Masa jabatan
Individu yang memiliki masa jabatan lebih lama kemudian meninggalkan
organisasi akan dianggap tidak proporsional.
2.1.5.3 Dampak Turnover Intention bagi Perusahaan
Turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi turnover,
berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal tersebut dapat
merugikan perusahaan. Dikarenakan, apabila seorang karyawan meninggalkan
perusahaan akan membawa berbagai biaya seperti:
a. Biaya penarikan karyawan
Menyangkut waktu dan fasilitas untuk wawancara dalam proses seleksi
karyawan, penarikan, dan mempelajari penggantian.
b. Biaya latihan
Menyangkut waktu pengawasan, departemen personalia, dan karyawan yang
dilatih.
c. Apa yang dikeluarkan untuk karyawan lebih kecil dari apa yang dihasilkan
karyawan baru tersebut.
d. Tingkat kecelakaan pada karyawan baru, biasanya cenderung tinggi.
e. Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan.
f. Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan secara efektif dan efisien.
g. Banyaknya pemborosan dengan adanya karyawan baru.
h. Perlu melakukan kerja lembur, apabila tidak melakukan kerja lembur maka
akan mengalami penundaan penyerahan. Turnover yang tinggi pada suatu
bidang dalam suatu organisasi misalnya, menunjukkan bahwa bidang yang
bersangkutan
perlu
untuk
diperbaiki
kondisi
kerjanya
atau
cara
pembinaannya.
Intensi keluar merupakan hasil yang ditunjukkan oleh individu dalam
perusahaan berupa perilaku sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan yang dirasakan
oleh karyawan atas pekerjaan yang mereka lakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
39
dampak negatif yang ditimbulkan oleh turnover sangat banyak dan tidak hanya
berhubungan dengan faktor biaya saja melainkan banyak hal sehingga perlu segera
diselesaikan karena dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi organisasi secara
keseluruhan.
2.1.5.4 Indikator Turnover Intention
Menurut Lum et. al. (dalam Al-Husami et al, 2013) menyatakan bahwa
intensi keluar merupakan variabel yang paling berhubungan dan lebih banyak
menjelaskan perilaku turnover, dimana intensi untuk keluar dapat diukur dengan tiga
indikator sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru dibidang yang sama di perusahaan
lain. Melihat adanya perusahaan lain yang dirasa mampu memberikan
keuntungan lebih banyak dibandingkan tempat dia bekerja saat ini, dapat
menjadi alasan utama bagi individu untuk memicu keinginannya keluar dari
perusahaan. Namun hal ini akan terbatas disaat dia hanya akan menerima jika
sesuai dengan keahliannya saat ini.
2. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru dibidang yang berbeda di
perusahaan lain. Seorang individu yang merasa selama ini kurang mengalami
kemajuan pada pekerjaan akan mencoba untuk beralih pada bidang yang
berbeda. Tanpa harus mempelajari keahlian baru, individu tersebut mencari
pekerjaan dibidang yang baru dengan keahlian sama dengan yang dia miliki
saat ini.
3. Keinginan untuk mencari profesi baru. Dengan memiliki keahlian yang cukup
banyak, maka akan mudah bagi seseorang untuk timbul keinginan mencari
pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah dia kerjakan.
2.2 Kerangka Pemikiran
Demikian dengan adanya penelitian ini dapat diketahui pengaruh antara stres
kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover intention. Dimana stres kerja dan
kepuasan kerja merupakan variabel independent atau bebas dan turnover intention
merupakan variabel dependent atau terikat, dengan berdasarkan penelitian terdahulu
40
dan sumber data yang diperoleh dari AJB Bumiputera 1912, maka kerangka
pemikiran dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Stres Kerja
X1
H1
Turnover Intention
Y
Kepuasan Kerja
H2
X2
H3
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis, 2015
2.3 Hipotesis
Sugiyono (2009) mengemukakan bahwa perumusan hipotesis penelitian
merupakan langkah ketiga dalam penelitian, setelah peneliti mengemukakan
landasan teori dan kerangka berpikir. Hipotesis merupakan dugaan sementara
terhadap rumusan masalah penelitian.
Dari kerangka pemikiran yang disajikan diatas dapat dirumuskan tiga
hipotesis atau dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang
digunakan sebagai berikut:
Hipotesis 1
Ho
: Tidak ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention pada AJB
Bumiputera 1912
41
Ha
: Ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera
1912
Hipotesis 2
Ho
: Tidak ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB
Bumiputera 1912
Ha
: Ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB
Bumiputera 1912
Hipotesis 3
Ho
: Tidak ada pengaruh stres kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover
intention pada AJB Bumiputera 1912
Ha
: Ada pengaruh stres kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover intention
pada AJB Bumiputera 1912
42
Download