BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Manajemen Manajemen berasal dari bahasa Inggris “management” yang berasal dari kata dasar “manage”. Definisi manage menurut kamus oxford adalah “to be in charge or make decisions in a business or an organization” (memimpin atau membuat keputusan di perusahaan atau organisasi). Dan definisi management menurut kamus oxford adalah “the control and making of decisions in a business or similar organization” (pengendalian dan pembuatan keputusan di perusahaan atau organisasi sejenis). Disamping itu banyak definisi yang diberikan terhadap istilah manajemen. Beberapa penulis memberikan pengertian manajemen sebagai berikut: Koontz dan O’donnel mengemukakan bahwa manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian. Terry (2009), manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya. Stooner (2006) mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Plunket et al (2005) mendefinisikan manajemen sebagai “One or more managers individually and collectively setting and achieving goals by exercising related functions (planning organizing staffing leading and controlling) and coordinating various resources (information materials money and people)”. 15 16 Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa manajemen merupakan satu atau lebih manajer yang secara individu maupun bersama-sama menyusun dan mencapai tujuan organisasi dengan melakukan fungsi-fungsi terkait (perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staff, pengarahan, dan pengawasan) dan mengkoordinasi berbagai sumber daya (informasi, material, uang, dan orang). Adapun unsur-unsur manajemen itu terdiri dari: man, money, method, machines, materials, dan market. Manajer sendiri menurut Plunket (2005), merupakan people who are allocate and oversee the use of resources jadi merupakan orang yang mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya. Dalam pengertian lain, manajemen adalah suatu seni dan ilmu perencana, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan dari pada sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu atau sebelumnya. Manajemen juga mengatur hal yang dikelola agar tercapai hasil yang memuaskan. Para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda namun maksudnya tetap sama. Dengan demikian istilah manajemen mengacu pada upaya-upaya untuk menggerakan organisasi melalui implementasi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Dalam implementasi fungsi manajemen, setiap organisasi memiliki cara dan metode yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik dan jenis organisasi. 2.1.1.2 Fungsi Manajemen Robbins and Coulter (2012), organisasi ada untuk mencapai tujuan tertentu, seorang manajer ditugaskan untuk menetapkan tujuan tersebut dan menentukan cara untuk mencapainya. Manajer menjalankan empat fungsi manajemen yaitu: 1. Planning (perencanaan), yaitu menetapkan tujuan, membangun strategi untuk mencapainya, serta mengembangkan rencana-rencana untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas. 2. Organizing (pengorganisasian), yaitu menyusun struktur kerja untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam fungsi ini, seorang manajer menentukan tugas-tugas yang harus dilaksanakan, orang-orang yang melaksanakannya, pengelompokan tugas-tugas tersebut dan kepada siapa pekerjaan harus dilaporkan, serta keputusan terkait tugas-tugas tersebut. 17 3. Leading (kepemimpinan), yaitu memotivasi karyawan, membantu penyelesaian konflik tim kerja, mempengaruhi individu-individu atau tim selama bekerja, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, dan mengatasi masalah perilaku karyawan. 4. Controlling (pengendalian), yaitu mengawasi dan mengevaluasi kinerja serta pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan dalam perencanaan untuk memastikan tugas-tugas yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan. 2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen. Oleh karena itu, teori manajemen umum menjadi dasar pembahasannya. Manajemen sumber daya manusia lebih memfokuskan mengenai pengaturan peranan tenaga kerja dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Pengaturan itu meliputi masalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian tenaga kerja. Adapun beberapa definisi manajemen sumber daya manusia menurut perspektif para ahli, yaitu: Manajemen sumber daya manusia maenurut Sofyandi (2008:6) didefinisikan sebagai suatu strategi dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, leading & controlling dalam setiap aktifitas atau fungsi operasional SDM, mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan pengembangan, penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian kerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan kerja yang ditujukan bagi peningkatan kontribusi produktif dari SDM organisasi terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) menurut Mathis & Jackson (2011:3) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasi. 18 Dan dapat diambil kesimpulan berdasarkan definisi-definisi dari pendapat para ahli yang beberapa sudah diuraikan diatas bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang ada pada tiap individu atau karyawan itu sendiri. Pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang ada tersebut dapat dikembangankan lebih lanjut secara maksimal didalam dunia kerja melalui suatu perusahaan untuk mencapai tujuan organisasi secara optimal dan juga untuk pengembangan daripada individu atau karyawan yang terlibat secara langsung didalam suatu perusahaan. 2.1.2.1 Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia Terdapat tujuh aktivitas manajemen sumber daya manusia, menurut Mathis dan Jackson (2011), diantaranya: 1. Perencanaan dan analisis sumber daya manusia Melalui perencanaan sumber daya manusia, manajer-manajer berusaha untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan para karyawan di masa depan. 2. Kesetaraan kesempatan kerja Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan kesempatan kerja/ equal employment opportunity (EEO) mempengaruhi semua aktivitas sumber daya manusia yang lain dan integral dengan manajemen sumber daya manusia. 3. Pengangkatan pegawai Tujuan dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang memadai atas individu-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di sebuah organisasi. 4. Pengembangan sumber daya manusia Pengembangan dimulai dengan orientasi pada karyawan yang baru, pengembangan sumber daya manusia juga meliputi berbagai keterampilan pekerjaan. 5. Kompensasi dan tunjangan Kompensasi memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui gaji, insentif, dan tunjangan. Para pemberi kerja harus memperbaiki dan mengembangkan sistem upah dan gaji dasar mereka. 19 6. Kesehatan, keselamatan dan keamanan Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan dan kesehatan para karyawan adalah hal yang sangat penting. 7. Hubungan karyawan dan buruh atau hubungan manajemen Hubungan para manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif apabila para karyawan dan organisasi ingin sukses bersama. 2.1.3 Stres Kerja Masalah stres yang dialami oleh karyawan sangat berdampak negatif bagi suatu perusahaan, karena stres yang dialami oleh karyawan dapat mengakibatkan kerugian yang relatif cukup diperhitungkan oleh perusahaan. Berikut ini adalah definisi stres kerja menurut para ahli sebagai berikut: Mc. Shane dan Von Glinow (2010) mendefinisikan stres sebagai “an individual’s adaptive response to a situation that is perceived as challenging or threatening to the person’s well being”. Merujuk pada definisi tersebut, stres dipandang sebagai suatu proses adaptasi seseorang terhadap suatu situasi yang dianggap menantang atau menghambatnya. Stres merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi- kondisi yang mempengaruhi dirinya. Menurut Mangkunegara (2013) dalam bukunya perilaku dan budaya organisasi, dikatakan pengertian stres adalah “perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami seorang karyawan dalam menghadapi pekerjaan”. Robbins dan Judge (2014), stres sering dikatakan membawa konteks negatif, namun juga memiliki nilai positif jika masih dalam keadaan yang wajar, karena akan menambah semangat dalam bekerja, motivasi dan kinerja. Namun beberapa karyawan menganggap tekanan dari beban kerja yang tinggi merupakan tantangan positif yang mampu memperkaya kualitas kerja dan kepuasan kerja. 20 Menurut Luthans (2006:441), stres kerja didefinisikan sebagai respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, atau perilaku anggota organisasi. Stres kerja dilambangkan sebagai kekuatan, tekanan, kecenderungan atau upaya seseorang dalam kekuatan mental dalam pekerjaan (Salleh, Bakar, dan Keong, 2008) Beehr & Newman dalam Luthans (2006:441), mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan kondisi dimana karyawan mengalami gangguan psikologis maupun fisik dalam menghadapi suatu permasalahan atau pekerjaan yang dapat berpengaruh terhadap kinerjanya didalam perusahaan dan membuat ketidakseimbangan antara karateristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya. 2.1.3.1 Gejala Stres Kerja Robbins dan Judge (2014), seseorang yang mengalami stres pada pekerjaannya akan menampilkan gejala-gejala yang meliputi tiga kategori umum, yaitu: 1. Gejala Fisiologis Gejala fisiologis merupakan gejala awal yang bisa diamati, terutama pada penelitian medis dan ilmu kesehatan. Stres cenderung berakibat pada perubahan metabolisme tubuh, meningkatnya detak jantung dan pernafasan, peningkatan tekanan darah, timbulnya sakit kepala, serta yang lebih berat lagi terjadinya serangan jantung. 2. Gejala Psikologis Dari segi psikologis, stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Hal itu merupakan efek psikologis yang paling sederhana dan paling jelas. Namun bisa saja muncul keadaan psikologis lainnya, misalnya ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan suka menunda-nunda pekerjaan. Bukti menunjukkan bahwa ketika orang ditempatkan dalam pekerjaan dengan 21 tuntutan yang banyak dan saling bertentangan atau dimana ada ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemegang jabatan, maka stres maupun ketidakpuasan akan meningkat. 3. Gejala Perilaku Gejala stres yang berkaitan dengan perilaku meliputi perubahan dalam tingkat produktivitas, absensi, kemangkiran, dan tingkat keluarnya karyawan, juga perubahan dalam kebiasan makan, bicara cepat, gelisah, gangguan tidur, merokok, dan konsumsi alkohol. 2.1.3.2 Faktor Penyebab Stres Stres yang dialami oleh individu dalam lingkungan pekerjaannya seringkali dipicu oleh hal-hal yang berasal dari dalam diri karyawan (internal factor) dan dari luar (external factor) yang membawa konsekuensi berbeda bagi masing-masing individu tergantung pada kekuatan respon dirinya yang menentukan besar kecilnya toleransi karyawan terhadap stres. Menurut Anatan dan Ellitan (2007) faktor penyebab stres meliputi: a. Extra organizational stresor, yaitu penyebab stres dari luar organisasi meliputi perubahan sosial dan teknologi yang berakibatkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan ekonomi dan finansial mempengaruhi pola kerja seseorang, kondisi relokasi masyarakat dan kondisi keluarga. b. Organizational stresor, penyebab stres dari dalam organisasi yang meliputi kondisi kebijakan dan strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi, dan kondisi lingkungan kerja. c. Group stresor, penyebab stres dan kelompok dalam organisasi yang timbul akibat kurangnya kesatuan dalam melaksanakan tugas dan kerja terutama pada level bawahan, kurangnya dukungan dari atasan, munculnya konflik antar personal, interpersonal, dan antar kelompok. d. Individual stresor, stres yang berakibat dari dalam diri individu yang muncul akibat konflik dan ambiguitas peran, beban kerja yang terlalu berat, dan kurangnya pengawasan dari pihak perusahan. 22 Mangkunegara (2013) mengemukakan bahwa stres kerja diukur oleh beberapa hal, antara lain: beban kerja yang terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, serta perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin. Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2014) terdapat tiga faktor penyebab stres, yaitu: 1. Faktor lingkungan Faktor lingkungan seperti ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari struktur suatu organisasi, ketidakpastian tersebut juga dapat mempengaruhi tingkat stres dikalangan karyawan. a. Ketidakpastian ekonomi Ketidakpastian harga barang yang cenderung terus naik sedangkan kenaikan gaji karyawan tidak terlalu signifikan dengan kenaikan harga barang dan bahkan gaji karyawan cenderung tetap, hal inilah yang akan memicu karyawan untuk menjadi stres karena kebutuhan pokoknya bisa saja tidak terpenuhi. b. Ketidakpastian politis Batasan birokrasi menjadi salah satu sumber stres yang berpengaruh dengan pekerjaan. Karyawan akan merasa tertekan atau stres apabila karyawan merasa ada ancaman terhadap perubahan politik yang mungkin akan berdampak pada kebijakan perusahaan. c. Ketidakpastian teknologis Inovasi-inovasi baru dapat membuat keterampilan dan pengalaman seorang karyawan usang dalam waktu yang sangat pendek oleh karena itu ketidakpastian teknologi merupakan tipe ketiga yang dapat menyebabkan stres. Misalnya komputer, robotika, otomatisasi, dan ragam-ragam lain dari inovasi teknologis merupakan ancaman bagi karyawan dibanyak organisasi yang dapat menyebabkan stres. 2. Faktor organisasi Banyak sekali faktor didalam organisasi yang dapat menimbulkan stres pada karyawan. Diantaranya tekanan untuk menghindari ketidakpastian, kekeliruan dalam menyelesaikan tugas pada suatu kurun waktu yang terbatas, beban 23 kerja yang terlalu berlebihan, seorang atasan yang menuntut terlalu banyak dan tidak peka, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Hal seperti inilah yang dapat menyebabkan stres dalam waktu berkepanjangan dan berikut beberapa contoh yang dapat disajikan: a. Tuntutan tugas Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu, kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik. b. Tuntutan peran Tuntutan peran berpengaruh dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan hampir tidak bisa dirujukkan atau dipuaskan. c. Tuntutan antar pribadi Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain, kurangnya dukungan sosial, rekan-rekan, teristimewa diantara para karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi, dan pengaruh pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar. d. Struktur organisasi Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, serta dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan berdampak pada seorang karyawan merupakan suatu contoh dari variabel struktural yang dapat menjadi sumber potensial stres. e. Kepemimpinan organisasi Menggambarkan gaya manajerial dari eksekutif senior organisasi. Beberapa pejabat eksekutif menciptakan keputusan suatu budaya yang dicirikan oleh ketegangan, rasa takut dan kecemasan karyawan, membangun tekanan tidak realistis untuk berprestasi dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang berlebihan ketatnya dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikutinya. 24 f. Tata hidup organisasi Organisasi berjalan melalui suatu siklus, didirikan, tumbuh dan menjadi dewasa dan akhirnya merosot. Suatu tahap kehidupan organisasi yaitu dimana organisasi ada didalam empat tahap daur ini, yang kemudian menciptakan masalah tertentu dan tekanan yang berbeda untuk para karyawan. Tahap pendirian dan kemerosotan tersebut dapat menimbulkan stres. 3. Faktor individual Faktor individual bisa mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan, terutama sekali faktor-faktor ini adalah isu keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi. a. Masalah keluarga Keluarga secara konsisten menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sebagai sesuatu yang berharga. Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin pada anak-anak merupakan contoh dari masalah hubungan menciptakan stres bagi para karyawan dan terbawa ke tempat kerja. b. Masalah ekonomi Masalah ekonomi diciptakan oleh individu yang terlalu merentangkan. Sumber daya keraguan karyawan merupakan suatu perangkat kesulitan pribadi lain yang dapat menciptakan stres bagi karyawan dan mengganggu perhatian karyawan terhadap pekerjaan. c. Kepribadian Suatu faktor individual penting yang mempengaruhi stres adalah kodrat kecenderungan dasar dari seseorang, artinya gejala stres yang diungkapkan pada pekerjaan itu sebenarnya mungkin berasal dalam kepribadian orang itu. 2.1.3.3 Hubungan Stres Kerja dengan Turnover Intention Menurut Robbins dan Judge (2014) akibat stres yang dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, turnover karyawan tinggi, tingkat absensi yang tinggi dan kecelakaan kerja. 25 Husni (2013) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa stres kerja sangat berpengaruh positif bersama-sama maupun secara parsial terhadap intensi meninggalkan perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa stres kerja memiliki andil yang besar untuk mempengaruhi niat karyawan meninggalkan perusahaan. 2.1.3.4 Dimensi Stres Kerja Dimensi stres kerja menurut Salleh, Bakar dan Keong (2008) terbagi atas 5 skala penilaian yaitu: 1. Faktor intrinsik pekerjaan yang terbagi atas tuntutan tugas, tekanan waktu karena deadline pekerjaan dan harus melakukan pengambilan keputusan yang terlalu banyak. 2. Peran dalam organisasi yang terbagi atas ketidakpastian dan kurangnya informasi peran pekerjaan, harapan dalam pekerjaan, dan tanggung jawab dalam pekerjaan. 3. Hubungan di tempat kerja yang terbagi atas hubungan dengan atasan dan hubungan dengan rekan kerja. 4. Pengembangan karir yang terbagi atas kurangnya keamanan kerja (ketakutan akan tidak dipakai lagi atau pensiun dini) dan ketidakcocokan status misalnya promosi yang berlebihan, promosi yang kurang dan frustasi karena harus mengejar karir yang tinggi. 5. Struktur dan iklim organisasi yaitu kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2.1.4 Kepuasan Kerja Kepuasan adalah cermin dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Robbins dan Judge (2014) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja yang secara 26 mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang mendukung, serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan. Dikemukakan oleh Koesmono (2005), “kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya”. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa kepuasan kerja adalah merupakan suatu sikap dari seorang karyawan yang menggambarkan sikap terpenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhan mereka melalui kegiatan kerja atau bekerja. Luthans (2006) mengutip pendapat Locke mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan dari penghargaan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih lanjut bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang yang mengacu pada hingga seberapa baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna baginya. Locke (dalam Luthans, 2006) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluasif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan evaluasi seseorang terhadap kerja dan pekerjaannya, dapat berupa perasaan yang mendukung maupun tidak mendukung dirinya dalam bekerja. 2.1.4.1 Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang memicu sebagian karyawan lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa karyawan yang lainnya. Teori ini juga menjadi landasan tentang proses perasaan karyawan terhadap kepuasan kerja itu sendiri. Dibawah ini disajikan teori-teori mengenai kepuasan kerja menurut Mangkunegara (2013), yaitu sebagai berikut: 27 1. Teori keseimbangan (equity theory) Teori ini dikembangkan oleh Adam, adapun komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person, dan equity--in--equity. Wexley dan Yuki (1977), mengemukakan bahwa input adalah semua nilai yang dirasakan karyawan memberikan kontribusi untuk pekerjaannya. Misalnya, pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, dan jumlah jam kerja. Outcome adalah semua nilai yang dirasakan karyawan diperoleh dari pekerjaannya. Misalnya, upah, keuntungan tambahan, status symbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri. Sedangkan comparison person adalah seorang karyawan dalam organisasi yang sama, seorang karyawan dalam organisasi yang berbeda atau bahkan dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya. Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya karyawan merupakan hasil perbandingan input-outcome karyawan lain (comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka karyawan tersebut akan merasa puas. Tetapi, apabila ketidakseimbangan (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu ketidakseimbangan yang menguntungkan dirinya (over compensation inequity) dan sebaliknya ketidakseimbangan yang menguntungkan karyawan lain (under compensation inequity) yang menjadi pembanding atau comparison person. 2. Teori perbedaan (discrepancy person) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter, ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya diperoleh dengan kenyataan yang dirasakan karyawan. Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh karyawan. Apabila yang diperoleh karyawan ternyata lebih besar dari yang diharapkan, akan menyebabkan karyawan puas. 3. Teori pemenuhan kebutuhan (need fulfilment theory) Menurut teori ini kepuasan kerja karyawan bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan karyawan. Karyawan akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya, makin besar kebutuhan karyawan terpenuhi, makin puas pula karyawan tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan karyawan tidak terpenuhi, karyawan akan merasa tidak puas. 28 4. Teori pandangan kelompok (social reference theory) Menurut teori ini, kepuasan kerja karyawan bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para karyawan dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok acuan tersebut oleh karyawan dijadikan tolak ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, karyawan akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan. 5. Teori dua faktor Teori dua faktor ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg dengan menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Penilaian Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap subyek, insinyur, dan akuntan. Masing-masing subyek diminta menceritakan kejadian yang dialami, baik yang menyenangkan (memberi kepuasan) maupun yang tidak menyenangkan atau tidak memberi kepuasan. Kemudian dianalisis dengan analisis isi (content analysis) untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan atau ketidakpuasan. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut Herzberg yaitu faktor pemeliharaan (maintenance factors) dan faktor pemotivasian (motivation factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfiers, hygiene factors, job context, extrinsic factors yang meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinate, upah, keamanan kerja, kondisi kerja, dan status. Sedangkan faktor pemotivasian disebut pula satisfiers, motivators, job content, intrinsic factor yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri, kesempatan berkembang, dan tanggung jawab. 6. Teori pengharapan (expectancy theory) Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom, kemudian teori ini diperluas oleh Potteer dan Lawyer. Ketika Davis mengemukakan bahwa “Vroom explains that motivation is a product of how much one wants something and one’s estimate of the probability that a certain will lead to it”. Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari seberapa besar keinginan seseorang terhadap sesuatu dan perkiraan seseorang akan 29 probabilitas mengenai tindakan tertentu yang akan menuntunnya kesana. Pernyataan diatas berhubungan dengan rumus dibawah ini: Valensi x Harapan = Motivasi Keterangan: - Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu - Harapan merupakan keinginan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu - Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu Valensi lebih menguatkan pilihan seorang karyawan untuk sesuatu hasil. Jika seseorang karyawan mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka berarti valensi karyawan tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Valensi timbul dari internal karyawan yang dikondisikan dengan pengalaman. Selanjutnya Keith Davis dikutip oleh Mangkunegara (2013) mengemukakan bahwa harapan merupakan kekuatan keyakinan bahwa suatu tindakan akan diikuti oleh hasil tertentu. Hal ini menggambarkan penilaian karyawan mengenai probabilitas bahwa mencapai suatu hasil dapat menuntunnya ke hasil lainnya. Harapan merupakan suatu aksi yang berhubungan dengan hasil, yang berkisar dari 0 hingga 1. Jika karyawan merasa suatu tindakan tidak memiliki kemungkinan mendapatkan hasil tertentu maka harapannya bernilai 0. Disisi lain, jika tindakan tersebut berhubungan dengan hasil tertentu maka harapannya bernilai 1. Secara normal, harapan karyawan adalah diantara 0-1. 2.1.4.2 Hubungan Kepuasan Kerja dan Turnover Intention Robbins dan Judge (2014) menjelaskan juga bahwa kepuasan kerja dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan, tetapi faktor-faktor lain seperti pasar kerja, kesempatan kerja alternatif, dan panjangnya masa kerja merupakan kendala penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada. Kepuasan kerja dihubungkan secara negatif dengan keinginan untuk berpindah karyawan, tetapi kolerasi itu lebih kuat daripada apa yang ditemukan dalam kemangkiran. 30 Dapat disimpulkan bahwa karyawan yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan karyawan yang merasa kurang terpuaskan dengan pekerjaannya akan memilih keluar dari organisasi. 2.1.4.3 Dimensi Kepuasan Kerja Menurut Luthans (2006) terdapat 6 faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Pekerjaan itu sendiri Dimana suatu pekerjaan-pekerjaan dapat menyediakan tugas-tugas yang menarik bagi individual itu sendiri. Hal menarik dari individu terhadap pekerjaannya merupakan sumber utama dari kepuasan kerja. Elemen utamanya adalah: a. Autonomy, yaitu tingkat dimana pekerjaan memberikan kebebasan atau kemandirian menjadwalkan serta keleluasaan pekerjaannya dan bagi menentukan karyawan prosedur dalam yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjannya tersebut. b. Feedback, yaitu tingkat dimana dalam menyelesaikan aktivitasaktivitas kerja yang dituntut oleh pekerjaan memberikan konsekuensinya pada pekerjaan guna memperoleh informasi langsung dan jelas mengenai aktivitas pekerjaan tersebut. 2. Gaji Gaji sebagai faktor multidimensi dalam kepuasan kerja yang merupakan sejumlah upah atau uang yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Uang tidak hanya membantu orang memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi. Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika karyawan fleksibel dalam memilih jenis benefit yang mereka sukai dalam sebuah paket total (rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan signifikan dalam kepuasan benefit dan kepuasan kerja secara keseluruhan. (Robbins dan Judge, 2014). Gaji merupakan suatu balas jasa yang diterima karyawan dalam bentuk finansial atas pekerjaan yang telah mereka lakukan. 31 3. Peluang promosi Merupakan peluang untuk mengalami peningkatan dalam hierarki. Kesempatan promosi tampaknya memiliki berbagai pengaruh terhadap kepuasan kerja, ini dikarenakan promosi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda, didampingi dengan imbalan-imbalan yang mendampinginya. Misalnya, individu-individu yang dipromosikan atas lamanya bekerja seringkali menerima kepuasan kerja namun tidak sebesar kepuasan yang diterima jika dipromosikan atas dasar kinerja. Demikian juga halnya suatu promosi dengan 10% kenaikan gaji akan menghasilkan kepuasan kerja yang tidak sebesar kepuasan kerja yang diperoleh dari kenaikan gaji 20%. Perbedaan ini menjelaskan mengapa promosi-promosi eksekutif lebih memuaskan daripada promosi pada level bawah. 4. Pengawasan Merupakan hal yang cukup mempengaruhi dari kepuasan kerja, bergantung pada kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknik dan dukungan. Hal tersebut dapat berupa dari adanya pengawasan yang langsung dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya 5. Kelompok kerja Pada dasarnya kelompok kerja akan memiliki efek terhadap kepuasan kerja. Keramahan dari rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber yang sederhana terhadap kepuasan kerja untuk satu individu karyawan. Kelompok kerja berfungsi sebagai sumber dukungan kenyamanan, saran, nasihat, dan bantuan-bantuan terhadap satu individu pekerja. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan lebih menyenangkan. Akan tetapi, faktor ini tidaklah terlalu penting terhadap kepuasan kerja. Dilain pihak, jika kondisi sebaliknya terjadi ketika orang-orang tidak akrab, maka faktor ini memiliki efek negatif terhadap kepuasan kerja. 6. Kondisi kerja Kondisi kerja memiliki efek yang sederhana terhadap kepuasan kerja, jika kondisi kerjanya baik (bersih dan memiliki lingkungan yang menarik), maka para karyawan akan menemukan bahwa sangat mudah untuk melakukan pekerjaan mereka. Tetapi jika kondisi kerja buruk (panas dan lingkungan yang berisik), maka para karyawan akan merasakan sangat sulit untuk melakukan pekerjaan. Dalam kata lain, pengaruh kondisi kerja terhadap 32 kepuasan kerja sama dengan kelompok kerja. Jika kondisinya baik maka tidak akan terdapat masalah, tetapi jika kondisinya buruk, maka akan terdapat masalah kepuasan kerja. Keenam dimensi diatas, digunakan oleh para peneliti untuk mengukur kepuasan kerja, dan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja merupakan masalah yang cukup menarik dan penting untuk diselidiki karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan karyawan, perusahaan atau organisasi dan masyarakat. 2.1.4.4 Respon Karyawan terhadap Ketidakpuasan Kerja Didalam suatu organisasi yang sebagian besar karyawannya memperoleh kepuasan kerja, tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil dari karyawan merasakan ketidakpuasan. Menurut Robbins dan Judge (2014) ketidakpuasan kerja dapat diungkapkan dengan empat respon yang berbeda satu sama lain dalam dimensi konstruktif atau destruktif dan aktif atau pasif, yaitu; 1. Exit Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku yang mengarah pada meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri, termasuk mencari pekerjaan baru. 2. Voice Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3. Loyalty Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif namun secara optimis menunggu kondisi membaik, termasuk dengan membela organisasi terhadap kritik dari luar serta mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. 33 4. Neglect Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif yang membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, seperti sering absen atau terlambat, mengurangi usaha dalam menyelesaikan pekerjaan, dan meningkatkan tingkat kesalahan dalam pekerjaan. 2.1.5 Turnover Intention (Intensi Keluar) Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu, sedangkan keinginan karyawan untuk berpindah mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungan dengan organisasi yang belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Dijelaskan oleh Robbins dan Judge (2014), penarikan diri seseorang keluar dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover) yaitu: a. Sukarela (voluntary turnover) Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. b. Tidak sukarela (involuntary turnover) Involuntary turnover atau pemecatan dan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya Widjaja (2008), menjelaskan bahwa turnover intention adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Intensi keluar merupakan 34 ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dapat memicu keinginan seseorang untuk keluar mencari pekerjaan yang baru. Dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah niat atau keinginan karyawan yang dengan sengaja dan sadar, keluar secara aktual dari perusahaan mereka bekerja pada saat ini yang biasanya diikuti dengan adanya persiapan untuk mencari pekerjaan baru di perusahaan atau organisasi lain. 2.1.5.1 Elemen dalam keputusan Turnover Karyawan Ployhart (2006), mengemukakan elemen penting dalam keputusan perputaran (turnover) karyawan, yaitu: 1. Ketertarikan terhadap pekerjaan saat ini (attraction of the present job) Masalah kepuasan kerja menangkap sebagian besar penelitian tentang daya tarik pekerjaan ini. 2. Ketertarikan masa depan terhadap pekerjaan saat ini (future attraction of the present job) Meskipun Baysinger dan Mobely memasukkan ini sebagai kategori terpisah, review dari literature kepuasan kerja menunjukkan ini merupakan masalah mapan yang termasuk dalam pemikiran karyawan ketika mengevaluasi kepuasan kerja saat ini. Bahkan, salah satu langkah yang paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja (job descriptive index atau JDI) mencakup penilaian kesempatan promosi. 3. Alternatif eskternal yang dirasakan (perceived external alternatives) Di pasar tenaga kerja yang ketat, dimana pekerjaan langka, perputaran lebih rendah terjadi ketika ekonomi sedang booming. Pada tingkat individu, ini artinya bahwa karyawan lebih percaya ada alternatif yang lebih menarik daripada pekerjaan yang sekarang, sehingga semakin besar kemungkinan mereka untuk meninggalkan organisasi. 4. Investasi ekonomi dan psikologis (economic and psychological investment) 5. Investasi moneter (monetary investment) Meliputi isu-isu seperti program pensiun. Karyawan yang diberi adalah mereka yang telah tinggal cukup lama dengan perusahaan. Kebanyakan perusahaan mengharuskan karyawan bekerja beberapa periode waktu sebelum mereka berhenti, dari 6 bulan sampai 10 tahun. Contoh benefit 35 termasuk rencana bonus, kebijakan asuransi, kepemilikan saham, dsb. Ketika karyawan memilih untuk tetap dengan perusahaan karena manfaat moneter, imbalan ini disebut “golden handcuffs”. Disisi psikologis, investasi dapat berupa bentuk komitmen terhadap organisasi. Misalnya, seseorang yang telah sejak awal dengan organisasi akan berkomitmen terhadap organisasi. Meninggalkan organisasi akan menyakitkan secara emosional bahkan ketika itu terlihat seperti hal yang rasional untuk dilakukan. 6. Faktor bukan pekerjaan (non-job factors) Kategori ini mencakup isu-isu seperti tanggung jawab keluarga dan kesesuaian pekerjaan dan tanggung jawab, bukan pekerjaan yang dirasakan. 2.1.5.2 Faktor yang mempengaruhi Turnover Intention Menurut Staffelbach (2008) faktor-faktor penyebab turnover intention dikategorikan sebagai berikut: 1. Faktor psikologi Penentu psikologis merujuk pada proses mental dan perilaku karyawan, seperti harapan, orientasi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, keterlibatan kerja, atau efektifitas. Konsep turnover secara psikologis berkaitan dengan faktor-faktor yang dipengaruhi oleh emosi karyawan, sikap, atau persepsi. Menurut Brinkmann dan Stapf (2005), faktor psikologi, yaitu: - Kontrak psikologis atau psychological contract mengacu pada keyakinan individu mengenai syarat dan ketentuan perjanjian timbal balik pertukaran antara seseorang dan pihak lain. Konsep kontrak psikologis didasarkan pada wawasan, bahwa motivasi karyawan dan tingkat kinerja mereka harus dipelihara oleh organisasi melalui insentif dan penghargaan. Kontrak psikologis berisi semua harapan timbal yang balik tidak terungkapkan, harapan dan keinginan karyawan atau atasan dan merupakan perjanjian tambahan tidak dirumuskan dalam pekerjaan yang mengikat kontrak sah. Jika pemenuhan keinginan dan harapan karyawan gagal untuk muncul dalam jangka panjang dan keinginan tidak seimbang dengan keuntungan, maka konflik batin pada karyawan akan semakin buruk. Jika seorang karyawan tidak mampu membawa perubahan apapun, ketidakpuasan akan terjadi dan kemudian merusak kontrak psikologis. 36 Dasar dari kontrak psikologis didasarkan pada teori pertukaran sosial, yang mengasumsikan bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh pemaksimalan utilitas individu itu sendiri. Dimana manusia berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Jadi jika karyawan merasakan adanya kontrak psikologis yang tidak berjalan seperti semestinya, maka turnover intention akan meningkat dan semakin tinggi. - Kepuasan kerja Kepuasan kerja adalah keadaan emosional menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan seseorang dalam mencapai atau memfasilitasi pencapaian nilai pekerjaannya. Kepuasan kerja menjadi terikatan efektif seseorang, hal ini dikonseptualisasikan sebagai respon afektif dan emosional. Kepuasan didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan memiliki orientasi afektif yang positif terhadap pekerjaan oleh organisasi. Orientasi afektif negatif terhadap organisasi akan muncul ketika karyawan tidak puas. Kepuasan kerja mencakup otonomi, pay satisfaction, participation, fleksibilitas pekerjaan, job design, dan supervisory support. - Komitmen organisasi Mowday dan Steers mendefinisikan komitmen “sebagai kekuatan relatif dari individu dalam identifikasi dengan dan keterlibatan dalam organisasi tertentu”. Komitmen dapat dilihat sebagai loyalitas sebuah organisasi atau suatu pekerjaan. Meyer dan Allen mengkonsepkan komitmen dalam tiga keadaan psikologis yang berbeda yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap atau meninggalkan organisasi, yaitu: i. Komitmen afektif: keterikatan emosional terhadap organisasi ii. Komitmen berkelanjutan: pengakuan biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi iii. Komitmen normatif: kewajiban yang dirasakan untuk tetap dengan organisasi - Ketidakamanan kerja atau job insecurity Job insecurity sebagai kekhawatiran pribadi tentang kelangsungan pekerjaan. Karyawan dapat merasa tidak aman meskipun tidak ada alasan untuk itu. Namun, ketidakamanan pekerjaan lebih dikenal sebagai 37 ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan dalam pengembangan pekerjaan dan juga diskontinuitas. 2. Faktor ekonomi Ketika reward sama dengan ditempat kerja lain, karyawan akan memutuskan untuk tidak meninggalkan organisasi. Pandangan ekonomi menganalisis proses turnover lebih menekankan pada interaksi antara penentuan variabel eksternal seperti gaji atau peluang. Faktor-faktor ekonomi terdiri dari: - Upah Upah pembayaran memainkan peran penting dalam pekerjaan pada masa ini dan masa depan. Bahwa karyawan yang dibayar lebih tinggi dalam tingkat hirarki yang sama cenderung untuk tetap bertahan dalam organisasi (Poza, 2007) - Peluang eksternal Peluang eksternal mengacu pada tersedianya alternatif, daya tarik dan pencapaian dari pekerjaan di lingkungan. Interaksi antara kekuatan penawaran dan permintaan ekonomi harus dipertimbangkan dalam mengukur peluang eksternal. Ketersediaan ini terutama tentang seberapa banyak peluang diluar organisasi. Daya tarik yang mengacu pada pay level dari peluang tersebut. Pencapaian didefinisikan sebagai kepemilikan keahlian yang dibutuhkan didalam suatu pekerjaan. - Ukuran perusahaan atau company size Selama fase resesi di pertengahan tahun sembilan puluhan, organisasi yang lebih kecil dihadapkan dengan tingkat turnover yang lebih tinggi, sedangkan organisasi yang lebih besar mampu mempertahankan karyawan mereka (Poza, 2007). Banyak orang beranggapan bahwa perusahaan-perusahaan besar membayar gaji lebih tinggi, memiliki kesempatan promosi yang lebih (mobilitas vertikal dan horisontal) dan menawarkan keselamatan kerja yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil (Poza, 2007). 3. Faktor demografis Faktor demografis yang sering disebut juga sebagai karakteristik personal yang terdiri dari: 38 - Usia Faktor usia berkolerasi negatif dengan turnover intention (Poza, 2007). Orang yang lebih muda memiliki tahap percobaan pada awal kehidupan profesional mereka, sehingga lebih sering berpindah kerja. - Masa jabatan Individu yang memiliki masa jabatan lebih lama kemudian meninggalkan organisasi akan dianggap tidak proporsional. 2.1.5.3 Dampak Turnover Intention bagi Perusahaan Turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal tersebut dapat merugikan perusahaan. Dikarenakan, apabila seorang karyawan meninggalkan perusahaan akan membawa berbagai biaya seperti: a. Biaya penarikan karyawan Menyangkut waktu dan fasilitas untuk wawancara dalam proses seleksi karyawan, penarikan, dan mempelajari penggantian. b. Biaya latihan Menyangkut waktu pengawasan, departemen personalia, dan karyawan yang dilatih. c. Apa yang dikeluarkan untuk karyawan lebih kecil dari apa yang dihasilkan karyawan baru tersebut. d. Tingkat kecelakaan pada karyawan baru, biasanya cenderung tinggi. e. Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan. f. Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan secara efektif dan efisien. g. Banyaknya pemborosan dengan adanya karyawan baru. h. Perlu melakukan kerja lembur, apabila tidak melakukan kerja lembur maka akan mengalami penundaan penyerahan. Turnover yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu organisasi misalnya, menunjukkan bahwa bidang yang bersangkutan perlu untuk diperbaiki kondisi kerjanya atau cara pembinaannya. Intensi keluar merupakan hasil yang ditunjukkan oleh individu dalam perusahaan berupa perilaku sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan yang dirasakan oleh karyawan atas pekerjaan yang mereka lakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa 39 dampak negatif yang ditimbulkan oleh turnover sangat banyak dan tidak hanya berhubungan dengan faktor biaya saja melainkan banyak hal sehingga perlu segera diselesaikan karena dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi organisasi secara keseluruhan. 2.1.5.4 Indikator Turnover Intention Menurut Lum et. al. (dalam Al-Husami et al, 2013) menyatakan bahwa intensi keluar merupakan variabel yang paling berhubungan dan lebih banyak menjelaskan perilaku turnover, dimana intensi untuk keluar dapat diukur dengan tiga indikator sebagai berikut: 1. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru dibidang yang sama di perusahaan lain. Melihat adanya perusahaan lain yang dirasa mampu memberikan keuntungan lebih banyak dibandingkan tempat dia bekerja saat ini, dapat menjadi alasan utama bagi individu untuk memicu keinginannya keluar dari perusahaan. Namun hal ini akan terbatas disaat dia hanya akan menerima jika sesuai dengan keahliannya saat ini. 2. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru dibidang yang berbeda di perusahaan lain. Seorang individu yang merasa selama ini kurang mengalami kemajuan pada pekerjaan akan mencoba untuk beralih pada bidang yang berbeda. Tanpa harus mempelajari keahlian baru, individu tersebut mencari pekerjaan dibidang yang baru dengan keahlian sama dengan yang dia miliki saat ini. 3. Keinginan untuk mencari profesi baru. Dengan memiliki keahlian yang cukup banyak, maka akan mudah bagi seseorang untuk timbul keinginan mencari pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah dia kerjakan. 2.2 Kerangka Pemikiran Demikian dengan adanya penelitian ini dapat diketahui pengaruh antara stres kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover intention. Dimana stres kerja dan kepuasan kerja merupakan variabel independent atau bebas dan turnover intention merupakan variabel dependent atau terikat, dengan berdasarkan penelitian terdahulu 40 dan sumber data yang diperoleh dari AJB Bumiputera 1912, maka kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Stres Kerja X1 H1 Turnover Intention Y Kepuasan Kerja H2 X2 H3 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis, 2015 2.3 Hipotesis Sugiyono (2009) mengemukakan bahwa perumusan hipotesis penelitian merupakan langkah ketiga dalam penelitian, setelah peneliti mengemukakan landasan teori dan kerangka berpikir. Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dari kerangka pemikiran yang disajikan diatas dapat dirumuskan tiga hipotesis atau dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut: Hipotesis 1 Ho : Tidak ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 41 Ha : Ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 Hipotesis 2 Ho : Tidak ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 Ha : Ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 Hipotesis 3 Ho : Tidak ada pengaruh stres kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 Ha : Ada pengaruh stres kerja dan kepuasan kerja terhadap turnover intention pada AJB Bumiputera 1912 42