prinsip-prinsip hukum islam - Pusat Jurnal UIN Ar

advertisement
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM
(Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum
Perspektif Filsafat)
Oleh: Abidin Nurdin
(Dosen Agama FISIP Unimal, Lhokseumawe)
Email: [email protected]
Abstrak
This paper discuss about the principles and the source of Islamic law. The
human nature (fithrah) is to understand good and bad thing and also the
right and the wrong thing. Fithrah is the basic element of human being, which
connected intuition, heart and conscience. This is also reinforced by religion
(revelation), or its derived nature (fithrah al-munazzalah). The main sources
for Islamic law are the Qur'an and Sunnah, also ijtihad. Basically Islamic law
is straight forward with the the humanism, which means its harmony with
humanity. The reason of syariah revelation is for the good sake of human
being. Then the principles of Islamic law, are tawhid, justice, amar makruf
nahi mungkar,
al-Hurriyah (independence and freedom), egalitarian
(equality), ta'awun (mutual help) and Tasamuh (tolerance).
Kata Kunci: Hakekat Manusia, Sumber dan Prinsip Hukum Islam.
A. Pendahuluan
Otoritas dan otentitas al-Qur’an tak dapat diragukan lagi kehujjahannya
dalam perspektif hukum.1 Ia mengandung prinsip-prinsip dan tata nilai yang
menjadi pedoman hidup bagi manusia. Sehingga al-Qur’an menjadi sumber
1
Al-Qur’an sangat sejalan dengan eksistensi materis, karena ia adalah wahyu dari
pencipta eksistensi (khaliq al-wujud), pencipta dialektika (khaliq al-jadal) dan pencipta
keberakhiran (khaliq al-gha’iyyah). Al-Qur’an adalah satu-satunya bukti teoritis yang tidak
mungkin mengandung kesalahan atau kebatilan dan berbagai segi. Dan bahwa kehidupan,
kebebasan dan kesejahteraan manusia adalah tujuan duniawi, dan syurga adalah tujuan
ukhrawi. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang saling terkait dalam bentuk yang tak
terpisahkan. Lebih lanjut lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj.
oleh Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hal. 65. Kemudian diskursus mengenai
masalah pembacaan atau interpretasi baru terhadap al-Qur’an terutama pendekatan
hermeneutika dapat dilihat dalam karyanya, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an
Kontemporer, Terj. oleh Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hal. 37-45.
146
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
147
hukum Islam yang pertama dan utama,2 yang kemudian mewarnai seluruh
sendi kehidupan umat Islam sepanjang sejarah.
Sebagian ayat-ayat al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang masih
bersifat universal. Ayat-ayat semacam ini kemudian dijelaskan oleh Rasulullah
saw. sehingga penjelasannya (mubayyan) disebut sebagai sunnah atau hadis.
Sunnah dianggap sebagai refresentasi dan interpretasi terhadap al-Qur’an yang
teraplikasi dalam tradisi hidup Nabi yang diikuti oleh para sahabat. Sehingga
pada konteks tersebut sumber hukum telah bertambah menjadi dua yaitu
sunnah, setelah al-Qur’an.
Proses interpretasi terhadap kedua sumber hukum tersebut semakin
lama semakin dibutuhkan, sebab persoalan-persoalan yang baru terus muncul
yang membutuhkan jawaban. Termasuk di dalamnya mengkritisi penafsiranpenafsiran ulama klasik, menurut Khaled Abou el-Fadhl bahwa interpretasi
terhadap syari’at merupakan sebuah keniscayaan. Menyumbat proses
penafsiran merupakan sebuah bentuk kezaliman.3
Langkah interpretasi, rekonstruksi dan redefenisi terhadap nash
merupakan langkah yang paling bijak untuk tetap mengharmonisasikan syari’at
Islam dengan tuntutan zaman. Langkah tersebut dalam ushul fiqh disebut
ijtihad, yaitu mengeluarkan seluruh kemampuan untuk mengistimbathkan
hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Proses inilah yang kemudian harus
dilakukan secara sungguh-sungguh oleh para ulama agar Islam tetap mampu
menjadi pandangan dan jalan hidup, sebagaimana arti syari’at itu sendiri yaitu
jalan menuju air kehidupan.
Sebab tujuan diturunkannya syari’at oleh Allah swt adalah untuk
kemaslahatan dan kesejateraan manusia itu sendiri. Olehnya tidak mungkin ada
prinsip-prinsip syariat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
sebaliknya syari’at Islam sangat sarat dengan dimensi humanisme. Sebab itu
juga dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai persoalan-persoalan
sosial kemasyarakatan lebih banyak dan panjang disbanding ayat-ayat yang
lain. Hal ini membuktikan bahwa syari’at memang untuk kemaslahatan
manusia.
2
Hukum dalam makna kata asalnya adalah al-hukm, bermakna lebih luas daripada
yang biasa dipahami dalam percakapan sehari-hari. Dalam hal ini pengertian hukum tidak lepas
dari kedalam dan keluasan makna perkataan Arab al-hukm dan hikmah yang mengarah kepada
perkataan wisdom (kebijaksanaan). Bahkan kata tersebut juga digunakan untuk pengertian
seluruh ajaran Islam.Hal tersebut menunjukkan bahwa antara hukum dan hikmah yang berarti
kebijaksanaan adalah suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Itulah sebabnya seseorang yang
menegakkan hukum harus bijaksanaan sebagaimana esensi hukum itu sendiri. Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 319.
3
Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 137.
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
148
Berkait dengan hal tersebut, makalah ini bermaksud membahas
mengenai masalah hakekat manusia, sumber-sumber hukum dan prinsipprinsip hukum dalam konteks filsafat hukum Islam.4 Studi tersebut menarik
untuk kaji, sebab membahas hukum dalam perspektif filsafat berarti
mendudukan hukum dalam kerangka pikir dan sistimatika yang jelas.
B. Hakekat Manusia
Manusia adalah satu-satu ciptaan Allah swt. yang teramat mulia. Sebab
manusia diberikan potensi akal. Dengan akal, manusia mampu membedakan
yang baik dan buruk. Esensi dan hakekat manusia adalah makhluk dalam citra
kesucian, kesucian tersebut merupakan desain Tuhan pada manusia. Kesucian
manusia disebut sebagai fithrah, yaitu kecenderungan untuk menyembah
kepada Tuhan.
Menurut Ibnu Taymiyyah dasar ilmu pengetahuan manusia adalah
fithrahnya; dengan fithrah manusia dapat mengetahui baik dan buruk, dan
tentang benar dan salah. Fithrah merupakan asal kejadian manusia, yang
menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani dan lain-lain,
diperkuat oleh agama (wahyu), atau fithrah yang diturunkan (fithrahalmunazzalah).5
Konsep fithrah manusia dan tiga potensi utama: 1) quwah al-aql
(potensi akal), 2) al-quwah aal-syahwah (potensi nafsu), 3) al-quwah alghaldlah atau al-da’fi’ah (potensi marah). Quwah al-aql adalah potensi
tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui (ma’rifatullah) serta
mengimani, mengesakan dan mencintai Tuhan. Yang amat menarik ialah
bahwa epistimologi Ibnu Taymiyyah yang Hanbali berdasarkan fithrah itu
paralel dengan epistimologi Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali al-Husain
Babwayh al-Qummi (w. 381), seorang ahli ilmu kalam terkemukan kalangan
Syi’ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadis, memperoleh penegasan
bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fithrahnya, dan
4
Hasby Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa filsafat hukum ialah, setiap kaidah, asas,
atau mabda’ atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik
akidah itu merupakan ayat al-Qur’an ataupun merupakan hadis, maupun merupakan pendapat
sahabat dan tabi’in, atau suatu pendapat yang berkembang di suatu masa dalam kehidupan
umat Islam atau pada suatu bidang-bidang masyarakat Islam. Hasby Ash-Shiddieqy, Falsafah
Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki, 2000), hal. 23.
5
Nurcholish Madjid, ibid., hal. 213. Belakangan para ilmuan Barat mengakui bahwa
pada diri manusia terdapat suatu esensi diluar dirinya yang fitri dan alami yang berada dalam
alam bawa-sadar manusia. Manusia juga terkadang melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan perhitungan material. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan keagamaan,
misalnya; ketulusan, keikhlasan, kerinduan, keramahan, kecintaan dan pengorbanan. Tokohtokoh Barat yang dimaksud misalnya; Carl Gustv Jung, William James, dan Albert Einstein.
Lebih lanjut lihat Murthadha Muthahhari, Prespektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama,
Terj. oleh Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 49-50.
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
149
hanya dengan adanya fithrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti
dan dalil-dalil.Maka sejalan dengan itu, Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa
pangkal iman dan ilmu ialah ingat (zikir) kepada Allah.6 Inilah yang dimaksud
sebagai al-quwah aqal, yaitu kemampuan atau daya manusia untuk mengetahui
Tuhan dan sesuatu yang baik dan buruk. Potensi ini ada dalam diri manusia
sejak ia lahir secara fithrawi.
Quwah al-syahwat berfungsi untuk menginduksi segala yang
menyenangkan. Sedangkan daya syahwat berfungsi sebagai daya ofensif, daya
ini berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang bermanfaat dan
menyenangkan.7 Syahwat tersebut dapat mengantarkan manusia untuk
mendapatkan keinginannya, namun juga terkadang menjerumuskan manusia
pada nafsu sesat. Daya syahwat bagaikan pisau bermata dua yang berfungsi
ganda, ia dapat mendatangkan manfaat tetapi juga mudharat.
Sedangkan al-Quwah al-gadlab berfungsi mempertahankan diri. Yaitu
mengfungsikan ide-ide bawaan yang inheren di dalam diri manusia itu
memerlukan bantuan dari luar dirinya yang bersifat eksternal. Akan tetapi,
faktor eksternal yang dapat membantu memfungsikan ide-ide bawaan itu harus
sesuai dengan potensi yang telah ada secara inheren di dalam diri manusia.
Faktor eksternal itu tiada lain ialah fihtrah al-munazzalah (wahyu). Nisbah
antara ide bawaan atau fithrah dengan fithrah al-munazzalah ialah: nisbah
antara mata dengan cahaya. Mata dapat melihat karena ada cahaya. Fihtrah
manusia dapat beraktualisasi karena ada wahyu.8 Daya ghalab berfungsi
defensif, yakni untuk menghindarkan diri, secara naluriah, dari segala yang
membahayakan. Oleh karena itu, daya ini sering kali disebut juga al-quwwah
al-da’fiyah yang secara harfiyah pun berarti daya defensif.
Fithrahal-munazzalah atau wahyu tersebut berada diluar diri manusia,
dan berfungsi untuk membantu manusia itu sendiri. Wahyu kemudian
menjelaskan perincian perbuatan yang baik dan harus dilakukan manusia serta
perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Dengan fithrah yang difungsikan
secara maksimal, panduan wahyu, fithrah manusia lebih cepat berfungsi
sehingga daya akal segera mengetahui Allah (ma’rifatullah) dan mengimaniNya serta mengesakan-Nya; mentaati perintah-perintah-Nya serta menjauhi
segala larangan-Nya; membenarkan Allah dan Rasul-Nya.9
6
Nurcholish Madjid,op. cit., hal. 214.
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,Bandung: Lathifah Press Kerjasama dengan
Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, 2004),hal. 33.
8
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia, Cet. I, ( Jakarta: Teraju, 2002), hal. 166. Lihat juga Juhaya S. Praja, Paradigma
dan Penalaran Fiqh dalam Konteks Kekinian dan Keindonesiaan, Makalah dipresentasikan
pada Annual Conference PPs IAIN/UIN/STAIN Se-Indonesia, 16-20 Desember 2004, hal. 7.
9
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum…op. cit., hal. 34.
7
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
150
Potensi-potensi di atas merupakan alat pacu atau penggerak yang
dianugrahkan Allah kepada manusia. Dengan gerak atau al-harakah inilah
manusia dapat membedakan perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan
mana yang membahayakan atau mudharat. Fithrah merupakan potensi yang
menggerakkan manusia itu adalah anugrah Allah. Ia bagaikan cahaya Allah di
muka bumi ini serta manifestasi keadilan-Nya. Dengan fithrah itu manusia
dapat membedakan dan memilih perbuatan apa yang harus dilakukan apa
perbuatan apa yang harus dihindarkan atau dilakukan. Bahkan fithrah itu pun
bukan hanya potensi-potensi sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan juga
indera atau al-hiss seperti yang dimiliki hewan. Fithrah lebih sekedar al-hiss
atau indera, karena fithrah manusia dapat membedakan perbuatan yang baik
atau buruk, baik di dunia maupun di akhirat.10
Di samping potensi-potensi tersebut diatas dalam konteks kehidupan
Allah juga mengutus Rasul yang membawa wahyu untuk memberikan
informasi tentang kebenaran dan kebaikan. Sebab manusia tidak akan mampu
menjangkau kebenaran Mutlak atau Tuhan, hal merupakan suatu yang
mustahil. Kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan saja. Pengetahuan yang
benar tentang wujud ini dapat diperoleh hanya jika seseorang meneliti
langsung apa yang ada sebagai particular-partikular (al-juziyyat), bukannya
pada abstraksi-abstraksi filosofis. Hal yang sama juga berlaku untuk
pengetahuan tentang Tuhan, yang hanya dapat diperoleh dengan sikap percaya
kepada wahyu-Nya, dan dengan menghayati wahyu itu menurut bahasa apa
adanya. Melalui partisipasi dalam dinamika al-Qur’an yang bahasa puitiknya
merupakan suatu unsur mu’jizat itu seseorang akan mampu menangkap sumber
vitalistas keagamaan bukannya lewat teologi dan pemikiran spekulatif. 11
Berbeda dengan filosof sebelumnya seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi
maupun Ibnu Sina yang beranggapan bahwa dengan akal rasional (filsafat),
manusia dapat mencapai kebenaran ketuhanan. Sebab antara filsafat dan agama
fungsinya sama yaitu sama-sama mencari kebenaran. Sedangkan kajian lebih
lanjut terutama pandangan Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Sadra mereka
lebih merinci pandangan sebelumnya jalan manusia untuk yaitu pada wahyu
(qur’ani-bayani), rasio (burhani-demostratif) dan kasyf (irfani-sufistik).12Kajian
10
Ibid.
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Cet. I., (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hal. 40-45.
12
Abdul Hadi, Filsafat Pasca-Ibnu Rusyd dalam Nurcholish Madjid dan Budhy
Munawar Rahman (Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban Jilid
IV, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 2002), hal. 230. Bandingkan dengan Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 143-180.
11
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
151
yang nampak lebih komprehensip mengenai hubungan antara ketiga penalaran
tersebut adalah pandangan Muhammad Abed al-Jabiry.13
C. Sumber Hukum Islam
1 Al-Quran
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama hukum Islam,
sekaligus dalil utama dalam fiqh.14 Al-Qur’an membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatayatnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu
kejadian, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari
jawaban penyelesaian dalam al-Qur’an. Selama hukumnya dapat ditemukan
dalam al-Qur’an maka tidak boleh mencari jawaban lain selain dalam alQur’an.15
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam,
berarti al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu,
jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an maka tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini berarti sumber-sumber hukum selain
al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan dalam alQur’an.16
Seluruh teks al-Qur’an diyakini umat Islam secara literal dan final
sebagai firman Allah, dikumpulkan sangat dini dalam sejarah Islam. Teks alQur’an juga dianggap sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi.17 Al13
Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, Terjemahan Imam Khori (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hal. 5-12.
14
Para fuqaha perpendapat bahwa dalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat-ayat
tentang hukum. Jika dibandingkan dengan keseluruhan materi al-Qur’an, ayat-ayat hukum
cenderung kecil, dan hal itu memberi kesan yang salah bahwa al-Qur’an memperhatikan aspekaspek hukum, akan tetapi jika dilihat ayat-ayat yang membicarakan tentang hukum, maka ayat
tersebut dua kali atau tiga kali lebih panjang dari ayat-ayat yang tidak berbicara tentang
hukum. Lihat Wael B. Halleq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushul Fiqh
Mazhab Sunni, Terj. (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hal. 4-5.
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 73.
16
Ibid.Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai sumber hukum dapat dikaji dari al-Qur’an
sendiri yang memerintahkan umat manusia mematuhi Allah yang disebut lebih dari 30 kali
dalam al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang
diucapkan-Nya. Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), hal. 36.
17
Di satu sisi benar bahwa hanya terdapat sekitar 500 ayat (atau 600 menurut sebagian
ulama) dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.219 ayat yang mengandung elemen
hukum, dan itupun sebagian besar berkaitan dengan ibadah ritual. Hanya sekitar 80 ayat yang
mengandung pembahasan pokok tentang hukum, dalam pengertian menggunakan istilah
hukum secara langsung dan jelas. Di sisi lain, tidak hanya 80 ayat itu saja yang dikonstruksi
sedemikian rupa sehingga menjadi intisari yang sangat jauh artinya dari ayat-ayat itu. Bahkan
ayat-ayat hukum pun dikontruksi dengan berbagai cara sehingga bermuatan dan berimplikasi
hukum. Puncaknya, al-Qur’an dikesankan menjadi sumber keyakinan umat bahwa syari’ah
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
152
Qur’an dinukilkan secara mutawatir, melalui perantaraan Malaikat Jibril
kemudian sampai ke Rasulullah selanjutnya kepada para sahabat. Sehingga
menimbulkan keyakinan tentang kebenaran karena disampaikan oleh banyak
orang yang mustahil untuk berbohong. Konsekwensi logis dari periwayatan
mutawatir tersebut menyebabkan al-Qur’an bersifat qath’i subut artinya,proses
penyampaian dan penerimaan riwayatnya dapat dipertanggungjawabkan secara
kuat, dan qath’i al-dilalah.18
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an dari segi
lafazh dan maknanya adalah qath’iy al-wurud. Artinya, semua lafazh dan
maknanya datang dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya. Itulah yang
membuat al-Qur’an mutawatir. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya,
sebagian qathiy al-dalalah dan sebagai lagi zhanniy al-dalalah. Qathiy aldalalah berarti ketentuan hukumnya tidak membutuhkan penafsiran lagi.
Sedangkan ketentuan hukum zhanniy al-dalalah adalah mengandung dan
menampung berbagai penafsiran.19
2 Hadis
Pada dasarnya hadis20 Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukumhukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hukum dalam al-Qur’an teraplikasi
dalam praktek-praktek ibadah yang dilakukan oleh Nabi saw. praktek-praktek
tersebut merupakan penjelasan yang bertujuan agar hukum-hukum yang
ditetapkan oleh Allah dapat terlaksana secara sempurna oleh umat.21
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebutkan
dalam al-Qur’an, terdapat beberapa bentuk penjelasan. Penjelasan Nabi secara
adalah perintah langsung dan komperhensif dari Tuhan. Konsekuensinya, seluruh sumber dan
teknik lainnya, baik prinsip (cara) individu atau aturan syari’ah, hatus berdasarkan al-Qur’an
atau paling tidak menunjukkan konsistensi dengan petunjuk al-Qur’an. Lebih lanjut lihat
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 39.
18
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1986), hal. 32- 38.
19
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 84.
20
Fazlurrahman membedakan antara hadis dan sunnah, hadis diartikan sebagai tradisi
verbal sedangkan sunnah adalah tradisi praktis. Kemudian ia menyimpulkan; pertama, sunnah
dan hadis ada bersama-sama dan memeliki substansi yang sama pada masa yang paling awal
sesudah Nabi dan bahwa keduanya diarahkan kepada dan memperoleh normatifitasnya dari
Nabi. Kedua, kita juga telah mencatat bahwa konsep sunnah, karena ia berarti “tradisi yang
hidup yang diam” maka ia lalu memiliki arti tradisi yang hidup dalam setiap generasi
berikutnya. Karena itu, walaupun sunnah sebagai suatu konsep merujuk kepada prilaku Nabi,
namun isinya dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari
praktek aktual masyarakat Muslim. Tetapi praktek aktual dari suatu masyarakat yang hidup
mestilah terus-menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan. Lihat
penjelasannya dalam Fazlurrahman, Islam Terjemahan oleh Ahsin Mohammad, Cet. III,
(Bandung: Pustaka, 1997), hal. 68-72.
21
Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 89.
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
153
jelas dan rinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam
al-Qur’an beberapa hukum bersifat mujmal (secara garis besar), namun dengan
penjelasan Nabi secara rinci lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi
jelas. Fungsi untuk memperjelas itu, disebut mubayyan.22
Secara umum hadis menjelaskan (bayan) al-Qur’an antara lain;
Pertama, bayan tafsir, yaitu menerankan apa yang tidak mudah dipahami atau
tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat mujmal dan musytarak.23
Sebagai, contoh dalam al-Qur’an perintah shalat diungkapkan beberapa kali,
tetapi tidak satupun yang menjelaskan cara dan kaifiyyahnya. Dengan
demikian, perintah shalat itu dalam bentuk mujmal, oleh karenanya belum
dapat dilaksanakan menurut apa adanya sebelum ada penjelasan dari Nabi.
Untuk memberikan penjelasan terhadap cara dan bentuk shalat secara
sempurna maka Hadis Nabi menjelaskan mengenai tata caranya. Nabi
bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat.” Oleh
karena itu, penjelasan yang diberikan oleh Nabi begitu rinci, sehingga dapat
dipahami secara baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul perbedaan
pendapat dalam memahami sunnah yang menjelaskan ayat al-Qur’an
tersebut.24
Kedua, bayan taqrir, yaitu keterangan yang didatangkan oleh hadis
untuk menambah kuat apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur’an. Misalnya,
Nabi melaksanakan puasa setelah melihat bulan; Nabi mengatakan:
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya”. Hadis ini merupakan bayan taqrir dari ayat al-Baqarah 185
tentang puasa.25
Kehujjahan sunnah sebagai sumber hukum tak dapat dipungkiri sebab
hal tersebut juga dijustifikasi oleh al-Qur’an sendiri misalnya, Ali Imran; 32,
al-Nisa; 80, al-Ahzab; 36 dan sebagainya. Jadi dengan demikian, keyakinan
terhadap sunnah secara tidak langsung juga yakin akan kebenaran al-Qur’an
atau dengan kata lain, percaya kepada Rasul juga bagian dari kepercayaan
kepada Allah. Oleh karena itu, dasar yang dikemukakan oleh orang yang
ingkar sunnah adalah sesuatu yang tidak kuat.
22
Ibid., hal. 91.
Menurut Imam Syafi’i bahwa fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu; 1) bayan tafsil
yakni menjelaskan ayat-ayat yang mujmal atau yang sangat ringkas petunjuknya; 2) bayan
takhsis, ialah menentukan sesuatu dari ayat-ayat umum; 3) bayan ta’yin, yakni menentukan
mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan; 4) bayan tasyri’,
menetapkan sesuatu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an (contohnya: sunnah
mengharamkan keledai kampung); 5) bayan naskh, yaitu menentukan mana yang dinasikhkan
dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya berlawanan. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), hal. 157-164.
24
Amir Syarifuddin, loc. cit.
25
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hal. 156.
23
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
154
Kemudian ijma dan qiyas merupakan sumber hukum Islam yang
dihasilkan dari ijtihad seperti yang kemukakan oleh Imam Syafi’i bahwa selain
al-Qur’an dan Sunnah, ijma’ dan qiyas juga termasuk. Namun Imam Syafi’i
memahami qiyas sama dengan ijtihad, meskipun ulama lain memperluasnya
dalam bentuk istihsan (Abu Hanifa) dan maslahah al-mursalah (Imam
Malik).26 Kemudian, menurut Ahmed An-Na’im bahwa keduanya
diterjemahkan dengan konsesus dan penalaran melalui analogi. Ijtihad
(penalaran hukum secara independen), yang terkadang dianggap sebagai
sumber hukum dalam catatan tradisi-tradisi awal. Walaupun ijma’ dan qiyas
tidak secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum, namun perkembangan kedua konsep ini merupakan produk dari
sumber yang disepakati yaitu ijtihad, para ahli hukum pendiri abad II dan III
hijriyah.27
Meskipun ada sebagian ulama yang memasukkan ijma dan qiyas
sebagai sumber hukum yang diperselisihkan, namun demikian nampaknya
keduanya lebih cenderung dapat dikatakan sebagai metode penalaran hukum.
Kemudian al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum atau nash dan dalil.
D. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
1 Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan
bahwa semua manusia ada dibawah suatu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan
tauhid yang dinyatakan dalam kalimat “‫( ”ﻻاﻟﮫ اﻻﷲ‬tiada Tuhan melainkan
Allah). Prinsip ini dipahami dari firman Allah swt. antara lain, dinyatakan
dalam al-Qur’an surah Ali Imran: 64;
‫ك ﺑِ ِﮫ‬
َ ‫ﷲَ َو َﻻ ﻧُ ْﺸ ِﺮ‬
‫ب ﺗَﻌَﺎﻟَﻮْ ا إِﻟَﻰ َﻛﻠِ َﻤ ٍﺔ َﺳ َﻮا ٍء ﺑَ ْﯿﻨَﻨَﺎ َوﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﻧَ ْﻌﺒُ َﺪ إ ﱠِﻻ ﱠ‬
ِ ‫ﻗُﻞْ ﯾَﺎأَ ْھ َﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
‫ﷲِ ﻓَﺈ ِنْ ﺗَ َﻮﻟﱠﻮْ ا ﻓَﻘُﻮﻟُﻮا ا ْﺷﮭَﺪُوا ﺑِﺄَﻧﱠﺎ‬
‫ﻀﻨَﺎ ﺑَ ْﻌﻀًﺎ أَرْ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻣِﻦْ دُو ِن ﱠ‬
ُ ‫َﺷ ْﯿﺌًﺎ وَ َﻻ ﯾَﺘﱠ ِﺨ َﺬ ﺑَ ْﻌ‬
28
َ‫ُﻣ ْﺴﻠِﻤُﻮن‬
Berdasarkan prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam
merupakan ibadah. Ibadah dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan
dirinya kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Mahaesaan-Nya
dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi
26
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum…op. cit., hal. 62.
Abdullahi Ahmed An-Na’im, op. cit., hal. 39.
28
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(QS. Ali Imran: 64).
27
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
155
saling mentuhankan sesama manusia atau sesama makhluk lainnya.
Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada
keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid ini pun menghendaki dan mengharuskan manusia untuk
menetapkan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an dan Sunnah).
Allah adalah pembuat hukum. Barang siapa yang tidak menetapkan hukum
berdasarkan hukum-hukum Allah, maka orang terebut dapat dikategorikan ke
dalam kelompok orang yang kafir dalam arti yang menutupi dan mengingkari
kebenaran; kelompok orang zhalim dalam arti yang membuat ketetapan hukum
berdasarkan hawa nafsu dan merusak orang lain; kelompok orang fasik dalam
arti orang yang tidak konsisten dalam bertauhid. Orang-orang seperti tersebut
di atas digambarkan dalam al-Qur’an surah al-Maidah: 44,45 dan 47;
ُ‫ﷲ‬
‫ وَ ﻣَﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺤْ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻤَﺎ أَﻧْﺰَ َل ﱠ‬... َ‫ﻚ ھُ ُﻢ ا ْﻟﻜَﺎﻓِﺮُون‬
َ ِ‫ﷲُ ﻓَﺄ ُوﻟَﺌ‬
‫َوﻣَﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺤْ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻤَﺎ أَﻧْﺰَ َل ﱠ‬
29
َ‫ﻚ ھُ ُﻢ ا ْﻟﻔَﺎ ِﺳﻘُﻮن‬
َ ِ‫ﷲُ ﻓَﺄ ُوﻟَﺌ‬
‫ وَ ﻣَﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺤْ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻤَﺎ أَ ْﻧ َﺰ َل ﱠ‬... َ‫ﻚ ھُ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤُﻮن‬
َ ِ‫ﻓَﺄ ُوﻟَﺌ‬
Karena prinsip tauhid ini merupakan prinsip umum, maka ada prinsipprinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini terdapat
dalam setiap cabang hukum Islam. Umpamanya prinsip-prinsip tauhid yang
melahirkan
prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fiqh ibadah
sebagaimana dijelaskan dibawah ini;
a. Prinsip pertama: Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara.
Prinsip ini berarti bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan
dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Nabi dan Rasul pun hanyalah
manusia pilihan yang bertugas menyampaikan (tabligh) pesan-pesan Allah.
Mereka adalah perantara (wasit) dan mempunyai tugas menyampaikan
pesan-pesan Allah (muballigh) yang sama sekali tidak berhak disembah.
Dengan demikian, Allah adalah “dekat” dengan manusia walaupun Ia tetap
transenden. Firman-firman Allah yang menjadi landasan prinsip ini antara
lain; surah al-Gafir; 60: al-Baqarah; 186;
‫ع إِذَا َدﻋَﺎ ِن ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺴﺘَ ِﺠﯿﺒُﻮا ﻟِﻲ‬
ِ ‫ﻚ ِﻋﺒَﺎدِي َﻋﻨﱢﻲ ﻓَﺈِﻧﱢﻲ ﻗَﺮِﯾﺐٌ أُﺟِﯿﺐُ َد ْﻋ َﻮةَ اﻟﺪﱠا‬
َ َ‫َوإِذَا َﺳﺄَﻟ‬
30
29
َ‫َو ْﻟﯿُﺆْ ِﻣﻨُﻮا ﺑِﻲ ﻟَ َﻌﻠﱠﮭُ ْﻢ ﯾَﺮْ ُﺷﺪُون‬
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik.(QS. al-Maidah: 44,45 dan 47).
30
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
156
b. Prinsip kedua: Beban hukum (taklifi) ditujukan untuk memelihara akidah
dan iman, penyucian jiwa (tazkiya al-nafs) dan pembentukan pribadi yang
luhur. Atas prinsip tersebut inilah hamba-hamba Allah dibebani ibadah
sebagai bentuk kesyukuran atas nikmat Allah. Pembelanjaan harta di jalan
Allah, baik sadaqah, infaq, zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan shalat demi
terpeliharanya akidah dan iman serta penyucian jiwa. Firman-firman Allah
yang menjadi rujukan penarikan prinsip di atas, antara lain, al-Baqarah;
185:
‫ت ﻣِﻦَ ا ْﻟﮭُﺪَى َوا ْﻟﻔُﺮْ ﻗَﺎ ِن‬
ٍ ‫س وَ ﺑَﯿﱢﻨَﺎ‬
ِ ‫ﻀﺎنَ اﻟﱠﺬِي أ ُ ْﻧﺰِلَ ﻓِﯿ ِﮫ ا ْﻟﻘُﺮْ ءَانُ ھُﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
َ ‫َﺷ ْﮭ ُﺮ رَ َﻣ‬
َ‫ﺼ ْﻤﮫُ َوﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ َﻣﺮِﯾﻀًﺎ أَوْ َﻋﻠَﻰ َﺳﻔَ ٍﺮ ﻓَ ِﻌ ﱠﺪةٌ ﻣِﻦْ أَﯾﱠﺎمٍ أ ُ َﺧﺮ‬
ُ َ‫ﻓَﻤَﻦْ َﺷ ِﮭ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠﺸ ْﮭ َﺮ ﻓَ ْﻠﯿ‬
‫ﷲَ َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ‬
‫ﷲُ ﺑِ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟﯿُ ْﺴ َﺮ َو َﻻ ﯾُﺮِﯾ ُﺪ ﺑِ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌﺴْﺮَ َوﻟِﺘُ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪةَ َوﻟِﺘُ َﻜﺒﱢﺮُوا ﱠ‬
‫ﯾُﺮِﯾ ُﺪ ﱠ‬
31
َ‫ھَﺪَا ُﻛ ْﻢ َوﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﺸ ُﻜﺮُون‬
Ayat di atas adalah kelanjutan dari ayat yang menjelaskan kewajiban
bersuci (berwudhu) atas orang yang hendak menunaikan ibadah shalat.
Berdasarkan atas prinsip tauhid dan prinsip-prinsip yang mengikutinya
dalam bidang ibadah tersebut di atas, maka terumuskanlah asas hukumnya.
Asas hukum ibadah itu, antara lain azas kemudahan atau meniadakan kesulitan
yang berbunyi: ‘adam al-haraj. Setelah ada prinsip dan asas hukum,
terumuskan pula kaidah-kaidah hukum ibadah, seperti;
1) Pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan
ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
2) Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan
Berdasarkan prinsip, asas, dan kaidah hokum itulah kemudian dijumpai
adanya dispensasi (rukhshah) yang merupakan keringanan dalam
melaksanakan ibadah. Misalnya: keringanan berupa kebolehan menjamak
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. AlBaqarah: 186).
31
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185).
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
157
shalat dan menqasar shalat, disebabkan karena sakit atau dalam keadaan
musafir.
2 Keadilan (al-Adalah)
Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum
atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan hukum Islam meliputi berbagai
aspek kehidupan. Apalagi dalam bidang dan sistem hukum.32 Dengan
demikian, konsep keadilan yang merupakan prinsip kedua setelah tauhid
meliputi keadilan dalam berbagai hubungan: hubungan antara individu dengan
diri sendirinya; hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya;
hubungan antara individu dengan hakim dan perkara serta hubungan-hubungan
dengan berbagai pihak yang terkait.
Al-Qur’an memperingatkan dalam berbagai ayat bahwa jiwa manusia
cenderung mengikuti hawa nafsu. Kecintaan dan kebencian merupakan faktor
yang memungkinkan manusia mendahulukan kebatilan daripada kebenaran;
mendahulukan kezaliman daripada keadilan. Surah Al-Maidah: 8 menegaskan;
33
َ‫ﷲَ َﺧﺒِﯿ ٌﺮ ﺑِﻤَﺎ ﺗَ ْﻌ َﻤﻠُﻮن‬
‫ﷲ إِنﱠ ﱠ‬
َ ‫أ ﱠَﻻ ﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ا ْﻋ ِﺪﻟُﻮا ھُﻮَ أَ ْﻗﺮَبُ ﻟِﻠﺘﱠ ْﻘﻮَى َواﺗﱠﻘُﻮا ﱠ‬
Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam segala hal.
Keharusan berlaku adil itu terutama ditujukan kepada mereka yang mempunyai
kekuasaan, atau yang mempunyai hubungan dengan kekuasaan. Mereka adalah
para pemimpin yang berpengaruh terhadap masyarakat, seperti mufti,
pemerintah, juru dakwah dsb. Berdasarkan al-Qur’an surah al-‘An’am: 125:
ُ‫ﺻ ْﺪ َره‬
َ ْ‫ﻀﻠﱠﮫُ ﯾَﺠْ ﻌَﻞ‬
ِ ُ‫ِﻺﺳ َْﻼمِ َوﻣَﻦْ ﯾُ ِﺮ ْد أَنْ ﯾ‬
ِ ْ ‫ﺻ ْﺪ َرهُ ﻟ‬
َ ْ‫ﷲُ أَنْ ﯾَﮭ ِﺪﯾَﮫُ ﯾَ ْﺸﺮَح‬
‫ﻓَﻤَﻦْ ﯾُ ِﺮ ِد ﱠ‬
‫ﷲُ اﻟ ﱢﺮﺟْ ﺲَ َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ َﻻ‬
‫ﻚ ﯾَﺠْ َﻌ ُﻞ ﱠ‬
َ ِ‫ﺼ ﱠﻌ ُﺪ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء َﻛ َﺬﻟ‬
‫ﺿﯿﱢﻘًﺎ َﺣ َﺮﺟًﺎ َﻛﺄَﻧﱠﻤَﺎ ﯾَ ﱠ‬
َ
34
َ‫ﯾُﺆْ ِﻣﻨُﻮن‬
32
Bandingkan dengan
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
pemikiran Orinetalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, TerjemahanYudian Wahyudi
Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991),hal. 78-84.
33
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8).
34
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolaholah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.(QS. al-‘An’am: 125).
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
158
Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang
bulu. Perkataan yang benar mesti disampaikan apa adanya walaupun perkataan
itu akan merugikan kerabat sendiri. Kemestian berlaku adil pun mesti
ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat Muslim itu sendiri. Bahkan
kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.
Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri dinyatakan dalam alQur’an surat al-Nisa: 128. Keadilan sesama Muslim, dinyatakan dalam surat alHujurat: 9.
‫َوإِ ِن ا ْﻣ َﺮأَةٌ َﺧﺎﻓَﺖْ ﻣِﻦْ ﺑَ ْﻌﻠِﮭَﺎ ﻧُﺸُﻮزًا أَوْ إِ ْﻋ َﺮاﺿًﺎ ﻓ ََﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭﻤَﺎ أَنْ ﯾُﺼْ ﻠِ َﺤﺎ‬
َ‫ﷲ‬
‫ت ْاﻷَ ْﻧﻔُﺲُ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِنْ ﺗُﺤْ ﺴِ ﻨُﻮا َوﺗَﺘﱠﻘُﻮا ﻓَﺈِنﱠ ﱠ‬
ِ ‫ﻀ َﺮ‬
ِ ْ‫ﺻ ْﻠﺤًﺎ َواﻟﺼﱡ ْﻠ ُﺢ َﺧ ْﯿ ٌﺮ َوأ ُﺣ‬
ُ ‫ﺑَ ْﯿﻨَﮭُﻤَﺎ‬
35
‫ﻛَﺎنَ ﺑِﻤَﺎ ﺗَ ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒِﯿﺮًا‬
‫َوإِنْ طَﺎﺋِﻔَﺘَﺎ ِن ﻣِﻦَ ا ْﻟﻤُﺆْ ِﻣﻨِﯿﻦَ ا ْﻗﺘَﺘَﻠُﻮا ﻓَﺄ َﺻْ ﻠِﺤُﻮا ﺑَ ْﯿﻨَﮭُﻤَﺎ ﻓَﺈ ِنْ ﺑَﻐَﺖْ إِﺣْ ﺪَاھُﻤَﺎ َﻋﻠَﻰ‬
‫ﷲِ ﻓَﺈ ِنْ ﻓَﺎءَتْ ﻓَﺄ َﺻْ ﻠِﺤُﻮا ﺑَ ْﯿﻨَﮭُﻤَﺎ‬
‫ْاﻷُﺧْ ﺮَى ﻓَﻘَﺎﺗِﻠُﻮا اﻟﱠﺘِﻲ ﺗَﺒْﻐِ ﻲ ﺣَ ﺘﱠﻰ ﺗَﻔِﻲ َء إِﻟَﻰ أَ ْﻣ ِﺮ ﱠ‬
36
َ‫ﷲَ ﯾُﺤِﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺴﻄِ ﯿﻦ‬
‫ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ِل َوأَ ْﻗ ِﺴﻄُﻮا إِنﱠ ﱠ‬
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara
kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan
manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Hal ini dinyatakan dalam surat alAn’am: 52; antara lain mengandung perintah pemenuhan takaran dan
timbangan serta berlaku adil dalam pembicaran.
ْ‫ﻄ ُﺮ ِد اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَ ْﺪﻋُﻮنَ رَ ﺑﱠﮭُ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ َﻐﺪَا ِة َوا ْﻟ َﻌ ِﺸﻲﱢ ﯾُﺮِﯾﺪُونَ وَ ﺟْ ﮭَﮫُ ﻣَﺎ َﻋﻠَﯿْﻚَ ﻣِﻦ‬
ْ َ‫َو َﻻ ﺗ‬
َ‫ﻄ ُﺮ َدھُ ْﻢ ﻓَﺘَﻜُﻮنَ ﻣِﻦ‬
ْ َ‫ﻚ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْ ٍء ﻓَﺘ‬
َ ِ‫ِﺣﺴَﺎﺑِ ِﮭ ْﻢ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْ ٍء وَ ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ِﺣﺴَﺎﺑ‬
37
َ‫اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﯿﻦ‬
35
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
al-Nisa: 128).
36
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan
yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Hujurat: 9).
37
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan
di petang hari, sedang mereka menghendaki keredhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. (QS. al-An’am: 52).
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
159
Karena prinsip keadilan ini pulalah kiranya lahir kaidah yang
menyatakan bahwa hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai
dengan ruang dan waktu. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan; kesulitan
menjadi kelonggaran, maka terbataslah kelonggaran itu sekedar terpenuhinya
kebutuhan yang bersifat primer atau sekunder (dharuriyyah atau hajiyyah).
Suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam
melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan adalah kaidah yang
berbunyi:38
‫اﻻﻣﻮراذا ﺿﺎﻗﺖ اﺗﺴﻌﺖ واذا اﺗﺴﻌﺖ ﺿﺎﻗﺖ‬
Artinya: Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit, maka
menjadi meluas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka
kembali menyempit.
Dalam teologi Mu’tazilah, keadilan merupakan pokok aqidah kedua
setelah tauhid. Keadilan menurut Mu’tazilah mengandung dua pengertian.
Pertama, keadilan dalam perbuatan; kedua, keadilan yang berarti pelaku
perbuatan. Apabila yang dimaksud keadilan itu perbuatan, maka berarti setiap
perbuatan baik yang dilakukan oleh pelakunya agar dapat dimanfaatkan oleh
orang lain. Dengan demikian, setiap perbuatan Allah dalam menciptakan alam
ini semuanya adil dalam arti perbuatan, maka berarti Allah tidak berbuat buruk
atau jelek (al-Qubh).
Teori keadilan ini melahirkan dua teori, yaitu: teori al-aslah wa aslah;
dan teori al-Husn wa al-Qubh. Kedua teori ini dikembangkan lahi sehingga
menjadi dua pernyataan. Pernyataan pertama: Allah tidak berbuat sesuatu
tanpa hikmah dan tujuan. Perbuatan tanpa tujuan adalah sia-sia dan percuma.”
Pernyataan kedua; “Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai
subyektif sehingga dalam perbuatan baik, seperti adil dan jujur, terdapat sifatsifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk.
Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan adalah
masalah akal”. 39
3 Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf berarti hukum Islam digerakkan untuk, dan merekayasa
umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan
diridhai oleh Allah. Dalam kajian filsafat hukum Barat biasanya diartikan
fungsi social engineering hukum. Sedang nahi mungkar berarti fungsi
38
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum… op. cit., hal. 75.
Ibid.
39
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
160
socialcontrol nya. Atas dasar prinsip inilah hukum Islam dikenal adanya
perintah dan larangan; wajib dan haram; pilihan antara melakukan dan tidak
melakukan perbuatan yang kemudian dikenal dengan istilah al-ahkam alKhamsah atau hukum lima; wajib, haram, sunat, makruh dan mubah.
Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar ini berdasarkan atas firman Allah
surat Ali Imran: 110. Kategori ma’ruf dan mungkar seperti dinyatakan dalam
ayat tersebut, ada juga ditentukan berdasarkan akal.
َ‫س ﺗَﺄْ ُﻣﺮُونَ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُوفِ َوﺗَ ْﻨﮭَﻮْ نَ ﻋَﻦِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوﺗُﺆْ ِﻣﻨُﻮن‬
ِ ‫ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﺧَ ْﯿ َﺮ أُ ﱠﻣ ٍﺔ أُﺧْ ِﺮ َﺟﺖْ ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
40
َ‫ﻨُﻮنَ َوأَ ْﻛﺜَ ُﺮھُ ُﻢ ا ْﻟﻔَﺎ ِﺳﻘُﻮن‬
Dalam konteks pemikiran teologi prinsip ini merupakan salah bagian
dari lima prinsip yang diperpegami oleh Mu’tazilah. Seperti diketahui bahwa
Mu’tazilah merupakan aliran yang mengedepankan akal sehingga dikenal
sebagai mazhab rasional dalam Islam.
4 Kemerdekaan atau Kebebasan (Al-Hurriyyah)
Kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik
kebebasan individual maupun komunal; kebebasan beragama, kebebasan
berserikat, dan kebebasan berpolitik. Kebebasan individual meliputi kebebasan
dalam melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Kebebasan beragama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip “tidak ada
paksaan di dalam beragama (la’ikraha fi al-din) (surah al-Baqarah: 256 dan alKafirun: 5-6).
‫ﷲُ َﺳﻤِﯿ ٌﻊ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ‬
‫ﺼﺎ َم ﻟَﮭَﺎ َو ﱠ‬
َ ِ‫ﻚ ﺑِﺎ ْﻟﻌُﺮْ َو ِة ا ْﻟ ُﻮ ْﺛﻘَﻰ َﻻ ا ْﻧﻔ‬
َ ‫ا ْﺳﺘَ ْﻤ َﺴ‬
41
42
ِ‫ ﻟَ ُﻜ ْﻢ دِﯾﻨُ ُﻜ ْﻢ َوﻟِ َﻲ دِﯾﻦ‬.‫و ََﻻ أَ ْﻧﺘُ ْﻢ ﻋَﺎﺑِﺪُونَ ﻣَﺎ أَ ْﻋﺒُ ُﺪ‬
Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan hokum Islam ini
tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan,
40
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran: 110)
41
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. alBaqarah: 256).
42
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 5-6).
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
161
demontrasi, argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan (al-Burhan wa alIqna). Ayat 256 al-Baqarah turun ketika para sahabat mengusulkan pada Nabi
(tahun keempat Hijriyah) untuk memaksa anak-anak Bani Nadhir agar
memeluk Islam. Akan tetapi, Nabi melarangnya sehingga turunlah ayat
tersebut di atas.43
5 Persamaan atau Egalite (Al-Musawah)
Prinsip ini mempunyai landasan amat kuat dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Konstitusi Madinah yang dikenal dengan al-Sahifah adalah contoh
yang paling nyata. Pelaksanaan prinsip egalite dalam Islam, antara lain
disebabkan prinsip egalite ini. Islam menentang perbudakan dan penghisapan
darah manusia atas manusia.
Al-Qur’an surat al-Hujurat: 13 al-Qur’an menegaskan;
‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ﻣِﻦْ َذ َﻛ ٍﺮ َوأ ُ ْﻧﺜَﻰ وَ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ُﺷﻌُﻮﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِ َﻞ ﻟِﺘَﻌَﺎ َرﻓُﻮا إِنﱠ‬
44
‫ﷲَ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ َﺧﺒِﯿ ٌﺮ‬
‫ﷲِ أَ ْﺗﻘَﺎ ُﻛ ْﻢ إِنﱠ ﱠ‬
‫أَ ْﻛ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﱠ‬
Ayat ini menggunakan kata manusia (al-Nas), hal tersebut
menunjukkan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia secara
keseluruhan, tidak terbatas bagi kaum Muslim saja. Ayat ini menghendaki
tidak ada perbedaan antara sesama manusia, dengan alasan apapun. Manusia
adalah makhluk yang mulia sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Isra’: 70,
sebagai berikut:
‫ت‬
ِ ‫َوﻟَﻘَ ْﺪ َﻛ ﱠﺮ ْﻣﻨَﺎ ﺑَﻨِﻲ ءَا َد َم َوﺣَ َﻤ ْﻠﻨَﺎھُ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟﺒَ ﱢﺮ َوا ْﻟﺒَﺤْ ِﺮ َو َر َز ْﻗﻨَﺎھُ ْﻢ ﻣِﻦَ اﻟﻄﱠﯿﱢﺒَﺎ‬
45
‫ِﯿﻼ‬
ً ‫ﻀ ْﻠﻨَﺎھُ ْﻢ َﻋﻠَﻰ َﻛﺜِﯿ ٍﺮ ِﻣﻤﱠﻦْ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ﺗَ ْﻔﻀ‬
‫َوﻓَ ﱠ‬
Kemuliaan manusia bukanlah karena ras dan warna kulitnya. Kemudian
manusia adalah karena zat manusianya itu sendiri. Oleh karena itu, Nabi
mempertegasnya dengan menyatakan;
Kendatipun prinsip persamaan merupakan bagian terpenting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan
mengontrol bidang sosial, tetapi tidaklah berarti hukum Islam menghendaki
43
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum… op. cit., hal. 76.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).
45
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. alIsra’: 70).
44
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
162
masyarakat tanpa kelas (classless society) ala komunisme, atau masyarakat
yang menguasai kelas yang lemah (kapitalisme). Hukum Islam selanjutnya
mengenal prinsip ta’awun (kerjasama antara kelas).46
6 Tolong Menolong (Al-Ta’awun)
Prinsip ta’awun berarti Bantu-membantu antara sesama anggota
masyarakat. Bantu-membantu ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid,
terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah.
Prinsip ta’awunmenghendaki kaum Muslimin saling tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketaqwaan sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an Surah alMaidah: 2 dan al-Mujadalah: 9.
‫ﷲِ وَ َﻻ اﻟ ﱠﺸ ْﮭ َﺮ ا ْﻟ َﺤ َﺮا َم و ََﻻ ا ْﻟﮭَﺪْيَ وَ َﻻ ا ْﻟﻘ ََﻼﺋِ َﺪ‬
‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗُ ِﺤﻠﱡﻮا َﺷﻌَﺎﺋِ َﺮ ﱠ‬
‫و ََﻻ ءَاﻣﱢﯿﻦَ ا ْﻟﺒَﯿْﺖَ ا ْﻟ َﺤﺮَ ا َم ﯾَ ْﺒﺘَﻐُﻮنَ ﻓَﻀْ ًﻼ ﻣِﻦْ َرﺑﱢ ِﮭ ْﻢ َورِﺿْ َﻮاﻧًﺎ َوإِذَا َﺣﻠَ ْﻠﺘُ ْﻢ‬
‫ﺻﺪﱡو ُﻛ ْﻢ َﻋ ِﻦ ا ْﻟ َﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ ا ْﻟ َﺤ َﺮامِ أَنْ ﺗَ ْﻌﺘَﺪُوا‬
َ ْ‫ﻓَﺎﺻْ ﻄَﺎدُوا َو َﻻ ﯾَﺠْ ِﺮ َﻣﻨﱠ ُﻜ ْﻢ َﺷﻨَﺂنُ ﻗَﻮْ مٍ أَن‬
َ‫ﷲ‬
‫ﷲ إِنﱠ ﱠ‬
َ ‫اﻹﺛْﻢِ َوا ْﻟ ُﻌ ْﺪ َوانِ َواﺗﱠﻘُﻮا ﱠ‬
ِ ْ ‫َوﺗَﻌَﺎ َوﻧُﻮا َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﺒِﺮﱢ َواﻟﺘﱠ ْﻘﻮَى وَ َﻻ ﺗَﻌَﺎ َوﻧُﻮا َﻋﻠَﻰ‬
47
‫ب‬
ِ ‫َﺷﺪِﯾ ُﺪ ا ْﻟ ِﻌﻘَﺎ‬
ِ‫ﺼﯿَ ِﺔ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮل‬
ِ ‫ِﺎﻹﺛْﻢِ َوا ْﻟ ُﻌ ْﺪ َوا ِن َو َﻣ ْﻌ‬
ِ ْ ‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا إِذَا ﺗَﻨَﺎ َﺟ ْﯿﺘُ ْﻢ ﻓ ََﻼ ﺗَﺘَﻨَﺎﺟَ ﻮْ ا ﺑ‬
48
َ‫ﷲَ اﻟﱠﺬِي إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ﺗُﺤْ َﺸﺮُون‬
‫َوﺗَﻨَﺎﺟَ ﻮْ ا ﺑِﺎ ْﻟﺒِ ﱢﺮ َواﻟﺘﱠﻘْﻮَ ى َواﺗﱠﻘُﻮا ﱠ‬
7 Tasamuh (Toleransi)
Prinsip ini sebagai kelanjutan dari prinsip-prinsip sebelumnya
sebagaimana diuraikan di atas. Hukum Islam mengharuskan umatnya hidup
rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras, dan warna kulit.
46
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum… op. cit., hal. 77.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekalikali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya. (QS. al-Maidah: 2).
48
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia,
janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul.
Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya kamu akan dikembalikan. (QS. al-Mujadalah: 9).
47
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
163
Toleransi yang dikehendaki Islam ialah toleransi yang menjamin tidak
terlarangnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam.49 Peringatan Allah berkenaan dengan
toleransi ini dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Muntahanah: 8-9.
ْ‫ﷲُ َﻋ ِﻦ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻟَ ْﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟ ﱢﺪﯾ ِﻦ َوﻟَ ْﻢ ﯾُﺨْ ِﺮﺟُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻣِﻦْ ِدﯾَﺎ ِر ُﻛ ْﻢ أَن‬
‫ل◌َ ا ﯾَ ْﻨﮭَﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ‬
‫ﷲُ ﻋَﻦِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ‬
‫ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَ ْﻨﮭَﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ‬. َ‫ﷲَ ﯾُ ِﺤﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺴﻄِ ﯿﻦ‬
‫ﺗَﺒَﺮﱡ وھُ ْﻢ وَ ﺗُ ْﻘ ِﺴﻄُﻮا إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ إِنﱠ ﱠ‬
ْ‫ﻓِﻲ اﻟﺪﱢﯾ ِﻦ َوأَﺧْ ﺮَ ﺟُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻣِﻦْ ِدﯾَﺎ ِر ُﻛ ْﻢ وَ ظَﺎھَﺮُوا َﻋﻠَﻰ إِﺧْ َﺮاﺟِ ُﻜ ْﻢ أَنْ ﺗَ َﻮﻟﱠﻮْ ھُ ْﻢ َوﻣَﻦ‬
50
َ‫ﯾَﺘَ َﻮﻟﱠﮭُ ْﻢ ﻓَﺄ ُوﻟَﺌِﻚَ ھُ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤُﻮن‬
Di samping prinsip-prinsip di atas masih terdapat prinsip-prinsip, baik
yang bersifat umum seperti prinsip musyawarah (syura) serta prinsip-prinsip
suka sama suka (an taradhin) dalam jual beli dan sebagainya.
E. Penutup
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Manusia
dibekali akal yang berpotensi untuk berpikir dan dapat membedakan antara
yang baik. Di samping itu, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk
mengarah pada kebaikan dan kesucian yang disebut fithrah. Fithrah tersebut
merupakan anugrah yang tak terkira makna yang berasal dari Tuhan, dalam
bahasa Ibnu Taymiyah disebut sebagai fitrah al-munazzalahatau wahyu.
Sehingga manusia pada hakekatnya merupakan citra Tuhan dimuka bumi yang
mempunyai kecenderungan untuk mempunyai sifat kasih-sayang, saling tolong
menolong, sebagaiman sifat Tuhan yang baik (asma al-husna).
Manusia diberikan tugas sebagai khalifah dimuka bumi, Allah
kemudian mengutus Rasul sebagai media untuk mengenal syariat Allah. Pada
Rasul tersebut ada Kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan yaitu alQur’an, kemudian aplikasi al-Qur’an dan seluruh tradisi Nabi belakangan
disebut sebagai Sunnah atau hadis. Oleh karena itu al-Qur’an menempati posisi
pertama sebagai sumber hukum dan sunnah pada tempat kedua. Sedangkan
ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum yang masih diperselisihi oleh ulama.
Ada yang menyatakan bahwa ijma dan qiyas hanyalah sebagai pola atau
49
Juhaya S. Praja, loc. cit.
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
(QS. al-Muntahanah: 8-9).
50
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
164
metode penalaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun juga ada yang
mengkategorikannya sebagai salah satu sumber hukum.
Penerapan hukum Islam dalam masyarakat bukan tidak mengedepankan
sisi humanisme, akan tetapi justru sangat memperhatikan prinsip tersebut.
Bahkan diakui bahwa hukum dari Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia.
Oleh karena itu, hukum Islam mengusung prinsip-prinsip hukum yang itu;
tauhid, keadilan, amar ma’ruf nahi mungkar, al-hurriyah(kemerdekaan dan
kebebasan), egaliter (persamaan), ta’awun (tolong-menolong), tasamuh
(toleransi), juga dapat ditambahkan seperti musyawarah (sering diterjemahkan
demokrasi) dan saling ridha (dalam jual beli).
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
165
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil,
Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam,
Yogyakarta: LKiS, 1994.
Abdul Hadi, Filsafat Pasca-Ibnu Rusyd dalam Nurcholish Madjid dan Budhy
Munawar Rahman (Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban Jilid IV, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve,
2002.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos, 1997.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press Kerjasama
dengan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, 2004.
------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia, Cet. I, Jakarta: Teraju, 2002.
------------,Paradigma dan Penalaran Fiqh dalam Konteks Kekinian dan
Keindonesiaan, Makalah dipresentasikan pada Annual Conference PPs
IAIN/UIN/STAIN Se-Indonesia, 16-20 Desember 2004.
Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001.
M. Hasby Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki,
2000.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. oleh Sahiron
Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Muhammad Shahrur,Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer,
Terj. oleh Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, Terjemahan Imam
Khori, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan pemikiran Orientalis:
Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Terjemahan Yudian
Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991.
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
166
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Murthadha Muthahhari, Prespektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama,
Terj. oleh Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, Jakarta:
Paramadina, 2000.
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Cet. I., Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Wael B. Halleq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushul Fiqh
Mazhab Sunni, Terj., Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Abidin Nurdin
Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Kajian Tentang Hakekat Manusia dan Sumber Hukum . . .
167
Download