- hubungan antara pola pemanfaatan smartphone dan

advertisement
Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Dalam rangka Dies Natalis ke -61 Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta dan memperingati Hari Pendidikan Nasional
Revolusi Mental: Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Dasar
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Copyright @2016
ISBN: 978-602-71993-7-8
Penyunting:
Siti Anafiah, M. Pd
Ayu Rahayu, M. Pd
Nelly Rhosyida, M. Pd
Octavian Muning Sayekti, M. Pd
Trisniawati, M. Pd
Desain Layout:
Biya Ebi Praheto, M. Pd
Diterbitkan oleh:
Alamat Penerbit:
Perum Soditan Permai Blok A No. 11 Soditan,
Gumpang Kartasura, Surakarta 57161
HP: 08164274703, E_mail: [email protected]
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
i
KATA PENGANTAR
Salam dan Bahagia
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karuniaNya sehingga dapat terselenggara seminar hari ini, 28 Mei 2016. Pelaksanaan
seminar ini dalam rangka Dies Natalis UST ke-61 dan memperingati Hari Pendidikan
Nasional. Kami ucapkan selamat datang kepada seluruh peserta dalam seminar nasional
dengan tema “REVOLUSI MENTAL: Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar”.
Pemilihan tema ini karena pendidikan budi pekerti selama ini masih berupa wacana.
Banyak kasus-kasus penyimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu
pendidikan budi pekerti menjadi suatu hal yang mendesak untuk diterapkan di segala
aspek kehidupan salah satunya memalui bidang pendidikan. Kegiatan ilmiah ini akan
memberikan nilai kebermanfaatan, baik bagi mahasiswa, alumni, guru, dosen, seluruh
peserta seminar nasional, dan masyarakat pada umumnya. Kegiatan ini bekerjasama
dengan ADOBSI dan diharapkan dapat dijadikan sebagai wadah untuk menjalin
silaturahim ilmiah seluruh civitas akademika di seluruh Indonesia.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D. (Pakar
Pendidikan-Guru Besar UNY), Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. (Ketua Asosiasi
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia), dan para pemakalah seminar. Kepada seluruh
peserta kami ucapkan selamat bersilaturahim dan selamat berseminar semoga sukses dan
bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
Atas nama panitia, mohon maaf atas segala kekurangan dalam melayani seluruh
peserta seminar dan mohon maaf apabila dalam penyusunan prosiding masih banyak
terdapat kekurangan. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat. Hanya ucapan terima kasih
yang dapat kami sampaikan sebagai wujud apresiasi positif kepada seluruh peserta dan
pemakalah pendamping. Selain itu, panitia juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh panitia keluarga besar PGSD UST yang telah dengan ihklas menyiapkan
segalanya, sejak persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut kegiatan seminar ini.
Salam
Yogyakarta, 28 Mei 2016
Redaksi
ii
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
DAFTAR ISI
Makalah Utama
Membangun Budi Pekerti Luhur melalui Budaya Sekolah
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D.
1 - 15
Strategi Pembentukan Budi Pekerti bagi Guru dan Dosen untuk Melahirkan
Generasi Emas Indonesia Berbasis Revolusi Mental
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.
16 - 24
Makalah Pendamping
Implementasi Pembelajaran Dongeng dalam Membangun Pendidikan Budi
Pekerti dan Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Dasar
Adenasry Avereus Rahman
25 - 30
Pembelajaran Tematik Membangun Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas
Rendah Sekolah Dasar
Arifah Nian Ekasari
31 - 37
Penanaman Budi Pekerti Siswa Melalui Pelajaran Bahasa Jawa Di Sekolah
Dasar
Biya Ebi Praheto
38 - 48
Membangun Budi Pekerti Siswa Melalui Pembiasaan Penggunaan Bahasa
‘Jawa’ Di Sekolah Dasar
Devy Riri Yuliyani
49 - 53
Penggunaan Lirik Lagu Anak-Anak sebagai Media Pembangun Pendidikan
Budi Pekerti di Sekolah Dasar
Dintya Ayu Purika
54 - 59
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah Di SD
Dwi Wijayanti
60 - 74
Cerita Anak sebagai Media Pembangun Pendidikan Budi Pekerti Peserta Didik
Sekolah Dasar
Febriancy Ayu Valda Ciptani
75 - 89
Pengembangan Sekolah Berbudaya Lingkungan dalam Membentuk Budi
Pekerti Siswa
Fitri Nurmawati
90 - 94
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
iii
Nilai-Nilai Filosofis Jawa pada Permainan Tradisional di Wilayah Yogyakarta
Galih Prabaswara Paripurno; Retno Setya Putri
95 - 106
Membangun Budi Pekerti Anak Sekolah Dasar melalui Budaya Peduli
Gita Yuliani
107 - 112
Implementasi Pembelajaran PKn dengan Model Value Clarification Technique
(VCT) dalam Membentuk Budi Pekerti Siswa
Harry Irawan
113 - 120
Budaya Sekolah sebagai Wahana Perkembangan Kognitif Siswa
di Sekolah Dasar
Hatta Setiawan
121 - 124
Membangun Pendidikan Karakter melalui Permainan Tradisional Congklak
(Dakon Pintar)
Iisrohli Irawati; Tini; Samingan; Agnes Srimulat
125 - 133
Pembentukan Budi Pekerti Anak melalui Internalisasi Nilai pada Mata
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar
Imam Alfikri Pratama
134 - 140
Pembelajaran Sains dengan Siklus Belajar Do-Talk-Do sebagai Upaya
Pembentukan Budi Pekerti Siswa
Jan Pieter
141 - 151
Peran Budaya Sekolah dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di Sekolah
Dasar
Kristi Wardani
152 - 158
Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar untuk Mengantisipasi
Demoralisasi Bangsa
Kriswantoro; Arman Efendi
159 - 170
Revolusi Mental melalui Pengembangan Budaya Sekolah Berbasis Modal
Sosial di Sekolah Dasar
Kurotul Aeni
171 - 181
Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Putri Junjung Buih Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat
Lizawati; Oldi
182 - 191
Implementasi Pembelajaran Tematik Dalam Membangun Budi Pekerti Di
Sekolah Dasar
Lusy Febia Yaomul Istar
192 - 197
iv
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
Pembinaan Budaya Sekolah Dalam Rangka Membangun Budi Pekerti Di
Sekolah Dasar
Maya Kartika Sari
198 - 205
Urgensi Pengembangan Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika untuk
Menanamkan Nilai-Nilai Karakter pada Siswa Sekolah Dasar
Muhammad Nur Wangid; Ali Mustad; Agnestasia Ramadani P; Imroatun Nur
Hidayah; Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas; Tri Mulyani
206 - 216
Aplikasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Nursaptini; Lale Aprihatin Diana Safitri
217 - 228
Nilai Pendidikan dalam Teks Drama yang Disajikan pada Buku Ajar Bahasa
Indonesia Kelas 6 Sekolah Dasar
Octavian Muning Sayekti
229 - 235
Strategi Pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar dalam
Membangun Karakter Peserta Didik
Pratiwi Wulan Gustianingrum
236 - 239
Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar melalui Peringatan Hari Kartini
Putri Zudhah Ferryka
240 - 248
Pembelajaran IPA Menumbuhkan Karakter Siswa
Putu Victoria M. Risamasu
249 - 259
Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Sarana Membangun Karakter Generasi
Muda Penerus Bangsa
Rini Agustina
260 - 266
Upaya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar melalui
Pengoptimalan Konsep Tripusat Pendidikan
Rista Ayu Mawarti
267 - 272
Implementasi Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri
Kota Yogyakarta
Siti Aminah; Rizaldi
273 - 281
Sastra Anak sebagai Media Penanaman Pendidikan Karakter
Siti Anafiah
282 - 288
Integrasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Dasar sebagai Upaya Membentuk Moral Siswa
Try Hariadi
289 - 295
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
v
Tantangan Pendidikan Dasar di Era Posmoderenisme
Yoga Adi Pratama
296 - 303
Peran Etnomatematika Dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar
Zainnur Wijayanto
304 - 313
vi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
MEMBANGUN BUDIPEKERTI LUHUR MELALUI BUDAYA SEKOLAH*
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D.
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
*Makalah diprensentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar
dalam Rangka Dies Natalis UST ke-61 dan Memperingati Hari Pendidikan Nasional
pada 28 Mei 2016 di Yogyakarta.
1. Pendahuluan
Makna pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah “daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect),
dan tubuh anak (Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa disingkat MLPT, 2013: 14).
Ketiga ranah ini tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup selaras dengan dunianya.
Pendidikan nasional (Indonesia) berlandaskan budaya nasional dan untuk
membangun “perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar
dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia”
seluruh dunia (MLPT, 2013: 15). Kutipan ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah terwujudnya bangsa yang unggul, yang memiliki kemandirian
sekaligus memiliki kebiasaan hidup bersinergi dengan bangsa-bangsa lain. Menurut
Covey (1990: 53), dua kebiasaan ini yang pertama disebut independence
(kemandirian/kemerdekaan),
yang
kedua
disebut
interdependence
(kesaling-tergantungan/kesinergisan). Dua kualitas kehidupan inilah yang seharusnya
benar-benar kita sadari bersama sebagai tujuan pendidikan yang perlu dijadikan fokus
agar predikat sebagai negara maju dapat tercapai. Untuk konteks masyarakat
Indonesia, perlu dilengkapi dengan kualitas keimanan sebagai sumber integritas diri
dan bangsa.
Khusus mengenai pendidikan budipekerti sebagai salah satu aspek pendidikan
nasional, Ki Hadjar Dewantara menyatakan “harus selaras dengan jiwa kebangsaan,
menuju kepada kesucian, ketertiban, dan kedamaian lahir batin, sesuai dengan hal-hal
yang sudah kita miliki dan sesuai dengan zaman baru yang sesuai dengan maksud dan
tujuan bangsa Indonesia” (MLPT, 2013: 15). Pernyataan ini dapat kita maknai bahwa
pendidikan budi pekerti mengandung nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
1
kehidupan bangsa Indonesia, yaitu: “kebangsaan” (bangga dan memiliki jati diri, serta
mensyukuri
sebagai bangsa Indonesia), “kesucian” (karena manusia dilahirkan
dalam keadaan fitri yang harus selalu dijaga), “ketertiban” (tanpa ketertiban, tidak
mungkin suatu tujuan dapat tercapai), dan “kedamaian lahir batin”(kebahagiaan
disebabkan terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani, yang terutama berupa
keimanan; dengan kata lain kebahagiaan dunia dan akhirat).
2. Pendidikan Budipekerti dan Pendidikan Karakter
Pendidikan budipekerti yang merupakan gagasan Ki Hadjar Dewantara dan
pendidikan karakter yang merupakan salah satu dari tujuh lingkup pembangunan
karakter bangsa 2010-2025 yang bertujuan untuk
mewujudkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan (Pemerintah RI, 2010: 5-6)
memiliki banyak persamaan.
Pendidikan karakter memang menggunakan referensi hasil karya Ki Hadjar Dewantara,
di samping referensi-referensi masa kini.
“Budipekerti,
watak, atau karakter
adalah bersatunya gerak, perasaan, dan
kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga (untuk bertindak). Pendidikan
budipekerti bertujuan untuk mendorong subjek didik memiliki kecerdasan budipekerti,
senantiasa
memikir-mikirkan
dan
merasa-rasakan
serta
selalu
menggunakan
dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam bertindak)” ( MLPT, 2013: 25). Selaras dengan
pandangan ini, Lickona
secara terperinci menyajikan komponen karakter yang baik.
Karakter dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus seseorang atau suatu komunitas,
sehingga dapat dibedakan antara orang yang satu dengan yang lain atau suatu bangsa
dengan bangsa yang lain.
Menurut Lickona (1992: 51), “karakter” terdiri atas
nilai-nilai yang diketahui, diyakini, dan
dilakukan, sehingga karakter seseorang
terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu pengetahuan moral (moral
knowing), perasaan moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral action).
Karakter seseorang dikatakan baik apabila pada dirinya terdapat “knowing the good,
desiring the good, and doing the good--habits of the mind, habits of the heart, and
habits of action”.
2
Hubungan tiga komponen tersebut digambarkan sebagai berikut:
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MORAL KNOWING
Moral awareness
Knowing moral values
Perspective-taking
Moral reasoning
Decision-making
Self-knowledge
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MORAL FEELING
Conscience
Self-esteem
Empathy
Loving the good
Self-control
Humility
MORAL
ACTION
1. Competence
2. Will
3. Habit
Gambar 1. Components of good character (Lickona, 1992: 53)
Gambar di atas menjelaskan bahwa masing-masing komponen saling
berhubungan satu sama lain. Setiap komponen menempati ranah (domain) psikologis
tertentu dalam pribadi seseorang.
Moral knowing berada pada ranah kognitif, terdiri
atas aspek: 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) pengetahuan nilai moral
(knowing moral values), 3) cara pandang (perspective taking), 4) penalaran moral
(moral reasoning), 5) pembuatan keputusan (decision making), dan 6) kesadaran diri
(self knowledge).
Moral feeling menempati ranah afektif, terdiri atas enam aspek: 1)
suara hati (conscience), 2) harga diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4)
kasih-sayang (loving the good), 5) pengendalian diri (self control), dan 6) rendah hati
(humility).
Moral action berupa perilaku sebagai perwujudan dari moral knowing dan
moral feeling.
Moral actions atau perilaku-perilaku moral seseorang berwujud
kompetensi (competence), niat (will), dan kebiasaan (habit) bertindak dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk mengembangkan karakter
yang baik diperlukan waktu yang relatif lama karena harus mengembangkan
pengetahuan moral yang baik, dorongan hati nurani untuk berbuat
baik, dan
kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Ryan
(1999: 5) juga menyatakan bahwa “good character is about knowing the good, loving
the good and doing the good”.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
3
3.Metode Komprehensif
Dalam bidang pendidikan karakter/budipekerti muncul kesadaran akan perlunya
digunakan pendekatan komprehensif yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang
mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat
pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan. Pada dasarnya pendekatan
komprehensif dalam pendidikan budipekerti dapat ditinjau dari segi metode yang
digunakan, pendidik yang berpartisipasi (guru, orang tua, unsur masyarakat), dan
konteks berlangsungnya pendidikan karakter (sekolah, keluarga, lembaga atau
organisasi masyarakat), yang oleh Ki Hadjar disebut “tripusat pendidikan”. Perlu
dipertimbangkan adanya pusat yang keempat, yaitu “media massa” sehingga menjadi
“catur pusat pendidikan”.
Dari segi metode, pendekatan komprehensif meliputi: inkulkasi (inculcation),
keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill
building), seperti yang diutarakan oleh Kirschenbaum (1995: 31-42) berikut ini:
(1)
Inkulkasi Nilai
Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(a) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya,
(b) memperlakukan orang lain secara adil,
(c) menghargai pandangan orang lain,
(d) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan
alasan, dan dengan rasa hormat,
(e) tidak
sepenuhnya
mengontrol
lingkungan
untuk
meningkatkan
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki,
(f) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang
dikehendaki, tidak secara ekstrem,
(g) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi
disertai alasan,
(h) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan
(i) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila
sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan
kemungkinan berubah.
4
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
Pendidikan budipekerti seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi
yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi, yakni sebagai
berikut:
(a) mengomunikasikan kepercayaan hanya berdasarkan kekuasaan,
(b) memperlakukan orang lain secara tidak adil,
(c) memfitnah atau menjelek-jelekkan pandangan orang lain,
(d) menyatakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya secara kasar dan
mencemooh atau memandang rendah,
(e) sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki dan mencegah kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki,
(f) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai yang
dikehendaki, secara ekstrem,
(g) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi
tanpa disertai alasan,
(h) memutuskan komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan
(i) tidak memberikan peluang bagi adanya perilaku yang berbeda-beda; apabila
sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, yang bersangkutan
dikucilkan untuk selama-lamanya.
(2)
Keteladanan
Dalam pendidikan karakter/budipekerti,
pemberian teladan merupakan
metode yang biasa digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua
syarat yang harus dipenuhi. Pertama, guru atau orang tua harus berperan sebagai
model yang baik bagi murid-murid atau anak-anaknya. Kedua, anak-anak harus
meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama Nabi Muhammad
saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain, serta para pahlawan dan
negarawan. Cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil,
menghargai pendapat anak, mengritik orang lain secara santun, merupakan
perilaku-perilaku yang secara alami dijadikan model oleh anak-anak untuk
diteladani. Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
5
anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan
orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak
tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.
Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan
menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan
antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi
anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat
secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain.
Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (lewat Zuchdi,
2010: 14) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus dikembangkan
secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam berkomunikasi.
(3)
Fasilitasi Nilai
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi melatih subjek didik
mengatasi masalah-masalah tersebut. Yang terpenting dalam metode fasilitasi ini
adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode
fasilitasi membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian karena hal-hal
sebagai berikut ini (Kirschenbaum, 1995: 41).
(a) Kegiatan fasilitasi secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidik
dan subjek didik. Apabila pendidik mendengarkan subjek didik dengan
sungguh-sungguh, besar kemungkinannya subjek didik mendengarkan
pendidik dengan baik. Subjek didik merasa benar-benar dihargai karena
pandangan dan pendapat mereka didengar dan dipahami. Akibatnya,
kredibilitas pendidik meningkat.
(b) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik memperjelas pemahaman.
Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk
menyusun pendapat, mengingat kembali hal-hal yang perlu disimak, dan
memperjelas hal-hal yang masih meragukan.
(c) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik yang sudah menerima suatu nilai,
6
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
tetapi belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman
secara intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral
memerlukan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga perasaan, maksud, dan
kemauan.
(d) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik berpikir lebih jauh tentang nilai
yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari teman-temannya
yang telah menerima nilai-nilai (values) yang diajarkan, dan akhirnya
menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik.
(e) Kegiatan fasilitasi menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikiran
dan perasaan subjek didik.
(f) Kegiatan fasilitasi memotivasi subjek didik menghubungkan persoalan nilai
dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Karena
kepribadian subjek didik terlibat, pembelajaran menjadi lebih menarik.
(4)
Pengembangan Keterampilan Akademik dan Sosial
Ada berbagai keterampilan (yang dimaksud di sini yang termasuk soft skills)
yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut,
sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan
tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas,
menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas
disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan
akademik dan keterampilan sosial tersebut, yaitu keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan mengatasi konflik, akan diulas secara singkat pada bagian berikut ini.
(a) Keterampilan Berpikir Kritis
Ciri-ciri orang yang berpikir kritis adalah: (1) mencari kejelasan pernyataan
atau pertanyaan, (2) mencari alasan, (3) mencoba memperoleh informasi yang benar,
(4) menggunakan sumber yang dapat dipercaya, (5) mempertimbangkan
keseluruhan situasi, (6) mencari alternatif, (7) bersikap terbuka, (8) mengubah
pandangan apabila ada bukti yang dapat dipercaya, (9) mencari ketepatan suatu
permasalahan, dan (10) sensitif terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan tingkat
kecanggihan orang lain (Kirschenbaum, 1995: 86). Kesepuluh ciri tersebut hanya
dapat dikembangkan lewat latihan yang dilakukan secara terus-menerus, sehingga
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
7
akhirnya menjadi suatu kebiasaan.
Berpikir kritis dapat mengarah pada pembentukan sifat bijaksana. Berpikir kritis
memungkinkan seseorang dapat menganalisis informasi secara cermat dan
membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi isu-isu yang kontroversial.
Dengan demikian, dapat dihindari tindakan destruktif sebagai akibat dari ulah
provokator yang tidak henti-hentinya mencari korban. Oleh karena itu, sangat
diharapkan peran guru dan orang tua untuk membiasakan anak-anak berpikir kritis,
dengan melatihkan kegiatan-kegiatan yang mengandung ciri-ciri tersebut di atas.
(b) Keterampilan Mengatasi Konflik
Masih banyak orang yang mengatasi konflik dengan kekuatan fisik, padahal
cara demikian itu tidak manusiawi. Apabila kita menghendaki kehidupan
berdasarkan nilai-nilai religius dan prinsip-prinsip moral, kita perlu mengajarkan
cara-cara mengatasi konflik secara konstruktif. Para guru dan orang tua memang
harus berusaha keras untuk menyakinkan anak-anak bahwa penyelesaian masalah
secara destruktif yang banyak muncul dalam masyarakat Indonesia saat ini sangat
tidak manusiawi dan bertentangan dengan norma-norma agama yang harus kita
junjung tinggi.
4. Penilaian Komprehensif
Penilaian dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, perlu
dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter/budipekerti. Secara
lengkap, tujuan pendidikan karakter/budipekerti harus meliputi tiga ranah yakni
pemikiran, perasaan, dan perilaku, sebagai yang tergambar dalam skema di bawah ini.
Moral/values reasoning
(penalaran moral)
moral/values affect
moral/values action
(afek/perasaan moral)
(perilaku moral)
a. Penilaian Penalaran Moral
Dari skema di atas dapat diketahui bahwa supaya tujuan pendidikan
karakter/budipekerti yang berwujud perilaku yang diharapkan dapat tercapai, subjek
didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan
nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan
tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini Kohlberg, berdasarkan penelitian
8
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
longitudinal, telah berhasil meredefinisi pemikiran Dewey mengenai reflective
thinking dan memvalidasi karya Piaget mengenai perkembangan berpikir,
menyusun tingkat-tingkat perkembangan moral (Mosher, lewat Zuchdi, 2010: 5).
Kohlberg menemukan tiga tingkat penalaran mengenai permasalahan (issue) moral
dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga seluruhnya ada enam tahap
penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah prakonvensional, konvensional, dan
pascakonvensional.
Tingkat prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa ”benar” berarti
mengikuti aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang
benar adalah yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa.
Pada tingkat konvensioanl, ”benar” berarti memenuhi harapan masyarakat.
Keinginan bertindak sesuai dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang
untuk berperilaku yang baik. Pandangan sosial, loyalitas, dan persetujuan oleh
pihak lain merupakan perhatian utama orang yang penalarannya pada tingkat
konvensional. Yang terakhir, tingkat pascakonvensional atau berprinsip ditandai
oleh kebenaran, nilai, atau prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal yang
menjadi tanggung jawab, baik individu maupun masyarakat untuk mendukungnya
(Arbuthnot, lewat Zuchdi, 1988: 29).
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, ada dua tahap dalam setiap tingkat
penalaran moral, sehingga seluruhnya ada enam tahap. Tahap pertama, disebut
moralitas heteronomi. Tahap ini digambarkan sebagai suatu orientasi pada hukuman
dan kepatuhan. Penentuan ”benar” atau ”salah” didasarkan pada konsekuensi
ragawi suatu tindakan. Penalaran pada tahap ini sangat egosentrik, penalar tidak
dapat mempertimbangkan perspektif orang lain.
Tahap kedua disebut tujuan instrumental, individualisme, dan pertukaran
(kebutuhan dan keinginan). Tahap ini ditandai oleh pemahaman ”baik” atau ”benar”
sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan, baik diri-sendiri
maupun orang lain. Kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain merupakan
pertimbangan utama penalaran pada tingkat ini.
Tahap ketiga adalah harapan, hubungan dan penyesuaian antarpribadi.
Mengerjakan sesuatu yang ”benar” pada tahap ini berarti memenuhi harapan
orang-orang lain dan loyal terhadap kelompok dan dapat dipercaya dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
9
kelompok tersebut. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain dianggap hal yang
penting. Kesadaran akan perlunya saling menaruh harapan dan saling memberikan
persetujuan terhadap perasaan dan perspektif orang lain, serta minat kelompok
menjadi perspektif sosial seseorang.
Tahap keempat adalah sistem sosial dan hati nurani. Mengerjakan sesuatu
yang ”benar” pada tahap ini berarti mengerjakan tugas kemasyarakatan dan
mendukung aturan sosial yang ada. Tanggung jawab dan komitmen seseorang
haruslah menjaga aturan sosial dan menghormati diri-sendiri juga.
Tahap kelima adalah kontrak sosial dan hak individual. Yang dianggap benar
menurut tahap ini adalah mendukung hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling
menyetujui kontrak sosial bahkan jika mengerjakan hal itu bertentangan dengan
undang-undang dan aturan kelompok sosial. Orientasi penalaran tahap kelima
adalah
pada memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan menghargai kemauan
golongan mayoritas, di samping menjaga hak-hak golongan minoritas. Apabila
undang-undang dan aturan yang ada dianggap tidak sesuai, misalnya bertentangan
dengan hak-hak kemanusiaan, penalar tahap kelima ini dapat mengritisinya dan
mengusahakan perubahan. Tahap ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni
suatu keyakinan bahwa tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya
kebahagiaan bagi sebagian besar manusia. Dapat terjadi timbul pertentangan antara
kebenaran menurut hukum dan kebenaran secara moral, dalam hal ini penalar akan
mempelajari cara mengatasinya.
Yang terakhir tahap keenam adalah prinsip etis universal. Pada tahap ini yang
dianggap benar adalah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pilihan sendiri yang
sesuai bagi semua manusia. Prinsip-prinsip diterima oleh orang yang berada pada
tahap ini bukan disebabkan oleh persetujuan sosial, tetapi prinsip-prinsip tersebut
berasal dari ide dasar keadilan, yaitu: persamaan hak-hak kemanusiaan dan
penghargaan terhadap martabat manusia. Penalar pada tahap ini sudah dapat
membuat keputusan moral secara otonomi. Perhatian utamanya pada tercapainya
keadilan melalui penghargaan terhadap keunikan hak-hak individu.
Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap-tahap perkembangan
penalaran moral tersebut di atas, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari
keputusan moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang
10
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang mana seseorang
berada.
Namun, diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran moral
seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan
moral. Oleh karena itu, penilaian yang dapat menggambarkan tingkat dan tahap
penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan penilaian
afektif yang terkait
dengan permasalahan nilai/moral.
b. Penilaian Afektif
Penilaian afektif dapat
dilakukan
dengan menggunakan ”skala sikap” seperti
yang dikembangkan oleh Likert atau Guttman,
perbedaan semantik yang
dikembangkan oleh Nuci, atau cara yang lain. Meskipun namanya ”skala sikap”,
yang dinilai dapat pula minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan
nilai.
Bagaimana cara menilai capaian belajar dalam ranah afektif? Kita tidak dapat
mengukur afek atau perasaan seseorang secara langsung. Namun, kita dapat
menafsirkan ada atau tidaknya afek, arah afek (positif atau negatif),
dan intensitas
afek (tidak pernah s.d. selalu) dari tindakan atau pendapat seseorang.
Di antara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan
sebab secara relatif lebih mudah pengembangannya, dapat memiliki reliabilitas
yang tinggi, dan telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai
karakteristik afektif. Langkah pertama dalam menyusun skala Likert adalah
membuat definisi operasional karakteristik yang akan diukur (misalnya nilai-nilai:
kejujuran, kemandirian, kesinergisan, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dsb.)
dan
menemukan
indikatornya.
Langkah
selanjutnya,
menyusun
sejumlah
pernyataan atau pertanyaan positif dan negatif dalam jumlah yang seimbang,
disertai pilihan yang harus diisi oleh responden dalam suatu kontinum mulai dari
sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju atau dari selalu sampai dengan
tidak pernah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
11
c. Penilaian Perilaku
Perilaku moral (moral action) hanya mungkin dinilai secara akurat dengan
melakukan observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama, secara
terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang
yang diamati sudah menunjukkan karakter/budipekerti atau kualitas akhlak yang
akan dinilai. Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, disiplin,
adil,
memiliki komitmen, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat atau
pengobservasi harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar
penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah.
3. Pendidikan Karakter/Budipekerti melalui Pengembangan Kultur/Budaya
Sekolah
Guna menciptakan kultur/budaya sekolah yang bermoral perlu diciptakan
lingkungan sosial sekolah yang dapat mendorong murid-murid memiliki
budi pekerti
luhur/moralitas yang baik/karakter yang terpuji/akhlak mulia. Sebagai contoh, apabila
suatu sekolah memiliki iklim demokratis, murid-murid terdorong untuk bertindak
demokratis. Sebaliknya apabila suatu sekolah terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan
otoriter, sulit bagi murid-murid untuk dididik menjadi pribadi-pribadi
yang
demokratis. Demikian juga apabila sekolah dapat menciptakan lingkungan sosial
sekolah yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka
lebih
mudah bagi murid-murid untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan
bertanggung jawab. Namun masyarakat secara umum juga perlu memiliki
kultur/budaya yang senada dengan yang dikembangkan di sekolah.
Lickona (1991: 325) mengutarakan enam elemen kultu/budaya sekolah yang baik,
yaitu:
1. Kepala sekolah memiliki kepemimpinan moral dan akademik.
2. Disiplin sekolah
ditegakkan di sekolah secara menyeluruh.
3. Warga sekolah memiliki rasa persaudaraan.
4. Organisasi murid menerapkan kepemimpinan demokratis dan menumbuhkan
rasa bertanggung jawab bagi murid-murid untuk menjadikan sekolah mereka
menjadi sekolah yang terbaik.
5. Hubungan semua warga sekolah bersifat saling menghargai, adil, dan bergotong
12
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
royong.
6. Sekolah meningkatkan perhatian terhadap moralitas
dengan menggunakan
waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah moral.
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu elemen yang menentukan
terciptanya kultur/budaya sekolah yang bermoral. Dari hasil penelitian Zuchdi dkk.
(2005-2006) terungkap bahwa dari sepuluh kepala sekolah yang menjadi responden
penelitian, baru satu yang memiliki kepemimpinan yang ideal. Oleh karena itu
pengangkatan kepala sekolah, kualitas moral harus dijadikan
dalam
pertimbangan utama.
Elemen yang kedua untuk membangun kultur/budaya sekolah yang positif adalah
disiplin. Penegakan disiplin sekolah dapat dimulai dengan melibatkan murid-murid
dalam membuat peraturan sekolah. Kalau perlu mreka diminta menandatangani
kesediaan untuk melaksanakan peraturan tersebut dan kesediaan menanggung
konsekuensi jika melanggarnya. Dengan demikian mereka dilatih untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang mereka lakukan. Selanjutnya peraturan yang telah
disetujui bersama perlu dilaksanakan secara konsekuen dan adil, berlaku bagi semua
warga sekolah baik murid, guru, kepala sekolah, maupun pegawai administrasi.
Rasa persaudaraan yang tinggi dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang
tidak baik. Hal ini dapat dipahami karena adanya rasa persaudaraan membuat seseorang
merasa tidak tega berlaku kasar bahkan menyakiti orang lain. Oleh karena itu rasa
persaudaraan perlu dibangun secara terus-menerus lewat program sekolah, misalnya
spanduk selamat datang bagi murid baru, kunjungan kepada yang sedang mengalami
musibah, pemberian ucapan/surat terima kasih kepada murid yang telah memberikan
pertolongan kepada temannya, dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat
membangun dan memelihara persaudaraan
Strategi lain untuk mengembangkan karakter lewat kultur/budaya sekolah ialah
dengan melibatkan murid-murid membangun kehidupan sekolah mereka. Misalnya
membangun kehidupan yang demokratis, yang menghargai pluralistik, dan yang
mematuhi peraturan yang baik (pelibatan murid dalam pembuatan peraturan, evaluasi
peraturan, penegakan peraturan, dan penggantian peraturan).
Menurut hasil penelitian, sekolah-sekolah yang baik memiliki kualitas kehidupan
moral dan kehidupan akademik yang bagus (Lickona, 1991: 342). Hubungan teman
sekerja berkembang baik, guru-guru berbagi pegalaman dan gagasan, guru-guru yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
13
sudah berpengalaman membimbing guru-guru baru, dan pegawai administrasi
memberikan bantuan sepenuhnya demi terselenggaranya kegiatan sekolah.
Elemen yang keenam untuk membangun kultur/budaya sekolah yang positif ialah
penyediaan waktu untuk memperhatikan masalah-masalah moral. Suasana moral yang
baik perlu dibangun di sekolah. Meskipun dalam hal yang kecil, misalnya kehilangan
barang yang kurang berharga bagi pemiliknya, hal ini tetap perlu perhatian khusus dari
sekolah.
Misalnya suatu sekolah
menyediakan ”tempat melaporkan barang hilang
dan mengembalikan barang temuan” yang dipantau dengan tertib. Jangan sampai
perhatian
terhadap pencapaian tujuan akademik menyebabkan pengabaian terhadap
perkembangan moral, sosial,
dan religiusitas
anak-anak. Semua penting sehingga
guru harus menyediakan waktu untuk memperhatikan perkembangan anak-anak secara
holistik.
Sekolah memang benar-benar harus memperhatikan pengembangan kultur/budaya
sekolah yang positif.
Namun sayang, perhatian terhadap moralitas terkendala oleh
tuntutan keadaan yakni penentuan keberhasilan sekolah yang sangat ditentukan oleh
skor tes.
Reformasi akademik sungguh
sangat diperlukan. Peningkatan kualitas lulusan
sekolah banyak yang dilakukan dengan cara yang tergesa-gesa, seperti ”memasak
dengan panci bertekanan tinggi”. Akibatnya bahkan counterproductive,
baik dari segi
intelektual maupun segi moral dan sosial. Anak-anak seolah-olah dipaksa melalui jalan
tol untuk menjadi anak pandai. Mereka harus menggunakan hampir seluruh waktunya
untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan masih ditambah tugas-tugas bimbingan
belajar yang harus mereka ikuti. Hubungan guru dan murid tidak begitu akrab
karena ”tidak ada waktu” (Lickona, 1991: 343-344).
Hasil penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk.(2009-2011) menunjukkan bahwa
Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia, IPA, dan IPS, yang dibarengi dengan pengembangan kultur/budaya sekolah,
dalam bentuk pembiasaan untuk disiplin waktu, bertanggungjawab terhadap
tugas-tugas yang diberikan oleh guru, saling menolong, kerjasama, dan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama yang dipeluknya . Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
tanggung jawab, keteladanan, rasa kekeluargaan, perhatian terhadap masalah moral,
dan
tindakan demokratis kepala sekolah meningkat.
Di antara murid-murid terjadi
14
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
peningkatan kedisiplinan, kejujuran, dan persaudaraan. Jumlah anak yang mencontek
dan tidak mengerjakan PR menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Covey, Stephen R. (1990).
The 7 habits of highly effective people. New York: Simon
& Schuster.
Kirschenbaum, H. (1995). Enhance values and morality in schools and youth. Settings.
Boston: Allyn and Bacon.
Lickona, T. (1992). Educating for character, How Our Schools Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books.
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. (2013). Ki Hadjar Dewantara, pemikiran,
konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa (UST-Press).
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Kebijakan nasional pembangunan karakter
bangsa tahun 2010-2025.
Prasetyo, Zuhdan K. Taksonomi untuk pendidikan fisika (sains) Yogyakarta:
Cakrawala Pendidikan Majalah Ilmiah Kependidikan. Edisi Khusus Dies, Mei
1998, 146-151.
Ryan, K., & Bohlin, K. E. (1999). Building character in schools: Practical ways to
bring moral instruction to life. San Fransisco, CA: Jossey-Bass
Suyata dan Darmiyati Zuchdi (2007). “Ary Ginanjar Agustian dan Gerakan Pembaruan
Pendidikan Karakter dengan Optimalisasi Kecerdasan Emosional Spiritual”.
Pidato Promotor pada Pemberian Gelar Doctor Honoris Causa dalam Bidang
Pendidikan Karakter kepada Ary Ginanjar Agustian. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Wynne, E. A. (1984). Developing character: Transmitting knowledge. Posen, IL: ARI.
Diambil pada tanggal 9 April 2005, dari http://www.wilderdom.com/character.
html.
Zuchdi, Darmiyati. (2010). Humanisasi pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan
yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
Zuchdi, Darmiyati, Sukamto, dan Suryanto (2005-2006). Pendidikan karakter dengan
Lifes kills development. Laporan penelitian Hibah Pasca.
Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Zuchdi, Darmiyati, Kunprasetyo, Zuhdan, dan Masruri, Muhsinatun Siasah. (2013).
Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan
Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta: Multi Presindo.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
15
STRATEGI PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI BAGI GURU DAN DOSEN
UNTUK MELAHIRKAN GENERASI EMAS INDONESIA BERBASIS
REVOLUSI MENTAL
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia
FKIP Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected]/HP. 081391423540
Abstrak
Generasi emas Indonesia sangat dinantikan oleh NKRI untuk melanjutkan dan menjaga
keberlangsungan bangsa Indonesia tercinta. Generasi muda di seluruh Indonesia
menjadi harapan terbesar sebagai generasi emas yang diharapkan oleh para generasi tua
Indonesia. Peran penting guru dan dosen sebagai penjaga pilar pendidikan untuk
membentuk budi pekerti, nasionalisme, mentalitas, dan integritas generasi muda.
Integrasi setrategi pembentukan budi pekerti dan mentalitas generasi muda yang
dilakukan oleh guru, dosen, orang tua, masyarakat harus sinergis dan komprehensif,
baik melalui kegiatan pendidikan formal dan nonformal. Hal ini sebagai bentuk nyata
yang harus diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia khususnya guru dan dosen PAUD
dan PGSD. Bukan berarti guru dan dosen untuk pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi lainnya tidak ikut berperan. Akan tetapi peran guru dan dosen PGSD sebagai
pilar utama untuk membentuk budi pekerti para peserta didik sejak usia dini. Dengan
demikin, para calon guru PAUD, PGSD, dan dosen PAUD dan PGSD harus memiliki
virus-virus positif terlebih dahuku sebelum menularkan virus-virus positif tersebut
kepada seleruh calon generasi emas Indonesia dengan revolusi mental yang
dicanangkan oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo. Semoga kita semua dapat
berpartisipasi untuk turut melahirkan generasi emas untuk NKRI tercinta.
Kata kunci: setrategi, budi pekerti, guru, dosen, generasi emas, Presiden RI, dan Joko
Widodo.
“Jadilah guru dan dosen yang turut berperan untuk melahirkan generasi emas
Indonesia. Marilah kita antarkan genrasi emas Indonesia untuk menjadi sosok
pemimpin bangsa yang berintegritas, bermental baja, dan berjiwa nasionalisme
untuk NKRI”
A. Pendahuluan
Kondisi generasi muda Indonesia saat ini sudah sangat kritis dan darurat. Masih
teringat dengan jelas peristiwa, pembunuhan dosen Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (UMSU), Nurain Lubis, berusia 63 tahun oleh mahasiswanya RS, usia
21 tahun yang dipicu dendam RS mengaku pernah diusir dari kelas oleh Nurain
(Solopos, 4 Mei 2016). Kemudian peristiwa mahasiswa UGM , Feby Kurnia yang
dibunuh petugas kebersihan kampus, Eko Agus Nugroho, 26 tahun, warga Wonokromo,
16
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
Pleret, Bantul (Solopos, 4 Mei 2016). Masih banyak lagi peristiwa memperihatinkan
yang diberitakan di koran dan televisi, seperti kasus pemerkosaan anak usia dini, usia
SMP, SMA, SMK, dan PT terjadi di berbagai wilayah NKRI dengan begitu tragisnya.
Terakhir peristiwa yang terjadi di Jakarta, gadis remaja yang diperkosa kemudian
dimasuki gagang cangkul sampai ke ulu hatinya. Ini peristiwa yang sangat tragis dan
memilukan bagi seluruh warga Indonesia. Merujuk fakta-fakta di atas, guru dan dosen
di seluruh Indonesia harus turut bertanggung jawab atas kondisi degradasi moral
genarasi muda Indonesia.
Berdasarkan aneka fakta dan kondisi yang terjadi saat ini, pertanyaannya siapa
yang salah? Siswa, guru, dosen, orang tua, masyarakat, pemerintah, teknlogi atau siapa
yang salah di negeri ini. Bukan saatnya lagi untuk mencari siapa yang salah dan siapa
yang benar. Yang terpenting saat ini adalah refleksi bersama untuk kita,sebagai
mahasiswa, guru, dan dosen. Bagaimanakah peran guru dan dosen pendidikan guru
sekolah dasar dan pendidikan anak usia dini untuk dapat ambil bagian dalam
membentuk budi pekerti bagi guru dan dosen untuk melahirkan generasi emas di
NKRI.
Dengan demikian, kita semua dapat menanamkan nilai-nilai yang dikatakan
Licona (2013:7) bahwa sejak awal masa berdirinya republik ini, sekolah-sekolah
memberikan pendidikan karakter. Melalui disiplin, contoh-contoh baik dari guru, dosen,
dan kurikulum, sekolah berupaya mengajarkan nilai-nilai patriotism, kerja keras,
kejujuran, hemat, kedermawanan, dan keberanian dalam kebaikan kepada anak-anak
didik kita. Sekarang mari kitaa lanjutkan yang sudah dan dimulai bagi yang belum.
Guru dan dosen wajib berusaha bersama orang tua untuk lahirkan generasi emas NKRI.
B. Metode
Makalah ini merupakan kajian pustaka dengan metode deskriptif kualitatif. Data-data
yang digunakan dikumpulkan berdasarkan fakta-fakta yang dirilis di media cetak dan
pustaka relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam makalah ini. Data dilakukan
dengan wawancara mendalam dan menyimak dari berbagai sumber terkait, baik dari
mahasiswa, guru, dosen, masyarakat, dan wartawan. Berdasarkan fakta dan data
empirik yang dikumpulkan tersebut, kemudian dianalisis dengan teknik analisis
interaktif Milles Hibermen, berdasarkan data-data dari awal samapai akhir sehingga
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
17
diperoleh simpulan yang komprehensif dengan permasalahan yang dikaji dalam
makalah ini.
C. Hasil dan Pembahasan
Degradasi moral yang terjadi di NKRI saat ini menjadi pekerjaan rumah bersama antara
orang tua, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat. Hal ini harus disadari
secara nyata dengan adanya perkembangan teknologi yang saat ini telah banyak
berpengaruh kepada seluruh generasi muda Indonesia. Perkembangan teknolgi banyak
berdampak kepada seluruh generasi muda Indonesia, baik positif dan negatif. Dengan
berbagai setrategi yang dicanangkan oleh guru dan dosen, melalui pendidikan formal
dan nonformal harus dapat melahirkan generasi-genari emas Indonesia yang
berkarakter, cerdas, kompetitif, kreatif, inovatif, menyenangkan, dan sukses untuk
negeri ini.
C.1 Peran Guru dan Dosen sebagai Penjaga Pilar Moralitas Generasi Sekolah dan
Kampus
Guru dan dosen memiliki peran penting untuk menjaga dan mendampingi pelajar dan
mahasiswa sebagai anak asuh mereka di sekolah dan di kampus. Sesuai dengan
Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1
yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Kemudian pada pasal 7 mengamanatkan bahwa profesi guru
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip, antara lain
memiliki kualifikasi akademik, latar belakang pendidikan, sesuai dengan bidang
tugasnya dan memilkii kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan bidang tugas
tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Daryanto dan Rachmawati (2013:45) yang
menyatakan bahwa kualifikasi akademiki guru merefleksikan kemampuan yang
dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang,
jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diambilnya. Terkait dengan hal
di atas, Rohmadi (2012) menegaskan bahwa guru harus professional dan berkarakter,
baik di dalam kelas dan di luar kelas.
18
Dengan demikian, peran guru dalam
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
pembelajaran sebagai manajer pembelajaran sangat diperlukan sebagai penunjuk arah
dan pembimbing bagi siswa dalam proses pembelajaran.
Dalam perkembanganya, guru dan dosen harus sinergis dalam mendidik dan
membimbing para pelajar dan mahsiswanya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan
perkembangan teknologi yang semakin tidak dapat terbendung lagi. Kondisi ini
menjadi salah satu tantangan sekaligus peluang bagi guru dan dosen di Indonesia. Guru
dan dosen di Indonesia harus mampu melahirkan aneka setrategi dan inovasi baru
untuk melahirkan generasi emas Indonesia. Dengan revolusi mental yang dicanangkan
oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo harus diterjemahkan dengan aneka indikator
ketercapaian dari pendidikan formal dan nonformal. Dengan demikian, akan diperoleh
beberapa kategori pemodelan setrategi untuk penerapan konsep revolusi mental dalam
proses pembelajaran sehingga menghasilkan output yang tangguh, berintegritas, dan
bermental baja. Hal ini selaras dengan pendapat Aedy (2009:7) bahwa manusia dalam
mengarungi samudera kehidupan perlu memiliki dan menerapkan budi pekerti yang
seluas-luasnya. Hanya dengan budinya, manusia dapat mencapai kehidupan yang damai,
tenteram, dan bahagia. Kecerdasan yang dimiliki oleh manusia akan sangat
membahayakan kehidupan manusia jika tidak disertai budi . Dengan demikian seorang
manusia yang mempunyai kemampuan tenaga yang kuat tidak akan berarti apa-apa
bagi kehidupan manusia apabila tidak disertai dengan budi pekerti yang luhur. Merujuk
hal tersebut, dapat ditegaskan bahwa setiap guru dan dosen dalam belajar dan
membelajarkan bukan sekadar mentransfer ilmu tetapi juga harus dapat menanamkan
dan membimbing anak didiknya memiliki budi pekerti yang luhur.
C.2 Peran Orang Tua dalam Pembentukan Budi Pekerti Generasi Emas Indonesia
Orang tua memiliki peran besar untuk melahirkan generasi emas Indonesia. Hal ini
dikarenakan orang tua sebagai kedua orang tua anak yang melahirkan dan menjaganya
sejak awal, yakni sejak dalam kandungan dan bahkan yang memiliki niat dan mohon
kepada Tuhan untuk hadirnya sang anak ke dunia ini. Oleh karena itu, orang tua
memilki peran besar untuk membentuk anak mau menjadi seperti apa ke depannya.
Senada hal tersebut, Arum (solopos, 4 Mei 2016) menyatakan dalam tulisanya bahwa
orang tua sebagai agen pendidikan karakter. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan
hasil penelitian mahasiswa UNS, Lia Rosina Anggreini (2010)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
yang dimuat dalam
19
artikel Arum, wartawan solopos (4 Mei 2016) menunjukan betapa besarnya peran orang
tua dalam pendidikan anak. Lia meneliti pengaruh motivasi orang tua, problema remaja,
dan minat belajar terhadap prestasi belajar matematika.
Merujuk hasil penelitian tersebut, diperoleh hasil penelitian bahwa motivasi dari
orang tua sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak. Tuntutan kehidupan modern
memang besar. Manusia semakin cerdas. Di tengah kesibukan manusia modern, banyak
hal yang bisa dilakukan orang tua untuk tetap terlibat dalam kehidupan dan pendidikan
anak. Orang tua mendengarkan cerita anak dan memberikan tanggapan terhadap sikap,
prestasi belajar, dan hal lainnya yang dilakukan anak bisa jadi cara mudah memotivasi
mereka. Lia mengutip salah satu pendapat Othman Talib (2009) yang menyebutkan
bahwa memberikan penghargaan lisan “bagus” dan “hebat” merupakan motivasi yang
kuat, apalagi jika ditambah hadiah apa pun wujudnya dan tidak harus mahal sebagai
wujud apresiasi orang tua terhadap prestasi dan sikap yang ditunjukkan anaknya.
Peran orang tua sangat diperlukan untuk mendampingi proses pembelajaran
anak-anak di rumah, sejak usia dini, remaja, dan dewasa. Fungsi pendampingan dan
kontrol yang sinergis dengan fungsi guru dan dosen dalam pendidikan formal lebih
bermakna bagi anak-anak. Kondisi carut marutnya moralitas anak-anak di negeri ini
menjadi salah satu indikator lemahnya pendampingan orang tua di rumah. Di era
teknologi dan perkembangan zaman yang terus menggerus komunikasi sosial ternyata
semakin meminimalisir perhatian orang tua kepada anak-anaknya dan lebih cenderung
dititipkan kepada sekolah. Orang tua merasa kalau sudah disekolahkan dibayar, dan
dicukupi kebutuhanya masalah selesai. Pada hal, banyak sisi psikologis yang
diperlukan anak-anak untuk dapat berkomunikasi dan didampingi oleh kedua orang
tuanya, baik dalam pembelajaran sekolah maupun pembelajaran masalah kehidupan.
C.3 Pengaruh Teknologi terhadap Degradasi Moralitas Generasi Emas Indonesia
Era teknologi ternyata tidak hanya berdampak positif tetapi juga diiringi dampak
negatif bagi genarasi muda Indonesia. Sejak munculnya handpone dengan berbagai
model, internet dapat diakses di manapun berada dan fenomena yang terjadi saaat ini,
bahwa anak-anak TK dan SD pun sudah pegang dan dengan bebas memainkan HP.
Pengaruh teknologi berbasis internet ternyata sudah merasuk ke seluruh generasi muda
Indonesia. Ini sangat menbahayakan apabila tidak dikontrol dan didamapingi oleh
20
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
orang tua dan guru. Khususnya untuk anak-anak usia TK, SD, SMP, dan SMA. Tidak
kalah pentingnya juga para mahasiswa di perguruan tinggi. Berdasarkan fakta yang
saya ditanya kepada anak-anak kelas VI SD, kemudian SMP, SMA/K, dan
mahasiswa,
hamper semua sudah melihat gambar pornografi atau sejenisnya melalui HP.
Merujuk kondisi dan fakta yang terjadi di lapangan, bahwa terjadinya kekerasan
seksual, pemerkosaan, sodomi, dan sejenisnya ternyata dari hasil wawancara
disebabkan anak-anak ingin meniru dan mempraktikan seperti yang mereka lihat di
televise, dan internet. Ini menjadi fakta yang miris dan memprihatinkan untuk guru dan
dosen khususnya TK dan SD. Dengan pemahaman karakteristik anak dan kebutuhanya
seharai-hari, maka orang tua dan guru akan terus dapat memantau apa yang menjadi
keinginan anak sesungguhnya.
Pengembangan ilmu dan teknologi adalah keniscayaan. Akan tetapi, kita sebagai
pengguna harus menguasai teknologi dan bukan dikuasai oleh teknologi. Oleh karena
itu, guru dan dosen harus dapat memanfaatkan teknologi sebagai sarana dan media
pembelajaran yang terintegratif. Dengan demikian, banyak hal yang dapat
dimanfaatkan melalui teknologi informasi. Jangan sampai justru teknologi informasi
menjadi alat penghancur generasi muda Indonesia, baik usia TK, SD, SMP, SMA, SMK,
dan PT. hal ini hanya dapat ditanggulangi dengan sinergisnya antara orang tua, pelajar,
mahasiswa, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah untuk mewujudkan dan
melahirkan generasi emas Indonesia.
C.4 Setrategi Pembentukan Budi Pekerti Berbasis Revolusi Mental untuk
Generasi Emas Indonesia
Sejak Bapak Jokowi Widodo menjadi Presiden RI, telah dicanangkan revolusi mental.
Salah satu agenda utama adalah membangun mentalitas sumber daya manusia. Salah
satu sumber daya manusia itu adalah generasi muda Indonesia sebagai calon-calon
pemimpin masa depan. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengembangkan
konsep revolusi mental yang dapat digunakan dan diimplementasikan kepada seluruh
generasi muda di NKRI baik melalui pendidikan formal maupun informal. Salah
satunya yang sudah dilakukan pemerintah dengan mereview kemabli kurikulum yang
digunakan di negeri ini.
Pembentukan budi pekerti tidak dapat dilakukan sepihak oleh orang tua.
Pembentukan budi pekerti bagi generasi emas Indonesia harus dilakukan bersama
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
21
antara orang tua, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah. Pesan moral dari orang tua,
guru, dan dosen harus terus ditanamkan kepada seluruh generasi emas Indonesia. Hal
ini senada dengan Tang (2006:68)
yang memberitahu murid-muridnya, “Yang paling
mulia adalah orang yang lahir dengan kebijaksanaan. Berikutnya orang yang menjadi
bijaksana melalui belajar. Berikutnya adalah mereka yang mau belajar setelah
mengalami kesulitan hidup. Yang paling buruk adalah mereka yang tidak mau mencoba
untuk belajar.” Merujuk pesan tersebut maka diperlukan penekanan kepada para
generasi emas Indonesia untuk belajar, belajar, dan belajar dari mana saja dalam
berbagai konteks kehidupan dengan membaca.
Guru dan dosen harus dapat menjadi pelengkap orang tua di rumah untuk
membentuk budi pekerti dan akhlakul kharimah generasi emas Indonesia. Hal ini
menjadi tanggung jawab bersama untuk turut berpartisipasi menyiapkan generasi emas
Indonesia dengan sebaik-baiknya. Selaras dengan ini, Tang (2006:68) berpesan kepada
murid-muridnya “Kamu harus belajar seakan-akan kamu akan dapat menguasai apa
yang telah kamu pelajari dan memegangnya seakan-akan kamu takut kehilanganya
tetapi “belajar tanpa berpikir adalah usaha yang sia-sia; dan berpikir tanpa belajar
adalah berbahaya.” Berdasarkan pesan tersebut, maka generasi muda Indonesia, guru
dan dosen muda harus turut menjadi pengawal generasi emas Indonesia untuk menjadi
calon-calon pemimpin bangsa yang cerdas, berintegritas, dan bermental baja.
Generasi muda adalah harapan bangsa. Generasi muda Indonesia harus digodhok
dan dipersiapkan dari sekarang karena mereka adalah harapan NKRI. Konfusius,
seoranag guru dan cendekiawan dari Cina sangat menyukai orang muda. “Orang
muda,“ katanya, “harus diperlakukan dengan hormat. Bagaimana kamu bisa tahu
bahwa mereka tidak akan menjadi sama dengan kamu pada suatu hari? Orang yang
telah mencapai usia empat atau lima puluh tahun tanpa menghasilkan apa-apa tidak
patut dihormati”. Merujuk pada pesan tersebut menjadi tantangan untuk generasi muda
Indonesia.
Berdasarkan beberapa fakta dan deskripsi di atas, ada beebrapa setrategi yang
dapat dilakukan untuk pembentukan budi pekerti generasi emas Indonesia, yakni: (1)
niat yang tulus ikhlas dari orang tua, guru, dan dosen untuk ibadah dan melahirkan
generasi emas Indonesia, (2) orang tua, guru dan dosen harus memilki komitmen untuk
mau berubah secara bertahap, dengan belajar sepanjang hayat, (3) guru dan dosen harus
22
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
membangun kerja sama dengan orang tua, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat untuk
melahirkan generasi emas Indonesia, (4) orang tua, guru, dan dosen harus menyediakan
media-media inovatif dan kreatif untuk membangun keseimbangan hardskill dan
softskill pelajar dan mahasiswa dalam berbagai konteks kehidupan sehingga
terbentuklah generasi emas yang berbudi pekerti luhur, dan (5) orang tua, guru, dan
dosen harus melakukan pembiasaan positif secara terus menerus untuk berpikir, berbuat,
berperilaku, dan berkumpul dengan segala kebaikan di mana pun berada. Hal ini selaras
dengan Rohmadi (2016:1) dalam bukunya menjadi guru & dosen hebat dan luar biasa,
bahwa “Kebahagian dan rasa syukur yang tiada tara adalah saat mimpi dan cita-cita
kita dikabulkan oleh allah swt. yakni menjadi guru dan dosen. Saat itulah awal kita
untuk menjadi manusia hebat yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat”Dengan
demikian, secara bertahap upaya orang tua, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah
untuk menghasilkan generasi emas Indonesia akan dapat terwujud. Selamat mencoba
turut serta melahirkan generasi emas Indonesia, mari kita mulai dari diri kita
masing-masing untuk mengidap virus positif sebagai generasi emas Indonesia yang
selalau ingin berbagi kebaikan dan ilmu di mana pun berada.
D. Penutup
Generasi emas Indonesia dalah harapan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Wahai para orang tua, guru, dosen, pelajar, mahsiswa, masyarakat, dan pemerintah
jangan pernah main-main dengan pendidikan saat ini karena yang akan menderita
adalah anak cucu kita di masa yang akan datang. Marilah kita wujudkan generasi emas
Indonesia yang cerdas, berkarakter, kreatif, produktif, kompetitif, sukses, dan
menyenangkan di era MEA ini. Semua itu hanya dapat terwujud apabila kita orang tua,
guru, dosen, masyrakat, dan pemerintah dapat menyatukan visi, misi, dan tujuan untuk
melahirkan generasi emas Indonesia secara bersama di seluruh pelosok NKRI. Mari
kita kumandangkan bersama, “Aku cinta generasi muda Indonesia, aku bangga
generasi muda Indonesia, generasi muda Indonesia adalah generasi emas NKRI. “
“Bahagia itu letaknya di hati dengan mensyukuri apa yang kita miliki. Wujud rasa
syukur kita adalah dengan memanfaatkan apa yang telah diberikan-Nya untuk
kemaslahatan umat sebanyak-banyaknya”
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
23
DAFTAR PUSTAKA
Aedy, Hasan. 2009. Karya Agung sang Guru Sejati. Bandung: Alfabeta.
Arum, Tika Sekar, 2016. “Orang Tua Agen Pendidikan Karakater”, Solopos, 4 Mei
2016.
Daryono dan Rachmawati, Tutik. 2013. Penilaian Kinerja Profesi Guru dan Angka
Kreditnya. Yogyakarta: Gava Media.
Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa
Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusamedia.
Rohmadi, M. 2012. Menjadi Guru Profesional dan Berkarakter. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Rohmadi, M. 2016. Guru & Dosen Hebat dan Luar Biasa. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tang, C. Michael. 2006. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik: Refleksi bagi Para
Pemimpin. Jakarta: Gramedia.
24
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN DONGENG DALAM MEMBANGUN
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA
SEKOLAH DASAR
Adenasry Avereus Rahman
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
This study aimed to describe and explain ( 1 ) the implementation of a fairy tale of
learning to develop character education and ( 2 ) Learning fairytale as develop
emotional intelligence elementary school students. The results of this review that the
learning fairytale students can develop character education that would affect the
emotional intelligence with the values and the mandate contained in the story as well as
with the values of the students internalize these values in learning and everyday life ,
With the values of the emotional intelligence will be obtained. And with the emotional
and planting kecerdeasan character value students will excel academically and
emotionally capable of mastering themselves .
Keywords : fairytale learning , emotional intelligence , primary school students
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran wajib dikalangan pelajar.
Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang wajib dipelajari bagi seluruh kalangan
karena dijadikan sebagai sarana komunikasi. Indonesia terdiri dari berbagai ras dan
budaya, untuk menyelaraskan keaneragaman tersebut digunakan bahasa Indonesia
sebagai salah satu sarana untuk menjembatani perbedaan tersebut. Dalam pembelajaran
bahasa Indonesia terdapat 4 aspek yang harus dipenuhi yaitu membaca, menulis,
mendengar, dan berbicara. Keempat aspek tersebut mempunyai bagian-bagian yang
perlu dipelajari, karena itu merupakan satu kesatuan dalam memahami bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sejatinya tidak hanya berbicara tentang bagaimana menulis
dan membaca dengan baik atau bagaimana menggunaan ejaan serta EYD yang baik.
Akan tetapi, bahasa Indonesia juga berhubungan dengan sastra. Pembelajaran tentang
sastra khususnya karya sastra bisa dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan yang
nantinya bisa dijadikan refleksi dalam kehidupan sehari-sehari. Merefleksi kehidupan
sehari-hari itu bisa dengan menginternalisai nilai-nilai yang terkandung dalam karya
sastra. Pada dasarnya sastra merupakan cipta atau karya dari sebuah tulisan yang dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
25
membawakan kisahnya. Sastra menyentuh sisi kemanusiaan yang biasanya tidak
tersetuh dalam kehidupan sehari-hari. Sastra bisa dijadikan sebagai cerminan dalam
kehidupan bahwa apa yang telah dilakukan itu apa temasuk dalam katagori benar atau
salah. Itu merupakan manfaat dari sastra selain digunakan sebagai bahan bacaan untuk
dijadikan hiburan.
Karya sastra yang sesuai dijadikan bahan pembelajaran untuk siswa sekolah
dasar ialah dongeng. Dongeng dapat dijadikan pembelajaran bahasa Indonesia dengan
tujuan siswa mampu menyampaikan pesan pendek yang terdapat dalam dongeng
tersebut. Pesan pendek tersebut bisa berupa amanah yang ada dalam dongeng tersebut.
Dalam amanah juga terdapat pesan moral yang didalamnya terdapat nilai-nilai budi
pekerti. Selain siswa diharuskan untuk bisa menyampaikan pesan pendek dari sebuah
dongeng, siswa diharapkan mampu mengambil dan memahami nilai budi pekerti dalam
sebuah dongeng. Tujuan yang terakhir dalam penanaman nilai budi pekerti pada siswa
sekolah
dasar
ialah
siswa
mampu
meningkatkan
kecerdasan
emosionalnya.
Kecerderdasan emosional tersebut mampu mempengaruhi tumbuh kembang siswa yang
secara emosional masih dengan belajar coba-coba dan cara meniru. Oleh karena itu
peran guru sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Maka dari itu makalah ini
berjudul “Implementasi Pembelajaran Dongeng Dalam Membangun Pendidikan Budi
Pekerti Dan Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Dasar”
KAJIAN TEORI
Hakikat Sastra sebagai "gejala kejiwaan" di dalamnya terkandung fenomenafenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra
dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dapat diterima,
karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan yang bersifat tak langsung dan
fungsional (Aminuddin, 1990:101). Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah
penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan
tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik
pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Penelitian psikologi
sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat
menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan.
Karya sastra menampilkan aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh
dan menjadikan manusia sebagai penggerak jiwa tiga cara yang dapat dilakukan
26
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu (1) memahami
unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, (3) memahami unsur-unsur kejiwaan
pembaca (Rama, 2004: 343). Sastra atas peran jiwa akan melahirkan sekian juta
identitas diri manusia. Ada sastra yang menyuarakan jiwa sakit, jiwa buruh, jiwa
priyayi, jiwa merdeka, jiwa bajingan, dan seterusnya. Hal itu semua adalah refleksi
kritis. Refleksi tidak berarti mentah, tetapi telah dimasak dengan imajinasi tinggi.
Fakta tidak akan disajikan secara apa adanya. Fakta hanya bahan, tetapi ramuan
kejiwaan yang akan membawa ketitik tertentu hingga karya sastra itu disebut berbobot.
Pendidikan Karakter Nilai-nilai Pendidikan (edukasi) adalah suatu nilai yang
dapat diambil dari sebuah sikap atau perilaku dalam media. Dalam hal ini lebih kepada
iklan Nutrilon Royal 3-Life Is An Adventure yang menjadi fokus penelitian dari peneliti.
Adapun kriteria manusia yang baik dalam iklan Nutrilon Royal 3-Life Is An Adventure
secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat. Oleh karena itu, hakikat dari nilai-nilai pendidikan dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yaknipendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Kecerdasan Emosional menurut Mayer (dalam subyantoro, 2013:69) emosi
merupakan sistem respon yangterkoordinasi, emosi terjadi dalam keadaan biologis
tertentu keadaan eksperimental tertentu, keadaan kognitif tertentu yang terjadi secara
simultan. Oleh karena itu, emosi menyatuan pikiran, perasaan, dan tindakan. Pengertian
tentang kecerdasan emsosional sampai saat ini masih dalam perdebatan. Menurut
Salovey & Mayor (dalam subyantoro, 2013:69)
menyatakan bahwa kecerdasan
emosional ada;ah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami dan
mengekspresikan emosi. Kemampuan untuk mengetahui dan menjelaskan perasaan
ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, kemampuan memahami perkembangan
emosi serta intelektual.
Pendapat lain menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah seuatu
keterampilan memahami diri sendiri, keterampiran megatur diri sendiri, memotivasi dan
empati yang merupakan predikator yang sangat kuat dan dapat dipercaya unutk meraih
keberhasilann di tempat kerja. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kecerdasan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
27
emosional adalah seseorang yang menyadari emosinya sendiri dan emosi orang lain dan
menyesuaikan perilaku berdasarkan pengetahuannya tentang kecerdasan emosional
tersebut (Alan dalam subyantoro, 2013:70) Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosional sebagai kemampuan memahami dan
mengelola emosi dan sebagai ahli lainya mendefinisikan sebagai keterampiran
memahami dan mengelolah emosi. Namun yang pasti, kecerdasan emosional seseorang
dapat ditingkatkan melalui serangkain proses belajar.
PEMBAHASAN
Pembelajaran sastra khususnya tentang dongeng bisa dijadikan media dalam
pembelajaran sekolah dasar, dikatakan demikian ini merujuk kepada SK dan KD siswa
sekolah dasar. Dalam SK dan KD tersebut pembelajaran dongeng diajarkan dengan
tujuan siswa mampu menyampaikan pesan pendek kepada orang lain setelah
mendengarkan cerita dongeng yang dikisahkan. Misalnya dongeng tentang bawang
merah dan bawang putih yang di dalamnya terdapat nila-nilai moral seperti tolong
menolong dan saling menghargai. Dongeng tersebut dibawakan oleh guru ketika dalam
pembelajaran bahasa Indonesia setelah guru bercerita tentang dongeng tersebut siswa
diharapkan memahami dan bisa mengambil nilai-nilai dan amanah yang terkandung
dalam dongeng tersebut.
Mengisahkan sebuah dongeng merupakan peran guru yang paling utama. Guru
harus benar-benar bisa mengisahkan cerita tersebut dengan penghayatan dan
pemahaman yang baik, karena dengan itu siswa mampu terbawa akan suasana yang di
berikan oleh guru, sehingga siswa mampu memahami nilai-nilai tersebut dapat
menyampaikan pesan pendek kepada orang lain. Setelah pembelajaran guru diharapkan
mampu menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang ada dalam dongeng tersebut dengan
tujuan siswa bisa menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan dapat dijadikan sebagai
pengembangan kecerdasan emosional.
Menurut Goelman ada lima dimensi kecerdasan emosional, yaitu 1) memiliki
pengetahuan akan emosi sendiri (keterampilan mengenali emosi diri). Keterampilan ini
merupakan modal untuk membuat keputusan yang tepat. 2) Mengatur perasaan sendiri
(keterampilan mengatur emosi). Sadar akan emosi sandiri dan bisa mengaturnya
merupakan sumber untuk hidup tenteram, tenang dalam menghadapi kesulitan hidup
dan tidak larut dalam amarah, cemas, sedih atau frustasi. 3) Memanfaatkan perasaan
28
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
untuk tujuan tertentu keterampila memotivasi diri sendiri. Hal ini berarti kita dapat
mendominasi perasaan sendiri. 4) Mengenali perasaan orang lain, sumber empati
keterampilan berempati. Ini merupakan keterampilan menangkap sinyal-sinyal sosial
yang subtil sehingga kita bersedia menampung perasaan, kebutuhan, dan kehendak
orang lain. 5) Mengendalikan perasaan orang lain keterampilan membina hubungan. Ini
merupakan modal dalam pergaulan sosial dan dalam menjalin hubungan yang
menyenangkan serta membangun popularitas, juga modal untuk fungsi kepemimpinan.
Peran cerita yang nantinya membawakan kisah-kisah berupa dongeng dijadikan
sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak-anak,
tidak terlepas dari konsep cerita sebagai model kehidupan. Artinya, cerita
menggambarkan dunia imajiner yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak
langsung dengan kehidupan dalam nyata. Dalam hal ini keberadaan cerita yang
diciptakan pengarang memang tidak dapat dilepaskan dari pengarang dan kehidupan
nyata. Melalui cerita seorang pengarang merekam sebuah dunia kehidupan, karena ia
ingin memahami kehdupan dengan membangun sebuah model dan menjelaskan
berbagai kemungkinan dalam kehidupan dari model tersebut (Kayam dalam Subyantoro,
2013:83). Di samping itu kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial yang
mencakup hubungan antarmanusia yang terjadi dalam dunia nyata. Dengan demikian
peristiwa-pesritiwa yang terjadi dalam batin seseorang maupun dalam hubungan
antarmanusia, yang sering menjadi bahan cerita adalah pantulan hubungan seseorang
dengan orang lain dan dengan masyarakat (Damono dalam Subyantoro, 2013.83).
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat simpulkan bahwa dengan pembelajaran
sastra khususnya dongeng, siswa dapat membangun nilai budi pekerti yang ada dalam
dongeng tersebut. Karena dengan membangun nilai budi pekerti pada siswa sekolah
dasar secara tidak langsung juga menanamkan kebaikan yang dimulai dari usia dini dan
ini cocok dengan perkembangan otak untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan
kognitifnya. Selain itu dengan menanamkan nilai budi pekerti ini secara tidak langsung
juga menghambat perkembangan tingkah laku ke arah yang negatif. Siswa telah dibekali
sejak dini tentang nilai-nilai budi pekerti, sehingga secara emosional siswa mampu
mengetahui perbuatan yang baik dan salah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
29
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2006. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asuh.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme perspektif wacana naratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 2010. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka.
Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Subyantoro. 2013. Pembelajaran Bercerita. Yogyakarya: Penerbit ombak.
30
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
PEMBELAJARAN TEMATIK MEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
SISWA KELAS RENDAH SEKOLAH DASAR
Arifah Nian Ekasari
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
This paper reviewed the obstacle factors of character education low grade primary
school students and thematic learning builds character education low grade primary
school students. Characteristics of students as the primary concern of teachers in
designing learning activities to fit the needs of students. Character education should be
integrated with subjects relevant to curriculum for elementary school students. Learning
this way is referred to thematic learning, learning that focus to the theme of the material
taught. Character education which is inserted on the integration of subjects will greatly
assist the formation of the personality and character of elementary school students,
especially for lower grade students.
Keywords: thematic learning, character education, primary school, primary school
teachers
PENDAHULUAN
Sekolah sebagai wahana pendidikan kedua bagi anak. Kepribadian dan karakter
anak akan terbentuk, sehingga peran guru sangat diperlukan. Tugas seorang guru tidak
hanya menyampaikan materi ajar kepada siswanya, tetapi juga mendidik. Mendidik
dalam artian mengarahkan siswa agar memiliki kemampuan dalam ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Sebagaimana UU RI Nomor 21 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan sangat berperan dalam membangun pendidikan budi pekerti anak.
Salah satunya melalui kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang menekankan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
31
pentingnya budi pekerti. Setyowati (2009: 149), pendidikan budi pekerti dapat diartikan
sebagai penanaman nilai-nilai akhlak, tata krama, bagaimana berperilaku baik pada
orang lain. Pada perkembangannya, pendidikan budi pekerti tidak hanya melibatkan
relasi sosial anak, tetapi juga melibatkan pengetahuan, perasaan, dan perilaku anak
yang berada dalam ranah pendidikan karakter.
Adapun guru sebagai seorang yang memberikan tindakan secara langsung,
diperlukan kepekaan guna mengidentifikasi karakteristik siswanya. Karena setiap siswa
mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda-beda, termasuk lingkungan tempat
tinggalnya. Inilah yang paling berpengaruh pada pendidikan budi pekerti siswa secara
personal. Kondisi tersebut akan mencerminkan cara bertutur kata, sikap/perilaku yang
ditunjukkan kepada orang sekitar, maupun daya tangkap materi pelajaran di kelas. Guru
hendaknya lebih memperhatikan masalah ini, penanaman nilai moral dan pendidikan
budi pekerti anak-anak usia sekolah perlu tindak lanjut. Salah satu usaha yang dapat
dilakukan adalah menerapkan pembelajaran yang berbasis pendidikan budi pekerti pada
setiap mata pelajaran yang diajarkan. Seperti halnya jenjang pendidikan sekolah dasar,
pembelajaran
tematik
atau
integrasi
beberapa
mata
pelajaran.
Sebelumnya,
pembelajaran tematik diawali dengan menentukan tema yang tidak lepas dari aspek
pengetahuan, aspek sikap, dan aspek keterampilan.
PEMBAHASAN
Faktor-faktor Penghambat Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas Rendah Sekoah
Dasar
Ada dua faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan budi pekerti di sekolah
dasar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari siswa dan
guru. Pertama, siswa secara personal. Hal ini berkaitan dengan kepekaan dan kesadaran
diri yang dimiliki oleh setiap siswa. Antara siswa satu dengan yang lainnya sangatlah
berbeda, sehingga perlu peran serta guru dalam membentuk sikap ini. Kemauan diri
akan terlihat dari cara siswa bersikap dengan teman maupun guru, apakah menunjukkan
tingkah laku yang positif atau tidak. Kedua, guru sebagai pendidik. Sudah menjadi
tugas guru untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti sebagaimana program sekolah
sesuai kurikulum pendidikan nasional. Namun, pemahaman guru akan penyampaian
pendidikan budi pekerti ini masih tergolong kurang. Dikarenakan adanya kegiatan guru
yang beragam di luar kegiatan mengajar.
32
32
Arifah
Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
Faktor eksternal diidentifikasi dari latar belakang setiap siswa, baik lingkungan
keluarga maupun lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi sistem pergaulan
siswa sekolah dasar. Seperti halnya siswa-siswi kelas rendah sekolah dasar daerah
tertentu, lingkungan keluarga bertaraf ekonomi menengah ke bawah sangat
mempengaruhi budi pekerti anak. Kondisi keluarga yang memprihatinkan, seperti:
orang tua yang terlalu sibuk, sehingga anak-anaknya kurang mendapat perhatian. Ada
pula siswa yang orang tuanya telah bercerai, berpengaruh pada kualitas belajar dan
cenderung bersikap hiperaktif/ membuat kegaduhan di kelas. Orang tua yang acuh
terhadap anaknya, sehingga mengakibatkan lemahnya daya tangkap materi pelajaran.
Selain itu, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi sikap maupun tingkah laku yang
ditunjukkan. Ini terlihat dari cara bertutur kata dan sikap/perilaku yang ditunjukkan
terhadap orang di sekitarnya. Siswa-siswi yang tinggal di suatu lingkungan yang baik,
menjunjung tinggi norma dan nilai kesopanan akan menjadikan seorang anak yang
berbudi. Sebaliknya, lingkungan dengan pergaulan yang tidak sehat akan menjadikan
seorang anak bertingkah laku negatif, tidak terpuji, dan memicu perselisihan.
Pembelajaran Tematik Membangun Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas Rendah
Sekolah Dasar
Aspirasi seluruh rakyat Indonesia menghendaki agar budi pekerti luhur
dibudayakan dalam semua aktivitas pembelajaran di sekolah. Untuk itu, domain
pendidikan budi pekerti guna mengisi jiwa peserta didik dengan moral dan akhlak agar
bertingkah laku yang baik untuk diwujudkan dalam kurikulum sekolah dasar, tetapi
pengimplementasiannya jauh lebih penting manakala disertai adanya upaya pembiasaan,
pengamalan, pengkondisian lingkungan dan keteladanan (Sutjipto, 2014: 496).
Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan budi pekerti menjadi perhatian utama dalam
pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Pendidikan budi pekerti hendaknya dapat
diintegrasikan dengan mata pelajaran yang relevan sesuai kurikulum. Tindakan
integrasi ini sebagai tindakan sengaja untuk memadukan antarmata pelajaran untuk
siswa sekolah dasar.
Pembelajaran seperti ini disebut sebagai pembelajaran tematik, yaitu
pembelajaran yang menitikberatkan kesesuaian tema terhadap materi pelajaran yang
diajarkan. Khusus untuk siswa kelas rendah (kelas II) sekolah dasar, pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
33
tematik sesuai untuk dibelajarkan. Kegiatan pembelajaran ini diawali dengan
ketertautan tema dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Siswa diharapkan
memiliki pengetahuan tentang tema. Dengan pembelajaran tersebut, siswa dapat
bersikap sesuai dengan norma kehidupan bermasyarakat. Kemudian, siswa dapat
memiliki keterampilan yang dilihat dari praktek berdasarkan tema yang telah dipelajari
sebagai wujud pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran tematik memiliki karakteristik yang berpihak kepada para siswa,
yaitu: (1) berpusat pada siswa, pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student
centered); (2) pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada
siswa (direct experiences); (c) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas; (d)
menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran; (e)
hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa; (f) menggunakan prinsip
belajar sambil bermain dan menyenangkan (Depdiknas, 2006). Pembelajaran tematik
disebut juga pembelajaran terpadu karena melibatkan beberapa mata pelajaran. Dalam
pelaksanaannya, guru akan memberikan pemahaman berdasarkan pengalaman siswa
agar dapat memahami materi pelajaran yang sedang dipelajari. Jika pembelajaran di
sekolah dasar kelas rendah dilakukan secara terpisah pada setiap mata pelajaran, akan
mengakibatkan siswa kurang mengekslorasi pengetahuannya.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil
melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, dalam membuat RPP guru
perlu merancang dan mengemas pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa
(Munasik, 2014: 111). Guru perlu melakukan pemetaan tema pada semua standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator agar dapat dipadukan dengan tema yang
dipilih. Kreativitas guru sangat dituntut pada pelaksanaan pembelajaran tematik ini,
karena guru perlu mengembangkan tema materi pelajaran berdasarkan kehidupan siswa
atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Selain itu, sarana prasarana atau media
pembelajaran yang digunakan perlu dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran
berlangsung menyenangkan dan menarik bagi siswa.
Pembelajaran tematik dapat membangun pendidikan budi pekerti siswa sebagai
wujud keberhasilan guru sekolah dasar. Tidak hanya pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama saja, pendidikan budi pekerti hendaknya
dapat dibelajarkan guru pada setiap mata pelajaran yang terintegrasi secara terpadu.
34
34
Arifah
Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
Sebagaimana karakteristik pembelajaran tematik, pendidikan budi pekerti tersisip pada
setiap pembelajaran yang sedang diajarkan kepada siswa. Upaya yang dilakukan guru
adalah: (1) lakukan pemetaan standar kompetensi, kompetensi dasar tiap mata pelajaran;
(2) pilih mata pelajaran yang relevan atau dapat dibelajarkan bersama dalam satu kali
pertemuan/tatap muka; (3) penentuan tema sesuai materi ajar; (4) rencanakan jumlah
pertemuan atau tatap muka pada setiap tema yang diajarkan; dan (5) siapkan alat peraga
atau media pembelajaran pendukung tema sesuai materi ajar.
Tahap
pelaksanaan
pembelajaran
tematik
meliputi:
(1)
kegiatan
pendahuluan/awal; (2) kegiatan inti; dan (3) kegiatan penutup (Depdiknas, 2006).
Misalnya, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran kelas rendah (Kelas II) dirancang untuk
membelajarkan matematika, bahasa Indonesia dan IPS selama 3 x 35 menit atau satu
pertemuan/tatap muka. Tema yang diajarkan adalah tentang keluarga. Kegiatan inti
pembelajaran yang dilakukan, yaitu: (1) siswa melakukan tanya jawab tentang teks
yang dibaca, misalnya puisi tentang keluarga; (2) melalui tanya jawab siswa dapat
menjelaskan tentang dokumen pribadi dan keluarga; (3) siswa menghitung jumlah
dokumen pribadi dan keluarga yang dimiliki; (4) siswa menulis bilangan secara urut
dari 1-500. Pendidikan budi pekerti dapat dibelajarkan pada tiap-tiap tahapan kegiatan
pembelajaran tersebut.
Tahap pertama, ketika siswa tanya jawab tentang teks puisi keluarga, guru dapat
memberikan pemahaman tentang pentingnya patuh terhadap orang tua dan menjadi
anak yang berbakti. Tahap kedua, melalui tanya jawab tentang dokumen pribadi dan
keluarga, guru dapat memahamkan siswa arti sikap tanggung jawab di dalam keluarga,
kerja sama yang baik antaranggota keluarga, sopan santun terhadap orang tua. Tahap
ketiga, setelah siswa menghitung dan menulis bilangan, guru membudayakan ketelitian
pada setiap penugasan siswa, tata krama dan sikap menghargai antarteman yang belum
mengerti tentang materi pelajaran. Tahap keempat, setelah siswa selesai menulis
bilangan hendaknya guru memberikan arahan tentang sikap disiplin (tepat waktu)
dalam mengerjakan sesuatu, membudayakan antri ketika siswa berebut minta nilai
kepada guru.
Hal yang utama bagi guru sekolah dasar dalam merancang pembelajaran tematik
adalah guru harus mampu menjabarkan kompetensi dasar menjadi indikator-indikator
pembelajaran. Pemilihan tema sesuai dengan materi ajar yang diterapkan dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
35
kegiatan pembelajaran sebagai upaya pencapaian kompetensi dasar setiap siswa.
Adapun guru kelas rendah sekolah dasar dalam merancang kegiatan pembelajaran lebih
memperhatikan karakteristik siswa agar sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Karena
hal ini akan sangat berpengaruh pada siswa terutama daya tangkap materi pelajaran dan
hasil belajarnya. Pendidikan budi pekerti yang tersisip pada integrasi mata pelajaran
akan sangat membantu pembentukan kepribadian dan karakter siswa sekolah dasar
terutama untuk siswa kelas rendah. Diharapkan siswa memiliki budi pekerti yang baik
dan taat pada norma dimana pun ia berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, maupun lingkungan tempat tinggal.
PENUTUP
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor
penghambat pendidikan budi pekerti, baik faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal berasal dari siswa dan guru. Pada siswa, perlunya kepekaan, kesadaran diri, dan
kemauan yang terlihat dari cara siswa bersikap dengan teman maupun guru, apakah
menunjukkan tingkah laku yang positif atau tidak. Pada guru, kurangnya pemahaman
guru akan penyampaian pendidikan budi pekerti, dikarenakan adanya kegiatan guru
yang beragam di luar kegiatan mengajar. Faktor eksternal diidentifikasi dari latar
belakang setiap siswa, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal
yang mempengaruhi sistem pergaulan siswa sekolah dasar.
Pembelajaran tematik menitikberatkan kesesuaian tema terhadap materi
pelajaran yang diajarkan. Pembelajaran tematik disebut juga pembelajaran terpadu
karena melibatkan beberapa mata pelajaran. Pemilihan tema sesuai dengan materi ajar
yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran sebagai upaya pencapaian kompetensi
dasar setiap siswa. Adapun guru kelas rendah sekolah dasar dalam merancang kegiatan
pembelajaran lebih memperhatikan karakteristik siswa agar sesuai dengan kebutuhan
anak tersebut. Selain itu, pendidikan budi pekerti yang tersisip pada integrasi mata
pelajaran akan sangat membantu pembentukan kepribadian dan karakter siswa sekolah
dasar terutama untuk siswa kelas rendah.
36
36
Arifah
Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Model Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran SD/MI. Jakarta: Depdiknas.
Munasik. 2014. Kemampuan Guru Sekolah Dasar dalam Menerapkan Pembelajaran
Tematik di Sekolah. Jurnal Pendidikan, 15 (2) 2014, 105-113.
Setyowati, Erna. 2009. Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah.
Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan 39 (2) 2009, 148-154.
Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 20 (4) 2014, 483-498.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
37
PENANAMAN BUDI PEKERTI SISWA MELALUI PELAJARAN
BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR
Biya Ebi Praheto
Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email: [email protected]
Abstract
Decreased morale of young people should be a serious concern in all walks of life. This
makes the moral education needs to be intensified again through various fields, one of
which is integrated into the cargo subjects in school. Java language as one of the local
content subjects have enormous benefits in forming the character of students. Java
language classes contain not only language skills but also to load the noble values
Javanese philosophy which is strongly character value. Seeing this, the Java language
learning can not be underestimated. Teachers should be able to deliver the payload
character value to the students well. Mastery of the Java language as a language skills
have an important role in the preservation of culture, but the return of the moral
character of students is far more important than just the students memorize vocabulary
or the like. So that school learning not only requires students to be good at in terms of
cognitive but also to be facilitated in terms of planting manners and their application in
everyday life through the load of the Java language lessons.
Keywords: Character, Javanese Language Lessons
PENDAHULUAN
Dunia pendidikan di Indonesia sedang dicoreng oleh tingkah laku kenalakan
anak. Tidak hanya siswa tingkat menengah atas saja, tetapi diseluruh tingkatan
pendidikan. Banyak terjadi kasus kenakalan anak yang seharusnya menjadi
tanggungjawab semua lini atau pihak. Potret kenakalan remaja tersebut selalu mewarnai
berbagai media setiap harinya dari kasus yang ringan hingga kasus yang berat. Sebagai
contoh kenakalan remaja antara lain penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merokok,
tidak menghargai orang lain, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur dan lain sebagainya.
Lickona (2015: 5) menyebutkan bahwa perilaku anak-anak pada masa sekarang
telah berubah lebih jauh dalam hal keterlibatan diri mereka sebagai bagian dari
masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergambar dari perilaku
kekerasan yang dilakukan oleh remaja, tetapi juga dari berbagai bentuk ucapan dan
38
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
tindakan tidak terpuji yang juga sudah mulai dilakukan oleh anak-anak. Hal tersebut
tidak hanya dititikkan pada lingkungan sekolah saja, akan tetapi lingkungan masyarakat
dan lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya karakter anak.
Selain itu, kebijakan pemerintah berkaitan pelaksanaan pendidikan pun menjadi salah
satu factor yang dapat mendukung berjalannya pendidikan budi pekerti di sekolah.
Ki Hadjar Dewantara (2013: 70) menyebutkan bahwa di dalam kehidupan anakanak ada tiga tempat yang menjadi pusat pendidikan yang sangat penting yaitu alam
keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda. Hal tersebut sering kita kenal
dengan tripusat pendidikan yaitu pendidikan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Lickona (2015: 554) yang menyatakan bahwa
keberhasilan jangka panjang akan pendidikan nilai-nilai yang baru bergantung pada
kekuatan di luar sekolah pada taraf ketika keluarga dan komunitas bergabung dengan
sekolah dalam usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan akan anak-anak dan
membantu perkembangan kesehatan meraka.
Berkaitan dengan budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara (2013:25) menyebutkan
bahwa yang dinamakan budi pekerti atau watak yaitu bulatnya jiwa manusia, yang
dalam bahasa asing disebut karakter. Orang yang telah mempunyai kecerdasan budi
pekerti senantiasa memikirkan dan merasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan
dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Budi pekerti juga merupakan bersatunya gerak
fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga.
Budi Pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut
kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan
santun serta norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti dapat dirumuskan
sebagai upaya membina cipta, rasa, dan karsa seseorang yang diaktualisasikan ke dalam
sikap, kata-kata dan tingkah laku agar mereka tumbuh dan berkembang secara utuh
berdasarkan nilai-nilai luhur dan mulia baik dalam pandangan tuhan maupun dalam
pandangan manusia (Sutipto, 2014: 486). Sejalan dengan pendapat tersebut, Setyowati
(2009: 151) menyebutkan bahwa pendidikan budi pekerti dapat diwujudkan dalam
bentuk perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan dan kepribadian anak didik.
Pembelajaran budi pekerti di sekolah akan menuntun peserta didik dalam bersikap dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
39
berprilaku baik dilandasi nilai-nilai moral dan menjadikannya sebagai kebiasaan seharihari (Muslimah, 2013: 247).
Istilah budi pekerti tidak jauh berbeda dengan istilah karakter seperti yang di
sampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Khan (2010: 1) mengemukakan bahwa karakter
adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis,
integrasi pernyataan dan tindakan. Dalam Dorland’s Pocket Medical dictionary
dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh
individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu (Hidayatullah 2010). Di
dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik
tolak etis atau moral misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo dalam Hidayatullah, 2010:12). Jika dikaitkan
dengan pendidikan maka pendidikan karakter maupun pendidikan budi pekerti
merupakan pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara
dan
membantu
mereka
untuk
membuat
keputusan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, pendidikan karakter juga mengajarkan anak didik berpikir
cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Khan 2010:1-2).
Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter merupakan
berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan
bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anakanak dan remaja agar menjadi atau memiliki
sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab. Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari
istilah pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on
Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai
pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan,
penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter
moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut
secara
langsung.
Secara khusus, tujuan pendidikan moral adalah membatu siswa agar secara moral
lebih bertanggung jawab, menjadi warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien &
Brandt, 1997). Tujuan tersebut dilakukan dengan mengajarkan kepada siswa tentang
40
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian,
kebebasan, persamaan, dan rasa hormat atau kemuliaan. Jadi, pendidikan karakter
adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi berbagai aspek dalam
lingkungan sekolah baik ditanamkan pada siswa maupun diimplementasikan ke seluruh
perangkat sekolah.
Pendidikan budi pekerti harus diintegrasikan kedalam seluruh lingkungan
pendidikan baik di keluarga, masyarakat maupun sekolah. Selain itu, pendidiikan budi
pekerti dapat dan harus diintegrasikan ke dalam seluruh mata pelajaran. Tidak terkecuali
pelajaran bahasa Jawa. Pelajaran bahasa Jawa mengandung muatan yang cukup
kompleks, tidak hanya berkaitan dengan ketrampilan berbahasa dan sastra, melainkan
juga mengandung nilai-nilai kebudayaan Jawa yang luhur. Nilai-nilai luhur tersebutlah
yang perlu diajarkan atau disampaikan kepada peserta didik, sehingga yang diperoleh
peserta didik tidak hanya pengetahuan kognitif saja. Hal tersebutlah yang menjadi
tantangan guru dalam menanamkan budi pekerti ke dalam jiwa peserta didik. Akan
tetapi tidak hanya sebatas penanaman, melainkan sampai pada tataran tindakan dan
perilaku siswa sehari-hari.
Sutiyono (2013: 313) menyebutkan bahwa pendidikan budi pekerti merupakan
pilar yang amat penting untuk membangun karakter bangsa. Namun, kekurangan
pendidikan budi pekerti di Indonesia baru menyentuh pada tahap pengenalan dan
pemahaman nilai-nilainya. Padahal, pendidikan budi pekerti seharusnya dilakukan pada
tahapan internalisasi dan perilau nyata dalam kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN
Anak Usia Sekolah Dasar
Siswa sekolah dasar adalah mereka yang sedang menjalani tahap perkembangan
masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja awal. Pada masa usia sekolah dasar,
anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi
persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa. Anak diharapkan
memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang meliputi: a) Keterampilan
membantu diri sendiri. Pada masa ini, anak-anak mampu untuk membantu dirinya
sendiri untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dia mampu memecahkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
41
masalahnya sendiri sehingga ia dapat berintegrasi dengan lingkungannya. b)
Keterampilan sosial. Pada masa ini anak-anak mampu bersosialisasi baik dengan teman
seumurannya maupun dengan orang yang lebih tua/ muda darinya. c) Keterampilan
sekolah. Anak-anak pada masa ini mampu untuk bersekolah, mengikuti pelajaran, dan
menyerap pelajaran. e) Keterampilan bermain (Iskandarwassid, 2009: 139). Pada usia
anak sekolah dasar, anak-anak mampu bermain mainan untuk usia mereka.
Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan
keinginan anak untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman. Sejalan dengan itu,
Munjin (2008: 219) juga menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar terletak pada
masa perkembengan intelektual. Masa ini berlangsung antara 7-13 tahun atau masa
sekolah tingkat rendah. Pada fase ini perkembangan intelektual anak berlangsung secara
pesat, mulai tumbuh rasa keingintahuan yang besar sehingga ia akan senantiasa mencari
jawaban yang bisa memuaskan pikirannya bila ia mendapatkan masalah. Selain itu,
Peaget menyatakan bahwa anak usia 7-11 tahun terletak pada tingkatan operasi-operasi
berpikir konkret. Anak-anak di tingkatan operasi-operasi berpikir konkret sanggup
memahami dua aspek suatu persoalan secara serentak. Di dalam interaksi-interaksi
sosialnya, mereka memahami bukan hanya apa yang akan mereka katakana, tapi juga
kebutuhan pendengarannya. Ketika mereka menjalani eksperimen pengkonservasian,
mereka memahami bukan hanya perubahan yang terlihat mata, namun juga perubahanperubahan kompensatoris. Kalau begitu, kemampuan untuk mengkoordinasikan dua
perspektig secara serempak membentuk landasan bagi pemikiran social sekaligus
pemikiran ilmiah. (Crain, 2007: 199)
Berkaitan dengan perkembangan anak, Semiawan (2008: 21) menyatakan ada
dua hal yang terkait dengan perkembangan anak yaitu 1) perkembangan kognitif anak
pada umur ini menunjukkan bahwa ia berada pada taraf praoperasional sampai tahap
operasi konkret. 2) hal kedua terkait dengan fungsi otak. Seperti diketahui, kedua
belahan otak kiri dan kanan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Belahan otak kiri
memiliki fungsi, ciri, dan respon untuk berpikir logis, teratur dan linier. Sebaliknya,
belahan otak kanan terutama dikembangkan untuk mampu berpikir holistik, imaginatif,
dan kreatif. Bila anak belajar formal (seperti banyak hafal menghafal) pada umur muda,
maka belahan otak kiri yang berfungsi linier, logis, dan teratur amat dipentingkan dalam
42
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
perkembangannya dan ini sering berakibat bahwa fungsi otak kanan banyak digunakan
dalam berbagai permainan terabaikan. Akibatnya kelak anak akan tumbuh memiliki
sikap yang cendenrung bermusuhan terhadap sesama teman atau orang lain. Hal tersebut
menunjuk pada suatu pertumbuhan mental yang kurang sehat.
Melihat fase perkembangan anak usia sekolah dasar di atas, maka pada masa
inilah menjadi masa yang cukup potensial dalam hal menanamkan karakter budi pekerti.
Hal tersebut dikarenakan, segala sesuatu yang diterima siswa dapat bertahan dalam
jangka panjang. Pada masa inilah yang nantinya akan membentuk karakter peserta didik
dimasa yang akan datang. Jika pendidikan disekolah dasar sudah mengalami degradasi
maka akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik di masa yang akan
datang. Oleh sebab itu, penanaman budi pekerti harus dilakukan sejak dini termasuk
pada masa usia sekolah dasar melalui berbagai lingkungan, baik keluarga, sekolah,
maupun masyarakat.
Proses Pembelajaran
Sejalan dengan pendidikan budi pekerti, Mulyasana (2015: 67) menyebutkan
bahwa orientasi pembelajaran antara lain diarahkan pada beberapa hal sebagai berikut: 1)
membantu menumbuhkan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, keadilan, kecerdasan, dan
akhlak mulia di kalangan peserta didik; 2) membentuk mental unggul dan mental juara;
3) meningkatkan kualitas logika, akhlak, dan keimanan secara seimbang; 4)
membebaskan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan,
ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidakadilan, dan dari buruknya hati, akhlak, dan
keimanan; 5) melatih daya ingat; 6) berorientasi pada manfaat praktis bagi peserta didik;
7) mempersiapkan masa depan peserta didik yang lebih berkualitas, mandiri,
berkepribadian, dan berdaya saing; 8) meningkatkan kemajuan iptek, modernisasi dan
industrialisasi sehingga denga itu peserta didik dapat menggali dan memberdayakan
kehidupan dunia secara efektif dan optimal. Sholeh (2007: 131) menyebutkan bahwa
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam
menciptakan lingkungan belajar untuk memiliki pengalaman belajar.
Di sisi lain, makna belajar adalah perubahan yang relative permanen dalam
perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
43
Arti dan makna pembelajaran ialam membelajarkan siswa menggunakan asas
pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan (Kompri,
2015:225). Isdisusilo (2012: 155) menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran dirancang
untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui
interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar
lainnya dalam rangka pencapaian KD. Kemudian pengalaman belajar memuat
kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Berdasarkan
penjelasan
mengenai
pembelajaran
di
atas
maka
tujuan
pembelajaran salah satunya adalah merubah sikap siswa dan menanamkan nilai
kebaikan di dalamnya. Berkaitan pendidikan budi pekerti sudah sepatutnya untuk di
integrasikan ke dalam semua bidang. Baik dalam tataran teoritis maupun aplikatifnya di
dalam pendidikan sekolah, masyarakat, maupun keluarga.
Penanaman Budi Pekerti Siswa Melalui Pelajaran Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bagian dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Hingga
sekarang ini bahasa Jawa masih dilestarikan melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu
dengan memasukkan bahasa Jawa menjadi salah satu pelajaran di sekolah dari tingkat
SD hingga SMA. Perhatian terhadap pelajaran bahasa Jawa tidak hanya dalam tataran
kognitif penguasaan bahasa, akan tetapi termasuk nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya sebagai bentuk dari kebudayaan Jawa.
Di dalam Perda Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan
Aksara
Jawa
pada
pasal
3
menyebutkan
bahwa
perlindungan,
pembinaan,
pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Jawa bertujuan untuk: 1) menjaga dan
memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi factor penting
untuk peneguhan jati diri daerah; 2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara
Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; 3)
mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam budaya
Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan
Nasional; dan 4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana
untuk pembangunan karakter dan budi pekerti. Sejalan dengan itu maka tujuan
pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tidak hanya mengajarkan kemampuan bahasa,
44
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
sastra, maupun aksara Jawa dari segi kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis saja. Akan tetapi juga harus mengajarkan nilai yang terkandung
di dalam budaya Jawa.
Muatan pelajaran bahasa Jawa sebagai bagian kebudayaan Jawa mengandung
nilai-nilai luhur masyarakat Jawa. Sebagai contoh terdapat materi menyanyikan
tembang dolanan Jawa seperti gundul-gundul pacul. Dalam tembang tersebut
mengandung makna filosofi yang sangat tinggi sehingga tidak hanya mengajarkan siswa
untuk dapat menyanyikannya melainkan juga menanamkan nilai yang terkandung di
dalam tembang tersebut.
Berdasarkan beberapa hal di atas maka bahasa Jawa sebagai kearifan lokal
budaya Bangsa sangat sarat akan pendidikan budi pekerti. Istilah budi pekerti yang di
sepadankan dengan karakter bukanlah hal yang asing. Usulan tentang pendidikan budi
pekerti bukanlah sesuatu yang baru. Dalam rencana pelajaran pada tahun 1947 sudah
terdapat pendidikan budi pekerti yang bersumber dari nilai-nilai tradisional, khususnya
yang terdapat dalam cerita pewayangan (Azra, 2001: 27).
Melihat besarnya makna pembelajaran bahasa Jawa sudah sepatutnya
pembelajaran bahasa Jawa tidak lagi di nomor duakan tetapi harus sejajar dengan mata
pelajaran yang lain. Hal tersebut dikarenakan, siswa pada masa sekarang tidak hanya
butuh memperoleh kemampuan akademik saja akan tetapi siswa juga harus dibangun
karakternya sehingga mampu menjadi manusia yang unggul di masa yang akan datang
sebagai pemegang tombak estafet yang akan memajukan bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar, guru harus
mampu mengajarkan nilai-nilai yang terkandung pada materi pembelajaran. Telah di
contohkan sebelumnya terkait tembang dolanan gundul-gundul pacul. Contoh lain
penanaman budi pekerti melalui pembelajaran bahasa Jawa nampak pada materi aksara
Jawa, guru sebaiknya tidak hanya mengajarkan siswa bagaimana menulis dan membaca
aksara Jawa tetapi juga harus mengajarkan makna di balik aksara Jawa sebagai contoh
siswa diberi cerita sejarah terciptanya aksara Jawa yang mengandung banyak nilai.
Selain itu, setiap larik maupun setiap huruf aksara Jawa memiliki makna yang luhur dan
patut untuk disampaikan kepada siswa. Begitu pula dengan materi lain memiliki fungsi
sebagai penanaman budi pekerti.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
45
Di dalam Perda Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 disebutkan fungsi Bahasa,
Sastra, dan Aksara Jawa. Bahasa Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) sarana
komunikasi dalam keluarga dan masyarakat di daerah; 2) sarana pengungkapan dan
pengembangan sastra dan budaya Jawa dalam bingkai keindonesiaan; 3) pembentuk
kepribadian dan peneguh jatidiri suatu masyarakat di daerah; 4) sarana pemerkaya kosa
kata bahasa Indonesia dan wahana pendukung dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerah. Sastra Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) sarana
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat me-mahami nilai-nilai seni
dan budaya di daerah; 2) sumber kearifan budaya lokal untuk didayagunakan dalam
pembangun-an watak dan karakter bangsa; 3) sumber tata nilai budaya di daerah
sebagai masukan muatan lokal dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah; 4)
sumber tata nilai sosial dan kearifan budaya lokal di daerah untuk didayagunakan
dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Kemudian untuk aksara
Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) sarana untuk penulisan
sastra Jawa
sebagai sumber tata nilai budaya di daerah yang memiliki keunggulan; 2) sarana
ekspresi dan apresiasi dalam beraksara yang memiliki nilai-nilai estetika; 3) sarana
pembentukan karakter dan peneguhan jatidiri suatu daerah.
Melihat fungsi di atas semua berkaitan dengan karakter atau budi pekerti.
Sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menjadi guru yang
kreatif dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah terutama sekolah
dasar. Karena pada masa usia sekolah dasar siswa terletak pada masa perkembangan
konkret. Siswa melihat apa yang terjadi di lingkungan baik lingkungan sekolah,
keluarga, maupun masyrakat dan dapat menjadikannya sebagai pengetahuan. Oleh
sebab itu, penanaman budi pekerti harus dilakukan sedini mungkin termasuk di sekolah
dasar. Melalui pembelajaran bahasa Jawa yang penuh akan nilai luhur budaya bangsa,
siswa akan mendapatkan banyak hal seperti ikut melestarikan bahasa Jawa sebagai
kearifan lokal, menguasai bahasa Jawa, lebih peduli terhadap budaya, dan yang paling
penting adalah tertanamnya nilai budi pekerti di jiwa siswa dan akan menjadi karakter
unggul di masa sekarang maupun di masa yang akan datang ketika siswa beranjak
dewasa.
46
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
PENUTUP
Degradasi moral sebagai akibat negative arus globalisasi sudah terjadi di
berbagai bidang. Tidak terkecuali di dunia pendidikan. Menurunnya moral generasi
muda patut menjadi perhatian yang serius di semua lapisan masyarakat. Hal tersebut
menjadikan pendidikan budi pekerti perlu digencarkan kembali melalui berbagai bidang.
Salah satunya di bidang pendidikan.
Penanaman budi pekerti harus ditanamkan sejak dini seperti di sekolah dasar.
Hal tersebut dikarenakan anak usia sekolah dasar berada pada masa emas yang perlu
ditanamkan karakter sebagai bekal ketika mereka dewasa. Penanaman budi pekerti pada
masa ini dapat diserap siswa dan disimpan dalam jangka npanjang sehingga mampu
membentuk karakter yang baik dalam diri. salah satu cara penanaman budi pekerti yaitu
dengan mengintegrasikan budi pekerti ke dalam muatan mata pelajaran di sekolah.
Bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal memiliki manfaat
yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Pelajaran bahasa Jawa
tidak hanya memuat keterampilan berbahasa saja tetapi juga memuat nilai luhur falsafah
Jawa yang sangat sarat akan nilai budi pekerti. Melihat hal tersebut, pembelajaran
bahasa Jawa tidak dapat dianggap remeh. Guru harus mampu menyampaikan muatan
nilai budi pekerti tersebut kepada siswa dengan baik. Penguasaan bahasa Jawa sebagai
suatu keterampilan berbahasa memiliki peran penting dalam pelestarian budaya, akan
tetapi pengembalian moral budi pekerti siswa jauh lebih penting dari sekedar siswa
menghafal kosakata atau sejenisnya. Sehingga pembelajaran di sekolah tidak hanya
menuntut siswa untuk pandai dalam hal kognitif tetapi juga harus difasilitasi dalam hal
penanaman budi pekerti serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari melalui muatan
pelajaran bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti ‘Membangun Kembali
Anak Bangsa”. Jurnal Mimbar Pendidikan. No. 1/XX/2001
Crain, William. 2007. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Isdisusilo. 2012. Panduan Lengkap Menyususn Silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran. Yogyakarta: Kata Pena
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
47
Iskandarwassid, dan Sunendar, Dadang. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. PT
Remaja Rosdakarya: Bandung
Kompri. 2015. Motivasi Pembelajaran: Perspektif Guru dan Siswa. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Lickona, Thomas. 2015. Educating For Character – Mendidik Untuk Membentuk
Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara
McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The Language of Learning: A Guide to Education
Terms. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Mulyasana, Dedy. 2015. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Munjin. 2008. Internalisasi Nilai-nilai Budi Pekerti pada Anak. Jurnal Dakwah dan
Komunikas KOMUNIKA, Vol. 2 No. 2 Juli- Desember 2008.
Muslimah, Setyarini. 2013. Pembelajaran Budi Pekerti bagi Anak Usia Dini. Jurnal
Pendidikan Anak, Volume II, Edisi 1, Juni 2013
Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang
Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa
Semiawan, Conny. 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. PT
Indeks: Jakarta
Setyowati, Erna. 2009. Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah.
Lembar Ilmu Pendidikan Jilid 39, No. 2, Desember 2009
Sholeh, Moh. 2007. Perencanaan pembelajaran Mata Pelajaran Geografi Tingkat SMA
dalam Konteks KTSP. Jurnal Geografi Vol. 4 No. 2, Juli 2007
Sutiyono. 2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pembentukan Karakter
Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas. Jurnal Pendidikan Karakter,
Tahun III, No. 3, Oktober 2013
Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
Tim Penyusun. 2013. Ki Hadjar Dewantara-Pemikiran, Konsepsi, Keteladana, sikap
Merdeka Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: UST Press dan Majelis Luhur
Tamansiswa
Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for
teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership.
Williams, M. 2000. “Models of Character Education: Perspectives and Developmental
Issues”. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development.
48
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
MEMBANGUN BUDI PEKERTI SISWA MELALUI PEMBIASAAN PENGGUNAAN
BAHASA ‘JAWA’ DI SEKOLAH DASAR
Devy Riri Yuliyani
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Indonesian people is known as a friendly nation, these rights can be shown from the use of
language. Because language can reflect a person's personality. Java language has ‘unggahungguh’ are divided into three levels, namely language ngoko, madya and krama. The levels
are distinguished by the use of adjusted interlocutor. In the Java language reflected the norms
of propriety, manners, respect the younger and respect to elders. So students who are
accustomed to using the Java language would have, courteous, polite, manners and can put
themselves in the middle of the community association.
Keywords: Character, culture, education, Java language.
PENDAHULUAN
Latar belakang penulisan makalah ini diawali dengan adanya fenomena globalisasi
yang terus berkembang di dalam masyarakat. Proses globalisasi mempermudah masuknya
budaya asing terhadap budaya Indonesia, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi nilai-nilai
dan sistem budaya serta sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Seperti yang dikemukakan Muhammad Amin (2011: 216) bahwa
“sejarah telah membuktikan bahwa salah satu sebab kehancuran suatu bangsa adalah
masuknya budaya asing yang tidak terbendung sehingga menggilas budaya bangsa sendiri,
lambat laun budaya asing yang negatif mendominasi dan akibat fatalnya adalah hilangnya
budaya asli suatu bangsa. Dengan kata lain, hilangnya jati diri bangsa dan sama halnya
runtuhnya suatu bangsa.” Dengan hilangnya jati diri bangsa sangat berpengaruh terhadap
harga diri dan eksistensi suatu bangsa. Selain itu disadari atau tidak dalam pelaksanaan
pendidikan di Indonesia kurang menekankan tentang pendidikan moral. Pendidikan moral
dianggap sebagai pelengkap dalam kurikulum. Hal tersebut juga diungkap oleh Apandi (2015:
v) bahwa “gencarnya arus globalisasi dan belum optimalnya proses pendidikan saat ini
disinyalir sebagai penyebab lunturnya karakter bangsa.” Padahal segala perilaku manusia
tidak terlepas dari pendidikan, sebab pendidikan merupakan prores pembudayaan seseorang.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
49
Menurut Ristiani dalam Maryam (2010: 60) bahwa “pendidikan dapat diartikan
sebagai proses penyampaian kebudayaan (process of transmitting culture) yang meliputi
pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku tertentu.” Berdasarkan
hal tersebut, maka proses pendidikan dapat mempengaruhi kepribadian dan karakter
seseorang mulai dari cara berfikir dan sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi lingkungan
masyarakat. Pendidikan dengan berbasis budaya akan membuat masyarakat berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini karena
budaya dijadikan pandangan hidup mereka terhadap perilaku, nilai, dan kepercayaan.
Sehingga dapat diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu untuk membangun karakter/ budi pekerti harus dilakukan sejak
dini. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, hal tersebut dapat ditunjukkan
dari penggunaan bahasa. Bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Sehingga untuk
membangun budi pekerti dapat diupayakan dengan kebiasaan penggunaan bahasa daerah
dalam proses pendidikan di sekolah.
PEMBAHASAN
Membangun Karakter/ Budi Pekerti
Karakter sangat berkaitan dengan moral yang dimiliki seseorang dalam hal
pengetahuan, perasaan dan perilaku moral yang berpengaruh terhadap cara berpikir dan
bertindak. Menurut Samani dan Haryanto (2012: 41) bahwa “karakter dapat dianggap sebagai
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perilaku, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, adat istiadat, dan estetika.” Karakter sama halnya dengan budi pekerti. Karakter/ budi
pekerti menunjukkan etika yang baik pada saat berhubungan dengan orang lain. Karakter
harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang ditanam dalam diri seseorang yang akan
melandasi sikap dan perilaku seseorang tersebut. Dalam hal pembinaan karakter, lingkungan
sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang, dari lingkungan terkecil yaitu keluarga,
masyarakat dalam hal sosial budaya yang kemudian meluas di kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jadi karakter tidak lahir dengan sendirinya, tetapi karakter dapat dibangun, dibina,
dibentuk, dan dikembangkan. Dalam membangun karakter harus dilakukan secara terusmenerus, membangun karakter adalah proses yang tiada henti, karena karakter/ budi pekerti
50
Devy Riri Yuliyani, Membangun Budi Pekerti
terbentuk dari perilaku yang baik yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan agar manusia memiliki karakter sesuai
dengan kebudayaan bangsanya
(Muhammad Amin, 2011; Aqib, 2011; Kesuma, 2012; Lickona, 2013; Mu’in, 2001).
Huseein (2014) menjelaskan bahwa perpaduan antara budaya dan karakter dapat
dimaknai sebagai proses pendidikan yang secara aktif mengembangkan potensi warga
melalui proses internalisai dan penghayatan nilai-nilai yang menjadi kepribadian mereka
dalam bergaul di masyarakat yang lebih sejahtera dan bermartabat yang dapat menjadi
keunggulan bangsa. Kekayaan budaya suatu bangsa dapat berupa norma, bahasa, seni, tradisi
intusi, artifak, simbol-simbol dan pemikiran yang menjadi ciri khas bangsa tersebut. Adapun
menurut Tobroni (2012: 245) bahwa budaya dalam kontek pendidikan sebagai alat untuk
membangun karakter dan budaya bangsa dalam diri anak didik. Oleh karena itu membangun
karakter yang tidak didasari akan hal tersebut akan menyebabkan masyarakat tercabut dari
akar budaya.
Bahasa Jawa
Bahasa adalah gudang kebudayaan. Bahasa merupakan ucapan bunyi yang digunakan
seseorang untuk mengungkapkan maksud yang ada di pikiran, rasa atau kehendak. Jadi
bahasa dapat disebut sebagai ‘alat dari budi’ manusia. Bahasa sangat penting fungsinya
dalam proses pendidikan, bahkan sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya watak luhur
seseorang. Sehingga bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Dimana bahasa
menjadi alat yang penting untuk mencapai tujuan kulturil, yang mempertinggi derajat
manusia (Ki Hadjar Dewantara, 2013; Maryam, 2010). Mengingat peribahasa ‘bahasa
menunjukkan bangsa’ hal tersebut dapat mengandung pengertian bahwa baik buruk seeorang
dan karakter seseorang dapat dilihat dari tutur kata atau bahasanya.
Dahlan (dalam SaurI, 2006) mengemukakan bahwa tutur kata seseorang merupakan
manifestasi kualitas pribadi seseorang. Kata-kata yang keluar dari lidah seseorang merupakan
ungkapan isi kalbunya. Bahasa dapat membantu manusia untuk membangun cara berpikir dan
menciptakan dirinya sendiri. Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Timur dikenal dengan ramah
tamah dan saling menghormati. Hal tersebut ditunjukkan dalam bahasa yang digunakan orang
yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Penggunaan bahasa yang dilandasi etika akan
mencerminkan jati diri bangsa yang santun. Maryam (2010) menjelaskan bahwa etika jika
dihubungkan dengan penggunaan bahasa maka berhubungan dengan baik dan buruk, moral
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
51
dan tanggung jawab pada saat seseorang berbahasa. Etika berbahasa berhubungan dengan
nilai rasa. Nilai rasa erat hubungannya dengan hati nurani, perilaku sistem kebudayaan dan
keagamaan.
Etika berbahasa dalam Bahasa Jawa merupakan bentuk sikap hormat pembicara
kepada lawan bicaranya yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan. Menurut Suharti (2004)
bahwa perilaku berbahasa Jawa secara pragmatik adalah berkomunikasi dengan
menggunakan alat bahasa Jawa sesuai dengan situasi dan konteksnya, atau yang dibatasi oleh
faktor-faktor pragmatik, juga sikap santun yang ada pada diri pembicara dan lawan bicaranya,
yang disebut ‘unggah-ungguh’ berbahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan bahasa
yaitu ‘ngoko’ (kasar), ‘madya’ (biasa), dan ‘krama’ (halus). Tingkatan tersebut dibedakan
menurut penggunaan yang disesuaikan dengan lawan bicaranya. ‘Ngoko’ digunakan untuk
berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda. ‘Madya’ digunakan untuk berbicara
dengan orang yang cukup resmi. Bahasa ‘krama’ digunakan untuk berbicara dengan orang
yang lebih tua atau orang yang dihormati. Oleh karena itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa
yang baik yang mencerminkan karakteristik adat budaya Indonesia sebagai Bangsa Timur.
Dalam upaya menghidupkan bahasa Jawa, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan salah
satunya yaitu mempergunakan bahasa Jawa untuk semua sekolah di daerah Jawa sebagai
‘bahasa pengantar’, tetapi pada tingkatan yang tinggi harus mementingkan bahasa Indonesia.
Sehingga penggunaan bahasa Jawa ini cocok diterapkan dimulai dari tingkatan sekolah dasar.
Seorang siswa akan memiliki sopan santun yang baik terhadap gurunya jika dapat
menggunakan unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa tersebut. Kegiatan dari berbahasa
santun merupakan salah satu cermin dari perilaku budaya. Dalam bahasa Jawa tercermin
adanya norma-norma susila, tata-krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang
lebih tua. Sehingga siswa yang terbiasa menggunakan bahasa Jawa akan memiliki, sopan,
santun, tata krama dan dapat menempatkan diri di tengah pergaulan masyarakat.
PENUTUP
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap karakter/ budi pekerti seseorang, sehingga
membangun karakter adalah proses yang tiada henti yang harus dilakukan secara terusmenerus hingga menjadi kebiasaan. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan sangat
berpengaruh dalam pembentukan karakter/ budi pekerti, karena bahasa dapat mencerminkan
kepribadian seseorang. Bahasa Jawa mengandung norma-norma susila, tata-krama, sopan
52
Devy Riri Yuliyani, Membangun Budi Pekerti
santun, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Sehingga kebiasaan
dalam penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan pada anak sejak dini atau dimulai dari
tingkat sekolah dasar dapat membangun karakter/ budi pekerti peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. 2011. Pendidikan Karakter–Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa.
Bandung: Widya Wiksara Press.
Huseein, Hasmar. 2014. Urgensi Pembangunan Karakter Bangsa Dalam Mewujudkan
Kerukunan Antar Umat Beragama. Studi Multidisipliner. Volume 1, Edisi 1 21014/
1435 H.
Kesuma, dkk. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teoritik dan Praktik di Sekolah. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Ki Hadjar Dewantara. 2013. Ki Hadjar dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka I (Pendidikan). Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST – Press).
Liskona, Thomas. 2013. Educating For Character – Mendidik Untuk Membentuk Karakter.
Jakarta: Bumi Aksara.
Maryam, Siti. 2010. Budaya Nusantara Sebagai Basis Pendidikan: Kajian Teoritis dan
Empiris. Bandung: Celtics Press.
Mu’in, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik. Jogjakarta: ArRuzz Media.
Muhammad Amin, Maswardi. 2011. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Banduose
Media.
Sauri, Sofyan. 2006. Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: Genesindo.
Samani dan Haryanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Suharti. 2004. Pendidikan Sopan Santun dan Kaitannya dengan Perilaku Berbahasa Jawa
Mahasiswa. Jurnal DIKSI. Volume II, No. 1, Januari Tahun 2004.
Tobroni. 2012. Realisasi Kemanusiaan dalam Keberagaman (Mengembangkan Etika Sosial
Melalui Pendidikan). Bandung: Karya Putra Darwati.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
53
PENGGUNAAN LIRIK LAGU ANAK-ANAK SEBAGAI MEDIA
PEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR
Dintya Ayu Purika
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
The future generation largely been influenced by things that are negative, thus potentially lead
to deviant behavior and morals that are less good. School institution as a center of education has
an important role that the duty to give birth to men who believe, and devoted to God Almighty,
noble, healthy, knowledgeable, skilled creative, independent, and become citizens of a
democratic and accountable. The main target you want addressed in character education is the
cultivation of noble values into self-learners. In practice in the field, character education can be
embedded into all subjects. So in every subject should contain the spirit of the values of
character education. Therefore, to build character education one can use children's song lyrics as
a medium. Lyrics of songs kids can feel a positive influence on students. On average children or
students in Indonesia has always been taught to sing. In this way the lyrics of songs sung
expected to be internalized the meaning and his message, so that the children lyrics felt quite
effective as a way of instilling positive values to be applied in the daily life of the learners.
Keywords: children's song lyrics, Budi Character Education, Learning in Primary Schools
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat di
sekitarnya. Dalam suatu komunitas masyarakat ada berbagai macam lapisan masyarakat.
Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa maupun lansia. Anak-anak juga selalu
berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya terlebih lagi dengan keluarga inti. Hal ini
sejalan dengan pendapat (Suparno, et. al., 2002) bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
manusia saling berhubungan dan bekerja sama, bantu-membantu untuk memenuhi
berbagai kepentingan yang ada dalam kepentingan bersama, manusia memerlukan
berbagai norma sosial.
Menurut Suparno, et. al. (2002) bahwa sikap dan perilaku itu dapat dibagi
menjadi lima bagian, yakni sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, diri
sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, untuk
menjamin keharmonisan, keserasian, dan keseimbangan antara berbagai kepentingan,
54
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
hak, dan kewajiban dalam suatu masyarakat, norma-norma sosial tersebut seyogyanya
dihormati dan ditaati oleh setiap warga masyarakat termasuk juga oleh anak-anak. Peran
orangtua untuk memberikan pengertian-pengertian tentang hak dan kewajiban hidup
bermasyarakat sangat penting. Para orang tua haruslah memberikan pembelajaran
tersebut sejak dini. Agar saat mereka terjun langsung di sekolah maupun lingkup
pendidikan hal tersebut sudah tertanam dalam dirinya masing-masing. Adapun contoh
yang dapat diterapkan misalnya, anak-anak diajarkan untuk beribadah sesuai agamanya
masing-masing, diajarkan untuk bertutur kata dengan santun kepada orang yang lebih
tua maupun teman sebayanya, mengajarkan pada mereka untuk saling menyayangi
teman-temannya, dan mengajarkan pada mereka untuk saling tolong-menolong.
Pendidikan budi pekerti juga harus dibangun dalam lingkup pendidikan. Dalam
hal ini lebih difokuskan pada jenjang sekolah dasar. Setidaknya dalam usia 7-12 tahun,
anak-anak sudah bisa membedakan hal baik atau buruk. Dengan begitu penanaman nilai
budi pekerti akan lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Merujuk pendapat Megawangi
(2004) pendidikan budi pekerti merupakan satu-satunya faktor penentu derajat
seseorang, di samping sebagai pondasi bagi kecakapan hidup yang beradab dan
sejahtera.
Kecakapan hidup inilah yang harus dibangun sejak kecil oleh keluarga dan
lingkungan sekolah dari peserta didik. Oleh karena itu, guru sebagai orangtua kedua
peserta didik juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter siswa-siswinya.
Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam membangun pendidikan
budi pekerti kepada siswa-siswinya adalah dengan memilih media belajar bagi peserta
didik sebagai modal untuk membentuk budi pekerti mereka. Guru dapat menggunakan
lirik lagu anak-anak yang diciptakan oleh putra-putri bangsa Indonesia sebagai media
belajar budi pekerti. Memang saat ini jarang sekali di televisi menayangkan acara musik
untuk kalangan anak-anak. Bahkan pencipta dan penyanyi lagu pun jarang ada yang
menciptakan maupun menyanyikan lagu untuk anak-anak. Namun, hal tersebut tidak
begitu masalah apabila guru-guru dapat memanfaatkan media internet saat ini. Lirik
maupun lagu anak-anak di era 90-an dapat diunduh dengan cepat. Lagu-lagu di era
tersebut cukup baik untuk diperdengarkan kepada peserta didik. Selain itu, masih
banyak pencipta lagu-lagu anak yang sampai saat ini karyanya masih dikenal oleh
orangtua maupun guru-guru.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
55
Berdasarkan alasan-alasan di atas, hal yang akan dibahas dalam makalah ini
ialah penggunaan lirik lagu anak-anak sebagai media pembangun pendidikan budi
pekerti di sekolah dasar. Diharapkan dengan mengajari anak-anak menyanyikan dan
menghayati makna lirik lagu tersebut dapat mempengaruhi karakter budi pekerti dalam
diri peserta didik, sehingga di dalam kehidupan sehari-hari karakter pribadi masingmasing anak terbentuk dengan baik dan positif.
PEMBAHASAN
Musik merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seseorang yang dibuat sebagai
sarana hiburan dan mampu dinikmati siapa saja. Dalam kompleksitas musik itu sendiri,
tidak bisa dipisahkan dari lirik lagu. Lirik lagu merupakan puisi yang dilagukan, dari
berbagai sisi lirik lagu dan puisi memang tidak bisa dibedakan, namun pembeda
utamanya adalah perlakuan terhadap karya tersebut. Pada lirik lagu sewajarnya
dinyanyikan sesuai nada yang telah disiapkan, sedangkan puisi dibaca sesuai hakekat
membaca puisi. Bahasa yang digunakan di dalam puisi sama dengan bahasa yang
digunakan dalam lagu yakni menggunakan gaya bahasa yang estetis sebagai bentuk
keindahan nilai sastra.
Lirik lagu yang dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk membentuk budi
pekerti peserta didik adalah jenis-jenis lagu anak-anak, lagu kebangsaan, dan lagu-lagu
daerah. Di dalam isi lirik-lirik lagu tersebut terkandung makna-makna yang berarti dan
bernilai positif, sehingga member pengaruh yang baik jika dinyanyikan serta apa yang
diamanatkan di dalamnya dapat diterapkan peserta didik.
Melalui media dan bahan ajar berupa lirik lagu, keluarga dan lingkungan
diharapkan mampu membentuk karakter seseorang. Menurut Suwandi (2012: 3)
pendidikan keluarga dan lingkungan memiliki peran penting dalam membangun
karakter seseorang. Keluarga dan lingkungan memiliki porsi yang besar dalam
membentuk pribadi seseorang dalam kehidupannya. Pendidikan ini penting karena
manusia tidak cukup hanya dibekali dengan kecerdasan intelektual saja, melainkan
butuh kepribadian atau karakter yang cerdas. Dengan seperti itu diharapkan peserta
didik dapat memiliki budi pekerti yang baik dan benar, sehingga tumbuh di masyarakat
menjadi anak yang bisa diandalkan dan menjadi teladan.
56
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
Beberapa lirik lagu anak-anak yang dapat diajarkan di sekolah dasar antara lain:
Mengantar Ibu ciptaan Pak Kasur, Layang-layang ciptaan Pak Kasur, Kereta Baru
ciptaan Pak Kasur, Kucingku ciptaan Pak Kasur, Kring-kring ciptaan NN, Ke Pasar
Ikan ciptaan NN, Keranjang Sampah ciptaan NN, Ibu Pertiwi ciptaan NN, Ibu Kita
Kartini ciptaan WR Supratman, Gelang Sipaku Gelang ciptaan NN, Dua Mata Saya
ciptaan Pak Kasur, Kesayangan ciptaan Pak Dal (Daljono), Bangun Tidur ciptaan Pak
Kasur, Bintang Kecil ciptaan Daljono, Balonku ciptaan Abdulah Totong Mahmud,
Indonesia Raya ciptaan WR Supratman. Inilah beberapa lagu yang dapat diajarkan
untuk siswa-siswi. Di bawah ini contoh lirik lagu berserta analisis makna yang
terkandung dalam isi lagunya.
Bangun Tidur
Ciptaan: Pak Kasur
Bangun tidur kuterus mandi
Tidak lupa menggosok gigi
Habis mandi kutolong ibu
Membersihkan tempat tidurku
Berdasarkan lirik lagu di atas dapat dilihat bahwa pada lirik pertama
mengandung amanat semua anak-anak jika telah bangun dari tempat tidurnya haruslah
segera ke kamar mandi untuk mandi pagi. Lirik kedua, mengandung pesan jika saat
mandi anak-anak tidak lupa untuk menggosok giginya. Lirik ketiga, mengandung pesan
jika selaesai mandi haruslah menolong ibunya. Lirik keempat, mengandung pesan
bahwa anak-anak dapat menolong ibunya dengan membersihkan tempat tidur mereka
masing-masing.
Lagu Bangun Tidur karya Pak Kasur tersebut, jika diajarkan kepada peserta
didik di sekolah dasar khususnya tingkat dasar akan sangat efektif untuk memberikan
pengaruh positif bagi mereka. Anak-anak akan mengingat lirik-lirik lagu tersebut. Peran
guru juga tidak kalah penting, guru-guru harus menasihati mereka untuk menerapkan
amanat yang terkandung dalam lirik lagu Bangun Tidur di kehidupan mereka sehari-hari.
Orangtua juga harus mengajari anak-anaknya untuk menyanyi lagu-lagu tesebut,
sehingga nantinya mereka terbiasa melakukannya di rumah.
Menurut Herawati (2004: 227) bahwa lagu merupakan sebuah wacana yang
puitis, bahasanya singkat dan ada irama. Berdasarkan pendapat di atas, lagu merupakan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
57
sebuah wacana puisi yang bahasanya indah, singkat, berirama, dan mudah dipahami
pendengar atau pembacanya. Para peserta didik dapat dilatih untuk menyanyikannya,
sehingga manfaat menggunakan lagu ini tidak hanya mengajarkan mereka budi pekerti
yang baik dari amanat lagu tersebut. Namun, para peserta didik dapat belajar kosakata
bahasa dalam lirik lagu tersebut. Guru dapat menggunakan bahan ajar lagu untuk
mengajarkan pada siswanya kosakata-kosakata bahasa. Dengan menggunakan lirik lagu,
guru-guru dapat mengajarkan keterampilan berbahasa pula.
Musik sebagai salah satu sarana hiburan sering dijadikan panutan, berpikir dan
bersikap oleh penikmatnya sehingga perlu kejelian di dalam memilih lagu yang tepat
untuk dinikmati. Satiadarma (2004:185) menyatakan bahwa musik tidak hanya
memberikan pengaruh positif, tetapi juga bisa memberikan pengaruh negatif. Musik
yang bernuansa positif mampu memberikan nuansa positif yang bernilai edukatif bagi
kehidupan, sedangkan musik bernuansa negatif dapat memengaruhi pengembangan
sikap negatif pada diri seseorang. Musik berorientasi konstruktif membangun karakter
karena musik tersebut akan selalu diingat, dipahami dan lama-kelamaan akan ditiru.
Sementara itu, musik negatif berorientasi destruktif dapat menghembuskan
nuansa dendam. Bagi anak-anak di bawah umur musik bernuansa negatif dapat
membentuk pola pikir buruk karena musik tersebut akan selalu diingatnya,
menimbulkan sifat kebebasan, dan sifat tidak terpuji. Oleh karena itu, diimbau kepada
para guru dan orangtua untuk memilih lagu-lagu anak-anak yang baik dan mengandung
makna yang positif. Jangan sampai salah dalam pemilihan lagu untuk anak-anaknya
justru malah memberikan pengaruh tidak baik bagi mereka. Peran guru, orangtua dan
lingkungan adalah menyaring apa saja yang akan didengar oleh anak-anak. Dengan
begitu proses membentuk budi pekerti yang baik akan tercapai.
PENUTUP
Pendidikan budi pekerti dilakukan sebagai upaya pembinaan bagi peserta didik
agar menjadi orang-orang yang berwatak luhur dan berkepribadian yang terpuji sesuai
dengan nilai positif, norma agama, dan kemasyarakatan serta budaya bangsa.
Pencerminan karakter tersebut berupa religius, jujur, toleran, disiplin, bertanggung
jawab, percaya diri, peka terhadap lingkungan sekitar, demokratis, cerdas, kreatif,
inovatif, simpati dan empati.
58
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
Sekolah bukan hanya tempat untuk meningkatkan kemampuan intelektual saja,
tetapi juga memupuk rasa kejujuran, kebenaran, dan nilai pengabdian kepada
lingkungan masyarakat. Dengan menggunakan lirik lagu sebagai bahan ajar untuk
membentuk budi pekerti peserta didik diharapkan dapat membantu guru maupun
orangtua memberikan pengaruh positif pada anak-anaknya. Nilai-nilai positif itulah
yang diharapkan dapat menjadi panutan untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Herawati, Nanik. 2004. Analisis Wacana Syair Lagu Anak-anak Karya A.T Mahmud
Kajian Eksternal dan Internal. Kumpulan Analisis Wacana. Bandung : PT Intan
Sejati.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa.
BP MIGAS – Star Energy.
Satiadarma, P. Monty. 2004. Cerdas dengan Musik. Jakarta: PT Niaga Swadaya.
Suparno, P., Moerti Y. K., Detty T., & St. Kartono. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di
Sekolah, Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Suwandi, Sarwiji. 2012. Model Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Buku Ajar
Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia pada Mahasiswa FKIP Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: UNS Institutional Repository.
Wikipedia. 2016. Kumpulan Lagu Anak-anak Indonesia. Diunduh tanggal 14 Mei 2016.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
59
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BUDAYA
SEKOLAH DI SD
Dwi Wijayanti, M.Pd.
Dosen PGSD UST Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstract
Character education is an education that attempt to grow the humanity values. One of
the ways to do the character education is through formal education that is school. The
cultivation of character values need to be done since in the age of elementary school.
This is because the character development of the students always develops as they get
older. If they had been equipped with education character since they were in
elementary school, then the students can be expected to become good citizens.
Character education in Elementary school needs to be supported by the conducive of
school culture. School culture is a condition of school where the people establish good
interaction between each other. The development of character values through school
culture are: (1) through the self-development such as routine activities, spontaneous
activities, and live-in method, (2) through the interaction among the school
communities, exemplary, and the conditioning of school environment, (3) there are
roles of each school community that covers the role of headmaster, teachers, staff and
also students. Therefore, it is so important to develop the positive school culture
because it will encourage all of the school communities to work together in applying
the character values in daily life.
Key words: character, character education, school culture
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan karakter sering disebut juga dengan pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati. Di Indonesia pendidikan karakter ini sebenarnya terus dilakukan sebagai bagian
dari upaya dari nation and character building. Karakter yang ingin dibangun oleh
bangsa Indonesia sudah jelas yaitu manusia yang berjiwa Pancasila dan berdasarkan
UUD 1945.
60
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Persoalannya adalah mengapa akhir-akhir ini kita masih banyak menyaksikan
perilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial dari warga negara Indonesia
terutama dari kalangan pelajar misalnya vandalism, tawuran, bullying, pornografi
maupun pornoaksi dan lain sebagainya. Ditahun 2012 saja berdasarkan data yang
dihimpun dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tercatat sebanyak
147 kasus tawuran dan sudah memakan korban jiwa sebanyak 82 anak. Kemudian
sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar (SD,
SMP, SMA). Jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang
menggunakan narkoba. Di DIY sendiri, pengguna narkoba usia pelajar masih
mendominasi. Mulai Januari hingga April 2013 pengguna narkoba usia pelajar tercatat
110 anak sementara usia 30 tahun ke atas hanya 32 orang (Sindonews.com edisi Kamis,
22 Agustus 2013).
Kebanyakan penyebab perilaku menyimpang antara lain, minimnya pendidikan
karakter di kurikulum, pengaruh tayangan kekerasan dan terbatasnya ruang ekspresi
positif untuk peserta didik. Selain faktor tersebut, terdapat pemicu yang bisa dikatakan
paling konkret yang terjadi di lapangan yaitu kurangnya perhatian orang tua beserta
pihak sekolah pada anak. Mengingat banyaknya penyimpangan tersebut maka
pendidikan karakter sangat penting untuk diberikan kepada peserta didik. Pembentukan
karakter perlu dilakukan sejak dini seperti di sekolah dasar. Pembentukan karakter
dapat dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, kegiatan ektrakurikuler maupun
melalui budaya sekolah. Lebih lanjut dalam makalah ini akan dibahas mengenai
implementasi pendidikan karakter melalui budaya sekolah bagi peserta didik sekolah
dasar.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
61
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karater
Pendidikan karekter merupakan usaha yang menyeluruh agar orang-orang
memahami, peduli, dan berperilaku sesuai nilai-nilai etika dasar. Dengan
demikian objek dari pendidikan karakter adalah nilai-nilai. Nilai-nilai ini didapat
melalui proses internalisasi dari apa yang diketahui, yang membutuhkan waktu
sehingga terbentuklah pekerti yang baik sesuai dengan nilai (nilai-nilai hidup
yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat) yang ditanamkan (Nurul
Zuriah, 2011:38).
Lickona (1991: 51) dalam bukunya Educating for Character. How Our
School can Teach, Respect and Responsibility menjalaskan tentang pengertian
karakter dalam pembelajaran, yaitu:
Character consist of operative values, values in action. Character
conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling
and moral behavior. Good character consists of knowing the good,
desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the
heart and habits of action.
Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai-nilai
tindakan. Karakter yang dipahami mempunyai tiga komponen saling
berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral.
Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang
baik dan melakukan kebiasaan yang baik pula dari pikiran, kebiasaan dan
tindakan. Lickona (1991: 53) mendefinisikan tiga komponen dalam
membentuk karakter yang baik, yaitu:
62
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
Gambar 1. Components of Good Character (Lickona, 1991: 53)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MORAL KNOWING
Moral awareness
Knowing moral values
Perspective-taking
Moral reasoning
Decision-making
Self-knowledge
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MORAL FEELING
Conscience
Self-esteem
Empathy
Loving the good
Self-control
Humility
MORAL ACTION
1. Competence
2. Will
3. Habit
Berdasarkan gambar 1, dalam karakter yang baik terdapat tiga komponen,
yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Hal ini diperlukan agar
manusia mempu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai
kebajikan. Aspek-aspek dari tiga komponen karakter tersebut adalah (Lickona,
2012:86):
1) Moral knowing, terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya
moral knowing yaitu: 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) mengetahui
nilai moral (knowing moral values), 3) perspective taking, 4) penalaran moral
(moral reasoning), 5) membuat keputusan (decision making), 6) pengetahuan
diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif mereka.
2) Moral feeling, terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang
harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter
yakni: 1) nurani (conscience), 2) penghargaan diri (self esteem), 3) empati
(empathy), 4) cinta kebaikan (loving the good), 5) control diri (self control),
dan 6) kerendahan hati (humality).
3) Moral action, perbuatan atau tindakan moral ini merupakan hasil out come
dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong
seseorang untuk berbuat (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
63
karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan
(habit).
Dari bagan tersebut dapat diketahui untuk mengembangkan karakter
melalui tahap pengetahuan (knowing), kemudian berbuat (acting), menuju
kebiasaan (habit) dimaksudkan bahwa karakter tidak sebatas pada pengetahuan
saja, akan tetapi perlu ada perlakuan dan kebiasaan untuk berbuat sehingga
membentuk karakter yang baik. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses
menumbuhkembangkan
nilai-nilai
kejujuran,
ketaatan,
kedisiplinan
dan
tanggungjawab terhadap organisasi sekolah serta mendewasakan kepribadian
seseorang.
2. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada
satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:.
Tabel 1.Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa
No
Karakter
Deskripsi
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya
2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
4
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5
Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
64
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
8
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa
ingin Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
tahu
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
10
Semangat
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
kebangsaan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11
Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedu-lian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsa.
12
Menghargai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
prestasi
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13
Bersahabat/
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
Komunikatif
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14
Cinta damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
Gemar
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
membaca
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16
Peduli
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
lingkungan
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan
upaya-upaya
untuk
memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggung
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
jawab
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber : Kemendiknas.(2010). Pedoman Pendidikan Budaya Karakter Bangsa.
Jakarta: Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Hal 9-10.
B. Implementasi Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah di SD
Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran
penting dalam pembentukan karakter warga negara (good citizens). Sebagaimana
ajaran ki Hadjar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan (Saefudin dan Solahudin,
2009) meliputi:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
65
1) Lingkungan keluarga; pendidikan keluarga berfungsi sebagai pengalaman
pertama
masa
kanakkanak,
menjamin
kehidupan
emosional
anak,
menanamkan dasar pendidikan budi pekerti, memberikan dasar pendidikan
sosial, meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak
2) Lingkungan sekolah; melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan
seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain
sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan, di sekolah diberikan
pelajaran budi pekerti, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah,
dan sebagainya.
3) Lingkungan masyarakat; merupakan lingkungan keluarga dan sekolah.
Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak
untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar
dari pendidikan sekolah
Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan
dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang semakin
kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh
yang cukup besar pada pendidikan seorang individu. Maka lingkungan sekolah
dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan karakter,
budaya dan moral. Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya sekolah
yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga
sekolah untuk memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral
yang baik.
Kultur sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh
seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk
menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan
melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat
diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang
tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak
menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada (Zamroni, 2011: 297).
Di Sekolah Dasar (SD) penting sekali untuk mengembangkan Budaya
sekolah yang positif, karena akan mendorong semua warga sekolah untuk
66
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
bekerjasama yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga
sekolah,
mendorong
munculnya
gagasan-gagasan
baru,
dan
memberikan
kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah yang semuanya ini
bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat
menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk belajar, yaitu
belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu semangat di
kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu yang memiliki
nilai-nilai kebaikan. Mengimplementasikan pendidikan karakter di SD melalui
budaya sekolah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pendidikan Karakter melalui Pengembangan Diri
Pengembangan karakter selain melalui kegiatan belajar dapat juga dilakukan
melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:
a. Kegiatan rutin
Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus
menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari
Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket
kelas, shalat berjamaah. dll. Ketika mengikuti sebuah upacara, peserta didik
SD belajar mendisiplinkan diri mulai dari kelengkapan berpakaian,
ketertiban berbaris hingga kekhidmatan upacara. Nilai karakter yang dapat
ditanamkan melalui kegiatan ini antara lain disiplin, semangat kebangsaan,
cinta tanah air.
b. Kegiatan spontan
Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga,
misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena
musibah
atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
Kegiatan ini dapat melatih
peserta didik di SD untuk berempati (empathy) dan bersimpati (sympahty)
terhadap permasalah sosial yang muncul di sekitarnya. Kegiatan ini dapat
menanamkan karakter toleransi, bersahabat, peduli lingkungan dan peduli
sosial.
c. Kegiatan ekstrakurikuler
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
67
Kegiatan ekstrakurikuler
yang
mendukung
pendidikan
karakter
memerlukan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas
sumber daya manusia, dan revitalisasi kegiatan yang sudah dilakukan
sekolah. Misalnya ektrakulikuler Pramuka, nilai yang dapat diajarkan adalah
disiplin, tanggung jawab, kerjasama, nasionalisme dan patriotisme dll sesuai
dengan Dasa Dharma Pramuka dan tri Satya. Setiap SD memiliki kegiatan
ekstrakurikuler yang berbeda-beda, sehingga kesempatan pendidikan
karakter juga semakin luas.
d. Metode Live In
Metode live in dimaksudkan agar peserta didik mempunyai
pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat
berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung,
peserta didik dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara
pikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidup. Live in
tidak harus dilaksanakan berhari-hari secara berturut-turut. Kegiatan ini
dapat juga dilaksanakan secara periodik (Nurul Zuriah, 2011: 95). Misalnya
peserta didik diajak berkunjung ke panti asuhan anak-anak cacat. Di sana
peserta didik terlibat untuk melaksanakan tugas-tugas harian yang mungkin
dijalankannya, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan tiak berbahaya
bagi kedua belah pihak. Membantu ddan melayani anggota panti asuhan
yang cacat akan memberi pengalaman yang tidak hanya sekedar lewat.
Dengan cara ini peserta didik diajak untuk mensyukuri hidupnya yang
jauh lebih baik. Dari orang yang dilayaninya. Peserta didik perlu bimbingan
untuk merefleksikan pengalaman tersebut, baik secara rasional intelektual
maupun secara batin rohaniahnya. Hal ini perlu dilakukan agar anak
menanggapi pengalaman ini secara wajar dan tidak berlebihan. Nilai
karakter yang ditanamkan melalui metode Live In yaitu religious, peduli
sosial, dan bersahabat. Metode ini memiliki kelamahan yaitu membutuhkan
perencanaan yang matang, waktu persiapan yang cukup lama, mengeluarkan
biaya lebih, dan juga membutuhkan pengawasan ketika peserta didik nanti
terjun ke lapangan. Terlebih peserta didik SD merupakan peserta didik yang
aktif.
68
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
Baik kegiatan rutin, kegiatan spontan dan kegiatan studi lapangan
(metode live-in) merupakan aspek dari moral action atau tindakan moral
yang didasari oleh pengetahuan moral (moral knowing) dan perasaan moral
(moral feeling). Dengan demikian pendidikan karakter jelas bahwa upaya
menanamkan nilai-nilai karakter tidaklah cukup diajarakan dalam bentuk
pemberian materi-materi di dalam kelas tetapi juga perlu adanya praktek
dan keteladanan.
2. Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter melalui budaya
sekolah mencakup semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah,
guru, konselor, tenaga administrasi dan peserta didik. Budaya sekolah adalah
suasana kehidupan sekolah dimana anggota masyarakat sekolah saling
berinteraksi. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter melalui
budaya sekolah meliputi:
a.
Interaksi
Antara peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, kepala sekolah
dengan guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik, konselor
dengan
peserta didik dan
sesamanya,
pegawai administrasi dengan
dengan peserta didik, guru dan sesamanya. Interaksi tersebut terikat oleh
berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di
suatu
sekolah. Misalnya ada budaya senyum, sapa dan salam dalam
interaksi tersebut. Nilai karakter yang ditanamkan dalam kegiatan
berinteraksi ini antara lain toleransi, menghargai orang lain, peduli sosial
dan demokratis.
b. Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu kunci berhasilnya sebuah tujuan
pendidikan karakter, terutama bagi peserta didik di SD. Proses
pembelajaran di SD lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat
konkret atau nyata daripada sekedar teori-teori. Oleh karena itu keteladanan
ini sangat penting. Tumpuan pendidikan karakter ada pada guru.
Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekedar melalui
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
69
sesuatu yang dikatakan dalam pembelajaran, melainkan tercermin dari
perilaku guru. Karakter guru akan berpengaruh terhadap warna kepribadian
peserta didik. Guru dapat menjadi idola dan panutan bagi peserta didik.
Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat berarti bagi
seorang peserta didik, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara
kata dan tindakan guru maka perilaku peserta didik juga akan tidak benar.
Misalnya guru mengajarkan karakter kebersihan dan kedisiplinan, maka
guru hendanya dapat berpenampilan rapi, sopan dan datang ke kelas tepat
waktu. Apabila guru berpenampilan yang tidak sesuai (mencolok) maka
bisa saja peserta didik akan meniru. Terlabih lagi apabila guru sering
terlambat masuk kelas. Peserta didik juga kemungkinan besar akan
menirunya. Oleh karena itu perlu da konsistensi guru sebagai pemberi
teladan yng baik.
c. Pengkondisian
Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan
pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet
yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan,
poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam kelas dll.
Proses pendidikan karakter melibatkan peserta didik secara aktif dalam
semua kegiatan keseharian di sekolah. Dalam kaitan ini, kepala sekolah, guru,
dan tenaga kependidikan lain diharapkan mampu menerapkan prinsip ”Tut
Wuri Handayani” dalam setia yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga
menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang
menyenangkan dan tidak indoktrinatif.
Keterlibatan semua warga sekolah, terutama peserta didik dalam
perawatan, pemanfaatan,
lingkungan
sekolah
pemeliharaan
sarana
dan
prasarana
serta
sangat diperlukan dalam rangka membangun atau
membentuk karakter peserta didik. Kondisi lingkungan sekolah yang bersih,
indah,
dan nyaman dengan melibatkan peserta didik secara aktif akan
menumbuhkan rasa memiliki, tanggung jawab dan komitmen dalam dirinya
untuk memelihara semua itu. Dengan demikian, diharapkan seluruh warga
70
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
sekolah, menjadi peduli terhadap lingkungan sekolah, baik fisik maupun (Jamal,
2011: 68).
3. Peran Warga Sekolah
a. Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka
pendidikan karakter melalui kepemimpinannya dan menciptakan budaya
sekolah yang kondusif. Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan
kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan
tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3)
tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa
besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan.
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap
guru lebih termotivasi untuk melaksanakan pendidikan karakter. Oleh
karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif,
kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
(1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya
menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan
dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka
mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang
dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman,
namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk
memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh
kepuasan.
Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran
yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada
gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. Apabila guru berkualitas maka diharapkan dapat menjadi model
keteladanan bagi para peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak
hanya berupa teori tentang nilai-nilai melainkan sudah menjadi praktek
sehari-hari di lingkungan sekolah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
71
b. Peran Guru
Peran Guru sebagai sumber belajar yang menguasai materi pelajaran,
sebagai fasilitator yang memudahkan peserta didik dalam kegiatan proses
pembelajaran, sebagai pengelola yang menciptakan iklim belajar yang
memungkinkan peserta didik dapat belajar secara nyaman,
sebagai
demonstrator yang mampu menunjukkan sikap terpuji dan bagaimana
caranya agar setiap materi pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh
peserta didik, sebagai pembimbing yang selalu membimbing peserta
didiknya menemukan berbagai potensi yang dimiliki sebagai bekal hidup
mereka untuk mencapai tujuan yang menjadi harapan bagi orang tua dan
masyarakat, sebagai motivator yang selalu memotivasi peserta didiknya,
dan juga sebagai evaluator yang menentukan keberhasilan peserta didik
dalam mencapai tujuan juga menentukan keberhasilan guru dalam
melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan (Fathurrohman
dan Sutikno, 2010:21-32).
Apabila para guru sudah mampu menjalankan peran seperti yang
tersebut di atas, maka kemungkinan besar tujuan pengajaran akan dicapai
baik oleh guru dan peserta didik. Guru harus menyadari peran profesinya
sebagai pendidik, yang bertugas tidak hanya sebagai penyampai materi,
namun juga sebagai pembimbing, motivator, fasilitator, evaluator dll bagi
peserta didiknya. Guru tidak hanya mengajarkan materi tetapi juga
mengajarkan nilai-nilai di setiap kegiatan belajar mengajar agar terbentuk
karakter peserta didik yang berbudi pekerti baik.
c. Peran Tenaga Kependidikan (Staff sekolah)
Tenaga kependidikan (staff sekolah) juga memiliki peran pendidikan
karakter. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keteladanan
melalui pelayanan yang baik kepada peserta didik. Misalnya dalam hal
pemberian informasi, ketika ada peserta didik yang menanyakan tentang
sesuatu informasi maka staff dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
peserta didik dengan terbuka, jujur dan ramah. Selain itu para staff juga
bisa bertindak sebagai model utnuk memberikan keteladanan yang baik
kepada peserta didik.
72
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
d. Peran Peserta didik
Dalam pendidikan karakter di sekolah peserta didik menjadi fokus
utamanya. Peran peserta didik dalam pendidikan karakter adalah sebagai
pelaksana/ eksekutor nilai-nilai karakter yang telah diajarkan. Peserta didik
dapat turut serta menciptakan budaya sekolah yang kondusif melalui
kepatuhan terhadap peraturan yang ada di sekolah. Peserta didik dapat
meneladani guru atau anggota sekolah yang lain yang memiliki karakter
baik. Dengan mempraktekkan nilai-nilai dalam kegiatan nyata maka
pendidikan karakter akan jauh lebih bermakna.
PENUTUP
Pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkembangkan nilai-nilai
kejujuran, ketaatan, kedisiplinan dan tanggungjawab terhadap organisasi sekolah serta
mendewasakan kepribadian seseorang. Pada dasarnya pendidikan karakter di sekolah
dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu dalam kegiatan beajar mengajar, pemgenbangan
diri dan budaya sekolah.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dapat mempersiapkan RPP yang
memuat karakter, menggunakan metode yang mendorong peserta didik untuk aktif,
serta penggunaan berbagai instrumen penilaian untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan dari penanaman nilai karakter. Pendidikan karakter dapat pula dilakukan
melalui pengembangan diri yang menjadi program sekolah. Pengembangan diri ini
meliputi kegiatan rutin, spontan, ekstrakulikuler dan live in. Penanaman nilai-nilai
karakter juga akan menjadi lebih efektif apabila didukung oleh budaya sekolah yang
sehat. Budaya sekolah yang sehat dapat tercipta melalui pola interaksi yang baik antar
anggota sekolah, adanya keteladanan yang diberikan oleh kepala sekolah, guru dan
staff terhadap para peserta didik, serta pengkondisian suasana sekolah.
Karakter kuat para pelajar akan terbentuk jika mereka mendapatkan pendidikan
dan pembelajaran bermakna. Untuk menunjang proses pembelajaran bermakna, perlu
guru yang profesional. Untuk meningkatkan keprofesionalan para guru, perlu adanya
pelatihan untuk para guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran; menggunakan
alat bantu atau media belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi anak,
dsb. Dengan demikian, para guru akan mampu meningkatkan akses pada anak-anak
untuk mendapatkan media belajar yang menarik dan menyenangkan, sehingga
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
73
pembelajaran lebih bermakna. Selain itu perlu adanya kerjasama yang baik antar warga
sekolah dalam menciptakan budaya sekolah yang kondusif agar peserta didik dapat
belajar dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrohman dan Sutikno.(2010). Strategi belajar mengajar. Bandung: Refika
Aditama.
Jamal, Ma’mur A.(2011). Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah.
Yogyakarta: Diva Press.
Kemendiknas.(2010). Pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran di sekolah
menengah pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas.
Kemendiknas.(2010). Pedoman pendidikan budaya karakter bangsa. Jakarta: Balitbang
Pusat Kurikulum.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for character. how our school can teach respect
and responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, Thomas. (2012). Educating for character, mendidik untuk membentuk
karakter, bagaimana sekolah dapat memberikan pendidikan tentang sikap
hormat dan tanggung jawab. (Terjemahan Juna Abdu Wamaungo). New York:
Bantam Books. (Buku asli diterbitkan tahun 1991).
Nurul Zuriah. (2011). Pendidikan moral dan pendidikan budi pekerti dalam persepektif
perubahan: menggagas plat form prndidikan budi pekerti secara kontekstual
dan futuristik. Jakarta: Bumi Aksara.
Saefudin, A. Azis dan M. Solahudin. (2009). Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar
Dewantara. Yogyakarta: Leutika.
Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Zamroni. (2011). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama.
Sindonews.com edisi Kamis, 22 Agustus 2013
74
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
CERITA ANAK SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI
PEKERTI PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR
Febriancy Ayu Valda Ciptani
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
The importance of moral education of children make various types of learning should
give an important role. It was also realized on the role of literature that gives a wide
range of values ​ to be used as guidelines for building moral education in primary
school learners. One type of literature that is easily understood and included in the
curriculum is a children's story. Through the children's story, learners are expected to
take lessons through story content presented. Overall the children's story has merit as,
(a) assist the formation of personal morals of children, (b) channeling need imagination
and fantasy, (c) boost verbal skills of children, (d) to stimulate interest in writing the
child, (e) to stimulate children's interest and (f) opening the horizons of knowledge of
children. While the overall character value can be retrieved through a mandate in
children's literature. Therefore the purpose of this paper is to indicate the benefits of
children's literature as a medium to develop the moral education of students in
elementary school tingkkat.
Keywords: children's story, character.
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang
dipandu dengan daya imajinasi dan kreasi, serta didukung oleh pengalaman dan
pengamatannya
berdasarkan
atas
kehidupan
pengalaman
hidup,
tersebut. Cerita dalam
sastra
dikreasikan
pengamatan, pemahaman, dan penghayatan
terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang secara faktual dijumpai masyarakat.
Oleh karena itu ia dapat dipandang sebagai sebagai salah satu interpretasi
terhadap kehidupan itu sendir (Nurgiyantoro, 2010: 5).
Selama ini pengajaran membaca sastra di sekolah cenderung konvesional dan
tak lagi dapat diandalkan untuk pembelajaran pada anak. Pelajaran membaca sastra
hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning sehingga pemahaman membaca
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
75
anak sangat buruk dan sering lupa akan bacaan yang telah dibacanya. Padahal
penerapan membaca cepat dan sepintas tersebut disinyalir tidak efektif diajarkan pada
anak. Jika pengajaran membaca cepat dan sepintas tersebut terus diajarkan ke siswa,
akan berdampak lebih buruk lagi. Pengajaran membaca anak seharusnya diajarkan
dengan penuh riang dan tidak ada unsur pemaksaan, karena sastra itu bersitat
fleksibel/santai sehingga membuat anak merasakan tertarik untuk lebih mendalami
sastra kelak dikemudian hari. Pola semacam itu jika diterapkan terus saat proses belajar
mengajar hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia dan sastra.
Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaranpelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan
pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa
untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Masalah itu tidak
akan pernah habis untuk dikupas dan tidak pernah tuntas dibahas. Maka dari itu, guru
hendaknya dengan seprofesional mungkin, begitu juga dengan murid-murid, setiap
tahun berganti murid, masalah yang dihadapi guru akan berbeda pula. Salah satu
masalah yang juga menarik untuk segera ditangani secara mendalam salah satunya
adalah permasalahan pembelajaran di dalam kelas.
Pembelajaran sastra di sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki rasa peka
terhadap karya sastra sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk mempelajarinya.
Siswa akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya, yakni
membantu berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan
rasa, dan menunjang pembentukan watak (Effendi, 1995: 76). Siswa perlu memperoleh
pemahaman bagaimana memahami karya sastra tersebut, disinilah pentingnya
pembelajaran apresiasi. Proses pengapresiasian unsur-unsur intrinsik yang terdapat
dalam karya sastra (cerita anak) dalam latar, tokoh, tema, dan amanat, melalui
pemahaman tentang bagaimana cara pengarang menyampaikan maksud, sikap, dan
penilaian tokoh cerita. Karena itu, guru diharapkan mampu memilih cerita anak yang
sesuai dan mendukung proses pengapresiasian tersebut demi tercapainya tujuan
pembelajaran sastra di sekolah. Berikut tiga aspek penting yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih bahan pembelajaran sastra, yakni (1) dari sudut bahasa, (2) psikologi,
dan (3) latar belakang budaya.
76
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
Pemilihan bahan pembelajaran sastra patut dipertimbangkan sesuai atau
tidaknya bahasa yang dipakai dalam karya sastra tersebut dengan tingkat penguasaan
bahasa yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar. Bukan hanya mempertimbangkan
kosakata dan tata bahasa, tetapi juga mempertimbangkan situasi dan pengertian isi
wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada (Rahmanto, 1993: 51). Jadi, sebagai
indikator kesesuaian bahasa tidak hanya dilihat dari bahasa yang digunakan secara
keseluruhan dalam karya sastra tersebut, tetapi juga bagaimana bahasa yang digunakan
oleh para tokoh, baik dari segi kebahasaan maupun kasantunannya.
Tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahaptahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam
banyak hal. Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya
terhadap; (a) daya ingat, (b) kamauan mengerjakan tugas, (c) kesiapan bekerja sama,
dan (d) kemungkinan pemahaman situasi pemecahan masalah yang dihadapi. Sebuah
karya sastra juga harus dilihat latar belakang yang meliputi hampir semua faktor
kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geografis, sejarah, pekerjaan,
kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika,
dan sebagainya. biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan
latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka,
terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka
dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.
PEMBAHASAN
Cerita Anak
Apabila dilihat dari konteks penulis dan pembacanya, cerita anak bukanlah
cerita yang harus ditulis oleh anak dan diperuntukkan oleh anak. Hal itu dikarenakan,
pertama, anak masih memunyai tingkat keterbatasan kreativitas berhubungan dengan
mencipta dan memahami kehidupan. Oleh karena itu, cerita anak terbuka untuk ditulis
orang dewasa (siapapun), tetapi karya yang dihasilkan untuk bisa disebut cerita anak,
secara bahasa dan isi haruslah sesuai dengan tingkat pemahaman anak terhadap
kehidupan. Kedua pada aspek pembaca, cerita anak boleh, bahkan mengharuskan
untuk dibaca orang dewasa, khususnya para orang tua, pemerhati anak. Dengan
dibaca oleh orang tua dan orang yang berhubungan dengan anak, maka mereka bisa
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
77
lebih memahami dunia anak dan bisa menyampaikan isi cerita itu sebagai bahan
dongeng pengajaran.
Dengan demikian, cerita anak, pada aspek internal karyanya itu bersifat
tertutup, yaitu harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual dan emosional
anak. Akan tetapi, pada aspek eksternalnya yang melibatkan penulis dan pembaca,
cerita anak itu bersifat terbuka. Artinya, siapa saja boleh menulis dan membaca
cerita anak. Semakin banyak masyarakat berpartisipasi
dalam
mencipta
dan
membaca cerita anak, maka pemahaman masyarakat terhadap anak semakin baik.
Tentunya
dengan apresiasi yang baik, maka masyarakat akan semakin bisa
memahami dan meningkatkan kemampuan kognisi, emosi, dan psikomotor anak.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 72) terdapat beberapa kaidah yang perlu
diperhatikan dalam pemertimbangan cerita anak, meliputi (1) cerita yang dikisahkan
memiliki
derajat
(plauisibilitas),
memiliki
unsur
mana
suka,
memiliki
pertimbangan bahwa secara logika diterima, (2) cerita senantiasa menjaga rasa ingin
tahu
(suspense)-nya
pembaca.
Cerita
yang
menarik
biasanya
mampu
menampilkan rasa ingin tahu dan atau rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya,
(3) cerita akan lebih mengesankan lagi jika berbagai peristiwa dan aksi seri itu
sekaligus menjanjikan sebuah kejutan, atau bahkan kejutan-kejutan, dan (4) cerita yang
dikisahkan haruslah merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara aspek yang satu
dengan aspek yang lain, antara peristiwa dan aksi yang satu maupun aksi yang lain,
saling terkait dan saling mempengaruhi untuk membentuk sebuah totalitas yang
padu.
Pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan
jiwa dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata
lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala
aspek yang berada dan mempengaruhi mereka. Menurut Huck (dalam Subyantoro, 2006:
44) ciri esensial sastra anak, termasuk cerita anak ialah penggunaan pandangan anak
atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner.
Endraswara (2002:119) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra anak termasuk di
dalamnya cerita anak ada tiga, yakni (1) berisi sejumlah pantangan, berarti hanya halhal tertentu saja yang boleh diberikan; (2) penyajian secara langsung, kisah yang
ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan; (3) memiliki
78
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan ajaran kepada anak-anak. Ciri cerita anak
berisi sejumlah pantangan berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan. Ciri
ini berkenaan dengan tema dan amanat cerita anak. Tema yang merupakan gagasan
cerita atau apa yang dipersoalkan dalam cerita, maka harus dipertimbangkan tema apa
yang cocok untuk anak-anak. Tidak semua tema yang lazimnya dapat ditemukan dalam
cerita orang dewasa dapat dipersoalkan dan disajikan kepada anak-anak. Tema yang
sesuai adalah tema yang menyajikan masalah yang sesuai dengan alam hidup anak-anak.
Misalnya tentang kepahlawanan, peristiwa sehari-hari, dan sebagainya. Selain itu,
biasanya amanatnya disederhanakan dengan menyediakan akhir kisah yang indah.
Unsur Intrinsik dalam Cerita Anak
Untuk mampu mengidentifikasi suatu, tokoh, watak, latar, tema, dan amanat
dalam cerita anak, siswa harus mampu menguasai keterampilan berbahasa yaitu
keterampilan membaca. Membaca itu sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan
serta dipergunakan untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis
kepada pembaca melalui media kata-kata atau bahasa tulis (Tarigan, 2008: 17). Sebuah
teks sastra yang tersaji di hadapan pembaca adalah sebuah kesatuan dari berbagai
elemen yang membentuknya. Pembicaraan unsur cerita fiksi anak berikut
difokuskan
terhadap
unsur-unsur
instrinsik.
lebih
Menurut Nurgiyantoro (2010: 222-
285) unsur-unsur instrinsik sastra anak meliputi.
1) Tema
Hakikat tema, secara sederhana diungkapkan Lukens (2003: 129) sebagai
gagasan yang mengikat cerita, sehingga tampil sebagai sebuah kesatupaduan yang
harmonis. Berbagai penjelasan tema yang teruraikan berkaitan dengan penelitian ini
dinilai dan dipandang dari ide pokok secara
moral
yang
tentunya
tidak
terlepas dari nilai didaktis. Kesatupaduan ini merupakan bagian yang terbesar dari
unsur moral. Tema,
setiap
fiksi
harus
memunyai
dasar
atau
tema
yang
merupakan sasaran tujuan. Dengan demikian tidaklah berlebihan bila dikatakan
bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting di dalam sebuah cerita.
Penafsiran tema dalam cerita menurut Waluyo (2011: 9) haruslah berdasarkan
pada hal-hal sebagai berikut: 1) jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian
cerita, 2) harus dapat dibuktikan secara langsung dalam teks prosa fiksi itu, 3)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
79
penafsiran tema tidak hanya berdasarkan perkiraan; dan 4) tema cerita berkaitan
dengan rincian cerita yang ditonjolkan (mungkin malahan disebutkan sebagai bagian
dari judul). Keempat
hal
tersebut
merupakan
dasar
yang
harus
dilakukan
pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita. Karena tema merupakan makna cerita,
maka tema bisa dipahami dengan proses pembacaan yang menyeluruh dengan cermat
memahami setiap unsur yang membangun karya sastra.
2) Tokoh
Tokoh (karakter), aktor atau pelaku dalam sebuah cerita disebut tokoh.
Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta
aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya (Nurgiyantoro, 2010: 75). Jenis
tokoh dalam cerita fiksi anak dapat dibedakan ke dalam berbagai
macam
kategori. Nurgiyantoro (2010:225-230) mengelompokkan jenis tokoh dalam cerita
fiksi anak sebagai berikut.
Pertama tokoh
rekaan
dan
tokoh
sejarah.
Tokoh-tokoh
dalam
fiksi
merupakan tokoh rekaan, artinya mereka bukan merupakan tokoh yang secara faktual
dapat ditemukan di dunia nyata atau di dalam sejarah. Tokoh-tokoh itu adalah
tokoh imajinatif, dalam arti tokoh yang diciptakan dari imajinasi pengarang,
maka tidak terlalu berlebihan tokoh-tokoh tersebut disebut sebagai anak kandung
pengarang. Tokoh sejarah yang diangkat ke dalam cerita fiksi juga tidak dapat
seratus persen
mempertahankan
jati
diri
sesungguhnya.
Hal
itu
terutama
disebabkan hakikat fiksi adalah karya imajinatif yang di dalamnya terkandung
unsur penciptaan.
Kedua, tokoh protagonis dan antagonis.
disebut hero, adalah tokoh
Tokoh protagonis sering juga
yang memanifestasikan nilai-nilai idealistik bagi
pembaca. Sementara itu tokoh antagonis menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2010:
76) adalah tokoh yang bisa dikualifikasikan sebagai tokoh jahat, pembawa bencana dan
tidak diidentifikasikan walau juga hebat, bahkan sebaliknya sering dibenci. Kedua
jenis peran tokoh ini mesti ada dalam cerita fiksi karena pada tarik-menarik
ketegangan antara kebaikan dan kejahatan itu pula, antara lain, sebuah cerita
menjadi menarik, menegangkan, dan akhirnya memberikan kepuasan lewat katarsis
dengan dikalahkannya tokoh yang berkarakter jahat.
Ketiga, tokoh putih dan hitam. Istilah tokoh putih dan hitam lazimnya
80
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
dimaksudkan untuk menyebut tokoh yang berkarakter baik dan buruk. Tokoh
protagonis yang adalah tokoh hero di atas dikategorikan sebagai tokoh putih, yaitu
tokoh yang berkarakter baik dan sekaligus membawa dan memperjuangkan nilai-nilai
kebenaran. Sebaliknya, tokoh antagonis yang notebene sebgai tokoh berkarakter
jahat dan sebagai pemicu konflik dan pertentangan-pertentangan dikategorikan
sebagai tokoh hitam.
Keempat, tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh berkarakter datar adalah
tokoh yang hanya memiliki karakter yang “itu-itu” saja, karakter yang tertentu dan
sudah pasti mirip dengan formula. Menurut Lukens tokoh dengan karakter ini
merupakan tokoh yang kurang penting. Dilihat
dari
segi
perannya
tokoh
bulat dapat merupakan tokoh protagonis dan dapat pula antagonis. Tokoh bulat
adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih. Watak tokoh jenis ini
tidak dapat segera ditafsirkan oleh pembaca karena pelukisan watak tidak
sederhana. Setiap manusia ada unsur baik dan buruknya, dan berbagai kekacauan
watak yang lain (Shanon Ahmad dalam Waluyo, 2011: 20). Tokoh berkarakter bulat
menurut Lukers dikembangkan secara penuh dan didemonstrasikan ke dalam aksi cerita.
Berkaitan dengan keseluruhan cerita menutnya, tokoh jenis ini lebih baik
penampilannya, lebih mengasyikkan, lebih realistis dalam mencerminkan kehidupan
yang senyatanya, dan karenanya lebih dapat dinikmati.
Terakhir, Tokoh statis dan berkembang.
Tokoh statis (static character)
dimaksudkan sebagai tokoh yang secara esensial karakternya tidak
mengalami
perkembangan. Sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita tidak mengalami
perubahan dan perkembangan karakter. Tokoh berkembang (developing character)
sering juga disebut sebagai tokoh yang dinamis (dynamic character), dipihak lain
dipahami sebagai tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan karakter
sejalan dengan alur cerita.
3) Alur
Alur cerita sering juga disebut plot. Alur cerita merupakan jalan cerita
yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab
akibat. Waluyo (2011: 9) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alur, yaitu
jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan
sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
81
peristiwa yang akan datang. Alur atau plot sering juga disebut sebagai kerangka
cerita. Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita anak adalah sederhana, tidak
membutuhkan analisis kognitif tinggi.
Waluyo (2002: 147) alur cerita meliputi tujuh tahapan, yaitu (a) eksposisi
adalah pemahaman awal atau awal dari suatu cerita. Pada tahap ini pengarang dapat
memperkenalkan tokoh-tokoh dalam novel, (b) inciting Moment adalah pengenalan
masalah yang dialami para tokoh dalam cerita, (c) rising Action adalah masalah
yang dialami oleh tokoh mengalami penanjakan atau meningkatnya masalah yang
dialami para tokoh cerita, (d) complication adalah masalah yang dialami para
tokoh semakin beragam. Masing-masing tokoh semakin menunjukkan karakter
asli mereka. Berbagai masalah muncul pada tahapan ini, (e) climax adalah puncak
dari masalah yang dihadapi para tokoh. Pada tahap ini masalah semakin memanas,
(f) falling Action adalah masalah yang dialami para tokoh mengalami penurunan, dan
(g) denoument/tahap penyelesaian adalah tahapan yang menunjukkan adanya
penyelesaian dari masalah yang dihadapi para tokoh cerita
Pengarang juga dapat memasukkan sub-sub plot dalam sebuah cerita
dengan
memunculkan
konflik-konflik
tambahan
yang
bersifat
menopang,
mempertegas, dan menginteksifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai alur atau plot di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa alur atau plot adalah deretan peristiwa yang terdapat dalam
sebuah karya sastra termasuk cerita anak.
4) Latar
Latar (setting), sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai dimana
terjadi
dan
kapan
waktu
kejadiannya
untuk memudahkan pengimajian dan
pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat
kejadian, latar waktu dan latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi
(Nurgiyantoro, 2010:85).
Fungsi latar menurut Waluyo (2006: 28) berkaitan erat dengan unsur-unsur
fiksi yang lain, terutama penokohan dan perwatakan. Fungsi latar adalah untuk: (1)
mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3)
memperjelas tema yang disampaikan, (4) metafora bagi situasi psikis pelaku, (5)
sebagai pemberi atmosfir (kesan), dan (6) memperkuat posisi plot. Berdasarkan
82
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
beberapa pendapat mengenai latar atau setting di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
latar atau setting adalah waktu, tempat, dan suasana dalam sebuah cerita. Latar atau
setting mempunyai kaitan erat dengan unsur-unsur fiksi yang lain.
5) Watak
Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh
yang ditafsirkan oleh pembaca, yaitu pada kualitas pribadi seorang tokoh (Jones dalam
Nurgiyantoro, 2005: 165). Waluyo (2006: 9) menyebutkan bahwa watak para tokoh
dalam fiksi digambarkan dalam tiga dimensi, meliputi (1) dimensi Fisiologis, yaitu
keadaan fisik tokoh misalnya umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri
khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk,
suka senyum/cemberut, dan sebagainya, (2) dimensi Psikologis, yaitu keadaan psikis
tokoh meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisi,
kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan sebagainya, dan (3) dimensi
Sosiologis, yaitu keadaan sosiologis tokoh meliputi pekerjaan, kelas sosial, ras, agama,
ideologi, latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan.
6) Amanat
Amanat dalam karya sastra sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungannya. Wujud amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan,
dan sebagainya. Amanat merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh
cerita. Jadi, amanat bukan merupakan bagian yang seakan-akan lepas dari kedua unsur
tersebut, yaitu unsur dialog dan tindakan tokoh cerita.
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam
karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan
makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya
sastra yang ditulisnya. Makna muatan adalah makna yang termuat dalam karya sastra
tersebut (Semi, 2003: 82). Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti
(meaning) dari karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari
karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat
kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna
karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung dibenarkan (Waluyo, 2002: 28). Cara
penyampaian amanat, pengarang tidak hanya melakukannya secara serta-merta,
melainkan lewat siratan dan terserah pembaca dalam menafsirkannya secara intenif.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
83
Amanat dipahami pengarang untuk menjawab problem sosial yan dihadapi pengarang
lewat karya sastra. Pesan yang akan disampaikan agar jelas tersurat ataupun sama.
Manfaat Cerita Anak dalam Pendidikan Budi Pekerti Anak
Cerita
dapat
digunakan
oleh
orang
tua
dan
guru
sebagai
sarana
mendidik dan membentuk kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya
atau cultural transmission approach (Suyanto dan Abbas dalam Musfiroh, 2008:
19). Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan diri anak melalui penghayatan
terhadap makna dan maksud cerita (meaning and intention of story). Anak
melakukan serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari interpretasi,
kompreherensi, hingga inferensi, terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di
dalamnya. Sampai saat ini, bercerita masih menjadi salah satu pilihan bagi orang tua
dan guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak. Hal itu didasari pada keyakinan
bahwa budi pekerti bukanlah mata pelajaran tetapi lebih merupakan program
pendidikan untuk menciptakan kondisi atau suasana kondusif bagi penerapan
nilai-nilai budi pekerti (Musfiroh, 2008: 21-22).
Cerita merupakan kebutuhan universal manusia, dari anak-anak hingga
dewasa. Cerita bagi anak-anak tidak sekedar memberi manfaat emotif tetapi juga
membantu pertumbuhan mereka dalam berbagai aspek. Cerita bagi anak memiliki
manfaat yang sama pentingnya dengan aktivitas dan program pendidikan itu sendiri.
Ditinjau dari berbagai aspek, manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Membantu Pembentukan Pribadi dan Moral Anak
Cerita mendorong perkembangan moral pada anak karena beberapa sebab,
a) menghadapkan anak kepada situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat
mungkin mirip dengan yang dihadapi anak dalam kehidupan, b) cerita dapat
memancing anak menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang nampak
tapi juga sesuatu yang tersirat di dalamnya, untuk menemukan isyarat-isyarat
halus yang tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
c) cerita mendorong anak untuk menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar
respon orang lain untuk dibandingkan, d) cerita mengembangkan rasa konsiderasi
yaitu pemahaman dan penghargaan atas apa yang diucapkan atau dirasakan tokoh
hingga akhirnya anak memiliki konsiderasi terhadap orang lain dalam alam nyata
84
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
(Nasution dalam Musfiroh, 2008: 82).
2) Menyalurkan Kebutuhan Imajinasi dan Fantasi
Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai
hal yang selalu muncul dalam pikiran anak. Menurut Musfiroh (2008: 83) seorang
anak membutuhkan cerita karena berbagai hal: a) anak membangun gambarangambaran mental pada saat guru memperdengarkan kata-kata yang melukiskan
kejadian. Rangsang auditif ini menstimulasi anak untuk terus menciptakan
gambaran visual; b) anak memperoleh gambaran yang masing. Hal ini menjadi
bahan baku anak dalam membangun skemata-skemata dalam pikirannya, c) anak
memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental. Hal ini membantu
mereka memberikan respon yang lebih baik saat menghadapi
realitas yang
sesungguhnya, d) anak memperoleh kesempatan menangkap imaji dari citraancitraan cerita: citraan gerak, citraan visual, dan citraan auditif, e) anak memiliki
tempat untuk melarikan permasalahan seperti keinginan untuk melawan, kemarahan,
rasa iri dan cemburu, serta ketidakberdayaan. Pada saat yang sama anak
memperoleh gambaran yang memaksa mereka melihat efek dari permasalahan itu,
f) anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab-akibat secara
imajinatif.
Hal
demikian
membuat
anak
lebih
meyakini
nilai-nilai yang
dirangkainya dan cukup mempengaruhi keputusan riil yang dibuat.
3) Memacu Kemampuan Verbal Anak
Cerita yang baik tidak hanya sekadar menghibur tetapi juga mendidik,
sekaligus merangsang berkembangnya
komponen
kecerdasan
linguistik
yang
penting, yakni kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis.
Cerita mendorong anak bukan saja menyimak cerita, tetapi juga senang bercerita
atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi dan terangsang
untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi karena dalam cerita ada
negosiasi, pola tindak tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji,
mematuhi larangan, dan memuji. Memacu kemampuan anak merupakan sesuatu yang
penting. Kemampuan berbicara sangat memengaruhi penyesuaian sosial pribadi
anak; a) anak yang pandai berbicara akan memperoleh pemuasan kebutuhan dan
keinginan, b) anak yang pandai berbicara memperoleh perhatian dari orang lain,
c) anak yang pandai berbicara mampu membina hubungan dengan orang lain dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
85
dapat memerankan kepemimpinannya daripada anak yang tidak pandai berbicara, d)
anak yang pandai berbicara akan memperoleh penilaian baik, kaitannya dengan isi dan
cara berbicara, e) anak yang pandai berbicara akan memiliki kepercayaan diri dan
penilaian diri yang positif, terutama setelah mendengar komentar tentang dirinya, f)
anak yang pandai berbicara biasanya akan memiliki kemampuan akademik yang lebih
baik, g) anak yang pandai berbicara lebih mampu memberikan komentar positif dan
menyampaikan
hal-hal
baik
kepada
lawan
bicara sehingga mempertinggi
kesempatan anak untuk diterima orang lain, h) anak yang
cenderung pandai memengaruhi dan meyakinkan teman
pandai
berbicara
sebayanya.
Hal
ini
mendukung posisi anak sebagai pemimpin (Hurlock dalam Musfiroh, 2008: 88).
4) Merangsang Minat Menulis Anak
Pengaruh cerita terhadap kecerdasan bahasa anak diakui oleh Leonhard.
Menurutnya,
mendengar
cerita memancing
dan membaca
cerita
rasa
kebahasaan
anak
akan
anak.
memiliki
Anak
yang
kemapuan
gemar
berbicara,
menulis dan memahami gagasan rumit secara baik. Hal ini berarti selain memacu
kemampuan berbicara, menyimak atau membaca cerita juga merangsang minat
menulis anak. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa cerita dapat menstimulasi
anak
membuat
cerita
sendiri.
Anak
terpacu
menggunakan kata-kata yang
diperolehnya, dan terpacu menyusun kata-kata dalam kalimat dengan perspektif
ceritanya sendiri.
5) Merangsang Minat Baca Anak
Anak berbicara dan mendengar sebelum ia belajar membaca. Tulisan
merupakan sistem sekunder bahasa, yang pada awal bahasa harus dihubungkan dengan
bahasa lisan. Oleh karena itu pengembangan sistem bahasa lisan yang baik sangat
penting untuk mempersiapkan anak belajar membaca. Topik cerita lisan mungkin
pula dijadikan topik tertulis (Smith dan Johnson dalam Musfiroh, 2008: 94). Menurut
Monks (dalam Musfiroh, 2008: 94) menstimulasi minat baca anak lebih penting
daripada mengajar mereka membaca. Menstimulasi memberi efek menyenangkan,
sedangkan mengajar sekaligus seringkali justru membunuh minat baca anak,
apalagi bila hal tersebut dilakukan secara terpaksa. Pengalaman menunjukan,
anak-anak
yang
memiliki
minat
86
dibairakan berkutat
secara
aktif
dengan
lingkungan
baca
dan kemampuan baca lebih besar daripada anak-anak yang
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
diajarkan membaca melalui drill. Bahkan pada saat drill membaca dilakukan secara
paksa dan ketat, anak menunjukan kemunduran minat baca.
6) Membuka Cakrawala Pengetahuan Anak
Setiap anak pada hakikatnya sangat tertarik untuk mengenal dunia, dan
arena dunia ini cenderung berkaitan dengan budaya dan identitas orang banyak, maka
anak juga tertarik untuk mengenal budaya dan ras lain. Cerita menurut Lenox
(dalam Musfiroh, 2008: 98) dapat menjadi sumber yang luar biasa
untuk
memperkenalkan pemahaman mengenai perbedaan ras dan etnik. Bercerita dapat
membawa anak pada sikap yang lebih baik, mempertinggi rasa ingin tahu,
kemisterian dan sikap menghargai kehidupan. Dalam hal ini, cerita dapat
dimanfaatkan sebagi cara untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara
harmoni dengan orang lain (dalam konteks yang luas) dalam kehisupan dunia yang
dinamik. Dengan kata lain melalui cerita seseorang dapat belajar memahami diri
sendiri dan memahami orang lain, serta bagaimana memahami cerita itu sendiri.
Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut
Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi
otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahaptahap berikutnya dapat
membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi
kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan dengan perasaan,
emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya
sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua
dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah
berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya. Apabila disinkronkan
ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pendidikan budi pekerti dicapai
mulai dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal
tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa
yang disikapinya. Oleh karena itu, melalui pembelajaran cerita anak peserta didik akan
mendapatkan tiga aspek sekalipun, yaitu aspek kognitif berupa pengetahuan peserta
didik tentang sastra dan karya sastra, aspek afektif berkaitan tentang rasa yang
didapatkan dari karya sastra, sedangkan aspek psikomotorik merupakan keterampilan
peserta didik untuk menghasilkan karya sastra.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
87
PENUTUP
Peran
cerita anak terhadap perkembangan pendidikan budi pekerti kiranya
perlu untuk diapresiasi. Pendidik harus mampu memilih dan memilah contoh cerita
yang baik untuk anak. Nilai-nilai yang terdapat dalam cerita anak secara implisit
ataupun eksplisit akan akan diterima peserta didik. Setelah membaca suatu karya
berupa cerita anak, peserta didik dituntuk untuk dapat menyebutkan unsur intrinsik
cerita anak. Pemahaman unsur intrinsik cerita memerlukan kemampuan daya
pemahaman sesuai dengan cerita anak yang dibaca. Unsur intrinsik dalam cerita anak
yaitu tema, amanat, alur atau plot, perwatakan dan latar. Maka dalam pembelajaran
sastra guru hendaknya memilih bahan pembelajarannya dengan mengutamakan karyakarya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Guru sastra hendaknya
memahami apa yang diminati para siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra
yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar kemampuan bayangan/imajinasi yang
dimiliki siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Cet. 1. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Endraswara, Suwardi. 2002. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra. Yogyakarta: CV.
Radhita Buana.
Haidar, Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children`s Literature. New York:
Longman.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. MEMILIH, Menyusun, dan Menyajikan Cerita Anak Usia
Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Subyantoro. 2006. Profil Cerita untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional; Aplikasi
Ancangan Psikolinguistik. Kajian Linguistik dan Sastra,18 (35).pp. A 183-195.
88
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
ISSN
0852-9604.
Diunduh
http://eprints.Ums.Ac.Id/364/01/19._subyantoro.pdf
dari
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Waluyo, Herman J. 2006. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret University Press.
Waluyo, Herman J. 2011. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
89
PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBUDAYA LINGKUNGAN
DALAM MEMBENTUK BUDI PEKERTI SISWA
Fitri Nurmawati
UniversitasPendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Indonesia problems that happen for the moment is character problems such as throw the
rubbish mistakenly, steal the traffic lamp, even corruption. Those problems have very
bad impact for others. Furthermore, character problems cansee from student behavior
which has bad manner to parent, teacher, and adult, fighting with their friends, using
bad language, passiveness for environment, roguishness by others, using drugs and
drinking bout, etc. Education system in the school must develop character of students
because school is strategic environment to build moral values so that students do good
things habitually. That habit attributed inside student and will be awareness for doing it
based on values, moral, and norms that act. Students as the rising generation shaped to
be virtuous citizen early on. In character development especially care about
environment can through school based environment. School based environment educate
students for developing environmentally conscious character. Environmental education
applied in school based environment can do by many programs, events, and methods
that integrated on every lesson, many habitual that do continuously with supported by
school infrastructure and good example from teachers and school leadership. In
character development need collaboration for all school parties based on their role and
function.
Keyword: character development, school based environment, environmental education,
environmentally conscious character
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan
permasalahan mengenai budi pekerti bangsa. Indonesia dengan berbagai kekayaan
sumber daya alam dan budaya dapat berkembang dengan baik jika diikuti oleh
perkembangan karakter warga negaranya yang baik pula. Di Indonesia banyak sekali
orang yang berprestasi secara akademik namun tidak diikuti dengan penerapan budi
pekerti yang baik, sehingga terjadi hal-hal yang menimbulkan ketidakjujuran dan
ketidakadilan. Permasalahan budi pekerti seperti membuang sampah sembarangan,
menyerobot lampu merah, sampai korupsi memiliki dampak yang sangat besar. Dampak
tersebut tidak hanya dirasakan oleh pelakunya saja melainkan juga pihak-pihak yang
90
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
tidak bersalah yang justru terkena dampak negatifnya. Permasalahan budi pekerti
tersebut juga terjadi pada siswa sebagai generasi muda. Tak jarang saat ini dapat dilihat
perilaku siswa yang tidak sopan terhadap orang yang lebih tua darinya, banyak terjadi
perkelahian antarsiswa, penggunaan bahasa yang tidak baik, ketidakpedulian terhadap
sesama dan lingkungan sekitar, penggunaan obat terlarang, bahkan terjadinya
pembunuhan.
PEMBAHASAN
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan
budi pekerti ini, karena bersifat preventif dalam peranannya membangun generasi baru
yang lebih baik. Pendidikan budi pekerti ini memiliki misi yang sama dengan
pendidikan karakter yakni menanamkan kebiasaan yang baik kepada siswa agar ia
mampu membedakan perilaku yang benar dan salah, serta memahami, merasakan, dan
melakukannya dalam sebuah sikap dan tindakan. Penanaman kebiasaan baik tersebut
dilakukan tidak hanya di lingkungan sekolah, namun juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sebagaimana pernyataan Dewantara (2013: 70) bahwa ”tri pusat
pendidikan karakter yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan
keguruan, dan pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda”. Dalam
mencapai tujuan pendidikan termasuk pembentukan budi pekerti seseorang dipengaruhi
oleh lingkungan pendidikan yaitu pendidikan di lingkungan keluarga sebagai
pendidikan informal, pendidikan di lingkungan perguruan sebagai pendidikan formal,
dan pendidikan di lingkungan masyarakat sebagai pendidikan non formal. Ketiga
lingkungan pendidikan tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing dalam
mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Lingkungan yang baik dan kondusif,
senantiasa membentuk seseorang menjadi pribadi yang baik pula, dan sebaliknya,
terlebih anak-anak yang masih perlu dididik, diajarkan, dan dibiasakan hal-hal yang
baik agar karakter tersebut melekat dalam dirinya.
Budi pekerti meliputi sikap dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan
Tuhan, manusia, dan lingkungan. Seseorang yang bermoral memiliki hubungan yang
baik dengan ketiga komponen tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dikembangkan dalam Pancasila. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam Pancasila yaitu
nilai ketuhanan, nilai kemanusiaa, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
91
Indonesia sebagai negara yang berketuhanan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama
yang mengajarkan kebaikan terhadap sesama manusia serta lingkungannya. Manusia
diajarkan untuk mentaati setiap perintah Tuhannya, mencintai dan menghormati sesama
manusia, serta menjaga lingkungannya termasuk kebersihan, keamanan, kedamaian, dan
ketertiban untuk mencapai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pendidikan di sekolah selayaknya mengembangkan budi pekerti siswa karena
sekolah merupakan lingkungan yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai budi
pekerti agar siswa terbiasa dengan hal-hal yang baik. Kebiasaan tersebut akan melekat
dalam diri siswa dan menjadi sebuah kesadaran tersendiri dalam membiasakan
bertindak sesuai dengan nilai, moral, dan norma yang berlaku di lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Penumbuhan budi pekerti ini bias dikatakan sebagai
penanaman pendidikan karakter di sekolah kepada siswa. Siswa sebagai generasi muda
dibentuk untuk menjadi warga negara yang berkarakter sejak dini. Dalam
mengembangkan budi pekerti siswa khususnya budi pekerti terhadap lingkungan dapat
dilakukan melalui sekolah berbudaya lingkungan. Sekolah berbudaya lingkungan
mendidik siswa untuk mengembangkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Mulyana
(2009: 180) menjelaskan bahwa sekolah peduli dan berbudaya lingkungan (SPBL)
merupakan pintu gerbang bagi siswa dalam membentuk perilaku yang beretika terhadap
lingkungan. SPBL memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan kepedulian
terhadap kelestarian alam. Penanaman etika lingkungan di lingkungan sekolah secara
berkelanjutan diharapkan akan dapat tertanam kuat pada hati para siswa, sehingga akan
berbuah perilaku-perilaku yang mencintai alam beserta isinya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang
dilakukan di sekolah berbudaya lingkungan berupaya meningkatkan kemampuan
kognitif siswa yang berhubungan dengan pemahamannya tentang menjaga lingkungan,
kemampuan afektif yang berhubungan dengan kesadarannya terhadap lingkungan dan
psikomotorik yang berhubungan dengan tindakannya dalam melestarikan lingkungan.
Ketiga kemampuan tersebut memiliki peranannya masing-masing dalam kehidupan
sehari-hari siswa. Dengan demikian, dalam pembinaan budi pekerti siswa perlu adanya
keseimbangan dalam pengembangan ranah kogntif, afektif, dan psikomotorik.
92
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
Siswa yang melaksanakan pendidikannya di sekolah berbudaya lingkungan tidak
hanya mendapatkan pemahamannya tentang kepedulian terhadap lingkungan yang
diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran, namun juga menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Siswa dilatih untuk membiasakan berbagai kegiatan yang
dikembangkan oleh sekolah berkaitan dengan pengembangan kepeduliannya terhadap
lingkungan. Selain itu, siswa juga dilatih untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan
lingkungan sekolah dan sekitarnya yang diharapkan dapat diterapkan oleh siswa
dimanapun mereka berada. Kegiatan tersebut dapat berupa piket harian di setiap
masing-masing kelas setelah proses pembelajaran selesai, kerja bakti setiap hari Jumat,
perlombaan kelas terbersih yang diumumkan setiap hari Senin setelah upacara bendera,
membiasakan membuang sampah sesuai dengan jenisnya, adanya bank sampah untuk
pengumpulan barang bekas, pengolahan limbah, dan sebagainya. Dengan membiasakan
siswa untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian
lingkungan diharapkan dapat menumbuhkan etika lingkungan siswa.
Prasetya, et. al. (2009: 250) mengungkapkan bahwa etika lingkungan adalah rasa
menghargai/menghormati lingkungan yang berawal dari rasa cinta terhadap lingkungan
dan kesadaranakan keseimbangan dalam lingkungan hidup. Oleh sebab itu, tingginya
kadar etika lingkungan dapat menunjang timbulnya perilaku yang positif terhadap
keseimbangan lingkungan hidup. Berdasarkan pernyataan tersebut maka etika
lingkungan ini penting dimiliki siswa sebagai bekal untuk masa depannya kelak. Etika
lingkungan menjadikan siswa memiliki kesadarannya dalam menjaga lingkungan.
Lingkungan yang bersih dan nyaman akan menciptakan lingkungan yang sehat. Sekolah
berbudaya juga menerapkan pendidikan lingkungan dalam managemennya. Melalui
managemen sekolah yang berwawasan lingkungan, siswa dilatih untuk menerapkan
pemahamannya dalam kepeduliannya terhadap lingkungan melalui program yang
dikembangkan oleh sekolah. Program tersebut dilakukan secara konsisten dan terus
menerus agar menciptakan sebuah kebiasaan dan menjadikannya kesadaran dalam diri
siswa.
Pengembangan sekolah berbudaya lingkungan perlu adanya kejasama dari
semua pihak warga sekolah berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing. Selain itu,
hal yang perlu diperhatikan juga keteladan dari guru dan pimpinan sekolah mengingat
usia siswa sekolah dasar secara tidak langsung dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
93
orang dewasa di sekelilingnya. Siswa akan meniru perilaku yang dilakukan oleh guru
dan pimpinan sekolah, sehingga guru dan pimpinan sekolah perlu memberikan contoh
yang baik kepada siswa. Siswa akan dengan mudah melaksanakan perintah yang
diberikan guru maupun tata tertib yang berlaku di sekolah. Sebagaimana pernyataan
Marzuki (2015: 113) bahwa metode yang sangat efektif untuk pembinaan karakter siswa
di sekolah adalah melalui keteladanan. Keteladanan di sekolah diperankan oleh kepala
sekolah, guru, dan karyawan sekolah. Keteladanan di rumah diperankan oleh kedua
orang tua siswa atau orang-orang lain yang lebih tua usianya. Sementara itu,
keteladanan di masyarakat diperankan oleh para pemimpin masyarakat dari yang paling
rendah hingga yang paling tinggi
PENUTUP
Penanaman budi pekerti siswa dapat dilakukan melalui sekolah berbudaya
lingkungan. Sekolah berbudaya lingkungan mengembangkan budi pekerti siswa
khususnya
kepeduliannya
terhadap
lingkungan.
Pendidikan
lingkungan
yang
dikembangkan di sekolah berbudaya lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai
kegiatan dan metode diantaranya diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran, melalui
pembiasaan yang dilakukan sehari-hari secara terus menerus dan berkesinambungan
dengan dukungan sarana prasarana sekolah yang ramah lingkungan, dan adanya
keteladanan dari guru dan pimpinan sekolah. Selain itu, dalam mengembangkan budi
pekerti siswa perlu adanya kerjasama antar warga sekolah berdasarkan peran dan
fungsinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, K. H. 2013. Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta:
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa bekerjasama dengan Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Amzah
Mulyana, R. 2009. Penanaman Etika Lingkungan melalui Sekolah Peduli dan
Berbudaya Lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed Vol.6 No. 2,
Desember 2009
Prasetya, et. al. 2009. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: RinekaCipta
94
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
NILAI-NILAI FILOSOFIS JAWA PADA PERMAINAN TRADISIONAL
DI WILAYAH YOGYAKARTA
Galih Prabaswara Paripurno
Retno Setya Putri
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta
Email: [email protected]; [email protected]
Abstract
This research aims to reveal Java philosophical values within traditional game in region
of Yogyakarta, and to reveal its implementation in children’s social life. This research
utilized qualitative descriptive approach. Data were collected through observation, indepth interview, and document study. The result is that there are values that can create
children’s character in traditional game, which one of them is ‘’togetherness’’. Besides
that, there is an important philosophy in traditional game such as egrang, gobak sodor,
or sudhah mandhah, that ‘’the higher, stronger, or more you have or stand now, the
bigger the challenge or obstacle you will faced’’. Involvement from relevant parties are
needed in preserving, socializing, and mainstreaming the value or the benefit of
traditional game in social life.
Keywords: traditional game, philosophical values, children’s social life
PENDAHULUAN
Bermain
merupakan
kegiatan
yang
penting
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak. Dengan bermain anak
dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi
dengan baik. Menurut Bredekamp, S., & C. Copple, eds. (1997), bermain merupakan
alat utama belajar anak. Demikian juga pemerintah Indonesia telah mencanangkan
prinsip, “Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain”. Bermain yang sesuai
dengan tujuan di atas adalah bermain yang memiliki ciri-ciri seperti: menimbulkan
kesenangan, spontanitas, motivasi darianak sendiri, dan aturan ditentukan oleh anak
sendiri. Kegemaran anak dalam bermain ini kemudian menyebabkan munculnya
beragam permainan mulai dari permainan yang sederhana, menengah, sampai yang
paling kompleks.
Seiring dengan perkembangan zaman, permainan kini mulai berkembang
semakin modern.Permainan yang awalnya berorientasi pada fisik kini sudah bergeser
pada permainan digital.Seperti halnya permainan tradisional yang kini sudah tidak
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
95
begitu diminati lagi oleh anak-anak zaman sekarang.Permainan tradisional seperti dakon,
engklek, dan engrang misalnya, permainan ini kini hanya sering menjadi permainan saat
perayaan kemerdekaan saja sebagai perlombaan.Padahal, permainan fisik seperti ini
tentu saja banyak memberikan nilai-nilai filosofis Jawa yang baik dan dapat diambil
untuk diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk pembentukan
karakter anak.Hal ini seperti salah satu konsep jiwa dari Ki Hajar Dewantara yang
dikenal dengan “Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa.Cipta
merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebenaran.Rasa
merujuk
kepada
struktur
estetika
yang
berupaya
untuk
memperoleh
nilai
keindahan.Karsa merujuk kepada struktur etika yang berupaya untuk memperoleh nilai
kebaikan.Cipta-rasa-karsa, logika-etika-estetika dan kebenaran-keindahan-kebaikan
merupakan satu kesatuan yang dapat membuat kehidupan menjadi selaras, serasi dan
seimbang (Purwadi, 2007: 7).
Berdasarkan pemaparan inilah yang selanjutnya mendorong peneliti untuk
mencoba memaparkan nilai-nilai filosofis Jawa yang terdapat dalam permainan
tradisional.Hakikatnya, terdapat banyak nilai filosofis yang dapat diambil dan dipelajari
dari permainan tersebut, sehingga dapat diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang
muncul sebagai berikut. 1. Apa saja nilai-nilai filosofis Jawa yang terkandung di dalam
permainan tradisional yang ada di wilayah Yogyakarta? 2. Bagaimana implementasi
nilai-nilai filosofis tersebut dalam pergaulan anak-anak di dalam kehidupan sehari-hari?
TINJAUAN PUSTAKA
Manfaat Permainan
Ketika dua orang filsuf dan pengajar filsafat, Deleuze dan Guattari (1991; 6-11)
mengungkapkan bahwa ‘‘semua hal memiliki nilai di dalamnya’’, ini adalah sebuah
bukti bahwa filsafat berkaitan dengan segala hal. Hal ini didukung pernyataan Keller
(2006), bahwa filsafat itu tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari budaya maupun
politik. Sebaliknya, dalam tiap ilmu terkandung filsafat. Dari pemikiran tersebut, filsafat
tidak dapat digolongkan ke berbagai kelompok. Semua hal dapat menjadi bagiannya,
salah satunya mengenai permainan. Untuk memahami bagaimana nilai filosofis dalam
96
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
sebuah atau berbagai permainan, maka perlu diketahui terlebih dahulu, bagaimana
manfaat dan bentuk dari permainan yang ada.
Pada dasarnya, bermain memiliki berbagai macam manfaat. Russ (2004:34)
berpendapat bahwa permainan sendiri, selain memiliki filsafat sebagai latar belakang di
baliknya, dapat berfungsi sebagai terapi (Russ: 34). Hal ini erat kaitannya dengan
kehidupan tradisional serta kegiatan yang dilakukan bahwa jika manusia bergerak,
seperti melakukan olahraga, maka dari dalam tubuhnya akan timbul kegiatan pemulihan
diri. Jika dikaitkan dengan kehidupan, ada manfaat permainan, ditinjau dari segi fisik,
sosial, dan kognitif. Menurut Gleave dan Cole-Hamilton (2012: 6-13),
permainan
memiliki manfaat fisik dalam hal pentingnya direct relationship between physical
activity and children’s health. Dengan kata lain, bagaimana anak-anak membentuk
postur tubuh, tulang kuat, kekuatan otot, bahkan mengatur kondisi tubuh diatur dalam
permainan yang dilakukan.
Selain itu, Gleave dan Cole-Hamilton menekankan bahwa secara sosial, yang
terpenting adalah adanya manfaat bahwa anak-anak dapat berinteraksi dengan orang
lain. Dengan demikian, secara langsung ataupun tidak langsung, mereka menyadari
bahwa ada perbedaan budaya yang mungkin muncul dan mereka dapat menyadari
adanya perbedaan tersebut, salah satunya melalui permainan yang dilakukan. Tidak
hanya bermain dengan orang lain, anak-anak pun dapat bermain dengan orang tua
mereka. Power (2000), mengungkapkan bahwa orangtua jelas memiliki peran penting
dalam perminan dengan anak. Ketika anak-anak melibatkan orang tua mereka, atau
orang yang lebih tua sekalipun, sikap mereka tampak lebih dewasa dan mengerti
dibandingkan ketika mereka bermain dengan teman mereka sendiri atau bermain
sendirian saja. Ada pendapat menarik darinya, bahwa ‘’‘When parents play with infants
and young children, the complexity of children’s behaviour increases substantially both
in the duration of the social interactions and in the developmental level of children’s
social behaviour’’. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya manfaat permainan jika
ditinjau dari segi sosial, yang dapat meningkatkan bagaimana cara anak bersikap.
Dalam prosesnya, anak-anak membutuhkan peran penting dari orang tua.
Secara kognitif, manfaat permainan itu tidak terlihat secara eksplisit, namun
menurut Piaget dan Vygotsky, permainan dapat membentuk pengetahuan anak dan
pengembangan struktur kosakata anak. Contohnya, banyak permainan yang dilakukan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
97
dengan lagu atau kata-kata, yang secara langsung menambah pengetahuan sang anak.
Gleave dan Cole-Hamilton menambahkan bahwa selain menambahkan pengetahuan
akan kosakata, konsep dan kemampuan memecahkan masalah (dalam permainan itu
sendiri) juga merupakan poin plus dalam manfaat yang dapat terlihat secara kognitif.
Bentuk Permainan
Secara spesifik, Whitebread, dkk. (2012: 18-23), mengungkapkan, terdapat lima
jenis permainan yang dilakukan anak-anak, yakni sebagai berikut.
1. Permainan fisik
Permainan ini dilakukan anak pada masa umur mulai 4-5 tahun. Hal ini dimulai dengan
pergerakan anak-anak yang suka bermain lari-larian, kejar-kejaran, bahkan hingga
bermain tendang-tendangan, tarian, maupun bermain lompat-lompatan. Namun
demikian, permainan fisik ini tak terbatas pada hal itu saja. Hal lain yang bisa dilakukan
untuk mengasah kreativitas kedepannya seperti mewarnai, menjahit, dan lain
sebagainya.
2. Permainan dengan objek
Permainan ini dilakukan dengan menggunakan benda atau barang atau kosntruksi
tertentu. Misalkan saja, permainan membangun rumah-rumahan dilakukan pada usia
anak-anak dengan menggunakan balok-balok kayu, yang diberi warna-warna tertentu.
3. Permainan simbolis
Permainan ini dilakukan dengan memperdengarkan musik atau lebih umum lagi,
permainan dengan menekankan aspek bahasa di dalamnya. Misalkan saja, bermain kata
untuk meningkatkan kemampuan literasi anak. Untuk contoh permainan simbolis
dengan musik, hal ini banyak terdapat pada tarian-tarian yang dilakukan dengan
pergerakan permainan, seperti ibu yang menari-nari sambil menggendong anaknya,
bagaimana anaknya mengikuti dan senang terhadap hal tersebut.
4. Permainan peran/drama
Permainan ini lumrah dilakukan oleh anak-anak berusia setingkat sekolah dasar hingga
lanjutan. Hal ini digunakan untuk memberikan pengembangan kemampuan bahasa,
sosial, dan akademis pada umumnya.
5. Permainan dengan peraturan
Permainan ini juga lumrah dilakukan pada anak-anak hingga usia lanjut. Misalkan,
permainan sepakbola, bagaimana mereka bermain dengan baik, namun sambil tetap
98
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
memperhatikan peraturan, bahwa mereka tak boleh menggunakan tangan (kecuali kiper),
melanggar dengan keras hingga terkena kartu, dan lain sebagainya. Contoh lain juga,
adalah bahwa permainan ini melatih bagaimana anak-anak maupun orang dewasa dapat
berbagi, bergiliran, memahami satu sama lain, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat
pada permainan yang dilakukan lebih dari satu orang. Misalkan: monopoli, halma, catur,
dan lain sebagainya.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pemilihan
pendekatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai
filosofi jawa dalam permainan tradisional anak di wilayah Yogyakarta. Data
dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Observasi
dilakukan untuk melihat implementasi yang berkaitan dengan kegiatan maupun aktivitas
pembelajaran yang berhubungan dengan strategi pembentukan karakter. Data primer
diperoleh melalui hasil wawancara dengan informan atau narasumber penelitian, yakni:
kepala sekolah, ahli dalam permainan tradisional maupun filosofi jawa, guru, maupun
anak-anak. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan model analisis interaktif Miles & Huberman, yang terdiri dari
empat komponen, yakni: pengumpulan data, pereduksian data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Data yang telah dikumpulkan akan diuji keabsahannya dengan
menggunakan teknik trangulasi sumber dan metode.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini difokuskan pada beberapa permainan tradisional seperti; dakon,
egrang, gobak sodor, engklek, dan cublak-cublak suweng. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil, diantaranya:
1. Dakon
Dhakon berasal dari kata dhaku-an, yang berarti ‘’mengaku bahwa sesuatu itu
miliknya’’. Permainan ini dilatarbelakangi oleh kehidupan bertani yang digambarkan
melalui bagaimana petani mengolah sawah dan menanam padi untuk mendapatkan hasil
sebanyak mungkin dan kemudian disimpan di dalam lumbung. Menurut sejarah,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
99
permainan ini pertama kali dibawa oleh pendatang dari Arab yang rata-rata datang ke
Indonesia untuk berdagang atau berdakwah.
Permainan dakon berjumlah dua orang. Pada permainan ini, terdapat istilah
‘’lubang’’ untuk ‘’sawah’’ dan ‘’lumbung’’. Lubang lumbung terletak di ujung kanan
dan kiri. Sedangkan, lubang untuk sawah terdiri dari dua baris, yang masing-masing
baris berjumlh lima, tujuh, sembilan, atau sebelas, dan terletak diantara dua lumbung.
Untuk isiannya dapat menggunakan benik (kancing baju), biji buah, kerikil, dan lain
sebagainya. Permainan berjalan apabila sawah berjumlah sembilan, maka isiannya
masing-masing berjumlah sembilan biji pada tiap-tiap sawah. Kemudian, salah satu
pemain mengambil biji dari sawah paling ujung dan satu persatu biji itu dijalankan ke
lubang lainnya. Begitu juga dengan pemain yang kedua. Mereka saling bergantian
mengambil isian dari sawah mana saja dari sawahnya sendiri dan dijalankan sama
seperti sebelumnya hingga isian sawah habis. Ketika biji diambil dari satu lubang, ia
mengisi lubang yang lain, termasuk lubang pada lumbung. Pelajaran dari fase ini adalah,
setiap hari yang kita jalani, akan berpengaruh pada hari-hari kita selanjutnya, dan juga
hari-hari orang lain. Apa yang kita lakukan hari ini menentukan apa yang akan terjadi
pada masa depan kita. Apa yang kita lakukan hari ini bisa jadi sangat bermakna bagi
orang lain.Ketika biji diambil, kemudian diambil lagi, juga berarti bahwa hidup itu
harus memberi dan menerima.Untuk keseimbangan hidup, kita tidak hanya mengambil
saja, namun juga memberi.
Biji diambil satu persatu, tidak dapat diambil sekaligus.Maksudnya, kita harus
jujur untuk mengisi lubang pada papan congklak kita.Kita harus jujur mengisi hidup
kita.Satu persatu, sedikit demi sedikit, asalkan jujur dan baik, lebih baik daripada
banyak namun tidak jujur.Satu persatu biji yang diisi juga bermakna bahwa kita harus
menabung tiap hari untuk hari-hari berikutnya.Kita juga harus mempunyai tabungan,
yaitu biji yang berada di lubang induk.
Permainan dakon memerlukan siasat atau strategi yang bagus oleh si
pemain.Strategi ini digunakan agar memperoleh banyak biji dan meminimalisir biji
yang diambil lawan main.Maksud dari hal ini adalah hidup ini adalah persaingan,
namun bukan berarti kita harus bermusuhan. Karena setiap orang mempunyai
kepentingan dan tujuan yang (mungkin) sama dengan tujuan kita, maka kita harus
cerdik dan strategis. Pemenang adalah pemilik biji terbanyak di lumbung
100
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
besarnya.Pemenang menggambarkan orang yang sukses dan merupakan orang yang
mengumpulkan banyak kebaikan. Permainan dakon ini memiliki banyak manfaat antara
lain melatih dalam strategi, melatih kesabaran dan ketelitian, mengajarkan untuk
berhemat, melatih jiwa sportif, jujur, adil, tepa selira dan akrab dengan orang lain
(Susanti, dkk., 2013).
2. Sundhah Mandhah
Secara harfiah, ‘’Sundhah’’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘’bersih, tulus,
dan berkurang’’. Permainan ini sering juga disebut dengan Engklek/Ingkling.
Permainan ini menggunakan benda bernama ‘’gacuk/gaco’’, yang dapat terdiri dari
benda apa saja yang mungkin mewakili, sebagai penanda kotak yang akan dilompati
saat bermain. Permainan ini dilakukan dengan satu kaki untuk melompat, dan satu kaki
lain ditekuk. Kotak untuk lompat berjajar dua bersebelahan kanan dan kiri. Permainan
dimulai dari gacuk dari kotak pertama hingga akhirnya kembali pada kotak yang
pertama. Sundhah mandhah ini merupakan permaian yang bersifat fisik dan kompetitif.
Di dalamnya terkandung makna keseimbangan dalam hidup, kejujuran, maupun
ketepatan dalam mengambil keputusan. Permainan ini juga melatih anak untuk
berkonsentrasi, melatih untuk mengendalikan diri, dan belajar untuk memecahkan
masalah.Dalam implementasinya, anak dilatih berpikir bahwa keseimbangan dalam
hidup, kejujuran, maupun ketepatanmerupakan hal yang esensial. Secara langsung
maupun tidak langsung, permainan ini memberikan kepuasan pada anak, jika mampu
memenangkan permainannya.Hal ini seperti yang disampaikan oleh Iswinarti (2010:9)
dalam penelitiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai terapuitik yang
terkandung dalam permainan tradisional Engklek meliputi hal-hal diantaranya:
- nilai deteksi dini untuk mengetahui anak yang mempunyai masalah,
- nilai untuk perkembangan fisik yang baik. Aktivitas fisik meliputi kegiatan untuk
berolah
raga,
meningkatkan
koordinasi
dan
keseimbangan
tubuh,
dan
mengembangkan keterampilan dalam pertumbuhan anak,
- nilai
untuk
kesehatan
mental
yang
baik,
yaitu:
membantu
anak
untuk
mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara yang alami, mengurangi
kecemasan, pengendalian diri, pelatihan konsentrasi.
- Nilai problem solving, anak belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan
tersebut bisa ditransfer dalam kehidupan nyata.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
101
- Nilai sosial, anak belajar ketrampilan sosial yang akan berguna untuk bekal dalam
kehidupan nyata.
3. Egrang
Egrang berasal dari bahasa Lampung yang berarti ‘’terompah pancung’’, yang
terbuat dari bambu bulat panjang. Egrang terbuat dari batang bambu dengan panjang
kurang lebih 2,5 meter. Sekitar 50 cm dari bawah, dibuat tempat berpijak kaki yang rata
dengan lebar kurang lebih 20 cm. Cara memainkannya adalah dengan berlomba berjalan
menggunakan egrang tersebut (dinaiki), dari satu sisi lapangan ke sisi lainnya, atau
bolak-balik. Luas area permainan bebas dan dapat dimainkan beberapa orang pun
selama memungkinkan. Pemain yang paling cepat dan tidak terjatuh adalah
pemenangnya.
Permainan egrang melambangkan suatu ilmu kearifan orang Jawa pada masa
lalu, bahwa untuk mencapai derajat yang tinggi, keseimbangan menjadi salah satu
syarat utama. Keseimbangan dalam bahasa politik dan hukum dinamakan keadilan,
kemudian dalam olahraga dinamakan sportivitas, dan dalam bahasa asing maupun
ekonomi dinamakan balance. Dalam agama, keseimbangan mengandung arti ketaqwaan.
Secara luas, hilangnya keseimbangan dalam kehidupan dapat terjadi karena adanya
ambisi berlebihan dan emosi yang menyebabkan hilangnya harapan untuk menggapai
cita-cita. Dalam kehidupan, apabila ambisi mengejar kekuasaan serta kemenangan tidak
terkendali, keseimbangan kehidupan akan terganggu. Kerendahan hati akan sirna
dengan kesombongan. Permainan ini melatih ketangkasan, sportivitas, dan kepercayaan
diri.
4. Gobak Sodor
Permainan ini cukup unik karena secara harafiah berasal dari bahasa Inggris,
dari frase ‘’Go back through (the) door’’, atau ‘’Kembali ke pintu’’. Kata ‘’Go back’’,
kemudian oleh orang Jawa diucapkan sebagai ‘’Gobak’’, yang berarti mengejar atau
memburu. Kemudian, ‘’to (the) door’’ diucapkan sebagai ‘’sodor’’ yang berarti penjaga
yang memiliki keleluasaan bergerak di tiap wilayah (pintu/gerbang). Jumlah pemain
bebas, selama dapat dibagi menjadi ke dua kelompok. Dua kelompok ini kemudian
menentukan yang mana yang bertugas menjaga pintu. ‘’Pintu’’ disini diimajinasikan
dalam bentuk garis pada area permainan. Setelah ditentukan, anggota kelompok yang
102
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
berjaga harus menjaga masing-masing garis yang telah ditentukan dan boleh bergerak
sepanjang garis untuk menyentuh anggota kelompok lawan. Kelompok yang tidak
berjaga berdiri di garis paling depan dan berusaha menerobos garis-garis tersebut dan
tidak boleh sampai tersentuh oleh kelompok yang berjaga. Setelah berhasil menerobos
garis akhir, mereka harus kembali ke tempat pertama mereka memulainya. Bila berhasil,
mereka mendapatkan satu nilai. Bila ada anggota yang tersentuh, berarti kelompok yang
tersentuh akan bertugas menjaga. Kelompok yang menang adalah mereka yang
mengumpulkan nilai terbanyak.
Permainan ini mengandung makna hidup, bahwa untuk mencapai tujuan,
kadangkala dibutuhkan kerjasama agar membuahkan hasil yang maksimal. Permainan
ini dapat melatih kelincahan, kegesitan, dan bagaimana cara berpikir taktis ketika saat
bekerja sama dan bergerak. Pada permainan gobak sodor ini pula, didalamnya anak
dapat berinteraksi sosial (kerjasa tim), mengekspresikan emosi (marah, sedih, dan
gembira), tanggung jawab (memegang teguh peraturan yang sudah dibuat bersama),
konsep diri (tahu mana yang baik dan tidak baik)), kemampuan pemecahan masalah
(situasi dan kondisi saat main mendorong anak dapat mengambil keputusan) (Murfiah
Dewi Wulandari, 2015). Selain itu, terdapat makna filosofis dan spiritual dalam
permainan ini, yaitu ketika anak berusaha untuk melewati/menerobos garis akhir ini
mengandung makna bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan/keimanan hakiki maka
seseorang memerlukan usaha dan perjuangan terus-menerus.
5. Cublak-cublak Suweng
Kata “cublak” adalah sebuah idiom yang digunakan untuk sebuah permainan
saling tebak, sedangkan kata ‘’suweng’’ artinya adalah hiasan telinga.Cublak-cublak
Suweng berasal dari Jawa Timur.Permainan ini diciptakan oleh salah seorang wali
songo yaitu Syekh Maulana Ainul Yakin atau yang biasa dikenal dengan Sunan
Giri.Permainan cublak cublak suweng dilakukan antara 5-7 orang.Permainan Cublakcublak Suweng memerlukan perlengkapan seperti suweng (subang).Tujuan dari
permainan ini adalah Pak Empo menemukan anting (suweng) yang disembunyikan
seseorang.Permainan ini dimainkan dengan diiringi sebuah nyanyian “Cublak-cublak
Suweng”.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
103
Cublak-cublak Suweng
Cublak-cublak suweng (Tempat perhiasan)
Suwenge ting gelenter (Perhiasan berserakan)
Mambu ketundung gudel (Bau anak kerbau)
Pak Empo lera lere (Pak ompong melihat ke kanan ke kiri)
Sopo ngguyu ndhelikake (Siapa ketawa menyembunyikan)
Sir sirpong dele kosong (Sir sir pong kedelai kosong)
sir-sir pong dele kosong (Sir sir pong kedelai kosong)
Jika diartikan lebih dalam lagi, nyanyian Cublak-cublak suweng ini mengandung
pesan moral bahwa harta sejati/kebahagiaan berada di sekitar manusia (berserakan).
Banyak orang berusaha untuk mencari kebahagiaan itu, bahkan orang-orang yang bodoh
(diibaratkan Gudel) mencari harta dengan nafsu ego, korupsi dan keserakahan.Orangorang bodoh itu seperti orang tua ompong yang kebingungan, meskipun hartanya
melimpah, ternyata harta tersebut palsu, bukan harta sejati atau kebahagiaan
sejati.Hanya orang yang bijaksana yang mampu menemukan harta sejati tersebut atau
kebahagiaan sejati.Selain itu, orang yang ingin menemukan kebahagiaan sejati harus
melepaskan diri dari keserakahan dunia, rendah hati, tidak merendahkan sesama, serta
mengasah tajam hati nuraninya.Apabila dikaitkan dengan budaya Jawa syair lagu
Cublak-cublak Suweng menyimpan makna yang merujuk pada tata filsafat budaya Jawa
yaitu logika dan etika. Hal ini menjadi gambaran bahwa syair lagu Cublak-cublak
Suweng adalah suatu warisan nenek moyang yang memiliki nilai kearifan lokal yang
merujuk pada nilai percaya diri dan nilai kejujuran (Yuliani, 2014).
Nilai karakter yang terkandung dalam permainan ini adalah: 1) kerjasama,
karena permainan ini dimainkan oleh sedikitnya tiga anak, dan terdapat nyanyian serta
aturan yang harus dilakukan bersama-sama; 2) responsif, Rasa senang saat bermain
cublak-cublak suweng akan membawa hal tersendiri bagi pemain, yakni rasa memiliki
peran dalam permainan tersebut. Anak yang pendiam, jahil, bandel, keras kepala, aktif
ataupun pasif dalam permainan ini biasanya akan melebur, kemudian muncul kesadaran
untuk menyimpan suweng dengan teliti; 3) cermat, pada saat anak yang dadi
membungkuktelungkup, dengan posisi tersebut selain melatih daya tahan otot juga
niteni ‘mencermati’ jatuhnya suweng yang diputar, si pemain juga dapat mencermati
dengan baik ciri fisik dan psikis anak yang menyimpan suweng.
104
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam permainan tradisional, terdapat nilai-nilai yang dapat membentuk
karakter anak. Diantaranya adalah kebersamaan dalam unsur permaian anak. Unsur
yang penting ini bersatu dengan bagaimana nilai-nilai seperti kepedulian terhadap teman
maupun sesama, kekompakan, serta sportivitas. Selain itu, semangat, kejujuran, daya
kompetitif, serta kerjasama, dan diakhiri dengan pengakuan kemenangan menjadi nilainilai yang membentuk karakter anak. Selain itu, terkandung pula nilai filosofis jawa
dalam permainan egrang, gobak sodor, maupun sudhah mandhah, bahwa ‘’semakin
tinggi, banyak, atau kuat apa yang dimiliki, dikuasai, atau dilakukan, maka semakin
besar pula halangan maupun tantangan yang akan dihadapi’’.
Pada penerapan, penerapan nilai-nilai tersebut belum dapat diimplementasikan
seutuhnya. Hal ini termasuk salah satunya banyak permainan tradisional yang mulai
ditinggalkan, ditambah dengan kurangnya pengetahuan masyarakat umum mengenai
nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional, yang secara langsung maupun
tidak langsung, implementasinya kurang diperhatikan.
Saran
Supaya permainan tradisional tidak langka atau bahkan hilang sama sekali, maka
diperlukan campur tangan berbagai pihak untuk melestarikannya, mensosialisasikan
nilai-nilai maupun manfaat yang terkandung di dalamnya, serta pengarusutamaan
permainan tradisional dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi anak-anak melalui
pengaktifannya dalam lingkungan pendidikan maupun bermasyarakat guna turut
membantu tumbuh kembang anak sekaligus menjaga kelestarian budaya Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bredekamp, S., & C. Copple, eds. 1997. Developmentally appropri-ate practice in early
childhood programs. Rev. ed. Washington, DC: NAEYC.
Deleuze.G, & Guattari. F. 1991. What is philosophy? (translated by Hugh Tomlinson
and Graham Burchell). New York. Columbia university press.
Gleave. J, & Cole-Hamilton. I 2012. A world without play: a literature review on the
effects of a lack of play on children’s live (Revised January 2012). www.
playengland. org.uk. British Toy & Hobby Association.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
105
Herawati, Enis Niken. 2014. Nilai-Nilai Karakter yang Terkandung dalam Dolanan
Anak pada Festival Dolanan Anak se_DIY 2013. Jurnal Penelitian. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Keller. P. May 22, 2006. What is philosophy? (Symposium de la Société suisse de
philosophie, Neuchâtel, May 19, 2006).
Iswinarti 2009.Nilai-Nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek Untuk Anak Usia
Sekolah Dasar. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Keller. P. May 22, 2006. What is philosophy? (Symposium de la Société suisse de
philosophie, Neuchâtel, May 19, 2006).
Power, T. G. 2000. Play and Exploration in Children and Animals, London: Lawrence
Erlbaum Associates (in British Toy and Hobby Association (2011) Active Play
and
Healthy
Developmen)t.
Available
online
at:
http://www.btha.co.uk/consumers/template.php?id=169 (Diakses Mei. 2016).
Purwadi. 2007. Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka
Russ, W. S. 2004. Play in child development and psychotherapy. New Jersey: lawrence
erlbaum associates, Inc., Publishers.
Susanti, Ika & Arih Afra I., dkk. 2013. Developing Perdasawa (Permainan Dakon
Aksara Jawa) Media In The Teaching Of Javanese Alphabets To The Grade V
Students Of Elementray Schools. Pelita, Volume VIII, Nomor 2, Agustus 2013.
Whitebread. D. 201. The importance of play: a report on the value of children’s play
with a series of policy recommendations. University of Cambridge.
Wulandari, Dewi Murfiah. 2015. Meningkatkan Kompetensi Sosial Melalui Permainan
Tradisional. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yuliani. 2014. Nilai Kearifan Lokal dalam Syair Lagu Dolanan Jawa (Kajian
Semantik).Jurnal elektronik: Portal Garuda.
106
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
MEMBANGUN BUDI PEKERTI ANAK SEKOLAH DASAR
MELALUI BUDAYA PEDULI
Gita Yuliani
PKn Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Email: [email protected]
Abstract
Build human character should begin from an early age and the cultivation of the values
of life will become the base of the formation as well as a direction to determine good
bad attitude of a person in the future. With all the problems that afflict the nation occur
then it should instil good character education in schools, at home and in the
neighborhood association but not all problems can be solved easily because it is
essentially just character education is a process to improve the attitude of man in order
to become better in the future. And through cultural care applied to elementary school
children will be the deciding factor leading to the development of the character of the
nation
Keywords : Manners, elementary school children, cultural care
PENDAHULUAN
Ada banyak permasalahan yang dihadapi bangsa ini, maraknya kekerasan dan
tindakan amoral misalnya, menghampiri para generasi muda yang usianya masih sangat
belia seperti yang terjadi pada siswa SMP (Yn almh seorang gadis cilik mengalami
kejadian
pemerkosaan yang dilakukan oleh 14 anak laki-laki). Contoh tersebut
merupakan salah satu dari beberapa permasalahan bangsa yang mengemuka, tragis dan
memprihatinkan.
Munculnya peristiwa dan permasalahan tersebut tak lepas dari
rendahnya pendidikan dan kematangan sikap. Menilik permasalahan diatas timbul satu
pertanyaan “apa yang salah dari bangsa ini?” Tidaklah perlu kita mencari tentang apa
yang atau siapa yang salah tapi peran kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus
terus ditingkatkan. Harus dipercayai bahwa pemerintah telah mengupayakan dengan
berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Peran pendidikan dalam keluarga, lingkungan, dan sekolah sangat menentukan
arah perkembangan karakter anak di masa depan. Orang tua dan guru adalah teladan
yang mudah untuk diikuti seorang anak sekolah dasar karena pada dasarnya watak baik
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
107
atau buruk anak terbentuk dari seberapa banyak contoh sikap baik atau buruk yang
anak liat. Kemampuan anak meniru sudah berlangsung sejak dini sehingga seyogyanya
hal itu menyadarkan orang tua, guru, dan orang-orang disekitarnya untuk selalu berhatihati dalam bersikap.
Untuk membangun budi pekerti, sekolah dapat mengambil peran strategis dan
dari sinilah pendidikan nasional dapat melaksanakan fungsinya untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003).
Membangun karakter berarti membangun budi pekerti karena Pendidikan
karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti dan seseorang dapat
dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan
yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
Aqib (2012:66). Begitu pula Ki Hajar Dewantara (2013:485) mengungkapkan bahwa
pengajaran budi pekerti tidak lain artinya daripada menyokong perkembangan hidup
anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam
sifatnya yang umum. Megawangi (2007:46) dalam buku Character Parenting Space,
telah menyusun kurang lebih ada sembilan karakter mulia yang harus diwariskan yang
kemudian disebut sebagai sembilan pilar pendidikan karakter, yaitu : a) Cinta kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan kebenaran; b) Tanggung jawab, kedisiplinan dan
kemandirian; c) Amanah; d) Hormat dan santun; e) Kasih sayang, kepedulian dan
kerjasama; f) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; g) Keadilan dan
kepemimpinan; h) Baik dan rendah hati; i) Toleransi dan cinta damai. Dalam Pusat
Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, 2010 menguraikan ada 18 karakter yang
dikembangkan yaitu Religius, jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai
Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan,
Peduli sosial, dan Tanggung Jawab.
Sikap peduli merupakan salah satu dari 18 karakter, peduli lingkungan adalah
sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
108
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi sedangkan peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap peduli
anak sekolah dasar harus ditanamkan dan terus digali dari dalam dirinya, peduli pada
lingkungan dan sosial akan menjadikan seorang anak memiliki rasa cinta dan sayang
pada sesama dan alam sekitarnya. Menggali rasa peduli dari dalam diri anak berarti
menggali nilai karakter kebaikan yang telah ada sejak lahir namun tersembunyi.
PEMBAHASAN
Ada banyak budi pekerti yang tertanam dalam diri anak sekolah dasar untuk di
eksplorasi diantaranya adalah sikap peduli, dalam hal ini adalah peduli lingkungan dan
sosial. Untuk membangun budi pekerti melalui sikap peduli dapat dilakukan dengan
berbagai cara atau pendekatan. Guru dalam proses pembelajaran di kelas dapat
menggunakan pendekatan dari Thomas Lickona. Lickona (2012) menyebutkan lima
pendekatan tersebut adalah:
(1). Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik.
Dalam pembelajaran metode yang dapat digunakan adalah dengan keteladanan,
penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Dalam ini
guru dapat memberikan contoh dengan memasukkan uang ke dalam kotak amal
atau siswa selalu diajak untuk memberi sumbangan bagi masyarakat yang terkena
musibah atau teman yang sedang sakit dengan seikhlasnya tanpa paksaaan.
(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini mendorong perserta didik untuk berpikir aktif tentang
masalah-masalah moral, maupun dalam membuat keputusan-keputusan moral.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama,
membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks
berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong peserta didik untuk
mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu
masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada
dilema moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Pada saat kegiatan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
109
mengajar guru dapat membagi anak menjadi beberapa kelompok. Guru
memberikan contoh peristiwa yang nyata terjadi dan mengajak anak untuk pula
menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi dalam lingkungan sekitar siswa. Dari
pengungkapan peristiwa maka anak belajar untuk mengingat dan menilai positif
dan negatif dari apa yang dialami maupun yang dilihat.
(3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik
untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial. Pendekatan analisis nilai dapat dilakukan guru dengan mengajak
anak untuk membahas masalah lingkungan dan masalah sosial dimana hal-hal
tersebut akan membuat anak menentukan pilihan dimana pilihan tersebut dapat
membuat anak diuntungkan sedangkan yang lain dirugikan. Dari pilihan tersebut
guru dapat mengarahkan anak untuk memilih hal yang terbaik bagi semua pihak.
(4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Memberi penekanan pada usaha untuk membantu peserta didik dalam
mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, serta meningkatkan kesadaran mereka
tentang nilai-nilai mereka sendiri. Adapun tujuan pendidikan nilai menurut
pendekatan ini ada tiga, yaitu: pertama, membantu peserta didik untuk menyadari
dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua,
membantu peserta didik agar mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan
jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan
dalam kehidupannya sendiri. Ketiga, membantu peserta didik, agar mereka mampu
menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran
emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka
sendiri.
(5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi
penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama-sama dalam suatu kelompok. Anak diajak untuk melakukan perbuatan
yang sesuai dengan keinginan anak sendiri baik itu secara perseorangan ataupun
bersama-sama berdasarkan nilai anak itu sendiri. Bila anak mengatakan mencuri
110
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
itu tidak baik maka anak mencontohkannya dan menyampaikan bahwa perbuatan
mencuri tidak boleh dilakukan. Dari hal itu maka anak akan mengetahui apa yang
akan terjadi pada diri anak di dalam lingkungannya.
PENUTUP
Untuk menuju kehidupan yang baik tidaklah salah bila dimulai dengan
membangun karakter baik siswa sedini mungkin saat ini karena hal ini sangat penting
meski potensi karakter
yang baik sebenarnya sudah dimiliki seorang sebelum
dilahirkan akan tetapi tetap harus terus-menerus dikembangkan melalui proses
pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Pendekatan yang dijelaskan dalam
pembahasan di atas akan membawa anak untuk belajar peduli baik itu pada lingkungan
maupun sosialnya, sehingga anak memiliki kemampuan untuk menyayangi, menjaga,
dan merawat lingkungan dan sesamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah. Bandung. Yrama Widya.
Dalmeri. 2014. Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan
Thomas Lickona dalam Educating for Character). Al-Ulum Volume. 14 Nomor
1, Hal 269-288.
Dewantara, Ki Hajar. 2013. Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka.
Yogyakarta. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Kemdiknas. 2011.
Panduan Umum Pelaksanaan Pendidikan Karakter di
Satuan Pendidikan , Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional
Kemdikbud, 2013, Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2010—2014
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam
books.
Lickona, Thomas. 2012. Character Matters: Persoalan Karakter, terj. Juma Wadu
Wamaungu & Jean Antunes Rudolf Zien dan Editor Uyu Wahyuddin dan
Suryani, Jakarta: Bumi Aksara.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
111
Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character: Mendidik untUk Membentuk
Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani,
Jakarta: Bumi Aksara.
Megawangi, Ratna. 2007. Character Parenting Space. Bandung. Mizan Publishing
House.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
112
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PKn DENGAN MODEL VALUE
CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT) DALAM MEMBENTUK BUDI
PEKERTI SISWA
Harry Irawan
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Abstract
Civics as moral value education is very strategic to build students’ affective. It is one
way to form students’ character. In daily learning process on the class, a teacher should
comprehend the learning process that happens among the students. This thing can be
the basic for the teacher to set the more effective learning process. So far, the teacher
still lack of identification towards students’ affective aspect. Learning process is still
focusing on students’ cognitive aspect so that the affective ability and psychomotor
aspects is not getting the attention enough. The implementation of VCT learning has a
mission to build values, moral, behavior, and attitude and many other characters. VCT
is not only building the students’ knowledge, but also relevant in delivering Civics.
There are some models with various learning methods that developed by VCT. They
are; example method, scoring analysis, list/matrix, faith card, interview, jurisprudential,
and scoring inquiry. In elementary students’ level, VCT interpreted as education model,
which pointed on moral value and norm. The teacher should have some competency to
develop value learning model and the teacher should conduct repetitive habitual
process step by step continually inside or outside school environment so that the
essence of civics can be deliver effectively. The teacher can develop the value learning
process as an effort and innovation in forming students’ characters. The
implementation of VCT learning model is one of the models that can form students’
behavior better. There are some advantages from the learning process that applied VCT
model. They are; a) it can build moral value, b) it can clarify and express the given
material, c) it can clarify and assess the quality of students’ moral value in daily life, d)
it can invite, involve and develop the students’ potency, e) it can block, eliminate, and
subverts various morals, f) it can give learning experience in daily life and; g) it can
guide students to have better moral value. It is not only civics that has a mission to
teach values such as moral and behavior but this task is also the main concern for
education to grow and develop the students’ characters. The teachers’ role in education
is very significant in forming students’ characters because the teacher is educator,
motivator, facilitator, mediator, and evaluator in learning process.
Keywords: Civics-learning process, VCT model, characters forming.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
113
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, sebab pendidikan
menciptakan manusia yang dewasa dalam arti mampu menentukan benar dan salah,
serta mampu menentukan antara hak dan kewajibannya. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 pasal 3 cetakan ke VII (tahun 2012) tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupaan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selama ini proses pembelajaran masih banyak terpusat pada pengembangan
aspek kognitif siswa, sehingga kemampuan afektif dan psykomotornya kurang
mendapat perhatian. Judiana (dalam Puteri, N.A, 2011: 208-209) menyatakan bahwa
“pendidikan di Indonesia selama ini masih mengedepankan aspek kognitif atau
akademis, sedangkan soft skills atau non akademis yang mendukung pendidikan
karakter belum banyak mendapat perhatian”. Tiga kecerdasan kognitif, afektif, dan
psykomotor terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang
memiliki peran penting untuk mengembangkan nilai-nilai budi pekerti siswa, seperti
yang diungkapkan oleh Komalasari, K (201: 88) “Pendidikan Kewarganegaraan
beresensikan
pendidikan
nilai,
sehingga
Pendidikan
Kewarganegaraan
harus
memberikan perhatiannya kepada pengembangan nilai, moral, dan sikap perilaku
siswa”.
Mengajarkan pendidikan nilai pada siswa di zaman sekarang banyak mengalami
tantangan, sebab pendidikan di Indonesia dirasakan sedang mengalami keterpurukan.
Survey tahun 2005 bahwa negara Indonesia berada di peringkat ke 110 dari 117 negara
berdasarkan index pertumbuhan manusia (Human Development Index) di bidang
pendidikan. Indonesia tertinggal jauh peringkatnya dari negara-negara kawasan Asia
Tenggara lainnya (Darmawan, C. 2009). Agenda reformasi tentang pendidikan seakan
masih menjadi cita-cita yang belum terlaksana. Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun
2010 menyatakan bahwa sebanyak 44,9% masyarakat Indonesia beranggapan bahwa
agenda reformasi belum terpenuhi, dan sebanyak 26,9% menyatakan bahwa khusus
114 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
untuk bidang pendidikan agenda reformasi belum terpenuhi (Eriyanto, 2010). Melihat
hasil tersebut masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap pendidikan
sebagai kebutuhan biasa. Pendidikan bagi sebagian orang hanya dijadikan sebagai
rutinitas biasa, padahal pendidikan merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh
manusia, terlebih dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
memberikan dampak negatif bagi siswa.
Melihat hasil tersebut masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap
pendidikan sebagai kebutuhan biasa. Pendidikan bagi sebagian orang hanya dijadikan
sebagai rutinitas biasa, padahal pendidikan merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh
manusia, terlebih dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
memberikan dampak negatif bagi siswa. Globalisasi menjadi isu besar menjelang
millennium ke-3 dalam era dunia tanpa batas (bordeless world), arus informasi dan
barang mengalir tanpa hambatan dari suatu negara kenegara lain (Muchtar, S.A, 2015:
20). Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran. Selain dari
perkembangan IPTEK dan globalisasi, ada hal lain yang melatar belakangi kualitas
pembelajaran, seperti dari lingkungan pergaulan yang salah, media tontonan yang tidak
mendidik, ataupun kejenuhan dari faktor internal sekolah sendiri, seperti pemberian
tugas yang banyak, dan cara mengajar guru yang monoton. Kemalasan belajar tersebut
berdampak pada tujuan guru dalam menyampaikan materi tidak tersampaikan.
Selama ini masih banyak guru mengajar dengan model dan metode belajar
yang masih konvensional. Metode mengajar dalam bentuk ceramah biasa, masih
menjadi hal yang sering ditemui, termasuk pada pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Dengan model dan metode konvensional seperti ceramah, guru
masih memposisikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar, dan jarang menjadi
fasilitator atau menjadi mitra dialog bagi siswa. Dampaknya pada mata pelajaran PKn
menjadi kurang disukai oleh siswa, dan esensi pelajaran pendidikan nilainya tidak
tersampaikan dengan baik.
Dibutuhkan kreatifitas guru dalam dalam pembelajaraan di kelas, agar esensi
dari nilai yang terdapat pada mata pelajaran PKn dapat disampaikaan dengan baik.
Salah satu cara berinovasi dalam pembelajaran untuk menyampaikan nilai-nilai dalam
materi pelajaran bisa menggunakan model pembelajaran kontekstual yang didalamnya
terdapat model pembelajaran nilai
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
115
PEMBAHASAN
Tujuan pendidikan secara umum adalah untuk mengembangkan kepribadian
manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 Undang-undang RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan tersebut ada
dalam mata pelajaran PKn sebagai mata pelajaran nilai yang mempunyai misi besar
dalam perkembangan nilai, khususnya pada perkembangan budi pekerti siswa. Esensi
dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengajarkan siswa-siswinya
untuk mengembangkan nilai, moral, dan sikap perilakunya, (Komalasari, 2014), artinya
pendidikan nilai merupakan aspek penting dalam perkembangan nilai siswa. Secara
garis besar bukan hanya PKn saja yang mengemban misi mengajarkan nilai-nilai
berupa moral dan perilaku, namun tugas tersebut merupakan tugas utama dari
pendidikan, yaitu menumbuh kembangkan budi pekerti.
Mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu
upaya untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan budi pekerti yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia. Upaya tersebut merupakan suatu harapan yang
dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa sebagai makhluk
Tuhan, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Proses pembelajaran Pendidikan
Kewaraganegaraan dapat dimaknai sebagi proses interaksi antara siswa dan guru dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas baik berupa penyampaian materi, penerapan metode,
penggunaan media, penggunaan sumber belajar, dan evaluasi pembelajaran. Proses
pembelajaran selalu melibatkan siswa dan kondisinya dalam penentuan metode
pembelajaran. Siswa merupakan subjek penting dalam proses pembelajaran di sekolah.
Keberhasilan pencapaian tujuan belajar tergantung pada kesiapan dan cara belajar yang
dilakukan oleh siswa.
Pendidikan nilai dapat diajarkan di sekolah yang merupakan bagian dari
pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran dengan menggunakan VCT (Value
Clarification Technique) merupakan salah satu model pembelajaran nilai yang dapat
digunakan pada mata pelajaran PKn. Implementasi pembelajaran VCT mengemban
misi untuk membina budi pekerti siswa, disamping membina kecerdasan (knowledge)
bagi siswa, sehingga model pembelajaran VCT relevan untuk diajarkan pada mata
116 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
pelajaran PKn. Djahiri (1985: 115) mengemukakan bahwa
Value Clarification
Technique (VCT) berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran
siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang
dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kea rah
peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara
yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya.
Pembelajaran VCT itu sendiri menurut Djahiri, A.K (1985: 40) “ VCT (Value
Clarification Technique) merupakan strategi belajar-mengajar dan terdiri dari sejumlah
pilihan metode”. Ada beberapa model
dengan berbagai metode belajar yang
dikembangkan oleh VCT, yaitu : Metode Percontohan, Analisis Nilai, Daftar / Matrik,
Kartu Keyakinan, Interview, Yurisprudensi, dan
inkuiri nilai. Bebrapa model
pembelajaran VCT tersebut merupakan suatu model dalam strategi pembelajaran budi
pekerti siswa. Pada tingkatan siswa di sekolah dasar, model belajar VCT ini dimaknai
sebagai model pendidikan yang berdimensi nilai, moral, dan norma. VCT merupakan
inovasi dalam model pembelajaran yang dapat menyampaikan pendidikan nilai pada
siswa. Inovasi pembelajaran VCT bertujuan pula untuk memberikan pengajaran kepada
siswa, agar mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai
warga dalam suatu masyarakat yang demokratis (Elias dalam Komalasari, 2014: 98).
Tujuan tersampaikannya materi pelajaran, khususnya materi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan tergantung dari model yang akan diterapkan.
Salah satu karakteristik inovasi model pembelajaran VCT adalah proses
penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya
dalam diri siswa kemudian menyesuaikan dengan nilai-nilai yang hendak diberikan.
Implementasi pembelajaran VCT merupakan salah satu dari model belajar yang
memungkinkan siswa menghayati nilai hakiki tentang kehidupannya. Pembelajaran
dengan menggunakan model VCT lebih menitik beratkan pada aspek afektif siswa.
Djahiri (1996) menyebutkan bahwa pembelajaran VCT memiliki keunggulan sebagai
inovasi pembelajaran afektif, sebab : a) mampu membina dan mempribadikan nilai dan
moral; b) mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan; c) mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan
nilai moral dalam kehidupan nyata; d) mampu mengundang, melibatkan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
117
mengembangkan potensi siswa; e) mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan
mensubversikan berbagai nilai moral seseorang; f) memberikan pengalaman belajar
dalam berbagai kehidupan; dan g) menutntun untuk memiliki moral tinggi. Djahiri
(1985) mengungkapkan bahwa VCT adalah model pembelajaran yang dapat
menanamkan dan menggali/mengungkapkan beberapa nilai dalam diri siswa. Hal
tersebut berfungsi untuk mengukur, membina, dan menanamkan secara rasional nilainilai kemanusiaan.
Mengajarkan siswa agar memiliki budi pekerti yang baik, bukanlah pekerjaan
yang mudah bagi seorang guru. Membentuk dan mendidik pribadi anak memiliki budi
pekerti yang baik, membutuhkan proses yang benar dan panjang.
Guru harus
melakukan usaha dan inovasi dengan mengembangkan model pembelajaran nilai,
selain itu proses habituasi secara bertahap dan berulang ulang harus terus dilakukan
baik di sekolah maupun di luar sekolah agar esensi dari mata pelajaran PKn dapat
tersampaikan dengan baik. Pengembangan model pembelajaran nilai dapat dilakukan
guru sebagai suatu usaha dan inovasi dalam pembentukan perilaku moral siswa.
Implementasi model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) merupakan
salah satu model yang dapat membentuk budi pekerti siswa lebih baik.
PENUTUP
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran penting di
Indonesia, merupakan suatu pendidikan yang dapat membina warga negara agar
menjadi lebih baik. Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bahwa warga
negara yang baik dibentuk dengan tujuan agar menjadi manusia yang baik, beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki rasa nasionalisme yang kuat dan mantap
sebagai generasi penerus bangsa yang kuat. PKn sebagai mata pelajaran yang sangat
penting bagi siswa memiliki karakteristik yang cukup berbeda dengan cabang ilmu
pendidikan lainnya.
Karakteristik PKn ini dapat dilihat dari objek, lingkup materinya, strategi
pembelajaran,
sampai
pada
sasaran
akhir
dari
pendidikan
ini.
Pendidikan
kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan
warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya
118 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Implementasi pembelajarn VCT merupakan salah satu model pelajaran yang
dapat melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil
keputusan terhadap suatu nilai moral untuk kemudian dilaksankan sebagai jati diri
hidup sehari-hari. Implementasi pe,belajaran VCT di tingkat sekolah dasar dapat
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan dengan cara mengklarifikasi nilai-nilai budi pekerti yang
tertanam dalam diri setiap siswa. Implementasi pembelajaran VCT mempunyai tujuan
besar dalam mengembangkan nilai-nilai dalam diri siswa, yaitu : a) untuk mengukur
atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, b) membina kesadaran
siswa tantang nilai-nilai yang dimilikinya yang kemudian dibina dan diarahakan ke
peningkatan dan pembetulannya, c) untuk menanamkan nilai-nilai tertentu pada diri
siswa, melalui cara yang rasional dan diterima siswa, d) melatih siswa bagaimana cara
menilai, menerima, dan mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam
hubungannya dengan kehidupan sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, C. 2009. Merekontruksi Pendidikan Di Era Global. Jurnal Sekertariat Negara RI.
Vol 181. No. 14.
Djahiri, A.K. 1985. Strategi Pengajaran afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam
VCT. Bandung: PMPKN FPIPS IKIP Bandung
Djahiri, A.K. 1996. Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung:
PMPKN FPIPS IKIP Bandung
Eriyanto. 2010. 65 Tahun Kemerdekaan RI dan Pemenuhan Agenda Reformasi. Jurnal
Sekertariat Negara RI . Vol 177. No.17
Komalasari, K. 2014. Pembelajaran Kontekstual. Bandung. PT. Refika Aditama
Muchtar, A.S. 2015. Pendidikan Dan masalah Sosial Budaya. Bandung : Gelar Pustaka
Mandiri
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
119
Puteri, N.A. 2011. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Melalui Mata Pelajaran
Sosiologi. Jurnal Komunitas. Vol 3 (2). Hlm 205-215
UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Cetakan ke VII / Mei 2012)
120 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
BUDAYA SEKOLAH SEBAGAI WAHANA PERKEMBANGAN KOGNITIF
SISWA DI SEKOLAH DASAR
Hatta Setiawan
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
The development of a child's character is manifested in behavior has a very significant
role on the cognitive development of a child. One of the building blocks of the manners
of the students are influenced by their school culture conducive environment. As such
development of the school culture is very important to be realized by providing
examples of good deeds to the children who are on the search for concrete behaviors.
Keywords: character, cognitive, school culture
PENDAHULUAN
Perkembangan Kognitif Siswa Menurut Para Pakar
Pada dasarnya anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar, terutama di
Indonesia ialah berkisar antara umur 6-12 tahun. Schunk (2012) yang mengkonstruksi
pandangannya Piaget mengemukakan bahwasanya umur 7 sampai 11 tahun merupakan
tahapan operasional konkrit yang dialami oleh seorang anak. Pada fase yang dialami
oleh seorang anak pada tahapan ini merupakan fase pertumbuhan kognitif yang luar
biasa dan merupakan tahapan formatif dalam pendidikan sekolah. Dalam fase ini
perkembangan kognitif anak akan menunjukkan berbagai perbuatan-perbuatan yang
dilandasi dari pemaknaan-pemaknaan anak terhadap apa yang dia lihat. Meskipun pada
tahapan ini sifat yang tumbuh masih bersifat abstrak dan membutuhkan pengawasan
dari orang-orang dewasa. Tahapan operasional konkrit digambarkan sebagai sebuah
tahapan awal untuk memulai peniruan dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya
dalam kehidupan sosialnya.
Adapun mengenai kaspasitas seorang siswa sebagai manusia yang memiliki
kemampuan untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keperluannya. Schunk (2012)
juga mengkonstruksi pandangannya Vygotsky mengenai hal lingkungan sebagai faktor
pendukung perkembangan kognitif dari seorang manusia. Adanya interaksi-interaksi
yang dilakukan oleh individu akan menstimulasi proses-proses perkembangan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
121
mendorong perkembangan kognitif siswa. Dalam sebuah aktfitas sosial seorang siswa
akan mentransformasi pengalaman-pengalaman belajar, sehingga manusia akan
melakukan perubahan dalam pikiran sadar dan membentuk perilaku.
Penanaman Sifat Melalui Pembiasaan.
Seorang siswa yang masih menempuh sekolah dasar dengan orientasi
perkembangan kognitif yang belandaskan dari peniruan tingkah laku yang dilihatnya
merupakan salah satu unsur percontohan yang akan diterima dan dikonsumsi oleh para
peserta didik. Pembiasaan dalam berbuat baik seperti bersikap jujur yang dapat
diberikan teladan oleh guru-guru di sekolah merupakan langkah awal dari membangun
budaya sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral seorang siswa. Lickona (2012)
memaknai tahap pembiasaan sebagai salah satu unsur dalam pembentukan moral anak.
Lickona menyebutkan bahwasanya tahap pembiasaan atau Habbituasi yang telah
dibiasakan sejak masa kanak-kanak akan berimplikasi terhadap anak tersebut hingga
dewasa.
Pada perkembangannya, tahap pembiasaan yang dikembangkan oleh sekolah
dapat dilakukan dengan berbagai hal kreatif dari pihak sekolah. Salah satu nilai
kreatifitas sekolah yang sederhana yang dapat diwujudkan dalam mengimplikasikan
pendidikan budi pekerti disekolah ialah dengan membiasakan siswa membuang sampah
pada tempatnya dengan berbagai slogan yang sesuai dengan dunia anak-anak.
Keteladanan yang dapat dilihat oleh seorang anak dengan menggunakan slogan-slogan
atau gambar yang menarik minat anak akan memicu perkembangan kognitif anak dan
mengkontruksi apa yang dilihatnya dengan logika sederhana yang dimilikinya.
Misalnya dengan mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya anak bisa
diajarkan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman. Efek yang akan teramat
dirasakan ialah kenyaman siswa untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya
disekolah.
Kesederhanaan lain yang dapat dikontruksi oleh seorang anak dengan
memunculkan gambar-gambar di tempat-tempat tong sampah yang menarik perhatian
anak akan memicu perkembangan otak anak untuk menghubungkannya dalam
kehidupan nyata. Anak bisa memahami dengan dimunculkannya gambar animasi yang
merupakan dampak dari pembuangan sampah sembarangan akan selalu melekat
122 Hatta Setiawan, Budaya Sekolah sebagai
diingatannya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan
seorang anak hingga dewasa. Nucci dan Narvaez (2015) memberikan pemahamannya
mengenai standarisasi budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai dan norma yang
berkembang disekolah. Dalam hal ini Nucci dan Narvaez sepakat bahwasanya
hubungan antar siswa, dan siswa bersama gurunya merupakan faktor yang peling
penting dalam mewujudkan budaya sekolah yang kondusif dengan berdasarkan norma
yang ada di sekolah.
Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya dalam membangun
budaya sekolah yang kondusif membutuhkan hubungan yang baik antar sesama siswa,
kemudian guru dengan para siswanya. Sebagai faktor utama terciptanya sebuah
lingkungan yang kondusif, maka sering kali pula faktor eksternal memicu timbulnya
berbagai permasalahan mengenai budaya di persekolahan. Seperti halnya kurikulum
yang sering berubah-ubah yang sedikit banyak akan mempengaruhi iklim di
persekolahan. Namun pada kenyataannya hal ini sering dipandang karena kegagalan
kurikulum sebelumnya sehingga membutuhkan perbaikan-perbaikan yang dapat
mencakup segala permasalahan yang dihadapi sekolah.
Setyowati (2009) menjelaskan mengenai pentingnya pendidikan budi pekerti di
persekolahan dikarenakan sekolah memiliki kewajiban untuk mengembangkan nilainilai yang berkenaan dengan akhlak mulia. Pendidikan budi pekerti juga tidak hanya
sebagai perkataan namun haruslah berbanding lurus dengan perilaku. Dirinya
menggambarkan pentingnya seorang guru dalam proses penanaman budi pekerti di
sekolah ialah dikarenakan keberadaan seorang guru sebagai tauladan para siswa dan
bukan hanya sebagai mengajar. Beberapa pendekatan yang disarankan oleh Setyowati
(2009,hlm.152) mengenai pengintegrasian budi pekerti di sekolah ialah "(1).Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan ini
mengajak
peserta
didik
mengenal dan menerima nilai keteladanan. (2) Pendekatan perkembangan moral
kognitif (cognitive moral development approach) yaitu menekankan berbagai tingkatan
moral, guru
mengarahkan dan menerapkan pada peserta didik dalam proses
mengambil keputusan tentang moral seperti: takut hukuman, melayani kehendak sendiri,
berbuat kebaikan untuk orang banyak, bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
123
yang universal. (3) pendekatan analisis nilai (values
menekankan peserta didik dapat
analysis
approach),
yaitu
menggunakan kemampuan berpikir logis, rasional
dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu,
seperti penelitian, analisis kasus dan lain-lain; (4) pendekatan Klarifikasi nilai (values
clarification approach), pendekatan ini bertujuan
menumbuhkan
kesadaran
dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai diri
sendiri maupun orang lain".
Beberpa pendekatan tersebut merupakan upaya pendekatan yang dapat kita
lakukan untuk meningkatkan keberhasilan peserta didik. Dalam penerapan pendidikan
budi pekerti kita dapat memilih berbagai pendekatan di atas sesuai dengan kebutuhan
siswa di sekolah ataupun berbagai pendekatan tersebut dapat dilakukan secara silang
agar tdak tercipta kebosanan pada peserta didik di sekolah.
PENUTUP
Pendidikan budi pekerti yang berorientasi pada budaya sekolah memiliki
kemampuan untuk mengembangkan sisi kognitif pada peserta didik di sekolah. Metode
yang digunakan akan lebih efektif dicerna oleh para peserta didik yang notabennya
masih merupakan usia belia ialah sebuah metode pembiasaan atau keteladanan. Hal ini
disebabkan karena para siswa di tingkat sekolah masih berorientasi pada tahap peniruan
atau operational konkrit. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan
budi pekerti ialah dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai, perkembangan
moral kognitif, analisis nilai, dan klarifikasi nilai dengan disesuaikan dengan tingkat
kemampuan siswa memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Lickona, Thomas, (2012). Educating For Character (Mendidik Untuk
Karakter). Jakarta: Bumi Aksara.
Membentuk
Nucci dan Narvaez. (2015). Handbook Pendidikan Moral dan Karakter (Handbook
of Moral and Character Education. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Setyowati, Erna. (2009). Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di
Sekolah. Universitas Negeri Semarang. Jilid 39 No.2. Hal. 148-154.
Schunk, Dale H (2012). Learning Theories An Educational Perspective. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
124 Hatta Setiawan, Budaya Sekolah sebagai
MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PERMAINAN
TRADISIONAL CONGKLAK (DAKON PINTAR)
Iisrohli irawati
Tini
Samingan
Agnes Srimulat
SD N 2 and 3 Barenglor
Email: [email protected]
Abstract
Despite teaching the material, a teacher is required to teach character. Being
creative and good teacher is reqired to update his teaching methods or techniques to
improve the quality of teaching-learning process. Good teaching methods will
enhance student’s motivation in learning. Congklak or dakon is one of traditional
games. It is can be inovate to teach caracter and make the students feel happy learning
in class.
Keywords : character building, creative teacher, congklak/dakon pintar
PENDAHULUAN
Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan
lingkungannya. Lengkapnya adalah: 1) Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar
memaki; 2) Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi; 3) Jika anak
dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri; 4) Jika anak dibesarkan dengan
penghinaan, ia belajar menyeasali diri; 5) Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia
belajar menahan diri; 6) Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; 7)
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan; 8) Jika anak
dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan; 9) Jika anak dibesarkan
dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri; 10) Jika anak dibesarkan dengan kasih
sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Refleksi dari tulisan tersebut menyatakan bahwa anak belajar dari lingkungan
dan apa yang kita ajarkan kepada mereka. Mereka belajar sejak mereka dalam
kandungan ibu hingga mereka menutup usia, baik secara formal atau informal, baik
melalui pendidikan maupun pengalaman hidup. Anak hidup dari masa kini hingga masa
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
125
depan yang mana selalu ada perubahan dalam hidup mereka. Anak anak belajar secara
formal melalui pendidikan.
Latar belakang penulisan makalah ini diawali dengan adanya fenomena
globalisasi yang berkembang di dalam masyarakat. Proses globalisasi mempermudah
masuknya budaya asing terhadap budaya Indonesia, dimana hal tersebut dapat
mempengaruhi nilai-nilai dan sistem budaya serta sikap dan perilaku manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu penangkal pengaruh
globalisasi yang kurang baik adalah melalui pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses. Melalui Pendidikan, atau bahasa lainya
edukasi merupakan suatu sarana untuk memperoleh suatu wawasan, atau mungkin suatu
proses manusia untuk menjadikan manusia yang awalnya tidak tau menjadi tau..
Pendidikan digolongkan menjadi 2 jenis, yakni Pendidikan formal dan pendidikan
informal. Pendidikan formal merupakan lembaga yang memiliki struktur dan organisasi
yang jelas, sering disebut dengan birokrasi. Sedangkan pendidikan informal adalah
lembaga yang tidak memiliki struktur organisasi yang jelas dan peraturan tertulis serta
tidak mempunyai hirarki.
Hal yang utama pendidikan diajarkan sejak mereka dilingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat adalah ajaran dalam agama yang mereka anut,nilai-nilai dan
karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
siswa maupun warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai
kehidupan, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua,
kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah; keempat, hormat dan
santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;
kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan
126 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
kesatuan.Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dan terkondisikan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena
dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka
kebiasaan itu akan berubah menjadi kebiasaan.Lebih lanjut bahwa pendidikan karakter
adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi,
bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Sebagai seorang guru yang diamanahi untuk mendidik anak belajar di sekolah
harus mampu menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin dan selalu berusaha
membuat anak didiknya senang belajar. Guru harus selalu berinovasi dan berkreasi
untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Salah satunya adalah
dengan permainan tradisional congklak atau di jawa dikenal dengan dakon.
Permainan ini bisa dijadikan media untuk belajar yang menyenangkan dengan
menambahkan kertas yang berisi soal yang memuat berbagai mata pelajaran. Inovasi
pembelajaran ini bisa meningkatkan karakter kerjasama dan kompetisi yang sehat.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter
Indonesia dengan beranekaragam suku, bangsa dan agama memiliki hal yang
sangat kompleks dan akan menjadi modal dasar jika kita mampu memanfaatkan dan
mengolah apa yang kita punyai secara maksimal. Kita mulai dari hal yang terkecil yaitu
keluarga. Pemerintah melalui programnya dan masyarakat pada umumnya. Tanpa
kerjasama dari semua pihak hal tersebut tidak akan mampu terwujud dengan baik.
Mewujudkan karakter melalui keluarga bisa kita mulai sejak mereka dalam usia
kandungan, kedua orangtuanya memberikan pendidikan sebelum anak lahir dan
melanjutkan ketika mereka lahir hingga proses dewasa bahkan sampai akhir hayatnya
semampu orangtua. Melalui pendidikan bisa secara informal misal melalui pendidikan
usia dini yang kemudian dilanjutkan hingga usia pendidikan dasar sd, smp, sma bahkan
perguruan tinggi. Melalui masyarakat bisa kita bangun dengan kita sebagai orangtua
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
127
aktif di masyarakat dan berembug bersama untuk membentuk lingkungan yang baik dan
masyarakat yang baik.
Karakter sangat berkaitan dengan moral yang dimiliki seseorang dalam hal
pengetahuan, perasaan dan perilaku moral yang berpengaruh terhadap cara berpikir dan
bertindak. Menurut Samani dan Haryanto (2012, hlm 41) bahwa “karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perilaku, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.” Sehingga
karakter sama halnya dengan budi pekerti. Karakter/ budi pekerti menunjukkan etika
yang baik pada saat berhubungan dengan orang lain.
Pendidikan karakter adalah sebuah system yang menanamkan nilai-nilai karakter
pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,
tekad, srta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nlai-nilai, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa,
sehingga akan terwujud insane kamil.
Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan tidak terbatas pada pemenuhan otak
anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan
menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh
karenanya,
pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak
didiknya di kelas menjadi baik yang pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan
karakter yang baik dikelak kemudian hari.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini
merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar
mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan
moral kepada anak adalah usaha yang strategis.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan
pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada
fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat,
seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
128 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka
pendidikannya. Berhubungan dengan
tentang pendekatan dan modus
pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negaranegara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis
nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri
peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),dan Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity development)
18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas adalah sebagai berikut. (1)
Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain; (2) Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (3)
Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; (4) Disiplin, Tindakan yang
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (5) Kerja
Keras, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan; (6) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; (7) Mandiri yaitu sikap dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
129
perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;
(8) Demokratis , yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain; (9) Rasa Ingin Tahu, yaitu sikap dan tindakan yang
selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar; (10) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya; (11) Cinta Tanah Air, yaitu cara berpikir, bertindak,
dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
diri dan kelompoknya; (12) Menghargai Prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (13) Bersahabat/Komunikatif,
yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain;
(14) Cinta Damai, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain; (15. Gemar Membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu
untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli
Lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) Peduli Sosial, yaitu sikap dan tindakan yang
selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; (18)
Tanggung Jawab, yaitu Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Permainan Congklak
Permainan congklak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang. Alat
yang digunakan terbuat dari kayu atau plastik berbentuk mirip perahu dengan panjang
sekitar 75 cm dan lebar 15 cm. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk.
Diantar keduanya terdapat lubang yang lebih kecil dari induknya berdiameter kira-kira 5
130 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
cm. Setiap deret berjumlah 7 buah lubang. Pada setiap lubang kecil tersebut diisi dengan
kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah.
Permainan congklak menggunakan papan permainan yang memiliki 14 lubang
dan 2 lubang induk yang ukurannya lebih besar. Dimainkan oleh 2 orang. Satu lubang
induk terletak pada ujung papan dan lubang induk lainnya terletak diujung lainnya. Di
antara kedua lubang induk terdapat 2 baris yang tiap barisnya berisi 7 lubang yang
jumlahnya 14 lubang.
Melalui proses bermain congklak/dakon pintar yang sudah di desain sedemikian
rupa baik dari cara bermain maupun peralatan tambahan seperti kartu soal yang sudah
dipersiapkan sebelumnya dapat meningkatkan kerjasama antar siswa mereka merasa
lebih senang belajar karena seolah mereka hanya bermain.
Aturan dalam Permainan Congklak
Pertama, Menyiapkan potongan kertas kecil berukuran 10cm x 5 cm berbentuk
persegi panjang sejumlah 14 sesuai jumlah lobang untuk bermain congklak (kertas ini
berisi kartu soal). Guru menyiapkan membuat soal di potongan kertas tersebut yang
memuat berbagai mata pelajaran dan memasukkan di setiap lobang coklak yang akan
dimainkan. Tiap lubang kecil di isi dengan 7 biji yang biasanya terbuat dari kerang atau
plastik. Kecuali lubang induk yang dibiarkan kosong. Setelah menentukan siapa yang
akan mulai lebih dulu, maka permainan dimulai dengan memilih salah satu lubang dan
menyebarkan biji yang ada di lubang tersebut ke tiap lubang lainnya searah jarum jam.
Masing-masing lubang di isi dengan 1 biji. Bila biji terakhir jatuh di lubang yang ada
biji-bijian lain maka biji yang ada di lubang tersebut diambil lagi untuk diteruskan
mengisi lubang-lubang selanjutnya dengan syarat mampu menjawab soal yang ada di
obang saat kita berhenti, dan jika tidk bisa menjawab berarti lawan bermain yang
memainkannya. Jangan lupa untuk mengisi biji ke lubang induk kita setiap melewatinya.
Sedangkan lubang induk lawan tidak perlu diisi.
Kedua, bila biji terakhir ternyata masuk dalam lubang induk kita, berarti kita bisa
memilih lainnya untuk memulai lagi, tetapi bila ternyata saat biji terakhir diletakkan
pada salah satu lubang kosong, berarti giliran untuk lawan kita. Bila lubang tempat biji
terakhir itu ada di salah satu dari 7 lubang yang ada di baris kita, maka biji yang ada di
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
131
seberang lubang tersebut beserta 1 biji terakhir yang ada di lubang kosong akan menjadi
milik kita dan akan masuk dalam lubang induk kita.
Ketiga, Setelah semua baris kosong, maka permainan dimulai lagi dengan
mengisi 7 lubang milik kita, masing-masing dengan 7 biji dari biji yang ada di lubang
induk kita. Dimulai dari lubang yang terdekat dengan lubang induk, bila tidak
mencukupi maka lubang lainnya dibiarkan kosong dan selama permainan tidak boleh
diisi.
Manfaat dari permainan congklak tersebut bagi siswa diantaranya 1) Melatih
karakter kerjasama, toleransi, kompetisi; 2) Melatih kemampuan manipulasi motorik
halus; 3) Melatih konsentrasi; 4) Mendidik sifat sportifitas anak; 5) Melatih kemampuan
mengatur strategi; 6) Sarana belajar berhitung; dan 7) Melatih koordinasi 2 sisi tubuh
Dengan permainan dakon yang sudah dideskripsikan diatas diharapkan beberapa
pendidikan karakter dapat tercapai misalnya karakter kerjasama, bermain jujur, toleransi,
disiplin, kreatif, kerjakeras, rasa ingin tahu, bersahabat, komunikatif.
PENUTUP
Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional, perlu kita kembangkan
demi ketahanan budaya bangsa, karena kita menyadari bahwa kebudayaan merupakan
nilai-nilai luhur bagi bangsa indonesia, untuk diketahui dan dihayati tata cara
kehidupannya sejak dahulu. Bangsa indonesia merupakan bangsa yang besar dalam
keaneka ragaman kebudayaan didalamnya, termasuk permainan tradisional didalamnya,
keanekaragaman permainan tradisional adalah karena banyaknya daerah di indonesia
memiliki kearifan lokal kebudayaan masing-masing, sehingga membentuk masyarakatn
melakukan aktivitas kebugaran jasmani yang berbeda satu daerah dengan yang lainnya.
Melalui permainan congklak yang telah diinovasi ini diharapkan mampu
menjadi media mewujudkan pembelajaran karakter di Indonesia.
Beberapa hal yang bisa kita cita-citakan bersama untuk Indonesia kedepan adalah
sebagai berikut.
1. Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras
Pendidikan karakter dalam permainan congklak/dakon pintar ini merupakan
pendidikan nilai yang diselenggarakan untuk menanamkan semangat suka bekerja
132 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan
mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya.
2. Membentuk Manusia Indonesia yang optimis dan Percaya Diri
Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada
anak sejak dini. Kurangnya sikap optimis dan percaya diri menjadi factor yang
menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat
utuk dapat bersaing
menciptakan kemajuan disegala bidang. Pada masa depan, tentu saja kita akan
semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh percaya diri
dalam menghadapi berbagai situasi. Dan, hal itu terwujud apabila tidak ada upaya
untuk menanamkan kedua sikap tersebut kepada generasi penerus sejak dini.
3. Membentuk Anak yang cerdas iq (matematika, dan pelajaran yang lain) dan eq
(karakter kerjasama, toleransi)
Anak yang cerdas secara iq dan eq adalah anak yang kita harapkan mampu menjadi
penerus generasi bangsa yang baik, Tanpa adanya proses dan persiapan,pembiasaan
dan pendidikan karakter tidak akan mampu mewujudkan generasi yang cerdas dan
berkarakter baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar Arsyad, 2011. Media Pembelajaran Jakarta, PT RajaGrafindo Persada
Samani dan Haryanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Virsya Norla. 2011.Panduan
Jakarta:Laksana.
Menerapkan
Pendidikan
karakter
Di
sekolah,
Waridjan. 1991. Tes Hasil Belajar Gaya Objektif. Semarang: IKIP Semarang Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
133
PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI ANAK MELALUI INTERNALISASI NILAI
PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DI SEKOLAH DASAR
Imam Alfikri Pratama
Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Abstract
Children’s deviate behaviour as an influence from the negative effects that they have
received is a real example of the poorness of children’s character nowadays. So it must
be attempted to build a good character for children since their early age. The values
internalization of PKn in elementary school is one of the effort to build the children’s
character. The best way in inherenting these values is by organizing and using a good
approach of learning.
Keywords: budi pekerti anak, internalisasi nilai, dan pendidikan kewarganegaraan
PENDAHULUAN
Tumbuh kembang karakter seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana anak tersebut mendapat pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang mempromosikan nilai-nilai dalam prosesnya sebagai faktor utama pembentuk
karakter anak. Selain habituasi nilai yang diterima anak dalam keluarga, pewarisan nilai
dalam proses pendidikan formal disekolah juga merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi dalam pembentukan karakter anak. Nilai-nilai didapatkan inilah yang
akan menjadi landasan bagi seorang anak dalam pola perilakunya.
Mempromosikan pewarisan nilai dalam proses pembelajaran di sekolah
merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Ditengah banyaknya pola
perilaku menyimpang anak pada masa sekarang, internalisasi nilai dalam pendidikan
adalah salah satu solusi mujarabnya. Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh anak akhir-akhir ini adalah bukti dari gagalnya pendidikan membentuk anak yang
berbudi pekerti. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya merupakan
tempat yang tepat untuk mempromosikan pembentukan budi pekerti yang didalamnya
terdapat upaya pengajaran nilai. Zakaria (2007) menyebutkan bahwa lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinanan generasi muda diharapkan dapat
134 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
meningkatkan
perananannya
dalam
pembentukan
kepribadian
siswa
melalui
peningkatan intesitas dan kualitas pendidikan budi pekerti.
Pendidikan budi pekerti sebagai pengupayaan pembentukan pola perilaku anak
sejatinya bisa diterapkan pada banyak pelajaran disekolah. Pendidikan sebagai satu hal
yang universal memberikan kesempatan untuk memasukkan pembentukan budi pekerti
melalui proses pembelajaran pada pelajaran disekolah, misalnya pada pelajaran Agama,
pelajaran Pendidikan kewarganegaraaan, pelajaran pendidikan budi pekerti itu sendiiri
ataupun pada pelajaran lainnya. Salah satu pelajaran yang sangat bisa menjadi bagian
dari pendidikan nilai dalam rangka membentuk karakter budi pekerti adalah Pendidikan
Kewarganegaraan.
Dalam Pendidikan kewarganegaan sendiri, pembentukan karakter dan budi
pekerti merupakan salah satu tujuan sama yang hendak dicapai. Rahmat dkk (2009)
mengemukakan
bahwa
Pendidikan
Kewargangeraan
memiliki
sifat
multifaset/multidimensional, sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi
Pedidikan Kewarganegaraan dapat disikapi sebagai; pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan
kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi.
Pendidikan nilai sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan merupakan muatan
wajib yang harus dimuat dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari
pencapaian Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri yaitu “a good citizen”.
Kemudian muncul pertanyaan, sejak kapan upaya mepromosikan nilai pekerti ini
harus dilakukan sehingga bisa membentuk pola perilaku anak yang berbudi pekerti.
Pendidikan nilai sejatinya harus dilakukan sejak dini, karena pembentukan karakter
anak sejak usia dini akan sangat menentukan bagaimana karakter anak dikemudian hari.
Pada jenjang pendidikan formal internalisasi nilai sebagai bagian dari pembentukan
budi pekerti anak bisa dilakukan sejak tingkat sekolah dasar. Hal ini bisa dilakukan pada
proses pembelajaran utamanya pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Yang bisa dilakukan dalam proses internalisasi nilai pada mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan utamanya disekolah dasar adalah merevitalisasi kerangka,
konsep, materi serta pendekatan yang digunakan. Pengajaran yang dilakukan harus
mempromosikan nilai dimulai dari konsep dan materi yang diberikan, kemudian juga
pendekatan yang digunakan juga harus mengupayakan habituasi nilai yang baik.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
135
PEMBAHASAN
Pendidikan Nilai pada Mata pelajaran PKn
Pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk
karakter warga negara. Winataputra (2012) mengemukakan karakter dapat dimakani
sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan
nyata berperliaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasi dari olah pikir, olah
hati, olah raga dan olah karsa. Sebagai mata pelajaran yang bersingungan dengan
karakter, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan harus memiliki muatan dan
pendekatan yang berhubungan dengan sikap dan perilaku baik dititik inilah pentingnya
menjadikan pendidikan nilai sebagai salah satu muatan dan pendekatan dalam
pembelajaran
pendidkan
kewargangeraan.
Lebih
lanjut
Winataputra
(2012)
mengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral atau karatkter sangat diperlukan dilandasi
atas argume: adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai
proses peradaban; peranan satuan pendidikan sebagai pendidik moral yang vital pada
saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; tetap adanya kode etik dalam
masyarakat yang sarat konflik nilai; kebutuhan demokrasi akan pendidikan
moral;kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai;
persoalan mora sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan
yang kuat dan dukunga luas terhadap pendidikan moral disatuan pendidikan.
Nilai Secara etimologis, nilai (value = velare) diartikan sebagai harga,
sebenarnya tidak ada ukuran pasti untuk menentukan; angka kepandaian, banyak
sedikitnya isi; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; serta
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Nilai juga bisa
diartikan sebagai idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan
seseorang atau yang dianggap penting oleh seseorang. Djahiri (1985) mengemukakan
nilai dan sejenisnya merupakan wujud daripada domain afektif serta berada dalam diri
seseorang, dan secara utuh dan bulat merupakan suatus sistem, diamana aneka jenis
nilai (nilai kegamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum etis dll) berpadu jalin menjalin
serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagi sautu kesatuan yang utuh.
Jadi yang dimaksud dengan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai dala sebuah
upaya pendidikan, sehingga nilai-nilai tersebut dihayati, ditempatkan dan dilaksanakan
secara integral dan utuh dalam kehidupan sehari-hari.
136 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
Pada jenjang sekolah dasar pendidikan kewarganegaraan sangat erat kaitannya
dengan pembentukan sikap dan pola perilaku peserta didik karena pada jenjang ini,
pendidikan kewarganegaraan sangat menyentuh aspek sikap dan nilai dalam tujuannya.
Disnilah kemudian muncul alasan mengapa upaya internalisasi nilai melalui pendidikan
kewarganegaraan sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pembentukan budi
pekerti anak. Rahmat dkk (2009) mengemukakan bahwa di sekolah dasar, Pendidikan
Kewarganegaraan lebih dititikberatkan pada penghayatan dan pembiasaan diri untuk
berperan sebagai warga negara yang demokratis dalam konteks Indonesia. Penghayatan
dan pembiasaan diri tersebut hanya bisa dicapai melalui sebuah proses internalisasi nilai
secara menyeluruh bukan hanya melalu sebuah transfer pengetahuan tapi lebih dari itu
nilai yang diajarkan harus berhasi menjadi proses habituasi nilai yang baik.
Untuk itu pembelajaran pendidikan kewargangeraan haruslah menjadi proses
integral yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses pewarisan nilai, hal
tersebut akan menjadi daya dukung pembentukan budi pekerti yang baik bagi anak.
Winataputra dan Sapriya (Rahmat dkk 2009) mengemukakan bahwa untuk
pembelajaran di sekolah dasar mata pelajaran PKn seyogyanya diorganisasikan sebagai
berikut :
1.
Pada jenjang SD kelas rendah (lower primary), yakni kelas 1 s/d 3,
pengorganisasian materi pendidikan kewargangeraan menerapkan pendekatan
terpadu (integrated) dengan fokus model pembelajaran yang berorientasi pada
pengalaman (experienced oriented) dengan memanfaatkan pola pengorgansasian
lingkungan yang meluas (expanding environmet/ community approach). Tujuan
akhir dari pendidikan kewarganegaraan dikelas rendah ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan pengertian awal tentang pentingnya kehidupan
bermasyarakat secara tertib dan damai. Melalui pembiasaan para peserta didik
dikondisikan untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga,
warga sekolah, dan warga masyarakat dilingkungannya secara cerdas dan baik
(good and smart citizen). Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk
belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning
by doing), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural dilingkungannya
(enculturation and socialization)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
137
2.
Pada jenjang SD kelas tinggi (upper primary) (4 s/d 6) pengorganisasian materi
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sama dengan jenjang kelas 1 sampai 3
yakni menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan model pembelajaran
yang
berorientasi
pada
pengalaman
(experience
oriented)
dengan
pola
pengorganisasian lingkunan meluas (expanding environment/community approach)
dengan visi utama sebagai pendidikan nilai dan moral demokrasi (democracy value
and moral education). Perbedaannya, pada jenjang SD kelas tinggi, pembelajaran
sudah mulai dikenalkan mata pelajaran terpisah. Guru SD sebagai guru kelas
membelajarkan lima mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, PKn)
secara terpisah. Namun dianjurkan pula untuk beberapa kompetensi dasar, agar
guru menerapkan pendekatan tematik (integrated) sesuai dengan memperhatikan
prinsip kontekstual, aktualitas, dan kebutuhan peserta didik.
3.
Untuk itu maka substansi pendidikan kewarganegraan di kelas tinggi dipilih dan
diorganisasikan secara terorkestrasi (orchestrated) dengan menekankan pada
tumbuh kembangnya lebih lanjut kesadaran, pengertian, tentang pentingnya
kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai dan mulai tumbuhnya
tanggungjawab kewarganegraan (civic respoblity). Para peserta didik dikondisikan,
difasilitasi, dan ditantang untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota
keluarga, warga sekolah, dan warga mayarakat di lingkungannya yang cerdas dan
baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain
(learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar
melalui pembiasaan serta interaksi sosial kultural dilingkungannya (enculturation
and socialization) termasuk dilingkungannya.
Pengorganisasian pendidikan kewargangeraan yang baik dan tepat akan
berpengaruh terhadap pola sikap dan perilaku anak yang ujungnya adalah
pembentukan budi pekerti yang baik. Proses pembelajaran harus bergeser dari
sekedar transfer pengetahuan menjadi proses penanaman pengetahuan yang
berbasis nilai. Pendidikan sebagai satu proses universal dalam prosesnya selalu
terikat nilai, oleh karena itu pendekatan yang menjadi daya dukungnya pun harus
memiliki pengaruh terhadap proses internalisasi nilai yang dilaksanakan dalam
proses pembelajaran. Douglas Superka dalam Peter morella (Djahiri, 1985)
mengemukakan
ada
delapan
pendekatan
yang
138 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
dapat
dipilih
sebagai
dasar/pendekatan dalam pengajaran nilai, yaitu : a) Evocation Approach
( pendekatan evokasi = ekspresi spontan), b) Pendekatan Incultation ( pendekatan
sugestif terarah), c) Pendekatan Awarenessm atau Kesadaran, d) Moral Reasoning,
e) Pendekatan Analysis atau analisis nilai, f) Value Clarification atau
klarifikasi/pengungkapan nilai, g) Commitment Approach atau pendekatan
kesepakatan, h) Union Approach atau mempersatukan/ mengintegrasikan diri.
Pendekatan-pendekatan diatas dapat digunakan dalam internalisasi nilai
pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan utamanya disekolah dasar,
internalisasi nilai merupakan proses pewarisan nilai yang kemudian menjadi sebuah
proses pembiasaan nilai (habituasi). Melalui pembiasaan nilai dalam kehidupan
inilah maka pembentukan budi pekerti anak yang didasari oleh sikap dan perilaku
yang baik akan terlaksana. Selain pendekatan diatas Zakaria (2007) menawarkan
lima pendekatan yang bisa dipakai dalam pendidikan nilai, kelima pendekatan
tersebut adalah pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif,
pendekatan analisi nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran
berbuat.
Pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan yang baik serta penggunaan
pendekatan pembelajaran yang baik akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian
hasil proses pembelajaran utamanya sikap dan perilaku peserta didik. Hasil dari
proses pembelajaran inilah yang akan menjadi tolak ukur bagaimana sebuah proses
pembelajaran tersebut bisa dikatakan berhasil. Proses pembelajaran dikatakan
berhasil melakukan proses internalisasi nilai yang mendukung pembentukan budi
pekerti anak.
PENUTUP
Pendidikan merupakan sebuah proses yang selalu terikat nilai, karena itu dalam
setiap proses pelaksaannnya pendidikan akan selalu menuntut terjadinya internalisasi
nilai.
Pada anak pewarisan nilai ini merupakan suatu hal tidak bisa ditawar lagi
ditengah banyaknya praktek perilaku menyimpang anak yang jauh dari budi pekerti
yang baik, pendidikan kewargangeraan sebagai salah satu pelajaran disekolah harusnya
juga bisa menjadi sarana internalisasi nilai sebagai bagian dari pembentukan budi
pekerti anak ini. Pengorganisasian dan penggunanan pendekatan yang tepat dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
139
mengajarkan nilai dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah
dasar merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam proses internalisasi nilai
sebagai bagian dari pembentukan budi pekerti yang baik bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA
Djahiri, A Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games
dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKn FPIPS IKIP Bandung.
Hakam, Abdul Kama. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung.
Rahmat, Dkk (2009). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:
Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.
Winataputra, Udin S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ( Gagasan, Instrumentasi,
dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Press
140 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
PEMBELAJARAN SAINS DENGAN SIKLUS BELAJAR DO-TALK-DO
SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI SISWA
Jan Pieter
PendidikanFisika
FKIP Universitas Cenderawasih
E-mail: [email protected]
Abstract
Indonesian nation are facing a major problem with many problems, especially with the
moral degradation experienced by young people. Various problems that plagued the
students recently predicted due to the decline of morality and manners of the young
generation of Indonesia. Education is a long-term investment, through the education of
social ills associated with manners among the youth generation can be improved. One
of the sub-system of education that is learning, is believed to develop the morality of
this nation in a positive direction with a persuasive means implemented in the form of
learning in the classroom. To facilitate learning, including the IPA can be done through
the learning cycle Do - Talk - Do. Learning science is to familiarize Do-Talk-Do can
facilitate the development of the character, as a mental indicator of students
demonstrated in behavior, character, or a character they influenced his inner nature,
becomes habit and a never ending process.
Keywords: Science education, learning cycle Do-Talk-Do
PENDAHULUAN
Baru saja dunia pendidikan di Indonesia dikejutkan dengan kasus Yuyun di
Bengkulu. Seorang anak SMP yang diperkosa oleh 12 orang yang menyebabkan Yuyun
meninggal dunia akibat pendarahan yang hebat. Kemudian kasus di Surabaya, dimana
siswa SMP diperkosa secara beramai-ramai oleh teman-temannya. Dan berbagai kasus
perkosaaan lain dan penggunaan narkoba di tempat lain di Indonesia tercinta. Fenomena
gang motor yang anggotanya adalah anak-anak sekolah, yang selalu membuat keonaran
dan bertindak kriminal, membuat wajah dunia pendidikan di Indonesia semakin kelam.
Yang membuat dunia pendidikan berduka adalah korban dan pelaku adalah anak-anak
usia 9 hingga 15 tahun, usia dimana seharusnya anak-anak tersebut sedang bermain dan
bercanda ria. Tampakanya ada yang salah dalam proses pembentukan mental dan
karakter anak-anak di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
141
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tampaknya telah gagal membentuk
moralitas siswanya. Proses pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan
sistematis untuk membentuk terwujudnya manusia Indonesia yang bermoral,
berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur merupakan tujuan dari
pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan
pendidikan nasional. Namun kondisi ideal tersebut tampakanya jauh panggang dari api,
telah terjadi krisis moral di lingkungan pendidikan di Indonesia.
Ironis, demikian mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan institusi
pendidikan ini dalam medan krisis moral, yaitu jika tidak mampu lagi mewujudkan
misinya membentuk insan bernurani, berbudi luhur, taat menjalankan agamanya, sopan
santun, jujur, memiliki hati yang bersih, dan peka terhadap lingkungan; cendekia: tajam
pemikirannya, cepat tanggap terhadap situasi, berpikir logis, dan pandai mencari jalan
keluar dari permasalahan; dan mandiri: percaya diri dan mampu mencukupi kebutuhan
sendiri (Zuchdi, 2011). Pada saat materi budi pekerti diintegrasikan atau disisipkan ke
dalam mata pelajaran lain, maka mata pelajaran yang mendapatkan titipan itu adalah
yang paling dekat dengan sifat, karakter, atau misi mata pelajaran ini, seperti
Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Namun boleh dikatakan setiap materi pelajaran seperti matematika, bahasa, olah raga
bahkan IPA (sains) pasti memuat nilai-nilai budi pekerti dalam materinya.
Sebagai contoh pendidikan sains, dalam pendidikan sains siswa di tekankan
untuk jujur, teliti, tidak mudah menyerah, mau bekerja sama dan mau menghargai
pendapat orang lain yang mungkin tidak sesuai dengan pendapatnya pribadi. Oleh
karena itu, sebagai bagian kecil dalam medan pendidikan, pendidikan sains tentu dan
seharusnya bersama unsur pendidikan lainnya, menunjukkan perannya dalam
mengembangkan pendidikan budi pekerti untuk mengatasi carut marut moral bangsa
Indonesia sekarang ini. Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana pelajaran IPA
(sains) membentuk budi pekerti siswa sekolah dasar.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian pendidikan budi pekerti
Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti diartikan sebagai kesusilaan
yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia; sedangkan manusia
142 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan batiniyahnya sesuai dengan norma
etik dan moral. Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku seharihari, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilainilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan,
integritas, dan kesinambungan masa depan dalam suatu sistem moral, dan yang
menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran
agama serta budaya Indonesia.
2.
Makna pendidikan budi pekerti
Secara konsepsional, Pendidikan Budi Pekerti dapat dimaknai sebagai usaha
sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan, serta
keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang
berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang.
Pendidikan budi pekerti juga merupakan suatu upaya pembentukan, pengembangan,
peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mau dan
mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara
lahir-batin, jasmani-rohani, material-spiritual, dan individu-sosial. (Balitbang
Puskur, Depdiknas, 2001).
Sedang secara operasional, pendidikan budi pekerti dapat dimaknai sebagai
suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya yang
tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya
berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia
melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka
memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam
melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang
Puskur, Depdiknas, 2001).
Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti
menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah
kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahaptahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat
memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
143
berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi
seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan
lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional.
Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan
seterusnya.
3.
Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya
dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama
ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang
telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata
pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun
bahasa daerah). Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi
pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Strategi ketiga ialah dengan
mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan
atau direncanakan. Dan strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan
kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik (Ali Muhtadi, 2010).
Berkaitan dengan implementasinya di sekolah, maka kepala sekolah dan
guru dapat mengajarkan budi pekerti kepada siswanya dengan cara: memberikan
keteladanan, menunjukkan sikap budi pekerti dalam kegiatan spontan, menegur
siswa yang terbukti berperilaku buruk, mengkondisikan suasana sekolah
sedemikian rupa, mempraktekkannya dalam kegiatan rutin di sekolah (Ali Muhtadi,
2010).
4.
Pembelajaran Sains (IPA)
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar,
serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan
144 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran IPA di SMP/MTs
menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui
penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.
5.
Pengembangan pembelajaran nilai dalam Sains
Pengembangan pendidikan nilai dalam pembelajaran sains harus terkait erat
dengan hakekat sains itu sendiri. Hakekat sains sebagai proses, produk, dan hasil
kreativitas manusia. Sains sebagai sebuah proses akan mengandung nilai-nilai
sosial dan moral. Acapkali riset-riset para ilmuwan sains ditangani secara
kooperatif dan kolaboratif. Para ilmuwan pun dalam proses penemuannya,
senantiasa menghargai temuan sebelumnya, sehingga perkembangan sains berjalan
secara vertikal dan maju terus ke depan. Ini semua karena riset-riset yang dilakukan
setelahnya memperdalam dan mengembangan riset sebelum yang dilakukan oleh
ilmuwan berbeda-beda. Seorang saintis dituntut pula jujur, cermat, dan teliti dalam
proses menghasilkan produk sains. Kejujuran sainstis akan diuji oleh serangkaian
eksperimen berulang, uji validasi oleh ilmuwan lain, dan uji publik dihadapan para
sainstis lainnya.
Sains sebagai sebuah produk mengandung nilai-nilai humanisme dan
religius. Produk sains acapkali memberi manfaat yang besar bagi manusia. Sains
sebagai hasil kreatifitas manusia, mengandung nilai ilmiah. Produk sains yang
berdaya guna dihasilkan dari sebuah proses pengindraan yang cermat terhadap fakta,
rasa ingin tahu yang banyak ketika mengindra fakta, rasa ingin meneliti atau
menemukan (inquri) untuk memecahkan kesenjangan antara fakta dan rasa ingin
tahunya, yang semuanya dilakukan dengan pikiran yang logis, rasional, kreatif, dan
kritis.
Dalam konteks school science (sains yang diajarkan di sekolah), nilai-nilai
moral, social, religius, dan humanis dari sains harus disumblimasikan dalam jiwa
anak ketika belajar sains. Jadi pembelajaran sains bukan sekedar mempelajari
rangkaian fakta di alam, tetapi bagimana upaya memperoleh dan memanfaatkan
fakta-fakta itu. Upaya memperoleh fakta sains yang penuh nilai curiosity, inquiry,
kejujuran, ketelitian, kecermatan, dan kerjasama.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
145
6.
Siklus Belajar dalam Pembelajaran Sains/IPA
Cara-cara mengajar, termasuk IPA di SD yang tepat seperti disarankan
Joyce, Weil dan Showers (1992) telah tercakup dalam membelajarkan anak dalam
tahap operasional konkret, melalui pendekatan terpadu/tematik, proses, diskoveriinkuiri, pemecahan masalah, dan konstruktivistik. Untuk memfasilitasi cara-cara
mengajar IPA demikian itu, diantaranya dapat dilakukan melalui siklus belajar DoTalk-Do (DTD) .
Siklus belajar DTD, dikenalkan pertama kali oleh Karplus dan Their
(Lawson, 1995) dalam buku panduan guru pada program Science Curriculum
Improvement Study di sekitar awal Tahun 1970. Siklus belajar ini dilakukan melalui
tiga fase; exploration, invention, dan discovery. Siklus belajar ini semula
dikembangkan untuk mengajar fisika terutama bagi peserta didik yang kemampuan
berpikirnya berada pada tahap operasional konkret.
Tahap exploration dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada peserta
didik melakukan eksplorasi bahan-bahan atau ide-ide baru dengan bimbingan atau
harapan minimal terhadap prestasi tertentu. Pada tahap ini, peserta didik bisa
belajar melalui reaksi spontan mereka sendiri tentang topik baru. Teori Piaget
tentang pengembangan kognitif menunjukkan bahwa pada tahap operasional
konkret peserta didik dapat dengan lebih mudah mempelajari hal-hal abstrak
apabila dimulai dengan hal-hal yang kongkret.
Dalam tahap invention, guru mengenalkan konsep-konsep, prinsip-prinsip,
dan teori-teori baru. Untuk menjelaskan hal-hal tersebut guru hendaknya merujuk
pada aktivitas dalam tahap eksplorasi. Guru hendaknya juga menjelaskan penerapan
gagasan baru untuk mengembangkan pengetahuan, pikiran dan keterampilanketerampilan peserta didik. Beberapa buku rujukan menyebut tahap ini sebagai
tahap pengenaIan konsep.
Tahap discovery dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada peserta
didik menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru.
Aktivitas-aktivitas peserta didik dalam tahap hendaknya juga memasukkan analisis
teoritik konsep-konsep, prinsip-prinsip, atau teori-teori untuk memperkuat
pemahaman mereka. Dalam beberapa buku rujukan, tahap discovery disebut tahap
application.
146 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
Ketiga istilah dalam fase tersebut, yaitu eksplorasi, pengenalan istilah, dan
aplikasi oleh Ramsey (1990) dimodivikasi menjadi Do-1, Talk, dan Do-2 yang
kemudian disingkat menjadi DTD. Sebagai ilustrasi penggunaan siklus DTD dalam
pembelajaran IPA pada topik tertentu, misalnya cara kerja lensa, dapat diuraikan
sebagai berikut (Zuhdan, 2001). Do-1: eksplorasi; pada awal siklus belajar ini
siswa diberi sebauh lensa konveks dan mintakan mereka menemukan apa saja yang
diperoleh tentang lensa, dan membuat serta mencatat beberapa hasil pengukuran
yang mereka anggap penting, sesekali siswa juga menemukan bahwa lensa
memproyeksikan bayangan pada kartu. Kadangkala siswa menemukan bahwa jarak
antara lensa dan bayangan pada kartu adalah sesuatu yang berubah-ubah (variable)
sebab siswa menggunakan benda, biasanya lampu, yang relative dekat dengan
lensa. Meraka juga sering bertanya tentang apa yang akan terjadi bila benda
digerakkan mendekati (atau menjauhi) lensa. Meraka mungkin telah menemukan
bahwa untuk setiap jarak antara benda dan lensa hanya ada satu jarak yang
bayangannya jelas terfokus di kartu, seperti benda digerakkan mendekati lensa,
akhirnya bayangan lensa menjadi besar. Efek tersebut memberikan kesempatan
guru untuk memperkenalkan istilah perbesaran (M), dan setelah beberapa waktu,
dengan mengulang-ulang yang mereka lakukan siswa akan menemukan bahwa
tidak peduli seberapa jauh mereka menggerakkan benda dari lensa. Jarak antara
lensa dan bayangan benda relatif konstan.
Talk: pengenalan istilah; ketika investigasi dalam eksplorasi berlangsung,
data numerik yang diperoleh dalam pengukuran perlu diuji. Minta siswa
menuliskan data mereka di papan tulis. Data tersebut memuat pengukuran jarak
bayangan dan jarak benda yang dilakukan. Bila belum dilakukan hal ini merupakan
kesempatan untuk mengenalkan gagasan-gagasan tersebut: Seringkali dan tidak
banyak waktu akan sia-sia, siswa akan mendapat bahwa bila jarak kedua diperbesar,
jarak bayangan relatif konstan. Data yang telah dikumpulkan kelas akan jelas pada
maksud tersebut sebelum istilah sentral dimunculkan dari siklus belajar, panjang
fokus dikenalkan. Umumnya, konsep
panjang
fokus
lensa konveks dapat
dikenalkan sebagai berikut. Bila jarak antara benda dan lensa menjadi besar, jarak
antara
lensa
dan bayangan (terbalik) menjadi konstan. Jarak tersebut disebut
sebagai panjang focus lensa. Sainwan sering kali berpedoman pada letak benda
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
147
berada di jauh tak terhingga dari lensa. Tetapi sering kali siswa tidak memahami
pedoman tersebut walaupun hal ini akan terlambat jika guru tidak memperkenalkan
sekarang. Pedoman tersebut mungkin tidak bermakna bagi siswa karena selama
investigasi jarak-jarak tersebut dikenalkan menjadi besar dan bukan jauh tak
terhingga. Meskipun jauh tak terhingga merupakan istilah yang agak tidak pasti.
Do-2: aplikasi konsep; siswa kini siap mengaplikasikan gagasan tentang
panjang fokus. Terdapat dua hal penting dalam fase siklus belajar ini, pertama
mengikuti gagasan tersebut, walaupun kita sebagai guru dapat memikirkan cara
lain sebagai alternatifnya. Kedua, aplikasi konsep dapat dikemukakan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan, misalnya "(1) Seberapa dekat benda dapat digeser ke lensa
sebelum jarak bayangan mulai berubah?" Ketika jarak bayangan mulai berubah, hal
ini tidak melebihi panjang fokus. Dalam hal ini jauh tak terhingga (dan mungkin
sebaliknya) dapat dikenalkan. Data dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan
pertama dengan menggerakkan benda mendekati dan menjauhi lensa konveks dan
pengukuran antara jarak lensa dan bayangan yang diproyeksikan pada kartu.
Dengan demikian apa yang sesungguhnya diteliti adalab ukuran. relatif jauh tak
berhingga yang pada lensa ukurannya bergantung pada ketipisan lensa.
Dalam kesempatan ini salah satu tujuan fase aplikasi adalah meningkatkan
pemeriksaan ulang. Bila pasangan-pasangan baru diperkenalkan siswa memahami
dengan baik melalui beberapa rekannya. Satu tujuan pokok fase aplikasi adalah
meningkatkan kesediaan guru-guru sebaya terlibat dalam proses ini. Namun
demikian sumbangan kesimpulan dengan data lebih penting daripada kesimpulan
itu sendiri. Jadi ketika evaluasi pada sumbangan siswa terhadap aplikasi suatu
pengenalan gagasan baru, pembahasan data dan sifat argumentasi lebih penting
daripada kesimpulan yang diperoleh.
Pertanyaan (2): "Bagaimana perbandingan ketebalan dan ketipisan panjang
fokus lensa?" Pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan kedua adalah dua
atau lebih lensa dapat digabungkan pada permukaan dengan selotip. Teknik yang
diberikan memberikan siswa untuk memulai dengan sebuah lensa dan
menambahkan bila mereka menginginkan, meskipun sainwan kadang-kadang tidak
setuju karena adanya udara yang berada di antara permukaan kedua lensa konveks.
Tetapi seringkali hasilnya menunjukkan bahwa ketika lensa digabungkan
148 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
menaikkan ketipisannya, panjang fokusnya menjadi lebih pendek. Seluruh proses
penempelan kedua lensa bersama-sama tidak diperlukan bila tersedia lensa dengan
beberapa variasi ketipisannya.
Tiga fase yang dilakukan siswa melalui siklus DTD tersebut mengilustrasi
an pembiasaan-pembiasaan yang secara berkelanjutan dapat mengembangkan nilainilai karakter atau sikap mental dari masing-masing fase dalam pembelajaran IPA.
Pengembangan nilai-nilai pembentuk mental, pembiasaan melalui aktivitas belajar,
dan fase-fase dalam siklus belajar IPA disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Pengembangan nilai-nilai dan fase siklus DTD
No.
Fase
Pembiasaan Aktivitas
Nilai-Nilai
Keterangan
Siswa
1.
Do-1:
Menemukan apa saja yang Tangguh, teliti
Nilai-nilai
Eksplorasi
diperoleh tentang lensa
yang
Membuat
dicantumkan
serta
mencatat Hemat, jujur,
beberapa hasil pengukuran
hanya
Menemukan bahwa lensa Teliti,sabar
aspek
memproyeksikan bayangan
afeksi/mental,
pada kartu
tanpa
Menanyakan apa yang akan Ingin tahu, teliti
mengabaikan
terjadi
benda
ranah
lain
digerakkan mendekati atau
yang
juga
menjauhi lensa
dapat muncul
bila
Menemukan
bahwa Disiplin,
dari
teliti, bersamaan
seberapapun jauh mereka sabar
dari kognitif
menggerakkan benda dari
maupun
lensa, jarak antara lensa dan
psikomotorik
bayangan benda konstan
2.
Talk:
Mengkomunikasikan
Pengenalan dengan
Istilah
lisan
data Tanggung jawab,
maupun jujur.
tulisan
Mengenali beberapa istilah- Teliti, cermat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
149
istilah konsep sains baru
3.
Do-2:
Mengaplikasikan
gagasan Percaya diri
Aplikasi
baru
Konsep
Memahami dan mengikuti Terbuka,
gagasan baru
mengakui
kebesaran Tuhan
Mengemukakan
Ingin tahu
pertanyaan-pertanyaan baru
Melakukan penelitian untuk Produktiv,
menemukan konsep baru
inovatif
PENUTUP
Pembelajaran IPA sebagai salah satu sub sistem pendidikan, seperti dalam
pembelajaran bidang studi lainnya, diyakini dapat memberi sumbangan dalam upaya
merubah mental dan budi pekerti anak bangsa ini ke arah positif. Pembelajaran IPA
yang membiasakan Do - Talk- Do dapat memfasilitasi pengembangan karakter, sebagai
indikator mental siswa yang ditunjukkan dalam tingkah laku, budi pekerti, atau tabiat
mereka yang dipengaruhi sifat batinnya, menjadi habit dan proses yang tidak pernah
berhenti. Dengan keyakinan itu pembelajaran IPA (sains) melalui TDT di jenjang
pendidikan dasar, yang memfasilitasi pembiasaan dan kerbelanjutandalam menguak
alam
semesta memberi
kesempatan
yang
seluas-luasnya
pada
siswa untuk
mengembangkan budi pekerti siswa.
Saran penulis adalah hendaknya pembelajaran ini bisa diimplementasikan secara
kontinyu agar terbentuk nilai-nilai positif pada diri siswa dan pembelajaran IPA menjadi
sarat makna.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhtadi. 2010. Strategi Implementasi Budi Pekerti yang Efektif di Sekolah. Jurnal
Dinamika Pendidikan No. 01/XVII/Mei/2010.
Dimyati Zuchdi dkk. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktis.
Yogjakarta: UNY Press.
150 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
Haidar Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1.
Joyce, Bruce., Weil, Marsha., Showers, Beverly. 1992. Models of Teaching. 4th Edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Lawson, Anton E. 1995. Science Teaching and The Development of Thinking. Belmont,
California: Wadsworth Pub. Co.
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. 1997. Pedoman Pengajaran
Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Ramsey, M. Jhon. 1990. Investigating and Evaluating STS Issues and Solutions. Illinois:
Stipes Publising Company.
Zuhdan K.P. 2001. Kapita Selekta Pembelajaran Fisika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
151
PERAN BUDAYA SEKOLAH DALAM MEWUJUDKAN
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Kristi Wardani
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
E-mail: [email protected]
Abstract
The development of science, technology and information today raises many challenges
for all mankind in the world, including Indonesia. Some of this recent period, many
social phenomena, such as high crime and violence, drug abuse, corruption is an
indicator of the weakness of character education in Indonesia. Schools in essence not
just a mere transfer of knowledge. Schools as an educational institution should also
implement value-oriented learning to build the character of students. Character
formation of students to do one of them through a cultural approach of the school. The
presence of school culture has a role in assisting and build character of students through
habituation-conditioning as well as actions carried out continuously by the entire school
community. The school culture can be classified culture and cultural observable
unobservable expected to equip students for the excesses of modernity and globalization.
Keywords: school culture, character education
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi saat ini menimbulkan
banyak tantangan bagi seluruh umat manusia di dunia termasuk Indonesia. Beberapa
kurun waktu belakangan ini, banyak fenomena sosial yang terjadi, diantaranya tingginya
tindak kriminalitas dan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, kasus korupsi
merupakan indikator lemahnya pendidikan karakater di Indonesia. Krisis karakter yang
dialami bangsa Indonesia saat ini sudah pada titik yang sangat mengkhawatirkan, seperti
sifat tulus, kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab seketika digantikan dengan
dengan nilai-nilai kekerasan serta budaya instan.
Munculnya krisis karakter mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang
dilaksanakan di sekolah. Menurut Koesoema praktik pendidikan yang mengutamakan
angka atau hasil yang terkuantifikasi membuat pendidikan karakter di sekolah tumpul
(Kompas, 2 Mei 2016 hal.15). Sistem pendidikan selama ini diterapkan hanya
mengandalkan dan mengutamakan pencapaian pengetahuan semata tetapi melupakan
penanaman nilai kepribadian, pembelajaran larut dalam orientasi hasil dan menafikan
152 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
proses sehingga mentalitas menerabas pun marak yang berakibat bangsa ini tidak
pernah keluar dari persoalan-persoalan yang melanda dunia pendidikan.
Pendidikan seharusnya berorientasi membangun karakter siswa yang diperlukan
dalam rangka mengembangkan dan menguatkan sifat-sifat mulia, bertanggung jawab,
disiplin, berbudi pekerti luhur, mandiri, namun melihat krisis karakter yang terjadi
membuktikan bahwa sistem pendidikan belum membentuk sumber daya manusia yang
diharapkan. Hal ini ditegaskan Akmad Sudrajat (2010:5), kurang berhasilnya sistem
pendidikan membentuk sumber daya manusia dengan karakter yang tanggung jawab,
berbudi pekerti luhur, disiplin dan mandiri, terjadi di semua lembaga pendidikan baik
negeri maupun swasta. Lebih jauh dikatakan bahwa upaya nation and character
building yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia terkesan tidak berjalan
seperti yang diinginkan. Artinya sekolah belum mengoptimalkan peran budaya sekolah
untuk keberhasilan pendidikan padahal budaya sekolah mempunyai peran penting
dalam menumbuhkan nation and character building sesuai dengan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia.
Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer of knowledge belaka.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya juga melaksanakan pembelajaran yang
beroreintasi pada nilai untuk membangun karakter siswa. Pembentukan karakter siswa
dapat dilakukan salah satunya melalui pendekatan budaya sekolah sebagaimana yang
menjadi grand design pendidikan karakter karena karakter sebagai suatu “moral
excellence” atau akhlak dibangun
di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada
gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi nilia-nilai yang berlaku dalam budaya
(Kemendiknas, 2010:iii).
Karakter yang dimiliki siswa berdasarkan nilai-nilai,
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia maka
pendidikan karakter melalui budaya sekolah diarahkan pada upaya membentuk
kepribadian siswa yang baik.
Menurut Bagus Mustakim (2011:95-96), pendekatan budaya sekolah adalah
pengelolaan pendidikan karakter, artinya karakter siswa dapat dibentuk melalui budaya
sekolah yang kondusif. Budaya sekolah yang kondusif adalah keseluruhan latar fisik
lingkungan, suasana sekolah, rasa, sifat dan iklim sekolah yang secra produktif mampu
memberikan pengalaman baik bagi tumbuh kembangnya kecakapan hidup siswa yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
153
diharapkan. Pendidikan karakter dan pendidikan kecakapan hidup siswa akan efektif
bilamana disemaikan dalam budaya sekolah.
Keberadaan budaya sekolah yang kondusif memiliki peran yang sangat vital dan
strategis bagi keberhasilan pendidikan karakter karena karakter bukan dibentuk seperti
ilmu pengetahuan, tetapi dibangun melalui contoh dan teladan yang dilakukan oleh
semua warga sekolah yang melibatkan dimensi emosional dan sosial. Implementasi
pendidikan karakter tidak sekedar dalam bentuk “menitipkan” muatan-muatan karakter
ke dalam keseluruhan atau sebagian mata pelajaran tetapi pendidikan karakter akan
efektif bilamana juga dikembangkan melalui kegiatan praktik dalam kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum) sekolah yang dilaksanakan secara terus menerus
melalui pembiasaan-pembiasaan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh
warga sekolah.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter
Istilah “karakter” dalam bahasa Yunani dan Latin, character berasal dari kata
charassein yang artinya ‘mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan’. Menurut
Kemendiknas (2010:7) karakter adalah nilai-nilai kebaikan yang terpateri dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku. Seseorang dikatakan mempunyai karakter apabila
orang tersebut mempunyai kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berakhlak.
Secara historis filosofis “Bapak” Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara,
menyatakan bahwa “…pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh
anak.Bagian-bagian tersebut tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup anak-anak kita (Kemendiknas, 2010). Berdasar rumusan tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh
memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual,
maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional mempunyai misi mulia terhadap
individu peserta didik sebagai pemilik masa depan negara kebangsaan Indonesia.
Pendidikan karakter bangsa atau Nation and character building, atau
pembentukan watak bangsa bukanlah hal yang mudah. Pendidikan karakter adalah
sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process) selama
154 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Membentuk watak merupakan suatu proses
pembudayaan. Oleh karenanya muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup
dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona: 1991). Ketiga
unsur tersebut saling berkaitan. Unsur pengertian moral adalah kesadaran moral,
pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, rasionalitas
moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan tentang keputusan
berdasarkan nilai moral, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri.
pengertian
Segi
atau kognitif ini cukup jelas dapat dikembangkan dalam pendalaman
bersama di kelas maupun masukan orang lain. Dari segi kognitif ini, siswa dibantu
untuk mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu harus dilakukan dalam
hidup mereka. Dengan demikian siswa sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan
sadar akan apa yang dilakukan.
Unsur perasaan moral meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak
baik), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai
kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati.
Perasaan moral ini sangat mempengaruhi
seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat; maka perlu mendapat
perhatian. Dalam pendidikan nilai, segi perasaan moral ini perlu mendapat tempatnya.
Siswa dibantu untuk menjadi lebih tertarik dan merasakan bahwa nilai itu sungguh baik
dan perlu dilakukan.
Unsur tindakan moral adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan
keputusan dan perasaan moral dalam tindakan konkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa
kemauan kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia
tidak akan melakukaknnya. Dalam pendidikan nilai, kemampuan untuk melaksanakan
nilai dalam tindakan nyata, kemauan dan kebiasaan melakukan nilai tersebut harus
dimunculkan dan ditingkatkan. Dengan demikian tampak jelas bahwa penanaman nilai
ketiga unsur pengertian, perasaan, dan tindakan harus ada. Nilai harus dimengerti isinya
dan alasannya mengapa harus dilakukan; perasaan akan mengiyakan penerimaan nilai
tersebut, dan akhirnya nilai itu diwujudkan dalam tindakan nyata. Hal ini memerlukan
keterlibatan dari orang-orang, dibentuk melalui pendidikan, yang lebih mengutamakan
pembelajaran, keteladanan, serta pembiasaan . Pendidikan karakter mempunyai makna
lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
155
Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang
baik, sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif domain), mampu merasakan
(afektif domain), dan biasa melakukan (psychomotor domain). Pendidikan karakter erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau
dilakukan (Kemendiknas, 2010: 10). Jadi belum dikatakan karakter jika belum
dilakukan atau belum menjadi perilaku yang menjadi kebiasaan. Berkenaan dengan
pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas
emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan
anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis. Pendidikan karakter adalah mengukir akhlak melalui
proses knowing the good, loving the good, and acting the good yaitu proses pendidikan
yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir
menjadi kebiasaan berpikir, bersikap dan bertindak.
Tinjauan Budaya Sekolah
Menurut Zamroni (2011:297) budaya sekolah merupakan pola asumsi dasar, nilainilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan bersama oleh
seluruh warga sekolah yang dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai persoalan
dalam beradaptasi dengan lingkungan baru dan melakukan integrasi internal. Menurut
Kemendiknas (2010:19) budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup
ritual, harapan, hubungan demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler,
proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di
sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik
berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya,
pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat
sekolah yang terikat oleh aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu
sekolah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, bahwa budaya sekolah merupakan
proses interaksi yang didasari oleh nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan, norma-norma yang berlaku dan digunakan sebagai spirit dalam
156 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
berperilaku, yang ditampakkan oleh warga sekolah secara konsisten dalam kehidupan
baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari serta mengambil keputusan yang tepat.
Peran Budaya Sekolah dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di Sekolah
Dasar
Karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mendasarinya dalam
bersikap dan bertingkah laku. Salah satu upaya untuk membentuk karakter siswa di
sekolah dasar adalah melalui peran budaya sekolah. Menurut Depdiknas (2003:10)
sekolah sebagai sistem memiliki tiga aspek pokok yang erat kaitannya dengan sekolah
efektig yakni proses belajar mengajar, kepemimpinan, dan manajemen sekolah serta
budaya sekolah. Sekolah sebagai sistem budaya dapat dipahami dalam dua aspek
meliputi; a) sekolah dapat membentuk dan membangun sistem budaya sendiri seperti
yang tampak ketika lulusan atau output dari sekolah itu memiliki karakteristik dan
berbeda dengan lulusan atau output dari sekolah lain; b) sekolah merupakan bagian dari
sistem budaya masyarakat, misalnya budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah
diakomodir atau fokus perhatian sekolah dalam menciptakan budaya sekolah artinya
pembentukan budaya sekolah dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat sekitar
sekolah.
Sekolah dasar sebagai peletak dasar dalam lembaga pendidikan berperan bukan
sekedar mentransmisikan pengetahuan semata, namun berkaitan nilai-nilai karakter
yang dikemas melalui budaya sekolah. Budaya sekolah tersebut meliputi: a) budaya
yang dapat diamati, berupa konseptual yaitu sktruktur organisasi, kurikulum, behavior
(perilaku) yaitu kegiatan belajar mengajar, upacara, prosedur, peraturan dan tata tertib,
material yaitu fasilitas dan kelengkapan; b) budaya yang tidak dapat diamati berupa
filosofi yaitu visi, misi serta nilai-nilai; yaitu kualitas, efektivitas, keadilan,
pemberdayaan dan kesidiplinan (Depdiknas, 2003:1)
SIMPULAN
Pendidikan
karakter
di
sekolah
dimaknai
sebagai
pendidikan
yang
mengembangkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) atau nilai-nilai (values) yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
157
diyakini oleh sekolah dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter di sekolah dasar perlu digairahkan lagi
karena keberhasilan siswa-siswa dalam menghadapi kehidupan yang akan datang
ditentukan oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain dan bukan semata-mata
karena penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknis. Kehadiran budaya sekolah
memiliki peran dalam membantu dan menggulawentah karakter siswa
melalui
pembiasaan-pembiasaan serta tindakan yang dilakukan secara terus menerus oleh
seluruh warga sekolah. Budaya sekolah tersebut dapat diklasifikasikan budaya teramati
maupun budaya yang tidak dapat diamati diharapkan dapat membekali dan membetengi
para siswa untuk menghadapi ekses dari kemoderenan dan globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas.2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas
Kompas, 2 Mei 2016. “Sekolah Terjebak Pragmatisme,” Kompas. Hlm 15.
Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York; Bantam Books.
Suyanto. 2010. Urgensi pendidikan karakter.http://waskitamandiribk.wordpress.com.
Diunduh pada 19 September 2010.
Sudrajat,
Akhmad.
2010.
Pengembangan
Budaya
Sekolah.
Diakses
melalui
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/03/04/manfaat-prinsip-dan-asaspengembangan-budaya-sekolah/
158 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR
UNTUK MENGANTISIPASI DEMORALISASI BANGSA
Kriswantoro
Arman Efendi
Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta
Email: [email protected], [email protected]
Abstract
The article aims to describe (1) the implementation of moral education in elementary
schools, (2) the role of moral education to anticipate of nation demoralization, and (3)
the inhibiting and supporting factors of the implementation of moral education in
elementary schools. The article is a literature study, by analyzing the supporting and
inhibiting factors as well as the obstacles faced by educators in implementing the moral
education in elementary schools. Those are necessary to face the demands of the
government on the implementation of moral education that must be implemented in
every level of education in Indonesia. The article concludes that moral education should
be implemented in an early age, starting from the primary education to higher education.
The successful of moral education cannot be separated from the role of educators and
parents. Implementation of moral education should be able to anticipate the
demoralization of the learners.
Keywords: character education, demoralization, elementary school.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanahkan
agar pendidikan tidak hanya memberi
kesempatan untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas semata, tetapi juga
berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang
tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa
serta
agama. Tujuan yang terkandung dalam Pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003 agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya yaitu
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
dan keterampilan. Secara hakiki empat komponen yang disebutkan pertama dari enam
potensi peserta didik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut
merupakan pengembangan karakter.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
159
Pengembangan potensi peserta didik bernuansa karakter tersebut
seharusnya
mendapat perhatian khusus dalam praktik pendidikan di Indonesia. Empat potensi
peserta didik yang penting terkait dengan pendidikan karakter yakni kekuatan spritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia ternyata belum
mendapatkan proporsi yang memadai dalam proses pembelajaran. Potensi-potensi
peserta didik itu belum terinteg-rasikan secara optimal dalam pembelajaran, sehingga
terjadi pendangkalan nilai karakter di kalangan anak dan remaja dewasa ini.
Pendidikan karakter sangat penting dan diperlukan dalam kehidupan
sebagai
individu, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan karakter didasarkan pada
keyakinan bahwa pengembangan etika, sosial dan emosional peserta didik sama
pentingnya dengan prestasi akademik. Banyak penelitian telah membuktikan dampak
positif pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik. Dalam bulletin hasil
studi Marvin Berkowitz dari University of Missouri St. Louis (2005) diungkapkan
bahwa terdapat peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik
pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara
komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis
pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Persoalan pendidikan moral atau budi pekerti atau akhlak hingga saat ini tak
habis-habisnya diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan menjadi trending topik dalam
dunia pendidikan. Belum hilang di ingatan kita, pada tanggal 2 Mei tahun 2016
bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, dunia pendidikan negeri yang pernah
Berjaya pada masanya kembali tercoreng. Seorang Mahasiswa salah satu PTS di
Sumatera Utara, nekat membunuh dosennya hanya karena dendam karena persoalan
nilai kuliah. Ironisnya PTS tersebut merupakan salah satu yayasan lembaga keagamaan
terkemuka di negeri ini.
Masih di hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama, dunia pendidikan
Indonesia kembali terguncang, seorang pelajar SMP di salah satu pulau sumatera
tepatnya Provinsi Bengkulu diperkosa dan dibunuh oleh 12 remaja yang berusia
berkisar 18-22 tahun. Pengadilan belum memutuskan terhadap para pelaku pembunuhan
dan pemerkosaan, pada tanggal 13 Mei 2016 berbagai media di Indonesia, membuat
kaget rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri atas kasus pencabulan yang dilakukan
oleh 8 orang terhadap seorang pelajar SMP. Bukan kaget karena persoalan pemerkosaan
160 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
tersebut, tapi para pelaku pencabulan itu merupakan siswa SD hingga SMP salah satu
kota bersejarah di negeri ini Surabaya. Dunia Pendidikan Indonesia kembali berduka.
Jauh sebelum kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan pencabulan di
tayangkan di berbagai media saat ini, kita juga sering mendengar kasus pemukulan,
penganiayaan, pencurian, tawuran, bahkan smacdown yang dilakukan oleh pelajar
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pada bulan Oktober tahun 2013 terjadi tawuran
antar pelajar SMA dengan menggunakan air keras (kompas.com), bulan Mei tahun 2015
pelajar SMA membunuh teman sekelasnya karena sakit hati diejek tidak punya motor
(kompas.com), kasus begal yang sampai saat ini terus terjadi juga melibatkan pelajar
dan masih banyak lagi kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh anak usia sekolah di
negeri ini.
Untuk mengantisipasi agar tindakan kriminal tidak terus terjadi dan merasuki
dunia pendidikan, berbagai usaha dan tindakan telah dilakukan oleh pemerintah dalam
hal ini kementerian pendidikan nasional, mengamanatkan dalam kurikulum 2006
(KTSP) tentang pelaksanaan pendidikan karakter, setidaknya terdapat 18 poin tentang
pendidikan karakter yang harus dilaksanakan pada jenjang pendidikan dasar (SD)
hingga pendidikan menengah atas (SMA).
Seiring berjalannya waktu, kurikulum 2006 (KTSP) mengalami perubahan
menjadi kurikulum 2013 (K13/Kurtilas) sebagai bentuk perbaikan kurikulum 2006.
Kurikulum 2013 mengalami penambahan dan pengurangan jam pelajaran, salah satunya
penambahan jam pelajaran budi pekerti pada sekolah dasar (SD). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 1 struktur kurikulum SD/MI sesuai dengan Kurikulum 2013.
Tabel 1 Struktur Kurikulum SD/MI
ALOKASI WAKTU
BELAJAR
PERMINGGU
MATA PELAJARAN
I
II III IV V VI
Kelompok A
1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
4
4
4
4
4
4
2. Pendidikan
Pancasila
dan
5
5
6
4
4
4
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
8
9 10
7
7
7
4. Matematika
5
6
6
6
6
6
5. Ilmu Pengetahuan Alam
3
3
3
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
3
3
3
Kelompok B
1. Seni Budaya dan Prakarya
4
4
4
5
5
5
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
161
Pendidikan Jasmani, Olah raga dan
Kesehatan
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
2.
4
4
4
4
4
4
30
32
34
36
36
36
Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai
dijadikannya pendidikan agama dan budi pekerti menjadi mata pelajaran yang
berdiri sendiri mulai SD hingga sekolah menengah dalam Kurikulum 2013
(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57
Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014). Peraturan perundang-undangan itu,
mengindikasikan bahwa pendidikan budi pekerti bukan hanya perlu tetapi wajib ad a
pa da kur ikul um . Da la m ar ti an, bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan pendidikan budi pekerti di dalamnya, dimana ada suatu norma-norma yang
menjadi spirit kebijakan dari sistem pendidikan yang diterapkan.
A da nya pe nd id ikan b ud i pe ke rt i da la m kurikulum 2013 adalah suatu
upaya penting untuk lebih merangsang kepekaan peserta didik sebagai generasi muda
terhadap norma-norma sosial dan memupuk kesadaran mereka untuk berbuat dan
bertingkah laku sesuai dengan nor ma -nor ma sos ia l ya ng b er la ku,
untuk
senantiasa berbuat baik, menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi
sesama dan alam semesta sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bukti keseriusan
pemerintah untuk mewujudkan generasi-generasi yang berbudi luhur, dan berperilaku
sesuai dengan UUD 1945, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta
berpedoman kepada agama yang dianutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti. Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa: penumbuhan budi pekerti
yang selanjutnya disingkat PBP adalah kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku
positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi
peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah
atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah.
Salah satu lembaga pendidikan formal yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti adalah Sekolah Dasar
162 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
(SD). Pendidikan budi pekerti di sekolah dasar dirancang sebagai mata pelajaran yang
berdiri sendiri terdapat pada: 1) Rencana Pelajaran 1947, baik berbahasa pengantar
bahasa
daerah,
yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia maupun yang
diselenggarakan sore hari;
2) Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964, baik
berbahasa pengantar bahasa daerah maupun berbahasa pengantar bahasa Indonesia;
dan 3) Kurikulum 2013. Berdasarkan sejarah panjang pelajaran budi pekerti tersebut
penulis berkeinginan untuk menilik bagaimana Implementasi Pendidikan Budi Pekerti
di Sekolah Dasar Untuk Mengantisipasi Demoralisasi Bangsa.
METODOLOGI
Desain artikel ini merupakan studi literatur, dengan menganalisis faktor
pendukung dan penghambat serta persoalan yang dihadapi oleh para pendidik dalam
mengimplementasikan pendidikan budi pekerti di sekolah dasar. Hal ini diperlukan
untuk menghadapi tuntutan pemerintah tentang implementasi pendidikan budi pekerti
yang wajib dilaksanakan setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Makna Budi Pekerti
Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi
pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti perbuatan. Dalam
konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1997) mengartikan
istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga,
masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut
dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan
masa depan dalam suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia
Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber pada
falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia. Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa budi pekerti pada dasarnya
merupakan sikap dan prilaku seseorang, keluarga, maupun masyarakat yang berkaitan
dengan norma dan etika.
Oleh karena itu, berbicara tentang budi pekerti berarti
berbicara tentang nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
163
keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan
santun, atau norma budaya/adat istiadat suatu masyarakat atau suatu bangsa.
B. Makna Pendidikan Budi Pekerti
Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Haidar (2004)
mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan
dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap
dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul
karimah) dalam
kehidupan sehari-hari, baik
dalam berinteraksi dengan Tuhan,
dengan sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan. Secara
konsepsional,
pendidikan budi pekerti dapat dimaknai sebagai usaha sadar melalui kegiatan
bimbingan,
pembiasaan,
pengajaran
dan
latihan, serta
keteladanan untuk
menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur
dalam segenap peranannya di masa yang akan datang.
Pendidikan budi
pekerti
juga merupakan suatu upaya pembentukan,
pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik
agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi,
seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani,
material-spiritual, dan individu-sosial
(Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).
Sedang
secara operasional,
pendidikan
budi
pekerti dapat
dimaknai
sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya yang
tercermin
dalam
kata,
perbuatan,
sikap, pikiran, perasaan,
dan
hasil
karya
berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia
melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka
memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan
dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk
(Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk
mengembangkan nilai, sikap dan
prilaku
siswa
yang memancarkan
akhlak
mulia/budi pekerti luhur (Haidar,2004).
Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang
ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai
164 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam
tingkah lakunya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan
budi
pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,
secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena itu, hakikat pendidikan budi
pekerti dalam konteks pendidikan di
yang bersumber
Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997) mengkategorikan
pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu:
1) Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan, (b)
kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e)
pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2) Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja
(kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan
seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g)
pengendalian diri.
3) Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan,
(c) kesetiakawanan,
(d)
tolong-menolong,
(e)
tenggang rasa, (f) hormat
menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i) kejujuran dan (j)
pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).
Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut
Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi
otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap
berikutnya
dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya
menjadi
kecerdasan
intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan
dengan
perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang
dengan
terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya.
Sikap
ini
semua
dapat
digolongkan
sebagai kecerdasan emosional. Ketiga,
psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
165
Apabila disinkronkan
ketiga
ranah
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa aspek
pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu,
kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai
dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.
Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimanaseseorang
memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat
mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Pada tingkat berikutnya bertindak,
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak atau budi
pekerti mulia. Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa
supaya
nilai
pengetahuan
yang ditanamkan dalam
saja, tetapi
sungguh
pendidikan tidak
menjadi
tindakan
tinggal
sebagai
seseorang, maka produk
pendidikan mestinya memperhatikan tiga unsur berikut secara terpadu, yaitu “ngertingerasa-ngelakoni” (mengetahui/memahami, memiliki/menghayati dan
melakukan).
Hal tersebut mengandung pengertian bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat
mencapai
tujuan
yang
diinginkan
maka hendaknya bentuk pendidikan dan
pengajaran budi pekerti mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara
terpadu.
Hal
senada disampaikan
oleh Lickona
(1992),
bahwa
dalam
proses
pendidikan moral/budi pekerti, hendaknya guru tidak semata-mata terfokus pada
pemberian materi tentang konsep-konsep pendidikan moral/budi pekerti kepada
peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik,
yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau
perilaku moral.
C. Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat
ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama ialah dengan
mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan
ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama,
kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti
166 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
kedalam
kegiatan
sehari-hari di
sekolah. Strategi ketiga ialah
dengan mengintegrasikan
pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan, dan
strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah
dengan orang tua peserta didik. Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan
budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui:
1) Keteladanan.
Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan juga
pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi murid-murid
di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada
siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar
dihadapan murid-muridnya. Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang
pentingnya
kedisiplinan
kepada murid-muridnya,
maka
guru tersebut harus
mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam
menjalankan tugas pekerjaannya. Tanpa keteladanan, murid-murid hanya akan
menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai sesuatu yang omong kosong
belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut hanya
akan berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna.
2) Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat
itu juga. Dalam setiap peristiwa yang spontan tersebut, guru dapat menanamkan
nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para siswa, misalnya saat
guru melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi
di
kelas
karena
memperebutkan sesuatu, guru dapat memasukkan nilai-nilai tentang pentingnya
sikap maaf-memaafkan, saling menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam
konteks ajaran agama dan juga budaya.
3) Teguran.
Guru
perlu menegur peserta
didik
yang
melakukan
perilaku
buruk
dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat
membantu mengubah tingkah laku mereka.
4) Pengkondisian lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
167
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik
yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti. Contohnya ialah dengan
penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti
yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang
ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap
peserta didik.
5) Kegiatan rutin.
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus
menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk
ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan,
mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas
tempat belajar. Selanjutnya, untuk strategi pengintegrasian pendidikan budi pekerti
ke dalam kegiatan yang
diprogramkan, dapat direncanakan oleh guru melalui
berbagai kegiatan seperti: bakti sosial, kegiatan cinta lingkungan, kunjungan
sosial ke panti jompo atau yayasan yatim piatu atau yayasan anak cacat.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, diharapkan pendidikan budi pekerti tidak
hanya berhenti pada aspek pengetahuan saja, melainkan juga mampu menyentuh aspek
sikap spiritual, sikap sosial, dan psikomotor peserta didik. Dalam realitasnya antara
apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan
oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.
Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara
optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama
dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program
pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah.
Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di
ajarkan di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah.
D. Manfaat Pendidikan Budi Pekerti
1. Membantu para peserta didik meningkatkan diri melalui penanaman nilai-nilai
moralitas dan ketatasusilaan serta membantu pesertadidik tetang pentingnya budi
pekerti dalam rangka menyikapi dan menyiasati perkembangan zaman yang
semakin kompleks.
168 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
2. Untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan budi pekrti di
sekolah dalam rangka menciptakan insan yang bebudi luhur.
E. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti
1. Berusaha meminimalisasi kejadian-kejadian yang bersifat negatif.
2. Berusaha menanamkan nilai-nilai norma yang mulai berkurang dilaksanakan oleh
para remaja saat ini.
3. Meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui pemahaman terhadap
pendidikan budi pekerti.
SIMPULAN
Artikel
ini
menyimpulkan
bahwa
pendidikan
budi
pekerti
harus
diimplementasikan sejak usia dini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan atas.
Berhasil atau tidaknya pendidikan budi pekerti tidak terlepas dari peran serta pendidik
dan orang tua. Pelaksanaan pendidikan budi pekerti diharapkan mampu mengantisipasi
terjadinya demoralisasi bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Dikti, Depdikbud. (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara.
Haidar Putra Daulay, (2004). Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1.
Hasan Langgulung. (1988). Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Kemendikbud. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Kemendikbud. 2013. Pedoman PenilaianSikap. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Ki Hajar Dewantara, (1977). Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa,
Bag.I.
Kneller, G. F. (1967). The philosophy of education. New York: London-Sydney Laska, J.
A. (1976). Schooling and education, basic concepts and problems. New York: D.
Van Nostrand Company.
Kurikulum 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
169
Madya Ekosusilo & Kasihadi. (1989). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: Effar
Publishing.
Marvin, B. 2005. What Works In Character Education: A research-driven guide for
educators. St Louis: University of Missouri.
Muhammad Ali, Kamus Lengkap bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, (1997). Pedoman Pengajaran
Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Pusat Pengembangan Kurikulum, (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas.
Soegarda Poerbakawatja, (1976). Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, edisi kedua.
170 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
REVOLUSI MENTAL MELALUI PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH
BERBASIS MODAL SOSIAL DI SEKOLAH DASAR
Kurotul Aeni
Email: [email protected],
Abstract
Along with the advances in science and technology, the changing dynamics of culture
and structure of Indonesian society as a whole have experienced fantastic changes. The
values possessed by people have slowly abandoned or they tend to eliminate moral and
character values that have been built by the structure and culture of society. These
changes have been underlying patterns of society life both adults and youth, including
the order of life of learners. Character crisis occurring today is highly worrying. The
nation noble values such as mutual cooperation, kinship, harmony and togetherness
have been replaced with the values of individualistic freedom as a result of the
influences of globalization era. It has spawned pragmatic, consumerist and materialistic
attitudes. To recover the moral education, the elements of social capital are required to
support the nation's strength in facing global challenges, raising national awareness and
commitment to rebuild the nation's character. Mental revolution through school culture
development based on social capital at primary schools is the recovery and rebuilding of
nation's philosophical values to be more applicable to implement according to the
current situation and conditions. The use of social capital in school culture is able to
strengthen the character through inculcating values and exemplary in integral way to
learners that involve emotional and social dimensions. Strengthening the character
through school culture based on social capital will fortify the nation from mental illness
that damages the nation life and prepare young generation who have high immunity of
the mental dangers getting wilder along with the development of globalization era.
Keywords: mental revolution, school culture, social capital.
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa dampak terhadap
perubahan kultur dan struktur kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Nilai-nilai yang dimiliki masyarakat mengalami pergeseran yang secara perlahan
ditinggalkan atau bahkan cenderung menghilangkan nilai moral dan karakter yang
sudah lama dibangun oleh struktur dan budaya masyarakat. Perubahan ini telah
mendasari pola kehidupan masyarakat baik orang dewasa maupun pemuda, termasuk
tatanan dalam kehidupan peserta didik.
Krisis karakter dewasa ini sangat memprihatinkan. Nilai-nilai luhur bangsa
seperti gotong royong, kekeluargaan, kerukunan dan kebersamaan telah digantikan
dengan nilai-nilai kebebasan yang individualistik sebagai akibat pengaruh era
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
171
globalisasi. Hal ini telah mendorong lahirnya sikap pragmatis, konsumtif serta
materialistik. Untuk memulihkan kembali pendidikan budi pekerti, maka elemenelemen modal sosial sangat dibutuhkan sehingga dapat mendukung kekuatan bangsa
dalam menghadapi tantangan global, membangkitkan wawasan kebangsaan dan
komitmen membangun kembali karakter bangsa.
Krisis karakter mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang dilaksanakan
di sekolah. Sistem pendidikan dewasa ini lebih berorientasi terhadap pencapaian
pengetahuan daripada pencapaian sikap dan perilaku. Hal ini berakibat terjadinya
kemerosotan moral atau budi pekerti peserta didik. Persoalan tersebut juga dipengaruhi
oleh kepemimpinan kepala sekolah; keteladanan pimpinan/kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan; kegiatan pembelajaran; program karakter yang dikembangkan sekolah;
serta budaya sekolah.
Kisyani
Laksono
(2010:
7)
menyatakan
dalam
kaitannya
dengan
institusionalisasi budaya sekolah, pemimpin sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan
harus mampu berperan aktif sebagai duta budaya, yaitu mampu mensosialisasikan
keseluruhan nilai-nilai yang ditetapkan sebagai sumber budaya, mampu memberikan
contoh atau keteladanan bagi seluruh siswa dalam berperilaku sesuai yang dianut
sekolah. Eksistensi budaya sekolah yang kondusif memiliki peranan yang sangat
penting dan strategis dalam upaya pencapaian keberhasilan pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan oleh kerjasama dari semua
komponen yang selalu menjunjung tinggi rasa saling menghormati, kebersamaan,
toleransi, serta kejujuran dalam menjalankan kewajiban. Dengan demikian pendidikan
berkualitas dikembangkan seiring dengan penguatan kekuatan sosial atau modal sosial
(social capital).
Modal sosial memberi dukungan bagi penguatan pendidikan karakter di sekolah
baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai wujud akselerasi
inovasi pendidikan. Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Ronald Burn, Nan
Lin dan Alejandro Portes, bahwa modal sosial merupakan sumber daya sosial yang
dapat diperoleh individu melalui manfaat atau kebaikan hubungan dengan individu dan
kelompok lain, yang pada dasarnya merupakan sifat individu (Grootaert, et,al. 2004:3).
Pendayagunaan modal sosial dalam budaya sekolah mampu memperkuat karakter
172 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
melalui penanaman nilai dan keteladanan secara integral kepada peserta didik yang
melibatkan dimensi emosional dan sosial.
Revolusi Mental melalui pengembangan budaya sekolah berbasis modal sosial
di sekolah dasar merupakan upaya pemulihan dan pembangunan kembali nilai-nilai
filosofis bangsa menjadi lebih aplikatif untuk dilaksanakan sesuai dengan situasi dan
kondisi saat ini. Penguatan karakter melalui budaya sekolah berbasis modal sosial akan
membentengi bangsa dari penyakit mental yang merusak sendi-sendi kehidupan dan
menyiapkan kader bangsa yang memiliki imunitas tinggi dari bahaya mental yang
semakin liar sebagai dampak dari era globalisasi.
PEMBAHASAN
1. Pengembangan Budaya Sekolah
Pengertian Budaya Sekolah
Finnan (2000:9) budaya sekolah disusun dan dibentuk melalui hubungan
dengan orang lain dan perenungan tentang kehidupan dunia dan menjadi pedoman
perilaku yang berlaku di antara warga sekolah serta berkembang karena interaksi
antara anggota staf satu sama lain, interaksi dengan siswa, dan masyarakat. Budaya
sekolah merupakan keyakinan dan nilai yang menjadi pengikat kebersamaan warga
sekolah sebagai warga masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, maka
sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur yang dominan dan
kultur lain sebagai kultur subordinasi (Kennedy, 1991:175)
(Zamroni, 2011: 297) menjelaskan budaya sekolah merupakan pola asumsi
dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan
bersama oleh seluruh warga sekolah, yang dapat dipergunakan untuk menghadapi
berbagai persoalan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru dan melakukan
integrasi internal. Pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan
generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana memahami,
berpikir, merasakan dan bertindak dalam menghadapi berbagai situasi dan lingkungan
yang ada.
Kemendiknas (2010: 19), budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya
mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
173
antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat
peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan
sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok
masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh
berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.
Berbagai definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya
sekolah adalah pola interaksi yang didasarkan pada nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
dan kebiasaan-kebiasaan yang dibuat dan dilaksanakan bersama dalam proses
pembelajaran oleh seluruh warga sekolah dalam rangka membangun karakter yang
sesuai dengan tujuan pendidikan.
Sekolah sebagai sistem budaya
Syarafuddin (2008:44) menyatakan bahwa sistem merupakan suatu rangkaian
dari unsur-unsur yang saling terkait, disatukan oleh desain untuk mencapai beberapa
tujuan atau sasaran. Organisasi adalah sebuah sistem. Suatu sistem mempunyai
beberapa sifat dasar sebuah sistem. Hal itu didesain untuk meraih suatu tujuan.
Unsur-unsur dari sebuah sistem mesti memiliki rancangan mapan, saling
keterhubungan harus ada di antara unsur-unsur dari individu. Hubungan ini mesti
sinergi secara alamiah.
Depdiknas (2003:10) mengutarakan bahwa sekolah sebagai sistem memiliki
tiga aspek pokok yang erat kaitanya dengan sekolah efektif yakni proses belajar
mengajar. kepemimpinan dan manajemen sekolah serta budaya sekolah. Sekolah
sebagai sistem budaya dapat dipahami dalam dua aspek: pertama, sekolah dapat
membentuk dan membangun sistem budaya sendiri seperti yang ditampak ketika
lulusan atau output dari sekolah itu memiliki karateristik dan berbeda dengan lulusan
atau output dari sekolah lain; kedua, sekolah merupakan bagian dari sistem budaya
masyarakat, misalnya budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah diakomodir atau
fokus perhatian sekolah dalam menciptakan budaya sekolah artinya pembentukan
budaya sekolah dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat sekitar sekolah.
Young Pai (1990: 131) menegaskan bahwa sekolah tidak hanya sistem sosial
dan sistem budaya tetapi sekolah juga sebagai sistem tindakan, karena tindakan
manusia diatur melalui dan dalam mempolakan makna dari objek dan orientasi dari
174 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
objek dalam dunia pengalaman manusia. Ini berarti bahwa manusia bergerak dari satu
sistem ke sistem lainnya perlu mempelajari suatu budaya-budaya baru jika ia ingin
berfungsi efektif. Sekolah sebagai suatu sistem budaya tentu dipengaruh oleh
berbagai sub-sub sistem yang tentunya saling mempengaruhi satu sama lain, maka
untuk menciptakan sekolah yang memiliki sistem budaya yang positif perlu dilakukan
usaha-usaha yang mendorong terciptanya sekolah memiliki budaya yang positif.
Menurut Rifai, M. (2011: 170) proses pendidikan di sekolah memiliki banyak
fungsi yang erat kaitannya dengan fungsi sekolah antara lain: 1) proses transformasi
budaya artinya terjadi kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke genarasi yang
lain; 2) proses pembentukan pribadi karena pendidikan berfungsi sebagai suatu
kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian
peserta didik; 3) proses penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang
terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan mendidik peserta didik yang akan
berinteraksi dengan masyarakat dituntut mampu memberikan pelajaran dan
pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai, norma-norma kehidupan yang sesuai
dengan kebudayaan masyarakat dengan menciptakan budaya sekolah yang dapat
membentuk karakter peserta didik menjadi lebih baik. Sekolah diharapkan menjadi
penyelamat dari ketiadaan nilai-nilai, norma-norma sehingga sekolah bukan saja
sebagai tempat atau alat untuk transfer pengetahuan tetapi juga sebagai alat atau
tempat peralihan kebudayaan terutama kebudayaan yang ada di masyarakat.
Sekolah adalah institusi sosial yang dibangun masyarakat dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu sekolah
sudah semestinya memiliki budaya yang kondusif dan mendukung dalam
memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan
dan mengembangkan potensi dalam diri masing-masing.
2. Penguatan Modal Sosial di Sekolah Dasar
Pendidikan berkualitas dikembangkan seiring dengan penguatan kekuatan sosial atau
modal sosial (social capital). Modal sosial memberikan dukungan bagi penguatan
pendidikan karakter di sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler sebagai wujud pengembangan budaya sekolah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
175
Cohen and Prusak (2001: 4) menyatakan bahwa
social capital consists of the stock of the stock of active connections
among people : the trust, mutual understanding, and shared values and
behaviors that bind the member of human network and communities and
make cooperative action possible.
Modal sosial terdiri dari kepercayaan, kesepahaman, serta pertukaran nilai dan
perilaku yang membangun hubungan antara individu dan komunitas yang
memungkinkan kerjasama saling menguntungkan.
Putnam (1995) mengartikan bahwa modal sosial sebagai “features of social
organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination
and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap
individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jejaring kerja, sehingga terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial
juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh
komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu
melakukan satu kegiatan yang produktif.
Putnam dalam bukunya berjudul “Bowling alone (2000)”, menggambarkan kualitas
kehidupan masyarakat Amerika yang semakin menurun dalam hal kelekatan
hubungan antar sesama warga sebagai pemicu pembahasan modal sosial yang
semakin menghangat. Putnam (2000: 19) “Social capital refers to connections
among individuals-social network and norms of reciprocity and trustworthiness that
arise from them. In that sense social capital is closely related to what some called
civic virtue”.
Modal sosial memiliki hubungan erat dengan pendidikan karakter dalam proses
pembelajaran dan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan dasar, yaitu meletakkan dasar kecerdasan, kepribadian,
akhlak mulia, dan keterampilan untuk hidup mandiri. Di samping itu juga sesuai
dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, No.20 tahun 2003, Bab II pasal
3, tujuan pendidikan yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis,
serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003: 5).
176 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Wang & Morgan, (2012:5) menyatakan bahwa pendidikan menjadi sumber
pengembangan modal sosial yang mendorong dan menumbuhkan serta membangun
keyakinan, kepercayaan dan partisipasi. Modal sosial merupakan kerjasama positif
dari semua pihak baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat, yang outputnya
melahirkan nilai-nilai saling hormat-menghormati, kebersamaan, toleransi, serta
kejujuran. Menurut Field, (2005: 19) modal sosial merupakan sumber daya yang
dapat dimanfaatkan individu atau kelompok untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan individu atau kelompok lain, untuk mencapai tujuan sendiri atau bersama.
Salah satu faktor yang menentukan kemampuan individu atau kelompok dalam
mencapai tujuan adalah hubungan sosial yang diperkuat adanya keyakinan dan nilai
bersama. Coleman dalam Field (2005: 24), modal sosial memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan modal manusia, sebagai sumber daya yang berguna bagi
individu yang diperoleh melalui hubungan sosial. Modal sosial merupakan nilai-nilai
kebaikan yang ada di dalam masyarakat yang memberikan manfaat yang terlibat dan
menjadi bagian dalam struktur masyarakat.
3. Revolusi Mental melalui Pengembangan Budaya Sekolah Berbasis Modal Sosial
Krisis multidimensi bangsa Indonesia saat ini pada dasarnya dapat
melemahkan karakter bangsa. Krisis karakter secara nasional dapat memperburuk
identitas sosial dan budaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi krisis karakter ini
adalah peran modal sosial yang lemah. Oleh karena itu, elemen-elemen modal sosial
sangat dibutuhkan dalam mendukung pendidikan karakter dan membangun kembali
kekuatan bangsa dalam menghadapai tantangan global. Elemen-elemen modal sosial
memainkan peranan penting dalam proses pendidikan karakter baik di dalam keluarga,
sekolah dan masyarakat (Dwiningrum, 2013:1).
Upaya membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara yang baik dan
berprestasi, maka peran modal sosial sangatlah penting. Hal ini terlebih di era
informasi/globalisasi, maka modal sosial semakin dibutuhkan/mendesak untuk
dilakukan.
Dikatakan oleh Zamroni (2000: 74) bahwa pada era globalisasi wibawa guru
pada khususnya dan orang tua pada umumnya di mata siswa merosot. Kemerosotan
wibawa guru dan orang tua dikombinasikan dengan semakin lemahnya kewibawaan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
177
tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan tolong menolong
telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan penting dalam
menciptakan kesatuan sosial. Akibatnya terjadi kenakalan dan tindak menyimpang di
kalangan remaja dan pelajar yang semakin meningkat dalam berbagai bentuk, seperti:
perkelahian, corat-coret, pelanggaran, pelanggaran lalu lintas sampai tindak
kejahatan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Bank Dunia (1999) modal
sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma
yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal
sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang
mendukungnya, tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
kelompok sebagai suatu kesatuan.
Hasil penelitian Aeni (2015) tentang
Pendayagunaan modal sosial dalam
pendidikan karakter (Studi kasus di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia
Dua Yogyakarta), menemukan bahwa: Pendayagunaan modal sosial dalam
pendidikan karakter di SD Sapen dan SD Budi Mulia Dua pada dasarnya ditanamkan
dan diimplementasikan pada seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran, baik di dalam
kelas maupun di luar kelas, terintegrasi dengan mata pelajaran, dan program kegiatan
sekolah. Perbedaannya dapat dijelaskan dari seberapa luas budaya sekolah yang
ditanamkan kepada peserta didik, seberapa banyak program karakter yang
dilaksanakan oleh masing-masing sekolah dan seberapa baik manajemen dan
kemampuan kolaborasi kepala sekolah, guru, sivitas akademika, orang tua dan
masyarakat dalam memaknai, dan mendukung pencapaian nilai-nilai karakter yang
ditargetkan melalui pendayagunaan modal sosial.
Dari hasil temuan penelitian tersebut bisa dimaknai bahwa semakin luas aspek
budaya sekolah yang ditanamkan kepada peserta didik, semakin tinggi kemampuan
guru yang diperlukan dalam menginterpretasi dan memaknai pendidikan karakter
melalui modal sosial dalam pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas.
Semakin banyak program serta kegiatan sekolah yang diikuti peserta didik, akan
semakin luas dan penting capaian karakter melalui pendayagunaan modal sosial.
Lebih lanjut Aeni (2015) menyatakan bahwa pendayagunaan modal sosial dalam
pendidikan karakter pada kegiatan ekstrakurikuler memiliki pengaruh yang sangat
kuat terhadap pembentukan karakter dibandingkan pada kegiatan intrakurikuler.
178 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Intensitas pendidikan karakter peserta didik memberikan pengaruh yang sangat kuat
pada capaian prestasi baik capaian
karakter peserta didik maupun capaian
akademisnya.
Capaian prestasi karakter peserta didik dan capaian akademis yang kuat
menentukan tercapainya upaya revolusi mental yang diharapkan. Hal ini sangat
bergantung kepada kualitas hasil pembelajaran baik intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler yang dilaksanakan dengan mendayagunakan modal sosial di berbagai
suasana dan kegiatan di sekolah. Dukungan atau partisipasi aktif dari semua pihak
antara peserta didik, guru, kepala sekolah, sivitas akademika, orang tua, masyarakat
sekitar sekolah, serta pihak-pihak terkait sangat menentukan keberhasilan upaya ini.
SIMPULAN
Revolusi Mental melalui pengembangan budaya sekolah berbasis modal
sosial di sekolah dasar merupakan upaya pemulihan dan pembangunan kembali nilainilai filosofis bangsa menjadi lebih aplikatif untuk dilaksanakan sesuai dengan
situasi dan kondisi saat ini. Pendayagunaan modal sosial dalam budaya sekolah
mampu memperkuat karakter melalui penanaman nilai dan keteladanan secara
integral kepada peserta didik yang melibatkan dimensi emosional dan sosial.
Perkembangan anak usia sekolah dasar selalu disertai dengan perkembangan
perilaku/karakternya. Perilaku/karakter sebagai hasil pembiasaan/habituation dalam
kehidupan sehari-hari harus dibarengi dengan penguatan modal sosial. Hal ini
dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu berinteraksi dengan individu
lain. Penguatan modal sosial menjadikan hidup lebih bermakna. Penguatan modal
sosial yang mereka lakukan merupakan kunci keberhasilan anak dalam berinteraksi
dengan sesama.
Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar
akan terlaksana dengan baik, manakala anak-anak/peserta didik di sekolah tersebut
dilibatkan dalam berbagai aktivitas dalam budaya spesifik di sekolah, baik pada
kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Keterlibatan anak/peserta didik
tersebut tentunya sebatas kemampuan/tingkat perkembangan usia mereka.
Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar
sangatlah penting bagi setiap satuan pendidikan sebagai upaya mencapai tujuan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
179
pendidikan yang berkualitas. Eksistensi/keberadaan suatu sekolah/satuan pendidikan
tentulah sangat dipengaruhi oleh adanya pendayagunaan elemen-elemen modal sosial
dari pihak-pihak terkait dalam upaya pengembangan budaya sekolah.
Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar
sangatlah menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Upaya tersebut
harus dibarengi dengan upaya pembentukan nilai/karakter disertai keteladanan,
sehingga ada kejelasan terhadap pilihan nilai mana yang akan dikembangkan.
Dengan demikian tidak terjadi salah pilih terhadap nilai-nilai yang seharusnya tidak
boleh dikembangkan/dihindari.
Penguatan modal sosial dalam pendidikan karakter yakni meliputi kegiatan
merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi pendidikan karakter dengan berupaya
mendayagunakan modal sosial baik dalam kegiatan intrakurikuler, maupun kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah. Hal ini harus disertai dengan contoh/teladan dari guru,
kepala sekolah, karyawan; serta pembiasaan-pembiasaan afektif di sekolah.
Penguatan modal sosial dalam pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil
tanpa dukungan dari berbagai pihak seperti lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, keteladanan dari para pemimpin, serta peran media massa yang
mendukungnya.
Sekolah adalah institusi sosial yang dibangun masyarakat dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu sekolah
sudah semestinya memiliki budaya yang kondusif dan mendukung dalam
memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan
dan mengembangkan potensi dalam diri masing-masing peserta didik dengan
mendayagunakan modal sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Aeni, Kurotul. (2015). Pendayagunaan Modal Sosial Dalam Pendidikan Karakter
(Studi kasus di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta).
(Disertasi). Yogyakarta: program pascasarjana UNY.
Cohen, D. & Prusak, L. (2001). In good company. Boston: Harvard Business School
Press.
Depdiknas. (2003). Memahami budaya sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum,
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Dewantara, K. (1977). Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa.
180 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Dwiningrum, S.I.A. (2013). Nation’s Character Education Based on the Social Capital
Theory. Asian Social Science. 9 (12), 114, 2013.
Field, J. (2005). Social capital and lifelong learning. Great Britain: Policy Press.
Grootaert, Christiaan. et al. (2004). Measuring social capital: An integrated
questionnaire. USA: printed on recycled paper.
Kemendiknas. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa:
Pedoman sekolah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum.
Laksono, K. (2010). Pengembangan budaya sekolahuntuk meretas pendidikan karakter.
UPBJJ-UT Surabaya (diakses melalui http:// Pengembangan- budaya- sekolahuntuk- meretas- pendidikan- karakter.com
Lickona, T.. (2004). Educating for character. New York: Bantam Books.
Putnam, R D. (1995 ). The prosperous community: Social capital and public life. TAP 4
(13).
Rifai, M. (2011). Sosiologi pendidikan: Struktur dan interaksi sosial di dalam institusi
pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Syarafuddin. (2008). Efektifitas kebijakan pendidikan: Konsep, strategi, dan aplikasi
kebijakan menuju organisasi sekolah yang efektif. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, No.20 tahun 2003.
Depdiknas, 2003.
Wang, N. and Morgan, W. John (2012). The Harmonious Society, Social Capital and
Lifelong Learning in China: Emerging Policies and Practice International
Journal of Continuing Education and Lifelong Learning.
Young Pai. (1990). Cultural foundation of education. London: University of Missaori at
Kansas City.
Zamroni. (2000). Paradigma pendidikan masa depan. Yogyakarta: Bigraf publishing.
_______. (2011). dalam Darmiyati edt. Strategi dan model implementasi pendidikan
karakter di sekolah. Yogyakarta: UNY Press.
Zuchdi, D. (2010). Humanisasi pendidikan, menemukan kembali pendidikan yang
manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
______. (2009-2011). Model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran dan
pengembangan kultur sekolah. Yogyakarta : UNY Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
181
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER CERITA RAKYAT PUTRI JUNJUNG BUIH
KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT
Lizawati
Oldi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
IKIP-PGRI Pontianak Jl. Ampera No. 88 Pontianak 78116
Email:[email protected]
Abstract
This study aimed to describe the values of character education in the story
cherished daughter froth Ketapang district. This research method is descriptive
qualitative approach .Teknik sociology of literature data were analyzed using content
analysis with the documentary studies. The results showed that the values of character
education contained in the story of the daughter cherished froth one folklore district
Ketapang, namely (1) the value of education the character of God, which includes
public confidence in the Lord and give thanks to perform various ceremonies. (2) the
values of character education of self that includes honest, unyielding, a good personality
and sincerity. (3) the values of character education to include the preservation of fellow
community awareness, mutual respect and good-natured
Keywords: character education, values, cherished daughter story froth
PENDAHULUAN
Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat.
Sastra lisan merupakan karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara
turun-memurun dalam bentuk lisan. Maka sastra lisan dapat disebut sebagai folklore.
Folk merupakan sebuah komunitas masyarakat tertentu yang memiliki ciri-ciri dan
budaya yang sama. Sedangkan lore merupakan sebagian kebudayaan masyarakat yang
disampaikan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Jadi, folklore atau sastra lisan
adalah suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu yang
diperoleh secara turun-menurun dari mulut ke mulut secara lisan.
Secara keseluruhan folklore dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu
kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu. Folklor dimaksudkan sebagai
sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan
182 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan
standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Cerita rakyat adalah suatu bentuk kebudayaan dalam bentuk lisan yang
diceritakan secara turun temurun. Cerita rakyat merupakan bagian kekayaan budaya dan
sejarah yang dimiliki oleh suatu daerah atau komunitas tertentu. Cerita rakyat
merupakan sastra lisan yang memiliki nilai-nilai dan amanat tertentu. Cerita rakyat
memiliki kandungan nilai yang bersifat universal dan nilainya tinggi. Ada yang nilainya
dapat langsung dihayati oleh penikmatnya, namun ada juga cerita rakyat yang
terbungkus rapi di dalam simbol, perumpamaan atau alegori. Dalam KBBI (2005: 210)
dinyatakan bahwa, cerita rakyat adalah cerita yang dari zaman dahulu yang hidup
dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Menurut Semi (1988: 78) cerita rakyat
adalah cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan. Tokoh-tokoh cerita atau
peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dianggap pernah terjadi di masa lalu atau
merupakan suatu kreasi atau hasil rekaman semata yang terdorong oleh keinginan untuk
menyampaikan pesan atau amanat tertentu, atau merupakan suatu upaya anggota
masyarakat untuk memberi atau mendapatkan hiburan atau sebagai pelipur lara.
Cerita rakyat merupakan warisan kebudayaan yang perlu dikembangkan karena
mengandung nilai-nilai pendidikan. Cerita rakyat dapatmengetahui gambaran yang lebih
banyak mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu dan dapat pula
membina pergaulan hubungan kemasyarakatan dalam suatu bangsa yang memiliki
aneka ragam kebudayaan. Terkadang peristiwa yang terdapat dalam cerita rakyat
hanyalah khayalan belaka. Namun dalam rentetan peristiwa tersebut kita dapat memetik
nilai-nilai yang ada di dalam cerita tersebut seperti nilai pendidikan karakter. Satu
diantaranya cerita rakyat yang terdapat di kabupaten Ketapang Kalimantan Barat adalah
cerita rakyat Putri Junjug Buih.
Cerita sarat dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan,
bukan hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga dapat mengajarkan nilai-nilai yang
terkait dengan kemanusiaan. Cerita rakyat terdapat berbagai nilai pendidikan, termasuk
pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, serta rasa dan karsa. Gaffar (Kesuma, dkk, 2011:5) menyatakan pendidikan
karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk dapat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
183
ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam
perilaku kehidupan orang itu.
Hal yang menjadi dasar dalam menemukan nilai pendidikan karakter terdiri dari
berbagai aspek. Megawangi dalam Mulyasa (2011: 5) menyusun sembilan pilar karakter
yang mulia yang selayaknyadijadikan acuan dalam pendidikankarakter, baik di sekolah
maupun di luarsekolah, yaitu (1) cinta Allah dan kebenaran, (2) tanggung jawab,
disiplin dan mandiri, (3) amanah, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli dan
kerjasama, (6) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, (7) adil dan berjiwa
kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleran dan cinta damai. Menurut Pusat
Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu
diperkuat untuk pembangunan karakter bangsa saat ini adalah nilai jujur, kerja keras dan
nilai ikhlas (Kesuma, 2011:15-21). Berkaitan dengan nilai yang terkandung dalam cerita
semangka emas tersebut, peneliti lebih memfokuskan pada pendidikan karakter.
METODE
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif karena dalam penelitian
ini mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Putri Junjung
Buih kabupaten Ketapang. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini lebih difokuskan pada pendekatan
sosiologi karya sastra karena objek penelitiannya adalah karya sastra yaitu cerita Putri
Junjung Buih. Sumber data berupa buku cerita Putri Junjung Buih.Teknik pengumpulan
data dengan studi dokumenter. Validitas data menggunakan triangulasi teori dan
ketekunan pengamatan. Teknik analisis menggunakan analisis isi (content analysis).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan analisis terhadap cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten
Ketapang
terdapat tiga nilai pendidikan karakter dalam cerita tersebut, yaitu nilai
pendidikan karakter terhadap Tuhan, nilai pendidikan karakter terhadap tokoh dan nilai
pendidikan karakter terhadap sesama masyarakat.
1. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Masyarakat terhadap Tuhan
Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan terbagi lagi menjadi keyakinan
masyarakat terhadap cerita legenda putri junjung dimana mereka meyakini bahwa putri
184 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
junjung buih ialah nenek monyang mereka dan melahirkan keturunan di kerajaan
Tanjungpura. Hal ini masih dapat dijumpai sampai saat ini baik yang menyakut tradisi
lisan rakyat maupun peninggalan yang masih ada.berupa kepercayaan masyarakat yang
berkaitan dengan legenda masyarakat yang masih melekat dan masih tetap dijalankan
melalui upacara adat setiap tahunnya dengan berbagai macam upacara. Tujuan dari
upacara yang akan dilakukan oleh masyarakat di kabupaten Ketapang ialah untuk
menunjukkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimana Dia telah
memberikan kehidupan di dunia ini.
Semua rasa itu ditunjukkan masyarakat kabupaten Ketapang dengan melakukan
berbagai upacara adat dengan ketentuan dan tujuan masing-masing dari apa yang ia
syukuri dan bisa juga untuk meminta berbagai macam keselamatan dikehidupan mereka
dengan melakukan berbagai upacara adat yaitu: (1) Upacara bayar niat. Upacara ini
dilakukan di tempat-tempat yang diangap keramat seperti keraton Mulia Kerta, makam
keramat Tujuh, keramat Sembilan. Maksud dari upacara ini adalah untuk keselamatan
bagi diri sendiri maupun keluarga dengan ia melakukan nazar pada waktu sebelumnya,
jika niatnya dikabulkan.Maka ia dengan segera menunaikan niat tersebut dengan
melakukan upacara bayar niat. (2) Upacara Bekalu, adalah sebuah upacara yang
dilakukan secara gotong royong sesama masyarakat dari daerah satu dengan daerah
yang lainnya.Pda saat memasang Belat yaitu sejenis keramba besar yang terbuat dari
bambu dan dianyam menggunakan lembiding (akar paku pakis) berfungsi menangkap
ikan dan dipasang dilaut tujuan nya agar diberikan keselamatan dan mendapatkan rejeki
yang banyak dalam penangkapan ikan oleh nelayan yang berkerja pada setiap harinya.
(3) Upacara Nyapat Taon, biasanya dilakukan oleh orang orang yang mencari rejeki di
laut untuk menghidupi dirinya ,
upacara ini dilakukan dengan mengantar sesajian
kelaut yang berupa hasil bumi dengan maksud bersyukur mengucapkan terima kasih
kepada penguasa dilaut yang telah memberikan rejeki kepada mereka (4) Upacara
Bekasah, upacara ini dilakukan jika pada suatu daerah yang telah terjadi bencana, dan
merasa terancam di daerah kehidupannya yaitu dengan memohon keselamatan kepada
sang pencipta dan penguasa pada alam semesta. (5) Upacara Bebuang penyakit, upacara
ini dilakukan jika ada keluarga yang sakit upacara ini dilakukan dengan melalui media
telur sebagai sebuah simbol penyakit yang di hanyutkan ke dalam air, agar penyakit
yang diderita hilang terhanyut terbawa air. (6) Upacara Bebuang tali pusar, upacara
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
185
dilakukan jika bayi sudah tanggal tali pusar, bisa disimpan di bawah rumah, di bawah
musolla, di bawah pohon maupun di dalam air dengan menghayutkan memakai pelepah
pisang.(7) Upacara Keselamatan Ikrar Damai, upacara ini bertujuan antuk keselamatan
seluruh warga agar jauh dari pertikaian antarsuku satu dengan suku yang lainya Upacara
Tempat Sirih, upacara dilakukan jika terjadi salah paham antarasatu dengan lainnya.
Berdasarkan kutipan di atas peneliti menggambarkan upacara adat masyarakat
kabupaten Ketapang yang masih dilestarikan sampai sekarang serta terjaga dengan baik
hal ini tercermin pada kelangsungan upacara adat yang tetap terjadi meskipun di zaman
sekarang banyak anak muda yang kurang mengetahui fungsi dari upacara adat tersebut.
Selain itu, sejarah zaman dahulu yang diyakini adanya nenek moyang mereka dan
selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan Yang Maha Esa berikan dan mesyukurinya
dengan melakukan upacara adat setiap tahunya untuk menunjukkan ucapan terima
syukur ke pada Sang Pencipta, sehingga masyarakat selalu merasa hidup berkecukupan
dan merasa senang dengan apa yang dimilikinya.
2. Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri terbagi lagi menjadi jujur,
pantang menyerah, kepribadian yang baik dan ikhlas.
a. Jujur
Cerita rakyat Putri Junjung Buih terdapat beberapa kutipan yang menggambarkan
kejujuran sifat seorang Putri . Adapun penjelasan kutipan yang termasuk karakter jujur
yaitu ketika seorang ibunda dan seorang wanita yaitu Putri Junjung Buih mengatakan
bahwa anaknya yang satu ini selalu bersifat jujur dalam hal dari segi apapun di
bandingkan dengan saudara-sudaranya yang lain, ia memiliki saudara tapi sifat yang
jujur terlihat kepada anaknya yang satu ini yaitu Putri Junjung Buih dengan kehidupan
yang ia jalani setiap harinya ia selalu didampingi dengan sikap yang jujur, sekalipun
dikehidupan bermasyarakat Putri Junjung Buih juga dikenal dengan sikapnya yang
selalu jujur di mata mereka. Putri selalu di senangi oleh masyarakat -masyarakat di
kerajaan Tanjungpura .
Berdasarkan kutipan di atas peneliti dapat mengambil hal yang harus kita ikuti
dari cerita Putri Junjung Buih memiliki sifat yang jujur dari keenam saudaranya yang
lain. Hal ini dikatakan oleh orang tua kandungnya sendiri. Jadi dapat dikatakan kita
186 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
harus bisa meniru sifat dari seorang Putri Junjung Buih tersebut yaitu sifat yang jujur,
dengan kejujuran hidup kita menjadi lebih jauh baik dari orang yang tidak jujur.
b. Pantang menyerah
Cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan
yang menggambarkan karakter Putri yang pantang menyerah. Adapun penjelasan
kutipan yang termasuk karakter pantang menyerah dari Putri Junjung Buih yaitu ketika
Putri Junjung Buih tidak memiliki sifat yang pantang menyerah hal ini kembali
dikatakan oleh ibunda putri yaitu Dara Dondang, dia sempat dikucilkan oleh keenam
saudaranya tersebut karena dia memiliki tubuh yang belang, hal itu diterima oleh Putri
Junjung Buih, putri pun pergi dari rumah kediamannya tidak tahu entah kemana dia
harus pergi. Di balik itu Putri Junjung Buih ditemukan oleh seorang pria di tepi sungai,
pria tersebut sedang menjala ikan di tepi sungai, pria tersebut pun terkejut melihat
seorang wanita cantik yang terdampar di tepi sungai. Pria itu pun langsung
menghampiri dirinya. Seketika Putri Junjung Buih pun terkejut dengan kehadiran
seorang pria yang gagah tapi juga memiliki tubuh seperti dirinya yaitu berbelang seperti
ikan ulin, Putri pun langsung dibawa pria tersebut yang bernama Prabu Jaya. Sifat yang
kuat dan tidak pernah rasa adanya pantang menyerah dan selalu bisa menerima keadaan
dirinya yang berbeda dari saudara-saudaranya, ia tetap tidak putus asa atau pantang
menyerah dengan memiliki badan yang berbelang seperti ikan ulan ulin, dengan
keadaan tubuhnya yang belang tersebut dan dia selalu bersabar dan tidak pernah ada
rasa putus asa dengan tanpa pantang menyerah dan tidak pernah putus asa. Putri pun
hidup senang dengan seorang laki laki yang membantu dirinya.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa sifat yang di miliki oleh Putri
Junjung Buih yaitu memiliki sifat pantang menyerah. Dia tidak menyalahkan saudarasaudaranya atau pun membenci saudara-saudaranya yang telah mengucilkan dia dari
keluarga besarnya. Meskipun dia merasa terhina dan dikucilkan karena keadaan
tubuhnya yang berbelang, hal itu tetap membuatnya semangat dan meyakini bahwa akan
selalu ada jalan keluarnya asalkan kita tidak mudah putus asa dan pantang menyerah.
c. Kepribadian yang baik
Kepribadian yang baik atau santun terhadap orang tua ditunjukkan oleh karakter
Putri Junjung Buihkabupaten Ketapang memiliki nilai karakter yang mendidik yaitu
ketika Putri Junjung Buih selalu membuat ibunya tersenyum dan selalu merasa bahagia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
187
Kecantikan Putri Junjung Buih selaras dengan kepribadiannya yang baik, masyarakat
Tanjungpura pun selalu memuji sifat dari anak seorang ibu tersebut yang bernama Dara
Dondang yaitu Putri Junjung Buih. Iaadalah seorang gadis yang mempunyai
kepribadian yang baik, kesopanannya, perilaku dan senyum sapanya tidak pernah
membuat kegaduhan dikampung mereka. Maka tidak mengherankan warga masyarakat
Tanjungpura berkata “Dari keenamsaudaranya tersebut Putri Junjung Buih lah yang
sikapnya lebih menonjol dari saudara-saudara lainya”.
Berdasarkan pernyatataan tersebut maka dapat diambil hal penting yaitu mengikuti
sifat Putri Junjung Buih yang mempunyai sifat kepribadian yang baik, dengan adanya
kepribadian yang baik terdapat di dalam diri kita , maka semua orang akan merasa
senang dengan adanya kita di sekitar mereka, dan juga adanya mulai dari kepribadian
yang baik maka kita akan terbiasa dengan sifat yang baik.
d. Ikhlas
Cerita Putri Junjung Buihyang memiliki sifat yang ikhlas yaitu ketika Putri
Junjung Buih dikucilkan dari keenam saudara-saudaranya ia selalu menerima dengan
ikhlas dengan keadaan yang ia alami pada dirinya sendiri, Putri Junjung Buih menerima
kemauan keenam saudara-sudaranya agar Putri Junjung Buih keluar lari dari kehidupan
keluarganya tanpa sepengatahuan orang tuanya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapatdiambil pelajaran penting yang terdapat pada
sifat Putri Junjung Buih yaitu sifat ikhlas. Adanya rasa ikhlas di dalam hati seseorang
maka kehidupan yang dijalani akanterasa tenang dan indah. Sifat ikhlas dapat kita lihat
dari cerita tersebut ketika putri yang di kucilkan dari keluarga besarnya karena dengan
keadaan tubuhnya yang berbelang seperti ikan ulin, iaikhlas menerimanya sebagai
takdir dari dirinya. Tentu saja keikhlasan Putri Junjung Buih berbuah manis karena pada
akhirnya ia hidup bahagia bersama suaminya.
3. Nilai pendidikan karakter sesama masyarakat
Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap sesama masyarakat terbagi lagi menjadi
kepedulian, dan baik hati.
a. Kepedulian
Adapun kutipan-kutipan yang menggambarkan sifat kepadulian yang terdapat
dalam cerita rakyat Putri Junjung Buihyang termasuk karakter kepedulian
188 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
dari
masyarakat yaitu ketika masyarakat selalu ada kerja sama antar daerah satu dengan
daerah yang lainya dengan berbagai macam suku yang berbeda, tapi mereka selalu
saling peduli dengan masyarakat lainnya walaupun berbeda daerah dan sukunya.Maka
berdasarkan pernyataan diatas sifat kepedulian masyarakat kabupaten Ketapang selalu
melakukan kerja sama dan gotong royong antar daerah maupun dengan suku yang
berbeda karena mereka selalu menjaga keharmonisan daerah mereka dengan kepedulian
yang tinggi dalam menjaga keharmonisan antar daerah dan suku yang berbeda.
b. Saling menghormati
Cerita Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan yang
menggambarkan karakter saling menghormati yang ada di sesama masyarakat. Adapun
kutipan-kutipan yang termasuk karakter saling hormat ialah sebagai berikut.
Masyarakat kabupaten ketapang khususnya di kerajaan tanjung pura dimana
mereka selalu menjunjung tinggi sifat saling hormat antar satu sama lainya maupun dari
muda sampai ketua dimana mereka mengajarkan sikap saling hormat terhadap anak
anak dan cucu cucu mereka nanti karena dengan adanya sifat saling hormat yang
tercipta di masyarakat mereka akan membuat sebuah kenyamanan berkehidupan
disebuah masyarakat dan tidak akan pernah terjadinya kesalah pahaman antar
masyarakat satu dengan masyarakat yang lainya, masyarakat tanjung pura juga memiliki
sifat saling hormat dengan daerah dan suku-suku yang lainya ,mereka setiap tahunya
mengadakan sebuah upacara dimana upacara tersebut bertujuan untuk menyapa dan
memberikan rasa keperdulian dan saling hormat anatara satu daerah dengan daerah
lainya dan berbagai macam suku yang berbeda agar terjaganya rasa keharmonisan
antara suku dan daerah melakukan hal itu dimana masyarakat tanjung pura mengadakan
upacara rutinitas setiap tahunya yaitu upacara upacara tertentu yaitu upacara
keselamatan ikrar damai, upacara ini bertujuan untuk keselamatan seluruh warga agar
jauh dari pertikaina pertikaian dan kesalah pahaman antara suku satu dengan suku yang
lainya agar terjaga keharmonisan antar masyarakat , dan masyarakat juga melakukan
upacara tempat sirih upacara ini dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya
sebuah perselisihan yang ada terjadinya kesalah pahaman antar masyarakat dan suku
satu dengan suku yang lainya.
Upacara tersebut juga sekaligus menghormati nenek moyang mereka yaitu putri
junjung buih yang mereka yakini nenek moyang mereka tersebut memiliki sifat yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
189
saling hormat dan santun kepada orang lain. Adanya sikap saling hormat mereka
meyakini hal itu bisa mengormati nenek moyang mereka yaitu Putri Junjung Buih.
Kutipan di atas menggambarkan sifat saling hormat yang terciptanya di
masyarakatkabupaten ketapang khususnya masyarakat Tanjungpura, dimana mereka
meyakini untuk mengikuti sifat nenek moyang mereka yang bersifat selalu hormat
sesama siapaun dengan adanya sifat saling hormat maka akan terciptanya keselamatan,
kehidupan, yang harmonis, damai,sejahtera,jauh dari perselisihan,kesalahpahaman
dikehidupan bermasyarakat.
c. Baik hati
Cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan
yang menggambarkan karakter baik hati yang terdapat di dalam masyarakat.Adapun
kutipan-kutipan yang termasuk karakter baik hati yaitu ketika orang-orang masyarakat
kabupaten Ketapang khusunya daerah Tanjungpura mereka saling membantu.Orangorang yang ada disekeliling dikehidupan masyarakat yang ada didekat mereka sekalipun
mereka sangat peduli dengan orang-orang yang tidak mereka kenali, mereka selalu
menghargai pendapat satu sama lainya dan tolong menolong dalam kebaikan.
Masyarakat Tanjungpura di kabupaten Ketapang tidak pernah membedakan satu sama
lainnya baik orang kaya maupun orang miskin. Mereka beranggapan bahwa kita
kehidupan bermasyarakat didaerah mereka tidak pernah mengucilkan orang-orang yang
kecil dan mereka selalu memperhatikan orang-orang yang sedang mengalami kesusahan
didalam hidup sebuah keluarga yang ada di daerah mereka. Meskipun orang yang
dibantu adalah orang sakit. Hal ini dilakukan karena mereka anggap itu seperti sifat
nenek moyang mereka yaitu Putri Junjung Buih yang di dalam cerita tersebut nenek
moyang mereka yaitu saudara Putri Junjung Buih pernah dikucilkan dari keluarganya
mendapat ganjaran yang setimpal. Jadi masyarakat Tanjungpura tidak ingin melakukan
hal yang samakarena itu akan membuat sedih nenek moyang mereka yang ia yakini.
Kutipan di atas menyatakan karakter masyarakat yang baik hati di dalam cerita
rakyat Putri Junjung Buih tersebut di nilai oleh orang-orang yang selalu peduli dengan
sesama masyarakat yang tinggal di dekat mereka , tidak pernah membandingkan yang
mana miskin dan mana yang kaya, dan mereka selalu memeperhatikan orang orang di
sekitar mereka serta saling membantu satu sama lainnya.
190 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan maka nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam ceritarakyat Putri Junjung Buih kabupaten
Ketapang yaitu nilai-nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan yang meliputi keyakinan
kepada Tuhan dan bersyukur, dan nilai-nilai pendidikan karakter terhadap sesama
masyarakat meliputi terjaganya silaturahmi, kerja sama dan saling menghormati.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Komunikasi, Budaya dan Pariwisata. Cerita Putri Junjung Buih
Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. E . 2011. Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
191
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK
DALAM MEMBANGUN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR
Lusy Febia Yaomul Istar
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Education is a process of human interaction that marked the existence of a balance
between the role of the educator with the sovereignty of the learners,
while learning is an activity that refers to the process of teaching and learning that takes
place between teachers with learners. This aims to improve the quality of human life in
order to have a good character, especially in the start of elementary school education
as the Foundation of the main character in growing on learners, it surely must be
supported with the implementation of a learning model that suits the needs
of learners in primary schools is the thematic learning. However, it is generally in the
field implementation of thematic learning in primary schools has not been as expected,
because many teachers who contended that this learning is considered relatively new,
so many teachers who feel difficulty in implementing the thematic learning. Therefore,
this article will examine about implementation of thematic learning model in
building character in elementary school that surely there are some stages of activity
that must be performed i.e. teachers stage planning, execution and assessment.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai adanya suatu
keseimbangan peran antara pendidik dengan kedaulatan peserta didik, sedangkan
pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang merujuk pada proses belajar mengajar
yang berlangsung antara guru dengan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia agar memiliki budi pekerti yang baik, terutama
hal ini di awali dari pendidikan sekolah dasar sebagai pondasi utama dalam
menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik, hal tersebut tentunya harus didukung
dengan adanya implementasi model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik di sekolah dasar. Berlandaskan pada kebijakan tentang Kurikulum 2013
yang memberi ruang gerak yang luas kepada lembaga pendidikan khususnya SD/MI
dalam mengelola sumber daya yang ada, dengan cara mengalokasikan seluruh potensi
dan prioritas sehingga mampu melakukan terobosan-terobosan sistem pembelajaran
192 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
yang lebih inovatif dan kreatif. Salah satu upaya kreatif dalam melaksanakan
pembelajaran di SD/MI adalah melakukan pembelajaran tematik. Pembelajaran model
ini akan lebih menarik dan bermakna bagi anak karena model pembelajaran ini
menyajikan tema-tema pembelajaran yang lebih aktual dan kontekstual dalam
kehidupan sehari-hari. Namun demikian masih banyak pihak yang belum memahami
dan mampu menerapkan model ini secara baik.
PEMBAHASAN
Pembelajaran Tematik
Dilihat dari perkembangan psikologi dan lingkungan interaksi sosial budaya
peserta didik telah ditetapkan bahwa pelaksanaan kegitan kurikuler di SD/MI dibagi
dalam penggalan. Penggalan pertama terdiri atas kelas-kelas rendah (I, II, II) yang
mma kegiatan kurikulerny diorganisasikan dalam bentuk pembelajaran tematis, dan
penggalan kedua terdiri atas kelas-kelas lebih tinggi (IV, V, VI) yang kurikulernya
diorganisasikan dalam bentuk pembelajaran berbasis mata pelajaran.
Model pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran terpadu yang
menggunakan tema tertentu yang mengakomodasikan beberapa sehingga memberikan
pengaruh terhadap kompetensi dasar yang harus dicapai dari satu mata pelajaran atau
beberapa mata pelajaran bermakna kepada peserta didik, yang mana tema merupakan
pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Sapriya, dkk,
2009; Sutirjo dan Mamik, 2005). Dalam pembelajaran ini peserta didik belajar melalui
pemahaman dan pembiasaan perilaku yang terkait pada kehidupannya. Peserta didik
belum secara formal diperkenalkan pada mata pelajaran. Tujuan akhir dari
pembelajaran tematik adalah berkembangnya potensi peserta didik secara alami sesuai
dengan usia dan lingkungannya. Dalam pembelajaran, tema diberikan dengan maksud
menyatukan
isi
kurikulum
dalam
satu
kesatuan
yang
utuh,
memperkaya
perbendaharaan bahasa anak didik dan membuat pembelajaran lebih bermakna
(Resmini, 1996; Hadisubroto, 1998). Penggunaan tema dimaksudkan agar anak
mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas.
Pembelajaran tematik banyak dipengaruhi oleh eksplorasi topik yang ada di
dalam kurikulum sehingga siswa dapat belajar menghubungkan proses dan isi
pembelajaran secara lintas disiplin dalam waktu yang bersamaan. Dalam pembeljaran
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
193
tematik siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui
pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka
pahami. Dengan pembelajaran tematik diharapkan dapat memberikan banyak
keuntungan, diantaranya (Sudrajat, 2008): 1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada
suatu tema tertentu; 2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan
berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama; 3) pemahaman
terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) kompetensi dasar dapat
dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman
pribadi siswa; 5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena
materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; 6) Siswa lebih bergairah belajar karena
dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan
dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain; 7) guru dapat
menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat
dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu
selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I sampai dengan kelas
III SD/MI, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan
Kewargaanegara, dan Ilmu pengetahuan social, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta
pendidikan jasmani.
Budi Pekerti
Konsep budi perkerti (Balitbang Dikbud, 1995) yang menjelaskan bahwa budi
pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan,
diaktualisasikan, atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dlam kehidupan
pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa, dan Negara. Budi pekerti secara operasional
merupakan suatu perilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan, artinya seseorang
diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihanlatihan , misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa, dan menghormati
orang lai, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan
keluar rumah, dsb. Dalam melaksanakan budi pekerti tidak bisa hanya mementingkan
bakat bawaan atau mementingkan factor lingkungan tetapi keduanya saling berinteraksi.
Maka dari itu, adanya implementasi model pembelajaran tematik dalam membangun
budi pekerti.
194 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
Dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik ini ada tahapan kegiatan
yang harus dilakukan guru, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.
Berikut ini matrik dari pembelajaran tematik.
Bahasa Indonesia:
ï‚· Menceritakan peristiwa
alam yang penah dilihat
ï‚· Menjelaskan isi gambar
seri tentang peristiwa
alam.
Matematika:
Memecahkan maslah seharihari yang melibatkan
penjumlahan dan pengurangan
Pengetahuan Alam:
ï‚· Membedakan lingkungan
sehat dan tidak sehat
ï‚· Mengidentifikasi penyebab
pencemaran lingkungan
BANGGA
BERTANAH AIR
INDONESIA
PKn:
ï‚· Mencintai kekayaan
alam Indonesia
ï‚· Bangga memiliki alam
Indonesia
ï‚· Bangga sebagai anak
Indonesia
Kertakes :
ï‚· Menyanyikan lagu-lagu
kecintaan kepda tanah
air dengan benar
Mata Pelajaran lainnya
Matrik 1. Contoh Jaringan Indikator
Matrik 1 menunjukan contoh hubungan tema dari mata pelajaran PKn dengn
indikator-indikator mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, IPA, PKN, Kertakes.
Tema Bangga Bertanah Air Indonesia merupakan salah satu tema dengan tujuan untuk
membangun budi pekerti peserta didik di sekolah dasar pada mata pelajaran PKn.
Beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan guru yaitu tahapan 1) perencanaan:
menetapkan pembelajaran yang akan dipadukan, mempelajari kompetensi dasar setiap
mata pelajaran, membuat/memilih tema, membuat matrik hubungan kompetensi dasar
dengan tema/topic, membuat pemetaan pembelajaran tematik dalam bentuk matrik atau
jaringan tema, menyusun silbus dan menyusun rencana pembelajaran tematik; 2)
pelaksanaan merupakan kegiatan guru dalam membelajarkan siswa dengan
menggunakan pendekatan, metode, dan pola pembelajaran tertentu yang dapat dipilih
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
195
menjadi kegiatan persiapan, pembukaan, kegiatan inti, dan penutup; dan 3) penilaian
merupakan kegiatan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa yang meliputi
prosedur, jenis, bentuk, dan alat penilaian.
KESIMPULAN
Pembelajaran tematik merupakan suatu pembelajaran yang suatu tema tertentu
sebagai bahan dasar untuk menyampaikan pembelajaran yang memberikan pengaruh
terhadap satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran lainnya. Pembelajaran ini
tepat digunakan untuk jenjang SD/MI pada kelas rendah (I, II, dan Iii), karena pada
jenjang tersebut membutuhkan pendidikan budi pekerti sejak dini yang perlu dibangun
melalui implementasi pembelajaran tematik dalam membangun pendidikan budi pekerti.
Dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik ini ada tahapan kegiatan yang
harus dilakukan guru, yaitu 1) perencanaan: menetapkan pembelajaran yang akan
dipadukan, mempelajari kompetensi dasar setiap mata pelajaran, membuat/memilih
tema, membuat matrik hubungan kompetensi dasar dengan tema/topic, membuat
pemetaan pembelajaran tematik dalam bentuk matrik atau jaringan tema, menyusun
silbus dan menyusun rencana pembelajaran tematik; 2) pelaksanaan merupakan
kegiatan guru dalam membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan, metode,
dan pola pembelajaran tertentu yang dapat dipilih menjadi kegiatan persiapan,
pembukaan, kegiatan inti, dan penutup; dan 3) penilaian merupakan kegiatan untuk
menilai proses dan hasil belajar siswa yang meliputi prosedur, jenis, bentuk, dan alat
penilaian
DAFTAR PUSTAKA
Hadisubroto, Tisno. (1998). Buku Materi Pokok Pembelajaran Terpadu Modul 1
sampai 6. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Resmini, Novi, dkk. (1996). Penentuan Unit Tema dalam Pembelajaran Terpadu.
Malang: IKIP Malang.
Sapriya, dkk. (2009). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Lab
PKn UPI.
Sudrajat,
Akhmad.
(2008).
Model
Tematik
Awa.
[Online].
Tersedia:akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/07/model-tematik-kelasawal/ [17 Mei 2016]
196 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
Sutirjo. dan Mamik, Sri Istuti. (2005). Tematik: Pembelajaran Efektif dalam
Kurikulum 2004. Malang: Bayumedia Publishing.
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1995). Balitbang Dikbud
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pemerintah
RI.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
197
PEMBINAAN BUDAYA SEKOLAH DALAM RANGKA MEMBANGUN BUDI
PEKERTI DI SEKOLAH DASAR
Maya Kartika Sari
IKIP PGRI Madiun
Email: [email protected]
Abstract
School culture is the most important component in the formation of character,
especially in primary school. Through habituation school students will be patterned to
develop values that are developed in schools. In order to develop a school culture in
building good character in school requires a strategy of modeling (modeling), teaching
(teaching), and strengthening the environment (reinforcing) is carried out continuously
and involve collaboration with all the schools so that school culture can build moral
character of students with optimal
.
Keywords : School culture, Budi pekerti
PENDAHULUAN
Sekolah Dasar merupakan sekolah pembentukan watak pertama bagi anak. Pada
tahap ini anak diajarkan budi pekerti, etika, karakter terpuji dan pendidikan moral yang
akan mengakar hingga anak tersebut dewasa. Pendidik di Sekolah Dasar tidak hanya
bertugas mentranfer pengetahuan saja namun juga berupaya membentuk budi
pekerti/karakter/moral yang baik kepada siswa. Pembiasaan berperilaku mulia tersebut
terintegrasi dan tertanam dalam budaya sekolah. Di setiap sekolah akan memiliki
budaya sekolah yang berbeda-beda yang akan menyesuaikan dengan karakteristik
sekolah dan kearifan lokal yang terdapat dilingkungan sekolah tersebut. Pandangan
Ajat Sudrajat dalam Darmiyati (2011: 137) menyatakan bahwa budaya sekolah
merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai,
norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga
dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan
warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya
Penelitian di Amerika serikat membuktikan bahwa kultur sekolah berpengaruh
terhadap peningkatan prestasi, motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi
guru serta produktivitas, kepuasan kerja guru dan mampu membangun budi pekerti
siswa. Budaya sekolah secara signifikan dapat membangun budi pekerti siswa di
198 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
sekolah terutama di sekolah dasar. Pendidikan budi pekerti berupa
upaya untuk
membekali peserta didik melalui bimbingan dan pengajaran yang berisi nilai – nilai
perilaku manusia yang dapat diukur melalui norma agama, norma hukum, tata krama
dan sopan santun, serta norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti
diwujudkan dalam bentuk perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan dan
kepribadian anak didik.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai budi pekerti berupaya untuk
mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani
anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Dalam mengimplementasikan
pendidikan budi pekerti tersebut dilakukan melalui pemberian nasehat-nasehat,
materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada kesadaran akan
perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa
kecilnya sampai pada masa dewasanya, supaya terbentuk watak dan kepribadian yang
baik untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, selain itu mendidik disesuaikan
urutan-urutan pengambilan keputusan untuk berbuat, yaitu metode ngerti, ngrasa dan
nglakoni (mengetahui/memahami, memiliki/menghayati, dan melakukan).
Program pelaksanaan budaya sekolah dalam membangun budi pekerti ini
diorganisasikan dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi
pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing).
Guru sebagai komponen utama dan penting dalam pembudayaan budi pekerti di
sekolah. Oleh karena itulah guru harus memberikan pemodelan yang baik untuk siswa,
memberikan pengajaran bukan hanya ilmu pengetahuan namun juga pendidikan watak
atau kepribadian, selain itu guru harus memberikan motivasi positif pada siswa agar
senantiasa berperilaku yang mengamalkan budi pekerti luhur.
PEMBAHASAN
Pendidikan Budi pekerti Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (1962: 485) pendiri Taman Siswa menyatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan
batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ki
Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini di
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
199
199
sekolah. Pendidikan ini memfasilitasi Heritage Foundation siswa guna mengkaji
nilai-nilai humanitas, misalnya prinsip kejujuran, memperjuangkan keadilan, sikap tepa
slira dan menghargai perbedaan yang ada.
Pemikiran Ki Hadjar terimplementasi dalam pendidikan Taman Siswa, menurut
Ki Hadjar Pendidikan Taman siswa mendidik anak-anak menggunakan konsep
anak-anak yang dimulai dengan pembiasaan belajar dengan suasana ramah seperti
suasana rumah dan lingkungan sendiri. Dasar dasar bahasa dan alam pikiran sendiri
siswa ditanamkan melalui nyanyian dan permainan anak-anak, sebelum siswa
mendapatkan pengajaran dalam bahasa asing. Hal itu digunakan untuk menyiapkan rasa
kebebasan dan tanggung jawab, terikat dengan kebudayaan sendiri supaya terhindar
dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan dalam hubungan dengan kolonial. Anak
anak dididik untuk menjadi orang yang setia, bersemangat, patriotisme dan memiliki
rasa pengabdian bagi bangsa.
Pada pelaksanaannya Pendidikan Taman Siswa dikembangkan sistem asrama,
dimana siswa laki-laki dan perempuan tinggal bersama guru-guru pria dan guru wanita.
Tiap bagian diketuai guru yang telah berkeluarga, hal itu dimaksudkan untuk menjaga
dan membentuk suasana kekeluargaan. Guru menjadi pamong bagi murid-muridnya.
Sementara siswa yang lebih tua diberi kebebasan dan tanggung jawab yang lebih
banyak dalam menjalankan tugasnya masing masing.
Di tingkat dasar anak-anak dididik di alam Taman Indriya yang sama sekali tidak
menggunakan bahasa asing sebagai media pengantarnya, karena pengajaran diberikan
dengan bahasa ibu mereka. Di kelas tersebut banyak materi permainan dan nyanyian
nasional, sebagai usaha pengenalan terhadap rasa nasionalisme bangsa. Situasi
pengajaran dasarnya pun diusahakan supaya anak-anak nyaman dengan menciptakan
situasi belajar seperti bermain. Setelah tiga tahun mengenyam di taman ini, anak anak
bisa meneruskan ke level lanjut di Tamansiswa.
Di alam pikir Taman Siswa, Pendidikan Taman siswa, pendidikan nasional
dikembangkan ke dalam pendidikan Tamansiswa berlandaskan pada garis hidup bangsa
(culturel nationaal) dan ditujukan untuk kepentingan perikehidupan (maatschappelijk)
yang dapat mengangkat pada derajat negara dan rakyatnya, serta supaya bisa
bekerjasama dengan bangsa lain di dunia.
200 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
Pemikiran Ki Hadjar mengenai budi pekerti harus ditanamkan dalam pendidikan
tidak tinggal sebagai pengetahuan saja, tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang,
maka produk pendidikan harus memperhatikan tiga unsur secara terpadu, yaitu
“ngerti-ngrasa-ngelakoni”
(mengetahui/memahami,
memiliki/mengjayati,
dan
melakukan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pendidikan budi pekerti
mencangkup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ki Hadjar mempunyai konsep trisentra dalam mendidik anak yang terbagi dalam
tiga wilayah; pertama keluarga yang bertanggungjawab dalam mendidik
budi pekerti
dan laku sosial, kedua perguruan sebagai balai wiyata yaitu usaha untuk mencari dan
memberikan ilmu pengetahuan, dan ketiga sebagai tempat pembentukan watak. Tri
sentra ini menjadi cara untuk mendidik yang saling kait mengkait satu sama lainnya,
karena cara yang ditempuh adalah dengan menghidupkan, menambah dan
mengembirakan perasaan hidup bersama (masyarakat sosial), harus ditujukan kearah
cerdasnya
budi
pekerti
(kharaktervorming),
beraliran
kulturilnasional
(adab
kebangsaan) dan menuju arah rapatnya perhubungan alam keluarga, alam perguruan
dan alam pemuda” (hal 74).
Ki Hadjar mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk
mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani
anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Cara mengaplikasikan pendidikan
tersebut dengan banyak memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran
yang dapat mengarahkan anak pada kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa dewasanya,
supaya terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapai kebahagiaan lahir
dan batin. Metode lain yang digunakan untuk mendidik disesuaikan urutan-urutan
pengambilan keputusan untuk berbuat, yaitu metode ngerti, ngrasa dan nglakoni.
Secara operasional, pendidikan budi pekerti `dimaknai sebagai upaya untuk
membentuk siswa sebagai pribadi seutuhnya yang tercermin dari kata, perbuatan, sikap,
pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral
luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran.
Tujuannya agar siswa memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
201
201
menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap
sesama makhluk. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).
Pengertian pendidikan budi pekerti dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara
konseptional dan operasional. Nurul Zuriah ( 2007 : 197 ) menjelaskan pengertian budi`
pekerti secara konseptional mencakup hal-hal sebagai berikut. (a) Usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur
dalam segenap peranannya sekarang dan masa depan yang akan diukur menurut
kebaikan dan keburukan melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan
santun, norma budaya adat istiadat masyarakat. Budi pekerti berinduk pada “etika” atau
filsafat moral. Etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di
dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup
seseorang maupun kelompok; (b) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan
dan pemeliharaan perilaku siswa tugas hidupnya selaras, serasi dan seimbang (lahir
batin, material-spiritual dan individual); (c) Upaya pendidikan untuk membentuk siswa
menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan,
pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan.
Tujuan pendidikan budi pekerti yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan
dan kecakapan berpikir, menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan memiliki
kemampuan yang terpuji. Pandangan Cahyoto (2002 : 9-13 ) dapat dijelaskan sebagai
berikut : (1) mendorong kebiasaan berperilaku terpuji sesuai nilai-nilai universal dan
tradisi budaya yang religius; (2) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab;
(3) memupuk ketegaran mental peserta didik agar tidak terjerumus pada perilaku yang
menyimpang, baik secara individu maupun sosial, dan (4) meningkatkan kemampuan
untuk menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
Budaya Sekolah Membangun Budi Pekerti
Menurut Zamroni (2011: 111), menyatakan bahwa kultur sekolah merupakan
pola nilai-nilai, prinsi-prinsip, tradisi-tradisi dan kebiasaan- kebiasaan yang terbentuk
dalam perjalanan panjang sekolah, dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang
lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh seluruh warga sekolah sehingga
mendorong munculnya sikap dan perilaku warga sekolah. Warga sekolah menurut UU
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terdiri dari peserta didik,
202 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
pendidik, kepala sekolah, tenaga pendidik serta komite sekolah. Budaya sekolah adalah
detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah
komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa,
manajemen sekolah, dan masyarakat membangun kegiatan keseharian di sekolah yang
mencerminkan perwujudan nilai-nilai budi pekerti siswa.
Budaya sekolah memiliki cakupan kegiatan ritual, harapan, hubungan
sosila-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakulikuler, proses
pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen disekolah.
Budaya sekolah menciptakan hubungan dan suasana sekolah yang harmonis antara
guru dengan siswa, guru dengan guru, siswa dengan siswa, warga sekolah dengan
masyarakat, dan dengan lingkungan sekitar yang berwujud keramahan, ketauadanan
dan kepemimpinan yang baik.
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang
bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang berakhlak mulia melalui kejujuran, disiplin
dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa
meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill (keterampilan). Dalam
rangka membentuk budi pekerti yang maksimal maka sekolah perlu melakukkan
pembiasaan dan pemodelan di lingkungan sekolah, oleh karena itulah perlu adanya
budaya sekolah dalam membentuk budi pekerti. Pendekatan yang dilakukan dalam
rangka membangun budaya sekolah berbasis budi pekerti (Zuriah 2007 : 75), yakni (a)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), melalui pendekatan ini siswa
diajak untuk menerima nilai-nilai katauladanan yang diberikan oleh guru melalui
budaya sekolah; (b) Pendekatan perkembangan moral (cognitive moral development
approach), yang menekankan pada pengarahan guru dalam memberikan pembiasaan
kepada siswa mengenai moral kepada siswa dalam mengambil keputusan. seperti takut
hukuman, melayani kehendak sendiri, berbuat kebaikan, dan bertindak sesuai dengan
prinsip etika universal; (c) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), yang
menekankan pada siswa dalam menggunakan pikiran logis, rasional dan ilmiah dalam
menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu; (d) Pendekatan
klarifikasi nilai (value clarification approach), yang beryujuan untuk menumbuhkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
203
203
kesadaran dan mengembangkan kemampuan siswa dalam mengidentifiasi nilai-nilai
dalam diri sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan pendekatan-pendekatan nilai tersebut diharapkan siswa menjadi
terbiasa melakukan budi pekerti di lingkungan sekolah. Pembinaan budaya sekolah
dalam membangun budi pekerti di sekolah dasar diperlukan komitmen guru dan kepala
sekolah dalam mengimplementasikan budaya sekolah dengan maksimal. Strategi dalam
melaksanakan pembinaan budaya sekolah dalam membangun budi pekerti dilakukan
melalui; (1) dialog antara guru dengan siswa, antara orang tua dan guru, dialog dapat
dilakukan secara pribadi, kelompok atau dengan seluruh siswa pada suatu kegiatan; (2)
komunikatif, apabila ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting secara pribadi
dengan guru BP, jika kelompok dengan guru wali kelas dan seluruh peserta didik ole
kepala sekolah, hal ini sesuai dengan birokrasi yang telah ditentukan; (3) keterbukaan,
dialog ataupun komunikasi dapat dilakukan secara terbuka, siswa diberi kesempatan
untuk mengembangkan pendapatnya secara positif, (4) Menggunakan prinsip
keteladanan dari semua pihak baik orang tua, guru, masyarakat maupun pemerintah, (5)
menggunakan prinsip rutinitas dalam semua aspek kehidupan disekolah, dan (6) prinsip
kesadaran untuk bertindak sesuai nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan di sekolah.
Program pelaksanaan budaya sekolah ini diorganisasikan dan diterapkan di
lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran
(teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing). Pembudayaan dan penanaman budi
pekerti ini secara terus-menerus mensyaratkan proses pemodelan, pengajaran, dan
penguatan lingkungan atas budi pekerti yang baik. Tim Budaya Sekolah dan budi
pekerti harus menjalin kerjasama secara interkoneksi dengan semua komponen sekolah
dan menyatukan langkah mereka untuk membangun lingkungan sekolah yang berbudi
pekerti luhur. Ketika semua komponen sekolah dilibatkan dalam pembudayaan dan
penanaman budi pekerti, ini berarti bahwa nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan karakter
yang sudah diprioritaskan harus dimodelkan oleh semua warga sekolah (kepala sekolah,
guru, siswa, dan karyawan), diintegrasikan oleh setiap guru ke dalam mata pelajaran,
dan dikuatkan oleh penataan lingkungan sekolah. Sementara itu, orang tua/wali siswa
juga harus memperhatikan perkembangan karakter anak-anak mereka ketika berada di
rumah; demikian juga dengan proyek-proyek sosial yang disiapkan oleh komite sekolah
dan masyarakat.
204 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
PENUTUP
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang
bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang berakhlak mulia melalui kejujuran, disiplin
dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa
meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill (keterampilan). Dalam
rangka membentuk budi pekerti yang maksimal maka sekolah perlu melakukan
pembiasaan dan pemodelan di lingkungan sekolah, oleh karena itulah perlu adanya
budaya sekolah dalam membentuk budi pekerti melalui berbagai macam strategi atau
pendekatan dalam mengimplementasikannya. Program pelaksanaan budaya sekolah ini
diorganisasikan dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi
pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhtadi. 2010. Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti yang efektif di
sekolah. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 01/Th. XVII/Mei 2010.
Cahyoto. 2002. Budi Pekerti dalam Perspektif Pendidikan. Malang: Depdiknas-Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang.
Darmiyati. 2011. Pendidikan Kartakter dalam prespektif Teori dan Praktik. Yogyakarta :
UNY Press
Darmiyati Zuchdi, dkk. 2012. Model Pendidikan Karakter, Terintegrasi dalam
pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah. Yogyakarta : UNY Press
Dewantara, KI Hadjar. 1962. Karya Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Perguruan Taman Siswa.
Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta : Kementrian
Pendidikan Nasional.
Maya Kartika. 2016. Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Budaya Sekolah Berbasis
Boarding School Di Madrasah Mu’Alimaat Muhammadiyah Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Universitas Muhammadiyah Purwokerto 30 April
2016. ISBN. 978-602-14377-4-2
Nurul Zuriah. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam prespektif perubahan.
Jakarta : Bumi Aksara
Pusat Pengembangan Kurikulum, (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
205
205
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa dalam
Sejarah Indonesia Modern. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta.
Sutrisno, Mudji. 2007. Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketza, Kanisius:
Yogyakarta
206 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
URGENSI PENGEMBANGAN BUKU DONGENG BERBASIS SAINSMATIKA
UNTUK MENANAMKAN NILAI-NILAI KARAKTER
PADA SISWA SEKOLAH DASAR
Muhammad Nur Wangid
Ali Mustadi
Agnestasia Ramadani P
Imroatun Nur Hidayah
Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas
Tri Mulyani
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
The development of character values is one of orientation in education, because
education is expected not only be able to produce superior seeds intelligent and
knowledgeable, but also the generation who has a personality that character.
Characters have different patterns of education with the knowledge, character
education requires efforts in a system that is entrenched. Book of fairy tales have
a civilizing character in students because fairytale fascination able to involve
aspects of thinking and experience for readers. Through the depiction of
characters in the story, a fairy tale reader can feel the emotional involvement with
the characters. Indirectly this emotional involvement contribute to a growing
sensitivity reader through the emotional experience of reading it. In order for the
emotional involvement can be realized in a system that is entrenched, it is
necessary initiated a fairy tale book that not only provide opportunities for
children to read and know the fairy tale story line, but also capable of facilitating
that how children can engage in real activity through work by problem-solving
activities and experiments that the guidelines have been presented in the book of
fairy tales. Through this idea, is expected to be developed based on a fairy tale
book sainsmatika viable and can effectively instill character values in primary
school students through habituation.
Keywords: fairy tales, sainsmatika, character
PENDAHULUAN
Pendidikan dasar sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan nasional
memiliki misi untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan berpikir
serta pondasi karakter pada anak-anak usia sekolah dasar. Keterampilan belajar
seumur hidup dapat diperoleh melalui sistem pendidikan karakter dan
206
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
pengetahuan yang terpadu. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yang
tertuang dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 dimana memiliki
kesamaaan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Artinya, pengembangan sebuah prototipe
sistem pendidikan karakter dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter.
Permendikbud Nomor 56 Tahun 2013 juga mensyaratkan penyelenggaraan
pendidikan yang inovatif dan kreatif serta sesuai dengan minat dan kebutuhan
peserta didik. Anak usia sekolah dasar berada dalam tahap perkembangan yang
membutuhkan sistem pembelajaran kontekstual, terintegrasi dan kreatif. Diana
Mitchell pada tahun 2010 melakukan survei children-like-to-read, menemukan
bahwa sebagian besar anak-anak menyukai bacaan yang mengandung unsur
petualangan, fiksi dan imajinasi. Dalam tahap perkembangannya, anak usia
sekolah dasar membutuhkan buku-buku yang lebih imajinatif yang memiliki alur
cerita, sehingga ketika membaca anak merasa memiliki pengalaman dan
menemukan pengetahuan melalui proses imajinasi yang menyenangkan dan penuh
petualangan. Hal ini dapat diperoleh ketika anak-anak membaca bacaan fiksi,
seperti dongeng.
Sains dan Matematika merupakan dua mata pelajaran yang dapat
diintegrasikan sebab keduanya dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari yang
sifatnya kontekstual. Selain itu, sains dan matematika dapat menjadi sarana
penyampaian budi pekerti dengan cara-cara yan terintegrasi dalam pembelajaran
seperti bersahabat, kemandirian, rasa ingin tahu, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan potensi yang memungkinkan, maka digagas sebuah karya baru yaitu
buku dongeng berbasis sainsmatika sebagai buku penunjang yang mengandung
substansi materi tematik integratif. Buku dongeng tersebut diharapkan menjadi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
207
salah satu langkah nyata menanamkan pendidikan karakter pada siswa melalui
cara yang bermakna.
Konsep Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika
Konsep sainsmatika berangkat dari suatu keinginan memadukan antara
sains dan matematika secara utuh dan menyeluruh, sehingga tidak lain secara
harfiah sainsmatika mempelajari sains dan matematika secara terpadu (sains and
mathematic integrated). Sebagaimana telah diterapkan dalam kurikulum 2013
yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran menjadi satu kesatuan tema yang
utuh, sainsmatika merupakan keberlanjutan dari konsep tersebut. Dongeng
menjadi salah satu media yang sangat menarik untuk mengaplikasikan
sainsmatika di sekolah dasar. Sebuah cerita dongeng dapat mengajak anak untuk
melakukan aktivitas belajar dalam rangka membangun sebuah konsep dalam diri
anak.
Aktivitas belajar yang menantang dan menyenangkan akan lebih
bermakna bagi anak, demikian juga saat belajar sainsmatika. Gallenstein (2005)
menguatkan bahwa:
A key element for children in understanding science and mathematics
knowledge on the early childhood level (preschool-primary grades) is
through active, creative, intellectual engagement. Children actively
engage in acquiring basic science and mathematics concepts as they
explore environment.
Pendapat di atas dapat dimaknai bahwa dalam mempelajari sains dan
matematika, anak dilibatkan melalui kegiatan yang aktif, kreatif, dan menantang,
mereka diberikan kesempatan untuk memahami konsep tentang lingkungannya.
Oleh karena itu, diperlukan panduan yang tepat dan mengarahkan aktivitas belajar
siswa yang aktif dan menyajikan permasalahan yang menarik dan menantang.
Panduan-panduan belajar tersebut dapat diwujudkan melalui media buku dongeng.
Media ini dipilih karena dapat memberikan daya tarik pada siswa untuk
mempelajari materi pelajaran dengan sesuatu yang menarik dan menyenangkan,
salah satunya yaitu buku dongeng.
208
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
Dongeng merupakan sastra anak yang berisi kisah fantasi penuh amanat
dan pesan kebaikan. Dongeng memberikan kontribusi pada kehidupan
pembacanya, melalui penggambaran karakter tokoh dalam cerita, pembaca
dongeng dapat merasakan keterlibatan emosi dengan tokoh. Secara tidak langsung
keterlibatan emosi ini turut berkontribusi dalam menumbuhkan kepekaan
emosional pembaca melalui pengalaman membacanya.
Fairy tales bring joy into child life. The mission of joy has not been
fully preached, but we know that joy works toward physical health,
mental brightness, and moral virtue. In the education of the future,
happiness Together with freedom will be recognized as the largest
beneficent powers that will permit the individual of four, from his
pristine, inexperienced self-activity, to become that final, matured,
self-expressed, self-sufficient, social development--the educated man.
Joy is the mission of art and fairy tales are art products (Kready,
2004).
Pernyataan ini merujuk pada satu sintesis bahwa dongeng memberikan
kesempatan kepada pembaca anak untuk membangun kepribadiannya dari
pengalaman yang ia alami melalui kegiatan membaca. Sejalan dengan itu,
dongeng perlu memuat konten nasihat untuk anak. Kready (2004) lebih lanjut
menjelaskan sebagai berikut:
Fairy tales give the child a power of accurate observation. The habit
of re-experiencing, of visualization, which they exercise, increases the
ability to see, and is the contribution literature offers to nature study.
In childhood acquaintance with the natural objects of everyday life is
the central interest; and in its turn it furnishes those elements of
experience upon which imagination builds. For this reason it is rather
remarkable that the story, which is omitted from the Montessori
system of education, is perhaps the most valuable means of effecting
that sense-training, freedom, self-initiated play, repose, poise, and
power of reflection, which are foundation stones of its structure.
Dongeng selain sebagai hiburan bagi pembaca anak juga menjadi
media penyampaian nasihat dan pesan moral, sehingga pembaca anak tidak hanya
merasakan pengalaman membaca yang menyenangkan tetapi juga pengalaman
membaca yang memperkaya pengetahuan moralnya sehingga membangun
karakter dalam diri anak. Berkaitan itu, terdapat suatu pendapat bahwa:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
209
The stories begin at the child’s current stage of development, and
show him/her the way: just like the black-and white characterization
of the fairy tales, so too is the child’s view of the world marked by
polarization. Fairy tales demonstrate that an inner development has to
take place, by offering solutions which the child can understand,
because they correspond to childish, animistic thinking, and express,
on a symbolic/visual level, the things that motivate the child (cf.
Hoeppel, 1994, p. 208) dalam Orde (2013).
Penyataan Hoeppel merujuk suatu kesimpulan bahwa dongeng menyajikan
gambaran kepada pembaca anak bagaimana mengidentifikasi dan menyelesaikan
sebuah permasalahan yang dapat dengan mudah dipahami anak. Dibutuhkan
berbagai aspek yang dapat mendorong siswa melibatkan dirinya dalam aktivitas
tertentu dengan penuh kesadaran dan keberminatan
sehingga aktivitas
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah tersebut memberikan dampak pada
proses pembentukan karakter dalam diri anak.
Pada akhirnya buku dongeng berbasis sainsmatika ini akan memberikan
warna baru dalam dunia pendidikan dan menjawab kebutuhan tersebut. Buku
dongeng berbasis sainsmatika hadir tidak hanya sebagai bahan bacaan yang dapat
meningkatkan
pengetahuan
serta
wawasan
anak
terkait
dengan
materi
pembelajaran sains dan matematika, namun buku dongeng tersebut memberikan
panduan atau tuntunan belajar kepada siswa untuk melakukan beragam aktivitas
seperti eksperimen dan penyelesaian soal/quiz yang menantang serta memberikan
kebermaknaan bagi siswa dalam proses belajarnya.
Nilai-Nilai Karakter yang Dikembangkan melalui Buku Dongeng Berbasis
Sainsmatika
Pada implementasi Kurikulum 2013, pengembangan sikap menjadi salah
satu hal yang ditekankan karena peserta didik akan menjadi generasi penerus
bangsa yang diharapkan memiliki pribadi-pribadi yang berkarakter. Pendidikan
karakter merupakan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakterkarakter luhur yang diterapkan dalam kehidupan manusia baik dalam keluarga,
masyarakat maupun warga negara. Novak (Lickona, 1991: 50) mengartikan
210
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
karakter sebagai “a compatible mix of all those virtues identified by religious
traditions, literary stories, the sages, and person of common sense down through
history”. Karakter merupakan perpaduan harmonis dari nilai-nilai agama, kisahkisah sastra, cerita-cerita orang bijak dan berilmu sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Namun, tidak ada seorang pun yang memiliki semua jenis budi pekerti
tersebut. Lickona (1991: 51) menyatakan bahwa “Good character consist of
knowing the good, desiring the good, and doing the good”, yang artinya karakter
yang baik meliputi mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan
melakukan yang baik. Hal ini dapat dimaknai bahwa karakter merupakan suatu
sikap yang menunjukkan kebaikan (goodness) yang dilakukan oleh setiap individu
di antaranya berpikir baik (thinking good), berperasaan baik (telling good), dan
berperilaku baik (behaving good), sehingga mampu menjadi manusia bijak
berbudi pekerti luhur.
Pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan
oleh Kemendiknas (2011) terdapat 18 nilai hasil kajian empirik pusat kurikulum.
Diantara 18 nilai karakter tersebut, ada empat aspek yang sesuai dengan gagasan
ini, yaitu: kemandirian, rasa ingin tahu, bersahabat dan peduli terhadap
lingkungan.
a. Kemandirian
Kemendiknas (2011) menegaskan bahwa kemandirian merupakan
sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan segala tugas-tugas. Suparman (2003: 31) berpendapat
bahwa pendidikan karakter mandiri adalah pendidikan yang membentuk
akhlak, watak, budi pekerti, dan mental manusia agar hidupnya tidak
tergantung atau bersandar kepada pihak-pihak lain. Jadi dapat disimpulkan
baha kemandirian merupakan sikap seseorang yang tidak tergantung pada
orang lain dan mampu menentukan langkah yang akan dilakukan tanpa
meniru atau diperintah oleh orang lain.
b. Rasa Ingin Tahu
Kemendiknas (2010) menggambarkanrasa ingin tahu sebagai sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
211
meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Kondisi rasa
ingin tahu terjadi karena seseorang ingin mencari jawaban atas
ketidaktahuannya. Suriasumantri, J. (2007: 19) menegaskan bahwa
pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu. Dengan demikian, pengetahuan
dapat diperoleh dengan mengetahui apa alasan mempelajari pengetahuan
dan apa kegunannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu
merupakan munculnya keinginan untuk mempelajari sesuatu lebih
mendalam dan mengetahui manfaat dari apa yang dipelajarinya.
c. Bersahabat
Kail and Cavanaugh (2013: 266) menyebutkan bahwa persahabatan
adalah hubungan sukarela antara dua orang yang melibatkan rasa saling
menyukai. Suyadi (2013: 9) menyebutkan karakter bersahabat yakni sikap
dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun
sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. Jadi
bersahabat merupakan suatu sikap atau tindakan yang dimiliki seseorang
dengan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dan menjalin
hubungan komunikasi yang baik.
d. Peduli terhadap lingkungan
Menurut Kemendiknas (2011), peduli lingkungan ialah sikap dan
tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di
sekitarnya
dan
mengembangkan
upaya-upaya
untuk
memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi. Jadi, karakter peduli lingkungan hidup
merupakan kecenderungan dasar yang didasari oleh adanya pengetahuan,
sikap, dan tindakan yang selalu berupaya merencanakan dan merawat
kelestarian lingkungan hidup dan mencegah kerusakan lingkungan.
Terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter, maka dapat ditarik suatu
sintesis indikator nilai-nilai karakter yang dikembangkan yaitu: (1) Kemandirian
yang mencakup sikap mengerjakan tugas individu tanpa meminta bantuan orang
lain, menentukan langkah tanpa diperintah, serta tidak meniru hasil pekerjaan
orang lain; (2) Rasa ingin tahu yang mencakup perilaku bertanya, memahami,
menganalisis, mencari tahu beberapa sumber yang relevan, serta menemukan
212
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
hubungan dan makna; (3) Bersahabat, terdiri aspek: memberikan pendapat dalam
diskusi kelas, menghargai pendapat teman, dapat bekerja sama dalam kelompok,
berkomunikasi dengan bahasa yang santun, serta peduli dengan sesama; (4) Peduli
lingkungan yang ditunjukan dengan adanya sikap siswa berupaya merencanakan
dan merawat kelestarian lingkungan hidup dan mencegah kerusakan lingkungan.
Urgensi Pengembangan Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika untuk
Menanamkan Nilai–Nilai Karakter pada Siswa Sekolah Dasar
Pendidikan hakikatnya ialah memanusiakan manusia. Pendidikan memiliki
tujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki akhlak dan pengetahuan
yang berguna bagi kehidupannya dan mau memanfaatkannya untuk menerapkan
kebaikan. Dalam kerangka acuan pendidikan karakter yang dirumuskan oleh
Kemendiknas (2010), pendidikan karakter dimaknai sebagai penanaman
kebiasaan yang baik sehingga peserta didik dapat membedakan hal yang benar
dan hal yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh, serta yang pantas dan tidak
pantas untuk dilakukan. Pendidikan karakter memiliki kaitan yang erat dengan
kegiatan yang menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, karakter perlu ditanamkan
sejak usia anak-anak.
Penekanan nilai-nilai karakter pada peserta didik, diperlukan agar peserta
didik memiliki karakter yang dapat terus menerus digunakan sebagai pembelajar
sepanjang hayat ketika ia dewasa. Secara prinsip, pendidikan karakter tidak
berdiri sendiri. Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter terintegrasi ke dalam
kurikulum yang sudah ada. Oleh karenanya, buku dongeng sainsmatika dapat
menjadi platform penanaman karakter yang terintegrasi ke dalam pembelajaran.
Pendidikan karakter dilatarbelakangi adanya kebutuhan penanaman nilainilai yang mulai luntur di generasi kita. Penelitian yang dilakukan Hertinjung &
Karyani (2015) pada 212 siswa kelas 4 dan 5 SD di kecamatan Laweyan
Surakarta menemukan bahwa prevalensi bullying pada siswa SD adalah: 47%
terlibat dalam bullying, 48% rentan untuk terlibat dalam bullying, dan hanya 5%
subjek yang tidak pernah terlibat sama sekali dalam perilaku bullying. Selain itu,
penelitian Hertinjung & Karyani (2015) menemukan bahwa anak-anak pelaku
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
213
bullying termasuk ke dalam kelompok keluarga SES rendah dan banyak
menghabiskan waktu dengan bermain game komputer di warung internet. Data ini
setidaknya menggambarkan bahwa anak-anak membutuhkan media penanaman
karakter.
Dongeng pada hakikatnya merupakan kisah fiksi yang menyuguhkan
sejumlah cerita dan karakter tokoh yang memberikan pengalaman pembacanya
secara emosional. Secara tidak langsung keterlibatan emosi ini turut berkontribusi
dalam menumbuhkan kepekaan emosional pembaca melalui pengalaman
membacanya (Hoogland, 1993; Kready, 2004; Hoeppel, 1994). Teori ini
menguatkan sejumlah praktik pembelajaran menggunakan aktivitas mendongeng
serta memanfaatkan dongeng sebagai media pembelajaran penanaman karakter.
Karakter terbentuk melalui pengkondisian yang dibiasakan dan diulang-ulang
sehingga aktivitas membaca saja hanya akan memberikan pengetahuan mengenai
konsep karakter. Dibutuhkan berbagai aspek yang dapat mendorong siswa
melibatkan dirinya dalam aktivitas tertentu dengan penuh kesadaran dan
keberminatan
sehingga
aktivitas
tersebut
memberikan
dampak
pada
perkembangan karakternya.
Oleh karena itu, untuk mencapai kebermanfaatan dongeng dalam
pembangunan karakter anak, perlu usaha pengembangan buku dongeng yang tidak
hanya memuat kisah yang menyenangkan dan penuh pesan moral tetapi juga buku
dongeng yang melibatkan aspek hands-on dan minds on. Artinya bagaimana
caranya sebuah cerita dapat menuntun pembaca anak untuk melakukan aktivitas
belajar untuk membangun sebuah konsep. Buku dongeng berbasis sainsmatika
yang mengandung materi pembelajaran tematik integratif ini disusun untuk
memfasilitasi siswa dalam menanamkan nilai-nilai karakter.
SIMPULAN
Konsep sainsmatika berangkat dari suatu keinginan memadukan antara
sains dan matematika secara utuh dan menyeluruh. Buku dongeng sainsmatika
menjadi salah satu media yang menarik untuk menanamkan nilai-nilai karakter
pada anak, karena pada dasarnya anak-anak menyukai cerita-cerita petualangan
yang menarik dan menantang. Agar buku dongeng berbasis sainsmatika
214
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
memberikan kontribusi pada penanaman karakter, maka harus dilakukan suatu
kegiatan sebagai bentuk aplikasi aspek hands-on dan minds on yaitu bagaimana
caranya sebuah cerita dapat mengajak anak untuk melakukan aktivitas belajar agar
siswa dapat menanamkan karakter melalui pembiasaan kegiatan belajarnya
tersebut. Oleh karena itu, di dalam buku dongeng berbasis sainsmmatika akan
disajikan petunjuk-petunjuk belajar, eksperimen, quiz, serta beberapa latihanlatihan untuk siswa yang dikemas dalam alur cerita dongeng yang menarik dengan
kandungan muatan materi sains dan matematika.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang menanamkan dan
mengembangkan karakter-karakter luhur yang diterapkan dalam kehidupan
manusia baik dalam keluarga, masyarakat maupun warga Negara. Pada buku
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendiknas
(2011) terdapat 18 nilai hasil kajian empirik pusat kurikulum. Diantara 18 nilai
karakter
tersebut, ada empat aspek yang sesuai dengan gagasan ini, yaitu:
kemandirian, rasa ingin tahu, bersahabat dan peduli terhadap lingkungan.
Pengembangan buku dongeng berbasis sainsmatika untuk menanamkan
nilai–nilai karakter pada siswa sekolah dasar sangat diperlukan, karena buku
dongeng berbasis sainsmatika akan membawa anak untuk menanamkan nilai-nilai
karakter melalui pembiasaan. Bentuk pembiasaan yang dilakukan yaitu dengan
mengajak siswa untuk melibatkan aspek hands-on dan minds-on nya dalam
menyelesaikan
suatu
masalah
yang
sifatnya
kontekstual.
Permasalahan-
permasalahan serta berbagai bentuk praktik tersebut disajikan dengan konten
materi yang dikemas pada suatu kisah menarik dalam dongeng petualangan.
DAFTAR PUSTAKA
Gallenstein, Nancy L. (2005). Enganging Young Children in Science and
Mathematics. Journal of Elementary Science Education, Vol. 17, No. 2
(Fall 2005), pp. 27-41
Hertinjung & Karyani. (2015). Profil Pelaku dan Korban Bullying di Sekolah
Dasar. The 2nd University Research Coloquium 2015.
Hoogland, C. (1993). Poetics, politics and pedagogy of grimms’ fairytales. Thesis.
Simona Fraser University.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
215
Kail, R.V & Cavanaugh, J.C. (2013). Human development a life-sapan view sixth
edition. Canada: Wadsworth Ceangge Learning.
Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta.
Kready, L.F . (2004). A Study of fairy tales. Boston: The Riverside Press.
Lickona, T. (1992). Educating For Character How Our School Can Teach
Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Orde, Heike Vom. (2007). Children Need Fairy Tales Bruno Bettelheim’s The
Uses of Enchantment. Televizion Journal 26 /2013/E.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Suyadi. (2013). Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: PT
Remaja Rosdyakarya
216
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
APLIKASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Nursaptini
Lale Aprihatin Diana Safitri
Universitas Negeri Yogyakarta
Email : [email protected].
Abstract
The phenomenon of degradation of morality of today's young generation, can be
observed in everyday life, such as the loss of respect for older people, culture of
cheating/plagiarism in replyings or exams, free sex, social gathering sex, drug
addicts, into a group of anarchicmotorcycle gangs, and many others. This is
connected to the lack of character education implementation at an early age
childhood. Education for character is very important that it is of great necessity to
be improved and implemented as early as possible starting from the family, school,
and extends into the community. Character education is in need of being
strengthening, especially in the family, however, because of lack of time and
much activities of parents are relatively high, the lack of parent understanding in
educating children in the family environment, social influences in the
environment and the influence of electronic media negatively affect a child's
development. One alternative to overcome these problems is through education
for character applications which optimize formal education activities in schools
through the example and habituation.
Keywords : character ecation, elementary school
PENDAHULUAN
Seiring dengan arus globalisasi yang telah masuk dalam seluruh relung
kehidupan,
pembangunan
karakter
dirasa
mendesak
untuk
dikaji
dan
diimplementasikan di sekolah terutama sekolah dasar, serta di era global seperti
sekarang ini, ancaman hilangnya karakter semakin nyata. Nilai-nilai karakter yang
luhur tergerus oleh arus globalisasi, utamanya kesalahan dalam memahami makna
kebebasan sebagai sebuah demokrasi dan rendahnya filosofi teknologi (Barnawi
& Arifin, 2012: 11-14).
Hal lainnya, pendidikan saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek
keilmuan dan kecerdasan anak. Pembentukan karakter yang dapat membangun
budi pekerti anak semakin terpinggirkan (Wiyani, 2013: 176). Padahal sudah
diatur dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, bahwa fungsi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
217
pendidikan bukan hanya membangun aspek kecerdasan saja, akan tetapi terkait
dengan budi pekerti peserta didik. Sebagaimana yang tercantum dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 sistem pendidikan nasional yang berbunyi
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3).
Terkait dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang sudah
disebutkan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menginginkan
terbentuknya generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berkualitas akhlaknya
sekaligus
cerdas
intelektualnya
(Salirawati,
2012:
215).
Supaya
dapat
mewujudkan hasil didikan yang maksimal, siswa haruslah memiliki pengetahuan
secara intelektual dan pendidikan budi pekerti untuk membangun karakter bangsa
(Sutiyono, 2013: 309). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
di Harvard
University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh faktor pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) belaka,
tetapi lebih oleh faktor kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan adalah karena 20 % hard skill dan 80
% soft skill. Bahkan orang-orang tersukses dunia karena lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter sangat mutlak penting dan menuntut ditingkatkan (Amri
et al, 2011: 30)
Pendidikan karakter sangat penting ditingkatkan dan dilaksanakan sedini
mungkin dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan meluas ke dalam
lingkungan masyarakat (Wuryandani et al, 2014: 286). Pendidikan karakter ini
perlu penguatan terutama dalam keluarga karena keluarga mempunyai peranan
pertama dan utama bagi anak-anaknya. Namun, dewasa ini pendidikan informal
terutama dalam lingkungan keluarga kurang memberikan kontribusi berarti dalam
mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
218
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar dan pengaruh media elektronik berpengaruh
negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah
satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan
karakter terpadu yang memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan
informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah (Wibowo,
2012: 52-53).
Berangkat dari permasalahan di atas, sekolah memiliki peran penting dalam
pembentukan kepribadian anak, serta sekolah perlu terus berupaya menjadikan
dirinya sebagai tempat terbaik untuk pembentukan pendidikan karakter (Saptono,
2011: 23-24). Pemerintah dan rakyat Indonesia, dewasa ini tengah gencargencarnya mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi pendidikan,
mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah menengah
pertama (SMP/MTS), sekolah menengah atas (SMA/MA), hingga perguruan
tinggi (Wibowo, 2013: 1). Oleh karena itu, semua pelaksana pendidikan di SD
dan SMP harus memiliki kepedulian yang tinggi akan masalah moral atau akhlak
tersebut, terutama para pelaku pendidikan di sekolah (Marzuki, 2015: 91).
Munculnya kesadaran mengaplikasikan pendidikan karakter itu, didorong
oleh fenomena degradasi moralitas generasi muda saat ini, carut marutnya
moralitas anak bangsa, bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari, seperti
hilangnya
penghormatan
kepada
orang
yang
lebih
tua,
budaya
mencontek/menjiplak ketika ulangan atau ujian, pergaulan bebas, seks bebas,
arisan seks (seperti yang baru-baru ini sedang marak), pecandu narkoba, menjadi
kelompok geng motor yang anarkis, dan masih banyak yang lain (Wibowo, 2013:
1-2). Selain itu, realitas yang terjadi di lingkungan pendidikan saat ini guru yang
seharunya menjadi model untuk anak didik dan menjadi pelindung malah
sebaliknya sebagaimana yang diberitakan pada http://www.solopos.com diakses
pada 17 Mei 2016 terdapat seorang guru sekolah dasar diadukan ke kepolisian
karena dugaan pencabulan terhadap muridnya. Berita serupa juga pada
http://news.okezone.com diakses pada 17 Mei 2016 bahwa kasus pencabulan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
219
dengan dua korban di bawah umur pelakunya adalah salah seorang guru sekolah
dasar.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa aplikasi pendidikan karakter sangat
dibutuhkan di segala elemen. Oleh karena itu, pendidikan karakter bertujuan
untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik
secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Selanjutnya Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen
atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana
pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan dalam kegiatankegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain
meliputi: nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan dan komponen terkait lainnya (Amri
et al, 2011: 31).
PEMBAHASAN
Pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai,
berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu,
serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan
nilai-nilai tersebut secara nyata (Koesoema, 2007: 193). Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal memiliki andil yang besar terhadap pembentukan karakter
peserta didik, selain melalui proses pembelajaran (learning) juga melalui prosesproses pembiasaan pada anak. Pendidikan karakter yang didapat oleh anak dalam
lingkungan keluarga dapat dikembangkan di sekolah. Agar pendidikan karakter
ini lebih membekas pada pribadi peserta didik, sekolah harus mampu melakukan
berbagai terobosan dan pembinaan yang mengarah pada dua hal, yaitu 1) pada
tataran konsep (teori yang menyangkut pendidikan karakter baik melalui proses
yang terintegrasi dengan mata pelajaran atau melalui mata pelajaran tersendiri). 2)
pada tataran aplikasi (implementasi) dimana peserta didik diberikan contoh
konkret
220
mengenai
pendidikan
karakter
melalui
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
perilaku-perilaku
yang
dikembangkan di sekolah, seperti keteladanan oleh guru, keteladanan siswa,
disiplin melaksanakan tugas-tugas, kejujuran dan lain-lain (Furkan, 2013: 82)
Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan,
penciptaan lingkungan, dan pembiasaan, melalui berbagai tugas keilmuan dan
kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan
dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain
menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama,
penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting,
dan turut membentuk karakter peserta didik (Mulyasa, 2014: 9).
Pendidikan karakter adalah tentang menjadikan sekolah berkarakter, satu
tempat yang mengedepankan karakter terlebih dahulu. Selain itu juga bagaimana
caranya sebuah sekolah menjadi komunitas kebajikan, suatu tempat kualitas moral
dan intelektual seperti penilaian yang baik, usaha yang terbaik, sikap hormat,
kebaikan,
kejujuran,
pelayanan,
dan
kewarganegaraan
dijadikan
model,
ditegakkan, dibahas, dirayakan, dan dipraktikkan dalam setiap bagian kehidupan
sekolah tersebut dari teladan orang dewasa hingga hubungan antarteman sebaya,
latihan disiplin, muatan kurikulum, ketegasan standar akademi, etos lingkungan,
pelaksanaan aktivitas ekstrakurikuler, dan keterlibatan orang tua (Lickona, 2013:
271). Oleh karena itu, pada dasarnya karakter seseorang dalam proses
perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku
berkarakter, secara psikologis, merupakan perwujudan dari potensi Intellegence
Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse
Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang (Wiyani, 2012: 46).
Sekolah sebagai Wahana Pendidikan Karakter
Sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses transformasi nilai-nilai luhur
melalui pendidikan karakter. Secara operasional, tujuan pendidikan karakter
dalam
setting
sekolah
adalah
sebagai
berikut:
1)
Menguatkan
dan
mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga
menjadi kepribadian kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
221
yang dikembangkan. 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian
dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3) Membangun koneksi yang
harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab
karakter bersama (Wiyani, 2012: 58)
Selanjutnya terdapat empat peran penting karakter dalam kehidupan
akademik (dan pekerjaan pada umumnya): 1) Siswa memerlukan karakter
performa (etos kerja, disiplin diri, ketekunan, inisiatif, kerja tim, dll) untuk
melakukan tugas akademis terbaik mereka. 2) Siswa mengembangkan karakter
performa mereka (kemampuan untuk bekerja keras, mengatasi hambatan, merasa
senang dalam pekerjaan yang dilakukan dengan baik, dll) dari tugas sekolah
mereka. 3) Siswa memerlukan karakter moral (rasa hormat, keadilan, kebaikan,
kejujuran, dll) untuk membangun hubungan kelas yang menciptakan lingkungan
belajar yang positif. 4) Siswa mengembangkan karakter moral dari sekolah
mereka (misalnya, dengan membantu rekan-rekan mereka untuk mengerjakan
tugas terbaik mereka melalui “budaya kritik” yang menawarkan umpan balik
konstruktif, dengan mempelajari masalah etika dalam kurikulum, dan dengan
menggunakan pembelajaran kurikuler mereka dalam proyek pengabdian yang
membantu memecahkan masalah dunia nyata) (Nucci & Narvaez, 2014: 549).
Prinsip-prinsip Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah
Pembinaan karakter mulia di sekolah sangat terkait dengan pengembangan
kultur sekolah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengembangan kultur
akhlak mulia di sekolah, perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembinaan karakter,
dalam buku Marzuki yang berjudul Pendidikan Karakter Islam (2015: 107-108)
dijelaskan prinsip-prinsip pembinaan karakter siswa di sekolah antara lain sebagai
berikut:1) sekolah atau lembaga pendidikan seharusnya dapat membentuk para
siswa menjadi orang-orang yang sukses dari segi akademik dan nonakademik, 2)
sekolah sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang secara tegas
menyebutkan keinginan terwujudnya kultur dan karakter mulia di sekolah 3)
untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah seperti di atas, sekolah harus
mengintergrasikan nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai karakter mulia pada
222
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
segala aspek kehidupan bagi seluruh warga sekolah, terutama para peserta
didiknya, 4) membiasakan untuk saling bekerja sama, saling tegur, sapa, salam,
dan senyum baik pimpinan sekolah, guru, karyawan, maupun para peserta didik, 5)
mengajak peserta didik untuk mencintai Alquran bagi yang beragama Islam dan
juga mengajak peserta didik mencintai kitab suci agama masing-masing seperti
Kristen, Katolik: Alkitab, Hindu: Weda, Budha: Tripitaka, Khonghucu,
Sishui/Wujing/Xiaojing, 6) sekolah secara khusus menentukan kebijakankebijakan yang mengarah kepada pembangunan kultur akhlak mulia, terutama
bagi para siswanya, seperti wajib melaksanakan shalat wajib lima waktu, 7) guru
agama berperan dalam pembangunan karakter siswa melalui mata pelajaran
Pendidikan Agama. Guru mata pelajaran lain juga ikut berperan seperti guru PKn,
IPS, Penjas Orkes dan lain-lain, semua guru ikut bertanggung jawab dalam
pembangunan pendidikan karakter siswa, 8) pengembangan karakter mulia di
sekolah akan berhasil jika ditunjang dengan kesadaran yang tinggi dari seluruh
warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, 9) eksistensi pimpinan sekolah yang
memiliki komitmen tinggi untuk pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah
sangat diperlukan demi kelancaran program-program yang telah dirancang
sekolah, 10) untuk pengembangan kultur dan karakter mulia di sekolah juga
diperlukan program-program sekolah yang secara tegas dan terperinci mendukung
terwujudnya kultur tersebut.
Strategi Membangun Aplikasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Strategi-strategi aplikasi pendidikan karakter secara umum bisa melalui
keteladanan dan pembiasaan sebagai berikut:
a.
Membangun karakter melalui keteladanan
Membangun karakter manusia memang tidak semudah membalik
telapak tangan. Keteladanan merupakan salah satu kunci dalam upaya dan
proses pendidikan karakter (akhlak mulia). Memiliki keteladanan sosok
agung dan mulia, Rasulullah Muhammad saw. Rasul melandasi setiap gerak
langkahnya dengan “cinta”. Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
223
kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal (Aqib, 2012:
163)
Selanjutnya di sekolah peran guru amat penting dan perilaku guru akan
menjadi ukuran keteladanan peserta didiknya (Aqib, 2012: 164). Kepala
sekolah dapat memberi keteladanan kepada guru. Guru dapat memberikan
keteladanan kepada para peserta didiknya, demikian pula kakak kelas kepada
adik kelasnya. Keteladanan jauh lebih penting daripada memberikan pelajaran
secara verbal, karena keteladanan adalah memberikan contoh melalui
perbuatan atau tindakan nyata (Fathurrohman et al, 2013: 154). Selain itu
keteladanan di sekolah diperankan oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan
sekolah. Keteladanan di rumah diperankan oleh kedua orangtua siswa atau
orang-orang lain yang lebih tua usianya (Marzuki, 2015: 113).
b.
Membangun karakter melalui pembiasaan
Pembentukan karakter bisa dilakukan semua warga sekolah dan menjadi
pembiasaan antara lain melalui:
1) Membuat tolok ukur
Menciptakan suatu tolok ukur sekolah dapat dimulai dengan
memeriksa pernyataan misi sekolah (biasanya lebih panjang, lebih rumit,
dan lebih sulit diingat daripada suatu pernyataan tolok ukur).
2) Memiliki motto berbasis-karakter
Suatu cara yang dapat membantu agar dapat membangun karakter
ialah memilih suatu motto sekolah-ideal, salah satu pernyataan
kepercayaan pada tolok ukur yang menangkap esensi tolok ukur itu dan
kemudian membuat motto itu sebagai bagian yang bersemangat dari
budaya sekolah.
3) Mencari dukungan kepala sekolah untuk membuat karakter menjadi
prioritas
Peluang penerapan karakter di sekolah sangat ditentukan oleh
dukungan dari kepala sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sang kepala
sekolah harus merupakan pemimpin langsung pelaksanaan pendidikan
karakter.
224
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
4) Membentuk kelompok kepemimpinan
Mengembangkan suatu sekolah karakter memerlukan suatu tim
kepemimpinan untuk merencanakan dan menopang pelaksanaan. Terdapat
empat saran yang bisa dilaksanakan dalam mengembangkan sekolah
karakter melalui pembentukan kelompok kepemimpinan ini, yaitu: a)
memanfaatkan infrastruktur sekolah yang sudah ada,c) Menciptakan
beberapa komite kecil, masing-masing dengan tugas yang berbeda,d)
Memperluas undangan untuk semua orang, termasuk orang-orang yang
keberatan,e) memastikan semua kelompok terwakili.
5) Mengembangkan Basis Pengetahuan
Tim kepemimpinan harus banyak mengetahui tentang pendidikan
karakter. Sekarang ada lusinan website pendidikan karakter yang sangat
membantu
beberapa
untuk mendapat gambaran umum mengenai bidang itu,
kelompok
kepemimpinan
menyuruh
semua
anggotanya
membaca buku yang sama. Selanjutnya Lickona sangat menganjurkan
agar mengunjungi sekolah-sekolah lain yang telah melaksanakan
pendidikan karakter untuk sementara waktu (idealnya selama lebih dari
dua tahun) untuk melihat dari tangan pertama seperti apa programprogram itu.
6) Memperkenalkan konsep pendidikan karakter kepada seluruh staf
Mengajak semua personil sekolah mengikuti pertemuan pengenalan
mengenai pendidikan karakter. Pada sesi pengenalan ini harus membahas
empat pertanyaan dasar a) apa tujuan pendidikan karakter?,b) apa yang
akan diminta dariku, dalam pekerjaanku?,c) bagaimana
hal ini
kelihatannya jika kita melakukannya di lingkup sekolah ini?, dan d) apa
manfaatnya jika kita melakukan hal itu?
7) Mempertimbangkan tipe pribadi murid seperti apa yang diinginkan?
Tujuan pendidikan karakter ada tiga yaitu: pribadi yang mempunyai
karakter yang baik, sekolah-sekolah yang berkarakter, dan masyarakat
yang berkarakter. Hal-hal memunculkan pertanyaan, apa itu” karakter
yang baik”? Staf dapat membahas pertanyaan itu dengan menanyakan,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
225
kualitas-kualitas apa yang diinginkan dimiliki para lulusan? Kekuatan
moral dan intelektual apa yang akan melengkapi mereka dengan paling
baik untuk menjalani kehidupan yang memuaskan, penuh arti, produktif
dan membangun suatu dunia yang lebih baik?
8) Mempertimbangkan arti pendidikan karakter
Untuk membahas pernyataan ini, Lickona menganjurkan suatu
kegiatan yang mudah dilakukan dengan menggunakan selebaran 100 cara
untuk mendorong pendidikan karakter. Daftar itu mencakup hal-hal di
antaranya seperti a) memimpin dengan contoh, memungut sampah di aula
atau di halaman sekolah,b) apabila kamu menyaksikan kekejaman teman
sebaya, campur tanganlah untuk menghentikannya, bantu pelaku mengerti
mengapa hal itu salah c) mengajari anak-anak cara menulis ucapan terima
kasih, d) secara teratur menggunakan “bahasa kebajikan” seperti istilah
sikap hormat, tanggung jawab, ketulusan, kebijaksanaan, kerajinan,
ketekunan, kerendahan hati dan mengajari murid-murid melakukan hal
yang sama,e) bertukar pikiran dengan para murid mengenai salah satu
pahlawan pribadimu dan mengapa dia menjadi pahlawan bagimu,f)
membantu para murid mengembangkan kemampuan untuk menilai
kebenaran dan nilai dari apa yang ditampilkan di TV, internet, dan di
media lainnya (Lickona, 2012: 272-280).
PENUTUP
Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam
membentuk karakter peserta didik terutama peserta didik yang masih duduk di
bangku sekolah dasar, karena di sekolah berlangsung proses transformasi nilainilai luhur melalui pendidikan karakter. Sekolah juga memiliki peran dan fungsi
yang sangat penting antara lain, fungsi sosialisasi, kontrol sosial, pelestarian
budaya masyarakat, latihan dan pengembangan tenaga kerja, seleksi dan alokasi,
pendidikan dan perubahan sosial dan pemeliharaan anak.
Kemudian, dalam membangun aplikasi pendidikan karakter secara umum
bisa melalui keteladanan dan pembiasaan. Selain itu, strategi-strategi untuk
226
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
menjadi suatu sekolah karakter dapat melalui keterlibatan staf, keterlibatan murid,
dan keterlibatan orang tua. Lebih lanjut untuk menerapkan keteladanan bisa
dengan cara meneladani sosok agung dan mulia. Selanjutnya di sekolah peran
guru amat penting dan perilaku guru akan menjadi ukuran keteladanan peserta
didiknya. Kemudian langkah-langkah dalam menumbuhkan pembiasaan aplikasi
pendidikan karakter dapat melalui membuat tolok ukur, memiliki motto berbasiskarakter, mencari dukungan kepala sekolah untuk membentuk karakter menjadi
prioritas,
membentuk
kelompok
kepemimpinan,
mengembangkan
basis
pengetahuan, memperkenalkan konsep pendidikan karakter kepada seluruh staf,
mempertimbangkan tipe pribadi murid seperti apa yang diinginkan, dan
mempertimbangkan arti pendidikan karakter.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. 2012. Pendidikan Karakter di Sekolah Membangun Karakter dan
Kepribadian Anak. Bandung: Yrama Widya.
Amri, Sofan et al. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran
Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses
Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Barnawi & Arifin M. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan
Karakter. Yogyakarta: Ar-ruzzMedia.
Fathurrohman, Pupuh et al. 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung:
PT Refika Aditama.
Furkan, Nuril. 2013. Pendidikan Karakter Melalui Budaya Sekolah. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama.
Http://News.Okezone.Com/Read/2016/05/10/510/1384842/Oknum-GuruOlahraga-Terlibat-Kasus-Pencabulan. Diakses pada 17 Mei 2016
Http://www.solopos.com/2016/02/01/pencabulan-wonogiri-astaga-guru-sddiduga-cabuli-8-anak-didik-sendiri-686835. Diakses pada 17 Mei 2016
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Grasindo.
Lickona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter. (Terjemahan Saut Pasaribu). New
York: Touchstone.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
227
.2013. Character Matters (Persoalan Karakter). Jakarta: Bumi
Aksara.
Mulyasa, E. 2014. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Amzah.
Nucci, P. Larry & Narvaez, Darcia. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan
Karakter. (Terjemahan Imam Baihaqie & Derta Sri Widowati). New York:
Routledge.
Sutiyono. 2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti sebagai Pembentukan
Karakter Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas. Jurnal
Pendidikan Karakter, 3 (3) :309-320.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD Konsep,
Praktik & Strategi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
.
. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Konsep dan
Implementasinya di Sekolah. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani
Wibowo, Agus. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan
Praktik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
.2012. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter
Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wuryandani, Wuri et al. 2014. Pendidikan Karakter Disiplin di Sekolah Dasar.
Cakrawala Pendidikan, Th. XXXIII (2): 286-295.
228
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
NILAI PENDIDIKAN DALAM TEKS DRAMA YANG DISAJIKAN
PADA BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 SEKOLAH DASAR
Octavian Muning Sayekti
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email : [email protected]
Abstract
This paper aims to analyze the educational values embodied in the text of the drama
presented in the textbook Indonesian 6th grade . This study used descriptive qualitative
method . The data in this study is the book Indonesian to 6th grade published by Department
of Education . The third book , a textbook used in schools . Data collection techniques used
the technique to read and record . The results showed that not all educational value contained
in the text of the third drama in the book. The dominant value is the value of social and moral
values ​ ​ .
Keyword : values of education, drama text.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, sering didengar berita memprihatinkan terkait dengan kasus yang
menimpa siswa Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu pemerkosaan yang dilakukan anak
sekolah kepada anak di bawah umur, bullying, premanisme anak sekolah, bahkan
pembunuhan dosen yang dilakukan oleh mahasiswanya. Hal di atas tentunya menimbulkan
pertanyaan Ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Padahal mereka adalah anak-anak
terdidik, namun perilakunya tidak mencerminkan sebagai orang yang terdidik.
Pendidikan seharusnya mampu memberikan pengetahuan dan nilai budi pekerti kepada
anak didik. Pendidikan tidak hanya didapat dari lingkungan sekolah, tetapi juga didapat dari
lingkungan keluarga dan masyarakat. Di sekolah, pendidikan seorang siswa tentu menjadi
tanggung jawab gurunya. Di keluarga pendidikan seorang anak akan menjadi tanggung jawab
orang tua. Adapun di lingkuangan masyarakat, pendidikan seorang anak akan menjadi
tanggung jawab masyarakat tersebut.
Tulisan ini, akan menyoroti pendidikan dan penanaman budi pekerti di sekolah.
Pendidikan di sekolah harus mampu membekali siswa dalam hal kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sekolah harus mampu mencetak siswa yang cerdas akademik, sosial, religius,
dan moral. Tidak hanya pengetahuan siswa saja yang dikembangkan namun juga budi pekerti
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
229
juga harus dikembangkan. Pendidikan pengetahuan dan pendidikan budi pekerti harus
seimbang. Seorang anak yang cerdas, namun tidak diimbangi dengan budi pekertinya yang
tinggi akan menghasilkan pribadi yang kurang baik. Lain halnya dengan anak yang cerdas
dengan budi pekerti yang tinggi maka akan menghasilkan pribadi yang baik.
Salah satu penanaman budi pekerti di sekolah bisa melalui pembelajaran sastra. Sastra
yang mencakup dongeng, legenda, sandiwara, wayang, dan drama dapat digunakan untuk
pembelajaran budi pekerti (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Tamansiswa (2013:
490). Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran sastra antara lain yakni (1) sastra
menunjukkan kebenaran, (2) sastra untuk memperkaya rohani, (3) sastra melampaui batas
bangsa, (4) sastra dapat menjadikan manusia berbudaya (Zulela, 2012: 20-23). Bertolak pada
hal tersebut, pembelajarans sastra hendaklah diterapkan di sekolah. Pembelajaran sastra di
Sekolah Dasar di antaranya puisi, pantun, dongeng, cerpen, drama, dan lain-lain. Adapun
pembelajaran drama di sekolah dasar baru sampai tataran membaca dan memerankan naskah
drama yang telah disiapkan guru. Teks drama yang disajikan, hendaklah memberikan
pendidikan budi pekerti kepada siswa. Diharapkan setelah membaca dan mengapresiasi
drama, siswa tidak hanya memperoleh hiburan tetapi juga memperoleh pendidikan budi
pekerti. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas nilai budi pendidikan yang ada dalam
teks drama yang disajikan pada buku ajar kelas 6 sekolah dasar.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Bodgan dan Taylor dalam
Moleong (2002:3) mendefinisikan metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Data pada penelitian ini adalah teks drama yang disajikan dalam
buku ajar Bahasa Indonesia kelas 6 Sekolah Dasar. Teks drama tersebut, akan dianalisis nilai
pendidikan yang terkandung di dalamnya. Adapun yang menjadi sumber data dalam
penelitian ini adalah buku Bahasa Indonesia terbitan Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional. Ketiga buku tersebut antara lain Bahasa Indonesia untuk Sekolah
Dasar Kelas VI dengan pengarang Umri Nur’aini dan Indriyani, Bahasa Indonesia untuk
SD/MI Kelas 6 dengan pengarang Samidi dan Tri Puspitasari, dan Bahasa Indonesia untuk
Kelas 6 SD/MI dengan pengarang Sukini dan Iskandar.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode baca dan catat. Teknik
analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi. Holsti dalam Moleong
(2002:163) menyebutkan bahwa analisis isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk
230 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
menarik simpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara
objektif dan sistematis.
PEMBAHASAN
1. Nilai Pendidikan dalam Teks Drama “Ikrar”
Nilai Pendidikan Sosial
Wujud pendidikan sosial dalam teks drama Ikrar antara lain peduli,
percaya diri, kerja keras.
Mei : (merangkul pundak Ratna) ”Sama, Rat. Aku, Via, dan teman-teman
yang lain juga begitu. Tapi kita tidak boleh cengeng.”
Via : (merentangkan kedua tangan di depan Ratna) ”Aduh... Tuan Putri,
kenapa bersedih? Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Tuan
Putri?”
Mei : ”Jangan meledek begitu, Vi! Ini masalah serius.”
Via
: ”Ya...ya, aku juga serius. Ada apa teman?”
Ratna : ”Aku sedih karena sebentar lagi kita akan meninggalkan sekolah
tercinta ini.”
(Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI : 100)
Kutipan di atas memperlihatkan watak Via dan Mei yang peduli
dengan kesedihan sahabatnya. Kepeduliaannya tersebut ditunjukkan dengan
cara
menenangkan
sahabatnya,
Ratna
yang
bersedih
karena
akan
meninggalkan sekolah mereka. Via dan Mei digambarkan merangkul pundak
Ratna. Kepedulian ini perlu ditekankan kepada siswa agar nantinya mereka
mempunyai jiwa peduli terhadap sesama. Tidak menjadi manusia yang egois
yang tidak tahu menahu kesedihan sesama.
Ratna : (mengangkat muka) ”Via benar. Kita harus berpandangan ke depan”.
Mei : ”Nah, begitu dong. Mulai sekarang, mari kita tingkatkan semangat
belajar!
Kita harus bisa masuk sekolah favorit!”
Ratna
: ”Kita harus bisa membanggakan Bapak/Ibu Guru!”
Via : ”Sekarang, mari kita berikrar.” (Menggandeng tangan Ratna dan Mei.
Mereka saling bergandengan tangan, membentuk lingkaran).
(Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI : 100)
Pada kutipan teks drama di atas, menunjukkan adanya nilai kerja keras.
Nilai tersebut digambarkan dengan tekad Mei yang ingin meningkatkan semangat
belajar agar bisa masuk sekolah favorit. Tentu saja, semangat belajar harus
diiringi dengan kerja keras. Karena dengan bekerja keras untuk belajar akan
mendapatkan sebuah hasil yang maksimal. Sikap kerja keras hendaklah dimiliki
oleh siswa. Hal ini akan berdampak ketika mereka mengerjakan suatu pekerjaan
atau meraih cita-cita. Orang yang mempunyai jiwa pekerja keras akan menjadi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
231
orang yang sukses. Itulah yang diharapkan dari siswa Indonesia untuk
mewujudkan generasi emas.
2. Nilai Pendidikan dalam Teks Drama “Rencana yang Gagal”
a. Nilai Pendidikan Moral
Wujud nilai pendidikan moral dalam teks drama Rencana yang Gagal
antara lain, pemaaf dan mengakui kesalahan.
Roni dan Dandi
: (serempak menjawab)
"Baik Bu, maafkan kami".
Bu Desi
: "Oh ya, nanti sepulang sekolah kalian mampirlah ke
rumah Ibu. Ibu akan memberi kalian mangga".
Roni
: (tersenyum dengan malu-malu).
"Baik Bu, terima kasih".
Dandi
: "Iya Bu, terima kasih".
(Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6 : 122)
Pada kutipan di atas, menggambarkan watak Bu Desi yang pemaaf. Pemaaf
di sini digambarkan dengan sikap Bu Desi yang dengan kerendahan hati
memaafkan kesalahan Roni dan Dandi yang telah berniat mencuri mangga
miliknya. Sikap pemaaf perlu dibiasakan sejak mereka kecil. Hal itu dikarenakan
orang yang susah memaafkan kesalahan orang lain, akan menciptakan watak
yang pendendam. Adapun kutipan yang menggambarkan sikap mengakui
kesalahan ada pada kutipan di bawah ini :
Bu Desi
: (tersenyum)
"Ada apa Dandi? Kamu kelihatannya takut sekali melihatsaya".
Dandi
: "Tidak Bu, maafkan saya".
Bu Desi
: "Dandi, Budi, Ibu sudah tahu semuanya".
Roni
: (Tampak kaget)
"Ibu sudah tahu? Dari mana?
Bu Desi
: "Ibu tadi mendengar semua pembicaraan kalian".
Dandi
: (ketakutan)
"Maafkan kami, Bu".
(Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas : 121)
Kutipan di atas, menampilkan tokoh Dandi dan Roni yang merasa bersalah
dan mengakui kesalahannya karena telah mempunyai rencana mencuri mangga di
rumah Bu Desi. Sikap seperti ini menggambarkan nilai moral yang tinggi. Karena
dengan berani Dandi dan Roni mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan
terhadap Bu Desi sekaligus meminta maaf.
232 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
b. Nilai Pendidikan Sosial
Wujud nilai pendidikan sosial dalam teks drama Rencana yang Gagal antara
lain, setia kawan, pemaaf, dermawan, dan mengakui kesalahan.
Roni dan Dandi : (serempak menjawab)
"Baik Bu, maafkan kami".
Bu Desi
: "Oh ya, nanti sepulang sekolah kalian mampirlah ke
rumah Ibu. Ibu akan memberi kalian mangga".
Roni
: (tersenyum dengan malu-malu).
"Baik Bu, terima kasih".
Dandi
: "Iya Bu, terima kasih".
(Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6 : 122)
Dari kutipan dialog yang ditampilkan di atas, diketahui bahwa Bu Desi
memiliki sikap dermawan. Sikap dermawan Bu Desi ditunjukkan dengan
bermaksud memberi mangga kepada Roni dan Dandi. Walaupun Roni dan Dandi
telah bermaksud mencuri mangga, namun Bu Desi tetap memperlihatkan sikap
dermawannya. Anak yang memiliki watak dermawan, akan melahirkan generasi
yang peka terhadap penderitaan sesamanya. Sementara, saat ini banyak di antara
kita yang tidak peka terhadap penderitaan saudaranya.
3. Nilai Pendidikan pada Teks Drama “Ayam Betina dan Sebuah Pohon Apel”
a. Nilai Pendidikan Moral
Wujud pendidkakn moral dari teks drama Ayam Betina dan Sebuah Apel
adalah bersahabat. Nilai bersahabat ini ditunjukkan pada kutipan di bawah ini.
Serigala
Ayam Betina
Serigala
Ayam Betina
Serigala
Ayam Betina
: “Tapi, aku tidak bisa menari.”
: “Kalau begitu kau ikuti gerakanku saja, Tuan Serigala.
Selain cerdik, aku juga pandai menari.”
: “Kalau begitu kau akan keluar dari kandangmu?”
: “Tentu saja tidak, tuan, kau mengajariku untuk selalu
waspada. Lagipula kau bisa melihat gerakanku dari luar
kandang.”
: “Baiklah, baiklah, ... mari kita menari, ... mari kita
menari ...”
: “Mari kita menari, ... satu, ... dua, ... tiga! “(menari
bersama)
(Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI : 87)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
233
Kutipan di atas menunjukkan sikap bersahabat yang dimiliki oleh
Ayam Betina. Ayam Betina mau bersahabat dengan hewan-hewan di
sekitarnya begitu juga bersahabat dengan serigala. Padahal serigala
mempunyai niat jahat akan memangsanya. Sikap bersahabat hendaklah
dimiliki oleh setiap anak didik. Bersahabat merupakan sikap mau bekerja
sama dengan sesamanya. Hal ini akan meminimalisasi nilai individu pada
anak.
b. Nilai Pendidikan Sosial
Wujud pendidkakn moral dari teks drama Ayam Betina dan Sebuah
Apel adalah suka menolong. Nilai suka menolong, ditunjukkan pada kutipan
di bawah ini.
Serigala
: “Tapi, aku tetap merasa kelaparan.”
Ayam Betina : “Aku tahu cara mengatasi rasa laparmu. (Serigala
mendekati kandang ayam)”
Serigala
: “Bagaimana caranya?”
Ayam Betina : “Menari!”
Serigala
: “Menari?”
Ayam Betina : “Iya, ... kita akan gembira dan lupa pada rasa lapar.”
Serigala
: “Tapi, aku tidak bisa menari.”
Ayam Betina : “Kalau begitu kau ikuti gerakanku saja, Tuan Serigala.
Selain cerdik, aku juga pandai menari.”
(Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI : 88)
Kutipan di atas menunjukkan sikap suka menolong yang dimiliki oleh
Ayam Betina. Ayam Betina dengan senang hati bersedia menolong Serigala.
Dia mau mengatasi rasa lapar yang dialami Serigala. Caranya yaitu Serigala
diajaknya untuk menari. Suka menolong merupakan sikap empati terhadap
kesulitan orang dan akhirnya mau membantu meringankan bebannya. Sikap
seperti ini, hendaklah ditekankan sejak kecil. Hal tersebut bertujuan agar
pendidikan di negara kita menghasilkan peribadi yang peka terhadap
penderitaan sesama dan dengan rela meringankan beban mereka.
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dijabarkan di awal, dapat diketahui bahwa tidak semua
nilai pendidikan terkandung di dalam teks drama yang disajikan pada buku ajar Bahasa
234 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
Indonesia kelas 6 Sekolah Dasar. Hanya beberapa nilai pendidikan saja yang disajikan. Nilai
sosial dan nilai moral sangat dominan disajikan pada teks drama di ketiga buku terbitan
pemerintah tersebut. Bahkan dari ketiga buku tersebut, tidak ada yang mengandung nilai
religius. Padahal budi pekerti seseorang juga disokong oleh nilai religius atau keimanan dia
terhadap Tuhan.
Seorang guru hendaklah selektif dalam memilih buku ajar yang akan digunakan. Tak
hanya selektif, guru juga harus mampu memberikan penguatan kepada siswa tentang nilai
pendidikan yang ada pada teks drama. Guru juga harus mampu melakukan elaborasi dalam
pengajarannya sehingga pendidikan budi pekerti tersampaikan dengan baik. Pemerintah pun
harus lebih memperhatikan kandungan nilai di setiap bahan bacaan buku ajar, dalam hal ini
bacaan teks drama. Diharapkan pada teks drama yang disajikan mengandung unsur nilai
pendidikan yang lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Majelis Luhur Tamansiswa. 2013. Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka Jilid I (Pendidikan). Yogyakarta. UST Press.
Moleong, M. A. dan Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Nur’aini, Umri dan Indriyani.2008. Bahasa Indoneisia untuk Sekolah Dasar Kelas 6. Jakarta :
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Samidi dan Tri Puspitasari.2008. Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6. Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Sukini dan Iskandar. 2008. Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI. Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Zulela. 2012. Pembelajaran Bahasa Indonesia Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar. Bandung :
Rosda Karya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
235
STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DI SEKOLAH DASAR DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK
Pratiwi Wulan Gustianingrum
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This paper examines the position of moral education in primary school in Indonesia is
based on a qualitative approach. Character education is strategically placed on the
curriculum in Indonesia in three ways, namely stand alone as subjects, combined with
relevant subjects, and integrated into other subjects. Domain moral education that fills
the soul learners with the morals and morals in order to have a good character, it is
important to be incorporated into the primary school curriculum. Noteworthy in its
implementation is an attempt habituation, practice, conditioning the environment, and
exemplary.
Keywords : moral education, character education
PENDAHULUAN
Pendidikan budi pekerti ialah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka
menginternalisasikan dan menanamkan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan perilaku
para peserta didik agar nantinya mempunyai sikap dan berakhlakul karimah (perilaku
yang luhur) di dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam berinteraksi dengan sesama
manusia dengan alam/ lingkungan maupun dengan Tuhan YME (Haidar, 2004)
Tujuan dari pendidikan Budi Pekerti ialah untuk mengembangkan nilai-nilai,
prilaku dan sikap siswa/siswi yang memancarkan budi pekerti luhur/akhlak mulia
menurut Haidar (2004). Hal yang seperti ini mengandung artian bahwa di dalam
pendidikan Budi Pekerti, terdapat nilai-nilai yang ingin dibentuk ialah nilai-nilai akhlak
yang mulia, yakni tertanamnya nilai-nilai akhlak yang sangat mulia ke dalam diri
terhadap para peserta didik kemudian terwujud di dalam tingkah lakunya sehingga pada
akhirnya para peserta didik akan memiliki karakter warga negara yang baik.
Adanya pendidikan budi pekerti dalamkurikulum sekolah adalah suatu upaya
pentinguntuk lebih merangsang kepekaan peserta didiksebagai generasi muda terhadap
norma-normasosial dan memupuk kesadaran mereka untukberbuat dan bertingkah laku
sesuai dengannorma-norma sosial yang berlaku, untuksenantiasa berbuat baik, menjadi
236 Pratiwi Wulan Gustianingrum, Strategi Pelaksanaan Pendidikan
manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi sesama danalam semesta. Dengan
adanya pendidikan budipekerti akan dapat diwujudkan keharmonisan, keserasian, dan
keseimbangan
dalam
kehidupanbermasyarakat,
sebagai
prasyarat
terwujudnya
kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia.
Saat ini pendidikan budi pekerti masih menjadi permasalahan yang
menuntutperhatian serius jika bangsa ini ingin dipandangsebagai bangsa yang beradab
dan berbudaya.Ada fenomena yang menarik terkait dengan halini, yaitu dijadikannya
pendidikanagama dan budi pekerti menjadi mata pelajaranyang berdiri sendiri mulai SD
hingga sekolahmenengah dalam Kurikulum 2013 (Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014, Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RepublikIndonesia Nomor 59 Tahun 2014, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014).
PEMBAHASAN
Di Indonesia, di mana masyarakatnya amatmajemuk dalam berbagai aspek
kehidupannya,peranan pendidikan budi pekerti menjadi sangat penting. Melalui
pendidikan budipekerti perbedaan-perbedaan dalam berbagaiaspek kehidupan bangsa
akan dapat diselaraskandan diserasikan, sehingga dapat dicegah lahirnyapertentanganpertentangan yang membahayakanpersatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pendidikan
budi pekerti akan dapat dilahirkan manusia-manusia yang memiliki karakter warga
negara yang berbudiluhur, mencintai sesama, serta mencintai masyarakatdan bangsanya.
Selanjutnya, kehidupanmasyarakat yang maju, aman, damai, makmur dansejahtera akan
dapat diwujudkan, sesuai dengancita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang
dalamPembukaan UUD 1945.
Pendidikan budi pekerti yang terdapat dalamsetiap sejarah kurikulum di
Indonesia sendiri masing-masingdiyakini memiliki kelebihan dan kekurangan,
baikdalam aspek desain maupun pelaksanaannya.Namun, satu hal yang diyakini bahwa
aspekpendidikan budi pekerti telah menjadi suatukebijakan pemerintah dalam setiap
bagian daripengembangan kurikulum dan selalu dijadikankerangka acuan yang
memberikan gambaran yangberisi serangkaian kemampuan, nilai dan sikapyang secara
institusional harus dimiliki olehpeserta didik setelah selesai pendidikannya. Halini
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
237
sekaligus menguatkan bukti, bahwa pendidikanbudi pekerti peranannya penting sekali
untukmencapai cita-cita dan misi nasional, yaitu seluruhmasyarakat Indonesia
hendaknya berbudi pekertiluhur.
Secara teknis, di dalam penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya
bisa
ditempuh
melalui
4
(empat)
alternatif
strategi
yang
secara
terpadu,
diantaranya:Strategi yang pertama ialah dengan mengintegrasikan terhadap kontenkonten kurikulum di dalam pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam
seluruh mata pelajaran di sekolah yang sangat relevan, terutama pada mata pelajaran
agama, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (baik bahasa Indonesia
maupun dalam bahasa daerah).Strategi yang kedua ialah dengan mengintegrasikan
pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari di sekolah.Strategi yang
ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatankegiatan yang sudah direncanakan atau pun diprogramkan.Strategi keempat ialah
dengan membangun terhadap komunikasi dan kerjasama antara pihak sekolah dengan
orang tua para peserta didik.
Meminjam
istilah
Socratesdalam
Koesoema
(2007)
dalam
mengajarkanpendidikan budi pekerti, diperlukan karakteristikguru, yaitu ethos
(kredibilitas), pathos (belaskasih), dan logos (isi pengajaran yang berguna)agar
memberi
dukungan
dan
berkontribusiterhadap
penguatan
nilai-nilai
yang
sedangdiinternalisasikan. Di samping itu, adanya keberlanjutanpenerapan hingga masuk
dalam ranahkeluarga dan masyarakat. Dengan demikian, padagilirannya pendidikan
budi pekerti itu menyangkutbagaimana pembiasaan itu bisa membudaya danakan
membentuk suatu karakter masyarakatdalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa supaya
nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja, tetapi
sungguh
menjadi
tindakan
seseorang,
maka
produk
pendidikan
mestinya
memperhatikan tiga unsur berikut secara terpadu, yaitu “ngerti-ngerasa-ngelakoni”
(mengetahui/memahami,
memiliki/menghayati
dan
melakukan).
Hal
tersebut
mengandung pengertian bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai tujuan
yang diinginkan maka hendaknya bentuk pendidikan dan pengajaran budi pekerti
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara terpadu.
238 Pratiwi Wulan Gustianingrum, Strategi Pelaksanaan Pendidikan
PENUTUP
Saat ini Pendidikan budi pekerti ditempatkan secarastrategis pada kurikulum
pendidikan di Indonesiaterutama dalam tiga hal, yakni berdiri sendiri sebagai
matapelajaran, digabung dengan mata pelajaran yangrelevan, dan terintegrasi ke dalam
mata pelajaranlain. Hal ini menandakan bahwa aspirasi seluruhrakyat Indonesia
menghendaki agar budi pekertiluhur dibudayakan dalam semua aktivitaspembelajaran di
sekolah. Untuk itu, domainpendidikan budi pekerti guna mengisi jiwa pesertadidik
dengan moral dan akhlak agar memiliki karakter yang baik penting untuk diwujudkan
dalamkurikulum sekolah dasar, tetapi pengimplementasiannyajauh lebih penting
manakaladisertai adanya upaya pembiasaan, pengamalan,pengkondisian lingkungan dan
keteladanan.
Hal yang paling terakhir adalah pentingnya juga bantuan dari keluarga dan
masyarakat dalam menumbuhkan karakter budi pekerti tersebut, karena keluarga
merupakan garda terdepan dalam terbentunya karakter seorang anak dan masyarakat
juga memberikan sumbangsih yang besar pula dalam membentuk karakter anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Haidar Putra Daulay, 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1.
Ki Hajar Dewantara. 1977. Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa, Bag I.
Koesoema, A. D. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun
2014.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2014.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
2014.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun
2014.
Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014. Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang: Kemdikbud.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
239
MEMBANGUN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR MELALUI
PERINGATAN HARI KARTINI
Putri Zudhah Ferryka
Universitas Widya Dharma Klaten
Email: [email protected]
Abstract
Character education is a system to created value include knowledge, individual, religion.
In character educate a student need a figure like R.A Kartini. She is a woman, that we
known as emancipation women. She fight to be a clever women and able to do
everything to her life.
PENDAHULUAN
Siswa merupakan generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian
hari. Dalam membentuk karakter yang berkualitas perlu dibina sejak usia dini. Usia dini
merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar
mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk
pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak.
Karakter siswa yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter
bangsa di kemudian hari. Karakter siswa akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses
tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara
leluasa. Potensi karakter yang baik sebenarnya telah dimiliki tiap manusia sebelum
dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan
pendidikan sejak usia dini. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan
karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun
bangsa. Proses pemahaman pendidikan karakter paling baik adalah pada usia 5-11 tahun.
Di usia ini, anak cenderung masih memiliki sifat patuh dan juga sedang dalam proses
meniru keteladanan dari orang lain. Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar diharapkan
dapat mengembangkan potensi perilaku anak secara maksimal.
Pendidikan karakter di sekolah dasar ini memang tidak diberikan secara
langsung melalui sebuah mata pelajaran, tetapi proses pemahamannya dilakukan secara
tidak langsung melalui hubungan antara siswa dan guru. Guru dalam sekolah dasar
harus dapat memberikan keteladanan pada anak agar anak dapat dijadikan figure yang
240
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
ditiru oleh anak. Pendidikan karakter anak dalam tahap awal memang dilakukan melalui
proses meniru, oleh karena itu anak membutuhkan figure yang tepat untuk ditiru.
R.A Kartini adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali
seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia. Kartini berpendapat bahwa
bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan.
Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama
di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara
menggugah kesadaran rakyat, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Setelah
kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Kartini mengilhami
dan membuka mata dan hati para wanita Indonesia untuk mendapatkan kesempatan
bersama dengan kaum pria Indonesia. Hal ini kemudian berlanjut hingga masa sekarang
ini. Dengan adanya momentum peringatan Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal
21 April diharapkan dapat membangun karakter siswa sekolah dasar.
Pendidikan Karakter
Karakter akan terbentuk dari apa yang kita lihat, kita rasakan, dan dari sebuah
aktifitas yang sering kita lakukan yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan dan pada
akhirnya akan menjadi sebuah kepribadian yang juga disebut dengan karakter. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat - sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan Menurut Ditjen
Mandikdasmen - Kementerian Pendidikan Nasional, karakter adalah cara berfikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai karakter pada peserta didik yang
mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad serta adanya kemauan
dan tindakan untuk melaksanakan nilai - nilai baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan maupun bangsa. Williams (2000) menegaskan bahwa
makna dari pendidikan karakter awalnya digunakan oleh National Commision on
Character Education (Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai
pendekatan filosofi dan program pemecahan masalah, pembuatan keputusan,
penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
241
Oleh karena itu dalam pendidikan karakter memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung.
Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari
nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan (Kemendiknas, 2011).
Kedelapan belas nilai karakter tersebut dideskripsikan oleh Sari (2013) dan Widiyanto
(2013) seperti berikut.
a. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
b. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
f. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
g. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
h. Demokratis: cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
i. Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari suatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j. Semangat kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k. Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
242
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
l. Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
m. Bersahabat/komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
n. Cinta damai: sikap perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
o. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan
yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
p. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
q. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan.
r. Tanggungjawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter bangsa, secara umum dapat dilakukan
melalui pendidikan formal, non formal, dan informal yang saling melengkapi. Hal itu
diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa
persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(Pemerintah Republik Indonesia, 2010).
Peringatan Hari Kartini
Siapa yang tak kenal dengan nama Kartini, biasa disebut dengan Ibu Kita Kartini,
merupakan pahlawan wanita dikala masa penjajahan Belanda dahulu. Raden Ajeng
Kartini merupakan pahlawan perempuan di Indonesia, beliau lahir pada tangal 21 April
1879. RA Kartini lahir dari keturunan bangsawan, ayahnya bernama Raden Mas Adipati
Ario Sosroningrat, ayah Kartini kala itu merupakan seorang bupati Jepara. Sedangkan
sang ibu bernama M A Ngasirah yang juga merupakan seorang keturunan dari tokoh
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
243
agama yang ada di Jepara dan sangat disegani oleh masyarakat umum yaitu Kyai Haji
Madirono.
Sebagai seorang dari keturunan bangsawan dan pejabat bupati Jepara, tentu Kartini
berada dalam keluarga yang berkecukupan hidupnya baik dalam segi materi ataupun
juga dalam dunia pendidikannya. Maka wajar seja apabila kala itu, Kartini diwaktu kecil
sudah bisa menempuh pendidikan di ELD (Europese Lagere School) sekolah milik
penjajah, dimana diketahui pada masa penjajahan banyak anak-anak sebayanya yang
tidak bisa bersekolah karena kekurangan biaya tentunya. Setelah Kartini kemudian
beranjak menjadi Kartini dewasa, ia harus memendam cita-citanya utntuk bisa
bersekolah lebih tinggi karena adanya sebuah adat yang disebut pingit atau dalam artian
tidak boleh seorang gadis keluar rumah. Namun, walaupun begitu Kartini tetap tidak
menyerah dengan keadaan, ia tetap semangat belajar dengan cara berkirim surat kepada
teman-temannya yang sebagian merupakan orang Belanda. Singkat cerita akhirnya
Kartini dinikahi oleh KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, ia merupakaan
seorang bupati Rembang. Walaupun sudah menjadi seorang istri dari Bupati, rupanya
tak membuat semangat Kartini padam akan dunia pendidikan, ia kemudian mendirikan
sebuah sekolah khusus untuk kaum wanita. Hal tersebut juga mendapat dukungan penuh
dari sang suami.
Akan tetapi, sayang sekali perjuangan Kartini harus terhenti dikarenakan RA
Kartini akhirnya meninggal dunia beberapa hari setelah ia melahirkan seorang putera
pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat dan lahir pada tanggal 13
September 1904. Beliau meninggal di usianya yang masih muda yaitu 25 tahun pada
tanggal 17 September 1904. Selepas kepergian beliau, surat-suratnya dikumpulkan dan
dijadikan satu kemudian diberi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, hal tersebut adalah
untuk menghargai jasa-jasa kartini atas emansipasi wanita maka dari situlah pada
tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini.
Tujuan Peringatan Hari Kartini
a. Mengapresiasi gagasan dan cita-cita serta pemikiran RA. Kartini dalam perjuangan
emansipasi wanita dan kemajuan dalam bidang pendidikan.
b. Meningkatkan motivasi dan semangat generasi muda dalam meneladani perjuangan
para pahlawan, khususnya RA. Kartini.
244
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
c. Meningkatkan kekreatifan siswa, kerja keras, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
dan menghargai prestasi dalam meneladani perjuangan RA. Kartini.
Makna Peringatan Hari Kartini
a. Mendapatkan pendidikan yang setara
Seorang perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Itulah
juga yang merupakan inti dari perjuangan Kartini dalam membebaskan kaum
perempuan dari kebodohan. Kini hal tersebut tampak nyata dari banyaknya
perempuan yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan akhirnya memiliki
profesi yang sangat baik di bidangnya. Hal ini bahkan menjadi sebuah kebanggaan
bagi Indonesia karena memiliki perempuan hebat yang mengharumkan nama
Indonesia di kancah internasional. Kesetaraan pendidikan juga berlaku mulai dari
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan tak jarang seorang perempuan
memiliki kegigihan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pria. Sehingga
banyak dari mereka yang memiliki prestasi terbaik di bidang akademik.
Mendapatkan perlakuan yang sama dalam segi kehidupan Makna hari Kartini
menjadi moment tersendiri bagi mereka yang merasa ditindas di keluarga atau di
lingkungannya berada.
b. Membuat rasa nasionalisme kita ada dan bertumbuh.
Siswa menjadi peduli dalam membangun bangsa kita, tidak menyerah dengan
keadaan yang serba sulit seperti saat ini.
c. Semangat Pembelajar
Kartini memberikan semangat pembelajar yang luar biasa hebatnya bagi kita.
Semangat untuk mencari ilmu, mencermati dan bertanya kepada semua orang tentang
apa yang belum beliau ketahui patutlah kita contoh.
d. Berjiwa Religius
Kartini dengan kekritisannya bisa mendongkrak kemajuan beragama yang kala itu
diwarnai dengan semangat puritanisme jawa dan kemampuan penjajah menciptakan
dan menggunakan ‘ketakutan-ketakutan’ beberapa kyai untuk mengungkap fakta
beragama agar terlihat sakral dan tabu untuk dipelajari lebih dalam lagi. Dengan hal
tersebut, pelajar saat ini sebaiknya memiliki keinginan kuat untuk kembali pada
semangat religius yang mantap, belajar dan terus menggali lagi ilmu agama yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
245
mereka yakini, sehingga diharapkan pelajar sekarang bisa menjadi pelajar yang
berpikiran luas, namun tetap memiliki jiwa religius.
e. Kaum perempuan memiliki hak untuk melawan dari berbagai tindakan kekerasan
seperti yang terjadi dalam rumah tangga.
Hukum pun menjamin kebebasan perempuan tersebut sehingga bagi mereka yang
berani menyakiti perempuan dapat dikenai pasal hukum yang berat. Hal ini sungguh
jauh berbeda dengan jaman dulu dimana wanita lebih banyak ditindas dan
diremehkan
f. Menjadikan Siswa Memiliki Moral yang Baik
Masalah sosial bangsa Indonesia saat ini adalah kemerosotan moral yang tak dapat
dielakkan lagi. Kartini pastinya tidak pernah mengharapkan pelajar yang tidak
bermoral, meninggalkan nilai-nilai moral dan tatanan ketimuran. Banyak bagian
yang harus diperbaiki oleh pelajar di zaman sekarang. Pelajarlah yang semestinya
dapat mengusung perbaikan moral itu. Kaum pelajar diharapkan memiliki moralitas
tinggi, dedikasi terhadap perbaikan moral, dan kepekaan terhadap kebutuhan
masyarakat untuk membenahi diri dan masyarakatnya melalui sikap nyata mereka di
segala bidang
g. Menumbuhkan Kepekaan Sosial terhadap Sesama
Kartini bisa memberikan inspirasi bagi semua rakyat Indonesia khususnya para
pelajar Indonesia untuk memiliki kepekaan sosial terhadap persoalan-persoalan yang
ada disekitarnya.
Pemikiran Kartini untuk menyuntikkan semangat melawan
penjajah dari sudut pandang pendidikan dan perubahan sosial memiliki efek jangka
panjang. Saatnya kaum pelajar berjalan disekitar masyarakatnya untuk mengamati
dan berbuat lebih banyak bagi lingkungan dan sesamanya serta membangkitkan
nuansa semangat Kartini yang dulu pernah dirasakan.
Beberapa Kegiatan Peringatan Hari Kartini yang Mendukung Pendidikan
Karakter
a. Upacara Bendera
Upacara bendera adalah sebuah kegiatan yang sangat baik dalam mengenang jasa
para pahlawan bangsa. Dalam upacara ada acara berdoa untuk arwah para pahlawan
bangsa. Pembina upacara biasanya meminta para peserta upacara untuk berdoa, dan
246
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa, sambil diputarkan lagu mengheningkan
cipta. Di saat-saat itulah siswa akan mengenang jasa para pahlawan bangsa yang
telah mendahului kita. Merasakan benar jiwa kepahlawanan mereka. Melaksanakan
upacara bendera dapat meningkatkan nilai karakter kedisiplinan, cinta tanah air, serta
menumbuhkan rasa tanggung jawab.
b. Pawai keliling
Pawai keliling dilaksanakan siswa-siswa setelah selesai melakukan upacara bendera.
Tujuan dari kegiatan ini adalah menumbuhkan rasa percaya diri siswa memakai
pakaian adat meskipun berada di era saat ini, menumbuhkan kemandirian siswa,
semangat kebangsaan, serta cinta tanah air. Kegiatan ini juga memancing masyarakat
penasaran sehingga keluar dari rumah untuk menonton Pawai ini.
c. Berbagai kegiatan lomba seperti: lomba mirip wajah tokoh pahlawan nasional
Kartini, fashion show, menyanyikan lagu daerah, lomba baca puisi, menggambar dan
mewarnai wajah Kartini, memasak, dan lainnya.
Kegiatan ini bertujuan untuk menampung eksprersi dan kreatifitas siswa agar dapat
lebih memahami makna dari peringatan hari Kartini dalam bidang kesenian,
mengakrabkan tali persaudaraan di lingkungan sekolah, meningkatkan rasa
nasionalisme, meneladani semangat perjuangan para pahlawan dalam kehidupan
sehari-hari dengan mengisi hal-hal yang positif dan membangun Indonesia agar lebih
maju.
Penutup
Emansipasi wanita sebagian telah terwujud, namun demikian para wanita
tentunya tidak boleh meninggalkan sifat-sifat kodrat sebagai wanita. Apalagi sebagai
wanita yang dibesarkan dalam tata cara adat ketimuran dimana wanita adalah lambang
keluwesan, kelembutan, keindahan dan kesopanan. Kartini itu harus ada pada setiap
pelajar Indonesia, yaitu pelajar yang mampu berprestasi, berjiwa sosial tinggi dan tak
melupakan tugasnya dalam keluarga. Emansipasi tanpa semangat moralitas hanya
menjadikan kaum pelajar kehilangan sebagian indentitasnya. Suri tauladan dari sikapsikap Kartini yang tentang kepekaan, kelembutan, pengabdian yang tulus, dan
ketinggian budi harus ditumbuhkan dalam setiap pelajar sebagai bekal untuk dapat
menghadapi kehidupan sekarang.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
247
Pendidikan karakter harus dilaksanakan sebagai suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi generasi penerus yang berkarakter. Pendidikan karakter sangat penting
keberadaannya karena dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, maka akan terwujud generasi
penerus bangsa yang berkarakter dan tidak diragukan lagi masa depan bangsa Indonesia
ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Perjuangan R.A Kartini perlu kita
lanjutkan dan kita teladani dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa bisa menjadi
pelajar mandiri, bekerja keras, kreatif, bertanggung jawab, dan berjiwa besar dalam
menghadapai tantangan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Jakarta.
Kemendiknas. 2011. Panduan melaksanakan Pendidikan Karakter. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta.
Widiyanto dan Sari. 2013 Pendidikan Karakter. http://dominique/2015/04/pendidikankarakter-bangsa.html. Akses: Kamis 19 Mei 2016, 06.29 AM.
Williams, M. (2000). Model shof character education: Perspectives and developmental
issues. Journal of Humanistic Counseling. Education and Development, 39,
pp.32-40.
http://makalahproposal.co.id/2014/05/contoh-makalah-pendidikan.html. Akses: Jumat
20 Mei 2016, 05.29 AM.
https://www.scribd.com/doc/108817786/Proposal-Hari-Kartini. Akses: Jumat 20 Mei
2016, 05.59 AM.
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html. Akses: Jumat 20 Mei 2016,
06.03 AM.
248
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
PEMBELAJARAN IPA MENUMBUHKAN KARAKTER SISWA
Putu Victoria M. Risamasu
Universitas Cenderawasih
E-mail: [email protected]
Abstract
Mental crisis in all dimensions of fade even cause the loss of the noble values of
the nation, then it becomes imperative for the nation to restore the ideals of this
nation with a mental revolution: building mentality in a positive direction. Efforts
to change the mentality in a positive direction at the start of the study. Education
has a strategic role to build a generation of intelligent and humane. The character
is a human psychological trait that affects a person's thoughts and behavior in the
form of character or be a person's character. Mental is a character, behavior,
manners, or a person's character that influenced his inner nature. Through the
education of children be helped to develop their full potential to evolve so as to be
fully human. Human wholeness when able to develop their thoughts, feelings,
psychomotor, and most importantly the heart as the source of spirit that can move
the various components. Changing negative mental state has done, one through
sub-systems of education that learning science. Through science teaching children
helped to understand natural phenomena and develop a number of attitudes as a
result of studying science. Learn science by using approaches, models, strategies
and methods of learning that integrates the skills of thinking and strategies of
thinking in student activities, it will train students for skilled thinking, and able to
solve problems and foster noble values: honesty, discipline, hard working,
responsible, independent, conscientious, courageous communication, etc.
Learning science applications that implement the principles of science and
learning should a scientist is able to overcome the problems of the crisis scientific
capabilities of students and student character. Growth and character development
can be done through the use of models, strategies or approaches that lead to
learning becomes habitual character education is not just a discourse.
Keywords: Learning science, cultivate character
PENDAHULUAN
Revolusi mental sekarang kembali di dengungkan pimpinan tertinggi negara kita
dan di gaungkan bukan tanpa alasan, sebab kepribadian manusia Indonesia belakangan
ini semakin jauh dari cita-cita bangsa. Krisis mental di segala dimensi memiriskan bagi
sedikit orang yang masih tetap menjunjung nilai-nilai luhur bangsa, maka menjadi
keharusan bagi bangsa ini untuk mengembalikan cita-cita bangsa ini dengan revolusi
mental: membangun mentalitas ke arah yang positif.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
249
Upaya mengubah mentalitas ke arah yang positif di mulai dari pendidikan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, bahwa pendidikan nasional
berfungsi “mengembangkan kemampuan” dan “membentuk watak” serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran yang strategis untuk
membangun generasi cerdas dan berkarakter.
Mental menyangkut psikis atau gambaran watak seseorang. Adapun watak
merupakan sifat psikis manusia yang mempengaruhi pikiran dan tingkah laku seseorang
berupa budi pekerti atau menjadi karakter seseorang. Singkat kata, mental merupakan
karakter, tingkah laku, budi pekerti, atau tabiat seseorang yang di pengaruhi sifat
batinnya (Zuhdan, 2015).
Secara sederhana, pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membantu
anak untuk mengembangkan seluruh potensinya untuk berkembang sehingga menjadi
manusia seutuhnya.
Keutuhan manusia ketika mampu mengembangkan pikiran,
perasaan, psikomotorik, dan yang terpenting adalah hati sebagai sumber spirit yang
dapat menggerakkan berbagai komponen yang ada. Inilah yang dimaksudkan oleh Ki
Hajar Dewantara dengan olah pikir, olah rasa, olah raga dan olah hati. Artinya,
pendidikan harus diarahkan pada pengolahan keempat domain tersebut (Yaumi, 2014).
Pembelajaran IPA Menumbuhkan Karakter Siswa
Harapan bahwa Pendidikan dapat mengubah mental negatif bangsa ini telah
dilakukan, salah satunya melalui sub sistem pendidikan yaitu pembelajaran.
Pembelajaran di setiap jenjang pendidikan terdiri dari sejumlah mata pelajaran, salah
satunya mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Lewat pembelajaran IPA anak
dibantu untuk memahami fenomena alam dan mengembangkan sejumlah sikap sebagai
dampak dari mempelajari IPA. Lewat belajar IPA siswa dapat meningkatkan proses
berpikirnya. Menurut Carin dan Sund (Asih, 2014), IPA memiliki empat unsur utama
yaitu: 1) sebagai sikap yaitu memunculkan rasa ingin tahu, jujur, teliti, dll serta
hubungan sebab akibatnya, 2) sebagai proses, yaitu adanya pemecahan masalah meliputi
250 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
metode ilmiah yang sistematis yang ditunjukkan lewat kerja ilmiah, 3) sebagai produk,
yaitu berupa fakta, prinsip, teori, hukum, dan 4) sebagai aplikasi, yaitu penerapan
metode ilmiah dan konsep dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran,
keempat unsur ini diharapkan muncul sehingga siswa mengalami proses pembelajaran
secara utuh dan dapat memahami fenomena alam melalui kegiatan ilmiah yang
menerapkan metode ilmiah. Oleh sebab itu IPA sering disamakan dengan the way of
thinking.
Dalam mempelajari IPA, siswa menerima dan memahami pengetahuan sebagai
bagian dari dirinya, dan kemudian mengolahnya sedemikian rupa untuk membekali
mereka kecakapan dalam memecahkan berbagai fenomena alam dan masalah dalam
kehidupan mereka. IPA berawal dari suatu penemuan oleh para ahli. Dengan demikian,
proses pembelajaran IPA menitikberatkan pada suatu proses penelitian dan pemecahan
masalah. Pembelajaran IPA bukan hanya sekedar materi pelajaran yang di dengar ketika
diucapkan guru, terlupakan ketika guru selesai mengajar, dan baru di ingat kembali
ketika memasuki masa ulangan atau ujian datang.
Namun banyak kenyataan yang terjadi dilapangan menunjukkan pembelajaran
IPA tidak mencerminkan tujuan pendidikan. Pembelajaran di dalam kelas lebih fokus
kepada mempersiapkan siswa untuk lulus ujian (ujian sekolah dan ujian nasional/UN)
serta siap bertanding di berbagai ajang lomba berorientasi kognitif seperti olimpiade
sains, atau lomba sejenisnya. Metode mengajar gaya lama yang digunakan oleh banyak
guru telah membuat siswa tercipta sebagai penghafal yang baik. Padahal sesungguhnya
lewat proses pembelajaran IPA siswa dilatih untuk berbagai kemampuan. Sekolah
bukan lagi sebagai tempat belajar, tapi berubah menjadi lembaga pelatihan yang
menekankan pada menghafal materi daripada mengembangkan kemampuan atau
kecakapan siswa untuk menghadapi kehidupannya. Pembelajaran akhirnya hanya
menekankan pada aspek intelektual saja tanpa memperhatikan proses dan pembentukan
watak/karakter anak. Proses pembelajaran di kelas masih terbatas pada “to learn to
know” sedangkan aspek “learn how to learn” belum dilaksanakan secara memadai.
Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered). Masih banyak guru
menggangap bahwa informasi dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke otak
siswa. Hal ini membuat siswa jarang mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
251
idenya secara individu maupun berkelompok. Bahkan guru lebih banyak mendominasi
jalannya pembelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian tentang kinerja guru dan persepsi siswa terhadap
pelajaran IPA di salah satu sekolah SMP dikota Jayapura menunjukkan bahwa banyak
siswa tidak menyenangi pelajaran IPA karena dianggap merupakan materi yang sulit
(Rini, 2015).
Menurut siswa, belajar IPA selalu identik dengan latihan soal yang
banyak. Soal yang penuh dengan hitungan. Siswa juga mengalami kesulitan ketika
menyelesaikan soal-soal yang membutuhkan penalaran. Mereka juga mengatakan tidak
pernah dipelajari sebelumnya dan tidak ada jawabannya di buku. Selain itu, siswa juga
mengalami krisis kemampuan ilmiah yang ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan
kinerja ilmiah siswa yaitu rendahnya penguasaan/keterampilan proses sains (KPS)
dimana
siswa
tidak
terbiasa
dengan
kegiatan
mengamati,
mengklasifikasi,
menginterpretasi, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan, melakukan
percobaan, dan kegiatan lainnya yang menggunakan metode ilmiah yang biasa
dilakukan para ilmuwan. Padahal sesungguhnya dengan melakukan sains (doing sains)
maka siswa akan terbiasa dengan pola kerja ilmiah dan secara otomatis akan
memunculkan karakter sebagai dampaknya, seperti: rasa ingin tahu, kerja keras, jujur,
disiplin, teliti, mandiri, tanggung jawab, kreatif, berani/kritis, logis, demokratis,peduli
lingkungan, dll.
Untuk memperbaiki keadaan/situasi pembelajaran seperti itu, perlu dilakukan
perubahan mindset guru dan siswa. Dengan melakukan beberapa perubahan dalam
proses pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan kemampuan ilmiah siswa dan
menumbuhkan karakter siswa. Siswa dengan kinerja ilmiah yang tinggi, tentu akan
mampu membentuk pengetahuannya sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip dari
konstruktivisme, bahwa siswalah yang aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Jadi, guru
tidak perlu khawatir kekurangan waktu untuk menyelesaikan materi yang menjadi
tuntutan kurikulum, karena dengan kemampuan ilmiah yang dimiliki, siswa mampu
membangun pengetahuannya sendiri dan akan menumbuhkan karakter siswa. Belajar
tidak lagi hanya dibatasi tempat dan terpaku pada guru di sekolah, namun siswa dapat
melakukan ekplorasi pengetahuan di mana saja (Zuhdan, 2013). Orientasi pembelajaran
harus diubah dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) agar pembelajaran IPA
252 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
menjadi lebih berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas ditunjukkan oleh tingkat
interaksi dan partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran dan menumbuhkan
karakter siswa.
Penumbuhan nilai-nilai karakter secara umum dapat dilakukan dengan beberapa
strategi, salah satu diantaranya adalah diintegrasikan dalam mata pelajaran, termasuk
pelajaran IPA. Pembiasaan dapat dilakukan dalam kehidupan keseharian di satuan
pendidikan yaitu dalam proses belajar di kelas. Lewat belajar IPA dengan menggunakan
pendekatan, model, strategi dan metode belajar yang mengintegrasikan keterampilanketerampilan berpikir dan strategi-strategi berpikir dalam aktivitas siswa, maka secara
tidak langsung siswa sudah berlatih untuk terampil berpikir, strategi berpikir dan
kemampuan memecahkan masalah dan menumbuhkan nilai-nilai mulia, yaitu memiliki
nilai-nilai : jujur, disiplin, kerja keras, bertanggungjawab, mandiri, teliti, berani
berkomunikasi, dll (Asih, 2014). Dengan pembelajaran IPA melalui penyelidikan
(eksperimen/demonstrasi) dan diskusi yang dilakukan,
siswa dibelajarkan dengan
aplikasi prinsip-prinsip sains dan belajar selayaknya seorang ilmuwan. Hal-hal tersebut
dapat
dilakukan
dengan
penerapan
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
pembelajaran yang mampu mengatasi permasalahan krisis kemampuan ilmiah siswa dan
karakter siswa. Penumbuhan dan pengembangan karakter dapat dilakukan melalui
penggunaan model, strategi atau pendekatan pembelajaran yang menyebabkan
pendidikan karakter menjadi habitual bukan hanya sekedar wacana (Faiq dan Insih,
2015).
Model, pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang dimaksud adalah
yang melibatkan proses sains bagi siswa yaitu sejumlah keterampilan yang melatih
siswa berpikir untuk menemukan suatu konsep melalui sejumlah langkah-langkah
ilmiah yang biasa dilakukan oleh ilmuwan. Langkah-langkah kegiatan meliputi:
pengamatan, menginferensi, merumusan masalah, pengajuan hipotesis, merencanakan
pengujian hipotesis, melakukan pengujian hipotesis melalui eksperimen dan
demonstrasi, mencatat data hasil eksperimen, mengolah data, menganalisis data, serta
membuat kesimpulan, dll (Liliasari,2009). Keterampilan proses sains ini ditemui dalam
model-model pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.
Saat ini dengan diberlakukannya kurikulum 2013 (K-13), diharapkan dapat
menghasilkan insan yang produktif, kreatif, dan inovatif melalui penguatan sikap (tahu
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
253
mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi
(Trianto, 2014). Berorientasi pada hal tersebut, maka K-13 menitikberatkan pada
pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan merangsang siswa untuk berpikir kritis dan
kreatif. Pembelajaran yang dapat digunakan adalah: pembelajaran inkuiri, discovery,
pembelajaran berbasis masalah, berbasis proyek, berbasis masalah, problem solving,
kontekstual, kooperatif, Do-Talk-Do (DTD), dll.
Melalui penerapan pembelajaran tersebut dalam pembelajaran IPA, diharapkan
siswa akan memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang lebih baik.
Namun sampai saat ini, belum semua guru dapat menerapkannya dalam proses belajar
mengajar (PBM). Kebijakan pemerintah mengubah kurikulum tidak diikuti dengan lebih
dulu mempersiapkan gurunya. Dengan kata lain, kurikulum di ubah sebelum mengubah
(mempersiapkan) gurunya. Sehingga dalam pelaksanaan PBM di sekolah-sekolah pola
pengajaran
lama
terkadang
masih
dilaksanakan.
Walaupun
dilaksanakan,
implementasinya masih terbatas pada eksperimen yang bersifat verifikasi saja. Banyak
guru belum mampu melaksanakan PBM IPA yang membiasakan siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri lewat hands on activities. Beberapa guru
IPA menyatakan kurangnya pemahaman mereka terhadap implementasi model-model
pembelajaran yang berbasis doing science (Rini, 2015; Sisca, 2015).
Model/Pendekatan Pembelajaran Inkuiri dalam pembelajaran IPA
Pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang berpusat pada peserta didik yang
berfokus
pada
pertanyaan-pertanyaan
(keingintahuan).
Pembelajaran
Inkuiri
dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan
menggunakan pola pikir. Keutamaan pembelajaran inkuiri yaitu: 1) Keterlibatan peserta
didik secara maksimal pada proses kegiatan belajar. 2) Keterarahan secara logis dan
sistematis pada tujuan pembelajaran. 3) Mengembangkan sikap percaya diri peserta
didik tentang apa yang ditemukan. Inkuiri menempatkan peseta didik termotivasi untuk
bersungguh-sungguh melakukan kegiatan sendiri atau berbentuk kelompok untuk
menemukan jawaban dari konsep yang dipelajari.
Jarolimek dalam Trianto (2014), menyebutkan tujuan utama pembelajaran yang
berorientasi pada inkuiri adalah mengembangkan sikap dan keterampilan siswa
sehingga mereka dapat menjadi pemecah masalah yang mandiri (independent problem
254 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
solvers). Ini berarti siswa tersebut perlu mengembangkan pemikiran spektif tentang
suatu hal dan peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini. Pendapat yang lain datang dari
Joice dan Weil dalam Trianto (2014), mengatakan bahwa tujuan umum dari inkuiri
adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan disiplin dan keterampilan
intelektual yang diperlukan untuk memunculkan masalah dan mencari jawabannya
sendiri melalui rasa keingintahuannya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tujuan umum
dari inkuiri adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan keterampilan
intelektual untuk memunculkan masalah dan kemudian dapat mencari jawabannya
sendiri sehingga mereka dapat menjadi pemecah masalah yang mandiri.
Kelebihan inkuiri adalah: 1) Dapat membentuk dan mengembangkan “selfconcept” pada diri peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengerti tentang konsep
dasar dan ide-ide yang lebih baik. 2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan
mentrasfer pada situasi proses belajar yang baru. 3) Mendorong peserta didik untuk
berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri (kritis/kreatif), bersifat objektif, jujur dan
terbuka. Mendorong peserta didik untuk berfikir intuitif dan merumuskan hipotesis
sendiri. 4) Memberikan kepuasan yang bersifat instrinsik. 5) Situasi proses belajar
menjadi terangsang. 6) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu. 7)
Memberi kebebasan peserta didik untuk belajar sendiri (mandiri). 8) Peserta didik dapat
menghindari dari cara-cara belajar tradisional (Trianto, 2014).
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
255
Tabel 1. Pembelajaran Inkuiri dan nilai-nilai karakter yang dikembangkan
No
1.
2.
Fase
Menyajikan
pertanyaan
atau
masalah
Membuat hipotesis
Aktivitas siswa
Siswa
mengidentifikasikan
masalah
dengan
menuliskannya di LKS
Siswa
mengeluarkan
pendapat untuk menentukan
hipotesis yang relevan dengan
permasalahan
dan
memprioritaskan
hipotesis
mana yang menjadi prioritas
penyelidikan.
Siswa menentukan langkahlangkah percobaan yang
sesuai dengan hipotesis yang
dilakukan dengan bimbingan
guru
Siswa melakukan percobaan.
3.
Merancang
percobaan
4.
Melakukan
percobaan
untuk
memperoleh
informasi
Mengumpulkan
Siswa mengumpulkan dan
dan mengalisis data mengolah
data
yang
terkumpul
untuk
membuktikan hipotesis.
Membuat
Siswa membuat kesimpulan
kesimpulan
5.
6.
Nilai-nilai yang
dikembangkan
Rasa ingin tahu, kerja
keras,
teliti,
mandiri, …….
Kritis,
Kreatif,
Demokratis,
komunikatif,…….
Rasa ingin tahu, kerja
keras, teliti, mandiri,
kritis, kreatif,…….
Rasa ingin tahu, kerja
keras,
teliti,
jujur,
mandiri,
kritis,
kreatif,…….
Rasa ingin tahu, kerja
keras,
teliti,
jujur,
mandiri,
kritis,
kreatif,…….
Jujur,
mandiri,
kritis, …….
Pembelajaran Discovery/Penemuan dalam Pembelajaran IPA
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model
dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery Learning).
Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.
Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2014).
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif
dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh
pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk
menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
256 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
Discovery adalah pembelajaran dimana guru memberikan kebebasan siswa
untuk menemukan sesuatu sendiri karena dengan menemukan sendiri siswa dapat lebih
mengerti secara dalam. Dengan menemukan sendiri, siswa akan sampai pada
pengalaman gembira dan menyenangkan. Dalam pembelajaran ini siswa berperan aktif
dalam proses belajar dengan : (1) menjawab berbagai pertanyaan atau persoalan, (2)
memecahkan persoalan, untuk menemukan konsep dasar. Peran guru berubah dari
menyajikan informasi dan konsepnya, menjadi mengajak siswa bertanya, melihat, dan
mencari sendiri. Guru paling memberi arahan (Suparno, 2007).
Menurut Trowbridge & Bybee dalam Suparno (2007), menjelaskan discovery
sebagai proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
Discovery terjadi bila seseorang sungguh terlibat dengan proses berpikir untuk
menemukan konsep atau prinsip-prinsip. Unsur penting dalam proses ini adalah siswa
dengan menggunakan pikirannya sendiri mencoba menemukan sesuatu pengertian dari
yang digeluti. Jadi siswa sungguh terlibat aktif. Proses discovery itu meliputi:
Mengamati. Siswa mengamati gejala atau persoalan yang dihadapi.
1)
2)
Menggolongkan. Siswa mengklasifikasikan apa-apa yang ditemukan dalam pengamatan
sehingga menjadi lebih jelas. 3) Memprediksi. Siswa diajak untuk memperkirakan
mengapa gejala itu terjadi atau mengapa persoalan itu terjadi.
4) Mengukur.
Siswa melakukan pengukuran terhadap yang diamati untuk memperoleh data yang lebih
akurat yang dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan.
5) Menguraikan
atau menjelaskan. Siswa dibantu untuk menjelaskan atau menguraikan dari data
pengukuran yang dilakukan. 6) Menyimpulkan. Siswa mengambil kesimpulan dari datadata yang didapatkan.
Tabel 2. Pembelajaran Discovery /Penemuan Terbimbing
No
Fase
1
Orientasi pada
siswa
2
Mengorganisasi
kan siswa dalam
belajar
Aktivitas siswa
Siswa memahami tujuan
pembelajaran, tahu logistik yang
dibutuhkan, terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang
diberikan guru.
siswa mendefinisikan tugas-tugas
yang berkaitan dengan masalah
serta menyediakan alat.
Nilai Karakter yang di
kembangkan
Rasa ingin tahu, kritis,
mandiri, …….
Kritis,
Kreatif,
Demokratis,
komunikatif,…….
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
257
3
4
5
Membimbing
penyelidikan
individual
maupun
kelompok
Menyajikan /
mempresentasik
an hasil kegiatan
Mengevaluasi
kegiatan
siswa melaksanakan eksperimen
dan mengumpulkan informasi
yang sesuai, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan
masalah.
siswa menyiapkan karya/laporan,
dan mempresentasikannya
Guru membantu siswa untuk
merefleksi pada penyelidikan dan
proses penemuan yang digunakan.
Rasa ingin tahu, kerja
keras,
teliti,
jujur,
mandiri,
kritis,
kreatif,…….
jujur, mandiri, kritis,
komunikatif,
demokratis,…….
kerja keras, teliti, jujur,
mandiri,
kritis,
kreatif,…….
Penutup
Pembelajaran IPA diyakini dapat menumbuhkan karakter siswa. Pembelajaran IPA
yang membiasakan siswa melakukan sains (doing sains) maka siswa akan terbiasa
dengan pola kerja ilmiah dan akan berdampak pada tumbuhnya karakter seperti: rasa
ingin tahu, kerja keras, jujur, disiplin, teliti, mandiri, bertanggungjawab, kreatif,
berani/kritis, komunikatif, logis, demokratis, peduli lingkungan, dll.
Orientasi pembelajaran harus diubah dari pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered)
agar pembelajaran IPA menjadi lebih berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas
ditunjukkan oleh tingkat interaksi dan partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran
dan menumbuhkan karakter siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Widi Wisudawati & Eka Sulistyowati. 2014. Metodologi Pembelajaran IPA.
Jakarta: Bumi Aksara.
Faiq Makhdum Noor & Insih Wilujeng. 2015. Pengembangan SSP Fisika Berbasis
Pendekatan CTL untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Motivasi
Belajar. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, Volume 1 – Nomor 1, April 2015.
Liliasari & Muh. Tawil. 2014. Keterampilan-Keterampilan Sains dan Implementainya
dalam Pembelajarean IPA. Makasar: UNM.
Rini Kurniati. 2015. Persepsi Guru dan Siswa Terhadap Pelajaran IPA di SMP Negeri
11 Jayapura. Skripsi FKIP Universitas Cenderawasih. Tidak dipublikasikan.
Batong, Sisca J.T, 2015. Persepsi Guru Terhadap Implementasi K- 13. Skripsi FKIP
Universitas Cenderawasih. Tidak dipublikasikan.
Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika Kontruktivistik &
Menyenangkan. Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.
Trianto. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan Kontekstual.
Jakarta: Prenadamedia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
258 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
Mohamad Yaumi. 2014. Pendidikan Karakter – Landasan, Pilar & Implementasi.
Jakarta: Kencana.
Zuhdan Kun Prasetyo dkk. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Sains
Terpadu untuk Meningkatkan Kognitif, Keterampilan Proses, Kreativitas Serta
Menerapkan Konsep Ilmiah Siswa SMP. Yogyakarta: LPPM UNY.
Zuhdan, K.P. 2015. Siklus Belajar DTD dalam Belajar IPA untuk Mengembangkan
Mentalitas Siswa. Semarang: Semnas IPA VI Tahun 2015.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
259
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI SARANA MEMBANGUN
KARAKTER GENERASI MUDA PENERUS BANGSA
Rini Agustina
IKIP PGRI Pontianak
Email: [email protected]
Abstract
This paper aims to describe how the role of Indonesian language and literature
as a means of establishing the character of the young generation of the nation's
future. In UUD 1945 Bab XV Pasal 38 which reads, "The language is
Indonesian nation: " The sound of that article implies meaning that all matters
relating to the affairs of state must be submitted by using Indonesian”.
Indonesian is the national language which is used as a means of
communication, so that the Indonesian was also able to build communication
skills, skills of expression, ideas and views on addressing a problem faced in
life in this global era. Such skills are certainly very needed in facing the
challenges of the times.
Keywords: language, character, youth
PENDAHULUAN
Bahasa diciptakan sebagai alat komunikasi universal yang diharapkan dapat
dimengerti oleh setiap manusia untuk melakukan suatu interaksi sosial dengan manusia
lainnya. Bahasa terdiri dari kumpulan kata atau kalimat yang dari masing-masing
susunan kata memiliki makna untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan
seseorang. Oleh karena itu, kita harus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun katakata tersebut sesuai dengan aturan tata bahasa yang ada, agar makna yang terkandung di
setiap kalimat dapat tersampaikan dengan baik dan jelas.
Tantangan di era globalisasi saat ini pada kehidupan global yang kita hadapi
mengharuskan kita untuk lebih memperkuat jati diri dan karakter sebagai suatu bangsa.
Penguatan jati diri dan karakter bangsa ini menjadi suatu keharusan agar bangsa
Indonesia dapat tetap eksis dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai suatu bangsa
di tengah-tengah derasnya arus kehidupan dan budaya global itu. Dengan jati diri dan
karakter yang kuat, diharapkan bangsa Indonesia tetap mampu bersaing dan sekaligus
ikut bermain peran dalam kancah kehidupan global. Bangsa yang berkarakter, dalam hal
260 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
ini, tidak saja bangsa yang mampu memperlihatkan jati diri dan kepribadian yang kuat,
tetapi juga penuh tanggung jawab, jujur, disiplin, berkualitas, dan mempunyai
kompetensi yang tinggi.
Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia memegang peranan yang amat
penting dalam pendidikan karakter bangsa. Hal itu karena dengan mencintai bahasa
Indonesia berarti juga mencintai bangsa Indonesia karena bahasa pada hakikatnya juga
merupakan simbol identitas bangsa. Karakter yang bertumpu pada kecintaan dan
kebanggaan terhadap bahasa dan bangsa seperti itu pada dasarnya juga merupakan
refleksi dari kecintaan dan kebanggaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilarnya. Bahasa
menunjukkan bangsa. Ungkapan itu juga berarti bahwa bahasa menunjukkan jati diri
dan karakter bangsa penuturnya. Tutur kata yang lembut dan santun, misalnya, juga
dapat dipandang sebagai pencerminan dari karakter pribadi penuturnya yang santun.
Untuk itu, pengajaran bahasa juga harus diarahkan padapendidikan karakter budi pekerti
yang luhur, berakhlak mulia, dan sikap yang santun.
Indonesia adalah negara yang sangat kaya, baik kekayaan alamnya maupun suku
bangsanya. Penguatan jati diri dan karakter bangsa ini menjadi suatu keharusan agar
bangsa Indonesia dapat tetap eksis dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai suatu
bangsa di tengah-tengah derasnya arus kehidupan dan budaya global itu. Dengan jati
diri dan karakter yang kuat, diharapkan bangsa Indonesia tetap mampu bersaing dan
sekaligus ikut bermain peran dalam kancah kehidupan global. Bangsa yang berkarakter,
dalam hal ini, tidak saja bangsa yang mampu memperlihatkan jati diri dan kepribadian
yang kuat, tetapi juga penuh tanggung jawab, jujur, disiplin, berkualitas, dan
mempunyai kompetensi yang tinggi.
Karakter yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa dan
bangsa seperti itu pada dasarnya juga merupakan refleksi dari kecintaan dan
kebanggaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilarnya. Bahasa menunjukkan bangsa.
Ungkapan itu juga berarti bahwa bahasa menunjukkan jati diri dan karakter bangsa
penuturnya. Tutur kata yang lembut dan santun, misalnya, juga dapat dipandang sebagai
pencerminan dari karakter pribadi penuturnya yang santun. Untuk itu, pengajaran
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
261
bahasa juga harus diarahkan pada pendidikan karakter budi pekerti yang luhur,
berakhlak mulia, dan sikap yang santun.
Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa ada hubungan erat antara
bahasa Indonesia dan pembangunan karakter pada generasi muda. Hal ini terlihat
bagaimana peran bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana membangun karakter
generasi muda penerus bangsa hubungan tersebut menimbulkan kaitan karena bahasa
Indonesia sebagai bahasa Indonesia juga berperan sebagai sarana membangun karakter
generasi muda penerus bangsa dan pemersatu bangsa.
Peran Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Karakter Generasi Muda
Mengaitkan bahasa Indonesia dengan generasi muda menyadarkan kita, bahwa
bukan saja atas peran bahasa dalam sejarah awal kelahiran bangsa Indonesia, melainkan
juga pada peran anak muda dalam mengukuhkan bahasa Indonesia dalam sejarah awal
kelahiran tanah air. Agaknya sudah cukup lama bahasa dan Indonesia cenderung dilihat
sebagai fenomena kebudayaan secara umum, tanpa mengaitkannya dengan peran dan
kedudukan pemuda dalam mengukuhkan bahasa dan Indonesia itu sendiri. Sebaliknya,
peran kaum muda khususnya dalam sejarah awal kelahiran Indonesia cenderung dilihat
sebagai fenomena politik tanpa mengaitkannya dengan peran bahasa. Bagaimanapun,
sejarah bahasa dan Indonesia tak bisa dipisahkan dari peran penting anak-anak muda.
Selain itu, bahasa Indonesia mempunyai peran dalam membangun generasi muda
yang dinamis dan kreatif. Peran dan tanggung jawab tentu saja selalu baik pada dirinya
sendiri. Maka, harapan akan peran bahasa Indonesia dalam membangun generasi muda
merupakan tantangan bagi para ahli bahasa dan seluruh masyarakat Indonesia, yang
mana menuntut kesungguhan untuk meyakinkan anak-anak muda akan fungsi dan
keunggulan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehingga harapannya bahasa Indonesia
juga dapat berperan membangun generasi muda yang lebih baik.
Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa generasi mudalah yang membangun
bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dalam hubungan bahasa Indonesia dengan generasi
muda, generasi muda adalah subjek yang mengukuhkan dan selanjutnya membangun
bahasa Indonesia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa juga mampu membangun
keterampilan berkomunikasi, keterampilan menyampaikan pendapat, gagasan, dan
pandangan dalam menyikapi suatu persoalan yang dihadapi dalam kehidupan pada era
262 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
global ini. Keterampilan seperti itu tentu sangat dibutuhkan dalam menghadapi
tantangan zaman.
Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan alat berpikir. Oleh
karena itu, melalui kemampuan berbahasa, berbagai persoalan yang dihadapi dapat
dipahami, disikapi, dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan
berpikir/ intelektual seseorang. Dengan demikian, kematangan berpikir dan kemampuan
menyikapi setiap masalah dengan kritis merupakan dua hal yang saling melengkapi
dalam pembentukan kualitas individu untuk membangun kreativitas dan daya inovasi.
Berkenaan dengan itu, kemampuan berkomunikasi yang tinggi dan daya pikir yang
kritis dalam menghadapi setiap tantangan pada gilirannya juga dapat melahirkan
generasi yang kreatif dan inovatif.
Pada sisi lain, karya sastra dalam bahasa Indonesia juga mengandung nilai-nilai
kearifan yang mampu memperhalus akal budi dan mempertajam etika dan daya estetika.
Oleh karena itu, kemampuan mengapresiasi karya sastra dalam bahasa Indonesia juga
berperan penting dalam membangun karakter yang berbudi luhur, bertenggang rasa, dan
arif dalam mengatasi persoalan, sehingga dari pembahasan di atas dapat diketahui
bahwa ada hubungan erat antara bahasa Indonesia dan pembangunan karakter pada
generasi muda. Hal ini terlihat bagaimana peran bahasa dan sastra Indonesia sebagai
sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa hubungan tersebut
menimbulkan kaitan karena bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia juga berperan
sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa dan pemersatu
bangsa.
Memperkuat Karakter Generasi Muda dengan Pembinaan Bahasa Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan sedang dalam proses
pembangunan. Sebagai sebuah bangsa besar yang sedang membangun, Indonesia
tentulah memerlukan generasi-generasi penerus yang andal di berbagai bidang untuk
dapat mewujudkan masyarakat adil, makamur, dan merata. Untuk menjadikan generasi
penerus bangsa ini sebagai sumber daya manusia yang andal dan tangguh diperlukan
pendidikan bermutu di setiap daerah. Dalam hal pendidikan di Indonesia, kita lebih
banyak mendapatkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu dengan bahasa Indonesia
baku atau benar.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
263
Bahasa Indonesia bagi sebagian besar orang Indonesia merupakan bahasa kedua
setelah menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Walaupun sebagai bahasa kedua,
bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Karena itu, para
generasi bangsa kita harus mengusai bahasa Indonesia agar dapat memiliki banyak
pengetahuan sehingga menjadi sumber daya manusia yang andal dan dapat membangun
bangsa ini secara optimal. Mendapatkan pengetahuan tentulah bukan hanya dari jalur
pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi, tetapi juga di masyarakat luas.
Bahasa merupakan unsur-unsur yang tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat.
Agar bahasa Indonesia tetap terjaga dan dapat dihayati serta dilestarikan sehingga
karakter generasi muda yang kuat pun terbentuk, maka kita harus melakukan pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
1.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam bidang pendidikan.
Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan peran guru dan dosen untuk
meningkatkan dan menimbulkan minat baca bahasa Indonesia yang dapat
dikembangkan pada semua mata pelajaran dan semua mata kuliah. Dengan
cara itu, bahasa Indonesia akan lebih sering digunakan dan dipraktikan
kedalam kehidupan sehari-hari.
2.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan bidang
komunikasi.
Salah satu sarana yang penting dalam pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia dalam bidang komunikasi adalah media massa, baik secara tertulis
maupun secara lisan. Media massa seharusnya menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dalam menyampaikan berita. Hal itu dapat menjadi
contoh yang baik untuk generasi penerus bahasa Indonesia.
3.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan kesenian.
Bahasa Indonesia yang digunakan dalam banyak karya sastra, seperti lagu,
teater, buku cerita anak-anak dan film menunjukkan banyak ketimpangan.
Bahasa yang digunakan dalam sastra dan buku cerita anak-anak kuarang
sempurna dari kebanyakan pengarang. Pemakaian bahasa Indonesia dalam
menciptakan karya sastra seharusnya dapat menjadi panutan bagi penikmat
ataupun orang yang ingin menciptakan karya sastra. Agar bahasa Indonesia
dapat terpelihara dengan baik.
264 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
4.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan bidang
ilmu dan teknologi.
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, penggunaan bahasa
Indonesia harus senantiasa dipertahankan. Apabila kita lengah dan kalah
dengan banyaknya unsur budaya yang masuk dari bangsa lain, maka bahasa
Indonesia sedikit demi sedikit akan mengalami kemunduran. Sebagai penerus
bangsa dan bahasa Indonesia, disamping tetap menerima perkembangan ilmu
dan teknologi dari bangsa luar, kita juga harus tetap pintar dalam
memfilternya dan senantiasa mempertahankan bahasa Indonesia sebagai
identitas bangsa kita.
PENUTUP
Berdasarkanan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan bahasa Indonesia sangat berperan. Peranan bahasa dan sastra Indonesia
sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa. Dengan mencintai
bahasa Indonesia berarti juga mencintai bangsa Indonesia karena bahasa pada
hakikatnya juga merupakan simbol identitas bangsa. Selain merupakan symbol
bangsa bahasa Indonesia juga mempunyai peran dalam membangun generasi muda yang
dinamis dan kreatif. Peran dan tanggung jawab tentu saja selalu baik pada dirinya
sendiri. Maka, harapan akan peran bahasa Indonesia dalam membangun generasi muda
merupakan tantangan bagi para ahli bahasa dan seluruh masyarakat Indonesia, yang
mana menuntut kesungguhan untuk meyakinkan anak-anak muda akan fungsi dan
keunggulan bahasa Indonesia dalam kehidupan.
Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa generasi mudalah yang membangun
bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dalam hubungan bahasa Indonesia dengan generasi
muda, generasi muda adalah subjek yang mengukuhkan dan selanjutnya membangun
bahasa Indonesia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa juga mampu membangun
keterampilan berkomunikasi, keterampilan menyampaikan pendapat, gagasan, dan
pandangan dalam menyikapi suatu persoalan yang dihadapi dalam kehidupan pada era
global ini. Keterampilan seperti itu tentu sangat dibutuhkan dalam menghadapi
tantangan zaman.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
265
Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan alat berpikir. Oleh
karena itu, melalui kemampuan berbahasa, berbagai persoalan yang dihadapi dapat
dipahami, disikapi, dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan
berpikir/ intelektual seseorang. Dengan demikian, kematangan berpikir dan kemampuan
menyikapi setiap masalah dengan kritis merupakan dua hal yang saling melengkapi
dalam pembentukan kualitas individu untuk membangun kreativitas dan daya inovasi.
Sebagai warga Indonesia yang baik, kita seharusnya dapat menggunakan bahasa
Indonesia secara baik dan benar. Bahasa gaul memang bukanlah bahasa yang dilarang
penggunaannya, tetapi kita harus ingat bahwa bahasa gaul dipakai dalam kelompok
tertentu saja. Kita sebaiknya tidak menggunakan bahasa gaul di luar kapasitasnya.
Dengan demikian, terciptalah penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa gaul yang
terpisah atau tidak ada pengacauan bahasa gaul ke dalam bahasa Indonesia dan tidak
ada pergeseran penggunaan bahasa Indonesia oleh penggunaan bahasa gaul.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, Kunjana. 2004. Dinamika Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Indonesia
Mutakhir. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Rosidi, Ajip. 1983. Pembinaan Minat Baca Bahasa dan Sastera. Surabaya: Bina Ilmu.
Hasibuan Ibnu Hasan. 2011. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
266 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
UPAYA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DI SEKOLAH DASAR MELALUI PENGOPTIMALAN
KONSEP TRIPUSAT PENDIDIKAN
Rista Ayu Mawarti
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The impact of globalization on the resurgence individualism often becomes a
factor that made the emergence of numerous social problems in the life of youth
generation. Therefore, it takes an effort through education to rebuild the real
Indonesian that easily avoids the negative impacts of globalization. It’s realized
by Character Education that developed by optimizing the concept of Tripusat
Pendidikan. Where each component of the nation and state work together to
realize the better future of Indonesian.
Keywords: Character Education, Tripusat Pendidikan
PENDAHULUAN
Maraknya isu mengenai kebangkitan individualisme sebagai salah satu dampak
negatif yang dibawa oleh arus globalisasi ternyata tidak hanya berlaku di belahan dunia
bagian barat, melainkan juga bagian timur termasuk Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam
beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada rentang waktu 2012 hingga
2013 terdapat peningkatan kasus kekerasan atau bullying yang terjadi di dalam serta di
luar lingkup sekolah. Hasil survey yang ada menunjukkan sebuah indikasi bahwa para
generasi
muda
dengan
mudahnya
melakukan
kekerasan
kepada
sesamanya.
Karakteristik individualisme tercermin dari perilaku yang menjadikan orang lain
sebagai pihak yang harus dicurigai dan tidak memiliki ruang untuk “dirangkul”. Rasa
kepedulian, toleransi, maupun persatuan tidak lagi menjadi sebuah konsep yang harus
selalu dijaga sebagai wujud dari realisasi nilai-nilai luhur Pancasila. Permasalahan yang
demikian ini harus segera ditangani untuk menyelamatkan geneasi muda dan masa
depan bangsa Indonesia. (Zulfani, M.H., 2014; Aldina, E., 2014).
Salah satu media yang dapat digunakan untuk memperkuat kembali nilai-nilai
luhur Pancasila dalam diri para generasi muda sehingga dapat terhindar dari
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
267
kebangkitan individualisme tersebut adalah melalui pendidikan. Pemerintah RI melalui
kebijakan mengenai pendidikan budi pekerti berupaya untuk meningkatkan pemahaman
siswa akan nilai-nilai luhur bangsa sehingga dapat merealisasikannya dalam bentuk
kebajikan di kehidupan sehari-hari. Pengembangan ini dilakukan pada setiap jenjang
pembelajaran, termasuk jenjang pendidikan dasar yang menjadi jenjang penentu kualitas
siswa
untuk
melangkah
ke
jenjang
pendidikan
berikutnya.
Namun,
dalam
pelaksanaannya, proses pembelajaran pendidikan budi pekerti yang ada tidak cukup
hanya bertumpu pada proses pembelajaran di sekolah, melainkan keluarga dan
masyarakat juga harus turut serta di dalamnya agar proses pembelajaran dapat
memberikan pengalaman belajar yang seutuhnya bagi siswa. Hal ini lah yang telah lama
disebut sebagai Tripusat Pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Oleh karena itu,
pengkajian yang ada akan dikonstruksi pada penelaahan atas upaya mengembangkan
pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar melalui pengoptimalan konsep Tripusat
Pendidikan.
Konsep Tripusat Pendidikan
Konsep Tripusat Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara ini mencoba
untuk menjelaskan secara terperinci mengenai lingkungan belajar yang dari siswa yang
turut mengambil andil dalam proses pembentukan karakter. Pada sebuah tulisannya, Ki
Hadjar Dewantara. (2013: 70) mengemukakan bahwa “Di dalam hidupnya anak-anak
adalah tiga tempat-pergaulan yang menjadi pusat-pendidikan yang amat penting
baginya yaitu: alam-keluarga, alam-pergaulan, dan alam pergerakan pemuda”.
Sebagai penjelasan mengapa tripusat pendidikan ini menjadi suatu kajian yang
penting dalam pembentukan karakter, Ki Hadjar Dewantara (2013: 70) menjelaskan
sebagai berikut (a) Akan mudah dan sempurnanya pendidikan tidak cukuplah usaha
pendidikan itu hanya disandarkan pada sikap dan tenaganya si-pendidik, akan tetapi
harus juga beserta suasana (atmosfer) yang sesuai dengan maksudnya pendidikan; oleh
karena itu wajiblah kepentingan tiga alam atau pusat pendidikan tsb. Dimasukkan di
dalam cara atau sistim pendidikan (Shanti Niketan, Taman Siswa);(b) “Menghidupkan,
menambah dan menggembirakan perasaan kesosialan” tidak akan dapat terlaksana, jika
tidak didahului pendidikan diri (pendidikan individuil), karena inilah dasarnya
pendidikan budi pekerti, yang akan dapat menimbulkan rasa kemasyarakatan atau rasa
268 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
sosial; (c) Untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya, maka perlulah segala usaha kita
itu berdasar kulturil-nasional, karena itulah syarat yang pokok untuk memudahkan,
mencepatkan dan memperbaiki segala usaha; (d) Sikap kita dalam hal itu harus
ditunjukkan ke arah terlaksananya perhubungan yang serapat-rapatnya, antara tiga
pusat tsb. di atas, dan mempergunakan pengaruh pendidikan sebanyak-banyaknya
kepada tiap-tiap pusat itu.
Alasan-alasan tersebut mengisyaratkan bagaimana pentingnya seluruh komponen
mendukung proses pendidikan. Ketiga komponen yang ada dapat bekerja bersama-sama
membentuk sebuah sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dengan lingkup terkecil
yaitu utama keluarga, yang kemudian disempurnakan dengan bantuan ruang lingkup
sekolah, dan juga didukung oleh lingkungan masyarakat. Pemahaman yang didapat
melalui proses pendidikan dengan tiga komponen pun dapat lebih memaksimalkan
proses maupun hasil dari pendidikan yang dirancang.
Pendidikan Budi Pekerti
Secara etimologis, dalam KBBI disebutkan bahwa pendidikan merupakan proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang. sedangkan budi pekerti sering dimaknai
dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma baik
dari ajaran agama maupun adat istiadat yang berlaku di suatu tempat dan komunitas
tertentu. Maka dari itu pendidikan budi pekerti banyak didefinisikan sebagai sebuah
upaya pendidikan untuk membekali siswa akan pemahaman mengenai nilai-nilai serta
norma atau adat istiadat yang berlaku melalui serangkaian proses pembelajaran dan
pembiasaan yang ada. (Sutjipto, 2014; Elfrianto, 2015).
Berkenaan dengan posisi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar, Sutjipto (2014:
495) mengemukakan bahwa, “sejak masa pasca kemerdekaan hingga kini pendidikan
budi pekerti ditempatkan secara strategis pada kurikulum pendidikan di Indonesia dalam
tiga hal, yakni berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, digabung dengan mata pelajaran
yang relevan, dan terintegrasi ke dalam mata pelajaran lain”. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah cukup serius menangani permasalahan bangsa melalui pendidikan
budi pekerti ini. Melalui pendidikan budi pekerti dengan setiap posisi yang dimilikinya,
diharapkan akan dapat terlahir manusia-manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
269
kecerdasan intelektual melainkan juga kecerdasan sosial. Karena bagaimana pun
kebermanfaatan seorang warga negara bagi lingkungannya merupakan salah satu tolok
ukur keberhasilan pendidikan. Apabila sejak awal atau pada jenjang dasar pendidikan
budi pekerti memiliki kualitas proses pembelajaran yang unggul, maka bangsa
Indonesia dapat dikatakan juga memiliki tunas-tunas unggul yang siap mengahapi
tantangan masa depan bangsa.
Upaya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Melalui
Pengoptimalan Konsep Tripusat Pendidikan
Dengan mengacu pada konsep dasar Tripusat Pendidikan dan hakikat serta tujuan
dari pendidikan budi pekerti, pengembangan pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat
dikonstruksi dengan mengoptimalkan peran dari setiap komponen yang ada dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembiasaan yang syarat akan nilai-nilai
luhur bangsa dapat direalisasikan melalui kegiatan pembelajaran yang melibatkan
keluarga dan masyarakat dalam pelaksaannya. Guru dapat memposisikan dirinya
sebagai perencana yang merancang proses pembelajaran dengan membuat sinergi antar
komponen tersebut. Sebagai sebuah contoh, guru Pendidikan Kewarganegaraan dapat
merancang proses pembelajaran mengenai kewajiban untuk membantu sesama dengan
menggunakan model pembelajaran discovery-inquiry. Dalam hal ini siswa ditugaskan
untuk mecatat setiap tindakan mereka dalam membantu orang lain selain keluarga.
Dasar dari proses pembelajaran ini yaitu peran masyarakat sebagai “open global
classroom”.
Sementara itu, keluarga dapat dilibatkan dengan menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah dengan tugas berupa wawancara mengumpulkan pendapat dari
anggota keluarga mengenai permasalahan yang berkaitan dengan toleransi. Mengingat
dalam Tripusat Pendidikan, keluarga memiliki peran sebagai lingkup pertama bagi
siswa untuk mempelajari nilai-nilai yang ada. Contoh-contoh yang demikian ini dapat
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan materi pembelajaran. Dengan demikian,
selain siswa dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai konsep-konsep toleransi baik
secara teori yang di dapat di kelas, siswa juga dapat menjalankan praktik pembiasaan
langsung di masyarakat dengan menempatkan keluarga tetap sebagai sumber utama
pertimbangan nilai-nilai luhur atau kebajikan yang harus mereka ilhami dan realisasikan.
270 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
Dalam artian lain, proses pembiasaan yang merupakan inti dari pendidikan budi pekerti
terus berlangsung tidak hanya di lingkup pendidikan, melainkan di semua pusat
pendidikan tersebut.
Apabila konsep Tripusat Pendidikan tersebut dapat benar-benar dioptimalkan guna
mengembangkan pendidikan budi pekerti di sekolah dasar, maka siswa akan terlahir
sebagai manusia Indonesia yang matang secara intelektual dan sosial sejak menempuh
jenjang pendidikan paling dasar. Hal ini dikarenakan mereka telah mendapatkan
pengalaman belajar yang utuh. Selain itu, implementasi konsep Tripusat Pendidikan
dalam pengembangan pendidikan budi pekerti ini juga dapat meminimalisir adanya
“pengkambing-hitaman” pada guru atau pihak sekolah oleh orang tua bahkan
masyarakat sebagai pihak yang paling harus bertanggung jawab saat terjadi
permasalahan sosial yang berasal dari tindakan para generasi muda yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Mengingat pada dasarnya Tripusat Pendidikan dalam
pengembangan pendidikan budi pekerti berintikan pada sinergi dari setiap pusat
pendidikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan dapat mendorong
tercapainya kebijakan-kebijakan pendidikan yang berbasis pada penciptaan manusia
Indonesia yang berbudi pekerti luhur dan dapat menghadapi segala tantangan zaman.
PENUTUP
Berdasarkan pada pembahasan yang ada, dapat disimpulkan bahwa upaya
mengembangkan pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar melalui pengoptimalan
konsep Tripusat Pendidikan adalah dengan mengoptimalkan peran keluarga dan
masyarakat untuk ikut serta bersinergi bersama pihak sekolah untuk mendukung
kegiatan-kegiatan pembiasaan bagi siswa. Hasil yang diperoleh dari pembiasaan dengan
pengoptimalan tiga pusat pendidikan tersebut adalah siswa mendapatkan pengalaman
belajar yang utuh sehingga penciptaan manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur
tersebut akan lebih mudah untuk dicapai dibandingkan hanya menggunakan sekolah
sebagai tumpuan utama. Karena tanggung jawab menciptakan generasi muda yang siap
memimpin masa depan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Aldina, E. 2014. Budaya Kekerasan antar Anak di Sekolah. Jurnal Info Singkat, 6(9).
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
271
Dewantara, K.H. 2013. Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka (Kependidikan). Yogyakarta: UST Press Bekerjasama dengan Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa.
Elfrianto. 2015. Pendidikan Budi Pekerti Pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutjipto. 2014. Urgensi Keseimbangan Pendidikan Budi Pekerti di Rumah dan Sekolah.
Jurnal EduTech.
Zulfani, M.H. 2014). Kampanye Pencegahan Bullying Di Lingkungan Sekolah. Jurnal
Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain.
272 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
IMPLEMENTASI KOMPETENSI INTI SIKAP SPIRITUAL
(KI-1) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KOTA YOGYAKARTA
Siti Aminah
Rizaldi
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstract
The purpose of this research is to describe the implementation of the
spiritual attitude core competence (KI-1) in state elementary schools in
Yogyakarta in terms of: (a) planning, and (b) implementing. This research is an
evaluation program with the quantitative descriptive approach, and the evaluation
model used is the Discrepancy Model. The subjects in the evaluation were
teachers and principals. The sample was established using the purposive random
sampling technique. The variables in this study included spiritual attitude core
competence (KI-1). The techniques and instruments used in this evaluation were
an observation by using observation sheets, study of lesson plans using worksheet,
and interview using interview guide as collecting data technique and instruments.
The content validity using Aiken’s formulation was used as the instrument
validity. The instruments’ reliability was obtained by applying Cohens’ Kappa
technique calculation. The results of this research are as follows. First, the
implementation of spiritual attitude core competence in state elementary schools
in Yogyakarta City is in a good category, with the score of 20.87. Second, the
planning conducted by the teachers in state elementary schools in Yogyakarta
City regarding the integration of spiritual attitude core competence and social
attitude core competence in lesson plan is categorized as very good with the score
of 36.
Keywords: Evaluation, program
competence (KI-1).
implementation,
spiritual
attitude core
PENDAHULUAN
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuat kurikulum yang
dijadikan acuan atau pedoman. Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang
diaplikasikan dalam pembelajaran. Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
273
meningkatkan kualitas pendidikan dan mewujudkan pendidikan nasional yakni melalui
pengembangan kurikulum 2013.
Faktor faktor dikembangkannya kurikulum 2013 yakni untuk menjawab tantangan baik
dari internal, eksternal, penyempurnaan pola fikir serta penguatan tata kelola kurikulum [1].
Lebih lanjut urgensi dilakukannya pengembangan kurikulum sebagaimana pendapat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode sebelumya, yakni Muhammad Nuh adalah
untuk menyesuaikan perkembangan zaman agar tidak menciptakan generasi yang “usang”,
namun menciptakan generasi yang mengikuti perkembangan zaman. Terlebih lagi
ditambahkan bahwa “tidak ada kurikulum yang abadi” [2]. Jadi pengembangan kurikulum
perlu dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman dan diharapkan dapat mewujudkan
pendidikan yang berkualitas serta menghasilkan generasi yang berkualitas pula.
Tujuan perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menyeimbangkan kognitif, afektif dan
psikomotor. Terlebih lagi perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menekankan kompetensi
inti spiritual, yang tidak terdapat pada kurikulum sebelumnya. yang semula hanya tertuju pada
sikap sosial, sekarang berkembang dengan adanya sikap spiritual.
Salah satu poin penting yang ditekankan pada implementasi kurikulum 13 yakni pada
aspek kompetenasi inti (KI). Kompetensi inti (KI)
merupakan terjemahan atau
operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah
menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu.
Gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek afektif, kognitif,
psikomotor yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata
pelajaan [3]. Dengan demikian, dapat disimpulkan kompetensi inti adalah kualitas yang harus
dimiliki seorang peserta didik setelah mengalami proses pembelajaran. Setiap mata pelajaran
yang diajarkan hendaknya memiliki dan mengajarkan keempat kompetensi dasar tersebut.
Dari keempat kompetensi inti yang telah dijelasakan sebelumnya, kompetensi sikap
spiritual merupakan bagian kompetensi yang tidak kalah pentingnya untuk peserta didik.
Kompetensi spiritual merupakan suatu nilai yang bersifat religius, yang berhubungan dengan
ajaran agama dan Tuhan. Aspek kompetensi sikap spiritual diharapkan mampu menjadikan
peserta didik memiliki akhlak mulia dan taat terhadap nilai-nilai ajaran agama.
Salah satu faktor yang bisa meningkatkan kompetensi sikap spiritual peserta didik
adalah melalui lingkungan. Sikap spiritual dan sikap sosial seseorang dapat ditingkatkan jika
274 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
lingkungannya dapat kondusif [4]. Salah satu lingkungan yang berperan penting di sekolah
adalah lingkungan kelas yang diampu seorang pendidik. Seorang pendidik tidak hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan namun juga mendidik melalui nilai nilai yang disampaikannya.
Nilai nilai yang harus disampaikan oleh pendidik di kelas yakni sikap spiritual. Oleh karena
itu, pendidik hendaknya dapat mengimplementasikan kompetensi sikap spiritual pada
pembelajaran dengan optimal dan maksimal.
Tujuan perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menyeimbangkan kognitif, afektif dan
psikomotor. Terlebih lagi perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menekankan kompetensi
inti spiritual, yang tidak terdapat pada kurikulum sebelumnya. Hal ini sebagaimana tercantum
dalam Permendikbud No.64 Tahun 2013 tentang Standar Isi pada kurikulum Tahun 2013,
terdapat pengembangan dari domain afektif, yang semula hanya tertuju pada sikap sosial,
sekarang berkembang dengan adanya sikap spiritual [5].
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya penerapan KI-1, apabila aspek KI-1
dapat diimplementasikan dengan baik, hasil belajar peserta didik diharapkan tidak hanya
berada pada ranah kognitif namun juga pada ranah afektif serta psikomotor [6]. Di samping
itu, dengan diterapkannya KI-1 dalam proses pembelajaran, diharapkan peserta didik
memiliki akhlak dan ketakwaan kepada Tuhan melalui pengintegrasian KI-1 dalam proses
pembelajaran. Hal lain yang menjadikan pentingnya KI-I adalah karena KI-1 menjadi
pembeda kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan urgensi di atas, KI-1 hendaknya dapat diimplementasikan pada
semua mata pelajaran mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA. Salah satu cara
mengimplemetasikan KI-I pada saat proses pembelajaran adalah dengan menggunakan model
tematik
integratif.
Pendekatan
tematik
integratif
merupakan
pendekatan
yang
diimplementasikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar.
Akan tetapi, berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap guru SDN di kota
Yogyakarta. diperoleh informasi bahwa secara keseluruhan para pendidik merasa kesulitan
dalam mengimplementasikan KI-1 dan KI-2. Kesulitan yang dikeluhkan para pendidik adalah
sulitnya dalam mengkaitkan materi dengan kompetensi inti sikap spiritual. Salah satu faktor
kesulitan tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan referensi yang dimiliki
pendidik.
Kesulitan
lainnya
yang
dialami
para
pendidik
adalah
sulitnya
untuk
mengimplementasikan KI-1. Hal ini disebabkan jika dicermati dengan seksama kompetensi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
275
inti pengetahuan (KI-3) dan kompetensi inti keterampilan (KI-4) bersifat tersurat dan dapat
dilihat dengan kasat mata, artinya kompetensi inti pengetahuan (KI-3) dan kompetensi inti
keterampilan (KI-4) dapat dilihat dengan jelas dari muatan materi dan kegiatan yang terdapat
pada buku pelajaran peserta didik, sedangkan kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) bersifat
tersirat, artinya materi KI-1 tidak bisa dilihat pada buku pelajaran peserta didik, KI-1
disampaikan secara tidak langsung (inderect teaching) oleh pendidik pada saat
menyampaikan KI-3 dan KI-4 pada proses pembelajaran.
Selain itu penyampaian KI-1 akan akan dipengaruhi kompetensi dari seorang pendidik,
karena setiap pendidik mempunyai cara yang berbeda dalam menyampaikan KI-1 pada proses
pembelajaran. Faktor lain penyebab kurang maksimalnya implementasi KI-1 pada proses
pembelajaran yakni kurang terbiasanya pendidik dalam mengimplementasikan KI-1,
terkadang kurangnya implementasi KI-1 dan KI-2
dikarenakan
pendidik lebih
mengutamakan KI-3 yakni pengetahuan, tidak jarang pendidik mengejar target materi yang
harus dijelaskan sehingga KI-1 terabaikan.
Berdasarkan fakta yang di atas. Dapat disimpulkan bahwa guru merasa belum optimal
dalam mengimpelmentasikan KI-1 maupun KI-1. Selain itu berdasarkan permasalahan yang
telah dipaparkan di atas perlu rasanya dilakukan penelitian evaluasi. Penelitian dengan judul
“implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota
Yogyakarta” penting untuk dikaji dan dievaluasi. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana
perencanaan dan pelaksanaan KI-1 doleh pendidik pada proses pembelajaran,
Sehingga
dengan dilakukan penelitian evaluasi ini diharapkan kedepannya aspek K1-1 dapat
diimplementasikan dengan maksimal oleh para pendidik pada proses pembelajaran, dan
tujuan dikembangkannya kurikulum 2013 dapat dicapai dengan optimal.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini merupakan evaluasi program, Model evaluasi yang akan
digunakan adalah model evaluasi Discrepancy, model ini dikemukakan oleh Malcolm
Provous [7]. Model evaluasi
Discrepancy dipilih karena peneliti ingin mengidentifikasi
apakah terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi (standar) dengan yang
sebenarnya terjadi di lapangan (performance) [8], dalam penelitian ini yakni
terkait
implementasi KI-1. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriftif kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk mengambarkan kondisi implementasi KI-1
276 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Data akan diperoleh dari lembar observasi,
lembar telaah dokumentasi dalam hal ini yakni RPP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana implementasi kompetensi inti
sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta. Namun implementasi hanya
difokuskan pada guru. Artinya peneliti ingin melihat apakah guru menyampaikan,
menanamkan atau menstimulus nilai nilai sikap spiritual ketika proses pembelajaran
berlangsung di kelas.
Kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) yakni nilai nilai sikap spiritual yang disampaikan,
ditanamkan atau distimulus oleh pendidik secara tidak langsung ketika proses pembelajaran
berlangsung, yang disesuaikan dengan tema yang akan diajarkan. Tema yang akan digunakan
dalam penelitian ini yakni tema delapan mengenai ekosistem, pada sub tema satu yakni
komponen ekosistem dan pada sub tema dua mengenai hubungan makhluk hidup dalam
ekosistem. Tema ini akan diajarkan pada semester dua, tahun ajaran 2015/2016 pada kelas
lima Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta. Komponen nilai nilai sikap spiritual yang
seharusnya disampaikan,ditanamkan atau distimulus oleh guru diantaranya yakni: (1)
menerima; (2) Menjalankan; dan (3) Menghargai [8].Pelaksanaan
ketiga sub indikator
tersebut akan diukur dengan menggunakan lembar observasi.
Hasil Analisis
1. Pelaksanan Kompetensi inti sikap spiritual (KI-1)
Hasil analisis dari penelitian evaluasi terhadap implementasi kompetensi inti sikap
spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta diketahui yakni, jika dilihat secara
umum implementasi kompetensi inti sikap spiritual termasuk dalam kategori baik dengan
perolehan skor sebesar 20,87. Hasil analisis dalam kategori tersebut diperoleh dengan
membandingkan skor perolehan dengan tabel kriteria keberhasilan evaluasi. Kriteria
keberhasilan evaluasi implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar
Negeri Kota Yogyakarta dapat dilihat dalam tabel berikut.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
277
Tabel 1: Kategorisasi Evaluasi Implementasi Implementasi Kompetensi Inti Sikap
Spiritual (KI-1)
Kriteria
Sangat Baik
Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
Skor
X ≥ 30
30 > X ≥ 20
20 > X ≥ 10
X < 10
Berdasarkan tabel kriteria evaluasi di atas, dapat diketahui hasil pelaksanaan kompetensi
inti sikap spiritual (KI-1)) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut.
Tabel 2: Hasil Evaluasi Implementasi Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) di SDN
Kota Yogyakarta:
Pelaksanaan
KI-1
Sko
r
%
Kategor
i
Menerima
13,0
32,50
Menjalankan
Menghargai
29,2
20,4
73,00
51,00
Kurang
Baik
Baik
Baik
Berdasarkan hasil analisis penelitian, diperoleh informasi bahwa pelaksanaan
kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta secara
keseluruhan termasuk dalam kategori baik. Perolehan pelaksanaan kompetensi inti sikap
spiritual berdasarkan hasil observasi yakni diperoleh skor sebesar 20,87, dengan persentase
52,75. Namun jika dilihat dari tiap sub indikator maka diperoleh skor yag berbeda beda. Sub
indikator pertama yakni menerima diperoleh skor sebesar 13,0 dengan persentase 32,50. Sub
indikator kedua yakni menjalankan diperoleh skor 29,2 dengan persentase 73, 00. Sedangkan
untuk sub indikator ketiga diperoleh skor sebesar 20,87 dengan persentase 51.00. Jadi dapat
disimpulkan berdasarkan skor tersebut, sub indikator kedua merupakan sub indiktor yang
mendapat persentase tertingi diantara sub indikator lainya yang terdapat pada indikator
kompetensi itni sikap spiritual (KI-1). Agar lebih jelas dan mudah difahami berikut rincian
grafik pelaksanaan K-1 :
278 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
Gambar 1. Pelaksanaan Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) Secara Keseluruhan
Di SDN Kota Yogyakarta.
2. Perencanan Kompetensi Inti Sikap Spirtual (KI-1)
Selain pelaksanaan KI-1 yang diperoleh berdasarkan teknik observasi yang dilakukan
terhadap para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta, implementasi kompetensi inti
sikap spiritual juga dilihat dari perencanaan yang dilakukan oleh para guru. Perencanaan
tersebut dilihat dari diintegrasikanya nilai nilai sikap spiritual pada RPP. Artinya RPP yang
telah dibuat oleh guru akan ditelaah oleh tiga orang penelaah untuk melihat apakah nilai nilai
sikap KI-1 telah terintergrasi pada RPP yang telah dibuat para guru.
Berdasarkan hasil analisis telaah RPP, diperoleh informasi bahwa perencanaan yang
dilakukan para guru dalam mengintegrasikan nilai sikap spiritual ke dalam RPP dapat
dikategorikan sangat baik dengan perolehan skor 30. Artinya, RPP yang dibuat para guru di
Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta telah mengandung nilai nilai sikap spiritual yang akan
diajarkan kepada peserta didik ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas.
Hasil analisis RPP diperoleh informasi bahwa para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota
Yogyakarta telah mencantumkan Nilai nilai sikap spiritual dibuat oleh. Hasil analis tersebut
dapat dilihat pada grafik perencanaan terkait diintegrasikannya nilai kompetensi inti sikap
spiritual (KI-1) ke dalam RPP oleh guru Di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta sebagai
berikut:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
279
Gambar 2: Perintegrasian Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) Dan Kompensi Inti
Sikap Sosial (KI-2) Oleh Guru Di SDN Kota Yogyakarta Ke Dalam RPP.
SIMPULAN
Berdasarkan dari hasil analisis dan pembahasan, implementasi kompetensi inti sikap
spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perencanaan yang dilakukan para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta terkait
peintegrasian nilai nilai kompetensi inti sikap spiritual dan kompetensi inti sikap sosial
pada RPP termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini dibuktikkan dengan perolehan skor
dari telaah RPP yang dibuat para guru diperoleh skor sebesar 30. artinya para guru telah
menuliskan atau mengintegrasikan nilai nilai sikap kompetensi inti sikap spiritual dan
kompetensi inti sikap sosial ke dalam RPP.
2. Pelaksanaan kompetensi inti sikap spiritual di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta
termasuk dalam kategori baik. Hal ini dibuktikan dengan perolehan skor sebesar 20,87 dan
persentase 52,17.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid & Chaerul Rochman. (2014). Pendekatan ilmiah dalam implementasi kurikulum
2013. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abdullah. (2014) Pengembangan kurikulum teori & praktik. Jakarta: Raja Grafindo.
Dana Clark Baldwin. (2008). Spiritual Identity: Evaluating a Seminar on Spiritual Identity on
Spiritual Wellness. Journal by ProQuest LLC.
Guler Duman. (2014). Evaluation Of Turkish Preschool Curriculum Objectives In Terms Of
Values Education. Journal Of Procedia - Social And Behavioral Sciences 152, 978 – 983.
Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 64, Tahun
2013, Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah.
280 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
Mulyasa (2014). Pengembangan implementasi kurikulum 2013. Bandung: Rem aja Rosda
Karya.
Fernandes. (1984). Evaluation of educational. Jakarta: National Education Planning.
Kirkpatrick Donald. L & Kirkpatrick James. D. (2012) Evaluating training programs third
edition.
Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun
2013 Pasal 1 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. (2011). Kurikulum dan
pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
281
SASTRA ANAK SEBAGAI MEDIA PENANAMAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Siti Anafiah
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email: [email protected]
Abstract
Various problems concerning the social and cultural aberrations that occur in society today is
a homework for all parties. Character education for children are issues that must be
prioritized because they are the nation's future. One medium that can be used to infuse
character education of children is children's literature. Children's literature is a good reading
for children. Character education is contained in the builder elements of children's literature.
By reading literature, children feel comforted and may benefit in it.
Keywords: Character Education, Children's Literature
PENDAHULUAN
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan,
kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah
terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik,
seperti surat kabar, televisi, dan internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat
disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan
semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan
seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya
menggalakkan pendidikan karakter.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi
salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar,
dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang diindentifikasi bersumber dari
gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini
tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas,
namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut
memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral
Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal
282
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi
kebiasaan dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Pendidikan karakter sebenarnya sudah ada sejak dulu seperti apa yang diungkapkan
Ki Hajar Dewantara melalui Metode Among, dimana ada tiga unsur pendidikan yang harus
berjalan sinergis yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan Metode Among
diharapkan anak akan tumbuh sesuai kodrat dan keadaan budaya sendiri, sehingga ada tiga
hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang
berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang
semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen, dan konsentris.
Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut “membangun budaya agar siswa selalu siap
dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan
disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri dan semua ini dapat dimulai
dari kita semua (dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 2013: 70)
Sekolah merupakan salah satu sumber transformasi pengetahuan untuk mengajarkan
pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu ilmu pengetahuan yang dapat mengajarkan
pendidikan karakter adalah sastra anak. Sastra merupakan media yang efektif untuk mendidik
anak. Keberadaan sastra sebagai bacaan anak merupakan kontruksi yang diadakan, yang
dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu lengkap dengan ideologi yang membangunnya.
Sastra adalah refleksi kehidupan masyarakat dimana sastra itu dilahirkan. Oleh karena itu,
dapat disebutkan bahwa sastra tidak hanya bersifat estetik. Sastra dapat dipakai sebagai alat
kontrol terhadap penyimpangan nilai-nilai kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, hukum, dan agama. Oleh karena itu, kehadiran sastra anak juga tidak terlepas dari
ideologi yang menyelubunginya. Dalam kaitannya dengan ideologi ini, ada kesadaran mental
anak yang ingin diubah orang dewasa.
Pendidikan karakter dapat diajarkan melalui sastra anak. Hal ini sesuai dengan
manfaat sastra anak. Nilai manfaat sastra telah banyak diekspose oleh berbagai cendekia,
salah satunya Horatius (via Teeuw, 2003:85) mengemukakan bahwa sastra berfungsi dulce et
utile atau bermanfaat sekaligus menghibur. Tarigan (1995:35) memberi catatan tersendiri
untuk sastra anak. Menurut Tarigan, sastra anak pada khususnya memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi pembacanya salah satunya adalah menanamkan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter dapat terlihat dalam unsur-unsur pembangun dalam karya sastra anak.
Melalui unsur-unsur pembangun tersebut, sastra hadir untuk menanamkan nilai-nilai karakter
yang bermanfaat bagi pembacanya yaitu anak.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
283
PEMBAHASAN
Sastra Anak
Sastra berasal dari bahasa sansekerta. Sastra secara etimologi berasal dari kata sas dan
tra. Sas berarti mengajar, mendidik dan tra berarti media, sarana, alat. Sastra berarti alat atau
sarana untuk mengajar. Jadi, sastra anak berarti alat untuk mengajar anak. Cakupan sastra
anak membentang luas sekali, atau yang lazim dikenal sebagai genre, bahkan melebih
cakupan sastra dewasa. Ia bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas. Sastra lisan dapat
berupa cerita si Ibu kepada anaknya, Ibu Guru kepada murid-murid TK-nya, murid-murid SD
kelas awalnya, nyanyian, tembang-tembang dolanan, rengeng- rengeng lagu ninabobo, dan
lain-lain. Sastra tertulis dapat berupa berbagai hal yang memang secara sengaja ditulis untuk
anak dengan menekankan pentingnya unsur keindahan. Jadi, ia dapat berupa puisi, cerita fiksi,
biografi tokoh, sejarah, berbagai jenis buku informasi, naskah sandiwara, dan lain-lain yang
lazimnya disertai gambar-gambar menarik. Sastra aktivitas adalah sesuatu yang berupa
penampilan seperti drama, baca puisi/deklamasi (Nurgiyantoro, 2005:56)
Santosa (via Rosdiyana, 2008:5.4) mengemukakan bahwa sastra anak adalah karya
seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya dominan yang bermediumkan bahasa, baik lisan
maupun tertulis, yang secara khusus dapat dipahami oleh anak dan berisi tentang dunia yang
akrab dengan anak-anak. Perkembangan kepribadian akan terlihat tatkala anak mencoba
memperoleh kemampuan untuk mengekspresikan emosinya terhadap orang lain, dan
mengembangkan perasaannya mengenai harga diri dan jati dirinya. Cerita dalam sastra anak
secara tidak sadar telah mendorong atau mengajari anak untuk mengendalikan berbagai
emosi.
Sosialisasi dalam rangka perkembangan sosial mengacu pada suatu proses yang
digunakan oleh anak-anak untuk memperoleh prilaku, norma-norma, dan motivasi yang
selalu dipantau serta dinilai oleh keluarga dan kelompok budaya mereka. Ada tiga proses
yang sangat berpengaruh terhadap proses sosialisasi dalam dunia anak-anak: (1) proses
reward and punishment, (2) proses imitasi atau peniruan, dan (3) proses identifikasi.
Nurgiyantoro (2005: 36-48) menyatakan bahwa sastra anak memiliki kontribusi bagi
nilai personal dan pendidikan bagi anak. Nilai personal sastra bagi anak antara lain adalah
perkembangan emosional anak, perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi,
pertumbuhan rasa sosial dan perkembangan rasa etis dan religius. Nilai pendidikan sastra
bagi anak antara lain adalah membantu anak dalam hal eksplorasi dan penemuan,
perkembangan bahasa, pengembangan nilai keindahan, nilai-nilai multikultural, penanaman
kebiasaan dan membaca.
284
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam dunia pendidikan seperti
disebutkan dalam UU Sisdiknas No 20 Pasal 3 Tahun 2003 bahwa, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut seharusnya
pendidikan karakter diberikan pada anak-anak sedini mungkin.
Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami
setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal),
dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME
(spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang
pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak (Wibowo, 2011). Untuk itu menumbuhkan
pemahaman positif pada diri anak salah satunya dengan memberikan kepercayaan untuk
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri sangatlah penting. Membiarkan anak
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan juga mempengaruhi pembentukan karakter
seorang anak. Jika anak berada pada lingkungan yang baik dan sehat tentunya dia akan
tumbuh dengan karakter yang baik pula, demikian juga sebaliknya.
Selanjutnya Megawangi (2006:40) merumuskan bahwa dalam pendidikan karakter
terdapat sembilan nilai karakter, yang mana sembilan nilai karakter inilah yang kemudian
diajarkan pada siswa yang disebut dengan sembilan pilar karakter, yaitu sebagai berikut.
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggung jawab
3. Kejujuran/amanah, bijaksana
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong
6. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan
Pendidikan sangat berperan di dalam menentukan pembentukan karakter anak. Hal ini
dapat dipahami dari ayat berikut: “Dan ALLAH mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
285
keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dia memberikamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahl, 16: 78). Dalam ayat tersebut memberi petunjuk
bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati
sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan
pendidikan yang baik. Pendapat lain menyatakan menyatakan bahwa setiap orang tua dan
guru ingin membina anaknya menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian dan sikap
mental yang kuat serta akhlak yang terpuji. Semuanya itu dapat diusahakan melalui
pendidikan, baik pendidikan di sekolah atau di luar sekolah.
Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan dan pendengaran akan
menentukan pribadinya. Dalam hal ini sosialisasi juga berperan penting dalam pembentukan
karakter anak seperti sosialisasi di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sosialisasi di
dalam keluarga, keluarga yang merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak
dididik dan dibesarkan. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya
agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan
dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Pada kondisi keluarga yang
broken home atau bermasalah, kurangnya kebersamaan, kurangnya interaksi antarkeluarga,
dan orang tua yang otoriter, serta adanya konflik dalam keluarga dan kekerasan, baik
kekerasan ayah terhadap ibu atau sebaliknya, kekerasan ibu terhadap anaknya atau sebaliknya,
hal ini akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa dan karakter anak. Tetapi akan
berbeda jika para orang tua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat
buruk sejak dini, memberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan
kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan dan pujian), maupun secara fisik
(ciuman, elusan di kepala, pelukan dan kontak mata yang mesra) karena anak-anak mudah
merekam semua kejadian disekitarnya. Dengan demikian, anak- anak akan merasakan kasih
sayang dari orang tua, berarti orang tua telah menyiapkan dasar kuat bagi karakter anak di
masa mendatang.
Dengan penjelasan di atas sangat jelas faktor yang bisa mempengaruhi karakteristik
seseorang adalah faktor alami atau fitrah, bisa disebut dengan keturunan atau perwatakan dari
orang tua, dan karakter juga bisa di pengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar anak atau sosial.
Bila dia besar pada lingkungan dan sosial masyarakat yang baik maka dia memiliki karakter
yang baik, namun sebaliknya bila dia tumbuh pada lingkungan dan sosial yang buruk sangat
286
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
memungkinkan karakter anak tersebut akan membentuk sesuai dengan lingkungan (karakter
yang buruk).
Sastra Anak Media Penanaman Pendidikan Karakter
Sastra memunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan bermanfaat dalam dunia
pendidikan, yakni untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak,. Artinya, sastra
diyakini mempunyai andil yang tidak kecil dalam usaha pembentukan dan pengembangan
kepribadian anak. Jika dimanfaatkan secara benar dan dilakukan dengan strategi yang benar
pula, sastra diyakini mampu berperan dalam pengembangan manusia yang seutuhnya dengan
cara yang menyenangkan. Namun, usaha pembentukan kepribadian tersebut lewat kesastraan
berlangsung secara tidak langsung sebagaimana halnya pembelajaran etika, norma agama,
budi pekerti, atau yang lain.
Sastra hadir di tengah masyarakat pastilah karena memiliki andil, manfaat, bagi
kehidupan manusia. Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra yang notabene dihasilkan
oleh individu atau komunitas tertentu, pastilah mempunyai tujuan, manfaat yang akan
disampaikan. Pernyataan Horatius (via Teeuw, 2003:85) bahwa sastra bersifat sweet and
useful pada hakikatnya menunjukkan bahwa sastra berfungsi pragmatis bagi kehidupan sosial
masyarakat. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang
diidealkan mencakup berbagai aspek kehidupan seperti cara berpikir, bersikap, berasa,
bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Sastra
dipersepsi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu menggerakkan
emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu.
Tarigan (1995: 9-12) mengemukakan bahwa dalam sastra terdapat nilai-nilai yang
bermanfaat bagi perkembangan anak. Nilai-nilai itu antara lain; pertama, memberikan
kenikamatan dan kegembiraan terkait dengan cerita yang disuguhkan. Kedua, sastra
memberikan pengalaman baru. Ketiga, membantu mengembangkan imajinasi anak. Keempat,
mengembangkan wawasan anak menjadi perilaku insani. Kelima, memperkenalkan
kesemestaan alam bagi anak. Keenam, sumber utama penerusan dan penyebaran warisan
sastra dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai sastra itu akan bermanfaat bagi
pendidikan anak antara lain meliputi perkembangan bahasa, perkembangan kognitif,
perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra anak memiliki banyak
manfaat yang bagi pembacanya khususnya anak. Salah satu manfaat sastra anak adalah
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
287
menanamkan pendidikan karakter. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif
model kehidupan yang diidealkan seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara
memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Alternatif model
kehidupan tersebut ditampilkan dalam unsur-unsur pembangun karya sastra anak.
PENUTUP
Sastra anak merupakan bentuk karya seni yang bermanfaat dan menghibur bagi anak.
Sastra hadir sebagai bacaan untuk anak selain menghibur juga dapat bermanfaat untuk
mengajarkan pendidikan karakter. Hal ini dapat menjadi alternatif media dalam menanamkan
pendidikan karakter yang selama ini banyak diajarkan lewat pendidikan agama, pancasila,
dan ilmu sosial. Melalui sastra, anak tidak merasa digurui, karena pendidikan karakter hadir
dalam unsur-unsur pembangunnya baik intrinsik maupun ekstrinsik.
DAFTAR PUSTAKA
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 2013. Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: UST Press.
Megawangi, Ratna 2006. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rosdiyana, Yusi. dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Wibowo, Timothy. 2011. Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini, diunduh
dari http://www.pendidikankarakter.com. diakses pada tanggal 21 Mei 2016
288
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
INTEGRASI PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK MORAL SISWA
Try Hariadi, M. Pd
IKIP PGRI Pontianak
Email: [email protected]
Abstract
Education is an obligation that must be possessed man throughout his life.
Education is very important, because without human education will be difficult
to develop and backward. The emergence of symptoms among young people,
even parents, who showed that they ignore the moral values and social manners
that are necessary in a civilized society. Lack of success of education starting
from the lack of ability of teachers in instilling the values are correct, accurate,
balanced and integrated. Therefore, the integration of the values that have been
planned for mempribadi into rules of behavior of learners is needed to improve
the quality of learning outcomes as one indicator of the success of the strategy
for education in accordance with its intended purpose.
Keywords: Integration, Values Education, Education Indonesian, and Moral
Students.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah tonggak terjadinya perubahan pola pikir masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan diyakini sebagai langkah awal perubahan positif pada diri
siswa. Nilai-nilai dalam pendidikan merupakan sebuah entitas yang harus diaplikasikan
pada diri anak semenjak dini dalam keseluruhan kehidupannya sehari-hari baik di
rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan salah satu misi
pendidikan kita yaitu "transfer of values" (penyampaian nilai-nilai). Melalui pendidikan,
anak mampu berinteraksi dengan lingkungan, menjaga dan memelihara tata kelola
kehidupan dalam masyarakat.
Mulyana (2004: 106) menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah
menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan
spiritual. Dunia pendidikan di Indonesia seakan tiada hentinya menuai kritikan dari
berbagai kalangan karena dianggap tidak mampu melahirkan alumni yang berkualitas
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
289
manusia Indonesia seutuhnya seperti cita-cita luhur bangsa dan yang diamanatkan oleh
Undang-undang Pendidikan. Nata (2003: 45) berpendapat bahwa permasalahan
kegagalan dunia pendidikan di Indonesia tersebut disebabkan oleh karena dunia
pendidikan selama ini yang hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan
keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.
Semua guru mata pelajaran terutama pendidikan budi pekerti terlebih lagi guru
kelas di SD wajib menanamkan pembentukan moral ini kepada para siswanya (UUD
1945 dan UU Pendidikan). Tidak ada alasan yang dapat digunakan bahwa membentuk
moral tidak dapat diterapkan pada mata pelajaran lain, guru yang kreatif pasti mampu
memasukkan pendidikan karakter di dalamnya. Begitu pula dengan mata pelajaran
bahasa Indonesia.
Robin dan Timothy (2008: 69) mengartikan pembelajaran sebagai perubahan
perilaku yang relatif permanen terjadi sebagai hasil pengalaman. Berkaitan dengan
pembelajaran, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan Bab IV pasal 19 tentang standar proses menegaskan bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memeberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
Bertens (2002:6) mengartikan etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Menurut Soedijarto (1997: 333) pengintegrasian nilai-nilai yang telah
direncanakan untuk mempribadi ke dalam aturan tingkah laku belajar peserta didik
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar sebagai salah satu indikator
strategi bagi keberhasilan pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Apalagi pengembangan pendidikan ke depan hendaknya merespon perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang diintegrasikan dengan etika keagamaan dalam
kehidupan sehari-hari (Suderajat, 2002: 17).
Berdasarkan permasalahan, fenomena, kondisi, dan kenyataan pendidikan nilai
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di atas, peneliti sangat termotivasi untuk
melakukan sebuah penelitian yaitu bagaimana strategi, proses, situasi dan kondisi serta
sistem evaluasi integrasi pendidikan nilai dalam pembelajaran yang sesungguhnya?.
290 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
Konsep Integrasian Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran
Pendidikan nilai merupakan proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan
yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai kehidupan serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat dan negara (Sumantri, 2007: 134). Mulyana, (2004: 119)
mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan kepada peserta didik agar menyadari
dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan
hidupnya. Dalam hal ini, yang menanamkan nilai kepada peserta didik bukan saja guru
pendidikan nilai dan moral serta bukan saja pada saat mengajarkannya, melainkan
kapan dan di manapun, nilai harus menjadi bagian integral dalam kehidupan.
Integrasi menurut Sanusi (1987: 11) adalah suatu kesatuan yang utuh, tidak
terpecah belah dan bercerai berai. Sedangkan yang dimaksud dengan integrasi
pendidikan nilai adalah proses memadukan nilai-nilai tetentu terhadap sebuah konsep.
Dalam mengimplementasikan konsep integrasi pendidikan nilai dalam pembelajaran di
sekolah, kita dapat merujuk referensi yang ditawarkan Bagir, dkk. (Sauri, tt: 11) yang
membaginya ke dalam empat tataran implementasi, yakni: tataran konseptual,
institusional, operasional, dan arsitektural.
Menurut Suwarna (2007: 33-37), dalam mengevaluasi proses integrasi
pendidikan nilai, kita dapat menggunakan teknik penilaian 5 P (papers and pencils,
portofolio, project, product, and performance. Sementara yang dimaksud adalah
product adalah hasil karya pembelajar atas kreativitasnya. Pembelajaran dapat membuat
karya-karya kreatif atas inisiatif sendiri, misalnya menghasilkan cerita pendek, karikatur
atau membuat puisi yang memuat budi pekerti. menurut Ki Hadjar Dewantara (1962:
485), pendidikan budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir
dan batin,dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum.
Performance atau performansi adalah penampilan diri. Sebenarnya, hakikat dari
pendidikan nilai adalah realisasi budi pekerti luhur dalam berbicara, bertindak,
berperasaan, bekerja, dan berkarya, pendek kata cipta, rasa, dan karsa dalam kehidupan
sehari-hari. Jika pembelajar telah dapat menampilkan budi pekerti luhur, berarti
internalisasi dan aplikasi pendidikan nilai telah tercapai.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
291
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif
analitik tipe studi kasus. Pendekatan kualitatif menuntut kehadiran peneliti di lapangan
karena peneliti merupakan instrumen utama penelitian (Sugiyono, 2009: 305, Arikunto,
2006: 17, dan Moleong, 2011: 168). Lokasi penelitiannya adalah di SD N 13 Sanggau
dengan subyek penelitiannya yaitu kepala sekolah, guru bahasa Indonesia, dan siswa
kelas 4 - 6. Adapun dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi,
wawancara, studi dokumentasi, survei dan kajian pustaka.
Temuan Penelitian
Penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, strategi
pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13
Sanggau dapat dilihat dari tiga tataran implementasi, yakni: konsep konseptual, konsep
operasional dan konsep institutional. Dalam tataran konseptual, strategi pengintegrasian
pendidikan nilai dalam pembelajaran dapat dilihat dari rumusan visi dan misi SD N 13
Sanggau. Adapun visi SD N 13 Sanggau adalah “Menjadi Sekolah Masa Depan yang
Melahirkan Generasi Berkarakter”. Melalui visinya, SD N 13 Sanggau hendak
menegaskan peranannya sebagai lembaga pendidikan yang memperhatikan terhadap
perubahan tingkah laku peserta didiknya.
Dalam tataran operasional, strategi penyampaian nilai-nilainya di SD N 13
Sanggau menggunakan strategi ekspilist. Nilai-nilai yang terkandung dalam materi
pembelajaran Bahasa Indonesia disampaikan secara jelas, tegas dan tersurat. Hal ini
dapat dilihat pada bacaan, contoh materi, soal, yang secara langsung mengarah pada
pendidikan nilai. Selain strategi eksplisit, penyampaian nilai melalui pembelajaran
Bahasa Indonesia pun disampaikan dengan menggunakan strategi induktif. Dalam
strategi ini, fasilitator kelas langsung meminta kepada siswa untuk membaca, meneliti,
mengkaji, nilai-nilai yang terintegrasi, kemudian mendeskripsikan dan menyimpulkan
nilai-nilai tersebut.
Sementara itu, dalam tataran institusional, strategi pengintegrasian pendidikan
nilai di SD N 13 Sanggau adalah dengan cara pembentukan institution culture yang
mencerminkan paduan antara nilai dan pembelajaran. Untuk mewujudkan strategi
tersebut
SD
N
13
Sanggau
menggunakan
292 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
kurikulum
pembelajaran
yang
mengintegrasikan pelajaran Bahasa Indonesia dengan mata pelajaran lainnya sehingga
tidak ada pendikotomian di antara mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa.
Kedua, proses pengintegrasian pendidikan nilai dapat dilihat dalam proses
pembelajaran Bahasa Indonesia yang meliputi tujuan, materi, metode, media, dan
sumber belajar. Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau adalah
agar siswa mengetahui dan memahami nilai-nilai komunikasi sehingga mereka memiliki
moral yang baik. Selain itu, dengan belajar Bahasa Indonesia mereka diharapkan dapat
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang empat aspek yang harus dikuasai oleh
siswa yaitu listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), writing
(menulis). Keempat aspek tersebut saling berkaitan dan sesuai yang diamanatkan dalam
kurikulum 2013, guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan
tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
Metode pembelajaran Bahasa Indonesia: metode ceramah bervariasi, tanya
jawab, diskusi, bermain peran, reward & punishment, bercerita, penugasan dan metode
observasi. Metode-metode tersebut digunakan dengan mengacu kepada metode Fun
Learning. Hal tersebut sesuai dengan konsep belajar SD n 13 Sanggau, yakni “belajar
sesuai cara otak belajar”. White board, internet, LCD, Laptop, spidol, karton, gunting,
televisi, dan VCD, menjadi media utama yang digunakan para pasilitator kelas dalam
proses pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau. Sedangkan sumber
pembelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan adalah buku Bahasa Indonesia. Dan
diperkaya oleh buku-buku yang ada di perpustakaan, internet dan lingkungan alam
sekitar.
Ketiga, penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengintegrasian
pendidikan nilai didukung oleh peraturan sekolah, tenaga pembina, dan sarana prasana.
Salah satu dari peraturan sekolah adalah tata tertib sekolah yang memuat hak, kewajiban,
sanksi, dan penghargaan bagi siswa, kepala sekolah, guru dan karyawan. Tata tertib
yang berkaitan dengan kepala sekolah, fasilitator kelas dan karyawan dibuat dan
disepakati ketika melakukan kontrak kerja dengan pihak manajemen yayasan.
Sedangkan peraturan untuk siswa, dibuat bersama-sama berdasarkan musyawarah
antara fasilitator kelas dengan siswanya masing-masing ketika awal tahun pembelajaran
baru. Selain peraturan, untuk menciptakan situasi dan kondisi sekolah yang kondusif
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
293
bagi pengintegrasian pendidikan nilai juga didukung oleh tenaga pembina yang secara
terus menerus melakukan bimbingan, arahan, dan pengawasan, terhadap segenap aspek
yang berkaitan dengan program tersebut.
Beberapa sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menciptakan situasi dan
kondisi sekolah yang kondusif bagi proses pengintegrasian pendidikan nilai dalam
pembelajaran di SD N 13 Sanggau seperti kelas-kelas, tempat ibadah, perpustakaan,
kamar kecil dan berbagai hiasan dinding dan ornamen lainnya. Selain faktor pendukung,
faktor penghambat yaitu kurangnya media komputer dan kesulitan yang sering dihadapi
para fasilitator kelas dalam menyiapkan bahan atau media pembelajaran sehingga
berdampak pada berkurangnya motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran.
Keempat¸ sistem evaluasi pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau cenderung menggunakan Penilaian Acuan
Patokan (PAP), Prestasi belajar siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok,
tetapi dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan PAP setiap
individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual
untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang,
demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan.
Adapun alat evalusi yang digunakan di SD N 13 Sanggau adalah penilaian kognitif (tes
tertulis dan tes lisan), penilaian psikomotorik/ keterampilan (unjuk kerja dan portofolio),
dan penilaian sikap (skala sikap dan lembar pengamatan).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa strategi pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
di SD N 13 Sanggau dapat dilihat dari tiga tataran implementasi, yakni: konsep
konseptual, konsep operasional dan konsep institutional. Proses pengintegrasian
pendidikan nilai dapat dilihat dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia yang
meliputi tujuan, materi, metode, media, dan sumber belajar. Penciptaan situasi dan
kondisi yang kondusif bagi pengintegrasian pendidikan nilai didukung oleh peraturan
sekolah, tenaga pembina, dan sarana prasana. Alat evaluasi yang digunakan di SD N 13
Sanggau menggunakan penilaian kognitif, penilaian psikomotorik/keterampilan dan
penilaian sikap.
294 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
DEPDIKNAS. 2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
Jakarta:
Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Karya Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Perguruan Taman Siswa.
Moloeng, Lexi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Sinar Grafika.
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Nata, A. 2003. “Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia”. Jakarta: Prenada Media.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Robin, Stephen P., & Judje, Timothy A. (Terjemahan: Diana Angelica, Ria Cahyani,
&Abdul Rosyid). 2008. Perilaku organisasi organisation behavior. Jakarta:
Salemba Empat.
Sauri, S (tt). Integrasi Imtak dan Imptek Dalam Pembelajaran. Makalah: Tidak
diterbitkan.
Soedijarto. 1997. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam
Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Tidak diterbitkan.
Suderajat, H. 2002. Konsep dan Implementasi Pendidikan berbasis Luas (BBE) yang
Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life Skill). Bandung: Cipta Cekas Grafika.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumantri, E. 2007. Pendidikan Nilai Kontemporer. Bandung: Program studi PU UPI.
Suwarna. 2007. Strategi Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dalam Pembelajaran
Berbasi.s
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
295
TANTANGAN PENDIDIKAN DASAR DI ERA POSMODERENISME
Yoga Adi Pratama
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Education is one of the efforts to improve the quality of human beings is the human
personality that is capable of being appreciated among our fellow beings. But in fact
in an era of education posmoderenisme be interpreted as an effort to improve the
human material itself, so it is not surprising that there is increasingly damaged
environment, social inequalities more visible, and also a crime to use technology
more and more. Thus the need to put any explanation of what should be done and
also school teachers in shaping the character of students in accordance with national
education goals.
Keywords: Education, Postmodernism, character.
Memaknai Konsep Pendidikan
Pendidikan telah dilaksanakan sejak dahulu hingga sekarang, secara sadar tidak
sadar setiap manusia selalu melaksanakan pendidikan.Secara etimologi pendidikan sering
disebut sebagai pedagogi yang artinya bimbingan yang di berikan kepada anak. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara dan juga perbuatan mendidik.
Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional
pendidikan sendiri diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
296
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
Jhon Dewey sebagai pakar pendidikan di dalam Ahmadi, (2001: 69) mengartikan
pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Sedangkan menurut Rosseau
dalam Ahmadi (2001: 69) pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung
maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya
mencapai kedewasaannya.
Dari beberapa penjelasan tersebut menunjukan bahwasannya setiap elemen
masyarakat adalah pemeran dan juga bertanggung jawab dalam membantu keterlaksanaan
pendidikan sebagai sebuah upaya mewariskan nilai-nilai kehidupan. Kemudian dari
beberapa pengertian mengenai pendidikan tersebut dapat terlihat bahwa setiap lapisan
masyarakat diharapkan mampu membentuk kepribadian seorang anak dalam mencapai
kedewasaannya.
Namun dalam pelaksanaannya pendidikan di jaman posmoderenisme pendidikan
lebih ditekankan kepada peningkatan intelektual siswa dari pada emosional atau
kepribadian. Banyak dari pelaksana pendidikan mengabaikan hal penting ini, dimana hal ini
akan berdampak pada kehidupan yang di cita-citakan di dalam Ideologi bangsa yaitu
Pancasila.
Posmoderenisme menurut Mukhrizal Arif (2014: 7) dapat di pahami sebagai
periode pemikiran, historis, dan kultur yang berbeda dengan era moderen. Sehingga
menurut saya pribadi di era posmoderenisme ini pendidikan harus mampu berperan lebih
aktif dalam meningkatkan karakter siswa tanpa mengabaikan kemampuan intelektual
karena anak merupakan insan yang mampu didik, untuk mencapai hal tersebut maka di
perlukan seorang guru yang memiliki kepribadian, potensi mengajarkan keahlian yang
dibutuhkan sehingga apa yang telah di cita-citakan dalam pendidikan nasional dapat
terlaksana.
Pendidikan sendiri dapat terlaksana dalam kehidupan manusia melalui berbagai
macam cara, karena setiap manusia memaknai pendidikan dengan caranya sendiri namun
memiliki tujuan yang sama. Menurut Ki Hadjar Dewantara (2013: 90) mengatakan bahwa
sifat yang bermacam-macam itu tidak dalam keadaan tetap, tetapi terus menerus berganti
berhubungan dengan pengaruh khodrat dan keadaan tadi, pergaulan dengan bangsa lain,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
297
sifat masyarakat macam baru dan sesamanya. Ini berarti bahwasannya setiap manusia
sebagai pelaksana pendidikan
menyesuaikan dengan zamannya karena setiap zaman
memiliki karakternya tersendiri dalam mendidik dan ini lah yang akan mempengaruhi
keterlaksanaan sebuah pendidikan.
Zaman globalisasi seperti sekarang dimana untuk mendapatkan sebuah informasi
terasa begitu mudah, sehingga pengaruh budaya barat begitu sangat terasa, hal ini harus
senantiasa di bendung oleh pendidikan yang mengedepankan karakter Pancasila sebagai
ideologi bangsa, dan juga kepribadian bangsa. Dimana di dalam Pancasila sendiri
senantiasa mengedepankan nilai-nilai agama. Nilai-nilai ini lah yang harus di bawa di
dalam pendidikan.
Negara Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara yang menjunjung
tinggi nilai agama, sehingga nilai agama yang senantiasa dapat di integrasikan dalam
pendidikan dan tidak memihak salah satu agama adalah senyum, salam, sapa, sopan, dan
santun (5S). Budaya 5S ini dapat terlaksana melalui pendidikan budi pekerti mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan harapan menjadi sebuah karakter manusia
Indonesia yang di kenal dengan keramahannya.
Tentu hal tersebut dapat terlaksana bukan hanya dalam sekolah, melainkan perlu
dukungan juga dari keluarga. Ki Hadjar Dewantara (2013: 374) didalam pedagogik
dikatakan, pendidikan orang seorang atau “pendidikan individual” itu berlaku di dalam
keluarga, sedangkan kemasyarakatan adalah tugas perguruan. Jelaslah bahwa untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan maka harus saling terjadi dukungan
antara keluarga dan juga sekolah guna mencapai tujuan Pendidikan Nasional.
Di dalam pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.” Kemudian di dalam pasal 31 ayat 5 disebutkan juga bahwa,
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.”
298
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
Sedangkan fungsi dari pendidikan nasional di dalam undang-undang nomor 20
tahun 2003 pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari beberapa uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam rangka
memajukan sebuah bangsa tidak ada jalan lain selain meningkatkan mutu pendidikan yang
bukan hanya memperhatikan kemampuan intelektual melainkan secara emosional.
Sehingga kemajuan teknologi tidak akan di salah gunakan dan tidak akan di jadikan sebagai
sebuah bahan untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, melainkan mampu di manfaat
secara maksimal memajukan diri dan juga lingkungan yang ada di sekitar.
Guru Sebagai Aktor Utama Dalam Membentuk Karakter Siswa di Sekolah
Perkembangan perjalanan hidup manusia seiring berjalannya waktu akan
membentuk kepada kepribadian yang lebih dewasa yang lebih memiliki etika yang mana
etika sendiri tidak berbicara mengenai benar atau salah, baik atau buruk namun etika
berbicara mengenai pantas atau tidak pantas. Tentu hal ini tidak di peroleh begitu saja, hal
ini dapt diperoleh dengan bantuan pendidikan yang ada di sekolah terutama sekolah dasar.
Sekolah dasar adalah tempat dimana anak pertama kali melaksanakan pendidikan
yang sebenarnya, dan disinilah pembentukan karakter melalui budi pekerti di bentuk, yang
mana budi pekerti ini perlu di biasakan dalam kehidupan sekolah dengan harapan akan di
bawa di rumah dan juga lingkungan masyarakat maka guru sebagai seorang pelaksana
pendidikan harus mendukung usaha ini dengan maksimal.
Di dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mana undangundang ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru dan serta meningkatkan
kualitas hidup ekonomi para guru. Profesionalisme guru di lihat dari kualifikasi akdemis
guru dimana dalam undang-undang ini guru mempunyai sekurang-kurangnya ijazah S1, hal
ini saya kira sebagai sebuah upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
299
Guru sebagaimana yang telah di ungkapkan sangatlah berperan dalam kemajuan
dari siswa dan juga siswi nya di sekolah sehingga guru harus memiliki nilai plus lain yang
tidak dimiliki oleh pra pekerja lain. Menurut Freddy (2012: 3) guru dahsyat adalah guru
yang bisa menginspirasi dengan nilai-nilai keajaiban (miracle values) yang menyertainya
dan membuat orang di sekelililng nya pun menjadi pribadi ajaib. Nilai keajaiban tersebut
antara lain adalah :
1. Motivasi (Motivation)
2. Integritas dan Inovatif (Integrity and Innovative)
3. Respek terhadap yang lain ( Respect Others)
4. Nilai Tambah (add value)
5. Komitmen 100% (100% Commitment)
6. Belajar, Bertumbuh dan Bergembira (learn grow and fun)
7. Pelayanan terbaik (excellent service)
Dengan nilai tersebut menjadikan ciri seorang guru dengan individu lain, karena
hiup matinya sekolah, maju atau mundurnya sekolah tergantung dari seorang guru. Seperti
falsafah pendidikan yang ada di Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo yang berarti di
depan kita memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang berarti ditengah membangun
prakarsa dan bekerjasama dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberi
semangat dan dorongan.
Kemudian dalam prakteknya semua guru harus senantiasa memiliki persamaan
kehendak secara nyata sehingga akan terlihat betapa istimewanya sebuah pendidikan
dengan aktor utama nya adalah guru. Nampaknya hal ini harus menjadi perhatian
pemerintah dan juga perguruan tinggi keguruan dalam mempersiapkan guru disekolah,
karena gelar sarjana pendidikan atau gelar sarjana magister pendidikan tidak akan
berpengaruh apa-apa ketika tidak di barengi dengan kepribadian yang baik dari seorang
guru itu sendiri.
Dalam peribahasa kita mengenal dengan istilah “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari” ini ada sindirian bagi seorang guru agar semaksimal mungkin memiliki
kepribadian yang baik, kepribadian yang dapat di contoh oleh siswa dan juga siswinya
300
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
dikelas. Ini juga adalah upaya untuk memajukan pendidikan budi pekerti yang ada di
sekolah.
Sekolah Sebagai Laboratorium Kehidupan
Sebelum terjun dalam kehidupan nyata, anak didik agar memiliki kemampuan dan
juga kepribadian yang baik. Pendidikan yang ada di sekolah bukan hanya memuat
mengenai materi pelajaran namun juga nilai-nilai kehidupan. Salah satu yang perlu di
terapkan dalam sekolah adalah pembiasaan senyum, salam, sapa, sopan dan juga santun
atau istilah yang lebih familiar adalah 5S. hal ini yang perlu di integrasikan dalam
pendidikan budi pekerti, mata pelajaran dan juga ekstrakulikuler yang ada di sekolah
terutama Sekolah Dasar (SD).
5S berfungsi sebagai sebuah budaya yang baik yang ada di sekolah, mengingat
bangsa Indonesia yang multikultur yang mana hal ini merupakan sebuah tantangan bagi
bangsa Indonesia. Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun akan menggambarkan bahwa
kehidupan harus senantiasa menghargai antara satu sama lain sehingga tawuran yang sering
terjadi antar anak sekolah, bully, bahkan tindakan pelecehan seksual akan mampu terkikis
jika individu memiliki kepribadian yang baik.
KBM di
kelas
Integrasi ke
dalam KBM
pada setiap
mapel
Budaya sekolah kegiatan
kehidupan keseharian di satuan
pendidikan
Pembiasaan dakam
kehidupan
keseharian di
satuan pendidikan
Integrasi kedalam
ekstrakulikuler pramuka
da, karya tulis dll
Kegiatan
ekstrakulik
Kegiatan
keseharian
di rumah
Penerapan pembiasaan
kehidupan keseharian yng
sama dengan di satuan
pendidikan
Sumber : Kementrian Koordinator Kesejahtraan Rakyat Republik Indonesia 2010
(Winataputra, 2012: 51)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
301
Dari gambar tersebut di atas dapat terlihat bahwasannya kegiatan belajar mengajar
yang ada di kelas, budaya sekolah, ekstrakulikuler, dan kehidupan keseharian di kelas
saling berhubungan satu sama lain dan menjadi hal yang penting dalam membangun
karakter siswa dan juga siswi sebagai manusia yang seutuhnya, karena pada hakikatnya
manusia sendiri terdiri dari unsur jasmani dan rohani dan di lengkapi dengan panca indera.
Menurut Sofyan (2014: 48) menjelaskan sistem budaya manusia ada yang bersifat
ideal (das sollen) yaitu pedoman bagi seseorang untuk berprilaku sesuai dengan yang
diharapkan, dan ada sistem budaya faktual hanya berbentuk hal-hal yang dianggap sesuai
dengan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari.
Menurut Ki Hadjar Dewantara (2013: 344) kebudayaan Indonesia yang sekarang
masih berupa kumpulnya segala kebudayaan daerah, harus mulai sekarang kita galang
menjadi kesatuan kebudayaan untuk seluruh rakyat.
1. Berhubungan dengan kesatuan alam, kesatuan sejarah, kesatuan masyarakat dan
kesatuan jaman, maka kesatuan kebudayaan Indonesia hanya soal waktu.
2. Sebagai bahan-bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan itu, perlulah segala
“puncak kebudayaan” yang terdapat di segenap daerah Indonesia, di pergunakan untuk
menjadi isinya.
3. Dari luar lingkungan kebangsaan perlu pula diambil bahan-bahan, yang dapat
memperkembangkan dan/atau memperkaya kebudayaan kita sendiri
4. Dalam memasukkan bahan-bahan, baik dari kebudayaan daerah-daerah maupun dari
kebudayaan asing perlu senantiasa diingat syarat-syarat kontinuiter, konvergensi dan
konsentrisiter.
5. Jangan di lupakan bahwa kemerdekaan bangsa tidak hanya merupakan kemerdekaan
“politik”, akan tetapi harus sanggup dan mampu mewujudkan kemerdekaan kebudayaan,
yakni sifat kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya
diatas dasar adab kemanusiaan yang luas.
Dari upaya menanamkan nilai kesatuan tersebut maka sekolah ahrus mempertegas
posisi sekolah sebagai sebuah lembaga pendidik yang secara konsisten terus melaksanakan
upayanya dalam menanamkan karakter bangsa Indonesia dan juga mengembangkan
kemampuan intelektual anak. Dengan demikian orang tua tidak lagi memaksakan
302
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
bahwasannya seorang anak harus mampu melakukan segalanya dalam bidang ilmu dan
prestasi tidak lagi dilihat dari nilai yang tertera di rapor namun juga dapat terlihat dari
kepribadiannya dalam pergaulan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dkk. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anwar Mufid, Sofyan. 2014. Ekologi Manusia. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Arif, Mukhrizal dkk. 2014. Pendidikan Posmoderenisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Faldi Syukur, Freddy. 2003. Mendidik dengan 7 Nilai Keajaiban. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Winataputra, S. Udin. 2012. Pendidikan Kewarganegraan dalam Perspektif Pendidikan
untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
303
Peran Etnomatematika dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar
Zainnur Wijayanto, M.Pd
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email: [email protected]
Abstract
Education and culture has a very important role in building the character
of the nation. The influence of modernization in a climate of globalization on
national life impact on eroding cultural values of the nation. The cause is a lack
of understanding and application of the importance of education and cultural
values in society. Characters of sublime nation can be embedded in the students,
one of them through the learning of mathematics. Learning mathematics in act
will form the students have the ability to think logically, systematically,
honestly, and disciplined in solving a problem both in maths, as well as other
areas of everyday life. One form of culture-based learning in the context of
mathematics is ethnomathematics. This paper will describe how
ethnomathematics role in building the character of elementary school students.
Keywords: Ethnomathematics, character, culture
PENDAHULUAN
Pendidikan dan budaya merupakan pondasi bagi bangsa yang bermartabat.
Aspek pendidikan dan kebudayaan juga merupakan aspek terpenting dalam membangun
karakter bangsa. Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus
dibentuk, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa
merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen
membentuk, membangun, dan mempertahankannya. Pendidikan karakter merupakan
upaya yang melibatkan semua pihak baik keluarga, sekolah dan masyarakat luas.
Pengaruh modernisasi dalam iklim globalisasi berdampak pada terkikisnya nilai
luhur budaya bangsa. Penyebabnya dikarenakan kurangnya pemahaman dan penerapan
terhadap pentingnya nilai budaya dalam masyarakat. Kebudayaan dapat dipahami
sebagai suatu sistem gagasan/ide yang dimiliki suatu masyarakat melalui proses belajar
dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat. Pendidikan
dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari,
karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu
304
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
masyarakat, dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu
dalam masyarakat.
Karakter siswa yang berbudi luhur dapat tertanam pada diri siswa diantaranya
melalui pembelajaran matematika. Hal tersebut dikarenakan belajar matematika akan
membentuk kemampuan berfikir logis, sistematis, jujur, dan disiplin dalam
memecahkan suatu permasalahan baik dalam bidang matematika maupun bidang lain
dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari peranannya yang semakin penting, pendidikan
matematika perlu mengantisipasi tantangan masa depan yang semakin rumit dan
kompleks. Salah satunya melalui melalui pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran
berbasis budaya merupakan pembelajaran bermakna kontekstual yang sangat terkait
dengan
komunitas
budaya
sehingga
menjadikan
pembelajaran
menarik
dan
menyenangkan. Pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini
tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah, termasuk pada proses
pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah. Pembelajaran berbasis budaya adalah
pembelajaran yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif berdasarkan
budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat diperoleh hasil belajar yang optimal
(Pannen, 2005).
Salah satu pembelajaran yang dapat menjembatani antara budaya dan
pendidikan
khususnya
matematika
adalah
etnomatematika.
Etnomatematika
(ethnomathematics) merupakan salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya dalam
konteks matematika. Etnomatematika diperkenalkan oleh D’Ambrosio (2006)
menyatakan bahwa etnomatematika dianalogikan sebagai lensa untuk memandang dan
memahami matematika sebagai suatu hasil budaya atau produk budaya.
Hakekat Etnomatematika
Etnomatematika adalah sebuah studi yang mengkaji hubungan antara
matematika dan budaya. Matematika sebagai ilmu dasar pun berkembang di seluruh
negara. Setiap negara mempunyai budaya (culture) yang berbeda sehingga
perkembangan matematika pun berbeda-beda karena dipengaruhi oleh culture yang ada.
Studi etnomatematika adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang
pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsepkonsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
305
sesuatu
yang
matematis.
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Barton
bahwa
“Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other
cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their
culture and which the researcher describes as mathematical” (Barton, 1994).
Etnomatematika juga didefinisikan sebagai matematika yang digunakan oleh
kelompok-kelompok masyarakat/budaya, seperti masarakat kota dan desa, kelompokkelompok pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia tertentu,
masyarakat pribumi, dan masih banyak kelompok lain yang dikenali dari sasaran/tujuan
dan tradisi yang umum dari kelompok tersebut (D’Ambrosio, 2006).
Etnomatematika pertama kali diperkenalkan oleh pendidik dan matematikawan
dari Brazil yaitu Ubiratan D’Ambrioso pada tahun 1997 dalam sebuah presentasi untuk
American Association for the Advancement of Science. D'Ambrosio (2006) menerapkan
nama program ini dengan menggunakan etimologi akar Yunani, etno, mathema, dan tics
untuk menjelaskan apa yang ia memahami menjadi ethnomathematics. Dia mengatakan
bahwa ethnomathematics didefinisikan sebagai matematika yang dilakukan oleh para
anggota kelompok yang berbeda budaya, yang diidentifikasi sebagai masyarakat adat,
kelompok pekerja, kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia
tertentu, dll (D'Ambrosio, 2006).
Ethnomathematics adalah program penelitian dalam sejarah dan filsafat
matematika, dengan implikasi pedagogis, fokus pada seni dan teknik (tics) dalam
menjelaskan, memahami dan mengatasi [mathema] lingkungan sosial budaya yang
berbeda (etno) (D’Ambrosio, 2006:IX). Secara khusus menurut D'Ambrosio (2008)
dalam Albanese dan Perales (2015:2), matematika ini adalah hasil dari salah satu
kemungkinan evolusi dari sistem pengetahuan ini. Namun, ada alternatif lain yang dapat
hadir dengan sistem ini beberapa persamaan dan perbedaan. Ethnomathematics lainnya
ditemukan dalam masyarakat yang berbeda dengan budaya yang berbeda, perkumpulan
tertentu, dan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain
itu,
etnomatematika
juga
diartikan
sebagai
penelitian
yang
menghubungkan antara matematika atau pendidikan matematika dan hubungannya
dengan bidang sosial dan latar belakang budaya, yaitu penelitian yang menunjukkan
bagaimana matematika dihasilkan, ditransferkan, disebarkan, dan dikhususkan dalam
berbagai macam sistem budaya (Zhang & Zhang, 2010), serta politik (Knijnik, 2002).
306
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
Sistem budaya dan politik yang dimaksud tentunya bukan hanya sistem budaya dan
politik yang berlaku di dalam masyarakat berpendidikan, tetapi juga menyangkut sistem
budaya atau ide matematika dari masyarakat yang tidak atau belum melek huruf. Kajian
ethomathematics yang begitu luas, menyebabkan ethnomathematics dianggap sebagai
salah satu dari dua pusat pemikiran untuk memahami matematika (Wedege, 2010). Hal
tersebut menimbulkan gagasan bahwa peranan etnomatematika seharusnya memiliki
pengaruh yang lebih luas dalam masyarakat dan pendidikan khususnya pendidikan
matematika. Peranan tersebut sebenarnya sangat nyata sekali, tetapi hal terpenting
adalah bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk menampilkan konsep matematika
yang ada dalam etnomatematika kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep
tersebut dapat berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan
pengalamannya sehari-hari. Jika kita dapat melakukannya, maka akan terciptalah
sebuah pendekatan etnomatematika dalam pembelajaran matematika dan diharapkan
mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan penuh makna bagi siswa dan
kualitas pendidikannya.
Siswa yang menganggap bahwa matematika tidak relevan dan tidak
bermakna bagi dirinya, salah satunya disebabkan karena siswa kesulitan mempelajari
bahasa matematika yang tentunya tidak mudah untuk dipahami. Oleh karena itu,
pengembangan bahasa asli dalam menjelaskan matematika yang berasal dari barat
membutuhkan perhatian. Penggunaan istilah matematika yang memiliki konotasi yang
sama baik dilihat dari segi matematika dan budaya akan membantu siswa kita dalam
mempelajari matematika dengan lebih baik.
Menurut Francois (2012), perluasan penggunaan etnomatematika yang sesuai
dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan praktik matematika dalam
keseharian mereka membawa matematika lebih dekat dengan lingkungan siswa karena
etnomatematika secara implisit merupakan program atau kegiatan yang menghantarkan
nilai-nilai dalam matematika dan pendidikan matematika. D’Ambrosio (2006)
menambahkan bahwa, penggunaan etnomatematika dalam kegiatan pembelajaran
seharusnya dapat digunakan sebagai alat penyokong solidaritas dan kerjasama antar
siswa. Selain itu, tujuan utama etnomatematika adalah membangun masyarakat yang
bebas dari kebiadaban, arogansi, intoleransi, diskriminasi, ketidakadilan, kefanatikan,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
307
dan rasa kebencian, sehingga etnomatematika
diharapkan dapat menumbuhkan
perdamaian di antara umat manusia.
Pembahasan di atas membawa kita kedalam sebuah kesimpulan bahwa
etnomatematika penting untuk dikaji dan dipelajari. Begitu pentingnya kajian tentang
etnomatematika
yang secara khusus disebutkan oleh D’Ambrosio (2006) sebagai
program penelitian tentang sejarah dan filsafat matematika, dengan implikasi
langsungnya untuk pembelajaran, membawa kita ke dalam pembahasan tiga bidang
kajian tentang kajian dalam etnomatematika yang tentuya tidak memandang bahwa
kajian tentang sejarah cerita tradisional pada matematika tidak penting untuk dipelajari
atau dibahas.
Secara praktis, studi etnomatematika berarti melakukan dengan cara dua hal: (1)
menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu;
(2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton,
1994). Mengadopsi etnomatematika ke dalam kegiatan pembelajaran matematika
merupakan sesuatu yang sangat mungkin dilakukan (Zhang & Zhang, 2010). Bahkan
dapat pula etnomatematika dijadikan sebagai alternatif pembelajaran matematika
(Owens, 2012). Kedua pendapat tersebut menjadi inspirasi bagi praktisi dalam
dunia
pendidikan
matematika
untuk
mengaplikasikan
etnomatematika
dalam
kegiatan pembelajaran matematika.
Bonner (2010), melakukan kegiatan pembelajaran berbasis etnomatematika
dengan
subjeknya
adalah
calon
guru.
Pembelajaran
ini
dilakukan
dengan
cara mengkonstruksikan pengalaman bermakna baik di dalam maupun di luar kelas
yang memfokuskan pada budaya. Kegiatan ini telah meningkatkan dan memperdalam
pemahaman calon guru dalam pengajaran matematika dengan berbagai macam budaya.
Selain itu, kegiatan seminar yang dilakukan Massarwe, Verner, & Bshouty (2012)
menyimpulkan
bahwa,
pemahaman
tentang
geometri
para
siswa/peserta
seminar meningkat dan mereka paham terhadap pentingnya aktivitas pembelajaran
etnomatematika yang berhubungan dengan siswa dan budaya yang lain.
Kegiatan lain yang masih menggunakan calon guru sebagai subjek penelitiannya,
menunjukkan
bahwa
etnomatematika
telah
memberi
pengaruh
terhadap
pengembangan profesionalisme calon guru matematika (Katsap & Silverman, 2008).
Hal tersebut menunjukkan bahwa etnomatematika sangat penting dalam kegiatan
308
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
pembelajaran bagi calon guru, baik kegiatan di kelas maupun kegiatan di lapangan.
Calon guru pada saat di lapangan/sekolah dapat langsung mengaplikasikan apa yang
telah mereka dapat dalam kegiatan pembelajaran dengan siswanya yang tentunya juga
berasal dari berbagai macamlatar belakang budaya yang berbeda (DeKam, 2007).
Perbedaan latar belakang budaya yang ada telah menginspirasi Duranczyk &Higbee
dalam penelitiannya. Duranczyk & Higbee (2012), telah mengintegrasikan desain
pembelajaran multi-budaya dan aplikasinya dalam berpikir matematis siswa. Kegiatan
tersebut tentunya untuk mengakomodasi peranan etnomatematika dalam pengajaran
matematika. Hal yang perlu diingat adalah guru matematika harus mengetahui
peranannya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, dan bukan sebagai sumber
dan pengantar pengetahuan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemanfaatan
pengetahuan siswa tentang etnomatematika di dalam pembelajaran dan ini akan
mendorong pegembangan dasar pengatahuan konseptual siswa. Selain itu, kegiatan ini
juga memungkinkan siswa mengembangkan perluasan strategi pemecahan masalah,
sehingga membuat matematika menjadi pelajaran yang penuh arti dan reflektif (Matang,
2002).
Berbagai alternatif memang bisa kita gunakan dalam kegiatan pembelajaran,
tetapi yang lebih penting adalah kita harus memodifikasi secara produktif pembelajaran
agar memberi dampak yang bermanfaat dari reformasi pengajaran seperti kerja
kelompok dan pembelajaran berbasis masalah (Staats, 2006).
Karakter dan Penguatan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.
Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu karakter melekat dengan nilai dari
perilaku seseorang. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan ada
delapan belas karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional. Delapan belas nilai tersebut adalah: religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (Pusat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
309
Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, 2009: 9-10). Menurut T. Ramli (2003),
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan yang meliputi
isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Menurut teori Piaget, siswa SD berada pada tahap perkembangan operasional
konkret. Anak-anak berpikir atas dasar pengalaman nyata/konkret, belum dapat berpikir
seperti membayangkan bagaimana proses fotosintesis atau proses osmosis terjadi.
Namun, kemampuan unutk melakukan penambahan, pengurangan, pengerutan serta
klasifikasi telah berkembang dengan perkalian sederhana dan pembagian. Kemampuan
untuk sedikit berfikir abstrak selalu harus didahului dengan pengalaman konkret. Anak
usia SD masih sangat membutuhkan benda-benda konkret untuk menolong
pengembangan kemampuan intelektualnya.
Menurut Basset dkk (dalam Sumantri dan Permana, 2011: 11), karakteristik
siswa sekolah dasar secara umum: 1) memiliki rasa keingintahuan yang kuat dan tertarik
pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri, 2) senang bermain dan
bergembira riang, 3) suka mengatur diri untuk menangani berbagai hal, 4) bergetarnya
perasaan dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami
ketidakpuasan dan menolak kegagaan-kegagalan, 5) belajar secara efektif ketika merasa
puas dengan situasi yang terjadi, dan 6) belajar dengan cara bekerja, mengobservasi,
berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya.
Peran Etnomatematika dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar
Etnomatematika adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan
budaya. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka
310
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya
setempat. Dalam etnomatematika juga terintegrasi nilai nilai karakter, seperti tanggung
jawab, disiplin, kejujuran, ketelitian, bekerjasama, mandiri, dan lain-lain. Melalui
penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan siswa dapat lebih memahami
matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter
bangsa tertanam sejak dini.
Berikut diuraikan beberapa nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui
etnomatematika:
a. Jujur
Pembelajaran matematika berbasis etnomatematika menuntut siswa
untuk bersikap jujur dengan apa yang dia peroleh atau dapatkan. Misalnya
saat guru menanyakan apakah materi yang di ajarakan hari ini semua
siswanya sudah paham, maka ketika inilah siswa menjawab dengan jujur
apakah paham atau tidak. Jika siswa tidak jujur maka yang akan rugi adalah
siswa itu sendiri, karena dalam matematika berbasis etnomatematika antara
satu materi dengan materi lainnya mempunyai keterkaitan bertingkat. Artinya
kalau siswa tidak mengerti materi dasar maka mereka akan mengalami
kesulitan dalam memahami materi selanjutnya.
b. Disiplin
Karakter disiplin dapat terbentuk dalam mempelajari matematika
berbasis etnomatematika, karena dalam matematika peserta didik diharapkan
mampu mengenali suatu keteraturan pola, memahami aturan-aturan dan
konsep-konsep yang telah disepakati. Jadi nilai karakter yang muncul dalam
belajar matematika berbasis etnomatematika adalah seseorang diharapkan
mampu bekerja secara teratur dan tertib dalam menggunakan aturan-aturan
dan konsep-konsep. Dalam matematika konsep-konsep tersebut tidak boleh
dilanggar karena dapat menimbulkan salah arti.
c. Kerja keras
Karakter
yang
ingin
dibentuk
dalam
matematika
berbasis
etnomatematika selanjunya adalah tidak mudah putus asa. Dalam belajar
matematika, seseorang harus teliti, tekun dan telaten, dalam memahami yang
tersirat dan tersurat. Ada kalanya seseorang keliru dalam pengerjaan suatu
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
311
perhitungan, namun belum mencapai hasil yang benar, maka seseorang
diharapkan dapat dengan sabar melihat kembali apa yang telah dikerjakan
dengan teliti, tidak mudah menyerah terus berjuang untuk menghasilkan suatu
jawaban yang benar.
d. Rasa ingin tahu
Memunculkan
rasa
ingin
tahu
dalam
matematika
berbasis
etnomatematika akan mengakibatkan seseorang terus belajar dalam sepanjang
hidupnya, terus berupaya menggali informasi-informasi terkait lingkungan di
sekitarnya.
e. Kreatif
Seseorang yang belajar matematika berbasis etnomatematika akan
terbiasa untuk kreatif dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam
menyelesaikan persoalan ada yang dapat menyelesaikan dengan cara yang
panjang, namun ada pula yang mampu mengerjakan dengan singkat. Bila
seseorang
terbiasa
menyelesaikan
permasalahan
matematika berbasis
etnomatematika, maka orang tersebut akan terbiasa memunculkan ide yang
kreatif yang dapat membantunya menjalani kehidupan secara lebih efektif dan
efisien.
Penutup
Membangun masyarakat berkarakter merupakan tanggungjawab bersama
seluruh komponen bangsa. Masyarakat yang berkarakter merupakan pondasi bangsa
yang bermartabat dan unggul. Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan harus dibentuk, dilatih, dan dikelola secara bertahap sedini mungkin. Sekolah
dasar merupakan salah satu wadah yang penting dalam pembentukan karakter suatu
bangsa.
Penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan mampu menjadikan
siswa lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang
merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini. Etnomatematika juga memiliki
konstribusi dalam pembentukan karakter pada diri siswa, antara lain nilai jujur, disiplin,
kerja keras, rasa ingin tahu, dan kreatif. Apabila siswa mampu menerapkan nilai-nilai
312
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
karakter tersebut maka etnomatematika akan menjadi suatu pelajaran yang bermakna
bagi kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Albanese, Veronica. and Perales, F.J. 2015. Enculturation with Ethnomathematical
Microprojects: From Culture to Mathematics. Jurnal of Mathematics and Culture,
9(1), 1-11.
Barton. 1994. Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics (Ph.D.
Thesis, University of Auckland).
Bonner, E. P. 2010. Promoting culturally responsive teaching through action research
in a mathematics methods course. Journal of Mathematics and Culture, 5(2),
pp.16-30.
D’Ambrosio, U. 2006. Preface. Prosiding, International Congress of Mathematics
Education Copenhagen. Pisa: University of Pisa.
DeKam, J. L. H. 2007. Foundations in ethnomathematics for prospective elementary
teacher. Journal of Mathematics and Culture, 2(1), pp. 1-19.
Duranczyk, I. M. & Higbee, J. L. 2012. Constructs of integrated multicultural
instruction design for undergraduated mathematical thinking course for
nonmathematics majors. Journal of Mathematics and Culture, 6 (1), pp. 148-177.
Francois, K. 2012. Ethnomathematics in a European context: Towards an enriched
meaning of ethnomathematics. Journal of Mathematics and Culture, 6 (1), pp.191208.
Katsap, A. & Silverman, F. L. 2008. A case study of the role of ethnomathematics
among teacher education students from highly diverse cultural background.
Journal of Mathematics and Culture, 3(1), pp. 66-102.
Matang, R. 2002. The role of ethnomathematics in mathematics education in Papua
New Guinea: Implication for mathematics curriculum. Journal of
EducationStudies, 24 (1) pp. 27-37.
Owens, K. 2012. Policy and practices: Indigenous voices in education. Journal of
Mathematics and Culture, 6 (1), pp. 51-75.
Pannen, Paulina. 2005. Pendidikan sebagai Sistem. Jakarta: Depdiknas.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter: Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan.
Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas.
Staats, S. 2006. The case for rich contexts in ethnomathematics lessons. Journal of
Mathematics and Culture, 1(1), pp. 39-52.
Sumantri, M dan Permana, J. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Maulana.
Zhang, W. & Zhang, Q. 2010. Ethnomathematics and its integration within the
mathematics curriculum. Journal of Mathematics Education. 3(1), pp. 151-157.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
313
Download