BAB II PENDIDIKAN MORAL SISWA DI MTs HASBULLAH

advertisement
BAB II
PENDIDIKAN MORAL SISWA DI MTs HASBULLAH
KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN
A. Pengertian Pendidikan Moral
1.
Pengertian Pendidikan Moral
Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan moral, terlebih
dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian pendidikan dan pengertian
moral.
Pendidikan
adalah
suatu
usaha
untuk
menumbuhkan
dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. 1
Sedangkan moral adalah sesuainya tindakan manusia dengan ide-ide umum
yang diterima, mana yang wajar yang datang dari Tuhan maupun manusia. 2
Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin dalam bukunya yang berjudul
“Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan”, menyatakan bahwa
pendidikan moral adalah bimbingan lahir batin secara bulat dan utuh untuk
mencapai kesempurnaan kepribadian manusia, yang dapat dimanifestasikan
dalam wujud, perangai, kata-kata dan perbuatan untuk dirinya dan untuk
orang lain atas dasar suara hati yang jujur dan benar.3
Menurut Hamid Darmadi dalam bukunya yang berjudul “Dasar
Konsep Penidikan Moral”, menyatakan bahwa pendidikan moral dapat
1
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 1.
Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hlm. 5.
3
Ibid., h. 6.
2
20
21
diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang
diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan
masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan
berperilaku terpuji seperti terdapat dalam pancasila dan UUD 1945.4
Nurul Zuriah, dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Moral &
Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan”, menyatakan bahwa pendidikan
moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang
mengorganisasikan dan “menyederhanakan” sumber-sumber moral dan
disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan
pendidikan. 5
Dari beberapa pendapat para ahli di atas tentang pengertian
pendidikan moral dapat dipahami bahwa pendidikan moral adalah bimbingan
secara lahir batin yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik untuk
membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji.
B. Fungsi Pendidikan Moral
Fungsi pendidikan moral adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat
memungkinkan segala tugas-tugas pendidikan moral tersebut tercapai dan berjalan
dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat
struktural dan institusional. 6
4
Hamid Darmadi, op. cit., h. 56-57.
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), hlm. 22.
6
Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlaq Nabi; Membangun Kepribadian
Muslim (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 61.
5
22
Sedangkan pendidikan moral merupakan pendidikan yang didasarkan
kepada ajaran-ajaran agama yang senantiasa terus tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Fungsi pendidikan moral adalah untuk menciptakan
manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikan
kebenaran tersebut
melalui akal, rasa, feeling dan kemampuan untuk
melaksanakan melalui amal perbuatan yang tepat dan benar. 7
Fungsi pendidikan moral tidak saja dalam rangka membina manusia
beriman dan bertakwa, berketerampilan, berkepribadian dan berbudaya, tetapi
manusia yang mampu menghadapi dan mengatasi berbagai masalah dalam
kehidupan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sehingga ia mampu memposisikan
dirinya menjadi manusia yang berkualitas bagi agama, masyarakat dan
bangsanya. 8
C. Tujuan Pendidikan Moral
Pendidikan moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang
baik bagi setiap orang, artinya pendidikan moral bukan sekedar memahami
tentang aturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan baik dan buruk
tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku moral seseorang.9
Menurut Athiyah Al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman
Abdullah mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan moral ialah untuk
menjadikan orang-orang yang baik akhlaknya, keras kemauannya, sopan dalam
7
Abdurrahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam (Yogyakarta: UII
Press, 2002), hlm. 53.
8
Ibid., h. 54.
9
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 38.
23
bicara, perbuatan mulia dalam tingkah laku dan perangai bersikap bijaksana,
sempurna, sopan dan beradab, ikhlas dan suci. 10
Tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat
perkembangan moral siswa. Tinggi rendahnya moralitas siswa dapat dilihat dari
tingkat pertimbangan moralnya. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur
dengan standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral
yang benar-benar menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal
berdasar prinsip keadilan, persamaan dan saling terima.
Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa
cara sebagai berikut:
a.
Pendidikan langsung
b.
Identifikasi
c.
Proses coba-coba (trial and error)11
Teori
perkembangan
moral
dalam
buku
yang
berjudul
Teori
Perkembangan, Konsep dan Aplikasi menurut Kohlberg terdapat tiga tingkat dan
enam tahap pada masing-masing tingkat terdapat dua tahap diantaranya sebagai
berikut:
a.
Tingkat satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu ketika manusia berada pada fase perkembangan mulai dari usia 410 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial,
yang mana dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat pertama ini terdapat dua tahap yaitu:
10
Abdurrahman Abdullah, op. cit., h. 43.
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja IV, (Bandung: PT.
Rosdakarya, 2004), hlm. 134.
11
24
1. Tahap satu ( Orientasi kepatuhan dan hukuman )
adalah Anak-anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang penuh
kuasa telah menurunkan seperangkat aturan baku yang harus mereka
patuhi tanpa protes.
2. Tahap dua ( Individualisme dan pertukaran )
Anak-anak mulai menyadari bahwa bukan hanya ada satu saja
pendangan benar yang diturunkan otoritas-otoritas.
b.
Tingkat dua : Moralitas Konvensional
Yaitu
ketika
manusia
menjelang
dan
mulai
memasuki
fase
perkembangan pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat dua ini terdapat dua tahap yaitu:
1. Tahap tiga ( Hubungan-hubungan antar pribadi yang baik )
Anak-anak yang sekarang biasanya memasuki usia remaja melihat
moralitas lebih dari pada hanya urusan-urusan sederhana.
2. Tahap empat ( Memelihara tatanan sosial )
Dimana mereka dapat membuat upaya nyata untuk mengetahui
perasaan-perasaan dan kebutuhan orang lain dan berusaha membantu
mereka.
c.
Tingkat tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan
pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih
dari sekedar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi
peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus
25
dipakai dalam segala situasi. Perkembangan moral di tingkat tiga terdapat dua
tahap yaitu :
1. Tahap lima ( Kontrak sosial dan hak-hak individual )
Anak-anak ingin menjaga masyarakat, tetapi berfungsi baik, namun
begitu masyarakat yang bisa berfungsi dengan baik tidak mesti selalu baik.
2. Tahap enam ( Mempraktikan prinsip-prinsip etika )
Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial berdasarkan atas
prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang
selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. 12
Menurut Lickona, yang dikutip oleh Dharma Kesuma, Cepi Triatna dan
Johar permana dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter Kajian Teori
dan Praktik di Sekolah”, terdapat tiga ranah moral yaitu (1) tindakan moral yang
terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan, (2) pengetahuan moral terdiri
dari kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, memahami sudut pandang yang
lain, penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri, (3) perasaan
moral terdiri dari nurani, harga diri, empati, cinta kebaikan, kontrol diri, dan
rendah hati. 13
Tujuan pendidikan moral secara khusus untuk berkembangnya siswa
dalam penalaran moral (moral reasoning) dan melaksanakan nilai-nilai moral. 14
12
William, Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 231-236.
13
Dharma Kesuma, Cepi Triatna, dan Johar Permana, Pendidikan Karakter Kajian Teori
dan Praktik di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 27.
14
Burhanudin Salam, Etika Individual Pola Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.
76.
26
Dengan demikian, tujuan dari pendidikan moral ini yaitu menjadikan peserta didik
agar dapat membina satu panduan hidup yang menjadikan mereka menjadi insan
yang bermoral yaitu menjadi individu yang bertanggung jawab moral dan sosial
terhadap segala keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Pandangan Salam tentang tujuan pendidikan moral adalah membimbing
para generasi muda untuk memahami dan menghayati Pancasila secara
keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan. 15
Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan kapasitas
berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral. Koyan mengungkapkan
bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode pertimbangan moral dan
untuk membantu anak-anak untuk mengenal apa yang menjadi dasar untuk
menerima suatu nilai. Selain itu tujuan pendidikan moral adalah untuk
mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu. 16
D. Metode-metode Pendidikan Moral
Beberapa metode dalam pendidikan moral antara lain:
1.
Pendidikan dengan keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh
dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek
moral, spiritual dan etos sosial anak. Mengingat pendidik adalah seorang
15
Ibid., h. 80.
I Wayan Koyan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 85.
16
27
figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan
santunnya, disadari atau tidak akan ditiru oleh peserta didik. Bahkan
perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya akan senantiasa tertanam dalam
kepribadian anak.17
2.
Pendidikan dengan adat kebiasaan
Termasuk masalah yang sudah merupakan ketetapan dalam syariat
Islam, bahwa anak sejak lahir telah diciptakan dengan fitrah tauhid yang
murni, agama yang benar, dan iman kepada Allah. Ia dilahirkan dengan naluri
tauhid dan iman kepada Allah. Dari sini tampak peranan pembiasaan,
pengajaran dan pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam
menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur
dan etika religi yang lurus.18
3.
Pendidikan dengan nasehat
Metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembentukan akidah
anak dan mempersiapkannya secara moral, emosional maupun sosial, adalah
dengan memberikan nasihat-nasihat kepadanya. Karena nasihat memiliki
pengaruh besar dalam membuka mata anak kesadaran akan hakikat sesuatu,
mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasi
dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip
Islam. 19
17
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), hlm. 142.
18
Ibid., h. 185-186.
19
Ibid., h. 209-210.
28
4.
Pendidikan dengan perhatian
Pendidikan
dengan perhatian adalah
senantiasa
mencurahkan
perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak,
mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan sosial, di samping selalu
bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya. 20
5.
Pendidikan dengan memberikan hukuman
Hukuman diberikan apabila metode-metode yang lain sudah tidak
dapat merubah tingkah laku anak, atau dengan kata lain cara hukuman
merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh pendidik apabila ada perilaku
anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab hukuman merupakan
tindakan tegas untuk mengembalikan persoalan di tempat yang benar.
Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diberikan. Karena ada orang dengan
teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak memerlukan hukuman. 21
6.
Pendidikan dengan memberikan reward
Metode ini mengedepankan kegembiraan dan positif thinking, yaitu
memberikan hadiah pada anak didik, baik yang berprestasi akademik maupun
yang berperilaku baik.22
E. Problematika Pendidikan Moral
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
20
Ibid., h. 275.
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam (Bandung: Ma’arif, 1993), hlm. 341.
22
Zaenal Mustakim,Strategi & Metode Pembelajaran ( Pekalongan: STAIN Press, 2011),
hlm. 119.
21
29
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. 23
Pendidikan tidak hanya dibebani tugas mencerdaskan anak didik dari segi
kognitif saja, akan tetapi kecerdasan dari segi afektif dan psikomotorik juga harus
sangat diperhatikan. Dalam hal ini beban pendidikan yang berkaitan dengan
kecerdasan afektif siswa adalah upaya membina moral (akhlak) peserta didik.
Moral yang diharapkan adalah moral yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang disandarkan pada keyakinan beragama. Akan tetapi untuk
mewujudkan hal tersebut dewasa ini tampaknya banyak kendala yang harus
dihadapi.
Persoalannya muatan moral dalam tujuan pendidikan di atas terkesan
hanya berlaku pada tataran normatif saja, terbukti adanya berbagai tindakan
amoral yang bisa menggelinding menuju dekadensi moral dalam dunia
pendidikan. Kegagalan moral dalam dunia pendidikan menjadi tanda kegagalan
pendidikan nasional dalam merealisasikan fungsi dan tujuan pendidikannya. 24
Munculnya isu kemerosotan moral martabat manusia (dehumanisasi)
yang muncul akhir-akhir ini, dapat diduga akibat krisis moral. Krisis moral terjadi
karena antara lain akibat tidak seimbangnya kemajuan IPTEK dan IMTAQ di era
globalisasi. Dengan demikian sentuhan aspek moral atau akhlak dan budi pekerti
menjadi sangat kurang. Demikian pula sentuhan agama yang salah cabang
23
24
Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, op. cit., h. 7.
Ibid., h. 7.
30
kecilnya adalah akhlak dan budi pekerti menjadi tipis dan tandus. Padahal roda
zaman terus berputar dan berjalan, budaya terus berkembang, teknologi berlari
sangat pesat, dan arus informasi global bagai tidak terbatas dan tidak terbendung
lagi.
Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti
dan moral yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang
dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Tindak kejahatan mencuri,
menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah pelajar sekolah. Hal
ini sungguh sangat ironis dan memprihatinkan. 25
Di samping beberapa problematika di atas, problematika yang berasal
dari keluarga juga merupakan problem yang sangat mendukung kemerosotan
moral. Sebagaimana yang dijelaskan Agus Suyanto yang dikutip oleh
Sudarsono:”Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan
seterusnya, sebagian waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnyalah
kalau
kemungkinan
timbulnya
delinquency
itu
sebagian
besar
dari
keluarga”.26Apabila pola asuh terhadap anak dalam rumah tangga yang tidak
sesuai, hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Kemerosotan nilai-nilai moral yang melanda masyarakat kita tidak lepas
dari tingkat penanaman nilai-nilai budi pekerti, baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Berkaitan dengan efektivitas pendidikan moral yang
berlangsung di jenjang pendidikan formal, hingga kini masih diperdebatkan.
Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul “pendidikan moral” menegaskan
25
26
Nurul Zuriah, op. cit., h. 160.
Sudarsono, Etika tentang Kenakalan Remaja (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), hlm. 20.
31
bahwa sekolah menjadi fungsi yang sangat urgen dan misi khusus untuk
menciptakan makhluk bermoral, yang dibentuk sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan memusatkan perhatian kita pada sekolah, kita menempatkan diri tepat
pada titik yang harus dipandang sebagai pusat terpenting bagi perkembangan
moral anak pada usia tersebut.27
Oleh karena itu, dalam tataran implementasi dan realisasi pendidikan
budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan
sekolah secara terpadu. Dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan budi pekerti di
sekolah perlu didukung oleh keluarga dan masyarakat. Sekolah sebagai suatu
lembaga pendidikan formal perlu mengambil peran dalam pengembangan sisi
afektif peserta didik. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan pendidikan budi
pekerti, sekolah perlu lebih menekankan pada pembinaan perilaku peserta didik
karena budi pekerti pada dasarnya bukan penguasaan pengetahuan atau
penguasaan kognitif semata.
F. Pendidikan Moral dalam Ajaran Islam
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memperoleh kesuksesan di
dunia dan di akherat. Oleh sebab itu, ajarannya bukan hanya untuk akhirat, namun
justru lebih banyak mengatur kehidupan dunia. Akhirat pada dasarnya merupakan
konsekuensi atau hasil dari perbuatan di dunia.
Pada zaman Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, terjadi kebobrokan
moral (akhlak) pada masyarakat Arab. Tentu yang dimaksudkan akhlak pada masa
27
Emile Durkheim, Pendidikan Moral Terjemahan (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 14.
32
ketika Nabi mulai diutus adalah dalam pengertian yang luas, termasuk etika sosial.
Jika dicermati, banyak sekali nilai ajaran moral terdapat dalam Al-Quran dan
hadits Nabi, seperti jujur, adil, menolong, benar, amanah, terpuji, respect
(menghargai orang lain), dan lain-lain. Semua ini merupakan perilaku moralitas
individual terhadap kehidupan sosial. 28
Pada dasarnya, seluruh ajaran Islam adalah bahwa semuanya menuju
kepada tujuan yang satu, yakni menyempurnakan akhlak (moral) manusia, mudah
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan membuka jalan-jalan
kebahagiaan masyarakat. Kejayaan bangsa dan kejayaan umat terletak kepada
akhlaknya. 29
Ketinggian moral (budi pekerti, akhlak mahmudah) yang terdapat pada
seseorang, menjadikannya mampu melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan
baik dan sempurna sehingga menjadikan orang tersebut hidup bahagia, walaupun
faktor-faktor hidup yang lain (seperti harta, pangkat) tidak ada padanya.
Sebaliknya, apabila manusia buruk akhlaknya, kasar tabi’atnya. buruk
prasangkanya pada orang lain, maka itu sebagai pertanda bahwa manusia itu
hidup resah, walaupun hartanya berlimpah.
Islam memberikan kewajiban kepa para pendidik, terutama orang tua,
untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai pendidikan aqidah, pendidikan
berbakti (ubudiyah), pendidikan kemasyarakatan (sosiologi), pendidikan mental,
dan pendidikan akhlak (moral, budi pekerti) agar memiliki moralitas yang tinggi.
28
29
Ahmad Rifa’ai, Masyarakat Islam, (Jakarta: CV. Indrajaya, 2009), hlm. 16.
Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Quran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007), hlm 23.
33
G. Kemandirian Pendidikan Moral di Sekolah
Ketika kehalusan pendidikan moral telah di sepakati pelaksanaannya di
dunia persekolahan, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah teknis
pelaksanaannya, terpisah secara mandiri ataukah di integrasikan ke dalam mata
pelajaran lain khususnya pendidikan agama.
Pendapat
yang
menghendaki
pengajaran
pendidikan
moral
di
integrasikan ke dalam mata pelajaran lain, khususnya pendidikan agama beralasan
karena muatan moral dan agama saling bersinergi. 30 Tujuan pendidikan agama
dan moral tidak terlalu berbeda, yaitu dalam kerangka menghasilkan manusia
pendiidkan yang berkepribadian, yakni bertakwa kepada Tuhan YME,
bertanggung jawab, berwawasan lingkungan, arif bijaksana dan berkepedulian
sosial tinggi. Pengajaran pendidikan moral di integrsikan ke dalam mata pelajaran
lain merupakan istilah lain dari hidden curriculum.
Kurikulum sekolah-sekolah kita ini tergolong terpadat dibandingkan
dengan kurikuum di negara-negara lain. Artinya, murid-murid kita tergolong
manusia-manusia muda yang paling “tersiksa” dibandingkan rekan-rekan mereka
dari Negara lain akibat beban kurikulum yang amat sarat tersebut. Karena itu,
adalah mustahil untuk menambah beban mereka dengan memasukkan pendidikan
moral kedalam kurikulum pendidikan/sekolah. 31 Oleh karenanya dengan hidden
curriculum ini, maka pendidikan moral tidak akan memberi beban tambahan bagi
murid.
30
Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan,
hlm. 13.
31
http://rahadieducation.wordpress.com/2013/05/21/runtuhnya-solidaritas-sosial-2pendidikan-moral-di-sekolah/
34
Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) adalah alternatif moral
secara keseluruhan yang menjadi ciri sekolah. 32 Diantaranya adalah peraturan
sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, orientasi
moral yang dimilki guru dan pegawai administrasi sekolah, dan materi teks.
Sementara itu, pendapat yang mengatakan pendidikan moral harus
diajarkan secara mandiri beralasan kepada:
a.
Implementasi pendidikan agama yang ada selama ini hanya mendapat bobot
dan pelajaran amat minim.
b.
Materi pendidikan moral yang di integrasikan kepada materi-materi
pendidikan agama seringkali terdesak oleh materi-materi lain, misal hukum,
sejarah, dan sebagainya.
Perbedaan tersebut dapat dikompromikan dengan menjadikan pendidikan
moral sebagai mata ajar sendiri ataupun di integrasikan kedalam mata pelajaran
lain, yang terpenting adalah substansi moral yang ada dalam semua mata
pelajaran, para pendidik harus mampu menyusupkan nilai-nilai moral kepada anak
didik pada setiap sikap dan perilakunya. Perilaku seorang guru seringkali menjadi
model contoh bagi murid-murid. gurunya kurang mengerti adab dan sopan santun,
tidak berperilaku berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, mementingkan diri
sendiri, sering menampilkan perilaku memeras, bagaimana perilaku muridmuridnya, tentu akan lebih parah. Oleh karena itu, jika kita hendak mendidik
murid-murid dengan nilai-nilai moral dan etika, mau tidak mau harus memberi
32
hlm. 455.
Jhon W. Santrock, Adolesc3nce: Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2003),
35
contoh dan perilaku yang diharapkan dari pendidikan moral dan etika tersebut.
Dengan kata lain, guru harus merekonstruksi moralitasnya sendiri lebih dahulu.
Download