BAB II PENDIDIKAN MORAL SISWA DI MTs HASBULLAH KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN A. Pengertian Pendidikan Moral 1. Pengertian Pendidikan Moral Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan moral, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian pendidikan dan pengertian moral. Pendidikan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. 1 Sedangkan moral adalah sesuainya tindakan manusia dengan ide-ide umum yang diterima, mana yang wajar yang datang dari Tuhan maupun manusia. 2 Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin dalam bukunya yang berjudul “Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan”, menyatakan bahwa pendidikan moral adalah bimbingan lahir batin secara bulat dan utuh untuk mencapai kesempurnaan kepribadian manusia, yang dapat dimanifestasikan dalam wujud, perangai, kata-kata dan perbuatan untuk dirinya dan untuk orang lain atas dasar suara hati yang jujur dan benar.3 Menurut Hamid Darmadi dalam bukunya yang berjudul “Dasar Konsep Penidikan Moral”, menyatakan bahwa pendidikan moral dapat 1 Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 1. Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hlm. 5. 3 Ibid., h. 6. 2 20 21 diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji seperti terdapat dalam pancasila dan UUD 1945.4 Nurul Zuriah, dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan”, menyatakan bahwa pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan “menyederhanakan” sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. 5 Dari beberapa pendapat para ahli di atas tentang pengertian pendidikan moral dapat dipahami bahwa pendidikan moral adalah bimbingan secara lahir batin yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji. B. Fungsi Pendidikan Moral Fungsi pendidikan moral adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan segala tugas-tugas pendidikan moral tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional. 6 4 Hamid Darmadi, op. cit., h. 56-57. Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 22. 6 Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlaq Nabi; Membangun Kepribadian Muslim (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 61. 5 22 Sedangkan pendidikan moral merupakan pendidikan yang didasarkan kepada ajaran-ajaran agama yang senantiasa terus tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Fungsi pendidikan moral adalah untuk menciptakan manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, feeling dan kemampuan untuk melaksanakan melalui amal perbuatan yang tepat dan benar. 7 Fungsi pendidikan moral tidak saja dalam rangka membina manusia beriman dan bertakwa, berketerampilan, berkepribadian dan berbudaya, tetapi manusia yang mampu menghadapi dan mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sehingga ia mampu memposisikan dirinya menjadi manusia yang berkualitas bagi agama, masyarakat dan bangsanya. 8 C. Tujuan Pendidikan Moral Pendidikan moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap orang, artinya pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan baik dan buruk tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku moral seseorang.9 Menurut Athiyah Al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Abdullah mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan moral ialah untuk menjadikan orang-orang yang baik akhlaknya, keras kemauannya, sopan dalam 7 Abdurrahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 53. 8 Ibid., h. 54. 9 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 38. 23 bicara, perbuatan mulia dalam tingkah laku dan perangai bersikap bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas dan suci. 10 Tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat perkembangan moral siswa. Tinggi rendahnya moralitas siswa dapat dilihat dari tingkat pertimbangan moralnya. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur dengan standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berdasar prinsip keadilan, persamaan dan saling terima. Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara sebagai berikut: a. Pendidikan langsung b. Identifikasi c. Proses coba-coba (trial and error)11 Teori perkembangan moral dalam buku yang berjudul Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi menurut Kohlberg terdapat tiga tingkat dan enam tahap pada masing-masing tingkat terdapat dua tahap diantaranya sebagai berikut: a. Tingkat satu : Moralitas Prakonvensional Yaitu ketika manusia berada pada fase perkembangan mulai dari usia 410 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial, yang mana dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat pertama ini terdapat dua tahap yaitu: 10 Abdurrahman Abdullah, op. cit., h. 43. Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja IV, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), hlm. 134. 11 24 1. Tahap satu ( Orientasi kepatuhan dan hukuman ) adalah Anak-anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang penuh kuasa telah menurunkan seperangkat aturan baku yang harus mereka patuhi tanpa protes. 2. Tahap dua ( Individualisme dan pertukaran ) Anak-anak mulai menyadari bahwa bukan hanya ada satu saja pendangan benar yang diturunkan otoritas-otoritas. b. Tingkat dua : Moralitas Konvensional Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat dua ini terdapat dua tahap yaitu: 1. Tahap tiga ( Hubungan-hubungan antar pribadi yang baik ) Anak-anak yang sekarang biasanya memasuki usia remaja melihat moralitas lebih dari pada hanya urusan-urusan sederhana. 2. Tahap empat ( Memelihara tatanan sosial ) Dimana mereka dapat membuat upaya nyata untuk mengetahui perasaan-perasaan dan kebutuhan orang lain dan berusaha membantu mereka. c. Tingkat tiga : Moralitas Pascakonvensional Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus 25 dipakai dalam segala situasi. Perkembangan moral di tingkat tiga terdapat dua tahap yaitu : 1. Tahap lima ( Kontrak sosial dan hak-hak individual ) Anak-anak ingin menjaga masyarakat, tetapi berfungsi baik, namun begitu masyarakat yang bisa berfungsi dengan baik tidak mesti selalu baik. 2. Tahap enam ( Mempraktikan prinsip-prinsip etika ) Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. 12 Menurut Lickona, yang dikutip oleh Dharma Kesuma, Cepi Triatna dan Johar permana dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah”, terdapat tiga ranah moral yaitu (1) tindakan moral yang terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan, (2) pengetahuan moral terdiri dari kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, memahami sudut pandang yang lain, penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri, (3) perasaan moral terdiri dari nurani, harga diri, empati, cinta kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati. 13 Tujuan pendidikan moral secara khusus untuk berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasoning) dan melaksanakan nilai-nilai moral. 14 12 William, Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 231-236. 13 Dharma Kesuma, Cepi Triatna, dan Johar Permana, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 27. 14 Burhanudin Salam, Etika Individual Pola Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 76. 26 Dengan demikian, tujuan dari pendidikan moral ini yaitu menjadikan peserta didik agar dapat membina satu panduan hidup yang menjadikan mereka menjadi insan yang bermoral yaitu menjadi individu yang bertanggung jawab moral dan sosial terhadap segala keputusan dan tindakan yang dilakukan. Pandangan Salam tentang tujuan pendidikan moral adalah membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan. 15 Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral. Koyan mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode pertimbangan moral dan untuk membantu anak-anak untuk mengenal apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu. 16 D. Metode-metode Pendidikan Moral Beberapa metode dalam pendidikan moral antara lain: 1. Pendidikan dengan keteladanan Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak. Mengingat pendidik adalah seorang 15 Ibid., h. 80. I Wayan Koyan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 85. 16 27 figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan ditiru oleh peserta didik. Bahkan perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.17 2. Pendidikan dengan adat kebiasaan Termasuk masalah yang sudah merupakan ketetapan dalam syariat Islam, bahwa anak sejak lahir telah diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama yang benar, dan iman kepada Allah. Ia dilahirkan dengan naluri tauhid dan iman kepada Allah. Dari sini tampak peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang lurus.18 3. Pendidikan dengan nasehat Metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembentukan akidah anak dan mempersiapkannya secara moral, emosional maupun sosial, adalah dengan memberikan nasihat-nasihat kepadanya. Karena nasihat memiliki pengaruh besar dalam membuka mata anak kesadaran akan hakikat sesuatu, mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasi dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. 19 17 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 142. 18 Ibid., h. 185-186. 19 Ibid., h. 209-210. 28 4. Pendidikan dengan perhatian Pendidikan dengan perhatian adalah senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya. 20 5. Pendidikan dengan memberikan hukuman Hukuman diberikan apabila metode-metode yang lain sudah tidak dapat merubah tingkah laku anak, atau dengan kata lain cara hukuman merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh pendidik apabila ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab hukuman merupakan tindakan tegas untuk mengembalikan persoalan di tempat yang benar. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diberikan. Karena ada orang dengan teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak memerlukan hukuman. 21 6. Pendidikan dengan memberikan reward Metode ini mengedepankan kegembiraan dan positif thinking, yaitu memberikan hadiah pada anak didik, baik yang berprestasi akademik maupun yang berperilaku baik.22 E. Problematika Pendidikan Moral Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka 20 Ibid., h. 275. Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam (Bandung: Ma’arif, 1993), hlm. 341. 22 Zaenal Mustakim,Strategi & Metode Pembelajaran ( Pekalongan: STAIN Press, 2011), hlm. 119. 21 29 mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. 23 Pendidikan tidak hanya dibebani tugas mencerdaskan anak didik dari segi kognitif saja, akan tetapi kecerdasan dari segi afektif dan psikomotorik juga harus sangat diperhatikan. Dalam hal ini beban pendidikan yang berkaitan dengan kecerdasan afektif siswa adalah upaya membina moral (akhlak) peserta didik. Moral yang diharapkan adalah moral yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang disandarkan pada keyakinan beragama. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut dewasa ini tampaknya banyak kendala yang harus dihadapi. Persoalannya muatan moral dalam tujuan pendidikan di atas terkesan hanya berlaku pada tataran normatif saja, terbukti adanya berbagai tindakan amoral yang bisa menggelinding menuju dekadensi moral dalam dunia pendidikan. Kegagalan moral dalam dunia pendidikan menjadi tanda kegagalan pendidikan nasional dalam merealisasikan fungsi dan tujuan pendidikannya. 24 Munculnya isu kemerosotan moral martabat manusia (dehumanisasi) yang muncul akhir-akhir ini, dapat diduga akibat krisis moral. Krisis moral terjadi karena antara lain akibat tidak seimbangnya kemajuan IPTEK dan IMTAQ di era globalisasi. Dengan demikian sentuhan aspek moral atau akhlak dan budi pekerti menjadi sangat kurang. Demikian pula sentuhan agama yang salah cabang 23 24 Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, op. cit., h. 7. Ibid., h. 7. 30 kecilnya adalah akhlak dan budi pekerti menjadi tipis dan tandus. Padahal roda zaman terus berputar dan berjalan, budaya terus berkembang, teknologi berlari sangat pesat, dan arus informasi global bagai tidak terbatas dan tidak terbendung lagi. Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti dan moral yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Tindak kejahatan mencuri, menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah pelajar sekolah. Hal ini sungguh sangat ironis dan memprihatinkan. 25 Di samping beberapa problematika di atas, problematika yang berasal dari keluarga juga merupakan problem yang sangat mendukung kemerosotan moral. Sebagaimana yang dijelaskan Agus Suyanto yang dikutip oleh Sudarsono:”Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan seterusnya, sebagian waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnyalah kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu sebagian besar dari keluarga”.26Apabila pola asuh terhadap anak dalam rumah tangga yang tidak sesuai, hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang melanda masyarakat kita tidak lepas dari tingkat penanaman nilai-nilai budi pekerti, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Berkaitan dengan efektivitas pendidikan moral yang berlangsung di jenjang pendidikan formal, hingga kini masih diperdebatkan. Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul “pendidikan moral” menegaskan 25 26 Nurul Zuriah, op. cit., h. 160. Sudarsono, Etika tentang Kenakalan Remaja (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), hlm. 20. 31 bahwa sekolah menjadi fungsi yang sangat urgen dan misi khusus untuk menciptakan makhluk bermoral, yang dibentuk sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan memusatkan perhatian kita pada sekolah, kita menempatkan diri tepat pada titik yang harus dipandang sebagai pusat terpenting bagi perkembangan moral anak pada usia tersebut.27 Oleh karena itu, dalam tataran implementasi dan realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah secara terpadu. Dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah perlu didukung oleh keluarga dan masyarakat. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal perlu mengambil peran dalam pengembangan sisi afektif peserta didik. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti, sekolah perlu lebih menekankan pada pembinaan perilaku peserta didik karena budi pekerti pada dasarnya bukan penguasaan pengetahuan atau penguasaan kognitif semata. F. Pendidikan Moral dalam Ajaran Islam Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memperoleh kesuksesan di dunia dan di akherat. Oleh sebab itu, ajarannya bukan hanya untuk akhirat, namun justru lebih banyak mengatur kehidupan dunia. Akhirat pada dasarnya merupakan konsekuensi atau hasil dari perbuatan di dunia. Pada zaman Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, terjadi kebobrokan moral (akhlak) pada masyarakat Arab. Tentu yang dimaksudkan akhlak pada masa 27 Emile Durkheim, Pendidikan Moral Terjemahan (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 14. 32 ketika Nabi mulai diutus adalah dalam pengertian yang luas, termasuk etika sosial. Jika dicermati, banyak sekali nilai ajaran moral terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi, seperti jujur, adil, menolong, benar, amanah, terpuji, respect (menghargai orang lain), dan lain-lain. Semua ini merupakan perilaku moralitas individual terhadap kehidupan sosial. 28 Pada dasarnya, seluruh ajaran Islam adalah bahwa semuanya menuju kepada tujuan yang satu, yakni menyempurnakan akhlak (moral) manusia, mudah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan membuka jalan-jalan kebahagiaan masyarakat. Kejayaan bangsa dan kejayaan umat terletak kepada akhlaknya. 29 Ketinggian moral (budi pekerti, akhlak mahmudah) yang terdapat pada seseorang, menjadikannya mampu melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna sehingga menjadikan orang tersebut hidup bahagia, walaupun faktor-faktor hidup yang lain (seperti harta, pangkat) tidak ada padanya. Sebaliknya, apabila manusia buruk akhlaknya, kasar tabi’atnya. buruk prasangkanya pada orang lain, maka itu sebagai pertanda bahwa manusia itu hidup resah, walaupun hartanya berlimpah. Islam memberikan kewajiban kepa para pendidik, terutama orang tua, untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai pendidikan aqidah, pendidikan berbakti (ubudiyah), pendidikan kemasyarakatan (sosiologi), pendidikan mental, dan pendidikan akhlak (moral, budi pekerti) agar memiliki moralitas yang tinggi. 28 29 Ahmad Rifa’ai, Masyarakat Islam, (Jakarta: CV. Indrajaya, 2009), hlm. 16. Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Quran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007), hlm 23. 33 G. Kemandirian Pendidikan Moral di Sekolah Ketika kehalusan pendidikan moral telah di sepakati pelaksanaannya di dunia persekolahan, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah teknis pelaksanaannya, terpisah secara mandiri ataukah di integrasikan ke dalam mata pelajaran lain khususnya pendidikan agama. Pendapat yang menghendaki pengajaran pendidikan moral di integrasikan ke dalam mata pelajaran lain, khususnya pendidikan agama beralasan karena muatan moral dan agama saling bersinergi. 30 Tujuan pendidikan agama dan moral tidak terlalu berbeda, yaitu dalam kerangka menghasilkan manusia pendiidkan yang berkepribadian, yakni bertakwa kepada Tuhan YME, bertanggung jawab, berwawasan lingkungan, arif bijaksana dan berkepedulian sosial tinggi. Pengajaran pendidikan moral di integrsikan ke dalam mata pelajaran lain merupakan istilah lain dari hidden curriculum. Kurikulum sekolah-sekolah kita ini tergolong terpadat dibandingkan dengan kurikuum di negara-negara lain. Artinya, murid-murid kita tergolong manusia-manusia muda yang paling “tersiksa” dibandingkan rekan-rekan mereka dari Negara lain akibat beban kurikulum yang amat sarat tersebut. Karena itu, adalah mustahil untuk menambah beban mereka dengan memasukkan pendidikan moral kedalam kurikulum pendidikan/sekolah. 31 Oleh karenanya dengan hidden curriculum ini, maka pendidikan moral tidak akan memberi beban tambahan bagi murid. 30 Ahmad Ta’rifin dan Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan, hlm. 13. 31 http://rahadieducation.wordpress.com/2013/05/21/runtuhnya-solidaritas-sosial-2pendidikan-moral-di-sekolah/ 34 Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) adalah alternatif moral secara keseluruhan yang menjadi ciri sekolah. 32 Diantaranya adalah peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimilki guru dan pegawai administrasi sekolah, dan materi teks. Sementara itu, pendapat yang mengatakan pendidikan moral harus diajarkan secara mandiri beralasan kepada: a. Implementasi pendidikan agama yang ada selama ini hanya mendapat bobot dan pelajaran amat minim. b. Materi pendidikan moral yang di integrasikan kepada materi-materi pendidikan agama seringkali terdesak oleh materi-materi lain, misal hukum, sejarah, dan sebagainya. Perbedaan tersebut dapat dikompromikan dengan menjadikan pendidikan moral sebagai mata ajar sendiri ataupun di integrasikan kedalam mata pelajaran lain, yang terpenting adalah substansi moral yang ada dalam semua mata pelajaran, para pendidik harus mampu menyusupkan nilai-nilai moral kepada anak didik pada setiap sikap dan perilakunya. Perilaku seorang guru seringkali menjadi model contoh bagi murid-murid. gurunya kurang mengerti adab dan sopan santun, tidak berperilaku berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, mementingkan diri sendiri, sering menampilkan perilaku memeras, bagaimana perilaku muridmuridnya, tentu akan lebih parah. Oleh karena itu, jika kita hendak mendidik murid-murid dengan nilai-nilai moral dan etika, mau tidak mau harus memberi 32 hlm. 455. Jhon W. Santrock, Adolesc3nce: Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2003), 35 contoh dan perilaku yang diharapkan dari pendidikan moral dan etika tersebut. Dengan kata lain, guru harus merekonstruksi moralitasnya sendiri lebih dahulu.