Pembelajaran Abad 21 Berbasis Karakter dan Lingkungan untuk Mewujudkan Generasi Masa Depan Kreatif, Produktif, dan Afektif *) Abstrak Oleh Prof. Dr. Endang Widi Winarni, M.Pd**) Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan, harkat dan martabat manusia dan masyarakat indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Program pendidikan di sekolah lebih memperhatikan tingkat perkembangan kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik siswa sehingga pendidikan yang diberikan kepada peserta didik dapat menjadikan warga negara yang berkompetensi dan berkarakter sehingga dapat memenuhi tuntutan kehidupan masa depan. Pendidikan karakter dapat diperkuat melalui proses dan penilaian dalam pembelajaran, di mana seluruh potensi peserta didik diarahkan pada penyadaran kejiwaan, sosial, moral, dan spiritual, pemberdayaan, pembinaan, pengembangan, dan perluasan perangkat sistem norma dan nilai ke dalam tatanan nilai dan keyakinan peserta didik secara layak dan manusiawi. Pembelajaran menjadi bermakna jika dilakukan dalam lingkungan yang dapat menyediakan rangsangan terhadap individu dan sebaliknya individu memberikan respon terhadap lingkungan. Penggunaan lingkungan kontekstual sebagai sumber belajar dapat dijadikan pilihan dalam pelaksanaan pendidikan karakter untuk penyiapan generasi yang kreatif, produktif, dan afektif Kata Kunci: Pembelajaran berbasis karakter, lingkungan, generasi kreatif, produktif, dan afektif ______________________________________________________________ *) Disajikan pada Seminar Nasional tanggal 8 Oktober 2016 di Universitas Kuningan Jawa Barat. **) Guru Besar Pendidikan Biologi Universitas Bengkulu, Dewan Pakar Himpunan Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Indonesia, dan Dewan Pendidikan Provinsi Bengkulu. 1 Pendahuluan Pendidikan memiliki kekuatan (pengaruh) yang dinamis dalam kehidupan manusia di masa depan. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu yang setinggi-tingginya dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosiobudaya di manapun dia hidup. Tujuan pendidikan selalu mengacu pada tujuan pendidikan nasional dan memperhatikan tahap dan karakteristik perkembangan siswa, kesesuaiannya dengan lingkungan serta memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kehidupan umat manusia secara global. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan terwujud apabila terjadi perubahan pola pikir dalam proses pembelajaran. Belajar pada hakikatnya adalah suatu interaksi antara individu dan lingkungan. Lingkungan belajar/pembelajaran/pendidikan terdiri dari: (1) lingkungan alam meliputi semua sumber daya alam, (2) lingkungan sosial adalah lingkungan masyarakat baik kelompok besar maupun kelompok kecil. (3) Lingkungan kultural mencakup hasil budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sumber belajar. Hal itu dikarenakan secara ekologi manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Untuk kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan sumber daya dari lingkungan, sehingga hubungan antara manusia dan lingkungan tidak dapat dipisahkan. Sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yang intinya mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan, harkat dan martabat manusia dan masyarakat indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional maka peran guru harus mengalami perubahan. Program pendidikan di sekolah perlu lebih memperhatikan tingkat perkembangan kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik siswa sehingga pendidikan yang diberikan kepada siswa menjadi lebih berbudi pekerti luhur. Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan menyajikan: (1) pendidikan karakter, proses pengembangan, dan penilaiannya, (2) pembelajaran berbasis lingkungan alam, social, dan budaya, (3) proses, factor pengembangan generasi yang kreatif, produktif, dan afektif. Pendidikan Berkarakter Lickona (1991) menyatakan bahwa karakter terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan yaitu tahu arti kebaikan, mau berbuat baik, dan tindakan nyata berperilaku baik (Lickona,1991:51). Secara kejiwaan dan sosial budaya pembentukan karakter dalam diri seseorang merupakan fungsi dari seluruh potensi individu (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi social-budaya (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dapat dikelompokan dalam olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual 2 development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), serta olah rasa dan karsa (affective, attitude and social development). Kementerian Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Demi tercapainya pendidikan karakter, Kemendikbud Republik Indonesia membuat kebijakan “Gerakan penumbuhan budi pekerti”. Salah satu ikhtiar menerjemahkan visi Kemendikbud 2014-2019, yaitu membentuk insan dan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter. Penumbuhan budi pekerti tak cukup hanya diterapkan di sekolah tetapi sebagai proses menyeluruh, maka dipraktikkan di sekolah, rumah, maupun lingkungan sekitar, dari sisi waktu, berarti senantiasa dilaksanakan setiap waktu; dari sisi pelaku, berarti dilakukan oleh semua pelaku pendidikan. Husnil, dkk (2015:10) menyatakan bahwa penumbuhan diharapkan menjadi pembudayaan melalui tahapan: diajarkan, dibiasakan, menjadi kebiasaan, dilatih konsisten, menjadi karakter, dan akhirnya menjadi budaya. Pndidikan karakter bukanlah proses pengajaran yang bersifat transfer informasi semata serta bukan pula hanya melatih siswa untuk memiliki keterampilan teknis semata. Namun lebih dari itu, pendidikan karakter adalah proses memfasilitasi, membimbing, mendorong, memberi semangat, menemani, mengarahkan, menguatkan, dan menyontohkan atau meneladankan kepada peserta didik bagaimana seluruh potensinya dapat diaktualisasikan secara optimal menjadi berbagai bentuk kapabilitas yang akan membentuk karakter atau kepribadian siswa (Budimansyah, 2011) Meurut Zuriah (2007), pendidikan karakter haruslah mampu menyadarkan peserta didik tentang eksistensi dirinya dan tentang realitas sosialnya, dan untuk selanjutnya, dengan kesadarannya, peserta didik bersama-sama pendidik melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Untuk ini perlu ada proses penyadaran kejiwaan, sosial, moral, dan spiritual, pemberdayaan, pembinaan, pengembangan, dan perluasan perangkat sistem norma dan nilai ke dalam tatanan nilai dan keyakinan (value and belief system) peserta didik secara layak dan manusiawi. Langkah penguatan terjadi pada proses pembelajaran dan proses penilaian. Penguatan pada proses pembelajaran mencakup: a) penggunaan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan, b) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu, dan c) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. Prinsip pembelajaran adalah siswa aktif, konstruktivistik, kooperatif dan kolaboratif, serta kreatif. Penguatan pada penilaian pembelajaran 3 mencakup: a) mengukur tingkat berpikir mulai dari rendah sampai tinggi, b) menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam bukan sekedar hafalan, c) mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa, dan d) menggunakan portofolio pembelajaran siswa. Pembelajaran Berbasis Lingkungan Di dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kegiatan pembelajaran menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman atau kontekstual dan memberikan rasa aman bagi anak. Secara umum, lingkungan dapat dikategorikan menjadi tiga macam lingkungan belajar, yakni lingkungan alam, sosial, dan budaya. Lingkungan menyediakan rangsangan terhadap individu dan sebaliknya individu memberikan respon terhadap lingkungan. Dalam proses interaksi itu dapat terjadi perubahan pada diri individu, berupa perubahan tingkah laku. Di samping itu dapat juga terjadi, individu menyebabkan terjadinya perubahan pada lingkungan, baik yang positif atau bersifat negatif. Oleh karena itu, pendidikan berbasis lingkungan alam sangat relevan dengan paradigma pendidikan abad 21, yaitu memposisikan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan alam berkenaan dengan segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan geografis, iklim, suhu udara, musim, curah hujan, flora (tumbuhan), fauna (hewan), dan sumber daya alam. Gejala lain yang dapat dipelajari adalah kerusakan-kerusakan lingkungan alam termasuk faktor penyebabnya seperti erosi, penggundulan hutan, pencemaran air, tanah, udara, dan sebagainya. Dengan mempelajari lingkungan alam, diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan siswa terhadap alam sekitar, serta kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan, turut serta dalam menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan dengan menjaga kelestarian sumber daya alam bagi manusia. Penggunaan sumber belajar dalam lingkungan untuk kepentingan pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara: (1) membawa siswa ke dalam lingkungan untuk keperluan pembelajaran (karyawisata, service project, school camping, survey, dan interview); (2) membawa sumbersumber dari lingkungan ke dalam kelas untuk kepentingan pembelajaran (aneka sumber daya alam dan benda-benda secara fisik) (Winarni, 2012). Secara pedagogis, pendekatan lingkungan diarahkan untuk membantu para siswa mencapai: (1) peningkatan sikap dan keterampilan siswa melalui penggunaan lingkungan, (2) pengembangan intelektual siswa, mempunyai kemampuan berfikir logis jika 4 dihadapkan pada objek yang nyata, dan (3) peningkatan motivasi belajar siswa karena dapat memunculkan keinginan siswa untuk mengetahui hal-hal yang belum diketahui (Winarni, 2013). Lingkungan sosial sebagai sumber belajar berkenaan dengan interaksi manusia dengan kehidupan bermasyarakat, seperti organisasi sosial, adat istiadat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebudayaan, pendidikan, kependudukan, struktur pemerintahan, agama dan system nilai. Lingkungan sosial sangat tepat digunakan untuk mempelajari ilmuilmu sosial dan kemanusiaan. Dalam praktik pembelajaran penggunaan lingkungan sebagai media dan sumber belajar, hendaknya dimulai dari lingkungan yang terdekat, seperti keluarga, tetangga, rukun tetangga, rukun warga, kampung, desa, kecamatan dan seterusnya. Dalam konteks globalisasi, pendidikan harus mampu mempertahankan budaya dan jati diri bangsa di tengah-tengah gencarnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan beragam budaya serta peradaban bangsa baik di tingkat regional maupun international. Pada sisi inilah pendidikan seharusnya dilaksanakan dalam kerangka lingkungan termasuk lingkungan budaya. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan, ekspresi, dan komunikasi suatu gagasan sesuai perkembangan pengetahuan dan teknologi. Menurut Zubeidi (2004), ada tiga pemahaman terhadap budaya, yakni: (a) belajar tentang budaya, (b) belajar dengan budaya, dan (c) belajar melalui budaya. Secara konseptual, pendidikan berbasis budaya adalah model pelaksanaan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari konsep budaya, digerakkan oleh budaya dan untuk menciptakan budaya baru yang bercorak dan bernilai lebih dari budaya sebelumnya”. Pendidikan dengan konsep budaya artinya masyarakat sebagai pemilik budaya dengan segala tatanan nilai dan sistemnya ditempatkan sebagai subjek dan bukan sebagai objek pendidikan. Dengan membawa siswa ke lingkungan dan mengamati objek secara langsung dapat meningkatkan perkembangan berpikir siswa. Dampak selanjutnya akan menjadikan siswa memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Generasi Kreatif, Produktif, dan Afektif Kecerdasan intelektual atau intelegensi sangat dibutuhkan dalam proses kreatif. Kecerdasan intelektual berkaitan dengan kemampuan: (1) pemecahan masalah untuk belajar, (2) berpikir secara abstrak, dan (3) menyesuaikan diri dengan keadaan baru melalui berpikir secara divergen. Kreativitas terutama melibatkan proses berfikir secara “divergen” (Lwin, 2005). Kecerdasan intelektual terletak di otak bagian korteks (kulit otak). Kecerdasan intelektual dapat memberikan kita untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, memiliki daya kreasi, dan inovasi. Otak bagian korteks ini tersusun atas dua belahan yaitu otak kanan dan kiri. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear 5 dan rasional (membaca, menulis, simbolisme). Sedangkan cara berpikir otak kanan bersifat acak tidak teratur, intuitif dan holistik (perasaan, emosi, perasaan, pengenalan bentuk dan pola, serta visualisasi). Seseorang yang mampu mengembangkan cara berpikir otak kanan dan kiri secara seimbang serta kecerdasan Qalbu atau emosional bekerja secara optimal maka produk yang dihasilkan adalah produk yang optimal. Otak manusia tersusun atas sekitar 100 milyar sel neuron. Secara alami sel neuron mati 500.000 perhari, namun bisa bertambah sebesar 25% hingga 40% jika dilatih berpikir kompleks dan divergen (Jensen, 2008). Faktor-faktor yang menyebabkan sel neuron mati antara lain: perilaku destruktif (minuman keras, narkoba, dan seks bebas/pornografi), penyakit akut, gegar otak, dan kemalasan berlatih berpikir kompleks. Sedangkan dampak positif dari perasaan positif terhadap penambahan jumlah sel neuron adalah: meningkatnya hormon endorphin yang berfungsi mengaktifkan neurotransmitter. Neurotransmiter berfungsi sebagai pelumas terbentuknya sinaps. Sinaps sebagai tanda telah belajar yaitu terbentuknya selubung myelin pelindung sel saraf dalam membangun skemata. Individu dengan potensi kreatif dapat dikenal secara mudah melalui pengamatan ciri-ciri berikut: (1) hasrat ingin mengetahui, (2) bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, (3) panjang akal karena memiliki ide atau gagasan baru, (4) memunculkan pemikiran yang tidak atau belum populer, (5) cenderung lebih suka untuk melakukan tugas yang berat dan sulit, (6) mencari jawaban yang memuaskan dan komprehensip, (7) bergairah, aktif dan dedikasi dalam melakukan tugasnya, (8) berfikir fleksibel, (9) menanggapi pertanyaan dan kebiasaan untuk memberikan jawaban yang lebih banyak, (10) kemampuan membuat analisis dan sintesis, (11) optimistik, tidak takut gagal, berani tampil beda dan berani menanggung risiko, (12) memiliki semangat “inquiry:, dan (13) keluasan dalam kemampuan membaca (Winarni, 2012). Menurut Maslow (1972), kemampuan kreativitas seseorang lebih besar hampir 2/3 diperoleh melalui pendidikan dan 1/3 sisanya berasal dari genetik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kreativitas terbentuk bukan hanya karena bakat namun dapat dipelajari. Kompetensi masa depan menuntut insan yang kreatif, produktif, dan afektif. Oleh karena itu, pendidikan diarahkan pada pengembangan megaskills, yang mencakup: (1) Confidence: merasa mampu melakukannya; (2) Motivation: mempunyai keinginan untuk melakukannya; (3) Effort: kemauan untuk bekerja keras; (4) Responsibility: melakukan apa yang benar: (5) Initiative: keinginan untuk melakukan tindakan; (6) Perseverance: menyelesaikan apa yang telah diawali; (7) Caring: menunjukkan kepedulian pada orang lain; (8) Teamwork: mampu bekerja sama dengan orang lain; (9) Common Sense: mampu menggunakan pertimbangan dengan baik: (10) Problem Solving: menempatkan apa yang diketahui 6 dan apa yang dapat dilakukan ke dalam tindakan; (11) Focus: berkonsentrasi dalam pikiran sesuai tujuan; dan (12) Respect: menunjukkan perilaku yang baik, sopan, dan apresiasi. Kesimpulan 1. Pendidikan karakter dapat diperkuat melalui proses dan penilaian dalam pembelajaran, di mana seluruh potensi peserta didik diarahkan pada penyadaran kejiwaan, sosial, moral, dan spiritual, pemberdayaan, pembinaan, pengembangan, dan perluasan perangkat sistem norma dan nilai ke dalam tatanan nilai dan keyakinan peserta didik secara layak dan manusiawi. 2. Pembelajaran menjadi bermakna jika dilakukan dalam lingkungan yang dapat menyediakan rangsangan terhadap individu dan sebaliknya individu memberikan respon terhadap lingkungan. 3. Penggunaan lingkungan kontekstual sebagai sumber belajar dapat dijadikan pilihan dalam pelaksanaan pendidikan karakter untuk penyiapan generasi yang kreatif, produktif, dan afektif. DAFTAR PUSTAKA Budimansyah, Dasim, dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa, Penghormatan 70 tahun Prof. H. Endang Somantri, M.Ed. Laboratorium PKn UPI. Bandung: Widya Aksara Press. Husnil, Muhammad, dkk. 2015. Panduan Budi Pekerti. Sekretariat Ditjen Dikdasmen. Jakarta Pusat. Jensen, Eric. 2008. Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak. Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Edisi Revisi, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Kemdiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pusat Kurikulum. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan. Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York. Lwin, May, et all. 2005. Cara Mengembankan Berbagai Komponen Kecerdasan. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia. Maslow, Abraham H. 1972. “Holistic Approach to Creativity” in Climate for Creativity. ed. Calvin Taylor. New York: Pergamon Press. 7 Winarni, Endang Widi. 2012. Inovasi dalam Pendidikan IPA. Bengkulu: FKIP Unib Press. Zubeidi. 2004. Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zuriah, N. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerta dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. 8