BAB III Konteks Matius dalam Imperialisme Romawi 3.1 Pendahuluan Salah satu faktor signifikan dalam membaca teks Matius 19:1-12 dari perspektif poskolonial disamping rekonstruki perspektif adalah pemahaman terhadap sistem dominasi imperial pada konteks penulisan Matius. Oleh sebab itu pada Bab III penulis akan memaparkan aspek-aspek di seputar Injil Matius: pertama, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan waktu penulisan, penulis, tempat dan tujuan penulisan Matius. Kedua, memaparkan kekuasaan pemerintahan Romawi dalam lingkup politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Ketiga, memaparkan dinamika yang terjadi antara Romawi, Yahudi dan Kekristenan. Keempat, memaparkan praktik pernikahan dan perceraian menurut Yunani-Romawi, dan Yahudi. 3.2 Isu yang Berkaitan dengan Penulisan Injil Matius Injil Matius walaupun diletakkan paling awal dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tetapi tidak berarti Injil Matius merupakan Injil yang tertua. Pandangan beberapa ahli sampai pada abad 19 ZB Injil Matius merupakan Injil tertua, namun setelah abad XIX terjadi perubahan signifikan. Injil Matius tidak lagi dipandang sebagai Injil tertua, Injil tertua diyakini oleh para ahli adalah Injil Markus.1 Hal ini berdasarkan hipotesis empat sumber, yang menunjukkan bahwa penulis Injil Matius dan Injil Lukas mengikuti Injil Markus dan keduanya menggunakan Q atau disebut sumber logia (perkataan). Q artinya sumber, berasal dari singkatan bahasa Jerman Quelle. 1 St. Eko Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 18-20. 53 Sumber Q diyakini sebagai tradisi yang dekat dengan Yohanes Pembaptis dan perkataan Yesus menyejarah. Selain bersumber dari Markus dan Q, Matius dan Lukas menggunakan sumber khusus yang hanya terdapat di Injil Matius ataupun Lukas, sumber M untuk Matius dan sumber L untuk Lukas.2 Terdapat beberapa pendapat dari para ahli Perjanjian baru mengenai tahun penulisan Injil Matius. Robinson, Guthrie serta satu atau dua penulis Jerman memperkirakan tahun penulisan Matius berkisar tahun 40-60 ZB.3 Waktu penulisan Matius mengacu pada tahun 40-60 ZB didasari oleh penggunaan sumber Q dalam Matius, sumber Q kemungkinan besar ditulis pada masa sebelum pemberontakan Yahudi. Pemberontakan Yahudi terjadi pada tahun 66 ZB yang berpuncak pada kehancuran Bait Allah tahun 70 ZB, maka penulisan Matius mundur ke belakang sebelum tahun 66 ZB.4 Sementara pada umumnya para ahli beranggapan penulisan Injil Matius terjadi pada tahun 80-an ZB. Hal ini berdasarkan beberapa pengamatan. Pertama, salah satu sumber yang digunakan dalam penulisan Injil Matius adalah Markus. Injil Markus yang dianggap sebagai Injil tertua, ditulis kira-kira tahun 65 ZB.5 Dalam beberapa tulisan secara harfiah dalam Injil Matius terdapat kesamaan dengan Injil Markus, hal ini menunjukkan adanya ketergantungan literalis antara Injil Matius dan Markus. Bahkan ditemukan gaya bahasa Yunani dalam Injil Markus yang kurang baku disempurnakan dalam Injil Matius, sehingga dapat dikatakan bahwa Injil Matius adalah revisi dari Injil Markus. Revisi yang dilakukan nampaknya bertujuan untuk menyusun 2 B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung Mulia, 1986), 26-31. J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22 (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 7-8. 3 John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 220. 4 Trafis.D. Trost, Who Should be King in Israel?: A Study on Roman Imperial Politics, The Dead Sea Scrolls, and The Fourth Gospel (New york: Peter Lang Publising, 2010), 3-4. 5 De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 4. 54 tulisan secara sistematis, lebih rapi dan lebih mudah untuk dimengerti pembaca.6 Kedua, mengacu pada sumber Q yang diperkirakan bahan-bahan tersebut mulai dikumpulkan di Palestina dalam bahasa Aram, kemudian diterjemahkan ke bahasa Yunani. Dugaan dari para ahli, sumber Q terjemahan Yunani telah digunakan oleh jemaat purba di Siria jauh sebelum penulisan Matius dan Lukas berkisar tahun 50-65 ZB.7 Ketiga, penghancuran kota Yerusalem dan Bait Suci pada tahun 70 ZB. Titus sebagai jendral Romawi dengan kekejamannya memimpin serangan kepada orang Yahudi yang telah memberontak terhadap pemerintah Romawi.8 Tragedi pembakaran Bait Suci di Yerusalem menggemparkan umat Kristen pada saat itu dan bagi mereka yang non Kristen mengartikan penghancuran Bait Suci merupakan malapetaka yang dasyat bahkan sebagai akhir jaman. Dalam perumpamaan perjamuan kawin Injil Matius memberikan penekanan bahwa “kota-kota orang yang bersalah dibakar” (Matius 22:7). Penekanan pembakaran yang telah terjadi merupakan bentuk hukuman Tuhan diungkapkan Matius tentu setelah pembakaran itu terjadi, sehingga para ahli beranggapan teks tersebut merupakan tanda bahwa Injil Matius ditulis setelah tragedi pembakaran pada tahun 70 ZB. Situasi itu berdampak pada tujuan politis setelah kehancuran Bait Allah. Bait Allah tidak lagi menjadi pusat perhatian orang Yahudi. Pusat perhatian mereka beralih kepada reorganisasi rohani di bawah pimpinan para ahli Taurat. Para ahli Taurat menggunakan momentum ini untuk menegaskan kebenaran ajaran Yahudi dan mengklaim kekristenan sebagai ajaran sesat yang patut dihindari oleh orang Yahudi. Hal ini semakin mempertegas perkiraan penulisan Injil Matius pada tahun 80 ZB. Pembelaan terhadap ajaran Kristen dimunculkan Matius melalui teks-teks yang mengangkat kesalahan-kesalahan para ahli 6 R.T. France. The Gospel of Matthew: The New International Commentary on the New Testament (Michigan: Wm.B Eerdmans, 2007), 18. Ruth Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 54. 7 Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, 39-40. 8 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 14. 55 Taurat (Matius 23), bertujuan untuk memperkuat keimanan orang Kristen dan orang Kristen dapat membela diri mereka terhadap ahli-ahli Taurat.9 Keempat, Tulisan-tulisan sastra dari Ignatius seorang pemimpin Gereja di Anthiokia yang mengacu pada bahan-bahan dari Injil Matius. Ignatius adalah seorang pemimpin Gereja di Anthiokia yang berkarya berkisar tahun 100 ZB. Penggunaan Injil Matius dalam karya-karyanya tahun 100 ZB menunjukkan Injil Matius ada sebelum tahun 100 ZB. Mencermati empat hal diatas maka para ahli dalam PB berpendapat bahwa Injil Matius ditulis tahun 80-an ZB.10 Penulis Injil Matius menurut tradisi gereja beberapa abad lamanya mengarah pada Matius seorang murid Yesus mantan pemungut cukai yang biasanya disebut Lewi (Mat 9:9; 10:3). Namun dari beberapa pengamatan, para ahli berpendapat Injil Matius tidak mungkin ditulis oleh Matius murid Yesus. Seorang murid Yesus tentu adalah saksi mata dalam perbuatan-perbuatan Yesus, oleh sebab itu tidaklah mungkin jika seorang saksi mata menulis kisah Yesus dengan mengikuti secara harfiah kisah dari Injil Markus. Selain itu Injil Matius sangat bersifat Yahudi sementara Matius yang adalah murid Yesus memiliki kedekatan khusus dengan Roma mengingat ia adalah mantan seorang pemungut cukai yang merupakan kaki tangan Roma saat itu. Oleh karena pengamatan-pengamatan ini maka muncul beberapa anggapan tentang penulis Injil Matius, beberapa ahli mengatakan kemungkinan adalah seorang pemimpin agama Yahudi. Menurut Grundmann penulis Injil Matius adalah seorang yang dipengaruhi oleh pengajaran Matius, sementara Stendhal berpendapat bahwa Injil Matius di tulis oleh beberapa orang. Namun pendapat Stendhal disanggah oleh Bornkamm dan Grundmann yang berpendapat penulisan Injil Matius yang sangat sistematis dan rapi merupakan perencanaan dari pemikiran satu orang. Perdebatan yang masih terjadi tentang penulis menunjukkan bahwa penulis Injil Matius tidak 9 Leks, Tafsir Injil Matius, 14. De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 4. Warren Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, (New York: Trinity Press International, 2001), 10 37. 56 diketahui secara pasti sehingga dapat dikatakan penulis Injil ini anonim.11 Tulisan yang digunakan dalam Injil Matius adalah bahasa Yunani, namun dalam Injil ini ditemukan juga bahasa Aram, seperti kata “raka” (Mat 5:22) dan pemberian nama Iblis dengan bahasa Aram “Beelzebul” (Mat 10: 25). Penggunaan bahasa Yunani dan Aram merupakan tanda bahwa Injil Matius ditulis untuk orang yang mengerti bahasa Yunani dan Aram. Siria, sebelah utara Palestina merupakan kota yang penduduknya menggunakan bahasa Yunani dan juga mengerti bahasa Aram,12 sehingga kota Antiokhia di Siria diyakini pada umumnya oleh para ahli Perjanjian Baru adalah tempat penulisan Injil Matius.13 Selain penggunaan bahasa Yunani dan Aram terdapat tiga faktor yang mendukung kota Anthiokia sebagai tempat penulisan Injil matius yaitu,14 pertama, adanya tulisan-tulisan lain berisi kutipan dalam Injil Matius muncul sekitar tahun 100 ZB yang menunjuk Anthiokia dan Siriah, seperti tulisan Didache yang mengutip versi Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-13. Tulisan-tulisan lain berasal dari Ignatius seorang pemimpin Gereja di Anthiokia pada awal abad kedua, yang tulisannya berkaitan dengan kesusasteraan dan mengacu pada Injil Matius. Kedua, peran Petrus nampak lebih menonjol dalam Injil Matius dibandingkan dalam Injil Markus. Petrus disebut sebagai murid pertama (4:1-22; 10: 2), Pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah anak Allah (16:16), Petrus melihat peristiwa transfigurasi (17:1-8), Petrus meniru Yesus berjalan di atas air (14: 28-32) dan Petrus adalah dasar dimana Yesus akan membangun gereja-Nya (16:1618), kisah-kisah ini tidak terdapat dalam Markus. Penekanan terhadap peran Petrus berkaitan erat dengan peran Petrus yang signifikan dalam gereja di Anthiokia pada dekade pertama 11 M. E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 54. De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 3-4. Drane, Memahami Perjanjian Baru, 219. 12 De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 5. 13 Warren Carter, “The Gospel Of Matthew,” in R.S. Sugirtharajah (ed.), A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing (New York: T&T Clark, 2009), 75. 14 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 36-37. 57 kehadirannya (lih Gal 2:11-14). Ketiga, dalam Injil Matius terdapat penambahan tempat dalam wilayah pelayanan Yesus yaitu Siriah. Dalam Matius 4:23-25 Yesus mengajar, berkhotbah, dan menyembuhkan di Galilea, namun dalam Matius 4:24 diungkapkan bahwa ketenaranNya tersebar "di seluruh Suriah." Referensi untuk Suriah agak tidak biasa karena penekanan pelayanan telah di Galilea (4:12-23) dan Yesus tidak pergi ke Suriah. Ketiga faktor di atas menunjukkan dugaan yang mendasar bahwa Antiokhia merupakan tempat penulisan Injil Matius. Isi Injil Matius menunjukkan tiga tujuan khusus yaitu apologetik, kateketis, parenetis. Tujuan apolegetis mengarah pada legalitas status Yesus sebagai Mesias yang telah dijanjikan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama. Salah satu tema sentral pengajaran Yesus dalam Injil sinoptik yang didalamnya termasuk Injil Matius adalah tentang Kerajaan Allah. Kehadiran Kerajaan Allah (Mat 4:23; 9:35; 24:14) menggambarkan pemerintahan Allah terealisasi melalui Yesus Kristus. Hal ini merupakan gagasan kristologi yang merupakan fokus perhatian Injil Matius, kristologi Matius muncul dalam gelar kristologis yang dilekatkan pada Yesus sebagai anak Allah. Oleh sebab itu setiap orang dapat memasuki Kerajaan Allah jika telah bertobat dan percaya kepada Yesus. Kerajaan Allah akan menghadirkan keadilan, kebenaran, harapan kemuliaan pada kedatangan Tuhan. Hal ini diperlukan sehingga dapat memberi inspirasi dan semangat bagi orang Kristen untuk melakukan pembelaan terhadap agama Kristen di hadapan orang Yahudi yang tidak mengakui Yesus adalah Mesias.15 Kerajaan Allah dalam tulisan Guthrie diartikan sebagai perbuatan ataupun aktivitas yang berkenaan dengan kehendak Allah. Dengan 15 Penulisan Injil Matius secara khusus menekankan tentang relasi perjanjian dalam Perjanjian Lama dengan penggenapan janji dalam Perjanjian Baru yang ditandai dengan kehadiran Yesus. Yesus adalah bukti penggenapan janji dalam Perjanjian Lama terhadap Israel. Kutipan-kutipan nats Perjanjian Lama seringkali muncul dalam Injil ini, seperti kisah Yesus sebagai seorang anak kecil yang kembali dari Mesir ke negeri asalnya. Matius mengutip dari pernyataan Hosea tentang Israel yang mengungsi dari Mesir: “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku” (Mat. 2:15; Hos 11:1). Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah 29-30. De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 6. Drane, Memahami Perjanjian Baru, 217. 58 demikian Kerajaan Sorga disini tidak bersifat fisik atau diartikan sebagai wilayah pemerintahan raja tetapi perwujudan sikap hidup sebagai representatif kehadiran dan kedaulatan Allah dalam realitas hidup manusia.16 Tujuan berikutnya adalah kateketis. Kateketis merupakan pengajaran tentang pokokpokok agama Kristen. Grundmann menjelaskan bahwa Injil Matius ditulis dengan tujuan para jemaat mampu memberikan penginjilan kepada orang yang belum Kristen. Tujuan ketiga adalah parenetis, yang berarti nasihat atau teguran. Penekanan Matius pada tujuan ketiga ini agar gaya hidup jemaat dapat memancarkan kehidupan sebagai Kristen sejati. Nampaknya penulis Matius mengangkat paranetis sebagai tujuan disebabkan oleh kehidupan yang hambar di antara anggota jemaat di Siria, sehingga menurut penulis nada teguran sangat diperlukan dalam Injilnya. Tujuan kateketis dan parenetis terpusat pada pemuridan. Setiap orang yang terpanggil sebagai murid harus menyelaraskan secara radikal kehidupannya dengan pengajaran yang diberikan Yesus. Ketaatan tidak hanya berdasar pada pengakuan bahwa Yesus adalah anak Allah tetapi menuntut pembaharuan hidup dari para murid. Ketaatan kepada Yesus menjadi prioritas utama dalam Matius.17 3.3 Sejarah Singkat Kekuasaan Romawi Injil Matius muncul dari konteks dunia pada akhir abad pertama di Antiokhia. Antiokhia pada saat itu berada pada kekuasaan yang dibentuk oleh imperialisme Romawi. Hal ini berarti Anthiokia secara geografis dan administratif tunduk pada pemerintahan Romawi.18 Untuk lebih memahami imperialisme Romawi maka saya akan memaparkan sejarah singkat Romawi. 16 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2 (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 22-23. Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 31-35. De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 7. Drane, Memahami Perjanjian Baru, 218-219. 18 Carter, “The Gospel of Matthew,” 79. 17 59 Sejarah Romawi terbagi atas tiga periode besar. Pertama, monarki yang menurut tradisi terkait dengan legenda Romulus dan Remus pada tahun 753 SZB mendirikan kota Roma. Kedua, Republik yang dimulai pada tahun 509 SZB, dan ketiga adalah zaman Imperium Romanum atau kekaisaran Romawi terbentuk mulai tahun 27 SZB.19 Pada masa periode Republik, Roma menaklukan Yunani dan wilayah-wilayah di sekitar kawasan Laut Mediterania yang sempat berada dibawah kekuasaan Yunani bahkan mereka mampu memperluas wilayahnya sampai ke barat seperti kekaisaran Spanyol, Gaul (Perancis), Jerman bagian selatan serta Inggris bagian selatan. Bahkan dengan trik yang halus mereka berhasil menguasai bangsa-bangsa di sekitar Laut Tengah. Penaklukan terhadap kekaisaran Yunani terjadi pada tahun 146 SZB yang ditandai dengan jatuhnya Korintus, kemudian disusul dengan kejatuhan Athena pada tahun 86 SZB. Tahun 63 SZB seorang jendral Romawi Pompeius Magnus menaklukan Siria dan Palestina.20 Pengaruh budaya Yunani sangat kuat dalam Kekaisaran Romawi mengingat daerah yang ditaklukan Romawi menyerap solidaritas kebudayaan Yunani. Solidaritas helenisasi dipelopori oleh Alexander Agung seorang pemuda Yunani yang menaklukan Persia pada tahun 334 SZB dan seluruh Palestina pada tahun 332 SZB, dan memunculkan visi menyatukan seluruh peradaban dunia dengan cara hidup Yunani.21 Mengarah pada pencapaian visi tersebut ia mengeluarkan dua keputusan yaitu, pertama, pembangunan signifikan bagi kota-kota Yunani yang menjadi pusat-pusat administrasi dan pusat dari kebudayaan Yunani di negara-negara asing di sebelah timur. Kedua, sikap terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan setempat. Dua 19 Imperium berasal dari bahasa Yunani yang berarti kedaulatan kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada seorang pemimpin melalui undang-undang khusus (lex curiata). Kekuasaan pemimpin mencakup semua bentuk kekuasaan eksekutif, keagamaan, militer, hukum, legislatif dan pemilihan. Kekuasaan itu dimiliki oleh para pemimpin tertentu dengan tugas-tugas khusus. Kekuasaan itu diberikan kepada pemerintah provinsi yang menjadi wakil pemerintah Roma di luar negeri. Pemberlakuan kekuasaan secara sistematis diperuntukkan menguasai daerah luas secara geografis dan administratif. Trias Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), 118. 20 Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 117-118. 21 Donald B Kraybil, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 23-24 60 keputusan ini berdampak pada pengaruh kebudayaan Yunani yang sangat besar di setiap daerah jajahan Yunani bahkan berpengaruh signifikan terhadap budaya-budaya Timur. Solidaritas kebudayaan Yunani tetap terpelihara setelah kematian Alexander Agung, bahkan kerajaankerajaan yang terpecah-pecah sejak kematiannya tetap menggalakkan cara hidup Yunani dengan membangun kota-kota berdasarkan model bangunan Yunani, dan menjadikan bahasa Yunani sebagai bahasa bersama.22 Kekaisaran Romawi dalam pengaruh kebudayaan Yunani membangun kota-kota bercorak Yunani yang digunakan untuk tempat kebudayaan, industri dan perdagangan. Selain itu pula bahasa Yunani menjadi bahasa kaum intelektual sementara bahasa Latin di Roma hanya dipandang sebagai bahasa dari masyarakat kelas bawah, bahasa administrasi dan para sastrawan. Bahasa Yunani merupakan media dalam penyebaran berbagai aliran dalam filsafat ataupun penyebaran agama. Kebudayaan Yunani menjadi parameter dari kemajuan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi saat itu.23 Istilah kekaisaran Romawi mencakup dua hal yaitu: pertama, kedaulatan dan kekuasaan kekaisaran berada ditangan kaisar, para elit penguasa atau pejabat kekaisaran yang diyakini sebagai representatif dari para dewa Romawi. Kedua, daerah teritorial Romawi meliputi setiap daerah, tanah, sumber daya alam atau pun manusia yang berada di bawah kekuasaan Roma. Dua cakupan dalam kekaisaran Romawi melibatkan dua bidang yaitu undang-undang dan yuridiksi. Kekaisaran Romawi menggunakan kekuatan militer untuk pelaksanaan undang-undang dan yuridiksi. Kekuatan militer secara khusus dimanfaatkan untuk merebut dan membangun wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Romawi. Sumber daya militer merupakan kekuatan Romawi untuk memaksakan kepatuhan kepada setiap penduduk. Sistem dari imperialisme Romawi adalah aristokrasi, berarti kekuasaan kekaisaran untuk seluruh wilayah berada pada 2-3. 22 John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 23 C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 55-56. 61 kelompok kecil melalui birokrasi kecil dalam aliansi dengan elit propinsi, mungkin hanya 2 persen dari populasi penduduk. menguasai Sumber daya militer merupakan kekuatan mereka untuk setiap penduduk. Militer memainkan peran penting dalam mengintimidasi dan menekan para pemberontak ataupun musuh dari kekaisaran Romawi. Intimidasi merupakan dasar dari kedaulatan politik di Romawi. Dominasi yang dilakukan atas sumber daya tanah dan produksi merupakan media untuk mengendalikan situasi politik dan memperkaya diri melalui pajak, sewa dan upeti. Ekonomi legion menjadi ekonomi Kekaisaran. Pengambilan langkahlangkah ekonomi selalu disertai dengan kekuatan militer.24 Ekspansi yang dilakukan Romawi bertujuan untuk mengendalikan provinsi, namun Roma tidak mengakui bahwa mereka telah menjadi agresor, yang mereka lakukan adalah berjuang untuk mengalahkan musuh yang dinilai dapat menimbulkan ancaman bagi integritas Roma. Cicero, orator terkenal dari abad ke-1 SZB, menempatkan kasus ini sederhana dan jelas: “Alasan utama berperang, agar Roma dapat hidup dalam damai.”25 Integritas menjadi prioritas dalam kekaisaran Romawi, dan untuk mempertahankannya maka segala cara dan tindakan kekerasan menjadi legal. Para kaisar yang menempati posisi teratas dalam struktur kekaisaran yang berpusat di Roma seringkali menggunakan tindak kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam struktur kekaisaran yang berpusat di Roma posisi teratas berada pada kekuasaan kaisar. Kedudukan kaisar pada abad pertama hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki sehingga kekuasaan sosial politik sarat dengan ketidaksetaraan gender. Kepemimpinan para kaisar Romawi tidak terluput dari tindakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Periode kekaisaran Romawi diawali dengan bertahtanya Oktavianus sebagai Kaisar Romawi dengan gelar Kaisar Agustus pada tanggal 16 Januari 27 SZB. Pada masa kekuasaannya 24 25 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 9-12. Christopher Kelly, The Roman Empire: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2006), 20. 62 Kaisar Agustus mengupayakan pembaharuan dalam pemerintahan Romawi agar kekaisaran Romawi menjadi lebih solid. Cara yang diupayakan untuk pembaharuan pemerintahan Romawi melalui reorganisasi provinsi-provinsi, membangun jalan, mengamankan daerah perbatasan kekaisaran, memperkenalkan reformasi pajak, mengembangkan sistem kepegawaian baru, membangun proyek-proyek di Roma. Keberhasilan kekuasaannya membawa Roma memasuki masa kejayaan yang disebut dengan Pax Romana atau Pax Augusta, dengan wilayah kekuasaan kekaisaran mencapai dua juta mil persegi dari barat sampai daratan Inggris. Ketentraman, kemakmuran, keadilan serta perdamaian dirasakan oleh rakyat Roma, kondisi ini berdampak pada pembebasan tugas bagi para tentara pada tahun 7-2 SZB. Bahkan kaisar Agustus mendapatkan julukan “pangeran perdamaian” Roma karena keberhasilannya menghadirkan perdamaian di seluruh kekaisaran.26 Perekonomian periode kekaisaran pada masa Pax Romana sempat mengalami kesulitan yang signifikan, karena jalur perniagaan jarak jauh terhambat yang disebabkan oleh lambatnya alat komunikasi dan transportasi. Beberapa kaum bangsawan lebih memilih untuk menghabiskan kekayaan dibanding terfokus dengan bisnis dan mengelola harta kekayaan dengan menyimpannya dalam perusahaan-perusahaan niaga atau industri, minimnya penanaman modal berdampak pada perekonomian yang tidak dapat berekspansi. 27 Keadaan ini memunculkan kesenjangan pada masyarakat kelas atas dan kelas bawah, sejumlah populasi kecil dari kelas atas dan menengah hidup dalam kemakmuran, kemewahan, mendapatkan keuntungan dari perdamaian Romawi. Sementara masyarakat kelas bawah yang hidup di wilayah pedesaan menerima perlakuan yang eksploitatif untuk menyediakan makanan murah bagi para penghuni 26 Pax Romana secara harfiah memiliki pengertian kedamaian bagi Roma, dan sering dipahami dengan perdamaian, kemakmuran, komunikasi dan perdagangan yang meluas di seluruh Imperium Romanum. Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 121-122. 27 Marvin Perry, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), 151. 63 kota, dan pulau-pulau kecil dengan kebudayaan tinggi dikelilingi oleh lautan petani barbarisme.28 Salah satu dektrit yang dikeluarkan oleh senat Roma pada masa kaisar Agustus adalah setiap wilayah yang berada dibawah kekuasaan Romawi harus mengangkat sumpah setia kepada kaisar Agustus. Dalam menjalani kekaisaran para kaisar terfokus pada dua misi yaitu menuntut kesetiaan bagi setiap wilayah yang dikuasainya dan menimbun kekayaan dalam peti simpanan harta orang-orang Romawi. Saat menduduki wilayah jajahannya kekaisaran Romawi turut membawa hukum dan tradisi budayanya ke wilayah jajahan. Namun dalam sikap politik kekaisaran yang membentuk provinsi di negara jajahan, Romawi mengambil sikap politik dengan cara tidak menciptakan negara bagian Romawi. Bahkan pemerintah setempat tetap diberi ruang dalam pemerintahannya, sikap politik ini akan memunculkan kesan bahwa wilayah jajahan tetap sebagai negara merdeka walaupun telah dipengaruhi oleh hukum dan tradisi budaya Romawi. Sikap politik ini bertujuan untuk pelaksanaan proses asimilasi bertahap dengan cara pemberian kewarganegaraan Romawi kepada seseorang, sehingga pemerintah lokal akan berpihak dan loyal terhadap kekaisaran pusat di kota Roma.29 Namun dalam beberapa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Romawi, terdapat pengecualian bagi orang-orang Yahudi yang mendapatkan dispensasi khusus dari kewajiban untuk menyembah penguasa atau patung suci dalam peribadatan. Augustus yang menganggap bahwa Yudaisme memandang rendah hukum Romawi melihat bahwa Yudaisme tidak menjadi ancaman bagi mereka. Pontius Pilatus yang menjabat sebagai wali negeri (procurator) Yudea 26-26 ZB mendapat pesan khusus untuk tidak mengambil kebijakan-kebijakan yang dapat memancing kemarahan orang Yahudi. Bahkan orang-orang Yahudi diperlakukan secara khusus dalam masa pemerintahan Julius Caesar dan Nero. Bentuk perlakuan khusus berupa pemberian izin bagi orang Yahudi untuk mengirimkan 28 29 Perry, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan, 152. Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 122-123. 64 dana yang telah terkumpul ke Yerusalem walaupun pada masa itu perekonomian Roma sementara dalam kesulitan.30 Kekaisaran Romawi memiliki prestasi besar, pada abad 2 ZB kekaisaran Romawi mencapai puncak dengan populasi 60 juta orang yang tersebar di 5 juta kilometer. Kekaisaran ini mengelilingi Mediterania, membentang dari Tembok Hadrian di utara Inggris, sungai Efrat di Suriah; tanah datar Eropa di pantai Afrika Utara dan lembah Nil di Mesir.31 Pada tahun perkiraan penulisan teks Matius, kekaisaran Romawi dipimpin oleh tiga orang Kaisar yaitu Divus Vespasian (69-79), Divus Titus (79-81), Domitianus (81-96). Divus Vespasian menjadi pemimpin militer untuk menyerang para pemberontak Yahudi yang dianggap telah melakukan pemberontakan terhadap kaisar Romawi karena keyakinan yang dianut oleh Yahudi Kristen bahwa akan datang penguasa dunia yang tidak berasal dari Roma. Untuk menghadapi pemberontakan tersebut Divus Vespasian dilengkapi dengan dua legiun yaitu 8 divisi kavaleri dan 10 pengawal cadangan.32 Kondisi setelah kehancuran Bait Allah membuat kekaisaran Romawi meningkatkan kedudukan gubernur dengan menaikkan pangkat setara dengan utusan kaisar, pasukan militer semakin diperkuat untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya para Mesias.33 Setelah tahun 70 ZB kaisar Vespasianus juga menambahkan pajak atas orang-orang Yahudi yang ia gunakan untuk membangun kembali dan memelihara kuil Jupiter Capitolinus di Roma, tindakan ini semakin memperkuat identitas Romawi yang dapat menaklukan setiap orang yang memberontak melawan Romawi dan dewa-dewanya. Mereka dipaksa untuk mengakui kemenangan Jupiter atas Allah Israel.34 30 31 Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 125-127. Christopher Kelly, The Roman Empire: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2006), 1. 32 Robert Graves, Dua Belas Kaisar (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), 417. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 21. 34 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 77. 33 65 Dalam kepemimpinannya ia mendapat kekuasaan dari para senat yang memberikannya hak untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja yang ia kehendaki, memperluas daerah, mengadakan transaksi dan melakukan apapun yang menurut anggapannya sebagai pengabdian kepentingan negara serta kehormatan dewa serta manusia.35 Vespasian menekankan disiplin dan ketegasan di setiap peperangan, sehingga dengan kemampuan yang dimilikinya Vespasian dapat melumpuhkan pemberontakan Yahudi. Prestasi ini membuatnya meraih 8 jabatan consul dan masuk sebagai pejabat censor.36 Dalam kepemimpinannya ia membuat beberapa keputusan: menetapkan pajak baru yang lebih berat, menggandakan upeti dari propinsi-propinsi, mengadakan perjanjian bisnis yang tidak etis seperti membeli komoditas tertentu hanya untuk disimpan hingga harga pasar dapat lebih tinggi, bahkan memberikan peluang bagi para koruptor dengan menempatkan mereka di tempat yang tepat untuk melakukan korupsi namun setelah itu para koruptor akan dihukum dan Vespasian dapat memeras mereka, sehingga keuntungan kembali kepadanya. Ia sempat mengeluarkan dektrit agar setiap perempuan yang berhubungan asmara dengan para budak akan kehilangan kebebasannya.37 Setelah Vespasian wafat ia digantikan dengan anaknya Titus yang juga turut berperan aktif dalam penyerangan ke Yerusalem, dalam peperangan itu Titus membunuh 12 serdadu dengan panah.38 Ia menyerbu dan menghancurkan Yerusalem serta menutup Bait Allah.39 Dalam kepemimpinannya ia tidak disukai orang karena beberapa aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Titus, salah satunya yaitu memberikan hukuman mati terhadap orang-orang yang ia curigai sebagai lawan politik, seperti pembunuhan yang dilakukannya terhadap mantan consul Aulus Caecina diyakininya sebagai hal yang diperlukan secara politik. Dia juga mencerminkan gaya 35 Moses Hadas, Roma Masa Kekaisaran (Jakarta: PT Tira Pustaka, 1983), 62-65. Graves, Dua Belas Kaisar, 422. 37 Graves, Dua Belas Kaisar, 425-428. 38 Graves, Dua Belas Kaisar, 437. 39 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 20. 36 66 hidup yang tidak senonoh, seringkali ia mengadakan pesta pora dengan penuh hawa nafsu.40 Domitianus melanjutkan kekaisaran dari tangan Titus setelah Titus meninggal. Domitianus memimpin tahun 80 ZB, dalam kepemimpinannya ia dikenal sangat kejam dan licik. Ia sering memberikan hukuman yang tidak berprikemanusiaan seperti menghukum mati seseorang dengan melemparkannya ke arena gladiator dan membiarkannya dicabik-cabik oleh sejumlah anjing. Ia juga membuat kebijakan setiap perkara hukum sekecil apapun yang terjadi dapat mengakibatkan penyitaan properti. Setiap orang yang mencoreng kemuliaan kaisar akan mendapatkan ganjaran. Selain itu ia memerintahkan pengumpulan pajak terhadap orang Yahudi, dan bagi mereka yang menghindari pajak akan mendapatkan hukuman. Dalam kehidupan seksual Domitian akan memilih setiap perempuan yang ia ingini untuk melampiaskan nafsu seksual, bahkan setiap kegiatan seks dianggapnya hanya sebagai “gulat di tempat tidur”.41 Domitianus mewajibkan setiap orang yang berada di bawah kekuasaan Romawi termasuk orang Kristen menyembah dirinya sebagai dewa. Bahkan ia memerintahkan untuk membangun kembali patung-patung Yupiter, Minerva yang sudah pernah dihancurkan dan juga membuat patung dirinya. Ia menyebut dirinya sebagai raja dan Allah, oleh sebab itu mewajibkan setiap orang yang berada dibawah kekuasaan Romawi termasuk orang Kristen menyembah dirinya sebagai dewa. Saat Domitianus mengetahui keberadaan Yesus sebagai keturunan Daud yang diakui oleh orang Kristen sebagai Mesias, dan ketidaksediaan mereka untuk menyembahnya sebagai dewa karena dalam pandangan kekristenan hanya Tuhan yang layak disembah maka Domitianus memandang hal ini sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Bahkan saat Domitianus mengaktakan bahwa kaisar adalah tuhan, orang Kristen menanggapinya dengan pengakuan Yesus adalah Tuhan di atas segala tuan. Maka pandangan ini memicu kemarahan Domitianus, 40 41 Graves, Dua Belas Kaisar, 438-439. Graves, Dua Belas Kaisar, 458-466. 67 sehingga orang-orang Kristen dianggap sebagai pemberontak terhadap pemerintahan Romawi yang sah dan Domitianus mengeksekusi besar-besaran orang Kristen pada tahun 91-96 ZB.42 Sketsa struktur kekaisaran yang berpusat di Roma menempatkan kekuasaan kaisar berada diposisi teratas. Kedudukan kaisar pada abad pertama hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki sehingga kekuasaan sosial politik sarat dengan ketidaksetaraan gender. Dalam melaksanakan pemerintahan di Roma, kaisar didukung para elit penguasa yaitu oleh para senat yang terdiri dari para birokrat, pemimpin militer dan pejabat agama. Sementara dalam tingkat propinsi di kontrol oleh seorang gubernur yang dipilih oleh kaisar serta senat. Tugas dari para gubernur adalah mengontrol pariwisata, hukum, administrasi, pengumpulan pajak dan penugasan pasukan militer. Mereka juga membentuk aliansi dengan para pemilik tanah melalui kekuasaan dewan kota untuk kepentingan politik dan ekonomi kekaisaran Romawi. Pengaruh dan status sosial yang dimiliki oleh para elit penguasa merupakan hasil dari relasi yang terbangun antara mereka dengan kaisar dan persahabatan yang dibina dalam komunitas mereka. Relasi dan kerjasama yang baik dengan kaisar berdampak pada meningkatnya harta kekayaan, kuasa, status sosial dan perlindungan yang diberikan oleh kaisar dalam hal penyitaan harta, kepemilikan perkebunan dan mendapatkan jabatan politik. Kenyamanan yang diberikan oleh kaisar kepada para elit penguasa memiliki maksud politis agar para elit penguasa saling berkompetisi dalam menentukan pajak maksimun dari para petani dan pengrajin, dan penentuan pajak yang tinggi akan sangat menguntungkan bagi kekaisaran Romawi.43 Dalam konteks ekonomi, masyarakat kelas atas yaitu para elit penguasa ataupun para bangsawan mendapatkan bagian terbesar dari hasil tanah dan sumber-sumbernya. Tanah adalah 42 Ira C, Semakin Dibabat Semakin Merambat (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 11. Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 124. James Tabor, Dinasti Yesus (Jakarta: Gramedia, 2006), 376. 43 Carter, Matthew, and Empire: Initial Exploration, 11-12. 68 salah satu komoditi yang diharuskan karena berkaitan dengan makanan pada saat itu, sehingga investasi tanah akan memberikan keuntungan besar. Para elit pada umumnya memilih untuk memupuk kekayaan kepemilikan tanah. Tanah yang menjadi milik mereka didapat dari warisan, pengalihan tanah dari pihak pemilik sebelumnya karena bangkrut, para debitur dan jarahan perang. Namun kepemilikan tanah tidak dapat memenuhi kebutuhan para elit oleh karena itu mereka berupaya untuk memiliki sumber-sumber penghasilan lain melalui jabatan politik, seperti menjadi gubernur propinsi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan materi jauh lebih besar dari kepemilikan tanah, melalui hak-hak istimewa, pelaku bisnis dan pemerasan. Sumber yang lain berasal dari peminjaman uang, pengumpulan pajak dan pemberian hadiah dari kaisar. Pada umumnya masyarakat kelas atas memiliki gaya hidup konsumtif, bagi mereka kehidupan glamour lebih penting dibandingkan dengan menginvestasikan kekayaan. Kekayaan yang mereka miliki menjadi parameter untuk menerima pengakuan dari masyarakat perihal status sosial dan politik. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat kelas atas memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan masyakarat kelas bawah. Masyarakat kelas bawah yaitu budak atau tenaga sewaan, hidup dengan upah yang sangat minim dengan pekerjaan yang mereka lakukan di pasar terbuka, di ladang, kebun anggur, sebagai kuli bangunan, atau sebagai kuli di pelabuhan.44 Setelah memaparkan sumber perekonomian pribadi masyarakat Romawi, selanjutnya akan dipaparkan sumber perekonomian kekaisaran. Sumber pendapatan terbesar kekaisaran Romawi adalah tanah dan bangunan. Tanah masyarakat sering disewakan untuk kepentingan kekaisaran, dan pada umumnya pemegang kontrol dari penyewaan tanah berada pada wilayah politik yang dikendalikan oleh kota. Sementara bangunan-bangunan seperti pasar disewakan kepada para pedagang yang memiliki toko. Selain itu yang turut berperan besar dalam 44 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 68-80. 69 pertumbuhan ekonomi kekaisaran dan kemakmuran invidu dari elit penguasa adalah ketentuan penduduk dalam membayar pajak.45 Terdapat dua jenis pajak dalam Kekaisaran Romawi: pertama adalah tributum soli yaitu pajak terhadap tanah, rumah , budak dan kapal yang ditetapkan sesuai tarif yang ditetapkan oleh propinsi. Siria menetapkan pajak sebesar 1 persen per tahun. Kedua adalah tributum capitis atau pajak kepala, pajak ini dikenakan bagi orang-orang dewasa sebesar satu dinar per orang secara merata dari usia 12-65 tahun. Perhitungan tarif yang merata dari pajak kepala sangat memberatkan bagi masyarakat kelas bawah, namun sangat mudah bagi masyarakat kelas atas untuk membayarnya.46 Mayoritas 90 persen dari populasi yang membayar pajak adalah petani atau pengrajin.47 Dalam pemerintahan aristokrasi, kekuatan militer bersinergi dengan kemapanan ekonomi. Kekuatan militer digunakan sebagai ancaman terhadap pemberontakan penduduk yang menolak membayar pajak upeti, penyitaan ataupun pengendalian lahan pertanian. Pajak memaksa para petani dan pengrajin untuk bekerja penuh waktu sehingga dapat menghasilkan surplus bagi para elit. Kerja paksa yang dikontrol oleh para militer Roma dan pemilik tanah lokal bertujuan meningkatkan produktivitas dan profibilitas tanah mereka. Roma menganggap penolakan untuk membayar pajak dan upeti sebagai pemberontakan terhadap kedaulatan Roma. Ideologi yang ditancapkan dalam setiap kerja keras yang dilakukan oleh para petani dan pengrajin adalah kemajuan perekonomian Roma berarti kemajuan, perdamaian dan kesejahteraan seluruh penduduk Roma, namun fakta yang ada menggambarkan kemakmuran hanya menjadi milik para 45 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 81-85. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 86. 47 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 19. 46 70 elit penguasa. Tindakan eksploitatif dan keserakahan Roma mendapat kritikan dari beberapa propinsi, bahkan Tacitus seorang senator menyebut Roma sebagai perampok dunia.48 Strata sosial dalam masyarakat Romawi terbagi atas beberapa tingkatan. Tingkatan pertama adalah Kaisar dan para elit penguasa. Kelas penguasa menjalankan kekuasaan melalui beberapa peran yaitu sebagai tentara, penguasa, administrator, hakim, dan imam. Senator menduduki tingkatan kedua setelah kaisar, mereka sangat kaya dan bertanggungjawab dalam menata administrasi, memimpin tentara, memberikan sumbangan untuk proyek sosial-budaya serta dapat menjadi imam. Tingkatan berikutnya adalah para ksatria. Komunitas Ksatria pada jaman Romawi kuno dikenal sebagai tuan tanah, dengan kekayaannya mereka dapat menanggung biaya peperangan dan penunggang kuda. Pada periode kekaisaran mereka adalah elit menengah yang memiliki tugas-tugas khusus dalam pemerintahan kota dan kekaisaran. Para bangsawan yang terdiri dari para pemilik tanah, pengusaha, pedagang dan saudagar menempati tingkat di bawah para ksatria. Mereka berada di setiap propinsi atau kota dan memperoleh kekayaan melalui warisan,dan bisnis. Para bangsawan ini menjalankan tugas-tugas kedutaan kepada para gubernur dan raja-raja, serta mengawasi pelabuhan dan memungut pajak. Jumlah dari masyarakat kelas atas lebih kecil daripada masyarakat kelas bawah, namun masyarakat kelas atas lebih dominan mengingat harta kekayaan yang mereka miliki dan memiliki kekuasaan secara politis dalam kekaisaran.49 Beberapa nilai-nilai dan ideologi yang menjadi parameter hukum dan realitas sosial penduduk dibuat dan diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan para elit penguasa. Nilai-nilai tersebut mendukung setiap tugas dan tanggung jawab yang mereka lakukan untuk mempertahankan kehormatan dan kekuasaan. Bahkan aturan-aturan yang dibuat mengakomodasi 48 49 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 13-15. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 133. 71 tindakan radikal melalui kekuatan militer kepada setiap penduduk yang lalai atau memberontak terhadap ketetapan elit penguasa. Kekuatan militer menjadi alat memupuk harta kekayaan dan perlindungan bagi para elit sipil yang memberikan sumbangan untuk pembangunan jalan, kota, patung atau kegiatan yang berhubungan dengan Kekaisaran.50 Masyarakat kelas bawah terdiri dari beberapa tingkatan, diawali dari pemilik tanah kecil, tukang, pemilik toko, tentara Romawi biasa ataupun veteran. Pada umumnya orang-orang Kristen yang terdapat dalam Perjanjian Baru termasuk dalam komunitas ini, seperti: Akwila dan Priskila, Lidia penjual kain mewah. Strata sosial berikutnya adalah orang-orang yang sangat miskin. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, mereka menjadi kuli di pelabuhan, kuli bangunan atau bekerja di ladang-ladang. Jika mereka tercatat sebagai warga Romawi, maka mereka dapat memohon bantuan setiap bulan untuk memperoleh gandum. Kehidupan yang mereka jalani sangat keras dan untuk tetap bertahan seringkali mereka memilih menjadi bawahan dari seorang elit penguasa. Bahkan tidak jarang mereka menjadi pencuri dan pengemis untuk bertahan hidup. Dalam beberapa konteks, orang asing dalam kepemimpinan kekaisaran Romawi seringkali tidak mendapat tempat dalam strata sosial. Kondisi ini lebih sering disebabkan oleh prasangka budaya, seperti kecurigaan orang-orang Romawi terhadap tradisi yang dianut oleh orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi seringkali mengalami tindakan kekerasan yang tidak hanya berdasar pada sentimen budaya tetapi mengandung muatan politis. Namun pada umumnya Kekaisaran Romawi terbuka terhadap kepelbagaian ras dan budaya seseorang.51 Strata sosial terendah adalah para budak. Budak bagi para filsuf Yunani dipandang lebih rendah daripada manusia, sementara Romawi memandangnya hanya sebagai harta milik yang dapat dimanfaatkan sekehendak sang tuan. Pengecualian perlakuan terhadap budak terjadi jika 50 51 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 16. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 134. 72 para budak cerdas dan pandai. Mereka mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pengawas ladang dan menjadi pengasuh anak-anak bangsawan, selain itu mereka mendapatkan hak-hak hukum khusus dan mendapatkan upah yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi.52 Masyarakat kelas atas pada umumnya mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah. Dalam tuntutan hukum pada umumnya mereka mendapatkan hukuman yang lebih ringan di bandingkan dengan masyarakat kelas bawah. Saat menonton seni pertunjukkan mereka mendapatkan tempat di depan. Bahkan saat kekaisaran mengadakan pembagian makanan, anggur, atau uang, maka yang terlebih dahulu menerima dengan porsi besar adalah masyarakat kelas atas, sementara masyarakat kelas bawah menerima sisa pembagian makanan, minuman, atau uang.53 Setelah memaparkan realitas sosial, politik, ekonomi dalam kekaisaran Romawi maka saya akan menguraikan konteks keagamaan dalam kekaisaran Romawi. Konteks keagamaan Romawi tidak dapat dipisahkan dari konteks keagamaan Yunani. Dewa-dewa Romawi merupakan hasil kultus yang terbungkus mitologi Yunani. Jupiter sebagai dewa Romawi diidentifikasikan sebagai Zeus dari Yunani yang adalah dewa langit, Minerva diidentifikasikan dengan Atena adalah dewa yang berhubungan dengan politik, perang dan industri. Para dewa dalam mitos Yunani dalam tampilan fisik digambarkan dengan sangat menarik dan kuat, namun tidak memiliki ketahanan untuk mengendalikan nafsu. Pemberlakuan kaisar Romawi selaku dewa sebenarnya diadopsi dari kultus Timur yang memandang raja sebagai keturunan dewa.54 Tacitus menulis bahwa gubernur Roma mengumumkan bahwa kekuatan militer dan pajak merupakan aturan dari para dewa yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, oleh sebab itu masyarakat harus taat terhadap kewajiban mereka 52 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 135. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 135-136. 54 Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, 62. 53 73 untuk memberi pada Kaisar. Seorang sejarawan Amerika J.R. Fears mengungkapkan bahwa Kekaisaran Romawi mengadopsi pandangan kaisar adalah dewa dari belahan dunia yang lain. Oleh sebab itu ideologi politik dirumuskan dalam istilah teologis yang dimanifestasikan dalam ritual keagamaan yang kemudian terekspresikan melalui kekaisaran. Para penguasa kekaisaran di pandang sebagai perwujudan dewa yang mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia. Seorang penyair Latin Virgil menuliskan kisah penunjukkan Jupiter terhadap Romulus untuk menemukan Roma dan meneguhkan Kekaisaran Romawi berkuasa atas seluruh dunia.55 Upaya menyebarkan dan menanamkan ideologi untuk memuja kaisar sebagai dewa dilakukan dengan menggunakan beragam media, seperti: bangunan, koin, undang-undang, pembuatan prasasti. Hari kelahiran kaisar dijadikan momentum yang tepat untuk menyampaikan pesan bahwa kaisar adalah perwujudan dari para dewa.56 Bahkan pada abad pertama ZB diadakan kultus terhadap kaisar yang sementara berkuasa. Kultus ini bertujuan untuk menanamkan loyalitas kepada kekaisaran dan para elit penguasa. Kultus kepada kaisar yang berkuasa dilakukan dengan memberikan persembahan kurban berupa lembu jantan atau membakar dupa di patung kaisar. Para pemimpin agama yang melakukan ritual tersebut. Para pemimpin agama adalah para dewan yang berjumlah enam orang, bertugas sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan peribadatan dan berfungsi untuk melayani setiap orang yang dimerdekakan untuk dapat diintegrasikan ke dalam masyarakat. Mereka tidak dapat menjadi anggota senat ataupun dewan-dewan kota di Roma tetapi mereka sangat dihormati dan memperoleh status sosial sebagai masyarakat kelas elit.57 Pemaparan diatas menunjukkan bahwa agama dan politik memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam kekaisaran Romawi. Fungsi agama memberikan legalitas nilai religius 55 Carter, Matthew, Matthew and Empire: Initial Exploration, 21. Carter, Matthew, Matthew and Empire: Initial Exploration, 29. 57 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 157-159. 56 74 terhadap tindakan-tindakan kekaisaran dalam mempertahankan kekuasaan. Kekaisaran menggunakan ritual keagamaan dan nilai-nilai teologis untuk menciptakan gambaran relasi antara dewa dan para kaisar. Romawi menyajikan bahwa kedaulatan kaisar merupakan representasi dari kehadiran para dewa, hal ini berarti bahwa kehadiran Kekaisaran Romawi adalah kehendak dari para dewa maka setiap undang-undang yang dikeluarkan oleh kaisar adalah undang-undang dari para dewa.58 Jadi dalam menggambarkan hubungan antara kaisar dan para dewa, keyakinan ini akan menciptakan dan memelihara hubungan antara kaisar dan rakyatnya. 3.4 Anthiokia dalam kekuasaan Romawi Anthiokia bagi para ahli PB adalah tempat penulisan Injil Matius, oleh sebab itu saya mencoba memaparkan dominasi Romawi di Anthiokia. Anthiokia menjadi salah satu kota penting dalam kekaisaran Romawi, sebagai kota administrasi dan pusat komersial. Pada awalnya berada pada kekuasaan imperium yang berada di bawah pimpinan Seleukia Nicator sekitar 300 SZB,59 kekaisaran Seleukia di Siria dianggap Romawi menjadi ancaman, maka diabad-abad berikutnya Romawi berusaha untuk melumpuhkannya. Romawi menjalankan kekuasaannya dengan keras dan menindas mereka yang meragukan kekuasaannya dengan kejam.60 Di bawah kepemimpinan jendral Pompeius, Romawi mampu menaklukan serta mengambil alih wilayah Seleukid pada tahun 64 SZB, situasi ini mengakhiri periode monarki dan menjadikan Siria sebagai propinsi dengan ibukotanya Anthiokia. Untuk tetap mempertahankan wilayah timur dan selatan propinsi Siria serta memperluas kekuasaan Romawi, maka Pompeius membuat kebijakan melalui perjanjian dengan beberapa kerajaan bawahan yang bertujuan mengubah realitas politik 58 Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 20. Wayne. A. Meeks and Robert. L. Wiken, Jews And Christians In Antioch In the First Four Centuries Of The Common Era (Montana: Scholars Press), 1. 60 Kekaisaran Seleukia merupakan salah satu dari ketiga kerajaan besar Yunani yaitu kekaisaran Ptolemais di Mesir, dan kekaisaran Makedonia yang muncul dari kekaisaran dunia Alexander Agung. Hadas, Roma, 37-38. 59 75 terhadap kebijakan-kebijakan independen yang mendatangkan keuntungan bagi kerajaankerajaan kecil menjadi kebijakan-kebijakan yang mematuhi dan setia terhadap aturan kekuasaan Romawi sehingga mendatangkan keuntungan baginya. Kebijakan-kebijakan ini semakin menciptakan kekuatan politis bagi Romawi karena kerajaan-kerajaan kecil menjadi pos-pos terdepan di timur yang bertanggungjawab memberikan perlindungan bagi kerajaan Partia sebagai pewaris kekaisaran Persia di Iran dan Mesopotamia.61 Antiokhia menjadi tempat kediaman gubernur Siria yang merupakan perpanjangan tangan dari penguasa Romawi. Gubernur mempunyai kewenangan untuk menaikkan pajak, menjaga ketertiban masyarakat, legalitas hukum. Kekuasaan gubernur Roma mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan ketetapan pemerintah lokal, karena dalam imperialisme Romawi setiap orang akan berada dalam yuridiksi umum Romawi. Kekuatan dari yuridiksi Romawi berdampak pada kenyamanan hidup, kesejahteraan finansial dan status sosial yang tinggi bagi gubernur dan para staff. Berbagai cara untuk memperoleh kenyamanan para elit penguasa dilakukan dengan cara mempekerjakan para budak dan buruh harian untuk mengelola hasil tanah, terlibat dengan kegiatan perdagangan, serta memungut pajak dan memberikan pinjaman dan penyitaan bagi masyarakat kelas bawah.62 Melindungi yuridiksi Romawi maka ditempatkan tiga sampai empat legiun di Antiokhia yang bertugas mengamati kota, secara khusus sebagai bentuk intervensi konflik di Selatan Galilea, Samaria dan Yudea. Keberadaan para legiun atau pasukan besar yang jumlahnya berkisar 20.000-150.000 semakin mengukuhkan mitos kekuatan superior Romawi di setiap wilayah yang telah ditaklukkan. Selain itu kehadiran para legiun sebagai bentuk dominasi terhadap masyarakat yang dibebankan pajak dalam pasokan pengadaan hewan, tenaga kerja dan 61 62 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 4-14. Carter, “The Gospel of Matthew,” 76. 76 penginapan. Keadaan ini semakin menambah beban masyarakat karena tekanan harga pajak.63 Beban penderitaan yang dialami masyarakat Anthiokia merupakan produk eksploitasi pemerintah Romawi yang terjadi di sekitar wilayah Anthiokia. Tekanan sosial ekonomi merajalela, produk, distribusi, konsumsi pangan selalu berada dalam kekuasaan Romawi. Kesenjangan kesejahteraan, materi, kuasa, status sosial semakin terbuka lebar antara para elit dan masyarakat kelas bawah. Para elit semakin menikmati materi yang berlimpah sementara masyarakat semakin menderita di bawah garis kemiskinan. Hidup di bawah garis kemiskinan berakibat pada kehidupan masyarakat yang rentan dengan penyakit, seperti kekurangan gizi dan penyakit menular. Dalam rutinitas hidup, masyarakat selalu diperhadapkan dengan kepadatan penduduk, kebisingan, kemelaratan, sampah, konflik, pasokan air yang buruk, orang-orang yang kejam dan kasar, kejahatan, kebakaran, banjir dari sungai Orantes. Pada umumnya masyarakat hidup tanpa aspirasi dan kesempatan untuk memperbaiki nasib.64 3.5 Yahudi dan Kristen dalam Dominasi Romawi 3.5.1 Interaksi Orang-orang Yahudi dengan Para Penguasa Romawi. Narasi dalam Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa para leluhur orang-orang Israel yang tersebar dari berbagai tempat di Timur Tengah telah dipersatukan di tanah yang dijanjikan Tuhan yaitu Kanaan.65 Namun kondisi itu berubah mulai abad 6 SZB tahun 586 SZB setelah Nebukadnezar membuat Yerusalem menjadi puing-puing reruntuhan, terjadi diaspora orangorang Yahudi yang kemungkinan menjadi imigran di Sardis, Asia Kecil sebelah barat atau di 63 Carter, “The Gospel of Matthew,” 77. Carter, “The Gospel of Matthew,” 78. 65 Drane, Memahami Perjanjian Baru, 32. 64 77 beberapa tempat lain. Menurut Flavius Josephus ahli sejarah Yahudi, orang-orang Yahudi pada abad pertama SZB melalui dektrit yang dikeluarkan oleh gubernur Romawi, memperoleh hak untuk hidup dalam suatu komunitas yang dapat merayakan tradisi perayaan-perayaaan Yahudi, penyelesaian masalah-masalah hukum, dan membangun sinagoge untuk digunakan bersamabersama.66 Kepatuhan orang-orang Yahudi terhadap imperialisme Romawi dimulai sejak Yerusalem yang merupakan pusat dari bangsa Yahudi takluk kepada kekuasaan Romawi. Peristiwa itu diawali pada tahun 63 SZB saat Jendral Pompey merebut menara Strato di Strato sehingga Yerusalem jatuh dalam imperialisme Romawi. Kemudian, Kaisar Agustus pada tahun 30 SZB menyerahkan Strato kepada Herodes Agung. Herodes Agung kembali membangun Strato dan mengganti nama kota itu menjadi Kaisarea. Perubahan nama tersebut sebagai wujud penghormatan kepada Kaisar Agustus yang memerintah Romawi antara tahun 27 SZB-14 ZB. Yerusalem yang telah mapan saat itu terlihat dari terbangunnya sistem dan struktur kemasyarakatan. Yosefus seorang ahli sejarah Yahudi menulis bahwa terdapat tiga kelompok utama dalam masyarakat Yahudi dengan filosofinya yaitu Farisi, Saduki, dan Eseni. 67 Selain sistem dan struktur masyarakat yang telah terbangun, Yerusalem juga merupakan pusat perdagangan yang menarik para pedagang dari beberapa wilayah khususnya dari Yudea dan wilayah-wilayah di sekitar Palestina untuk melakukan transaksi dagang di Yerusalem. Selain menjadi pusat perdagangan, Yerusalem merupakan pusat politik Yahudi. Yerusalem pada masa itu adalah “pusat sistem dominasi”. Sistem ini memiliki tiga ciri khas yang digunakan dalam struktur organisasi masyarakat yaitu penindasan politik, eksploitasi ekonomi dan legitimasi agama. Legitimasi agama terorientasi pada dukungan yang diberikan agama kepada kekuasaan 66 67 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 43. Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci,151-160. 78 pemerintah secara khusus kepada kaisar. Dengan demikian pusat sistem dominiasi adalah dominasi yang mencakup aspek politik, ekonomi yang dilakukan oleh beberapa penguasa dengan menggunakan agama sebagai pembenaran terhadap tindakan dan keputusan yang dibuat oleh para penguasa.68 Realita hidup orang-orang Yahudi yang berdomisili di daerah imperialisme Romawi berhadapan dengan kepatuhan dan ketaatan kepada pihak penguasa. Kekaisaran Romawi menuntut perilaku tertentu bagi seluruh penduduk yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Setiap individu baik laki-laki ataupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, warga negara ataupun bukan warga negara wajib menghormati para elit penguasa. Pengabdian diri mereka dapat diwujudkan melalui sumbangan-sumbangan finansial yang akan digunakan untuk biaya pengeluaran masyarakat, selain itu turut berperan aktif dalam tugas militer, kerja bakti, atau turut serta dalam peribadatan bersama masyarakat.69 Orang-orang Yahudi harus tunduk terhadap maklumat, perintah, dektrit dan hukum tertulis yang berasal dari penguasa Romawi. Pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi akan mendapatkan sanksi hukum dari seorang wali negeri (procurator) sebagai wakil dari kaisar, namun jika orang Yahudi yang menghadapi masalah hukum berkewarganegaraan Romawi maka orang Yahudi tersebut dapat mengajukan banding kepada kaisar. Pemungutan pajak turut memainkan peran penting dalam beban penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi. Pada awal abad Masehi di zaman Yesus, Herodes Agung yang adalah kaki tangan Romawi membangun kota Yerusalem khususnya pembangunan Bait Allah tahun 20 atau awal 19 SZB dengan biaya yang sangat besar, pembangunan Bait Allah selesai tahun 64 ZB. Bait Allah yang sering mendapatkan julukan Bait Suci Herodes merupakan pusat dari dominasi lokal yang 68 69 Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di tanah Suci, 191. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 49. 79 tunduk pada kekuasaan Romawi. Rantai dominasi berpijak pada otoritas Bait Allah dan kepemilikan tanah, sehingga para tuan tanah yang notabene mengabdi pada Romawi dapat berkuasa. Sementara otoritas Bait Allah yang berada di tangan penguasa Yahudi yaitu imam besar, para imam kepala, ahli-ahli kitab, kaum tua-tua dan golongan Lewi yang mengatur masalah keagamaan dan pelaksanaan korban memiliki relasi yang intens dengan Romawi. Ahli taurat selain sebagai penterjemah dan pengajar dari hukum taurat dapat dikatakan sebagai kaki tangan penguasa, begitu pula dengan kaum tua-tua yang merupakan anggota dewan dalam struktur masyarakat Yahudi. Dengan kekuasaan yang mereka miliki kerap kali mereka membuka peluang untuk menyalah gunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi dengan cara menjadi kaki tangan Romawi. Akibatnya orang-orang yang memiliki materi berkelimpahan berupaya untuk memupuk harta dengan membeli semua lahan sehingga dapat membuka lahan pertanian yang luas dan membeli kehidupan manusia dengan mempekerjakan mereka untuk mengelola lahan tersebut.70 Salah satu pasokan utama untuk pembiayaan ini adalah dengan menetapkan pajak kepada masyarakat. Namun pemungutan pajak yang dilakukan oleh para pemungut cukai tidak hanya terorientasi kepada pembangunan kota Yerusalem tetapi juga terorientasi pada pengumpulan harta para elit penguasa. Orang-orang Yahudi sangat menderita karena setengah dari penghasilan mereka digunakan untuk membayar pajak. Pada zaman Pontius Pilatus ada beberapa pajak yang diterapkan yaitu pajak tanah atau tributum soli, pajak kepala atau tributum capilis, pajak untuk gandum dan ternak yang disebut annona yang digunakan untuk anggaran militer, selain itu ada pajak publicum berupa pungutan bea cukai, pajak garam, pajak penjualan. Khusus untuk pajak publicum cara pengumpulannya melalui pemungut pajak setempat yang pada umumnya pelaku pemungut pajak adalah orang Yahudi. Pada umumnya pemungutan pajak yang mereka lakukan 70 Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 174-196. 80 lebih besar dari ketentuan awal yang dibuat penguasa Romawi. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan untung dari pemungutan pajak, sehingga mereka sering disebut sebagai antekantek penjajah.71 Pada abad 1 ZB orang-orang Yahudi dari beragam strata sosial tersebar di beberapa daerah kekaisaran Romawi. Strata sosial yang didapat mulai dari meleburkan diri menjadi bagian pasukan raja Helenis, dan beberapa diantara mereka menjadi petinggi-petinggi pasukan raja. Sebagian dari mereka ada yang menjadi pejabat-pejabat pemerintah, ada pula sebagai pemilikpemilik tanah, para petani, tukang, pedagang, para peminjam uang dan budak. Terdapat dugaan yang menyatakan bahwa orang Yahudi merupakan seperlima populasi dari Laut Tengah sebelah Timur, dugaan ini secara informatoris semakin memperkuat keberadaan orang-orang Yahudi beserta dengan tradisi yang telah dikenal luas menyebar di seluruh pusat kota dan kota-kota kekaisaran Romawi. Orang-orang Yahudi sangat menyanjung tradisi yang melekat dalam kehidupan mereka. Dalam konteks keagamaan, mereka memiliki kehidupan keagamaan yang teguh dan tertib, standar moral yang dipakai sangat tinggi. Setiap orang Yahudi diwajibkan harus mentaati dan loyal dengan aturan-aturan tentang makanan ataupun perintah-perintah Tora. Pengakuan terhadap keesaan Tuhan merupakan pengajaran yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Hal ini sangat berbeda dengan ajaran politeisme yang dianut oleh kekaisaran Romawi.72 Bagi seorang bukan Yahudi yang akan memasuki komunitas ini, harus memberi diri untuk menerima penyucian melalui pembaptisan dan pada laki-laki simbolisasi penyucian dengan cara sunat. Oleh sebab itu di diaspora jumlah proselit (orang non Yahudi yang memasuki komunitas Yahudi) sangat minim dan pada umumnya perempuan lebih banyak menjadi proselit dibandingkan laki-laki, serta proselit dari masyarakat kelas bawah lebih banyak dibandingkan 71 72 Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, 197-198. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 44. 81 masyarakat kelas atas.73 Kondisi peribadatan setelah pembuangan ke Babel sangat berbeda dengan kondisi ketika mereka melakukan peribadatan di Yerusalem. Sewaktu berada di Yerusalem mereka melaksanakan peribadatan di Bait Allah. Peribadatan dan persembahan kurban yang dilakukan di Bait Allah merupakan manifestasi dari loyalitas orang-orang Yahudi kepada Tuhan dan kepatuhan terhadap hukum taurat. Namun ketika Yerusalem telah hancur dan mereka berada dipembuangan, maka peribadatan dilakukan dalam sinagoge-sinagoge yaitu rumah peribadatan orang Yahudi. Dalam sinagoge persembahan kurban tidak dilakukan karena hal itu tidak mungkin dilakukan, sehingga bentuk peribadatan hanya berupa doa, membaca Taurat, memelihara hari Sabat, sunat dan memelihara hukum-hukum yang mengatur perihal makanan. Selain kegiatan-kegiatan di atas, bentuk kegiatan lain yang dilakukan dalam sinagoge adalah tempat pendidikan dan pengajaran tentang hukum-hukum. Kegiatan-kegiatan peribadatan dalam sinagoge tidak hanya menjurus pada formalitas peribadatan melainkan berfungsi sebagai media yang memperteguh kebersamaan keyahudian ditengah-tengah situasi yang khusus dan memisahkan mereka dari kemerdekaan pribadi, bangsa ataupun dunia luar. Peribadatan dalam sinagoge tetap berlanjut setelah pembebasan orang Yahudi dari pembuangan Babel. Tidak heran ketika orang Yahudi menyebar ke berbagai tempat di Laut Tengah setelah penaklukanpenaklukan yang dilakukan Alexander mereka tetap membawa serta tradisi peribadatan dalam sinagoge-sinagoge. Sinagoge merupakan simbol dari loyalitas keagamaan dan kebangsaan Yahudi. Namun perbedaan tempat mempengaruhi pelaksanaan peribadatan di sinagoge, seringkali peribadatan yang dilakukan disesuaikan dengan konteks budaya, hukum di mana sinagoge itu hadir. Orang-orang Yahudi di Babel berhadapan dengan masalah yang berbeda dengan orang-orang Yahudi di Roma. Orang-orang Yahudi di Roma sebagian mengikuti tradisi 73 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 45, 82 Yunani-Romawi yang dianggap kafir oleh beberapa orang Yahudi lainnya. Persamaan di sinagoge yang mereka miliki dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi terdapat dalam pengunaan bahasa Yunani. Setelah pergantian waktu yang terus berjalan maka secara cepat generasi penerus dari orang-orang Yahudi di Laut Tengah hanya dapat menggunakan bahasa Yunani.74 Pada satu pihak beberapa orang Yahudi di diaspora sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan dari warisan nenek moyang namun di pihak lain pada umumnya mereka menyesuaikan diri dengan tempat mereka tinggal. Mereka mengikuti beberapa aturan yang ditetapkan oleh penguasa Romawi bahkan mendoakan para penguasa sesuai dengan tradisi berdasar keyakinan nenek moyang mereka, tetapi mereka tidak dapat mengikuti ketetapan ritual keagamaan Romawi seperti membakar dupa bagi patung dan memberikan kurban bagi para dewa. Namun ada beberapa orang-orang Yahudi yang mengikuti ritual peribadatan Romawi dengan cara membakar dupa dan memberikan kurban bagi para dewa. Sikap dari orang-orang Yahudi yang tetap menyatakan kesetiaan kepada para penguasa Romawi membuat mereka mendapatkan hak istimewa untuk tetap meneruskan tradisi nenek moyang dalam kekuasaan Romawi, namun tidak berarti orang-orang Yahudi terlepas dari dominasi Romawi.75 Menjelang kehancuran Bait Allah saat orang Yahudi diwajibkan untuk membayar pajak setengah syikal kepada penguasa Romawi daripada memberikannya ke Yerusalem maka memunculkan sikap antipati terhadap penguasa Romawi di sejumlah pusat diaspora. Pemberontakan terhadap dominasi Romawi muncul di seluruh negeri. Yosepus menulis bahwa pemberontakan terhadap dominasi Romawi dilakukan oleh kelompok Zelot di bawah pimpinan Yudas anak Hizkia pada tahun 6 ZB. Kaum Zelot adalah orang-orang yang menentang pembayaran upeti kepada kaisar Roma, mereka memandang bahwa pembayaran upeti 74 Drane, Memahami Perjanjian Baru, 34-36, John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 46-47. 75 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 49-50. 83 merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah, Raja Israel. Sebutan Zelot berasal dari keteladanan yang mereka dapat dari Matatias beserta pengikutnya yang memiliki semangat besar (zelos) melawan Anthiokhus IV. Pemberotakan pada tahun 6 ZB dapat dilumpuhkan oleh penguasa Romawi, kemudian berlanjut pemberontakan pada tahun 66 ZB. Aksi pemberontakan menimbulkan kerusuhan di daerah dominasi Romawi hal ini berdampak pada tahun 70 ZB militer Romawi menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci serta menangkap mereka yang memberontak, membantai, menyalibkan orang-orang Yahudi, dan menjual mereka sebagai budak. Pemberontakan itu terus berlanjut sampai pada tahun 73 ZB setelah benteng pertahanan mereka dilumpuhkan oleh militer Roma.76 Identitas diri orang Yahudi pada saat itu dapat dikatakan tidak hanya ditentukan oleh keyakinan religius tetapi juga dari realitas-realitas sosial, politis dan ekonomi dalam dominasi Romawi. 3.5.2 Interaksi Orang Kristen dengan Para Penguasa Romawi. Pada tahun 30 ZB kekristenan yang berpangkal pada Yahudi mulai mengisi kisah sejarah dunia, dan secara pasti menyebar di dunia Yunani-Romawi.77 Dunia dimana kekristenan hadir berada dalam kekuasaan Romawi yang dipenuhi oleh beragam kebudayaan. Dunia YunaniRomawi dikenal dengan cara hidup “helenisme” yang berpangkal pada kebudayaan Yunani yang dibawa oleh Alexander Agung (356-323 SZB) dengan beragam aliran filsafat didalamnya, seperti: aliran filsafat Stoa, Epikurus. Selain itu pula terdapat beragam aliran keagamaan seperti Gnotisisme, agama misteri dan Yahudi. Gnostisisme mendasari keyakinannya pada dua dunia yaitu dunia roh yang murni dan suci tempat di mana Allah bertahta, serta dunia yang penuh dengan kejahatan. Keyakinan mereka adalah dunia yang suci tidak memiliki relasi dengan dunia 76 A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, dan Randy Peterson, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), 2, Kuncahyono, Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci 171-202. 77 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 82. 84 yang jahat, oleh sebab itu perkara keselamatan tidak berkaitan dengan dunia ini melainkan berkaitan dengan kebahagiaan sejati yang berada di dunia roh. Agama misteri berkaitan dengan penyembahan kepada dewa-dewa Asia Kecil dan Mesir dan kemungkinan berkembang dari agama di Timur Tengah kuno. Mereka memandang kehidupan alam berkaitan dengan pengalaman hidup pribadi manusia, dan mengalami kematian serta kelahiran kembali. Dalam upacara-upacara tertentu para imam lelaki dan perempuan berperan sebagai dewa ataupun dewi yang mengandung unsur seksual tertentu.78 Kekaisaran Romawi berperan besar dalam perkembangan kekristenan. Setiap unsur yang menyatukan kekaisaran menjadi media yang signifikan dalam penyebaran Injil: Jalan-jalan raya yang dibangun oleh kekaisaran Romawi menghubungkan satu tempat ke tempat lain mempermudah perjalanan untuk penyebaran Injil, penggunaan bahasa Yunani sebagai bahasa utama diseluruh kekaisaran dan militer Romawi yang menjaga ketenangan kota. Mobilitas yang tinggi menyebabkan para pengrajin mencari tempat tinggal sementara di kota- kota besar, sehingga bermigrasi ke Roma, Korintus, Athena, Alexandria dan kota-kota lain. Kondisi ini membuka peluang bagi para pekabar Injil untuk melakukan pekabaran Injil di seluruh kekaisaran Romawi. Mereka mengabarkan Injil di Sinagoge, tempat-tempat para pengrajin berkumpul, di tempat-tempat kumuh, akibat pekabaran Injil itu mereka memperoleh pengikut yang terus bertambah. Kemudian mulai berdiri gereja di kota-kota besar termasuk ibukota kekaisaran. Paulus dan Petrus adalah tokoh-tokoh yang diduga membuat jemaat Kristen semakin kuat bertumbuh mulai dari para bangsawan, prajurit, pengrajin dan pelayan.79 Penguasa Romawi selama tiga dekade memandang bahwa kekristenan yang adalah cabang agama Yahudi tidak memberi pengaruh buruk dan bukanlah ancaman bagi kekuasaan 78 79 Drane, Memahami Perjanjian Baru, 22-30. Curtis, Lang, dan Peterson, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, 1. 85 Romawi. Namun bagi Yahudi Kekristenan merupakan sebuah ancaman baginya karena beberapa pengajaran yang lebih sering mengkritik dan menyerang agama Yahudi. Kemudian pada awal tahun 64 ZB Romawi mulai menyadari bahwa Kekristenan berbeda dengan Yahudi. Penolakan diperlihatkan oleh orang-orang Yahudi terhadap Kekristenan, mereka menganggap bahwa Kekristenan adalah agama yang tidak sah. Akibatnya masyarakat mulai bersikap antipati terhadap Kekristenan. Kekaisaran Romawi bereaksi terhadap Kekristenan karena Kekristenan tidak berkompromi terhadap politeisme yang dianut oleh kekaisaran Romawi. Pada tanggal 19 Juli terjadi kebakaran besar di suatu tempat kumuh di Roma, api terus berkobar selama tujuh hari sehingga memusnahkan perumahan yang padat dan banyak korban jiwa akibat peristiwa itu. Menurut legenda, peristiwa kebakaran itu merupakan ulah dari kaisar Nero untuk melakukan pembaharuan kota dengan jalan pintas. Setelah tempat kumuh itu musnah karena peristiwa kebakaran, Nero membangun istana emas di tanah yang luas dan membangun kota itu kembali dengan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Nero mengkambinghitamkan orang-orang Kristen yang bertanggung jawab terhadap peristiwa kebakaran tersebut. Tuduhan Nero berdampak pada penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Pada saat itu orang-orang Kristen ditangkap, dianiaya secara sporadis. Mereka mengalami berbagai bentuk penganiayaan seperti: disalib, dibakar, dicabik-cabik oleh anjing. Penganiayaan yang dilakukan oleh kaisar Nero berakhir tahun 68 ZB setelah kaisar Nero wafat namun tidak berarti penganiayaan terhadap orang Kristen berakhir, penganiayaan itu tetap berlanjut selama dua abad lamanya. Walaupun demikian kegigihan para pekabar Injil tetap gigih untuk meneruskan misi mengabarkan Injil. Seorang penulis Kristen abad kedua yaitu Tertullianus menulis, “darah para martir adalah benih Gereja”. Kekristenan ternyata tidak berhenti karena penganiayaan, tetapi justru semakin bertumbuh. Petrus memberikan kekuatan kepada orang-orang Kristen untuk tetap teguh, 86 memiliki pertahanan dengan keyakinan kemenangan dan kuasa Kristus akan meneguhkan mereka (1 Ptr 5:8-11).80 Para pemimpin di awal Kekristenan adalah orang-orang Yahudi, seperti Priskila dan Akwila. Mereka adalah orang-orang berada yang menerima ajaran Kekristenan dan termasuk dalam jajaran pemimpin sinagoge. Beberapa anggota yang punya pengaruh seperti misionaris dan pelindung utama berasal dari golongan kelas atas Yudaisme Helenis. Para pengikut Kekristenan pertama terdiri dari berbagai kelas masyarakat non Yahudi, mulai dari orang-orang berada, orang-orang merdeka, budak, dan orang-orang miskin.81 Pada awalnya relasi antara umat Kristen dan masyarakat Yahudi terjalin dengan baik, namun situasi berubah sejak terjadi pemberontakan bangsa Yahudi pada tahun 66 terhadap Romawi. Umat Kristen asal Yahudi menolak untuk turut berperan aktif dalam pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan bangsa Yahudi yang dipelopori oleh kaum Zelot. Penolakan ini didasari atas pengajaran Yesus tentang kasih universal yang dianut oleh umat Kristen, mereka lebih mengutamakan pengajaran tentang kasih daripada gencatan senjata. Namun kaum Zelot memandang bahwa umat Kristen asal Yahudi tidak loyal terhadap bangsanya sendiri. Jurang permusuhan semakin melebar di antara umat Kristen dan bangsa Yahudi setelah para pemimpin agama Yahudi memprovokasi umat Yahudi dengan menyebut Kekristenan sebagai agama kafir. Kekristenan saat itu pada akhirnya tertekan dari dua pihak.82 Pengajaran Kekristenan menekankan sifat misi yang universal, hasil pengajaran yang paling nyata adalah kemurahan hati yang diwujudkan melalui perbuatan amal orang-orang Kristen. Matius memperlihatkan ajaran kemurahan hati seperti: memberikan pakaian kepada 80 Henry C. Sheldon, History of the Christian Church (New York: Hendrickson Publishers, 1988), 138-140, Curtis, Lang, dan Peterson 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, 2. 81 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 53-54. 82 Leks, Tafsir Injil Matius, 13-15. 87 mereka yang telanjang, mengunjungi mereka yang sakit (5:42-6:4; 19:16-22; 25:31-46). Terdapat beragam pengajaran perihal perbuatan amal (Kis. 20:33-35; Rm. 12:13; 1 Tim 5:3) yang kemudian pada generasi berikutnya diakui sebagai salah satu ciri khas dari komunitas Kristen. Ciri khas yang lainnya adalah pengajaran Kristen tentang Allah yang esa dan hidup, pengajaran ini digunakan oleh Paulus untuk memberikan penekanan pada keutuhan internal komunitas Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh gereja adalah satu kesatuan tanpa ada pemisahan internal diantara para anggota karena Allah itu esa. Keesaan Allah dan penghapusan Tora Yahudi kemudian dikaitkan dengan ajaran Paulus tentang penyaliban Mesias sebagai pendamai antara orang Yahudi dan non Yahudi dengan Allah (Ef. 2:16). Pengajaran Kekristenan bahwa Mesias tersalib, mati dan bangkit secara radikal berbeda dengan pemahaman Yahudi tentang Mesias (Ul.21:23; 1 Kor 1:18-25; Gal.3:13). Namun Kekristenan meyakini hal itu sebagai kebenaran sehingga dapat memunculkan pengharapan kepada setiap orang Kristen yang sementara mengalami penganiayaan. Pengharapan yang muncul karena adanya kebangkitan ke dalam kehidupan baru seperti yang telah dialami oleh Yesus sebagai Tuhan (1 Tes.3: 2-4; 4:13-18; 1 Ptr.1: 3-21). Kesatuan di antara para anggota dalam tubuh Kristus memunculkan istilah-istilah dari kosa kata keluarga yaitu, Allah adalah Bapa, orang-orang Kristen adalah anak dan ahli waris (Rm.8; Gal.3: 26-4: 7). Allah turut berperan dalam memelihara kasih yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga. Pengajaran Kekristenan membawa perubahan dalam cara hidup orang orang Kristen. Mereka harus hidup dengan gaya hidup yang baru yaitu; menjaga kemurnian hidup seksual yang mengarah pada penekanan kecemaran kedagingan sebagai ciri dunia luar (1 Kor. 6: 9-11; Gal.5: 19-24; Ef. 4: 22-5: 20). Semua pengajaran Kristen menolong setiap orang percaya untuk mengenal dirinya dan memunculkan sikap loyal terhadap Allah.83 83 Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 57-59. 88 3.6 Praktik Pernikahan dan Perceraian Menurut Tradisi Yunani-Romawi dan Yahudi 3.6.1 Praktik Pernikahan Yunani-Romawi Bangunan nilai tentang keluarga telah muncul dari sejarah awal Yunani-Romawi. Sejarah awal itu berkaitan dengan nilai yang tertanam dalam adat leluhur. Mereka adalah para petani yang tinggal di tanah gersang dan sangat terikat dengan tanahnya. Nilai awal yang ditanamkan oleh para leluhur Roma yaitu kekuatan, kedisiplinan, kesetiaan, ketekunan, kesederhanaan serta keuletan. Nilai ini diyakini oleh orang Roma sebagai mosmaiorum (adat leluhur) yang kemudian menentukan pandangan orang Roma untuk memiliki kesetiaan kepada para dewa, negara dan keluarga.84 Tidak heran jika keluarga diyakini oleh para penulis politik Yunani-Romawi merupakan fondasi inti dari suatu bangunan negara, sehingga merupakan kewajiban dari konstitusi negara untuk mengelola kota-kota dengan terlebih dahulu menata satuan terkecil di dalamnya yaitu keluarga.85 Keluarga diyakini sebagai wadah tepat yang memberikan kontribusi besar terhadap pertahanan keamanan pemerintahan, karena dari wadah ini akan melahirkan anak-anak sebagai generasi penerus yang dapat melanjutkan kelangsungan imperialisme Romawi. Namun pengalaman-pengalaman kekerasan yang terjadi sebagai upaya memperluas imperialisme Romawi berdampak signifikan pada tingkat kematian bayi yang tinggi, mengantisipasi populasi yang menurun karena tingkat kematian bayi yang tinggi maka para perempuan mendapatkan tekanan untuk menikah pada usia sangat muda yaitu 14 tahun karena dianggap sudah berpotensi untuk melahirkan, selain itu anak yang dilahirkan paling sedikit berjumlah 5 orang dengan tujuan menjaga populasi untuk tetap stabil. Pada umumnya pernikahan pada usia 14 tahun berlaku bagi 84 85 Hadas, Roma Masa Kekaisaran, 12. Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 148. 89 para perempuan kelas atas sementara bagi perempuan kelas bawah pernikahan dilaksanakan pada usia awal dua puluhan. Keutamaan tubuh perempuan dipandang sebagai alat reproduksi yang menghasilkan sumber daya manusia bagi imperialisme Romawi, bahkan di setiap kota mengeluarkan ketetapan agar perempuan melahirkan dan membesarkan anak. Tekanan yang dialami oleh perempuan tidak hanya berkisar pada tugas utama melahirkan tetapi juga harus melahirkan anak laki-laki yang sehat. Kondisi ini mendatangkan kekhawatiran bagi perempuan karena harus mempertahankan segi kuantitatif dan tujuan reproduksi yang berkualitas. Pada posisi ini perempuan mendapatkan tanggung jawab besar yang memiliki peran signifikan dalam meneruskan garis keturunan dan meningkatkan populasi masyarakat, namun posisi perempuan tetap berada pada posisi inferior.86 Tekanan yang dialami oleh perempuan perihal menghasilkan keturunan tidak dialami oleh para laki-laki, mereka terhindar dari beban yang ditujukan kepada perempuan, meskipun demikian jika ada laki-laki yang menolak untuk menikah dan gagal memberikan keturunan akan mendapatkan sanksi hukum dan sanksi sosial dari masyarakat.87 Pada masa 19-18 SZB Agustus memunculkan ketetapan undang-undang berdasar hukum negara berkaitan tentang perihal keluarga, yang bertujuan meningkatkan angka kelahiran dengan memotivasi masyarakat untuk membentuk keluarga melalui pernikahan dan mengupayakan agar dalam pernikahan itu tercipta keluarga yang solid dengan menerapkan nilai-nilai positif disetiap keluarga Romawi. Salah satu bentuk tindakan konkrit untuk memotivasi masyarakat membentuk keluarga dengan cara memberikan tunjangan khusus bagi suami-istri yang memiliki tiga orang anak atau lebih. Setiap pria yang usianya berkisar 25-60 dan perempuan berkisar 20-50 disarankan untuk menikah. Saran untuk menikah berlaku juga bagi para janda dan perempuan 86 Kelahiran anak laki-laki menjunjukkan generasi dari sang ayah merupakan janin yang kuat, aktif berada dalam rahim ibu sementara kelahiran anak perempuan menunjukkan hal yang sebaliknya tidak kuat dan tidak aktif sehingga tidak bertumbuh dengan baik. Brent Waters, The Family in Christian Social and Political Thought (New York: Oxford University, 2007), 1-2. 87 Waters, The Family in Christian Social and Political Thought, 3. 90 yang telah bercerai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, sementara bagi para bujang yang tidak menikah sampai pada usia yang ditetapkan akan menerima ganjaran dalam bentuk pengalihan warisan kepada mereka yang memiliki anak.88 Pajak juga dikenakan bagi mereka yang tidak menikah sampai pada batas usia yang ditentukan.89 Konsep keluarga Yunani-Romawi disebut familia, yang terdiri dari beberapa generasi, kerabat dan yang berdomisili dalam satu atap. Familia merupakan inti dari kehidupan sosial, agama dan politik Romawi.90 Keluarga dalam pengertian sosial dan hukum adalah satuan dasar dari masyarakat Romawi, bagi mereka hubungan kekerabatan sangatlah penting.91 Pater familias atau kepala keluarga merupakan konsep yang dimunculkan untuk menghasilkan negara yang kuat. Kekuatan negara tidak terlepas dari fondasi keluarga yang kuat, oleh karena itu diberlakukan penataan dan peraturan pater familias.92 Kekuasaan mutlak keluarga ada dalam pater familias yang berada dalam perlindungan hukum Romawi. Seorang laki-laki memegang kuasa atas setiap aturan yang diberlakukan kepada semua orang dalam keluarga (istri, anak bahkan budak), salah satu kuasa itu dapat menentukan perihal menerima atau menolak, dan membunuh setiap keluarga bahkan anak yang dilahirkan oleh sang istri.93 Pembunuhan terhadap anak-anak yang baru dilahirkan pada umumnya disebabkan oleh keadaan anak yang dianggap dapat menjadi beban dalam keluarga seperti: cacat dan berjenis kelamin perempuan.94 Pernikahan yang legal menurut hukum Romawi adalah pernikahan yang terjadi pada dua orang berkewarganegaraan Romawi (atau suami berkewarganegaraan Romawi). Seorang budak, 88 Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Michigan: Wm.B.Eerdmans, 1993), 69. Henry C.Sheldon, History of the Christian Church (New York: Hendrickson, 1988), 30. 90 Margareh A. Brucia & Gregory. N. Daugherty, To Be A Roman: Topics in Roman Culture (Illionis: Bolchazy-Carducci, 2007), 9 91 Hadas, Roma Masa Kekaisaran, 79. 92 Yusak.B Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” Sebagai Diskursus Politik: Suatu Perspektif Postkolonial Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus. Jurnal WASKITA (Salatiga: MSA Fakultas teologi UKSW, 2012),7. 93 Brucia & Daugherty, To Be A Roman: Topics in Roman Culture, 9. 94 Sheldon, History of the Christian Church, 31. 89 91 aktor/aktris serta anaknya, pelacur, perempuan yang pernah dihukum sebagai pezinah atau yang pernah meninggalkan suami tidak memiliki hak untuk mengadakan pernikahan yang dilindungi negara.95 Masyarakat Romawi melihat pernikahan sebagai lembaga bersifat ekonomis (mempermudah pengaturan pembagian harta warisan), politis (bagian dari masyarakat luas), dan yuridis (mempermudah penentuan legitimasi anak-anak yang lahir). Banyak orang mengikuti pandangan Aristoteles yang beberapa abad sebelumnya telah menuangkan gagasan tentang pernikahan. Pernikahan dilihatnya sebagai sel terkecil dari masyarakat yang bertugas untuk meneruskan generasi manusia. Gabungan dari beberapa keluarga akan membentuk kampung, dan beberapa kampung akan membentuk masyarakat sendiri yang disebutnya “polis”. Pernikahan terutama dilihat sebagai lembaga sosial yang dapat menjamin keturunan yang sehat dan mempermudah pengaturan urusan ekonomi dalam masyarakat.96 Terdapat tiga jenis pernikahan: pertama adalah confarreatio. Bentuk ini merupakan paling resmi yang digunakan oleh para bangsawan dengan mengikuti upacara keagamaan, pada pernikahan jenis ini perempuan beserta harta kekayaannya diserahkan pada suami. Bentuk kedua adalah coemptio, mempelai perempuan dijual kepada mempelai laki-laki. Bentuk ketiga adalah pernikahan yang terjadi dikalangan budak yaitu kesepakatan yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan untuk hidup sebagai suami istri tanpa upacara keagamaan (usus), setelah satu tahun pernikahan mereka akan dianggap sah. Dua bentuk sebelumnya menekankan status istri hanya dilihat sebagai benda yang menjadi milik sah suami. Dalam bentuk ketiga ini seorang perempuan dapat mempertahankan hak atas kekayaannya.97 Seorang perempuan dapat mempertahankan hak atas kekayaannya karena dalam hukum pernikahan Romawi harta kekayaan tetap menjadi milik kedua pribadi yang menikah. 95 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 27. Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 27-28. 97 Hadas, Roma Masa Kekaisaran, 80. 96 92 Dalam prosesi upacara pernikahan Yunani-Romawi yang memberikan penekanan pada aspek hukum, prosesi dimulai dari kediaman mempelai perempuan dengan prosesi obor menuju rumah mempelai laki-laki. Obor merupakan esensi dari pernikahan Yunani-Romawi yang lebih menekankan pada aspek seni dramatis. Kedua mempelai saling berpegangan tangan kemudian mengucapkan janji pernikahan dan menandatangani kontrak pernikahan dihadapan para saksi, setelah upacara dan jamuan pernikahan selesai maka mempelai perempuan diantar ketempat kediaman mempelai laki-laki. Pada prinsipnya jenis pernikahan Yunani-Romawi adalah monogami, namun dimungkinkan untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan seperti prostitusi dan perzinahan.98 Dasar tradisi pater familias menggambarkan struktur keluarga yang dianut adalah patriakhi, mengingat bahwa kekuasaan keluarga berada di tangan laki- laki dalam hal ini suami atau pun ayah.99 Bahkan bentuk pernikahan Yunani-Romawi kuno memberikan penekanan bagi seorang perempuan untuk tunduk secara total kepada suami sama seperti ketertundukan mereka sebelum menikah terhadap ayah sebagai kepala keluarga. Kekuatan laki-laki sangat mendominasi, bahkan terkesan menjadi dominasi destruktif karena dengan kekuatannya mereka diperbolehkan untuk memukul istri dan berhubungan seks dengan siapapun yang mereka inginkan. Kondisi dari struktur keluarga Yunani-Romawi yang patriakhi membawa ketidakpuasaan dari pihak perempuan maka pada abad III SZB kaum perempuan menyatakan protes dan mendukung “ free marriage”. Dalam sistem baru ini seorang perempuan tetap melekat pada keluarganya dan ia memiliki kebebasan untuk menceraikan suami. Pembaharuan ini menjadi prestasi bagi perempuan Romawi kuno, namun pembaharuan ini mendapat perlawanan. 98 99 Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 69. David Johnston, Roman Law in Context (UK: Canbridge University Press, 2004), 30-35. 93 Argumen perlawanan terhadap emansipasi perempuan berlanjut untuk menentang emasipasi perempuan yang terdapat dalam beberapa undang-undang dan mencerminkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah secara moral.100 Kisah tentang perempuan dari rekonstruksi sejarah terangkat yang lebih terfokus pada kisah perempuan yang rentan terhadap penyalahgunaan alkohol , atau cenderung untuk berzinah, sia-sia, dirayu oleh kemewahan, dan ditandai dengan kelemahan karakter, menuju pada satu kesimpulan bahwa perempuan sebagai makhluk kognitif yang labil.101 Pandangan tentang perempuan sebagai makhluk yang labil berkaitan dengan pandangan seksualitas orang Yunani-Romawi. Seksualitas dipandang sebagai sesuatu yang terjadi secara alami dan dapat memberikan kepuasan, serta dipandang memiliki kuasa yang dapat mendatangkan bahaya karena sulit dikuasai. Kemampuan menguasai hanya dimiliki oleh lakilaki karena mereka dianggap lebih memiliki akal budi yang dapat mengendalikan emosi, sementara perempuan memiliki sifat lemah sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menguasai seksualitas pribadi. Oleh sebab itu kendali dalam kehidupan sosial berada pada lakilaki dan dalam keluarga berada pada kendali pater familias.102 Status perempuan mulai mendapatkan penghargaan menjelang periode kekaisaran. Perempuan pada periode Republik hidup dalam ketertundukan mutlak kepada ayah dan suaminya, namun pada periode kekaisaran perempuan dapat memiliki harta dan jika terjadi perceraian tetap mendapatkan hak terhadap mas kawinnya bahkan tidak ada lagi pemaksaan jodoh sesuai keinginan ayah perempuan. Perempuan mulai diberikan kepercayaan untuk 100 Negara campur tangan untuk memperbaiki situasi ini dengan memperkenalkan UU Oppian yang menempatkan pembatasan harta kekayaan perempuan. Melarang perempuan untuk memiliki lebih dari setengah ons emas. Hukum ini berlaku selama dua puluh tahun sebelum bertemu dengan perlawanan ekstrim. Deborah F. Sawyer, Woman and Religion in the First Christian Centuries (London: Routledge, 1996), 22-23. 101 Sawyer, Woman and Religion in the First Christian Centuries, 26-31. 102 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 28. 94 menjalankan bisnis, mendapatkan kebebasan untuk mengikuti keinginan hati pribadi bahkan bagi perempuan kelas atas di Roma memiliki kesempatan yang lebih besar untuk pendidikan dibandingkan dengan perempuan Yunani. Beberapa perempuan-perempuan Romawi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap politik Romawi adalah Cornelia, ibu dari Tiberius dan Gaius Gracchus serta Livia, istri dari Augustus yang turut memberikan kontribusi pemikiran mengenai permasalahan kekaisaran. Dunia Yunani-Romawi mungkin telah menggapai prestasi besar perihal pembebasan perempuan, namun dalam wilayah hukum, pemerintah dan organisasi domestik tetap menggambarkan inti dari struktur patriakal.103 3.6.2 Praktik Perceraian Romawi Hukum negara Romawi pada prinsipnya melihat pernikahan sebagai monogami. Pendekatan itu tentu saja didukung hukum negara yang meletakkan inti pernikahan dalam persetujuan bebas dari kedua belah pihak. Bila suami hendak berpoligami, istri dapat menceraikannya dengan menarik kembali persetujuan.104 Perubahan terbesar terjadi pada zaman Kaisar Agustus, seorang suami ketika menceraikan istrinya akan berhadapan dengan membayar biaya, kehilangan mahar, sepertiga dari propertinya diberikan kepada istrinya sesuai dengan pilihan istri. Namun walaupun hukum pernikahan yang berkaitan dengan perceraian pada zaman itu nampaknya berpihak pada istri tetapi istri tetap merasakan dampak dari perceraian karena diasingkan. Hukum ini tidak dapat diketahui secara pasti jika diberlakukan atau tidak tetapi tidak ada perubahan dari setiap pandangan ketika seseorang bercerai tetap mencemari pernikahan.105 103 Perry, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan 142-143. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 86. 105 Divorce in Ancient Roman, dalam http://www.womenintheancientworld.com/divorceinancientrome.htm diakses pada 29 Januari 2014, pkl.20.35 WIB. 104 95 Perceraian pada zaman Romawi kuno harus melewati prosedur yang rumit, bahkan kecil kemungkinannya untuk bercerai.106 Pada zaman akhir pemerintahan Konstantin tahun 331, mengeluarkan denda perceraian sepihak terkecuali untuk kasus tertentu. Jika perempuan menceraikan suaminya tanpa ada pembuktian bahwa suaminya adalah pembunuh maka ia akan kehilangan semua maharnya dan akan diasingkan ke sebuah pulau, hal yang sama jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa membuktikan istrinya bersalah karena membunuh, meracuni maka suami akan memberikan mahar kepada istrinya. Tapi jika suami menikah kembali maka mantan istrinya diizinkan untuk datang dan mengambil mahar yang harusnya menjadi milik istri barunya. Walaupun catatan konstantin cukup keras terhadap perceraian tetap tidak dapat mencegah perceraian. Hukum baru ini tidak berdampak pada perceraian yang disetujui kedua belah pihak.107 Isu perceraian di akhir periode Republik dan awal periode Kekaisaran membuat perceraian relatif mudah untuk dilakukan. Suami ataupun istri diberikan kebebasan untuk memulai perceraian. Secara hukum, perceraian dapat dilakukan hanya dengan memberikan informasi kepada pasangan tentang niat untuk bercerai. Saat istri diusir karena perzinahan maka ia akan kembali kerumah keluarganya serta membawa warisan ayahnya, juga sebagian mahar sesuai kontrak dan berada dibawah dikendali pater familias, sementara anak tetap bersama keluarga ayah.108 Jika suami mengusir istri sekehendak hati atau istri yang memutuskan untuk meninggalkan suami, maka istri tidak mendapatkan bagian warisan yang diberikan ayahnya kepada suami sebelum menikah melainkan ia harus mengembalikan pemberian mahar tersebut. Berdasar pengetahuan para ahli, perceraian sering terjadi tanpa sanksi agama ataupun stigma 106 Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 87 107 Divorce in Ancient Roma, dalam http://www.womenintheancientworld.com/divorceinancientrome.htm diakses pada 29 Januari 2014, pkl.20.35 WIB. 108 Brucia & Daugherty, To Be A Roman: Topics in Roman Culture, 9. 96 moral.109 Perceraian lebih sering terjadi pada kalangan atas. Pada perceraian kelas atas, istri yang diceraikan akan mendapatkan mahar dan memiliki kebebasan sama seperti sebelum menikah. Perihal mendapatkan mahar dan kebebasan dapat dimiliki seorang istri jika kembali kepada keluarganya dan berada pada kendali pater familia.110 3.6.3 Praktik Pernikahan Yahudi Mengingat konteks penulisan Injil Matius ditujukan bagi orang Yahudi Kristen maka penulis akan memaparkan secara singkat pernikahan dan perceraian menurut konteks Yahudi. Sepanjang sejarah Israel kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Gambaran perempuan dalam masyarakat Yahudi adalah lemah, pasif dan berada dibawah kuasa orang lain oleh sebab itu kedudukannya lebih rendah dari pada laki-laki dan pada umumnya perempuan hanya dipandang sebagai objek. Dalam pernikahan Yahudi otoritas suami sangat dominan terhadap istri, sementara sebelum seorang perempuan menikah ia juga berada dibawah otoritas orang tua laki-laki.111 Suami sangat mendominasi hampir di setiap aspek kehidupan rumah tangga seperti ekonomi, seksual, bahkan dapat memprakarsai perceraian. Perihal anak dalam rumah tangga Yahudi lebih mengistimewakan kelahiran anak laki-laki. Anak perempuan dapat menjadi ahli waris jika dalam rumah tangga Yahudi tidak memiliki anak laki-laki, sebaliknya jika terdapat anak laki-laki maka yang berhak menjadi ahli waris adalah anak lakilaki. Anak perempuan yang telah menjadi ahli waris diwajibkan untuk menikahi laki-laki yang berasal dari suku ayahnya, hal ini dilakukan untuk mencegah warisan yang dimiliki jatuh ke 109 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 27. Wedding, Marriage & Divorce dalam http://www.pbs.org/empires/romans/empire/weddings.html diakses pada 29 Januari 2014, pkl. 19.00 WIB. 111 Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 26. 110 97 tangan suku lain. Suami adalah kepala keluarga sementara istri memiliki kewajiban untuk taat dan tunduk pada kehendak suami sama seperti taat kepada Tuhan. Dalam hal kesetiaan tuntutan dominan lebih kepada para istri daripada suami, orang Yahudi mendasari perihal tersebut dari Kejadian 3:16.112 Pandangan bahwa istri adalah objek atau harta milik dapat terlihat dalam Keluaran 20: 17. Pandangan ini semakin diperteguh dengan pemberlakuan mohar dalam tradisi pernikahan Yahudi. Mohar selain bertujuan memiliki tujuan ekonomis yaitu pembayaran kepada keluarga perempuan, dapat juga bertujuan sebagai jaminan keberlanjutan hidup seorang istri pada masa suksesi dan jika diperhadapkan dengan peristiwa kematian suami.113 Struktur pernikahan ideal bagi masyarakat Yahudi adalah monogami, pernikahan monogami bermuatan metaforik yang mengarah pada relasi antara Tuhan dan orang Yahudi (Kej 2:24; Yes 50:1; 54;6-7; Yer 2:2; Amsal 12:4).114 Jika ada kasus-kasus tertentu sehingga seorang suami hendak menikah dengan perempuan lain, maka seorang suami harus menceraikan istri pertama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.115 Kehidupan keluarga Yahudi terpusat pada kesucian pernikahan oleh sebab itu jika terjadi perzinahan dalam pernikahan maka akan berhadapan dengan hukuman keras sesuai dengan aturan Yahudi.116 Penekanan pada kesuciaan pernikahan berdasar pada pernikahan dipandang sebagai relasi yang terjadi antara Allah dan umat-Nya.117 Pernikahan menjadi wadah bagi orang yang menikah secara bertanggungjawab 112 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 33-37. Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 28-29. 114 Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 23-24. 115 Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 243. 116 Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2007), 531. 117 Jon D. Levenson, Sinai and Zion: An Entry into the Jewosh Bible (San Fransisco: Harper & Row, 1987), 75-76. 113 98 memperhatikan tumbuh kembang anak dengan menanamkan nilai takut kepada Allah sehingga kehidupan umat Yahudi lestari, sejahtera dan di dalamnya Allah dipermuliakan.118 Namun fenomena poligami seringkali mengisi kehidupan orang Yahudi, beberapa leluhur Yahudi dalam Perjanjian lama seperti Abraham, Yakub, raja Salomo memiliki istri lebih dari satu. Hal ini dapat dipahami karena sebelum pemberlakukan Taurat yang mengatur kehidupan orang Yahudi pada zaman Musa, para leluhur Yahudi hidup dalam aturan adat istiadat dan hukum sesuai dengan masyarakat asli mereka. Dalam aturan adat dan hukum yang berkaitan dengan praktik pernikahan, fenomena poligami dalam praktik pernikahan para leluhur Yahudi dipandang sebagai hal yang wajar.119 Perihal poligami secara khusus dominan dipraktikkan di kalangan para bangsawan.120 Poligami yang terkadang diberlakukan dalam masyarakat Yahudi berkaitan erat dengan konteks budaya Yahudi yang melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban untuk prokreasi (Kej. 1:28; Mal. 2:15). Fokus utama tradisi Yahudi dalam prokreasi terorientasi pada signifikansi keturunan dari seorang suami sebagai kepala keluarga dan ahli waris.121 Seorang laki-laki dimungkinkan memiliki istri lebih dari satu jika istri pertama mandul. Namun, suami tidak diizinkan memiliki istri lebih dari satu jika istri pertama memberikan budak sebagai gundik untuk memperoleh keturunan. Tradisi pemberian budak sebagai gundik ditemukan pada abad XV SZB didalam kajian masyarakat di daerah Kirkuk. Dalam Talmud terdapat pembatasan jumlah istri, kalangan bangsawan dapat memiliki 18 istri sementara kalangan masyarakat biasa hanya dapat memiliki 4 istri. Namun pada umumnya realita poligami 118 Bernard Cooke, Perkawinan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 43 Monike Hukubun, “Abraham Menceraikan Hagar: memahami Kejadian 21:8-21 dari Perspektif Korban Kekerasan,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 52-53. 120 Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 61. 121 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 34. 119 99 hanya terjadi di kalangan bangsawan.122 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fenomena poligami mengijinkan suami memiliki istri lebih dari satu merupakan upaya untuk memperoleh keturunan sebanyak mungkin. Pernikahan Yahudi pada umumnya terjadi pada lingkup kekerabatan, namun terdapat larangan untuk pernikahan dalam lingkup keluarga terdekat yaitu pernikahan antar saudara kandung, pernikahan antar orang tua-anak, atau pernikahan antar kakek-cucu, seperti yang ada dalam Imamat 18, Imamat 20 dan Ulangan 27.123 Selain pernikahan dalam lingkup kekerabatan, terdapat pula pernikahan dalam lingkup keluarga yang berbeda dan pernikahan campur dengan perempuan asing, seperti pernikahan Esau dengan perempuan Het, Musa memperistri seorang perempuan Midian, Daud memperistri seorang perempuan Aram, Salomo memiliki banyak istri yang berasal dari Mesir, Moab, Sidon, Amon dan Het. Namun terdapat ketentuan yang melarang terjadinya pernikahan campur, larangan ini berkaitan dengan terancamnya kemurnian keturunan Yahudi dan dianggap membahayakan keberimanan orang Yahudi. Walaupun demikian pernikahan campur tetap terjadi khususnya bagi orang Yahudi yang kembali dari pembuangan. Selain itu dalam lingkup kerajaan pernikahan campur seringkali terjadi, hal ini berkaitan erat dengan tujuan yang bermuatan politis.124 Salah satu tradisi pernikahan Yahudi yang signifikan adalah pernikahan ipar atau levirat, dalam Talmud ditemukan bahwa perkawinan ipar masih terjadi pada abad I ZB.125 122 Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 25. Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 26. 124 Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 32. 125 Pernikahan levirate berasal dari bahasa latin yaitu levir yang memiliki arti „saudara sekandung dari suami/ipar‟: yabam/Ibrani. Pernikahan ipar merupakan pernikahan yang terjadi antara saudara suami dengan istri dari suami yang telah meninggal untuk memperoleh anak secara khusus anak laki-laki. Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 37. Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 35. 123 100 Contoh dalam Perjanjian Lama dari pernikahan levirate, terdapat di Kej 38 dan Rut 4 yakni kisah Tamar dan Ruth. Tradisi Yahudi menganggap bahwa pernikahan levirat memiliki nilai sosialfamilial sebagai pemeliharaan nama dari saudara yang telah wafat, dengan demikian dapat dikatakan tujuan dari pernikahan levirat adalah keberlanjutan garis keturunan dari pihak laki-laki yang juga terkait dengan alur warisan yang tetap berada dalam lingkup keluarga laki-laki.126 Dasar hukum dari pernikahan Yahudi kuno adalah pemberlakukan kontrak pernikahan berdasarkan persetujuan dan perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Perjanjian itu berbentuk surat kawin tertulis atau ketubbah yang didalamnya menguraikan berbagai tanggungjawab dari pihak laki-laki terhadap istri termasuk jaminan finansial yang akan diberikan kepada istri ketika suami meninggal atau terjadi perceraian yang dilakukan oleh suami.127 Ketubbah juga merupakan mas kawin yang diberikan oleh seorang ayah kepada putrinya yang akan menikah.128 Dalam tradisi Yahudi penyelenggaraan pernikahan adalah tindakan hukum, oleh sebab itu penyelenggaraan pernikahan tidak diselenggarakan oleh pemimpin agama. Dalam tradisi Yahudi, ritual pernikahan diberlakukan secara umum bagi setiap orang Yahudi. Pernikahan dalam sinagoge hanya diperuntukkan bagi dua mempelai Yahudi, dan pernikahan tidak dapat dilakukan pada hari Sabbat atau hari raya Yahudi. Ritual pernikahan dilaksanakan di bawah chuppah dan diikuti dengan penandatangan surat nikah atau ketubbah yang merupakan bagian paling awal dalam ritual pernikahan. Kemudian kedua mempelai meminum anggur bersama 126 Listijabudi,“Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 39. Michael.J. Broyde, Marriage, Divorce, and the Abandoned Wife in Jewish Law: A Conceptual Understanding Of The Agunah Problem in America (Hoboken: Ktav Publising House, 2001), 1-2. 128 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 36. 127 101 sebagai lambang dari kehidupan bersama yang telah dimulai, setelah itu gelas dipecahkan oleh mempelai laki-laki di bawah kakinya.129 3.6.4 Praktik Perceraian Yahudi Perceraian dalam masyarakat Yahudi pada umumnya tidak diperbolehkan, terkecuali terjadi kesalahan fatal yang dilakukan istri seperti perselingkuhan. Dalam Ulangan 24:1-4 terdapat aturan yang berkaitan dengan perceraian yaitu, keputusan untuk bercerai hanya dapat di lakukan dari pihak laki-laki. Seorang suami yang mendapatkan istri melakukan kesalahan fatal dapat menceraikan istrinya tanpa harus memberikan kompensasi kepada istri yang diceraikan. Situasi akan sedikit berbeda jika suami menceraikan istrinya hanya karena perasaan benci, maka istri berhak mendapatkan surat cerai dan kompensasi dari suami berupa mas kawin, mahar, hadiah-hadiah hasil pemberian suami saat menikah ataupun sebelum menikah, bahkan mahar yang diberikan oleh orang tua perempuan kepada pihak laki-laki harus dikembalikan kepada istri yang diceraikan.130 Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya mendapat julukan gerusyah yang berarti perempuan yang terusir.131 Pada abad kelima SZB terdapat papiri Elefantine yang menunjukkan bahwa istri memiliki hak untuk terlebih dahulu memprakarsai perceraian. Kemudian pada abad pertama ZB terdapat juga kasus perceraian yang diprakarsai oleh istri yaitu perkara Herodias yang menceraikan suaminya. Sementara itu pada abad kedua ZB di Palestina ditemukan papirus yang diduga menghadirkan bukti perceraian dapat diprakarsai oleh seorang istri Yahudi sesuai dengan 129 Chuppah adalah tirai penikahan sebagai simbolisasi kebersamaan dalam membangun rumah tangga. Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 56. 130 Ira Desiawanti Mangililo,”Kawin Campur, Gender, dan Perempuan Asing di dalam Ezra: Suatu Analisi Poskolonial Feminis terhadap Perceraian Perempuan Asing di dalam Ezra 9-10,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 116-117. 131 Agus Santoso,”Perceraian dalam Tradisi Tawarikh dan Tandingannya,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 99. 102 ketentuan-ketentuan dalam komunitas Yahudi. Papirus Se‟elim merupakan bukti adanya surat cerai yang diprakarsai oleh seorang perempuan bernama Syelamzion. Menurut D. Instone Brewer terdapat juga bukti perceraian yang dilakukan oleh istri dalam teks-teks Misyna yang meminta pengadilan Yahudi untuk mendesak suami memberi surat cerai karena suami tidak bertanggung jawab memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Keluaran 21:10-11. Keluaran 21:10-11 menunjukkan contoh konkrit perceraian diprakarsai seorang istri atas dasar suami melepaskan tanggung jawab dalam memberikan istri kebutuhan makanan, pakaian ataupun kebutuhan seksual.132 Menurut Schafer bukti-bukti perceraian yang diprakarsai oleh istri tidak diakui oleh umat Yahudi pada zaman Yesus diabad pertama ZB. Walaupun demikian tetap ditemukan praktik perceraian yang diprakarsai perempuan kelas atas sesuai dengan hukum Romawi, perihal ini memberikan pengaruh signifikan di lingkungan umat Yahudi sehingga umat yahudi memberikan hak kepada para istri untuk memprakarsai perceraian. Namun kemudian situasi ini kembali berubah karena hak istri untuk mengawali perceraian telah dilupakan. Peringatan terhadap para istri yang akan menceraikan suaminya terdapat dalam kisah Hakim-Hakim 19. Seorang istri yang menceraikan suami akan mendapatkan perlakuan yang semena-mena oleh sebab itu disarankan mereka tetap tinggal bersama suami. Seorang istri yang berpisah dari suaminya dan memiliki anak dari laki-laki lain dalam Sirakh 23:22-26 menerima hukuman dipermalukan di hadapan masyarakat umum. Masih terdapat hukuman yang lebih berat yaitu hukuman mati sesuai hukum Taurat bagi perempuan yang bercerai dari suami dan memiliki anak dari laki-laki lain.133 Ada beberapa aliran Yahudi yang memiliki pandangan tentang perceraian. Mazhab Syammai yang memiliki pandangan bahwa seorang suami dapat menceraikan istri yang tidak 132 133 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 40-41. Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 42. 103 setia. Menurut Mazhab Hillel seorang suami dapat bebas menceraikan istri, sekalipun alasan yang dimiliki oleh suami sangat sederhana, seperti jika istri tidak dapat memasak. Dengan demikian pernikahan akan dianggap sebagai perihal kecil yang dapat diakhiri hanya berdasar pada kehendak suami. Mazhab Hillel pada umumnya lebih sering digunakan pada abad pertama ZB, seorang Rabi Akiba memberikan kebebasan pada seorang suami yang menceraikan istrinya walaupun hanya dengan alasan yang sederhana yaitu jatuh cinta lagi dengan seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya. Dampak dari pandangan yang dianut oleh Mazhab Hillel tentang pernikahan adalah sangat mudah mengakhiri pernikahan berdasar pada kehendak suami.134 Perceraian dapat terjadi hanya karena pandangan suami bahwa sang istri tidak dapat memberikan kenyamanan baginya.135 Dalam Perjanjian Lama terdapat teks-teks yang menunjukkan praktik perceraian (bnd. Im 21:7, 22:13; Yes 54:6; Yer 3:1), salah satu teks dalam Perjanjian Lama mengatur perceraian dengan sederhana yaitu dengan memberikan surat cerai kepada istri.136 Perceraian dalam tradisi Yahudi tidak melalui prosedur pengadilan melainkan pada kesepakatan dua pihak, seorang suami cukup hanya memberikan surat cerai kepada istrinya jika hendak bercerai. Surat cerai merupakan surat yang membebaskan perempuan dari dugaan zinah sehingga ia dapat menikah kembali. Isi dari surat cerai tidak ditemukan dalam pentateukh, kata-kata dalam surat cerai justru diduga berasal dari surat cerai yang dikeluarkan para rabi. Dugaan ini berdasar pada penelusuran terhadap surat cerai Yahudi pada abad kelima SZB dan akta nikah Babylon pada abad 14 SZB.137 134 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 43-44. Jeane Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas: Studi tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadap Perempuan (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 17-18. 136 Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 38-39. 137 David Instone Brower, Divorce and Remarriage in the Bible: The Social and Literary Context (Michigan: Wm. B. Eerdmans, 2002), 29. 135 104 Perceraian yang terjadi karena perzinahan memiliki konsekuensi hukum. Perzinahan dan percabulan dalam masyarakat Yahudi Alkitab merupakan tindakan yang dipandang sebagai dosa terhadap pernikahan dan dosa terhadap Allah, oleh sebab itu seseorang yang berzinah dipandang “tidak suci lagi.” Tindakan perzinahan dalam konteks masyarakat Yahudi adalah persetubuhan yang terjadi dengan istri atau suami orang lain. Namun, seorang suami tidak dapat dikatakan berzinah jika persetubuhan dilakukan dengan seorang perempuan yang belum menikah. Aturan ini kontradiktif jika diberlakukan terhadap istri, konsekuensi dari ketidaksetiaan seorang istri adalah hukuman mati dan dianggap telah melakukan dosa besar. Hukuman yang diterima dalam bentuk pelemparan atau perajaman dengan batu (Ul 22: 23; Ezr 16: 10), bahkan yang paling ekstrim adalah dibakar hidup-hidup (Kej 38:24).138 Hal ini menunjukkan bahwa hukum ataupun aturan Yahudi yang terkait dengan perceraian tidak memberikan perlindungan kepada istri jika berhadapan dengan keputusan cerai dari suami. 3.7 Kesimpulan Imperialisme Romawi mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang berada dibawah kekuasaannya, termasuk konteks masyarakat saat penulisan Matius 19:1-12. Setiap aturan-aturan yang ditetapkan berkaitan dengan konteks politik, sosial, ekonomi, agama lebih menampakkan wajah yang menancapkan legalitas eksploitasi dalam dominasi kekuasaan. Dalam konteks politik para kaisar, gubernur atau para bangsawan Romawi tidak segansegan menggunakan kekerasan fisik dalam mempertahankan kekuasaan ataupun merebut wilayah jajahan. Kekejaman Romawi terlihat dalam kepemimpinan ketiga kaisar 69-96 ZB. 138 Listijabudi,“Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 40. 105 Bahkan penganiayaan yang dilakukan Domitianus terhadap orang-orang Kristen menunjukkan arogansi para pemimpin Romawi. Kesetiaan terhadap Romawi merupakan kewajiban bagi setiap wilayah yang berada dibawah kekuasaannya, sehingga aturan di setiap wilayah jajahan Romawi harus mengacu pada tradisi dan hukum Romawi. Walaupun dalam upaya menaklukkan daerah jajahan Romawi menggunakan taktik politik dengan tidak menciptakan negara bagian Romawi dan memberikan kewarganegaraan Romawi tetapi memiliki misi untuk membuat pemerintah lokal memiliki ketergantungan signifikan terhadap Romawi. Konteks sosial ekonomi menunjukkan perbedaan kelas dengan pembedaan perlakuan antara kelas bangsawan dan rakyat pada umumnya. Pembedaan ini berkaitan dengan persoalan perekonomian yang didominasi oleh para elit. Kehidupan para elit bergelimang dengan harta sementara masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks sosial budaya. Konstruksi sosial yang menganut budaya patriakhal turut berperan dalam memainkan peran eksploitatif terhadap perempuan. Praktik pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi yang telah dipaparkan memberikan gambaran bahwa perempuan seringkali menjadi korban ketidakadilan atau pun diskriminatif dari budaya patriakhal yang sangat kental mendominasi budaya Yunani-Romawi atau pun Yahudi. Pernikahan Yunani-Romawi dipandang sebagai lembaga yang terkait erat dengan kehidupuan politik, sosial, ekonomi dalam imperialisme Romawi. Pernikahan menjadi wadah penghasil dan pembentuk generasi-generasi berkualitas yang merupakan penerus dari imperialisme Romawi. Untuk menunjang usaha memperoleh sumber daya manusia maka kekaisaran Romawi memberikan ketetapan agar setiap laki-laki dan perempuan harus menikah. Setiap laki-laki yang menolak untuk menikah atau yang menikah dan tidak dapat memberikan keturunan mendapatkan sanksi pengalihan warisan kepada mereka yang memiliki anak dan wajib 106 membayar pajak bagi mereka yang tidak menikah. Sementara ketetapan yang diperuntukkan bagi perempuan adalah harus melahirkan dan membesarkan anak dengan baik. Berdasarkan kepentingan tersebut maka perempuan harus menanggun beban ganda, yaitu tidak hanya melahirkan tetapi juga harus mempertahankan kelahiran dari segi kuantitas ataupun kualitas. Jenis pernikahan Yunani-Romawi walaupun pada prinsipnya adalah monogami, namun realita dalam masyarakat Romawi memaparkan “free seks” sebagai gaya hidup. Peluang untuk melakukan hubungan seks dengan laki-laki dan perempuan lain di luar pernikahan tetap terbuka. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa perceraian sering terjadi dan dianggap sebagai hal biasa dalam pernikahan Yunani-Romawi. Kehidupan pernikahan Yahudi memberikan penekanan terhadap prokreasi yang merupakan kehendak Allah, dan terdapat muatan metaforik dalam pernikahan Yahudi yang menunjukkan relasi antara Tuhan dan orang Yahudi. Tidak heran jika jenis pernikahan Yahudi bersifat monogami, walaupun terdapat beberapa kisah para leluhur Yahudi yang memiliki istri lebih dari satu. Beberapa kisah para leluhur yang menganut pernikahan poligami tidak meruntuhkan prinsip bahwa pernikahan Yahudi bersifat monogami. Oleh sebab itu perceraian pada umumnya tidak diizinkan dalam pernikahan Yahudi. Praktik perceraian dapat dilakukan jika terjadi perzinahan dalam pernikahan, dan pada umumnya hanya pihak laki-laki yang diperkenankan untuk melakukan praktik perceraian. Pemaparan tentang praktik pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi nampaknya tidak berpihak pada perempuan. Dalam lingkup keluarga dominasi kekuasaan turut mengintervensi keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Isu utama yaitu suami adalah penentu kebijakan mutlak dalam keluarga semakin mempertontonkan ketidakadilan dalam hubungan kemitraan antara suami dan istri, atau ketidakadilan dalam menjalankan peran. Istri menjadi 107 korban dari perilaku suami yang semena-mena. Konteks yang dipenuhi dengan perlakuanperlakuan diskriminatif dan dominasi dari imperialisme Romawi merupakan isu utama dalam melihat Matius 19:1-12 dari perspektif poskolonial. 108