Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Ketika Paulus dan Yohanes

advertisement
Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi
Ketika Paulus dan Yohanes berbicara tentang Yesus seakan-akan
dia
memiliki sejenis kehidupan praeksistensi, mereka tidak sedang
menyarankan bahwa dia adalah "oknum" suci kedua dalam
pengertian Trinitarian yang berkembang belakangan. Mereka mengindikasikan bahwa Yesus telah melampaui mode eksistensi temporal
dan individual. Karena "kuasa" dan "hikmat" yang dia hadirkan
merupakan aktivitas-aktivitas yang berasal dari Tuhan, maka dalam
cara tertentu dia telah mengungkapkan "apa yang telah ada sejak
semula."25
Gagasan ini dapat dipahami dalam konteks Yahudi yang ketat,
meskipun generasi Kristen berikutnya yang berlatar belakang Yunani
akan menafsirkannya secara berbeda. Dalam Kisah Para Rasul,
yang
ditulis pada 100 M, kita dapat melihat bahwa generasi awal
Kristen
masih memiliki konsep tentang Tuhan yang sepenuhnya bersifat
Yahudi. Dalam perayaan Pantekosta, ketika ratusan orang Yahudi
berkumpul di Yerusalem dari berbagai penjuru diaspora
untuk
merayakan pewahyuan Taurat di Gunung Sinai, Roh Kudus turun
kepada sahabat-sahabat Yesus. Mereka mendengar "dari langit suatu
bunyi seperti tiupan angin keras ... dan tampaklah oleh mereka
lidah-lidah seperti nyala api." 26 Roh Kudus telah mewujudkan
dirinya
kepada generasi Kristen Yahudi pertama ini sebagaimana yang
telah
dilakukannya kepada orang-orang sezaman mereka, kelompok
tannaim. Segera para murid itu bergegas keluar dan mulai
berbicara
kepada kerumunan orang Yahudi, Orang-orang yang Takut kepada
Allah dari "Mesopotamia, Yudea, dan Kapadokia, Pontus dan
Asia,
Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang
berdekatan
dengan Kirene." 27 Mereka keheranan, setiap orang mendengar para
pengikut itu berkata-kata dalam bahasa mereka masing-masing. Ketika
Petrus bangkit untuk berkhotbah di hadapan keramaian itu,
dia
menyebut fenomena ini sebagai titik terjauh bagi Yudaisme.
Para
rasul telah meramalkan suatu hari ketika Tuhan akan mencurahkan
Ruhnya ke atas semua manusia sehingga kaum wanita dan
para
budak sekalipun akan memiliki penglihatan dan mendapat mimpi.28
Hari ini Kerajaan Mesias ditahbiskan, tatkala Allah akan tinggal
di
bumi bersama umatnya. Petrus tidak mengatakan bahwa Yesus
dari
Sejarah Tuhan
yang tragis, Allah membangkitkannya untuk hidup kembali dan
mengangkatnya ke derajat yang tinggi "oleh tangan kanan Allah."
Para nabi dan penyusun Mazmur telah meramalkan kejadian-kejadian
ini; sehingga "seluruh kaum Israel" harus tahu dengan pasti bahwa
Yesus adalah Mesias yang telah lama dinanti itu. 29 Khotbah ini
tampaknya merupakan pesan (kerygma) Kristen yang paling awal.
Pada akhir abad keempat, Kristen menguat persis di wilayahwilayah yang telah disebutkan di atas oleh para penulis Kisah: ia
berakar di kalangan sinagoga Yahudi di diaspora dan telah menarik
perhatian sejumlah besar Orang yang Takut kepada Allah atau para
pengikut baru. Yudaisme yang telah direformasi oleh Paulus tampak
menjawab banyak dilema mereka. Mereka juga "berbicara dalam
banyak bahasa," tidak memiliki satu suara dan posisi yang koheren.
Banyak orang Yahudi diaspora beralih memandang Kuil di Yerusalem
—yang memang telah banyak digenangi darah hewan—sebagai
institusi primitif dan barbarik. Kisah Para Rasul mengabadikan sudut
pandang ini dalam cerita tentang Stefanus, seorang Yahudi Helenistik
yang beralih menganut sekte Yesus dan dilempari batu sampai mati
oleh Sanhedrin, mahkamah agama Yahudi, karena menghujat. Dalam pidato terakhirnya yang berapi-api, Stefanus mengatakan bahwa
Kuil merupakan penghinaan terhadap hakikat Allah: "Yang Mahatinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia." 30
Sebagian Yahudi diaspora mengadopsi Yudaisme Talmudik yang
dikembangkan oleh para rabi setelah kehancuran Kuil; yang lain
menemukan bahwa Kristen menjawab beberapa pertanyaan mereka
tentang status Taurat dan universalitas Yudaisme. Ajaran ini, tentu
saja, menarik secara khusus bagi Orang-orang yang Takut kepada
Allah, yang menjadi anggota penuh Israel Baru tanpa beban 613
mitzvot.
Selama abad pertama, orang Kristen terus berpikir tentang Tuhan
dan berdoa kepadanya seperti orang-orang Yahudi; mereka berbicara
seperti para rabi dan gereja-gereja mereka mirip dengan sinagoga.
Pada tahun 80-an terjadi perselisihan tajam dengan orang Yahudi
ketika orang Kristen secara formal dikeluarkan dari sinagoga karena
mereka menolak untuk menaati Taurat. Kita telah menyaksikan bahwa
Yudaisme telah menarik banyak penganut pada dekade awal abad
pertama, tetapi setelah tahun 70, ketika orang Yahudi bersengketa
dengan kekaisaran Romawi, posisi mereka mengalami kemunduran.
Kepindahan Orang-orang yang Takut kepada Allah ke Kristen
134
Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi
membuat orang Yahudi menaruh curiga kepada para penganut agama
baru, dan mereka tak lagi berminat untuk pindah agama. Kaum
pagan yang dahulu pernah tertarik pada Yudaisme kini beralih ke
Kristen, tetapi kebanyakan mereka adalah budak dan anggota kelas
masyarakat yang lebih rendah. Baru pada akhir abad kedua, kaum
pagan yang berpendidikan tinggi menjadi penganut Kristen
dan
mampu menjelaskan agama baru itu kepada dunia pagan yang
masih
menaruh kecurigaan.
Di kekaisaran Romawi, Kristen pertama sekali dianggap
sebagai
cabang dari Yudaisme, tetapi tatkala orang Kristen memperjelas
diri
bahwa mereka bukan lagi anggota sinagoga, mereka
dipandang
dengan kebencian sebagai religio kaum fanatik yang telah melakukan
dosa besar karena meninggalkan kepercayaan leluhur. Etos Romawi
sangatlah konservatif: mereka memberikan penghargaan tinggi
kepada autoritas pemimpin keluarga dan adat-istiadat nenek moyang.
Yang dianggap sebagai "kemajuan" adalah langkah kembali ke zaman
keemasan yang telah lampau dan bukan menyiapkan masa depan
yang cerah. Keterputusan dari masa lalu tidak dianggap sebagai
tindakan yang berpotensi kreatif, seperti dalam masyarakat
kita
sekarang ini, yang telah memungkinkan perubahan. Pembaruan
dipandang berbahaya dan subversif. Orang Romawi sangat curiga
terhadap gerakan massa yang akan mencampakkan batas-batas tradisi
dan waspada untuk melindungi warga negara dari "pemalsuan" agama.
Akan tetapi, dalam kekaisaran itu telah muncul sejumput
kegelisahan
dan kecemasan. Pengalaman hidup dalam sebuah imperium internasional yang besar telah membuat dewa-dewa yang lama tampak
kecil dan tidak memadai; orang-orang menjadi sadar akan kebudayaan
yang asing dan mengganggu. Mereka mencari solusi spiritual
baru.
Kultus-kultus Timur masuk ke kawasan Eropa: dewa-dewa seperti
Isis dan Semele disembah di samping dewa-dewa tradisional
Roma,
yang menjadi pengawal negeri. Selama abad pertama M, agamaagama misteri baru menawarkan jalan keselamatan mereka dan
apa
yang disebut-sebut sebagai pengetahuan mendalam tentang dunia
yang akan datang.
Akan tetapi, tak satu pun dari antusiasme agama-agama baru
ini
yang mengancam tatanan lama. Dewa-dewa Timur tidak menuntut
pemutusan radikal dari agama lama dan penolakan terhadap ritusritus yang sudah dikenal, tetapi, seperti orang suci baru, ia
Sejarah Tuhan
lebih luas. Anda bisa saja bergabung dengan berbagai kultus misteri
sebanyak yang Anda inginkan: selama mereka tidak berupaya menghancurkan dewa-dewa lama dan tetap bersikap rendah hati, agamaagama misteri itu akan ditoleransi dan diserap ke dalam tatanan
yang sudah mantap.
Tak seorang pun mengharapkan agama akan menjadi sebuah
tantangan atau memberikan jawaban tentang makna kehidupan. Orang
beralih kepada filsafat untuk mencari pencerahan semacam itu. Di
kekaisaran Romawi kuno, orang menyembah dewa-dewa untuk memohon pertolongan selama masa krisis, untuk menjaga agar perlindungan ilahi tetap dicurahkan atas negeri itu, dan untuk memperoleh
rasa ketersambungan dengan masa lalu. Agama lebih merupakan
persoalan kultus dan ritual daripada gagasan-gagasan. Agama didasarkan pada perasaan, bukan ideologi atau teori yang dipilih secara
sadar. Ini bukanlah sikap yang asing bagi masyarakat masa sekarang:
banyak orang yang menghadiri layanan keagamaan dalam masyarakat
kita saat ini tidak tertarik pada teologi, tidak menginginkan sesuatu
yang terlalu eksotik dan tidak menyukai ide tentang perubahan. Mereka menemukan bahwa ritual-ritual yang telah mapan memberi
mereka rasa keterkaitan dengan tradisi dan mempersembahkan rasa
aman. Mereka tidak mengharapkan gagasan-gagasan brilian dalam
khotbah dan malah merasa terganggu oleh perubahan dalam liturgi.
Dengan cara yang sama, banyak kaum pagan di zaman kuno senang
menyembah dewa-dewa leluhur, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh generasi-generasi sebelum mereka. Ritual-ritual lama memberi
mereka rasa beridentitas, merayakan tradisi-tradisi lokal, dan tampaknya menjadi jaminan bahwa segala sesuatu akan tetap sebagaimana
adanya.
Peradaban tampaknya merupakan pencapaian yang rentan dan
tidak boleh terancam oleh pengabaian sembrono terhadap dewadewa pelindung, yang akan menjamin keberlangsungan peradaban
itu. Mereka akan merasa terancam jika suatu kultus baru muncul
untuk mengalahkan kepercayaan nenek moyang mereka. Oleh karena
itu, Kristen tidak mempunyai posisi yang menguntungkan di kedua
dunia itu. la tidak mempunyai masa silam Yudaisme yang dihormati
dan juga tidak mempunyai ritual paganisme yang menarik, yang
dapat dilihat dan diapresiasi setiap orang. Kristen juga berpotensi
mengancam, sebab orang Kristen mengajarkan bahwa Tuhan mereka
adalah satu-satunya Tuhan dan bahwa seluruh dewa-dewa lain
136
Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi
hanyalah khayalan belaka. Kristen tampak merupakan gerakan yang
tidak rasional dan eksentrik bagi penulis biografi Romawi, Gaius
Suetonius (70-160), sebuah superstitio nova et prava, yang "buruk"
justru karena "baru."31
Kaum pagan yang berpendidikan menoleh ke filsafat, bukan
agama, untuk mendapatkan pencerahan. Orang-orang yang mereka
dianggap suci dan tercerahkan adalah para filosof kuno semacam
Plato, Pythagoras, dan Epictetus. Mereka bahkan menganggap para
filosof itu sebagai "anak-anak Dewa": Plato, misalnya, diyakini sebagai
anak Apollo. Para filosof bersikap hormat terhadap agama, tetapi
memandangnya berbeda secara esensial dari apa yang mereka kerjakan. Mereka bukanlah para akademisi yang kering di menara gading,
melainkan orang-orang yang mempunyai misi, bertekad untuk menyelamatkan jiwa orang-orang sezamannya dengan menarik mereka
menjadi pengikut mazhab-mazhab mereka. Baik Sokrates maupun
Plato bersikap sangat "religius" tentang filsafat mereka, merasakan
bahwa kajian ilmiah dan metafisis itu telah mengilhami
mereka
dengan suatu penglihatan tentang keagungan alam. Oleh karena itu,
pada abad pertama M, orang-orang yang cerdas dan berwawasan
beralih kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan tentang makna
hidup, ideologi yang penuh ilham, dan motivasi etis. Kristen tampak
seperti sebuah kredo yang barbarik. Tuhan Kristen tampak sebagai
ilah yang pemarah dan primitif, yang tak hentinya ikut campur secara
tak rasional dalam urusan-urusan manusia: dia tak memiliki kesamaan
apa pun dengan Tuhan para filosof yang jauh dan tak
berubah,
seperti Tuhan dalam konsepsi Aristoteles. Akan tetapi, mengatakan
bahwa orang-orang sekaliber Plato atau Aleksander Agung adalah
anak-anak dewa, tidak sama dengan mengatakan hal yang setara
bagi seorang Yahudi yang tewas mengenaskan di sebuah sudut kekaisaran Romawi.
Platonisme adalah salah satu aliran filsafat paling populer di
akhir zaman kuno. Platonis baru dari abad pertama dan kedua
tidak
tertarik pada Plato yang pemikir etika dan politik, tetapi kepada
Plato yang mistikus. Ajarannya membantu si filosof untuk menyadari
kesejatian dirinya, dengan cara membebaskan jiwa dari penjara ragawi
dan membuatnya mampu untuk naik ke alam suci. Mistisisme
Plato
adalah suatu sistem yang tinggi, menggunakan kosmologi sebagai
citra tentang kesinambungan dan keharmonisan. Yang Esa berada
dalam kontemplasi jernih tentang dirinya sendiri melampaui pengaruh
137
Sejarah Tuhan
waktu dan perubahan di ujung mata rantai wujud. Semua yang ada
berasal dari Yang Esa sebagai konsekuensi pasti dari wujudnya yang
murni: bentuk-bentuk abadi telah memancar dari Yang Esa dan pada
gilirannya menggerakkan matahari, bintang dan bulan, dalam bidang
lintasan mereka masing-masing. Akhirnya dewa-dewa, yang kini
dipandang sebagai malaikat-malaikat bagi Yang Esa, memancarkan
pengaruh suci ke dalam dunia sublunar manusia. Kaum Platonis
tidak memerlukan kisah barbar tentang seorang dewa yang tiba-tiba
memutuskan untuk menciptakan dunia atau yang mengabaikan
hierarki yang ada untuk berkomunikasi langsung dengan sekelompok
kecil manusia. Dia tidak membutuhkan penyelamatan hebat melalui
seorang Mesias yang disalib. Karena dia serumpun dengan Tuhan
yang telah memberi hidup kepada segala sesuatu, seorang filosof
bisa naik ke alam suci melalui usahanya sendiri dalam cara yang
rasional dan tertata.
Bagaimana orang Kristen bisa menjelaskan agama mereka kepada
dunia pagan? Kristen tampaknya berada di tengah-tengah, tidak
dipandang sebagai sebuah agama, dalam pengertian Romawi dan
bukan pula sebuah filsafat. Terlebih lagi, orang Kristen akan mengalami kesulitan untuk menyebutkan "kepercayaan-kepercayaan"
mereka dan mungkin belum menyadari sistem pemikiran berbeda
yang tengah berevolusi saat itu. Dalam hal ini, mereka mirip dengan
tetangga-tetangga pagan mereka. Agama mereka tidak mempunyai
"teologi" yang koheren, tetapi secara lebih tepat dapat dijelaskan
sebagai sebuah sikap berkomitmen yang dibangun dengan sungguhsungguh. Ketika mereka mengucapkan "kredo" mereka, mereka tidak
memaksudkannya sebagai seperangkat proposisi. Kata credere misalnya, kelihatannya diturunkan dari cor dare, memberi hati. Ketika
mereka mengucapkan "credo!" (atau pisteno dalam bahasa Yunani),
ini lebih mengimplikasikan posisi emosional daripada intelektual.
Demikianlah, Theodore, Uskup Mopsuestia di Sisilia dari tahun 392
hingga 428, menjelaskan kepada para pengikutnya:
Ketika Anda berkata: "Aku mengikat diriku sendiri" (pisteno) di hadapan
Tuhan, Anda menunjukkan bahwa dengan tabah Anda akan tetap
bersamanya, bahwa Anda tidak akan memisahkan diri darinya dan
bahwa Anda akan memandangnya lebih tinggi daripada segala sesuatu
yang ada dan akan hidup bersamanya serta berperilaku dalam cara
yang sesuai dengan perintahnya.32
138
Download