BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Khalayak di seluruh dunia akrab dengan teknologi radio hingga kini. Teknologi komunikasi temuan Marconi beberapa abad lalu ini, sekarang menjadi instrumen media komunikasi massa. Unsur reproduksi pesan radio sendiri berupa suara, dengan teknologi audio yang menjadi tonggaknya. Masyarakat Indonesia juga sangat akrab dengan teknologi radio. Bahkan, informasi kemerdekaan Republik Indonesia,bisa tersebar ke penjuru negeri, karena memanfaatkan radio. Hingga kini, konsumsi informasi dan hiburan masyarakat lewat radio masih cukup tinggi. Hampir setiap rumah, pasti mempunyai radio. Entah digunakan sebagai media informasi atau hanya hiburan. Berbagai hasil penelitian menunjukan bukti empiris relasi positif radio dan khalayak. Pada 2007, data penelitian kuantitatif yang dilakukan AC Nielsen1di tujuh kota besar Indonesia menunjukkan, rata-rata pendengar menghabiskan tiga jam per hari untuk mendengar konten siaran radio konvensional2.Hasil penelitian ini menunjukkan, masyarakat masih membutuhkan teknologi radio konvensional ditengah gempuran instrumen media komunikasi massa yang lebih modern (televisi, internet (media baru)). Data tersebut juga mengindikasikan, masih kukuhnya keberadaan radio konvensional dalam memproduksi dan menyebarkan konten media kepada khalayak. Selain di kota besar, sebenarnya persebaran radio juga menjangkau pelosok desa. Bahkan, kini ditengah gempuran teknologi komunikasi yang menghasilkan konvergensi media, masyarakat pedesaan masih cenderung membutuhkan radio konvensional sebagai instrumen media komunikasi massa. Pasalnya, teknologi radio juga lebih murah dan mudah opersionalisasinya daripada media elektronik lain (televisi). Memang, sekarang ada radio streaming, 1 Terarsip dalam http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/33.Isbandi%20sutrisnoupn%20yk.pdf. Dilihat pada 25 Maret 2014 pukul 14.37 WIB 2 Penulis menyebut radio konvensional sebagai radio yang bukan streaming (masih menggunakan gelombang FM atau AM) 1 namun masyarakat desa masih sedikit yang akrab dengan internet, terutama generasi usia 40 tahun ke atas. Karena alasan inilah, beberapa aktivis sosialkemasyarakatan memilih teknologi radio konvensional sebagai instrumen media komunikasi massa dalam lingkup komunitas mereka3. Salah satunya adalah Radio Desa Kawasan Konservasi (Radekka FM) Semoyo, Pathuk, Gunungkidul.Radekka FM termasuk dalam kategori radio komunitas. Menurut UU Penyiaran No 32 tahun 2002 pasal 13, penyelenggara jasa siaran (televisi dan radio), dibedakan menjadi empat macam; publik, swasta, komunitas, dan berlangganan. Sementara itu, trend yang berkembang pada institusi radio sendiri masih berkutat padaradio publik, swasta, dan komunitas. Radio komunitas, sebagai media rakyat, biasanya bergerak atas nama masyarakat lokal. Entah hanya sebagai media komunikasi dan informasi atau menjadi media advokasi atas problem tertentu.Ragamkontennya pun disesuaikan dengan latar sosial-budaya masyarakat tempat media rakyat itu bernaung.Maka, tidak jarang, radio komunitas mempunyai agenda tertentu, yang bertujuan mempengaruhi kebijakan elit pemerintahan (bisa lokal atau nasional) agar berpihak pada kepentingan masyarakat tempat bernaung.Selain itu, tidak jarang pula, radio komunitas memunyai agenda merubah habitus masyarakat, atau sebagai alat revitalisasi kegiatan komunikasi masyarakat setempat. Contohnya, radio komunitas Murakabi di Tegalrejo, Hargowilis, Kokap, Kulonprogo. Daerah itu dipisahkan oleh waduk Sermo dan bukit Menoreh. Maka, radio komunitas Murakabi hadir sebagai sarana komunikasi, hiburan, dan sosialisasi pemberdayaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan komunitas. Radekka FM sendiri mempunyai agenda mendukung visi-misi Serikat Petani Pembaharu (SPP) Gunungkidul yang dideklarasikan 19 Agustus 2006. SPP berdiri untuk memodernisasi organisasi komunitas yang telah ada sebelumnya di Semoyo. Kemudian pemilihan isu utama berkembang pada persoalan konservasi dan pertanian lestari. Pasalnya, di Semoyo sendiri sudah sejak lama terjadi 3 Wawancara dengan Suratimin (Penanggungjawab Radekka FM) Jumat, 21 Maret 2013 pukul 17.00 WIB 2 kerusakan lingkungan serta hilangnya banyak sumber air.Hingga pada 18 Agustus 2007, desa Semoyo dicanangkan sebagai desa Kawasan Konservasi oleh Bupati Gunungkidul, Suharto, SH. Seiring perkembangan, pengurus SPP sadar perlunya media komunikasi. Setelah dilakukan berbagai tahapan kajian media, akhirnya diputuskan, radio sebagai media komunikasi desa kawasan Konservasi Semoyo. Pada 17 Maret 2008, Radekka FM mengudara untuk pertama kali, dengan frekuensi 107.9 FM. Sebenarnya, keberadaan Radekka FM sangat relevan dengan semangat demokratisasi penyiaran, karena, informasi yang disajikan tentu berpihak pada kepentingan masyarakat lokal tempat bernaung.Selain itu, media rakyat juga memperkaya keragaman konten siaran, agar tidak didominasi oleh radio komersial.Hal ini menegaskan, kekayaan alam berupa frekuensi siaran, tidak lagi leluasa dimonopoli kalangan pemodal dengan radio atau televisi komersialnya. Bahaya apabila frekuensi siaran dimonopoli radio komersial. Pasalnya, menurut Sudibyo (2004:226) radio komersial tidak relevan bila dibebani fungsi-fungsi sosial tertentu. Fungsi sosial itu bisa meliputi pemberdayaan, pendidikan, dan usaha mengangkat aspek lokalitas. Melihat betapa signifikan peran media rakyat berupa radio komunitas terhadap fungsi-fungsi pemberdayaan, pendidikan, dan mengangkat aspek lokalitas, maka kajian mengenai media rakyat menjadi bahan yang menarik. Contoh riset menarik tentang relevansi media rakyat dengan fungsi pemberdayaan, pendidikan, dan aspek lokalitas salah satunya skripsi Indah Widyaning Ayu (2009) “Eksistensi Radio Komunitas Angkringan sebagai Alat Revitalisasi Inisiatif Lokal Warga Timbulharjo”. Hasil skripsi ini menyatakan bahwa Radio Angkringan menjadi media komunikasi bagi warga serta mendorong inisiatif warga untuk melakukan beberapa hal seperti mengkritisi kebijakan anggaran pemerintah desa Timbulharjo. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada strategi programming Radekka FM dalam mendorong gerakan sosial konservasi dan pelestarian lingkungan di Desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul. Selain itu, riset terdahulu lain yang membahas radio komunitas adalah, skripsi Dwi Retno Damayanti (2011) yang berjudul “Radio Swasta dan Aktivitas 3 Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Aktivitas Pendampingan Radio Satunama terhadap Radio Komunitas Murakabi di Kulonprogo dan Radekka FM di Gunungkidul)”. Skripsi ini garis besarnya membahas mengenai pendampingan yang dilakukan radio komersial Satunama terhadap Murakabi dan Radekka FM. Di mana pendampingan media komersial terhadap media komunitas, adalah bentuk dari pemberdayaan masyarakat. Sebab, media komunitas tumbuh dalam masyarakat dan mempunyai fungsi sosial terhadap komunitas masyarakat yang menaunginya. Dalam konteks penelitian ini, Radekka FM mempunyai fungsi sosial mendukung visi-misi SPP yang garis besarnya mengusahakan konservasi lingkungan dan pertanian lestari di Semoyo. Sebagai instrumen pendukung visi-misi SPP, Radekka FM berperan besar sebagai instrumen pencapaian tujuan utama komunitas, yakni pembangunan kesadaran masyarakat melestarikan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan lebih baik.Sedangkan misi Radekka FM sendiri adalah berbagi ilmu kepada masyarakat tanpa harus menyita waktu mereka. Sejak SPP berdiri, desa Semoyo terkenal dengan gerakan sosial konservasi lingkungan. Individu di Semoyo sadar akan potensi lingkungannya berkat sosialisasi yang serius dari pegiat SPP. Sehingga secara serentak warga melestarikan alam dengan kegiatan antara lain; menanam pohon besar di pekarangan rumah, membuat biopori di lingkungan sekitar rumah. Sementara pada level lebih luas, warga Semoyo bahu-membahu menerapkan pola pertanian berkelanjutan dan pelestarian hutan rakyat untuk menjaga kelestarian sumber mata air. Hasilnya, lingkungan di Semoyo kini mempunyai udara segar, sumber mata air sepanjang tahun, dan tidak pernah terjadi bencana tanah longsor, walau terletak di perbukitan. Meskipun Gunungkidul merupakan daerah yang rawan tanah longsor bila musim hujan.Puncak keemasan Desa Semoyo sebagai kawasan konservasi, ketika Suratimin (Penanggungjawab Radekka FM dan mantan ketua SPP) mendapat penganugerahan Kalpataru dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013. Dengan peganugerahan itu, bisa dinilai bahwa Semoyo memang memunyai nilai lebih dari daerah lain dalam hal pelestarian lingkungan. Semua elemen pendukung gerakan pelestarian lingkungan, juga dinilai berhasil, 4 tidak terkecuali Radekka FM. Penganugerahan kalpataru tersebut menjadi keunggulan yang khas pada desa Semoyo. Oleh karena itu, penelitian mengenai strategi komunikasi SPP dalam mendorong gerakan sosial pelestarian lingkungan, menjadi menarik. Strategi komunikasi SPP itu, lebih spesifiknya adalah strategi programming Radekka FM dalam mendorong gerakan sosial konservasi dan pelestarian lingkungan. Melalui SPP pula, masyarakat Semoyo belajar tentang pertanian modern dan ramah lingkungan. Mereka mendapat bekal edukasi terkait pertanian dan konservasi lingkungan melalui sosialisasi dalam pertemuan warga, focus group discussion, dan program acara Radekka FM. Program siaran Radekka FM memang khas media yang peduli isu lingkungan. Isu ini menjadi pembicaraan penting pada setiap program Radekka FM. Bahkan ada beberapa program yang secara khusus mengulas perihal pelestarian lingkungan, yakni Habitat, Keroncong Konservasi. Strategi programming dipilih karena merupakan bagian paling penting dalam institusi media, untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Programming sama dengan penataan acara dalam sebuah institusi media penyiaran. Joseph R. Dominick mengartikan programa siaran adalah komposisi acara siaran mulai pembuka sampai penutup.Melalui strategi programming, Radekka FM mengonsep acara siaran, agar menarik didengar target audiensnya. Adapun rentang waktu penelitian antara tahun 2011 hingga 2013.Rentang ini dipilih karena Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bagi Radekka FM turun pada tahun 2011.KPI menurunkan ijin ini setelah dilangsungkan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) terkait reputasi media komunitas. B. Rumusan Masalah Bagaimana Strategi ProgrammingRadekka FM untuk mendorong gerakan sosial konservasi dan pelestarian lingkungan di Desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul? 5 C. Tujuan Penelitian Mengetahui dan mendeskripsikan strategi komunikasi Radekka FM dalam mendorong gerakan sosial konservasi dan pelestarian lingkungan di Desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul. D. Manfaat Penelitian Dari sisi akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian komunikasi khususnya bidang strategi komunikasi dalam mendorong gerakan pelestarian alam dan penghijauan. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumentasi, masukan, dan bahan evaluasi bagi Radekka FM dan SPPserta menjadi referensi bagi pihak-pihak yang berhubungan atau tertarik dengan isu yang diteliti. E. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah strategi programming Radekka FM dalam mendorong gerakan konservasi dan pelestarian lingkungan di Desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul. F. Kerangka Pemikiran 1. Radio Siaran a. Radio Sebagai Instrumen Komunikasi Massa Media massa merupakan salah satu channel atau media dalam menyebarkan pesan. Keberadaannya dapat dibedakan berdasarkan sifat medium yang digunakan, yaitu media cetak dan elektronik.Radio menempati peran media elektronik dengan keunggulan audionya. Berarti radio adalah instrumen atau teknologi yang memfasilitasi kegiatan komunikasi massa. Radio berperan sebagai alat teknis penyebar pesan tertentu, yang diproduksi oleh institusi media massa. Dalam konteks ini, perlu dipahami pengertian komunikasi massa, yakni komunikasi yang termediasi. Gerbner dalam Ardianto dkk (2004:4) lebih merinci definisi komunikasi massa, yakni produksi dan distribusi yang berlandaskan pada teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki 6 orang dalam masyarakat industri. Lebih lanjut, Dominick (2002:13) menjelaskan, komunikasi massa ditandai dengan proses yang kompleks di dalam organisasi, dengan bantuan mesin-mesin produksi, dan menyebarkan pesan publik kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar. Melihat pendapat ini, bisa dipahami, media massa diperankan oleh organisasi. Kemudian proses komunikasi oleh media massa, dapat dijelaskan oleh model komunikasi Lasswellberikut4 ; Komunikan > Pesan > Media> Komunikator> Efek b. Karakteristik Radio Sebagai media komunikasi massa radio juga memiliki karakteristiknya, menurut Adiputra (2006:175) antara lain: intim, terspesialisasi, tersegmentasi, lokal, murah, dan menjalankan fungsi metafor mediasi forum dengan sangat baik.Karakter-karakter tersebut merupakan kekhasan radio. Instrumen komunikasi massa yang lain tentu juga punya karakter sendiri. Berikut ini penjelasan karakteristik radio; Intim berhubungan dengan pesan radio yang cenderung dekat dengan pendengarnya.Artinya, pendengar radio mempunyai kedekatan dengan pesan radio, yang berupa musik, informasi/berita.Contohnya, acara musik bisa dikemas sesuai segmen tertentu misalnya; musik anak-anak, dewasa, dan orang tua. Karakter keintiman radio dengan pendengarnya itu berhubungan dengan kekhasan pada setiap radio.Pendengar yang intim dengan radio tertentu, pasti tidak lepas dari kekhasan dan keunikan format radio. Sehingga, pendengar pun terspesialisasi pada radio maupun program tertentu. Spesialisasi pendengar ini membuat mereka tersegmentasi pula pada radio maupun program bersangkutan. Lokal berkaitan dengan jangkauan siaran serta materi siaran yang mencakup area lokal dan sekitar.Karakter lokal berarti pula soal kedekatan karakter lokal atau kedaerahan program siaran yang diminati pendengar. 4 Dalam http://kolom-biografi.blogspot.com/2012/03/biografi-harold-lasswell.html diakses Senin 8 Desember 2014 pukul 15.05 WIB 7 Karakter selanjutnya, yakni murah, berarti biaya operasional, antara lain; biaya produksi, distribusi, serta sarana dan prasarana, relatif lebih murah daripada media lain. Wajar saja, bila operasional keseluruhan radio lebih murah dibanding media lain, pasalnya, unsur reproduksi pesan radio hanya berupa suara. Artinya, teknologi dan bahan produksi yang digunakan lebih sedikit daripada televisi atau media cetak. Kemudian, karakter terakhir, yakni fungsi metafor mediasi forum berarti, radio menjalankan fungsi mediasi forum berkaitan dengan perannya sebagai medium menyampaikan ide-ide pembangunan dan wahana untuk berdiskusi mengenai masalah pembangunan. c. Aktivitas Radio Sebagai lembaga media komunikasi massa, sebuah radio tentu mempunyai aktivitas demi mendukung operasionalisasinya, yang dibedakan dalam dua ranah, yakni ranah internal dan eksternal. Duaranah aktivitas radio itu adalah manifestasi usaha menghidupi radio. Wilayah internal meliputi departemen program (siaran), departemen penjualan (iklan dan pemasaran), departemen teknik, dan departemen bisnis. Jabaran tugas departemen dalam aktivitas internal radio menurut Dennis dalam Sayoga (2006:5-8) adalah sebagai berikut; Nama Departemen Departemen Program Tugas Bagian ini bertugas menangani mengenai aspekaspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan siaran, misalnya tentang bentuk dan format acara, pemilihan musik dan berita yang akan diudarakan, bagaimana penyiar membawakan atau mengawal sebuah program siaran, dan sebagainya. Departemen Penjualan (bagian Bagian ini bertugas memasarkan programPenjualan dan pemasaran) program acara yang telah disusun sehingga mampu menarik sponsor, hibah, atau 8 sumbangan untuk membiayai radio. Departemen Teknik Bagian ini mengurus masalah-masalah yang berkait dengan peralatan (baik pemeliharaan maupun pengembangannya) teknis studio radio. Misalnya alat pemancar, kelistrikan, alat penyiaran dan lain-lain. Departemen Bisnis Bagian ini menangani masalah kepegawaian, administrasi surat-menyurat, maupun keuangan radio. Selanjutnya, aktivitas eksternal (ke luar) penyiaran radio berkaitan dengan pihak yang berada di lingkungan sekitarnya. Semisal pihak berpengaruh seperti unsur masyarakat, pemerintah, atau swasta (termasuk LSM). Masyarakat berkaitan dengan pihak yang mengonsumsi siaran radio sekaligus sumber daya yang dapat digunakan untuk materi siaran.Pemerintah umumnya berhubungan dengan aspek yuridis (perijinan) dan sponsorship (hibah).Sedangkan swasta dapat mendukung kinerja radio dalam bentuk kerjasama, pelatihan, atau sponsorship. d. Klasifikasi Radio Siaran di Indonesia. Sejak 2002, terutama sejak UU no 32 tentang Penyiaran disahkan, Indonesia mengenal tiga tipe radio; radio publik, swasta, dan komunitas. Dalam UU tersebut, radio juga termasuk lembaga penyiaran, selain televisi. Lembaga penyiaran terbagi menjadi tiga sifat, yaitu; lembaga penyiaran publik, komersial, dan komunitas. Karena itu, sifat masing-masing tipe radio, sama dengan sifat masing-masing lembaga penyiaran. Radio publik tidak bergerak pada sektor komersial. Sebagai lembaga penyiaran publik, sifat keberadaannya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup publik, dengan berusaha memenuhi kebutuhan hidup publik melalui program-programnya. Sedangkan radio swasta adalah yang bergerak di sektor bisnis (komersial). Sebagai lembaga penyiaran komersial, sifat penyelenggaraan operasi radio swasta ini berdasarkan prinsip pencapaian keuntungan ekonomi. 9 Sementara, radio komunitas tidak bergerak di sektor bisnis yang menyasar khalayak luas. Melainkan fokus sebagai media komunikasi massa komunitas tertentu. Sebagai lembaga penyiaran komunitas, sifat penyelenggaraan operasional radio komunitas bertujuan memenuhi kualitas hidup anggota komunitasnya, yang bersifat dari, oleh, dan untuk komunitasnya (Gazali, 2003:86). Perbedaan praksis yang sangat mendasar antara ketiga tipe itu adalah perihal pendanaan. Radio publik menerima pendanaan dari keuangan pemerintah, donatur, dan anggota publik yang memberi kontribusi. Pendapatan radio publik tidak didukung oleh iklan. Sedangkan radio swasta, jelas menyasar iklan komersial sebagai pendapatan utama. Sementara, radio komunitas, juga tidak mendapat pemasukan dari iklan komersial, karena memang aturan UU 32 tahun 2002, tidak memperkenankan mencari pendapatan dari iklan. Pendapatan radio komunitas didapat dari hibah, sponsor, dan iklan layanan masyarakat. Radio komunitas sebagai lembaga non-komersial, tentu mempunyai perbedaan signifikan dengan radio swasta yang bersifat komersial. Adapun rincian perbedaan antara keduanya menurut Sudibyo (2004:120) adalah sebagai berikut dalam tabel. Aspek Radio Komunitas Radio Swasta Definisi Lembaga penyiaran didirikan oleh komunitas didirikan tertentu, bersifat independen, ekonomi yang Lembaga penyiaran atas yang prinsip-prinsip dan tidak komersial Bentuk Badan hukum Indonesia yang Badan hukum Indonesia yang Lembaga bersifat non-komersial Jangkauan Daya siaran jangkauan wilayah terbatas, serta hampir satu propinsi untuk pancar melayani rendah, bersifat komersil luas Relatif kebih luas, menjangkau kepentingan komunitasnya 10 Khalayak Anggota komunitas Masyarakat umum Ukuran Kepuasan anggota komunitas Rating (pemasukan iklan) kesuksesan Sumber Sumbangan, hibah, sponsor, atau Siaran iklan, dan atau usaha lain pemasukan sumber lain yang sah dan tidak yang mengikat Kriteria materi Layanan terkait penyelenggaraan penyiaran Terbatas, hanya diperbolehkan Terbuka dan jumlah Iklan sah luas, 20% dari Masyarakat keseluruhan jam tayang (ILM) iklan 2. Radio Komunitas UU no 32 tahun 2002 adalah kabar gembira bagi pegiat radio komunitas.Pasca UU tersebut disahkan, radio komunitas mendapat jalan lapang meraih legalitas.Para pegiatnya tidak perlu khawatir lagi perkara ijin siaran.Sebab, Komisi Penyiaran Indonesia sudah bisa memberikan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), walau harus melalui serangkaian seleksi. Tetapi, setidaknya, IPP tersebut menghindarkan radio komunitas dari cap “illegal”. Sebelum UU no 32 tahun 2002 disahkan, radio komunitas tidak mungkin mengakses ijin siaran, karena legalitas radio komunitas belum terjamin dalam Undang-undang. Melalui IPP pula, ruang gerak radio komunitas lebih leluasa. Misalnya, untuk mendapat bantuan dana dari pemerintah dan menyiarkan iklan layanan masyarakat. Penjelasan di atas, adalah sekelumit tentang radio komunitas yang kini bisa memperoleh legalitas dari pemerintah, meskipun harus melalui tahap seleksi yang tidak mudah. Sedangkan mengenai radio komunitas sendiri, pengertiannya dijelaskan oleh UU no 32 tahun 2002 dan ada pula definisi dari beberapa akademisi. Radio komunitas erat dengan konsep komunitas. Kemudian, radio komunitas juga mempunyai dinamika yang menarik dalam posisinya yang penting sebagai corong masyarakat akar rumput. 11 a. Pengertian Radio Komunitas Pengertian tentang konsep radio komunitas sendiri, mengacu pada UU no 32 tahun 2002. Sebab UU ini pula yang mengklasifikasikan radio siaran di Indonesia menjadi tiga, salah satunya radio komunitas. Pada pasal 21 UU no 32 tahun 2002, dinyatakan bahwa “lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas, bersifat independen, dan tidak komersil, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitas”. 5 Lembaga penyiaran komunitas berdiri atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu, dan menjadi milik komunitas tersebut. Sedangkan sumber pembiayaan terdiri dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengertian lain radio komunitas adalah institusi penyiaran dengan instrumen radio bersifat non-komersial yang merujuk pada pemilikan dan wilayah orientasi dan bersifat lokal. Dalam perkembangannya, menurut Masduki (2003) istilah radio komunitas lebih sering digunakan karena lebih santun dan akrab secara internasional. Sementara itu, Thahar dalam Prakoso (2009:13) berpendapat, radio komunitas adalah media komunikasi massa yang mempunyai peran penting untuk menangkap apa kebutuhan komunitas dan masyarakat, kemudian menyuarakannya menjadi bahasan utama untuk menemukan solusi. b. Konsep Komunitas Penting juga diketahui konsep komunitas, sebab radio komunitas tidak bisa dilepaskan dari keberadaan komunitas yang melingkupi dan pasti menjadi target utama siarannya. Demikian konteks utama komunitas dalam kelaziman dunia penyiaran ; Pertama, komunitas terbentuk dengan batasan geografis tertentu (Geographical Communit: Newby, 1980). Misalnya komunitas Jakarta, artinya 5 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,. 12 orang-orang yang tinggal di daerah Yogyakarta. Batasan geografisnya adalah Jakarta. Kedua, komunitas yang terbentuk atas rasa identitas yang sama (Sense of Identity:Newby, 1980) atau minat/kepentingan/kepedulian terhadap hal yang sama (Community of Interest:Hollander et-al, 2002). Misalnya Komunitas Betawi artinya orang-orang yang merasa memiliki identitas etnis yang sama atau komunitas penggemar golf, yang dianggap memiliki sejumlah minat/kepentingan/kepedulian terhadap hal yang sama yakni olahraga golf.6 Dalam konteks tersebut, pengertian komunitas dapat diurai dengan melihat berdasarkan batasan geografis, kesamaan identitas, minat, kepedulian, dan kepentingan. c. Konstelasi7Radio Komunitas Setelah melihat perbedaan aspek antara radio swasta dan komunitas, perlu juga dimengerti bagaimana konstelasi radio komunitas.Demikian menurut Widodo8, beberapa konstelasi radio komunitas. Pertama, aktivitas sukarela yang didukung oleh komunitas.Dapat dimengerti, bahwa tonggak utama keberlanjutan eksistensi radio komunitas adalah komunitasnya sendiri. Ini berarti, kedua, membicarakan radio komunitas sama dengan membincangkan warga masyarakat. Ketiga, radio komunitas menghadirkan proses komunikasi dua arah yang membuat masyarakat mampu mengidentifikasi masalah dan menciptakan solusi. Alhasil, keempat, radio komunitas memungkinkan orang untuk bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan guna merubah hidup kearah lebih positif. Kelima, radio komunitas mengolaborasi konten siaran program antara fokus pada kepentingan lokal dan memenuhi selera khalayak.Karena orientasi utamanya pada khalayak komunitasnya, keenam radio komunitas pasti sangat 6 Gazali, Efendi, Penyiaran Alternatif tapi Mutlak; Sebuah Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas, 2002, Penerbit Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta. 7 Konstelasi dalam KBBI sama dengan bentuk atau susunan 8 Nama lengkapnya Yohanes Widodo. Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 13 dinamis (sesuai perkembangan komunitas), otonom, non-komersial, dan sangat bergantung pada usaha komunitas agar tetap bertahan. Ketujuh, radio komunitas adalah media komunikasi akar rumput untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan, dan punya kekuatan politis untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.Kedelapan, wacana, gerakan, dan perjuangan meletakkan radio komunitas dalam posisi yang ada seperti sekarang tidak bisa terpisah dari gerakan masyarakat sipil dan demokratisasi yang berkembang menjelang dan pasca 1998. Kesembilan, radio komunitas adalah bagian dari upaya masyarakat sipil ketika media arus utama tidak memberi ruang bagi akar rumput untuk berekspresi atau beraspirasi.Untuk itulah, kesepuluh, pasca reformasi 1998, media komunitas mendapat tempat dalam undang-undang.Kesebelas, pasca reformasi, media komunitas muncul bak jamur di musim hujan.Namun ada pula yang gulung tikar. Terakhir, eksistensi radio komunitas terutama sangat bergantung pada usaha pegiatnya dalam menghidupi. Karena pegiatnya bersifat sukarela maka passion menjadi faktor sangat penting.9 3. Programming a. Definisi Programming Setiap media massa pasti mempunyai konten bermuatan pesan tertentu, untuk disebar pada khalayak. Konten pesan ini dimanifestasikan dalam bentuk program siaran, jika media massa itu menggunakan instrumen radio atau televisi. Sebutan populer untuk rancangan dan penataan program-program siaran media elektronik (televisi dan radio) adalah programming. Dalam hal ini, menurut Darwanto dalam Sayoga (1997:9) definisi programming adalah : “Komposisi dari beberapa acara yang diatur atau disusun dengan pola mozaik untuk waktu yang sesuai, sasaran atau audiens beserta kondisi obyektifnya, dan program tersebut harus 9 Terarsip dalam http://www.slideshare.net/masboi/radio-komunitasmasboi diakses 2 April 2014.Penulis sudah mencari referensi yang secara khusus membahas dinamika atau konstelasi radio komunitas, namun tidak menemukan. Akhirnya, karena paparan Yohanes Widodo ini dirasa menarik, maka tetap dimasukkan dalam kerangka pemikiran ini. 14 diselenggarakan secara konsekuen dan teratur serta harus baik untuk disiarkan kepada khalayak” Dari definisi tersebut, bisa dipahami, programming berbeda dengan program siaran. Program siaran hanyalah satu mata acara, sedangkan programming adalah komposisi beberapa acara. Joseph R Dominick lebih memperjelas pengertian programming. Menurutnya, Programming siaran adalah komposisi acara siaran mulai dari pembuka sampai penutup. Maka, bisa disimpulkan, programming adalah suatu kegiatan dalam manajemen siaran untuk merencanakan acara siaran dan menempatkannya dalam suatu jadwal acara yang bersifat bulanan, mingguan, bahkan harian (Dominick, 1990:210). Penting untuk diketahui, programming atau menurut Efendy (1978:106) disebut “penataan acara siaran” tidak memiliki pola yang baku. Sebab, kebijakan programming oleh elit institusi media, banyak tergantung dari sistem pemerintahan di mana badan radio siaran itu berada. Jadi secara tidak langsung, sistem pemerintahan, menjadi penentu jenis pembagian bahan siaran media elektronik di negara itu. Programming siaran radio sendiri bertujuan untuk menyiarkan acara yang kontennya menarik bagi pendengar. Jadi, pengelola institusi media massa yang menggunakan instrumen radio, harus cermat dan cerdas dalam menentukan programming siaran. Karena programming siaran yang menarik banyak audiens, akan dilirik pengiklan komersial. Dalam konteks radio komunitas, programming dengan konten menarik, memang tidak untuk menggaet pengiklan. Tetapi untuk mempertahankan pendengar yang notabene anggota komunitas, supaya setia mendengarkan setiap program siaran. Dengan begitu, diharapkan warga komunitas akan secara maksimal terpapar informasi yang bermanfaat dn kontekstual dengan kebutuhan komunitas. 4. Strategi Programming Betapa penting programming bagi institusi media massa radio. Maka, butuh strategi jitu dalam menentukan programming yang menarik dan berkualitas bagi target audiensnya. Tanpa strategi yang jitu, acara-acara dalam sebuah 15 programming penyiaran kemungkinan besar tidak menarik atau salah waktu siar sehingga akan ditinggalkan khalayak. Oleh karenanya, perlu pula para pengelola institusi radio mengupas dan memahami strategi programming.10 Strategi adalah rencana yang cermat mengenai sebuah kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Aktivitas programming memerlukan strategi dan taktik. Strategi adalah bentuk perencanaan dan pelangsungan dari penyelenggaraan siaran secara holistik. Di dalam strategi tercakup makna penjadwalan dan penyiaran dari stasiun radio. Sedangkan taktik adalah metode, cara, rekayasa yang digunakan untuk merealisasikan cakupan target capaian yang telah ditetapkan dalam strategi. Perumusan strategi programming berguna untuk menetapkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai visi, misi dan tujuan stasiun radio, dengan memperhitungkan berbagai macam kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Potter, 1990:xvii). a. Elemen Strategi Programming Strategi programming siaran radio mencakup lima elemen. Berikut lima eleman dalam klasifikasi Sidney W. Head (1985:10-16); i. Compatibility (kesesuaian) Radio siaran harus membuat program-program acara yang sesuai dengan kegiatan sehari-hari pendengar yang berbeda-beda dalam setiap waktu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menjadwalkan program acara yang berbeda jenis dan isinya untuk menyesuaikan situasi dan kondisi yang dialami pendengar. ii. Habit formation (membangun kebiasaan) Semakin lama waktu pendengar mengikuti program, maka akan berdampak pada lamanya pemasang iklan untuk melakukan promosi. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai acuan dalam merencanakan program-program acara baru yang akan dibuat. Oleh karena itu, masing-masing radio siaran harus dapat 10 Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta. Balai Pustaka. Hal 964. 16 membangun kebiasaan mendengarkan target pendengarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyiarkan program acara serupa secara live setiap harinya (strip programming), untuk memperbanyak jumlah perolehan pendengar. Dalam konteks komunitas, pendengar juga perlu dibiasakan mendengarkan konten program-program siaran. Pasalnya, dengan terbiasa mendengarkan program siaran, pendengar akan terbiasa pula mendengarkan siaran. Sehingga mereka akan terbiasa juga dengan pesan-pesan yang disampaikan terkait kepentingan komunitas. iii. Control of audience flow (mengontrol aliran pendengar) Artinya, berusaha untuk memaksimalkan jumlah pendengar yang mendengarkan dan meminimalisir jumlah pendengar yang berpindah gelombang ke radio lain. Dapat dilakukan dengan metode countering (menyajikan program acara yang berbeda dengan radio siaran lain) atau menggunakan metode blunting (menyajikan program acara serupa atau mirip dengan radio siaran lain). Dalam konteks radio komunitas, kontrol aliran pendegar juga sangat penting. Pasalnya, dengan adanya data tentang aliran pendengar untuk mendengarkan suatu program, akan memudahkan stasiun radio untuk menerapkan strategi mempertahankan jumlah pendengar. Dengan jumlah pendengar (yang notabene anggota komunitas) yang banyak, diharapkan warga komunitas akan lebih banyak terpapar informasi yang bermanfaat dan kontekstual dengan kebutuhan riil mereka. iv. Conservation of program resources (Pemeliharaan sumber daya program) Karena jam siaran radio yang sepanjang hari, maka ketersediaan materi dan sumber daya lainnya yang mendukung program acara harus benar-benar diperhitungkan. Berbagai upaya harus dilakukan agar materi yang terbatas dapat dipergunakan sebagai bahan siaran sepanjang hari, misalnya dengan cara mengemas ulang suatu materi dengan menggunakan pendekatan dan cara penyajian yang berbeda. 17 Breadth of appeal (Daya tarik yang luas) v. Radio siaran harus memperhatikan perbedaan minat dan kesukaan dari para pendengarnya. Sehingga harus diupayakan program-program acara yang menarik, serta dapat mengakomodir semua minat dan kesukaan pendengar. Sedangkan tahap programming diawali dengan proses mencari dan memilih materi yang sesuai target pendengar, mengimplementasikan materi tersebut ke dalam program acara, dan diakhiri dengan proses evaluasi untuk mengetahui rating dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Secara teoritis, programming umumnya dimulai dengan mencari dan memilih bahan pemrograman yang tepat untuk segmen pendengar tertentu. Kemudian, programmer mengaturnya ke dalam program yang dirancang sesuai dengan segmen yang ditarget. Akhirnya, programmer juga yang menilai program siaran itu, dengan mengacu pada kekurangan program siaran tersebut (Head, 1985:5). Elemen-elemen tersebut, adalah pisau analisis untuk menilai kualitas strategi programming media komersial yang mengutamakan rating untuk memperoleh pengiklan. Dalam konteks riset ini, elemen tersebut tetap digunakan untuk menganalisa strategi programming radio komunitas. Digunakannya elemen tersebut, karena radio komunitas dn komersial mempunyai satu kesamaan, yakni tetap mengutamakan rating. Bedanya, radio komunitas mengutamakan rating untuk mengkampanyekan tujuan komunitas atau mendorong komunitas melakukan gerakan tertentu. Bukan untuk mencari iklan komersial dari perusahaan. Jadi, ada beberapa aspek yang disesuaikan, antara logika elemen ini menganalisis radio komersial dengan konteks radio komunitas yang non-profit. b. Fungsi Programming Sebelum memulai tahapan programming, masing-masing individu dalam tim pemrograman harus memahami fungsi-fungsi programmning sebagai berikut (Prayudha, 2004:44-46): Pertama, ukuran keakuratan. Programming berfungsi mengukur keakuratan program siaran selama sehari.Maksudnya, program-program yang ada 18 harus terukur keakuratannya menarik segmen audiens. Operasional penyiaran radio komersial di Indonesia memiliki perencanaan penjadwalan program untuk tiap harinya 15 sampai 20 jam. Bahkan ada beberapa yang sampai 24 jam setiap hari.Untuk itulah, ukuran keakuratan sangat penting, agar program yang mengudara tidak sia-sia alias tanpa pendengar. Kedua, berkesinambungan. Sebuah stasiun radio tentunya tidak hanya memiliki satu atau dua program saja dalam satu hari. Maka, fungsi programming dalam konteks ini,untuk mengembangkan jumlah pendengar dari hari ke hari agar program-program siaran tetap eksis dan ramai pendengar. Ketiga, persaingan luar biasa. Banyak radio memiliki kesamaan target pendengar. Padahal jumlah stasiun radio semakin banyak, karena itu stasiun radio harus berupaya agar program-program yang disajikan berbeda dan disukai pendengarnya. Kreatifitas menjadi hal penting dalam memenangkan persaingan ini. Dalam konteks ini, programming berfungsi untuk memenangkan persaingan merebut pendengar. Keempat, menjaga stabilitas jadwal program. Hal ini merupakan upaya untuk mengembangkan kebiasaan mendengarkan. Semakin lama waktu pendengar mengikuti program maka akan berdampak juga pada lamanya pemasang iklan. Kelima, mencari dan memperoleh ide-materi kreatif.Hal ini penting untuk mengembangkan ide-ide, bentuk program baru dan memelihara imajinasi pendengar.Terakhir atau keenam, spekulasi yang tinggi. Tidak ada aturan pasti untuk memprediksi ide program akan berhasil atau gagal. Jika kegagalan bisa diprediksi, maka ini akan sangat memudahkan penataan acara. Oleh sebab itu, programmer wajib jeli dalam melihat kemungkinan kegagalan sebuah program. c. Tahapan Programming Ada dua tahapan dalam programming, yaitu perencanaan dan evaluasi i. Perencanaan Tahap pemilihan dan penjadwalan program bisa disatukan dalam tahap perencanaan (Pringle dkk, 2003:104).Sedangkan tahap evaluasi menjadi bagian setelah perencanaan. Berarti, ada dua tahapan dalam programming : perencanaan 19 dan evaluasi. Tahap perencanaan terdiri atas pemilihan dan penjadwalan program. Sedangkan evaluasi didahului dengan penetapan standar, pengawasan, membandingkan keadaan sesungguhnya dengan standar yang ditetapkan, serta mengoreksi berbagai macam kesalahan yang dilakukan. Tahap perencanaan sangat penting bagi stasiun radio baru. Pasalnya, untuk membuat kesan pertama yang membekas di benak audiens, tim programming harus membuat perencanaan sangat matang. Wajib diingat, kesan pertama adalah kesempatan langka, tidak akan datang dua kali serta menjadi awal dari segala keberhasilan stasiun radio tersebut. Sampai-sampai, Tom Casey berujar “You never get the second chance to make a first impression” (Hiebert dkk, 1991:294). Sebelum tahap perencanaan programming, menurut Vane dan Gross (1994:134) sebuah institusi radio wajib memperhatikan particularlocal purpose dan particular mood serta melakukan survei. Particular local purpose adalah harapan lokal, dan radio siaran harus memenuhi harapan lokal itu. Pasalnya, radio siaran adalah medium lokal dengan kelekatan erat terhadap budaya maupun potensi lokal. Sedangkan particular mood adalah keinginan pendengar, yang artinya radio siaran wajib mempertimbangkan keinginan atau minat dengar pendengar. Sementara, tanpa survei, perencanaan bisa jadi hanya asal-asalan, tidak mengacu pada data yang berkaitan dengan rencana programming. Data-data tersebut misalnya, hasil riset pendengar terdahulu, dan hasil penelitian tentang gaya hidup masyarakat yang berkaitan dengan selera mendengarkan program siaran radio. Bagi radio yang telah lama berdiri, survei diperlukan untuk mengetahui jumlah pendengar radio siaran tersebut, rating stasiun radio program-program acaranya, serta data kuantitatif atau kualitatif lainnya. Selain itu, survei juga bermanfaat sebagai pedoman melakukan kegiatan programming baru, serta memutuskan bagaimana strategi programming selanjutnya. Sedangkan bagi institusi media massa radio baru, survei khalayak adalah hal mutlak. Guna mengetahui bagaimana persepsi khalayak mengenai keberadaan radio tersebut, 20 selera dan kebutuhan khalayak target audiensnya, dan merumuskan berbagai macam program acara yang disiarkan. Proses perencanaan programming radio harus didukung oleh berbadai elemen, di antaranya : ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan di bidang siaran, adanya kinerja tim yang baik, perangkat siaran yang memadai, tersedianya dana yang memadai. ii. Periode Perencanaan Adapun periode untuk perencanaan siaran menurut Onong U Effendy (1978), dibagi menjadi tiga; -Rencana siaran bulanan Acara disusun hanya pada garis besarnya saja. Jenis mata siaran ditentukan oleh staf siaran dalam suatu pertemuan yang khusus membahas kesempurnaan produksi siaran, meninjau kekurangan pada waktu yang sudah-sudah dan menetapkan hal-hal yang akan memuaskan para pendengar. Tinjauan terhadap produksi siaran ini biasanya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam perencanaan bulanan ini, garis besar acara yang dibahas antara lain; siaran pemberitaan, pendidikan, kebudayaan, hiburan, dan siaran lain-lain. -Rencana siaran pekanan Rencana pekanan adalah penjabaran dari rencana siaran bulanan. Meliputi acara siaran untuk tujuh hari (satu pekan). Judul dan jenis serta penyelenggaraannya sudah dicantumkan karena segalanya sudah pasti. Nama penyiar dan operator yang bertugas juga sudah dicantumkan. Selain itu jenis siaran (langsung atau tunda) juga sudah pasti. -Rencana siaran harian Rencana ini adalah jabaran dari rencana pekanan. Rencana siaran sudah lengkap terinci dari menit ke menit, mulai pembukaan hingga penutupan siaran. 21 Rencana harian siaran merupakan naskah pegangan penyiar dan operator. Dalam naskah tersebut tercantum judul acara, produser, jenis penyajian, serta nama-nama penyiar dan operator. -Pemilihan Program Pemilihan program adalah proses memilih jenis program berdasarkan format dan isi dari program tersebut. Pengambilan keputusan mengenai pemilihan program berdasarkan berbagai faktor, diantaranya ; persaingan, karakteristik pendengarnya, dan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, program yang disajikan harus mencerminkan apa yang disukai dan dibutuhkan oleh target pendengar radio siaran tersebut. -Penjadwalan Program Penjadwalan program sangatlah penting. Pasalnya, jika sebuah program siaran disiarkan tidak tepat waktu, akan sia-sia belaka, biar sebagus apapun program itu. Semisal, acara musik pop yang menyasar remaja, jika disiarkan pada jam sekolah, hanya akan didengar sedikit orang. Oleh karenanya, seorang programmer wajib memperhatikan segmen-segmen dalam satu hari yang menggambarkan ketersediaan ukuran dan komposisi pendengar. Di samping itu, dia juga mesti memperhatikan hot clock, yakni skenario siaran yang memuat rancangan detil acara siaran radio dari menit ke menit. Radio siaran menjadikan hot clock sebagai instrumen utama, karena di dalamnya termuat kejelasan segmen-segmen dan menit-menit dalam satu jam siaran. Penjadwalan umumnya dan hot clock khususnya, akan menjadi nyawa dalam proses penyiaran suatu program acara. Berbagai elemen yang ada dalam suatu program acara diatur sedemikian rupa, sehingga terdengar menarik, khas dan berbeda dengan radio siaran lain. Elemen yang dimaksud antara lain, musik, informasi, kata-kata, identitas stasiun dan iklan. Secara teoritis, penjadwalan program adalah upaya mengatur komposisi dari berbagai program acara agar harmonis, dinamis, menarik, dan mempunyai daya tarik bagi pendengar (Sayoga, 2003:14) 22 Setelah penjadwalan, program pun berjalan. Program siaran berjalan dulu dalam periode waktu tertentu, setelah itu, baru diadakan evaluasi. Pelaksanaan program ini berada di antara perencanaan dan evaluasi. Jadi, evaluasi tidak bisa langusng dilakukan segera setelah perencanaan selesai, karena terlebih dulu harus menunggu program terlaksana dalam periode waktu tertentu. iii. Periode Evaluasi Setelah konsep dalam penjadwalan dieksekusi, institusi media massa radio wajib mengadakan evaluasi. Selayaknya kegiatan yang lain, tanpa evaluasi, tidak akan ditemukan kekurangan ataupun kelebihan sebuah program. Dalam konteks acara siaran radio, evaluasi penting dilakukan untuk mengetahui apakah suatu programming yang dilakukan tepat sasaran, mencapai tujuan dan sesuai perencanaan. Evaluasi bisa berguna untuk melihat dua hal : kemerosotan dan keberhasilan. Jika terjadi kemerosotan, evaluasi menjadi acuan mengambil keputusan untuk menyelamatkan atau menghapus acara tersebut. Evaluasi juga penting untuk melihat keberhasilan pelaksanaan strategi dan memastikan apakah pelaksanaan strategi dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan atau justru sebaliknya. 5. Gerakan Sosial Kajian tentang gerakan sosial adalah ranah ilmu sosiologi.Namun, ilmu komunikasi juga tidak bisa lepas dari kajian sosiologi, sebab kajian pesan tentu juga berkaitan dengan masyarakat. Dalam konteks radio komunitas mendorong gerakan sosial konservasi lingkungan, kajian gerakan sosial akan dibahas lewat pendekatan ilmu komunikasi. Kemajuan teknologi yang membuat media elektronik bisa diakses kalangan akar rumputmassif, menempatkan ilmu komunikasi dalam posisi penting untuk mengkaji gerakan sosial di masyarakat. 23 a. Pengertian Gerakan Sosial Pada intinya, gerakan sosial adalah kelompok orang yang bersatu untuk memperjuangkan ssuatu kepentingan, baik sosial maupun politik, dan keberadaan mereka merupakan bagian penting dalam ranah politik karena mereka bisa menghubungkan warganegara dengan elit-elit politik (Croteau dan Hoynes, 2003:247). Menurut Singh dalam Manalu (2009:45), gerakan sosial mampu memobilisasi partisipannya untuk memperoleh perbaikan atas dan terhadap ketidakpuasan tertentu, atau berjuang untuk tujuan dan sasaran yang spesifik. Sedangkan Della Porta dan Diani dalam Mahaswari (2011:22) menawarkan karakteristik yang membedakan gerakan sosial dengan pergerakan yang dilakukan partai politik, kelompok kepentingan, sekte-sekte agama, atau proses sesaat. Menurutnya, gerakan sosial merupakan jaringan-jaringan informal yang mendasarkan diri pada perasaan dan solidaritas bersama.Gerakan sosial mengandaikan adanya seperangkat keyakinan bersama, perasaan senasib dan saling memiliki.Gerakan sosial juga mengondisikan dan membantu terbentuknya orientasi baru, baik pada isu-isu yang sedang berlangsung maupun yang muncul kemudian.Perkembangan perasaan kebersamaan inilah yang digunakan untuk memahami mengapa mereka hadir pada suatu ketika secara sukarela dan menjadi bagian dari suatu gerakan yang terintegrasi dengan baik. b. Klasifikasi Gerakan Sosial Menurut Mario Diani dan Doug McAdam dalam Mahaswari (ibid; 23), gerakan sosial diklasifikasikan berdasarkan lingkup, jenis perubahan, target, metode kerja dan jangkauannya; i. Lingkup a). Gerakan reformasi : Gerakan yang berdedikasi untuk mengubah beberapa norma atau hukum. Contoh gerakan sosial semacam ini akan mencakup seperti, serikat buruh yang bertujuan meningkatkan hak-hak pekerja, gerakan hijau yang menganjurkan adanya hukum ekologi. Beberapa gerakan reformasi 24 memungkinkan adanya penganjuran perubahan terhadap norma-norma moral, misalnya, mengutuk pornografi atau proliferasi dari beberapa agama. b). Gerakan radikal : gerakan yang didedikasikan untuk adanya perubahan segera terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara substansi dan mendasar, tidak seperti gerakan reformasi. Sebagai contoh, gerakan hak sipil amerika yang menuntut secara penuh hak-hak sipil dan persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika. Contoh yang lain terjadi di Polandia yang dikenal dengan namaSolidaritas, gerakan yang menuntut transformasi dari sebuah tata nilai politik Stalinisme menuju pada tata nilai sistim politik ekonomi atau ke dalam tata nilai sistim politik demokrasi. ii. Jenis Perubahan a). Gerakan inovasi: gerakan yang ingin mengaktifkan norma-norma atau nilai-nilai tertentu. Dikenal juga sebagai gerakan advokasi yang tidak umum. Misalnya Gerakan Singularitarianisme, yang menjamin keamanan teknologi. b). Gerakan konservatif: gerakan yang ingin menjaga norma-norma yang telah ada. Sebagai contoh, gerakan “Anti Abad ke-19” yang berupa gerakan modern menentang penyebaran makanan transgenic.Gerakan ini dapat dilihat sebagai gerakan konservatif Karena mereka bertujuan untuk melawan perubahan teknologi secara spesifik. iii.Target a). Gerakan berkelompok: bertujuan memengaruhi atau terfokus pada kelompok atau masyarakat pada umumnya. b). Gerakan fokus individu: berfokus pada yang mempengaruhi secara personal atau individu. Sebagian besar dari gerakan-gerakan keagamaan akan termasuk kategori ini. 25 iv. Metode Kerja a). Gerakan damai: gerakan sosial yang dilakukan tanpa adanya kekerasan. Contohnya gerakan kemerdekaan India. b). Gerakan kekerasan: umumnya merupakan gerakan bersenjata misalkan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista dan gerakan pemberontakan bersenjata lainnya. v. Jangkauan a). Gerakan internasional: gerakan sosial yang mempunyai tujuan serta sasaran secara global b). Gerakan lokal: sebagian besar dari gerakan sosial memiliki lingkup lokal, seperti melindungi daerah alam tertentu, melobi untuk penurunan tarif di lingkungan sosial tertentu, dan lain-lain. c. Indikator Gerakan Sosial Menurut Aberle (1966), gerakan sosial dikelompokkan dalam dua indikator, yaitu besarnya perubahan dan aktor perubahan. 1). Gerakan sosial alternatif adalah gerakan dengan lingkup terbatas dan dijalankan oleh sejunlah kecil individu. Isu yang dihadapi hanya bersifat lokal. 2). Gerakan sosial redemptive adalah gerakan yang radikal, meski dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat. 3). Gerakan sosial reformatif dijalankan oleh khalayak luas, dengan isu yang spesifik, bertujuan tidak untuk merombak ulang sistem sosial masyarakat. 4). Sedangkan gerakan sosial revolusioner, terjadi secara besarbesaran dan bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi baru. Gerakan ini seringkali berkembang pasca serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yangdiinginkan. 26 Gam mbaran gerakkan sosial menurut A Aberle ini, ddiringkas daalam table berik kut;11 d. Geraakan Sosial dan Media Massa Geraakan sosial membutuhka m an media m massa untuk menyebarkaan gagasan ppergerakannnya kepada masyarakat. m Tanpa meddia massa, ggagasan itu tidak akan bbanyak diketahui publikk secara luas. Hal ini karena khalayakk media masssa bersifat m massif. Lipuutan media mengenalkan m n agenda geerakan sosiall pada khalaayak secara m massif. Ini memungkinnkan agendda gerakan untuk dikenal publik, mendapat ddukungan, memeroleh m p pengakuan seebagai kelom mpok penekaan dengan posisi p tawar ttinggi, dan meluaskan cakupan isu untuk meengundang llebih banyaak jaringan ppendukung. n berita.JJika gerakan n itu tidak Geraakan sosial pastinya mempunyai nilai bbersifat massif, paling tidak hanyya untuk koonsumsi komunitas ataau anggota m masyarakat yang terlibaat. Karena ittu, media maassa tentu aakan menjadikan setiap iinformasi teerkait gerakkan sosial tertentu t sebaagai bahan berita. Terrlebih, bila ggerakan sosial itu meelibatkan banyak oranng atau meemengaruhi kebijakan ppublik.Dalam m konteks inni, gerakan sosial s dan media m massa bberhubungan n simbiosis m mutualisme. Sayaangnya, meddia massa arrus utama kkomersial, akkan segera melupakan ggerakan sossial yang tiddak massif dan kurangg memengarruhi kebijak kan publik. 111 David F.Aberle. 1966. The Peyote Religioon Among the Navalho. Chiccago: Aldine. Terarsip T ddalam http://id d.wikipedia.orgg/wiki/Gerakann_sosial. diaksees 2 April 20144 27 Betapapun gerakan itu berpengaruh positif terhadap komunitas atau kelompok masyarakat yang terkait. Berarti, juga bisa kita pahami, tidak selamanya media massa dan gerakan sosial simbiosis mutualisme. Gamson dan Wolfsfeld dalam Croteau dan Hoyness (2003:248) semakin menegaskan, simbiosis mutualisme gerakan sosial-media massa memang tidak selamanya linier. Pasalnya, menurut mereka, kondisi itu bisa terjadi ketika media massa memiliki sumber berita yang lebih menarik disajikan pada khalayak luas. Dalam ketimpangan itu, media massa seringkali “mengakali” gerakan sosial untuk bisa berkompromi dengan kebutuhan dan tuntutan media. Hal ini membuat banyak aktivis pergerakan sosial meninggalkan media arus utama, dan beralih pada media alternatif dan independen (ibid; 249). Strategi ini dipilih umumnya, agar pesan yang disampaikan pada publik tidak terdistorsi oleh kepentingan media atau penguasa. Aktivis gerakan sosial kemudian banyak memilih media baru (internet) sebagai media komunikasi dan konsolidasi gerakan. Namun, ada pula yang membuat media konvensional sendiri, tentunya tidak berafiliasi dengan lembaga media massa konvensional komersial.Maka banyak bermunculan stasiun radio komunitas dan televisi komunitas. Biarpun berbentuk sama dengan media konvensonal komersial, media komunitas ini secara idealisme jelas beda jauh. Di mana media komunitas lebih mengedepankan kepentingan komunitas. e. Gerakan Sosial dalam Konteks Konservasi dan Pelestarian Lingkungan Beberapa tahun terakhir, ramai dibicarakan gerakan pelestarian alam. Isu pelestarian alam menjadi bahasan menarik di samping masalah sosial dan ekonomi. Mengapa demikian? Karena kondisi alam di dunia sedang rusak sehingga menimbulkan pemanasan global. Salah satu penyebabnya adalah deforestasi atau kerusakan hutan. Di Indonesia sendiri, setiap tahun 1,1 juta lahan rusak total. Akibatnya, terjadilah degradasi air. Sehingga laju pertumbuhan 28 kebutuhan air Indonesia meningkat hingga 6,7 persen per tahun.12 Deforestasi sungguh bahaya. Para ilmuwan, ekonom, dan ahli lainnya dalam konvensi Keanekaragaman Hayati 2008 di Bonn, Jerman, menyimpulkan, deforestasi dan kerusakan pada sistem lingkungan lainnya bisa memotong standar hidup bagi kaum miskin di dunia dan mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar tujuh persen. 13 Dunia prihatin atas deforestasi tersebut. Sedangkan di Indonesia sendiri, kesadaran akan bahaya kerusakan hutan dimulai sejak 1972. Kala itu pada 15-18 Mei dilaksanakan Seminar Pengelolaan Lingkungan hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran Bandung. Hingga kini, isu pelestarian lingkungan, terutama mengenai pencegahan deforestasi, terus bergaung. Penghijauan pun digalakkan oleh berbagai pihak. Salah satunya, CSR PT. Djarum Kudus melakukan penanaman pohon trembesi di sepanjang jalur Pantai Utara Jawa Tengah dengan melibatkan selebritis seperti aktor, penyanyi dan atlet nasional. Selain itu, di level daerah, komunitas lintas iman Yogyakarta mengadakan reboisasi di lereng merapi dan penanaman bakau di Pantai Samas oleh beberapa kelompok kaum muda di Kabupaten Bantul, salah satunya kelompok Orang Muda Katholik Paroki St.Yakobus Bantul. Banyak pihak menghimpun massa dan dana untuk program gerakan pelestarian lingkungan. Mereka berharap, negara dan masyarakat luas peka akan kerusakan lingkungan yang kian parah. Kepekaan itu mendorong gerakan sosial yang berfokus pada pelestarian lingkungan. Gerakan sosial konservasi dan pelestarian lingkungan, pengertiannya adalah sekelompok massa yang bersatu memperjuangkan kepentingan pelestarian dan konservasi lingkungan, dan keberadaan mereka merupakan bagian penting dalam ranah politik karena mereka bisa menghubungkan warganegara dengan elit-elit politik. 12 Mohammad Takdir Ilahi (2012) dalam http: // gagasanhukum.wordpress.com/2012/03/22/pelestarian-hutan-kebutuhan-bersama/ diakses pada 29 Mei 2014 pukul 17.05 WIB 13 Dikutip dari http://www.artikellingkunganhidup.com/apakah-deforestasi.html diakses pada 29 Mei 2014 pukul 17.11 WIB 29 Gerakan sosial ini bisa diimplementasikan pada hal-hal instrumental seperti gerakan penanaman pohon dengan penyediaan bibit oleh pemerintah atau lembaga lain. Selain itu, juga bisa dengan kampanye perubahan pola hidup yang lebih ramah pada lingkungan serta mengkreasi kondisi lingkungan agar tahan bencana, misalnya; membuat galengan, sumur resapan, dan pemilahan sampah. Gerakan sosial dalam konteks pelestarian dan konservasi lingkungan tersebut, levelnya bermacam-macam. Ada yang dalam level daerah, nasional, bahkan internasional. Dalam level kedaerahan atau lokal, bisa dicontohkan oleh gerakan sosial pelestarian lingkungan di Semoyo, Pathuk, Gunungkidul. Di level nasional Indonesia, gerakan sosial pelestarian lingkungan, salah-satunya dipelopori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Sedangkan pada level internasional, ada beberapa organisasi berbentuk LSM atau yayasan yang bergerak pada pelestarian lingkungan alam dan memelopori gerakan sosial pe;lestarian lingkungan, seperti; Greenpeace yang berpusat di Amsterdam, Belanda dan World Conservation Monitoring Centre (WCMC) (badan eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP)). Di Indonesia dan negara berkembang lainnya, isu lingkungan mulai diperhatikan sejak dua dekade sebelum akhir abad 20, berarti bila dihitung dari sekarang (tahun 2014), sekitar tiga dekade lalu. Saat itu, timbul gerakan protes dari akar rumput di negara berkembang seperti Brazil, India, Thailand, dan Bangladesh yang mengecam kian parahnya kerusakan lingkungan (Suharko, 1998:45). Sedangkan khusus di Indonesia sendiri, menurut Purnomo isu gerakan lingkungan sudah masuk sejak decade 1970-an (ibid; 46) Ketika itu, NGO banyak bermunculan, menyusul pembangunan negara dan pertumbuhan ekonomi. Kemudian, banyak NGO menyadari, pertumbuhan ekonomi juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekologi. Maka, sejak saat itu, isu lingkungan mendapat artikulasi lebih kuat. Menurut Eldridge (1995), gerakan lingkungan itu merupakan gelombang kedua aktivisme NGO di Indonesia. Wujud konkrit dari gelombang kedua ini adalah Undang Undang Lingkungan Hidup (UULH) No. 4 tahun 1982 yang 30 banyak mengakomodasi masukan dari NGO lingkungan dan melegitimasi eksistensi serta peran NGO dalam pembangunan. Sebenarnya, NGO lingkungan memperoleh momentum penguatan pada 15 Oktober 1980. Saat itu, berdiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagai forum komunikasi NGO yang minat dan bergerak di bidang lingkungan hidup. Sejak saat itu, jumlah NGO yang peduli pada lingkungan hidup terus meningkat. Salah satu forum NGO lingkungan hidup, WALID pada 1998 menjadi forum dari sekitar 150 NGO lingkungan hidup. Banyak NGO lingkungan tersebut, memiliki aktivitas gerakan hijau yang menyentuh dimensi publik yang luas. Oleh karena itu, sebagaimana konteks NGO secara umum yang heterogen, NGO lingkungan memiliki keragamannya sendiri. Bisa diduga pula, model gerakan hijau yang dikembangkan NGO lingkungan memiliki variasinya sendiri.14 G. Kerangka Konsep Kerangka konsep riset ini, terbagi menjadi dua bagian, yakni tahapan programming dan evaluasi serta analisis dengan lima elemen strategi programming. Tahapan programming, terdiri dari perencanaan dan evaluasi. Tahapan perencanaan programming mengakomodasi particular local purpose dan particular mood, secara praksis diterapkan dalam langkah-langkah di grafik berikut; Pertama, Mempelajari situasi yang berkembang dan menganalisis masalah yang sebenarnya dihadapi oleh komunitas, terkait dengan gerakan sosial yang merupakan bagian dari usaha pencapaian tujuan komunitas. Langkah ini, terkait erat dengan akomodasi particular local purpose. Langkah ini berkaitan dengan elemen kesesuaian. Kedua, Menetapkan tujuan yang ingindicapai radiokomunitasdalam usahanya mendorong gerakan sosial. Keempat, Analisis khalayak yang menjadi sasaran. Dalam hal ini dibutuhkan analisis yang akurat untuk melihat karakter komunitas. Langkah ini, berkaitan 14 Ketiga, Analisis perencanaan dan pengembangan program. Dalam arti memetakan sumber daya yang dimiliki termasuk memperkirakan konteks komunikasi dan hambatan yang dihadapi. Langkah ini berkaitan dengan elemen kedua. Kelima, Penyusunan pesan. Bentuk pesan atau konten program siaran tentunya menarik dan berdasarkan pada karaketristik khalayak yang dihadapi. Tahap ini berkaitan dengan particular local purpose dan particular mood sekaligus Ibid. hal 47 31 Keenam, Penetapan metode penyampaian pesan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Disampaikan secara informatif dan persuasif serta akomodatif terhadap particular local purpose dan particular mood. Ketujuh, Eksekusi programming. Dalam langkah terakhir ini, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengendalikan dan mengkoordinasikan tenaga, biaya, waktu, dan berbagai sumber lain dengan disertai penjadwalan pelaksanaan yang jelas. Dalam tahapan-tahapan tersebut, lebih tepatnya setelah tahap keenam dan sebelum tahap ketujuh, rencana siaran bulanan, pekanan, dan harian dibuat. Dari beberapa langkah tahap perencanaan programming tersebut, rumusan strategi programming radio komunitas diterapkan dalam berbagai bentuk program siaran dibawah payung programming periode tertentu. Kemudian setelah programming berjalan, pegiat radio komunitas seyogianya melakukan evaluasi seperti awak radio komersial. Dalam konteks radio komunitas, evaluasi dapat dilakukan dengan survei pendengar mengenai halhal berikut; Pendengar (meliputi jumlah pendengar, tingkat pendidikan, status ekonomi, dan gaya hidup), format radio dan format acara, musik, dan tingkat kesukaan pendengar terhadap acara-acara tersebut. Dalam radio komersial, ada satu hal lagi yang disurvei, yakni tingkat kepopuleran penyiar. Namun variabel ini tidak relevan dalam radio komunitas, sebab, penyiar radio komunitas biasanya dari kalangan sendiri dan bersifat suka rela. Setelah data-data dalam tahapan programming ditemukan, lalu dianalis dengan pisau analisi berupa lima elemen strategi programming, yang meliputi kesesuaian, membangun kebiasaan, mengontrol aliran pendengar, pemeliharaan sumber daya program, dandaya tarik luas. Elemen strategi programming itu, adalah hal-hal yang harus dipenuhi oleh awak radio dalam membuat programming siaran. H. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan objek yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode deskriptif berupa studi kasus. Studi kasus adalah metode yang mengacu pada penelitian dengan unsur 32 how dan why pada pertanyaan utama penelitian.Studi kasus juga sangat relevan untuk meneliti permasalahan kontemporer.Puji Rianto menyimpulkan, studi kasus merupakan studi yang 1) dilakukan untuk mencari kedalaman penjelasan atas ‘kasus’ yang diteliti, 2) digunakan untuk kasus yang spesifik, 3) dibatasi oleh waktu, dan 4) dalam proses pengumpulan datanya menggunakan banyak ragam narasumber (Norman dan Lincoln, 1998).Selain itu, studi kasus dilakukan apabila peneliti hanya mempunyai sedikit peluang untuk mengontrol permasalahan yang diteliti.Sedangkan fokus penelitian yang relevan dengan metode studi kasus, adalah fenomena kontemporer di kehidupan nyata.15 Metode deskriptif berupa studi kasus dirasa tepat untuk meneliti masalah dalam penelitian ini.Karena, studi kasus memungkinkan peneliti untuk menampilkan karakter holistik dari obyek yang diteliti. Menurut Nazir (1998:6), studi kasus memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus. Dalam konteks penelitian ini,digunakan desain kasus tunggal holistik (single case-holistic). Pasalnya, hanya terdapat satu unit analisis yang dikaji, yakni fokus pada strategi programming yang digunakan Radekka FM dalam mendorong gerakan sosial konservasi dan pelestarian alam. Pemilihan metode studi kasus dianggap tepat karena beberapa alasan.Pertama, permasalahan penelitian ini bersifatspesifik.Radio komunitas yang concern pada penyelamatan lingkungan jumlahnya terbatas. Radekka FM paling terlihat keberhasilannya mengawal isu lingkungan hidup. Kedua, kasus tersebut berdampak bagi warga Desa Semoyo hingga sekarang, yakni lahan semakin subur dan rimbun dengan pepohonan, bahkan desa ini telah menjadi penghasil karbon.Ketiga, latar sosial warga Semoyo juga menarik untuk ditelisik lebih jauh.Bagaimana mereka bisa digerakan untuk melakukan penyelamatan lingkungan dengan penghijauan.Dalam titik inilah, strategi programming Radekka FM patut diberi perhatian lebih. 15 Robert K.Yin. 2003. Case Study Research : Design and Methods, Third Edition. California: Sage Publications. Hal. 1 33 Karakter lain dari penelitian studi kasus adalah menggunakan berbagai jenis bukti dari multisumber. Untuk menyingkap suatu kasus misalnya, peneliti dapat melacak bukti-bukti melalui dokumentasi, rekaman arsip, observasi langsung, observasi partisipan, wawancara, bahkan penggunaan perangkat fisik.Peneliti dituntut untuk bisa menggunakan berbagai teknik pengumpulan data sekaligus.Meskipun terkesan lebih berat, tetapi justru disinilah keunggulan dari studi kasus, yaitu analisis yang mendalam. 2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di sekertariat dan studio Radekka FM di Dusun Salak, Desa Semoyo, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai teknik yang lazim digunakan dalam studi kasus, antara lain; a. Dokumentasi Ketika tahap pengumpulan data, penulis akan memulai dengan melacak dokumen, khususnya tentang bagaimana strategi programming Radekka FM dalam mendorong gerakan pelestarian lingkungan di desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul.Dokumen tertulis berupa laporan penelitian, buku, pengumuman resmi dari pihakRadekka FM atau Serikat Petani Pembaharu, kliping berita, dan artikel lain di media massa. b. Observasi langsung Peneliti melakukan peengamatan langsung pada kegiatan siaran Radekka FM dan Serikat Petani Pembaharu yang terkait dengan prlestarian lingkungan. Penelitiakan melakukan pengamatan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi oleh Radekka FM dan Serikat Petani Pembaharu. Observasi langsung ini dibatasi tahun2011-2013. Pembatasan tahun ini, bukan berarti penulis meneliti Radekka FM sejak 2011 hingga 2013, melainkan data-data tentang programming yang diambil untuk diteliti dibatasi dari tahun 2011 hingga 2013. 34 c. Wawancara Penelitimengumpulkan informasi secara lisan maupun tertulis dari narasumber. Wawancara dilakukan dengan menyiapkan pertanyaan terlebih dahul (focused interview) dan spontan saat wawancara berlangsung. Narsumber yang dipilih adalah Suratimin (sebagai pengelola Radekka FM, Ketua SPP dan orang lain di internalRadekka FM yang terkait dengan strategi programming mendorong pelestarian lingkungan, seperti Mugiriyanto, Sugiyono, dan F.Bambang Hery Purwanto. Sugiyono dan Mugiriyanto adalah pengurus Serikat Petani Pembaharu (SPP) yang cukup aktif bergiat di Radekka FM. Sementara F.Bambang Hery Purwanto adalah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) IDEA. Dia bergiat di Radekka FM, karena ingin memberdayakan radio komunitas sebagai media komunikasi dan informasi gerakan transparansi anggaran. 4. Teknik Analisis Data Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2002:103). Cresswell berpendapat, studi kasus melibatkan banyak data karena bertujuan mendeskripsikan secara mendalam suatu fenomena yang diteliti. Untuk itu diperlukan suatu analisis yang terorganisir agar hasilnya terperinci.Analisis data yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis yang dapat menghasilkan data deskriptif, berupa data-data tertulis maupun lisan dari orang-orang (organisasi) dan perilaku yang diamati. Langkah-langkah dalam analisis kualitatif yang dilakukan peneliti antara lain: a. Pengumpulan data Dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan narasumber, dan melalui dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Dokumen tersebut adalah proposal pengajuan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran yang ditujukan kepada Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY, data monografi Desa Semoyo semester pertama 2014. 35 b. Reduksi data Proses pemilihan dan pemusatan atau penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisisyang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidakperlu,mengorganisasi, menelusur tema dan membuat gugus-gugus. Reduksi berlangsungterus-menerus selama proses penelitian berlangsung. Proses transformasi ini berlangsunghingga laporan akhir tersusun. c.Penyajian data Upaya penyusunan, pengumpulan informasi ke dalam suatu matrik atau konfigurasi yang dipahami. Konfigurasi semacam ini akan memungkinkan adanyapenarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang sederhana danmudah dipahami adalah cara utama untuk menganalisis data deskriptif kualitatif yang valid. Penyajian ini bisa dalam bentuk matrik, grafik atau bagan yang dirancanguntukmenghubungkan informasi. d.Menarik kesimpulan Peneliti mulai mencari makna dari data-data yang terkumpul dan selanjutnya peneliti mencari arti dan penjelasan untuk kemudian menyusun polapola hubungan tertentuke dalam suatu satuan informasi yang mudah dipahami dan ditafsirkan.Data-datayang terkumpul di susun ke dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorisasi sesuaidengan masalahnya. Data tersebut dihubungkan dan dibandingkan antara satudenganyanglain sehingga mudah ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan beragam, mulai dari sekedar gerakan menanam pohon hingga gerakan advokasi lingkungan. 36