86 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING Konselor hendaknya memiliki kesadaran untuk membentuk kompetensi multikulturalnya agar maksimal dalam menjalankan tugas-tugas di sekolah yang syarat akan kekayaan karakteristik para siswa Jurnal Pelopor Pendidikan 87 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA DALAM KONTEKS MULTIKULTURAL Jihad Nurrahman (Dosen Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumenep) Email: [email protected] Abstrak Ada Pendidikan dalam kemajemukan budaya seperti di Indonesia memiliki tantangan yang cukup berat. Hal ini berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam memberikan pendidikan yang merata dan berkeadilan serta anti terhadap pada primordialisme. Selain dari pada itu disain dan konsep pendidikan harus selaras dengan keberagaman budaya masyarakat. Masyarakat yang heterogen memiliki kesempatan yang setara untuk memperoleh ilmu pengetahuan demi mencapai kesejahteraan. Sejalan dengan itu, di era globalisasi ini bahasa Inggris merupakan salah satu keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Hal ini bisa dimaklumi karena banyak sekali sumber ilmu pengetahuan yang berupa buku atau karya ilmiah yang ditulis atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam konsep pendidikan multikultural, desain pembelajaran bahasa Inggris harus dapat mengakomodir elemen-elemen budaya di Indonesia yang beragam dan mengedepankan unsur-unsur ke-Bhineka Tunggal Ika-an serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Kata Kunci: Multikultural, Konsep, Desain, Pembelajaran Bahasa Abstract Education in Indonesia has been facing a quite difficult challenge due to its multicultural condition. This is concerned with the government’s task to evenly spread education throughout Indonesia fairly. An appropriate design and concept of education is required and must be based on the people’s multicultural backgrounds. All Indonesian citizens have equal right and opportunity to get appropriate education in order to gain welfare in the long run. In this global era, mastering English is a means to get knowledge to achieve the idea. It is not questionable because there are many kinds of scientific books or articles written in English. In the concept of multicultural education on the otherhand, English instructional design must accommodate all kinds of cultural elements, put forward the principle of unity in differsity, and respect the supreme cultural values. Key Words: Multicultural, Concept, Design, Language Learning A. Pendahuluan Masyarakat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke adalah masyarakat majemuk yang memiliki berbagai macam latar belakang budaya (multikultural). Masing-masing budaya memiliki karakter yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bisa digambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Pluralisme bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua prespektif; horizontal yaitu kemajemukan yang dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budaya. Kemajemukan vertikal yaitu kemajemukan bangsa Indonesia yang dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, tempat tinggal, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Kemajemukan tersebut tentu saja erat kaitannya dengan karakter manusianya. Karena pada dasarnya keberagaman terbentuk karena karakter dan perilaku orang dalam sebuah kelompok masyarakat. Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat mereka tentang pengertian masyarakat multikultural. Menurut Furnivall bahwa, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 88 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen (kelompok) yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik. Sementara itu Clifford Gertz mengatakan, masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial. Menurut Nasikun, masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat beragam (deverse) yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial. Sedangkan istilah budaya seperti yang dikatakan oleh Larsson dan Smalley (1972: 93); budaya merupakan cetak biru (blueprint) yang membentuk tingkah laku orang dalam sebuah komunitas dan diawali dari kehidupan dalam sebuah keluarga. John Donne, seperti yang dikutip oleh Brown (2000) mengatakan: “Culture is our continent, our collective identity”. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa budaya membangun tingkah laku dalam kelompok akan membuat diri peka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan status atau kedudukannya dalam masyarakat, serta menjadikan diri sadar apa yang orang lain harapkan dan apa yang akan terjadi jika diri tidak memenuhi keinginan atau harapan mereka. Budaya juga membantu diri memahami sejauh mana diri berbuat dan bersikap sebagai individu dan apa tanggung jawabnya terhadap kelompok sosial. Bisa dikatakan bahwa dari perspektif keberagaman sosial masyarakat, budaya merupakan salah satu diantaranya. Hal seperti ini terdapat di negara-negara lain di seluruh dunia. Budaya dianggap sebagai lingkungan dimana masing-masing diri bangsa hidup dan menunjukkan identitas diri bersama orang lain dalam sebuah kelompok. Bahkan budaya bagi Jurnal Pelopor Pendidikan masyarakat adalah semacam way of life atau cara dalam berkehidupan. B. Faktor-faktor Terjadinya Multikultur di Indonesia Berdasarkan pada latar belakang sejarah dan dari berbagai macam sumber sejarah, bisa ditarik kesimpulan bahwa keragaman budaya di Indonesia terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: Faktor Sejarah Indonesia. Jika melihat ke masa lalu, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama dalam hal rempah-rempah. Dengan alasan tersebut banyak negara-negara asing ingin menjajah Indonesia seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Kolonialisme yang terjadi juga dalam jangka waktu lama sehingga mereka tinggal dan menetap di Indonesia bahkan ada yang menikah dengan orang Indonesia. Penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh bangsa Arab, pengaruh Hindu dari India juga sangat terasa sampai sekarang. Kondisi inilah yang menambah kekayaan budaya dan ras yang di Indonesia. Pengaruh Budaya Asing. Globalisasi merupakan sebuah proses penting yang memiliki andil besar terhadap penyebaran budaya di dunia termasuk juga Indonesia. Dengan sikap politik yang bebas dan aktif menjadikan negara Indonesia terbuka terhadap dunia luar. Dengan keterbukaan tersebut, masyarakat mudah menerima budaya yang datang dari luar meski sering terjadi benturan budaya asing dengan budaya lokal. Masuknya budaya asing inilah salah satu faktor memperkaya budaya dan membuat masyarakat menjadi masyarakat multikultural. Faktor Geografis. Indonesia memiliki letak geografis yang strategis yaitu diantara dua benua dan dua samudra sehingga Indonesia dijadikan sebagai jalur perdagangan internasional. Karena sebagai jalur perdagangan, banyak negara-negara asing datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang seperti Cina, India, Arab, dan negara-negara Eropa. Kondisi inilah memambah budaya yang masuk Jihad Nurrahman ke Indonesia dan terciptanya masyarakat multikultural. Faktor Fisik dan Geologi. Dilihat dari struktur geologi, Indonesia terletak diantara tiga lempeng yang berbeda yaitu Asia, Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menyebabkan negara Indonesia menjadi negara yang berpulau-pulau dan memiliki beberapa tipe geologis seperti: tipe Asiatis, tipe Peralihan, dan tipe Australis. Dengan kondisi yang berpulau-pulau, kehidupan masyarakat setiap pulau berbeda-beda satu dengan yang lainnya sesuai dengan kondisi pulauanya. Masyarakat yang berada di pulau kecil akan mengalami kesulitan sumber daya alam, dan pulau besar memiliki sumber daya alam yang banyak. Hal ini lah membuat budaya setiap pulau berbeda pula. Iklim yang berbeda. Iklim yang terdapat di Indonesia sangat mempengaruhi kebudayaan penduduknya seperti misalnya, orang yang berada di daerah pegunungan dengan iklim sejuk membentuk kebudayaan masyarakat yang ramah. Sedangkan orang yang berada di tepi pantai yang memiliki iklim panas berpengaruh terhadapkondisi emosi masyarkat menjadi kurang terkontrol, menjadi lebih cepat sensitif atau marah dan sebagainya. Keberagaman yang ada di Indonesia memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak negatif yang bisa terjadi adalah bahwa pluralisme di Indonesia seringkali menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang dapat menimbulkan pertengkaran dan bahkan perpecahan. Bagaimana gesekan-gesakan semacam itu bisa terjadi? Pakar pendidikan, Syarif Sairin (1992), menjelaskan bahwa akarakar konflik dalam masaryakat majemuk yang sering terjadi di Indonesia adalah: 1) Perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi. 2) Perluasan batas-batas sosial budaya. 3) Benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama. Oleh karena itu, pendidikan multi-kultural di Indonesia harus benar-benar dilaksanakan dengan serius. Salah seorang pemerhati dan praktisi pendidikan Indonesia pernah mengatakan bahwa pada level nasional sentralisme kekuasaan seperti yang terjadi pada masa orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. C. Konsep Pendidikan Multikulturalisme Sebelum konsep pendidikan dibahas lebih jauh, sebaiknya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan seperangkat strategi dan materi ajar yang dikembangkan untuk membantu guru merespon fenomena-fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan keragaman budaya siswa. Dalam pendidikan ini siswa dibekali pengetahuan tentang sejarah, kebudayaan, dan kelebihan atau nilai positif dari masing-masing budaya. Andersen dan Cusher (1994: 320) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berkaitan dengan keragaman kebudayaan. Sementara itu, James Banks (2009) berpendapat bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Selain dari pada itu pendidikan multikultural juga harus memepertimbangakan faktor demografi dan kebudayaan sebagai sebuah keberagaman. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia (global). Pendidikan multikultural secara konseptual haruslah berupa pendidikan yang responsif dan akomodatif terhadap realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masingmasing individu dalam kelompok yang kompleks dan dengan beragam budaya. Pendidikan multikultural juga harus mampu mencerminkan pentingnya budaya, suku, jenis Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 89 90 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA kelamin, agama, etnisitas, status sosial, dan ekonomi dalam proses pendidikan. Perlu juga diketahui bahwasanya pendidikan multikultural sebenarnya sudah sejak lama dikembangkan di negara-negara barat contohnya, di Amerika Serikat dimana konsep pendidikan multikultural didisain untuk mengantisipasi dampak negatif dari pada perkembangan demografis yang sangat cepat di negara super power ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Amerika Serikat adalah salah satu negara besar yang pluralistik. Para praktisi pendidikan multikulutural di negara itu memiliki pandangan bahwa masyarakat sebuah negara akan menjadi pluralistik pada masa yang akan datang. Pada masa sekarang ini, tenaga pendidik dimanapun berada terutama di daerah perkotaan pasti menghadapi siswa yang berlatar belakang status sosial, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Permasalahan di dalam kelaspun seringkali muncul seperti misalnya, sekelompok siswa enggan berbaur dengan kelompok tertentu (clustering) karena berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda dengan mereka. Sebenarnya, kelas yang heterogen dengan latar belakang pluralisme sosiokultural bisa membangun karakter siswa untuk berfikir kritis dan tegas dalam hal pengambilan keputusan. Para praktisi pendidikan terus berusaha untuk membenahi kebijakan sekolah agar supaya dapat memberikan kesempatan yang sama bagi siswa yang multikulural misalnya, dalam hal kesempatan kerja dan kontribusi mereka dalam membangun masyarakat yang majemuk tetapi aman sejahtera. Bisa dipahami bahwa pembelajaran di kelas menuntut para guru untuk mampu mengolah dan mengkolaborasikan gagasangagasan yang berkaitan dengan ras atau suku, status sosial, dan perbedaan pada saat mengajar. Di samping itu, guru harus menyadari bahwa paham multikultural memiliki prinsip bahwa siswa dengan berbagai macam latar belakang dan pengalaman harus mendapatkan perhatian serius dalam hal aktivitas Jurnal Pelopor Pendidikan di kelas demikian juga proses belajar-mengajarnya harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan sehingga akan tercipta cara atau pola pikir siswa yang beragam. Jika hal tersebut dilakukan dengan benar, siswa akan mampu meningkatkan jati diri positif akan diri mereka sendiri dengan membekali diri mereka dengan pengetahuan dan pemahaman mereka yang cukup akan budaya, sejarah, serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok yang berbeda. Dengan cara seperti ini paham multikultural bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun kebanggaan diri siswa dan juga kepercayaan diri mereka akan latar belakang mereka yang beragam dan unik. Oleh sebab itu, bagaimanakah seharusnya sikap guru dalam kaitannya dengan pluralisme yang ada di kelas? Dalam sebuah pendidikan multikultural di London, modal utama guru untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik adalah komitmen bersama beserta staf sekolah lainnya. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen untuk saling berbagi dalam hal visi sekolahdan pemeliharaandan peningkatan prestasi seluruh siswa. Di sini, guru tidak harus memiliki pengalaman mengajar siswa yang berasal dari etnis minoritas atau memiliki pengetahuan yang mendalam akan isu-isu yang terkait dengan pluralisme, akan tetapi yang penting bagi mereka adalah komitmen yang kuat. Maka, jelaslah bahwa pendidikan bukanlah “menara gading” yang antipati terhadap realita sosial dan budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Paulo Freire yang mengatakan bahwa pendidikan haruslah mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan (educated people), bukan sebuah masyarkat yang hanya mengedepankan gengsi sosial sebagai representasi dari kemakmuran atau kekayaaan yang didapatkan. James Banks (2006) memetakan pendidikan multikultural pada beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: Jihad Nurrahman 1) Content Intergration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan materi ajarserta teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu, 2) The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin ilmu tertentu). 3) Equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. 4) Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran siswa yang sesuai. Lebih lanjut, James Banks juga menjelaskan bahwa secara umum peserta didik memiliki lima ciri seperti dijelaskan berikut ini: 1) Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan, dan sebagainya. 2) Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3) Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. 4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual. Atas dasar itu fokus program pendidikan multikultural, sebaiknya tidak semata-mata diarahkan kepada kelompok rasial, agama dan kultur dominan atau mainstream saja. Di negara-negara maju dan pluralistik, khususnya di negara-negara barat, modelmodel pendidikan multikultural yang pernah dijalankan sebelumnya, terus dikembangkan. Pengembangan pendidikan multikultural tersebut berlandaskan pada lima pendekatan, antara lain: pertama adalah pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme, kedua berupa pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga yaitu pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat adalah pendidikan dwi-budaya, dan yang kelima pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. D. Pendekatan Pendidikan Multikultural Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendisain pendidikan multikultural seperti halnya di Indonesia dimana kelompok masyarakatnya mengalami berbagai permasalahan yang dipicu oleh gesekan-gesekan yang timbul di antara kelompok masyarakat yang berasal dari, budaya, suku, agama dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja mengandung tantangan yang tidak ringan dan perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Ketiga, interaksi intensif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi dengan demikian maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan anti-etnis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Keempat, pendidikan multiltural haruslah meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Lebih jauh lagi, pendidikan berbasis multikultural atau Multicultural Based Education (MBE) seperti yang digambarkan oleh Hilda Hernandez, mengacu pada definisi ‘klasik’ yaitu untuk menekankan dimensi konseptual pendidikan yang berbasis multikultur. Menurut Hilda, pendidikan ini menekankan pada esensi pendidikan berbasis multikutural sebagai prespektif yang mengakui dan sadar akan realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 91 92 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur. Singkatnya, definisi ini merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan keunikan-keunikan yang ada dalam proses pendidikan. Sedangkan pendidikan multikulturalisme, seperti dikemukakan oleh Sjafri Sairin (2002) memiliki ciri-ciri seperti berikut ini: Tujuan membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya”. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan sikap positif terhadap budaya lainnya. E. Pemerolehan Pendidikan di Indonesia yang Multikultural Seperti yang telah dijelaskan di atas, budaya sangat berkaitan erat dengan tingkah laku dan karakter masyarakat. Respon masyarakat terhadap pememperolehan ilmu pengetahuan melalui pendidikan formal juga berbeda-beda bergantung karakter dari budaya mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah responsif terhadap tuntutan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural. Pemerataan pemerolehan pendidikan tidak membeda-bedakandan tidak memandang latar belakang budaya, suku, agama, maupun ras (primordial). Seluruh warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mencapai kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 C yang mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi Jurnal Pelopor Pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. F. Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Konteks Multikultural Salah satu proses untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari kemampuan seseorang dalam berbahasa asing, khususnya Inggris sebagai salah satu bahasa internasional. Hal ini wajar karena sudah banyak buku-buku maupun artikel ilmiah sebagai sumber ilmu pengetahuan ditulis dalam bahasa Inggris. Jurnal internasional ditulis menggunakan bahasa Inggris, demikian juga label-label atau prosedur pemakaian suatu produk elektronik misalnya, menggunakan bahasa Inggris untuk membimbing konsumen cara penggunaan atau pengopersainnya . Kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis dalam bahasa Inggris juga sangat berpengaruh terhadap pemerolehan ilmu pengetahuan yang sudah sangat berkembang dengan pesat. Maka dari itu pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia dirasa sangat penting sehingga dijadikan salah satu mata pelajaran wajib di tingkat sekolah menengah ke atas. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Inggris merupakan salah satu wujud implementasi dari proses pendidikan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Diskusi tentang bahasa Inggris adalah hal yang masih menjadi daya tarik tersendiri untuk dibahas dari sudut pandang manapun termasuk dalam konteks multikultural karena penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiokultural. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brown (2000: 176) budaya merupakan hal yang sangat berpengaruh di dalam proses pembelajaran bahasa kedua (Second Language Acquisition). Berbicara tentang proses pembalajaran di pendidikan formal tidak bisa dilepaskan dari konsep dan paradigma pendidikan multikultural, demikian juga dengan materi ajar bahasa Inggris yang digunakan. Pertanya- Jihad Nurrahman annya adalah; “Bagaimanakah sebaiknya pendidikan multikultural dilaksanakan dan apakah materi ajar yang digunakan sesuai dengan kondisi masyarakat yang beragam budayanya?” Secara garis besar, ada tiga aspek sosiokultural yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa asing –di dalam Undangundang, PemerintahIndonesia secara tegas menyatakan bahwa kadudukan bahasa Inggris di Indonesia adalah sebagai bahasa asing— diantaranya adalah; (1) sikap positif terhadap budaya asing, (2) akulturasi budaya, dan (3) hubungan antara bahasa, pola pikir, dan budaya. Ketiga aspek tersebut mempunyai andil yang cukup signifikan terhadap tingkat keberhasilan sesorang dalam mempelajari bahasa asing. 1) Sikap Positif terhadap Budaya Sikap positif seseorang terhadap sesuatu bisa berdampak positif terhadap peningkatan kemampuan. Sebagai misal, orang Jawa terkadang enggan menggunakan bahasa Jawa di Jakarta yang bahasa pergaulannya adalah bahasa Indonesia agar tidak kelihatan udiknya. Dia mungkin merasa malu atau tidak bangga (negative attitude) menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia yang dulu tidak enak didengar karena “medhok” jadi fasih seperti penutur bahasa asli.Dampak positifnya adalah bahasa Indonesianya menjadi lebih baik karena sikap positifnya terhadap bahasa Indonesia.Begitu pula sebaliknya, kemapuan bahasa Jawanya lama-lama akan terkikis karena sikap negatifnya sehinggajarang menggunakan bahasa Jawa. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gardner dan Lambert (1972) menyimpulkan bahwa orang Kanada yang berbahasa Inggris belajar bahasa Perancisyang digunakan oleh sebagian lain orang Kanada. Sikap positif mereka terhadap bahasa Perancis berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan mereka dalam berbahasa Perancis. Dengan demikian bisa dianggap wajar apabila sikap positif siswa terhadap bahasa Inggris akan memotivasi dirinya untuk bisa menguasai bahasa Inggris dengan baik. Maka dari itu guru sebaiknya memepertimbangkan aspek ini. 2) Akulturasi Budaya Pembelajaran tentang sebuah budaya asing dalam hal ini bisa disebut juga sebagai proses akulturasi merupakan bagian penting dalam pembelajaran bahasa. Robinson dan Stuart, seperti yang dikutip oleh Brown (2000) mengatakan bahwa kurikulum bahasa asing bisa memasukkan unsur budaya dari bahasa yang dipelajari. Pembelajaran bahasa yang berkaitan dengan unsur budaya menurut Lambert (1967) dipengaruhi oleh konsep yang dinamakan anomie—sebuah gejala akulturasi dimana seseorang merasatidak memilki budaya pasti yaitu seseorang merasa tidak terikat pada budayanya sendiri maupun budaya asing—sebagai sebuah aspek penting yang berpengaruh signifikan terhadapketerkaitan antara pembelajaran bahasa dengan sikap terhadap budaya asing. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa semakin dalam seseorang berakulturasi atau meleburkan diri—dalam arti benar-benar memahami budaya asing—maka semakin terampil penguasaan bahasa yang dipelajari. Hasil penelitian dari Lambert (1967) mengatakan bahwa orang-orang Kanada yang berbahasa Inggris menjadi begitu terampil berbahasa Perancis karena mereka juga berusaha memahami budaya orang Perancis. Lebih lanjut Svanes (1987, 1988) mengatakan bahwa para mahasiswa asing yang menempuh studi di Norwegia memiliki kemampuan berbahasa Norwegia lebih baik jika mereka mampu beradaptasi dengan masyarakat setempat. Pada kenyataannya secara psikologis, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 93 94 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA memang kemampuan beradaptasi dan mengharagai nilai-nilai budaya asing seperti iniakan meningkatkan motivasi belajar bahasa asing. Hal ini bukan berarti diri bangsa harus bertindak sesuai dengan pola pikir orang asing atau mengikuti budaya orang asing, akan tetapi diri bangsa harus memahami budaya dan berusaha untuk beradaptasi. Bisa dikatakan bahwa, jika ingin berhasil belajar bahasa Inggris hendaknya juga harus memahami dan mengharagai nilainilai budaya orang Inggris tanpa harus menerapkan budaya orang Inggris di kehidupan sehari-hari. 3) Bahasa, Pola pikir, dan Budaya Tidaklah lengkap berbicara tentang budaya asing tanpa melibatkan keterkaitan antara unsur pola pikir dan bahasa. Perkembangan kognitif dan penguasaan bahasa berjalan beriringan.Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Demikian juga dengan pemikiran (thought). Mengutip pernyataan Brown (2000), yang dimaksud dengan pola pikir di sini adalah cara mengkonsep ide. Maka dari itu katakata, dari sisi bahasa akan diolah dengan konsep-konsep pemikiran, sehingga pada akhirnya membentuk sikap dalam kehidupan yang berujung pada pembentukan budaya. Di sini jelaslah bahwa ada keterkaitan antara bahasa, pola pikir dan budaya. Menurut Brown (2000: 198) budaya adalah bagian yang terintegrasi dengan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Gaya berkomunikasi dan gaya bahasa barangkali bisa dikategorikan sebagai akibat dari faktor budaya. Hal tersebut juga berkaitan dengan salah satu faktor penyebab keberagaman budaya yaitu faktor iklim. Gaya bicara yang emosional, ceplas ceplos, atau bahkan sarkastik merupakan karakteristik budaya masyarakat yang tinggal di dekat pantai. Jurnal Pelopor Pendidikan Maka dari itu di dalam pembelajaran di kelas sebaiknya dimasukkan unsur-unsur pembelajaran yang melibatkan konsep pemikiran kritis terhadap bahasa yang dipelajari untuk mengantisipasi ketidakmampuan siswa dalam memahami atau menginterpretasi ungkapan-ungkapan asing yang mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip atau norma kestatasusilaan dan etika masyarakat Indonesia. Pengajaran di Indonesia juga harus mempertimbangakan sikap dan etika guru di dalam memberi pelajaran di kelas. Guru sebaiknya memahami betul karakter budaya asli anak didiknya sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman (misunderstanding) yang bisa menimbulkan konflik. Brown (2000: 195) mengatakan bahwa sebagai usaha untuk mendalami bahasa Inggris, salah satunya adalah dengan memegang teguh prinsip bahwa guru harus hormat kepada bahasa dan budaya anak didik yang bebeda. Dengan kata lain, guru dari luar dituntut untuk mampu beradaptasi dengan karakter budaya lokal baik dari segi sikap, tingkah laku, maupun norma-norma yang ada. G. Penyesuaian Konsep Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia 1) Pengertian Yang dimaksud dengan penyesuaian disini adalah kegiatan evaluasi materi ajar yang berarti menelaah dan mengukur seperangkat materi pembelejaran dengan cara membuat penilaian tentang sejauh mana efek atau pengaruh materi ajar terhadap orang yang menggunakanya. Menurut Tomlison (2004), evaluasi ini dilakukan untuk mengukur: Daya tarik materi terhadap penggunanya, Validitas materi (apakah materi tersebut layak untuk diajarkan?), Kemampuan materi ajar dalam menarik perhatian guru maupun siswa, Jihad Nurrahman Kemampuan materi ajar dalam memotivasi siswa, Nilai potensi materi yang ada, dan Fleksibilitas materi. Misalnya, fleksibilitas materi agar supaya guru bisa menyesuaikan materi dengan konteks tertentu seperti budaya atau adat istiadat setempat. materi ajar yang diberikan kepada peserta didik sebaiknya disesuaikan dengan budaya mereka agar supaya dapat menciptakan proses belajar-mengajar yang kondusif yang pada gilirannya nanti pluralistik budaya bukanlah sebuah hambatan yang berarti. Namun demikian, desain pembelajaran juga tetap bisa mempertahankan nilai-nilai budaya. 2) Prinsip-prinsip Evaluasi Materi Ajar Sebagian besar evaluasi materi ajar yang dilakukan oleh guru hanya bersifat impresionistik atau hanya berdasarkan kesan luarnya saja tanpa melakukan kajian yang mendalam. Evaluasi bahan ajar harus mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini seperti yang dikemukakan oleh Tomlison (2004): Siswa akan berhasil dalam belajarnya jika proses belajarmengajar berlangsung dalam bentuk pengalaman belajar yang positif, relaks, dan menyenangkan. Guru akan dapat mengajar dengan baik dan berhasil jika mereka memperoleh kesenangan dalam mengajar dari materi ajar yang digunakannya. Bahan ajar sebaiknya mampu membantu untuk dapat mengaitkan pengalaman belajar di dalam kelas dengan kehidupan mereka di luar kelas (termasuk budaya dan agama). Bahan ajar seharusnya mampu mengikat emosi siswa; tawa, suka cita, kesedihan, dan amarah karena hal tersebut akan membantu siswa meningkatkan efektifitas pembelajaran dan jika sebaliknya, proses pembelajaran akan tidak efektif. Berdasarkan pada landasan evaluasi serta prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas, tidak diragukan lagi bahwa H. Penutup Pendidikan multikultural menghadapi persoalan yang tidak ringan. Setelah adanya reformasi di Indonesia, demokrasi menjadi sangat berkembang dan diagung-agungkan, sejalan dengan itu pendidikan ditunut untuk bisa mengakomodir seluruh elemen masyarakat Indonesia yang pluralis. Multikultur adalah sebuah keniscayaan yang harus dihormati. Keberagaman budaya di Indonesia terjadi karena berbagai macam faktor. Faktorfaktor tersebut menjadikan budaya dan karakter masyarakat Indonesia menjadi beragam dari segi sikap dan tingkah laku maupun pola berfikirnya. Pola fikir dan tingkah laku yang berbeda tersebut juga berpengaruh terhadap sikap mereka dalam belajar bahasa asing yaitu bahasa Inggris. Dalam era globalisasi sekarang ini salah satu cara untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain adalah dengan membekali anak didik dengan pengetahuan bahasa Inggris yang memadahi. Sadar akan pentingnya bahasa Inggris, Pemerintah Indonesia menjadikan bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional menjadi mata pelajaran wajib khususnya untuk tingkat sekolah menengah pertama, atas, dan perguruan tinggi. Namun demikian, dalam kondisi masyarkat Indonesia yang multikultur ini pengajaran bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dapat berhasil dengan baik jika desain dan konsep pembelajarannya berorientasi pada faktor budaya. Para ahli mengatakan bahwa faktor pengetahuan akan budaya asing akan berdampak positif terhadap sukses dan Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 95 96 PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA tidaknya pembelajaran bahasa kedua (Second Language Acquisition). Sejalan dengan hal tersebut, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia haruslah berorientasikan pada pluralisme masyarakatnya. Konsep dan desain pembelajarannya harus mengakomodir kemajemukan budaya dan tetap dalam koridor sistem pendidikan yang ada sehingga bisa dijalankan dengan efektif tanpa harusmereduksi dan mengikis nilai-nilai luhur budaya dan mental masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran yang luhur. Guru yang diberi amanat untuk mengajar bahasa Inggris dalam kelas yang memiliki siswa berlatar belakang budaya yang berbeda dengan dirinya harus paham tentang faktorfaktor yang berpengaruh dalam pembelajaran diantaranya adalah selalu berfikir positif terhadap perbedaan latar belakang siswanya, menjaga keharmonisan, dan bersikap adil terhadap semua siswa. Para guru dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat untuk memahami konsep pembelajaran dalam ranah pluralisme sehingga mereka harus tetap menjaga etika dan mengindari tindakan-tindakan atau ucapanucapan yang sensitif yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan atau konflik. Guru juga dituntut untuk mampu mengeksplorasi keragaman budaya anak didiknya untuk dijadikan sarana sebagai pemicu motivasi belajar dalam rangka mencapai kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 serta mampu memupuk rasa bangga anak didikakan budaya mereka masing-masing tanpa menghilangkan rasa hormat mereka terhadap budaya lain.[] Daftar Pustaka: Bakri, M. 2014. Islam, Pendidikan Multikultural, dan Budaya Damai. Artikel disajikan dalam rangka 33 Tahun Pengabdian UNISMA untuk Bangsa, Lembaga Penerbitan UNISMA, Malang, September 2014. Jurnal Pelopor Pendidikan Banks, A. James. 2009. Multicultural Education: Issues and Perspectives. USA: John Weley and Sons. _____________. 2006. Race and Culture Education: The selected works of James A. Banks. USA: Roudledge. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. Fourth Edition. Longman: Sanfransisco State University. Byram, M., Morgan, C., and Colleagues. 1994. Teaching and Learning Language and Culture. WBC.Ltd. London. Freire, Paulo. 2009. Teachers as Cultural Workers: Letter to Those who Dare Teach. USA: Westview Press. Geertz, Cliffford. 1973. The Interpretation of Cultures. USA: Perseus Book Group. Hernandez, Hilda. 2000. Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Linking Context, Process, and Content. USA: Pearson. Krahnke, Karl. 1987. Approaches to Syllabus Design for Foreign Language Teaching.Printence Hall Regents, USA: Englewood Cliffs. Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Tomlison, Brian et.al. 2004. Developing English Language Materials. Seameo Regional Language Centre. Leeds. UK. Wijana, Putu. D. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.