perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PROBLEM-PROBLEM SOSIAL DALAM NASKAH LAKON “AUM” KARYA PUTU WIJAYA (Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun oleh MUHAMMAD TAUFIQ C0203036 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN Nama : Muhammad Taufiq NIM : C0203036 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Problem-problem Sosial dalam Naskah Lakon “Aum” karya Putu Wijaya adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuat oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, Maret 2011 Yang membuat pernyataan Muhammad Taufiq commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Hidup bukanlah untuk mengeluh dan mengaduh, hidup adalah untuk mengolah hidup. Bekerja membalik tanah, memasuki rahasia langit dan samodra. Serta mencipta dan mengukir dunia. (W.S Rendra. Sajak seorang tua untuk istrinya) commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Karya ini penulis persembahkan untuk: Bapak dan Ibu tercinta, terima kasih atas doa, kasih sayang, dan dukungannya. Adikku-adikku. Istri dan anakku tersayang, yang selalu setia di sisiku dalam suka dan duka. commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi berjudul Problemproblem Sosial dalam Naskah Lakon ”Aum” Karya Putu Wijaya(Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra) bisa diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag., selaku ketua jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 3. Drs. Wiranta, M.S., selaku pembimbing dalam menyusun skripsi ini, yang dengan sabar dan bijak memberi bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi ini dapat selesai. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta pada umumnya yang telah memberikan ilmu kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini. commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5. Segenap staf perpustakaan dan tata usaha yang telah membantu penulis dalam melengkapi syarat-syarat ujian skripsi untuk menjadi sarjana sastra. 6. Segenap staf perpustakaan pusat Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Mas Basuki, terimakasih atas kesediannya memberikan beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan naskah lakon Aum. 8. Keluarga di rumah, bapak, ibu dan adik-adikku, terima kasih atas doa dan dorongannya. 9. Istri dan anakku tersayang, yang menemani setiap hari dan dengan sabar menghadapi kemalasanku. 10. Teman-teman Sastra Indonesia 2003, teman-teman seperjuangan yang telah memberikan sesuatu untuk dikenang, Muji “Gunung” Barnugroho, Penceng, Salpian, Bandot, Atha, Ame, Nasir Kusir dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan semangat dan dorongan agar diselesaikannya skripsi ini. 11. Teman-teman Teater Tesa, rumah kedua yang telah membuat banyak kenangan. Mas Basuki, Mas Bodot, Mas Janta, Janto, Penceng, Salpian, dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih dengan setia mengikuti dan mendampingi perjalanan hidup Tesa. 12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih penuh dengan kelemahan dan kekurangan serta masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa sastra pada khususnya. Surakarta, Maret 2011 Penulis commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... x ABSTRAK ....................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B Pembatasan Masalah ....................................................................... 6 C Perumusan Masalah.......................................................................... 7 D Tujuan Penelitian.............................................................................. 7 E Manfaat Penelitian........................................................................... 8 F Sistematika Penulisan....................................................................... 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR .......................... 10 A Kajian Pustaka................................................................................. 10 B Kerangka Pikir ................................................................................ 17 commit to user BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 20 x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id A. Metode Penelitian ........................................................................... 20 B. Pendekatan Penelitian .................................................................... 21 C. Objek Penelitian ............................................................................ 21 D. Sumber Data ................................................................................... 21 E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 22 F. Teknik Analisis Data ...................................................................... 22 BAB IV ANALISIS ………………………………………………………… 23 A. Analisis Struktural ....................................................................... 23 1. Alur ..................................................................................... 23 2. Latar ..................................................................................... 38 3. Tikaian dan Konflik .............................................................. 40 4. Cakapan ................................................................................. 41 5. Tema dan Amanat ................................................................ 42 B. Analisis sosiologi Sastra ................................................................ 44 Problem-problem Sosial ................................................................ 44 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 81 A. Simpulan ......................................................................................... 81 B. Saran ................................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 84 LAMPIRAN ..................................................................................................... 86 Naskah Lakon “Aum” ................................................................... 86 commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Muhammad Taufiq. C0203036. 2011. Problem-problem Sosial dalam naskah lakon “Aum” Karya Putu Wijaya. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana gambaran struktur naskah lakon Aum yang meliputi alur, penokohan, latar, beserta aspek tema dan amanat? (2) Bagaimanakah gambaran problem-problem sosial yang meliputi; kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan yang terdapat dalam naskah lakon Aum? Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan gambaran struktur naskah lakon Aum yang meliputi alur, latar, serta aspek tema dan amanat. (2) Mendeskripsikan problem-problem sosial yang terdapat dalam naskah lakon Aum yaitu kekuasaan, penindasan,ketidakadilan, dan kemiskinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang pengungkapannya bersifat deskriptif. Data dalam penelitian ini disajikan dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Penelitian terhadap naskah lakon ini dilakukan berdasarkan kerangka pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Data diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka. Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Berdasarkan strukturnya, naskah lakon Aum memperlihatkan perpaduan hubungan atas unsurunsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah: alur, latar, serta tema dan amanat. (2) Problem-problem sosial yang terkandung di dalam naskah lakon Aum meliputi: kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Kekuasaan yang dipegang oleh penguasa bersifat menindas dan tidak adil kepada seluruh elemen masyarakat menyebabkan masyarakat tidak bisa bebas untuk menyalurkan aspirasi yang mereka miliki. Rakyat hanya dijadikan alat oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itu berpengaruh pula terhadap tidak meratanya perekonomian masyarakat. Sehingga menyebabkan kesnjangan sosial dalam masyarakat. Penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa harus kita sikapi secara positif dengan melakukan langkah-langkah kritis terhadap penguasa. Jangan melakukan hal-hal yang akan merugikan diri kita sendiri. Pada dasarnya kita bisa melewati setiap permasalahan dengan tenang dan sabar. commit to user xii PROBLEM-PROBLEM SOSIAL DALAM NASKAH LAKON “AUM” KARYA PUTU WIJAYA (Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra) Muhammad Taufiq1 Drs. Wiranta, M.S.2 ABSTRAK 2011. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana gambaran struktur naskah lakon Aum yang meliputi alur, penokohan, latar, beserta aspek tema dan amanat? (2) Bagaimanakah gambaran problem-problem sosial yang meliputi; kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan yang terdapat dalam naskah lakon Aum? Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan gambaran struktur naskah lakon Aum yang meliputi alur, latar, serta aspek tema dan amanat. (2) Mendeskripsikan problem-problem sosial yang terdapat dalam naskah lakon Aum yaitu kekuasaan, penindasan,ketidakadilan, dan kemiskinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang pengungkapannya bersifat deskriptif. Data dalam penelitian ini disajikan dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Penelitian terhadap naskah lakon ini dilakukan berdasarkan kerangka pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Data diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka. Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Berdasarkan strukturnya, naskah lakon Aum memperlihatkan perpaduan hubungan atas unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah: alur, latar, serta tema dan amanat. (2) Problem-problem sosial yang terkandung di dalam naskah lakon Aum meliputi: 1 2 Mahasiswa Jurusan Sastra Indonersia dengan NIM C0203036 Dosen Pembimbing kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Kekuasaan yang dipegang oleh penguasa bersifat menindas dan tidak adil kepada seluruh elemen masyarakat menyebabkan masyarakat tidak bisa bebas untuk menyalurkan aspirasi yang mereka miliki. Rakyat hanya dijadikan alat oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itu berpengaruh pula terhadap tidak meratanya perekonomian masyarakat. Sehingga menyebabkan kesnjangan sosial dalam masyarakat. Penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa harus kita sikapi secara positif dengan melakukan langkah-langkah kritis terhadap penguasa. Jangan melakukan hal-hal yang akan merugikan diri kita sendiri. Pada dasarnya kita bisa melewati setiap permasalahan dengan tenang dan sabar. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar-manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Sapardi Djoko Damono, 1984: 1 ). Karya sastra merupakan hasil penciptaan yang bersumber dari pemikiran akan kehidupan yang ada dalam masyrakat yang dimunculkan dalam karya fiksi. Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, difahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik itu sebagai media hiburan maupun untuk pembelajaran. Maka dari itu sebuah karya sastra lahir berdasarkan fenomenafenomena dalam masyarakat yang ditangkap dan diolah oleh pengarang. Karya sastra bukan objek yang sederhana, melainkan objek yang kompleks dan rumit. Setiap karya sastra merupakan hasil dari pengaruh timbal balik dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit (Wellek dan Warren, 1990: 22). Karya sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan refleksi kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil olahan tersebut commit to userpembaca dapat merenungkan dan disajikan kepada pembaca. Dengan demikian, 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id menghayati kenyataan dan masalah-masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra, sehingga dapat memberikan respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama berangkat dari imajinasi, yaitu imajinasi yang dituangkan melalui ide-idenya kemudian dituangkan dalam bentuk naskah lakon (drama), pengarang mencoba mengkaji hidup dengan merespon dan menanggapi masalah-masalah yang terdapat di lingkungannya. Naskah drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat bahkan kadang-kadang konflik batin mereka sendiri seakan akan dapat terlihat. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka cita, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Naskah adalah bentuk atau rencana tertulis dari cerita drama. Pada musik kita mengenal partitur sore, yaitu suatu bentuk atau rencana tertulis dari musik. Musik terwujud setelah partitur dimainkan, sehingga terdengar getaran-getaran, nada-nada yang dibunyikan dalam waktu dan ruang tertentu. Lakon adalah hasil perwujudan dari naskah yang dimainkan tersebut. Lakon cerita drama hanya terwujud pada saat terbuka hingga ditutupnya tirai pertunjukan. Sebelum dan sesudahnya tidak ada lakon, yang ada hanyalah naskah lakon yang berkali-kali dimainkan selalu berubah-ubah kondisi artistiknya, tergantung pada siapa dan dimana dimainkannya. Sedang naskah tetap kualitas artistiknya (Harymawan, 1988: 23-24). Dalam khasanah kesusastraan, naskah lakon atau drama merupakan salah satu jenis sastra di samping jenis-jenis lainnya seperti puisi dan prosa. Naskah commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id lakon selain memiliki elemen-elemen yang sama dengan prosa pada umumnya yaitu tema, amanat, penokohan, alur, latar, konflik, dan cakapan. Dibedakan dengan jenis-jenis lainnya terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan. Berdasarkan pada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini, naskah lakon Aum yang menjadi objek kajian ini dapat dimasukkan dalam pengertian drama sebagai naskah lakon, sebagai pra-lakon; naskah yang belum dipentaskan atau naskah yang belum diproduksi oleh pekerja teater. Aum adalah naskah lakon yang dikarang oleh sastrawan dan dramawan yang sangat produktif Putu Wijaya. Putu Wijaya telah banyak melahirkan naskah lakon yang kritis terhadap kehidupan yang ada dalam masyrakat yang terjadi di negeri ini. Naskah Aum ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Teater Mandiri pada tahun 1993. Naskah ini lebih mengacu kepada konvensi sastra tertentu, yaitu drama. Naskah lakon Aum ini ditulis pengarang, berangkat dari pengamatan pengarang tentang peristiwa keseharian yang terjadi di masyarakat. Problemproblem sosial yang dirangkai dengan kritik-kritik sosial tentang kondisi dan proses sosial masyarakat lebih mengarah pada rakyat kecil yang selalu terpinggirkan. Naskah lakon Aum ini menarik untuk dikaji karena di dalamnya diungkapkan berbagai permasalahan sosial yang disajikan oleh pengarang secara terbuka dalam kemasan nuansa keseharian yang mudah ditangkap, dan ada unsur komedi sehingga menarik untuk dibaca bahkan oleh pembaca awam sekalipun. Problem-problem sosial yang ada dalam realitas kehidupan masyarakat diangkat dalam kemasan yang identik dengan keseharian masyarakat lokal sebagai aktualisasi potret sosial masyarakat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Beberapa naskah lakon dan novel yang di dalamnya membahas tentang masalah problem sosial yang terjadi di masyarakat antara lain Aduh (Putu Wijaya), Gulipat (Hanindawan), Kisah Perjuangan Suku Naga (W S. Rendra), Sang Pramuria (Sutirman Eka Ardhana). Dalam naskah lakon dan novel yang disebutkan di atas kesemuanya menggambarkan tentang problem sosial yang ada di dalam masyarakat. Naskah lakon Aum ini pernah dipentaskan oleh Teater Mandiri pada tahun 1995 di TIM (Taman Ismail Marzuki). Pada tanggal 16 September 2004 dipentaskan oleh Teater Ngirit Universitas Muhammadiyah Surakarta di gedung olahraga Universitas Muhammadiyah Surakarta. Teater Tesa Universitas Sebelas Maret juga pernah mementaskan naskah lakon ini di Museum Seni Lukis Klasik Bali yang letaknya di Klungkung pada tanggal 11 Oktober 2004, kemudian berlanjut pada tanggal 14 Desember di STAIN Jogjakarta dan tanggal 21 dan 22 Desember di Taman Budaya Jawa Tengah yang ada di Solo. Naskah lakon ini menarik untuk dikaji karena permasalahan yang disajikan didalamnya begitu lekat dengan permasalahan keseharian. Pengkajian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan fakta-fakta sosial yang ada dalam naskah lakon ini. Dengan mengungkap fakta-fakta sosial tersebut dapat diketahui dan dipahami nilai-nilai apa yang terkandung dalam naskah lakon Aum dan sejauh mana kompetensi nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dalam naskah lakon Aum ini menggambarkan tentang sekumpulan orang-orang Udik yang datang dari desa untuk menghadap bupati dan mengadukan permasalahan-permasalahan yang mereka alami. Tapi dalam kenyataannya ketika sampai di rumah Bupati, mereka dihalang-halangi oleh commit to user 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hansip yang berjaga di rumah Bupati. Menurut hansip-hansip yang berjaga dirumah Bupati bahwa siapa saja yang ingin menghadap Bupati harus melalui mereka dulu. Selain itu kedua hansip yang berjaga di rumah Bupati juga bertindak sewenang-wenang dan mempermainkan orang-orang udik yang ingin menghadap Bupati. Hal itu dilakukan oleh hansip tanpa sepengetahuan dari Bupati. Sekumpulan orang-orang udik itu ingin menemui Bupati dan mengadukan permasalahan yang selama ini mereka alami, karena mereka sudah menanyakan perihal permasalahan mereka kepada semua orang tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan seperti yang mereka inginkan. Kemudian orang-orang udik itu bermaksud menemui Bupati dan menanyakan perihal permasalahan mereka, karena mereka menganggap Bupati merupakan pemimpin mereka yang mungkin bisa menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang mereka alami. Setelah bertemu Bupati dan mengadukan permasalahannya, ternyata orang-orang udik itu mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Orang-orang udik itu menjadi semakin bingung dengan jawaban dan sikap Bupati. Kemudian orang-orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga ingin menanyakan langsung permasalahan mereka kepada Tuhan dengan cara bunuh diri bersama-sama agar mereka langsung bisa bertemu dengan Tuhan dan mengadukan permasalahan yang mereka alami. Naskah lakon Aum penting untuk diteliti guna menggambarkan masalahmasalah kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan kekuasaan yang ada dalam naskah lakon ini. Dengan mengungkap fakta-fakta tersebut dapat diketahui dan dipahami nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam naskah lakon Aum. commit to user 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Problem sosial adalah suatu keadaan dimana cita-cita warga masyarakat tidak terpenuhi karena keadaan sosial dalam masyarakat. Jadi pada dasarnya, problem-problem sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral, problemproblem tersebut merupakan persoalan, oleh karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak oleh sebab itu problem-problem sosial tak akan ditelaah tanpa pertimbangan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Problem sosial yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Problem-problem sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh pengarang sehingga melahirkan sebuah karya setelah melalui proses kreatif. Berdasarkan pada beberapa uraian di atas, maka pada kesempatan kali ini penulis memutuskan untuk menganalisis naskah lakon Aum ini dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan ini diharapkan dapat mengungkapkan permasalahanpermasalahan sosial yang meliputi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan. Dalam pendekatan ini penulis juga ingin mengungkapkan respon pengarang terhadap masalah-masalah sosial tersebut. Judul penelitian ini adalah Problem-problem Sosial dalam Naskah Lakon “Aum” Karya Putu Wijaya (Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra). B. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dimaksudkan untuk membatasi objek yang akan diteliti, sehingga dengan adanya pembatasan masalah atau penetapan fokus yang jelas dan mantap akan mempermudah peneliti dalam membuat keputusan commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengenai data mana yang akan dikumpulkan dan mana yang diperlukan dalam melakukan penelitian. Masalah yang diangkat akan menjadi jelas dan mudah dalam melakukan penelitian. Pembatasan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada analisis problemproblem sosial dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya. Problem-problem sosial itu meliputi kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan kekuasaan. C. Perumusan Masalah Permasalahan yang terdapat dalam penelitian perlu dijabarkan dalam rumusan masalah. Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian yang dilakukan berdasarkan data empiris. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimanakah gambaran struktur naskah lakon Aum? 2. Bagaimanakah gambaran problem-problem sosial yang terdapat dalam naskah lakon Aum? D. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan gambaran struktur naskah lakon Aum. 2. Mendeskripsikan problem-problem sosial yang terdapat dalam naskah lakon Aum. commit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan hasilnya mampu memberikan manfaat bagi pembaca, baik berupa manfaat teoretis maupun manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh model penelitian, khususnya dalam bidang sosiologi sastra. 2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu contoh model dalam menyikapi berbagai masalah kehidupan yang sampai saat ini masih sering dijumpai, terutama masalah kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa bab sebagai berikut. Bab satu berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua berisi kajian pustaka dan kerangka pikir yang terdiri dari pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Bab tiga berisi metodologi penelitian yang terdiri dari metode penelitian, pendekatan, objek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan. commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bab empat berisi struktural naskah dan pembahasan tentang analisis sosiologi sastra naskah lakon Aum, yang meliputi problem sosial kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan sebagai realitas sosial beserta aspekaspeknya dalam masyarakat, serta respon pengarang terhadap problem-problem sosial tersebut. Bab lima berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan di universitas sekitar Solo (UMS, UNS, UNIVET, UNISRI, UGM), diperoleh penulisan skripsi yang meneliti naskah lakon Aum karya Putu Wijaya seperti di bawah ini. Penelitian tentang naskah lakon Aum pernah dilakukan sekali yaitu oleh Janta Setiana. Penelitian yag dilakukannya berjudul Teknik Penyutradaraan Rohmat Basuki dalam Naskah Lakon ”Aum” Karya Putu Wijaya. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini menjawab masalah bagaimana teknik penyutradaraan dan tugas sutradara Rohmat Basuki sebagai bentuk penyutradaraaan terhadap naskah lakon Aum karya Putu Wijaya. Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan teknik penyutradaraan dan tugas sutradara dari Rohmat Basuki selama menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya sebagai kebutuhan pementasan. Simpulan dari penelitian ini yaitu teknik penyutradaraan yang dilakukan oleh Rohmat Basuki dalam menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya. Kedelapan teknik Rohmat Basuki itu, antara lain: 1) menentukan nada dasar, meliputi: menentukan dan memberikan suasana khusus, membuat lakon gembira commit to user menjadi suatu banyolan, mengurangi bobot tragedi yang berlebihan, memberikan 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 prinsip dasar pada lakon, 2) memilih pemain atau pengkastingan, meliputi: casting to type, casting by ability, dan antitype casting, 3) latihan, meliputi olah vokal, olah tubuh, olah rasa, reading, dan blocking, 4) tata teknik dan pentas, meliputi: tata ruang, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana, 5) menguatkan dan melemahkan scene, meliputi adegan yang dibuat oleh sutradara Rohmat Basuki dari adegan I sampai XI, 6) menciptakan aspek-aspek laku, dengan pendekatan ketat dan fleksibel, 7) mempengaruhi jiwa pemain, meliputi: observasi, diskusi, dan latihan alam, 8) koordinasi, meliputi: mengumpulkan semua yang terlibat, baik para pemain, crew setting, crew ligthing, makeuper, pemusik, dan produksi untuk tumbuh bersama dalam menyukseskan pertunjukan Aum karya Putu Wijaya ke dalam pertunjukan drama. Pendekatan yang dilakukan oleh Rohmat Basuki dalam menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya adalah menggunakan gaya penyutradaraan Laisez Faire dan Gordon Craig. Laisez Faire adalah gaya penyutradraan dengan memberikan kesempatan bagi para pemain untuk lebih mengembangkan dirinya, gaya Laisez faire dilakukan pada para pemain yang memiliki “jam terbang” tinggi dalam pengalaman bermainnya, sedangkan Gordon Craig yaitu gaya penyutradaraan dengan cara-cara ketat, gaya ini digunakan bagi pemain-pemain yang pemula. Dari penelusuran penulis, skripsi yang meneliti tentang naskah lakon Aum karya Putu Wijaya hanya pernah dilakukan oleh seorang saja, yaitu Janta Setiana, sehingga judul skripsi Problem-Problem Sosial dalam Naskah Lakon ”Aum” Karya Putu Wijaya benar-benar belum pernah diteliti oleh penulis lain. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 B. Landasan Teori 1. Struktural Sastra Pada penelitian ini, pendekatan struktural sastra digunakan sebagai alat untuk mengetahui isi yang terkandung di dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya. Dalam sebuah karya sastra yang padu, antara unsur-unsurnya selalu terjadi hubungan timbal balik dan saling menentukan. Unsur-unsur struktur tersebut tidak dapat dipandang sebagai hal-hal yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat keterjalinannya satu dengan yang lainnya sehingga secara bersama-sama akan menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural pada prinsipnya adalah analisis yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Bukan saja penjumlahan dari gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, aspek ruang, penokohan, point of vieuw, sorot balik, dan apa saja, tetapi yang penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam itu pada keseluruhan makna, dalam keterjalinan dan keterikatan antara berbagai tataran (Teeuw, 1984:135-136). Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman dalam keseluruhan karya sastra. Jean Piaget menurut parafrase Hawkes menunjukan tiga aspek konsep struktural. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagianbagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun commit to userbagian-bagiannya. Kedua, gagasan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur-prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain (Teeuw, 1984: 141). Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan pendekatan struktural adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain dan bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. 2. Sosiologi Sastra Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat (Sapardi Djoko Damono, 1984: 1). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 Pengertian di atas mengandung suatu pengertian bahwa antara sastrawan, sastra, dan masyarakat terjadi hubungan yang erat. Pengarang sebagai anggota masyarakat dalam menciptakan karyanya tidak bisa lepas dari kehidupan sebagai suatu kenyataan sosial. Oleh karena itu, tidak heran apabila suatu karya sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Sapardi Djoko Damono, 1984: 2). Uraian di atas menunjukan bahwa studi terhadap karya sastra menyangkut studi sosial atau sosiologi. Antara sosiologi dan sastra keduanya saling melengkapi. Sastra sebagaimana halnya sosiologi berurusan dengan manusia. Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan inilah oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Penelitian terhadap naskah lakon Aum ini termasuk dalam klasifikasi sosiologi sastra yang mempermasalahkan pada teks sastra atau karya sastra itu sendiri, dengan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Pokok penelaahannya adalah semua yang tersirat dalam karya sastra itu, tujuannya, dan amanat yang hendak disampaikannya. Dalam rangka menelaah semua yang tersirat dalam karya sastra itu, tujuannya, dan amanat yang hendak disampaikan, tentu saja harus melakukan penelaahan terhadap unsur-unsur sosial yang hadir dalam situasi dialogis sebuah karya sastra. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan pendekatan sosiologi sastra adalah, penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan karya sastra sebagai cerminnan gambaran kehidupan dan permasalahan sosial commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 masyarakat pada waktu karya sastra itu dibuat, serta keterlibatan struktur sosial dalam sebuah karya sastra. Hal ini berarti bahwa sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan realitas kehidupan saja, melainkan lebih dari itu juga memberikan sebuah refleksi realitas yang lebih besar dan lebih lengkap. Pendapat di atas mengungkapkan bahwa permasalahan umum yang muncul di dalam karya sastra merupakan refleksi dari kenyataan yang bersifat objektif dan relatif. Karya sastra mempunyai fungsi untuk membentuk/mencerminkan suatu bentuk kehidupan secara langsung, mulai dari permasalahan hidup itu sendiri dan kendala dalam proses perkembangan kehidupan. Dalam penelitian dengan pendekatan sosiologi sastra ini memiliki beberapa permasalahan yang perlu dikaji. Secara khusus Rene Wellek dan Austin Warren dalam telaahnya mengklasifikasikan sosiologi terhadap karya sastra dalam tiga permasalahan yaitu: 1. Sosiologi pengarang, didalamnya mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi, politik, dan hal-hal yang menyangkut pengarang. 2. Sosiologi karya sastra yang mempermalsalahkan tentang apa yang tersirat di dalam karya sastra tersebut, dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan. 3. Sosiologi pembaca, disini mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Penelitian terhadap naskah lakon Aum ini termasuk dalam klasifikasi sosiologi sastra yang mempermasalahkan pada teks sastra atau karya sastra itu sendiri, dengan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Pokok penelaahannya adalah semua yang tersirat dalam karya sastra itu, tujuannya, dan amanat yang hendak disampaikannya. Sesuai dengan permasalahan yang terdapat dalam Naskah Lakon Aum karya Putu Wijaya, maka penelitian ini akan menekankan pada pendekatan yang mengungkapkan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari fenomena sosial yang timbul dari sikap mental masyarakat yang melingkupi terciptanya karya sastra. Konsep Wellek dan Warren yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan untuk menemukan dan mendeskripsikan kritik sosial dalam naskah lakon yang akan dibahas dimanfaatkan sebagai pelengkap pedoman dalam mengkaji karya sastra. Penelitian dengan pedoman ini akan terlepas dari faktor pengarang. Wilayah analisis hanya dalam ruang karya sastra itu saja. Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, yang mempunyai ruang lingkup luas, beragam dan rumit. Karya sastra merupakan cerminan gambaran kehidupan dan permasalahan sosial masyarakat pada waktu karya sastra itu dibuat, serta keterlibatan struktur sosial dalam sebuah karya sastra. Sosiologi sastra berhubungan dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakat, pengarang, pembaca, dan teks karya sastra itu sendiri. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 B. Kerangka Pikir Bagan 1 : Kerangka Pikir Analisis Sosiologi Sastra Naskah Lakon Aum. Naskah lakon Aum karya putu wijaya Analisis struktural Meliputi: -alur -latar -tema dan amanat Teori sosiologi sastra Analisis problemproblem sosial Kekuasaan Penindasan Ketidakadilan Kemiskinan Simpulan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 Karya sastra merupakan hasil dari penciptaaan yang menarik. Karya sastra memiliki bahasa yang khas, kekhasan bahasa sastra tersebut mempunyai kesatuan, keseluruhan, dan kebulatan makna, yang terjalin rapi dari hubungan unsur-unsur pembangunnya, sehingga menjadi sebuah karya yang memiliki tujuan dan bersifat estetis. Karya sastra lahir bukan dalam kekosongan budaya. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Melalui karya sastra dapat dilihat bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana pola kerjanya, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 78). Karya sastra lahir sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat. Ide utama yang dimiliki pengarang menjadi sumbu utama yang dipicu oleh kondisi dan situasi sosial kehidupan masyarakat atau realitas objektif yang melingkupi pengarang. Sebagai bentuk penghayatan terhadap realitas lingkungan sosialnya, pengarang merespon dan mengolah apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya melalui sebuah hasil penciptaan yang diwujudkan dalam sebuah karya fiksi. Sosiologi sastra meneliti karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Sosiologi sastra dalam rangka menelaah semua yang tersirat dalam karya sastra itu, tujuan dan amanat yang hendak disampaikan, tentu saja harus melakukan penelaahan terhadap unsur-unsur sosial yang hadir dalam situasi dialogis sebuah karya sastra secara intrinsik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 Naskah lakon Aum sarat akan problem-problem sosial yang menarik, aktual, dan relevan dengan masyarakat saat ini. Dengan teori sosial peneliti berusaha mengupas dan menjabarkan masalah problem-problem sosial tersebut yang meliputi kekuasaan, penindasan, ketikdakadilan, dan kemiskinan. Bertujuan untuk menemukan sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya problemproblem sosial tersebut tanpa perlu menekankan pada pemecahan atau jalan keluar dari problem sosial tersebut sebagai upaya dalam mengungkap makna cerita secara keseluruhan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah petunjuk yang memberi arah dan corak penelitian, sehingga dengan metode yang tepat suatu penelitian akan memperoleh hasil yang maksimal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 2001: 3). Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, frase, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikam, menganalisis dan menafsirkan (Soediro Satoto, 1993: 15). Penelitian ini membicarakan tentang naskah lakon. Naskah lakon merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan, yang lebih mendalam dan disajikan secara lebih jelas melalui dialog. Naskah lakon Aum karya Putu Wijaya digunakan sebagai data deskriptif dalam penelitian ini. commit to user 20 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Pendekatan Penelitian Pendekatan merupakan cara memandang dan mendekati suatu objek atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa pendekatan adalah asumsi-asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam memandang objek (Attar Semi, 1993:63). Sebuah pendekatan harus sesuai dengan objek yang akan diteliti (Sapardi Djoko Damono, 1984:2). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 2). Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa karya sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Attar Semi, 1993: 46). C. Objek Penelitian Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah: unsur-unsur struktural yang berupa alur dan latar, beserta tema dan amanat; dan problem-problem sosial yang meliputi kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. D. Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian ini berupa kalimat dan paragraf atau pernyataan yang terdapat dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya Sumber data dalam penelitian ini berupa sumber tertulis atau dokumen, yaitu naskah lakon Aum karya Putu Wijaya yang diterbitkan dalam bentuk buku oleh Teater Mandiri pada tahun 1993. commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan, yaitu teknik yang mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Sumber-sumber tertulis itu dapat berwujud majalah, surat kabar, karya sastra, buku bacaan ilmiah dan bukan perundang-undangan (Soediro Satoto, 1993: 42). F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini melalui beberapa tahap. yaitu; (1) Pengumpulan data, yakni dilakukan dengan mencatat, baik dari buku-buku bacaan maupun artikel. (2) Reduksi data, yakni dilakukan dengan memilih, memusatkan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar dari catatan yang terkumpul. Data yang telah terkumpul diorganisir sedemikian rupa, sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir. (3) Penyajian data, penyajian dilakukan setelah semua data terkumpul dan direduksi, baru data tersebut dapat disajikan untuk kemudian dapat ditarik simpulan akhir. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV A. ANALISIS STRUKTURAL Unsur struktural yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah alur, penokohan, dan latar sebagai aspek formal struktural, serta tema dan amanat sebagai aspek tematis. Dan unsur-unsur inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. 1. Alur Naskah lakon Aum ini menggunakan alur maju, yaitu dimulai dari awal cerita, terus maju menuju peristiwa-peristiwa berikutnya, sampai peristiwa itu berakhir. Adapun gambaran secara jelas alur pada naskah lakon Aum ini adalah sebagai berikut. a. Permulaan Naskah lakon ini dimulai dengan penggambaran waktu subuh, tampak seorang hansip yang masih segar datang untuk menggantikan temannya yang semalam suntuk telah berjaga-jaga dirumah Bupati. Kemudian hansip yang tertidur itu bangun karena merasa diganggu. Ketika terbangaun ia terperanjat karena mendapati bahwa senjatanya tidak lagi berada ditempatnya. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Hansip I : Hansip apa ini. Hansi II : Mana senjata gue, mana senjata gue. Hansip I : Wong disuruh jaga malah ngorok. Aduuuuh. Hansip I : Senjata gue tadi malam disini, sekarang dimana ya? commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 Hansip I : Payahlah kalau begini. Enak malingnya. Bangun, bangun, pulang sana, ngapain disini. Kalau pak Bupati tahubodigarbodigar begini, rusak deh nama baik kita. Hansip I : Lho wong senjatanya disini lho kemaren, masih nyantel dipinggang. Mana ya?( Putu Wijaya, 1993 : 2) Cerita kemudian menuju pada perbincangan antara hansip dengan orang-orang udik yang datang ingin menghadap bapak Bupati. Perbincangan pertama dimulai dari orang udik yang datang ingin mengembalikan senjata yang baru saja dipakai untuk ngupas ketupat. Senjata itu diambil dari hansip yang semalam tertidur. Kemudian muncul beberapa wanita dan orang tua, kedua hansip itu terlibat perbincangan dengan mereka yang ingin bertemu dengan Bupati. Kedua hansip itu berusaha menghalangi mereka yang ingin bertemu dengan pak Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Orang udik : Kami hanya ingin bertemu dengan Bapak, jangan pukul kami. Hansip I : Dul sini Dul. Matamu itu sih yang bikin mereka curiga. BEBERAPA WANITA DENGAN TAKUT-TAKUT MAJU. Wanita I : Jangan pukul kami pak. Wanita II : Kami hanya ingin bertemu dengan Pak Bupati. WanitaIII : Sejak kapan Bapak tidak boleh ditemui, tidak ada begitu bukan? Lantas kenapa kawan kami ditembak?( Putu Wijaya, 1993 : 8) Berangkat dari peristiwa ini alur semakin maju dengan bertemunya orang-orang udik dan Bupati yang tanpa disengaja karena Pak Bupati sedang lari-lari pagi. Kemudian hansip dan orang-orang udik mengikuti Bupati yang sedang lari-lari. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 TERDENGAR SUARA BUPATI BERTERIAK. Haaaaah, DEKAT SEKALI Hansip I : (YANG DITENDANG) Kenapa pakai acara nendang? (MENDENGAR BUPATI TERIAK haaaah, DIA LANGSUNG IKUT) Haaah! Bupati : Memang betul (LARI-LARI KECIL MASUK) Rupanya memang harus pakai haaaah (BERTERIAK) Haaaah! Haaaaaaah! Begitu ya. Hansip I : Haaah! Bupati : Haaah! Orang-orang udik Bupati : Haaah! : Jadi sekaligus kotoran keluar. Pinter juga. (BERLARILARI DISEKITAR ITU) Hah! Tapi lama-lama jadi cepat lapar.( Putu Wijaya, 1993 : 13) b. Pertikaian Peristiwa terus maju, sampai mengalami pertikaian setelah kedatangan Kepala keluarga yang bertemu dengan pak Bupati secara langsung. Kepala keluarga dan Bupati sama-sama terkejut karena ternyata kedatangan orangorang udik yang sudah sejak tadi malam tidak diberitahukan hansip kepada Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Bupati : Saya minta maaf, apakah saudara-saudara semua ini ingin bertemu dengan saya? Kep keluarga : Kami juga minta maaf, Bapak ini Pak Bupati? Bupati : Betul. Saya Bupati. Saya baru tahu Ibu dan keluarga ibu sudah menunggu dari kemarin. Kep keluarga : Jadi tidak dikabarkan kepada Bapak, kami mau menghadap? Bupati : Tidak. Kep keluarga : Bapak Bohong!( Putu Wijaya, 1993 : 17) Situasi sedikit mereda setelah ada perbincangan langsung antara Kepala keluarga dan Bupati. Baru sebentar saja keadaan sudah kembali tak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 menentu karena salah satu orang udik dan wanita melaporkan bahwa mereka tadi dipukul dan mau ditembak oleh hansip. Kemudian Bupati mencoba menghukum kedua hansip itu. Kepala keluarga merasa tersinggung karena hansip berkata pada Bupati bahwa orang-orang udik ini jangan dikasih hati. Seperti pada nukilan berikut. Hansip : (BERBISIK) Orang-orang ini jangan terlalu dikasih hati Pak, nanti ngelonjak. Wanita : Kami tidak minta dikasih hati. Tidak kan Bu? Kep keluarga : Dikasih hati apa? Kami datang bukan untuk mengemis. Kami juga tidak perlu ditolong karena maksud kami bukan itu. Kami Cuma minta dijawab. Bupati : Dijawab bagaimana, pertanyaan saja dari tadi belum keluar. Ini kok seperti teka-teki silang. Praktis sedikit. Kep keluarga : Sebentar, sebentar. Saya memang sengaja dari tadi mengulur-ulur karena sengaja, agar Bapak memperhatikan dengan sungguh-sungguh pertanyaan kami. Sekarang sudah waktunya untuk berkata terus terang. Bupati : Memang, sejak tadi seharusnya sudah terus terang.(Putu Wijaya, 1993 : 22) Kepala keluarga merasa bahwa Bupati harus lebih memperhatikan apa yang dialami oleh orang-orang udik dan memperhatikan pertanyaan yang akan ditanyakan. Namun Bupati merasa bahwa Kepala keluarga hanya mengulurulur waktu saja tanpa langsung terus terang mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Pertikaian terus terjadi antara Buapti, Kepala keluarga, Orang-orang udik dan hansip yang ada disitu. Kepala keluarga yang mewakili orang-orang udik meminta jawaban atas apa yang telah mereka alami selama ini. Namun commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Bupati bingung mau menanggapi karena merasa dari tadi belum ada pertanyaan yang diajukan. c. Perumitan Ketegangan-ketegangan mulai terjadi dan persoalan mulai merumit dan gawat ketika muncul Ucok memimpin doa bersama orang-orang udik. Keadaan yang semakin merumit ini dimulai ketika Ucok berdoa mengucapkan kata-kata yang mengatakan bahwa keadaan di udik kian lama semakin ganjil, tak menentu dan tak pernah ujung jawaban dari permasalahan mereka. Kondisi psikologis, batin, dan fisik Ucok yang sudah tidak tahan menahan beban hidup yang menembas alam pikiran inilah yang kemudian memaksa Ucok untuk melakukan bunuh diri. Seperti terdapat dalam nukilan berikut. Ucok : Maafkan segala usaha kami ini. Kami bersumpah tidak ada dorongan lain yang mendesak kami untuk melakukan semua ini kecuali untuk mendapatkan penjelasan, sehingga kami tidak bimbang lagi melanjutkan kehidupan sehari-hari. Dan kini setelah menempuh perjalanan yang panjang sekali, kita sampai pada hari penentuan, untuk memutuskan apa selanjutnya yang masih bisa dikerjakan. Kami……. Ah! (MEMBANTING SESUATU) Aku sudah muak melakukan ini semua. Hasilnya akan sama saja, sama saja, tidak ada yang bisa menjawab. Hentikan! Hentikan sekarang, aku tidak kuat lagi, aku sudah, aku berangkat lebih dulu.(Putu Wijaya, 1993 : 23) Situasi semakin merumit ketika Mawar mencoba membantu kepala keluarga untuk meminjam baju dari para wanita, tetapi mereka tidak mengijinkan bajunya untuk dipinjam. Akhirnya mereka meminjam baju dari Bupati dan hansip-hansipnya. Dalam keadaan seperti itu para wanita dan orang-orang udik sempat melakukan tari-tarian dengan musik disco yang tidak jelas sehingga menambah kerumitan yang terjadi. Dari peristiwa itu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 kemudian amarah yang muncul dari tekanan batin yang dirasakan Ucok kembali meluap-luap dan melampiaskan amarahnya dan kemudian terjadi perdebatan antara Ucok dan Bupati. Seperti terlihat dalam nukilan berikut ini. Ucok : Apa jawaban Bapak. Berikan kami jawaban. Hansip : Jawab Pak. Bupati : Jawaban apa, apa yang harus dijawab? Ucok : Pertanyaan begitu banyak, mana jawabannya, sekarang! Nanti terlambat. Bupati : Lho pertanyaan apa? (KEPADA KEPALA KELUARGA) He, apa mereka sudah bertanya tadi?(Putu Wijaya, 1993 : 27) Semakin lama keadaan semakin merumit karena Bupati tidak paham dengan apa yang telah disampaikan oleh orang-orang udik. Padahal orangorang udik ini menunggu jawaban dari pemecahan persoalan yang mereka alami. Karena tak tahan dan tak puas dengan Bupati yang tidak memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dan Bupati hanya asal menjawab saja, kemudian kepala keluarga ikut melontarkan apa yang dirasakannya selama ini. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Kep keluarga : Sudah. Ya saya tahu, sudah semua. Kalau mereka mengerti dan bisa menjawab kami tidak akan menempuh ribuan kilometer kemari. Hansip I : Lah ribuan lagi. Hansip II : Orang dusun sebelah saja ngakunya ratusan kilometer. Bupati : (MENGGAMIT KEDUA HANSIP DAN MENDORONGNYA JAUH) Kamu pikir saja dulu, ini urusan jabatan. O jadi sudah, sudah? Kep keluarga : Kami sudah bertanya sesudah mencoba mengerti tapi tak habis-habis mengerti. Dan kami mencari orangorang yang pantas untuk ditanyai karena kami yakin makin lama makin banyak yang tidak bisa kami jawab sendiri yang memerlukan ahli-ahli. Seperti tukang tahu, tukang gado-gado, tukang liastrik, dukun, mantra, guru sekolah, bahkan juga camat dan dokter. Seperti Bapak, kami juga membuka hati kami lebar-lebar sampai robek, karena ingin penjelasan. Tapi apa? Apa yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 terjadi? Apa yang terjadi selama ini? Setelah duit kami, rumah kami, harta kami ludes sampai kesawah dan tabungan kami habis. Apa makna semua ini? Ini terlalu berat buat kami! Dan kenapa hanya kami, kami yang dicecer? (MENGGAPAI SAKIT).( Putu Wijaya, 1993 : 31) Setelah keadaan menjadi semakin rumit dan Kepala keluarga sakit kemudian muncul Mantri yang didaerah udik bertugas seperti seorang dokter. Terjadi perbincangan yang cukup menarik antara Bupati dan Mantri tentang berbagai permasalahan yang terjadi di udik. Tapi lama kelamaan Mantri juga merasakan bahwa ternyata ada jarak yang begitu lebar antara Bupati dengan warganya. Padahal seharusnya antara pemimpin dan rakyatnya harus bisa bersatu padu dan berdiri bersama berdampingan menyelesaikan persoalanpersoalan yang ada. Seperti nukilan berikut. Bupati : Simanakitu Bak eh maaf, maaf. Pertanyaan yang mana? Kep keluarga : Pertanyaan yang mana? Pertanyaan Bapak hanya membuat hati saya tambah berdarah. Mantri : (SEMBARI MENANGIS) Jadi anda juga cuma sebegitu saja? Apa yang menyebabkan anda sudah berdiri sebegitu tinggi. Begitu tinggi sehingga kalau kita bicara saya harus mengangkat muka dan menjinjitkan kata-kata saya? Siapa yang sudah menempatkan kamu dalam posisi ujung tombak kami, sementara kami tetap kelaparan dan tak bisa menatap ujung hidungmu yang tak pasti arahnya itu. Kamu semua sama saja. Kamu hanya tembok-tembok penghalang yang menghalangi kami mengalir deras ke sumber kami yang tertinggi dimana ada jawaban. Kamu bending kami, kamu haling-halangi kamidengan segala pelayanan kamu yang manis sambil membunh kami perlahan-lahan di tengah jalan seperti…. Kep keluarga : Cukup!( Putu Wijaya, 1993 : 34) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 d. Puncak Peristiwa dalam naskah lakon Aum ini mengalami puncaknya dimulai dari konflik antara Bupati dan Kepala keluarga. Konflik antara Bupati dan Kepala keluarga terjadi karena kepala keluarga mendesak dengan berbagai pertanyaan dari permasalahan ketidaklaziman yang dialami warganya. Konflik pertama dimulai dari ketidaktahuan Bupati terhadap apa yang selama ini dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Padahal mereka sudah menghadap dan berada dihadapan Bupati, tetapi Bupati tetap saja tidak memperhatikan apa yang terjadi. Seperti nukilan dibawah ini. Kep keluarga : Dulu. Dulu bertahun-tahun yang lalu ini memang salah satu dari pertanyaan kami yang nomor sekian. Dulu Pak. Sebagian bukan pertanyaan lagi, meskipun bagi Bapak memang pertanyaan. Ini hanya salah satu contoh saja bagaimana luka dalam batin kami karena terbawa setiap hari dan dikalahkan oleh luka-luka baru menjadi bagian dari perlengkapan kami yang sengaja kami lupa-lupakan. Pertanyaa ini sudah terlalu besar dan menutup mata kami semua, bagaimana mungkin kami memandangya lagi. Mata Bapak masih terbuka. Mata bapak-bapak hansip itu juga sebetulnya masih terbuka, tapi saya lihat dari tadi tak seorangpun yang benar-benar melihat apa sebenarnya yang ada disini. Yang ada pada lelaki-lelaki kami disini. Perhatikan perut mereka semuanya! (MEMERINTAH) Buka perut kamu semua.( Putu Wijaya, 1993 : 37) Kepala keluarga merasa bahwa Bupati dan hansip-hansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang dialami oleh lelaki yang ada di udik. Para lelaki semuanya hamil dan itu merupakan bagian dari sifat kepahlawanan mereka terhadap keluarga. Hal itu merupakan pertanyaan yang ada sejak dulu dan selalu bertambah oleh luka-luka baru yang muncul seiring dari tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 perhatiannya penguasa terhadap apa yang dialami oleh rakyatnya. Tetapi hal itu tetap menjadi sebuah pertanyaan bagi Bupati. Kepala keluarga datang kepada Bupati hanya untuk meminta perlindungan dan jawaban pemecahan masalah dari persoalan yang selama ini semakin menjejali orang-orang udik. Kepala keluarga semakin menjejali dengan berbagai pertanyaan dan mengatakan bahwa banyak beribu-ribu orang pemimpin hanya asal menjawab saja semua keluhan yang diutarakan oleh rakyatnya tanpa memahami betul apa pangkal dari persoalan yang ada. Seperti nukilan berikut. Kep keluarga : Saya datang kemari seperti mereka juga, meminta perlindungan. Bupati : Itu memang sudah pekerjaan saya, jangan khawatir. Kep keluarga: Dan Bapak sudah menjawab apa yang mereka tanyakan, karena Bapak terpaksa harus menjawab demi jawaban Bapak. Bupati : Tidak. Kep keluarga : Pasti. Saya kenal beribu-ribu orang seperti Bapak dan semuanya sama. Bupati : Tidak keliru. Kep keluarga :Jangan bohong! Saya tahu semua!(Putu Wijaya, 1993 38) Dimulai dari peristiwa-peristiwa inilah keadaan memuncak karena Bupati merasa diremehkan dan disamakan dengan para pemimpin yang lain yang hanya menjawab berbagai persoalan yang dialami rakyatnya dengan asal jawaban saja. Bupati menjadi marah dengan ucapan Kepala keluarga diatas dan keadaanpun menjadi semakin memuncak. Berbagai desakan pengaduan yang tidak bisa dijawab oleh Bupati menyebabkan ia menuduh balik bahwa commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 Kepala keluarga telah berusaha merusak metabolisme iklim yang sudah terbangun. Seperti nukilan berikut. Bupati : Aku belum menjawab! Jangan disangka setiap mulut ini terbuka sudah menjawab. Dan jangan mengira setiap orang harus mengikuti logika yang sudah kamu bangun dengan penuh prasangka sejak sebelum matamu melotot disini. Kamu sudah keliru tai kucing! Sekarang aku marah. Aku Bupati disini, aku akan jawab sekarang dengan terus terang bukan sebagai Bupati, tetapi sebagai manusia persis seperti kamu. Apa gunanya aku lari pagi ha-hu-ha-hu setiap hari tiga ratus putaran kalau bukan untuk mengamat-amati dan menyadarkan diriku bahwa aku berdarah, berkulit yang sama ringkihnya dengan kamu. Dengan kamu tai kucing!(Putu Wijaya, 1993 : 39) Peristiwa ini membuat keadaan semakin tambah memuncak karena Kepala keluarga terus saja mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang semakin menyudutkan Bupati. Bupati dan hansip-hansipnya semakin merasa kebingungan dengan berbagai pertanyaan yang terus saja keluar dari Kepala keluarga yang memimpin rombongan orang-orang udik. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang-orang udik ini sangat banyak dan kian hari klian bertambah, tetapi Bupati menganggap bahwa itu hanyalah persoalan biasa yang dilebih-lebihkan oleh Kepala keluarga. Satu demi satu orang-orang udik mulai berteriak-teriak menyuarakan apa yang selama ini mereka alami. Peristiwa itu dimulai dari Mawar yang sudah tidak kuat menahan sakit dan penderitaan yang selama ini ia alami. Seperti nukilan berikut. Mawar : (IA MEMELUK BUNGKUSAN PUTIH ITU) Apa ini Yang Mulia, apa yang Kau titipkan dari makhluk ini di antara kampung kami yang damai, melebihi karunia-Mu yang lainlain diantara lambaian daun nyiur dan gosokan lalang dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 bunyi kodok setiap malam ditengah sawah. Kemana arah-Mu bergerak sekarang memutar ciptaan-Mu yang tetap milik-Mu dari dulu sampai sekarang. Beri kami penjelasan! (MEMELUK BUNGKUSAN DAN MENCAKAR-CAKAR). (Putu Wijaya, 1993 : 44) Ucok merasakan bahwa ia sudah tidak kuat menahan beban yang selama ini ia alami. Ia ingin segera menghadap kepada Tuhan dan menyampaikan secara langsung apa yang ia alami selama ini. Seperti nukilan berikut. Ucok : Bunuh kami semua sekrang kalau kau tak mau membuka misteri yang kau tebarkan sepanjang jalan yang bercabang berliku-liku sepanjang hidup kami yang kumuh dan mengejek makin keras setiap hari. Bendera kami melambai diatas kuburan yang melebar didesa yang tandus dan penuh dengan anak-anak yang membuka moncongnya sebagai setan yang putus asa. Kalau akhirnya Kau akan memasukkan kami kedalam got mapet supaya kami menghirup bau kami sendiri, sudah cukup, sudah lebih dari cukup, bunuh kami sekarang!(Putu Wijaya, 1993 : 44) Salah satu dari orang udik juga merasakan malu terhadap apa yang ia alami selama ini. Ia merasa malu terhadap anak-anaknya dan semua orang karena alat kelaminnya lama-kelamaan berubah menjadi bencong dan ia tak lagi punya malu tetapi memiliki nafsu seperti kebo. Ia juga ingin segera mengakhiri hidupnya. Seperti nukilan berikut. Orang udik : Aduh biungggggggg, sakitttttttt. Keburaman yang sakit, pertanyaan-pertanyaan yang menggepengkan dan merusak tapi merayap perlahan-lahan seperti ingin menonton gigiku copot satu-satu, menyaksikan dengan cekikikan alat kelaminku berubah menjadi bencong dari hari kehari sehingga anak-anakku sendiri jijik melihat kehadiranku yang mereka anggap tak bermalu tapi bernafsu seperti kebo, memaksakan zaman menerima bulu-bulu dan bau badanku yang mengotori udara sepanjang hari.( Putu Wijaya, 1993 : 45) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 Pada peristiwa ini terjadi ketegangan yang luar biasa karena setiap orang udik mulai dari mawar sampai salah satu dari orang udik ingin segera mengakhiri hidupnya dan menanyakan langsung kepada Tuhan yang maha kuasa tentang perihal yang mereka alami selama ini. e. Peleraian Peristiwa menginjak pada peleraian setelah semua orang berteriak- teriak tak karuan meneriakkan apa yang selama ini mereka alami. Kemudian terdengar bunyi gong dan suasana menjadi sunyi senyap. Kemudian Kepala keluarga mengatakan kepada Bupati bahwa ia sudah tidak bisa lagi menguasai mereka. Seperti terlihat pada nukilan berikut. TERDENGAR BUNYI GONG, SEMUA JADI SUNYI Kep keluarga : Bapak Bupati yang saya hormati, mohon ampun beribu-ribu ampun, saya tak bisa lagi menguasai mereka. Hansip II : Pak Bupati tak ada disini. Kep keluarga : Sama saja ada atau tidak ada harus bicara dan menjawabnya tak perlu lagi dari Bapak. Aku memimpin mereka bertahun-tahun. Aku bujuk mereka untuk menempuh jalur yang sudah kita setujui bersama ini. Meskipun dengan hati tertekan mereka sudah sampai kemari didepan Bapak. (Putu Wijaya, 1993 : 46) Walaupun hansip mengatakan bahwa Bupati tidak ada, tetapi tetap saja Kepala keluarga berbicara kepada Bupati bahwa mereka telah berusaha menyelesaikan persoalan yang mereka alami. Mereka juga telah menyampaikannya kepada Bupati. Tetapi mereka semua ingin segera mengakhiri hidup mereka untuk menghadap dan menyampaikan secara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 langsung kepada Tuhan tentang perihal yang mereka alami selama ini. Seperti terlihat pada nukilanberikut. Hansip II : Tidak ada Bapak disini. Kep keluarga : Di depan Bapak. Dan Bapak lihat sendiri bagaimana mereka telah berusaha, kami telah berusaha dan aku telah bekerja matia-matian. Jadi jangan nanti mengatakan kami tidak berusaha. Sekarang ijinkan kami menempuh jalan kami sendiri langsung kehadapan-Nya menanyakan ini semua.( Putu Wijaya, 1993 : 46) f. Akhir Peristiwa ini berakhir ketika Kepala keluarga mulai melakukan sembahyang menghadap kepada Tuhan dan mengungkapkan semua yang telah dialami dan semua orang udik yang dipimpinnya. Kepala keluarga dan orang-orang udik yang ia pimpin bertekad untuk menghadap langsung kepada Tuhan untuk menanyakan perihal yang telah mereka alami selama ini. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Kep keluarga : (MELAKUKAN SEMBAHYANG MENURUT AGAMANYA) Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Pencipta kami, Yang Maha Agung Yang selalu kami Mulyakan, Tuhan kami Yang Maha Esa kami sujud di kaki-Mu dan mohon maaf serta ampunan-Mu. Kami berdiri disini dengan sisa-sisa kekuatan kami dan menggapai-Mu dengan lidah kami yang sudah berkarat. Barangkali kata-kata kami tak ada tenaganya lagi karena kami sebenarnya hamper lumpuh disini ditindas oleh penyerahan kami kepada-Mu, sedikitpun kami tidak pernah berpaling dari-Mu, karena dimana saja selalu kami dengar detakMu mengikuti waktu bergulir. Namun itu semua tidak pula melumpuhkan hasrat kami untuk bertanya hasrat yang mestinya juga merupakan karunia-Mu kepada kami. Ribuan, jutaan, bermilyar-milyar pertanyaan dalam bongkah kecil dan paket-paket raksasa telah sesak disini menghimpit kami mengalir setiap waktu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 Tak satupun yang benar-benar telah terjawab. Dokterdokter kami, professor kami, para cendekiawan, pemimpin-pemimpin redaksi, tokoh-tokoh masyarakat, para pejabat, bahkan juga orang-orang pinter kami yang arif dan bijaksana telah mencoba menjelaskan dengan segala upaya mulut mereka. Tapi semua itu ternyata belum memuaskan. Itulah sebabnya hari ini bagaikan orang murtad, bagai pemberontak dan pembangkang aku langsung mengetuk gerbang-Mu dan menanyakan langsung: Satu, Kenapa kelebatan sinar-Mu tidak sama besarnya dihati kami sehingga kami berkelahi sepanjang zaman. Dua. Dua a- Apa maksudmu yang sebenarnya. Dua b- Berapa lama semua ini akan berjalan seperti ini dalam kurung seorang anak pernah bertanya apakah Kamu benar-benar netral atau berpihak? Dan tiga pertanyaan yang terakhir, apa artinya segala yang mokal-mokal itu? (MENUNJUK KEBELAKANG KEARAH BUNGKUSAN PUTIH). (Putu Wijaya, 1993 : 47) Setelah semuanya siap kemudian salah satu dari orang udik itu membunyikan gong lalu kemudian bungkusan putih yang ada diturunkan dan dibuka, ternyata berisikan makhluk ajaib. Yaitu seorang manusia yang bertangan ribuan. Sekali lagi Kepala Keluarga meyakinkan orang-orang udik yang dipimpinya untuk segera menghunus kerisnya dan bersiap-siap melakukan bunuh diri agar supaya langsung bisa bertemu dan menghadap Tuhan untuk menanyakan perihal yang selama ini mereka alami. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Kep keluarga : Hunus kerismu anak-anak! (SEMUA BERJAJAR DAN MEMEGANG KAIN PUTIH YANG TADI MEMBUNGKUS PETI) POSISI NENEK PALING DEPAN MENGHUNUS KERIS. SEMENTARA DIBELAKANGNYA DALAM SATU GARIS LURUS ORANG-ORANG UDIK ITU MEMEGANG KAIN PUTIH YANG MERENTANG BAGAI DINDING PANJANG, MEREKA JUGA MENGHUNUS KERIS MEREKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 Kep keluarga : Tuhan Seru Sekalian Alam, kini kami menanti jawaban-Mu. Ujung keris ini telah lama kami simpan. Apabila Kau pun tidak menjawab atau memberikan jawaban yang tidak menyalakan sesuatu yang terang dihati kami, izinkan kami mengakhiri perjalanan yang Kamu karuniakan ini, secara serentak, hari ini juga. Waktu yang kami berikan hanya sepuluh kali ketukan. Sesudah itu kami akan bunuh diri rame-rame. Satu…..(Putu Wijaya, 1993 : 48) Setelah itu semuanya dalam posisi bunuh diri dan Kepala Keluarga terus saja menghitung satu persatu dari satu sampai sepuluh. Walaupun diselasela hitungan itu Bupati terus berbicara dan mengatakan bahwa ini hanya kepentingan satu orang yang banyak menyeret orang-orang lain yang tidak tahu apa-apa. Bupati berusaha meyakinkan bahwa ini semua tidak aka nada gunanya. Tetapi Kepala keluarga dan orang-orang udik sudah bertekad untuk bunuh diri ramai-ramai agar bisa langsung bertemu dan menghadap Tuhan untuk menyampaikan apa yang mereka alami selama ini. Pada akhirnya sampai pada hitungan kesepuluh mereka bunuh diri dengan menusukkan keris mereka kedalam tubuhnya masing-masing. Alur dalam naskah lakon Aum ini menggunakan alur rapat. Artinya jalinan peristiwa yang sangat padu dlam sebuah karya, kalu peristiwa atau kejadian dihilangkan maka keutuhan cerita akan terganggu. Menurut sifatnya, dapat dikatakan sebagai alur maju atau alur progresif, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang berurutan dan berkesinambungan, secara kronologis dari tahap awal sampai akhir didasarkan pada pendapat Soediro Satoto (h. 53). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 2. Latar a. Aspek Tempat dan Ruang Peristiwa dalam naskah lakon Aum terjadi di depan rumah Bupati. Lebih jelasnya gambaran mengenai setting ruang lakon ini secara rinci dideskrepsikan pada awal lakon. “….SEJUMLAH ORANG TIDUR DI DEPAN RUMAH PAK BUPATI MEREKA TAK MAU BERGERAKSEJENGKALPUN, SEBELUM BUPATI MENERIMA KEHADIRAN MEREKA. MEREKA TELAH TEGAK DISANA SEJAK TADI SIANG.” (Putu Wijaya, 1993 : 1) Dari penjelasan diatas tersurat bahwa peristiwa dalam naskah lakon ini terjadi atau bertempat di kediaman Bupati. b. Aspek Waktu Peristiwa dalam naskah lakon Aum di dalam naskahnya tidak dijelaskan secara jelas kapan waktu kejadiannya. Hanya pada penjelasan cerita awalnya terdapat cakapan sebagai berikut. “SUBUH TURUN LAGI KE BUMI. SEORANG HANSIP YANG MASIH SEGER MUNCUL UNTUK MENGGANTIKAN REKANNYA YANG TELAH SEMALAMAN SUNTUK BERJAGA-JAGA DI RUMAH BUPATI”. (Putu Wijaya, 1993 : 1) Dari cakapan diatas dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi dalam naskah lakon Aum terjadi pada pagi hari sekitar waktu subuh. Hal yang menunjukkan waktu kejadian lain dalam peristiwa pada naskah lakon Aum ini juga terdapat dalam dialog Bupati sebagai berikut. Bupati : (MELIHAT JAM) Belum, sekarang belum jam tujuh. Tapi tanpa bermaksud untuk menjawab, kalau boleh ikut campur inilah pendapat saya. Ingat hanya pendapat. Kamu semua sudah merusak metabolism iklim yang sedang membaik. Karena kamu sudah terlalu banyak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 bertanya, terlalu banyak mengharapkan orang lain untuk menolongmu, meskipun itu semua juga cukup menjelaskan bahwa kamu semua juga rakyat biasa, seperti saya.(Putu Wijaya, 1993 : 50) Dari dialog diatas menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi menunjuk aspek waktu pagi seperti yang dinyatakan Bupati bahwa sekarang belum jam tujuh. c. Aspek Suasana Aspek suasana dalam cerita lakon ini dapat ditangkap dari keteranganketerangan dan dialog tokohnya. Pada prinsipnya aspek suasana dalam cerita lakon ini adalah kondisi kesakitan yang dialami oleh orang-orang udik dilihat dari berbagai segi dan pertanyaan dari kejadian yang mereka alami dan tak bisa mereka jawab sehingga Nampak peristiwa yang dirasakan dari aspek suasana adalah kondisi ketertindihan, jeritan, haru, kesedihan, dan keputusasaan. Kondisi kesakitan yang dalam bisa dilihat dari dialog-dialog tokohnya, antara lain dialog orang udik sebagai berikut. Orang udik : Aduhhhh biungggg, sakittttt, keburaman yang sakit, pertanyaan-pertanyaan yang menggepengkan dan merusak, tapi merayap perlahan-lahanseperti ingin menonton gigiku copot satu-satu, menyaksikan dengan cekikikan alat kelaminku berubah menjadi bencong dari hari keharisehingga anakanakku sendiri jijik melihat kehadiranku yang mereka anggap tak bermalu tapi bernafsu seperti kebo, memaksakan zaman menerima bulu-bulu dan bau badanku yang mengotori udara sepanjang hari.(Putu Wijaya, 1993 : 45) Kondisi suasana yang muncul dapat dilihat dari dialog orang udik yang memperlihatkan kondisi kesakitan fisik, batin, dan mentalnya yang sangat luar biasa, bagaimana anak-anaknya sendiri jijik melihat kehadirannya karena lama kelamaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 berubah menjadi bencong dan bisa melahirkan. Kondisi kesedihan yang dalam juga bisa dilihat dari dialog tokoh Mawar seperti berikut. Mawar : Kadangkala malunya datang lagi, padahal ini sudah bukan waktunya lagi malu-malu. Dulu barangkali, ketika kami mula-mula disandingkan sebagai mempelai. Saya memakai kain tenunan kuning dengan bunga emas di kepala. Dan dia membawa keris pusaka keluarga serta kumis tebal dan jantan sekali dibawah hidungnya. Tapi kebahagiaan cinta memang tak pernah lama. Karena tatkala saya melirik dia dengan begitu gagahnya didepan ribuan tamu yang menjenguk dengan puji-pujian, saya lihat-saya lihat. Ya Tuhan akan bertiup kemana takdir ini membawa nasib kita semua. Saya lihat gelembung gelembung udara yang besar dan tubuhnya jadi bengkak, saya melihat aib yang disoraki oleh ribuan mulut waktu itu juga. Saya nyaris, saya nyaris. Ibuuuu aku tidak kuat lagi. Apa gunanya semua pertanyaan ini lagi. Selesaikan sekarang ibuuuuuuu (DIA MENCOPOTI BUSANANYA) (Putu Wijaya, 1993 : 34) 3. Tikaian dan Konflik Di dalam naskah lakon ini terdapat tikaian dan konflik sebagai berikut. a. Konflik pertama; terjadi antara hansip dan orang udik. Berisikan kecurigaan, hansip mencurigai orang udik membawa pisau yang dianggap mengancam keamanan, sehingga hansip memukul orang udik. b. Konflik kedua; terjadi antara Bupati dan hansip. Bupati marah karena hansip-hansip dirasa tidak becus menjaga stabilitas rumah Bupati dan kalau terbukti bersalah akan dicopot dan diganti jabatannya. c. Konflik ketiga; terjadi saat Ucok berdoa. Saat berdoa Ucok dirundung persoalan psikologis yang menusuk jiwanya. Ucok membanting sesuatu karena bosan dan muak melakukan semua ini, ia merasa hasilnya akan siacommit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 sia dan sama saja. Ekspresi kemarahan Ucok ini mengakibatkan terjadinya reaksi dari semua tokoh untuk bergerak dan berusaha menghentikan kemarahan Ucok. d. Konflik keempat; terjadi antara Bupati dan Kepala keluarga. Konflik yang terjadi antara keduanya disebabkan karena Kepala keluarga mendesak dengan berbagai permasalahan dari ketidaklaziman yang terjadi dan dialami warganya. Berbagai desakan pengaduan yang tidak bisa dijawab Bupati menyebabkan Bupati menuduh balik Kepala keluarga telah berusaha merusak metabolism iklim yang selama ini sudah terbangun dan membaik. e. Konflik kelima; terjadi antara Kepala keluarga dengan Tuhan. Setelah Kepala keluarga merasa Bupati tidak bisa menjawab ketidaklaziman kejadian yang menimpa orang-orang udik. Kepala keluarga mengajak untuk lengsung menanyakannya kepada Tuhan dengan cara bunuh diri. 4. Cakapan Cakapan dalam naskah lakon Aum apabila diamati kalimat yang dipergunakan dalam naskah lakon ini sangat proporsional. Panjang pendeknya kalimat dan cakapancakapan para tokohnya sangat diperhitungkan penggunaanya. Sehingga tidak akan merusak jalinan tempo naskah dan juga tempo pementasan apabila diangkat menjadi pertunjukan dalam sebuah panggung. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 Diksi yang terjalin antara kalimat terkesan lucu, aneh, dan kadangkala sering tidak masuk akal yang bertujuan untuk mengagetkan, menarik perhatian, mengganggu, dan meneror para pembaca agar berfikir dan mengingat kembali bahwa dia itu manusia dan bukan alat. Kalimat yang terjalin memiliki rasa kegemberiaan, harapan, duka, kepedihan, cinta, dan kebahagiaan. 5. Tema dan Amanat Tema dalam naskah lakon ini dinyatakan secara simbolik. Dilihat dari judulnya, Aum kita sudah bisa membayangkan apa yang ada dalam naskah lakon itu. Aum merupakan jeritan dari ketertindasan masyarakat kalangan bawah dalam mengarungi kehidupan. Benturan-benturan yang dialami masyarakat kalangan bawah terasa sangat mencekik dan menyayat. Naskah lakon ini berusaha mendobrak kemapanan yang selama ini terjadi, dimana pemimpin yang hidupnya makmur selalu berusaha mempertahankan kemakmurannya dengan tidak memperhatikan masyarakat yang lainnya yang tidak bisa merasakan kemakmuran seperti yang dirasakannya. Sementara yang hidupnya tertindas terpaksa harus terpinggirkan dan tidak pernah diberi kesempatan untuk bisa memperbaiki kehidupannya. Cerita dalam naskah lakon ini mengisahkan tentang perjalanan sekelompok orang udik menuju rumah Bupati untuk mengadukan permasalahan-permasalahan yang selama ini selalu menyelimuti mereka dan tidak bisa mereka pecahkan sendiri. Bahkan mereka sudah berusaha dengan bertanya kemana-mana tapi tetap juga tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 ada yang bisa menjawab. Akhirnya mereka datang menghadap Bupati yang mereka rasa bisa untuk membantu menjawab segala pertanyaan mereka. Tapi dalam kenyataannya Bupati juga tidak bisa menjawab dan kebingungan menghadapi rentetan pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang udik. Dari kejadian itu kemudian menimbulkan cekcok yang sangat panjang antara orang-orang udik dengan Bupati dan kedua hansipnya. Akhirnya sekelompok orang-orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga memutuskan untuk menanyakan langsung permasalahan mereka kepada Tuhan dengan jalan bunuh diri secara masal agar bisa langsung bertemu dan menanyakan permasalahan mereka kepada Tuhan. Amanat mempunyai sifat umum dan subjektif. Ini tergantung dari para pembaca dalam menafsirkan isi karya sastra. Juga dikarenakan pandangan yang tidak sama dalam menghadapi permasalahan yang dihadirkan oleh pengarang lewat karyanya tersebut. sehingga antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lain akan mempunyai interpretasi yang berbeda-beda. Amanat yang hendak disampaikan pengarang dalam naskah lakon Aum ini adalah sindiran yang ditujukan kepada para pemimpin bangsa yang tidak peduli pada nasib kaum bawah yang selalu terpinggirkan. Sebagai pemimpin bangsa yang dipercaya oleh rakyat, seharusnya mereka berusaha memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, mengentaskan rakyat yang sengsara dan juga melakukan pembenahan dalam berbagai sistem kehidupan guna menuju kehidupan yang lebih baik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 Melalui naskah lakon ini pengarang ingin menggugah kesadaran para pemimpin bangsa bahwa keadaan yang mereka gembar-gemborkan selama ini bahwa rakyat Indonesia telah menjadi masyarakat yang adil dan makmur ternyata tidak seluruhnya benar. Masih banyak rakyat kecil yang tidak pernah menikmati arti dari keadilan dan kemakmuran. B. ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA Problem-problem Sosial dalam Naskah Lakon “Aum” karya Putu Wijaya Kaum marginal adalah bagian dari masyarakat yang dianggap memiliki kekurangan secara fisik, sosial, ataupun ekonomi, dan keberadaannya cenderung dipandang dengan sebelah mata. Di negara Indonesia masih banyak penduduk yang belum bisa merasakan kemerdekaan sebagai warga negara Indonesia, akibat dari faktor keterasingan dan termarginalisasi. Dalam kehidupan sehari-hari kaum marginal merupakan warga yang terabaikan kepentingannya. Di antara mereka bahkan diperas tenaga dan masa depannya tanpa diimbangi imbalan penghasilan yang sepadan. Kelompok masyarakat marginal tidak hanya terjadi di daerah terpencil atau pinggiran, tetapi juga muncul di perkotaan karena adanya kesenjangan sosial yang ada di kelompok masyarakat perkotaan. Kesenjangan ini muncul karena adanya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 diskriminasi ekonomi dan politik di antara kelompok masyarakat yang hidup di perkotaan. Terpinggirkannya sebuah daerah atau kelompok masyarakat merupakan salah satu faktor munculnya permasalahan-permasalahan sosial. Kehidupan perkotaan dengan segala aspek dan dinamikanya, oleh sebagian masyarakat seringkali dianggap sebagai cermin dari sebuah dunia yang penuh impian, yakni dunia di mana kehidupan seseorang dimungkinkan untuk dapat dengan mudah memiliki tingkat penghidupan yang lebih layak. Anggapan seperti itu, terutama dimiliki oleh masyarakat dengan latar belakang pengetahuan dan wawasan hidup yang terbatas. Masyarakat desa yang dalam hal informasi lebih terbelakang dibanding masyarakat kota, seringkali diidentifikasikan sebagai masyarakat yang memiliki anggapan demikian itu. Hal ini dibuktikan dengan derasnya proses mobilisasi yang dilakukan masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi). Terjadinya proses mobilisasi tersebut pada akhirnya akan menciptakan suatu kondisi sosial yang mengarah pada terciptanya problem masyarakat, misalnya kepadatan penduduk, sempitnya lahan pekerjaan dan pemukiman, kriminalitas, serta problem-problem lain yang memberi pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat, terutama kehidupan sosial masyarakat perkotaan yang menjadi objek berlangsungnya proses urbanisasi tersebut. Secara sosiologis, latar belakang yang mengungkapkan ciri-ciri kaum marginal sebagai suatu bentuk masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat yang dipenuhi dengan jumlah pengangguran dan tenaga produktif yang tidak memiliki kesempatan untuk turut andil dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 akhirnya akan memicu timbulnya suatu kesenjangan sosial yang berpotensi memunculkan gangguan terhadap stabilitas masyarakat yang ideal. Yakni masyarakat yang aman serta tertib secara hukum, makmur, dan berkeadilan. Dengan mempelajari segala masalah-masalah sosial kehidupan, kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya masing-masing. Kecenderungan kaum marginal untuk mengalami suatu gangguan dan bahkan menjadi faktor pemicu rusaknya stabilitas kehidupan dalam masyarakat, ditampilkan dalam naskah lakon Aum. Seperti, kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Tokoh utama dalam naskah lakon tersebut, yaitu Bupati, Kepala keluarga, dan Ucok. Bupati merupakan cerminan dari penguasa, sedangkan Kepala keluarga dan Ucok merupakan cerminan dari masyarakat kalangan bawah yang berusaha untuk menyampaikan permasalahan yang mereka alami. Namun kenyataannya mereka tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan sesuai dengn harapa mereka. Segala macam peraturan yang dijalankan oleh oknum-oknum aparat dan penguasa pada akhirnya membuat rombongan orang-orng Udik berperilaku menyimpang dan penuh dengan ancaman untuk bunuh diri dan menanyakan langsung permasalahan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal itulah yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya dalam naskah lakon Aum ini. Berdasarkan uraian diatas, dalam kesempatan ini penulis akan menganalisis kritik sosial yang digambarkan dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 khususnya yang menyoroti masalah kekuasaan, penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. a. Kekuasaan. Dalam dunia politik banyak orang saling berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan. untuk Berbagai cara mereka gunakan untuk dapat menduduki kursi kekuasaan. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan mengobral janji-janji yang menggiurkan kepada rakyat. Tetapi ketika tampuk jabatan kepemimpinan sudah didapatkan, kebanyakan mereka melupakan rakyat dan janji-janjinya. Dengan memperoleh kekuasaan itu orang yang berkuasa dapat menentukan kebijakan-kebijakan apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan kalau para penguasa lebih berorientasi kepada kepentingan untuk lebih berkuasa daripada memikirkan kepentingan rakyat. Para penguasa lebih berperan sebagai alat untuk melegitimasikan kekuasaan pemerintah ketimbang memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat terutama yang menyangkut nasib rakyat kecil jarang menjadi agenda pembahasan para penguasa tersebut. Penguasa jarang sekali memperhatikan setiap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Ketika rakyat berusaha untuk mengadukan setiap commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 permasalahan yang mereka alami, para pemimpin kebingungan karena mereka tidak pernah memperhatikan kejadian yang terjadi di masyarakat. Putu Wijaya berusaha mengungkap tentang penguasa yang tidak memperhatikan keadaan yang dialami oleh rakyatnya. Wanita : Kami tidak minta dikasih hati. Tidak kan Bu? Kep keluarga : Dikasih hati apa? Kami datang bukan untuk mengemis. Kami juga tidak perlu ditolong karena maksud kami bukan itu. Kami cuma minta dijawab. Bupati : Dijawab bagaimana, pertanyaannya saja dari tadi belum keluar. Ini kok seperti teka-teki silang. Praktis sedikit. Kep keluarga : Sebentar, sebentar. Saya memang sengaja dari tadi mengulur-ulur karena sengaja, agar bapak memperhatikan sungguh-sungguh pertanyaan kami. Sekarang sudah waktunya untuk berkata terus terang. (Putu Wijaya, 1992: 22) Bupati langsung berhadapan dengan Kepala keluarga yang merupakan pimpinan dari rombongan orang-orang udik yang datang untuk meminta penjelasan dari permasalahan yang mereka alami selama ini merasa kebingungan. Hal itu dikarenakan Bupati menganggap bahwa Kepala keluarga berusaha mengulur-ulur waktu agar bupati memperhatikan dengan sungguhsungguh setiap pertanyaan yang akan ditanyakan oleh rombongan orang-orang udik itu. Hal itu dilakukan oleh Kepala keluarga dengan maksud supaya bupati sebagai penguasa memperhatikan denagn seksama kejadian yang dialami oleh rakyatnya. Dalam kenyataannya Bupati kebingungan, padahal seharusnya sebagai pemimpin ia harus tahu apa yang akan dilakukan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang tengah dialami oleh commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 rakyatnya. Apa yang dilakukan oleh Kepala keluarga merupakan pengaduan dari rakyat kepada pemimpinnya, karena rakyat selama ini sudah sangat menderita karena para penguasa tidak memperhatikan kejadian apa saja yang terjadi dimasyarakat. Jeritan ketertindasan kaum bawah tersebut dilukiskan oleh Putu Wijaya dalam naskah nukilan berikut ini. Ucok : Kekuasaan yang menghimpit kita, sudah tidak mau lagi memberikan jawaban darimana asalnya kenapa dia datang dan apa tujuannya. Kita terpaku terus ditembok yang rapuh, bergerak sedikit seluruh alam ikut bergetar dan batu-batu yang keras makin banyak berjatuhan melukai tubuh kita yang bukan milik kita lagi. Seluruh umat manusia menjadi mayat-mayat berjalan dan didalam kuburan yang besar ini kejujuran akan menjadi senjata-senjata yang membunuh diri kita sendiri. Tinggalkan, tinggalkan balon yang penuh baksil ini. Tak ada harapan, tak ada sedikitpun harapan, tinggal hanya kerakkerak…….. (MENYANYIKAN SESUATU) Ibuuuuuuuuu, ibu pertiwi tolonglah kami buka kembali rahimmu, Bapak Bupatiiiiiiiiiii! (Putu Wijaya, 1992: 27) Dari dialog yang diucapkan oleh tokoh Ucok yang merupakan salah satu dari orang udik tersebut menggambarkan bahwa keberadaan kaum bawah sudah tidak lagi dianggap. Mereka hanya ditindas oleh penguasa dan tidak boleh menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap mereka. Ucok merasa bahwa kekuasaan yang ada semakin lama semakin menghimpit tanpa tahu asal dan tujuan dari kekuasaan yang ada. Apa yang dilakukan selalu terbentur dengan kekuasaan dan tidak bisa berbicara mengenai kenyataan yang ada. Dalam dialog itu terlihat bahwa sudah tidak ada harapan lagi dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 hidup mereka, karena dalam kenyataannya ia tidak bisa berbuat sesuai dengan haknya. Kesalahan lain yang dimiliki penguasa adalah mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dikalangan masyarakat bawah. Penguasa hanya menikmati kekuasaan mereka tanpa sedikitpun memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat. Sehingga ketika masyarakat kalangan kaum bawah menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka membuat para pemimpin tergagap-gagap dan tidak tahu harus bagaimana. Oleh Putu Wijaya keacuhan pemimpin terhadap apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat juga digambarkan sebagai berikut: Hansip : Ya bapak Bupati disini Bupati : Hus ikut mereng kamu! Hansip : Maaf latah Pak. Ucok : Apa jawaban Bapak. Berikan kami jawaban. Hansip : Jawab Pak. Bupati : Jawaban apa, apa yang harus dijawab? Ucok : Pertanyaan begitu banyak, mana jawabannya. Sekarang! Nanti terlambat. Bupati : Lho pertanyaan apa? (KEPADA KEPALA KELUARGA) He apa mereka sudah bertanya tadi? Hansip : Pak tak usah didengar Pak, kalau sudah begini coret saja. Bupati : Sungguh mati langsung akan saya jawab kalau saja ada, kalau memang ada. Saya sudah cukup terbuka malah begitu lebar. Apa masih kurang? commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 Hansip : sampai robek-robek bagini jangan dilebarin lagi Pak. Ucok : Kamu hanya membisu! Bupati : Lho tai kucing! Ucok : Tai kucing bukan jawaban. Bupati : Astaghfirullah. (Putu Wijaya, 1992: 28) Ketika ucok berhadapan langsung dengan Bupati dan meminta jawaban dari semua pertanyaan yang telah ada, Bupati kebingungan dan tidak tahu maksud dari semua pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh orang-orang udik. Karena sudah merasa kebingungan, Bupati malah bertanya kepada kedua hansip yang bertugas menjaga rumahnya apakah orang-orang udik tadi sudah bertanya kapadanya. Kedua hansip yang ditanya Bupati juga kebingungan dan akhirnya Bupati menjawab dengan asal. Jawaban asal dari Bupati semakin membuat Ucok marah. Dari cakapan-cakapan diatas tampak bahwa pemimpin sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi di dalam masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan disini pemimpin yang digambarkan sebagai Bupati merasa kebingungan menghadapi orang yang menuntut pertanggung jawaban dari apa yang telah terjadi dimasyarakat. Ucok : Kami tidak ingin dihibur, kami ingin dijawab. Ternyata kamu sama saja dengan yang lain-lain. Tak pernah menjawab, hanya bertanya-tanya seperti kami, tak pernah mengerti ada orang bertanya, tak pernah mendengar, tak pernah kamu pakai kuping, kupingmu yang dua dikiri dan kanan kepalamu, kuping diatas kepala hansip-hansipmu, kuping dikepala istrimu, kuping diatas meja teleponmu, kuping diatas kaki tanganmu, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 kuping-kuping disekitarmu ternyata palsu! (Putu Wijaya, 1992: 28) Secara jelas cakapan-cakapan tersebut memperjelas bahwa keberadaan masyarakat kalangan bawah tidak pernah diperhatikan oleh penguasa. Ketika kaum masyarakat kalangan bawah menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka para penguasa tergagap-gagap dalam menjawab. Keadaan itu membuat Ucok marah dan merasa bahwa pertaanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada Bupati selalu tidak dijawab dengan semestinya. Sehingga Ucok semakin marah dengan mengatakan bahwa ternyata telinga yang dimiliki oleh Bupati dan orang-orang disekitarnya ternyata palsu, karena telinga yang mereka miliki tidak dapat mendengarkan jeritan yang dialami oleh orang-orang udik yang sedang berada dihadapannya. Bupati dan orangorang yang berada disekitarnya selalu kebingungan dan tergagap-gagap dengan semua pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang udik. Padahal pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang udik jelas menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat. Dalam naskah lakon Aum ini Putu Wijaya juga menyinggung tentang tidak bersatunya antara pemimpin dan rakyatnya. Hal itu digambarkan oleh Putu Wijaya sebagai berikut. Bupati : Mastakus eritus ma, sikola Bak? Sikola Bak? Bak? Kepala keluarga: Terima kasih Bapak Bupati. Bapak seorang yang bijaksana dan baik. Tapi kebaikan saja tidak cukup. Inilah persoalannya. Inilah pertanyaan kami yang kedua. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 Bupati : Siamanakitu Bak eh maaf, maaf. Pertanyaan yang mana? Kepala keluarga: Pertanyaan yang mana? Pertanyaan Bapak hanya menambah hati saya tambah berdarah. (Putu Wijaya, 1992: 33) Bupati selalu saja kebingungan ketika orang-orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga mulai mengajukan pertanyaan satu persatu. Seperti yang terdapat dalam nukilan diatas ketika Bupati selesai berbincang dengan Mantri dan beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh mantri baik itu secara langsung ataupun tidak. Setelah selesai berbincang dengan Mantri kemudian kepala keluarga menyela dan menjelaskan tentang apa yang disampaikan oleh Mantri merupakan salah satu dari beberapa pertanyaan yang selama ini ingin mereka tanyakan. Mendapatkan penjelasan dari kepala keluarga, Bupati tergagap-gagap dan kebingungan. Apa yang dikira Bupati bahwa Mantri hanya bergurau ternyata merupakan sebuah persoalan yang ingin disampaikan. Terlihat jelas dalam nukilan diatas bahwa ternyata Bupati sama sekali tidak memperhatikan apa yang menjadi persoalan orang-orang udik. Tidak perhatiannya Bupati terhadap persoalan-persoalan yang dirasakan oleh masyarakat dan adanya jarak antara Bupati dan masyarakat dapat dilihat dalam dialog Mantri dibawah ini: Mantri : (SEMBARI MENANGIS) Jadi anda juga Cuma sebegitu saja? Apa yang menyebabkan anda sudah berdiri sebegitu tinggi. Begitu tinggi sehingga kalau kita bicara saya harus mengangkat muka dan menjinjitkan kata-kata saya? Siapa yang sudah menempatkan kamu dalam posisi ujung tombak kami, sementara kami tetap kelaparan dan tidak bisa menatatp ujung hidungmu yang tak pasti arahnya itu. Kamu semua sama saja. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 Kamu hanya tembok-tembok penghalang yang menghalani kami mengalir deras ke sumber kami yang tertinggi dimana ada jawaban. Kamu bending kami, kamu halang-halangi kami dengan segala pelayanan kamu yang manis sambil membunuh kami perlahan-lahan ditengah jalan seperti…. (Putu Wijaya, 1992: 33) Melalui tokoh mantri, Putu Wijaya berusaha mengkritik para pemimpin yang ada. Bahwasanya pemimpin dan rakyatnya harus bersatu padu. Pemimpin harus meninjau dan memperhatikan rakyatnya, pemimpin harus tahu kondisi sebenarnya yang dialami oleh rakyatnya. Pemimpin yang ada harus tanggap dan bertindak terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat, jangan malah menjadi penghalang dan timbul sekat antara rakyat dan para pelaku pemerintahan. Jarak yang sangat jauh antara pemimpin dengan rakyatnya akan semakin membuat pemimpin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan dialami oleh rakyatnya. Pemimpin baru tahu kalau rakyat sudah sangat menderita dan mengadukan permasalahan yang dialami. Dalam naskah lakon Aum ini digambarkan bahwa Bupati sebagai pemimpin tidak tahu apa yang sebenarnya dialami oleh rakyatnya, walaupun apa yang dialami oleh rakyatnya sudah berada didepan mata, tetapi Bupati dan para hansipya sama sekali tidak memperhatikan dengan seksama. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut. Kep keluarga : Dulu. Dulu bertahun-tahun yang lalu ini memang salah satu pertanyaan kami yang nomer sekian. Dulu Pak. Sekarang bukan pertanyaan lagi, meski[un bagi Bapak memang pertanyaan. Ini hanya salah satu contoh commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55 saja bagaimana luka dalam batin kami karena terbawa setiap hari dan dikalahkan oleh luka-luka baru menjadi bagian dari perlengkapan kami yang sengaja kami lupalupakan. Pertanyaa ini sudah terlalu besar dan menutup mata kami semua, bagaimana mungkin kami memandangya lagi. Mata Bapak masih terbuka. Mata bapak-bapak hansip itu juga sebetulnya masih terbuka, tapi saya lihat dari tadi tak seorangpun yang benarbenar melihat apa sebenarnya yang ada disini. Yang ada pada lelaki-lelaki kami disini. Perhatikan perut mereka semuanya! (MEMERINTAH) Buka perut kamu semua. (Putu Wijaya, 1992: 37) Dari nukilan diatas dapat dilihat bagaimana Bupati dan hansiphansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang sebenarnya dialami oleh orang-orang udik yang menghadap dan sudah ada didepan mereka. Bupati dan kedua hansipnya yang dari tadi menghadapi rombongan orang udik untuk menghadap tidak memperhatikan kalau para lelaki yang ada di udik semuanya hamil. Padahal apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik merupakan salah satu dari pertanyaan yang ingin mereka sampaikan, pertanyaan yang saduah sejak sangat lama mereka pendam. Kenyataannya pada saat menghadap kepada bapak Bupati dan sudah berhadapan lama, bupati dan para hansipnya sama sekali tidak memperhatikan apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Hal tersebut membuat marah kepala keluarga dan memaki Bupati dan hansip-hansipnya bahwa mereka sama sekali tidak melihat dan memperhatikan apa yang dialami oleh para lelaki yang ada di udik. Dengan begitu dapat difahami secara jelas bahwa para pemimpin sama sekali tidak memperhatikan keadaan yang dialami oleh rakyatnya. Itu merupakan salah satu dari permasalahan yang dialami oleh rombongan orang udik. Kepala commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 keluarga merasa kecewa karena dari tadi Bupati sebagai pemimpin tidak memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi pada rombongan orang udik. Kep keluarga : Ini juga bagian dari pertanyaan kami yang belum dijawab. (IA MENDEKAT DAN MEMBARUT TUBUHU ORANG TUA ITU) Kami tidak ingin menuduh siapa-siapa apalagi menuntut sesuatu, kami hanya ingin mendapat pengertian atas semua ini. (MEMANDANG KEPALA YANG MELAYANG ITU) kemari turun, jangan gentayangan lagi, belum waktunya kita pergi, pertanyaan ini masih tinggal dua langkah lagi untuk kita pikul. Kemari-kemari, jangan membuat hatiku tambah berdarah lagi. (Putu Wijaya, 1992:44) Dari pokok permasalahan yang dihadapi oleh rombongan orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga, sebenarnya mereka sebagai rakyat biasa hanya ingin mendapatkan perhatian yang sama dari Bupati yang merupakan seorang pemimpin. Kepala keluarga mengingatkan bahwa semua rakyat punya hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dari pemimpin. Pemimpin dipilih oleh rakyat dan diharapkan dapat menjadi pimpinan yang mengerti dan memahami apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Sebagai pemimpin juga harus bisa menjadi panutan rakyatnya. Mau mengerti penderitaan yang dialamioleh rakyatnya dan diharapkan bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh rakyatnya. b. Penindasan. Naskah lakon Aum karya Putu Wijaya juga menampilkan masalah kritikan terhadap penindasan yang ada di Negara ini dalam alur cerita yang dialami oleh tokohnya yaitu orang-orang udik. Karena kaum bawah tidak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 mendapatkan perhatian dari pemerintah yang ada dan mereka hanya dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan malah seringkali mereka ditindas. Karena terus-terusan ditindas akhirnya banyak terjadi demonstrasi dan protes-protes yang sangat keras dari masyarakat. Hal itulah yang dialami oleh orang-orang udik dan mempengaruhi kehidupan mereka dalam menyuarakan jeritan ketertindasan kaum bawah. Salah satu penindasan kepada orang-orang udik dalam naskah lakon Aum ini dilakukan oleh oknum aparat yang bertugas menjaga kediaman Bupati, yaitu hansip. Bentuk penindasan yang dilakukan hansip adalah bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang udik yang mau menghadap dan bertemu langsung dengan Bupati. Hansip menyalahgunakan alat Negara yang disandangnya untuk bertugas. Sragam dinas dan belati yang dipakai dan dibawa hansip sebagai identitas dan untuk menjaga keamanan Bupati digunakan oleh hansip seenaknya sendiri dan bukan digunakan sebagaimana mestinya. Seragam dan belati yang merupakan fasilitas dari Negara digunakan untuk menakut-nakuti orang udik yang mau menghadap Bupati untuk menyampaikan permasalahan yang mereka alami. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut. Hansip : Bung. Orang besar itu urusannya banyak. Dan bukan soal-soal upil saja. Orang udik :(TERTAWA) Ngurus Negara ya? Hansip : (KEPADA KAWANNYA) Lama-lama aku bunuh juga orang ini (KEPADA ORANG UDIK) Bung ini darimana sih? commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 Orang udik : Oh saya Cuma tetangganya. Yang berkepentingan itu, itu disana semua. Saya hanya penunjuk jalan. Hansip : Saya Tanya bung darimana? Orangudik : Saya tidak ikut pak. Hansip : Saya tidak peduli. Tapi anda darimana? Orang udik : (GUGUP) Betul saya tidak ikut pak. Hansip : Darimana? Orang udik :(GUGUP) Saya tidak tahu. (Putu Wijaya, 1992: 3) Orang udik merupakan gambaran dari masyarakat kalangan bawah yang sering ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Hansip menanyakan tentang asal-usul orang udik dengan nada yang keras dan mengancam, sehingga orang udik yang ditanyai menjadi gugup dan ketakutan karena cara bertanya hansip dengan nada yang keras. Hal itu dapat dilihat dalam nukilan berikut. Hansip : Sebentar. Bung (MENUNJUK KE PISAUNYA) Tahu apa ini? Orang udik : Saya salah Pak. Saya minta ampun. Hansip : Nanti dulu. Tahu ini apa? Orang udik : Belati Pak. Hansip : Dan ini (MENUNJUK PADA PANGKATNYA) Apa ini? (MENARIK LENGAN KAWANNYA DAN MENUNJUK TANDA PANGKAT) Apa ini? Hansip : He, kamu mau apa? Hansip : Diam semprul! Kami ini Hansip, kami ditugaskan menjaga Bapak dengan resmi. Kalau kami melakukan sesuatu dengan pisau ini apa saja kek, artinya juga resmi. Paham? (Putu Wijaya, 1992: 4) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 Dari nukilan cakapan diatas dapat dilihat bagaimana aparat yang ada dalam naskah lakon Aum ini adalah hansip sudah menyalahgunakan fasilitas Negara yaitu seragam dan belati. Fasilitas tersebut seharusnya digunakan secara tepat yaitu untuk bertugas menjaga keamanan rumah Bupati. Oleh hansip-hansip dalam naskah lakon ini fasilitas tersebut digunakan bukan untuk menjalankan tugas yang semestinya dijalankan, tetapi digunakan untuk menakut-nakuti dan mengusir orang-orang udik yang mau menghadap dan bertemu langsung dengan Bupati untuk menanyakan langsung perihal yang telah mereka alami selama ini. Hal yang dilakukan hansip tersebut jelas sangat menyimpang dari apa yang semestinya dilakukan. Dalam naskah lakon Aum ini jelas sekali Putu Wijaya ingin mengkritik apa yang telah dilakukan aparat pada umumnya terhadap masyarakat. Aparat seharusnya melindungi dan melayani masyarakat sebagai tugas Negara yang diemban, bukan menyalahgunakan wewenang itu untuk menindas dan menakut-nakuti masyarakat. Bahkan sampai sekarang hal tersebut masih sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Mereka seharusnya melindungi dan melayani masyarakat dengan sungguh-sungguh, bukan menyalahgunakan tugasnya dengan seenaknnya sendiri dan tidak mau menyadari kesalahannya. Tindakan aparat keamanan yang menyalahgunakan fasilitas Negara juga tampak dalam nukilan naskah berikut ini. Hansip : Situ datang kemari dengan maksud baik bukan? Jadi tidak usah takut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60 Orang udik : Ya, baik pak. Hansip : Mata Bapak ini merah bukan marah, dia berjaga terus tadi malam demi tugas. Orang udik : Ah, Bapak ini tidur terus kok Pak. Hansip : He, kamu jangan kurang ajar ya! Orang udik : Lho betul kan Pak, bapak tidur terus, waktu Bapak Bupati masuk kan saya yang buka pagarnya, heee. Lupa ya. Hansip : (BINGUNG) Harus dipukul benar ini kalau begini. Kacau juga. Hati-hati ya. Orang udik : Maaf Pak. Hansip : Sudah kembali kesitu. (Putu Wijaya, 1992: 6) Dalam nukilan diatas tampak bahwa hansip yang menjaga kediaman Bupati tidak menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka seharusnya selalu siap siaga menjaga kediaman Bupati, bukan seenaknya sendiri dalam melakukan tugasnya. Dalam percakapan diatas menyebutkan bahwa ketika Bupati pulang yang membukakan pagarnya adalah salah satu dari orang udik, bukannya hansip yang menjaga kediaman Bupati. Padahal tugas seperti itu seharusnya yang melakukan adalah hansip yang sedang berjaga. Tetapi hansip yang berjaga malah tidur dengan pulas tanpa mengetahui kalau bapak Bupati sudah pulang. Pagi harinya ketika permasalahan tersebut diadukan kepada hansip lain yang datang untuk bertugas pagi hari, hansip yang bertugas malam dan tertidur tadi marah dan tidak terima kalau ia dibilang tidur terus. Hansip yang berjaga malam tidak terima dan mau memukul orang udik yang mengatakan keadaan yang sebenarnya bahwa hansip semalaman hanya tidur terus. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 Disini aparat yang dilukiskan oleh hansip malah bertindak sewenangwenang terhadap masyarakat yang seharusnya dilayani dan dilindungi. Hal itu tampak dalam nukilan berikut. TIBA-TIBA HANSIP YANG KLIMIS LANGSUNG MEMUKUL. ORANG ITU JATUH Hansip : Awas dia bawa pisau! (MENENDANG) HANSIP YANG MENENDANG ITU KEMUDIAN MAU MEMBUNYIKAN SEMPRITAN. SEMPAT TERDENGAR SEKALI KEMUDIAN SEGERA KAWANNYA MENANGKAP. Hansip : Hus ngawur, nanti Bapak bangun. Hansip : Oh sorry. Hansip : Betul dia bawa pisau? Hansip : Entah. Mungkin ya. Hansip : Lho kok berani gitu tadi? Hansip : Ya, kali pakai firasat saja. (Putu Wijaya, 1992: 6) Dari nukilan cakapan-cakapan diatas dapat kita lihat bahwa penindasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepada orang-orang kaum kalangan bawah. Tanpa jelas apa masalahnya tiba-tiba memukul orang udik. Hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan atasan yang dalam naskah lakon ini adalah Bupati. Perlakuan hansip yang memukul orang udik tanpa ada sebabnya membuat teman dari orang udik yang dipukul menanyakan alasan kenapa temannya dipukul. Kedua hansip itu bingung dan menjawab bahwa mereka memukul orang udik dengan alasan menjalankan tugas dari pimpinan. Padahal commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 sebenarnya pimpinan tidak tahu apa yang dilakukan oleh hansip. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Orang udik : Kenapa dipukul Pak? Hansip : (KEPADA KAWANNYA) Kenapa? Hansip : Maaf kami hanya menjalankan tugas. Orang udik : Bapak siapa? Hansip : Lho, lho ini sama saja semprul. Hansip : Saya? Maksud saudara kami ini? Kami hansip resmi disini. Tugas kami menjaga rumah Bapak. (Putu Wijaya, 1992: 7) Kesulitan yang dialami oleh orang udik ketika ingin bertemu dengan Bupati disebabkan oleh ulah hansip yang menghalang-halangi karena merasa itu adalah tugas mereka untuk mengatur siapa saja yang ingin bertemu dengan Bupati. Dalam hal ini Bupati tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh hansip. Padahal tugas hansip bukan untuk menghalang-halangi tetapi untuk melayani dan menjaga stabilitas keamanan rumah Bupati. Hal itu dapat dilihat dari nukilan berikut. Orang udik : Rumah Bapak kok dijaga, apa kami tidak boleh ketemu beliau? Hansip : Tergantung dari urusannya apa? Orang udik : Urusannya saya kira karena kami perlu ketemu beliau sekarang Pak. Hansip : (TEMANNYA MAU BICARA TAPI DICEGAH) Tapi Bapak sedang tidak ada. Orang udik : Lho kemarin sore katanya Bapak ada, tapi repot, sekarang kok bisa tidak ada kemana ya. Jalannya kan hanya satu disini? commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 Orang udik : Pak Bupatiiiiiiiiiiiii ! Hansip : Lho, lho, lho, jangan ribut nanti Bapak bangun. Ssstttt ! (MENDEKAT) Jangan berisik ini masih pagi. (Putu Wijaya, 1992: 7) Dari nukilan dialog diatas dapat dilihat bahwa rombongan orang-orang udik selalu dipermainkan oleh aparat yang menjaga rumah Bupati. Mereka ditipu dengan mengatakan bahwa Bupati sedang repot, sedang pergi, dan hansip yang menjaga rumah Bupati selalu meremehkan dan mempermainkan orang-orang kecil. Padahal apa yang dilakukan hansip itu bukan merupakan perintah Bupati. Hansip-hansip yang menjaga rumah bupati bukannya memberikan pelayanan dan perlindungan kepada orang-orang udik yang ingin menghadap kepada bupati, tapi mereka malah mempermainkan orang-orang udik dan bertindak sewenang-wenang kepada mereka. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Wanita : Kami datang tidak dengan maksud apa-apa. Kami hanya ingin bertanya. Wanita : Ya, hanya sekedar bertanya. Jangan tembak ya pak. Wanita : (MENGACUNGKAN TELUNJUK DAN JARI TENGAH) Pis pak pis. Jangan tembak. Hansip : Tembak, siapa yang menembak? O alah apa kau tadi nembak? Hansip : Tembak saja semuanya. Tembak!!!! WANITA-WANITA ITU BERTERIAK DAN LARI MUNDUR. Hansip : Lho, lho jangan! Hansip: Tembak, tembak semua sampai ambrol! Dar-der-dor-dar-derdor…. (TERTAWA TERKEKEH-KEKEH) Hansip : O main-main. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 Hansip : Anjing kurap! Lama-lama tidak akan main-main lagi. Mau apa kamu sebenarnya kemari. Mau menanyakan apa? Tanyakan saja nanti kami sampaikan. Memangnya bapak Cuma ngurus kamu. (Putu Wijaya, 1992: 8) Apa yang dilakukan hansip dengan memanfaatkan posisi mereka sebagai aparat Negara, seenaknya sendiri mengadili orang tanpa ada kesalahan yang jelas. Hansip-hansip itu sengaja mempermainkan orang-orang udik yang mau menghadap bupati. Mereka menggunakan alat yang diberikan Negara untuk bertindak sewenang-wenang. Sehingga membuat rombongan orangorang udik ketakutan dengan ancaman tembakan yang dilakukan oleh hansip. Hansip bertindak seenaknya sendiri dengan dalih apa yang mereka lakukan adalah perintah Bupati dan bersifat resmi. Padahal yang mereka lakukan itu tidak ada sangkut pautnya dengan bupati, bahkan bupati tidak tahu apa yang dilakukan oleh hansip-hansip yang menjaga rumahnya terhadap orang-orang udik yang datang ingin menghadap kepadanya. Ketidaktahuan pemimpin terhadap apa yang dilakukan bawahannya juga tampak dalam nukilan cakapan-cakapan dibawah ini. Kepala keluarga : Ada yang belum puas? Kita datang dari jauh, apalagi ini merupakan penentuan, semua harus merasa puas. Coba ingat-ingat apa lagi. Orang udik : Saya tadi dipukul itu kenapa? Bupati : Dipukul, di depan rumah Bapak kamu dipukul? Ck ck ck, siapa oknum pelakunya? Orang udik : Betul Pak, mentang-mentang kami orang udik, dikira biasa kena pukulan. Untung saya kuat, kalau tidak wah, padahal kami hanya mau menghadap Bapak. Sejak kapan menghadap Bapak itu kena pukul? Tapi saya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65 tidak menuntut, kasihan orangnya. Nanti Bapak pecat dia, keluarganya bias makan batu semua. Biar dia tahu saja, saya terima segala perlakuannya dengan sabar. Tapi nanti di akherat itu urusan dia. Bupati : Tidak, jangan. Itu malah mengacaukan. Bilang saja siapa? Hansip : Terus terang saya Pak. Daripada dihukum di akherat lebih baik dibayar tunai sekarang. Bupati : O kamu? Sudah mulai main pukul sekarang. Tai kucing. Pulang sana! Merusak citra saja kamu. Pergi! Hansip : Tapi celananya Pak, masak saya pulang pakai kolor, bisa langsung dibunuh istri. (Putu Wijaya, 1992: 21) Ketika Kepala keluarga dan orang udik bertemu langsung dengan Bupati dan mengadukan apa yang telah diperbuat oleh kedua hansip yang berjaga, Bupati kaget bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh kedua hansip sudah sangat keterlaluan. Kedua hansip itu bertindak semaunya sendiri dengan memanfaatkan jabatannya. Ketika apa yang dilakukan oleh kedua hansip itu dilaporkan oleh orang-orang udik, Bupati merasa heran dan kaget mengetahui kenyataan bahwa hansip yang berjaga dirumahnya bertindak sewenangwenang dan semaunya sendiri. Bupati marah-marah kepada kedua hansip itu, bahwa apa yang telah mereka lakukan bisa merusak citra hansip di mata masyarakat. Dari dialog diatas dapat kita ketahui, apa yang dilakukan oleh hansip itu sudah melebihi batas dan perlakuan mereka itu tidak diketahui oleh Bupati seandainya orang-orang udik itu tidak memberitahu dan melaporkan kejadian yang sebenarnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66 Bahkan hansip-hansip itu juga menggunakan wewenangnya untuk menindas dan menakut-nakuti masyarakat. Hal itu dilakukan dibelakang pemimpin sehingga pemimpin tidak tahu apa yang dilakukan para aparat sebelum mendapatkan laporan dari masyarakat yang mengalami hal itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketertindasan selalu lekat dengan kalangan kaum bawah, keberadaan mereka seolah-olah hanya untuk dipermainkan. Padahal mereka membutuhkan perlindungan seperti rakyat yang lainnya. Masyarakat kalangan bawah seolah-olah hanya dianggap sebagai pelengkap saja dan seperti tak ada gunanya. Dan yang lebih sering terjadi kaum bawah kemudian ditindas dan dibungkam dengan segala cara agar jangan menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi. c. Ketidakadilan. Masyarakat marginal dipahami sebagai masyarakat yang tersisih atau tersisihkan dari pembangunan sehingga tidak mendapat kesempatan mencicipi bagian dari kue pembangunan. Dalam pemahaman yang lebih radikal masyarakat marginal adalah kelompok-kelompok sosial yang dimiskinkan oleh pembangunan (Jastin M. Sihombing, 2005: 7). Secara sosiologis, latar belakang yang mengungkapkan ciri-ciri kaum marginal sebagai suatu bentuk masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat yang dipenuhi dengan jumlah pengangguran dan tenaga produktif yang tidak memiliki kesempatan untuk turut andil dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, pada akhirnya akan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67 memicu timbulnya suatu kondisi sosial yang berpotensi memunculkan gangguan terhadap stabilitas masyarakat yang ideal. Kondisi sosial yang dialami oleh kalangan masyarakat kaum bawah yang selalu tertinggal dan terpinggirkan oleh pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat. Kalangan masyarakat bawah selalu tertinggal dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ketidakadilan yang dimaksud dalam pembahasan kali ini lebih mengarah kepada ketidakadilan dalam mendapatkan haknya sebagai warga Negara. Hal itu sangat dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Tidak semua lapisan masyarakat dapat merasakan dampak dari pembangunan dan akan mengakibatkan ketimpangan antara yang satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil dari pembangunan akan merasa tersisihkan dan merasa bahwa pemerintah tidak adil dalam dalam melakukan pembangunan, sehingga akan menimbulkan ketimpangan dan ketidak adilan dalam segala bidang. Seperti terlihat dalam nukilan berikut. Bupati : Kok jadi rame sekali. Hansip : Aduh. Nah inilah soalnya pak. Mereka sudah menunggu sejak kemarin mau menghadap. Bupati : Apa? Hansip : Begini Pak. Kami sudah berusaha untuk menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kesibukan bapak sedemikian rupa sehingga mau tidak mau semuanya harus mengikuti. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68 Bupati : Tai Kucing! Kamu biarkan orang-orang ini menunggu disini sejak tadi malam? Gila! Mereka menunggu sejak tadi malam untuk menghadap, sejak tadi malam? Ini keterlaluan! Kamu keterlaluan! (Putu Wijaya, 1992: 16) Dari nukilan dialog diatas dapat kita lihat bahwa bupati merasakan suasana didepan rumahnya menjadi ramai sekali, dan ternyata keramaian yang ada itu dikarenakan banyaknya orang udik yang berkumpul didepan rumahnya untuk menemuinya. Tetapi bupati kaget mendapatkan penjelasan dari kedua hansipnya bahwa serombongan orang udik yang ada didepan rumahnya dan berniat menemuinya ternyata sudah menunggu sejak tadi malam. Kedatangan mereka tidak diberitahukan kepada bupati. Mengetahui kenyataan bahwa hansip-hansipnya berusaha menghalangi rombongan orang udik yang berniat menemuinya, bupati menjadi marah dan mengatakan bahwa siapa saja yang mau menemuinya tidak boleh dihalang-halangi, karena itu hak rakyat untuk bertemu pimpinannya. Bupati marah dan menganggap apa yang dilakukan oleh kedua hansipnya adalah sesuatu yag sangat keterlaluan. Hal itu juga dapat dilihat dari nukilan berikut. Hansip : Itulah pak. Makanya. Hansip : Makanya apa? Sudah tidak apa pak, ini biasa. Kalau mau menghadap ada orang juga menunggu sampai satu bulan. Bupati : Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkan orang menunggu untuk menghadap. Ini suara rakyat yang langsung dan murni, lebih penting dari yang lain-lain. (Putu Wijaya, 1992: 16) Kemarahan bupati semakin menjadi, hal itu dikarenakan bupati menganggap bahwa suara rakyat sangat penting untuk diperhatikan. Karena commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69 pemimpin berasal dari rakyat dan untuk mendengarkan kepentingan rakyatnya. Dari percakapan-percakapan diatas dapat kita lihat bahwa apa yang dilakukan oleh hansip dengan menghalangi segerombolan orang udik yang datang untuk menemui bupati adalah kesalahan yang sangat besar. Ketidakadilan dalam mendapatkan pelayanan public dirasakan oleh orangorang udik yang mau menghadap bupati. Ketidakadilan itu dirasakan orangorang udik dari ulah hansip yang menjaga rumah bupati. Bahwa rakyat kecil yang mau menghadap selalu mendapatkan kesulitan. Kesulitan yang didapatkan itu tidak jelas alasannya. Ketika para penguasa berhadapan dengan orang kecil. Sering terjadi pemimpin selalu meremehkan mereka. Hal itu dapat dilihat dari nukilan berikut. Bupati : Ibu ini kemari mau menanyakan apa? Jangan ngajak ngobrol, waktu saya sempit. Sebentar lagi saya akan dijemput untuk mengunjungi pembukaan gedung olahraga, setelah itu ada seminar, kemudian penataran, lalu terus ke daerah. (Putu Wijaya, 1992: 19) Perkataan Bupati bahwa suara rakyat itu lebih penting dari yang lainlain ternyata tidak dapat ditepati oleh Bupati sendiri. Karena bupati mengatakan bahwa waktu yang dimilikinya untuk menghadapi orang udik sangat sempit, karena ia harus menghadiri bermacam acara yang lain. Hal itu tampak bahwa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di udik dirasa kurang penting karena masih ada acara lain yang lebih penting daripada menerima aspirasi dari rakyatnya. Itu merupakan salah satu ketidakadilan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70 yang didapatkan oleh orang udik, karena permasalahan mereka dianggap tidak penting oleh bupati. Bupati menganggap bahwa menghadiri acara pembukaan gedung olahraga, seminar, penataran dan lain-lain dianggap lebih penting daripada mendengarkan keluhan dari masyarakat kecil. Hal itu juga dilihat dari nukilan berikut. Hansip : Sudah cepat bu, pak bupati sempit waktunya. Kep keluarga : Saya tidak bisa bicara disempit-sempitkan. Ratusan kilometer saya datang kemari untuk bicara banyakbanyak. Nasib kami semua tergantung dari jawaban bapak. Bupati : Karena itu katakan dulu apa? Kep keluarga : Nanti dulu jangan mendesak. Kalau bapak tidak punya waktu, lebih baik kami menunggu sampai ada waktu. Saya tidak mau diberikan jawaban asal menjawab saja. Saya ingin diberikan penyelesaian. Sebab kalau ini juga tidak selesai sekarang, kami akan mengambil putusan yang terakhir. Soalnya kami sudah dioper-oper dari satu orang ke orang lain. Lalu siapa yang mesti menjawab ini semua. (Putu Wijaya, 1992: 20) Kepala keluarga merasa bahwa selama ini ia dan rombongannya sebagai masyarakat kecil kalau mau menyampaikan permasalahan selalu saja dioper-oper dan dipermainkan oleh orang lain (dalam hal ini adalah mereka yang berkuasa). Begitupun juga dengan bupati, ia mengatakan bahwa waktunya sempit untuk meladeni pertanyaan dari orang-orang udik yang datang kepadanya. Padahal apa yang ingin disampaikan oleh orang-orang udik ini sangat penting dan menyangkut kelangsungan hidup mereka. Orang-orang udik merasa kebingungan, kepada siapa lagi mereka harus menyampaikan pertanyaan mereka. Karena semua orang merasa bahwa mereka tidak punya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71 waktu untuk mendengarkan pertanyaan orang udik yang merupakan masyarakat kalangan bawah. Kep keluarga : Kami sudah bertanya sesudah mencoba mengerti tapi tak habis-habisnya mengerti. Dan kami mencari orangorang yang pantas ditanyai karena kami yakin makin lama makin banyak yang tidak bisa kami jawab sendiri dan memerlukan ahli-ahli. Seperti tukang tahu, tukang gado-gado, tukang listrik, dukun, mantri, guru sekolah, pak lurah bahkan juga camat dan dokter. Seperti bapak, kami juga membuka hati kami lebar-lebar sampai robek, karena ingin penjelasan. Tapi apa? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi Selama ini? Setelah duit kami, rumah kami, harta kamiludes sampai ke sawah dan tabungan kami habis. Apa makna semua ini? Ini terlalu berat buat kami! Dan kenapa hanya kami, kami yang dicecer? (MENGGAPAI SAKIT) (Putu Wijaya, 1992: 30) Kepala keluarga berusaha menjelaskan kepada Bupati bahwa selama ini ia sudah berusaha untuk mencoba mengerti tentang kejadian yang menimpa mereka. Kepala keluarga dan rombongan orang-orang udik sudah bertanya kepada siapa saja yang mereka temui dan menanyakan perihal permasalahan yang mereka alami. Mereka sudah berusaha dengan sangat sabar, sampai menghabiskan apa yang mereka miliki untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang mereka alami, tetapi yang didapat oleh rombongan orang-orang udik tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka merasa bahwa permasalahan mereka terlalu berat untuk ditanggung. Seolah-olah apa yang mereka alami tidak diperhatikan oleh orang lain yang ada disekitar mereka. Rombongan orang-orang udik ini memutuskan untuk menghadap kepada Bupati dan menanyakan tentang permasalahan mereka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72 Rombongan orang-orang udik ini berharap Bupati bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang selama ini mereka alami. Bupati : Sebentar. Saya mulai tahu. Tidak puas karena, karena, karena. Kep keluarga : Saya tidak tahu kenapa! Jangan Tanya apa-apa lagi. Saya bertanya, saya datang dari rimba pertanyaan yang jauh dan sesat. Kami ingin memecahkan beban yang makin sarat ini, jangan diajak ngomong lagi, berikan kami jawaban. Kamu bupati, kamu mengaku bupati, harapan kami yang terakhir, karena kami sudah bertekad, hari ini, kalau tidak ada jawaban kami akan mengambil keputusan. Keputusan yang terakhir (MENGGAPAI KESAKITAN DAN BERTERIAK) Haaaaaaa! (Putu Wijaya, 1992: 31) Dengan menghadap kepada bupati, Kepala keluarga dan rombongan orang-orang udik ini berharap bahwa Bupati bisa membantu menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang selama ini mereka alami. Karena mereka sudah kebingungan dan seperti orang yang tersesat begitu jauh. Rombongan orang-orang udik berharap dengan menghadap bupati dapat menyelesaikan masalah mereka yang semakin sarat. Dengan sangat banyaknya permasalahan yang dialami oleh rombongan orang-orang udik ini membuat mereka semakin kebingungan dan ingin segera mengakhiri hidupnya untuk dapat menghadap kepada Tuhan yang maha kuasa. Karena mereka menganggap bahwa hanyalah Tuhan yang mempunyai keadilan yang dapat menjawab dan menyelesaikan semua permasalahan mereka. Keputusan yang ingin dilakukan oleh rombongan orang-orang udik ini diambil karena mereka merasa bahwa selama commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73 ini hanya dipermainkan dan dioper kesana-kemari tanpa ada yang mau mengerti tentang semua permasalahan yang dialami. Dari percakapan-percakapan yang ada diatas dapat ditangkap bahwa rakyat berhak untuk mendapatkan hak yang sama satu dengan yang lainnya. Mereka berhak mendapatkan keadilan, pelayanan dan perlakuan yang sama. Hal itulah yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya dalam naskah lakon Aum ini. Putu Wijaya menggambarkan tokoh perempuan yang menjadi kepala keluarga dan semua lelaki yang ada di udik mengandung dan melahirkan anak-anak. Tujuan itu dimaksudkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai satu kesatuan masyarakat. d. Kemiskinan. Kritik sosial mengenai masalah kemiskinan dalam penelitian ini mengacu pada masalah kemiskinan yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya. Kemiskinan secara umum seringkali dipahami sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersifat primer (papan, sandang, pangan) secara wajar sesuai dengan kebutuhannya tersebut. Ala (1981) dalam Bagong Suyanto menyatakan kemiskinan sebagai kondisi masyarakat yang kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak atau kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (1995: 7). Lebih jauh, adanya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74 kemiskinan dalam kehidupan masyarakat mengharuskan pihak-pihak yang mengalami kondisi seperti itu untuk berinteraksi secara sosial dengan pihakpihak lain yang memiliki taraf kehidupan lebih baik, dan mungkin lebih memiliki sarana-sarana pemuas kebutuhan secara berlebih dibandingkan dengan taraf kebutuhan yang diperlukan. Interaksi yang mencerminkan kesenjangan demikian itu, sangat dimungkinkan untuk munculnya suatu konflik. Hal ini dikarenakan antara pihak-pihak yang saling bertemu tersebut terdapat perbedaan kondisi dan kepentingan, terutama ditinjau dari latar belakang situasi yang membentuk perbedaan kedua belah pihak tersebut. Pruitt & Rubin (2001: 27) menjelaskan, bahwa perbedaan persepsi mengenai kepentingan, terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak, dan salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif sulit didapat. Ketika perbedaan tersebut tidak dapat dipertemukan dalam satu pertalian sosial yang intersubyektif, maka akan terciptalah suatu kondisi di mana konflik akan hadir sebagai suatu kemungkinan. Secara signifikan, masalah kemiskinan dalam kehidupan sosial dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memungkinkan untuk terjadinya pertentanganpertentangan, yang pada tahap klimaksnya akan menyebabkan seseorang akan lebih bertindak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan secara perikemanusiaan, seperti halnya hukum dan moralitas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75 Naskah lakon Aum karya Putu Wijaya menampilkan masalah kemiskinan dalam alur cerita yang dialami oleh para tokoh-tokohnya yang sangat mempengaruhi orientasi dan pola pikir mereka terhadap kehidupan, sehingga pada akhirnya hal tersebut turut menentukan perjalanan hidup tokohtokoh tersebut yang berakhir secara tragis. Berikut ini diberikan penjelasan mengenai kemiskinan dalam naskah lakon Aum dengan berpijak pada teori sosiologi sastra, dikarenakan masalah kemiskinan dalam naskah lakon tersebut merupakan masalah yang tidak bisa terlepas dari faktor-faktor sosiologis dalam wujud konkretnya sebagai karya sastra. Seperti masalah perpindahan penduduk (urbanisasi), lapangan pekerjaan, dan lebih jauh dalam penyimpangan-penyimpangan kebijaksanaan dan peraturan pemerintah oleh oknum birokrasi, serta gaya hidup masyarakat itu sendiri sebagaimana dialami para tokoh dalam naskah lakon Aum karya Putu Wijaya tersebut. Problem sosial kemiskinan menghambat potensi masyarakat untuk berkembang dan pada akhirnya justru menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Kemiskinan membuat masyarakat marginal tidak layak menikmati kualitas kehidupan, sebagaimana layaknya manusia, mereka kalah dalam sistem ekonomi kota yang mengutamakan persaingan, dan pada akhirnya mereka akan terpinggirkan dari proses perkembangan kota. Kebanyakan dari masyarakat kampung masih bermata pencaharian sebagai petani, mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76 Orang-orang udik adalah sekumpulan orang yang datang dari kampung yang hidup dalam kemiskinan, kemudian mereka mendatangi Bupati untuk mengadukan permasalahan-permasalahan mereka. Dengan kondisi yang mereka alami, orang-orang udik berniat mengajukan permasalahan yang mereka alami dikampungnya kepada Bupati. Kondisi kemiskinan menjadi salah satu permasalahan yang mendorong mereka untuk mendatangi Bupati dan mengajukan pertanyaan mereka dengan harapan bahwa Bupati sebagai pemimpin dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang mereka alami. Dalam naskah lakon Aum kondisi tersebut dijabarkan oleh Putu Wijaya sebagai berikut. Orang udik : Saya ini orang desa Pak. Saya tidak tahu apa-apa. Bapak sendiri kan pernah ke desa. Kami orang tani saja. Asal ada pacul cukup, kami tidak seperti orang kota. Saya sendiri tidak ingin bertemu dengan bapak Bupati. (Putu Wijaya, 1992: 4) Dari cakapan diatas Putu Wijaya dengan jelas menggambarkan keberadaan orang desa yang kesehariannya hanya bekerja di sawah. Mereka tidak tahu apa-apa selain mengerjakan sawahnya. Digambarkan pula bahwa kebiasaan orang desa sangat berbeda dengan orang yang hidup di perkotaan, walaupun gambaran tersebut dalam cakapan diatas tidak digambarkan secara langsung. Kemiskinan yang dialami oleh orang-orang udik dalam naskah lakon ini menyebabkan keterbelakangan, karena mereka tidak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan seperti yang didapatkan oleh orang-orang kota. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77 Dalam naskah lakon Aum ini terdapat adanya penduduk desa yang bekerja di pertanian, seperti yang dialami oleh tokoh orang-orang udik. Hal ini karena minimnya lapangan pekerjaan yang ada di pedesaan. Orang-orang udik hidup di desa yang jauh dari ilmu pengetahuan dan teknologi modernisasi. Mereka adalah orang-orang yang hidup di desa dengan segala keterbatasan dan serba berkekurangan sehingga mereka tidak betah lagi untuk tinggal di desa yang menurut mereka tidak pernah ada kesempatan untuk mereka berkembang dan tidak turut merasakan hasil dari pembangunan. Dalam naskah lakon ini kemiskinan menyebabkan orang-orang udik tertinggal dan kurang mendapatkan pendidikan yang selayaknya. Hal itu tampak dari dialog-dialog dan sikap yang sangat lugu yang ada pada setiap tokoh dalam naskah lakon ini. Seperti nukilan berikut ketika berhadapan dengan hansip yang merasa kehilangan pisau dinasnya. Orang udik : Ini pisau Bapak, saya pinjam tadi malam untuk ngupas ketupat. Hansip : Jailah senjata dinas dipakai untuk ngupas ketupat. Nggak salah tu? Lain kali ngomong dulu ya? Orang udik : Ya Pak. Habis tadi malam kan Bapak tidur. Hansip : Kelihatannya saja tidur, sebetulnya saya bangun itu. Saya lihat saudara ngambil pisau itu langsung dari situ. Iya kan? Orang udik : Saya ngambil langsung dari pinggang Bapak, habis sudah permisi-permisi tidak nyahut-nyahut, ya daripada tidak saya ambil saja dulu, urusan belakang. Tapi maaf ya Pak. (Putu Wijaya, 1992: 3) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78 Dari nukilan dialog diatas tampak sekali bagaimana keluguan orang udik ketika memakai pisau dinas milik hansip yang dipakai oleh orang udik untuk ngupas ketupat. Padahal semestinya pisau dinas hanya dipakai untuk dinas saja, bukan dipergunakan untuk ngupas ketupat seperti halnya pisau dapur yang biasa dipakai. Keluguan dan ketidaktahuan orang udik dalam memakai dan menempatkan sesuatu pada tempatnya menampakan bagaimana kurangnya pendidikan yang didapatkan oleh masyarakat kalangan bawah. Ciri yang biasa terlihat dari orang kampung adalah bersifat cenderung menerima apa adanya dan kurangnya informasi dan sangat minim dengan referensi apapun. Hal itu dikarenakan kurangnya pendidikan yang didapatkan oleh orang kampung seperti halnya pendidikan yang didapatkan oleh kebanyakan orang-orang kota. Sifat kepolosan orang udik dapat dilihat dari dialog berikut. Orang udik : Tapi Bapak Bupati tadi malam sudah pulang ya kan Pak. Saya lihat sendiri didalam mobil, kan saya yang membuka pintu karena Bapak ini sudah tidur. Ya kan Pak. Pak Bupati kan orangnya, maaf kulitnya hitam seperti orang negro ya. Hidungnya, maaf mancung tapi bengkok betet, bukan? Ya, saya lihat sendiri. Hampir saja saya ngedahin, tapi malu, nanti dikira yang nggaknggak. Ya kan Pak. (Putu Wijaya, 1992: 6) Tindak tutur orang-orang desa yang kurang mendapatkan pendidikan yang layak biasanya menyebutkan ciri-ciri fisik dengan membandingkan perumpamaan suatu benda. Seperti contoh yang dapat kita lihat dari dialog commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79 diatas “hidungnya mancung, tapi bengkok betet, kulitnya hitam seperti negro” dan yang lain-lainnya. Selain kurang mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya yang lain, kemiskinan yang diangkat dalam naskah lakon ini jaga membuat orangorang udik yang merupakan kalangan masyarakat bawah mudah putus asa dalam menghadapi permasalahan yang mencekik mereka dan tak kunjung ada penyelesaiannya. Keputusasaan yang dialami oleh orang-orang udik dapat dilihat dari nukilan dialog Ucok berikut. Ucok : Bunuh kami semua sekarang kalau kau tak mau membuka misteri yang kau tebarkan sepanjang jalan yang bercabang berliku-liku sepanjang hidup kami yang kumuh dan mengejek makin keras setiap hari. Bendera kami melambai diatas kuburan yang melebar di desa yang tandus dan penuh dengan anak-anak yang membuka moncongnya sebagai setan yang putus asa. Kalau akhirnya kau akan memasukkan kami kedalam got mampet supaya kami menghirup bau kami sendiri, sudah cukup, sudah lebih dari cukup, bunuh kami sekarang! (Putu Wijaya, 1992: 44) Ucok adalah salah satu dari rombongan orang udik yang datang menghadap kepada bupati. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat kalangan bawah membuat Ucok menjadi putus asa. Keputusasaan yang dialaminya disebabkan karena kemiskinan yang mereka alami dan menyebabkan mereka sama sekali tidak dianggap oleh para penguasa dan hanya dipermainkan saja. Hal itu membuat keputusasaan yang berlebihan dan menyebabkan Ucok segera ingin mengakhiri hidupnya daripada hanya dipermainkan saja dan dibunuh pelan-pelan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80 Melalui kritiknya dalam pada masalah kemiskinan, Putu Wijaya berharap agar strategi pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dapat ditinjau kembali karena banyak merugikan rakyat kecil, bahkan semakin mempermiskin rakyat yang sudah miskin. Perhatian pemerintah terhadap kurang meratanya pendidikan yang didapatkan oleh masyarakatnya juga disoroti sangat tajam oleh Putu Wijaya. Kurangnya pendidikan menyebabkan rakyat kecil menjadi semakin tertinggal. Pendidikan yang memadai harus diperhatikan oleh pemerintah, sehingga semua masyarakat yang ada di Negara ini bisa mendapatkannya. Dari tidak meratanya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah juga membuat banyak masyarakat yang semakin tertinggal dan mengalami kemiskinan. Putu Wijaya berusaha menohok Pemerintah yang para penguasanya banyak menyalahgunakan kekuasaan dan tidak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rakyatnya. Dengan bantuan aparat mereka membersihkan para demonstran dan orang-orang yang menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat dengan dalih demi menjaga stabilitas politik yang ada. Hak politik rakyat semakin dipersempit dan rekayasa sosial berlangsung dengan sangat ketat. Akibat dari semua ini rakyat juga yang akhirnya semakin menderita dan tertekan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP Setelah melewati serangkaian pembahasan yang dibicarakan dalam babbab sebelumnya, akhirnya peneliti sampai pada bagian akhir dari seluruh pembahasan ini. Pada bagian penutup ini peneliti akan mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Di samping itu akan disampaikan pula tentang saran. A. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Berdasarkan strukturnya, naskah lakon Aum memperlihatkan perpaduan hubungan atas unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah: alur, latar, serta tema dan amanat. Alur dalam naskah lakon Aum ini menggunakan alur maju, yaitu dengan dimulai dari awal sampai cerita itu berakhir. Adapun tahap-tahap alur yang ada pada naskah lakon ini adalah: permulaan, pertikaian, perumitan, puncak, peleraian, dan akhir. Dalam naskah lakon Aum ini, juga menggunakan alur rapat, karena naskah lakon ini hanya sedikit menggunakan narator atau pencerita, sehingga perubahan dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain menjadi cepat. Hal ini mengakibatkan alur menjadi cepat atau rapat, dan secara dramatik melalui dialog tokoh-tokoh tersebut karakterisasi masingmasing tokoh muncul dalam tiga dimensional, yaitu: dimensi fisiologis, commit to user dimensi psikologis, dan dimensi sosiologis. Aspek-aspek ruang yang 81 perpustakaan.uns.ac.id 82 digilib.uns.ac.id digunakan adalah semua kejadian ini mengambil setting di negara Republik Indonesia. Penggambaran latar juga diperlihatkan dengan jelas. Misalnya, penggambaran pada sebuah suasana dan kondisi di depan rumah bupati yang penuh dengan canda dan ketegangan yang didukung dengan perubahan ruang dan waktu yang sangat mendukung penggambaran latarnya. Tidak ketinggalan peran musik yang berfungsi untuk menggambarkan latar dalam suatu bentuk suasana tertentu. Dari keseluruhan cerita, tema dalam naskah lakon Aum ini adalah tentang kemerdekaan dan pembangunan yang dampaknya belum dirasakan secara merata oleh masyarakat Indonesia. Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang adalah sindiran secara halus kepada pemimpin bangsa yang tidak peduli kepada nasib kaum bawah yang selalu terpinggirkan. 2. Dalam naskah lakon Aum ini, problem-problem sosial yang terkandung di dalamnya meliputi kekuasaan, penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan. Kekuasaan yang selalu menindas dan tidak memperdulikan nasib masyarakat kalangan bawah tersebut muncul karena pemimpin yang tidak mau memperhatikan rakyatnya secara menyeluruh dan lebih bersifat menindas pada rakyat kecil. Keadaan tersebut dapat dilihat pada naskah lakon Aum hal 28, ketika Ucok menanyakan permasalahan yang mereka alami selama ini kepada Bupati, tetapi oleh Bupati pertanyaan yang disampaikan oleh Ucok dianggap lelucon dan kemudian mereka diusir oleh Bupati. Kemiskinan disebabkan karena sulitnya mendapat lapangan pekerjaan dan kebanyakan masyarakat tidak mempunyai modal untuk usaha. Penindasan dilakukan oleh aparat dan penguasa karena menganggap itu adalah hak mereka dan menjai bagian dari tugas mereka. Ketidakadilan dalam naskah lakon ini menyinggung tentang commit to user 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tidak meratanya pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Sehingga rakyat yang tinggal di pedesaan tidak sepenuhnya bisa mendapatkan hak-hak mereka sperti yang lain. Naskah lakon ini juga menampilkan problem sosial kekuasaan yang tidak memperdulikan keadaan masyarakat kalangan bawah. B. Saran Hal-hal yang perlu penulis sampaikan sebagai saran yang semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pecinta sastra, antara lain: 1. Naskah lakon atau drama adalah salah satu genre sastra yang menarik untuk dinikmati selain karya sastra yang lain, karena selain bentuk penyampaiannya yang berbeda, di dalamnya juga terdapat banyak sekali nilai-nilai kehidupan. 2. Kurangnya buku-buku acuan baik di perpustakaan pusat maupun perpustakaan fakultas menjadi salah satu hambatan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, kepada pihak perpustakaan diharapkan dapat melengkapi buku-buku terbitan terbaru, khususnya tentang sastra. 3. Para pengunjung perpustakaan hendaknya turut menjaga baik keberadaan buku-buku koleksi perpustakaan fakultas maupun perpustakaan pusat. Selama melakukan penelitian ini, penulis banyak menemukan buku dan skripsi yang tidak utuh lagi, dan bahkan hilang. 4. Kepada para pecinta dan pemerhati sastra ada baiknya kalau mengadakan penelitian lanjutan terhadap naskah lakon Aum karya Putu Wijaya ini, tentunya dengan teori, pendekatan, dan metode yang berbeda sehingga akan memberikan variasi dan pengetahuan yang baru dalam khazanah penelitian sastra Indonesia. commit to user