Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan

advertisement
 TINJAUAN PUSTAKA
Kegemukan
Kegemukan terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi yang
relatif berlebih ataupun karena asupan lemak yang berlebih. Diet tinggi lemak
biasanya padat energi dan memberikan rasa yang lezat, maka diet dengan
mengonsumsi makanan yang relatif banyak mengandung lemak biasanya akan
menimbulkan peningkatan pasif asupan energi (Gibney et al. 2004). The World
Health Organization (WHO) dan The U.S. National Institut of Health (NIH)
mendefinisikan kegemukan jika BMI seseorang berada pada kisaran 25 – 29.9
kg/m2 (Robinson & Thomas 2006). Selain itu, menurut Suitor dan Hunter diacu
dalam Gibney et al. (2004) yang dimaksud dengan kelebihan berat badan
(kegemukan) adalah kelebihan berat badan di atas 20% dari berat normal.
Beberapa faktor utama penyebab kegemukan adalah genetik, fisiologis,
makanan, dan gaya hidup (Jequire & Tappy 1999). Dua faktor terahkir dapat
dimodifikasi untuk menurunkan berat tubuh. Santrock (1999) mengemukakan
beberapa penyebab terjadinya kegemukan, yaitu (a) faktor genetis; (b) faktor
taraf metabolisme dasar dalam tubuh; (c) faktor sosial ekonomi.
Faktor Genetis
Seorang individu yang memiliki berat badan gemuk (kegemukan)
menurut pandangan genetis ini, dikarenakan keturunan kondisi orang tua yang
juga memiliki badan gemuk. Dalam penelitian yang dilakukan Bouchard dalam
Santrock (1999), terbukti sebanyak 25-75% orang yang gemuk karena orang
tuanya yang berbadan gemuk.
Leptin adalah salah-satu faktor genetik yang menyebabkan terjadinya
kegemukan. Leptin adalah protein yang dihasilkan oleh sel adipose. Leptin yang
dihasilkan ini dialirkan dalam darah menuju hipotalamus untuk mengontrol
penyimpanan lemak atau bekerja dalam hal keseimbangan energi (Wiseman
2002). Jika leptin dalam darah meningkat maka kadar insulin menurun sehingga
akan mengurangi nafsu makan. Pada orang kegemukan atau mengalami
kelebihan berat badan, kadar leptin dalam darahnya rendah sekali (Stewart &
Mann 2007). Rendahnya kadar leptin inilah yang menyebabkan seseorang lama
kelamaan menjadi obes, karena tidak ada yang mengontrol nafsu makan individu
tersebut. Rusaknya leptin, salah-satunya disebabkan oleh faktor genetik.
6
Menurut D’Adamo (2009), seseorang yang mengalami kelebihan berat
badan, kadar leptin dalam tubuhnya akan meningkat, tetapi fungsinya terhambat.
Pada penderita obesitas kadar leptin meningkat seiring dengan meningkatnya
kadar insulin, hal inilah yang membuat para peneliti percaya bahwa resistensi
leptin merupakan pemicu resistensi insulin. Leptin merupakan hormon yang
berhubungan denga gen obesitas. Leptin mempengaruhi kerja hipotalamus
dalam mengatur jumlah lemak tubuh, kemampuan membakar lemak menjadi
energi dan rasa kenyang (rasa setelah cukup makan).
Leptin adalah hormon yang berfungsi untuk menurunkan nafsu makan
dan memicu tubuh untuk menggunakan energi lebih banyak. Pada keadaan
leptin resisten tubuh menjadi tidak peka terhadap rangsangan hormon leptin
sehingga fungsi hormon menjadi tidak optimal yang mendorong terjadinya
obesitas dan gangguan metabolisme tubuh yang lain. Leptin juga turut
membantu kerja hormon insulin yaitu hormon yang berfungsi merangsang sel-sel
tubuh untuk menurunkan gula darah (D’Adamo 2009).
Metabolisme dalam Tubuh
Seorang individu yang cenderung banyak beristirahat dan kurang
melakukan aktifitas, berarti energi yang tersimpan dalam tubuh semakin banyak,
sebab penggunanan energi tersebut tergolong rendah. Sementara itu, ia harus
menerima input makan secara wajar setiap hari. Dengan demikian, tidak ada
keseimbangan antara input dengan outputnya. Akibatnya, terjadilah penumpukan
energi, ini berarti terjadi proses pembesaran sel-sel adiposa. Dengan demikian
individu mengalami kegemukan.
Pada tingkat kegemukan, kapasitas dan efisiensi kerja menurun, juga
daya tahan tubuh menurun, yang tampak pada morbiditas serta mortalitas yang
meningkat. Seseorang yang menderita kegemukan lebih cepat menjadi lelah.
Lama hidup (life span) orang gemuk juga lebih pendek dibandingkan dengan
jangka hidup orang yang mempunyai berat badan ideal. Orang yang mengalami
kegemukan akan lebih cepat merasa kepanasan badannya dan cepat
berkeringat (Suhardjo 2000).
Pada orang yang gemuk, tempat-tempat penimbunan cadangan zat gizi
sudah penuh, atau tidak dapat menampung lagi simpanan, dan kelebihan za gizi
yang masih tersisa disimpan di tempat-tempat lain yang tidak biasa. Terjadi
penimbunan lemak di sekitar organ-organ dalam yang vital, seperti jantung, ginjal
7
dan hati. Keadaan ini akan menghambat fungsi dari organ-organ penting tersebut
(Suhardjo 2000).
Faktor Sosial Ekonomi
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan
sumberdaya
yang
sama.
Besar
keluarga
dapat
mempengaruhi
tingkat
pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan
yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga.
Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi
keluarga dan individu. Menurut Suhardjo (1994), semakin banyak anggota
keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang.
Pendapatan keluarga atau pendapatan orang tua adalah jumlah semua
hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai
hasil pekeerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan
menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan,
perumahn, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Hukum Bennet
menyatakan bahwa semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi
pangan akan bergeser kearah konsumsi pangan dengan harga kalori yang lebih
mahal seperti pangan hewani yang kandungan proteinnya lebih tinggi (Holman
1987).
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang pertumbuhan anak
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan baik primer maupun
sekunder (Soetjiningsih 1994). Besar pendapatan yang diterima oleh individu
akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan
berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar
(Suhardjo 1989).
Santrock (1999) mencatat bahwa remaja perempuan yang berasal dari
status sosial ekonomi yang rendah cenderung memilki berat badan yang gemuk
dibandingkan dengan remaja perempuan yang berasal dari status ekonomi
tinggi. Santrock tidak menyebutkan alasan dasar yang menjadi penyebab
kegemukan tersebut. Kemungkinan timbulnya kegemukan tersebut disebabkan
seberapa intesitas perhatian individu terhadap perawatan fisiknya. Mereka yang
mapan secara ekonomis, lebih memiliki perhatian yang tinggi. Mereka mungkin
akan merasa cemas jika berat badannya mengalami kenaikan secara cepat, oleh
8
karena itu, mereka segera melakukan perawatan intensif dengan bantuan tenaga
profesional (ahli gizi, dokter, fitness trainer) serta membeli bahan-bahan untuk
merampingkan tubuhnya.
Pola Konsumsi
Penellitian yang dilakukan oleh Levitsky dan Trisha (2004) pada
mahasiswa tingkat I di Cornell University menunjukkan semakin banyak makanan
yang disediakan, semakin banyak mereka mengalami kelebihan makanan. Hal ini
perlu diwaspadai oleh masyarakat Indonesia yang makan dalam jumlah banyak
sehari-harinya, atau keluarga-keluarga yang memenuhi kulkasnya dengan segala
macam makanan, terutama makanan yang dikenal dengan istilah junk food
(Harahap 2009).
Remaja
Istilah remaja atau aldolescence berasal dari bahasa latin aldolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Gunarsa
dan Gunarsa (1990) berpendapat tahap perkembangan remaja umumnya disebut
pancaroba atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan.
Menurut Sarwono (2003), berdasarkan tahap perkembangan masa remaja dapat
dibagi menjadi dua tahap yaitu remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 1317 tahun untuk remaja perempuan) dan tahap remaja ahkir (19-21 tahun untuk
laki-laki dan remaja perempuan).
Ciri-ciri tahap remaja awal yaitu terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang
pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri
maupun orang lain sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat
pesat dibandingkan tahap ahkir, masa peningkatan emosi, masa tidak stabil
(cepat bosan, sulit berkonsentrasi dan lain-lain), merasa banyak masalah. Ciri-ciri
remaja tahap ahkir yaitu lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi dan cara
berpikir, bertambah realistis, bertambah kemampuan untuk memecahkan
masalah, tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang, dan
pertumbuhhan fisik pada tahap ini lambat.
Adapun dalam masa pertumbuhan, status gizi remaja tidak hanya
dipengaruhi faktor ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor budaya seperti
kebiasaan makan. Kebiasaan makan yang
buruk pada waktu remaja
memungkinkan terjadinya gizi kurang atau obesitas (Alexander 1994). Menurut
Hurlock (1991), selama masa remaja terjadi perubahan dalam tinggi badan, berat
9
badan, proporsi tubuh, organ seks, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder
seperti payudara, suara, rambut, dan sebagainya. Perubahan internal tubuh yang
terjadi pada masa remaja meliputi perkembangan sistem pencernaan, sistem
peredaran darah, sistem pernafasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh
terutama otot.
Persepsi Tentang Kegemukan
Kotler
(2000)
menjelaskan
persepsi
sebagai
proses
bagaimana
seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan
informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara
diacu dalam Arindita (2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses
pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi
mencakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (input), pengorganisasian
stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan
cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.
Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan
proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya
tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,
motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu
dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk
dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan
sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses
pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang
cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan pengamatan.
Leavitt diacu dalam Rosyadi (2001) membedakan persepsi menjadi dua
pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit
mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat
sesuatu. pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari
bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi
berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi
lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.
Walgito diacu dalam Hamka (2002) menyatakan bahwa terjadinya
persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut. Tahap
pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau
10
proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera
manusia. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis,
merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat
indera) melalui saraf-saraf sensoris. Tahap ketiga, merupakan tahap yang
dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran
individu tentang stimulus yang diterima reseptor. Tahap ke empat, merupakan
hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Menurut Newcomb diacu dalam Arindita (2003), ada beberapa sifat yang
menyertai proses persepsi, yaitu Konstansi (menetap) dimana individu
mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang
ditampilkan berbeda-beda. Selektif adalah persepsi dipengaruhi oleh keadaan
psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang
bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan
menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang
diterima dan diserap. Proses organisasi yang selektif adalah beberapa kumpulan
informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang
berbeda-beda. Oskamp diacu dalam Hamka (2002) membagi empat karakteristik
penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang terdapat dalam persepsi, yaitu
faktor-faktor ciri dari objek stimulus. Kedua adalah faktor-faktor pribadi seperti
intelegensi, minat. Ketiga faktor-faktor pengaruh kelompok. Keempat adalah
faktor-faktor perbedaan latar belakang kultural.
Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai
komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allport (dalam Mar'at,
1991) ada tiga yaitu, komponen kognitif yaitu komponen yang tersusun atas
dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek
sikapnya. Melalui pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan
tertentu tentang obyek sikap tersebut. Kedua adalah komponen Afektif,
komponen ini berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang, sehingga
sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau
sistem nilai-nilai yang dimilikinya. Ketiga merupakan Komponen Konatif
yaitu merupakan komponen kesiapan seseorang untuk bertingkah laku.
Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya
kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Sikap merupakan predisposing untuk merespons, untuk berperilaku Rokeach
(Walgito 2003).
11
Penelitian di kota Bogor menunjukkan sekitar 20% remaja perempuan
yang memiliki status gizi yang normal beranggapan dirinya gemuk (Hardinsyah
1998 diacu dalam Hardinsyah 2007). Sedangkan data survey IMT yang dilakukan
oleh Depkes (2003) dalam Hardinsyah (2007) menunjukkan bahwa seperenam
jumlah perempuan yang bergizi baik takut mengalami kegemukan. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kekhawatiran mengalami kegemukan dan ada
usaha untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan.
Perempuan yang mengalami kegemukan atau obesitas kebanyakan
merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya (Foster et al.1997 diacu dalam
Sarwer, Foster, dan Wadden 2004). Ketidakpuasaan ini seringkali berimplikasi
pada sikap yang merugikan. Seorang remaja putri berpikir untuk melakukan diet
untuk membentuk tubuhnya seperti para model. Kondisi ini membuat remaja
tersebut melakukan diet yang berarti membatasi dengan cermat konsumsi kalori
atau jenis makanan tertentu yang bisa membuat berat badan berkurang dan
tubuh tetap sehat atau sebalikya membahayakan diri sendiri (Notoatmodjo 2007).
Selain
itu,
persepsi
seseorang
terhadap
bentuk
tubuhnya
akan
berpengaruh terhadap perilaku makannya. Ketakutan yang berlebihan terhadap
kegemukan akan mendorong seseorang untuk melakukan diet. Diet yang terlalu
keras akan mengakibatkan seseorang menderita anoreksia dan bulimia. Menurut
Khomsan (2003), penderita bulimia mengonsumsi makanan dalam jumlah yang
wajar atau bahkan memiliki nafsu makan seperti orang yang obesitas namun
setelah semua makanan itu masuk, mereka berusaha mengeluarkannya kembali
melalui mulut atau dibantu dengan obat pencahar. Penderita anoreksia
cenderung melakukan pembatasan konsumsi makanan yang tidak wajar,
sehingga berat badan mereka cenderung kurus.
Konsumsi Pangan dan Angka Kecukupan Zat Gizi Remaja Putri
Pangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua bahan
yang dapat dijadikan makanan, sedangkan makanan ialah bahan selain obat
yang mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh. Makanan sehari-hari
yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dan dibutuhkan
untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik,
tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial yang merupakan zat
gizi yang harus diperoleh dari makanan (Almatsier 2002).
12
Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah jenis
dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga
atau rumah tangga) pada waktu tetentu. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi
agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah
zat gizi ynag diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan
tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh,
dan pertumbuhan bagi orang dewasa dan lansia.
Angka kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang
sebaiknya dipenuhi seseorang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, dan aktifitas agar hamper semua orang sehat. Angka kecukupan zat gizi
yang dianjurkan untuk remaja putri dengan berat badan 50 kg menurut WKNPG
2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi (AKG) untuk remaja putri
Zat gizi
Energi (Kal)
Protein (g)
AKG
(16-18 tahun)
AKG
(19-21 tahun)
2200
50
1900
50
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan pada remaja saat ini lebih sering diamati dibandingkan
kebiasaan makan pada orang dewasa ataupun pada usia lain. Hal ini
dikarenakan pada remaja seringkali ditemui kebiasaan makan yang tidak biasa
seperti konsumsi camilan yang berlebihan, seringnya makan di luar rumah
khususnya konsumsi fast food, penerapan diet yang salah, dan meal skipping
(Stang 2000 ). Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, antara lain adalah
berkurangnya pengaruh dari keluarga dan meningkatnya pengaruh lingkungan
dalam hal pemilihan makanan dan kesehatan, peningkatan iklan-iklan makanan
di media, dan lain sebagainya.
Sebagian besar remaja sadar akan pentingnya mempertimbangkan faktor
gizi dan kesehatan dalam melakukan pemilihan makanan, akan tetapi banyak
aspek yang mempengaruhi mereka dalam memilih makanan dan minuman (Story
et al. 2002b). Menurut Sztainer et al. (1999), selera, waktu, dan kenyamanan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi remaja dalam memilih makanan
dan minuman.
13
Remaja mempunyai kecenderungan untuk mengonsumsi makanan di luar
rumah, memilih makanan yang dianggap popular dan meningkatkan gengsi,
serta mempunyai kebiasaan makan yang tidak teratur (Bourne 1979). Kebiasaan
makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk terlihat langsing,
khususnya remaja putri seringkali menimbulkan gangguan makan atau eating
disorders (Bruess 1989).
Kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap,
kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat
bersikap positif atau negatif. Menurut Suhardjo (1994), kebiasaan makan
merupakam cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan
mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh psikologi, fisiologi, budaya, dan
sosial.
Kebiasaan Sarapan Pagi
Meal skipping merupakan kebiasaan makan yang sering dilakukan oleh
remaja. Salah-satu waktu makan yang sering dilewatkan oleh remaja adalah
sarapan pagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Story et al. (2002)
ditemukan bahwa sarapan merupakan waktu makan yang paling sering
dilewatkan oleh remaja khususnya remaja perempuan. Berdasarkan data
nasional di Amerika 24% remaja perempuan melewatkan waktu sarapan setiap
harinya (Lin et al. 1996).
Adapun alasan remaja melewatkan waktu sarapannya bermacam-macam
mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta
menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori. Menurut Gleason et
al. (2001), sarapan dilewatkan oleh 15% remaja berumur 9-13 tahun, 34% oleh
remaja perempuan berusia 14-19 tahun. Melewatkan sarapan dihubungkan
dengan status kesehatan yang kurang baik termasuk indeks massa tubuh yang
tinggi, penurunan konsentrasi belajar, peningkatan resiko kekurangan zat gizi
terutama kalsium dan serat (Affenito et al. 2005).
Salah-satu kebiasaan makan yang sehat adalah membiasakan diri untuk
sarapan pagi dan mengonsumsi makanan sehat. Menurut Radita (2007),
seseorang yang tidak sarapan akan merasa lebih lapar pada siang dan malam
hari daripada mereka yang sarapan, sehingga memacu mereka untuk
mengonsumsi lebih banyak makanan pada siang hari dan malam hari.
Mengonsumsi makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada
14
meningkatnya glukosa yang akan disimpan sebagai glikogen, karena aktivitas
pada malam hari rendah.
Konsumsi Buah dan Sayur
Menurut (Drapeau et al. 2004), konsumsi buah dan sayuran dapat
mencegah kejadian kegemukan karena dapat mengurangi rasa lapar dan tidak
menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Buah dan sayur dapat menjadi
makanan selingan yang sangat baik karena mengenyangkan,rendah lemak, serta
kaya akan vitamin yang diperlukan oleh tubuh (Pratiwi 2010).
Menurut Hui (1985), sayur dan buah dapat mencegah kejadian obesitas
karena dapat mengurangi rasa lapar namun tidak menimbulkan kelebihan lemak,
kolesterol, dan sebagainya. Sayur dan buah umumnya mengandung serat kasar
yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi.
Banyak orang yang kurang menyukai sayuran dalam menu makanan dengan
alasan karena rasanya yang kurang enak. Pola makan keluarga tertentu yang
tidak mengutamakan sayuran dan buah dalam menu makanan utama menambah
parah kurangnya asupan sayuran.
Frekuensi Makan
Menurut Khomsan (2003) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali
dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan
makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian
kegemukan.
Frekuensi makan yang tidak teratur dan jarak antara waktu makan yang
terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan yang lebih
banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Menurut Gunawan (1997),
untuk memperoleh tubuh yang langsing dan menarik banyak remaja putri yang
tidak mau makan pagi, mengurangi frekuensi makan, dan melakukan diet yang
berlebihan.
Fast Food dan Soft Drink
Kegemukan terutama berkaitan dengan pola makan. Fast food (makanan
cepat saji), snack, dan soft drink termasuk makanan dan minuman tidak sehat
yang dapat memicu kegemukan. Fast food adalah makanan yang mengandung
gula dan lemak tinggi, tetapi kandungan seratnya rendah. Hal yang sama juga
15
dikemukakan oleh Kestler (1995) bahwa sebagian besar fast food tinggi
kandungan kalori, lemak, garam, dan gulanya, akan tetapi rendah kandungan
gizinya. Kebiasaan mengonsumsi fast food yang berlebihan dan tidak
dikombinasikan dengan buah dan sayuran segar sebagai sumber serat telah
memicu berbagai macam penyakit (Wirakusumah 2007).
Fast food yang popular saat ini adalah hamburger, kentang goreng
(french fries), pizza, doughnuts, fried chicken, dan hot dogs. Menurut Stang
(2000), alasan remaja banyak mengonsumsi fast food adalah harganya yang
murah, jarak restoran fast food yang dekat dengan kampus/sekolah mereka,
kenyamanan, serta rasa dari fast food yang cocok dengan selera remaja. Nilai
kunjungan tertinggi remaja ke restoran fast food yaitu pada waktu pulang
sekolah, kemudian saat ahkir pekan dan pada saat makan malam.
Minuman ringan (soft drink) memiliki kandungan gula yang tinggi
sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengonsumsi minuman ini.
Kegemukan
dapat
dicegah
sejak
dini.
Kegemukan
pada
anak
dapat
berkelanjutan hingga dewasa dan sulit diatasi (Aini 2008).
Konsumsi Camilan
Menurut Wirakusumah (1994), kebiasaan mengonsumsi camilan dapat
berdampak baik dan buruk. Camilan yang sehat adalah camilan yang jika
dikonsumsi dapat menyumbangkan sejumlah zat gizi yang signifikan tanpa
menurunkan selera makan seperti cracker gandum, buah-buahan, dan lain-lain,.
Namun apabila camilan yang dikonsumsi tinggi lemak, tinggi gula namum rendah
zat gizi, maka akan berakibat buruk salah-satunya adalah risiko terjadinya
kegemukan.
Konsumsi camilan tidak hanya dilakukan pada saat santai akan tetapi
juga dilakukan saat seseorang mengalami stres. Menurut Khomsan (2002) diacu
dalam Sugiharti (2003), stres akan merangsang dihasilkannya hormon adrenalin
secara berlebihan dan menyebabkan jantung berdebar cepat. Produksi hormon
adrenalin ini akan membutuhkan zat gizi seperti vitamin-vitamin B, mineral Zn,
kalium, dan kalsium. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan tidaklah
menguntungkan, sebab zat-zat gizi untuk memproduksi hormon adrenalin akan
semakin terkuras. Ketika seseorang mengalami tekanan psikologis terjadi
penurunan kadar glukosa darah yang menyebabkan rasa lapar (Wirakusumah
2001).
16
Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Aktifitas fisik
adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya.
Selama melakukan aktifitas fisik, otot membutuhkan energi untuk menghantarkan
zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh.
Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang
bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier
2002).
Kategori tingkat aktifitas Physical Activity Level (PAL) dibedakan menjadi
tiga, yaitu aktifitas ringan, sedang dan berat. Aktifitas fisik ringan memiliki nilai
PAL antara 1.40-1.69. Seseorang yang mempunyai aktifitas fisik yang ringan
menggunakan kendaraan untuk transportasi, tidak berolahraga, dan cenderung
meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan
berdiri, dengan sedikit gerakan tubuh. Aktifitas fisik sedang memiliki nilai PAL
1.70-1.99. Seseorang yang mempunyai tingkat aktifitas fisik sedang tidak
memerlukan energi yang besar, namun kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih
tinggi daripada kegiatan aktifiats ringan. Aktifitas fisik berat memiliki nilai PAL
2.00-2.39. Aktifitas berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat
dalam waktu yang lama (FAO/WHO/UNU 2001).
Pengetahuan Gizi
Faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang adalah kondisi sosial
ekonomi dan pengetahuan gizi yang diperoleh individu tersebut. Pengetahuan
gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi terhadap status gizi
dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang
dari kebiasaan makan yang tidak sehat. Pengetahuan gizi dapat diperoleh
melalui pendidikan formal ataupun informal. Selain itu, pengetahuan gizi juga
dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat
komunikasi, seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio
dan menyaksikan siaran televisi ataupun penyuluhan gizi.
Perilaku makan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi yang
dimilikinya. Menurut Burn, George, dan Caterson diacu dalam Yusra (1998)
menyatakan
bahwa
seseorang
yang
memiliki
pengetahuan
gizi
akan
mempraktekkan pengetahuan yang mereka miliki melalui perilaku gizi yang baik.
Salah-satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan gizi
seseorang atau masyarakat adalah dengan pendidikan gizi (Berg 1986).
17
Pendidikan gizi banyak berpengaruh dalam mengatasi masalah gizi dan
kesehatan. Pendidikan formal yang tinggi, jika tidak disertai dengan pengetahuan
gizi yang memadai akan memberikan dampak negatif terhadap masalah gizi
(Hanum 1989). Hasil penelitian Andriani (1998) memperlihatkan semakin baik
pengetahuan seseorang, akan semakin positif sikapnya terhadap gizi. Menurut
Harper, Deaton, dan Driskel (1988), pengetahuan gizi dapat mempengaruhi
seseorang dalam jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan
(Sunarti 2004). Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang
akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi. Status gizi seseorang, pada dasarnya merupakan
gambaran kesehatan sebagai refleksi dari konsumsi pangan dan penggunaannya
oleh tubuh.
Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
pengukuran antropometri, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, dan
pengukuran dietary intake. Metode yang paling sering digunakan adalah
pengukuran antropometri. Indikator antropometri antara lain adalah IMT atau
Indeks Massa Tubuh (IMT=BMI, Body Mass Index). IMT merupakan pembagian
berat badan (dalam kilogram) terhadap kuadrat tinggi badan (dalam M) (Sunarti
2004). Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada penduduk Asia dewasa
dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Klasifikasi indeks massa tubuh
Klasifikasi
IMT
Kurus
<18.5
Normal
18.5-24.9
Gemuk
25-30
Obes
≥30
Sumber: WHO (2003) diacu dalam Sunarti (2004)
Download