BAB III PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DI LUAR NEGERI DAN PERMASALAHAN TKI DI LUAR NEGERI Bab ini akan memaparkan tentang perlindungan tenaga kerja migran baik menurut ketentuan internasional seperti Vienna Convention, ILO dan ketentuan menurut perundang-undangan Indonesia serta problem perlindungan buruh migran yang dihadapi oleh Indonesia. Lemahnya posisi negara dalam penanganan kasus migrant worker serta campur tangan NGO sebagai kontrol langkah-langkah kebijakan pemerintah dan seberapa penting peran NGO dalam penanganan kasus buruh migran akan diuraikan pada bab ini. A. Perlindungan Buruh Migran 1. Perlindungan Warga Negara Asing Menurut Ketentuan Internasional Vienna Convention 1961 dan 1963 sebagai aturan baku dalam hubungan diplomatik dan konsuler antar negara telah membahas mengenai perlindungan warga negara asing sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip piagam PBB tentang persamaan dan keamanan internasional serta untuk memajukan hubungan persahabatan antar negara bangsa. Pemberian perlindungan warga negara asing oleh perwakilan negara diatur pada Vienna Convention 1961 pasal 3 ayat 1 “ melindungi di dalam negara penerima, kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga negara-warga negaranya di dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum internasional”1. 1 Vienna Convention 1961 pasal 3 ayat 1, huruf b 22 Sedangkan fungsi perwakilan konsuler salah satunya adalah “...melindungi di negara penerima, kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga negarawarga negaranya, yang meliputi individu-individu dan badan-badan hukum, di dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional.”2 PBB sebagai lembaga yang universal memiliki tanggung jawab untuk menjalankan apa yang tertuang dalam piagam PBB. Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia yang dibuat pada tahun 1948 ini merupakan suatu standar pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan negara. Perlindungan terhadap warga negara asing khususnya bagi pekerja migran dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini dapat diartikan melalui ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya. Pada pasal 4, ditegaskan larangan praktek-praktek perjambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun. Pasal ini menyatakan “Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhambakan, perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun dilarang” Pada pasal 2 juga dijelaskan bahwa setiap negara harus menjamin persamaan derajat dan martabat setiap individu yang berada di wilayahnya dengan tidak memandang asal usul kewarganegaraannya. Pasal 2 berbunyi “...tidak akan diadakan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum ataupun kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal”. Dengan demikian, setiap warga negara asing berhak mendapat pengakuan bagi hak asasi mereka secara universal. 2 Vienna Convention 1963 pasal 5 huruf a 23 Diterangkan secara eksplisit pengaturan tentang perlindungan warga negara asing termasuk pekerja migran diatur pada bagian ke III dari International Convenant on Economic, Social and Culture Right (ICESCR) tentang perlindungan hak-hak pekerja, hak pendidikan dan budaya pada pasal 6 hingga pasal 15. Pada pasal 6 dikatakan bahwa tiap negara wajib mengakui dan mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu, misalnya pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan untuk menjamin hak-hak atas pekerjaan termasuk hak atas kesempatan mencari nafkah sesuai dengan pekerjaan yang dikehendaki individu tersebut. Pasal 7 ICESCR mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi pekerjaan yang adil dan menguntungkan khususnya jaminan dlam hal upah, kondisi kerja yang aman dan kesempatan yang sama mendapatkan jabatan, istirarat dan pembatasan jam kerja. Hal yang sering dialami oleh tenaga kerja Indonesia mencakup apa yang telah disebutkan diatas, yaitu mengenai upah yang tidak dibayarkan atau tidak sesuai dengan beban kerja, jam kerja yang tidak manusiawi, dan jaminan keamanan dalam bekerja yang acap kali justru menimbulkan persoalan yang masuk kategori kriminal sebab para pekerja migran mendapat ketidakamanan atau bahkan siksaan dari majikannya sendiri. Menurut International Labour Organization (ILO), dari sekian banyak konvensi yang diselenggarakan oleh ILO dari tahun 1919 hingga tahun 2001 ada 2 konvensi yang mengatur mengenai perlindungan hak bagi pekerja migran. Kedua konvensi tersebut adalah Konvensi nomor 97 tahun 1949, Convention Concerning Migration for Employment dan nomor 143 tahun 1975, Converntion Concerning 24 Migrations in Abusive Conditions and the Promotions of Equality of Opportunity and Treatment of Migran Workers. Pada konvensi nomor 97, mewajibkan setiap negara untuk memberikan informasi yang berkaitain dengan kebijakan nasional yang berhubungan dengan hukummdan peraturan perundang-undangan tentang emigrasi dan imigrasi, ketentuan khusus mengenai pekerja migran, perjanjian umum ataupun khusus mengenai pekerja migran yang telah dibuat oleh negara-negara pihak konvensi. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa setiap negara pihak konvensi berkewajiban membantu dan memberikan informasi yang akurat pada pekerja migran mengenai hal yang dibutuhkan. Jaminan kenyamanan dan layanan perjalanan pekerja migran saat akan diberangkatkan diberikan oleh negara asal sejak keberangkatan, dalam perjalanan dan kedatangan. Konvensi Tenaga Kerja Migran ini memberlakukan ketentuan-ketentuannya tanpa adanya diskriminasi dan perlakukan yang sama terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebangsaan, ras, agama dan jenis kelamin. Perlakuan yang sama dengan warga negara penerima ini meliputi pengawasan administratif antara lain upah, tunjangan, jam kerja, lembur, usia minimum untuk bekerja. Selain itu juga dalam hal keamanan sosial dan pajak. Jika terjadi kasus hukum yang melibatkan pekerja migran maka negara penerima memberikan akses untuk berkomunikasi ke pihak berwenang dari negara asalnya, hal ini diatur dalam pasal 7 Konvensi ILO tahun 1949. Konvensi ILO nomor 143 ini diberlakukan atas dasar penegakan Hak Assai Manusia dari seluruh pekerja migran seperti yang tertuang pada pasal 1 yang menegaskan kepada setiap negara secara sistematik untuk menentukan apakah negaranya para pekerja migran masuk secara ilegal atau sesuai dengan instrumen 25 perjanjian bilateral maupun multilateral atau bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan negaranya atau tidak. Sebab pada bab 3 pada konvensi ini negara penerima dapat mengambil tindakan yang dirasa perlu sesuai dengan yurisdiksinya dalam rangka untuk menentang agen-agen pekerja migran yang ilegal. Bagi negara yang akan mengambil langkah-langkah tersebut hendaknya membangun hubungan sistematik dan bertukar informasi dengan negara yang bersangkutan ataupun organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran. Pada konvensi ILO yang diselenggarakan tahun 1975 ini juga memberikan ruang bagi organisasi-organisasi yang peduli akan nasib buruh migran untuk turut serta dalam membantu kasus yang dihadapi oleh buruh migran. Hal ini dijelaskan di pasal 7 yang memaparkan bahwa ini diberlakukan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini. Berdasarkan konvensi ini pula para pekerja migran bisa menikmati persamaan dengan hak warganegara-warganegara negara penerima. Sebab pada umumnya konvensi pekerja migran tahun 1975 mewajibkan negara yang terikat untuk membuat suatu kebijakan dalam negaranya dalam memberikan jaminan dan menggunakan metode yang sesuai dengan keadaan dan praktek di negaranya serta mengumumkan kepada negara-negara pengirim. 2. Perlindungan Buruh Migran Menurut Perundang-undangan Indonesia Menurut Darwan Prints, hak adalah sesuatu yang harus diberikan karena kedudukan atas status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah prestasi baik berupa barang atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena status atau 26 kedudukannya. 3 Tenaga kerja Indonesia di luar negeri memiliki hak-hak sesuai dengan yang telah tercantum dalam undang-undang di Indonesia, diantaranya sebagai berikut : 1) Mendapatkan upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah) 2) Hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003) 3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki (Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003) 4) Hak atas pesmbinaan keahlian (Pasal 9 sampai 30 UU No. 13 Tahun 2003) 5) Hak mendirikan dan menjadi anggota persarikatan tenaga kerja (UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh) 6) Hak istirahat tahunan (Pasal 79 UU No. 13 Tahun 2003) 7) Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrrial melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian melalui jalur hukum di pengadilan (Pasal 6 UU No. 2 Tahun 2004) Indonesia dalam hal perlindungan tenaga kerja Indonesia nampaknya terfokus pada soal membebaskan WNI yang terancam hukuman mati atau mengatasi persoalan-persoalan yang sudah muncul dan kini tengah dihadapi. Peran kelembagaan 3 Darwan Prints, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22 27 berwenang dan terkait belum terlihat dominan4. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus mengalami masa-masa sulit dalam posisi bargaining saat berdiplomasi. Padahal upaya perlindungan berdasarkan peraturan perundangundangan juga penting diberlakukan secara tegas dan menyeluruh agar Indonesia memiliki martabat dan posisi hukum yang kuat. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI / TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja. Namun dalam prakteknya undang-undang nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlilndungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masih banyak mengalami tumpang tindih. Penempatan tenaga kerja pada suatu bidang kerja sangat memerlukan suatu instansi yang ahli sehingga kepentingan masing-masing pihak dapat terlindungi. 5 Dalam pasal 5 hingga 7 UU No. 39 Tahun 2004 pemerintah memiliki tugas untuk mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi pennyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI sebagai berikut : Pasal 5 1. Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri 4 Ade Ma’rup Wirasenjaya Perlindungan TKI masa pemerintahan Jokowi. Imam Soepomo, hukum perburuhan : bidang keselamatan kerja (perlindungan buruh) PT. Pradnya Paramita Jakarta pada thesis Kewajban Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Indinesia Untuk Melindungi Tenaga Kerja di Saudi Arabia – DENIE AMIRUDDIN 2005 5 28 2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah dapat melimpahkan sebagi wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 6 Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 pemerintah berkewajiban : a. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri b. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI c. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri d. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan e. Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkaran, masa penempatan dan masa purna penempatan. 29 B. Permasalahan TKI di Luar Negeri Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri semakin hari semakin kompleks. Menurut laporan dari BNP2TKI persoalan yang kerap diadukan oleh TKI adalah gaji yang tidak dibayarkan, TKI yang melewati batas masa tinggal atau overstay,TKI yang mengalami tindak kekerasan dari majikan, tidak dipulangkan sesuai dengan kontrak kerja, gagal berangkat dan masih banyak lagi. Faktor-faktor yang mendorong munculnya permasalahan pada TKI disebabkan oleh beberapa pihak, baik dari individu TKI sendiri, pihak PJTKI bahkan dari negara. Faktor yang mendorong munculnya masalah dari individu misalnya saja kemampuan atau skill yang dimiliki oleh TKI sendiri tidak mumpuni dalam bekerja. Hal ini disebabkan karena rendahnya pendidikan dan kurangnya perhatian dalam persiapan pra-keberangkatan. Seharusnya sebelum diberangkatkan para calon TKI dibekali oleh kemampuan-kemampuan dalam mengoperasikan peralatan rumah tangga atau kemampuan berbahasa yang mendukung proses komunikasi di negara tujuan. Penyimpangan kontrak kerja juga kerap kali menimpa TKI di luar negeri, terlebih lagi di Arab Saudi. Setidaknya ada tiga sebab mengapa acap kali terjadi perselisihan perjanjian kerja. Yang pertama, calon TKI tidak sepenuhnya membaca seluruh isi perjanjian kerja sebelum berangkat dan menandatangani perjanjian tersebut begitu saja. Kasus seperti ini kebanyakan dikarenakan keterbatasan waktu yang diberikan oleh PJTKI kepada TKI untuk memahami isi perjanjian tersebut. Kemudian, TKI juga tidak memahami isi perjanjian yang sudah mereka tandatangani. Dan yang ketiga adalah penyelenggara seperti dengan sengaja mengaburkan isi 30 perjanjian kerja dan tidak memberikan penjelasan detai pada TKI yang akan diberangkatkan. Prosedur yang tidak sesuai dengan ketetapan ini pula yang kerap kali menghambat penyelesaian kasus-kasus TKI di negara kita. Padahal berdasarkan Kepmen No 204 tahun 1999 prosedur keberangkatan TKI diawali dengan surat perjanjian kerja (SPK) yang dibuat oleh agen di luar negeri dan telah ditandatangani oleh calon pengguna(majikan) sebagai pihak pertama dan diketahui oleh agen dan Konsulat Jenderal ataupun KBRI. Kemudian SPK dikirimkan ke PJTKI untuk dipahami dan ditandatangani oleh calon TKI yang telah memenuhi kriteria dari calon majikan tersebut. Jika calon TKI belum jelas atau ragu-ragu mengenai isi perjanjian kerja maka diberikan kesempatan untuk bertanya baik pada petugas PJTKI atau Depnaker. Dan sesuai peraturan pemerintah penandatanganan SPK harus dilakukan di balai yang berwenang dan disaksikan oleh pejabat kantor Depnaker. Namun pada kenyataannya penandatanganan SPK dapat dilakukan dimana saja tergantung situasinya. Ketidaksesuaian prosedur penandatanganan SPK dengan peraturan yang sudah ditetapkan ini tentu akan merugikan TKI di kemudian hari. Jika pemerintah atau instansi terkait tidak dilibatkan dalam prosedur awal tentunya pada akhir penyelesaian kasus maka pemerintah secara politik tidak memiliki kekuatan atau bergaining yang memadai untuk melindungi para pekerja migran. Yang mana pada akhirnya pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga negaranya di luar negeri yang bekerja sebagai tenaga kerja migran. Munculnya kasuskasus TKI yang bermasalah ini baik langsung ataupun tidak langsung berdampak 31 pada ketidakstabilan politik antar kedua negara Indonesia dan Arab Saudi. Tingginya angka TKI yang dipenjara atau dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi menunjukkan kegagalan Indonesia memberikan pemahaman hukum dan budaya serta persiapan yang kurang maksimal pada saat persiapan keberangkatan. 2011 pemerintah Malaysia merealisasikan program pemutihan terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di Malaysia dan kurang lebih ada sekitar dua juta tenaga kerja asing yang terkena program pemutihan tersebut. Tenaga kerja asing ini berasal dari India, Bangladesh dan juga Indonesia. TKI yang dipulangkan dari Malaysia ini dianggap sebagai TKI ilegal dan overstayer. Pada Agustus 2011 sebanyak 1300 TKI legal dan ilegal dipulangan ke Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2002 juga terjadi hal serupa yaitu pemulangkan sejumlah TKI dari Malaysia. Mayoritas TKI yang dipulangkan bekerja sebagai buruh perkebunan, kuli, supir, dan pekerja rumah tangga. Pada masa pemutihan menurut pemberitaan dari media Tempo (5/8/2011) terjadi pungutan liar yang dialami oleh tenaga kerja yang akan mengurus dokumen. Menurut KBRI berita dari pemerintah Malaysia biaya untuk pemutihan adalah 35 ringgit bagi yang akan kembali bekerja di Malaysia dan tidak ada pungutan bagi yang bersedia dipulangkan. Namun di lapangan yang terjadi TKI yang akan pulang atau mengurus dokumen dipungut biaya sampai 350 ringgit bahkan lebih. Sehingga program pemutihan ini dinilai sangat merugikan pekerja Indonesia karena adanya pungutan liar tersebut. Kasus pemulangan TKI overstayers dan bermasalah juga terjadi di Arab Saudi pada awal tahun 2011. Menurut data dari BNP2TKI hingga tanggal 14 - 19 Maret 2011 TKI yang sudah dipulangkan berjumlah 2.073 orang, dan pada bulan berikutnya 32 mencapai hampir 3000 orang. Para TKI tersebut dipulangkan dengan menggunakan kapal KM Labobar milik PT Pelni.6 Ditahun yang sama, terjadi kasus TKI Ruyati binti Satubi yang meninggal karena hukuman pancung di Arab Saudi. Tim dari Migrant CARE sempat melakukan survey atau menggali informasi lebih dalam lagi pada kasus ini. Dari penggalian tersebut diperoleh informasi bahwa terjadi perbedaan pendapat antara 3 majikan Ruyati, yaitu majikan yang pertama dan kedua menilai bahwa Ruyati memiliki kemampuan kerja yang baik selama bekerja dengan mereka dan merasa heran atas kejadian yang menimpa Ruyati. Pihak Migrant CARE mempertanyakan vonis hukuman mati dan eksekusi tanpa notifikasi ke pemerintah Indonesia sehingga keluarga Ruyati tidak memperoleh informasi sama sekali perihal eksekusi tersebut. Hal ini tentu menyalahi prinsip Mandatory Consular Notification yang diatur dalam Vienna Convention 1963. Selain kasus Ruyati, yang menjadi perhatian dan pemberitaan media adalah kasus Darsem binti Dawud yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Darsem terbebas dari hukuman gantung oleh putusan peradilan pemerintah Arab Saudi. Sebelumnya Darsem dinyatakan bersalah karena membunuh majikannya, menurut keterangan Darsem melakukan hal itu sebagai bentuk pembelaan diri ketika akan diperkosa. Sehingga pada Mei 2009, ia dijatuhi vonis hukuman mati. Pasca kasus Ruyati yang menjadi pemberitaan di berbagai media nasional, pihak keluarga Darsem berusaha menghubungi DPRD Subang untuk mengupayakan pembebasan Darsem. Meskipun 6 Pemulangan BMI overstayers dan Bermasalah dari Arab Saudi. Newsletter Migrant CARE edisi MeiJuni 2011. Halaman 8 33 pemerintah Indonesia telah berhasil bernegosiasi dengan pihak majikan Darsem dan mendapatkan pengampunan akan tetapi Darsem harus membayar uang tebusan atau disebut dengan diyat sebesar 4,7 Milyar. Dengan pemberitaan tersebut Darsem memperoleh simpati dari masyarakat Indonesia yang menyumbangkan uang untuk pembebasannya.7 Darsem merupakan TKI yang cukup beruntung dapat dibebaskan, di luar sana masih banyak TKI yang tidak seberuntung nasib Darsem adalah TKI Sumiati asal Dompu, Nusa Tenggara Barat yang dianiaya oleh majikannya, Kholid Saleh Al Akhmin. Sumiati mengalami penyiksaan fisik dan ditemukan luka bakar bahkan kakinya nyaris lumpuh dan kulit kepalanya melepuh. Disamping itu juga ada kasus Kikim Komalasari, asal Cianjur yang bekerja di Arab Saudi sejak tahun 2009. Kikim Komalasari ditemukan meninggal di tempat pembuangan sampah pada November 2010. Tahun 2014 tepatnya bulan November, dua PRT migran yang bekerja di Hong Kong ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. TKI tersebut diidentifikasi sebagai Sumartiningsih, TKI asal Cilacap Jawa Tengah dam Seneng Mujiasih asal Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Jasad TKI ditemukan di dalam koper di sebuah apartemen seorang Bankir asal Inggris di Distrik Wan Chai Hongkong. 8 C. Lemahnya Posisi Negara Dalam Mengatasi Permasalahan Buruh Migran Hambatan yang dialami oleh pemerintah Indonesia dalam perlindungan TKI sebenarnya tidak murni disebabkan karena negara tidak memiliki bargaining position 7 Investigasi Tim Advokasi Ruyati dan TKI Arab Saudi. News Letter Migrant CARE edisi Juli-Agustus 2011. Halaman 12 8 Berikan Keadilan Bagi Dua PRT Migran Korban Mutilasi di Hong Kong. News letter Migrant CARE edisi Juli-Desember 2014 halaman 6 34 yang kuat, akan tetapi juga diperparah dengan permasalahan pokok ketenagakerjaan. Misalnya saja rendahnya mutu dan kompetensi yang dimiliki oleh SDM, dimana hal ini tentu sangat berpengaruh pada kelancaran proses selama bekerja. Kurangnya keterampilan angakatan kerja dalam berwirausaha sehingga kurang dapat membuka lapangan pekerjaan di Indonesia, sehingga pengangguran masih tinggi. Banyaknya jumlah tenaga kerja migran yang berada di luar negeri didorong dengan kondisi lapangan kerja dalam negeri yang belum mencukupi untuk menampung jumlah calon pekerja Indonesia. Sehingga orang Indonesia merasa perlu merantau ke luar negeri karena negara belum bisa mencukupi kebutuhan mereka dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Dilihat dari adanya ketetapan internasional mengenai perlindungan warga negara asing perta perundang-undangan Indonesia tentang perlindungan warga negara maka dapat dilihat secara umum bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki kewajiban dan juga upaya dalam melindungi warga negaranya. Meskipun pada prakteknya memang negara dalam hal ini pemerintah tak jarang memiliki kendala dan keterbatasan dalam mengawal dan mengatasi permasalahan pekerja migran yang semakin hari semakin kompleks. Kendala dan keterbatasan pemerintah tentu akan berpengaruh pada berjalannya pelaksanaan perlindungan sendiri dan posisi negara dalam menangani kasus-kasus ketenagakerjaan khususnya di luar negeri. Halhal yang menghambat pemerintah atau melemahkan posisi pemerintah Indonesia yakni sebagai berikut : a. Aturan dan perundang-undangan yang tidak dipatuhi dalam prosedural keberangkatan TKI 35 b. Pemerintah Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral dengan negaranegara yang menjadi tujuan penempatan TKI c. Adanya pengiriman TKI secara ilegal dan skill para TKI yang tidak mumpuni untuk bekerja, hal ini disebabkan karena minimnya pendidikan dan pelatihan TKI yang hendak diberangkatkan d. Koordinasi antara instansi yang berwenang dalam sektor ini masih sangat lemah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 104A/MEN/2002 bertujuan untuk pelaksana program nasional yaitu dalam upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja serta pengembangan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas kompetisi tenaga kerja dengan memanfaatkan pasar kerja internasional yang disertai dengan perlindungan yang optimal sejak keberangkatan hingga kepulangan kembali di Indonesia. Menurut Kepmenakertrans No. 104A ini melimpahkan tanggung jawab perlindungan TKI di luar negeri kepada PJTKI sedangkan pihak lain seperti konsultan hukum, lembaga asuransi dan perwakilan Indonesia hanya mitra dalam pelaksanaan pemberian perlindungan kepada TKI. Namun mekanisme perlindungan tentu saja tidak cukup sebab PJTKI adalah lembaga non pemerintah yang terbatas lingkup geraknya untuk berinteraksi dengan aktor-aktor lain setingkat negara seperti yang berlaku menurut hukum internasional. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah Indonesia belum terlalu serius menjadikan persoalan buruh migran sebagai permasalahan yang harus diselesaikan dengan segera. Sebab dalam ilmu hubungan internasional, teori realisme menjelaskan 36 bahwa negara adalah aktor tertinggi dalam hubungan internasional, sehingga negara memiliki posisi yang paling berwenang dalam upaya melindungi warga negaranya, bukan lembaga lain. Perbedaan hukum antara Indonesia dengan Arab Saudi juga menyebabkan Indonesia lemah dalam upaya penyelesaian kasus TKI. Arab Saudi memiliki konstitusi yang berlandaskan syariat Islam, sedangkan Indonesia memiliki hukum perundang-undangan dan konstitusinya sendiri. Menurut prinsip hukum internasional, suatu negara berdaulat dilarang melakukan tindakan yang bersifat pelaksanaan kedaulatan terhadap negara berdaulat lainnya. Oleh sebab itu Indonesia tidak mungkin memberlakukan hukumnya di negara tujuan. Untuk menyelesaikan permasalahan tenaga kerja migran antara Indonesia dan Arab Saudi diperlukan kerjasama bilateral dalam sebuah perjanjian. Antara Indonesia dengan Arab Saudi juga belum ada perjanjian bilateral yang bertujuan untuk perlindungan tenaga kerja migran khususnya tenaga kerja migran yang bekerja di sektor informal. Ketiadaan perjanjian membuat posisi negara menjadi lemah dalam hal hukum. Padahal Indonesia telah lama mengusulkan kerjasama untuk menyelesaikan kasus TKI ini namun tidak ada tanggapan yang baik dari pemerintah Arab Saudi dengan alasan tidak ingin terikat. Arab Saudi hanya menyetujui perjanjian sampai tahap adanya surat perjanjian kerja (SPK) sebelum penempatan. Upaya pemerintah Indonesia dalam perlindungan warga negaranya ditunjukkan dengan memberlakukan moratorium atau pemberhentian pengiriman TKI ke Arab Saudi pada tahun 2011. Akan tetapi Indonesia tetap dinilai kalah dalam diplomasinya sebab pemerintah Arab Saudi lebih dulu memberlakukan 37 pemberhentian pemberian visa kerja kepada tenaga kerja migran asal Indonesia. Selama masa moratorium tahun 2011, Indonesia masih juga kecolongan dengan adanya pemberangkatan TKI ke Arab Saudi oleh PJTKI yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Sebab TKI yang diberangkatkan pada masa moratorium tentu tidak memiliki dokumen-dokumen perjalanan yang seharusnya dan akan berdampak pada perlindungan serta pemenuhan atas hak-haknya. Negara juga tidak menindak tegas oknum yang ada dibalik keberangkatan TKI pada masa moratorium.9 Kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negaranya juga dapat dilihat pada tahun 2015, kasus yang menimpa TKI Karni binti Medi Tarsim yang dieksekusi mati pemerintah Arab Saudi atas kasus pembunuhan yang dilakukannya pada 2012. Yang menjadi persoalan lebih kompleks adalah eksekusi dilakukan dengan tidak adanya pemberitahuan ke pemerintah Indonesia. 10 9 News Letter Migrant Care edisi Juli – Agustus 2011 “Moratorium Setengah Hati” Kemlu : TKI Karni Sembelih Anak Majikan, Disorot Luas di Saudi | http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150416195459-20-47258/kemlu-tki-karni-sembelih-anakmajikan-disorot-luas-di-saudi/ diakses 20/10/2015 jam 10.14 am 10 38