BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Pendengaran Manusia
Telinga manusia dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu bagian luar (outer ear),
bagian tengah (middle ear) dan bagian dalam (inner ear) seperti pada Gambar 2.1.
Ketiga bagian tersebut memiliki komponen-komponen berbeda dengan fungsi masingmasing dan saling berkelanjutan dalam menanggapi gelombang suara yang berada di
sekitar manusia.
Bagian luar telinga terdiri dari daun telinga (earflap) dan saluran telinga manusia
(ear canal) yang panjangnya kurang lebih 2 cm. Fungsi utama bagian luar telinga ini
adalah sebagai saluran awal masuknya gelombang suara di udara ke dalam sistem
pendengaran manusia.
Bagian tengah (middle ear) terdiri dari gendang telinga (eardrum) dan tiga
tulang, yaitu hammer (malleus), anvil (incus), dan stirrup (stapes). Bagian tengah telinga
manusia, tepatnya pada bagian belakang gendang telinga berhubungan dengan hidung
melalui tabung eustachius (arah masuknya gelombang suara dari saluran telinga luar
dianggap sebagai bagian depan gendang telinga).
Telinga dalam disebut juga sebagai labirin terletak di dalam tulang temporal.
Bagian dalam membentuk suatu rongga tertutup disebut labirin membranasea yang
berisi endolimfe, dikelilingi oleh cairan perilimfe yang terbungkus dalam kapsul otik
bertulang disebut labirin tulang. Labirin tulang memiliki bagian vestibuler dan koklear.
Bagian vertibuler yaitu vestibulum dan kanalis semisirkularis berhubungan dengan
11
12
fungsi keseimbangan, sedangkan bagian koklear yaitu koklea berhubungan dengan
fungsi pendengaran.
Secara fisik gendang telinga dapat berlubang karena beberapa hal yang bersifat
traumatik, seperti tertusuk oleh benda-benda lancip yang masuk terlalu dalam hingga
mencapai gendang telinga, retak pada tulang tengkorak, noise blast seperti ledakan yang
sangat keras, percikan arang las pada proses pengelasan, atau karena percikan zat-zat
kimia tertentu, misalnya asam. Selain penyebab-penyebab traumatik, lubang pada
gendang telinga juga dapat terjadi karena adanya infeksi pada bagian tengah telinga
yang menjalar hingga gendang telinga. Saat hal ini terjadi, terkadang akan keluar darah
dari telinga.
Gangguan lubang pada telinga menyebabkan gangguan pada sistem pendengaran
manusia dan biasanya tidak disertai oleh rasa sakit. Sebagian besar kasus-kasus yang
terjadi adalah temporary hearing loss dan umumnya gendang telinga yang berlubang
dapat sembuh dengan sendirinya asal selama proses penyembuhan telinga aman dari
kemasukan benda-benda apa pun, termasuk air. Penyembuhan beberapa jenis kasus berat
pada gendang telinga harus melalui operasi yang disebut tympanoplasty.
Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan membangkitkan getaran
pada selaput gendang telinga tersebut. Getaran yang terjadi akan diteruskan pada tiga
buah tulang, yaitu hammer (malleus), anvil (incus), dan stirrup (stapes) yang saling
terhubung di bagian tengah telinga (middle ear) yang akan menggerakkan fluida (cairan
seperti air) dalam organ pendengaran berbentuk keong (cochlea) pada bagian dalam
telinga (inner ear).
13
Selanjutnya, gerakan fluida ini akan menggetarkan ribuan sel berbentuk rambut
halus (hair cells) di bagian dalam telinga yang akan mengkonversikan getaran yang
diterima menjadi impuls bagi saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran (auditory
nerve), impuls tersebut dikirim ke otak untuk diterjemahkan menjadi suara yang kita
dengar. Terakhir, suara akan ”ditahan” oleh otak manusia kurang lebih selama 0,1 detik
(Tambunan, 2005).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga Manusia
Sumber : Tambunan, 2005.
2.2
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang
berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal
memahami pembicaraan.
14
2.2.1 Pengukuran ambang pendengaran
Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat
didengar telinga (Buchari, 2007). Terdapat beberapa test yang dilakukan untuk
mengetahui fungsi pendengaran manusia, yaitu test sederhana/klasik (test berbisik dan
garpu tala) dan test pendengaran subjektif (audiometri).
a.
Test sederhana/klasik.
- Test berbisik
Merupakan tes yang bersifat semi kuantitatif, dilakukan dengan tujuan
untuk menentukan derajat ketulian secara kasar. Menurut Buchari (2007),
secara kasar gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat
ditentukan menggunakan parameter percakapan sehari-hari sebagai berikut :
Tabel 2.1 Gradasi gangguan pendengaran akibat bising.
No
Gradasi
Parameter
1
Normal
Tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6 meter)
2
Sedang
Kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak >1,5 m
3
Menengah
Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak >1,5 m
4
Berat
Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak >1,5 m
5
Sangat Berat
Kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada jarak <1,5 m
6
Tuli Total
Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi
Sumber : Buchari, 2007.
- Test garpu tala
Merupakan tes yang bersifat semi kuantitatif, menggunakan garpu tala
dengan frekuensi 512 Hz. Bunyikan garpu tala pada posisi horizontal di dekat
15
telinga, pindahkan garpu tala pada posisi vertical ke dekat telinga. Tanyakan
dalam posisi garpu tala horizontal/vertikal pasien mendengar lebih jelas.
Gambar 2.2 Penggunaan Garpu Tala
Membandingkan hantaran tulang (A) dengan hantaran udara (B) pada
telinga yang diperiksa. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila masih
terdengar dan dinyatakan negative apabila tidak terdengar. Interpretasi hasil
pengukuran adalah sesuai dengan kriteria berikut :
•
Hasil test positif apabila A>B, dinyatakan normal
•
Hasil test positif apabila A=B, dinyatakan tuli sensorineural
•
Hasil test negatif apabila A<B, dinyatakan tuli konduktif
Kesalahan pemeriksaan pada tes ini dapat terjadi baik berasal dari
pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garpu
tala tidak tegak lurus, tangkai garpu tala mengenai rambut pasien dan kaki
garpu tala mengenai aurikulum pasien. Kesalahan dari pasien misalnya pasien
lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garpu tala.
16
b. Test subjektif (audiometri)
Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran.
Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri. Nilai ambang
pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih daapt didengar telinga.
Adapun prosedur pengukuran audiometer adalah sebagai berikut :
1. Subjek diminta untuk duduk tenang pada ruangan yang tingkat
kebisingannya tidak lebih dari 40 dB (A)
2. Periksa kebersihan telinga, bila ada salah satu yang sakit maka tes dulu
telinga yang sehat tetapi bila semua sehat tes dulu yang kanan
3. Pasang headphone pada telinga
4. Pastikan audiometer dalam posisi siap digunakan (posisi on)
5. Atur skala, atur frekuensi
6. Tes pada frekuensi 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 3000Hz, 4000Hz, 6000Hz,
dan 8000 Hz
7. Instruksikan bila mendengar untuk memberikan kode lalu catat.
8. Catat hasil pengukurannya.
Menurut International Organization for Standardization (ISO) dalam
Pujiriani (2008) diklasifikasikan ketulian menjadi beberapa derajat (berdasarkan
ambang batas pendengaran pada pemeriksaan audiometri), yaitu:
1. Normal, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar
antara 0-25 dB (A).
2. Tuli ringan, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri
berkisar antara 26-40 dB (A).
17
3. Tuli sedang, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri
berkisar antara 41-60 dB (A).
4. Tuli berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri
berkisar antara 61-90 dB (A).
5. Sangat berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri >90
dB (A).
2.2.2 Pengaruh kebisingan bagi kesehatan
Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap manusia, baik gangguan
auditori (gangguan pendengaran) maupun gangguan-gangguan non auditori (gangguan
fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi, ancaman bahaya keselamatan,
performa kerja menurun, kelelahan, dan stres).
Menurut ILO (1996) dikemukakan bahwa suatu metode sederhana untuk
menganalisis pajanan kebisingan, caranya adalah dengan berdiri pada jarak selebar bahu
dari pekerja. Jika analis tidak dapat berbicara pada tingkat suara normal dan harus
berteriak untuk dapat berkomunikasi dengan pekerja, berarti tingkat kebisingan sudah
terlalu tinggi dan harus dikurangi.
Jika kebisingan sudah seperti kondisi itu, maka akan menimbulkan gangguan
pada pekerja yang ada pada tempat kerja tersebut. Berikut ini akan dijelaskan lebih
lanjut mengenai beberapa gangguan yang terjadi akibat kebisingan :
1.
Gangguan auditori (gangguan pendengaran)
Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan yang
paling serius terjadi adalah gangguan terhadap pendengaran, karena dapat menyebabkan
hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya
18
bersifat sementara, tetapi bila bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya
dengar pekerja akan hilang secara menetap atau tuli.
a. Gangguan pendengaran sementara (temporary threshold shift)
Pada keadaan ini, terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran secara
sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan bersifat reversibel. Faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang pendengaran
(hearing threshold level) ini adalah level suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji,
spektrum suara, dan pola pajanan temporal. Faktor-faktor lain seperti usia, jenis
kelamin, status kesehatan, obat-obatan ototoksik, dan keadaan pendengaran sebelum
pajanan juga mempengaruhi pergeseran nilai ambang pendengaran.
b. Gangguan pendengaran permanen (permanent threshold shift)
Terkadang, setelah seseorang terpajan bising berlebih dalam jangka waktu
yang lama, telinga orang tersebut mengalami kehilangan pendengaran yang bersifat
permanen. Kehilangan pendengaran permanen tidak akan pernah dapat disembuhkan
(ireversibel). Jenis kerusakan telinga ini dapat disebabkan oleh pajanan bising dalam
jangka waktu yang lama, namun pada beberapa kasus disebabkan oleh pajanan
bising tingkat tinggi dalam waktu yang singkat.
2.
Gangguan non auditori
a.
Gangguan fisiologis
Gangguan fisiologis yang terjadi akibat bising dapat berupa peningkatan
tekanan darah, peningkatan nadi, basal metabolisme, kontriksi pembuluh darah kecil
(perifer) terutama pada bagian kaki, pucat, dan gangguan sensoris. Salah satu
gangguan fisiologis akibat bising yang terjadi pada telinga adalah telinga berdenging
19
(tinnitus). Tinnitus sebenarnya bukanlah penyakit, melainkan gejala awal yang dapat
menyebabkan
sejumlah
kondisi
medis,
seperti berkurang
atau
hilangnya
pendengaran. Tinnitus dapat dipastikan menimbulkan ketidaknyamanan serta
menghilangkan konsentrasi saat melakukan segala macam aktivitas.
b.
Gangguan psikologis
Gangguan psikologis yang dapat terjadi berupa rasa tidak nyaman, kurang
konsentrasi, susah tidur, emosi, dan lain sebagainya. Pemajanan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastritis dan penyakit
jantung koroner.
c.
Gangguan komunikasi
Sebagai acuan, risiko potensial terhadap pendengaran terjadi apabila
komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan berteriak. Gangguan komunikasi
ini menyebabkan pekerjaan menjadi terganggu, bahkan mungkin terjadi kesalahan,
terutama bagi para pekerja baru yang belum berpengalaman.
2.2.3 Penyebab gangguan pendengaran
Menurut penelitian yang dilakukan Pujiriani (2008), menyebutkan bahwa bahaya
bising dihubungkan dengan beberapa faktor penyebabnya, yaitu :
a.
Intensitas
Intensitas bunyi yang ditangkap oleh telinga berbanding langsung dengan
logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat
didengar. Tingkat tekanan bunyi diukur dengan skala logaritma dalam desibel (dB (A)).
20
b.
Frekuensi
Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak antara 20 hingga
20000 Hz. Frekuensi bicara terletak pada rentang 500-2000 Hz. Bunyi dengan frekuensi
tinggi merupakan bunyi yang paling berbahaya.
c.
Durasi
Efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya pajanan, dan terlihat
berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam. Jadi perlu untuk
mengukur semua elemen lingkungan akustik (meskipun sulit untuk melaksanakannya).
Untuk tujuan ini digunakan pengukur bising yang dapat merekam dan memadukan
bunyi.
d.
Sifat
Sifat ini mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil,
berfluktuasi, intermiten). Berdasarkan sifat ini, bising yang sangat berbahaya adalah
bising impulsif, yang terdiri dari satu atau lebih lonjakan energi bunyi dengan durasi
kurang dari satu detik.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Arini (2005) faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap gangguan pendengaran akibat kerja (occupational hearing loss),
adalah sebagai berikut :
1.
Intensitas suara yang terlalu tinggi (kebisingan).
2.
Usia karyawan.
3.
Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja (Pre-employment hearing impairment).
4.
Tekanan dan frekuensi bising tersebut.
5.
Lamanya bekerja.
21
6.
Penggunaan alat pelindung telinga.
7.
Gaya hidup pekerja yang merokok.
Umur merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap kerentanan
pada gangguan pendengaran akibat bising. Pada penelitian Sutanto (2001), menyatakan
bahwa pengaruh intensitas kebisingan terhadap tenaga kerja yang bekerja di lingkungan
bising dihitung mulai dari ia masuk bekerja pada umur 20 tahun sampai dengan 60
tahun. Faktor usia erat kaitannya dengan penurunan fungsi pendengaran karena faktor
penuaan (presbiakusis), dimana sudah mulai ditemukan pada usia 40 tahun dan sudah
banyak dijumpai pada usia 60 – 65 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nelson, dkk (2005) yang dikutip dari
Bashiruddin (2009) menyatakan bahwa gangguan pendengaran yang terjadi pada lakilaki ambangnya lebih tinggi dibanding pada perempuan. Kejadian gangguan
pendengaran pun presentasenya lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh laki-laki yang lebih banyak bekerja pada lingkungan kerja
yang bising serta terdapatnya perbedaan secara hormonal antara laki-laki dengan
perempuan.
Selain itu prilaku merokok juga dapat mempengaruhi gangguan pendengaran,
menurut European Agency for Safety and Heath at work (2009), zat yang terkandung di
dalam rokok merupakan zat yang paling sering ditemui juga memapar langsung kepada
perokok. Zat tersebut memberikan efek ototoksik pada fungsi sel rambut yang
menimbulkan nicotine-like receptors pada sel rambut. Secara tidak langsung merokok
mempengaruhi suplai pembuluh darah ke koklea. Tembakau mengandung hidrogen
22
sianida dan bahan asfiksian yang dapat mengganggu fungsi stria vaskularis bila terpapar
dengan jumlah yang besar.
2.3
Kebisingan
2.3.1 Definisi kebisingan
Bunyi merupakan sensasi yang timbul di dalam telinga akibat getaran udara atau
media lain. Namun secara fisik, bunyi adalah getaran energy mekanik yang dirambatkan
melalui media sebagai gelombang. Setiap makhluk hidup memiliki batas frekuensi
gelombang dengar yang bervariasi. Pendengaran manusia hanya terbatas pada
gelombang dengan frekuensi 20-20000 Hz, sedangkan lumba-lumba dapat mendengar
pada frekuensi lebih dari 20000 Hz.
Secara umum, kebisingan didefinisikan sebagai suara-suara yang tidak
dikehendaki. Kebisingan juga merupakan suara yang salah, di tempat yang salah, dan
pada waktu yang salah. Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan
sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan
spektrum pendengaran) maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran),
berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan pola waktu (Buchari, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi maupun suara-suara
yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta dapat
menyebabkan gangguan pendengaran (ketulian).
2.3.2 Jenis-jenis kebisingan
Menurut Roestam (2004) berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising
dapat dibagi atas 5 bagian, adalah sebagai berikut :
23
1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif
tetap dalam batas kurang lebih 5 dB (A) untuk periode 0,5 detik berturut-turut.
Misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga
relative tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada
prekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas.
3. Bising terputus-putus (intermitten). Bising di sini tidak terjadi secara terus
menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas,
kebisingan di lapangan terbang.
4. Bising impulsif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40
dB (A) dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
Misalnya tembakan, suara ledakan mercon, meriam.
5. Bising impulsif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini terjadi
secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.
Dari semua jenis bising menurut sifatnya, bising yang dianggap lebih sering
merusak pendengaran adalah bising yang bersifat kontinyu, terutama yang memiliki
spectrum frekuensi lebar dan intensitas yang tinggi. Sementara itu, Buchari (2007)
mengelompokkan bising menurut pengaruhnya terhadap manusia, yaitu :
1. Bising yang mengganggu (irritating noise).
Bising jenis ini memiliki intensitas yang tidak terlalu keras. Contohnya adalah
suara orang mendengkur.
2. Bising yang menutupi (masking noise).
24
Masking noise merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara
tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan
pekerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari
sumber lain.
3. Bising yang merusak (damaging/injurious noise).
Damaging noise adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas.
Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
2.3.3 Sumber kebisingan
Kebisingan dapat muncul dari berbagai sumber. Di lingkungan kerja, bising
dapat timbul dari berbagai benda maupun situasi yang berada di dalam maupun di luar
lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya bising antara lain
mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja, proses-proses kerja, suara pekerja itu
sendiri, suara orang yang lalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar lingkungan
kerja (Pujiriani, 2008).
2.3.4 Intensitas bising
Intensitas bising atau intensitas suara adalah suatu vektor yang dihitung secara
kuantitas dan merupakan hasil dari tekanan suara dan komponen partikel percepatan
yang searah dengan vektor intensitas. Intensitas suara merupakan kekuatan suara dalam
satuan area. Intensitas suara berhubungan langsung dengan kekuatan suara dan tekanan
suara (Barron, 2003).
Berdasarkan pada penelitian Basham, dkk (2003) yang dikutip dari Arini (2005)
menyatakan bahwa intensitas suara merupakan rata-rata aliran energi suara yang
melewati satuan unit pada daerah suara. Desibel sebagaimana digunakan dalam akustik,
25
merupakan satuan yang mengekspresikan rasio dari dua kuantitas yang menunjukkan
proporsi kekuatan. Intensitas suara tidak diukur langsung tetapi didapatkan dari
pengukuran tekanan suara. Level intensitas suara diekspresikan dalam yaitu rasio
logaritma intensitas suara di suatu lokasi.
Kebisingan dengan intensitas tinggi cenderung berakibat lebih buruk daripada
yang berintensitas rendah. Intensitas kebisingan diukur menggunakan sound level meter
dengan satuan desibel atau dB (A). Batas pajanan bising yang diperkenankan biasanya
pada atau kurang dari 60 dB (A), paparan sehari-hari di atas rata-rata batas kebisingan
yaitu diatas 85dB (A) dirasakan tidak aman karena dapat merusak sel rambut.
2.3.5 Frekuensi
Sebuah frekuensi berhubungan dengan gelombang harmonik sederhana atau
gelombang sinusoidal. Frekuensi ini berhubungan dengan frekuensi getaran dari suara
dan tidak bergantung pada material yang menghantarkan suara. Frekuensi dinyatakan
dalam Hertz (Hz) yaitu sama dengan putaran/detik. Pengertian fisika dari frekuensi
gelombang suara penting dalam kontrol kebisingan. Frekuensi yang dapat didengar oleh
telinga manusia terletak antara 16 - 20000 Hz. Frekuensi bicara terdapat antara 250 4000 Hz.
Telinga manusia lebih sensitif terhadap suara dengan frekuensi rendah dari pada
frekuensi tinggi sehingga frekuensi tinggi menimbulkan pengaruh yang lebih buruk dari
pada frekuensi rendah (Barron, 2003).
2.3.6 Pengukuran kebisingan
Untuk mengetahui tingkat kebisingan alat yang digunakan adalah sound level
meter. Mekanisme kerja sound level meter apabila ada benda bergetar, maka akan
26
menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini,
selanjutnya akan menggerakan meter penunjuk. Adapun prosedur pengukuran sound
level meter adalah sebagai berikut :
1. Lakukan persiapan alat, pasang baterai dan tekan tombol ‘on’.
2. Kalibrasi alat dengan kalibrator, sehingga alat pada monitor sesuai
dengan
angka kalibrator.
3. Pilih selektor pada posisi slow karena jenis bising yang akan diukur adalah
bising impulsif .
4. Tentukan lokasi pengukuran.
5. Setiap lokasi pengukuran dilakukan pengamatan selama 1-2 menit
dengan kurang lebih 3 kali pembacaan. Hasil pengukuran adalah angka
yang ditunjukkan pada monitor.
6. Catat hasil pengukuran dan hitung rata-rata kebisingan
1.3.7 Pengendalian kebisingan pada lingkungan kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu program yang didasari
pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya (hazard)
dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainya
yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja
adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko
kesehatan dan keselamatan yang mungkin terjadi (Rijanto, 2010).
Terdapat undang-undang yang mengatur tentang kesehatan dan keselamatan
kerja di Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut : Undang-undang No. 1 Tahun
27
1970 tentang Keselamatan Kerja, undang-undang ini mengatur dengan jelas tentang
kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang ini
menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban memeriksakan kesehatan
badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan
dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan
kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Pekerja juga berkewajiban
memakai alat pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
Lingkungan kerja adalah tempat dimana karyawan melakukan aktivitas setiap
harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan
karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi
karyawan. Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka
karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitas sehingga waktu
kerja dipergunakan secara efektif. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja yang
terbentuk antara sesama karyawan dan hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta
lingkungan fisik tempat karyawan bekerja.
Menurut Buchari (2007), pada prinsipnya pengendalian kebisingan di tempat
kerja terdiri dari :
1. Pengendalian secara teknis
Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media
yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja. Pengendalian
28
bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang sangat efektif dan
hendaknya dilakukan pada sumber bising yang paling tinggi.
Cara-cara yang dapat dilakukan antara lain :
a. Desain ulang peralatan untuk mengurangi kecepatan atau bagian yang
bergerak, menambah muffler pada masukan maupun keluaran suatu buangan,
mengganti alat yang telah usang dengan yang lebih baru dan desain peralatan
yang lebih baik.
b. Melakukan perbaikan dan perawatan dengan mengganti bagian yang bersuara
dan melumasi semua bagian yang bergerak.
c. Mengisolasi
peralatan
dengan
cara
menjauhkan
sumber
dari
pekerja/penerima, menutup mesin ataupun membuat barrier/penghalang.
d. Meredam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk
mengurangi getaran peralatan dari logam, mengurangi jatuhnya sesuatu
benda dari atas ke dalam bak maupun pada sabuk roda.
e. Menambah sekat dengan bahan yang dapat menyerap bising pada ruang
kerja. Pemasangan peredam ini dapat dilakukan pada dinding suatu ruangan
bising.
2. Pengendalian secara administratif
Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar oleh
kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang lebih rendah,
cara mengurangi paparan bising, melindungi pendengaran dan pengaturan jam
kerja yang sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.
51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik di tempat kerja. Selain itu
29
juga nilai ambang batas kebisingan yang ditetapkan di Indonesia adalah sebesar
85 dB (A) untuk waktu pemajanan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Akan
tetapi NAB tersebut bukan merupakan jaminan sepenuhnya bahwa tenaga kerja
tidak akan terkena risiko akibat bising tetapi hanya mengurangi risiko yang ada
saja.
Tabel 2.3. Nilai Ambang Batas Bising menurut Kepmenaker No.Kep. 51/MEN/1999
Waktu pemajanan kebisingan perhari
Intensitas kebisingan dalam dB (A)
8 jam/hari
4 jam/hari
2 jam/hari
1 jam/hari
85
88
91
94
30 menit/hari
15 menit/hari
7,5 menit/hari
3,75 menit/hari
1,88 menit/hari
0,94 menit/hari
97
100
103
106
109
112
28,12 detik/hari
14,06 detik/hari
7,03 detik/hari
3,52 detik/hari
1,76 detik/hari
0,88 detik/hari
0,44 detik/hari
0,22 detik/hari
0,11 detik/hari
115
118
121
124
127
130
133
136
139
3. Pemakaian alat pelindung telinga
Pengendalian ini tergantung terhadap pemilihan peralatan yang tepat
untuk tingkat kebisingan tertentu, kelayakan dan cara merawat peralatan.
Jenis-jenis alat pelindung telinga :
30
a. Sumbat telinga (ear plugs), dimasukkan dalam telinga sampai menutup
rapat sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga
dapat mengurangi bising s/d 30 dB (A).
b. Tutup telinga (ear muff), menutupi seluruh telinga eksternal dan
dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40-50 dB (A).
c. Helmet (enclosure), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk
mengurangi bising maksimum 35dB (A).
2.4
Kerajinan Gamelan
Gamelan, seniman, serta pengrajin gamelan merupakan tiga unsur yang tidak
dapat dipisahkan, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat. Terciptanya karya
seni, khususnya dalam seni Karawitan, karena adanya kebutuhan seniman dalam
menginterpretasikan daya imajinasinya dan instuisinya yang didukung oleh kemampuan
teknik yang dimilikinya hingga terlahir suatu bentuk karya seni yang memiliki nilai-nilai
keindahan dan dapat dinikmati, dirasakan sehingga dapat menimbulkan rasa puas baik
bagi penikmat dan seniman pelaku.
Pengrajin gamelan merupakan orang yang bekerja untuk memproduksi kerajinan
gamelan. Bengkel pembuatan gamelan (tempat kerja) merupakan tempat pengrajin
gamelan bekerja untuk memproduksi gamelan, di Bali dinamakan prapen. Gamelan
adalah benda seni sebagai penghasil bunyi yang merupakan sarana seniman dalam
menuangkan ide-ide kreatifnya dalam menghasilkan suatu karya seni music
tradisi/karawitan. Karya tersebut memiliki unsur keindahan yang dapat dirasakan baik
oleh seniman pencipta, pelaku, serta dinikmati oleh masyarakat penikmat seni. Gamelan
tidak saja dikenal oleh seniman, namun gamelan sudah sangat populer dalam tatanan
31
budaya masyarakat Bali, karena selalu eksis dalam berbagai konteks sosial budaya
masyarakat Bali. Dengan penampilan dan penyajiannya yang kharismatik dalam setiap
event, baik dalam konteks budaya spiritual maupun entertaimen, sangat menarik untuk
mendapat dukungan dan perhatian dari masyarakat (Djelantik, 1999).
2.4.1 Gambaran lokasi pembuatan gamelan
Desa Tihingan terletak di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Desa Tihingan ini merupakan pusat kerajinan pembuatan gamelan di Bali. Masyarakat
desa ini sangat terkenal di Bali karena keahliannya membuat instrumen (gamelan) gong.
Hal ini dapat dibuktikan dengan nama para Pande Tihingan yang terdapat pada
perangkat gamelan-gamelan yang ada di desa-desa di Bali. Keahlian membuat gamelan
ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh meluhur mereka yang telah berabad-abad
lamanya.
Berbagai macam gamelan Bali dibuat secara tradisional namun dengan
bentuknya yang artistik khas Bali. Selain gong, masyarakat di desa ini dapat juga
membuat berbagai macam gamelan Bali lainnya seperti: semara pegulingan, gender
wayang, kelentangan/angklung dan lain-lainnya yang bahannya terbuat dari logam
kerawang. Masyarakat Desa Tihingan rata-rata bermata pencaharian sebagai Pande
(pembuat atau pengrajin) gamelan, ini bisa terlihat dari banyaknya bengkel kerja yang
terdapat di sana (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kbupaten Klungkung, 2011).
2.4.2 Gambaran proses pembuatan gamelan
Dalam proses pembuatan gamelan dikerjakan oleh pekerja yang memiliki
keahlian yang sama mulai dari proses persiapan pencampuran bahan, persiapan
32
perapian, pengaturan penempaan dan yang terakhir adalah finishing serta penyelarasan
nada gamelan. Semua proses kerja tersebut dapat dikerjakan oleh semua pekerja yang
disesuaikan dengan waktu kerja dari masing-masing pekerja (Djelantik, 1999).
Pembuatan gamelan biasanya memerlukan waktu yang sangat lama, dari semua tahap
pembuatan gamelan proses penempaan memegang peranan yang penting terhadap
keberhasilan dalam pembentukan dari berbagai jenis gamelan yang akan di bentuk.
Penempaan untuk membentuk gamelan menggunakan palu yang besar, dilakukan
dengan urutan melingkar hingga pukulan awal dan akhir saling bertemu dan bergerak
mundur hingga beberapa kali pukulan, begitu seterusnya hingga diperoleh diameter yang
diinginkan. Pada proses penempaan inilah menghasilkan bunyi bising impulsif yang
dapat mengganggu pendengaran pekerja pengrajin gamelan.
Download