BAB I PENDAHULUAN Paman, ketika tanah ini menjadi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Paman, ketika tanah ini menjadi tanah negara, apakah kami serta merta
kehilangan hak hidup ?. Kalau begitu, hiduplah negara ini tanpa kami !.
Karena sesungguhnya kami di antara ada dan tiada.
(Surat Pucuk Jati Wa Ode Nuka Kepada Paman Yones Koanfora Pellokila;
Catatan Kedua Perjalanan Ke Kontu)*
A. Latar Belakang
Penelitian ini mengkaji proses atau cara masyarakat Kontu melakukan
gerakan sosial dalam bentuk reclaiming. Reclaimng terhadap lahan yang
dianggap sebagai tanah warisan nenek moyang mereka, yang sejak tahun 1999
menjadi bagian dari hutan Lindung Jompi. Pemerintah yang mulai tahun 1999
mengklaim bahwa wilayah Kontu masuk dalam kawasan hutan Jompi dan
sejak saat itu pula hak dan akses masyarakat terhadap kawasan Kontu mulai
dibatasi.
Masyarakat Kontu yang melakukan gerakan sosial dengan cara
memobilisasi diri dalam jumlah yang sangat banyak untuk melakukan
reclaiming, cara ini dianggap efektif mengingat perlawanan terhadap
pemerintah dalam merebut kembali lahan butuh kekuatan yang besar dan
konsisten. Gerakan sosial (Social movement) yang dimaksud disini yaitu
perlawanan kolektif yg dilakukan sejumlah masyarakat yang memiliki tujuan
dan solidaritas yang sama dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan
negara. Sejak merebaknya reclaiming, berlangsung serangkaian perlawanan
yang memperjuangkan hak masyarakat dan wilayah Kontu yang selama ini
sebagai tanah Negara oleh pemerintah. Sepanjang periode 2001 sampai 2005
perlawanan mengalami penguatan dan konsisten dari paruh awal, baik dalam
antusiasme partisipan gerakan, penggunaan cara gerakan maupun isu yang
dilontarkan.
Pembatasan hak dan akses masyarakat Kontu terhadap kawasan
mengakibatkan perlawanan, karena banyak dari masyarakat kehilangan
sumber penghidupan. Kebijakan pemerintah layaknya dinding yang kokohk
menjadi polemik yang begitu besar bagi masyarakat. Hutan Kontu yang
merupakan lahan warisan dari nenek moyang warga setempat sehingga
menjadikan wilayah tersebut menjadi tempat hidup warga Kontu. tidak sedikit
dari warga yang menggantungkan hidup terhadap kawasan tersebut,
setidaknya 1.000 KK yang aktif melakukan aktifitas dalam kawasan tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun Kontu merupakan bagian dari
kawasan hutan lindung Jompi yang jauh sebelum reformasi (1998) telah atau
sudah diduduki/diklaim oleh warga komunitas Kontu seluas kurang lebih
401,59 hektar sebagai tanah warisan nenek moyang. Kontu berbatasan dengan
Raha, Ibu kota Kabupaten Muna. Terdapat paling kurang tiga kelurahan padat
penduduk di Raha yang bersinggungan langsung dengan Kontu dan
Warangga, yaitu Mangga Kuning, Watonea, dan Laiworu. Dengan posisi itu
menjadikan Kontu tidak saja sebagai sebuah kawasan hutan tetapi juga ruang
hunian bagi warga komunitas yang bermukim di dalamnya serta masyarakat di
sekitarnya.
Persinggungan itu menjadikan Kontu sangat mudah diakses oleh
berbagai kepentingan yang berbeda. Persinggungan ini tidak saja berarti
tekanan terhadap sumberdaya hutan, tetapi juga membawa implikasi terhadap
berbagai kehidupan masyarakat, seperti menyusutnya ruang kelola masyarakat
yang
kemudian
bersilang-sengkarut
dengan
keterbatasan
ekonomi,
pendidikan, dan ketenagakerjaan, sehingga di sana tercipta situasi yang
menyerupai
lingkaran
kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi
itu
mempromosikan kesulitan hidup masyarakat Kontu, terutama bagi mereka
yang tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, yang yratarata warga miskin yang berasal dari masyarakat lapisan bawah.
Status kawasan yang mengalami tumpang tindih presepsi tentang
fungsi yang menjadikan masyarakat dan beberapa oknum berusaha mereclaim kawasan hutan Kontu dengan bentuk pendudukan. Pendudukan
kawasan adalah bentuk ekspresi dari cara masyarakat me-reclaim kawasan
atau tanah yang mereka anggap sebagai tanah nenek moyang mereka.
Permasalahan kawasan hutan bukan hanya terletak kepada sumberdaya yang
ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat dimana hutan
itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan
hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya
yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanan waktu, perlawanan seperti itu terakumulasi
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan persoalan sosial berkepanjangan dan
sesekali menyulut konflik terbuka. Di Kontu khususnya, pascareformasi,
setidaknya telah terjadi tiga kali konflik terbuka, yakni pada tahun 2001, 2003,
dan 2005. Modusnya ialah penduduk sekitar hutan menerobos masuk dan
mengkapling lahan bekas hutan jati yang telah tergerus akibat illegal-logging,
yang oleh pemerintah setempat dianggap lahan milik negara. Perlawanan dan
konfrontasi fisik kedua belah pihak sulit dihindarkan. Pemerintah bertindak
represif, wargapun memberi perlawanan, akibatnya korban di kedua belah
pihak berjatuhan.
Masalah agraria tidak hanya meliputi masalah atas tanah tapi termasuk
sumber daya lainnya yang ada dalam wilayah tersebut. Tenurial menjelaskan
tentang akses terhadap sumber daya. Sistem itu mengatur akses tanah dan
penggunaan tanah. Institusi itu terdiri dari beberapa aturan yang dibuat oleh
masyarakat untuk mengatur perilaku. Aturan-aturan itu menentukan hak akses
orang ke beberapa sumber
daya alam tertentu. Aturan-aturan itu juga
merupakan sebentuk peneguhan sosial atas hubungan-hubungan itu, seperti
bagaimana hak milik atas tanah diberikan kepada pihak-pihak yang ada dalam
masyarakat, dan bagaimana akses diberikan bagi hak untuk menggunakan,
menguasai dan mengalihtangankan lahan. Juga, aturan-aturan itu mengatur
tanggung jawab dan larangan yang terkait dengan hak itu. Tanah dan sumber
daya alam yang terdapat padanya merupakan objek dari penataan penguasaan
tanah. Penataan penguasaan tanah itu ditentukan oleh para aktor sebagai
proses social.
Sisi lain dari permasalahan pengelolaan kehutanan adalah kepentingan
yang begitu banyak, interaksi aktor baik dari aktor negara, LSM, maupun
penduduk sekitar hutan yang dibiaskan atau disiasati melalui sikap bermuka
dua, kepura-puraan, dan saling tuding. Relasi mereka tekesan carut-marut dan
tumpang tindih dan secara keseluruhan tampak seperti bermuara pada
perhitungan pragmatisme dan kepentingan, yakni seberapa jauh para aktor
bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas berbasis sumberdaya hutan, kayu,
dan lahan, maupun terhadap penyelenggaraan kehutanan.
Pada tingkat aktor, relasi dan interaksi aktor berbasis kepentingan
pribadi,
sementara
di
tingkat
struktur
terdapat
kepentingan
untuk
menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan. Ironisnya lagi, aktor
negara seperti petugas, pejabat, dan aparat, termasuk para aktivis – tentu saja
dalam status oknum, bukan institusi – yang semestinya tampil di depan untuk
melaksanakan kepentingan struktur, justru ada di antara mereka yang
berkontribusi terbalik dari proses itu. Kendatipun sehari-hari di lapangan aktor
masyarakatlah yang terlibat langsung atas tekanan sumberdaya hutan,
kontribusi „panggung belakang‟ aktor negara cukup signifikan dalam
memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran proses perusakan
sumberdaya hutan, misalnya terlibat atau berada di balik mafia pencurian
kayu, illegal-logging, sindikasi perdagangan kayu gelap, dan pemalsuan
dokumen kayu. Bagaimanapun, aktor negaralah menjadi pihak yang paling
berkontribusi besar dalam proses dramaturgi pengelolaan kehutanan
Dalam konteks demikian, maka menjadi menariklah untuk melakukan
studi terhadap perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat, untuk
memperjuangkan hak-haknya, yaitu reclaiming, karena gerakan masyarakat di
dalam reclaiming ini mengedepankan cara-cara pengorganisasian masyarakat
dan pembentukan jaringan sebagai strategi perjuangan, dengan menggunakan
prinsip-prinsip anti kekerasan, pengharapan terhadap proses demokrasi,
penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, kolektivitas
dan keterbukaan.1 Menutut pengertian YLBHI, gerakan reclaiming adalah
sebagai berikut :
“Sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas
untuk memperoleh kembali hak-hak seperti tanah, air dan sumber alam
lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya
kemakmuran rakyat”.2
Proses untuk memperoleh kembali hak-hak itu maka, reclaiming
dilakukan sebagai respon dari perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh pihak
pemerintah terhadap mereka.
Seperti yang diungkapkan oleh Nur Fauzi,
munculnya kasus-kasus reclaiming sebagai salah satu jenis konflik agraria
antara lain dilatarbelakangi oleh adanya : pertama, pengambilan tanah-tanah
yang sebelumnya dilakukan oleh pemilik modal sebagai usaha perkebunan.
1
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, 2001, Reclaiming dan Kedaulatan Rakyat,
YLBHI dan RACA institute, hal 81
2
Ibid
Kedua, pengambilan/penggusuran tanah oleh pemerintah untuk program
pembangunan.3
Dalam gerakan ini tak urung masyarakat sering menggunakan
kekuatan-kekuatan politik formal yang terorganisir seperti partai politik,
organisasi-organisasi tani ataupun NGO untuk memperluas dukungan dalam
mencapai kemenangan yang diinginkan. Strategi seperti ini biasanya akan
mengarah pada suatu pola karakter gerakan yang biasa disebut legal. Tanah
menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik diantara
para pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi
pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan
pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/
lisensi yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini terjadi pada kawasan Kontu
tumpang tindih presepsi masyarakat mengenai status kawasan tersebut
sehingga banyak masyarakat yang mengasumsikan kawasan tersebut adalah
tanah ulayat. Berangkat dari hal itu sehingga masyarakat melakukan reclaim
(memperoleh kembali) tanah yang mereka anggap sebagai warisan nenek
moyang mereka.
Dengan fenomena yang terjadi pada kawasan hutan Kontu sebagai
bentuk “perlawanan rakyat”, secara spontanitas, kelompok masyarakat dengan
bantuan NGO mengoragnisir diri, bergerak dan menduduki hutan Kontu,
mematok, memagari, lahan-lahan dalam hutan, mendirikan rumah kecil dan
bahkan ada yang mendirikan rumah stengah permanen. Perlawanan kaum
3
ibid
yang kalah ditunjukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh
kelas atas (Negara) berhadapan dengan kaum yang kalah. 4
Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas lahan dan sumber
daya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara aspek de
jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh
berbagai pihak. Di satu sisi system penguasaan yang diatur oleh hukum negara
sangat lemah dalam operasionalnya, sementara system yang diatur secara
tradisional (adat) tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kurang mendapat
dukungan secara hukum. Hal ini mempengaruhi kepastian hak atas lahan
tersebut. Konflik penguasaan tanah muncul dari persepsi dan interpretasi yang
berbeda yang dimiliki antar pihak terhadap hak mereka atas tanah dan sumber
daya hutan.5
Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya
hak-hak atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat
terjadi antara perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor
swasta. Batas-batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh
masyarakat dan pemerintah juga memicu terjadinya konflik. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa lahan di kawasan hutan sudah dimanfaatkan
oleh masyarakat atau penduduk sekitar, baik pendatang maupun penduduk
4
Scott, C James: Weapons Of The Weak, Everyday Forms Of Peasant Resistance, Yale
University, 1985, Dalam A. Rahman Zainudin, Dkk, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah;
Bentu-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani, Jakarta. Yayasan Obor, 2000, Hal 382
5
Sylviani & Ismatul Hakim, 2014, Analisis Tenurial Dalam Pengembangan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (Kph): Studi Kasus Kph Gedong Wani, Provinsi Lampung (Analysis Of
Land Tenure In Developing Forest Management Unit) (Fmu): Case Study In Gedong Wani
Fmu, Lampung Province, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan, Bogor
lokal namun keberadaan masyarakat tersebut belum diakomodir terutama
dalam perencanaan pembangunan kehutanan.
Masyarakat Kontu yang awalnya hanya dijadikan objek politik dan
pembangunan dari penguasa lewat politik floating mass, depolitisasi, dan
deideologisasi-nya,
kini
menjadi
masyarakat
yang
aktif
dalam
mengekspresikan pendapatnya serta berani bersikap politik secara tegas
terhadap penguasa ketika dirasa ada kebujakan yang dapat merugikan
kepentingan mereka. Masyarakat dari beberapa desa di pasca lengsernya
Ridwan Bae (mantan bupati sebelumnya) dapat dikatakan tidak lagi pasif
dalam menyampaikan aspirasinya, sebaliknya masyarakat aktif dalam
mengorganisir dirinya secara politik dan bahkan menolak secara tegas proyekproyek pemerintah yang masuk dalam wilayah reclaiming masyarakat.
Menurut Savitri kondisi krisis agrarian dapat ditandai oleh beberapa
hal; pertama, terjadinya konflik klaim penguasa dan pemilik tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya; kedua, hilangnya penguasaan rakyat atas
tanah terhadap sumber-sumber agrarian lainnya; ketiga, terbatasnya akses
rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan penghidupan; keempat,
terbatasnya tata kuasa dan tata kelola mandiri rakyat atas proses kerusakan
ekologi.6
Secara umum akar dari krisis agrarian Menurut Gunawan Wiradi,
terletak pada fakta terjadinya ketimpangan dan kesenjangan terhadap sumbersumber agrarian baik dalam bentuk penguasaan maupun pengalokasian, serta
6
Suliadi, 2015, Dinamika Resistensi Petani Terhadap Ekspansi Kapitalisme di Jawa,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hal 14
tumpang tindihnya berbagai macam produk kebijakan hukum yang mengatur
atas sumber-sumber agraria tersebut. Berakar dari persoalan di atas pulalah
persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber agrarian seringkali
meruncing menjadi konflik agrarian.7
Sejarah konflik agraria adalah sejarah ketimpangan dan penguasaan
terhadap segala sumber daya alam yang meliputi tanah, air, tambang dan
perkebunan. Tidak jarang terjadinya ketimpangan akses masyarakat terhadap
sumber-sumber tersebut telah memicu masyarakat untuk melakukan resistensi
dalam hal ini reclaiming. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa munculnya
reclaiming kawasan hutan lindung adalah bentuk resistensi masyarakat
terhadap pemerintah terkait arah dan model kebijkan yang dijalankan oleh
pemerintah terkait wilayah tenurial.
Noer Fauzi Rahman pernah menjelaskan bahwa dari hasil studi
mengenai agrarian di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin ditemukan
adanya kolerasi antara kebijakan hukum agraria dengan tersingkirnya petani
atau masyarakat terhadap akses atas tanah. Hukum-hukum agraria yang ada,
lebih sebagai cara bagi penguasa, perusahaan-perusaan kapitalis untuk
mengeklusi rakyat atas tanhanya. Sehingga dalam system kapitalisme rakyat
dan tanhanya masuk sebagai modal bagi perusaan kapitalis. Dengan demikian,
munculnya konflik agrarian sebagai turunan dari permsalahan agraria sangat
7
ibid
berhubungan dengan arah dan orientasi dan kebijakan agraria dari
pemerintah.8
B. Rumusan Masalah
Potret permasalahan yang terjadi di kawasan hutan lindung Kontu
merupakan sebuah konsekuensi logis dari banyaknya pihak/aktor yang
berkepentingan terhadap sumber daya hutan. Para aktor berkepentingan untuk
memperoleh manfaat yang disediakan hutan baik secara ekonomi, politik dan
social. Maka dari itu rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimana
strategi gerakan reclaiming masyarakat Kontu dalam merebut lahan ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui strategi yang digunakan oleh masyarakat Kontu dan aktorlain
yang terlibat dalam melakukan reclaiming lahan yang mereka perjuangkan.
D. Manfaat Penelitian
Dari sebuah penelitian tentunya diharapkan adanya sebuah manfaat
bagi
bidang ilmu yang menjadi kosentrasi. Penelitian yang focus pada
mobilisasi sumber daya pada gerakan reclaiming tentunya akan menabah
varian bacaan maupun referensi bagi peneliti. Penulis menguraikan beberapa
manfaat yang dapat dilihat pada poin-poin berikut :
8
Ibid
1. Menunjukan mekanise yang meliputi peran strategi dan peran aktor
dalam proses reclaiming kawasan hutan lindung Kontu.
2. Memberi informasi kepada masyarakat dalam memahami realitas yang
terjadi mengenai proses reclaim kawasan hutan Kontu.
3. Agar menjadi masukan dan referensi bagi para peneliti lainnya dan
sebagai masukan buat pemerintah daerah Kabupaten Muna.
E. Literature Review
Pada bagian ini, menghadirkan tulisan yang terkait dengan gerakan
social dan difokuskan pada mobilisasi sumber daya. Hal ini bertujuan agar
cakupan literature review tidak meluas dan lebih terarah. Berikut dijabarkan
tulisan yang bisa memberikan rujukan buat penulis.
Buku pertama dengan judul Gerakan Sosial “Studi Kasus Perlawanan”
yang ditulis oleh Abdul Wahid Situorang pada tahun 2007. Satu bagian dalam
buku ini menceritakan tentang perlawanan masyarakat akar rumput dalam
menentang tambang di dalam hutan lindung. Masyarakat yang tidak sepakat
dengan aktifitas pertambangan di hutan bekerja sama dengan Jatam (Jaringan
Advokasi
Tambang).
Jatam
melakukan
beberapa
tindakan,
yaitu
:
mengumpulkan data mengenai hutna lindung di Indonesia dan akan
diterbitkan di situs resmi jatam dan majalah, data yang didapat akan
didesiminasi kepada semua jaringan seperti Walhi dan Aman, dan mereka
bersama organisasi lain melakukan lobi kepada lembaga pemerintahan.
Hadirnya lembaga advokasi ini sebagai lembaga yang membantu masyarakat
melakukan penolakan (intermediary) selalu berupaya mengakomodir upaya
perlawanan masyarakat dengan menghubungkan dengan beberapa kekuatan
lain.
Tulisan lain, Wahyudi tentang “Formasi dan Struktur Gerakan Sosial
Petani Kalibakar Malang Selatan” yang menjelaskan tentang gerakan petani
mengambil lahannya di PTPN XII. Struktur gerakan social petani mengalami
perubahan sejak 1993-2005 karena kondisi politik, perhitungan untung rugi,
dan pola komunikasi petani. Dalam menjalankan gerakan, petani meminta
dukungan dari mahasiswa, LSM dan Ornop karena mereka merupakan kelas
social yang powerlest. Dengan adanya dukungan, petani dapat meningkatkan
level kekuasaan dan daya tawar. Petani bersama pihak pendukung melakukan
perebutan paksa, mogok, demonstrasi, boikot jalan,dan lobi. Dengan cara ini,
petani di Malang Selatan bisa mengambil kembali lahan mereka.
Selain itu, La Ode Rusdin Jaya denga judul tesis “perlawanan
Masyarakat terhadap negara (studi kasus perlawanan masyarakat kontu
terhadap pemerintah daerah muna sulawesi tenggara) dan tesis ini
menggunakan pendekatan teori pergerakan yang mengurai latar belakang
perlawanan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan ekspresi bentuk
gerakan perlawanan masyarakat dalam wujud ekspresi politik guna mencapai
keinginan bersama.
Kemudian penelitian Alting (2013) dengan judul “ konflik penguasaan
tanah di Maluku utara” : rakyat versus penguasa dan pengusaha”.
Karekteristik konflik pertanahan yang melibatkan pemerintah dan pengusaha
dengan masyarakat pemegang hak dimana penananman modal dilakukan di
wilayah Provinsi Maluku utara dalam penelitian ini dibatasi pada lingkup
permasalahan, sebagai berikut : pertama, bagaimana pola konflik tanah yang
terjadi di provinsi Maluku Utara dan, kedua, bagaimana bentuk penyelesaian
konflik tanah yang dapat memenuhi rasa keadilan para pihak yang
bersengketa. Handi Mulyani dengan judul tesis “Perambahan Hutan di
Kecamatan Pulau Panggung Lampung Selatan ; Suatu Tinjauan Sosiologis
Terhadap Suku Sumendo” yang mengulas tentang bagaimana strategi bertahan
hidup suku sumendo dengan adanya larangan pengambilan sumber daya
produktif dari hutan.
F. Landasan Teori
Sehubungan dengan latar belakang dari penelitian ini yang telah
diuraikan pada bagian terdahulu, terlihat adanya dua kepentingan terhadap
objek yang sama yaitu kawasan hutan Kontu. Pihak pemerintah menganggap
bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan lindung, dipihak lain
masyarakat menggap kawasan tersebut adalah tanah warisan dengan sudut
pandang rasa ingin me-reclaim lahan tersebut sangat besar. Sebagai landasan
untuk menggambarkan konflik tersebut yang berbasis reclaim atas tanah
dalam kawasan hutan lindung, maka penulis akan menggunakan teori gerakan
sosial.
1. Gerakan Sosial
Gerakan social muncul sebagai reaksi dari ketidak adilan,
kesengajaan atau ketidak puasan terhadap suatu situasi yang sedang terjadi
dalam masyarakat. Upaya untuk mencapai tujuan dari gerakan social
membutuhkan mobilisasi sumber daya. Keadaan masyarakat Kontu yang
mengalami tindak kekerasan dari pemerintah mendorong munculnya
gerakan social untuk melakukan reclaiming lahan yang diklaim. Lahirnya
reclaiming sebagai sebuag upaya untuk menghimpun kekuatan dalam
melakukan gerakan social. Untuk melakukan gerakan social masyarakat
Kontu memobilsasi sumber daya yang dimilikinya. Mobilisasi sumber
daya yang dilakukan oleh masyarakat Kontu adalah membentuk jaringan
atau koalisi dengan NGO-NGO.
Gerakan
sosial
(social
movement)9
merupakan
fenomena
partisipasi sosial (masyarakat) dalam hubungannya dengan entitas-entitas
eksternal. Istilah ini memiliki beberapa definisi, namun secara umum dapat
dilihat sebagai instrumen hubungan kekuasaan antara masyarakat dan
entitas yang lebih berkuasa (powerful). Masyarakat cenderung memiliki
kekuatan yang relatif lemah (powerless) dibandingkan entitas-entitas yang
dominan, seperti negara atau swasta (bisnis). Menurut Charles Tilly,
gerakan sosial adalah sebuah tindakan/performancie yang dilakukan secara
berkelanjutan dan bertahap, pertunjukan dan kampanye yang dilakukan
oleh orang-orang biasa dan mereka membuat tuntutan secara kolektif
terhadap suatu hal.
9
Tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama,
dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, penguasaan dan lawan” –
Tarrow, 1994 (Power in Movement) hal 4. Tarrow menekankan bahwa pada dasarnya gerakan
(a) menyusun aksi disruptive melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain
dan aturan-aturan budaya tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap
lawan, penguasa dan kelompok elite, (c) berakar pada rasa solidaritas
atau identitas kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah
gerakan sosial)
Gerakan sosial menjadi instrumen yang efisien dalam menyuarakan
kepentingan masyarakat. Dengan kata lain gerakan sosial merupakan
pengeras suara masyarakat sehingga kepentingan dan keinginan mereka
terdengar.
Gerakan
sosial
merupakan
jawaban
spontan
maupun
terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak
rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan
negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan
kelembagaan negara. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai upaya
bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan
kondisi sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu ke waktu
atau juga untuk menghentikan kondisi status quo.
Pandangan ini berarti bahwa gerakan sosial terjadi pada berbagai
masyarakat dan pada berbagai sistem pemerintahan negara. Fokus gerakan
sosial dapat berkiprah pada tujuan lokal seperti gerakan menentang
pembangunan tempat pembuangan limbah beracun, atau dapat pula
berskala nasional maupun internasional. Dalam aspek tujuan, beberapa
gerakan sosial mempunyai target yang beragam. Ada yang berusaha untuk
mereformasi sistem politik yang ada, sementara yang lain mungkin
bertujuan untuk menghentikan perubahan. Disisi lain ada juga yang sama
sekali tidak politis dan malah menuntut adanya perubahan budaya atau
individu. Tetapi ada juga yang mendorong perubahan pada kedua aspek
yakni politik dan sosial budaya
Menurut beberapa para ahli, seperi Piotr Sztompka definisi gerakan
sosial adalah :
a.
Kolektifitas orang yang bertindak bersama.
b.
Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam
masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang
sama.
c.
Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya dari
pada organisasi formal.
d.
Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun
tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa gerakan sosial adalah
tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga
untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Mendefinisikan apa,
tepatnya, sebuah gerakan sosial bisa sangatlah sulit. Gerakan sosial
bukanlah partai atau kepentingan kelompok politik, yang merupakan
entitas politik yang stabil yang memiliki akses rutin ke kekuasaan politik
dan elit politik; juga bukan sebuah trend massa atau tren yang terorganisir,
singkat dan tanpa tujuan. Sebaliknya gerakan sosial berada di antara
beberapa kategori tersebut. Beberapa karakteristik gerakan sosial adalah
bahwa mereka "terlibat dalam hubungan konflik dengan lawan yang jelas
teridentifikasi; dihubungkan oleh jaringan informal.Gerakan sosial, dapat
dianggap sebagai entitas sosial namun terorganisir secarainformal yang
terlibat dalam konflik ekstra-institusional yang berorientasi pada
tujuan. Tujuannya dapat diarahkan pada proses perubahan kebijakan
secara khusus dan sempit atau secara lebih luas ditujukan untuk perubahan
budaya.
Aktor gerakan sosial terlibat dalam konflik politik atau budaya
dimaksudkan untuk mempromosi atau menentang perubahan sosial yang
tidak sesuai dengan kepentingan, kebutuhan atau hak kelompoknya.
Jaringan informal yang kuat membedakan proses gerakan sosial dengan
tindakan kolektif lainnya. Dalam gerakan sosial, tindakan kolektif baik
individu maupun organisasi menjaga otonominya tetapi terlibat dalam
pertukaran sumber daya secara berkelanjutan untuk mencapai tujuan yang
mereka perjuangkan. Selanjutnya, gerakan sosial hanya akan terwujud
apabila berkembang identitas kolektif. Indentitas kolektif sangat terkait
dengan pengakuan dan penciptaan hubungan. Dalam gerakan sosial,
kriteria keanggotaan sangat tidak stabil dan akhirnya tergantung pada
pengakuan timbal balik antar pelaku.
Sementara itu, menurut Sydney Tarrow, gerakan sosial merupakan
tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama
dan solidaritas sosial dalam interaksi berlanjut dengan para elit, penentang
dan pemegang otoritas. Tarrow merumuskan gerakan sosial dalam konsep
yang lebih luas tentang politik perlawanan (Contentius politic). Dalam
bukunya power in movement, Revised an Updated third edition, dijelaskan
bahwa politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus
penentangan dan evolusi. Politik perlawanan terjadi ketika sebagian besar
warga
bergabung
dengan
warga
yang
terpengaruhatau
sesepuh,
menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan
pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan semacam ini umumnya muncul
ketika kesempatan dan hambatan politik berubah menjadi dorongan bagi
aktor-aktor sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kultural dan
simbol – simbol aksi, maka perlawanan mengarah ke interaksi yang
berlanjut dangan pihak lawan dan hasilnya adalah gerakan sosial.
Selanjutnya menurut Antony Giddens, gerakan sosial sebagai upaya
kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan
bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup
lembaga-lembaga yang mapan.10
Merujuk pada kombinasi yang tidak berbeda dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial merupakan
tindakan/gerakan kolektif yang bersifat menentang untuk mncapai tujuan
kolektif. Gerakan sosial sebagai kolektifitas orang yang melakukan
tindakan untuk mencapai tujuan bersama,memiliki jaringan yang kuat
antara satu dengan yang lain, dan terorganisir secara informal tetapi
memiliki identitas kolektif yang kuat. Dalam penelitian ini digunakan
konsep gerakan sosial yang diturunkan oleh Gramsci sebagaimana yang
ditegaskan oleh Sidney Tarrow.
10
Suharko, 2006, Gerakan Sosial Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan
Gerakan Sosial di Indonesia. PLaCID‟s (Public Policy Analysis and Community
Development Studies), Malang.
a. Penyebab Lahirnya Gerakan Sosial
Menggambarkan fenomena lahirnya sebuah gerakan dapat
menggunakan konsep breakdown-deprivation yakni sebuah keadaan
yang menunjukan terjadinya perombakan susunan masyarakat
tradisional sebagai akibat dari perubahan social yang cepat. Struktur
social yang tidak terorganisir, ledakan jumlah penduduk dan ketidak
seimbangan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi
ketegangan, frustasi, rasa tidak aman, dan kemudian pada gilirannya
akan mengakibatkan timbulnya perasaan yang sangat tertekan yang
cenderung dapat meledak dalam bentuk kekerasan atau kekacauan.11
Setidaknya ada dua penjelasan tentang kemunculan gerakan
social. Pertama, hubungan antara proses framing dan suatu pemikiran
tentang perubahan politik „objektif‟ yang menfasilitasi kemunculan
gerakan social. Perubahan politik tertentu mendorong mobilisasi tidak
hanya melalui pengaruh „objektif‟ yang diakibatkan oleh perubahan
reaksi kekuasaan tetapi juga oleh setting dalam proses framing yang
selanjutnya menggerogoti legitimasi sistem. Kedua, suatu gerakan
social juga bisa muncul karena kaitan resiprokal antara psoses framing
dan mobilisasi. Proses framing secara jelas endorong mobilisasi ketika
orang-orang berupaya megorganisasi dan bertindak pada basis
kesadaranyang berkembang tentang ketidak absahan dankerentanan
sistem. Pada saat yang sama, potensi bagi proses framing yang kritis
11
Rusdin, 2005, Gerakan Perlawanan Masyarakat Terhadap Negara. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarya.
dikondisikan oleh akses orang-orang kepada struktur mobilisasi. Dan
hal ini akan mungkin terjadi dalam kondisi organisasi yang kuat dari
pada kondisi organisasi yang lemah. Dengan kata lain, proses framing
tidak akan terjadi dalam kondisi ketidakadaan organisasi, karena
ketidaandaan struktur mobilisasi hamper pasti akan mencegahdan
penyebaran framing ke julah minimal orang yang diperlukan untuk
basis tindakan kolektif.12
Charles Tilly yang menjelaskan bahwa ketidak puasan individu
atau kelompok tidak dapat melakukan tindakan aksi politik kecuali
apabila individu atau kelopok tersebut merupakan bagian dari suatu
kelompok terorganisir yang juga memiliki sumber daya (kekuatan).
Tilly mengemukakan :
Tindakan aksi kolektif itu cenderung muncul secara langsung
dari pusat proses-proses politik dalam suatu masyarakat,
ketimbang mencerminkan ketegangan dan ketidak puasan
dalam kelompok atau masyarakat… bahwa tuntutan-tuntutan
dan klaim balasan tertentu terhadap pemerintah dilakukan oleh
berbagai kelompok yang termobilisir adalah lebih penting
dibanding ketidak puasan umum atau kekecewaan kelompokkelompok itu dan bahkan tuntutan untuk mendapatkan tepat
yang mapan dalam struktur kekuasaan adalah sangat
menentukan.13
Tilly menegaskan bahwa aksi kolektif dapat dibedakan menjadi
dua model yakni ; Pertama, aksi sekelompok orang secara bersamasama dan terorganisir dalam mencapai kepentingan bersama. Pihak-
12
Suharko, 2006, Gerakan Sosial : Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan
Gerakan Sosial di Indonesia. PLaCID‟s (Public Plicy Analysis and Community Development
Studies), Malang hlm 10
13
Skocpool, 1991, Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif tentang Perancis,
Rusia dan Cina. Erlangga, Jakarta hlm 9
pihak yang terlibat dalam aksi ini adalah peerintah (organisasi yang
mengendalikan kekerasan terhadap masyarakat) dan kelompokkelompok yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan dan posisi
strategis. Kedua, model mobilisasi yang mengacu pada kepentingan
kelompok, tingkat pengorganisasian, besarnya sumber daya yang ada
dibawah kendali kolektif dan kesempatan atau ancaman yang dipakai
oleh pesaing tertentu dalam hubungannya dengan pemerintah atau
kelompok pesaing lainnya.14
Charles
Tilly,
dalam
karyanya
From
Mobilization
to
Revolution, menyatakan bahwa setinggi apapun ketidak puasan rakyat,
mereka tidak dapat ikut campur dalam aksi politik (termasuk aksi
kekerasan), kecuali mereka menjadi (dan terlibat) bagian dari satu
kelompok yang terorganisir yang mempunyai beberapa sumber daya.
Bahkan, sekalipun keudian mereka atau kelompok-kelompok yang
bersaing mungkin berhasil menekan kemauan untuk ikut campur
dalam aksi kolektif dengan cara mempertinggi resiko yang harus
ditanggung.
Dalam pandangan Skocpol yang mengutip Wolf, pada akhirnya
faktor penentu yang dapat memungkinkan terjadinya pemberontaka
petani terletak pada hubungan kaum tani dengan lingkup kekuasaan
14
Ibid hlm 9
yang ada disekitarnya. Suatu pemberontakan tidak akan meletus dalam
situasi yang benar-benar impoten.15
b. Tahapan-tahapan Gerakan Sosial
Pola perkembangan gerakan sosial tidaklah sama, namun
semua gerakan sosial dimulai dari suatu keadaan krisis, lalu
mengalami perkembangan dalam berbagai tingkat, dan kemudian
lenyap atau melembaga. Menurut W.E Gettys, kebanyakan gerakan
sosial melewati tahap-tahap berikut:

Tahap kegelisahan. Dalam tahap ini terjadi ketidakpuasan
akibat pergolakan sistem yang kurang baik. Tahap ini bisa
meluas dan berlangsung selama beberapa tahun.

Tahap kegusaran. Setelah perhatian dipusatkan pada kondisikondisi yang menimbulkan kegelisahan, maka terhimpunlah
sebuah kolektivitas. Kegelisahan yang muncul dalam
kolektivitas ini digerakkan oleh para agitator atau pemimpin.

Tahap formalisasi. Dalam tahap ini, tidak tampak adanya
struktur formal yang terorganisir yang dilengkapi dengan
hierarki petugas-petugas. Salah satu tugas penting adalah
mejelaskan ideologi gerakan kepada anggota yang telah
bersatu. Sebab-sebab terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi
dan sasaran-sasaran gerakan.
15
Mustain, 2007, Petani Vs Negara ; gerakan sosial petani melawan hegemoni Negara, ArRuzz Media, Yogyakarta

Tahap pelembagaan. Jika geraka tersebut berhasil menarik
banyak pengikut dan dapat memenagkan dukungan publik,
akhirnya akan terjadi pelembagaan. Selama tahap ini,
ditetapkan
suatu
birokrasi
dan
kepemimpinan
yang
profesional yang disiplin mengganti figur-figur kharimatik
sebelumnya
c. Strategi Gerakan Sosial
Strategi gerakan social berkembang secara kreatif sesuai
dengan kultur dan kondisi social politik yang muncul di suatu daerah.
Disebutkan oleh Suharko, yang menurutnya terdapat begitu banyak
strategi atau taktik mengenai gerakan sosial yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan dari gerakan social itu sendiri.
Setidaknya terdapat 4 strategi gerakan social, yakni sebagai berikut :
1. Low profile strategy. Fisher (1998) menyebutkan strategi ini
disebut sebagai isolasi politik yang secara khusus sesuai
konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari
kooptasi dan pemegang kekuasaan yang ototarian. Dalam hal
ini, aktor dari gerakan social secara sadar memutuskan untuk
mengisolasi diri atau menghindari hubungan dengan agenagen Negara. Ruang yang digunakan untuk mengisolasi diri
biasanya ditemukan di tingkat local dimana actor berbasis
komunitas
aktif
dalam
rangka
mengembangkan
atau
mengorganisasikan kelompok social berdasarkan sumber
daya local.
2. Strategi Pelapisan (lawyering). Fowler (1997) menyebutkan
strategi ini sangat cocok untuk digunakan oleh organisasi
gerakan social yang beroperasi di Negara-negara yang
membatasi aktivitas otonom di luar pemerintah. pelapisan
merupakan pengembangan penyediaan pelayanan yang
berorientasi pada kesejahteraan yang sebenarnya berisikan
metode dan aktivitas yang berorientasi pemberdayaan dan
transformasi
social.
Dengan
melakukan
strategi
ini
menghindarkan diri dari intervensi langsung dari pihak
lawan. Pihak lawan atau pihak-pihak di luar organisasi
gerakan social melihatnya sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan, sedangkan pihak di dalam melihatnya sebagai
metode pemberdayaan yang kompleks.
3. Strategi Advokasi. Dijelaskan bahwa, tidak dapat dipungkiri
bahwa strategi advokasi atau yang biasa disebut dengan
pendapingan ini merupakan strategi utama yang dilakukan
oleh NGO. Strategi advokasi sering kali digunakan untuk
mendesakkan
perubahan-perubahan
social,
seperti
mereformasi tata pemerintahan yang demokratis, melindungi
sumber
daya
alam
atau
lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, dan lain sebagainya.
memajukan
4. Keterlibatan kritis (critical engagement). Menurut Suharko,
Berbagai organisasi gerakan social, terutama NGO berupaya
mengkombinasikan
strategi
advokasi
dengan
strategi
kerjasama ketika menghadapi pemerintah.
2. Gerakan Reclaiming sebagai Gerakan Sosial
Dasar kehadiran gerakan reclaiming adalah sebagai upaya
mempertahan sekaligus merebut kembali lahan yang telah diklaim oleh
pemerintah. Gerakan reclaiming yang dilakukan oleh masyarakat Kontu
adalah upaya untuk merebut kembali lahan yang diklaim oleh pemerintah
yang dimasukan kedalam hutan lindung sejak tahun 1999. Dalam gerakan
ini, reclaiming menjadi landasan untuk melakukan perlawanan terhadap
pemerintah.
Gerakan reclaiming juga dapat dilihat sebagai gerakan sosial jika
dilihat pada kriteria gerakan sosial yang dijelaskan Sztompka,16 yaitu :
Pertama, adanya kolektivitas. Kedua, memiliki tujuan bersama yaitu
mewujudkan perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang
ditetapkan partisipan menurut cara yang sama. Ketiga, kolektivitasnya
relative tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi
formal. Keempat, tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun
tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional.
Gerakan tidak dilihat sebagai ledakan-ledakan tidak rasional yang
ditujukan yang ditujukan untuk mengurangi ketegangan psikologis,
16
Piotr Stzompka. Op Cit. Hal 325
melainkan lebih sebagai tindakan yang terorganisir dan terstruktur untuk
mendapatkan manfaat yang lebih besar. Dengan kata lain, penegasan
penggunaan gerakan sosial adalah ketidak puasan yang ada pada
masyarakat tersebar luas sehingga harus ada variabel berantara yaitu
gerakan yang menerjemahkan ketidakpuasan menjadi pernyataan yang
teroganisir. Hal ini bisa memperbesar atau mengoptimalkan kekecewaan
yang dirasakan, seperti dalam penjelasan Coleman.17
Suatu dasar minimal untuk sistem tindakan sosial ialah dua actor
yang masing-masing mempunyai kendali atas sumber daya yang
diminatioran lain. Minat masing-masing terhadap sumber daya
yang ada di bawah kendali orang lain membuat mereka berada
pada tindakan-tindakan yang melibatkan satu sama lain…suatu
siste tindakan…struktur itulah, bersama fakta bahwa para actor
bertujuan, masing-masing kepentingannya, yang memberikan
karakter saling menguntungkan, sistematik bagi tindakan-tindakan
mereka.
Selanjutnya tindakan dan interaksi dengan orang lain yang
dilakukan oleh aktor-aktor rasional yang disebut dengan tindakan kolektif
(pemindaan secara secara sederhana dan rasional kendali atas tindakantindakan seseorang terhadap actor lain dan bukan sebagai pertukaran).
Seperti yang dikatak oleh Simone I. Flynn bahwa gerakan sosial adalah
tindakan sukarela mengatur orang-orang rasional untuk bertindak bersamasama menghadirkan sebuah perubahan. Dengan demikian, pada kondisi ini
tindakan bersama untuk mewujudkan perubahan telah ada.
Kekecewaan yang dialami masyarakat terbentuk dalam sebuah
gerakan reclaiming, hal ini berhubungan dengan terklaimnya lahan mereka
17
Ritzer, 2002, Teori Sosiologi edisi VIII, Pustaka Pelajar.
oleh pemerintah. gerakan reclaiming bukan hanya dilakukan oleh satu
orang tapi melibatkan orang banyak. Isu yang dikembangkan oleh aktoraktor rasioanl kemudian meluas kemasyarakat sehingga muncul gerakan
tersebut. Untuk mempertegas gerakan reclaiming sebagai gerakan sosial
penulis mengadopsi pemikiran dari Della Porta dan Diani tentang gerakan
sosial, yaitu :18
a. Jaringan interaksi informal. Gerakan bisa dipahami sebagai
jaringan interaksi informal diantara individu-individu, kelompok
dan/atau organisasi yang sifatnya bisa sangat longgar sampai
kepada bentuk sirkulasi sumber daya yang penting dalam aksi,
seperti informasi, keahlian, dan suber daya materil sebagai mana
juga perkembangan sistem makna.
b. Perasaan dan solidaritas bersama. Gerakan sosial mengendalikan
adanya seperangkat keyakinan bersama, perasaan senasib, dan rasa
memiliki. Gerakan sosial juga mengkondisikan dan membantu
terbentuknya orientasi baru, baik pada isu-isu yang sedang
berlangsung maupun isu yang berkelanjutan.
c. Para pelaku gerakan sosial bersatu dalam sebuah konflik untuk
mendukung perubahan sosial. Konflik diartikan sebagai adanya
pertentangan diantara pelaku yang sama-sama mencoba melakukan
control pada satu objek yang sama.
d. Cara yang dilakukan oleh gerakan sosial menggunakan metodemetode inkonvensional, seperti protes, mobilisasi dan lain-lain.
Dengan demikian mereka meiliki seperangkat cara, taktik dan
metode perlawawanan.
Pada awalnya aktor-aktor yang mengalami keresehan terjadap
sebuah situasi bergerak pada level pribadi kemudian berkembang ke level
yang lebih besar. Mereka berusaha memindahkan keresahan dan
kekecewaan pribadi menjadi kekecewaan banyak orang ekspresi
kekecewaan penulis maksud disini adalah dalam bentuk reclaiming.
Dengan kata lain, orang yang mengalami kekecewaan berusaha melibatkan
18
Dimpos Manalu,. 2009, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik ; Studi Kasus
Gerakan sosial perlawanan masyarakat Batak Vs PT. Inti Indorayon. UGM Press.
orang banyak untuk tau dan peduli dengan apa yang sedang terjadi. Pola
gerakan petani Kontu ini menggunakan dua pola yaitu , yang pertama
berpusat pada seorang pemimpin (kharismatik) pada kasus ini tokoh
kharismatiknya adalah ketua ORK. Peran tokoh kharismatik membantu
gerakan masyarakat Kontu sangat sentral sekali, tokoh inilah yang
mengatur bagaimana masyarakat tersebut mengutarakan maksudnya untuk
mengambil alih kembali tanah dari Pemda Muna. Hal ini terlihat dari
adanya pemilihan pemimpin gerakan yang kriteria utamanya hanya satu
yaitu bersemangat dan bisa memprovokasi masyarakat lain dalam
melakukan gerakan reclaiming. Sistem jaringan terlihat dari masyarakat
(utama) berusaha mempengaruhi pihak – pihak lain, baik satu pihak
maupun pihak – pihak yang „dekat‟ dengan pejabat daerah. Kemudian pola
gerakan yang kedua adalah berbasis pada jaringan. Setelah jaringan ini
masuk yang didalamnya ada peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
maka timbul ketergantungan para masyarakat kepada jaringan tersebut.
Dalam penelitian ini lebih spesifik menggunakan teori mobilisasi
sumber daya. Yang mana dalam teori
Teori Mobilisasi sumber daya
(resource mobilization) menyatakan bahwa Gerakan Sosial muncul karena
tersedianya faktor- faktor pendukungnya, seperti adanya sumber-sumber
pendukung, tersedianya kelompok koalisi dan adanya dukungan dana,
adanya tekanan dan upaya pengorganisasian yang efektif serta sumber
daya yang penting berupa ideologi. Teori ini lebih menekankan pada
bahwa kepemimpinan, organisasi dan teknik sebagai faktor yang
menentukan sukses tidaknya sebuah gerakan sosial.
3. Pendekatan Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization)
Resorce Mobilization is basically a theory that examines the rational,
purposive aspects of social movement behavior (Waterman).19
Gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Kontu merupakan gerakan
yang berupaya untuk mengkonsolidasi masyarakat untuk membangun
kekuatan merebut lahan nenek moyang mereka (klaim historis).
Masyarakat
yang
memobilisasi
diri
maupun
dimobilisasi
untuk
menyatukan kekuatan untuk melakukan perlawanan, karena atas dasar
kekecewaan dimana pemerintah tidak pro masyarakat dan bahwak
peerintah tidak berupaya melakukan solusi, pemerintah hanya memiliki
satu pandangan yaitu masyarakat harus dikeluarkan dari kawasan dengan
cara apapun. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan mobilisasi
sumber daya yang dikemukakan oleh Charles Tilly.
Model mobilisasi menurut Tilly (1978), mengidentifikasi elemen
kunci yang terlibat dalam aksi kolektif. Elemen pertama terdiri dari
kepentingan kelompok, yang dikonseptualisasikan sebagai keuntungan dan
kerugian bagi kelompok yang dihasilkan dari interaksi yang dilakukannya
dengan kelompok lain. Elemen kedua adalah organisasi, termasuk
perselisihan dari kelompok dan hubungan/jaringan seseorang sehingga
tingkat tertinggi dari organisasi terjadi ketika orang dengan status yang
19
Pichardo, Nelson A. “Resource mobilization : Analysis Of Conflicting Theoritical
Variations”. The Sosiological Quarterly. Vol 29, No.1. Spring, 1988. P98.
sama salaing berinteraksi secara intesif dengan orang lain. Elemen ketiga
terdiri dari mobilisasi, yang berarti sebuah fungsi baik dari sumber daya
dibawah control kelompok dan kemungkinan yang akan dihasilkan dalam
sebuah aksi kolektif. Elemen keempat adalah kesempatan yang dapat
dibagi
menjadi
tiga
komponen
penindasan,
kekuasaan,
kesempatan/hambatan.20
Teori mobilsasi sumber daya merupakan bagian dari ilmu gerakan
social. Teori ini menjelaskan tentang kemampuan dan kepemilikan pada
akses sumber daya yang memungkinkan untuk melakukan gerakan social
untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Teori ini menekankan pada aspek
teknis dalam pembentukan gerakan social. Menurut Fireman dan Gamson
(1979) :
Research from the resorce mobilization perspective finds people’s
shared grievances, interests and aspiratiaon considerably less
problematic than their capacity to act on them collectively.21
Pada intinya, setiap individu yang berpatisispasi dalam suatu
gerakan social atau gerakan kolektif memiliki alasan yang rasionalitas.
Menurut teori ini, penjelasan aksi kolektif harus mencakup variasi dalam
sumberdaya, kekuatan organisasi, kendala dan peluang, dan strategi
tindakan. Tingkat masing-masing faktor tersebut ditentukan oleh
perubahan struktur social.
20
“Social Movement Theory A Sociology of Knowledge Analysis”. In Buechler, Steven M.
2000. “Social Movement in Advance Capitalism : The Political and Cultural Construction of
Social Activism”. New York and Oxford : Oxford University Press. P 36-37.
21
Ibid.
Teori ini melihat gerakan social sebagai sesuatu yang rasional,
merupakan manifestasi dari tindakan kolektif yang terorganisasi. Sehingga
dalam hal ini, gerakan social yang muncul bukan merupakan sesuatu yang
irasional yang dimaksudkan untuk meringankan psikologis individu yang
tertekan, namun lebih sebagai upaya yang terstruktur dalam suatu
organisasi melalui mekanisme mobilisasi yang menyediakan sumber daya
strategis bagi kelanjutan tindakan kolektif.
Teori Mobilisasi sumber daya menjelaskan mengenai betapa
pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang
gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi
dan taktik yang efektif. Sementara itu, individu-individu yang terkait
dalam gerakan sosial dalam sudut pandang sumber daya terdiri dari ;
adheraet yaitu pihak-pihak yang mendukung atau percaya akan tujuan
gerakan; nonadherent yaitu pihak yang tidak percaya atau tidak sejalan
dengan tujuan gerakan; konstituen yaitu adherent yang sekaligus
berkontribusi sumber daya secara langsung terhadap gerakan; conscience
yaitu konstituen yang mendukung gerakan walaupun hal tersebut tidak
memberikan manfaat kepadanya, khusus untuk tipe terakhir biasanya
digunakan dalam konteks-konteks gerakan yang memperjuangkan kaumkaum tertindas atau kaum disabilitas.
Menurut proses politik dari McAdam (1982), elemen penting dari
aksi kolektif, pertama adalah struktur dari kesempatan politik, yaitu faktor
eksternal yang mempengaruhi potendi para aktivis untuk mencapai sukses
karena kesempatan politik meningkat ketika ketidakcocokan power antara
penguasa dan oposisi berkurang dan posisi tawar dari oposisi meningkat.
Faktor kedua adalah kekuatan dasar dari organisasi, hal ini merupakan
faktor internal yang berada di bawah control para aktivis dan merupakan
hasil dari interaksi antara anggota, pemimpin, dorongan dan komunikasi.
Faktor ketiga cognitive liberation yang merupakan faktor subjektif yang
berarti sebuah perubahan kesadaran kelompok dimana pendemo potensial
melihat keberadaan social order sebagai sesuatu yang tidak memiliki
legitimasi dan merupakan suatu subjek untuk diubah melalui upaya
langsung.22 Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi sehingga
memunculkan gerakan social, ketekunan aktivis berfungsi sebagai
penopang kekuatan organisasi dan respon terhadap control social oleh
penguasa.
Teori mobilisasi sumber daya (resource mobilisation theory)
menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan cara atau sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan sebagai salah satu cara yang tersedia di
dalam masyarakat. Dengan penekanan pada cara gerakan dan proses yang
dilalui untuk sampai pada penggunaan cara itu, kepentingan dalam ketidak
puasan yang menyulut aksi kolektif itu menyusut. Pertanyaan penelitian
tidak dititik beratkan pada mengapa orang tidak puas karena ketidak
puasan sebenarnya bukan merupakan alasan yang cukup untuk melakukan
22
Ibid
gerakan, ketidak puasan dapat ditemukan dimana saia termasuk pada
orang yang tidak ikut di dalam gerakan.
Tesis utama mengenai
melahirkan
protes
karena
resource mobilitation tidak selalu
individu
merupakan
actor
rasional
(mempertimbangkan untung rugi). Gerakan social akan muncul dan
bertahan dengan mobilisasi sumber daya (materil ataupun non materil),
yang ada dalam organisasi gerakan.
Dalam membangun gerakan tersebut dibutuhkan ketersediaan
sumber daya yang memadai agar gerakan bisa berjalan dengan baik sesuai
tujuan yang ingin dicapai. Sumber daya pada dasarnya merupakan
instrument penting dalam gerakan sosial. Gerakan sosial memiliki
ketergantungan tinggi terhadap ketersediaan sumber daya. Hal ini
mengingat sumber daya akan menjadi bahan bakar utama dalam
menjalankan gerakan. Sumber daya adalah segala materi yang bisa
digunakan untuk memuluskan jalan gerakan atau membantu menjalankan
gerakan.
Sumber daya yang dibutuhkan dalam gerakan bisa dibagi dalam
beberapa klasifikasi. Pengkategorian sumber daya yang lebih konkrit dan
jelas diajukan oleh Freeman dalam Jenkins.23 Kalsifikasi ini didasarkan
pada bentuk sumber daya. Klasifikasi ini terbagi dalam dua bagian utama,
yaitu: sumber daya berwujud dan tidak berwujud. Sumber daya berwujud
dapat disaksikan secara langsung dan memiliki bentuk, seperti: uang,
23
Jenkis. Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements. JSTOR Annual
Review of Sociology, Vol. 9 (1983). Hlm. 553
fasilitas, manusia, aset, dan sarana komunikasi. Sementara aset tidak
berwujud merupakan sumber daya yang tidak tampak secara kasat mata,
namun bisa dirasakan keberadaanya. Sumber daya tidak berwujud meliputi
pengorganisasian dan keterampilan, hukum, kharisma, kepemimpinan, dan
tenaga kerja yang terspesialisasi.
Di
lain
sisi,
Simon
yang
memberikan
nama
lain
dari
pengkategorian ini, yakni: sumber daya materil dan non-materil.24 Sumber
daya materil dapat berupa organisasi formal dan informal, tenaga kerja,
teknologi, jabatan, uang, alat komunikasi, dan media massa. Sementara,
sumber daya non-materil dapat berupa legitimasi, loyalitas, jaringan sosial,
hubungan pribadi, perhatian publik, wewenang, komitmen moral,
kesalehan, dan solidaritas.
Keberadaan sumber daya bisa bersumber dari berbagai tempat dan
tersebar secara acak. Begitu banyak pola penyebarannya sehingga gerakan
harus bisa mendapatkannya. Sumber daya bisa berasal dari kalangan
pribadi dan kelompok atau lembaga. Individu dan kelompok atau lembaga
bisa memiliki satu jenis sumber daya, namun bisa juga memiliki lebih dari
satu sumber daya sekaligus. Hal bisa dimungkinkan mengingat posisi atau
peran yang dimiliki oleh individu dan kelompok atau lembaga yang cukup
beragam atau berebeda-beda.
Namun klasifikasi pengelompokkan sumber daya gerakan yang
lebih jelas dan digunakan dalam penelitian ini datang dari Edwards dan
24
Simone I. Flynn. Op Cit. Hlm. 116
Mc Charty, seperti yang dijelaskan Snow. Mereka mengemukakan lima
tipe sumber daya yang biasanya dimiliki oleh suatu organisasi gerakan
sosial.25
a. Sumber daya Moral (Moral Resources)
Sumber daya moral dapat berupa legitimasi, dukungan
solidaritas, dukungan simpati dan selebriti. Para teoritikus neoinstitusional organisasional membuat klaim yang kuat tentang
pentingnya legitimasi sebagai penghubung antara konteks makro
kultural dan proses organisasional meso dan level mikro. Oleh
karena itu muncul klaim bahwa aktor kolektif yang paling mampu
mendekati kesesuaian (mimic) dengan bentuk institusional yang
terlegitimasi dalam melakukan jenis-jenis usaha tertentu, maka
mereka akan mendapatkan suatu keuntungan dibandingkan dengan
kelompok lain yang tidak mampu mencerminkan bentuk tersebut.
Sumber daya moral cenderung berasal dari luar ruang
lingkup gerakan sosial atau organisasi gerakan sosial (OGS), dan
secara umum dianugerahkan (bestowed) oleh sumber-sumber
eksternal yang memang dikenal memilikinya. Kunci utama yang
membedakannya disini adalah pihak luar (outsiders) yang memiliki
sumber daya ini akan mentransferkannya kepada suatu gerakan
sosial sekaligus juga mampu menarik kembali sumber daya
tersebut. Oleh karena itu, sumber daya moral yang dianugerahkan
25
Snow, David A., Sarah A. Soule dan Hanspeter Kriesi Ed. 2004. The Blackwell Companion
to Social Movements. Victoria: Blackwell Publishing
oleh pihak eksternal ini bisa ditarik kembali, mereka juga
cenderung sulit diakses dan hak kepemilikan tinggi dibandingkan
dengan sumber daya kultural yang ada di poin selanjutnya.
b. Sumber Daya Kultural (Cultural Resources)
Sumber daya kultural adalah artefak dan produk kultural
seperti misalnya sarana konseptual (conceptual tools) dan
pengetahuan khusus yang menjadi dikenal secara luas, meskipun
belum tentu secara universal. Sumber daya ini termasuk
didalamnya adalah pengetahuan bersama yang dipahami tanpa
terkatakan (tacit knowledge). Tidak setiap anggota dari masyarakat
atau kelompok memiliki kompetensi spesifik atau pengetahuan
yang bisa menjadi nilai bagi gerakan sosial atau OGS.
Kunci yang membedakan antara sumber daya kultural dan
moral adalah sumber daya kultural memiliki ketersediaan yang
lebih luas, hak kepemilikan rendah (less proprietary), dan mudah
diakses
untuk
digunakan,
terlepas
dari
penilaian
yang
menguntungkan dari pihak –pihak yang berada di luar suatu
gerakan sosial atau OGS.
c. Sumber Daya Sosial Organisasional (Social Organizational
Resources)
Kategori sumber daya ini memiliki tiga bentuk umum yaitu
infrastruktur, jejaring sosial (network), dan organisasi. Tiga bentuk
tersebut bervariasi dalam formalitas organisasi, tapi yang menjadi
penekanan disini adalah sejauh mana akses terhadap mereka dapat
dikendalikan. Infrastruktur adalah sumber daya yang setara dengan
barang-barang publik. Untuk penggunaan sumber daya ini dalam
berbagai tingkatan dapat dilakukan dengan cara penolakan untuk
pihak luar dan ditimbun untuk pihak dalam.
Manfaat utama dari penggunaan setiap bentuk sumber daya
sosial organisasional adalah untuk menyediakan akses terhadap
bentuk sumber daya lainnya, sehingga isu yang sering diangkat
adalah akses yang tidak merata terhadap sumber daya sosial
organisasional diantara kawasan-kawasan potensi munculnya
gerakan sosial. Akses yang berbeda seperti ini menciptakan
kesenjangan lebih lanjut dalam kapasitasnya untuk mengakses
sumber daya krusial dari jenis lainnya.
d. Sumber Daya Manusia (Human Resources)
Tipe sumber daya ini lebih nyata dan mudah diapresiasi
dibandingkan tiga jenis sumber daya sebelumnya. Kategori ini
mencakup sumber daya seperti tenaga kerja, pengalaman,
keterampilan dan keahlian. Selain itu, kategori ini juga
menyertakan kepemimpinan, karena melibatkan kombinasi sumber
daya manusia lainnya disertakan disini. Sumber daya manusia yang
dimaksud disini adalah pada per individu ketimbang dalam suatu
struktur sosial organisasional atau budaya secara lebih umum.
Individu biasanya memiliki kontrol kepemilikan atas penggunaan
tenaga mereka serta sumber daya manusianya, kecuali dalam
kasus-kasus ekstrim seperti kerja paksa atau pemerasan. Melalui
partisipasi mereka, individu membuat tenaga mereka menjadi
mudah diakses dan digunakan untuk gerakan tertentu atau OGS.
OGS dapat mengumpulkan dan menyebarkan individu yang
notabene lebih mudah diangkut secara nyata (portable), contohnya
dibandingkan sumber daya sosial organisasional. Namun, kapasitas
gerakan untuk menyebarkan personelnya dibatasi oleh kerja sama
dari individu yang terlibat. Dan partisipasi mereka pada gilirannya
ditentuk oleh faktor spasial, faktor ekonomi, serta oleh hubungan
sosial, kewajiban bersaing, kendala arah hidup, dan komitmen
moral. Isu kuncinya adalah apakah ketersediaan individu terampil
akan meningkatkan mobilisasi gerakan bergantung pada bagaimana
keahlian mereka sesuai dengan kebutuhan gerakan atau OGS.
e. Sumber Daya Material (Material Resources)
Kategori sumber daya material mengkombinasikan apa
yang dikatakan oleh ekonom sebagai finasial, modal fisik,
termasuk sumber daya moneter, properti, ruang kantor, peralatan
dan
persediannya.
Edwards
dalam
Ritzer
mengemukakan
pentingnya sumber daya moneter dalam gerakan sosial tidak bisa
dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, seberapa banyak
sumber daya bentuk lainnya yang dimobilisasi oleh suatu gerakan,
hal tersebut akan dikenakan biaya dan seseorang harus membayar
tagihannya. Sumber daya material menerima perhatian yang paling
analitis, karena sumber daya ini secara umum lebih nyata, hak
kepemilikannya lebih tinggi, dan dalam hal uang lebih dapat
dipertukarkan (fungible). Dengan kata lain, uang dapat dikonversi
menjadi bentuk lain dari sumber daya, namun hal sebaliknya
kurang sering terjadi.
G. Definisi Konseptual
Konsep dipahami sebagai generalisasi dari fenomena abstrak yang secara
empiric dapat memberikan arah pada variabel penelitian. Kepastian arah dan
ruang lingkup penelitian akan mudah dipahami melalui pembatasan dan
penegasan defenisi konsep. Defenisi konsep disesuaikan dengan permasalahan
sekaligus mampu memamparkan hal-hal yang berkitan dengan pertanyaan
penelitian. Adapun definisi konseptual yang ada dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut :
a.
Gerakan reclaiming adalah suatu bentuk perjuangan yang terorganisir,
sengaja dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk merebut kembali
hak mereka.
b.
Mobilisasi sumber daya adalah upaya mengkoordinir sesuatu yang
dimiliki dan diyakini sebagai sumber daya dan kekuatan agar bisa
bermanfaat untuk mencapai tujuan.
H. Definisi Operasional
Guna memberikan yang sama terhadap masalah yang dijadikan focus
penelitian ini, maka variabel yang digunakan dalam melihat reklaiming atas tanah
dalam kawasan hutan lindung Warangga adalah sebagai berikut :
a.
Strategi gerakan reclaiming :
-
Low profile strategy
b.
-
Strategi pelapisan (lawyering)
-
Strategi advokasi
-
Keterlibatan khusus
Faktor pendorong terjadinya reclaiming :
-
Faktor politik
-
Faktor social
-
Faktor ekonomi
-
Faktor klaim historis
I. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, di jelaskan
beberapa definisi mengenai pendekatan ini, Bogdan dan Taylor (dalam Moeleong,
2011: 4) menjelaskan “metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat di amati” di mana metode yang di gunakan menekankan
pada proses penelusuran data/informasi hingga di rasakan telah cukup di gunakan
untuk membuat suatu interpretasi. Metode ini mencoba mempermudah dalam
menjelaskan Mekanisme reclaiming (studi tentang gerakan social pada gerakan
reclaiming lahan pada kawasan hutan Lindung Kontu, Muna Sulawesi Tenggara)
Untuk memenuhi standar penelitian penulis menggunakan beberapa
tahapan metode. selain itu, sebelum melakukan penelitian lapangan penulis
terlebih
dahulu
melakukan
preliminary
research
(pengamatan
sebelum
melakukan penelitian) sebagai perbandingan atau sebagai pengetahuan dasar
dalam memetakan persoalan di lapangan penelitian. setelah itu penulis membuat
draf penelitian dan membuat rancangan metode penelitian. Berikut metode yang
digunakan penulis dalam memperoleh data :
1. Lokasi dan setting penelitian
Dalam penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposivie
(judgment sampling) dengan kriteria sebagai berikut : a) desa yang berbatasan
langsung dan berada dalam kawasan hutan Kontu, b) instansi yang terkait atau
perduli dengan persoalan Kontu. Lokasi ini dipilih karena melihat proses
terjadinya Mekanisme reclaiming (studi tentang gerakan social pada gerakan
reclaiming lahan pada kawasan hutan Lindung Kontu, Muna Sulawesi
Tenggara) adalah hal yang menarik dan menarik minat penulis untuk
mendalaminya.
2. Pemilihan Informan
Jumlah informan tidak ditentukan secara pasti tergantung pada tingkat
keragaman atau variasi informasi yang digali (snowball sampling). Dimana
jumlah informan akan bertambah sesuai kebutuhan data peneliti. Adapun
Informan yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki kapasitas langsung
dengan masalah Kontu baik itu pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten
Muna) maupun masyarakat (masyarakat Kontu) serta NGO pendukung
perlawanan (Swami dan ORK).
3. Metode Pengumpulan Data
Secara umum dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui teknik
teknik di bawah ini:
a. Wawancara
Merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.
26
Secara umum, terdapat dua jenis wawancara, yakni
wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur yang disebut
wawancara mendalam (in-depth interview).27
-
Wawancara Terstruktur
Merupakan
jenis
wawancara
dimana
pertanyaan
telah
diformulasikan oleh peneliti secara pasti dan informan diharapkan
menjawab dalam bentuk informasi yang sesuai dengan kerangka kerja
si pewancara. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis
wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Untuk
26
27
Ibid. hlm 135.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya Dalam
Penelitian). Surakarta. Sebelas Maret University Press.
itu pertanyaan-pertanyaan disusun dengan ketat. Cara
ini diambil
bilamana pewancara merasa “mengetahui tentang apa yang mereka
belum tahu” dan dapat mengembangkan suatu kerangka pertanyaan
untuk mencari jawabannya yang mengarah pada pembuktian dari
prediksinya. Pertanyaan dikendalikan secara ketat dan berada di
tangan pewancara sementara jawaban ada pada yang diwawancarai
dengan mengikuti pola pikir pewancaranya (peneliti) sehingga waktu
yang digunakan relatif lebih cepat. Keuntungan wawancara terstruktur
ialah jarang mengadakan pendalaman pertanyaan yang dapat
mengarahkan yang diwawancarai agar jangan sampai berdusta.
- Wawancara Tidak Terstruktur
Teknik ini digunakan dimana pertanyaan bersifat “open-ended” yang
mengarah pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang
tidak secara formal tersturktur guna menggali pandangan informan.
Selain itu, bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi
secara lebih jauh dan mendalam. Wawancara ini dapat dilakukan
beberapa kali dan pada waktu dan kondisi yang dianggap paling tepat
guna mendapatkan data yang rinci, jujur dan mendalam.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang
berbeda dengan yang terstruktur. Wawancara semacam ini digunakan
untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal.
Hasil
wawancara
semacam
ini
menekankan
kekecualian,
penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali,
pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Wawancara
ini sangat berbeda dari yang wawancara terstruktur dalam hal waktu
bertanya dan cara memberikan respons, yaitu jenis ini jauh lebih bebas
iramanya.
b. Observasi
Teknik observasi adalah suatu pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek
penelitian. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan,
pengubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkaian perilaku dan
suasana yang berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan
tujuan-tujuan empiris. Sanafiah Faisal (1990) dalam Sugiyono
mengklasifikasikan
observasi
menjadi
observasi
berpartisipasi,
observasi secara terang-terangan, dan observasi yang tak berstruktur.
Selanjutnya, Lincoln dan Guba (1995) mmengklasifikasikan
observasi dengan tiga cara melalui: pertama, pengamat bertindak
sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat
dilakukan secara terang-terangan (overt observation) di hadapan
responden atau dengan melakukan penyamaran (covert observation)
mengenai kehadirannya di hadapan responden. Ketiga, observasi yang
dilakukan secara alami atau dirancang melalui analog dengan
wawancara terstruktur atau tidak terstruktur.
4. Analisis Data
Data-data yang didapat tentunya masih membutuhkan analisis untuk
memtangkan hasil penelitian. Dalam teknik analisa kualitatif penulis tidak
mencari kebenaran dan moralitas melainkan kebenaran. Maka, sejak
pengumpulan data awal, telah dimulai pencatatan peristiwa, pola-pola,
keteraturan, penjelasan, konfigurasi dan penjelasan sebab akbibat. Untuk
analisa data, penulis akan menggunakan teknik sebagai berikut : pertama,
data-data yag didapat melalui cerita perjalanan reclaim terjadi. Kedua, data
yang telah dikategorikan dihubungkan dengan teori yag memungkinkan
berhubungan dengan penelitian tersebut. Ketiga,
dilakukan rekonstruksi
berdasarkan data yang didapatkan, yang mana didalamnya dibutuhkan
identifikasi peran aktor dan strategi dalam me-reclaim kawasan hutan lindung
Kontu. Keempat, menemukan benang merah untuk sebuah kesimpulan.
Kesimpulan yang diambil tidak instan karena menyusun dan melakukan
analisis dari hasil pembedahan melalui teori dengan fakta terkait penelitian.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan case study (studi kasus).
Melalui pendekatan studi kasus, penelitian ini akan menjawab pertanyaan
“how dan how” sebagai upaya penting dalam strategi penelitian untuk
mendapatkan realitas yang tersembunyi. Oleh karena melalu pendekatan studi
kasus dapat diberikan gambaran descriptive analitict secara komperhensif,
intens, rinci dan mendalam tentang pokok-pokok permasalahan yang bersifat
kotemporer.
J. Sistematika Penulisan
Melihat penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka penelitian ini
disusun berdasarkan dari telaah literature dan data lapangan. Secara sistematika
proposal penelitian mencakup Bab-bab yang menjabarkan aspek-aspek penelitian.
Adapun sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I dihadirkan untuk memberikan fondasi penjelasan tentang faktafakta tentang strategi gerakan reclaiming lahan di kawasan Kontu . dalam bab
ini juga membahas tentang kerangka teori yang digunakan untuk membedah
kasus yang sedang terjadi, selain itu juga bab membahas tentang metode
penelitian yang digunakan untuk mendapatkan sebuah penelitian yang teruji
validasinya.
Bab II, mengulas tentang Pergeseran penguasaan tanah oleh Negara
dalam hal ini pemerintah Kabupaten Muna, di dalamnya menjelaskan tentang
awal munculnya klaim terhadap kawasan Kontu dan beberapa kebijakan yang
lahir sebagai bentuk politisasi terhadap hutan di Kabupaten Muna pada umunya
dan khususnya kawasan Kontu.
Bab III, mengulas tentang munculnya gerakan reclaiming dalam kawasan
Lindung Kontu yang dilakukan oleh masyarakat Kontu. Dan Bab IV, mengulas
tentang strategi atau mekanisme reclaiming yang merupakan cara masyarakat
melakukan reclaiming dan mengulas tentang gerakan perempuan dalam
reclaiming (gerakan perempuan sebagai temuan di lapangan).
Bab V, merupakan bab penutup yang akan memberikan kesimpulan,
solusi akademis dan praktis dalam bentuk saran serta memberi refleksi terhadap
fenomena sebuah gerakan sosial.
Download