BAB I PENDAHULUAN Paman, ketika tanah ini menjadi tanah negara, apakah kami serta merta kehilangan hak hidup ?. Kalau begitu, hiduplah negara ini tanpa kami !. Karena sesungguhnya kami di antara ada dan tiada. (Surat Pucuk Jati Wa Ode Nuka Kepada Paman Yones Koanfora Pellokila; Catatan Kedua Perjalanan Ke Kontu)* A. Latar Belakang Penelitian ini mengkaji proses atau cara masyarakat Kontu melakukan gerakan sosial dalam bentuk reclaiming. Reclaimng terhadap lahan yang dianggap sebagai tanah warisan nenek moyang mereka, yang sejak tahun 1999 menjadi bagian dari hutan Lindung Jompi. Pemerintah yang mulai tahun 1999 mengklaim bahwa wilayah Kontu masuk dalam kawasan hutan Jompi dan sejak saat itu pula hak dan akses masyarakat terhadap kawasan Kontu mulai dibatasi. Masyarakat Kontu yang melakukan gerakan sosial dengan cara memobilisasi diri dalam jumlah yang sangat banyak untuk melakukan reclaiming, cara ini dianggap efektif mengingat perlawanan terhadap pemerintah dalam merebut kembali lahan butuh kekuatan yang besar dan konsisten. Gerakan sosial (Social movement) yang dimaksud disini yaitu perlawanan kolektif yg dilakukan sejumlah masyarakat yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan negara. Sejak merebaknya reclaiming, berlangsung serangkaian perlawanan yang memperjuangkan hak masyarakat dan wilayah Kontu yang selama ini sebagai tanah Negara oleh pemerintah. Sepanjang periode 2001 sampai 2005 perlawanan mengalami penguatan dan konsisten dari paruh awal, baik dalam antusiasme partisipan gerakan, penggunaan cara gerakan maupun isu yang dilontarkan. Pembatasan hak dan akses masyarakat Kontu terhadap kawasan mengakibatkan perlawanan, karena banyak dari masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Kebijakan pemerintah layaknya dinding yang kokohk menjadi polemik yang begitu besar bagi masyarakat. Hutan Kontu yang merupakan lahan warisan dari nenek moyang warga setempat sehingga menjadikan wilayah tersebut menjadi tempat hidup warga Kontu. tidak sedikit dari warga yang menggantungkan hidup terhadap kawasan tersebut, setidaknya 1.000 KK yang aktif melakukan aktifitas dalam kawasan tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun Kontu merupakan bagian dari kawasan hutan lindung Jompi yang jauh sebelum reformasi (1998) telah atau sudah diduduki/diklaim oleh warga komunitas Kontu seluas kurang lebih 401,59 hektar sebagai tanah warisan nenek moyang. Kontu berbatasan dengan Raha, Ibu kota Kabupaten Muna. Terdapat paling kurang tiga kelurahan padat penduduk di Raha yang bersinggungan langsung dengan Kontu dan Warangga, yaitu Mangga Kuning, Watonea, dan Laiworu. Dengan posisi itu menjadikan Kontu tidak saja sebagai sebuah kawasan hutan tetapi juga ruang hunian bagi warga komunitas yang bermukim di dalamnya serta masyarakat di sekitarnya. Persinggungan itu menjadikan Kontu sangat mudah diakses oleh berbagai kepentingan yang berbeda. Persinggungan ini tidak saja berarti tekanan terhadap sumberdaya hutan, tetapi juga membawa implikasi terhadap berbagai kehidupan masyarakat, seperti menyusutnya ruang kelola masyarakat yang kemudian bersilang-sengkarut dengan keterbatasan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan, sehingga di sana tercipta situasi yang menyerupai lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi itu mempromosikan kesulitan hidup masyarakat Kontu, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, yang yratarata warga miskin yang berasal dari masyarakat lapisan bawah. Status kawasan yang mengalami tumpang tindih presepsi tentang fungsi yang menjadikan masyarakat dan beberapa oknum berusaha mereclaim kawasan hutan Kontu dengan bentuk pendudukan. Pendudukan kawasan adalah bentuk ekspresi dari cara masyarakat me-reclaim kawasan atau tanah yang mereka anggap sebagai tanah nenek moyang mereka. Permasalahan kawasan hutan bukan hanya terletak kepada sumberdaya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat dimana hutan itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya yang ada di dalamnya. Dalam perjalanan waktu, perlawanan seperti itu terakumulasi sedemikian rupa, sehingga menimbulkan persoalan sosial berkepanjangan dan sesekali menyulut konflik terbuka. Di Kontu khususnya, pascareformasi, setidaknya telah terjadi tiga kali konflik terbuka, yakni pada tahun 2001, 2003, dan 2005. Modusnya ialah penduduk sekitar hutan menerobos masuk dan mengkapling lahan bekas hutan jati yang telah tergerus akibat illegal-logging, yang oleh pemerintah setempat dianggap lahan milik negara. Perlawanan dan konfrontasi fisik kedua belah pihak sulit dihindarkan. Pemerintah bertindak represif, wargapun memberi perlawanan, akibatnya korban di kedua belah pihak berjatuhan. Masalah agraria tidak hanya meliputi masalah atas tanah tapi termasuk sumber daya lainnya yang ada dalam wilayah tersebut. Tenurial menjelaskan tentang akses terhadap sumber daya. Sistem itu mengatur akses tanah dan penggunaan tanah. Institusi itu terdiri dari beberapa aturan yang dibuat oleh masyarakat untuk mengatur perilaku. Aturan-aturan itu menentukan hak akses orang ke beberapa sumber daya alam tertentu. Aturan-aturan itu juga merupakan sebentuk peneguhan sosial atas hubungan-hubungan itu, seperti bagaimana hak milik atas tanah diberikan kepada pihak-pihak yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana akses diberikan bagi hak untuk menggunakan, menguasai dan mengalihtangankan lahan. Juga, aturan-aturan itu mengatur tanggung jawab dan larangan yang terkait dengan hak itu. Tanah dan sumber daya alam yang terdapat padanya merupakan objek dari penataan penguasaan tanah. Penataan penguasaan tanah itu ditentukan oleh para aktor sebagai proses social. Sisi lain dari permasalahan pengelolaan kehutanan adalah kepentingan yang begitu banyak, interaksi aktor baik dari aktor negara, LSM, maupun penduduk sekitar hutan yang dibiaskan atau disiasati melalui sikap bermuka dua, kepura-puraan, dan saling tuding. Relasi mereka tekesan carut-marut dan tumpang tindih dan secara keseluruhan tampak seperti bermuara pada perhitungan pragmatisme dan kepentingan, yakni seberapa jauh para aktor bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas berbasis sumberdaya hutan, kayu, dan lahan, maupun terhadap penyelenggaraan kehutanan. Pada tingkat aktor, relasi dan interaksi aktor berbasis kepentingan pribadi, sementara di tingkat struktur terdapat kepentingan untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan. Ironisnya lagi, aktor negara seperti petugas, pejabat, dan aparat, termasuk para aktivis – tentu saja dalam status oknum, bukan institusi – yang semestinya tampil di depan untuk melaksanakan kepentingan struktur, justru ada di antara mereka yang berkontribusi terbalik dari proses itu. Kendatipun sehari-hari di lapangan aktor masyarakatlah yang terlibat langsung atas tekanan sumberdaya hutan, kontribusi „panggung belakang‟ aktor negara cukup signifikan dalam memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran proses perusakan sumberdaya hutan, misalnya terlibat atau berada di balik mafia pencurian kayu, illegal-logging, sindikasi perdagangan kayu gelap, dan pemalsuan dokumen kayu. Bagaimanapun, aktor negaralah menjadi pihak yang paling berkontribusi besar dalam proses dramaturgi pengelolaan kehutanan Dalam konteks demikian, maka menjadi menariklah untuk melakukan studi terhadap perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat, untuk memperjuangkan hak-haknya, yaitu reclaiming, karena gerakan masyarakat di dalam reclaiming ini mengedepankan cara-cara pengorganisasian masyarakat dan pembentukan jaringan sebagai strategi perjuangan, dengan menggunakan prinsip-prinsip anti kekerasan, pengharapan terhadap proses demokrasi, penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, kolektivitas dan keterbukaan.1 Menutut pengertian YLBHI, gerakan reclaiming adalah sebagai berikut : “Sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-hak seperti tanah, air dan sumber alam lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat”.2 Proses untuk memperoleh kembali hak-hak itu maka, reclaiming dilakukan sebagai respon dari perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Nur Fauzi, munculnya kasus-kasus reclaiming sebagai salah satu jenis konflik agraria antara lain dilatarbelakangi oleh adanya : pertama, pengambilan tanah-tanah yang sebelumnya dilakukan oleh pemilik modal sebagai usaha perkebunan. 1 Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, 2001, Reclaiming dan Kedaulatan Rakyat, YLBHI dan RACA institute, hal 81 2 Ibid Kedua, pengambilan/penggusuran tanah oleh pemerintah untuk program pembangunan.3 Dalam gerakan ini tak urung masyarakat sering menggunakan kekuatan-kekuatan politik formal yang terorganisir seperti partai politik, organisasi-organisasi tani ataupun NGO untuk memperluas dukungan dalam mencapai kemenangan yang diinginkan. Strategi seperti ini biasanya akan mengarah pada suatu pola karakter gerakan yang biasa disebut legal. Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik diantara para pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/ lisensi yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini terjadi pada kawasan Kontu tumpang tindih presepsi masyarakat mengenai status kawasan tersebut sehingga banyak masyarakat yang mengasumsikan kawasan tersebut adalah tanah ulayat. Berangkat dari hal itu sehingga masyarakat melakukan reclaim (memperoleh kembali) tanah yang mereka anggap sebagai warisan nenek moyang mereka. Dengan fenomena yang terjadi pada kawasan hutan Kontu sebagai bentuk “perlawanan rakyat”, secara spontanitas, kelompok masyarakat dengan bantuan NGO mengoragnisir diri, bergerak dan menduduki hutan Kontu, mematok, memagari, lahan-lahan dalam hutan, mendirikan rumah kecil dan bahkan ada yang mendirikan rumah stengah permanen. Perlawanan kaum 3 ibid yang kalah ditunjukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh kelas atas (Negara) berhadapan dengan kaum yang kalah. 4 Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas lahan dan sumber daya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara aspek de jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh berbagai pihak. Di satu sisi system penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah dalam operasionalnya, sementara system yang diatur secara tradisional (adat) tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kurang mendapat dukungan secara hukum. Hal ini mempengaruhi kepastian hak atas lahan tersebut. Konflik penguasaan tanah muncul dari persepsi dan interpretasi yang berbeda yang dimiliki antar pihak terhadap hak mereka atas tanah dan sumber daya hutan.5 Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya hak-hak atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat terjadi antara perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor swasta. Batas-batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah juga memicu terjadinya konflik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lahan di kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat atau penduduk sekitar, baik pendatang maupun penduduk 4 Scott, C James: Weapons Of The Weak, Everyday Forms Of Peasant Resistance, Yale University, 1985, Dalam A. Rahman Zainudin, Dkk, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah; Bentu-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani, Jakarta. Yayasan Obor, 2000, Hal 382 5 Sylviani & Ismatul Hakim, 2014, Analisis Tenurial Dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kph): Studi Kasus Kph Gedong Wani, Provinsi Lampung (Analysis Of Land Tenure In Developing Forest Management Unit) (Fmu): Case Study In Gedong Wani Fmu, Lampung Province, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor lokal namun keberadaan masyarakat tersebut belum diakomodir terutama dalam perencanaan pembangunan kehutanan. Masyarakat Kontu yang awalnya hanya dijadikan objek politik dan pembangunan dari penguasa lewat politik floating mass, depolitisasi, dan deideologisasi-nya, kini menjadi masyarakat yang aktif dalam mengekspresikan pendapatnya serta berani bersikap politik secara tegas terhadap penguasa ketika dirasa ada kebujakan yang dapat merugikan kepentingan mereka. Masyarakat dari beberapa desa di pasca lengsernya Ridwan Bae (mantan bupati sebelumnya) dapat dikatakan tidak lagi pasif dalam menyampaikan aspirasinya, sebaliknya masyarakat aktif dalam mengorganisir dirinya secara politik dan bahkan menolak secara tegas proyekproyek pemerintah yang masuk dalam wilayah reclaiming masyarakat. Menurut Savitri kondisi krisis agrarian dapat ditandai oleh beberapa hal; pertama, terjadinya konflik klaim penguasa dan pemilik tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; kedua, hilangnya penguasaan rakyat atas tanah terhadap sumber-sumber agrarian lainnya; ketiga, terbatasnya akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan penghidupan; keempat, terbatasnya tata kuasa dan tata kelola mandiri rakyat atas proses kerusakan ekologi.6 Secara umum akar dari krisis agrarian Menurut Gunawan Wiradi, terletak pada fakta terjadinya ketimpangan dan kesenjangan terhadap sumbersumber agrarian baik dalam bentuk penguasaan maupun pengalokasian, serta 6 Suliadi, 2015, Dinamika Resistensi Petani Terhadap Ekspansi Kapitalisme di Jawa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hal 14 tumpang tindihnya berbagai macam produk kebijakan hukum yang mengatur atas sumber-sumber agraria tersebut. Berakar dari persoalan di atas pulalah persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber agrarian seringkali meruncing menjadi konflik agrarian.7 Sejarah konflik agraria adalah sejarah ketimpangan dan penguasaan terhadap segala sumber daya alam yang meliputi tanah, air, tambang dan perkebunan. Tidak jarang terjadinya ketimpangan akses masyarakat terhadap sumber-sumber tersebut telah memicu masyarakat untuk melakukan resistensi dalam hal ini reclaiming. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa munculnya reclaiming kawasan hutan lindung adalah bentuk resistensi masyarakat terhadap pemerintah terkait arah dan model kebijkan yang dijalankan oleh pemerintah terkait wilayah tenurial. Noer Fauzi Rahman pernah menjelaskan bahwa dari hasil studi mengenai agrarian di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin ditemukan adanya kolerasi antara kebijakan hukum agraria dengan tersingkirnya petani atau masyarakat terhadap akses atas tanah. Hukum-hukum agraria yang ada, lebih sebagai cara bagi penguasa, perusahaan-perusaan kapitalis untuk mengeklusi rakyat atas tanhanya. Sehingga dalam system kapitalisme rakyat dan tanhanya masuk sebagai modal bagi perusaan kapitalis. Dengan demikian, munculnya konflik agrarian sebagai turunan dari permsalahan agraria sangat 7 ibid berhubungan dengan arah dan orientasi dan kebijakan agraria dari pemerintah.8 B. Rumusan Masalah Potret permasalahan yang terjadi di kawasan hutan lindung Kontu merupakan sebuah konsekuensi logis dari banyaknya pihak/aktor yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan. Para aktor berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang disediakan hutan baik secara ekonomi, politik dan social. Maka dari itu rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimana strategi gerakan reclaiming masyarakat Kontu dalam merebut lahan ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi yang digunakan oleh masyarakat Kontu dan aktorlain yang terlibat dalam melakukan reclaiming lahan yang mereka perjuangkan. D. Manfaat Penelitian Dari sebuah penelitian tentunya diharapkan adanya sebuah manfaat bagi bidang ilmu yang menjadi kosentrasi. Penelitian yang focus pada mobilisasi sumber daya pada gerakan reclaiming tentunya akan menabah varian bacaan maupun referensi bagi peneliti. Penulis menguraikan beberapa manfaat yang dapat dilihat pada poin-poin berikut : 8 Ibid 1. Menunjukan mekanise yang meliputi peran strategi dan peran aktor dalam proses reclaiming kawasan hutan lindung Kontu. 2. Memberi informasi kepada masyarakat dalam memahami realitas yang terjadi mengenai proses reclaim kawasan hutan Kontu. 3. Agar menjadi masukan dan referensi bagi para peneliti lainnya dan sebagai masukan buat pemerintah daerah Kabupaten Muna. E. Literature Review Pada bagian ini, menghadirkan tulisan yang terkait dengan gerakan social dan difokuskan pada mobilisasi sumber daya. Hal ini bertujuan agar cakupan literature review tidak meluas dan lebih terarah. Berikut dijabarkan tulisan yang bisa memberikan rujukan buat penulis. Buku pertama dengan judul Gerakan Sosial “Studi Kasus Perlawanan” yang ditulis oleh Abdul Wahid Situorang pada tahun 2007. Satu bagian dalam buku ini menceritakan tentang perlawanan masyarakat akar rumput dalam menentang tambang di dalam hutan lindung. Masyarakat yang tidak sepakat dengan aktifitas pertambangan di hutan bekerja sama dengan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang). Jatam melakukan beberapa tindakan, yaitu : mengumpulkan data mengenai hutna lindung di Indonesia dan akan diterbitkan di situs resmi jatam dan majalah, data yang didapat akan didesiminasi kepada semua jaringan seperti Walhi dan Aman, dan mereka bersama organisasi lain melakukan lobi kepada lembaga pemerintahan. Hadirnya lembaga advokasi ini sebagai lembaga yang membantu masyarakat melakukan penolakan (intermediary) selalu berupaya mengakomodir upaya perlawanan masyarakat dengan menghubungkan dengan beberapa kekuatan lain. Tulisan lain, Wahyudi tentang “Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani Kalibakar Malang Selatan” yang menjelaskan tentang gerakan petani mengambil lahannya di PTPN XII. Struktur gerakan social petani mengalami perubahan sejak 1993-2005 karena kondisi politik, perhitungan untung rugi, dan pola komunikasi petani. Dalam menjalankan gerakan, petani meminta dukungan dari mahasiswa, LSM dan Ornop karena mereka merupakan kelas social yang powerlest. Dengan adanya dukungan, petani dapat meningkatkan level kekuasaan dan daya tawar. Petani bersama pihak pendukung melakukan perebutan paksa, mogok, demonstrasi, boikot jalan,dan lobi. Dengan cara ini, petani di Malang Selatan bisa mengambil kembali lahan mereka. Selain itu, La Ode Rusdin Jaya denga judul tesis “perlawanan Masyarakat terhadap negara (studi kasus perlawanan masyarakat kontu terhadap pemerintah daerah muna sulawesi tenggara) dan tesis ini menggunakan pendekatan teori pergerakan yang mengurai latar belakang perlawanan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan ekspresi bentuk gerakan perlawanan masyarakat dalam wujud ekspresi politik guna mencapai keinginan bersama. Kemudian penelitian Alting (2013) dengan judul “ konflik penguasaan tanah di Maluku utara” : rakyat versus penguasa dan pengusaha”. Karekteristik konflik pertanahan yang melibatkan pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat pemegang hak dimana penananman modal dilakukan di wilayah Provinsi Maluku utara dalam penelitian ini dibatasi pada lingkup permasalahan, sebagai berikut : pertama, bagaimana pola konflik tanah yang terjadi di provinsi Maluku Utara dan, kedua, bagaimana bentuk penyelesaian konflik tanah yang dapat memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa. Handi Mulyani dengan judul tesis “Perambahan Hutan di Kecamatan Pulau Panggung Lampung Selatan ; Suatu Tinjauan Sosiologis Terhadap Suku Sumendo” yang mengulas tentang bagaimana strategi bertahan hidup suku sumendo dengan adanya larangan pengambilan sumber daya produktif dari hutan. F. Landasan Teori Sehubungan dengan latar belakang dari penelitian ini yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, terlihat adanya dua kepentingan terhadap objek yang sama yaitu kawasan hutan Kontu. Pihak pemerintah menganggap bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan lindung, dipihak lain masyarakat menggap kawasan tersebut adalah tanah warisan dengan sudut pandang rasa ingin me-reclaim lahan tersebut sangat besar. Sebagai landasan untuk menggambarkan konflik tersebut yang berbasis reclaim atas tanah dalam kawasan hutan lindung, maka penulis akan menggunakan teori gerakan sosial. 1. Gerakan Sosial Gerakan social muncul sebagai reaksi dari ketidak adilan, kesengajaan atau ketidak puasan terhadap suatu situasi yang sedang terjadi dalam masyarakat. Upaya untuk mencapai tujuan dari gerakan social membutuhkan mobilisasi sumber daya. Keadaan masyarakat Kontu yang mengalami tindak kekerasan dari pemerintah mendorong munculnya gerakan social untuk melakukan reclaiming lahan yang diklaim. Lahirnya reclaiming sebagai sebuag upaya untuk menghimpun kekuatan dalam melakukan gerakan social. Untuk melakukan gerakan social masyarakat Kontu memobilsasi sumber daya yang dimilikinya. Mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh masyarakat Kontu adalah membentuk jaringan atau koalisi dengan NGO-NGO. Gerakan sosial (social movement)9 merupakan fenomena partisipasi sosial (masyarakat) dalam hubungannya dengan entitas-entitas eksternal. Istilah ini memiliki beberapa definisi, namun secara umum dapat dilihat sebagai instrumen hubungan kekuasaan antara masyarakat dan entitas yang lebih berkuasa (powerful). Masyarakat cenderung memiliki kekuatan yang relatif lemah (powerless) dibandingkan entitas-entitas yang dominan, seperti negara atau swasta (bisnis). Menurut Charles Tilly, gerakan sosial adalah sebuah tindakan/performancie yang dilakukan secara berkelanjutan dan bertahap, pertunjukan dan kampanye yang dilakukan oleh orang-orang biasa dan mereka membuat tuntutan secara kolektif terhadap suatu hal. 9 Tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, penguasaan dan lawan” – Tarrow, 1994 (Power in Movement) hal 4. Tarrow menekankan bahwa pada dasarnya gerakan (a) menyusun aksi disruptive melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain dan aturan-aturan budaya tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan, penguasa dan kelompok elite, (c) berakar pada rasa solidaritas atau identitas kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah gerakan sosial) Gerakan sosial menjadi instrumen yang efisien dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain gerakan sosial merupakan pengeras suara masyarakat sehingga kepentingan dan keinginan mereka terdengar. Gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu ke waktu atau juga untuk menghentikan kondisi status quo. Pandangan ini berarti bahwa gerakan sosial terjadi pada berbagai masyarakat dan pada berbagai sistem pemerintahan negara. Fokus gerakan sosial dapat berkiprah pada tujuan lokal seperti gerakan menentang pembangunan tempat pembuangan limbah beracun, atau dapat pula berskala nasional maupun internasional. Dalam aspek tujuan, beberapa gerakan sosial mempunyai target yang beragam. Ada yang berusaha untuk mereformasi sistem politik yang ada, sementara yang lain mungkin bertujuan untuk menghentikan perubahan. Disisi lain ada juga yang sama sekali tidak politis dan malah menuntut adanya perubahan budaya atau individu. Tetapi ada juga yang mendorong perubahan pada kedua aspek yakni politik dan sosial budaya Menurut beberapa para ahli, seperi Piotr Sztompka definisi gerakan sosial adalah : a. Kolektifitas orang yang bertindak bersama. b. Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama. c. Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya dari pada organisasi formal. d. Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa gerakan sosial adalah tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Mendefinisikan apa, tepatnya, sebuah gerakan sosial bisa sangatlah sulit. Gerakan sosial bukanlah partai atau kepentingan kelompok politik, yang merupakan entitas politik yang stabil yang memiliki akses rutin ke kekuasaan politik dan elit politik; juga bukan sebuah trend massa atau tren yang terorganisir, singkat dan tanpa tujuan. Sebaliknya gerakan sosial berada di antara beberapa kategori tersebut. Beberapa karakteristik gerakan sosial adalah bahwa mereka "terlibat dalam hubungan konflik dengan lawan yang jelas teridentifikasi; dihubungkan oleh jaringan informal.Gerakan sosial, dapat dianggap sebagai entitas sosial namun terorganisir secarainformal yang terlibat dalam konflik ekstra-institusional yang berorientasi pada tujuan. Tujuannya dapat diarahkan pada proses perubahan kebijakan secara khusus dan sempit atau secara lebih luas ditujukan untuk perubahan budaya. Aktor gerakan sosial terlibat dalam konflik politik atau budaya dimaksudkan untuk mempromosi atau menentang perubahan sosial yang tidak sesuai dengan kepentingan, kebutuhan atau hak kelompoknya. Jaringan informal yang kuat membedakan proses gerakan sosial dengan tindakan kolektif lainnya. Dalam gerakan sosial, tindakan kolektif baik individu maupun organisasi menjaga otonominya tetapi terlibat dalam pertukaran sumber daya secara berkelanjutan untuk mencapai tujuan yang mereka perjuangkan. Selanjutnya, gerakan sosial hanya akan terwujud apabila berkembang identitas kolektif. Indentitas kolektif sangat terkait dengan pengakuan dan penciptaan hubungan. Dalam gerakan sosial, kriteria keanggotaan sangat tidak stabil dan akhirnya tergantung pada pengakuan timbal balik antar pelaku. Sementara itu, menurut Sydney Tarrow, gerakan sosial merupakan tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial dalam interaksi berlanjut dengan para elit, penentang dan pemegang otoritas. Tarrow merumuskan gerakan sosial dalam konsep yang lebih luas tentang politik perlawanan (Contentius politic). Dalam bukunya power in movement, Revised an Updated third edition, dijelaskan bahwa politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus penentangan dan evolusi. Politik perlawanan terjadi ketika sebagian besar warga bergabung dengan warga yang terpengaruhatau sesepuh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan semacam ini umumnya muncul ketika kesempatan dan hambatan politik berubah menjadi dorongan bagi aktor-aktor sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol – simbol aksi, maka perlawanan mengarah ke interaksi yang berlanjut dangan pihak lawan dan hasilnya adalah gerakan sosial. Selanjutnya menurut Antony Giddens, gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.10 Merujuk pada kombinasi yang tidak berbeda dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial merupakan tindakan/gerakan kolektif yang bersifat menentang untuk mncapai tujuan kolektif. Gerakan sosial sebagai kolektifitas orang yang melakukan tindakan untuk mencapai tujuan bersama,memiliki jaringan yang kuat antara satu dengan yang lain, dan terorganisir secara informal tetapi memiliki identitas kolektif yang kuat. Dalam penelitian ini digunakan konsep gerakan sosial yang diturunkan oleh Gramsci sebagaimana yang ditegaskan oleh Sidney Tarrow. 10 Suharko, 2006, Gerakan Sosial Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. PLaCID‟s (Public Policy Analysis and Community Development Studies), Malang. a. Penyebab Lahirnya Gerakan Sosial Menggambarkan fenomena lahirnya sebuah gerakan dapat menggunakan konsep breakdown-deprivation yakni sebuah keadaan yang menunjukan terjadinya perombakan susunan masyarakat tradisional sebagai akibat dari perubahan social yang cepat. Struktur social yang tidak terorganisir, ledakan jumlah penduduk dan ketidak seimbangan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi ketegangan, frustasi, rasa tidak aman, dan kemudian pada gilirannya akan mengakibatkan timbulnya perasaan yang sangat tertekan yang cenderung dapat meledak dalam bentuk kekerasan atau kekacauan.11 Setidaknya ada dua penjelasan tentang kemunculan gerakan social. Pertama, hubungan antara proses framing dan suatu pemikiran tentang perubahan politik „objektif‟ yang menfasilitasi kemunculan gerakan social. Perubahan politik tertentu mendorong mobilisasi tidak hanya melalui pengaruh „objektif‟ yang diakibatkan oleh perubahan reaksi kekuasaan tetapi juga oleh setting dalam proses framing yang selanjutnya menggerogoti legitimasi sistem. Kedua, suatu gerakan social juga bisa muncul karena kaitan resiprokal antara psoses framing dan mobilisasi. Proses framing secara jelas endorong mobilisasi ketika orang-orang berupaya megorganisasi dan bertindak pada basis kesadaranyang berkembang tentang ketidak absahan dankerentanan sistem. Pada saat yang sama, potensi bagi proses framing yang kritis 11 Rusdin, 2005, Gerakan Perlawanan Masyarakat Terhadap Negara. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarya. dikondisikan oleh akses orang-orang kepada struktur mobilisasi. Dan hal ini akan mungkin terjadi dalam kondisi organisasi yang kuat dari pada kondisi organisasi yang lemah. Dengan kata lain, proses framing tidak akan terjadi dalam kondisi ketidakadaan organisasi, karena ketidaandaan struktur mobilisasi hamper pasti akan mencegahdan penyebaran framing ke julah minimal orang yang diperlukan untuk basis tindakan kolektif.12 Charles Tilly yang menjelaskan bahwa ketidak puasan individu atau kelompok tidak dapat melakukan tindakan aksi politik kecuali apabila individu atau kelopok tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok terorganisir yang juga memiliki sumber daya (kekuatan). Tilly mengemukakan : Tindakan aksi kolektif itu cenderung muncul secara langsung dari pusat proses-proses politik dalam suatu masyarakat, ketimbang mencerminkan ketegangan dan ketidak puasan dalam kelompok atau masyarakat… bahwa tuntutan-tuntutan dan klaim balasan tertentu terhadap pemerintah dilakukan oleh berbagai kelompok yang termobilisir adalah lebih penting dibanding ketidak puasan umum atau kekecewaan kelompokkelompok itu dan bahkan tuntutan untuk mendapatkan tepat yang mapan dalam struktur kekuasaan adalah sangat menentukan.13 Tilly menegaskan bahwa aksi kolektif dapat dibedakan menjadi dua model yakni ; Pertama, aksi sekelompok orang secara bersamasama dan terorganisir dalam mencapai kepentingan bersama. Pihak- 12 Suharko, 2006, Gerakan Sosial : Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. PLaCID‟s (Public Plicy Analysis and Community Development Studies), Malang hlm 10 13 Skocpool, 1991, Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif tentang Perancis, Rusia dan Cina. Erlangga, Jakarta hlm 9 pihak yang terlibat dalam aksi ini adalah peerintah (organisasi yang mengendalikan kekerasan terhadap masyarakat) dan kelompokkelompok yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan dan posisi strategis. Kedua, model mobilisasi yang mengacu pada kepentingan kelompok, tingkat pengorganisasian, besarnya sumber daya yang ada dibawah kendali kolektif dan kesempatan atau ancaman yang dipakai oleh pesaing tertentu dalam hubungannya dengan pemerintah atau kelompok pesaing lainnya.14 Charles Tilly, dalam karyanya From Mobilization to Revolution, menyatakan bahwa setinggi apapun ketidak puasan rakyat, mereka tidak dapat ikut campur dalam aksi politik (termasuk aksi kekerasan), kecuali mereka menjadi (dan terlibat) bagian dari satu kelompok yang terorganisir yang mempunyai beberapa sumber daya. Bahkan, sekalipun keudian mereka atau kelompok-kelompok yang bersaing mungkin berhasil menekan kemauan untuk ikut campur dalam aksi kolektif dengan cara mempertinggi resiko yang harus ditanggung. Dalam pandangan Skocpol yang mengutip Wolf, pada akhirnya faktor penentu yang dapat memungkinkan terjadinya pemberontaka petani terletak pada hubungan kaum tani dengan lingkup kekuasaan 14 Ibid hlm 9 yang ada disekitarnya. Suatu pemberontakan tidak akan meletus dalam situasi yang benar-benar impoten.15 b. Tahapan-tahapan Gerakan Sosial Pola perkembangan gerakan sosial tidaklah sama, namun semua gerakan sosial dimulai dari suatu keadaan krisis, lalu mengalami perkembangan dalam berbagai tingkat, dan kemudian lenyap atau melembaga. Menurut W.E Gettys, kebanyakan gerakan sosial melewati tahap-tahap berikut: Tahap kegelisahan. Dalam tahap ini terjadi ketidakpuasan akibat pergolakan sistem yang kurang baik. Tahap ini bisa meluas dan berlangsung selama beberapa tahun. Tahap kegusaran. Setelah perhatian dipusatkan pada kondisikondisi yang menimbulkan kegelisahan, maka terhimpunlah sebuah kolektivitas. Kegelisahan yang muncul dalam kolektivitas ini digerakkan oleh para agitator atau pemimpin. Tahap formalisasi. Dalam tahap ini, tidak tampak adanya struktur formal yang terorganisir yang dilengkapi dengan hierarki petugas-petugas. Salah satu tugas penting adalah mejelaskan ideologi gerakan kepada anggota yang telah bersatu. Sebab-sebab terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi dan sasaran-sasaran gerakan. 15 Mustain, 2007, Petani Vs Negara ; gerakan sosial petani melawan hegemoni Negara, ArRuzz Media, Yogyakarta Tahap pelembagaan. Jika geraka tersebut berhasil menarik banyak pengikut dan dapat memenagkan dukungan publik, akhirnya akan terjadi pelembagaan. Selama tahap ini, ditetapkan suatu birokrasi dan kepemimpinan yang profesional yang disiplin mengganti figur-figur kharimatik sebelumnya c. Strategi Gerakan Sosial Strategi gerakan social berkembang secara kreatif sesuai dengan kultur dan kondisi social politik yang muncul di suatu daerah. Disebutkan oleh Suharko, yang menurutnya terdapat begitu banyak strategi atau taktik mengenai gerakan sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dari gerakan social itu sendiri. Setidaknya terdapat 4 strategi gerakan social, yakni sebagai berikut : 1. Low profile strategy. Fisher (1998) menyebutkan strategi ini disebut sebagai isolasi politik yang secara khusus sesuai konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari kooptasi dan pemegang kekuasaan yang ototarian. Dalam hal ini, aktor dari gerakan social secara sadar memutuskan untuk mengisolasi diri atau menghindari hubungan dengan agenagen Negara. Ruang yang digunakan untuk mengisolasi diri biasanya ditemukan di tingkat local dimana actor berbasis komunitas aktif dalam rangka mengembangkan atau mengorganisasikan kelompok social berdasarkan sumber daya local. 2. Strategi Pelapisan (lawyering). Fowler (1997) menyebutkan strategi ini sangat cocok untuk digunakan oleh organisasi gerakan social yang beroperasi di Negara-negara yang membatasi aktivitas otonom di luar pemerintah. pelapisan merupakan pengembangan penyediaan pelayanan yang berorientasi pada kesejahteraan yang sebenarnya berisikan metode dan aktivitas yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi social. Dengan melakukan strategi ini menghindarkan diri dari intervensi langsung dari pihak lawan. Pihak lawan atau pihak-pihak di luar organisasi gerakan social melihatnya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan, sedangkan pihak di dalam melihatnya sebagai metode pemberdayaan yang kompleks. 3. Strategi Advokasi. Dijelaskan bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa strategi advokasi atau yang biasa disebut dengan pendapingan ini merupakan strategi utama yang dilakukan oleh NGO. Strategi advokasi sering kali digunakan untuk mendesakkan perubahan-perubahan social, seperti mereformasi tata pemerintahan yang demokratis, melindungi sumber daya alam atau lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan lain sebagainya. memajukan 4. Keterlibatan kritis (critical engagement). Menurut Suharko, Berbagai organisasi gerakan social, terutama NGO berupaya mengkombinasikan strategi advokasi dengan strategi kerjasama ketika menghadapi pemerintah. 2. Gerakan Reclaiming sebagai Gerakan Sosial Dasar kehadiran gerakan reclaiming adalah sebagai upaya mempertahan sekaligus merebut kembali lahan yang telah diklaim oleh pemerintah. Gerakan reclaiming yang dilakukan oleh masyarakat Kontu adalah upaya untuk merebut kembali lahan yang diklaim oleh pemerintah yang dimasukan kedalam hutan lindung sejak tahun 1999. Dalam gerakan ini, reclaiming menjadi landasan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Gerakan reclaiming juga dapat dilihat sebagai gerakan sosial jika dilihat pada kriteria gerakan sosial yang dijelaskan Sztompka,16 yaitu : Pertama, adanya kolektivitas. Kedua, memiliki tujuan bersama yaitu mewujudkan perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama. Ketiga, kolektivitasnya relative tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal. Keempat, tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional. Gerakan tidak dilihat sebagai ledakan-ledakan tidak rasional yang ditujukan yang ditujukan untuk mengurangi ketegangan psikologis, 16 Piotr Stzompka. Op Cit. Hal 325 melainkan lebih sebagai tindakan yang terorganisir dan terstruktur untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Dengan kata lain, penegasan penggunaan gerakan sosial adalah ketidak puasan yang ada pada masyarakat tersebar luas sehingga harus ada variabel berantara yaitu gerakan yang menerjemahkan ketidakpuasan menjadi pernyataan yang teroganisir. Hal ini bisa memperbesar atau mengoptimalkan kekecewaan yang dirasakan, seperti dalam penjelasan Coleman.17 Suatu dasar minimal untuk sistem tindakan sosial ialah dua actor yang masing-masing mempunyai kendali atas sumber daya yang diminatioran lain. Minat masing-masing terhadap sumber daya yang ada di bawah kendali orang lain membuat mereka berada pada tindakan-tindakan yang melibatkan satu sama lain…suatu siste tindakan…struktur itulah, bersama fakta bahwa para actor bertujuan, masing-masing kepentingannya, yang memberikan karakter saling menguntungkan, sistematik bagi tindakan-tindakan mereka. Selanjutnya tindakan dan interaksi dengan orang lain yang dilakukan oleh aktor-aktor rasional yang disebut dengan tindakan kolektif (pemindaan secara secara sederhana dan rasional kendali atas tindakantindakan seseorang terhadap actor lain dan bukan sebagai pertukaran). Seperti yang dikatak oleh Simone I. Flynn bahwa gerakan sosial adalah tindakan sukarela mengatur orang-orang rasional untuk bertindak bersamasama menghadirkan sebuah perubahan. Dengan demikian, pada kondisi ini tindakan bersama untuk mewujudkan perubahan telah ada. Kekecewaan yang dialami masyarakat terbentuk dalam sebuah gerakan reclaiming, hal ini berhubungan dengan terklaimnya lahan mereka 17 Ritzer, 2002, Teori Sosiologi edisi VIII, Pustaka Pelajar. oleh pemerintah. gerakan reclaiming bukan hanya dilakukan oleh satu orang tapi melibatkan orang banyak. Isu yang dikembangkan oleh aktoraktor rasioanl kemudian meluas kemasyarakat sehingga muncul gerakan tersebut. Untuk mempertegas gerakan reclaiming sebagai gerakan sosial penulis mengadopsi pemikiran dari Della Porta dan Diani tentang gerakan sosial, yaitu :18 a. Jaringan interaksi informal. Gerakan bisa dipahami sebagai jaringan interaksi informal diantara individu-individu, kelompok dan/atau organisasi yang sifatnya bisa sangat longgar sampai kepada bentuk sirkulasi sumber daya yang penting dalam aksi, seperti informasi, keahlian, dan suber daya materil sebagai mana juga perkembangan sistem makna. b. Perasaan dan solidaritas bersama. Gerakan sosial mengendalikan adanya seperangkat keyakinan bersama, perasaan senasib, dan rasa memiliki. Gerakan sosial juga mengkondisikan dan membantu terbentuknya orientasi baru, baik pada isu-isu yang sedang berlangsung maupun isu yang berkelanjutan. c. Para pelaku gerakan sosial bersatu dalam sebuah konflik untuk mendukung perubahan sosial. Konflik diartikan sebagai adanya pertentangan diantara pelaku yang sama-sama mencoba melakukan control pada satu objek yang sama. d. Cara yang dilakukan oleh gerakan sosial menggunakan metodemetode inkonvensional, seperti protes, mobilisasi dan lain-lain. Dengan demikian mereka meiliki seperangkat cara, taktik dan metode perlawawanan. Pada awalnya aktor-aktor yang mengalami keresehan terjadap sebuah situasi bergerak pada level pribadi kemudian berkembang ke level yang lebih besar. Mereka berusaha memindahkan keresahan dan kekecewaan pribadi menjadi kekecewaan banyak orang ekspresi kekecewaan penulis maksud disini adalah dalam bentuk reclaiming. Dengan kata lain, orang yang mengalami kekecewaan berusaha melibatkan 18 Dimpos Manalu,. 2009, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik ; Studi Kasus Gerakan sosial perlawanan masyarakat Batak Vs PT. Inti Indorayon. UGM Press. orang banyak untuk tau dan peduli dengan apa yang sedang terjadi. Pola gerakan petani Kontu ini menggunakan dua pola yaitu , yang pertama berpusat pada seorang pemimpin (kharismatik) pada kasus ini tokoh kharismatiknya adalah ketua ORK. Peran tokoh kharismatik membantu gerakan masyarakat Kontu sangat sentral sekali, tokoh inilah yang mengatur bagaimana masyarakat tersebut mengutarakan maksudnya untuk mengambil alih kembali tanah dari Pemda Muna. Hal ini terlihat dari adanya pemilihan pemimpin gerakan yang kriteria utamanya hanya satu yaitu bersemangat dan bisa memprovokasi masyarakat lain dalam melakukan gerakan reclaiming. Sistem jaringan terlihat dari masyarakat (utama) berusaha mempengaruhi pihak – pihak lain, baik satu pihak maupun pihak – pihak yang „dekat‟ dengan pejabat daerah. Kemudian pola gerakan yang kedua adalah berbasis pada jaringan. Setelah jaringan ini masuk yang didalamnya ada peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maka timbul ketergantungan para masyarakat kepada jaringan tersebut. Dalam penelitian ini lebih spesifik menggunakan teori mobilisasi sumber daya. Yang mana dalam teori Teori Mobilisasi sumber daya (resource mobilization) menyatakan bahwa Gerakan Sosial muncul karena tersedianya faktor- faktor pendukungnya, seperti adanya sumber-sumber pendukung, tersedianya kelompok koalisi dan adanya dukungan dana, adanya tekanan dan upaya pengorganisasian yang efektif serta sumber daya yang penting berupa ideologi. Teori ini lebih menekankan pada bahwa kepemimpinan, organisasi dan teknik sebagai faktor yang menentukan sukses tidaknya sebuah gerakan sosial. 3. Pendekatan Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization) Resorce Mobilization is basically a theory that examines the rational, purposive aspects of social movement behavior (Waterman).19 Gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Kontu merupakan gerakan yang berupaya untuk mengkonsolidasi masyarakat untuk membangun kekuatan merebut lahan nenek moyang mereka (klaim historis). Masyarakat yang memobilisasi diri maupun dimobilisasi untuk menyatukan kekuatan untuk melakukan perlawanan, karena atas dasar kekecewaan dimana pemerintah tidak pro masyarakat dan bahwak peerintah tidak berupaya melakukan solusi, pemerintah hanya memiliki satu pandangan yaitu masyarakat harus dikeluarkan dari kawasan dengan cara apapun. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan mobilisasi sumber daya yang dikemukakan oleh Charles Tilly. Model mobilisasi menurut Tilly (1978), mengidentifikasi elemen kunci yang terlibat dalam aksi kolektif. Elemen pertama terdiri dari kepentingan kelompok, yang dikonseptualisasikan sebagai keuntungan dan kerugian bagi kelompok yang dihasilkan dari interaksi yang dilakukannya dengan kelompok lain. Elemen kedua adalah organisasi, termasuk perselisihan dari kelompok dan hubungan/jaringan seseorang sehingga tingkat tertinggi dari organisasi terjadi ketika orang dengan status yang 19 Pichardo, Nelson A. “Resource mobilization : Analysis Of Conflicting Theoritical Variations”. The Sosiological Quarterly. Vol 29, No.1. Spring, 1988. P98. sama salaing berinteraksi secara intesif dengan orang lain. Elemen ketiga terdiri dari mobilisasi, yang berarti sebuah fungsi baik dari sumber daya dibawah control kelompok dan kemungkinan yang akan dihasilkan dalam sebuah aksi kolektif. Elemen keempat adalah kesempatan yang dapat dibagi menjadi tiga komponen penindasan, kekuasaan, kesempatan/hambatan.20 Teori mobilsasi sumber daya merupakan bagian dari ilmu gerakan social. Teori ini menjelaskan tentang kemampuan dan kepemilikan pada akses sumber daya yang memungkinkan untuk melakukan gerakan social untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Teori ini menekankan pada aspek teknis dalam pembentukan gerakan social. Menurut Fireman dan Gamson (1979) : Research from the resorce mobilization perspective finds people’s shared grievances, interests and aspiratiaon considerably less problematic than their capacity to act on them collectively.21 Pada intinya, setiap individu yang berpatisispasi dalam suatu gerakan social atau gerakan kolektif memiliki alasan yang rasionalitas. Menurut teori ini, penjelasan aksi kolektif harus mencakup variasi dalam sumberdaya, kekuatan organisasi, kendala dan peluang, dan strategi tindakan. Tingkat masing-masing faktor tersebut ditentukan oleh perubahan struktur social. 20 “Social Movement Theory A Sociology of Knowledge Analysis”. In Buechler, Steven M. 2000. “Social Movement in Advance Capitalism : The Political and Cultural Construction of Social Activism”. New York and Oxford : Oxford University Press. P 36-37. 21 Ibid. Teori ini melihat gerakan social sebagai sesuatu yang rasional, merupakan manifestasi dari tindakan kolektif yang terorganisasi. Sehingga dalam hal ini, gerakan social yang muncul bukan merupakan sesuatu yang irasional yang dimaksudkan untuk meringankan psikologis individu yang tertekan, namun lebih sebagai upaya yang terstruktur dalam suatu organisasi melalui mekanisme mobilisasi yang menyediakan sumber daya strategis bagi kelanjutan tindakan kolektif. Teori Mobilisasi sumber daya menjelaskan mengenai betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi dan taktik yang efektif. Sementara itu, individu-individu yang terkait dalam gerakan sosial dalam sudut pandang sumber daya terdiri dari ; adheraet yaitu pihak-pihak yang mendukung atau percaya akan tujuan gerakan; nonadherent yaitu pihak yang tidak percaya atau tidak sejalan dengan tujuan gerakan; konstituen yaitu adherent yang sekaligus berkontribusi sumber daya secara langsung terhadap gerakan; conscience yaitu konstituen yang mendukung gerakan walaupun hal tersebut tidak memberikan manfaat kepadanya, khusus untuk tipe terakhir biasanya digunakan dalam konteks-konteks gerakan yang memperjuangkan kaumkaum tertindas atau kaum disabilitas. Menurut proses politik dari McAdam (1982), elemen penting dari aksi kolektif, pertama adalah struktur dari kesempatan politik, yaitu faktor eksternal yang mempengaruhi potendi para aktivis untuk mencapai sukses karena kesempatan politik meningkat ketika ketidakcocokan power antara penguasa dan oposisi berkurang dan posisi tawar dari oposisi meningkat. Faktor kedua adalah kekuatan dasar dari organisasi, hal ini merupakan faktor internal yang berada di bawah control para aktivis dan merupakan hasil dari interaksi antara anggota, pemimpin, dorongan dan komunikasi. Faktor ketiga cognitive liberation yang merupakan faktor subjektif yang berarti sebuah perubahan kesadaran kelompok dimana pendemo potensial melihat keberadaan social order sebagai sesuatu yang tidak memiliki legitimasi dan merupakan suatu subjek untuk diubah melalui upaya langsung.22 Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi sehingga memunculkan gerakan social, ketekunan aktivis berfungsi sebagai penopang kekuatan organisasi dan respon terhadap control social oleh penguasa. Teori mobilisasi sumber daya (resource mobilisation theory) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan cara atau sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan sebagai salah satu cara yang tersedia di dalam masyarakat. Dengan penekanan pada cara gerakan dan proses yang dilalui untuk sampai pada penggunaan cara itu, kepentingan dalam ketidak puasan yang menyulut aksi kolektif itu menyusut. Pertanyaan penelitian tidak dititik beratkan pada mengapa orang tidak puas karena ketidak puasan sebenarnya bukan merupakan alasan yang cukup untuk melakukan 22 Ibid gerakan, ketidak puasan dapat ditemukan dimana saia termasuk pada orang yang tidak ikut di dalam gerakan. Tesis utama mengenai melahirkan protes karena resource mobilitation tidak selalu individu merupakan actor rasional (mempertimbangkan untung rugi). Gerakan social akan muncul dan bertahan dengan mobilisasi sumber daya (materil ataupun non materil), yang ada dalam organisasi gerakan. Dalam membangun gerakan tersebut dibutuhkan ketersediaan sumber daya yang memadai agar gerakan bisa berjalan dengan baik sesuai tujuan yang ingin dicapai. Sumber daya pada dasarnya merupakan instrument penting dalam gerakan sosial. Gerakan sosial memiliki ketergantungan tinggi terhadap ketersediaan sumber daya. Hal ini mengingat sumber daya akan menjadi bahan bakar utama dalam menjalankan gerakan. Sumber daya adalah segala materi yang bisa digunakan untuk memuluskan jalan gerakan atau membantu menjalankan gerakan. Sumber daya yang dibutuhkan dalam gerakan bisa dibagi dalam beberapa klasifikasi. Pengkategorian sumber daya yang lebih konkrit dan jelas diajukan oleh Freeman dalam Jenkins.23 Kalsifikasi ini didasarkan pada bentuk sumber daya. Klasifikasi ini terbagi dalam dua bagian utama, yaitu: sumber daya berwujud dan tidak berwujud. Sumber daya berwujud dapat disaksikan secara langsung dan memiliki bentuk, seperti: uang, 23 Jenkis. Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements. JSTOR Annual Review of Sociology, Vol. 9 (1983). Hlm. 553 fasilitas, manusia, aset, dan sarana komunikasi. Sementara aset tidak berwujud merupakan sumber daya yang tidak tampak secara kasat mata, namun bisa dirasakan keberadaanya. Sumber daya tidak berwujud meliputi pengorganisasian dan keterampilan, hukum, kharisma, kepemimpinan, dan tenaga kerja yang terspesialisasi. Di lain sisi, Simon yang memberikan nama lain dari pengkategorian ini, yakni: sumber daya materil dan non-materil.24 Sumber daya materil dapat berupa organisasi formal dan informal, tenaga kerja, teknologi, jabatan, uang, alat komunikasi, dan media massa. Sementara, sumber daya non-materil dapat berupa legitimasi, loyalitas, jaringan sosial, hubungan pribadi, perhatian publik, wewenang, komitmen moral, kesalehan, dan solidaritas. Keberadaan sumber daya bisa bersumber dari berbagai tempat dan tersebar secara acak. Begitu banyak pola penyebarannya sehingga gerakan harus bisa mendapatkannya. Sumber daya bisa berasal dari kalangan pribadi dan kelompok atau lembaga. Individu dan kelompok atau lembaga bisa memiliki satu jenis sumber daya, namun bisa juga memiliki lebih dari satu sumber daya sekaligus. Hal bisa dimungkinkan mengingat posisi atau peran yang dimiliki oleh individu dan kelompok atau lembaga yang cukup beragam atau berebeda-beda. Namun klasifikasi pengelompokkan sumber daya gerakan yang lebih jelas dan digunakan dalam penelitian ini datang dari Edwards dan 24 Simone I. Flynn. Op Cit. Hlm. 116 Mc Charty, seperti yang dijelaskan Snow. Mereka mengemukakan lima tipe sumber daya yang biasanya dimiliki oleh suatu organisasi gerakan sosial.25 a. Sumber daya Moral (Moral Resources) Sumber daya moral dapat berupa legitimasi, dukungan solidaritas, dukungan simpati dan selebriti. Para teoritikus neoinstitusional organisasional membuat klaim yang kuat tentang pentingnya legitimasi sebagai penghubung antara konteks makro kultural dan proses organisasional meso dan level mikro. Oleh karena itu muncul klaim bahwa aktor kolektif yang paling mampu mendekati kesesuaian (mimic) dengan bentuk institusional yang terlegitimasi dalam melakukan jenis-jenis usaha tertentu, maka mereka akan mendapatkan suatu keuntungan dibandingkan dengan kelompok lain yang tidak mampu mencerminkan bentuk tersebut. Sumber daya moral cenderung berasal dari luar ruang lingkup gerakan sosial atau organisasi gerakan sosial (OGS), dan secara umum dianugerahkan (bestowed) oleh sumber-sumber eksternal yang memang dikenal memilikinya. Kunci utama yang membedakannya disini adalah pihak luar (outsiders) yang memiliki sumber daya ini akan mentransferkannya kepada suatu gerakan sosial sekaligus juga mampu menarik kembali sumber daya tersebut. Oleh karena itu, sumber daya moral yang dianugerahkan 25 Snow, David A., Sarah A. Soule dan Hanspeter Kriesi Ed. 2004. The Blackwell Companion to Social Movements. Victoria: Blackwell Publishing oleh pihak eksternal ini bisa ditarik kembali, mereka juga cenderung sulit diakses dan hak kepemilikan tinggi dibandingkan dengan sumber daya kultural yang ada di poin selanjutnya. b. Sumber Daya Kultural (Cultural Resources) Sumber daya kultural adalah artefak dan produk kultural seperti misalnya sarana konseptual (conceptual tools) dan pengetahuan khusus yang menjadi dikenal secara luas, meskipun belum tentu secara universal. Sumber daya ini termasuk didalamnya adalah pengetahuan bersama yang dipahami tanpa terkatakan (tacit knowledge). Tidak setiap anggota dari masyarakat atau kelompok memiliki kompetensi spesifik atau pengetahuan yang bisa menjadi nilai bagi gerakan sosial atau OGS. Kunci yang membedakan antara sumber daya kultural dan moral adalah sumber daya kultural memiliki ketersediaan yang lebih luas, hak kepemilikan rendah (less proprietary), dan mudah diakses untuk digunakan, terlepas dari penilaian yang menguntungkan dari pihak –pihak yang berada di luar suatu gerakan sosial atau OGS. c. Sumber Daya Sosial Organisasional (Social Organizational Resources) Kategori sumber daya ini memiliki tiga bentuk umum yaitu infrastruktur, jejaring sosial (network), dan organisasi. Tiga bentuk tersebut bervariasi dalam formalitas organisasi, tapi yang menjadi penekanan disini adalah sejauh mana akses terhadap mereka dapat dikendalikan. Infrastruktur adalah sumber daya yang setara dengan barang-barang publik. Untuk penggunaan sumber daya ini dalam berbagai tingkatan dapat dilakukan dengan cara penolakan untuk pihak luar dan ditimbun untuk pihak dalam. Manfaat utama dari penggunaan setiap bentuk sumber daya sosial organisasional adalah untuk menyediakan akses terhadap bentuk sumber daya lainnya, sehingga isu yang sering diangkat adalah akses yang tidak merata terhadap sumber daya sosial organisasional diantara kawasan-kawasan potensi munculnya gerakan sosial. Akses yang berbeda seperti ini menciptakan kesenjangan lebih lanjut dalam kapasitasnya untuk mengakses sumber daya krusial dari jenis lainnya. d. Sumber Daya Manusia (Human Resources) Tipe sumber daya ini lebih nyata dan mudah diapresiasi dibandingkan tiga jenis sumber daya sebelumnya. Kategori ini mencakup sumber daya seperti tenaga kerja, pengalaman, keterampilan dan keahlian. Selain itu, kategori ini juga menyertakan kepemimpinan, karena melibatkan kombinasi sumber daya manusia lainnya disertakan disini. Sumber daya manusia yang dimaksud disini adalah pada per individu ketimbang dalam suatu struktur sosial organisasional atau budaya secara lebih umum. Individu biasanya memiliki kontrol kepemilikan atas penggunaan tenaga mereka serta sumber daya manusianya, kecuali dalam kasus-kasus ekstrim seperti kerja paksa atau pemerasan. Melalui partisipasi mereka, individu membuat tenaga mereka menjadi mudah diakses dan digunakan untuk gerakan tertentu atau OGS. OGS dapat mengumpulkan dan menyebarkan individu yang notabene lebih mudah diangkut secara nyata (portable), contohnya dibandingkan sumber daya sosial organisasional. Namun, kapasitas gerakan untuk menyebarkan personelnya dibatasi oleh kerja sama dari individu yang terlibat. Dan partisipasi mereka pada gilirannya ditentuk oleh faktor spasial, faktor ekonomi, serta oleh hubungan sosial, kewajiban bersaing, kendala arah hidup, dan komitmen moral. Isu kuncinya adalah apakah ketersediaan individu terampil akan meningkatkan mobilisasi gerakan bergantung pada bagaimana keahlian mereka sesuai dengan kebutuhan gerakan atau OGS. e. Sumber Daya Material (Material Resources) Kategori sumber daya material mengkombinasikan apa yang dikatakan oleh ekonom sebagai finasial, modal fisik, termasuk sumber daya moneter, properti, ruang kantor, peralatan dan persediannya. Edwards dalam Ritzer mengemukakan pentingnya sumber daya moneter dalam gerakan sosial tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, seberapa banyak sumber daya bentuk lainnya yang dimobilisasi oleh suatu gerakan, hal tersebut akan dikenakan biaya dan seseorang harus membayar tagihannya. Sumber daya material menerima perhatian yang paling analitis, karena sumber daya ini secara umum lebih nyata, hak kepemilikannya lebih tinggi, dan dalam hal uang lebih dapat dipertukarkan (fungible). Dengan kata lain, uang dapat dikonversi menjadi bentuk lain dari sumber daya, namun hal sebaliknya kurang sering terjadi. G. Definisi Konseptual Konsep dipahami sebagai generalisasi dari fenomena abstrak yang secara empiric dapat memberikan arah pada variabel penelitian. Kepastian arah dan ruang lingkup penelitian akan mudah dipahami melalui pembatasan dan penegasan defenisi konsep. Defenisi konsep disesuaikan dengan permasalahan sekaligus mampu memamparkan hal-hal yang berkitan dengan pertanyaan penelitian. Adapun definisi konseptual yang ada dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : a. Gerakan reclaiming adalah suatu bentuk perjuangan yang terorganisir, sengaja dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk merebut kembali hak mereka. b. Mobilisasi sumber daya adalah upaya mengkoordinir sesuatu yang dimiliki dan diyakini sebagai sumber daya dan kekuatan agar bisa bermanfaat untuk mencapai tujuan. H. Definisi Operasional Guna memberikan yang sama terhadap masalah yang dijadikan focus penelitian ini, maka variabel yang digunakan dalam melihat reklaiming atas tanah dalam kawasan hutan lindung Warangga adalah sebagai berikut : a. Strategi gerakan reclaiming : - Low profile strategy b. - Strategi pelapisan (lawyering) - Strategi advokasi - Keterlibatan khusus Faktor pendorong terjadinya reclaiming : - Faktor politik - Faktor social - Faktor ekonomi - Faktor klaim historis I. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, di jelaskan beberapa definisi mengenai pendekatan ini, Bogdan dan Taylor (dalam Moeleong, 2011: 4) menjelaskan “metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati” di mana metode yang di gunakan menekankan pada proses penelusuran data/informasi hingga di rasakan telah cukup di gunakan untuk membuat suatu interpretasi. Metode ini mencoba mempermudah dalam menjelaskan Mekanisme reclaiming (studi tentang gerakan social pada gerakan reclaiming lahan pada kawasan hutan Lindung Kontu, Muna Sulawesi Tenggara) Untuk memenuhi standar penelitian penulis menggunakan beberapa tahapan metode. selain itu, sebelum melakukan penelitian lapangan penulis terlebih dahulu melakukan preliminary research (pengamatan sebelum melakukan penelitian) sebagai perbandingan atau sebagai pengetahuan dasar dalam memetakan persoalan di lapangan penelitian. setelah itu penulis membuat draf penelitian dan membuat rancangan metode penelitian. Berikut metode yang digunakan penulis dalam memperoleh data : 1. Lokasi dan setting penelitian Dalam penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposivie (judgment sampling) dengan kriteria sebagai berikut : a) desa yang berbatasan langsung dan berada dalam kawasan hutan Kontu, b) instansi yang terkait atau perduli dengan persoalan Kontu. Lokasi ini dipilih karena melihat proses terjadinya Mekanisme reclaiming (studi tentang gerakan social pada gerakan reclaiming lahan pada kawasan hutan Lindung Kontu, Muna Sulawesi Tenggara) adalah hal yang menarik dan menarik minat penulis untuk mendalaminya. 2. Pemilihan Informan Jumlah informan tidak ditentukan secara pasti tergantung pada tingkat keragaman atau variasi informasi yang digali (snowball sampling). Dimana jumlah informan akan bertambah sesuai kebutuhan data peneliti. Adapun Informan yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki kapasitas langsung dengan masalah Kontu baik itu pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten Muna) maupun masyarakat (masyarakat Kontu) serta NGO pendukung perlawanan (Swami dan ORK). 3. Metode Pengumpulan Data Secara umum dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui teknik teknik di bawah ini: a. Wawancara Merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. 26 Secara umum, terdapat dua jenis wawancara, yakni wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur yang disebut wawancara mendalam (in-depth interview).27 - Wawancara Terstruktur Merupakan jenis wawancara dimana pertanyaan telah diformulasikan oleh peneliti secara pasti dan informan diharapkan menjawab dalam bentuk informasi yang sesuai dengan kerangka kerja si pewancara. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Untuk 26 27 Ibid. hlm 135. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian). Surakarta. Sebelas Maret University Press. itu pertanyaan-pertanyaan disusun dengan ketat. Cara ini diambil bilamana pewancara merasa “mengetahui tentang apa yang mereka belum tahu” dan dapat mengembangkan suatu kerangka pertanyaan untuk mencari jawabannya yang mengarah pada pembuktian dari prediksinya. Pertanyaan dikendalikan secara ketat dan berada di tangan pewancara sementara jawaban ada pada yang diwawancarai dengan mengikuti pola pikir pewancaranya (peneliti) sehingga waktu yang digunakan relatif lebih cepat. Keuntungan wawancara terstruktur ialah jarang mengadakan pendalaman pertanyaan yang dapat mengarahkan yang diwawancarai agar jangan sampai berdusta. - Wawancara Tidak Terstruktur Teknik ini digunakan dimana pertanyaan bersifat “open-ended” yang mengarah pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal tersturktur guna menggali pandangan informan. Selain itu, bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih jauh dan mendalam. Wawancara ini dapat dilakukan beberapa kali dan pada waktu dan kondisi yang dianggap paling tepat guna mendapatkan data yang rinci, jujur dan mendalam. Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yang terstruktur. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Wawancara ini sangat berbeda dari yang wawancara terstruktur dalam hal waktu bertanya dan cara memberikan respons, yaitu jenis ini jauh lebih bebas iramanya. b. Observasi Teknik observasi adalah suatu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris. Sanafiah Faisal (1990) dalam Sugiyono mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi, observasi secara terang-terangan, dan observasi yang tak berstruktur. Selanjutnya, Lincoln dan Guba (1995) mmengklasifikasikan observasi dengan tiga cara melalui: pertama, pengamat bertindak sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terang-terangan (overt observation) di hadapan responden atau dengan melakukan penyamaran (covert observation) mengenai kehadirannya di hadapan responden. Ketiga, observasi yang dilakukan secara alami atau dirancang melalui analog dengan wawancara terstruktur atau tidak terstruktur. 4. Analisis Data Data-data yang didapat tentunya masih membutuhkan analisis untuk memtangkan hasil penelitian. Dalam teknik analisa kualitatif penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas melainkan kebenaran. Maka, sejak pengumpulan data awal, telah dimulai pencatatan peristiwa, pola-pola, keteraturan, penjelasan, konfigurasi dan penjelasan sebab akbibat. Untuk analisa data, penulis akan menggunakan teknik sebagai berikut : pertama, data-data yag didapat melalui cerita perjalanan reclaim terjadi. Kedua, data yang telah dikategorikan dihubungkan dengan teori yag memungkinkan berhubungan dengan penelitian tersebut. Ketiga, dilakukan rekonstruksi berdasarkan data yang didapatkan, yang mana didalamnya dibutuhkan identifikasi peran aktor dan strategi dalam me-reclaim kawasan hutan lindung Kontu. Keempat, menemukan benang merah untuk sebuah kesimpulan. Kesimpulan yang diambil tidak instan karena menyusun dan melakukan analisis dari hasil pembedahan melalui teori dengan fakta terkait penelitian. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan case study (studi kasus). Melalui pendekatan studi kasus, penelitian ini akan menjawab pertanyaan “how dan how” sebagai upaya penting dalam strategi penelitian untuk mendapatkan realitas yang tersembunyi. Oleh karena melalu pendekatan studi kasus dapat diberikan gambaran descriptive analitict secara komperhensif, intens, rinci dan mendalam tentang pokok-pokok permasalahan yang bersifat kotemporer. J. Sistematika Penulisan Melihat penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka penelitian ini disusun berdasarkan dari telaah literature dan data lapangan. Secara sistematika proposal penelitian mencakup Bab-bab yang menjabarkan aspek-aspek penelitian. Adapun sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I dihadirkan untuk memberikan fondasi penjelasan tentang faktafakta tentang strategi gerakan reclaiming lahan di kawasan Kontu . dalam bab ini juga membahas tentang kerangka teori yang digunakan untuk membedah kasus yang sedang terjadi, selain itu juga bab membahas tentang metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan sebuah penelitian yang teruji validasinya. Bab II, mengulas tentang Pergeseran penguasaan tanah oleh Negara dalam hal ini pemerintah Kabupaten Muna, di dalamnya menjelaskan tentang awal munculnya klaim terhadap kawasan Kontu dan beberapa kebijakan yang lahir sebagai bentuk politisasi terhadap hutan di Kabupaten Muna pada umunya dan khususnya kawasan Kontu. Bab III, mengulas tentang munculnya gerakan reclaiming dalam kawasan Lindung Kontu yang dilakukan oleh masyarakat Kontu. Dan Bab IV, mengulas tentang strategi atau mekanisme reclaiming yang merupakan cara masyarakat melakukan reclaiming dan mengulas tentang gerakan perempuan dalam reclaiming (gerakan perempuan sebagai temuan di lapangan). Bab V, merupakan bab penutup yang akan memberikan kesimpulan, solusi akademis dan praktis dalam bentuk saran serta memberi refleksi terhadap fenomena sebuah gerakan sosial.