BAB III HASIL PENELITIAN & ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Internasional a. Instrumen hukum Internasional Instrumen utama untuk perlindungan spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum Internasional. adalah perjanjian intrnasional yang disebut CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang bekerja untuk mengatur perdagangan internasional baik melalui impor, ekspor, re-ekspor dan introduksi dari laut spesies yang tercakup dalam Konvensi tersebut harus disahkan melalui sistem perizinan. Setiap Pihak pada Konvensi harus menunjuk satu atau lebih Otoritas Manajemen bertugas mengelola sistem perizinan dan satu atau lebih Otoritas Ilmiah untuk memberitahu mereka tentang efek dari perdagangan terhadap status spesies.1 Spesies yang dicakup oleh CITES tercantum dalam 3 (tiga) Lampiran, sesuai dengan tingkat perlindungan yang mereka butuhkan Lampiran I mencakup spesies yang terancam punah. Perdagangan spesimen dari spesies ini hanya diperbolehkan dalam keadaan luar biasa. Lampiran II meliputi spesies tidak selalu terancam punah, tetapi perdagangannya harus dikontrol untuk menghindari pemanfaatan yang tidak kompatibel dengan kelangsungan hidup mereka. 1 www.cites.org/WIB.eng/disc/how.php Download 10 Desember 2013, Donwnload 10 Desember 2013 Pukul 19.30 WIB. b. Norma-Norma Hukum dan Mekanisme Perlindungan. CITES menetapkan Tumbuhan dan Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori perlakuan perlindungan dari eksploitasi perdagangan yang masingmasing dimuat dalam Appendices I, Appendices II, dan Appendices III:2 a. Apendiks I: daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa). Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan nondetriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak. Satwa yang dimasukkan ke misalnya gorila, simpanse, harimau dan 2 Asia, macan tutul, jaguarcheetah, gajah populasi gajah Afrika, dan semua dalam Apendiks I, subspesiesnya, singa Asia, beberapa spesies Badak (kecuali www.cites.org/WIB.eng/disc/how.php Download 10 Desember 2013, Donwnload 10 Desember 2013 Pukul 19.30 WIB. beberapa subspesies di Afrika Selatan)3. Dimana didalam Appendices I memuat spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah dan sama sekali langka, ini artinya perdagangan komersil flora dan fauna adalah dilarang. Undang-undang yang berlaku di Indonesia dan CITES yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak tanggal 28 Maret 1979 melalui Keputusan Presiden No.43/1978 tidak bisa menindak secara tegas perdagangan illegal terhadap flora dan fauna, baik karena masyarakat tidak mau tahu tentang Undangundang yang ada, atau karena masyarakat sama sekali tidak tahu tentang Undang-undang itu. b. Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas4. c. Apendiks III: daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I. Spesies yang dimasukkan ke dalam 3 Hutton and Dickinson 2000 Endangered Species Threatened Convention: The Past, Present and Future of CITES. Africa Resources Trust, London. 4 Stiles 2004 The Ivory Trade and Elephant Conservation Environmental Conservation 31 (4) 309-321. Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) 5 . Amandemen harus didukung mayoritas dua pertiga para pihak dan bisa dilakukan sewaktu sidang luar biasa Konferensi Para Pihak (COP), bila sepertiga dari para pihak menyatakan sidang harus dilakukan. Amandemen Gaborone yang disetujui di Gaborone, Botswana, 30 April 1983 memungkinkan forum kerjasama ekonomi regional untuk berpartipasi dalam CITES. Pertimbangan keberatan (Pasal XXIII Reservations) menyangkut spesies tertentu dapat dinyatakan para pihak 6. Pasal III Peraturan Perdagangan Dalam Spesimen dari spesies Termasuk dalam Lampiran I 1. Semua perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk dalam Lampiran I harus sesuai dengan ketentuan Pasal ini. 2. Ekspor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Lampiran I harus mensyaratkan hibah sebelumnya dan penyajian izin ekspor. Izin ekspor hanya akan diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Ilmiah Negara pengekspor telah menyarankan bahwa ekspor tersebut tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies tersebut; 5 "Apakah "CITES"?". Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Diakses 12 Februari. Unknown parameter |accessyear= ignored (help) 6 Zimmerman 2003 The Black Market for Wildlife: Combating Transnational Organized Crime in the Illegal Wildlife Trade Vanderbilt Journal of Transnational Law 36 1657 - Otoritas Manajemen Negara ekspor yakin bahwa spesimen itu tidak diperoleh bertentangan dengan hukum Negara tersebut untuk melindungi flora dan fauna; - Otoritas Manajemen Negara ekspor yakin bahwa setiap spesimen hidup akan sangat siap dan dikirim untuk meminimalkan risiko cedera, kerusakan pada kesehatan atau perlakuan kejam, dan - Otoritas Manajemen Negara ekspor yakin bahwa izin impor telah diberikan untuk spesimen. 3. Impor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Lampiran I harus mensyaratkan hibah sebelumnya dan presentasi dari izin impor dan izin ekspor baik atau sertifikat re-ekspor. Izin impor hanya diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Ilmiah Negara impor telah menyarankan bahwa impor akan untuk tujuan yang tidak merugikan kelangsungan hidup spesies yang terlibat; - Otoritas Ilmiah Negara impor yakin bahwa penerima diusulkan dari spesimen hidup yang sesuai dilengkapi untuk rumah dan perawatan untuk itu, dan - Otoritas Manajemen Negara impor yakin bahwa spesimen tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial terutama. 4. Re-ekspor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Lampiran I harus mensyaratkan hibah sebelumnya dan penyajian sertifikat re-ekspor. Sertifikat re-ekspor hanya akan diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Manajemen Negara re-ekspor yakin bahwa spesimen itu diimpor ke Negara tersebut sesuai dengan ketentuan Konvensi ini; - Otoritas Manajemen Negara re-ekspor puas bahwa setiap spesimen hidup akan sangat siap dan dikirim untuk meminimalkan risiko cedera, kerusakan pada kesehatan atau perlakuan kejam, dan - Otoritas Manajemen Negara re-ekspor puas bahwa izin impor telah diberikan untuk setiap spesimen hidup. 112. Pengenalan dari laut setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Lampiran I harus mensyaratkan hibah sebelumnya dari sertifikat dari Otoritas Manajemen Negara pengenalan. Sertifikat hanya diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Ilmiah Negara pengenalan menyarankan bahwa pengenalan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies yang terlibat; - Otoritas Manajemen Negara pengenalan puas bahwa penerima diusulkan dari spesimen hidup yang sesuai dilengkapi untuk rumah dan perawatan untuk itu, dan - Otoritas Manajemen Negara pengenalan yakin bahwa spesimen tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial terutama. Pasal IV Peraturan Perdagangan Dalam Spesimen dari spesies Termasuk dalam Appendix II 1. Semua perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II harus sesuai dengan ketentuan Pasal ini. 2. Ekspor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II harus mensyaratkan hibah sebelumnya dan penyajian izin ekspor. Izin ekspor hanya akan diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Ilmiah Negara pengekspor telah menyarankan bahwa ekspor tersebut tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies tersebut; - Otoritas Manajemen Negara ekspor yakin bahwa spesimen itu tidak diperoleh bertentangan dengan hukum Negara tersebut untuk melindungi flora dan fauna, dan 3. Sebuah Otoritas Ilmiah di setiap Pihak wajib memantau kedua izin ekspor yang diberikan oleh Negara tersebut untuk spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II dan ekspor sebenarnya dari spesimen tersebut. 4. Impor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II harus mensyaratkan presentasi sebelumnya baik izin ekspor atau sertifikat re-ekspor. 5. Re-ekspor dari setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II harus mensyaratkan hibah sebelumnya dan penyajian sertifikat reekspor. Sertifikat re-ekspor hanya akan diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Manajemen Negara re-ekspor yakin bahwa spesimen itu diimpor ke Negara tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, dan - Otoritas Manajemen Negara re-ekspor puas bahwa setiap spesimen hidup akan sangat siap dan dikirim untuk meminimalkan risiko cedera, kerusakan kesehatan atau perlakuan kejam. 6. Pengenalan dari laut setiap spesimen dari spesies yang termasuk dalam Appendix II harus mensyaratkan hibah sebelumnya dari sertifikat dari Otoritas Manajemen Negara pengenalan. Sertifikat hanya diberikan ketika kondisi berikut telah dipenuhi: - Otoritas Ilmiah Negara pengenalan menyarankan bahwa pengenalan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies yang terlibat, dan - Otoritas Manajemen Negara pengenalan puas bahwa setiap spesimen hidup akan jadi ditangani untuk meminimalkan risiko cedera, kerusakan kesehatan atau perlakuan kejam. 7. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat 6 Pasal ini dapat diberikan atas saran dari Otoritas Ilmiah, dalam konsultasi dengan otoritas ilmiah nasional lain atau, bila, otoritas ilmiah internasional yang sesuai, sehubungan dengan masa tidak lebih dari satu tahun untuk jumlah total spesimen untuk diperkenalkan pada periode tersebut. 2. Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Nasional a. Instrumen-instrumen hukum yang relevan: 1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian konservasi sumber daya alam hayati menurut pasal 1 ayat (2) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dirumuskan bahwa” pengelolalaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Dengan demikian konservasi dalam undang-undang ini mencakup pengelolaan sumber alam hayati, yang termasuk didalamnya hutan 7 . Sasaran konservasi yang ingin dicapai menurut UU No. 5 Tahun 1990, yaitu8: a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya pembangunan, memungkinkan ilmu sehingga pengetahuan, pemenuhan mampu menunjang dan teknologi yang kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari). 2) PP No. 68 Tahun 1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Peraturan Pemerintah RI No 68 tahun 1998 sebelumnya telah mendefinisikan: 7 Santosa, Andri. 2011. Status Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Pdf Departemen Kehutanan, 1992, Informasi Undang-Undang, http://dephut.go.id , diakses 05 Oktober 2013 8 1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 2. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. PP No 68 Tahun 1998, sebagaimana juga UU No 5 Tahun 1990, tidak membatasi lingkupnya hanya pada hutan atau kawasan hutan negara. Selanjutnya PP tersebut merinci, yang termasuk ke dalam Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah cagar alam dan suaka margasatwa. Sedangkan yang tergolong Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah taman nasional, taman hutan raya (tahura), serta taman wisata alam. 3. PP No. 8 Tahun 1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL Pengambilan/penangkapan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) baik komersial maupun non komersial dari habitat alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), kawasan suaka alam (Cagar Alam, Suaka Marga Satwa) atau taman buru. (Pasal 5 ayat (1) Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003) dan wajib diliput dengan izin (Pasal 26 ayat (1) Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003). 4. Izin Pengambilan/Penangkapan Non Komersial Jenis TSL dari Habitat Alam Izin pengambilan atau penangkapan non komersial TSL dapat diberikan kepada: perorangan, Lembaga Konservasi, lembaga peneliti, perguruan tinggi, LSM. Izin pengambilan atau penangkapan non komersial TSL dari habitat alam untuk jenis yang tidak dilindungi dan jenis yang dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Apendiks II, III, dan Non-apendiks CITES diberikan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam sedangkan jenis yang dilindungi lainnya dan atau jenis yang termasuk dalam Apendiks I CITES diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat rekomendasi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan tidak akan merusak populasi di habitat alam. (Pasal 29 ayat (2) Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003.9 3) PP No. 36 Tahun 2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA). Taman nasional mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan pengetahuan, bagi pendidikan, kepentingan menunjang penelitian, budidaya, ilmu budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. 4) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Aspek lingkungan hidup ini penting didasarkan pada upaya pelestarian dan perlindungan terhadap kekayaan alam sebagai hak bersama untuk dinikmati dan wajib dijaga agar dapat terus memberi faedah dalam kesehariannya. Tidak terlepas dari itu, bidang kehutanan sebagai salah satu bagian dari Lingkungan Hidup media spesies flora, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi manusia. Hal ini diakibatkan banyaknya manfaat yang sdapat diambil dari hutan dalam mengamankan flora maupun fauna. dengan itu ada kewajiban menjaga keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan jagad raya serta dengan memperhatikan kehidupan keberlanjutan dimasa yang akan datang. 9 http://blogmhariyanto.blogspot.com/2010/01/izin-pengambilanpenangkapan tumbuhan.html#sthash.LjPrDoMx.dpuf, Download 15 Desember 2013, Pukul 06.00 WIB. Dengan banyak manfaat tersebut, hutan pun menjadi sangat idola bagi pemanfaatan sumber daya kekayaan alam. Faktor ini pun menjadi alasan utama eksploitasi hutan. Padahal jika dicerna keberadaan hutan tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomis saja tetapi juga dari social budaya, dimana hutan sebagai tempat tinggal berbagai macam mahluk hidup manusia,binatang, dan tumbuhan serta dari sisi kesehatan sebagai paru-paru dunia, senjata ampuh bagi “Global Warming” serta banyak manfaat lain.. Dalam peraturan kehutanan ini diatur aspek Pidana didalam yang dapar membatasi dan mengatur penerapan penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pengerusakan dan pencemaran hutan. Dengan adanya aspek hukum pidana dalam bidang kehutanan ini setidaknya dapat meminimalisir adanya kerugian tersebut. b. Institusi Pendukung Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No : P. 57/MenhutII/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008 – 2018 Sejauh ini sebanyak 13 lembaga yang terkait dalam isu konservasi telah diidentifikasi. Lembaga-lembaga tersebut adalah: a. Kementrian Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal PHKA sebagai otoritas pengelolaan (Management Authority) yang membawahi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) yang merupakan institusi dari pelaksanaan tugas dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan mempunyai tugas antara lain Inventarisasi dan identifikasi potensi flora fauna; Patroli rutin; Operasi pengamanan hutan fungsianal dan gabungan; Pengembangan kerjasama dan kemitraan dengan LSM dan instansi terkait; Perlindungan pengamanan kawasan; Penanganan kasus; Fasilitasi penelitian dan pendidikan; Pembinaan generasi muda pecinta alam; Pembinaan daerah penyangga; dan Pengawasan peredaran lalulintas flora fauna b. Kementrian Kelautan dan Perikanan Penyusunan, dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Dinas Kelautan dan Pertanian yang bertugas dalam perumusan kebijakan regulasi maupun sampai dengan teknis operasional yang eliputi mekanisme pengetahuan produksi, dan pengelolaan, keterampilan sumber pengembangan daya manusia, Pengendalian dan pengawasan di sektor kelautan dan pertanian. c. Kementerian Negara Lingkungan Hidup berdasarkan Permen Lingkungan Hidup No. 1 Tahun 2012 tentang Program Menuju Indonesia Hijau Kementrian Lingkungan Hidup bertugas menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; pemanfaatan tutupan vegetasi secara mendorong bijaksana; c. meningkatkan resapan gas rumah kaca dalam rangka; dan mitigasi perubahan iklim. d. Kementrian Pertanian Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan perlindungan varietas tanaman serta pelayanan perizinan dan rekomendasi teknis pertanian, dan berfungsi melaksanakan perumusan rencana, program dan anggaran, serta kerjasama; pemberian pelayanan permohonan hak dan pengujian perlindungan varietas tanaman, serta pendaftaran varietas dan sumber daya genetik tanaman; penerimaan, analisis, fasilitasi proses teknis penolakan atau pemberian izin , rekomendasi teknis, dan pendaftaran di bidang pertanian; pelayanan penamaan, pemberian, penolakan permohonan, pembatalan hak, serta pelayanan permohonan banding, konsultasi, pertimbangan hukum perlindungan varietas tanaman; dan Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Pusat Perlindungan Varietas dan Perizinan Pertanian e. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai otoritas ilmiah (Scientific Authority) f. Pemerintah Daerah (kabupaten/ kota dan provinsi) g. Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang konservasi h. Lembaga-lembaga penelitian i. Lembaga pendidikan tinggi (universitas) j. Konsultan AMDAL dan lembaga penilai (sertifikasi hutan, dan lainnya) k. Sektor swasta secara umum l. Lembaga lain yang juga menangani hal-hal yang terkait dengan konservasi. B. ANALISIS 1. Perlindungan Hukum Terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar Dalam Ranah Hukum Internasional. Untuk melihat perlindungan terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah internasional dari aspek perlindungan hukum harus dilihat konstruksi hukumnya dalam strata internasional karena norma internasional ( CITES ) merupakan dasar daripada pembentukan norma nasional dalam perlindungan hukum terhadap satwa dan fauna liar yang dalam aspek normatif terelaborasi secara materiil di dalam norma nasional ( UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan Menteri, dll ) sehingga di dalam sistem perlindungan hukunya menyangkut peraturan / kaidah ( Perintah dan larangan ), lembaga / otorita pelaksana dan sanksi yang diberlakukan terhadap pelanggaran. Dalam tataran internasional perlindungan spesies langka berpedoman normatif pada perjanjian internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah yang mana konvensi tersebut mendapatkan legimitasi dari berbagai negara ( 88 negara ) peserta, sehingga kekuatan legitimasinya cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu: a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi. d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional. Kemudian di dalam ketentuan yang disepakati pada peraturan CITES menghasilkan berbagai pengaturan mengenai perlindungan satwa langka dan fauna liar dituangkan dalam Apendiks terbagi I, II, dan III dimana dalamnya ada regulasi yang secara prinsip menginventarisir berdasarkan golongan – golongan spesies yang menyebutkan bahwa perdagangan dalam kategori ini dapat dilakukan dengan syarat otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak . Untuk apendiks II mekanisme hampir sama namun berbeda pada jenis penggolongan spesiesnya, kemudian apendiks III hampir sama namun menambahkan bahwa negara anggota CITES ( pengekspor ) hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Disamping itu ada klausula yang mengatur mengenai amandemen. Dalam garis esarnya setiap perdagangan baik impor, ekspor atau re- ekspor spesies yang termasuk dalam appendix CITES harus dilengkapi dengan dokumen CITES yang diterbitkan oleh Otorita Pengelola masing-masing negara. Apabila ada perdagangan spesimen Appendix CITES tanpa dilengkapi dokumen CITES, maka negara anggota harus mengambil tindakan yang sesuai untuk menegakkan ketentuan-ketentuan konvensi dan melarang perdagangan spesiemen yang melanggar konvensi. Tindakan tersebut berupa menghukum perdagangan atau pemilikan spesiemn tersebut atau keduanya serta melakukan penyitaan spesimen tersebut atau mengembalikannya ke negara asal. Dalam hal spesimen hidup disita, spesimen tersebut harus diserahkan kepada otorita pengelola dari negara yang disita dan otorita pengelola setelah berkonsultasi dengan negara pengekspor, harus mengembalikan spesimen sitaan tersebut dengan biaya dari negara tersebut atau diserahkan ke rescue center atau tempat lain dimana otorita pengelola mengaanggap tempat tersebut sesuai dan konsisten dengan tujuan konvensi dan otorita pengelola dapat mencari pendapat dari otorita keilmuan atau sekretariat CITES untuk mengambil keputusan hal apa yang akan dilakukan. Ketentuan Umum peredaran specimen CITES untuk kegiatan komersial & non komersial diatur melalui sistem permit/sertificate (antara lain : export permit, re-export sertificate, import permit dan sertificate of origin). Dengan demikian semua pergerakan TSL lintas batas negara wajib disertai dengan dokumen yang sah. Aturan ini berlaku untuk semua spesimen hidup atau mati, dan produk yang menggunakan bagian-bagian atau turunan daripadanya. Pengecualian dan perlakuan khusus dapat diberikan bila spesies dalam keadaan transit atau transhipment yang melalui atau di dalam teritori suatu pihak selama spesimen tersebut masih dalam kontrol pabean. Selain itu berdasarkan ketentuan dalam peraturan CITES menghendaki adanya kerjasama antar negara dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar. Sehingga dalam kelanjutannya konvensi ini menjadi alat untuk mengontrol perdagangan satwa liar sehingga diharapkan dapat menekan angka kepunahan satwa. Negara anggota CITES sekarang berjumlah kurang lebih 160 negara dan Indonesia termasuk di dalamnya sejak tahun 1978. Namun dalam pelaksanaannya hanya efektif di atas Pada saat spesimen hidup disita sebagai akibat dari langkah-langkah yang dimaksud dalam paragrap 1 dari pasal ini. spesimen harus dipercayakan kepada Otoritas manajemen negara yang melakukan penyitaan; Otoritas manajemen, setelah melakukan konsultasi dengan negara pengekspor harus mengembalikan spesimen ke negara tersebut dengan dibiayai oleh negara tersebut, atau ke pusat penyelamatan atau tempat lainnya yang sejenis sebagaimana Otoritas manajemen menganggapnya sesuai dan konsisten terhadap tujuan konvensi yang berlaku. Perlindungan satwa dan fauna liar tidak hanya didukung oleh peraturannya saja namun masih di berikan keleluasaan oleh ketentuan dalam CITES untuk lembaga – lembaga di semua negara baik internasional maupun regional agar mendukung perlindungan terhadap satwa dan fauna liar. Berdasarkan konsep perlindungan hukum yang relevan dalam penelitian ini sebagaimana tercakup dalam landasan teoritis bahwa perlindungan hukum merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman, adil, manfaat, damai kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang berisi asas- asas atau kaidah dibuat oleh badan-badan resmi ( institusi otorita ) yang berwajib bekerja secara preventif maupun represif dalam tata kehidupan masyarakat yang dengan ciri adanya perintah dan larangan serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Sehingga disini dapat dinyatakan bahwa baik dari asas – asas atau kaidah, lembaga- lembaga pendukung ( legitimasi ) semua telah diatur dalam ketentuan CITES dan bekerja secara sistematis baik secara preventif maupun represif dan hal itu tercermin dalam korelasi anatra peraturan internasional ( CITES ) yang kemudian diratifikasi ke dalam peraturan – peraturan nasional ( UU, PP dan peraturan pelaksanaan lainnya ) , walaupun untuk kekuatan mengikat secara hukum memang terletak pada peraturan nasional semua Negara yang telah teratifikasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap spesies satwa dan fauna liar internasional sudah memadai, tinggal bagaimana pelaksanaannya oleh negara – negara di seluruh dunia. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional. Perlindungan Hukum Terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional dilakukan dengan membuat seperangkat instrumen yuridis yang antara lain : − UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Dalam undang undang ini dalam klausulanya mengatur mengenai Pengawetan keanekaragaman, Kawasan suaka alarn, Daerah penyangga kawasan konservasi, sanksi terhadap pelanggaran. − UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang – undang ini menitikberatkan pada pengaturan perlindungan kawasan hutan sebagai media dan ekosistem satwa dan fauna, pemanfaatan, pengendalian, konservasi, produksi, pengawasan dan sanksi dalam pemanfaatan hutan. − Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai pengawetan, pengelolaan, budidaya satwa dan fauna liar, namun sanksi yang diterapkan kurang jelas dalam peraturan ini. − Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pengaturan dalam peraturan pemerintah ini dititikberatkan pada Pengambilan/penangkapan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) baik komersial maupun non komersial dari habitat alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), kawasan suaka alam (Cagar Alam, Suaka Marga Satwa) atau taman buru. − Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Perburuan Satwa Buru Dalam peraturan pemerintah ini mengatur pengkajian, penelitian, pengembangan, penangkapa, perburuan, perdagangan, peragaanpertukaran, budidaya, pengangkutan dan sanksi administratif terhadap perburuan satwa buru. − Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Titik berat pengaturan dalam PP ini adalah pengelolaan kawasan suaka alam, pengelolaan pelestarian alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Satwa liar, Peran serta masyarakat, Badan usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang terkait dengan pelestarian alam. Peraturan dalam PP ini bersifat perintah dan larangan namun tidak disertai sanksi − Peraturan Menteri Kehutanan No : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008 – 2018 Dalam PP ini diatur mangenai kelembagaan yang terkait dalam isu konservasi dan telah mengidentifikasi 13 lembaga yang diberikan delegasi kewenangan untuk ikut berperan serta dalam perlindungan satwa dan fauna liar. Instrumen perlindungan hukum terhadap satwa dan fauna liar nasional yang disebut diatas dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum terlihat bahwa sebenarnya semua instrument tersebut secara normatif sudah cukup memadai karena semua peraturan bekerja berkorelasi sesuai dengan sifat dari sistem hukum. Selain itu pengaturan preventif maupun represif juga telah ada serta di lengkapi dengan sanksi baik pidana maupun hanya sanksi administratif. Sedangkan pengaturan untuk pengembangan penelitian dan kelembagaan yang terkait dengan perlindungan satwa dan fauna liar juga telah diatur. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum normatif satwa dan fauna liar di Indonesia sampai dengan saat ini sudah memadai. Namun tidak menutup apabila dalam perkembangan dinamika kondisi sosiologi, politik, budaya maupun kondisi alam menuntut perubahan peraturan maka perlu diadakan revisi dan penyesuaian. Untuk lebih menciptakan sistem perlindungan hukum terhadap satwa dan fauna liar secara utuh dan menyeluruh perlu dilakukan lagi lebih banyak penelitian mengenai efektifitas dalam pelaksanaannya agar system perlindungan hukum ini dapat terukur dengan jelas.