Filsafat Pemerintahan (Sebuah Gambaran Umum) Oleh: Erwin Musdah Pendahuluan Sudah menjadi suatu hal yang lazim dalam pembahasan sebuah konsep dimulai dari pemaknaan secara partikuler dari masing-masing kata penyusunnya. Dalam bahasan ini, filsafat pemerintahan akan dibahas dari makna filsafat kemudian makna pemerintahan untuk akhirnya disatukan menjadi bahasan filsafat pemerintahan. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menguraikan secara detail tentang filsafat pemerintahan melainkan hanya memberikan gambaran umum tentang filsafat pemerintahan. Makna Filsafat Banyak cara mencari makna. Ada yang mencari makna dengan menelusuri asal katanya (semantik), ada yang menelusuri cakupan bahasan, sifat, manfaat dan ada pula yang mencari makna melalui pengalaman. Muhammad Hatta dalam memaknai filsafat memilih cara yang terakhir disebutkan. Bagi Muhammad Hatta, pengertian filsafat sebaiknya tidak dibahas terlebih dahulu melainkan akan ditemukan sendiri seiring dengan perkembangan pembelajaran filsafat seseorang. Jika kita bersandar pada pandangan Hatta maka pengertian filsafat akan tergantung dari daya tangkap masing-masing pembelajar. Pengertian filsafat dengan demikian akan dipelajari dengan cara berfilsafat. Namun juga tidak ada salahnya jika pemaknaan filsafat dipelajari melalui hasil berfilsafat orang-orang yang lebih dulu berfilsafat. Bukankah seorang pujangga terlebih dahulu berkenalan dengan syair-syair pujangga terdahulu sebelum membuat syairnya sendiri? Ada banyak pemaknaan tentang filsafat. Secara semantik, filsafat berasal dari kata bahasa Yunani yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Rangkaian keduanya membentuk kata philosphia yang berarti cinta kepada kebijaksanaan. Pemaknaan secara semantik inilah yang paling umum didapatkan dalam pengenalan terhadap filsafat. Selanjutnya, pemaknaan filsafat akan merujuk pada pendapat para filsuf dan dikelompokkan berdasarkan cara pemaknaannya. Beberapa filsuf yang memaknai filsafat dari cakupan pembahasannya misalnya: Plato, Aristoteles, Descartes, dll. Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang ada di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Descartes menganggap filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Kategori pemaknaan yang lain atas filsafat dilakukan melalui sifatnya. Salah seorang diantaranya yaitu Prof. Dr. Fuad Hassan, guru besar Psikologi UI, menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berpikir radikal. Berfikir radikal yang dimaksud yaitu berfikir mulai dari akar permasalahan hingga mencapai kesimpulan universal. Selain Fuad Hasan, filsuf lain yang memaknai filsafat melalui sifatnya yaitu Jujun S. Sumantri. Makna filsafat dijelaskan analogi seseorang yang berpijak di bumi sedang menengadah ke bintang-bintang. Penglihatannya tentang bintang-bintang membuatnya berpikir posisinya diantara alam semesta. Inilah sifat pertama filsafat yaitu berpikir menyeluruh (universal). Selain menengadah ke bintang-bintang, sang filsuf juga menggali tempat berpijaknya secara fundamental untuk menemukan sesuatu yang paling dalam. Sifat filsafat yang kedua yaitu mendasar. Disadari bahwa pandangan seseorang terbatas baik untuk menjangkau seluruh semesta dan menggali hingga yang paling dalam. Kemungkinan ada semesta lain dan dasar yang lebih dalam di luar jangkauan filsuf. Kemungkinan ini bisa dibilang merupakan spekulasi yang juga menjadi sifat ketiga dari filsafat. Dengan demikian, filsafat menurut Suriasumantri memiliki tiga sifat yaitu: menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Makna Pemerintahan Secara etimologis, makna pemerintahan dapat ditelusuri mulai dari kata dasarnya yaitu perintah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Dalam perintah terdapat berbagai unsur yaitu: yang memerintah, yang diperintah, isi perintah, wewenang dan kepatuhan. Kata perintah kemudian ditambah sisipan me sehingga menjadi pemerintah yang berarti orang/badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Jika di tambah dengan akhiran an maka akan terbentuk kata pemerintahan yang bermakna pembuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut. Uraian pemaknaan pemerintahan seperti diungkapkan di atas tampaknya lebih menekankan pada hubungan kekuasaan dimana pemerintah sebagai penguasa yang memberi perintah dan masyarakat sebagai yang dikuasai dan yang tunduk di bawah pemerintah. Pemaknaan seperti ini juga ditemukan dalam pemikiran beberapa ahli dalam memaknai pemerintahan. Robert Mac Iver misalnya, mengartikan pemerintah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Serupa dengan itu, W.S Sayre mengemukakan bahwa pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Makna pemerintahan tentunya bukan hanya menjalankan kekuasaan saja. Selain mendefinisikan pemerintahan sebagai aktivitas memerintah, KBBI juga mendefinisikan pemerintah sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Definisi ini dapat dikategorikan sebagai definisi berdasarkan fungsi dari pemerintahan yaitu untuk kepentingan kesejahteraan negara dan kesejahteraan masyarakat. Terdapat beberapa pemaknaan pemerintahan yang juga dititikberatkan pada fungsi dari pemerintahan. Salah satu diantaranya adalah pandangan Ryaas Rasyid yang mengatakan bahwa pemerintahan pada hakikatnya merupakan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan, dengan demikian juga berfungsi melayani masyarakat. Dua ulasan singkat di atas menunjukkan bahwa makna pemerintahan tidak pernah statis, melainkan terus berkembang. Guna memperluas cakrawala kita tentang makna pemerintahan, penting untuk mengkaji makna pemerintahan berdasarkan perspektif filsafat pengetahuan. Dalam hal ini filsafat ilmu pemerintahan dapat menjadi titik permulaan untuk mengeksplorasi lebih jauh makna dari pemerintahan. Filsafat Ilmu Pemerintahan Filsafat ilmu menurut Jujun Suriasumantri terdiri dari tiga hal pokok yaitu ontologi, epistemologi dan axiology. Ontologi membahas masalah hakekat dari apa yang dikaji oleh bidang ilmu tersebut dalam hal ini berbicara masalah objek materia dan objek forma ilmu pengetahuan. Epistemologi membahas mengenai cara mendapatkan pengetahuan yang benar dalam hal ini tentang metode keilmuan dan metode penelitian. Aksiologi membahas mengenai kegunaan ilmu yang dalam hal ini mencakup penerapan ilmu. Pada bagian ini, pembahasan tidak akan dilakukan secara detail mengenai ontologi, epsitemoogi dan axiology ilmu pemerintahan. Hal ini disebabkan karena tujuan pembahasan filsafat ilmu pemerintahan dalam tulisan ini hanya untuk mencari makna pemerintahan melalui pendekatan ilmu yang mengkaji tentang pemerintahan. Telah ada beberapa kali pertemuan ilmiah yang dimaksudkan untuk mengkaji ilmu pemerintahan. Pada tahun Pertemuan Ilmiah Pengkajian Ilmu Pemerintahan Tahun 1985, salah satu hal yang menjadi pokok bahasan adalah objek materia maupun objek forma dari ilmu pemerintahan. Disepahami bahwa objek materia ilmu pemerintahan adalah negara, sedangkan objek formanya adalah hubungan pemerintahan. Negara sebagai objek forma dari ilmu pemerintahan tidak dikaji oleh ilmu pemerintahan melaikan juga ilmu administrasi negara, ilmu politik, ilmu negara, hubungan internasional, dan hukum tata negara. Hal ini menjadi salah satu penyebab ilmu pemerintahan menjadi sulit untuk menemukan posisi kajian yang berbeda dengan ilmu lain. Ilmu pemerintahan menjadi terjebak diantara ilmu-ilmu lainnya khususnya ilmu politik dan administrasi negara. Adapun objek forma dari ilmu pemerintahan yaitu hubungan pemerintahan. Kajian hubungan pemerintahan dapat diuraikan ke dalam tiga bagian penting yaitu kajian tentang pemerintah sebagai yang memerintah, masyarakat yang diperintah serta hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Hubungan pemerintahan dalam kaitannya dengan pihak yang memerintah mencakup masalah hubungan antar lembaga pemerintahan misalnya: organisasi, koordinasi, komando, kepemimpinan, sinkronisasi dll. Hubungan pemerintahan dalam kaitannya dengan pihak yang diperintah mencakup hubungan antar warga negara dengan demikian membahas misalnya masalah tatanan masyarakat ideal, community governance, masyarakat madani, dll. Hubungan pemerintahan dalam konteks hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah mencakup masalah kepemimpinan, pemberdayaan, pengaturan, kebijakan, pelayanan dll. Dibalik objek forma dan objek materia dari ilmu pemerintahan, terkandung sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakan keilmuannya. Taliziduhu Ndraha menjelaskannya melalui skema berikut: Tuhan MAHLUK BERALAM: PENDUDUK BERMASYARAKAT: MASYARAKAT BERBANGSA: BANGSA BERNEGARA: WARGA NEGARA BERPEMERINTAH: KONSUMER Melalui asumsi tersebut, Ndraha menambah luas cakupan ilmu pemerintahan hingga mencakup hal-hal seperti hubungan tuhan dengan mahluknya. Dengan demikian, kajian tentang pola hubungan negara dengan agama dapat dijangkau dalam kajian ilmu pemerintahan. Demikian pula hubungan manusia dengan mahluk ciptaan lainnya membuka keran masalah ekologi dapat dikaji oleh ilmu pemerintahan. Filsafat Pemerintahan Terdapat banyak pemaknaan filsafat yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Penting untuk menentukan makna filsafat yang bagaimana yang akan dirangkaikan dengan makna pemerintahan. Beberapa pendapat mengenai makna filsafat yang diungkapkan oleh para filsuf dapat dikombinasikan hingga menjadi pemaknaan tersendiri. Untuk itu, makna filsafat pemerintahan yang akan digunakan disini yaitu semua pengetahuan yang sifatnya mendasar tentang pemerintahan. Pemerintahan itu sendiri, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya mencakup banyak hal seperti kekuasaan, pelayanan, pemberdayaan, pengaturan dll. Mengingat posisi ilmu pemerintahan yang belum jelas secara keilmuan sehingga pembahasan tentang masalah pemerintahan lebih dahulu diklaim oleh ilmu politik dan administrasi negara. Hal tersebut menyebabkan filsafat pemerintahan tidak akan terlepas dari filsafat politik dan filsafat administrasi negara. Diantara keduanya, filsafat politiklah yang lebih dahulu berkembang. Mifta Thoha menjelaskan bahwa paradigma pertama administrasi negara yaitu paradigma dikotomi Politik Administrasi. Paradigma ini berkembang tahun 1900-1926 dimana sekelompok ilmuan politik yang tergabung dalam American Polical Science Association mulai memikirkan tentang bagaimana melatih profesional untuk mengisi jabatan atau bidang tertentu di pemerintahan. Disini terlihat jelas bahwa ilmu administrasi baru dikembangkan oleh ilmuan politik di tahun 1900an. Sementara itu, filsafat politik telah berkembang sejak zaman Yunani kuno. Oleh karenanya, kerangka pembahasan filsafat pemerintahan akan mengikuti kerangka pembahasan filsafat politik. Menurut Quinton dan Arnhart (dalam Ndraha), cara terbaik untuk mendefinisikan filsafat politik ialah menyimak isi karya utama pada filsuf seperti Plato sampai sekarang khususnya pemikiran mendasar mengenai kelembagaan kekuasaan sebagai titik tolak political science dan nilai yang menjadi konstruksi berbagai ideologi. Quinton dan Arnhart mengusulkan pendekatan historis dalam mengkaji filsafat politik dimana pertanyaan kunci untuk menyaring pemikiran filsafat para filsuf yaitu pada kelembagaan kekuasaan dan nilai-nilai yang membentuk ideologi. Mengenai cakupan kajian filsafat politik, Batinggi & Tamar mengungkapkan bahwa filsafat politik mencakup sifat hakiki, asal mula dan nilai dari negara. Lebih lanjut dijelaskan jika filsafat politik berkaitan erat dengan filsafat moral sehingga filsafat politik juga membahas bagaimana tujuan negara, bagaimana sistem pemerintahan yang terbaik dan bagaimana seorang pemimpin harus bertindak untuk keselamatan warganya. Salah satu ilmuan yang mengkaji filsafat politik berdasarkan pendekatan historis adalah Henry J. Smhmandt yang dituangkan dalam buku Filsafat Politik; Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern. Filsafat Pemikiran politik diklasifikasikan ke dalam enam zaman yaitu: filsafat politik kuno, jaman pertengahan, era transisi, era kontrak sosial, perkembangan filsafat politik kontemporer dan filsafat politik kontemporer. Sejarah filsafat politik kontemporer menurut Smhmandt, berusaha menjelaskan pemahaman mengenai cara bagaimana manusia di sepanjang zaman membentuk dan mengimplementasikan aspirasi politik dan sosial mereka serta menemukan prinsip-prinsip universal yang mendasari fenomena politik dalam semua situasi historisnya. Kekurangan dalam filsafat politik Smhmandt adalah hanya membahas filsafat barat dan tidak membahas filsafat politik timur (islam). Padahal dalam catatan sejarah, filsuf islamlah yang melanjutkan tradisi filsafat Yunani kuno sebelum dilanjutkan di dunia barat. Dalam filsafat pemerintahan yang akan dibahas lebih lanjut, pemikiran para filsuf akan dikaji berdasarkan pendekatan historis sebagaimana filsafat politik. Perkembangan pemikiran filsuf akan diklasifikasikan menjadi: filsafat klasik, filsafat skolastik, filsafat politik era transisi, filsafat era kontrak sosial dan filsafat politik kontemporer. Dari pemikiran para filsuf akan dijaring konsep-konsep tentang ideologi, negara, pemerintah, masyarakat sipil dan hubungan antara negara dengan masyarakat. Bersambung……….. Referensi Battingi, Achmad & Muhammad Tamar. 2001. Filsafat Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ Ndraha, Talizduhu. 2003. Kybernologi Jilid 1. Jakarta: Rineka Cipta Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi jilid 2. Jakarta: Rineka Cipta Suacana, Wayan Gede. Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Politik/ Pemerintahan pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa. Blog URL:http://ilmupemerintahan.wordpress.com. Suriasumantri,Jujun S.2001. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Aditama Thoha, Miftah.2011. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana