PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT

advertisement
PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT PADA
PROSES FAT LIQUORING TERHADAP MUTU FISIK FUR KELINCI
(THE EFFECT OF SULPHITED FISH OIL PRESENT ON FAT LIQUORING
PROCESS TO PHYSICAL QUALITY OF RABBIT FUR)
Dian Nurdiansyah
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di PD. Putra Setra, Garut dan Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Yogyakarta
mulai tanggal 15 Maret sampai 19 April 2012. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat penggunaan
minyak ikan tersulfit terbaik pada proses fat liquoring terhadap mutu fisik fur kelinci. Penelitian dilakukan
secara eksperimen dengan pola Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data yang diperoleh dianalisis dengan
Analisis Sidik Ragam (Anava) dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Sebanyak 20 lembar kulit
awet garaman kelinci peranakan New Zealand White dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan bobot
kulit. Perlakuan yang diberikan adalah penggunaan minyak ikan tersulfit sebanyak 2% dari bobot kulit (P1), 4%
minyak ikan tersulfit (P2), 6% minyak ikan tersulfit (P3), 8% minyak ikan tersulfit (P4), dan 10% minyak ikan
tersulfit (P5) pada proses fat liquoring. Variabel yang diamati adalah kekuatan tarik, kemuluran, dan ketahanan
sobek kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penggunaan minyak ikan tersulfit pada proses fat
liquoring memberikan pengaruh terhadap mutu fisik fur kelinci. Penggunaan minyak ikan tersulfit sebanyak 6%
menghasilkan mutu fisik fur kelinci terbaik: kekuatan tarik 168,95 kg/cm2, kemuluran 47,51%, dan ketahanan
sobek 19,06 kg/cm.
Kata kunci: minyak ikan tersulfit, fat liquoring, fur
ABSTRACT
This research was performed in PD. Putra Setra, Garut and Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Yogyakarta
from 15th March until 19th April 2012. The objectives of the research were to know best dosage of sulphited fish
oil present on fat liquoring process to physical quality of rabbit fur. The research used experimental method is
Randomized Block Design (RAK). The data were analyzed by Analysis of variance (Anava) and followed by
Duncan's Multiple Range Test. A total of 20 pieces of New Zealand White crossbred rabbit skin which durable
of salt were divided into four groups based on skin weight. The treatment given is the use of 2% sulphited fish
oil based on the skin weight (P1), 4% sulphited fish oil (P2), 6% sulphited fish oil (P3), 8% sulphited fish oil
(P4), and 10% sulphited fish oil (P5) on fat liquoring process. The observed variables which measured are
tensile strength, elongation, and tear resistance of the leather. The results showed that use level of sulphited fish
oil on fat liquoring process give influence on the physical quality of rabbit fur. The use of 6% sulphited fish oil
produces the best physical quality of rabbit fur: 168,95 kg/cm2 of tensile strength, 47,51% of elongation, and
19,06 kg/cm of tear resistance.
Key words: sulphited fish oil, fat liquoring, fur
PENDAHULUAN
Kulit berbulu yang telah mengalami
proses penyamakan disebut fur, biasanya
digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan barang-barang kerajinan kulit,
interior mobil, aksesoris rambut, tas, sepatu,
boneka, topi, gantungan kunci, dan mantel
bulu. Kebutuhan akan kulit dan produkproduknya
meningkat
karena
selera
masyarakat terhadap produk kulit dan jumlah
penduduk yang terus meningkat. Kulit menjadi
salah satu komoditas ekspor non-migas yang
berpotensi dalam menghasilkan devisa negara,
jika ditinjau dari produk fur ternyata memiliki
pasar tersendiri di antaranya Eropa, Rusia,
China, Amerika Utara, dan Asia Utara, yang
memiliki nilai jual tinggi.
Sumbangan produk fur yang berasal dari
ternak kambing dan domba di Indonesia masih
rendah (Raharjo dan Thahir, 2002). Kelinci
merupakan salah satu ternak yang cukup
potensial untuk dikembangkan karena dapat
berkembang biak dalam jumlah besar dan
dalam waktu yang relatif cepat. Beberapa jenis
di antaranya dapat menghasilkan fur yang
indah, menarik, dan berpotensi ekspor.
Penyamakan kulit bulu sama dengan
penyamakan kulit-kulit lainnya kecuali
epidermis berikut bulu tidak dibuang, jadi
tidak dilakukan pengapuran karena kapur akan
merusak epidermis (Mann, 1980). Setelah
selesai penyamakan, kulit samak yang masih
basah belum dapat dipakai sebelum melalui
proses penyelesaian (Judoamidjojo, 1974).
Kulit samak yang tidak diberi minyak
akan menjadi keras dan kaku setelah
dikeringkan. Penambahan lemak atau minyak
dimaksudkan untuk membuat kulit lebih lemas
dan tahan air. Bila serat yang telah tersamak
dilumas oleh minyak atau lemak, maka seratserat akan mudah bergeseran dan kulit menjadi
lebih lemas (Mann, 1980).
Kulit yang disamak krom pada
umumnya serat-seratnya lebih rapat, sehingga
keadaannya menjadi kering dan kaku. Oleh
karena itu perlu dilakukan peminyakan supaya
lebih lemas dan lebih luwes (Purnomo, 1991).
Tingkat kualitas fisik kulit salah satunya
dipengaruhi oleh faktor pemberian minyak
dalam proses akhir penyamakan. Mengingat
terdapatnya kandungan lemak netral yaitu
trigliserida dalam minyak yang diberikan akan
berpengaruh terhadap kekuatan tarik dan
kemuluran kulit (Hadi, 1985). Jumlah minyak
yang tepat serta emulgator yang benar
menentukan kualitas fat liquoring (Mann,
1980). Konsentrasi yang kurang tepat akan
menyebabkan kekuatan fisik kulit menurun
(O’Flaherty, dkk., 1978).
Minyak tersulfit lebih stabil dalam
larutan elektrolit daripada dalam bentuk
tersulfatasi. Emulsi yang terbentuk lebih stabil
pada media asam, air sadah, bahkan pada
bahan penyamak krom (Irsal, dkk., 2010).
Minyak sulfit menghasilkan suatu efek fat
liquoring lebih lembut dibandingkan minyak
sulfat atau minyak sulfonasi (Fandriawati,
dkk., 2010).
Komposisi
protein
serabut-serabut
dalam kulit akan berpengaruh terhadap
kekuatan fisik kulit samak, yaitu daya regang
dan kekuatan tarik kulit. Makin tinggi
kekuatan tarik, maka makin rendah
kemulurannya atau sebaliknya (Kanagy,
1977). Putusnya serabut kolagen akan
mengurangi kemampuan kulit menahan beban
tarikan, sehingga kekuatan tarik turun tetapi
nilai kemuluran naik (Roddy, 1978). Semakin
rendah jumlah serat kulit yang dilapisi oleh
emulsi minyak akan menghasilkan nilai
kemuluran kulit yang rendah atau sebaliknya
(Oetojo, 1996).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pengaruh tingkat penggunaan
minyak ikan tersulfit pada proses fat liquoring
terhadap mutu fisik fur kelinci serta
mengetahui jumlah penggunaan minyak ikan
tersulfit yang tepat sehingga dihasilkan fur
kelinci yang memiliki mutu fisik terbaik.
BAHAN DAN METODE
Kulit Kelinci
Penelitian ini menggunakan 20 lembar
kulit kelinci peranakan New Zealand White
jantan yang telah diawetkan dengan
penggaraman kering. Bobot kulit berkisar 181300 gram.
Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan pada
penelitian yaitu Sandozin NIL, anti jamur,
Formalin, Soda abu, garam, Asam formiat
(HCOOH), Asam sulfat (H2SO4), Chromosal
B, Soda kue (NaHCO3), Basyntan DLX, dan
minyak ikan tersulfit (Derminol SPE).
Prosedur penelitian mengacu pada metode
penyamakan kulit yang dilakukan oleh Balai
Besar Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP)
tahun 1989.
Perendaman (Soaking)
Kulit di aduk bersama 400% air, 0,5%
Sandozin NIL, dan 0,1% anti jamur selama 1
jam kemudian direndam selama semalam.
Penguatan Bulu (Furtightening)
Kulit di aduk bersama 200% air dan 2%
Formalin selama 1 jam, lalu ditambahkan
0,5% Soda abu yang telah diencerkan dengan
air (1:10) dan di aduk selama 30 menit.
Pengasaman (Pickling)
Kulit di aduk bersama 100% air dan
12% garam selama 10 menit, lalu ditambahkan
1% Asam formiat encer (1:10) dan di aduk
selama 30 menit. Kemudian 1,5% Asam sulfat
encer (1:10) ditambahkan secara bertahap 3
kali pemberian tiap 15 menit sambil kulit di
aduk sampai pH kulit mencapai 3,0-3,5.
Penyamakan (Tanning)
Kulit di aduk bersama 100% larutan
pickling, dan 10% bahan penyamak Chromosal
B selama 2 jam, lalu ditambahkan 1% Soda
abu encer (1:10) dan di aduk selama 30 menit
sampai pH kulit mencapai 3,8-4,2. Kulit
digantung di atas papan kuda-kuda selama
semalam.
Netralisasi (Neutralization)
Kulit di aduk bersama 200% air dan 2%
Soda kue encer (1:10) selama 1 jam sampai pH
kulit mencapai 5,5-6,0.
Penyamakan Ulang (Retanning)
Kulit di aduk bersama 200% air dan 4%
Basyntan DLX selama 1 jam.
Fiksasi (Fixation)
Masing-masing kulit di aduk bersama
100% larutan fat liquoring dan 1% Asam
formiat encer (1:10) selama 30 menit.
Analisis Statistik
Penelitian
ini
dilakukan
secara
eksperimen dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK). Pengelompokan
berdasarkan bobot kulit kelinci yaitu 181-210
gram, 211-240 gram, 241-270 gram, dan 271300 gram, dengan 5 perlakuan tingkat
penggunaan minyak ikan tersulfit (P1 = 2%, P2
= 4%, P3 = 6%, P4 = 8%, dan P5 = 10%).
Model persamaan yang digunakan (Gasperz,
2006), sebagai berikut:
Yij = μ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i
dalam kelompok ke-j
μ = nilai tengah populasi
τi = pengaruh perlakuan ke-i
βj = pengaruh kelompok ke-j
εij = pengaruh galat percobaan dari
perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
Untuk menguji perbedaan antar
perlakuan, dilakukan Uji Jarak Berganda
Duncan (Gasperz, 2006).
Variabel Pengamatan
Pengamatan terhadap mutu fisik kulit
mengacu pada Departemen Perindustrian
(1990) mengenai cara uji kekuatan tarik dan
kemuluran kulit (SNI 06-1795-1990) dan cara
uji kekuatan sobek kulit (SNI 06-1794-1990).
a.
Kekuatan Tarik Kulit (kg/cm2)
Kekuatan tarik kulit adalah besarnya
gaya maksimal yang diperlukan untuk menarik
kulit sampai putus untuk tiap satuan luas kulit.
b.
Kemuluran Kulit (%)
Kemuluran kulit adalah pertambahan
panjang kulit pada saat ditarik sampai putus
dibagi dengan panjang semula, dinyatakan
dalam persen.
Keterangan:
L0 = Panjang semula
L1 = Panjang waktu putus
c.
Ketahanan Sobek (kg/cm)
Ketahanan sobek adalah banyaknya
gaya maksimal yang diperlukan untuk
menyebabkan cuplikan sampai sobek.
Keterangan:
G
= Beban maksimal tarikan
T
= Tebal cuplikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekuatan Tarik Fur Kelinci
Hasil
Analisis
Sidik
Ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kekuatan tarik fur
kelinci. Gambaran hasil penelitian disajikan
pada ilustrasi 1.
Kekuatan Tarik (kg/cm2)
Peminyakan (Fat Liquoring)
Kulit dipisahkan satu sama lain.
Masing-masing kulit di aduk bersama 200%
air hangat (60°C) dan minyak ikan tersulfit
(Derminol SPE) sebanyak 2%, 4%, 6%, 8%
dan 10% selama 2 jam.
Keterangan:
G
= Beban maksimal tarikan
A
= Luas penampang cuplikan
300,00
200,00
100,00
0,00
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Ilustrasi 1. Grafik Perlakuan Terhadap
Kekuatan Tarik Fur Kelinci
P5
Nilai rata-rata kekuatan tarik kulit
kelinci hasil penelitian berkisar 168,29 kg/cm2
hingga 239,09 kg/cm2. Nilai kekuatan tarik
kulit tertinggi dihasilkan dari penggunaan 4%
minyak ikan tersulfit (P2) sebesar 239,09
kg/cm2, sedangkan nilai kekuatan tarik kulit
terendah dihasilkan dari penggunaan 10%
minyak ikan tersulfit (P5) sebesar 168,29
kg/cm2. Untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Jarak
Berganda Duncan yang hasilnya disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh
Perlakuan Terhadap Kekuatan Tarik
Fur Kelinci
Rata-rata
Signifikansi 0,05
2
P2
P1
P4
P3
P5
… kg/cm …
239,09
215,14
180,15
168,95
168,29
a
ab
b
b
b
Keterangan: Huruf kecil yang tidak sama ke arah vertikal
pada kolom signifikansi menunjukkan
berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 1, dapat dijelaskan
bahwa penggunaan 4% minyak ikan tersulfit
(P2) = 239,09 kg/cm2 tidak berbeda nyata
dengan penggunaan 2% minyak ikan tersulfit
(P1) = 215,14 kg/cm2, tetapi nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan P4 (180,15 kg/cm2), P3
(168,95 kg/cm2), dan P5 (168,29 kg/cm2).
Sedangkan antara P1, P4, P3, dan P5 satu
sama lain tidak berbeda nyata.
Penggunaan dosis minyak yang tinggi
menghasilkan nilai kekuatan tarik kulit yang
rendah. Semakin banyak minyak ikan tersulfit
yang digunakan pada proses fat liquoring
maka semakin banyak pula bagian permukaan
serat kulit yang terlumasi minyak sehingga
kulit menjadi lemas dan mudah diregangkan.
Keadaan inilah yang menyebabkan ikatan serat
kulit
menjadi
mengendur,
sehingga
kemampuan kulit dalam menahan beban
tarikan semakin berkurang.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kanagy
(1977) yang menyatakan bahwa komposisi
protein serabut-serabut dalam kulit akan
berpengaruh terhadap kekuatan fisik kulit
samak, yaitu daya regang dan kekuatan tarik
kulit. Makin tinggi kekuatan tarik, maka makin
Kemuluran Fur Kelinci
Hasil
Analisis
Sidik
Ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kemuluran fur kelinci.
Gambaran hasil penelitian disajikan pada
ilustrasi 2.
Kemuluran (%)
Perlakuan
rendah kemulurannya atau sebaliknya. Hal ini
didukung oleh pendapat Roddy (1978) yang
menyatakan bahwa putusnya serabut kolagen
akan mengurangi kemampuan kulit menahan
beban tarikan, sehingga kekuatan tarik turun
tetapi nilai kemuluran naik.
Mengingat belum adanya standar uji
fisik kekuatan tarik fur kelinci, maka hasil
penelitian mengacu pada SNI 4593-2011
tentang
Kulit
Jaket
Domba/Kambing.
Persyaratan mutu fisik kekuatan tarik untuk
bahan jaket dari kulit domba/kambing minimal
14 N/mm2 atau 143 kg/cm2. Berdasarkan nilai
rata-rata kekuatan tarik perlakuan pada Tabel
1, semua perlakuan memenuhi persyaratan
kekuatan tarik pada SNI 4593-2011 tentang
Kulit Jaket Domba/Kambing.
60,00
40,00
20,00
0,00
P1
P2
P3
P4
P5
Perlakuan
Ilustrasi 2. Grafik Perlakuan Terhadap
Kemuluran Fur Kelinci
Nilai rata-rata kemuluran kulit kelinci
hasil penelitian berkisar 22,66% hingga
55,14%. Nilai kemuluran kulit tertinggi
dihasilkan dari penggunaan 8% minyak ikan
tersulfit (P4) sebesar 55,14%, sedangkan nilai
kemuluran kulit terendah dihasilkan dari
penggunaan 2% minyak ikan tersulfit (P1)
sebesar 22,66%. Untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Jarak
Berganda Duncan yang hasilnya disajikan
pada Tabel 2.
Perlakuan
Rata-rata
P4
P5
P3
P2
P1
…%…
55,14
52,20
47,51
31,48
22,66
Signifikansi 0,05
a
ab
ab
bc
c
Keterangan: Huruf kecil yang tidak sama ke arah vertikal
pada kolom signifikansi menunjukkan
berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 2, dapat dijelaskan
bahwa penggunaan 8% minyak ikan tersulfit
(P4) = 55,14%, 10% minyak ikan tersulfit (P5)
= 52,2%, dan 6% minyak ikan tersulfit (P3) =
47,51% satu sama lain tidak berbeda nyata,
tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
P2 (31,48%) dan P1 (22,66%). Sedangkan
antara P5, P3, dan P2 tidak berbeda nyata satu
sama lain, demikian pula antara P2 dan P1.
Penggunaan dosis minyak yang tinggi
menghasilkan nilai kemuluran kulit yang
tinggi pula. Semakin banyak minyak yang
melumasi permukaan serat kulit maka kulit
menjadi semakin fleksibel dan mudah dilekuklekukan sehingga nilai kemuluran kulit
bertambah.
Hal ini sejalan dengan pendapat Oetojo
(1996) yang menyatakan bahwa semakin
rendah jumlah serat kulit yang dilapisi oleh
emulsi minyak akan menghasilkan nilai
kemuluran kulit yang rendah atau sebaliknya.
Demikian pula dengan pendapat Kanagy
(1977) yang menyatakan bahwa makin tinggi
kekuatan tarik, maka makin rendah
kemulurannya atau sebaliknya.
Persyaratan mutu fisik kemuluran untuk
kulit domba/kambing bahan jaket maksimal
60%. Berdasarkan nilai rata-rata kemuluran
perlakuan pada Tabel 2, semua perlakuan
memenuhi persyaratan kemuluran pada SNI
4593-2011 tentang Kulit Jaket Domba/
Kambing.
Ketahanan Sobek Fur Kelinci
Hasil
Analisis
Sidik
Ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kekuatan sobek fur
kelinci. Gambaran hasil penelitian disajikan
pada ilustrasi 3.
Ketahanan Sobek (kg/cm)
Tabel 2. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh
Perlakuan Terhadap Kemuluran Fur
Kelinci
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
P1
P2
P3
P4
P5
Perlakuan
Ilustrasi 3. Grafik Perlakuan Terhadap
Ketahanan Sobek Fur Kelinci
Nilai rata-rata ketahanan sobek kulit
kelinci hasil penelitian berkisar 10,78 kg/cm
hingga 19,63 kg/cm. Nilai ketahanan sobek
kulit tertinggi dihasilkan dari penggunaan 8%
minyak ikan tersulfit (P4) sebesar 19,63
kg/cm, sedangkan nilai ketahanan sobek kulit
terendah dihasilkan dari penggunaan 2%
minyak ikan tersulfit (P1) sebesar 10,78
kg/cm. Untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Jarak
Berganda Duncan yang hasilnya disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh
Perlakuan Terhadap Ketahanan Sobek
Fur Kelinci
Perlakuan
P4
P3
P5
P2
P1
Rata-rata
… kg/cm …
19,63
19,06
15,79
11,31
10,78
Signifikansi 0,05
a
a
ab
b
b
Keterangan: Huruf kecil yang tidak sama ke arah vertikal
pada kolom signifikansi menunjukkan
berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 3, dapat dijelaskan
bahwa penggunaan 8% minyak ikan tersulfit
(P4) = 19,63 kg/cm, 6% minyak ikan tersulfit
(P3) = 19,06 kg/cm, dan 10% minyak ikan
tersulfit (P5) = 15,79 kg/cm satu sama lain
tidak berbeda nyata, tetapi nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan 4% minyak
ikan tersulfit (P2) = 11,31 kg/cm dan 2%
minyak ikan tersulfit (P1) = 10,78 kg/cm.
Sedangkan antara P5, P2, dan P1 tidak berbeda
nyata satu sama lain.
Penggunaan dosis minyak yang tepat
dapat menghasilkan nilai ketahanan sobek
kulit yang tinggi. Penggunaan 6-10% minyak
ikan tersulfit cukup terpenetrasi kedalam kulit
secara optimal sehingga proses fat liquoring
berjalan sempurna. Emulsi minyak mampu
melapisi serat kulit dengan baik, sehingga
serat-serat kulit tersamak menjadi kompak dan
kulit tidak mudah sobek.
Hal ini sejalan dengan pendapat Untari,
dkk., (1995) bahwa besarnya kekuatan sobek
menunjukkan derajat kestabilan antara bahan
penyamak dengan lapisan kulit. Demikian pula
dengan pendapat O’Flaherty, dkk., (1978)
yang menyatakan bahwa konsentrasi yang
kurang tepat akan menyebabkan kekuatan fisik
kulit menurun.
Persyaratan mutu fisik ketahanan sobek
untuk kulit domba/kambing bahan jaket
minimal 12,5 N/mm atau 12,7 kg/cm.
Berdasarkan nilai rata-rata ketahanan sobek
perlakuan pada Tabel 3, maka P3, P4, dan P5
memenuhi persyaratan ketahanan sobek pada
SNI 4593-2011 tentang Kulit Jaket Domba/
Kambing.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa tingkat penggunaan
minyak ikan tersulfit pada proses fat liquoring
memberikan pengaruh terhadap peningkatan
mutu fisik fur kelinci. Penggunaan minyak
ikan tersulfit sebanyak 6% dari bobot kulit
mampu menghasilkan mutu fisik fur kelinci
terbaik (kekuatan tarik 168,95 kg/cm2,
kemuluran 47,51%, dan ketahanan sobek
19,06 kg/cm).
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik. 1989.
Pedoman Pengawetan Kulit Mentah.
Kanisius, Yogyakarta.
Departemen Perindustrian. 1990a. Cara Uji
Kekuatan Sobek Kulit dan Kekuatan
Sobek
Lapis
Kulit.
Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
_______. 1990b. Cara Uji Kekuatan Tarik dan
Kemuluran Kulit. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
_______. 2011. Kulit Jaket Domba/Kambing.
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Fandriawati, D., V. Krissandra, dan H.
Indriyani. 2010. Presentasi Teknik
Pembuatan
Fatliquor
[online].
Tersedia: http://www.scribd.com/doc/
29548571/definisi-fatliquor.
[22 Agustus 2011]
Gaspersz, V. 2006. Teknik Analisis Dalam
Penelitian Percobaan. Cetakan keIII. Tarsito, Bandung.
Hadi. 1985. Pengetahuan Bahan dan Obat
Penyamakan Kulit. Balai Besar Kulit,
Karet, dan Plastik, Yogyakarta.
Irsal, Chichi, dan Ratna. 2010. Klasifikasi
Fatliquor [online]. Tersedia: http://
www.scribd.com/doc/29548593/klasifi
kasi-fatliquor-new. [17 Juni 2012]
Judoamidjojo, R.M. 1974. Dasar Teknologi
dan
Kimia
Kulit. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian, IPB,
Bogor.
Kanagy, J.R. 1977. Physical and Performance
Properties of Leather. Robert E.
Krieger
Publishing
Company
Huntington, New York.
Mann, I. 1980. Teknik Penyamakan Kulit
Untuk Pedesaan. Diterjemahkan oleh
Judoamidjojo.Angkasa, Bandung.
Oetojo, B. 1996. Penggunaan Campuran
Kuning Telur dan Putih Telur Untuk
Peminyakan Kulit. Majalah Barang
Kulit, Karet, dan Plastik. 12 (24): 4753.
O’Flaherty, F., W.T. Roddy, and R.M. Lollar.
1978. The Chemistry and Technology
of Leather. Vol. I. Reinhold
Publishing Co., New York.
Purnomo, E. 1991. Penyamakan Kulit Reptil.
Kanisius, Yogyakarta.
Raharjo, Y.C. dan R. Thahir. 2002. Kulit-Bulu
Kelinci Eksotis, Sebuah Peluang
Bisnis yang Menarik. Badan Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
Roddy, W.T. 1978. Histology of Animal Skin.
Robert
E.
Krieger
Publishing
Company Huntington, New York.
Untari, S., M. Lutfie, dan Dadang. 1995.
Pengaruh Pelarut Lemak di Dalam
Proses
Pelarutan
Lemak Pada
Penyamakan Kulit Itik Ditinjau Dari
Sifat Fisiknya. Jurnal Nusantara
Kimia. 10 (1.2).
Download