Wanita, Mata Kunci yang Kerap Terlupakan dalam

advertisement
NEWS COVERAGE
femina.co.id, Jakarta | National | Sun, October 09 2016
Wanita, Mata Kunci yang Kerap
Terlupakan dalam Pencapaian Tujuan
Pembangunan
Ada rumusan matematika sederhana yang menarik untuk dicerna, muncul dalam diskusi yang
diinisiasi oleh Program MAMPU (Maju Wanita Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan),
di Indonesian Philanthropy Festival 2016, di Jakarta, Sabtu (8/10). Mengambil tajuk “Mobilisasi
Sumber Daya oleh Wanita, untuk Wanita bagi Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs),
dikusi ini berhasil menemukan kunci penting yang membuka jalan tercapainya SDGs di Indonesia.
Mari Berhitung
Berangkat dari hasil riset yang dilakukan oleh organisasi Pemberdayaan Wanita Kepala Keluarga
(PEKKA) di tahun 2012 yang mengungkap bahwa lebih dari 14% wanita menjadi kepala rumah
tangga di Indonesia. Ini artinya, ada 30 juta rumah tangga yang mereka kepalai. Pencatatan ini,
dalam definisinya adalah wanita yang suaminya meninggal, ditinggal cerai, ditinggalkan/ditelantarkan
oleh suami, atau suami sakit menahun, sehingga istri mengambil alih fungsi sebagai kepala rumah
tangga.
“Di Indonesia, anggota keluarga tidak hanya keluarga inti, ayah, ibu, dan anak, tapi juga keponakan,
saudara, dan lain-lain. Jadi, apabila satu rumah tangga terdiri atas rata-rata lima orang saja, maka
setidaknya ada 150 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada kepemimpinan wanita,”
cetus Muhammad Farhan, Duta SDGs Indonesia yang pada kesempatan itu merangkap menjadi
moderator diskusi.
Hitungan matematika sederhana tersebut menjadi landasan pemikiran yang selama ini terlupa oleh
para stakeholder negara – yaitu bahwa wanita adalah kunci krusial tercapainya dalam mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Memberdayakan wanita dan menjawab apa yang menjadi ‘pain’
mereka, sama halnya dengan mempersiapkan masa depan bangsa yang gilang gemilang, dan dalam
skema yang berkelanjutan.
Organisasi PEKKA sendiri telah mendampingi lebih dari 30.000 wanita kepala rumah tangga di tingkat
akar rumput di 20 provinsi di Indonesia. Para ibu ini menggerakkan diri mereka, membangun sistem
jejaring pengaman yang menjaga keberlangsungan rumah tangga mereka. Salah satunya dengan
mendirikan lebih dari 40 koperasi simpan-pinjam yang modalnya telah mencapai lebih dari Rp8 miliar,
dengan perputaran modal lebih dari Rp20 miliar.
“Mereka juga memiliki asuransi mikro yang dikelola secara mandiri. Sebab, tidak semua keluarga
miskin memiliki BPJS,” ungkap Romlawati, ketua PEKKA. Andaipun punya, keterbatasan jarak rumah
terhadap akses terdekat pengurusan BPJS menjadi tantangan tersendiri bagi ibu-ibu kepala keluarga
ini. Terutama, bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil di Indonesia. “Dalam kondisi ini,
asuransi mikro sangat membantu,” lanjut Romlawati.
Sedihnya lagi, pihaknya menemukan praktik tak sehat yang berlangsung di daerah. Salah satunya di
Madura, di mana kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya tertumpuk di kantor Kepala Desa.
“Kalau warga mau memakai, maka mereka harus membayar sejumlah uang. Setelah selesai, kartu
harus dikembalikan,” ungkap Romlawati.
MAMPU, sebagai wadah sekaligus jejaring bagi berbagai organisasi wanita dan organisasi yang
bekerja di isu gender, tidak tinggal diam. Bersama-sama mereka membangun jejaring yang tersebar di
1.025 desa melalui kerja Wanita menjadi Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi JKN (PIPA JKN).
Beberapa kegiatan mereka adalah melakukan identifikasi data pengumpulan iuran JKN, dan
memantau apakan penyalurannya tepat sasaran atau tidak.
Wanita yang digerakkan, akan memberikan yang terbaik dari diri mereka untuk membuat perubahan.
Mereka tidak main hitung-hitungan, bahkan jika harus merogoh dana pribadi dari sumber daya mereka
yang serba terbatas. “Ini yang menjadikan wanita memegang peran krusial dalam tercapainya
pembangunan yang berkelanjutan,” ungkap Endah Nirarita, Konsultan Senior dari MDF Asia,
lembaga yang membantu penguatan SDM, termasuk keberlanjutan organisasi dalam memberikan
kontribusi mereka dalam proses pembangunan, salah satunya MAMPU.
Sakit yang Belum Terjawab
Sayangnya, dengan segenap konstribusi ini, wanita masih sering menjadi korban, bahkan kambing
hitam dalam proses pembangunan. Hal ini terjadi di hampir semua sektor Tri Hastuti Nur, Sekretaris
Pimpinan Pusat Aisyiyah, organisasi wanita yang menaruh perhatian pada kesehatan reproduksi
memaparkan, ada ketidaksinambungan program antara pemerintah pusat dengan daerah, salah
satunya dalam penyelenggaraan layanan gratis deteksi dini kanker serviks melalui tes IVA (Inspeksi
Visual Asam Asetat) dan Pap Smear yang tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
“Di daerah-daerah layanan tes IVA dan Pap Smear belum bisa diakses secara gratis,” ungkap Tri
Hastuti, miris. Padahal, Indonesia sudah masuk kategori darurat kanker serviks. Berdasarkan data
Sistem Informasi Rumah Sakit (2010) jumlah pasien rawat jalan dan rawat inap terbanyak adalah
pasien kanker payudara, yang mencapai 12.014 orang. Pasien kanker serviks berada di posisi ke-2
terbesar dengan jumlah 5.349 pasien.
Data Riskesdas 2013 yang dikumpulkan pemerintah mengungkap prevalensi tumor kanker di
Indonesia mencapai 330.000 orang, dengan presentase terbanyak didapatkan pada wanita.
Sayangnya, rendahnya deteksi dini pada kanker membuat 70% di antara pasien kanker tersebut
ditemukan pada stadium lanjut. Tidak heran jika angka kematian karena kanker payudara dan serviks
di Indonesia tinggi!
Di sektor ketenagakerjaan mengalami ‘pain’ atau kesakitan yang sama. Mewakili suara buruh
migran, Anis Hidayah dari Migrant CARE, mengungkap bahwa saat ini sebanyak 7,5 juta WNI
bekerja sebagai buruh migran di 179 negara di dunia. Sebanyak 85% di antaranya adalah wanita.
Kerja keras mereka ini mendatangkan pendapatan bagi negara sebesar Rp110 triliun/tahun, atau
Rp10 triliun/bulan, dan diperkirakan akan terus meningkat.
Para buruh migran juga menjadi unsur kekuatan yang berjuang melawan kemiskinan. Dengan
pendapatan mereka ini, wanita-wanita kuat ini berhasil menghantarkan anak-anaknya memperoleh
pendidikan, bahkan hingga ke jenjang sarjana. “Sedihnya, wanita yang bermigrasi sebagai TKI
kembali ke tanah air menjadi semakin miskin akibat praktik migrasi yang tidak aman,” papar Anis.
Mereka bahkan sering menjadi korban kekerasan, di tempat kerja, dan dalam rumah tangganya saat
wanita buruh migran kembali ke tanah air. Hak-hak mereka untuk memperoleh keamanan seolah
terlupakan. “Uang yang mereka hasilkan seringkali dipakai suaminya untuk berpoligami. Dan ketika
uang mereka sudah habis, para wanita ini mendapat perlakuan KDRT dari suaminya yang
kebanyakan menjadi pengangguran,” papar Anis, menyampaikan ‘kesakitan’ wanita buruh migran.
Anis merasa, tanggapan pemerintah terhadap ‘kesakitan’ wanita buruh migran ini masih kurang tepat
sasaran. “Bukan dengan melarang mereka menjadi buruh migran, tetapi negara harus memastikan
dan menjamin TKI untuk bermigrasi secara aman dan terbebas dari kekerasan,” ungkap Anis. Dengan
demikian, secara bersama-sama, buruh migran dan pemerintah meraih gol ke-8 dari SDGs, yaitu
‘Decent work and economic growth’, pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. (f)
Naomi Jayalaksana
Download